View
22
Download
0
Category
Preview:
DESCRIPTION
bab i penyakit eritropapuloskuamosa
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit kulit dapat diobati dengan bermacam-macam cara ialah dengan:
a. Topical
b. Sistemik
c. Intralesi
Jika cara pengobatan diatas belum memadai, maka masih dapat dipergunakan cara-cara
lain yaitu
a. Radioterapi
b. Sinar ultraviolet
c. Pengobatan laser
d. Krioterapi
e. Bedah listrik
f. Bedah scalpel
Dengan adanya kemajuan-kemajuan yang pesat dalam bidang farmasi, maka pengobatan
penyakit kulit juga ikut berkembang pesat. Kemajuan dalam bidang pengobatan topical yang
berupa perubahan dari cara pengobatan non spesifik dan empiric menjadi pengobatan
spesifik dengan dasar yang rasional.
Kegunaan dari pengobatan topical didapat dari pengaruh fisik dan kimiawi obat-obat
yang diaplikasi diatas kulit yang sakit. Pengaruh fisik antara lain ialah mengeringkan,
membasahi (hidrasi), melembutkan, lubrikasi, mendinginkan, memanaskan dan melindungi
(proteksi) dari pengaruh buruk dari luar. Semua hal itu bermaksud untuk mengadakan
homeostasis yaitu mengembalikan kulit yang sakit dan jaringan sekitarnya ke keadaan
fisiologik stabil secepat-cepatnya. Disamping itu untuk menghilangkan gejala-gejala yang
mengganggu misalnya rasa gatal dan panas. Dalam jangka 20 tahun terakhir ini telah
dikembangkan preparat-preparat topical yang mempunyai khasiat kimiawi yang spesifik
terhadap organisme di kulit atau terhadap kulit itu sendiri.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Psoriasis
2.1.1 Definisi
Psoriasis ditandai dengan adanya hiperkeratosis dan penebalan lapisan epidermis yang
diikuti dengan peningkatan vaskularisasi dan infiltrasi sel radang ke dermis, akibat proses
tersebut maka tampak skuama, eritema dan indurasi.
Psoriasis merupakan sebuah penyakit autoimun kronik residif yang muncul pada kulit.
Penyakit ini tergolong dalam dermatosis eritroskuamosa dan bersifat kronik dan residif.
Penyakit ini menimbulkan warna kemerahan, plak bersisik muncul di kulit, disertai oleh
fenomena tetesan lilin, tanda Auspitz, dan Kobner. Psoriasis ini juga disebut dengan psoriasis
vulgaris. Psoriasis adalah peradangan menahun yang ditandai dengan plak eritematosa
dengan skuama lebar, kasar, berlapis dan putih seperti mika.
2.1.2 Epidemiologi
Psoriasis dapat terjadi secara universal, namun prevalensinya bervariasi tergantung
pada etnis dan demografis. Di Eropa kejadian tertinggi di Denmark (2.9 persen) dan Pulau
Faeroe (2.8 persen), dengan rata-rata untuk seluruh Eropa Utara adalah 2 persen. Di Amerika
Serikat, prevalensinya sekitar 2,2 persen hingga 2,6 persen dengan rata-rata 150.000 kasus
baru yang terdiagnosis setiap tahunnya. Di Jepang insidensinya sangat rendah (0,4 persen).
Namun pada suku Aborigin Australia dan Indian yang berasal dari Amerika Selatan psoriasis
tidak ditemukan.
Insidensi psoriasis pada Laki-laki dan perempuan adalah sama, walaupun dalam
beberapa studi dijumpai adanya deviasi yang minor. Beberapa studi telah dilaporkan bahwa
onset usia lebih awal pada perempuan, tapi ini tidak secara universal. Tidak ada bukti adanya
perbedaan morfologi psoriasis antara laki-laki dan perempuan.
Psoriasis dapat mengenai semua tingkatan usia. Namun yang paling sering timbul
untuk pertama kalinya pada usia antara 15-30 tahun dan jarang dijumpai pada usia dibawah
10 tahun. Penyakit ini cendrung menunjukkan manifestasi lebih awal pada pasien dengan
riwayat keluarga yang menderita psoriasis.
2.1.3 Etiologi dan patogenesis
Etiopatogenesis psoriasis secara pasti belum diketahui, namun teori yang ada
mengemukakan psoriasis merupakan penyakit autoimun yang ditandai adanya proliferasi
epidermal dan pembuluh kapiler akibat pelepasan sitokin oleh limfosit. Adanya mekanisme
genetik, metabolik dan imunologis yang dikombinasikan dengan faktor-faktor lingkungan
lainnya seperti stres, trauma, obesitas, infeksi, hormonal, alkohol, merokok, atau obat-obatan.
