View
220
Download
1
Category
Preview:
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit alergi memiliki pola perjalanan penyakit tersendiri yang
menggambarkan dermatitis atopik pada periode bayi akan berlanjut menjadi
rhinitis alergika, alergi makanan dan atau asma. Perjalanan penyakit alergi
dipengaruhi oleh faktor genetik, dan faktor lingkungan mulai dari masa intrauterin
sampai dewasa (Wahn, 2004). Manifestasi penyakit alergi dapat dicegah dengan
melakukan deteksi dan intervensi dini, salah satunya adalah dengan identifikasi
kelompok risiko tinggi atopi melalui riwayat atopi keluarga (Harsono, 2005).
Penyakit alergi seperti dermatitis atopik, rhinitis alergika, asma dan
urtikaria adalah keadaan atopi yang cenderung terjadi pada kelompok keluarga
dengan kemampuan produksi IgE yang berlebihan terhadap rangsangan
lingkungan (Harsono, 2005). Dermatitis atopik merupakan penyakit peradangan
kulit yang bersifat kronis, dengan onset puncak terjadi pada usia kurang dari 12
bulan dan sebagian besar kasus dermatitis atopik terjadi pada beberapa tahun
pertama dalam kehidupan (Moore dkk., 2004; Illi dkk., 2004). Dermatitis atopik
merupakan manifestasi paling dini dari penyakit alergi. Sebesar 50% penderita
dermatitis atopik akan menjadi asma dan 75% menjadi rhinitis alergika (Spergel
dan Schneider, 1999; Won Oh dkk., 2007).
Penelitian The Copenhagen Prospective Study on Asthma in Childhood
Cohort Study in High-Risk Children ( COPSAC) pada tahun 2006 menunjukkan
2
bahwa insiden kumulatif dermatitis atopik pada 3 tahun pertama sebesar 40%,
dimana identifikasi gejala dermatitis atopik pertama kali pada usia 1 bulan
(Halkjaer dkk., 2006). Angka kejadian dermatitis atopik meningkat 2-3 kali dalam
beberapa dekade terakhir, dan telah menjadi masalah kesehatan di beberapa
negara berkembang (Lee dkk., 2004). Peningkatan kejadian dermatitis atopik
menimbulkan dampak beragam di antaranya biaya pengobatan yang tinggi. Pada
dermatitis atopik derajat sedang diperlukan sedikitnya 6 minggu terapi dengan
steroid pada 12 bulan pertama kehidupan dengan biaya pengobatan yang melebihi
penyakit diabetes mellitus tipe juvenile (Moore dkk., 2004).
Dermatitis atopik merupakan hasil interaksi faktor genetika dan
lingkungan termasuk interaksi fetoplasenta, alergen ruangan dan polusi udara
serta nutrisi. Beberapa penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa atopi pada
masa anak kemungkinan disebabkan kelainan genetika, dimana kembar
monozigot lebih berisiko dibandingkan dengan kembar heterozigot dan orang tua
dengan penyakit alergi memiliki anak-anak yang berisiko tinggi mengalami asma
(Liu dkk., 2003). Uehara dan Kimura pada tahun 1993 melaporkan pada 60%
orangtua dengan dermatitis atopik memiliki anak yang menderita dermatitis
atopik. Prevalensi dermatitis atopik anak sebesar 81% apabila kedua orang tuanya
menderita dermatitis atopik, dan menjadi 59% bila hanya salah satu dari orang
tuanya menderita dermatitis atopik dan pasangannya menderita alergi saluran
napas. Prevalensi menjadi 56% bila salah satu orangtuanya menderita dermatitis
atopik sedangkan pasangannya tidak menderita alergi saluran napas ataupun
dermatitis atopik (Boediardja, 2004).
3
Pencegahan primer alergi pada awal kehidupan bayi sangat penting,
karena ketika respons IgE sudah dimulai maka kaskade inflamasi alergi akan terus
berlangsung sepanjang masa bayi dan kemudian sensitisasi terhadap alergen lain
akan terjadi. Pencegahan primer sebaiknya dimulai sebelum terjadi sensitisasi
terhadap alergen. Beberapa intervensi awal yang dapat dilakukan adalah dengan
mengidentifikasi populasi risiko tinggi dan manipulasi lingkungan antara lain
penghindaran asap rokok (Harsono, 2005). Salah satu cara identifikasi populasi
risiko tinggi di Indonesia adalah melalui penentuan nilai atopi keluarga terhadap
janin/bayi baru lahir dengan kartu deteksi dini risiko alergi Ikatan Dokter Anak
Indonesia – Persatuan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (IDAI-POGI).
IDAI bekerja sama dengan POGI telah melakukan sosialisasi kartu
deteksi dini sejak tahun 2005, yang kemudian diperbarui pada tahun 2009 (IDAI,
2009). Pengaruh faktor lingkungan, higiene dan gaya hidup dalam peningkatan
kejadian penyakit alergi menyebabkan perlunya evaluasi peranan kartu deteksi
dini alergi, yang hanya mengklasifikasikan tingkat risiko alergi berdasarkan faktor
atopi keluarga. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan membandingkan
kejadian dermatitis atopik berdasarkan nilai atopi dalam kartu deteksi dini
keluarga.
1.2 Rumusan Masalah
Apakah kejadian dermatitis atopik pada bayi usia 0-4 bulan dengan
nilai atopi lebih dari 0 lebih tinggi daripada nilai atopi 0?
4
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui perbandingan kejadian dermatitis atopik pada bayi usia 0-
4 bulan dengan nilai atopi 0 dan nilai atopi lebih dari 0.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui perbandingan risiko dermatitis atopik pada bayi usia 0-4 bulan
antara bayi dengan riwayat atopi positif (nilai atopi keluarga > 0) dan
tanpa riwayat atopi (nilai atopi keluarga = 0).
2. Mengetahui perbandingan risiko dermatitis atopik pada bayi usia 0-4 bulan
antara bayi dengan tingkat risiko sedang (nilai atopi keluarga 1-3) dengan
tingkat risiko tinggi (nilai atopi keluarga 4-6).
3. Mengetahui waktu munculnya dermatitis atopik berdasarkan nilai atopi
keluarga (0, dan >0).
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1. Manfaat praktis
Penelitian ini membantu meningkatkan kesadaran tenaga medis akan peran
riwayat atopi keluarga terhadap kejadian dermatitis atopik sehingga
identifikasi populasi risiko tinggi dapat terlaksana dan mengurangi kejadian
dermatitis atopik.
5
2. Manfaat akademik
Penelitian ini dapat memberi masukan dan tambahan ilmu pengetahuan baru
bagi sejawat dokter spesialis obstetri dan ginekologi, spesialis dokter anak,
dokter umum dan bidan, serta mahasiswa kedokteran, sehingga kartu deteksi
dini risiko alergi dapat menjadi salah satu sarana pembelajaran dalam
mengklasifikasikan tingkat risiko alergi bayi/janin. Selanjutnya diharapkan
penelitian ini dapat menjadi dasar penelitian lebih lanjut.
6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Atopi
2.1.1 Definisi
Atopi berasal dari bahasa Yunani, atopos, yang berarti strange
diseases atau out of place, dalam bahasa Indonesia berarti di luar kebiasaan atau
penyakit yang tidak biasa dan pertama kali diperkenalkan oleh Coca dan Cooke
pada tahun 1923 (Hartert dan Ker, 2009; Soebaryo, 2004; Zulkarnain, 2009).
