View
216
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
19
Bab 3
Analisis Data
3.1 Analisis Ikon-Ikon Musim Gugur
Sebelum masuk ke dalam analisis haiku, penulis akan menganalisis terlebih dahulu
ikon-ikon musim gugur di Jepang, berdasarkan konsep musim gugur dari para peneliti
dan pendapat para ahli. Ikon-ikon yang akan dijelaskan di bawah ini berkaitan dengan
haiku yang akan penulis analisis. Adapun ikon-ikon tersebut sangat berkaitan erat
dengan budaya masyarakat Jepang, sedangkan kebudayaan Jepang merupakan
kebudayaan yang sangat erat dengan alam. Menurut Nakamura dalam Avianti (2004:1),
kebudayaan tersebut diaplikasikan secara langsung melalui karya seni. Penyair-penyair
Jepang kerap kali mengangkat tema mengenai alam dalam puisi mereka. Kebudayaan
yang dihasilkan melalui karya seni tersebut justru menjadi ciri khas bangsa Jepang.
20
Musim gugur ditandai oleh ikon-ikon seperti terdapat di tabel di bawah ini.
Tabel 3.1 : Ikon-Ikon Musim Gugur
Hujan
Angin
Kilat
Badai
Bulan
Daun berguguran
Panen dan perayaannya
Sesajen
Kebiasaan makan dan membaca
yang meningkat
Berubahnya suasana hati
(melankolis dan sentimentalitas)
Perubahan warna daun
Hujan kabut
Waktu kumpul bersama keluarga
Sumber : Shito (2005) dan Johnny (1990)
Musim gugur
21
Menurut Shito (2005), musim gugur di Jepang dimulai dari bulan September hingga
memasuki bulan Desember, yang merupakan musim badai di mana hujan yang disertai
angin serta kilat dan hujan berkabut yang sesaat akan sering terjadi. Menurut analisis
penulis, ketika musim gugur tiba, hujan yang disertai dengan petir, badai dan angin yang
bertiup kencang akan mengakibatkan langit malam hari menjadi lebih gelap dan pekat,
oleh karena itu bulan saat musim gugur terlihat sangat indah dibandingkan bulan
dimusim yang lain. Pendapat penulis didukung oleh Shito (2005) yang mengatakan
bahwa dalam masa peralihan ini malam hari berlangsung lebih panjang dibandingkan
dengan siang hari. Sesudah bertiup angin yang kuat, langit hari itu akan menjadi terang
dan pada malam harinya bulan bercahaya dengan terang. Pada musim gugur ini, di
Jepang ada kebiasaan menikmati terangnya cahaya bulan pada bulan September untuk
berterima kasih atas hasil panen musim gugur. Orang-orang yang berterima kasih atas
hasil panen musim gugur meletakkan alang-alang, ubi, kastanye, dan kue bola sebagai
sesajen.
Menurut Naka (2003:116-117), musim gugur adalah saat panen sehingga matsuri
yang dilaksanakan, digolongkan pada jenis okansha suru matsuri atau matsuri sebagai
rasa terima kasih yang bertujuan untuk mengucapkan rasa terima kasih atas hasil tani
yang baik dan berlimpah. Menurut analisis penulis yang berpegang pada pendapat para
ahli, musim gugur merupakan saat panen. Maka dari itu, ketika panen kita dapat melihat
bahwa orang Jepang menggambarkan keadaan alam lingkungannya, juga menyampaikan
perasaan akan lingkungan alam yang ada dikehidupannya melalui matsuri yang
bertujuan untuk mengucapkan syukur atas panen yang telah diberikan oleh dewa-dewi
dalam kepercayaan Shinto yang mereka anut. Meskipun kadang alam tidak bersahabat,
22
namun orang jepang tetap merasakan alam lingkungannya sebagai sesuatu yang indah,
dan ada hal yang dapat dinikmati dibalik segala peristiwa yang telah terjadi.
Shito (2005) menambahkan bahwa pada musim gugur ada perayaan yang disebut
Keiro, untuk menghormati orang yang tua di Jepang, yakni menghormati para orang tua
yang telah banyak berjasa bagi masyarakat dan demi merayakan panjangnya usia mereka.
Kemudian, setelah permulaan musim gugur berlalu, pada bulan Oktober udara menjadi
semakin dingin dan dedaunan yang tadinya berwarna hijau berubah menjadi warna
merah atau kuning.
Karena adanya musim panen, musim ini membuahkan berbagai macam hal, bukan
hanya padi dari sawah, kastanye, buah kesemek, sayur-sayuran, serta buah-buahan,
namun juga membuahkan kegembiraan yang meningkat dan menyebabkan orang Jepang
bertambah nafsu makannya, sehingga memicu timbulnya beberapa istilah yang erat
kaitannya dengan “selera makan“ dan “kebiasaan membaca“ ala musim gugur. Dalam
bahasa aslinya, Shoku yoku no aki ( 食欲の秋 ) yang memiliki arti "selera makan musim
gugur" dan Dokusho no aki ( 読書の秋 ) yang memiliki arti "kebiasaan membaca di
musim gugur".
Berikut ini adalah penyesuaian orang Jepang terhadap perubahan alam yang sporadis.
Mengenai hal tersebut, Watsuji dalam Kusunoki (1993 : 205-206) berpendapat bahwa
pada musim-musim tertentu, angin topan bertiup dengan dahsyatnya, perasaan pun
berpindah dari satu ke lainnya, kadang kala menunjukkan kekuatan yang tidak terduga,
seperti angin topan itu. Perasaan orang Jepang menunjukkan sering terjadi kedahsyatan
seperti angin itu. Kedahsyatan perasaan tersebut tidak terus berlanjut tanpa putus,
melainkan hanya sekali sekali muncul bagaikan angin topan yang dahsyat di atas. Hal
23
serupa juga dipaparkan oleh Ishikawa (1997), keadaan alam seringkali berubah di
Jepang, Hal ini banyak mempengaruhi kepekaan dan emosi dari orang Jepang.