Pasien psoriasis seringdikaitkan dengan keterlibatan keluarga. Pada kembar identik memiliki
tingkat kesesuaian 56-70% dalam studi yang berbeda, namun kedua faktor genetik dan
lingkungan mempunyai pengaruh. Bukti lebih lanjut yang mendasari genetik memiliki
hubungan yang kuat antara psoriasis dengan Human leucocyte antigen (HLA)-Cw6. Namun
dengan HLA B13, B17 dan DR7 memiliki hubungan yang lemah. Hubungan HLA dengan
riwayat keluarga yang menderita psoriasis lebih sering terjadi sebelum usia 40 tahun.
Beberapa faktor lingkungan berperan dalam patogenesis psoriasis. Meskipun hanya
sebagian dari faktor tersebut yang tampaknya dapat memicu penyakit, sedangkan faktor
lainnya menyebabkan eksaserbasi atau modifikasi dari penyakit ini. Peran dari faktor
lingkungan pada psoriasis yang mungkin paling menentukan melalui kesesuaian penyakit
yang tidak sempurna dalam kembar monozigot.
Beberapa pasien psoriasis mengemukakan stres bisa menimbulkan flare atau serangan
pada penyakit ini. Stres dapat dipicu oleh keadaan-keadaan yang dialami pasien dalam
menghadapi ujian, kecelakaan, kekerasan seks dan kematian. Interval terjadinya stres sampai
timbulnya flare berkisar antara 2 hari sampai dengan 1 bulan.
Trauma pada kulit akan menginduksi psoriasis pada kulit yang non lesi. Beberapa tipe
cedera yang berbeda dapat menginduksi respon Koebnerpada psoriasis yang berasal dari
gesekan atau garukan pada kulit dan bahkan setelah terjadinya sunburn.
Infeksi saluran pernafasan atas, terutama oleh streptokokus, berhubungan dengan flare
penyakit, terutama tipe psoriasis gutata. Infeksi HIV sering memperburuk psoriasis. Asupan
rokok dan alkohol pada pasien psoriasis lebih tinggi daripada populasi umum. Namun hal ini
masih kontroversial, apakah karena rasa malu akibat psoriasis sehingga mengarah pada
kebiasaan mengkonsumsi rokok dan alkohol, atau karena rokok dan alkohol dapat memicu
atau memperburuk penyakit. Mungkin kedua hal tersebut dapat saja terjadi.
Faktor lainnya yang dapat mempengaruhi psoriasis adalah obat-obatan seperti lithium,
β-blocker, kloroquin, anti inflamasi non steriod, angiotensin-converting enzyme inhibitors
(ACEI)dan gemfibrozil, interferon α danϒ serta imiquimod. Namun mekanisme yang dapat
menyebabkan eksaserbasi belum diketahui, tetapi pada beberapa pasien tidak memberikan
efek terhadap penyakitnya. Oral kontrasepsi memperburuk penyakit pada beberapa pasien
dan membaik pada pasien yang lain.
2.1.4 Gejala klinis
Psoriasis merupakan penyakit eritropapuloskuamosa dengan gambaran morfologi,
distribusi serta derajat keparahan penyakit yang bervariasi. Lesi klasik psoriasis biasa berupa
plak berwarna kemerahan berbatas tegas dengan skuama tebal berlapis yang berwarna
keputihan pada permukaan lesi.Ukuran plak dapat bervariasi dari beberapa milimeter sampai
mengenai sebagian besar badan atau anggota gerak. Kulit yang terkena biasanya berbatas
tegas, sehingga mudah dibedakan dengan penyakit kulit lainnya. Permukaan plak biasanya
berskuama, dan dengan garukan yang lembut akan menyebabkan skuama terangkat sehingga
tampak adanya bintik-bintik perdarahan yang dikenal sebagai tanda Auspitz. Pengoresan
skuama dengan menggunakan pinggir gelas objek akan menyebabkan terjadinya perubahan
warna lebih putih seperti tetesan lilin.
Fenomena Koebner pada psoriasis dapat terjadi karena diinduksi oleh trauma (luka
bedah atau garukan buatan, abrasi atau luka bakar) yang terjadi pada daerah yang non lesi, ini
merupakan gambaran diagnostik yang membantu, namun tidak dijumpai pada semua pasien.
Reaksi Koebner biasanya terjadi 7-14 hari setelah trauma. Fenomena Koebner tidak spesifik
untuk psoriasis akan tetapi dapat membantu dalam menegakkan diagnosis.
Aktivitas psoriasis berfluktuasi berubah berdasarkan skala waktu bulan atau tahun dan
dapat melibatkan daerah yang lebih luas pada satu waktu dibandingkan yang lainnya. Remisi
yang lama dapat terjadi secara spontan atau mungkin disebabkan oleh pengobatan.
Selain dari presentasi klasik yang dipaparkan diatas terdapat beberapa tipe klinis
psoriasis. Psoriasis vulgaris merupakan gambaran paling sering dijumpai sekitar 90 persen
penderita, ditandai lesi dengan skuama berwarna keputihan, plak kemerahan berbentuk oval
atau bulat, berbatas tegas dengan distribusi yang simetris.