Atopi didefinisikan sebagai kecenderungan seseorang dan atau keluarga untuk
membentuk antibodi IgE sebagai respon terhadap alergen (Wahn dan Mutius,
2007). Atopic march atau perjalanan alamiah penyakit alergi adalah istilah untuk
menerangkan perkembangan dari kelainan atopik, dari dermatitis atopik pada
bayi, alergi makanan pada bayi dan anak, rinitis alergika pada anak usia sekolah
dan asma pada anak yang lebih besar dan remaja sampai dewasa. Atopi
dihubungkan dengan perkembangan penyakit alergi yaitu dermatitis atopik, alergi
makanan, rhinoconjunctivitis dan asma (Liu, 2006).
2.1.2 Perjalanan Alamiah Penyakit Atopi
Perjalanan alamiah penyakit atopi atau yang dikenal dengan atopic
march adalah perjalanan alamiah manifestasi klinis penyakit atopi, yang ditandai
dengan peningkatan immunoglobulin E sebagai respon antibodi dan munculnya
gejala klinis pada awal kehidupan, bertahan selama beberapa tahun atau dekade,
dan menghilang secara spontan sesuai usia (Wahn dan Mutius, 2007).
7
Meskipun banyak terdapat variasi individual, manifestasi penyakit
atopi sudah mulai muncul pada dekade pertama kehidupan, seiring dengan
maturnya sistem imun. Gejala klinis seringkali tidak tampak pada saat lahir.
Produksi IgE sudah dimulai sejak umur kehamilan 11 minggu namun sensitisasi
spesifik terhadap alergen makanan ataupun inhalan tidak dapat dideteksi dengan
metode standar (Wahn dan Mutius, 2007).
Insiden tertinggi dermatitis atopik dan alergi makanan adalah pada 2
tahun pertama kehidupan. Penyakit alergi yang sering terjadi pada umur 0 – 3
bulan adalah dermatitis atopik, alergi makanan, dan wheezing. Kemudian disusul
dengan asma, rhinitis alergika, rhinoconjunctivitis yang seperti berbaris
membentuk allergic march (Liu dkk., 2003).
Sofranac, 2008 melaporkan peningkatan risiko asma pada sejumlah
169 anak dermatitis atopik yang diikuti selama 4 tahun. Meskipun dermatitis
atopik meningkat pada 51% dan menghilang pada 34% pasien, 15% pasien
dengan dermatitis atopik persisten memiliki risiko lebih besar terhadap asma.
Sesuai dengan penelitian lain, penelitian ini juga menunjukkan bahwa sensitisasi
yang terjadi lebih awal lebih beresiko terhadap penyakit asma. Penelitian ISAAC
(International Study of Asthma and Allergies in Childhood) tahun 2003 yang
meneliti prevalensi dermatitis atopik, rhinitis allergika dan asma di seluruh dunia
dengan menggunakan kuesioner yang tervalidasi, menunjukkan adanya hubungan
kuat antara prevalensi dermatitis atopik dengan prevalensi rhinitis alergika dan
asma. Prognosis asma lebih baik pada anak yang tanpa riwayat dermatitis atopik.
Pada evaluasi perjalanan penyakit asma selama 10 tahun pada pasien asma tanpa
8
riwayat dermatitis atopik, 41% pasien membaik, 52% menjadi asma ringan, dan
5% menjadi asma berat. Sebaliknya, pada penderita asma dengan riwayat
dermatitis atopik didapatkan 34% membaik, 54% menjadi asma ringan dan 11%
menjadi asma berat atau meninggal (Paller and Spergel, 2003).
Gambar 2.1. Grafik Allergic March
(Dikutip dari Liu, 2006)
Terdapat 4 karakteristik utama dalam perjalanan alamiah penyakit
alergi, yaitu dermatitis atopik, alergi makanan, rhinitis alergika dan asma. Alergi
makanan dan dermatitis atopik muncul pertama kali, tidak langsung setelah lahir,
tetapi pada bulan awal kehidupan. Kondisi ini dapar berlanjut dan berkembang
pada beberapa anak selama usia pra sekolah. Rhinitis alergika dan asma mulai
tampak pada usia 3-4 tahun dan berlanjut sampai usia sekolah. Anak-anak yang
mengalami dermatitis atopik dan atau alergi makanan sering berlanjut menjadi
rhinitis alergika dan asma (Liu, 2006; Hartert dan Ker, 2009).
2.1.3 Pencegahan Primer Penyakit Atopi
Pencegahan primer terhadap alergi pada trimester pertama kehidupan
bayi sangat penting, karena sekali respons IgE yang sudah dimulai, kaskade
9
inflamasi alergi akan terus berlangsung sepanjang usia kehidupan bayi, dan
sensitisasi terhadap allergen makanan yang lain akan terjadi. Beberapa intervensi
yang bisa dilakukan antara lain : identifikasi populasi risiko tinggi, manipulasi
lingkungan antara lain dengan diet eliminasi, pencegahan primer, dan pencegahan
sekunder (Harsono, 2005).
Telah diketahui bahwa alergi erat kaitannya dengan faktor genetik.
Pada saat ini beberapa petanda pada region kromosom spesifik telah ditemukan
dan berhubungan erat dengan dermatitis atopik atau asma, sedangkan region lain
bertanggung jawab pada manifestasi alergi yang lain. Di masa yang akan datang,
bila penelitian genetik ini membuahkan hasil, akan bermanfaat dalam berperan
menentukan tindakan pencegahan primer, atau tindakan pengobatan yang tepat
(Harsono, 2005).
Pencegahan primer ditujukan pada populasi dengan risiko tinggi, tetapi
belum menunjukkan gejala alergi. Pencegahan primer sebaiknya : 1) dapat
dilaksanakan pada keseluruhan populasi, 2) tidak beresiko, dan 3) murah (Wahn,
2004). Pada umumnya disepakati bahwa pencegahan primer dimulai sedini
mungkin sebelum terjadi sensitisasi (Harsono, 2005).
2.1.3.1 Pemeriksaan IgE Tali Pusat
Produksi IgE dimulai di hepar fetus dan paru-paru pada minggu ke 11
kehidupan intrauterine, di cairan amnion pada minggu ke 13 dan di lien pada
minggu ke 21. Akan tetapi, sel yang memproduksi IgE masih jarang sampai bayi
berusia 9 bulan. Beberapa sel IgE+ dapat dideteksi di plasenta tetapi tidak ada
bukti yang menunjukkan adanya produksi lokal IgE. Antibodi terhadap makanan
10
yang dikonsumsi ibu hamil telah ditemukan di cairan amnion. Fetus tidak dapat
merespon dengan antibodi IgE melawan antigen makanan yang dikonsumsi ibu.
Beberapa antigen dapat melewati barier plasenta, yang bersifat permeabilitas
selektif, dimana hanya IgG yang dapat melewatinya, karena arteri tali pusat tidak
dapat mengangkut IgE ibu, IgA dan IgM (Cantani, 2008).
Beberapa penelitian mengenai kadar IgE tali pusat mengemukakan
mengenai beberapa faktor yang diduga berpengaruh terhadap kadar IgE tali pusat.
