View
221
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
15
15
BAB I
PENDAHULUAN Bagian ini menguraikan pokok-pokok pikiran seputar hubungan antara demokrasi
dengan pembangunan anggaran kehidupan beragama pasca Reformasi sebagai
pendahuluan. Pertanyaan kucinya apakah kebijakan anggaran kehidupan beragama di
Indonesia telah memenuhi prasyarat penganggaran yang demokratis dalam bingkai
“ twin toleration” menurut kerangka konseptual Alfred Stepan? Hal ini menjadi
penting untuk memahami model politik agama di Indonesia. Bab ini secara berurutan
menjelaskan seputar latar belakang permasalahan, batasan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, studi kepustakaan, kerangka teoritis dan metode penelitian serta
sistematika penulisan.
1.1 Latar Belakang Masalah
Fitur permanen demokrasi adalah kemajemukan. Maka isu utama dalam negara yang
demokratis adalah bagaimana mengelola kemajemukan tersebut? (Rawls, 2007:765).
Dalam kaitan dengan isu demokrasi, tidak bisa dipungkiri Indonesia adalah negara
berpenduduk muslim terbesar di dunia, sedang menuju demokratisasi yang lebih
mapan dan terkonsolidasi. Sebagai layaknya negara dalam kondisi transisi, Indonesia
dihadapkan dengan dua momen kritis (critical juncture). Satu sisi demokrasi
menyediakan ruang pertarungan bebas bagi setiap kekuatan politik untuk
mengekpresikan pandangan dan sikap politiknya, namun pada sisi lainnya, adanya
16
16
ancaman anarki demokrasi, disebabkan rasa frustasi terhadap berlikunya jalan
demokrasi. Antara lain munculnya kelompok anti demokrasi yang ingin mengambil
alih kekuasaan di luar prosedur demokrasi (Stepan, 2001:297; Fauzi, 2014:65).
Dalam konteks demokratisasi di Indonesia, meskipun bukan faktor utama,
agama-agama terutama Islam selalu memainkan peran besar dalam setiap tahapan
transisi tersebut. Robert W. Hefner menyebutkan bahwa Indonesia sejak berdirinya
tahun 1945, telah mengalami pertarungan sengit antara kelompok nasionalis non
agamis yang berkeinginan mengakomodasi banyak agama (“multiconfessional”),
dengan kelompok-kelompok Muslim yang menginginkan agamanya menjadi
“perkakas” negara untuk mewujudkan impian, guna menperteguh kesalehan Islami,
bagi sebagian masyarakat yang mengidentifikasi diri sebagai Muslim (Hefner,
2014:25).
Sementara itu, dalam perspektif demokrasi, keberagaman ekspresi, termasuk
dari kelompok Islam seperti yang disebut Hafner di atas, merupakan sesuatu yang
dijamin keabsahannya. Sehingga di dalam mengelola keberagaman ekspresi tersebut,
prinsip pokok yang harus dikembangkan adalah bagaimana negara melindungi dan
mengakomodasi hak-hak kelompok minoritas dalam konstitusi yang demokratis?
(Shachar, 1998:12). Minoritas dalam pengertian di sini bisa disebabkan karena faktor
agama, kelompok keyakinan, etnis, jenis kelamin termasuk perbedaan orientasi
seksual dan sebagainya. Oleh sebab itu agar kelompok-kelompok minoritas dapat
terlindungi dan terakomodasi kepentingannya, kelompok “mayoritas” tidak dapat
17
17
memaksakan kehendaknya menuntut perlakuan istimewa dari negara, atau yang oleh
Stepan disebut “privileged prerogatives” (Stepan, 2001:116; Hashemi, 2002:201).
Oleh karena itu di dalam demokrasi, pemerintah yang terpilih secara
demokratis harus memerintah secara konstitusional sehingga tidak ada kelompok-
kelompok yang terdominasi atau tersingkir atas desakan kelompok dominan (An-
Na’im, 2007:22). Tegasnya, dalam demokrasi setiap warga negara dengan berbagai
latar belakangnya, memiliki hak yang setara (equal) untuk berpendapat dan dalam
merencanakan kebijakan publik yang akan mempengaruhi kehidupan mereka.
Termasuk dalam konteks ini, kelompok-kelompok yang berbeda dapat diperlakukan
secara berbeda karena perbedaan identitasnya (Bagir, dkk, 2011:61). Itu sebabnya
institusi-institusi, baik pemerintah maupun non-pemerintah, seperti agama seharusnya
tidak memiliki keistimewaan dalam konstitusi untuk mendikte dan/atau memveto
keputusan yang telah dibuat oleh pemerintah yang dipemilih secara demokratis
(Stepan, 2001:116).
Dalam konteks inilah untuk merawat kemurnian demokrasi, negara harus
membangun jarak yang bermartabat terhadap agama-agama. Pentingnya negara
membangun jarak bermartabat terhadap agama-agama tersebut, oleh An-Na’im
disebut sebagai “the neutrality religion of the state” (An-Na’im, 2000:1). Pentingnya
menjaga jarak antara agama—negara, bukan dimaksudkan untuk meminggirkan
agama-agama dalam ruang privat atau melakukan pemisahan antara agama dan
negara secara ketat seperti dalam pengertian “sekulerisme klasik”. Netralitas negara
terhadap agama dimaksudkan agar antara negara dan agama dapat membangun jarak
18
18
yang berprinsip atau “principled distance” (Bhargava,2011:1). Dengan membangun
jarak berprinsip, antara negara dan agama tidak akan saling mengintervensi sekaligus
tidak akan mendiskriminasi disebabkan keberpihan terhadap satu agama atau
golongan. Jarak berprinsip atau principle distanced oleh Rajeev Bhargava disebut
dimaknasi sebagai jarak yang bermartabat, dimana antara agama dan negara saling
memiliki posisi tawar dalam mekanisme check and balance (Bhargava,2011:1;
Stepan, 2012:126: An-Na’im, 2011:1).