Psoriasis dapat mengenai semua bagian kulit, namun lokasi yang paling sering adalah
pada kulit kepala, badan, siku, lutut, betis, umbilikus, sakrum dan genitalia. Selain psoriasis
vulgaris, bentuk lain psoriasis yang dijumpai adalah psoriasis gutata (eruptif), psoriasis
pustular, psoriasis linier, psoriasis inversa (fleksura), psoriasis didaerah mukosa, psoriasis
kuku, psoriasis artritis, dan psoriasis eritroderma.
Gambar 1 Psoriasis
2.1.5 Diagnosis
Diagnosis psoriasis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan gambaran klinis lesi pada
kulit. Namun pada kasus-kasus tertentu dibutuhkan pemeriksaan penunjang seperti
pemeriksaan laboratorium darah dan biopsi histopatologi.
Pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk mengkonfirmasi suatu
psoriasis ialah biopsi kulit dengan menggunakan pewarnaan hematoksilin-eosin. Pada
umumnya tampak penebalan epidermis atau akantolisis serta elogasi rete ridges. Dapat
terjadi diferensiasi keratinosit yang ditandai dengan hilangnya stratum granulosum. Stratum
korneum juga mengalami penebalan dan terdapat retensi inti sel pada lapisan ini yang disebut
dengan parakeratosis. Tampak neutrofil dan limfosit yang bermigrasi dari dermis.
Sekumpulan neutrofil dapat membentuk mikroabses Munro. Pada dermis akan tampak tanda-
tanda inflamasi seperti hipervaskularisasi dan dilatasi serta edema papila dermis. Infiltrat
dermis terdiri dari neutrofil, makrofag, limfosit dan sel mast.
2.1.6 Penatalaksanaan
Penjelasan tentang penyakit, jenis obat yang dapat mengatasi dan tersedia di wilayah
kerja, efek samping obat-obatan. Kompromi pengobatan dengan pasien agar mendapat
kepatuhan yang tinggi
1. Psoriasis ringan bila luas lesi < 15% luas permukaan tubuh.
2. Terapi topikal:
a Pelembab: vaselin album, urea 10%
b Ter likuor karbonis detergen 5-10%, (untuk kulit dan skalp) dan asam salsilat 3%
tidak boleh untuk daerah lipatan
c Kortikosteroid poten-superpoten (tidak lebih dari 50gram/minggu), dalam waktu
kurang dari dua minggu), untuk daerah lipatan pakai kortiko-steroid lemah –
sedang tergantung ketebalan lesi.
d Antralin 2%
e Kalsipotriol (vitamin D3 analog) topikal
f Tazaroten
3. Lebih dari 15% atau bila rekalsitran
4. Fototerapi UVB, PUVA
Psoriasis berat
a. Fototerapi: UVB/PUVA
b. Pengobatan sistemik: metotreksat, asitretin, siklosporin,terapi biologi antara lain
infliximab, alefacept, etanercept dan efalizumab.
2.2 Ptiriasis rosea
2.2.1 Definisi
Pitriasis rosea ialah penyakit kulit yang belum diketahui penyebabnya dimulai dengan
sebuah lesi inisial berbentuk eritema dan skuama halus kemudian disusul oleh lesi-lesi yang
lebih kecil di badan lengan dan paha atas yang tersusun sesuai dengan lipatan kulit dan
biasanya menyembuh dalam waktu 3-8minggu.
2.2.2 Epidemiologi
Pitriasis rosea didapati pada semua umur terutama antara 15-40 tahun pada wanita dan
pria sama banyaknya.
2.2.3 Etiologi
Etiologinya belum diketahui, demikian pula cara infeksi, ada yang mengemukakan
hipotesis bahwa penyababnya virus karena penyakit ini merupakan penyakit swasima (self
limiting diasese) umumnya sembuh sendiri dalam waktu 3-8 minggu.
2.2.4 Gejala klinis
Gejala konstitusi pada umunya tidak terdapat, sebagian mengeluh gatal ringan. Pitiaris
berarti skuama halus. Penyakit dimulai dengan lesi pertama (herald patch), umumnya di
badan, solitar, berbentuk oval dan anular, diameternya kira-kira 3 cm. Ruam terdiri atas
eritema dan skuama halus dipinggir. Lamanya beberapa hari hingga beberapa minggu.
Lesi berikutnya timbul 4-10 hari setelah lesi pertama, memberi gambaran yang khas,
sama dengan lesi pertama hanya lebih kecil, susunannya sejajar dengan kosta,hingga
menyerupai pohon cemara terbalik. Lesi tersebut timbul serentak atau dalam beberapa hari.
Tempat predileksi pada badan, lengan atas bagian proksimal dan paha atas, sehingga seperti
pakaian renang wanita jaman dahulu.
Kecuali bentuk yang lazim berupa eritroskuama, pitiaris rosea dapat juga berbentuk
urtika, vesikel dan papul yang lebih sering terdapat pada anak-anak.
Lokalisasi dapat tersebar di seluruh tubuh, terutama pada tempat yang tertutup pakaian.
