View
3
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi dan air wilayah Indonesia
adalah hak bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional. Pasal 33 ayat (2)
dan (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang untuk selanjutnya dalam penelitian ini
disebut “UUD 1945”, menyatakan bahwa : 1
(2) Cabang-cabang produksi yang paling penting bagi Negara dan menguasai
hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara.
(3) Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Sesuai dengan amanat Pasal 33 UUD 1945 tersebut, hak penguasaan atas
Minyak dan Gas Bumi yang untuk selanjutnya dalam penelitian ini disebut
“Migas”, berada pada Negara. Pelaksanaan hak dan penguasaan Negara khusus
untuk pertambangan Migas, disebut sebagai pengusahaan pertambangan Migas.
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, mengatur bahwa bumi dan air dan kekayaan
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Migas merupakan kekayaan alam
Indonesia sebagai salah satu sumber daya mineral yang tak terbaharui
(unrenewable), yang menempati posisi penting dalam pembangunan Negara dan
kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu Pemerintah sebagai Pemegang Kuasa
1 Pasal 33 ayat (2) dan (3), Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2
Pertambangan Migas wajib menentukan kebijakan dan melakukan pengusahaan
terhadap Migas untuk mencapai tujuan yang tercantum dalam Pasal 33 ayat (3)
UUD 1945.
Pada tahun 1951, Mohammad Hasan sebagai Ketua Komisi Perdagangan
dan Industri Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang untuk
selanjutnya dalam penelitian ini disebut “DPR-RI”, melakukan penelitian selama
beberapa bulan, hingga sampai pada dua kesimpulan yaitu : 2
1. Diyakini penuh, dengan berbagai alasan yang kuat, bahwa ladang-ladang
minyak di Sumatera Utara dapat dinasionalisasi dengan pembayaran ganti
rugi sedemikian rupa;
2. Indonesia tidak mendapatkan pembagian yang setimpal atas operasi
perusahaan minyak asing menurut perjanjian konsesi3 dan peraturan
perpajakan yang berlaku.
Berdasarkan kesimpulan tersebut, Mohammad Hasan mengajukan mosi yang
akhirnya disetujui dengan suara bulat pada Sidang DPR-RI tanggal 2 Agustus
1951. Dalam mosi tersebut, dimintakan kepada Pemerintah dalam jangka waktu
satu bulan sejak mosi disetujui untuk membentuk suatu Panitia Negara Urusan
Pertambangan yang ditugasi untuk : 4
2 H. Syaiful Bakhri, Hukum Migas; Telaah Penggunaan Hukum Pidana Dalam Perundang-
Undangan, (Yogyakarta : Total Media dan P3IH FHUMJ, 2012), hal. 28 3 Konsesi Pertambangan adalah izin atau wewenang yang diberikan oleh Pemerintah Hindia
Belanda kepada badan hukum atau perorangan untuk melakukan usaha pertambangan berdasarkan
asas domaniak beginsel (domein/milik Negara) dengan disertai kewenangan dapat melakukan
perjanjian dengan pihak lain yang bersifat campuran antara hukum publik dan privat (Adrian
Sutedi, Hukum Pertambangan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), hal. 82) 4 H. Syaiful Bakhri, Op. Cit., hal. 28-29
3
1. Secepat mungkin menyelidiki soal-soal tambang minyak, tambang timah,
tambang batu bara, tambang emas/perak, dan lain-lain di Indonesia;
2. Mempersiapkan rencana undang-undang pertambangan Indonesia yang
sesuai dengan keadaan saat ini;
3. Memberi pertimbangan kepada Pemerintah tentang sikap pemerintah
terhadap kedudukan status tambang minyak Sumatera Utara dan Cepu
pada khususnya, dan tambang minyak lainnya;
4. Memberi pertimbangan kepada Pemerintah tentang kedudukan status
tambang timah di Indonesia;
5. Memberi pertimbangan kepada Pemerintah tentang pajak cukai atas
bahan-bahan minyak dan penetapan harga minyak;
6. Mengajukan usul-usul lain tentang pertambangan yang menguntungkan
Negara;
7. Harus menyelesaikan laporannya dalam waktu selambat-lambatnya tiga
bulan dan menyampaikannya kepada Pemerintah dan Perwakilan Rakyat.