Analisis dari pernyataan di atas adalah musim gugur sering digambarkan dengan
kemurungan, kesedihan, dan usia tua. Hal ini digambarkan oleh alam dalam bentuk
perubahan warna daun dan lepasnya daun dari ranting pohon. Musim gugur dalam
sebuah puisi sering kali digambarkan sebagai sesuatu yang negatif. Seperti halnya
burung-burung yang pergi meninggalkan negeri, daun yang berguguran, dan kondisi
alam yang tidak menentu adalah gambaran yang paling sering digunakan untuk
mendeskripsikan musim gugur. Suasana alam yang sepi, udara dingin dengan banyak
hujan dan angin yang tidak bersahabat dengan manusia membuat cuaca musim gugur
sering digambarkan amat kelabu. Warna kelabu dari musim ini dalam haiku juga sering
bermakna simbolis sebagai kesuraman. Pikiran tentang mati atau kematian pun sering
terpanggil oleh musim gugur dan segala aspek yang menjadi bagian dari musim ini.
Bahkan kepercayaan orang Jepang terhadap makna musim gugur yang berarti
kesuraman teraplikasikan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Orang Jepang jarang
sekali bahkan hampir tidak ada yang melaksanakan upacara pernikahan saat musim
gugur berlangsung, karena mereka beranggapan bahwa musim gugur yang digambarkan
sebagai daun yang berguguran akan berdampak negatif pada kehidupan rumah tangga
mereka. Kepercayaan semacam inipun diwariskan secara turun-temurun seperti halnya
kebudayaan Jepang pada umumnya.
Selanjutnya, memasuki bulan November hawa dingin mulai terasa di pagi dan sore
hari. Warna daun-daun pepohonan menjadi semakin cerah. Selain itu, bulan November
juga merupakan musim perpindahan burung. Dari negeri-negeri utara yang jauh dan
lebih dingin daripada Jepang berbagai jenis burung seperti angsa, burung bangau, dan
24
angsa liar bermigrasi ke Jepang, dan melewatkan waktu di Jepang yang tidak begitu
dingin. Terakhir pada bulan Desember, ketika tekanan udara menjadi sangat rendah, dan
hawa dingin mulai menusuk, angin mengubah musim gugur menjadi musim dingin dan
binatang-binatang memasuki periode mati suri.
3.2 Analisis Haiku Pertama yang Dihubungkan dengan Musim Gugur
Bab ini akan penulis bagi menjadi tiga sub bab sesuai dengan jumlah larik pada haiku.
3.2.1 Analisis Haiku Bertemakan Musim Gugur yang Pertama pada Larik Pertama
Melalui Medan Makna
Larik pertama pada haiku pertama berbunyi :
月早し
Tsuki hayashi
Terjemahan dalam bahasa Inggris oleh R. H. Blyth, (1982:926) :
The moon swiftly fleeting,
Terjemahan dalam bahasa Indonesia :
Bulan bergerak dengan cepat
Untuk menganalisis larik pertama pada haiku ini, penulis akan menggunakan analisis
medan makna. Mula-mula penulis akan menggambarkan melalui bagan, setelah itu akan
diterangkan hubungannya satu persatu.
25
Tabel 3.2 Analisis Medan Makna Bulan (Tsuki)
Sesajen
Panen
Matsuri
Angin yang bertiup kencang
Sumber : Shito (2005)
Larik pertama dalam haiku pertama yang bertemakan musim gugur di atas, kata yang
digunakan adalah kata tsuki. Menurut Shinmura (1992:1771) dijelaskan bahwa tsuki
yang dalam tulisan Jepang tsuki (月) adalah chikyuu no eisei (地球の衛星) yang
artinya satelit bumi. Selain itu menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
(2007:883) satelit adalah bintang siarah yang mengedari bintang siarah yang lebih besar.
Di dalam KBBI, kata bulan diartikan sebagai benda langit yang mengitari bumi, bersinar
pada malam hari karena pantulan sinar matahari.
Menurut Naka (2003: 116-117), musim gugur adalah saat panen sehingga matsuri
yang dilaksanakan, digolongkan pada jenis okansha suru matsuri atau matsuri sebagai
rasa terima kasih yang bertujuan untuk mengucapkan rasa terima kasih atas hasil tani
yang baik dan berlimpah. Sehingga dengan adanya panen yang berlimpah, masyarakat
mengadakan matsuri yang diiringi dengan pemberian sesajen kepada para dewa sebagai
ucapan terima kasih atas hasil panen tersebut. Yanagita dalam Naka (2003:109)
menambahkan bahwa aki matsuri bertujuan untuk berterima kasih kepada dewa dengan
memberikan sesajen hasil pertanian dan sekaligus bertujuan pula mengembalikan dewa
ke gunung.
Bulan (Tsuki)
26
Menurut Mursidah (2003:21), seiring dengan perjalanan bumi mengelilingi matahari,
siklus musim terjadi. Musim berurutan datang, pergi dan datang kembali seperti roda
yang berputar. Negeri-negeri yang terletak di belahan bumi khatulistiwa adalah bagian
bumi yang paling dekat dengan matahari. Jarak dari matahari selalu sama sepanjang
tahun. Udara panas sepanjang tahun dan tumbuhan tidak pernah berhenti tumbuh.
Semakin jauh dari khatulistiwa semakin jauh pula dari matahari. Musim berubah sesuai
dengan berubahnya jarak bumi dari matahari, karena bumi yang bergerak mengelilingi
matahari setiap tahun selalu sedikit miring kearah yang sama. Ketika bagian utara miring
mendekati matahari, bagian selatan miring menjauhi matahari. Maka di bagian utara
mengalami musim panas, dan di selatan mengalami musim dingin.