Eflorosensi/sifat-sifatnya yaitu macula eritroskuamosa anular dan solitary, bentuk lonjong
dengan tepi hampir tidak nyata meninggi dan bagian sentral bersisik, agak berkeringat.
Gambar 2 Pitriasis rosea
2.2.5 Diagnosis banding
Penyakit ini sering disangka jamur oleh penderita, juga oleh dokter umum sering
didiagnosis sebagai tinea korporis. Gambaran klinisnya memang mirip dengan tinea korporis
karena terdapat eritema dan skuama dipinggir dan bentuknya anular. Perbedaannya pada
pitriasis rosea, gatalnya tidak begitu berat seperti pada tinea korporis, skuamanya halus
sedangkan pada tinea korporis kasar. Pada tinea sedian KOH akan positif, hendaknya dicari
pula lesi inisial yang adakalanya masih ada. Jika telah tidak ada dapat ditanyakan kepada
penderita tentang lesi inisial. Sering lesi insial tersebut tidak seluruhnya eritematosa lagi,
tetapi bentuknya masih tampak oval sedangkan di tengahnya terlihat hipopigmentasi.
Selain itu, dermatitis seboroik yang biasanya gatal, lesi eritematosa difus yang ditutupi
skuama halus/kasar dan sifilis stadium II yang biasanya berupa eritema ditutupi oleh skuama
berwarna coklat tembaga.
2.2.6 Pengobatan
a. Sistemik : Anti gatal (antihistamin) seperti klortrime 3x1 tab.
Roborantia (vitamin B 12) 1000mg/hari.
b. Topikal : bedah kocok yang mengandung asam salisilat 2% atau mentol 1%.
2.3 Dermatitis seboroik
2.3.1 Definisi
Istilah dermatitis seboroik dipakai untuk golongan kelainan kulit yang didasari oleh
faktor konstitusi dan bertempat predileksi ditempat-tempat seboroik.
2.3.2 Etiopatogenesis
Penyebabnya belum diketahui pasti. Faktor predisposisinya ialah kelainan kontitusi
berupa status seboroik (seborrhoeic state) yang rupanya diturunkan, bagaimana caranya
belum dipastikan. Banyak percobaan telah dilakukan untuk menghubungkan penyakit ini
dengan infeksi oleh bakteri atau Pityrosporum ovale yang merupakan flora normal kulit
manusia. Pertumbuhan P. ovale yang berlebihan dapat mengakibatkan reaksi inflamasi, baik
akibat produk metabolitnya yang masuk kedalam epidermis maupun karena sel jamur itu
sendiri, melalui aktivasi sel limfosit T dan sel Langerhans. Status seboroik sering berasosiasi
dengan meningginya suseptibilitas terhadap infeksi piogenik tetapi tidak terbukti bahwa
mikroorganisme inilah yang menyebabkan dermatiti seboroik.
Dematitis seboroik berhubungan erat dengan keaktivan glandula sebsea. Glandula
tersebut aktif pada bayi yang baru lahir, kemudian menjadi tidak aktif selama 9-12 tahun
akibat stimulasi hormon androgen dari ibu berhenti. Dermatitis seboroik pada bayi terjadi
pada umur bulan-bulan pertama kemudian jarang usia sebelum akil balik dan insidensinya
mencapai puncaknya pada umur 18-40 tahun kadang-kadang pada umur tua dermatitis
seboroik lebih sering terjadi pada pria daripada wanita.
Meskipun kematangan kelenjar sebasea rupanya merupakan faktor timbulnya dermatitis
seboroik tetapi tidak ada hubungan langsung secara kuantitatif antara keaktivan kelenjar
tersebut dengan suseptibilitas untuk memperoleh dermatitis seboroik. Dermatitis seboroik
dapat diakibatkan oleh proliferasi epidermis yang meningkat seperti pada psoariasis. Hal ini
dapat menerangkan mengapa terapi dengan sitostatik dapat memperbaikinya. Pada orang
yang telah mempunyai faktor predisposisis timbulnya dermatitis seboroik dapat disebabkan
oleh faktor kelelahan, stress, emosional infeksi atau defisiensi imun.
2.3.3 Gejala klinis
Kelanan kulit terdiri atas eritema dan skuama yang berminyak dan agak kekuningan,
batasnya agak kurang tegas. Dermatitis seboroik yang ringan hanya mengenai kepala berupa
skuama yang halus, mulai sebagai bercak kecil yang kemudian mengenai seluruh kulit kepala
dengan skuama yang halus dan kasar. Kelainan tersebut disebut pitiaris sika ( ketombe,
dandruff). Bentuk yang berminyak disebur pitiaris steatoides yang dapat disertai eritema
dengan krusta yang tebal. Rambut pada tempat tersebut mempunyai kecenderungan rontok,
mulai dibagian verteks dan frontal.