Selain itu, Panitia Negara Urusan Pertambangan juga ditugasi untuk mendesak
Pemerintah untuk menunda pemberian semua konsesi pertambangan maupun
perpanjangan izin yang sudah habis masa berlakunya sampai Panitia Negara
Urusan Pertambangan memberikan rekomendasinya.5
Sebagai tindak lanjut dari hasil kajian Panitia Negara Urusan
Pertambangan, maka sistem konsesi dalam pengusahaan pertambangan tidak lagi
digunakan karena dinilai memberikan hak yang terlalu luas dan terlalu kuat bagi
5 Ibid, hal. 29
4
Pemegang Konsesi, sehingga kemudian diganti dengan Kuasa Pertambangan.
Pengusahaan pertambangan Migas dilakukan oleh Negara dan dilaksanakan hanya
oleh Perusahaan Negara. Hal ini tertuang di dalam Undang-Undang No. 37 Prp.6
Tahun 1960 Tentang Pertambangan, sebagai pengganti “Indische Mijn Wet”, dan
Undang-Undang No. 44 Prp. Tahun 1960 Tentang Pertambangan Minyak dan Gas
Bumi. Selanjutnya pengelolaan Migas Indonesia dilakukan oleh Kementerian
Keuangan dengan kewenangan menunjuk Kontraktor untuk melaksanakan
pekerjaan yang belum atau tidak dapat dilaksanakan oleh Perusahaan Negara.
Konsekuensinya semua Pemegang Konsesi Pertambangan Migas yaitu Shell,
Stanvac, dan Caltex pada saat itu beralih menjadi Kontraktor Perusahaan Negara.7
Kemudian juga terjadi perubahan dalam Perusahaan Pertambangan
Negara.8 NV
9 Nederlandsche Indische Aardolie Maatschappij (NV NIAM) yang
dimiliki oleh Pemerintah dan Shell, yang telah diubah menjadi PT PERMINDO
pada tanggal 1 Januari 1959, berakhir sesuai dengan akta pendiriannya pada
tanggal 13 Desember 1960. Kemudian dibentuklah Perusahaan Negara
Pertambangan Minyak Indonesia (PT PERTAMIN) untuk menggantikan PT
PERMINDO berdasarkan Undang-Undang No. 19 Prp. Tahun 1960 Tentang
Perusahaan Negara, dan Undang-Undang No. 44 Prp. Tahun 1960. Menyusul
pada tanggal 10 Desember 1957, PT TMSU di Sumatera Utara juga diubah
6 Prp. adalah singkatan dari Perpu atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, yang
ditetapkan oleh Presiden dalam keadaan yang mendesak atau memaksa 7 Rahman Agil, “Menilik Sejarah Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) Migas
Indonesia”, <http://redfox69.wordpress.com/2011/04/01/menilik-sejarah-kontrak-bagi-hasil-
production-sharing-contract-migas-indonesia/>, diakses 15 Februrari 2012 8 H. Syaiful Bakhri, Op. Cit., hal. 31-33
9 NV (Naamloze Vennootschap) adalah jenis badan hukum persekutuan usaha Perseroan Terbatas
yang dipakai pada zaman pemerintahan Hindia Belanda
5
menjadi PT Perusahaan Minyak Nasional (PT PERMINA), yang kemudian sejak
tanggal 1 Juli 1961 menjadi PN10
PERMINA berdasarkan Peraturan Pemerintah
No. 198 Tahun 1961. Pada pertengahan tahun 1960-an seluruh aset perminyakan
dan gas bumi yang sudah terikat Kontrak Karya11
dikuasai oleh Negara yang
pengelolaannya dilakukan melalui Perusahaan Negara yaitu PN PERTAMIN, PN
PERMINA, dan PN PERMIGAN. Pada tanggal 4 Januari 1966, berdasarkan Surat
Keputusan Menteri Urusan Minyak dan Gas Bumi No. 6/M/Migas/66, seluruh
aset perusahaan PN PERMIGAN diserahkan kepada Departemen Urusan Migas.