Pertanyaanya adalah, mengapa antara agama dan negara harus membangun
jarak berprinsip? Setidaknya ada dua alasan penting. Pertama, mendiskusikan
demokrasi tidak harus sekularisme dalam pengertian memisahkan antara agama
dengan negara. Sekularisme bukanlah hal yang intrinsik dalam demokrasi. Yang
intrinsik justru negara--agama harus membangun “twin toleration” atau toleransi
kembar (Stepan, 2000). Gagasan dasar dari twin toleration menurut Stepan
didefinisikan sebagai batas-batas minimal dan kebebasan bertindak bagi organisasi-
organisasi keagamaan (Stepan: 2000:37). Kedua, bahwa penyapihan agama—negara
secara ketat selain tidak diperlukan juga pada dasarnya akan ditolak oleh agama
apapun, terutama bagi negara-negara mayoritas Islam (An-Na’im, 2007:24).
Berkaitan erat dengan pentingnya negara membangun jarak berprinsip dalam
kerangka teori twin toleration, sebagai prasyarat menuju demokrasi yang lebih adil.
Penulis hendak menggunakannya sebagai alat peneropong kebijakan kehidupan
beragama di Indonesia pasca Reformasi, khususnya terkait kebijakan pengangaran
(budgeting) kehidupan beragama. Gagasan pokoknya adalah apakah kebijakan
19
19
anggaran kehidupan beragama di Indonesia telah memenuhi prasyarat penganggaran
yang demokratis dalam bingkai “twin toleration”? Hal ini menjadi penting untuk
memahami model politik agama beragama di Indonesia.
Sebagaimana menjadi pemahaman bersama, agama bagi masyarakat
Indonesia merupakan kenyataan yang sangat berpengaruh dalam kehidupannya, oleh
sebab karakteristik masyarakatnya yang “religius”, Pemerintah Indonesia sejak zaman
Kolonial, era Orde Lama dan Orde Baru maupun era Reformasi saat ini, telah
menyusun berbagai produk kebijakan terkait dengan kehidupan beragama termasuk
mendukung pendanaan bagi pengembangan aktivitas keagamaannya (Shihab,
1998:37). Dalam catatan Daniel Dhakidae misalnya, salah satu kebijakan pemerintah
Kolonial Belanda yang sangat penting adalah kebijakan di bidang agama, dan dari
semua kebijakan agama yang terpenting adalah kebijakan politik terhadap Islam yang
ia katakan sebagai “Islamic politicy” (Dhakidae, 2003:530).
Adapun bentuk kongkrit dari kebijakan politik agama pada masa kolonial
Belanda adalah dibentuknya Kantor Urusan Pribumi (Kantoor Voor Inlandsche
Zaken). Melalui kantor inilah semua kebijakan politik menyangkut relasi sosial
keagamaan dengan pribumi dikelola dengan sistematik dan modern, yang jejaknya
dapat dilihat hingga saat ini (Saidi, dkk, 2004:33-34). Di sini dapat dilihat bahwa
pemerintahan kolonial dalam Kantor Urusan Pribumi menjadikan Islam sebagai
perioritas perhatian.
Paska kemerdekaan menurut Dhakidae, baik Presiden Soekarno maupun
Soeharto masih melanjutkan kebijakan pemerintah Kolonial Belanda. Bahkan
20
20
Dhakidae menyebut Soekarno dan Soeharto sebagai “Hurgronjesian” (Dhakidae,
2003:531). Kebijakan kehidupan beragama pada dua rezim ini, dapat ditelusuri secara
genealogis dari pembentukan Kementerian Agama (Departemen Agama), yang
dikukukuhkan oleh pemerintah berdasarkan Ketetapan Pemerintah No. 1/SD/1946,
pada 2 Januari 1946 (Banawiratma,dkk., 2010:66). Dalam kaitan ini, Kementerian
Agama merupakan salah satu komponen dari penyelenggara pembangunan nasional
yang mempunyai tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) mengatur atau mengelola
kehidupan beragama di Indonesia. Pengaturan dan pengelolaan kehidupan beragama
tersebut, kemudian diturunkan menjadi program-program di bidang keagamaan di
Kementerian Agama, yang dijalankan pada unit satuan kerja setingkat eselon I dan II,
serta struktur yang berada di lingkungan Kementerian Agama sejak dari pusat ke
daerah-daerah.
Apa yang hendak dilakukan negara dalam menyusun dan/atau memproduksi
kebijakan kehidupan beragama melalui Kemenag? paling tidak ada dua isu pokok
pertama tugas dan fungsi administratif, termasuk fungsi ini negera melakukan politik
penertiban atau pendisiplinan. Kedua, agar umat beragama dapat meningkatkan
keimanan dan ketaqwaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam hal fungsi
administratif, oleh Deliar Noer dijelaskan bahwa negara menempatkan semua
persoalan agama hanya sebatas persoalan administratif keagamaan (Noer, 1983:155).
Namun demikian, termasuk dalam fungsi administrasi ini negara melalui
Kementerian Agama (Depatemen Agama) melakukan politik penertiban dan/atau
pendisplinan. Pada fungsi ini negara, membangun seperangkat alat penafsiran baku
21
21
untuk mendefinisikan agama yang tertib dan tidak tertib bahkan agama salah dan
tidak salah (Sutanto, 2011:73). Sehingga dalam konteks inilah negara telah
melakukan intervensi dalam pengerian melalui kebijakan politisasi kehidupan
beragama di Indonesia, agama menjadi arena kontestasi politik khsusnya perebutan
anggaran untuk kepentingan yang lebih besar bagi umat Islam (Saidi, dkk, 2004:39).
Sedangkan untuk fungsi kedua, negara memfasilitasi agama-agama untuk dapat
melaksanakan ajarannya masing-masing.
