View
222
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tidur
2.1.1 Definisi tidur
Tidur berasal dari kata latin “Somnus” yang berarti periode pemulihan,
serta suatu keadaan fisiologis untuk mengistirahatkan tubuh dan pikiran.
Perbedaan tidur dengan keadaan tidak sadar lainnya adalah pada keadaan tidur
siklusnya dapat diprediksi dan kurang respons terhadap rangsangan eksternal dan
bersifat reversible (Rizema, 2011). Tidur didefinisikan sebagai suatu keadaan
bawah sadar dimana orang tersebut dapat dibangunkan dengan pemberian
rangsang sensorik atau dengan rangsang lainnya. Tidur harus dibedakan dengan
koma, yang merupakan keadaan bawah sadar dimana orang tersebut tidak dapat
dibangunkan (Guyton dan Hall, 2007).
2.1.2 Fisiologi tidur
Tidur adalah suatu periode istirahat bagi tubuh berdasarkan atas kemauan
serta kesadaran dan secara utuh atau sebagian fungsi tubuh yang akan dihambat
atau dikurangi. Tidur juga digambarkan sebagai suatu tingkah laku yang ditandai
dengan karakteristik pengurangan gerakan tetapi bersifat reversible terhadap
rangsangan dari luar.
Tidur dibagi menjadi dua tahap, yaitu fase Rapid Eye Movement (REM)
disebut juga active sleep dan fase Non Rapid Eye Movement (NREM) disebut juga
quiet sleep.
Non Rapid Eye Movement merupakan keadaan aktif yang terjadi melalui
osilasi antara talamus dan korteks. Tiga sistem utama osilasi adalah kumparan
6
tidur, delta osilasi, dan osilasi kortikal lambat. Kumparan tidur merupakan sebuah
ciri tahap tidur NREM yang dihasilkan dari hiperpolarisasi neuron GABAnergik
dalam nukleus retikulotalamus. Hiperpolarisasi ini menghambat proyeksi neuron
kortikotalamus. Sebagai penyebaran diferensiasi proyeksi kortikotalamus akan
kembali ke sinkronisasi talamus. Gelombang delta dihasilkan oleh interaksi dari
retikulotalamus dan sumber piramidokortikal sedangkan osilasi kortikal lambat
dihasilkan di jaringan neokorteks oleh siklus hiperpolarisasi dan depolarisasi
(Rizema, 2011).
Ciri EEG tambahan dari tidur fase REM adalah gelombang gigi gergaji.
Selama fase REM yang berperan adalah sistem kolinergik yang dapat ditingkatkan
dengan reseptor agonis dan dihambat dengan antikolinergik. Fase REM (tahap R)
ditandai oleh atonia otot, aktivasi kortikal, desinkronisasi bertegangan rendah dari
EEG dan gerakan cepat dari mata. Fase REM memiliki komponen saraf
parasimpatomimetik dan saraf simpatik yang ditandai oleh otot rangka berkedut,
peningkatan denyut jantung, variabilitas pelebaran pupil, dan peningkatan laju
pernapasan. Atonia otot terdapat pada seluruh fase REM sebagai hasil dari inhibisi
neuron motor alfa oleh kelompok-kelompok seruleus peri-lokus neuron yang
secara kolektif disebut sebagai korteks retikuler sel kecil (Rizema, 2011).
Fungsi tidur NREM masih merupakan dugaan beberapa teori telah
diajukan salah satu teorinya menyatakan bahwa penurunan metabolisme akan
memfasilitasi peningkatan penyimpanan glikogen. Teori lain memanfaatkan
plastisitas neuron yang menyatakan bahwa depolarisasi dan hiperpolarisasi dari
osilasi akan berkonsolidasi dengan proses memori dan menghilangkan sinaps
yang berlebihan. Selama fase NREM permintaan metabolik otak berkurang. Hal
7
ini ditunjukkan oleh penelitian menggunakan oksigen positron emission
tomography (PET) yaitu selama fase NREM aliran darah ke seluruh otak semakin
menurun. Selama fase REM aliran darah meningkat di talamus dan visual utama,
kortek motorik dan sensorik relatif menurun di prefrontal dan daerah parietal
asosiasional. Peningkatan aliran darah ke daerah visual utama dari korteks dapat
menjelaskan sifat alamiah bermimpi saat REM, penurunan aliran darah ke korteks
prefrontal dapat menjelaskan penerimaan isi mimpi (Riadi et al, 2009).
Saat ini banyak dilakukan penelitian tidur menggunakan alat
polysomnography. Elektroda yang dipakai untuk pemeriksaan tidur dengan cara
ini minimal berjumlah empat buah yaitu satu untuk melihat gambaran gelombang
dari elektroencephalograpy (EEG) dua saluran untuk elektrokulogram (EOG) dan
satu untuk elektromiogram (EMG). Elektroda EEG biasanya diletakkan pada C3
atau C4. Elektrokulogram biasanya direkam dari kedua mata dengan elektroda
diletakkan 1 cm di sebelah kantus kanan dan kiri. Untuk EEG dan EOG reference
electroda diletakkan ipsilateral atau kontralateral dari cuping telinga atau pada
mastoid sedangkan EMG direkam secara bilateral dari otot atau submental di
dagu. Rekaman polysomnograpy dilakukan pada saat pasien tidur dan hasil
standard akan menunjukkan kadar oksigen darah, pernapasan, dan REM sesuai
dengan waktu tidur.