Bentuk yang berat ditandai dengan adanya bercak-bercak yang berskuama dan
berminyak disertai eksudasi dan krusta tebal. Sering meluas kedahi, glabela, telinga
posaurikular dan leher. Pada daerah dahi tersebut, batasnya sering cembung.
Pada bentuk yang lebih berat lagi seluruh kepala tertutup oleh krusta-krusta yang kotor
dan berbau tidak sedap. Pada bayi skuama-skuama yang kekuningan dan kumpulan debris-
debris epitel yang lekat pada kulit kepala disebut cradle cap.
Pada daerah supraorbital, skuama-skuama halus dapat terlihat di alis mata, kulit
dibawahnya eritmatosa dan gatal disertai bercak-bercak skuama kekuningan dapat terjadi
pula blefaritis yakni pinggir kelopak mata merah disertai skuama-skuama halus.
Selain tempat-tempat tersebut dermatitis seboroik juga dapat mengenai liang teling
luar, lipatan nasolablal, daerah sterna, areola mamae, lipatan dibawah mamae pada wanita,
interskapular, umbilicus, lipat paha dan daerah kelainan dapat berupa papul-papul.
Dermatitis seboroik dapat bersama-sama dengan akne yang berat. Jika meluas dapat
menjadi eritroderma, pada bayi disebut penyakit Leiner.
Gambar 3 Cradle cap pada bayi
Gambar 4 Dermatitis seboroik pada wajah
2.3.4 Diagnosis banding
Gambaran klinis yang khas ialah skuama yang berminyak dan kekuningan serta
berlokasi ditempat-tempat seboroik. Psoariasis berbeda dengan dermatitis seboroik karena
terdapat skuama-skuama yang berlapis-lapis disertai tanda tetesan lilin dan Auspizt. Tempat
predileksinya juga berbeda jika psoariasis mengenai scalp sukar dibedakan dengan dermatitis
seboroik. Perbedaannya ialah skuama lebih tebal dan putih seperti mika, kelainan kulit juga
pada perbatasan wajah dan scalp dan tempat-tempat lain sesuai dengan tempat prediksinya.
Psoriasis inversa yang mengenai daerah fleksor juga dapat menyerupai dermatitis seboroik.
Pada lipatan paha dan perianal dapat menyerupai kandidosis pada kandidosis. Pada
kandidosis terdapat eritema berwarna merah cerah berbatas tegas dengan satelit-satelit
disekitarnya.
Selain itu juga tinea barbae yaitu pada daerah jenggot, berupa papula-papula
menyerupai folikulitis yang dalam dan tinea kapitis (favus) yaitu tampak bercak-bercak botak
dengan abses yang dalam, rambut putus-putus dan mudah dilepas.
Dermatitis seboroik yang menyerang saluran telinga luar mirio otomikosis dan otitis
eksterna. Pada otomikosis akan terlihat elemen jamur pada sediaan langsung sedangkan pada
otitis eksterna menyebabkan tanda-tanda radang, jika akut terdapat pus.
2.3.5 Pengobatan
Kasus-kasus yang telah mempunyai faktor konstitusi agar sukar disembuhkan,
meskipun penyakitnya dapat terkontrol faktor predisposisi hendaknya diperhatikan misalnya
stress emosional dan kurang tidur. Mengenai diet, dianjurkan miskin lemak.
Pengobatan sistemik
Kortikosteroid digunakan pada bentuk yang berat, dosis prednisone 20-30 mg
sehari. Jika telah perbaikan, dosis diturunkan perlahan-lahan. Jika disertai infeksi
sekunder diberi antibiotik.
Isotretinoin dapat digunakan pada kasus rekalsitran. Efeknya mengurangi aktivitas
kelenjar sebasea. Ukuran kelenjar tersebut dapat dikurangi sampai 90%, akibatnya
terjadi pengurangan produksi sebum. Dosisnya 0,1-0,3 mg per kg berat badan perhari,
perbaikan tampak setelah 4 minggu. Sesudah itu diberikan dosis pemeliharaan 5-10 mg
perhari selama beberapa tahun yang ternyata efektif untuk mengontrol penyakitnya.
Pada dermatitis seboroik yang parah juga dapat diobati dengan narrow band
UVB ( TL-01) yang cukup aman dan efektif. Setelah pemberian terapi 3x seminggu
selama 8 minggu, sebagian besar penderita mengalami perbaikan.
Bila pada sediaan langsung terdapat P.ovale yang banyak dapat diberikan
ketokonazol, dosisnya 200 mg per hari.
Pengobatan topical
Pada pitiaris sika dan oleosa, seminggu 2-3 kali scalp dikeramasi selama 5-
15menit misalnya dengan selenium sulfida (selsun). Jika terdapat skuama dan krusta
diberi emolien, misalnya krim urea 10%. Obat lain yang dapat dipakai untuk dermatitis
seboroik ialah:
a. Ter, misalnya likuor karbonas detergens 2-5% atau krim pragmatar.
b. Resorsin 1-3%
c. Sulfur praesipitatum 4-20% dapat digabung dengan asam salisilat 3-6%.
d. Kortikosteroid misalnya krim hidrokortison 2-0,5%. Pada kasus dengan
inflamasi yang berat dapat dipakai koertikosteroid yang lebih kuat misalnya
betametason valerat, jangan dipakai terlalu lama karena efek sampingnya.
e. Krim ketokonasol 2% dapat diaplikasikan, bila pada sediaan langsung terdapat
banyak P.ovale.