Dalam menjalankan dua fungsi tersebut, Kementerian Agama telah menyusun
anggaran kehidupan beragama di Indonesia. Tentang kontestasi penyusunan anggaran
kehidupan beragama tersebut, secara umum dapat dilihat lebih pada pos-pos
penganggaran yang diperuntukkan bagi kepentingan kelompok Islam. Sehingga tidak
berlebihan jika keberadaan kementerian ini menjadi sejenis “koorporasi imbalan”
terhadap kelompok Islam. Hal ini semakin menegaskan bahwa keberadaan Kemenag
memang tidak terlepas dari desakan kelompok “Islam politik” (Banawiratma, dkk.,
2010:66).
Model kebijakan tersebut, terus berlanjut pada era Reformasi, sebagaimana
dinyatakan dalam UU Program Pembangunan Nasional No 25 tahun 2000; Bahwa
pelayanan terhadap umat Islam akan tetap menjadi prioritas dalam kementerian
agama. Dalam hal ini Taufik Abdullah menjelaskan:
“70 persen aktivitas Kementerian Agama diperuntukkan bagi pelayanan umat Islam. Adapun hal-hal yang diurus oleh Kementerian Agama, tidak hanya menyangkut hubungan antar umat beragama, melainkan secara otonom mengelola lembaga pendidikan Islam dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi, termasuk juga pesantren” (Abdullah, dkk, 2002:431-455).
22
22
Kementerian Agama menjadi kementerian terbesar ketiga setelah Kemendagri
dan Kemendiknas, demikian juga dalam hal ini tentunya termasuk dalam hal
penganggaran (Abdullah, dkk, 2002:433). Penganggaran kehidupan beragama yang
dikelola oleh Kementerian Agama dari tahun-ketahun mengalami peningkatan yang
menunjukkan kepedulian yang tinggi dari negara terhadap agama di Indonesia.
Berdasarkan hasil renstra Kemenag yang tertuang dalam Surat Keputusan
Kemenag No. 2 tahun 2010 tentang Rencana Strategis Kementerian Agama tahun
2010-2014, jumlah anggaran terus mengalami peningkatan fantastis dalam siklus lima
tahun terakhir. Jika tahun anggaran 2005-2006 Kementerian Agama memperoleh
alokasi sebesar Rp.6.815.723.166.000,- (Enam triliun delapan ratus lima belas miliar
tujuh ratus dua puluh tiga juta seratus enam puluh enam ribu rupiah), pada tahun
2009 meningkat sangat tajam menjadi Rp.26.656.600.559.000,- (Dua puluh enam
triliun enam ratus lima puluh enam miliar enam ratus juta lima ratus lima puluh
sembilan ribu rupiah). Dan pada tahun 2013-2014 anggaran kementerian Agama
mengalami peningkatan menjadi Rp 49.582.490.347.000,- (Empat Puluh Sembilan
Trilyun Lima Ratus Delapan Puluh Dua Milyar Empat Ratus Sembilan Puluh Juta
Tiga Ratus Empat Puluh Tujuh Ribu Rupiah). Alokasi terakhir terdiri atas rupiah
murni Rp 47,752 triliun, PNBP Rp 390,568 miliar, BLU Rp 578,488 miliar, BLN Rp
480,530 triliun, dan Surat Berharga Syariah Negara Berbasis Proyek (SBSN PBS)
sebesar Rp 200 miliar (Koeswara & Margana, wawancara 25/042014).
Berdasarkan gambaran umum penganggaran kehidupan beragama tersebut di
atas, sekali lagi menunjukkan bahwa Indonesia betapa besarnya perhatian negara
23
23
terhadap agama. Dalam kaitan inilah barangkali Stepan menyebutkan bahwa
Indonesia seperti halnya India dan Senegal merupakan salah satu contoh negara yang
mampu membangun tidak saja dalam hubungan yang saling menghormati antara
agama dan negara (respect all), melainkan telah membangun model kerjasama yang
positif antara agama dan negara (positive cooperation). Namun persoalannya,
meninjam teori Stepan sendiri, menurut penulis kelompok Islam terkesan
mendapatkan perlakuan lebih istimewa dibandingkan dengan kelompok agama
lainnya. Sehingga dalam kajian ini juga akan dilihat apakah model penganggaran
kehidupan beragama di Indonesia telah benar-benar menunjukkan karakteristik
netralitas negara terhadap agama-agama.
Terkait dengan alokasi anggaran kehidupan yang menjadi monopoli
Kementerian Agama sebagaimana terurai di atas, studi ini akan lebih difokuskan pada
bagaimana kebijakan negara terhadap agama khususnya dalam hal penganggaran
kehidupan beragama di Indonesia pasca Reformasi? Kajian ini menjadi penting,
karena mencerminkan politik agama di Indonesia di dalam mengelola keberagaman
di Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
Sebagaimana telah disinggung sepintas pada bagian latar belakang masalah, bahwa
yang menjadi fokus dalam studi ini adalah kebijakan anggaran kehidupan beragama
khusunya yang berada dalam pengelolaan Kementerian Agama pasca Reformasi
dengan mengambil kasus tahun anggaran 2013-2014. Adapun yang menjadi bahan
24
24
pertimbangan antara lain: Pertama, secara esensi kebijakan dimaksud secara
konseptual menunjukkan tingkat akomodasi termasuk juga politik redistribusi
terhadap kelompok-kelompok agama menurut prinsip netralitas negara terhadap
agama-agama yang menjadi domain atau tupoksi Kementerian Agama. Kedua,
kebijakan tersebut berdampak luas dalam implementasinya di tingkat akar rumput
dalam berbagi ruang publik, utamanya dalam politik anggaran untuk saling
mempengaruhi kebijakan ditingkat lokal. Ketiga, keterbatasan sumber data anggaran
yang dapat diakses dari tahun-ketahun, sehingga tidak bicara secara runut dari tahun
1998 - 2013. Berangkat dari tiga pertimbangan tersebut, pertanyaan pokok dalam
penelitian yang dirumuskan adalah:
1.2.1 Bagaimanakah bentuk-bentuk akomodasi negara terhadap agama-agama
dalam penganggaran kehidupan beragama di Indonesia?