Gelombang tidur yang terlihat pada gambaran polisomnogram akan
berbeda sesuai dengan fase tidur (gambar 2.1). Pada keadaan perpindahan dari
fase terjaga akan terlihat gambaran gelombang alfa. Fase pertama NREM akan
memperlihatkan gambaran gelombang teta. Fase kedua NREM akan
memperlihatkan gambaran spindle waves. Fase ketiga NREM akan
8
memperlihatkan gambaran spindle waves ditambah dengan slow waves. Fase
empat NREM akan memperlihatkan gelombang yang sama seperti fase ketiga
namun ditambah gambaran gelombang delta yang merupakan ciri fase 4 NREM.
Fase REM bukan merupakan fase tidur karena pada keadaan tidur didapatkan
sleep spindle (S) atau kompleks K maupun delta yang tidak terdapat pada keadaan
REM. Fase REM juga bukan keadaan terjaga karena pada EEG tidak didapatkan
gelombang alfa yang lebih dari 25% maupun EMG yang tinggi. Syarat terjadinya
REM adalah didapatkannya gelombang campuran (alfa, beta dan teta) tak teratur
dan tidak ada kompleks K (Riadi et al, 2009, Rizema, 2011).
(Mark Ehrman, Sara C, 2009)
Gambar 2.1 Gambaran Polisomnogram Sesuai Fase Tidur
Gelombang tidur yang terlihat pada polisomnogram akan memperlihatkan
frekuensi dan amplitudo yang berbeda. Pada keadaan perpindahan dari keadaan
terjaga menuju tidur, gelombang alfa yang akan muncul dengan frekuensi 8-12 Hz
dengan amplitudo <50 mikrovolt. Gelombang teta memiliki frekuensi 4-8 Hz dan
amplitudo 50-100 mikrovolt. Spindle waves, slow waves dan delta waves memiliki
amplitudo 100-200 mikrovolt dengan frekuensi 0,5-4 Hz.
9
Pada manusia, tidur dibagi menjadi lima fase yaitu :
1. Tahapan terjaga
Fase ini disebut juga fase nol yang ditandai dengan subjek dalam keadaan
tenang mata tertutup dengan karakteristik gelombang alfa (8–12,5 Hz)
mendominasi seluruh rekaman, tonus otot yang tinggi dan beberapa gerakan mata.
Keadaan ini biasanya berlangsung antara lima sampai sepuluh menit (Mark
Ehrman, Sara C, 2009).
2. Fase 1
Fase ini merupakan fase perpindahan dari fase jaga ke fase tidur disebut juga
twilight sensation. Fase ini ditandai dengan berkurangnya gelombang alfa dan
munculnya gelombang teta (4-7 Hz), atau disebut juga gelombang low voltage mix
frequencies (LVM). Pada EOG tidak tampak kedip mata atau REM, tetapi lebih
banyak gerakan rolling (R) yang lambat dan terjadi penurunan potensial EMG.
Pada orang normal fase 1 ini tidak berlangsung lama yaitu antara lima sampai
sepuluh menit kemudian memasuki fase berikutnya (Mark Ehrman, Sara C, 2009).
3. Fase 2
Pada fase ini, tampak kompleks K pada gelombang EEG, sleep spindle (S)
atau gelombang delta (maksimum 20%). Elektrokulogram sama sekali tidak
terdapat REM atau R dan kedip mata. EMG potensialnya lebih rendah dari fase 1.
Fase 2 ini berjalan relatif lebih lama dari fase 1 yaitu antara 20 sampai 40 menit
dan bervariasi pada tiap individu (Mark Ehrman, Sara C, 2009).
4. Fase 3
Pada fase ini gelombang delta menjadi lebih banyak (maksimum 50%) dan
gambaran lain masih seperti pada fase 2. Fase ini lebih lama pada dewasa tua,
10
tetapi lebih singkat pada dewasa muda. Pada dewasa muda setelah 5 – 10 menit
fase 3 akan diikuti fase 4 (Mark Ehrman, Sara C, 2009).
5. Fase 4
Pada fase ini gelombang EEG didominasi oleh gelombang delta (gelombang
delta 50%) sedangkan gambaran lain masih seperti fase 2. Pada fase 4 ini
berlangsung cukup lama yaitu hampir 30 menit (Mark Ehrman, Sara C, 2009)
6. Fase REM .
Gambaran EEG tidak lagi didominasi oleh delta tetapi oleh LVM seperti fase
1, sedangkan pada EOG didapat gerakan mata (EM) dan gambaran EMG tetap
sama seperti pada fase 3. Fase ini sering dinamakan fase REM yang biasanya
berlangsung 10 –15 menit (Mark Ehrman, Sara C, 2009).
Gambaran fase tidur ini dapat dilihat pada gambar 2.2
(National Heart and Lung Institute, 2009)
Gambar 2.2 Gelombang EEG
Fase REM umumnya dapat dicapai dalam waktu 90-110 menit kemudian
akan mulai kembali ke fase permulaan fase 2 sampai fase 4 yang lamanya 75-90
menit. Setelah itu muncul kembali fase REM kedua yang biasanya lebih lama dari
11
eye movement (EM) dan lebih banyak dari REM pertama. Keadaan ini akan
berulang kembali setiap 75 – 90 menit tetapi pada siklus yang ketiga dan keempat,
fase 2 menjadi lebih panjang fase 3 dan fase 4 menjadi lebih pendek. Siklus ini
terjadi 4 – 5 kali setiap malam dengan irama yang teratur sehingga orang normal
dengan lama tidur 7 – 8 jam setiap hari terdapat 4-5 siklus dengan lama tiap siklus
75 – 90 menit (Mark Ehrman, Sara C, 2009).