Selanjutnya lapangan dan pabrik PN PERMIGAN yang berada di Cepu,
dimanfaatkan sebagai pusat pendidikan yang kemudian dikenal dengan Akademi
Minyak dan Gas Bumi (AKAMIGAS), sedangkan fasilitas pemasaran diserahkan
kepada PN PERTAMIN dan fasilitas produksi diserahkan kepada PN PERMINA.
Kemudian PN PERTAMIN dan PN PERMINA dilebur menjadi PN
PERTAMINA atas dasar Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1968 Tentang
Pendirian Perusahaan Negara Pertambangan Minyak Dan Gas Bumi Nasional (PN
PERTAMINA). Kemudian pada tanggal 15 September 1971 didirikanlah
Perusahaan Pertambangan Migas Negara (PERTAMINA) sebagai pengganti PN
PERTAMINA berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 Tentang
Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, sebagai satu-satunya
Perusahaan Negara pemegang Kuasa Pertambangan Migas di Indonesia.
10
PN (Perusahaan Negara) adalah badan hukum usaha yang dimiliki oleh Negara 11
Kontrak Karya adalah suatu perjanjian pengusahaan pertambangan antara Pemerintah Republik
Indonesia dengan perusahaan swasta asing, patungan perusahaan asing dengan perusahaan dalam
Negeri, dan perusahaan swasta dalam Negeri untuk melaksanakan usaha pertambangan di luar
Migas (Adrian Sutedi, Op. Cit., hal. 221)
6
PERTAMINA mengemban tugas sebagai pelaksana pengusahaan
pertambangan Migas. PERTAMINA juga mendapatkan Kuasa Pertambangan
Migas yang meliputi Eksplorasi, Eksploitasi, Pemurnian dan Pengolahan,
Pengangkutan serta Penjualan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1971 Tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, PERTAMINA
dapat mengadakan kerjasama dengan pihak lain dalam bentuk Kontrak Bagi Hasil
yang untuk selanjutnya dalam penelitian ini disebut “KBH”, dengan syarat
tertentu dan berlaku setelah disetujui oleh Presiden untuk kemudian diberitahukan
kepada DPR-RI. Syarat-syarat dalam kerjasama tersebut, harus diusahakan
sebagai syarat yang paling menguntungkan bagi Negara.
Pada tanggal 23 November 2001, disahkanlah Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi yang untuk selanjutnya dalam
penelitian ini disebut “UU Migas”, karena Undang Undang Nomor 44 Prp. Tahun
1960 dipandang sudah tidak sesuai dengan perkembangan usaha pertambangan
Migas baik dalam taraf nasional maupun internasional. Dengan berlakunya UU
Migas, maka sesuai dengan Pasal 66 ayat (1) UU Migas terdapat ketentuan yang
dinyatakan tidak berlaku lagi, yaitu :12
1. Undang-Undang No. 44 Prp. Tahun 1960 Tentang Pertambangan Minyak
dan Gas Bumi;
2. Undang-Undang No. 15 Tahun 1962 Tentang Penetapan PERPU No. 2
Tahun 1962 Tentang Kewajiban Perusahaan Minyak Memenuhi
Kebutuhan Dalam Negeri;
12
Pasal 66 ayat (1), Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak
dan Gas Bumi
7
3. Undang-Undang No. 8 Tahun 1971 Tentang Perusahaan Pertambangan
Minyak dan Gas Bumi Negara, berikut segala perubahannya, terakhir
dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1974.