1.2.2 Apakah penganggaran untuk kehidupan beragama di Indonesia telah sesuai
dengan prinsip “respect all”, “ positive cooperation” dan “principled
distanced” dalam kerangka toleransi kembar (twin toleration)?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan pertama untuk mengetahui bentuk-bentuk akomodasi negara
terhadap agama-agama dalam hal penganggaran kehidupan agama di Indonesia.
Kedua untuk mengetahui kebijakaan anggaran yang sesuai dengan prinsip ”respect
all”, ” positive cooperation” dan ” principled distance” dalam kerangka toleransi
25
25
kembar (twin toleration) yang dibangun oleh Alfred Stepan dalam bingkai negara
demokrasi.
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan mampu berkonstribusi positif dalam
kajian “religious studies” terkait dengan gambaran tentang kebijakan anggaran
kehidupan beragama di Indonesia selama ini sekaligus gambaran tentang politik
kebijakan terkait dengan hubungan antara agama di Indonesia yang dijalankan oleh
pemerintah sebagai representasi negara. Hal ini sejalan dengan pemikiran bahwa
hubungan antara agama—negara saat ini tidak lagi pada tataran pemisahan atau
pengucilan agama dari ruang publik, namun lebih pada pentingnya mengakomodasi
setiap kelompok dalam prinsip penghormatan bagi semua, kerjasama yang positif dan
pembangunan jarak yang berprinsip.
1.4 Kajian Pustaka
Kajian tentang hubungan agama--- negara lebih ditekankan pada aspek pengaturan
hubungan antara mayoritas---minoritas atau hubungan antara agama---negara dan
warga negara secara umum serta dampak yang ditimbulkan di Indonesia. Kajian
tentang ini telah banyak dilakukan oleh sarjana dalam dan luar negeri baik pada era
Orde Lama, maupun Orde Baru dan sebagian kecilnya pada era Reformasi. Namun
menyangkut kebijakan penganggaran kehidupan beragama dalam masyarakat
majemuk untuk konteks Indonesia masih sangat sedikit dilakukan para peneliti
terutama dalam konteks Indonesia. Pada sisi lainnya, meskipun banyak sarjana di
26
26
Barat telah melakukan analisis hubungan agama---negara dalam kaitan akomodasi
negara termasuk menyangkut bantuan sosial keagamaan, namun masih sangat umum
dan tidak menelisik secara rinci sektor-sektor yang dibiayai. Disinilah studi kasus
anggaran kehidupan beragaman menjadi penting dan berguna.
Sehubungan dengan pikiran tersebut, untuk kepentingan teoritis, literatur
yang ada dan terbatas itu akan dibagi menjadi dua yaitu pertama, membahas seputar
kebijakan anggaran yang telah diproduksi oleh negara dalam mengelola anggaran.
Kedua, membahas bagaimana tingkat akomodasi negara terhadap kelompok-
kelompok agama dalam anggaran publik kehidupan beragama.
Secara esensi, dalam pengelolaan kehidupan agama yang majemuk
semestinya negara menyusun kebijakan yang mendorong kelompok mayoritas
mampu mengakomodir kepentingan kelompok minoritas sebagai bentuk akomodasi
negara terhadap kelompok ‘minoritas’, yang tidak saja seimbang tetapi juga
berkeadilan dalam hal ini. Charles Taylor menjelaskan “… the demand for
recognition is the basis for multicultural politics” (Taylor, 1994:25). Isu politik
rekognisi itu mengisyaratkan dua kewajiban penting yang harus dilakukan oleh
negara yakni (1) Negara harus mengakui hak setiap warga negara (2) Menghargai
kesetaraan hak ini juga termasuk dengan memperlakukan orang secara berbeda,
karena mungkin ia memiliki identitas dan kemampuan yang berbeda (Bagir,
2011:61).
Masih terkait dengan politik rekognisi yang di dalamnya mengisyaratkan
pengakuan dan penghargaan terhadap yang lain, pengakuan ini tak terbatas pada
27
27
toleransi, yang sekadar membiarkan yang lain hidup sendiri, melainkan menghargai
keberadaan kelompok lain yang berbeda dalam relasi antarkelompok. Dalam tataran
politik formal, rekognisi dilihat dari sejauhmana negara (pada tingkat nasional
maupun lokal) menghormati dan mengakui berbagai perbedaan dan keragaman dalam
masyarakat, baik yang menyangkut hak-hak sipil dan politik, maupun hak ekonomi,
sosial dan budaya. (Rahayu, 2011:66-67). Akomodasi seringkali menjadi salah satu
bentuk kebijakan yang diberikan kepada kelompok minoritas dalam negara mejemuk.
Namun dalam konteks Indonesia dijumpai fenomena cukup unik, akomodasi justru
diberikan kepada kelompok mayoritas, Muslim. Contoh: UU Peradilan Agama, UU
Zakat/wakaf, UU Haji bahkan UU Perbankan bahkan dalam hal penganggaran
kehidupan beragama yang memperlihatkan kecenderungan sektarianisme tertentu.
Bahkan kebijakan akomodatif yang terkesan berlebihan dapat dilihat bagaimana
kepala daerah di banyak daerah menyusun kebijakan bidang agama yang pada
dasarnya masih menjadi kewenangan pemerinta pusat (UU No. 32/2004) tentang
Pemerintahan Daerah. Di sinilah urgensi membicarakan akomodasi negara terhadap
agama-agama atau yang dalam bahasa Alfred Stepan sebagai respect all, positif
cooperation dan principled distance (Stepan, 2013:126-134).