Faktor yang berhubungan dengan peningkatan kadar IgE tali pusat adalah riwayat
atopi pada orang tua dan atau kadar IgE orang tua yang tinggi, umur kehamilan <
38 minggu, paparan intrauterin terhadap alkohol dan atau kafein, paparan
intrauterin terhadap progesterone dan metoprolol, jenis kelamin laki-laki, riwayat
atopi maternal, riwayat merokok selama kehamilan, faktor yang berhubungan
dengan tali pusat seperti kontaminasi oleh darah ibu, tehnik pengambilan sampel
darah tali pusat, musim ketika lahir dimana kadar IgE lebih tinggi pada musim
semi dan musim dingin (Cantani, 2008).
Pemeriksaan kadar IgE telah lama dikembangkan untuk menegakkan
diagnosis penyakit alergi. Croner dkk. pada tahun 1990 melakukan evaluasi
terhadap 1701 anak dari lahir sampai usia 11 tahun, didapatkan 82% anak dengan
peningkatan kadar IgE tali pusat sampai 0,9 UI/ml (nilai normal : 0,12 – 1,28
kU/l) berkembang menjadi penyakit alergi, dimana 68% yang telah tegak dan
15% masih kemungkinan. Dari penelitian tersebut didapatkan sensitifitas sebesar
26%, spesifisitas 94% dan efektifitas sebagai metode skrining sebesar 72%.
Hansen dkk. mengambil kesimpulan bahwa kadar IgE tali pusat tidak dapat
11
digunakan sebagai faktor prediktif resiko atopi pada bayi, dengan hasil penelitian
PPV (Positive Predictive Value) 44-48% dan sensitifitas sebesar 15-17 %
dibandingkan dengan sensitifitas riwayat atopi keluarga positif sebesar 55-58%.
Peneliti sepakat bahwa meskipun sensitif tetapi pemeriksaan kadar IgE tali pusat
tidak dapat digunakan sebagai marker untuk memperkirakan perkembangan
penyakit atopi dan bukan sebuah metode skrining untuk pencegahan primer alergi
yang baik (Cantani, 2008).
2.1.3.2 Nilai Atopi Keluarga
Pemeriksaan IgE tali pusat dianggap belum dapat digunakan sebagai
marker untuk mendeteksi resiko penyakit atopik atau sebagai metode skrining
untuk pencegahan primer alergi. Sambil menunggu tersedianya metode skrining
atau marker yang sensitif dan spesifik serta mudah diaplikasikan, maka para
peneliti sepakat untuk menggunakan riwayat atopi keluarga sebagai strategi dalam
pencegahan penyakit alergi, salah satunya melalui metode dari Kjellman yaitu
dalam bentuk skor nilai atopi keluarga (family atopy score) (Cantani, 2008).
Para peneliti dalam mengambil kesimpulan bahwa metode yang paling
tepat saat ini untuk memprediksi penyakit atopi adalah skor nilai atopi keluarga.
Hubungan antara riwayat atopi keluarga dengan dermatitis atopik memiliki
sensitifitas 80% dan spesifitias 85% (p<0,01), dan dapat digunakan sebagai
identifikasi dini resiko alergi pada neonatus (Cantani, 2008).
12
Tabel 2.1 Skor nilai atopi keluarga (family atopy score) berdasarkan anamnesis
riwayat atopi keluarga
Skor
Keluarga Dinyatakan Diduga
Ayah 2 1
Ibu 2 1
Saudara kandung 2 1
(Dikutip tanpa modifikasi dari Cantani, 2008)
2.1.3.3 Kartu Deteksi Dini Risiko Alergi IDAI POGI
Kartu deteksi dini risiko alergi IDAI POGI adalah kartu yang berisi
tabel penilaian nilai atopi keluarga, yang berfungsi untuk menentukan tingkat
risiko alergi pada janin/ bayi baru lahir, yang dikeluarkan oleh IDAI (Ikatan
Dokter Anak Indonesia) dan POGI (Persatuan Obstetri dan Ginekologi Indonesia).
Dalam kartu deteksi dini disebutkan bahwa apabila kedua orang tua tidak
memiliki riwayat alergi maka sekitar 5-15% bayi berisiko terkena alergi, apabila
kedua orang tua tidak memiliki riwayat alergi tetapi satu saudara sekandung
terkena alergi maka sekitar 25-30% bayi berisiko terkena alergi. Apabila salah
satu orang tua memiliki riwayat alergi maka 40% bayi berisiko terkena alergi, dan
apabila kedua orang tua memiliki riwayat alergi maka 40-60% bayi berisiko
terkena alergi. Bila kedua orang tua memiliki manifestasi alergi yang sama, maka
risiko terkena alergi meningkat 60-80% (IDAI, 2009).
Nilai atopi keluarga diberikan kepada semua anggota keluarga dengan
tanda-tanda alergi seperti dermatitis/ eksim, diare, muntah, kolik, pilek, nafas
berbunyi dan asma. Nilai 2 diberikan kepada anggota keluarga yang dinyatakan
oleh dokter atau secara medis terkena alergi, nilai 1 diberikan kepada anggota
13
keluarga yang diduga terkena alergi, dan nilai 0 diberikan kepada anggota
keluarga yang tanpa riwayat alergi apapun. Nilai atopi keluarga yang diperoleh
kemudian dijumlahkan dan dibagi menjadi 3 kelompok besar yaitu nilai atopi 0,
1-3 dan 4-6. Nilai atopi keluarga 0 merupakan tingkat risiko kecil (5-15%), nilai
atopi 1-3 merupakan tingkat risiko sedang (20-40%), dan nilai atopi 4-6
merupakan tingkat risiko tinggi (40-60%) (IDAI, 2009).
Tabel 2.2 Kondisi riwayat alergi keluarga dan nilai atopi dalam kartu deteksi dini
risiko alergi IDAI POGI
Kondisi Nilai
Ibu, bapak dan atau salah satu saudara sekandung janin/bayi
yang dinyatakan oleh dokter atau secara medis terkena alergi
2
Ibu, bapak dan/atau salah satu saudara sekandung janin/bayi
diduga terkena alergi
1
Ibu, bapak dan atau salah satu saudara sekandung janin/bayi
tanpa riwayat alergi apapun
0
( Dikutip tanpa modifikasi dari IDAI, 2009)
Tabel 2.3 Total nilai atopi keluarga dan tingkat risiko alergi bayi/janin
Total Nilai Atopi Keluarga Tingkat risiko alergi bayi/janin
0 Risiko kecil
1-3 Risiko sedang
4-6 Risiko tinggi
(Dikutip tanpa modifikasi dari IDAI, 2009)
14
2.2 Dermatitis Atopik
2.2.1 Definisi
Dermatitis atopik adalah suatu penyakit kulit kronis, berulang, ditandai
dengan adanya inflamasi dan disertai rasa gatal yang hebat, dan distribusinya pada
tempat-tempat tertentu dari tubuh (Beck, 2004; Sicherer dan Sampson, 2004;
Leung, 2003; Williams, 2005) ditandai dengan eritema dengan batas tidak tegas,
disertai edema, vesikel, dan basah pada stadium akut, dan penebalan kulit
(likenifikasi) pada stadium kronis (Williams, 2005). Dermatitis atopik lebih sering
terjadi saat masa kanak-kanak (Beck, 2004; Sicherer dan Sampson, 2004; Leung,
2003).