Waktu tidur dapat dibagi tiga bagian yaitu sepertiga awal, sepertiga
tengah, sepertiga akhir. Pada orang normal, sepertiga awal tidur lebih banyak
dalam fase 3 dan 4, sepertiga tengah lebih banyak tidur dangkal (fase 2) serta
sepertiga akhir lebih banyak fase REM. Siklus tidur pada tiap individu berbeda
dan relatif dipengaruhi oleh usia, sebagai contoh pola tidur pada laki – laki muda
(20 – 29 tahun ), pertengahan (40-49 tahun) dan tua (70 – 90 tahun) akan
memberikan gambaran pola tidur yang berbeda (Potter dan Perry, 2006).
Pengamatan dari siklus tidur-bangun manusia memperlihatkan
keterkaitannya dengan usia. Bayi yang baru lahir tidur dari 16 hingga 20 jam per
hari, dan anak-anak 10-12 jam. Total waktu tidur menurun menjadi 9-10 jam pada
usia 10 tahun dan menjadi 7-7,5 jam menjelang dewasa. Penurunan bertahap
sekitar 6 jam berkembang pada akhir kehidupan dewasa. Namun, adanya
perbedaan individual dalam panjang dan kedalaman tidur disebabkan oleh faktor
genetik, kondisi hidup, jumlah aktivitas fisik, dan status psikologis (Ropper dan
Brown, 2005).
Pertambahan umur seseorang dapat menyebabkan total waktu tidur
menurun sedangkan waktu terjaga tetap. Pada orang tua tidur sering terlihat
gelisah dan waktu terjaganya menjadi lebih lama. Sedangkan pada orang muda
12
15% waktu tidurnya dihabiskan pada fase 4. Fase 4 biasanya tidak ditemukan
pada orang tua, demikian juga lama fase REM akan mengalami penurunan yaitu
28 % dari pascapubertas menjadi 18% pada orang tua. Hal ini menunjukkan
bahwa tidur menjadi lebih singkat sehingga menyebabkan berkurangnya
kesegaran sesuai bertambahnya usia (Riadi et al, 2009).
Secara farmakologik dapat dinyatakan bahwa REM dan NREM
mempunyai kaitan-kaitan dengan metabolisme amine, terutama 5-
hydroxytryptamine (serotonin) dan norepinepherine. Monoamine oxidase
inhibitor mengurangi REM. Terbukti pula bahwa NREM dibina oleh mekanisme
setononergik dan REM dipelihara oleh mekanisme adrenergik (Mardjono &
Sidharta, 2000).
Tidur NREM dan REM diatur dalam formasi retikuler dan dipengaruhi
oleh acetylcoline dan dua amine biogenik yaitu 5- hydroxytryptamine (serotonin)
dan norepinephrine. Neuron serotonergik terletak di dalam dekat regio raphe pada
pons. Neuron norepinephrine kaya konsentrasinya di locus cereleus. (Ropper &
Brown, 2005).
2.1.3 Kualitas tidur
Kualitas tidur adalah perasaan segar dan siap menghadapi hidup baru
setelah bangun tidur. Konsep ini meliputi beberapa karakteristik seperti waktu
yang diperlukan untuk memulai tidur, kedalaman tidur dan ketenangan (Septiyadi,
2007).
Remaja usia 12-18 tahun memerlukan waktu tidur 8-9 jam per hari. Waktu
tidur masih berperan penting bagi kesehatan seperti pada masa kanak-kanak
mereka. Walaupun ditemukan bahwa banyak remaja memerlukan waktu tidur
13
yang mungkin lebih banyak dari tahun-tahun sebelumnya, tuntutan sosial
membuat mereka sulit mendapatkan waktu dan kualitas tidur yang sesuai. Saat
seseorang mencapai tahap dewasa, mereka cenderung memerlukan waktu 6-7 jam
per hari dengan tidur yang lebih sering pada siang hari (Robotham, 2011).
Sebuah pandangan yang mengatakan semakin lama orang tidur, maka akan
semakin mendapatkan kesehatan yang optimal, ternyata merupakan pandangan
yang salah. Sebuah penelitian tentang korelasi waktu tidur dan tingkat kematian
yang dilakukan oleh Institusi Amaerica Cancer Society yang bekerja sama dengan
UCSD mengatakan bahwa orang dengan kebiasaan tidur lebih dari 8 jam sehari
cenderung memiliki resiko tinggi untuk meninggal dengan cepat. Orang yang
tidur 8 jam sehari dalam penelitian tersebut dikatakan memiliki resiko 12%
meninggal lebih cepat, dan resiko meningkat menjadi 17% pada orang-orang yang
tidur 9 jam sehari. Resiko lebih besar, yaitu 34% terjadi pada orang-orang yang
tidur 10 jam sehari (Arief, 2009).
Kualitas tidur yang baik akan membuat remaja sehat. Sebaliknya kualitas
tidur yang buruk justru akan memengaruhi kesehatannya, baik fisik maupun
mental. Dr. Susan Redline dari Case Western Reserve, mengatakan bahwa
kualitas dan kuantitas tidur dapat memengaruhi proses homeostatis. Jika proses ini
terganggu maka bisa menjadi salah satu faktor meningkatnya resiko penyakit
kardiovaskular (Rizema, 2011).
Kualitas dan kuantitas tidur yang kurang pada anak dapat mengakibatkan
terjadinya rasa kantuk yang berlebihan di siang hari dan penurunan tingkat atensi
di siang hari. Gangguan pola tidur dapat menimbulkan efek negatif pada performa
di sekolah, fungsi kognitif, dan mood sehingga dapat menimbulkan konsekuensi
14
serius lainnya seperti peningkatan angka kejadian kecelakaan mobil dan motor
(Millman, 2005).