Selanjutnya, Shito (2005) menambahkan bahwa dalam masa peralihan musim, malam
hari berlangsung lebih panjang dibandingkan dengan siang hari. Karena malam hari
datang lebih cepat, maka hal ini menyebabkan langit menjadi lebih cepat gelap, dan
sesudah bertiup angin yang kuat, langit hari itu akan menjadi terang karena cahaya bulan.
Pada musim gugur, di Jepang ada kebiasaan menikmati terangnya cahaya bulan
(tsukimi) pada bulan September untuk berterima kasih atas hasil panen musim gugur.
Sebagai ungkapan terima kasih atas hasil panen musim gugur, orang-orang meletakkan
alang-alang, ubi, kastanye, dan kue bola sebagai sesajen.
Mengenai angin yang bertiup kencang, Watsuji dalam Kusunoki (1993 : 205-206)
berpendapat bahwa pada musim musim tertentu, angin topan bertiup dengan dahsyatnya.
Selanjutnya Shito (2005) menambahkan awal bulan November hawa dingin mulai terasa
di pagi dan sore hari. Terakhir pada bulan Desember, ketika tekanan udara menjadi
sangat rendah, dan hawa dingin mulai menusuk, angin mengubah musim gugur menjadi
musim dingin dan binatang-binatang memasuki periode mati suri.
27
Oleh karena itu, menurut analisis penulis dengan berpegang pada teori dan rincian
penjelasan ikon-ikon musim gugur yang telah dijabarkan di atas, penulis menyimpulkan
bahwa bulan merupakan salah satu ikon musim gugur karena berkaitan dengan medan
makna dengan bulan yaitu sesajen, panen, matsuri dan angin yang bertiup kencang,
semuanya ada dan terjadi pada musim gugur. Musim gugur yang identik dengan masa
panen menyebabkan masyarakat menjadi terinspirasi untuk menyelenggarakan matsuri
atau perayaan untuk mengucap syukur atas panen yang dihasilkan selama satu tahun
tersebut. Dengan berbagai jenis bahan pangan yang telah dihasilkan melalui panen,
masyarakat membuat beragam makanan yang berfungsi sebagai sesajen untuk matsuri
tersebut. Selain itu, karena disebabkan dari cuaca yang terus menerus hujan disertai
badai dan angin kencang, mengakibatkan penampakan bulan selama musim gugur
terlihat lebih terang dan cerah daripada musim lainnya. Sehingga masyarakat Jepang
yang sedang bersuka cita karena panen, sekaligus merayakan indahnya bulan di musim
gugur dengan meletakkan sesajen, yang nantinya sesajen tersebut akan dinikmati sambil
memandangi keindahan bulan yang bulat sempurna. Pernyataan penulis ini didasarkan
pada pendapat Takaha dalam Davies (2002:155) yang menyatakan bahwa dalam musim
gugur bulan purnama yang sempurna adalah bulan yang terindah dan sebagai gambaran
akan datangnya musim gugur, ditandai dengan munculnya suara serangga.
28
3.2.2 Analisis Haiku Bertemakan Musim Gugur yang Pertama pada Larik Kedua
dan Ketiga Melalui Medan Makna
Haiku pertama pada larik kedua berbunyi :
梢は雨を
Kozue wa ame wo
Terjemahan dalam bahasa Inggris oleh R. H. Blyth, (1982:926) :
Branches still holding
Terjemahan dalam bahasa Indonesia :
Di ranting puncak pohon, hujan
Untuk menganalisis larik kedua pada haiku ini, penulis akan menggunakan analisis
medan makna. Mula-mula penulis akan menggambarkan melalui bagan, setelah itu akan
menganalisis hubungannya satu persatu.
Tabel 3.3 Analisis Medan Makna Ranting Puncak Pohon (Kozue)
Perubahan warna daun
Daun yang berguguran
Kesedihan
Berubahnya suasana hati
(melankolis dan sentimentalitas)
Sumber : Shito (2005) dan Johnny (1990)
Ranting Puncak Pohon (Kozue)
29
Tabel 3.4 Analisis Medan Makna Hujan (Ame)
Angin
Kilat
Badai
Berubahnya suasana hati
(melankolisme dan sentimentalitas)
Sumber : Shito (2005)
Larik kedua dalam haiku pertama yang bertemakan musim gugur di atas, kata yang
terkandung di dalamnya adalah kata kozue dan ame. Dalam Shinmura (1992:968)
dijelaskan bahwa kozue yang dalam tulisan Jepang kozue(梢) adalah (「konure」
no i) miki ya eda no saki no bubun(「木末」の意)幹や枝の先の部分 ). Lalu
kata kozue no aki yang dalam tulisan Jepang kozue no aki (梢の秋) adalah (kozue
no irozuku aki ni matsu wo kaketeiu go) aki no matsu((梢の色づく秋に末をかけ
ていう語)秋の末) yang artinya puncak atau pucuk pohon : bagian atas dari batang
pohon, ranting atau dahan. Pucuk pohon musim gugur : bahasa tertulis untuk rona
ranting saat akhir musim gugur. Sedangkan dalam Kokugojiten (国語辞典) (2002:418),
kata kozue (梢) digambarkan sebagai ki no miki ya eda no saki (木の幹や枝の先) yang
artinya bagian atas dari batang pohon atau ranting dalam sebuah pohon.
Menurut Ritsuki (2008), dua dari pemandangan yang paling indah di Jepang adalah
ketika bunga sakura bermekaran di musim semi dan dedaunan berubah menjadi warna-
warni merah, jingga, dan kuning yang mempesonakan pada musim gugur. Selain itu,
Shito (2005) juga menambahkan setelah permulaan musim gugur berlalu, pada bulan
Hujan (Ame)
30
Oktober udara menjadi semakin dingin dan dedaunan yang tadinya berwarna hijau
berubah menjadi warna merah atau kuning. Orang-orang pergi ke gunung untuk mencari
pemandangan indah dan menikmati daun-daun pohon yang memerah atau menguning.