Dermatitis atopik sering dihubungkan dengan penyakit atopi yang lain
seperti asma, rhinitis alergi, urtikaria, dan alergi makanan (Krafchik, 2008). Beck
(2004) mengatakan pasien dermatitis atopik yang parah dengan kadar IgE yang
cukup tinggi, perjalanan penyakitnya akan mengarah ke penyakit-penyakit atopik
lain seperti rinitis alergika (60%), atau asma atopik (30%). Dengan demikian
fokus penanganan dermatitis atopik sejak dini ini adalah pada allergic march,
yaitu mencegah perjalanan penyakit dermatitis atopik ini ke arah rinitis alergi atau
asma. Meskipun disebut atopik, 60 % anak dengan gambaran klinik dermatitis
atopik, tidak memperlihatkan sensitisasi yang dimediasi oleh IgE terhadap
alergen (Williams, 2005).
2.2.2 Epidemiologi
Menurut International Study of Asthma and Allergies in Childhood,
prevalensi dari gejala dermatitis atopik pada anak berumur 6-7 tahun selama
15
periode 1 tahun, bervariasi dari kurang dari 2 persen di Iran dan Cina, sampai
sekitar 20 persen di Australia, Inggris , dan Skandinavia (Williams, 2005). Insiden
dermatitis atopik, seperti juga asma tampaknya meningkat di daerah perkotaan di
negara-negara barat, dengan estimasi sebanyak 2,5 kali lipat dari tahun 1960
sampai tahun 1990 di Eropa utara (Beck, 2004). Pada bayi dengan risiko tinggi,
48-65% kasus dermatitis atopik ditemukan pada usia 6 bulan pertama, dimana
sebagian besar ditemukan pada usia kurang dari 4 bulan yaitu sebesar 57%,
sejumlah 75-80% kasus terjadi pada usia kurang dari 1 tahun, dimana prevalensi
laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan yaitu 1,5 : 1 (Cantani, 2008).
Survey di negara berkembang menunjukkan 10-20% anak menderita
dermatitis atopik. Hanya sedikit penelitian epidemiologi dermatitis atopik pada
etnis Asia. Di Singapura prevalensi dermatitis atopik pada anak sekolah kelas 1
dan 6 tingkat sekolah dasar dan kelas 1 sekolah menengah atas sebesar 20,8%.
Rasio pria dan wanita kurang lebih sama, pria sedikit lebih banyak pada usia 7 dan
12 tahun sedangkan pada kelompok usia 16 tahun wanita sedikit lebih banyak.
Prevalensi pada ras Cina dan Melayu lebih tinggi daripada India, kebanyakan
kelainan kulit ini timbul saat usia kurang dari 10 tahun pada kelompok usia 16
tahun. Pada populasi anak kembar, 37% terdapat riwayat dermatitis atopik pada
ibu atau bapaknya. Di Hongkong prevalensi dermatitis atopik sebesar 20,1% pada
anak usia 7-9 tahun. Di Indonesia tahun 2000 ditemukan 23,67% kasus baru
dermatitis atopik anak dari 611 kasus baru penyakit kulit lainnya dan berada pada
peringkat pertama dari 10 penyakit kulit anak terbanyak pada 7 rumah sakit
pendidikan di lima kota di Indonesia (Jacoeb , 2004).
16
2.2.3 Patofisiologi
Patofisiologi dermatitis atopik adalah adanya disfungsi imun yang
menyebabkan terbentuknya IgE, dan gangguan barrier epitel kulit. Teori hipotesis
yang pertama disebut juga teori imun hipotesis, menyatakan pada individu yang
sehat, terdapat keseimbangan antara 2 subpopulasi sel T yang utama yaitu Th1
dan Th2. Tetapi pada individu tertentu terdapat ketidakseimbangan dimana
terdapat dominansi Th2, yang mengakibatkan diproduksinya sitokin yaitu
interleukin (IL) 4, IL-5, IL-13 dan granulocyte macrophage colony-stimulating
factor (GM CSF), yang menyebabkan peningkatan jumlah IgE dan menurunkan
kadar interferon gamma. Namun demikian pada dermatitis atopik yang kronis,
jenis sel Th1 yang dominan. Selain kedua sub populasi sel T tersebut, sel lain
yang juga terlibat dalam proses ini adalah sel Langerhans, keratinosit, dan sel B
(Krafchik, 2008).
Hipotesis yang kedua melibatkan defek fungsi barier dari stratum
korneum epitel kulit pada pasien dermatitis atopik, yang memudahkan masuknya
antigen yang berakibat pada terbentuknya sitokin inflamasi. Xerosis juga
diketahui berhubungan dengan gejala pada dermatitis atopik. Bukti-bukti
menunjukkan bahwa terdapat kehilangan fungsi yang kompleks akibat mutasi dari
gen filaggrin (FLG) pada pasien dermatitis atopik di Eropa dan mutasi filaggrin
tipe yang lain di Jepang. Gen ini bermutasi pada pasien dengan ichthyosis vulgaris
yang berhubungan dengan dermatitis atopik dengan onset pada masa awal
kehidupan dan penyakit pada saluran nafas pada pasien dermatitis atopik.
Perubahan ini hanya terlihat pada 30 % pasien di Eropa, sehingga memunculkan
17
dugaan bahwa faktor genetik berperan pada patogenesis penyakit dermatitis atopik
(Krafchik, 2008).
Pada dermatitis atopik, terjadi peningkatan kehilangan air
transepidermal, defek pada badan lamelar yang disebabkan oleh ketidakknormalan
produksi ceramide karena defek pada filagrin. Inflamasi yang terjadi disebabkan
kerusakan epidermal barrier secara primer ataupun sekunder, sampai saat ini
belum diketahui dengan jelas, tetapi dengan diketahuinya keterlibatan filaggrin
dalam disrupsi epitel, dapat dijelaskan bahwa hal ini dapat meningkatkan
penetrasi dari alergen lingkungan, yang bertanggung jawab pada patogenesis
terjadinya dermatitis atopik (Krafchik, 2008; Soebaryo, 2004).
2.2.4. Respon Imun Sistemik
Penderita dermatitis atopik memiliki kadar eosinofil darah tepi dan
kadar IgE serum yang tinggi. Hampir 80 % anak dengan dermatitis atopik akan
berkembang menjadi rinitis alergika atau asma. Sensitisasi alergen melalui kulit
merupakan suatu predisposisi terjadinya penyakit saluran pernafasan karena
efeknya pada respon alergi sistemik (Soebaryo, 2004).
Sel T dari penderita dermatitis atopik memproduksi interleukin (IL) 4,
IL-5, dan IL-13, tetapi hanya sedikit memproduksi interferon gamma. Perubahan
imunologi ini sangat penting karena IL-4 dan IL-13 adalah satu-satunya sitokin
yang menginduksi transkripsi dari germline pada Cε ekson, sehingga memicu
perubahan ke arah IgE. IL-4 dan IL-13 juga menginduksi ekspresi adesi molekul
vaskuler seperti molekul-1 yang terlibat dalam infiltrasi eosinofil dan down
regulation dari aktivitas sitokin Th1. IL-5 berperan dalam perkembangan,
18
aktivasi, dan kelangsungan hidup dari sel eosinofil. Sebaliknya, IFN γ
manghambat sintesis IgE sama seperti penghambatannya pada proliferasi Th2 dan
ekspresi reseptor IL-4 pada sel T. Berkurangnya produksi IFN γ oleh sel T pada
pasien dermatitis atopik, merupakan hasil dari berkurangnya produksi IL-18. Sel
T sitotoksik juga ditemukan menurun pada pasien dermatitis atopik (Leung,
2003).