Pada 20 tahun terakhir ini, para peneliti mengenai tidur menyadari
perbedaan perubahan pola tidur pada remaja. Penelitian yang dilakukan di
Amerika oleh National Sleep Foundation mendapatkan berbagai fakta yaitu, lebih
dari 36% remaja berusia 18-29 tahun dilaporkan mengalami kesulitan bangun pagi
(dibandingkan dengan 20% pada usia 30-64 tahun dan 9% diatas usia 65 tahun).
Fakta lain yaitu hampir 22% remaja sering sekali terlambat masuk kelas atau
bekerja karena sulit bangun pagi (dibandingkan 11% pada pekerja berusia 30-64
tahun dan 5% di atas usia 65 tahun). Selain itu sebanyak 4% remaja mengeluhkan
kantuk saat bekerja, setidaknya 2 hari dalam seminggu atau lebih (Arief, 2009).
2.1.4 Penilaian kualitas tidur
Kualitas tidur memengaruhi kesehatan dan kualitas hidup secara
keseluruhan (Yi dkk, 2006). Kualitas tidur diukur menggunakan pengukuran
kualitas tidur dapat berupa kuisioner maupun sleep diary, noctural
polysomnography, dan multiple sleep latency test (Hermawati dkk, 2010).
Pengukuran kualitas tidur telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Yi, Si,
dan Shin (2006) melakukan pengukuran kualitas tidur yang disebut dengan Sleep
Quality Scale (SQS). Busye, dkk (1989) dalam Rush (2000), melakukan
penelitian tentang pengukuran kualitas tidur menggunakan instrumen pengukuran
kualitas tidur yang disebut Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI).
PSQI adalah instrumen efektif yang digunakan untuk mengukur kualitas
tidur dan pola tidur pada orang dewasa. PSQI dikembangkan untuk mengukur dan
membedakan individu dengan kualitas tidur baik dan kualitas tidur buruk.
15
Kualitas tidur merupakan fenomena yang kompleks dan melibatkan beberapa
dimensi yang seluruhnya dapat tercakup dalam PSQI. Dimensi tersebut antara
lain;
1. Kualitas tidur subjektif
Evaluasi kualitas tidur secara subjektif merupakan evaluasi singkat terhadap
tidur seseorang tentang apakah tidurnya sangat baik atau sangat buruk (Buysse et
al., 1989).
2. Latensi tidur
Latensi tidur adalah durasi mulai dari berangkat tidur hingga tertidur.
Seseorang dengan kualitas tidur baik menghabiskan waktu kurang dari 15 menit
untuk dapat memasuki tahap tidur selanjutnya secara lengkap. Sebaliknya, lebih
dari 20 menit menandakan level insomnia yaitu seseorang yang mengalami
kesulitan dalam memasuki tahap tidur selanjutnya (Buysse et al., 1989).
3. Durasi tidur
Durasi tidur dihitung dari waktu seseorang tidur sampai terbangun di pagi hari
tanpa menyebutkan terbangun pada tengah malam. Orang dewasa yang dapat tidur
selama lebih dari 7 jam setiap malam dapat dikatakan memiliki kualitas tidur yang
baik (Buysse et al., 1989).
4. Efisiensi kebiasaan tidur
Efisiensi kebiasaan tidur adalah rasio persentase antara jumlah total jam tidur
dibagi dengan jumlah jam yang dihabiskan di tempat tidur. Seseorang dikatakan
mempunyai kualitas tidur yang baik apabila efisiensi kebiasaan tidurnya lebih dari
85% (Buysse et al., 1989).
16
5. Gangguan tidur
Gangguan tidur merupakan kondisi terputusnya tidur yang mana pola tidur-
bangun seseorang berubah dari pola kebiasaannya, hal ini menyebabkan
penurunan baik kuantitas maupun kualitas tidur seseorang (Buysse et al., 1989).
6. Penggunaan obat
Penggunaan obat-obatan yang mengandung sedatif mengindikasikan adanya
masalah tidur. Obat-obatan mempunyai efek terhadap terganggunya tidur pada
tahap REM. Oleh karena itu, setelah mengkonsumsi obat yang mengandung
sedatif, seseorang akan dihadapkan pada kesulitan untuk tidur yang disertai
dengan frekuensi terbangun di tengah malam dan kesulitan untuk kembali tertidur,
semuanya akan berdampak langsung terhadap kualitas tidurnya (Buysse et
al.,1989).
7. Disfungsi di siang hari
Seseorang dengan kualitas tidur yang buruk menunjukkan keadaan mengantuk
ketika beraktivitas di siang hari, kurang antusias atau perhatian, tidur sepanjang
siang, kelelahan, depresi, mudah mengalami distres, dan penurunan kemampuan
beraktivitas (Buysse et al., 1989).
Semua dimensi tersebut dinilai dalam bentuk pertanyaan dan memiliki bobot
penilaian masing-masing sesuai dengan standar baku (Smyth, 2012).
Kuisioner PSQI terdiri dari 9 pertanyaan dengan masing-masing
pertanyaan memiliki skor 0-3. Total skor diperoleh dengan menjumlahkan skor
komponen 1-7 dengan rentang 0-21. Skor diatas 5 mengindikasikan pola tidur
yang buruk. Kuisioner ini telah diuji validitas dan reabilitas (Cronbach’s alpha)
yaitu 0,83 (Smyth, 2012).