4. Segala peraturan pelaksanaan Undang-Undang No. 44 Prp. Tahun 1960,
dan Undang-Undang No. 8 Tahun 1971.
Namun, sesuai dengan Pasal 66 ayat (2) UU Migas, segala peraturan pelaksanaan
dari Undang-Undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960 Tentang Pertambangan Minyak
dan Gas Bumi (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 133, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 2070) dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 Tentang
Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Lembaran Negara
Tahun 1971 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2971) dinyatakan
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan
baru berdasarkan UU Migas tersebut.13
Konsekuensi dari lahirnya UU Migas ini adalah, berubahnya status hukum
PERTAMINA menjadi PT PERTAMINA (PERSERO) yang untuk selanjutnya
dalam penelitian ini disebut “PT PERTAMINA”, pada tanggal 17 September
2003, dan Pemerintah sebagai Pemegang Kuasa Pertambangan Migas.
Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) dan (2) UU Migas, yang menyatakan bahwa : 14
(1) Minyak dan Gas Bumi sebagai sumber daya alam strategis tak terbarukan
yang terkandung di dalam Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia
merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh Negara.
13
Pasal 66 ayat (2), Ibid 14
Pasal 4 ayat (1) dan (2), Ibid
8
(2) Penguasaan oleh Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diselenggarakan oleh Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan.
Berdasarkan Pasal 4 ayat (3) UU Migas, Pemerintah sebagai pemegang
Kuasa Pertambangan Migas, membentuk Badan Pelaksana, yang dikenal sebagai
Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi yang untuk
selanjutnya dalam penelitian ini disebut “BP Migas”. Kemudian dalam Pasal 1
angka 5 UU Migas, menyebutkan bahwa “Kuasa Pertambangan adalah wewenang
yang diberikan Negara kepada Pemerintah untuk menyelenggarakan kegiatan
Eksplorasi dan Eksploitasi”.15
Pasal 1 angka 23 UU Migas, menyebutkan bahwa
“Badan Pelaksana adalah merupakan suatu badan yang dibentuk untuk melakukan
pengendalian Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi”.16
Di sinilah letak perbedaannya dengan Undang-Undang No. 44 Prp. Tahun
1960, dimana yang memegang Kuasa Pertambangan Migas adalah Perusahaan
Negara, yaitu PERTAMINA, sedangkan pada UU Migas, yang memegang Kuasa
Pertambangan Migas adalah Pemerintah, dengan membentuk BP Migas sebagai
badan yang melakukan pengendalian Kegiatan Usaha Hulu Migas.
Konsekuensi yang kedua, berdasarkan Undang-Undang No. 44 Prp. Tahun
1960, kegiatan usaha Migas itu mencakup hulu dan hilir, tetapi berdasarkan UU
Migas, kegiatan usaha Migas dipisahkan antara usaha hulu dan hilir. Untuk hulu
dibentuk BP Migas sedangkan untuk hilir dibentuk Badan Pengatur Hilir (BPH
Migas). Dengan kata lain PERTAMINA sebagai Badan Usaha Milik Negara
15
Pasal 1 angka 5, Ibid 16
Pasal 1 angka 23, Ibid
9
(BUMN) memiliki posisi yang sama dengan Kontraktor Migas lainnya, di bawah
BP Migas dan BPH Migas.