Obat-obat tersebut sebaiknya dipakai dalam krim.
2.4 Liken planus
2.4.1 Definisi
Liken planus ditandai timbulnya papul –papul yang mempunyai warna dan konfigurasi
yang khas. Papul-papul berwarna merah biru dan polygonal, berskuama dan berbentuk siku-
siku. Lokasinya di ekstremitas bagian fleksor, selaput lender dan alat kelamin yang sangat
gatal dan umumnya membaik dalam waktu 1-2 tahun.
2.4.2 Epidemiologi
Tidak ada perbedaan pada ras, jenis kelamin dan geografik, distribusi umur rata-rata
30-60 tahun.
2.4.3 Etiologi
Pada liken planus tidak terdapat peninggian immunoglobulin. Timbulnya liken planus
hampir dapat dipastikan karena faktor imunitas selular. Pada lesi ditemukan sel CD4 dan
CD8. Limfosit pada infiltrat umumnya ialah CD8, CD40R0 (memori) dan α-β T-sell
receptor (TcR) serta γ-8 receptor.
2.4.4 Gejala klinis
Biasanya gatal, umumnya setelah satu atau beberapa minggu sejak kelainan pertama
timbul diikuti oleh penyebaran lesi. Tempat predileksi kelainan pertama ialah pada
ekstremitas, dapat di ekstremitas bawah, tetapi yang lebih sering dibagian fleksor
pergelangan tangan atau lengan bawah, distribusinya simetrik. Terdapat fenomena Kobner
(isomorfik). Pada selaput lendir dapat terbentuk kelainan, tetapi tidak menimbulkan keluhan.
Kelainan yang khas terdiri atas papul yang poligonal, datar dan berkilat, kadang-kadang ada
cekungan di sentral (delle). Garis-garis anyaman berwarna putih ( strie Wickham ) dapat
dilihat pada permukaan papul.
Variasi bentuk dapat terjadi pada liken planus, dapat terjadi konfigurasi anular yang
terbentuk karena papul-papul membentuk lingkaran atau karena menghilang disentral dan
perluasan ke perifer. Konfigurasi ini sering terlihat pada glans penis dan dapat pula
berkokonfigurasi liniar atau zosteriformis.
Kelainan di mukosa sangat patognomonik letaknya di bukal, lidah, bibir dan seluruh
saluran gastrointestinal. Pada vagina dan vesika urinaria terdapat gambaran retikular serupa
jala yang terdiri atas garis-garis putih atau strie abu-abu. Kelainan mukosa terdapat pada 2/3
penderita liken planus. Pada alat kelamin 25% pria menunjukan kelainan pada penis terdiri
atas papul anular atau strie yang putih. Kelainan pada kuku sebanyak 10%. Pada kulit kepala,
papul yang folikular dapat menimbulkan alopesia bersikatriks.
Bentuk Morfologik
a. Hipertrofik
Terdiri atas plak yang verukosa berwarna merah coklat atau ungu terletak pada
daerah tulang kering.
b. Folikular
Kelainan terdiri atas papul seperti duri pada kulit, selaput lender dan kulit kepala
merupakan trias pada liken planopilaris. Kelainan pada kulit kepala sangat sulit
dibedakan dengan pseudopelade.
c. Vesikular dan bulosa
1. Kelainan kulit sedikit terdiri atas vesikel dan bula pada tempat-tempat bekas atau
sedang terdapat liken planus.
2. Bentuk yang jarang terjadi. Bula yang luas tiba-tiba timbul pada kulit yang
normal atau bekas lesi, diikuti oleh gejala-gejala konstitusi. Ada bentuk bula
dengan gejala ulserasi pada kaki, menyebabkan atoplesia bersikatriks dan
hilangnya kuku.
d. Erosif dan ulseratif
Dapat terjadi pada mukosa yang didahului oleh liken planus.
e. Atrofi
Jarang terdapat. Degenerasi maligna dapat terjadi beupa karsinoma epidermoid pada
mukosa karena iritasi yang menahun, trauma lokal dan pengobatsn dengan arsen atau
sinar X.
Pemeriksaan laboratorium
Jumlah leukosit dan limfosit menurun.
Histopatologi
Papul menunjukan penebalan lapisan granuloma, degenerasi mencair membarana
basalis dan sel basal. Terdapat pula infiltrasi seperti pita terdiri atas limfosit dan histosit pada
dermis bagian bawah yang tajam. Pelepasan epidermal kadang-kadang terlihat dan bila
bertambah akan berbentuk bula subepidermal. Strie Wickham mungkin ada hubungan
dengan bertambahnya aktivitas fokal liken planus dan tidak karena penebalan lapisan
granular. IgM dan fibrin terdapat pada dermis papilar pada lesi yang aktif.