Pada pasien dermatitis atopik terdapat peningkatan kecenderungan
untuk mengalami infeksi bakteri, virus, dan jamur kulit. Staphylococcus aureus
ditemukan pada 90% dari lesi kulit pada dermatitis atopik. Lesi kulit pada
sebagian pasien dermatitis atopik, terdapat S. aureus yang mensekresi
superantigen seperti enterotoksin A, B, dan toxin shock syndrome toksin-1.
Kebanyakan pada pasien dermatitis atopik, lesi kulitnya ditemukan adanya
produksi antibodi IgE spesifik yang secara langsung melawan superantigen yang
dikeluarkan oleh staphylococcus. Hal ini meningkatkan kemungkinan bahwa
superantigen menginduksi terbentuknya IgE spesifik pada pasien dermatitis atopik
dan degranulasi sel mast in vivo jika superantigen berpenetrasi melalui barrier
epitel yang rusak (Leung, 2003).
Salah satu faktor penting pada memberatnya dermatitis atopik adalah
siklus gatal dan menggaruk. Trauma yang berulang pada keratinosit berakibat
pada dilepaskannya beberapa sitokin. Sitokin–sitokin penting yang dilepaskan
termasuk IL-1 dan TNF- α. IL-1 dan TNF- α dan sitokin yang sejenis diperlukan
untuk menginduksi adesi molekul yang menarik eosinofil dan sel-sel inflamasi
19
yang lain menuju kulit. Baik sel lokal maupun sel yang menginfiltrasi, sama-sama
menghasilkan inflamasi (Won-Oh dkk., 2007).
2.2.5 Faktor Risiko
2.2.5.1. Genetik
Dermatitis atopik merupakan suatu penyakit kompleks yang
merupakan hasil interaksi beberapa faktor. Beberapa gen telah diidentifikasi dapat
menjelaskan beberapa kasus namun faktor genetik bukan faktor tunggal penyebab
dermatitis atopik. Peran lingkungan ikut berperan penting, seperti dalam
penelitian pada anak Jamaica yang tinggal di London memiliki risiko 2 kali lipat
lebih tinggi untuk mengalami dermatitis atopik dibanding anak-anak Jamaica yang
tinggal di Jamaica (Boediardja, 2004; William, 2008; Soebaryo, 2004).
Transmisi dari gen pembawa risiko atopi ini berasal dari beberapa
lokus gen (Schafer, 2006). Penurunan gen risiko atopi ini sangat kuat berasal dari
gen ibu dan ditemukan bahwa terdapat peran yang potensial dari kromosom 5q31-
33 yang terkandung dalam keluarga gen sitokin IL-3, IL-4, IL-5, IL-13 dan GM-
CSF yang diekspresikan oleh sel Th2 (Leung, 2003).
Menurut Janeway dkk. (2001), kromosom 11q dan 5q mempunyai
peran yang penting dalam atopi, dimana gen-gen pada kromosom ini mengkode
subunit β dari reseptor IgE yang memiliki afinitas tinggi. Kromosom 5 terdiri
kelompok gen yang diantaranya mengkode IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-12, IL-13
dan granulocyte-macrophage colony stimulating factor (GM-CSF). Sitokin-
20
sitokin ini sangat penting dalam aktifitas IgE, kelangsungan hidup eosinofil, dan
proliferasi sel mast.
Pada suatu penelitian yang dilakukan oleh Moore dkk. (2004) tentang
faktor prediktor perinatal terhadap dermatitis atopik pada 6 bulan pertama
kehidupan, didapatkan bahwa riwayat keluarga atopi memiliki risiko lebih besar
untuk terjadinya dermatitis atopik, dan riwayat atopi pada ibu memiliki risiko
lebih besar dibandingkan dengan riwayat atopi pada ayah. Riwayat dermatitis
atopik pada orangtua adalah faktor risiko penting terjadinya dermatitis atopik pada
anak, dan kejadian dermatitis atopik pada kembar monozigot lebih tinggi daripada
kembar dizigot (Boediardja, 2004; Liu dkk., 2003).
2.2.5.2. Alergen Makanan
Pada awal abad ke-20, Schloss, Talbot, dan Blackfan
mempublikasikan suatu laporan kasus mengenai perbaikan klinis yang dialami
oleh pasien dermatitis atopik setelah dilakukan penghindaran terhadap makanan-
makanan tertentu dalam diet mereka. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa
alergen menginduksi aktivasi sel mast yang dimediasi IgE dan menghasilkan
suatu hasil akhir berupa reaksi hipersensitifitas yang dikarakteristikkan dengan
adanya infiltrasi monosit dan limfosit pada jaringan, contohnya kulit. Pola dari
ekspresi sitokin yang ditemukan pada limfosit yang menginfiltrasi lesi dermatitis
atopik yang akut adalah predominan Th2, IL-4, IL-5, IL-13. Sebagai tambahan,
sitokin-sitokin ini memicu masuknya eosinofil yang telah aktif, dan melepaskan
produk-produk dari eosinofil. Sel Langerhans yang menghasilkan IgE, diregulasi
21
oleh sitokin-sitokin ini sehingga menjadi sangat efisien dalam tugasnya
mengantarkan alergen pada sel T (Leung, 2003).
Fiocchi dkk. dalam review-nya terrhadap sedikitnya 15 penelitian dari
tahun 1975 sampai tahun 2003, didapatkan alergen susu sapi paling sering
menimbulkan alergi (Sinagra dkk, 2007). Pada penelitian yang dilakukan oleh
Rennick dkk. (2006), dilakukan skin prick test alergen makanan pada populasi
bayi dermatitis atopi derajat sedang dan berat yang mendapat ASI. Didapatkan
91,5 % positif terhadap satu atau lebih alergen makanan di antaranya susu sapi,
putih telur, kacang dan gandum.
Menurut Hanifin (1992), diperkirakan alergen makanan diabsorpsi
melalui usus halus, kemudian memasuki sirkulasi dan terikat dengan sel mast
yang telah tersensitisasi dengan IgE spesifik di kulit. Interaksi ini akan
melepaskan histamin dan mediator-mediator lain yang menyebabkan eritema dan
pruritus. Hal yang mendukung perkiraan mekanisme ini adalah pada pasien
dermatitis atopik terdapat peningkatan permeabilitas usus terhadap molekul-
molekul makanan yang berukuran besar. Kemungkinan yang lain adalah
mediator-mediator yang dilepaskan oleh sel mast usus, akan menuju sirkulasi dan
menyebabkan reaksi pada kulit dan saluran nafas.
Dermatitis atopik tidak selalu disebabkan oleh alergi makanan, tapi
dapat diprovokasi oleh makanan tertentu. Suatu penelitian yang dilakukan dengan
sampel pasien dermatitis atopik yang dirawat di rumah sakit, terbukti bahwa
alergen makanan dapat menimbulkan eksaserbasi sebesar 32% - 40%. Yang
menarik adalah alergen yang bertanggung jawab terhadap lebih dari 90% reaksi
22
tersebut adalah susu sapi, telur ayam, gandum, kedelai, kacang dan ikan. Hasil ini
ternyata konsisten dengan penelitian akhir tahun 1980 dan akhir tahun 1990
(Schafer, 2006).
Penelitian yang lebih baru menunjukkan bahwa dengan eliminasi
makanan yang diperkirakan sebagai penyebab, terjadi penurunan dalam jumlah
spontaneous basophil histamine release (SBHR) pada anak dengan dermatitis
atopik yang telah lama mengkonsumsi makanan dimana dia alergi terhadap
makanan tersebut (Leung, 2003). Beberapa penelitian klinis menunjukkan bahwa
eleminasi dari alergen makanan yang relevan, dapat memberikan perbaikan gejala
pada kulit, dan pemberian kembali makanan tersebut, memicu terulangnya gejala
(Leung, 2003).