Oliver (2002:8-9) mengatakan musim gugur adalah saat daun-daun berguguran
karena pepohonan bersiap mengahadapi musim dingin, dan ketika pepohonan tersebut
berguguran tentunya akan sangat dekat kaitannya dengan angin yang berhembus.
Wismono (2002:186) berpendapat bahwa radiasi sinar matahari mulai berkurang, suhu
udara mulai menurun yang menyebabkan tumbuhan mulai sulit mendapatkan air
dikarenakan cuaca dingin serta tidak dapat melakukan fotosintesis, sehingga memicu
daun berubah warna menjadi merah, coklat, dan akhirnya gugur. Kouyou merupakan
keadaan pada saat daun-daun berubah warna menjadi merah, kemudian secara meluas
menjadi kuning dan coklat. Karena suhu udara yang terus menerus turun menyebabkan
terpisahnya daun dari tangkai daun, hal ini disebabkan karena penumpukan pigmen
warna.
Watsuji dalam Kusunoki (1993 : 205-206) berpendapat bahwa pada musim tertentu,
perasaan berpindah dari satu ke lainnya, kadang kala menunjukkan kekuatan yang tidak
terduga, seperti angin topan dimusim gugur. Perasaan orang Jepang menunjukkan sering
terjadi kedahsyatan seperti angin itu. Kedahsyatan perasaan tersebut tidak terus berlanjut
tanpa putus, melainkan hanya sekali-sekali muncul bagaikan angin topan yang dahsyat
di atas. Hal serupa juga dipaparkan oleh Ishikawa (1997), keadaan alam seringkali
berubah di Jepang, hal ini banyak mempengaruhi kepekaan dan emosi dari orang Jepang.
Menurut Davies (2002:37-38), di dalam masyarakat Jepang, ada sebuah istilah yang
mirip dengan rasa empati terhadap sesuatu yang biasa disebut sebagai mono no aware.
Perasaan ini bisa dikatakan sebagai hati atau perasaan yang tergerak karena sesuatu hal
31
yang dapat menimbulkan sensitifitas tidak nyata terhadap seseorang. Perasaan ini juga
bisa membuat seseorang terpesona atau terpukau akan sesuatu benda, cerita, dan lain
sebagainya. Sebagai contoh, orang barat sangat mengagumi keindahan setangkai bunga
yang sedang mekar. Akan tetapi ketika bunga tersebut berubah layu, sisi keindahan
bunga tersebut tidak akan terlihat lagi seperti sebelumnya. Sama seperti orang barat, saat
bunga dalam keadaan mekar orang Jepang juga merasakan keindahan bunga tersebut.
Perbedaannya adalah ketika bunga itu layu, bagi orang Jepang masih tersisa semacam
keindahan tersendiri saat melihat kelopak bunga yang mulai berguguran.
Sesuai dengan teori tersebut, penulis berpendapat tentang mono no aware dengan
kaitannya dengan ranting pohon yang tidak berdaun, pada larik kedua haiku pertama.
Mereka, masyarakat Jepang menganggap bahwa dengan gugurnya daun disebuah pohon,
dapat menimbulkan emosi seperti melankolisme yang dapat menggerakkan hati karena
timbulnya rasa sesal atas keindahan yang akan segera berlalu (tidak abadi). Dengan
berkaca pada siklus alam seperti inilah kepekaan emosi orang Jepang mudah berubah-
ubah seperti keadaan alam disekitarnya. Seperti saat hujan badai di musim gugur, dapat
merubah suasana hati seseorang menjadi sensitif dan mudah tersentuh hatinya hanya
karena hal-hal kecil.
Menurut Shinmura (1992:80) menjelaskan bahwa ame yang dalam tulisan jepang
ame (雨) adalah taikijuu no suijoki ga kousho de gyouketsushi, suiteki tonatte chijou ni
ochiru mono (大気中の水蒸気が高所で凝結し、水滴となって地上に落ちる もの)
yang artinya uap air di bagian dalam atmosfer atau udara yang membeku di dataran
tinggi, kemudian jatuh dari daerah tinggi menjadi tetesan air. Sedangkan dalam
Kokugojiten (国語辞典), (2002:31) kata ame (雨) dijelaskan sebagai kuukijuu no suijoki
32
ga takai tokoro de hiete, suiteki tonatte ochite kuru mono (空気中の水蒸気が高い所で
冷えて、水滴となって落ちてくるもの) yang artinya uap air di bagian dalam udara
yang mendingin di tempat tinggi, dan jatuh menjadi tetesan air. Arti kata hujan dalam
KBBI adalah titik-titik air yang berjatuhan dari udara karena proses pendinginan. Selain
itu dalam KBBI bahwa uap air adalah uap yang terjadi dari air yang dipanaskan.
Wismono (2002) menambahkan bahwa hujan juga dapat terjadi sebagai akibat dari
kerja sinar matahari. Sinar matahari yang jatuh di permukaan air laut akan menghasilkan
uap air. Uap air ini akan naik ke udara. Jika uap sudah terkumpul cukup banyak maka
terbentuklah awan. Selanjutnya, awan akan tertiup angin menuju ke daratan. Awan
inilah yang akan turun menjadi hujan. Mengenai angin, Wismono juga berpendapat
bahwa sinar matahari juga yang menyebabkan terjadinya angin. Udara di daerah yang
terkena sinar matahari akan menjadi lebih panas. Udara yang panas akan menjadi ringan.
Akibatnya, udara panas ini akan naik. Tempatnya akan digantikan oleh udara yang lebih
dingin dari tempat lain, sehingga terjadilah angin.