Gambar 5 Liken planus
2.4.5 Diagnosis banding
Mengenai kelainan kulitnya dibedakan dengan psoariasis,granuloma anulare, nevus
unius lateris atau liken striatus. Kelainan mukosa dapat menyerupai leukoplakia, kandidosis,
lupus eritematosus, atau sifillis II. Jika pada alat kelamin hendaknya dibedakan
psoariasis ,dermatitis seboroika dan skabies. Liken planus bentuk hipertofi dibedakan dengan
neurodermitis atau amiloidosis.
2.4.6 Pengobatan
Kortikosteroid topikal dan sistemik dapat memperbaiki, bila perlu suntikan setempat atau
bebat oklusif dengan krim asam vitamin A ( asam retinoat) 0,05%. Obat topikal yang lain
ialah siklosporin, takrolimus dan pimekrolimus. Foto kemoterapi dapat menolong terutam
pada bentuk yang generalisata. Obat sistemik yang dapat dipakai ialah retinoid dan
imunosupresif (siklosporin, antimalaria).
2.5 Pitriasis rubra pilaris
2.5.1 Definisi
Pitriasis rubra pilaris ialah kelainan yang menahun dengan plak eritematosa, berskuama
dan papul keratotik folikular.
2.5.2 Etiologi dan Patogenesis
Penyakit ini herediter atau didapat, penyebab pasti belum diketahui. Bentuk yang
herediter mulai pada permulaan masa anak, dominan otosomal dan tidak disertai kelainan
sistemik, bentuk yang didapat mulai pada setiap umur dan tidak ada yang sakit seperti ini
dalam keluarganya. Diperkirakan salah satu etiologinya karena kekurangan vit A. dan
gangguan kinetik sel epidermis ( keratinisasi meningkat dan proliferasi sel epidermis).
Hiperkeratosis, parakeratosis disekeliling folikel, akantosis yang tidak teratur, lapisan
basal mengalami degenerasi mencair. Terdapat sebukan sel radang menahun pada dermis
bagian atas,terutama sekitar folikel rambut dan pembuluh darah superfisial.
2.5.3 Gejala klinis
Pada bentuk herediter meluasnya penyakit bertahap dan perlahan-lahan, sedangkan
bentuk yang didapat, meluasnya sangat cepat. Eritema dan skuama pada muka dan kulit
kepala umumnya terlihat terlebih dahulu, kemudian terjadi eritema dan penebalan ditelapak
tangan dan kaki. Papul folikular keratotil dikelilingi oleh eritema umumnya terdapat pada
dorsum jari tangan, siku dan pergelangan tangan. Kelainan tersebut dapat menyebar ketempat
lain sampai badan dapat diserang. Kelainan kulit berbatas tegas dan sering terlihat pulau-
pulau kulit normal. Eritema dan skuama dapat meluas keseluruh permukaan kulit. Rambut
dan gigi tidak menunjukan kelainan kecuali kuku, kuku menunjukan penebalan.
Bentuk herditer mempunyai kecenderungan untuk menetap seumur hidup. Bentuk yang
didapat mungkin mengalami remisi. Kelainan sistemik umumnya tidak terjadi, kecuali bila
kelainan sudah menyeluruh.
Gambar 6 Pitriasis rubra pilaris
2.5.4 Diagnosis banding
Frinoderma, keratosis folikularis Darier.
2.5.5 Pengobatan
Pengobtan topikal ialah obat keratolitik( asam salisilat, urea). Obat yang merupakan lini
pertama ialah retinoid (asitritin) 0,5-0,75 mg/kg berat badan. Obat yang lain ialah
metotreksat. Pengobatan topikal dengan asam salisil (3-20%) kemudian diberi salap
kortikosteroid dengan bebat oklusif bermanfaat. Dapat pula diobati dengan krim asam
retinoat 0,05%. Metotreksat dianjurkan karena mempunyai kemampuan menghambat sintesis
DNA dan pembelahan sel. Dosis 1,25 mg perhari intermiten 2x1 minggu. Sebagian kasus
memberi respons dengan fotokemoterapi (psoralen dengan fototerapi ultraviolet A).
.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Ruang Lingkup Penelitian
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
3.3 Jenis dan Rancangan Penelitian
3.4 Populasi dan Sampel Penelitian
3.4.1 Populasi Target
3.4.2 Populasi Terjangkau
3.4.3 Sampel Penelitian
3.4.2.1 Kriteria Inklusi
3.4.2.2 Kriteria Eksklusi
3.4.4 Cara Sampling
3.4.5 Besar Sampling
3.4.4.1 Besar Sampel
3.5 Variabel Penelitian
3.5.1 Variabel Bebas
3.5.2 Variabel Terikat
3.6 Definisi Operasional
3.7 Cara Pengumpulan Data
3.7.1 Bahan dan Alat
3.7.2 Prosedur Penelitian
3.8 Alur Penelitian
Skema 3.1 Alur Penelitian
3.9 Analisis Data
3.9.1 Pengolahan data
3.9.2 Analisis data
3.10 Etika Penelitian
3.11 Jadwal Penelitian
BAB IV
HASIL PENELITIAN
1.1 Gambaran Umum Karang Taruna Tunas Harapan Desa Bojong
a.