Dalam kaitan inilah menjadi relevan melakukan kajian ulang bagaimana
semestinya hubungan antara negara dan warga negara yang majemuk dimaknai serta
relasi antara mayoritas dan minoritas dikelola. Stepan lebih mengedepankan agar
agama dan negara tidak saling mengintervensi, negara bisa secara bebas menjalankan
fungsi pemenuhan hak-hak setiap warga negara secara setara, pada saat yang sama
28
28
agama juga bisa menjalankan fungsinya tanpa harus dicurigai akan mengancam
demokrasi. Gagasan inilah yang kemudian dikenal sebagai twin toleration.
Berbeda dengan gagasan Stapen, Abdullahi Ahmed An-Na’im dalam bukunya
“ Islam and Secular State: Negotiating the Future Shari’a ”, menawarkan gagasan
netralitas negara terhadap agama-agama untuk menghindari terjadinya dikotomi yang
tajam antara pemenuhan hak mayoritas dan minoritas. Negara sekuler dalam
pemahaman An- Na’im lebih sebagai netralitas negara terhadap berbagai ajaran dan
doktrin agama. dengan netralitas negara, maka negara tidak akan menganakemaskan
satu bentuk doktrin agama tertentu. Dengan netralitas negara juga akan
memungkinkan hak-hak keagamaan setiap warga negara tidak akan terdikotomi
dalam nalar mayoritas–minoritas. Oleh sebab itu menurut An-Na’im untuk
membangun netralitas negara terhadap agama-agama pilihannya adalah memisahkan
kelembagaan antara negara dan agama. Pemisahan ini dimaksudkan untuk menjaga
hak setiap warga negara dan dapat menjalankan agamanya masing-masing secara
suka rela dan tanpa intervensi oleh tangan negara.
Hal ini ini menjadi penting, sebab tidak bisa dielakkan, ketika negara di dalam
membangun hubungan yang tidak netral, maka hubungan agama—negara, selain akan
menyebabkan terjadinya kecenderungan politik yang saling mengintervensi, tetapi
juga negara dan agama akan saling mengangkangi (Fauzi, 2011:1) . Adapun bentuk
lebih teknis dari intervensi agama terhadap negara atau sebaliknya ini adalah seperti
disampaikan oleh Robert W. Hefner. Hefner dalam artikelnya berjudul “Where Have
the All Abangan Gone?”, menjelaskan betapa kuatnya pengaruh kelompok-kelompok
29
29
keagamaan “sayap kanan”1 dari kelompok agama mayoritas dalam hal ini agama
Islam yang telah terlalu masuk dalam intervensinya terhadap negara dan
menginginkan penyatuan antara agama dan negara. Akibatnya terjadi apa yang oleh
banyak pakar sebut “religionization” atau agamaisasi, terhadap kelompok-kelompok
keyakinan dengan konsekuensi akan terabaikan hak-hak sipil kelompok keyakinan
yang tidak mengikuti nalar agama yang dipahami oleh kelompok “sayap kanan”
tersebut (Hafner, 2014:25-26). Implikasi intervensi Muslim tidak saja terhadap
kelompok keyakinan, namun juga dirasakan oleh kelompok-kelompok agama
minoritas dalam hal ini Hindu, Budha karena harus direifikasi2 menurut nalar
kegamaan mayoritas atau mainstream (Smith, 2004:87). Pada saat yang sama
intervensi agama mayoritas berdampak pada diskriminasi terhadap kelompok-
kelompok keyakinan non mainstream dalam mengekpresikan keyakinan agamanya.
Kecenderungan agama mayoritas mengintervensi dan atau politik saling
memanfaatkan anatar kelompok agama mayoritas dan negara yang berdampak sangat
diskriminatif berbasis keyakinan dan agama dalam konteks Indonesia, dapat juga
dilihat dalam tulisan Sasaki Takuo dalam artikel berjudul “The Politics of Moderat
Islam: From the Rise to the Ahmadiyah Decree”, Takuo menjelaskan bahwa budaya
politik tawar menawar kepentingan antara negara dan kelompok agama mayoritas dan
atau mainsteams, sebagai bentuk transformasi politik yang disebut sebagai “The
1Istilah Islam “Sayap Kanan” untuk membedakan dua kelompok Muslim di awal kemerdekaan yakni kelompok Islamis. Sementara kelompok Muslim lainnya yang lebih berhaluan secular dan nasionalis.
2Reifikasi adalah term yang digunakan oleh Wilfred Centwell Smith dalam “Memburu Makna Agama” yang diartikan sebagai “Sikap mental menjadikan religi menjadi suatu benda, secara bertahap akhirnya memahami sebagai suatu entitas obyektif dan sistematis”.
30
30
minimum Institusional Islamization”, menunjukkan bagaimana kecerdikan SBY
secara membangun jarak dengan MUI sebagai representasi pimpinan agama Islam”.
Namun pendapat Takuo ini cenderung tidak realities, sebab karakter kepemimpinan
SBY yang sesungguhnya sangat menguntungkan kelompok mainstream dengan
kecenderungan melakukan pembiaran terhadap sepak terjang MUI dan kelompok
agama mainstream dalam mendiskriminasi kelompok keyakinan menyebabkan
semakin suburnya praktek-praktek diskriminasi yang oleh Tresno Sutanto disebut
dengan “Politik Kesetaraan” yakni bahwa perkara jaminan terhadap prinsip
kesetaraan adalah perkara politik yang harus diperjuangkan melalui jalur dan
mekanisme politik, bukan pemberian cuma-cuma entah dari langit atau dari negara
(Sutanto, 2011:76). Dampak dari kebijakan dari hubungan negara dan agama yang
saling intervensi yang berdampak pada diskriminasi terhadap kelompok agama
minoritas dan keyakinan terutama dalam hal distribusi anggaran,
Rujukan literatur yang disebutkan sangat penting menjadi rujukan atas kajian
bagaimana semestinya hubungan agama---negara dibangun yang sensitive terhadap
hak-hak setiap warga negara tanpa diskriminatif. Sehingga di sinilah letak keunikan
penelitian ini dan yang membedakan penelitian ini dengan yang lain. Penulis
berpendapat, meskipun pembahasan “penyapihan” atau pemisahan secara ekstrim
antara agama dan negara, dimana agama tidak boleh berperan dalam ruang publik
sudah tidak lagi relevan juga akan sangat berpotensi menimbulkan berbagai masalah
baru yang lebih besar, namun tetap saja bahwa negara harus memiliki jarak yang
tegas atau berprinsip terhadap agama-agama.