Menurut Shito (2005), musim gugur di Jepang dimulai dari bulan September hingga
memasuki bulan Desember, yang merupakan musim badai di mana hujan yang disertai
angin serta kilat akan sering terjadi. Watsuji dalam Kusunoki (1993 : 205-206)
berpendapat bahwa pada musim-musim tertentu, angin topan bertiup dengan dahsyatnya,
perasaan pun berpindah dari satu ke lainnya, kadang kala menunjukkan kekuatan yang
tidak terduga, seperti angin topan itu. Perasaan orang Jepang menunjukkan sering terjadi
kedahsyatan seperti angin itu. Kedahsyatan perasaan tersebut tidak terus berlanjut tanpa
putus, melainkan hanya sesekali muncul bagaikan angin topan yang dahsyat di atas. Hal
serupa juga dipaparkan oleh Ishikawa (1997), keadaan alam seringkali berubah di
33
Jepang, hal ini banyak mempengaruhi kepekaan dan emosi dari orang Jepang.
Selanjutnya, memasuki bulan November hawa dingin mulai terasa di pagi dan sore
hari. Terakhir pada bulan Desember, ketika tekanan udara menjadi sangat rendah, dan
hawa dingin mulai menusuk, angin mengubah musim gugur menjadi musim dingin.
Haiku pertama pada larik ketiga berbunyi :
もちながら
Mochinagara
Terjemahan dalam bahasa Inggris oleh R. H. Blyth, (1982:926) :
The rain-drops
Terjemahan dalam bahasa Indonesia :
Menetes
Adapun larik kedua dan ketiga pada haiku pertama saling berkaitan, sehingga dalam
analisisnya, penulis akan menggabungkan kedua larik tersebut.
Larik kedua berbunyi : 梢は雨を Kozue wa ame wo Di ranting puncak pohon, hujan
Larik ketiga berbunyi : もちながら Mochinagara Menetes
Jika digabungkan, maka arti dari larik kedua dan ketiga adalah : Di ranting puncak pohon, hujan menetes
34
Pengertian hasil gabungan dari larik kedua dan ketiga adalah hujan yang menetes di
ranting puncak pohon. Menurut analisis penulis berdasarkan pendapat dari Wismono
(2002) mengenai perubahan warna daun dan pelepasan daun dari ranting pohon, serta
pendapat dari Shito (2005) yang menggambarkan salah satu ikon musim gugur adalah
hujan yang sering terjadi di musim gugur akibat angin dan kilat, menyebabkan air hujan
menetes di ranting puncak pohon. Sehingga jelaslah bahwa haiku karya Matsuo Basho
ini memang menggambarkan mengenai musim gugur, karena munculnya ikon yang
berkaitan dengan hujan, serta ranting pohon.
Oleh karena itu, menurut analisis penulis dengan berpegang pada rincian penjelasan
ikon-ikon musim gugur yang telah dijabarkan di atas, penulis menyimpulkan bahwa
ranting pohon yang daunnya telah gugur dan hujan merupakan salah satu ikon musim
gugur karena hubungan medan makna mulai dari perubahan warna daun di musim gugur,
daun yang gugur, hujan, kilat, badai, serta berubahnya suasana hati semuanya ada dan
terjadi pada musim gugur. Angin, kilat, dan badai yang kerap kali muncul akibat dari
terjadinya hujan dapat pula mengubah suasana hati menjadi melankolis, seperti
gambaran musim gugur bagi sebagian besar masyarakat Jepang pada umumnya yaitu
kemurungan atau kesedihan. Burung-burung yang pergi meninggalkan negeri, daun yang
berguguran, adalah gambaran yang paling sering digunakan sebagai gambaran musim
gugur. Suasana alam yang sepi, udara dingin dengan banyak hujan dan angin yang tidak
ramah membuat cuaca musim gugur sering digambarkan amat kelabu, sehingga
menyebabkan perubahan suasana hati yang sangat cepat berganti. Ada pula pikiran
tentang mati atau kematian yang sering terpanggil oleh angin musim gugur yang
menyayat hati dan segala aspek yang menjadi bagian dari musim ini. Analisis penulis
mengenai ikon musim gugur ini diperkuat oleh pendapat Oliver (2002:8-9) yang
35
mengatakan bahwa musim gugur adalah saat daun-daun berguguran, karena pepohonan
bersiap menghadapi musim dingin, dan ketika pepohonan tersebut berguguran tentunya
akan sangat dekat kaitannya dengan angin yang berhembus kencang. Angin adalah udara
yang bergerak. Angin bertiup karena udara terus menerus bergerak dari daerah yang
bertekanan tinggi ke daerah yang bertekanan rendah. Menurut salah satu teori, angina
dalam awan badai menyebabkan terjadinya kilat pada waktu hujan (Basset, 2006:34).
3.3 Analisis Haiku Kedua yang Dihubungkan dengan Musim Gugur
Bab ini akan penulis bagi menjadi tiga sub bab sesuai dengan jumlah larik pada haiku.
3.3.1 Analisis Haiku Bertemakan Musim Gugur yang Kedua pada Larik Pertama
Melalui Medan Makna
Larik pertama pada haiku kedua berbunyi :
霧時雨
Kirishigure
Terjemahan dalam bahasa Inggris oleh R. H. Blyth, (1982:920) :
In misty rain
Terjemahan dalam bahasa Indonesia :
Dalam hujan yang berkabut
Untuk menganalisis larik pertama pada haiku kedua ini, penulis akan menggunakan
analisis medan makna. Mula-mula penulis akan menggambarkan melalui bagan, setelah
itu akan diterangkan hubungannya satu persatu.
36
Tabel 3.5 Analisis Medan Makna Kirishigure (hujan yang berkabut)
Badai
Angin
Kilat
Sumber : Shito (2005)
Larik pertama dalam haiku kedua yang bertemakan musim gugur di atas, kata yang
digunakan adalah kata kirishigure. Menurut Shinmura (1992:718) dijelaskan bahwa
kirishigure yang dalam tulisan Jepang kirishigure (霧時雨 ) adalah kiri ga fukaku
kakattasama wo shigure ni mitateteiu go (霧が深くかかったさまを時雨に見立てて
いう語) yang artinya sebuah ungkapan untuk menggambarkan kabut tebal yang turun
ketika hujan. Dalam Matsuura dikatakan bahwa kabut hujan yang hanya sesaat selama
musim gugur.