1.2 Karakteristik Responden
4.2.1. Analisis Univariat
a. Usia
b. Pendidikan
c. Pengetahuan
d. Sikap
e. Prestasi
4.2.2. Analisis Bivariat
a. Hubungan antara pengetahuan dan sikap remaja perokok aktif dengan
prestasi belajar
BAB V
PEMBAHASAN
5.1 Keterbatasan Penelitian
5.2 Hubungan Antara Variabel Bebas dan Variabel Terikat
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
6.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
Adolescents Health Risks And Solutions. 2014.World Health Organization.Diunduh pada
tanggal 6 Juni 2014.
Agustiani, Hendriati.2006.Psikologi Perkembangan.Bandung.Refika Aditama.
Alabama, Birmingham.2003. Patient’s Fact Sheet Smoking And Infertility .Human
Reproduction Journal.
Alamsyah, Rika Mayasari.2007.Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kebiasaan Merokok
Dan Hubungannya Dengan Status Penyakit Periodontal Remaja Di Kota Medan Tahun
2007.Skripsi.Sumatra Utara.Universitas Sumatra Utara.
Asolescents Health. 2008. World Health Organization .Diunduh pada tanggal 6 Juni 2014.
Bagus, Ida.2012. Analisis Tingkat Pengetahuan Remaja Tentang Perilaku Merokok Di Kota
Denpasar. Skripsi.Denpasar.Universitas Udayana
Fahrosi, Alfian. 2013.Perbedaan Tingkat Pengetahuan Tentang Bahaya Merokok Pada
Remaja SMP Di Pedesaan Dan Perkotaan Di Kabupaten Jember. Skripsi. Jember.
Universitas Jember.
Gender And Global Tobacco. 2007. World Health Organization .Diunduh pada tanggal 6 Juni
2014.
Health Effects Of Smoking Among Young People . 2014. World Health Organization .
Diunduh pada tanggal 6Juni 2014.
Hernowo.2007.Panduan Untuk Perokok.Jakarta.EGC.
Hurlock,Elizabeth B.2006.Psikologi Perkembangan.Jakarta.Erlangga.
Husaini,Iman.2007.Tobat Merokok.Depok.Pustaka Iman.
Kementerian Kesehatan R.I.2011.Penyakit Tidak Menular.Jakarta.Pusat Data Dan Informasi
Kesehatan.
Kementerian Kesehatan R.I. 2010. Riset Kesehatan Dasar.Jakarta.Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan.
Larasati.2014.Analysis Of Smoking Behaviour In Children.Skripsi.Lampung.Universitas
Lampung
Mubarak et al.2010.Kesehatan Remaja Problem Dan Solusinya. Jakarta. Salemba Medika.
Mutiara, Hastin.2010.Perbedaan Indeks Prestasi Antara Mahasiswa Merokok Dan Tidak
Merokok.Skripsi.Surakarta.Universitas Sebelas Maret
Nasution, S.2005.Berbagi Pendekatan Dalam Proses Belajar Dan Belajar.Jakarta.PT.Bumi
Aksara
Notoatmodjo, Soekidjo. 2007. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Jakarta. PT Rineka
Cipta.
Nuclisa, Beta.2010.Hubungan Tipe Kepribadian Dengan Sikap Remaja Pria Tentang
Merokok Di SMA Negeri 1 Surakarta.Skripsi.Surakarta.Universitas Sebelas Maret.
Nurlailah.2010.Hubungan Antara Persepsi Tentang Dampak Merokok Terhadap Kesehatan
Dengan Tipe Perilaku Merokok Mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.Skripsi.Jakarta.Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Pakaya, Siska.2013.Hubungan Pengetahuan Tentang Bahaya Merokok Dengan Perilaku
Merokok Pada Siswa SMP Negeri 1 Bulawa.Skripsi.Gorontalo.Universitas Negeri
Gorontalo
Price, Silvia & Lorraine M. Wilson. 2006.Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Jakarta : EGC.
Santrock, John W.2007.Remaja Edisi Kesebelas.Jakarta.Erlangga.
Sarwono, Sarlito W.2011.Psikologi Remaja.Jakarta.Rajagrafindo Persada.
Sastroasmoro, S. & Ismael, S. 2010. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta.
Binarupa Aksara.
Sastroasmoro, S. & Ismael, S. 2010. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta.
Binarupa Aksara.
Sukmadinata, Nana S.2003.Landasan Psikologi Proses Pendidikan.Bandung.PT.Remaja
Rosdakarya
Recommended