31
31
Penelitian ini akan sangat penting selain untuk menjadi rujukan atas bentuk-
bentuk kebijakan penganggaran kehidupan beragama dalam konteks kemajemukan
agama di Indonesia, tetapi juga akan sangat berbeda dengan penelitian yang lain
disebabkan kajian ini secara spesifik melihat tingkat akomodasi negara terhadap
agama-agama dalam hal penganggaran bagi pengembangan kehidupan keagamaan.
Lebih dari itu kajian ini juga merupakan karya terobosan dalam “Religious Study”.
Banyak peneliti yang lebih fokus pada politik agama dalam domain yang lebih makro
seperti terorisme agama, teologi kontemporer dan sebagainya, namun jarang yang
mengaitkan dengan isu yang lebih menjadi rill tentang pertarungan seputar perebutan
sumber daya anggaran. Dalam konteks itulah studi ini memiliki keunggulan.
1.5 Kerangka Teori
Gagasan dasar dalam kajian ini adalah kebijakan publik penganggaran
kehidupan beragama dalam konteks masyarakat mejemuk yang seharusnya
mengakomodasi kepentingan individu atau organisasi keagamaan di bawah sistem
demokrasi. Secara teknis ada banyak model teori yang dapat digunakan untuk
melakukan analisis kebijakan publik. Namun prinsip umumnya bahwa sebuah analisis
kebijakan publik yang baik menurut Lester dan Stewart adalah model analisis yang
bertumpu pada perhatian politik dengan model pluralis dalam kerangka yang
demokratis (Winarno, 2012). Antara lain pendekatan yang oleh Laswell disebut
sebagai pendekatan “participatory policy science of democracy”. Menurut Harold D.
Laswell, yang bermaksud dengan pendekatan partisipatori ini berangkat dari asumsi
32
32
bahwa populasi warga negara yang dipengaruhi atau menerima dampak kebijakan
harus terlibat dalam perumusan dan implementasi kebijakan publik melalui
serangkaian dialog yang berkesinambungan.
Sehubungan analisis kebijakan anggaran dalam model pluralis dalam
kerangka demokratis, penulis tidak akan melihat analisis kebijakan secara teknis,
melainkan kebijakan terkait dengan pengelolaan keberagaman oleh negara demokrasi.
Maka untuk keperluan tersebut, penulis akan menggunakan teori pokok toleransi
kembar. Hal ini menjadi sangat penting utamanya untuk menghadirkan perbincangan
pengelolaan agama dalam ruang publik, termasuk mendiskusikan kembali hubungan
negara-agama yang lebih adil menjadi penting.
Dalam teori “twin toleration”, Stepan mengilustrasikan antara agama dan
negara sebagai dua menara kembar yang harus saling bertoleransi. Di bawah payung
toleransi kembar, pola hubungan antara agama dan negara dapat dirumuskan sesuai
dengan ruang dan waktu dan tidak saling mengangkangi dan/atau saling
menegasikan. Agama tidak boleh dicurigai akan merusak demokrasi sebagaimana
juga agama tidak perlu diistimewakan”, pada saat yang sama agama juga tidak akan
mengintervensi peran negara (Stepan, 2000:39). Selain itu, di bawah naungan payung
toleransi kembar itu pula, pola hubungan antara agama dan negara menjadi lebih
kongkrit dan bisa dirumuskan dalam ruang dan waktu, karena hubungan keduanya
tidaklah sakral, sehingga gagasan toleransi kembar antara agama dan negara mampu
melampaui gagasan pemisahan antara gereja dan negara sebagaimana yang terjadi
pada pengalaman negara-negara Barat abad pertengahan (Fauzi, 2011:2).
33
33
Gagasan “toleransi kembar” yang ditawarkan oleh Stepan sepertinya patut
dipertimbangkan dalam menjembatani antara sekularisme-demokrasi liberal dan
agama (Stepan, 2001:206). Toleransi kembar berwujud batasan-batasan minimal yang
mesti dikonstruksi di hadapan otoritas politik vis a vis otoritas keagamaan, dan
individu atau kelompok keagamaan vis a vis institusiinstitusi politik. Secara praktik,
ternyata rumusan teoretik yang menjembatani kebekuan hubungan antara demokrasi
liberal-sekularisme dan agama menemukan manifestasinya dalam masyarakat
Muslim. Praktik politik di negara-negara Islam pasca kolonial menampakkan wajah
buruk sekularisme. Ketika suatu regim menerapkan sekulerisme dalam masyarakat
Muslim, regim yang bersangkutan tampak menjadi sangat otoriter, dan
otoritarianisme regim ini sering didukung oleh kekuatan Barat yang memandang diri
sebagai sekuler dan demokratis.
Melalui “twin toleration” Stapen sedang menawarkan batasan yang tegas
yang harus dibuat dan dijalankan antara kebebasan pemerintah yang dipilih secara
demokratis dari tuntutan dan tekanan kelompok-kelompok agama pada satu sisi serta
kebebasan kelompok-kelompok agama dari pemerintah. Stepan menjelaskan:
“Wilayah otonomi kunci yang harus dimapankan bagi kebebasan beragama, dari
pemerintah atau agama-agama lain, adalah bahwa individu dan kelompok keagamaan
harus memiliki kebebasan penuh di dalam menjalankan ibadah keagamaan mereka
secara pribadi. Lebih dari itu; secara individu maupun kelompok, mereka juga harus
dimungkinkan untuk memperjuangkan nilai-nilai mereka secara public dalam
masyarakat sipil, dan untuk menyeponsori berbagai organisasi dan gerakan dalam
34
34
masyarakat politik, sejauh usaha mereka dalam memperjuangkan nilai-nilai ini tidak
berakibat negatif terhadap kebebasan warga negara lain, atau melanggar aturan-aturan
demokrasi dan hukum dengan cara-cara kekerasan” (Stepan: 2001.217).