Suatu penelitian prospektif dan acak German Infant Nutrition and
Prevention Study (GINI) yang dilakukan Laubereau (2004), didapatkan data yang
valid tentang efek pencegahan dermatitis atopik pada formula hipoalergenik,
dimana penggunaannya dapat menurunkan insiden dermatitis atopik setelah 1
tahun pada anak tanpa predisposisi genetik. Sebaliknya, insiden dermatitis atopik
menurun pada anak dengan riwayat dermatitis atopik pada keluarga hanya bila
diberikan formula ekstensif hidrolisis berbasis kasein.
2.2.5.3. Pengenalan Makanan Padat Dini
Pengenalan makanan padat yang terlalu dini (saat umur 4 bulan)
berhubungan dengan meningkatnya risiko dermatitis atopik, karena memudahkan
masuknya makromolekul dari alergen makanan melalui saluran cerna yang
imatur. Imaturnya saluran cerna ini mulai dari saliva yang masih sedikit
23
menghasilkan enzim ptialin pencerna karbohidrat, pH lambung yang cukup tinggi
sehingga penghancuran makanan tidak sempurna, dan tight junction usus yang
masih longgar. Kombinasi ini menghasilkan makanan dalam bentuk molekul yang
besar, atau disebut juga makromolekul. Komite nutrisi AAP menyarankan
penundaan pemberian makanan padat sampai umur 4 bulan dimana telah terjadi
maturasi dan kesiapan dari sistem saraf dan saluran cerna (Sicherer dan Sampson,
2004). Hasil sebaliknya didapatkan pada penelitian yang dilakukan oleh Snijders
dkk.(2007), bahwa tidak ada hubungan antara pemberian makanan padat dini
dengan dermatitis atopik.
2.2.5.4 Aeroalergen
Aeroalergen adalah suatu substansi , biasanya protein atau glikoprotein
berukuran 10-50 kDa yang terdapat di udara, yang mampu untuk menginduksi
respon IgE (sensitisasi) pada seseorang yang mempunyai predisposisi genetik.
Aeroalergen dibedakan menjadi dua yaitu alergen luar rumah, dan alergen dalam
rumah (Yunginger, 2003).
a. Alergen Luar Rumah
Sumber utama alergen luar rumah adalah pollen dan jamur. Paparan
terhadap pollen tergantung dari jenis tanaman dan lokasi tumbuhnya.
Diperkirakan 20-100 serbuk pollen/m3, cukup untuk menimbulkan sensitisasi
pada individu tertentu. Serbuk pollen berdiameter antara 10-100 µm, dan
kebanyakan menempati rongga hidung atau nasofaring Jamur banyak terdapat di
negara-negara dengan kelembaban tinggi, termasuk Indonesia. Beberapa spesies
24
jamur yang dapat menimbulkan sensitisasi adalah Alternaria, Aspergillus,
Cladosporium, dan Penicillium (Yunginger, 2003).
Kebanyakan alergi pada manusia disebabkan oleh sejumlah kecil
alergen protein inhalan yang dapat menimbulkan produksi IgE pada individu yang
rentan. Kita menghirup banyak macam protein yang tidak semuanya menginduksi
timbulnya IgE. Kebanyakan protein yang bersifat alergen inhalan berukuran
sangat kecil, dan mempunyai sifat larut yang tinggi. Pada kontak dengan mukosa
hidung misalnya, partikel alergen yang kecil ini, contohnya pollen, akan berdifusi
ke dalam mukosa. Alergen secara tipikal dipresentasikan pada sistem imun dalam
dosis yang sangat rendah, mengubah keseimbangan Th2 yang akan menginduksi
produksi dari IgE dalam responnya terhadap dosis alergen yang sangat kecil ini.
Produksi antibodi IgE memerlukan sel Th2 yang memproduksi Interleukin (IL) 4
dan IL-13, dan hal ini dapat dihambat oleh Th1 yang memproduksi interferon – γ
(IFN-γ) ( Janeway dkk., 2001).
b. Alergen dalam rumah
Alergen dalam rumah contohnya tungau debu rumah, bulu binatang
dan kecoa. Dilihat dari struktur dan fungsinya alergen dalam rumah adalah berupa
protein atau glikoprotein dengan berat molekul 10-50 kDa. Alergen ini akan
memicu diferensiasi sel T menjadi sel Th2 yang memproduksi IL-4, IL-13 dan
menginduksi terbentuknya IgE (Yunginger, 2003).
Tungau debu rumah (Dermatophagoides pteronyssimus), adalah suatu
parasit yang menginvasi inangnya dengan cara mensekresi enzim proteolitik yang
merusak keutuhan jaringan sehingga memudahkan parasit masuk ke dalam
25
jaringan host. Diduga bahwa enzim yang dihasilkan tersebut secara aktif akan
memicu respon dari Th2. Alergenisitas dari Dermatophagoides pteronyssimus
(Der p 1 ) ini juga dipicu oleh sifat proteolitiknya terhadap beberapa reseptor
protein pada sel B dan sel T. Selain itu Der p 1 ini juga mampu memecah subunit
α dari reseptor IL-2 dan CD 25 dari sel T. Hilangnya aktivitas reseptor IL-2 akan
mengganggu jumlah sel Th1, sehingga akan terjadi dominansi jumlah sel Th2
(Janeway dkk., 2001).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terjadi lesi kulit eksematous
yang gatal setelah dilakukan bronchial inhalation challenge dengan aeroalergen
pada pasien dermatitis atopik yang tersensitisasi dengan alergen inhalan. Aplikasi
suatu aeroalergen pada permukaan kulit, menimbulkan suatu lesi kulit yang
eksematoid pada 30% - 50% pasien dermatitis atopik. Reaksi positif ditimbulkan
oleh alergen tungau debu rumah, bulu binatang dan jamur (Leung, 2003).
Aeroalergen terutama tungau debu rumah telah lama diketahui sebagai
faktor pencetus dermatitis atopik. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk
meneliti hubungan antara pengurangan alergen load dan titik akhir klinis.
Sebagian besar penelitian ini memiliki dampak yang bermanfaat dalam
menurunkan prevalensi dermatitis atopik, meskipun penelitian-penelitian yang
lebih kecil belum dapat mengkonfirmasinya. Hubungan klinis antara dermatitis
atopik dengan sensitisasi terhadap tungau debu rumah dapat dilihat pada suatu
penelitian epidemiologi pada 2201 anak sekolah. Dan hubungan yang linear antara
derajat sensitisasi terhadap tungau debu rumah dengan derajat keparahan
dermatitis atopik juga telah dilaporkan (Schafer, 2006).