17
2.1.5 Faktor-faktor yang memengaruhi tidur
1. Usia
Menurut penelitian terdapat hubungan antara siklus bangun tidur manusia
dengan usia. Total kebutuhan tidur neonatus biasanya 16-20 jam dalam satu hari
dan pada anak-anak biasanya 10-12 jam per hari. Total Sleep Time (TST) mulai
menurun menjadi 9-10 jam pada umur 10 tahun dan 7-7,5 jam pada remaja. Paa
dewasa terjadi penurunan yang sangat signifikan menjadi 6,5 jam per hari. Pada
dewasa juga terjadi penurunan tidur REM dan menurut Maryland University,
melatonin juga mengalami penurunan seiring dengan usia. National Sleep
Foundation juga mengatakan bahwa usia berkaitan dengan penyakit-penyakit
kronis seperti hipertensi yang dapat menyebabkan obstructive sleep apneu (OSA)
yang merupakan salah satu kondisi yang mengganggu kualitas tidur dari
seseorang (Michael V, 2009, Maryland, 2013).
2. Stres
Stres bisa berpengaruh di banyak hal, salah satunya adalah tidur. Pada
keadaan stres, otak akan beradaptasi melalui dua mekanisme yaitu melalui jalur
Corticotropin Releasing Hormone (CRH) dan Locus Ceruleus Noreponephire
(LC-NE). Stres dapat menyebabkan peningkatan hormon kortisol dan NE melalui
dua mekanisme yaitu melalui jalur CRH dan LC-NE. Dalam keadaan stres kedua
hormon ini dapat menyebabkan sulit untuk tidur pada malam hari terutama
hormon kortisol. Normalnya pada kortisol meningkat pada pagi hari setelah
bangun tidur dan menurun pada saat tidur. Pada keadaan stres di malam hari,
kortisol mengalami peningkatan. Sehingga hormon kortisol meningkatkan
produksi hormon adrenergik yang menyebabkan orang dalam keadaan siap siaga.
18
Hal ini menyebabkan orang menjadi sulit tidur. (Chrousus dan Gold 1992, Purba
et al 1995, Hudson et al, 2010).
3. Olahraga
Menurut beberapa studi, olahraga dapat mengurangi waktu untuk memulai
tidur (Sleep Onset) dan meningkatkan durasi tidur. Adapun beberapa studi yang
mengatakan bahwa olahraga aerobik terus menerus seperti berlari dan angkat
bebdan tidak berpengaruh terhadap tidur. Namun ada juga penelitian pada orang
insomnia dewasa yang berolahraga selama 4-24 minggu mengalami perubahan
pola tidur yang signifikan. Durasi tidurnya menjadi lebih panjang, onset tidurnya
menjadi lebih cepat dan kualitas tidur semakin membaik. (Guilleminault et al,
1995, Reid et al, 2010, Passos et al, 2012).
Walaupun mekanisme masih belum jelas, namun ada beberapa teori yang
dapat menjelaskan mengapa hal tersebut bisa terjadi. Menurut Horne & Staff,
apabila olahraga dilakukan sore hari maka akan terjadi reduksi dari gejala
gangguan tidur. Olahraga menstimuli tubuh untuk meningkatkan suhu tubuh dan
post-exercise menurunkan suhu tubuh sehingga dapat menyebabkan orang lebih
mudah untuk jatuh dalam keadaan tidur. Olahraga juga dapat mengurangi gejala
depresi dan ansietas yang merupakan salah satu penyebab gangguan tidur. (Horne
& Staff, 1983).
Olahraga juga dapat menyebabkan insomnia apabila dilakukan pada
malam hari. Menurut penelitian Dwi Heri et al, olahraga di malam hari dapat
menginduksi terjadinya insomnia yang ringan. Penelitian ini juga didukung oleh
teori Youngstedt, olahraga pada malam hari dapat menyebabkan tubuh
melepaskan adrenalin dan nor-adrenalin, dua stimulan tubuh yang meningkatkan
19
denyut jantung dan suhu tubuh sehingga orang menjadi dalam keadaan waspada
dan terjada dan tidak bisa tidur. (Youngstedt, 2008, Dwi Heri et al, 2012).
4. Kehamilan
Gangguan tidur lazim terjadi pada perempuan yang sedang hamil. Terdapat
beberapa faktor hormonal yang turut berperan dalam gangguan ini, termasuk
perubahan kadar estrogen, progesteron, kortisol dan melatonin dari kadar
dasarnya. Di samping itu, perubahan fisiologi pernapasan maternal, perawakan
tubuh, dan pada trimester ketiga, gerakan janin semuanya dapat berperan
mengurangi kuantitas dan kualitas tidur. (Sadock, 2004).
5. Gangguan jiwa lain
Insomnia dan hipersomnia dapat disebabkan oleh gangguan jiwa seperti
depresi berat, gangguan ansietas, gangguan bipolar dan sebagainya.
Polisomnografi menunjukkan bahwa pada insomnia akibat depresif berat atau
gangguan mood lainnya didapatkan gambaran berkurangnya tidur tahap 3 dan 4,
sering disertai latensi REM singkat dan periode REM pertama yang lama. (Kupfer
et al, 2000, Sadock, 2004).
6. Stimulan dan alkohol
Kafein yang terkandung dalam beberapa minuman dapat merangsang SSP
sehingga dapat mengganggu pola tidur. Konsumsi alkohol yang berlebihan dapat
mengganggu siklus tidur REM. Pengaruh alkohol yang telah hilang dapat
menyebabkan individu sering kali mengalami mimpi buruk. (Potter, 2005, Koch
2005).