Wismono (2002) menambahkan bahwa hujan juga dapat terjadi sebagai akibat dari
kerja sinar matahari. Sinar matahari yang jatuh di permukaan air laut akan menghasilkan
uap air. Uap air ini akan naik ke udara. Jika uap sudah terkumpul cukup banyak maka
terbentuklah awan. Selanjutnya, awan akan tertiup angin menuju ke daratan. Awan
inilah yang akan turun menjadi hujan. Selain itu mengenai angin, Wismono juga
berpendapat bahwa sinar matahari juga yang menyebabkan terjadinya angin. Udara di
daerah yang terkena sinar matahari akan menjadi lebih panas. Udara yang panas akan
menjadi ringan. Akibatnya, udara panas ini akan naik. Tempatnya akan digantikan oleh
udara yang lebih dingin dari tempat lain. Maka terjadilah angin. Sedangkan proses
terjadinya kabut yaitu ketika udara yang hangat dan ringan terbebani titik-titik air.
Kirishigure (hujan yang berkabut)
37
Dengan bantuan suhu dingin malam hari, titik-titik air pun membentuk awan rendah,
yang biasa disebut kabut. Berbeda dengan salju yang turun ketika suhu di permukaan
tanah mencapai sekitar nol derajat celcius, kabut sering terbentuk dipagi buta dan
kemudian menghilang saat hari menjadi makin siang.
Menurut Shito (2005), musim gugur di Jepang dimulai dari bulan September hingga
memasuki bulan Desember, yang merupakan musim badai hujan yang disertai angin
serta kilat akan sering terjadi. Selanjutnya, memasuki bulan November hawa dingin
mulai terasa di pagi dan sore hari. Terakhir pada bulan Desember, ketika tekanan udara
menjadi sangat rendah, dan hawa dingin mulai menusuk, sehingga mengubah musim
gugur menjadi musim dingin.
Jadi, dengan berpegang pada rincian penjelasan ikon ikon musim gugur yang telah
dijabarkan di atas, penulis menyimpulkan bahwa angin, badai dan kilat merupakan salah
satu ikon musim gugur karena hubungan medan makna yang terkait dengan kirishigure
atau hujan yang berkabut, yang semuanya ada dan terjadi pada musim gugur. Proses
terjadinya hujan diawali dari uap air yang berasal dari laut yang menguap karena sinar
matahari. Kumpulan dari uap air akan menjadi awan yang bertiup ke daratan dan
kemudian berubah menjadi tetesan air hujan. Sedangkan kabut terjadi akibat dari udara
yang terkena tetesan air hujan. Karena mengalami proses pendinginan dimalam hari,
kumpulan titik air tersebut membetuk awan rendah yang dapat bertahan hingga pagi buta
karena suhu udara yang masih dingin. Seiring dengan terbitnya matahari, kabut
perlahan-lahan menghilang dan menguap akibat terkena sinar matahari yang hangat.
Ketika musim gugur berlangsung, proses hujan yang berkabut ini sering kali terjadi
karena siklus cuaca yang konstan. Sinar matahari yang menyebabkan air laut menguap,
menyebabkan hujan yang mengakibatkan terjadinya badai, kilat, dan angin yang dingin.
38
Ketika hujan reda di malam hari, proses terbentuknya kabut dimulai, berlanjut hingga
esok pagi, dan hari-hari berikutnya. Pendapat penulis ini diperkuat oleh Wismono yang
menjelaskan mengenai proses terjadinya hujan, angin, dan kabut. Selain didukung oleh
pendapat Wismono, ada pula penjelasan lebih lanjut dari Harris (2006:10) mengenai
kilat yang menyebabkan hujan. Hal pertama yang terlintas ketika menyebutkan kata
hujan pastinya adalah kilat. Dari hujan tersebut akan terlihat kaitannya dengan angin,
badai, dan kabut, terutama pada permulaan musim gugur. Sedangkan mengenai kilat
yang dapat menyebabkan hujan, Harris menjelaskan bahwa kilat terjadi dari proses
pelepasan muatan listrik yang terjadi diantara awan-awan badai atau diantara awan dan
permukaan bumi, berlangsung pada saat udara lembab dan hangat dengan bantuan dari
angin. Sehingga jelaslah bahwa hubungan antara hujan, angin, kilat, dan badai sangat
berkaitan erat dan terhubung satu sama lain selama berlangsungnya musim gugur.
3.3.2 Analisis Haiku Bertemakan Musim Gugur yang Kedua pada Larik Kedua
dan Ketiga Melalui Medan Makna
Haiku kedua pada larik kedua berbunyi :
富士を見ぬ日ぞ
fuji wo minu hi zo
Terjemahan dalam bahasa Inggris oleh R. H. Blyth, (1982:920) :
mount fuji is veiled
Terjemahan dalam bahasa Indonesia :
Gunung Fuji diselubungi
Untuk menganalisis larik kedua pada haiku kedua ini, penulis akan menggunakan
39
analisis medan makna. Mula-mula penulis akan menggambarkan melalui bagan, setelah
itu akan menganalisis hubungannya satu persatu.
Tabel 3.6 Analisis Medan Makna Gunung Fuji (Fuji)
Sumber : Mason (1997) Larik pertama dalam haiku kedua yang bertemakan musim gugur di atas, kata yang
digunakan adalah kata Fuji. Menurut Shinmura (1992:446) dijelaskan bahwa Fuji yang
dalam tulisan Jepang Fuji (富士) adalah Fujisan (富士山) yang artinya Gunung Fuji.
Menurut Mason (1997:96-98) dalam bukunya yang berjudul A History of Japan,
interpretasi bangsa Jepang sejak zaman Heian abad 9 hingga abad 10, Fuji memiliki arti
abadi atau hidup abadi. Gunung Fuji yang diartikan sebagai keabadian digambarkan
melalui kokohnya Gunung Fuji yang sampai saat ini masih merupakan pegungungan
aktif. Beraneka ragam flora dan fauna di hutan Aokigahara yang berada di kawasan
Gunung Fuji pun senantiasa hidup dan terus berkembang. Maka, orang Jepang selalu
menggambarkan Gunung Fuji sebagai lambang keabadian.