26
Beberapa penelitian juga mendapatkan bahwa penghindaran terhadap
aeroalergen berhasil menghasilkan perbaikan klinis pada dermatitis atopik. Data
laboratorium menunjukkan bahwa terdapat antibodi IgE terhadap alergen inhalan
yang spesifik pada kebanyakan pasien dermatitis atopik. Penelitian terakhir
menemukan bahwa 95 % serum pasien dermatitis atopik terdapat antibody IgE
terhadap alergen tungau debu rumah jika dibandingkan dengan jumlah 42 % pada
pasien asma. Derajat sensitisasi alergen inhalan ini berbanding lurus dengan
derajat keparahan penyakit dermatitis atopik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
respon imun pada kulit pasien dermatitis atopik ditimbulkan oleh alergen inhalan
atau aeroalergen (Leung, 2003).
b. Binatang dalam rumah
Hubungan antara binatang dalam rumah terhadap terjadinya penyakit
atopi telah banyak diteliti. Studi terdahulu mendukung bahwa binatang peliharaan
merupakan faktor risiko terjadinya penyakit atopi terutama pada bayi yang
berisiko tinggi. Di pihak lain, beberapa penelitian terkini mendapatkan hasil
bahwa alergen tertentu malah memberikan efek pencegahan terhadap terjadinya
penyakit atopi (Schafer, 2006). Moore dkk. (2004) mendapatkan adanya kecoa di
dalam rumah merupakan salah satu faktor prediktor terjadinya dermatitis atopik
pada 6 bulan pertama kehidupan. Binatang-binatang lain yang telah diteliti untuk
hal ini adalah kelinci, tikus, guinea pig, dan pada penelitian epidemiologi di
Jerman mendapatkan bahwa tikus merupakan faktor risiko dermatitis atopik, dan
pada anak sekolah didapatkan peningkatan kejadian dermatitis atopik jika
memelihara kelinci dan babi guinea di dalam rumah (Schafer, 2006). Metodologi
27
penelitian yang baik dan teliti diperlukan untuk mengetahui hubungan antara
binatang dengan dermatitis atopik (Schafer, 2006).
Penelitian-penelitian pada anak-anak yang tumbuh dan besar di
peternakan menunjukkan efek protektif terhadap sensitisasi alergen dan penyakit
atopi, yang diperkirakan karena paparan endotoksin (Schafer, 2006).
c. Faktor lingkungan yang lain
Beberapa penelitian telah meneliti hubungan antara manifestasi atopi
dengan eksema dengan parameter polusi udara. Di Jerman Barat dan Timur
didapatkan hubungan linear yang signifikan antara parameter paparan NOx
terhadap prevalensi dermatitis atopik dengan hasil 16,5 % dibandingkan dengan
14,9 % pada kontrol. Hasil yang sama didapatkan bahwa insiden dermatitis atopik
meningkat pada daerah dengan kepadatan lalu lintas yang cukup tinggi. Ekspose
terhadap komponen volatil organik khususnya toluene, juga dihubungkan dengan
terjadinya dermatitis atopik pada anak (Schafer, 2006).
Asap rokok juga diduga berhubungan dengan dermatitis atopik.
Penelitian terhadap 421 anak prasekolah yang ibunya pada waktu hamil dan
menyusui merokok, memiliki angka risiko 2,3 kali dibanding dengan yang tidak
merokok (Benn dkk. dkk., 2004; Schafer, 2006). Menurut Terr (2003), asap rokok
memiliki efek sebagai adjuvant terhadap produksi antibodi IgE total dan IgE
spesifik.
2.2.6 Gejala Klinis
Gejala klinis yang spesifik yaitu adanya rasa gatal (pruritus) yang
hebat, dengan tempat predileksi yang khas, berlangsung kronis dan residif, serta
28
adanya stigmata atopik pada pasien maupun anggota keluarga yang lain. Tempat
predileksi merupakan hal yang paling penting untuk diketahui dari pasien
dermatitis atopik. Wajah adalah daerah yang paling sering terkena pada bayi
muda serta permukaan ekstensor dari lengan dan kaki pada usia 8-10 bulan.
Sedangkan pada anak-anak yang lebih tua, remaja dan orang dewasa, daerah yang
sering ditemukan kelainan adalah antecubital dan fossa poplitea, wajah dan leher
(Zulkarnain, 2009).
Berikut merupakan gejala klinis dermatitis atopik yang sering dijumpai
pada bayi dan anak-anak, antara lain :
1. Pruritus
Pruritus atau gatal merupakan gejala utama pada dermatitis atopik.
Keluhannya dapat menjadi parah sehingga mengganggu tidur, menyebabkan
pasien mudah marah, dan mengalami tekanan emosional, baik bagi dirinya
ataupun keluarga terdekatnya. Kulit atopik memiliki ambang rangsang rendah
terhadap gatal sedangkan rasa gatal menimbulkan keinginan menggaruk.
Tindakan menggaruk yang berlangsung lama akan membuat kulit menjadi tebal
(likenifikasi), ekskoriasi dan merusak sawar kulit. Kelainan kulit pada dermatitis
atopik sangat bergantung pada keparahan peradangan, tahapan penyembuhan yang
tidak bersamaan, garukan terus menerus dan terjadinya infeksi sekunder (Jacoeb,
2004; Zulkarnain, 2009).
Histamin, neuropeptida, protease, kinin dan sitokin diduga berperan
dalam rasa gatal dalam dermatitis atopik. IL-31 merupakan interleukin yang
diproduksi oleh sel T yang meningkatkan kemampuan sel-sel hematopoitik dan
29
merangsang produksi sitokin dalam proses peradangan di jaringan epitel. Proses
ini sangat gatal dan IL 31 dan reseptornya diekspresikan berlebihan di lokasi lesi
kulit. Paparan eksotoksin S. aureus meningkatkan IL-31 di jaringan kulit (Beiber,
2008).
Beberapa stimulus dikatakan sebagai perangsang timbulnya gatal,
udara panas dan keringat (96%), wool (91%), tekanan emosional (81%), makanan
yang memicu vasodilatasi (49%), alkohol (44%), infeksi saluran napas bagian atas
(36%) dan tungau debu rumah (35%). Penderita atopik memiliki respons terhadap
iritan kulit lebih besar dibandingkan dengan individu non atopik. Bahan iritan
tersebut antara lain sabun, deterjen, kontak dengan jus buah, sayuran, daging,
bahan kimia dan asap. Sebagai pemicu gatal, bahan iritan mampu mencetuskan
dermatitis atopik, demikian juga alergen hirup (tungau debu rumah, bulu
binatang, serbuk sari) (Jacoeb, 2004; Zulkarnain, 2009).
2. Stigmata dermatitis atopik
Tanda yang dipakai untuk menentukan seseorang dalam keadaan atopi
disebut dengan stigmata atopi. Bila stigmata tersebut terdapat pada kulit disebut
sebagai atopic diathesis kulit. Stigmata ini secara signifikan lebih sering
didapatkan pada pasien dermatitis atopik dibandingkan pada individu sehat dan
dapat digunakan sebagai petunjuk untuk penegakan diagnosis dermatitis atopik.
Yang termasuk dalam stigmata dermatitis atopik antara lain :
a. Kulit kering (xerosis)
Kelainan khas berupa kulit kering, sedikit bersisik, tanpa tanda
inflamasi dan meliputi seluruh bagian tubuh. Kulit yang terkena terlihat
30
kering, kasar, kusam dan bila dioles pelembab akan segera kering kembali.
Kondisi ini dimulai pada saat bayi dan menurun sesuai dengan penyakitnya.