Berdasarkan Pasal 4 ayat (3) UU Migas, Pemerintah sebagai pemegang
Kuasa Pertambangan Migas membentuk Badan Pelaksana yaitu Badan yang
dibentuk untuk melakukan kegiatan pengendalian di bidang Kegiatan Usaha Hulu
Migas, yaitu BP Migas. Kegiatan Usaha Hulu Migas itu sendiri menurut Pasal 6
ayat (1) UU Migas, dilaksanakan dan dikendalikan melalui Kontrak Kerja Sama
yang untuk selanjutnya dalam penelitian ini disebut “KKS”.17
Pembentukan BP Migas, adalah melalui Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 42 Tahun 2002 Tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu
Minyak dan Gas Bumi. Dengan demikian, apabila suatu Badan Usaha hendak
mengadakan kerja sama dalam Kegiatan Usaha Hulu Migas, akan berhubungan
dengan Ditjen Migas dan BP Migas. Berdasarkan Pasal 11 Peraturan Pemerintah
Nomor 42 Tahun 2002 Tentang BP Migas, salah satu tugas BP Migas adalah
melaksanakan penandatanganan Kontrak Kerja Sama dengan Badan Usaha.18
Pengusahaan Migas di Indonesia terdiri dari dua kegiatan, yaitu Kegiatan
Usaha Hulu yang mencakup Eksplorasi19
dan Eksploitasi20
serta Kegiatan Usaha
Hilir yang mencakup pengolahan, pengangkutan, penyimpanan, dan niaga.
17
Pasal 6 ayat (1), Ibid 18
Pasal 11 huruf b, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2002 Tentang
Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi 19
Eksplorasi adalah kegiatan yang bertujuan memperoleh informasi mengenai kondisi geologi
untuk menemukan dan memperoleh perkiraan cadangan Minyak dan Gas Bumi di Wilayah Kerja
yang ditentukan (Pasal 1 angka 8, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2001
Tentang Minyak dan Gas Bumi) 20
Eksploitasi adalah rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan Minyak dan Gas
Bumi dari Wilayah Kerja yang ditentukan, yang terdiri atas pengeboran dan penyelesaian sumur,
pembangunan sarana pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan untuk pemisahan dan
pemurnian Minyak dan Gas Bumi di lapangan serta kegiatan lain yang mendukungnya (Pasal 1
angka 9, Ibid)
10
Kegiatan Usaha Hulu, merupakan kegiatan usaha yang berintikan atau bertumpu
pada kegiatan usaha Eksplorasi dan kegiatan usaha Eksploitasi. Kegiatan usaha
hulu dilaksanakan dan dikendalikan melalui KKS.21
Menurut Pasal 1 angka 19
UU Migas, “Kontrak Kerja Sama, adalah Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kontrak
kerja sama lain dalam kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi yang lebih
menguntungkan Negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat”.22
Kegiatan Usaha Hulu dilaksanakan berdasarkan KKS,
yang dimana menurut Pasal 6 ayat (2) UU Migas, paling sedikit memuat : 23
1. Kepemilikan sumber daya alam tetap di tangan Pemerintah sampai pada
titik penyerahan;
2. Pengendalian manajemen operasi berada pada Badan Pelaksana;
3. Modal dan Resiko seluruhnya ditanggung Badan Usaha atau Badan Usaha
Tetap.
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 19 UU Migas, bahwa KKS
adalah KBH, atau bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan Eksplorasi dan
Eksploitasi yang lebih menguntungkan Negara dan hasilnya dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, maka Pemerintah membuat peraturan
mengenai Pembagian Hasil Produksi Migas yang menguntungkan bagi Negara
yang ditetapkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral yang untuk
selanjutnya dalam penelitian ini disebut “Menteri ESDM” melalui Keputusan
Menteri ESDM. Perhitungan mengenai pembagian hasil produksi Migas diatur
21
Sie Infokum Ditama Binbangkum, Mengenal Kontrak Kerja Sama (KKS) Migas di Indonesia,
hal. 1 22
Pasal 1 angka 19, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak
dan Gas Bumi 23
Pasal 6 ayat (2), Ibid
11
dalam Pasal 24 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 79 Tahun 2010
Tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak
Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi yang untuk selanjutnya
dalam penelitian ini disebut “PP Cost Recovery & PPh”.
Salah satu perusahaan asing yang telah mengadakan Kontrak Kerja Sama
Eksplorasi dan Eksploitasi Migas dengan BP Migas di Indonesia dan masih
berjalan sampai saat ini adalah PT Chevron Pacific Indonesia yang berkedudukan
di Indonesia, dan merupakan anak perusahaan dari Chevron Corporation yang
berkedudukan di California, Amerika Serikat.