Lebih jauh, terkait dengan bagaimana pengelolaan kehidupan masyarakat
yang majemuk, dalam teori Stepan mendefinisikan “twin toleration” sebagai batas
minimal demokrasi, dimana negara dapat menentukan kebijakan secara bebas tanpa
tekanan dari institusi atau kelompok manapun. Dan demokasi mensyaratkan adanya
konsep negara konsitusional yang menghormai kebebasan fundamental yang
melindungi hak-hak minoritas (Stepan, 2000:39). Sehingga negara-negara yang
berupaya membangun konsep “twin toleration”, biasanya memiliki ciri (1)
memberikan penghormatan yang sama terhadap kelompok mayoritas dan minoritas di
ruang publik, (2) adanya kerjasama yang baik antara negara dan agama, (3)
membangun jarak yang wajar terhadap kelompok mayoritas.
Dari gagasan Stepan tentang toleransi kembar ini kita dapat menangkap
substansi bahwa bicara demokrasi harus membahas tiga isu utama (1) Negara tingkat
nasional dan lokal harus mengakui dan menghormati berbagai perbedaan dan
keberagaman masyarakat sebagai warga negara yang setara. (2) Negara harus
menghadirkan aspirasi setiap warga dalam ranah publik. Representasi tidak sekedar
simbolik deskriptif melainkan bagaimana memperjuangkan kepentingan yang
diwakili secara substantif. Pada bagian ini demokrasi harus memberi ruang yang
sama bagi kelompok-kelompok yang berbeda mewarnai ruang publik. (3) Negara
harus melindungi kelompok-kelompok marginal dalam kerangka politik redistribusi.
35
35
Jika perlu melalui kebijakan afirmatif dengan cara subsidiaritas dan kemudahan akses
untuk kesejahteraan tidak saja yang sekelompok melainkan seluruh warga negara
(Bagir, dkk: 2011).
Apa yang ditawarkan oleh Stepan, mendapat dukungan dari penelitian
Jonathan Fox yang mengamati 152 negara berkenaan dengan keterlibatan
pemerintahan nasional dalam hal urusan agama. Fox menemukan bahwa perbedaan
mencolok antara negara demokrasi dan bukan demokrasi. Perbedaannya bukan
terletak pada pemisahan antara negara dan agama, namun lebih pada pembatasan
yang lebih ketat terhadap keterlibatan dalam urusan agama.
Untuk melihat model dan perkembangan sekuralisme, Fox melakukan
penelitian pada banyak negara kemudian melakukan perbandingan seperti yang juga
dilakukan Stepan. Dalam pengamatan Fox jika dilihat secara dikotomis, model
sekularisme Turki dan Prancis nampak serupa. Tapi dari perspektif kontinuum, model
Turki dan Prancis cukup kontras. Dibanding Prancis, Turki lebih ketat dalam
mengontrol agama dan lebih mendukung agama mayoritas. Memakai skor Fox, Turki
bahkan lebih ketat dalam mengontrol agama dibanding Aljazair, Tunisia, Maroko dan
Mesir yang otoritarian (Riset Fox terbit 2008).
Pemerintahan yang demokratis juga bisa punya agama resmi seperti terlihat di
negara-negara Skandinavia. Di antara negara-negara yang mempunyai agama resmi,
ada yang demokratis dan menghormati “toleransi kembar”-nya Stepan, tapi ada juga
yang tidak. Karena itu model ini juga tak bisa dilihat secara dikotomis (ada agama
resmi versus tidak ada agama resmi). Untuk mengukur pengaruh agama resmi
36
36
terhadap demokrasi dan kebebasan beragama individu, model agama resmi harus
dipandang sebagai kontinuum sejauh mana tingkat kontrol negara yang menerapkan
agama resmi. Dengan perbandingan ini, hasilnya berkisar dari yang paling longgar
kontrolnya yaitu Denmark dan Inggris sampai yang paling ketat kontrolnya yaitu Iran
dan Arab Saudi. Jelas bahwa sejumlah negara yang punya agama resmi tetap punya
demokrasi inklusif di mana hak minoritas dan mayoritas agama dihormati.
Dalam studi ini juga akan diperkaya dengan konsep netralitas negara terhadap
agama-agama yang dirumuskan oleh Abdullahi Ahmed An-Na’im. An-Naim
menjelaskan bahwa ciri utama dari negara demokrasi konstitusional adalah adanya
jaminan yang jelas terhadap kelompok-kelompok minoritas termasuk perlindungan
terhadap kemungkinan menjalankan agama dan keyakinannya itu. Oleh karenanya
konstitusi dibentuk untuk melindungi kelompok minoritas dari kesewenang-
wenangan atau tiranisme mayoritas. Lebih jauh UUD 1945 secara eksplisit
menyebutkan: “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut
agamanya, dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu” (pasal 29 ayat 2).
Pasal ini secara implisit juga memberikan jaminan atas hak pendirian rumah ibadah
termasuk penyediaan sarana dan pra-sarana peribadahan (Taylor, 2005:242).
Oleh sebab itu dengan landasan yang menurut An-Na’im sudah mendekati
kerangka ideal, yang perlu dipersoalkan bukan lagi pada tataran penyatuan antara
agama dan negara yang akan berdampak diskriminasi termasuk dalam hal
penganggaran atau pembiayaan kehidupan beragama oleh kelompok dominan,
melainkan bagaimana membangun hubungan yang ideal antra agama dan negara.
37
37
Akhirnya, dengan menggunakan kerangka teoritis twin toleration yang
dibangun oleh Alfred Stepan penulis akan menganalisis kebijakan publik dalam hal
penganggaran kehidupan beragama di Indonesia pasca Reformasi dan kemestian
negara mengelola kemajemukan sekaligus membangun basis hubungan antara
mayoritas dan minoritas menurut prinsip-prinsip keadilan.