20
7. Merokok
Nikotin yang terkandung dalam rokok memiliki efek stimulasi pada tubuh.
Perokok sering kali kesulitan untuk tidur dan mudah terbangun di malam hari.
(Potter, 2005, Koch 2005).
8. Obat-obatan dan zat kimia lain
Gangguan tidur dapat disebabkan oleh obat-obatan seperti penggunaan obat
stimulan yang kronik (amphetamin, kafein, nikotine), anti hipertensi, anti
depresan, anti histamin, anti kholinergik. (Japardi, 2002)
Pada pasien insomnia yang menggunakan obat hipnotik sedatif dalam jangka
waktu yang lama biasanya toleransi terhadap obat tersebut meningkat. Sehingga
obat kehilangan efek yang dapat mencetuskan tidur dan butuh dosis yang lebih
besar untuk mendapatkan efek tidur. Apabila pasien menghentikan obat secara
tiba-tiba, pasien akan mengalami insomnia yang lebih berat. Salah satu efek yang
dikeluhkan pasien adalah sering bangun singkat di malam hari. (Sadock, 2014)
9. Faktor-faktor lain yang memengaruhi tidur
Faktor-faktor lain seperti kerja gilian (shiftwork), jet lag, juga dapat
mengganggu jadwal tidur seseorang. Pasien biasanya sering mengeluhkan
insomnia dan somnolen. Lingkungan termasuk kebisingan dan cahaya juga dapat
berpengaruh terhadap pada kualitas tidur dan kuantitas tidur. (Buschermi et al,
2005, Harvard, 2007).
21
2.2 Olahraga
2.2.1 Definisi olahraga
Olahraga adalah suatu bentuk aktivitas fisik yang terencana dan terstuktur,
yang melibatkan gerakan tubuh berulang-ulang dan ditujukan untuk meningkatkan
kebugaran jasmani. Aktivitas fisik ini akan menyebabkan peningkatan
pengeluaran tenaga dan energi sehingga dapat menimbulkan pembakaran kalori
bagi tubuh dalam jumlah yang signifikan. Individu yang berolahraga adalah
individu yang melakukan aktivitas olahraga minimal 2-3 kali dalam seminggu 20-
30 menit. Individu dengan kategori rutin berolahraga melakukan minimal 3-5 kali
dalam seminggu dalam rentang waktu 20-30 menit (Brannon et al, 2007).
2.2.2 Jenis-jenis olahraga
Olahraga secara umum digolongkan menjadi dua jenis tergantung dari
efek keseluruhan terhadap tubuh manusia.
2.2.2.1 Olahraga aerobik
Olahraga aerobik adalah olahraga yang meningkatkan konsumsi oksigen
secara dramatis dalam jangka waktu yang panjang. Karakteristik penting untuk
olahraga aerobik adalah intensitas dan durasinya. Dari segi intensitas, olahraga
aerobik harus meningkatkan denyutan nadi sampai ke tingkat tertentu. Intensitas
untuk olahraga bervariasi sebanyak 50-80% dari denyut jantung maksimal.
Olahraga aerobik fokus pada peningkatan daya tahan kardiovaskuler. Contohnya
seperti; bersepeda, berjalan, berlari, mendaki, bermain tenis, aktivitas untuk
meningkatkan ketahanan kardiovaskuler, renang, jogging, dan lain sebagainya
(Brannon et al, 2007).
22
2.2.2.2 Olahraga anaerobik
Olahraga anaerobik membutuhkan ledakan energi yang intensif dalam
durasi yang pendek. Akan tetapi ia tidak memerlukan konsumsi oksigen yang
tinggi. Olahraga anaerobik dapat memperbaiki kecepatan dan daya tahan otot,
tetapi harus berhati-hati karena ia boleh menjadi bahaya pada orang yang
menderita penyakit jantung koroner. Seperti aktivitas yang meningkatkan
kekuatan otot dalam jangka pendek, latihan berat badan (Brannon et al, 2007).
2.2.3 Intensitas olahraga
Intensitas latihan ditetapkan secara spesifik pada setiap individu sesuai
dengan kapasitas fisik yang dalam pelaksanaannya memerlukan pengawasan
secara terus menerus agar intensitas latihan benar-benar mencapai intensitas yang
diprogramkan. Intensitas latihan dapat diekspresikan dalam satuan absolut
(contoh: watt) maupun diekspresikan dalam bentuk relatif (misalkan terhadap
frekuensi denyut jantung maksimal, METs, VO2 maks maupun RPE/Rating of
Perceived Exertion). Menurut Andersen (1999) pada umumnya, intensitas latihan
dimulai 40 sampai dengan 85% kapasitas fungsional. Pada orang dengan dengan
permasalahan jantung, intensitas latihan dapat ditetapkan antara 40 sampai dengan
60% kapasitas fungsional (Jette,1999).
Pada dasarnya tujuan akhir menentukan besaran intensitas latihan adalah
untuk memberikan petunjuk bagi seseorang tentang intensitas latihan yang akan
dapat memberikan manfaat yang maksimal untuk dirinya sekaligus meminimalisir
resiko terjadinya cedera (Slentz, 2004).
23
2.2.3.1 Penetapan intensitas dengan berdasarkan frekuensi denyut jantung
Pada umumnya, apabila tidak dipengaruhi oleh keadaan lingkungan yang
ekstrim, keadaan psikologis maupun penyakit, terdapat hubungan yang relatif
bersifat linear antara denyut jantung pada saat latihan dengan intensitas latihan.