Kindaichi dalam Mason (1997) meneliti bahwa terdapat sebuah perkembangan
fonetik (penggantian bunyi) dari cara penulisan Gunung Fuji. Nama Gunung Fuji telah
ditulis dalam berbagai cara sejak zaman dulu. Cara yang amat lazim digunakan bangsa
Keabadian
Suci
Keindahan
Perubahan warna daun
Waktu kumpul keluarga
Goraikou (melihat matahari terbit)
Fuji (Gunung Fuji)
40
Jepang adalah Fujisan (不二山 ), artinya gunung tinggi yang unik yang tidak ada
bandingannya. Ketika ditulis sebagai Fujisan (不尽山 ), diartikan sebagai puncak
gunung yang selalu diselimuti salju sepanjang tahun, atau mungkin karena ukurannya
yang besar, maka lebih ditekankan dalam arti tidak pernah berakhir (abadi). Ada pula
yang mengeja dengan huruf Sanreizan (三霊山) yang diartikan sebagai tiga gunung
keramat.
Selain itu menurut Noriyoshi (1996:37-40), orang Jepang percaya bahwa Gunung
Fuji merupakan tempat tinggal beberapa dewa dewi, karena gunungnya yang tinggi dan
dekat dengan langit atau surga. Karena itu, tempat wisata ini dianggap keramat dan suci.
Konon pada zaman dahulu, wanita sempat dilarang keras mendaki gunung, karena dewi
Gunung Fuji akan cemburu dan wanita dianggap akan menodai kesucian Gunung Fuji.
Selain dewa dewi Gunung Fuji yang dipercaya oleh masyarakat hidup di gunung
tersebut, ada pula makhluk yang dinamakan Sokou. Sokou merupakan makhluk dari
cerita mitologi Jepang, berwujud siput setengah ular yang memiliki empat ekor dan
diyakini oleh masyarakat Jepang tinggal di Gunung Fuji. Karena orang Jepang sangat
mempercayai keberadaan makhluk-makhluk seperti itu, maka mereka terus menjaga dan
melestarikan wilayah Gunung Fuji.
Pada periode Tokugawa (1603-1868) pendakian Gunung Fuji sebagai sebuah bentuk
dari pemujaan religius semakin menyebar ke masyarakat umum di Jepang. Pada masa ini
kecantikan dan keindahan Gunung Fuji dilukiskan ke dalam buku dan lukisan dengan
jumlah yang banyak. Salah satu yang terkenal yaitu “36 Pemandangan Gunung Fuji”
karya Katsushika Hokusai, dalam bentuk Ukiyo-e. Keindahan Gunung Fuji pun tertuang
di dalam puisi karya Yamabe no Akahito (700-736) yang terdapat dalam Manyoshu
41
yang dikatakan bahwa ketika sampai pada titik pemandangan terindah melewati
Tagonoura, munculah Gunung Fuji yang tertutup salju putih.
Menurut Ono (1992:55), nama gunung Fuji berasal dari bahasa suku Ainu yang
berarti hidup yang kekal. Gunung Fuji dengan bentuk kerucut yang anggun telah
menjadi terkenal di seluruh dunia dan dianggap sebagai simbol suci di Jepang. Beliau
juga menambahkana bahwa Gunung Fuji telah lama menjadi tempat praktek keagamaan.
Keberadaan gunung ini telah memberikan banyak pengaruh yang besar bagi kebudayaan
bangsa Jepang. Sepanjang sejarah seni sastra, gunung suci ini telah menjadi subjek puisi
dan lukisan yang sangat berharga. Sebagai bukti konkrit bahwa di Gunung Fuji
merupakan tempat ritual keagamaan, di puncak Gunung Fuji, terdapat sebuah jinja yang
bernama Fujisengen Taisha Okunomiya (富士浅間大社奥宮) yang dipercaya oleh
masyarakat Jepang merupakan tempat peristirahatan Dewi Konohana Sakuyahime.
Berasal dari nama jinja itulah, di Gunung Fuji terdapat aliran kepercayaan bernama
Sengen. Kesucian gunung ini sangat diperhatikan oleh pemeluk Sengen tersebut,
sehingga sebelum era Meiji wanita dilarang untuk mendaki Gunung Fuji. Karena dalam
kepercayaan Shinto wanita itu kotor, jika mendaki maka akan menodai kesucian Gunung
Fuji.
Haiku kedua pada larik ketiga berbunyi :
おもしろき
Omoshiroki
Terjemahan dalam bahasa Inggris oleh R. H. Blyth, (1982:926) :
A day of quiet gladness
42
Terjemahan dalam bahasa Indonesia :
Kegembiraan
Adapun larik kedua dan ketiga pada haiku kedua saling berkaitan, sehingga dalam
analisisnya, penulis akan menggabungkan kedua larik tersebut.
Pengertian dari gabungan antara larik kedua dan ketiga adalah Gunung Fuji
diselubungi kegembiraan. Menurut analisis penulis, pada musim gugur orang Jepang
sering kali datang ke Gunung Fuji untuk melihat keindahan perubahan warna daun di
hutan Aokigahara. Ditambah dengan bentuk kerucut anggun dari Gunung Fuji yang
indah, dan perpaduan warna daun yang menjadi kuning atau merah, semakin menambah
kegembiraan dari orang-orang yang datang berkunjung ke Gunung Fuji. Sehinga dalam
haiku ini, Matsuo Basho mengikut sertakan Gunung Fuji sebagai pelengkap ikon-ikon
musim gugur yang telah ada.