Sejarah PT Chevron Pacific Indonesia di Indonesia24
berawal di tahun
1924 dengan berdirinya Standard Oil Company Of California (SOCAL). Survey
eksplorasi diawali di pulau Sumatra, Jawa Timur dan Kalimantan Timur yang
dimulai pada tahun 1924 dipimpin oleh Emerson M. Butterworth dengan
mengadakan pengeboran minyak di daerah tersebut. Tim Butterworth juga
melakukan survey eksplorasi di bagian utara pulau Papua dan terhenti karena
Indonesia masih dibawah penjajahan Hindia Belanda. Pada tahun 1930, tim
tersebut mengajukan izin pengeboran minyak kepada Pemerintah Hindia Belanda
untuk mengajukan pengeboran minyak di pulau-pulau tersebut, karena
berdasarkan survey mereka menunjukkan bahwa daerah tersebut memiliki
kandungan minyak yang cukup potensial. Pada tahun yang sama, Pemerintah
Hindia Belanda memberikan izin kepada SOCAL untuk melanjutkan
24
Yulyanti_TK_PCR, “Info : Sejarah Singkat PT. Chevron Pacific Indonesia | Sejarah PT.
Chevron Pacific Indonesia | Sejarah PT. CPI | Sejarah”,
<http://cheatlinknote.blogspot.com/2011/09/info-sejarah-singkat-pt-chevron-pacific.html>, diakses
15 Februari 2012
12
eksplorasinya di daerah Sumatra Tengah dan dibentuklah NV Nederlanche Pacifik
Petroleum Maatchappij (NPPM) pada bulan Juni 1930.
Pada tahun 1935, SOCAL ditawari pemerintah Hindia Belanda suatu
daerah seluas 600.000 hektar di daerah Sumatra Tengah. Kemudian pada bulan
Juli 1936 SOCAL dan TEXAS Company (TEXACO) yang merupakan dua
perusahaan besar Amerika itu bergabung menjadi California Texas Petroleum
Corporation (CALTEX). Pengeboran minyak di kawasan Riau dimulai pada tahun
1934, namun cadangan minyak yang pertama kali ditemukan NPPM terdapat di
lapangan Sebanga pada bulan Agustus 1940. Kemudian berturut-turut pada bulan
berukutnya ditemukan kembali cadangan-cadangan minyak yang baru antara lain
di lapangan Rantau Bais dan di lapangan Duri pada bulan November 1941.
Pada saat perang dunia ke-2 kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak
oleh NPPM di Riau dihentikan. Semua ladang minyak NPPM di daerah itu
diduduki dan dikuasai oleh tentara Jepang. Pada tahun 1944 Jepang juga
menemukan ladang minyak di Minas yang terbukti memiliki potensi sebagai
penghasil minyak terbesar di dunia. NPPM menghentikan seluruh kegiatannya di
Indonesia sampai masa perang kemerdekaan. NPPM mulai aktif kembali
melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi setelah perang kemerdekaan usai.
Pada tahun 1950-an NPPM berubah nama menjadi Caltex Pacific Oil
Company (CPOC) dan telah menanamkan modalnya lebih dari 50 juta Dollar
Amerika di Indonesia. Berdasarkan Undang-Undang No. 44 Prp. Tahun 1960,
ditetapkan bahwa semua kegiatan penambangan Migas di Indonesia hanya
dilakukan oleh PERTAMINA.
13
Pada tahun 1963, CPOC berubah nama menjadi Caltex Pacific Company
(CPC) dan menjadi Kontraktor untuk PERTAMINA. Kemudian pada tahun 1970-
an CPC berubah nama menjadi PT Caltex Pacific Indonesia. Pada bulan
September 1963, diadakanlah Kontrak Karya antara PERTAMINA dengan PT
Caltex Pacific Indonesia yang antara lain isinya menyatakan bahwa wilayah PT
Caltex Pacific Indonesia adalah wilayah yang disebut dengan Kangaroo Block25
dengan luas 9.030 km2.