1.6 Metode Penelitian
Penelitian tesis ini adalah penelitian kepustakaan tentang kebijakan anggaran
kehidupan beragama di Indonesia pasca Reformasi antara tahun 1998 - 2013, dalam
kerangka penelitian kualitatif, dimana pengambilan data dilakukan dengan cara
mengambil data yang bersumber dari literatur maupun menggunakan wawancara.
Maka rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.6.1 Analisis dokumen
Studi literatur/dokumen dilakukan untuk mengumpulkan data yang bersumber dari
arsip atau dokumen anggaran termasuk hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
serta dokumen hearing Kementerian Agama kepada Komisi VIII DPR RI atau bidang
penganggaran dan dokumen anggaran kehidupan beragama khususnya pada
Kementerian Agama termasuk dokumen anggaran Kementerian Agama yang telah
disetujui disepakati oleh Kementerian Keuangan. Studi litertur/dokumen dipilih
sangatlah bervariasi dari tahun-ketahun anggaran, maka data primer dalam penelitian
38
38
ini adalah naskah kebijakan terkait dengan kebijakan anggaran Indonesia yang
diproduksi oleh negara dengan mengambil satu sampel tahun anggaran.
Adapun dokumen anggaran yang akan dianalisis adalah anggaran
Kementerian Agama tahun 2013 – 2014 sebagai sampel pokoknya, yang telah
disepakati oleh Kementerian Keuangan dan yang telah disetujui oleh DPR RI
khususnya Komisi VIII. Dan untuk mengkonfirmasi anggaran yang ada akan
dicocokan dengan hasil audit BPK, buku putih Kementerian Agama serta dokumen
bantuan sosial keagamaan oleh Kementerian Agama RI.
1.6.2 Wawancara tidak terstruktur Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan dilakukan oleh
dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang
diwawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Moloeng,
2007:186). Wawancara dalam penelitian ini dipergunakan untuk mengadakan
komunikasi dengan pihak-pihak terkait yang memahami obyek penelitian dalam hal
ini dengan pihak pembuat anggaran atau kuasa pemegang anggaran. Data-data yang
telah terkumpul akan dianalisis menggunakan model analisis wacana untuk
menggambarkan bagaimana anggaran disusun.
Wawancara tidak terstruktur dilakukan kepada pejabat di Kementerian Agama
dan Kementerian Keuangan, termasuk juga lembaga non pemerintah (LSM) dalam
hal ini ICW untuk mengetahui cara pembacaan anggaran, klarifikasi beberapa pos
anggran, menemukan persentasi dan juga terkait dengan politik anggaran.
39
39
Hasil penelitian baik bersumber dari literatur maupun hasil wawancara tidak
terstruktur digunakan sebagai “starting point” dalam kajian teoritis mengenai model
demokrasi dalam pengelolaan kemajemukan sekaligus bagaimana seharusnya negara
dan kelompok mayoritas seharusnya mengakomodir kepentingan kelompok minoritas
yang lebih relevan dengan konteks ke-Indonesiaan, dengan mengacu gagasan teoritik
yang dibagun oleh Alfred Stepan tentang “twin toleration” yang akan diperkaya
dengan kerangka konseptual netralitas negara terhadap agama-agama oleh Abdullahi
Ahmed An-Na’im.
Namun demikian, penulis menyadari kelemahan dari studi analisis ini, antara
lain disebabkan pertama,bahwa kajian ini tidak menelisik secara lebih mendalam
tentang bagaimana pertarungan pembuatan kebijakan anggaran, melainkan sebatas
cerminan dari postur anggaran atau produk dari kebijakan anggaran itu sendiri.
Kedua, dengan latar belakang studi agama-agama secara lebih makro, kemudian
harus menelisik secara lebih mikro dalam kajian akuntansi tentang keterkaitan agama
dengan politik anggaran. Ketiga, keterbatasan data. Meskipun undang-undang
keterbukaan informasi telah dikeluarkan, namun untuk mendapatkan data secara
cepat dan menyeluruh ternyata tidaklah mudah, antara lain karena hambatan birokrasi
yang berbelit. Selain itu dalam mendapatkan data melalui wawancara, penulis tidak
bisa mewawancarai tokoh kuci setingkat eselon 2 apalagi eselon 1. Akibatnya penulis
kesulitan memperoleh data seputar kontestasi di tingkan pembuat kebijakan
(decession maker) dalam hal anggaran.
40
40
1.7 Sistematika Pembahasan
Kerangka sistematis dalam pemaparan penelitian ini dibagi dalam lima bagian.
Berikut penjelasan masing-masing bagian :
Bab I : Persoalan-persoalan yang berkaitan dengan kerangka acuan penulisan
tesis, yang meliputi; latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, kajian pustaka, kerangka teori, metode penelitian dan sistematika
pembahasan sebagai sub bagian terakhir.
Bab II : Kerangka teoritis dimensi demokrasi dalam anggaran publik di
Indonesia meliputi: esensi anggaran dan politik anggaran, konsep agent dalam
anggaran sektor publik dalam penganggaran, prinsip-prinsip anggaran berkeadilan
publik yang demokratis, batas-batas akomodasi negara terhadap anggaran kehidupan
beragama
Bab III : Kebijakan anggaran kehidupan beragama pasca reformasi meliputi
kilas balik sejarah penganggaran kehidupan beragama, filosofi penganggaran
kehidupan beragama dalam Kementerian Agama, bentuk-bentuk program keagamaan
yang dibiayai oleh negara dan politik bantuan sosial kementerian agama.
Bab IV : Analisis teoritis mengenai anggaran kehidupan beragama dan
kebijakan publik anggaran keagamaan dan kritik atas teori yang digunakan.
Bab V : Penutup yang berisikan kesimpulan dan saran-saran.
Recommended