(Feigenbaum, 1999). Menurut Cooper (1994), intensitas olahraga kesehatan yang
cukup yaitu apabila denyut nadi latihan mencapai 65-80% DNM sesuai umur
(Denyut Nadi Maximal sesuai umur = 220-umur dalam tahun. Masalah intensitas
yang adekuat ini harus menjadi perhatian terutama pada olahraga kesehatan
(Giriwijoyo, 2008).
2.2.3.2 Penetapan intensitas dengan RPE (Rating of Perceived Exertion)
Penetapan intensitas juga dapat didasarkan persepsi seseorang terhadap
kelelahan (perceived exertion). Konfirmasi intensitas latihan dengan
mempergunakan RPE penting untuk dilakukan karena frekuensi denyut jantung
maksimal dapat bervariasi pada setiap orang. Konfirmasi ini penting untuk
mengevaluasi agar suatu latihan betul-betul dilakukan pada intensitas yang
optimal. Lebih lanjut, pada keadaan dimana terjadi hambatan respon
kardiovaskular, penetapan intensitas latihan dengan mempergunakan skala RPE
lebih tepat dibandingkan berdasarkan frekuensi denyut jantung. (Feigenbaum et
al., 1999).
Salah satu pedoman RPE dikembangkan oleh Bjorg pada tahun 1982
dengan mempergunakan skala dari 6 sampai dengan 20. Skala Bjorg sampai
dengan sekarang masih cukup sering dipergunakan akan tetapi dewasa ini terdapat
alternatif skala penggunaan Bjorg dengan mempergunakan skala antara 0 sampai
dengan diatas 10. Dengan adanya dua skala yang sekarang ini sering
24
dipergunakan, penetapan intensitas dengan mempergunakan RPE harus jelas
mencantumkan standard RPE yang dipergunakan (Feigenbaum et al., 1999).
Tabel 2.1 Skala Rating of Perceived Exertion
Skala Kategori RPE Bjorg Skala Kategori-Ratio RPE
6
7 sangat sangat ringan
8
9 sangat ringan
10
11 cukup ringan
12
13 agak berat
14
15 berat
16
17 sangat berat
18
19 sangat, sangat berat
20
0
0.5 sangat sangat ringaan
1 sangat ringan
2 ringan
3 sedang
4 agak berat
5 berat
6
7 sangat berat
8
9
10 sangat sangat berat
• maksimal
(Feigenbaum et al., 1999)
Penggunaan skala kategori Bjorg didasarkan pada temuan bahwa kategori
RPE Bjorg meningkat secara linear dengan peningkatan respon fisiologis seperti
frekuensi denyut jantung, ventilasi dan konsumsi oksigen. Walaupun demikian
dewasa ini skala Bjorg dikembangkan karena terdapat temuan bahwa pada latihan
intensitas rendah dan tinggi subjek lebih mudah untuk mengaitkan persepsinya
terhadap kelelahan dengan skala kategori-ratio (Jette, 1994).
2.2.2.3 Penetapan intensitas latihan dengan METs
Jette (1994) menyatakan bahwa METS adalah satuan dari kapasitas
fungsional tubuh (VO2 maks). 1 METs merupakan kapasitas latihan yang
membutuhkan 3,5 g O2/kgmenit. Biasanya rentang latihan yang disarankan adalah
40 sampai dengan 85% kapasitas fungsional maksimal. Setelah menetapkan
rentang intensitas yang diinginkan, dapat dipilih kegiatan fisik yang pengeluaran
energinya sesuai dengan intensitas latihan yang diinginkan. Hal yang juga
25
mempengaruhi kisaran METs aktivitas-aktivitas tersebut adalah keadaan
lingkungan. Perbedaan suhu, kelembaban, kecepatan angin dan sebagainya
berpengaruh pada keluaran METs. Mengingat terdapat keterbatasan ini, pada
lingkungan yang ekstrim intensitas latihan dengan mempergunakan frekuensi
denyut jantung dan RPE lebih cocok untuk dilakukan (Jette et al., 1994). Apapun
pedoman intensitas latihan yang ditetapkan, sebaiknya intensitas latihan
ditetapkan dalam nilai kisaran. Setelah kisaran intensitas latihan ditetapkan,
misalnya 5 sampai dengan 9 METs, sebaiknya latihan dimulai dengan intensitas
yang rendah kemudian dilanjutkan pada intensitas yang lebih tinggi secara
bergantian. Hasil akhir pengeluaran energi pada kisaran ini akan sama dengan
latihan intermiten 6 sampai dengan 8 METs atau latihan kontinyu dengan
intensitas 7 METs (Jette et al., 1999).
Tabel 2.2 Contoh Nilai METs Beberapa Jenis Aktivitas
Jenis latihan Rata-rata
Bulutangkis 5.8
Basket 8.3
Berlari
12 menit menempuh 1,6 km
11 menit menempuh 1,6 km
10 menit menempuh 1,6 km
9 menit menempuh 1,6 km
8 menit menempuh 1.6 km
6 menit menempuh 1.6 km
8,7
9,4
10,2
11,2
12,5
14,1
Squash 9.9
Tenis meja 4.1
(Jette,1994)
26
2.3 Hubungan Kualitas Tidur dengan Olahraga
Menurut American Sleep Disorder Association (ASDA), olahraga
merupakan salah satu intervensi non farmakologi yang digunakan untuk
memperbaiki kualitas tidur. Beberapa mekanisme dari olahraga yang
memengaruhi kualitas tidur sebagai berikut ;
1. Efek pada kesehatan mental
Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan, efek dari olahraga
terhadap kesehatan mental erat hubungannya dengan depresi dan ansietas.