Pada tahun 1968, diadakan penambahan luas wilayah, yaitu sekitar Minas
Tenggara, Libo Tenggara, Libo Barat dan Sebanga, sehingga luas wilayah kerja
PT Caltex Pacific Indonesia seluruhnya menjadi 9.898 km2. Kemudian kontrak
karya yang berakhir pada tanggal 28 Agustus 1983 diperpanjang menjadi KBH
sampai tanggal 8 Agustus 2001 dengan wilayah kerja seluas 31.700 km2. Dalam
KBH tersebut antara lain menetapkan bahwa PERTAMINA adalah pengendali
manajemen operasional dan harus menyetujui program kerja dan anggaran
tahunan.
Pada tahun 2005, CALTEX, sebagai anak perusahaan CHEVRON dan
TEXACO diakuisisi oleh CHEVRON bersama dengan TEXACO dan UNOCAL,
maka resmi nama PT Caltex Pacific Indonesia berubah menjadi PT Chevron
Pacific Indonesia yang untuk selanjutnya dalam penelitian ini disebut “PT CPI”.
PT CPI sebagai Kontraktor berkewajiban melaksanakan kegiatan
operasional, menyediakan keahlian teknis, dana investasi, serta biaya operasi, dan
menyerahkan 25% (dua puluh lima persen) dari bagiannya kepada Negara untuk
25
Disebut dengan Kangaroo Block, karena bentuknya pada peta yang menyerupai hewan kangguru
14
pemenuhan kebutuhan dalam Negeri. Perbandingan pembagian hasil Kegiatan
Usaha Hulu Migas untuk KBH tersebut adalah sebesar 88% (delapan puluh
delapan persen) untuk PERTAMINA dan 12% (dua belas persen) untuk PT CPI
ditambah dengan ketentuan khusus lainnya berupa insentif bagi PT CPI untuk hal-
hal tertentu. Kemudian berdasarkan UU Migas, pemegang Kuasa Pertambangan
Migas di Indonesia adalah Pemerintah dengan membentuk BP Migas, dengan
demikian KBH tersebut beralih dari PERTAMINA kepada BP Migas dengan
KKS baru antara BP Migas dengan PT CPI pada tahun 2001.
Dari uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian
hukum mengenai : Tinjauan Yuridis Terhadap Pelaksanaan Pembagian Hasil
Produksi dalam Kontrak Kerja Sama antara BP Migas dengan PT Chevron Pacific
Indonesia.
Alasan mengapa penulis ingin mengadakan penelitian hukum mengenai
hal tersebut di atas adalah untuk mengetahui apakah pelaksanaan prinsip
pembagian hasil produksi dalam KKS antara BP Migas dengan PT CPI sudah
dilaksanakan dengan baik, dan untuk mengetahui seberapa besar timbal balik
yang diberikan oleh PT CPI kepada Negara dan rakyat Indonesia yang telah
memberikan kepercayaan dan kesempatan kepada PT CPI sebagai Kontraktor
KKS Migas untuk melaksanakan kegiatan usaha hulu Migas di Indonesia, dan
bagaimana prospek ke depannya bagi masa depan Negara dan rakyat Indonesia.
15
1.2 Rumusan Masalah
Atas dasar latar belakang masalah tersebut, maka timbul beberapa pokok
permasalahan, yaitu :
1. Bagaimana pelaksanaan prinsip pembagian hasil produksi dalam Kontrak
Kerja Sama antara BP Migas dengan PT Chevron Pacific Indonesia?