Oleh karena itu, dengan berpegang pada rincian penjelasan ikon ikon musim gugur
yang telah dijabarkan di atas, penulis menyimpulkan bahwa keabadian, kesucian,
keindahan, berubahnya warna daun, waktu berkumpul keluarga dan goraikou merupakan
salah satu ikon musim gugur karena hubungan medan makna yang terkait dengan
Larik kedua berbunyi : 富士を見ぬ日ぞ Fuji wo minu hi zo Gunung fuji diselubungi
Larik ketiga berbunyi : おもしろき Omoshiroki Kegembiraan
Jika digabungkan, maka arti dari larik kedua dan ketiga adalah : Gunung Fuji diselubungi kegembiraan
43
Gunung Fuji, yang semuanya ada dan terjadi pada musim gugur.
Menurut analisis penulis, sepanjang sejarah manusia selalu terpana oleh tinggi dan
besarnya gunung serta keindahan alam lainnya. Orang Jepang adalah salah satu
masyarakat yang sangat menghargai keberadaan alam, serta perubahan musim yang
terjadi di negara tersebut. Pendapat penulis ini didukung oleh Borja (1999:14) yang
mengatakan bahwa konsep pemikiran orang timur melihat manusia bukan sebagai
penguasa alam, melainkan merupakan bagian dari alam, sama halnya dengan unsur
unsur alam lainnya dan mereka hidup dengan cara saling berbagi dan berdampingan.
Selain itu, Suzuki dalam Avianti (2004:44) menambahkan bahwa bagi orang timur,
Jepang khususnya, alam bukan merupakan musuh yang harus dikuasai oleh kekuatan
manusia. sebaliknya, alam merupakan teman atau pendamping yang patut dipercaya,
kendati gempa bumi kerap melanda alam Jepang. Oleh sebab itu, pemikiran untuk
menaklukkan, yang mencerminkan permusuhan terhadap alam tidak menjadi karakter
budaya masyarakat Jepang.
Selanjutnya penulis menganalisis bahwa orang Jepang menganggap gunung adalah
tempat suci, tempat bersemayam dewa dewi. Seperti halnya dewa dewi orang Yunani
yang tinggal di gunung Olympus, orang Jepang menyakralkan Gunung Fuji. Bagi
sebagian besar masyarakat Jepang, musim gugur merupakan musim yang cocok untuk
berkumpul dengan keluarga dan makan bersama. Selain itu, ketika malam selama musim
gugur terasa sedikit lebih panjang, sehingga cocok sekali dimanfaatkan untuk melakukan
kebiasaan membaca buku-buku yang bermanfaat. Bukan menjadi hal aneh ketika banyak
orang-orang Jepang yang memanfaatkan waktu malam di musim gugurnya dengan
membaca buku, novel, dan lainnya. Pendapat penulis ini didukung oleh Shito (2005),
yang menyatakan bahwa karena kebiasaan masyarakat inilah, sehingga muncul istilah
44
seperti Shoku yoku no aki (食欲の秋) yang memiliki arti "selera makan musim gugur"
dan Dokusho no aki (読書の秋) yang memiliki arti "kebiasaan membaca di musim
gugur".
Selain kebiasaan makan dan membaca yang meningkat, orang-orang pergi ke gunung
untuk mencari pemandangan indah dan menikmati daun-daun pohon yang memerah atau
menguning. Ini merupakan kebiasaan orang Jepang, yaitu mementingkan perubahan
musim. Karena Gunung Fuji merupakan gunung yang dipenuhi dengan beragam flora
dan fauna, maka tidaklah mengherankan jika masyarakat datang ke Gunung Fuji untuk
melihat keindahan perubahan warna daun di gunung tersebut.
Menurut Ono (1992:64), sebagian besar masyarakat Jepang yang mendaki Gunung
Fuji secara manual maupun dengan menggunakan alat transportasi lainnya, menunggu
kesempatan untuk melihat langsung matahari terbit yang sangat indah dari puncak
Gunung Fuji. Pada pagi hari sekitar jam empat para pendaki dari seluruh penjuru
Gunung Fuji sudah berbaris, berlomba-lomba menuju tempat yang paling tinggi dan
menunggu terbitnya sang mentari. Ritual ini dikenal dengan istilah goraikou (ご来光),
dan pada dasarnya tujuan utama orang mendaki Gunung Fuji adalah untuk menyaksikan
keindahan goraikou. Orang jepang percaya bahwa dengan melihat matahari terbit yang
indah dari puncak Gunung Fuji, muncul semangat baru dalam menjalani kehidupan.
Oleh karena itu berdasarkan pada pendapat para ahli yang ada, penulis dapat
menyimpulkan bahwa penggabungan analisis pada larik kedua dan ketiga haiku kedua
yang bermakna Gunung Fuji diselubungi oleh kegembiraan tersebut, mengacu kepada
banyaknya masyarakat Jepang yang berkunjung ke Gunung Fuji saat musim gugur untuk
menyaksikan keindahan perubahan warna daun yang mulai berubah warna menjadi
45
coklat, kuning dan merah. Selain itu, imej atau gambaran yang muncul mengenai
Gunung Fuji adalah keabadian dari salju di puncak gunung, dan indahnya matahari terbit
yang tidak akan pernah hilang dari Gunung Fuji. Sehingga Gunung Fuji sering kali
dimaknai oleh masyarakat Jepang sebagai keabadian.
Tabel 3.7 Pembuktian Penggunaan Ikon Musim Gugur pada Dua Haiku Karya
Matsuo Basho
Haiku I
Tsuki hayashi
Kozue wa ame wo
Mochinagara
Haiku II
Kirishigure
Fuji wo minu hi zo
Omoshiroki
Sumber : Shito (2005) dan Johnny (1990)
Ikon musim gugur
Hujan
Angin
Kilat
Badai
Bulan
Daun berguguran
Panen dan perayaannya
Sesajen
Kebiasaan makan dan membaca
Berubahnya suasana hati
Perubahan warna daun
Hujan kabut
Waktu kumpul bersama keluarga
Recommended