Terjadinya depresi akan ansietas berhubungan dengan kadar dopamin dan
serotonin dalam otak. Menurut Daniel M. Landers, manfaat olahraga terhadap
depresi dan ansietas sama dengan yang pengobatan lainnya (Veqar, 2012).
Tabel 2.3 Efek Olahraga terhadap Kesehatan Mental
Menurunkan Kegelisahan Menurunkan Depresi
Olahraga aerobik memberikan
hasil terbaik
Pasien dengan level kegelisahan
yang tinggi merespon lebih
awal
Olahraga reguler memberikan
hasil terbaik jika dilakukan
dalam waktu yang lama
Olahraga reguler memberikan
hasil lebih baik jika dilakukan
secara teratur
Olahraga yang dilakukan
beberapa kali dalam seminggu
memberikan hasil yang lebih
baik
Olahraga yang bertenaga
memberikan hasil yang lebih
baik
(Veqar, 2012)
2. Efek pada mekanisme termoregulator
Regulasi suhu merupakan aspek penting dalam homeostatis. Hal ini
merupakan pemeliharaan dari suhu tubuh inti dalam kisaran sempit yang
dilakukan dengan mengontol pembuangan dan penyerapan panas dari dan dalam
tubuh. Modulasi dalam suhu tubuh inti memengaruhi parameter tidur. Perubahan
27
dalam suhu tubuh inti dapat dilakukan secara aktif (dengan olahraga dll), atau
secara pasif (dengan mandi air hangat, thermo suit, selimut listrik, dll). Metode-
metode menaikkan suhu ini dapat dilakukan beberapa kali (sebelum tidur atau
selama tidur). Waktu pengaplikasian ini tampaknya juga memainkan peran
penting dalam beberapa penelitian. Dalam sebuah artikel, Liao dkk melaporkan
bahwa slow wave sleep (SWS) gelombang tidur lambat dapat ditingkatkan dan
fragmentasi tidur dapat diturunkan dengan menghangatkan tubuh secara pasif
yang merubah suhu inti. Hal serupa juga dilaporkan oleh berbagai peneliti yang
menggunakan metode berbeda untuk menurunkan suhu tubuh sebelum tidur.
Fletcher dkk menggunakan selimut elektronik untuk meningkatkan suhu tubuh
inti selama tidur dan melaporkan menurunnya efisiensi. Penelitian lebih lanjut
membuktikan bahwa ada hubungan antara suhu tubuh inti dengan tidur (Veqar,
2012).
Studi neuroanatomi juga menyimpulkan bahwa daerah preoptic atau
hipotalamus anterior memainkan peran penting dalam pengaturan termoregulator.
Inisiasi tidur didapatkan dengan meningkatnya rerata neuron di daerah preoptic
yang dapat dicetus dengan memanaskannya. Neuron-neuron ini dapat dihangatkan
dengan perubahan suhu tubuh inti. Oleh karena itu, hipotesis bahwa tidur
mungkin berfungsi sebagai down regulation dapat didukung. Horne dkk telah
melakukan kajian tentang hubungan olahraga dan tidur. Mereka melaporkan
bahwa terdapat hubungan posistif antara SWS dan olahraga (Veqar, 2012).
3. Efek pada irama sirkadian
Irama sirkadian adalah interval waktu 24 jam yang merespon faktor
endogen seperti suhu tubuh inti dan lainnnya, serta faktor eksogen seperti cahaya
28
dan sebagainya. Gangguan terhadap salah satu faktor dalam irama sirkadian dapat
mempengaruhi tidur. Dalam beberapa penelitian disebutkan bahwa faktor
terpenting disini adalah cahaya. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk
melibatkan olahraga dan tidur, didapatkan dampak waktu olahraga dan tidur serta
korelasi antara efek olahraga dalam irama sirkadian. Olahraga aerobik yang
dilakukan larut malam dihubungkan dengan kualitas tidur yang buruk
dibandingkan dengan olahraga yang dilakukan sore hari (Veqar, 2012).
Dirumuskan oleh Driver dan Taylor bahwa olahraga yang dilakukan di
area yang terang dapat meningkatkan kualitas tidur untuk individu dengan
diubahnya irama sirkadian. Mereka juga menyarakan penelitian selanjutnya untuk
menemukan hubungan cahaya, olahraga dan tidur.
4. Efek pada sistem serotonergik
Olahraga mempunyai efek pada aktivitas serotonergik pada otak dan
alirah darah perifer. Kadar serotonin di diensefalon meningkat selama
berolahraga. Serotonin yang dikeluarkan ke diensefalon dan cerebrum dipercayai
berperan dalam menyebabkan tidur yang normal. Serotonin membantu
menyebabkan tidur melalui hambatan aktif dari sistem non serotonergik
supraspinal (Melancon et al, 2014).
Sintesis serotonin di otak tergantung pada kadar tersedianya tryptophan
(TRP) dalam plasma. Sintesis serotonin saat berolahraga utamanya disebabkan
oleh meningkatnya stimulus adrenergik dalam lipolisis yang akan meningkatkan
free fatty acid (FFA) plasma. Peningkatan kadar FFA secara langsung
meningkatkan TRP bebas ke dalam darah sehingga akan meningkatkan kadar
29
sintesis serotonin. Efek mengguntungkan dari olahraga mungkin berkaitan dengan
meningkatnya sistem serotonergik yang lebih tinggi (Melancon et al, 2014).
Recommended