2. Bagaimana pelaksanaan pembagian hasil produksi dalam Kontrak Kerja
Sama antara BP Migas dengan PT Chevron Pacific Indonesia menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari dilakukannya penelitian hukum ini adalah untuk :
1. Menelusuri dan menemukan, serta menganalisis secara jelas mengenai
pelaksanaan prinsip pembagian hasil produksi dalam Kontrak Kerja Sama
antara BP Migas dengan PT Chevron Pacific Indonesia.
2. Menelusuri dan menemukan, serta menganalisis secara jelas mengenai
pelaksanaan pembagian hasil produksi dalam Kontrak Kerja Sama antara
BP Migas dengan PT Chevron Pacific Indonesia menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku saat ini.
16
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian yang akan dilakukan penulis dalam pembuatan skripsi hukum
ini mempunyai dua manfaat, yaitu :
1. Manfaat Teoritis : penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat
bagi ilmu pengetahuan pada umumnya, dan ilmu hukum mengenai
pembagian hasil produksi dalam Kontrak Kerja Sama Eksplorasi dan
Eksploitasi Minyak dan Gas Bumi pada khususnya.
2. Manfaat Praktis : penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran bagi para pihak yang terlibat atau terkait dengan pembagian
hasil produksi dalam Kontrak Kerja Sama Eksplorasi dan Eksploitasi
Minyak dan Gas Bumi, baik Pemerintah, Badan Usaha, maupun
masyarakat pada umumnya, serta praktisi hukum pada khususnya.
1.5 Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi hukum ini, penulis akan membaginya kedalam
lima bab, yang terdiri dari :
1. Bab I, membahas Pendahuluan, terbagi kedalam lima sub-bab, terdiri dari
Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian,
dan Sistematika Penulisan.
Pada Bab I, penulis membahas garis besar dari sejarah peraturan
perundang-undangan mengenai Migas di Indonesia, sejarah pemegang hak
penguasaan atas Migas di Indonesia, sejarah pengelolaan Migas di
Indonesia, sejarah Perusahaan Pertambangan Migas di Indonesia, dan
17
sejarah terbentuknya BP Migas, serta sejarah berdirinya PT CPI di
Indonesia.
2. Bab II, membahas Tinjauan Pustaka, terbagi kedalam dua sub-bab, terdiri
dari Landasan Teori, dan Landasan Konseptual.
Pada Bab II, penulis membahas garis besar mengenai KKS usaha
pertambangan Migas yang dipakai di Indonesia, sejarah peraturan
perundang-undangan dan jenis kontrak yang dipakai dalam bidang
pertambangan Migas di Indonesia, syarat dan ketentuan untuk melakukan
usaha di bidang pertambangan Migas di Indonesia, serta uraian yang
memberikan pemahaman mengenai definisi dan terminologi yang
digunakan dalam penelitian hukum ini.
3. Bab III, membahas Metode Penelitian, terbagi kedalam empat sub-bab,
terdiri dari Jenis Penelitian, Objek Penelitian, Sifat Analisis, serta
Hambatan dan Penanggulangan dalam menulis skripsi hukum.
4. Bab IV, membahas Hasil dan Pembahasan, berisi hasil dari penelitian
hukum yang dilakukan penulis, dan pembahasan dari permasalahan atau
isu hukum yang dibahas dalam penelitian hukum yang dilakukan penulis
berdasarkan rumusan masalah yang telah dirumuskan oleh penulis.
Pada Bab IV, penulis melakukan pembahasan mengenai pelaksanaan
prinsip pembagian hasil produksi dalam KKS antara BP Migas dengan PT
CPI, dan pelaksanaan pembagian hasil produksi dalam KKS antara BP
Migas dengan PT CPI menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku saat ini.
18
5. Bab V, membahas Kesimpulan dan Saran, berisi kesimpulan dari seluruh
pembahasan dari permasalahan atau isu hukum yang dibahas dalam
penelitian hukum yang dilakukan penulis, serta saran yang berbentuk
preskriptif, yang diberikan penulis terhadap permasalahan atau isu hukum
yang dibahas dalam penelitian hukum yang dilakukan penulis.
Recommended