Kulit kering terjadi sebagai akibat dari kemampuan mengikat air sel
keratinosit atopik yang menurun dan adanya peningkatan kehilangan air
transepidermal. Ketidakmampuan fungsi sawar pada kulit atopik memudahkan
penyerapan zat iritan ataupun zat alergen, sedangkan berbagai
mikroorganisme, misalnya virus, bakteri dan jamur dapat menembus sawar
tersebut dengan mudah. Semua keadaan tersebut mampu memicu peradangan
dan merangsang gatal. Kekeringan dapat bertambah bila terkena air, sabun
alkalis, udara dengan kelembaban rendah, sinar matahari, serta cuaca dingin
(Cantani, 2008; Jacoeb, 2004; Santosa, 2008; Zulkarnain, 2009).
b. Palmar hiperlinearlity (and soles)
Pada umumnya pasien dermatitis atopik sejak lahir memiliki banyak
garis palmar yang lebih dalam dan lebih nyata, menetap sepanjang hidup. Pada
kondisi kronis, sebanyak 88% pasien memiliki kulit yang cenderung kering,
menebal dan mudah terbelah (fisura), tergantung terhadap adanya pajanan
kontak dengan faktor eksogen. Palmar hiperlinearlity (and soles) ditemukan
pada 28%-88% penderita dermatitis atopik (Cantani, 2008; Santosa, 2008;
Zulkarnain, 2009).
c. Dennie-Morgan infraorbital fold
Kelainan ini pertama kali dilaporkan oleh Dennie dan diungkapkan
oleh Morgan. Kelainan ini berupa cekungan yang menyolok dan simetris,
berupa satu atau dua cekungan di bawah kelopak mata bagian bawah.
31
Ditemukan pada 12%-85% penderita dermatitis atopik dari berbagai variasi
etnis. Keadaan ini muncul pada saat lahir, atau segera sesudah lahir dan
bertahan sepanjang hidup, nampak seperti edema dari kelopak mata bawah
dan menimbulkan suatu gambaran dari atopic diathesis. Namun tanda ini
bukan suatu petanda patognomonik dermatitis atopik (Cantani, 2008; Santosa,
2008; Zulkarnain, 2009).
d. White dermographism
Bila kulit individu tanpa dermatitis atopik digores oleh suatu benda
tumpul, maka akan timbul suatu garis merah mengikuti dermografisme, yang
muncul dalam waktu 15 detik di tempat goresan. Setelah itu akan diikuti
(biasanya dalam 15-45 detik) dengan erythematosa (disebabkan suatu axon-
reflex vasodilatation dari arteriol). Respon akhirnya berupa urtika (disebabkan
oleh transudasi dari cairan kapiler yang terlu ka oleh kulit yang digores dalam
waktu 1-3 menit kemudian). Individu dengan dermatitis atopik menunjukkan
suatu pemucatan kulit yang berlawanan dan disebut sebagai dermografisme
putih. Setelah digores akan muncul lebih dulu garis merah lalu digantikan
(biasanya dalam waktu 10 detik) dengan suatu garis putih tanpa disertai urtika,
oleh karena itu digunakan istilah dermografisme putih. Walaupun keadaan ini
tidak patognomonik untuk dermatitis atopik, tetapi kadang-kadang dapat
digunakan untuk diagnosis dermatitis atopik. Keadaan ini ditemukan pada
38%-100% penderita dermatitis atopik (Cantani, 2008; Santosa, 2008;
Zulkarnain, 2009).
32
e. Facial Pallor
Pasien dermatitis atopik mempunyai berbagai kelainan fisiologis yang
tak dapat diterangkan dan respon paradoks terhadap berbagai stimuli. Pada
ujung tangan dan muka bagian sentral terutama hidung, mulut, telinga
cenderung menjadi pucat bila terpajan udara dingin. Diduga hal ini disebabkan
oleh adanya reaktivitas pembuluh darah yang abnormal dimana terjadi
vasokonstriksi pembuluh darah kecil sehingga menimbulkan warna pucat di
jaringan sekelilingnya. Keadaan ini ditemukan pada 22%-85% penderita
dermatitis atopik, dimana biasanya ditemukan pada penderita dermatitis atopik
yang juga mengalami white dermographism (Cantani, 2008; Santosa, 2008;
Zulkarnain, 2009).
f. (Peri-)Orbital darkening (Allergic shiners)
Sebagian besar penderita dermatitis atopik mengalami gambaran corak
biru keabuan di sekitar area mata dengan corak yang terlihat lebih nyata pada
area sub orbital. Kadang-kadang meluas dan disertai dengan edema, sehingga
anak tampak seperti kelelahan. Keadaan ini ditemukan pada kebanyakan
pasien dermatitis atopik usia anak dan dewasa muda. (Peri-) Orbital
darkening merupakan manifestasi adanya bendungan pembuluh darah, yang
disebabkan oleh adanya penekanan pada pleksus venosus. Proses didahului
dengan edema di hidung dan rongga paranasal dan bengkak serta perubahan
warna menjadi lebih nyata akibat garukan berulang di mata dan adanya
rangsangan sel melanosit (Cantani, 2008; Zulkarnain, 2009).
33
g. Tanda Herthoge
Tanda ini didefinisikan sebagai suatu penipisan atau hilangnya bagian
lateral alis mata. Prevalensi kejadian ini sebesar 39% pada penderita dermatitis
atopik (Cantani, 2008; Zulkarnain, 2009).
h. Keratosis piliaris
Keratosis pilliaris adalah kelainan keratinisasi folikel rambut yang
ditandai dengan adanya papul berkelompok, hyperkeratosis folikular, keras,
berbentuk kerucut. Lesi ini paling banyak ditemukan di tubuh, pantat dan sisi
luar dari lengan dan kaki, serta member gambaran penampilan kulit yang
mirip kulit ayam yang tercabut bulunya. Keadaan ini paling sering muncul
pada masa kanak-kanak, mencapai pusat insidens pada masa remaja dan akan
berkurang pada masa dewasa (Cantani, 2008; Zulkarnain, 2009).
i. Cheilitis
Cheilitis berupa kulit yang kering dan bersisik di bagian atas dan
bagian bawah bibir, seringkali muncul sejak masa kanak-kanak. Dermatitis
atopik pada bibir dapat mengakibatkan bibir pecah-pecah mirip angular
cheilitis dan perioral eczema. Hal tersebut mengakibatkan kebiasaan
membasahi bibir dengan air liur untuk mengurangi kekeringan pada bibir dan
menghilangkan sisik yang melekat. Cheilitis juga dapat disebabkan karena
pajanan zat iritan dari makanan dan minuman yang dikonsumsi secara terus
menerus (Cantani, 2008; Zulkarnain, 2009 ).
34
j. Perjalanan penyakit dipengaruhi lingkungan dan emosi
Anak dengan dermatitis atopik ditemukan memiliki ciri kepribadian
yang khas berupa adanya gangguan psikologis berkaitan dengan rasa gatal,
insomnia, stress yang berlanjut menjadi perubahan perilaku misalnya agresif
dan mudah tersinggung (Zulkarnain, 2009).
k. Katarak dan keratokonus
Katarak diderita oleh 8%-20% kasus dermatitis atopik, kebanyakan
bilateral, tetapi dapat unilateral, dikenal dengan sindrom Andogsky. Katarak
subkapsular anterior terdapat pada 4-12% penderita dermatitis atopic. Katarak
subkapsular posterior sering merupakan efek samping pemakaian
kortikosteroid oral atau topikal yang dipakai untuk kelopak mata. Keratokonus
adalah pemanjangan permukaan kornea, terjadi karena gosokan pada mata
terus menerus sehingga terjadi proses degenerasi kornea. Keratokonus
ditemukan pada 1% penderita dermatitis atopik (Cantani, 2008; Zulkarnain,
2009).
l. Peningkatan risiko infeksi Staphylococcus aureus dan Herpes Simplex
Pada umumnya penderita dermatitis atopik ditemukan adanya
perubahan imunitas selular. Secara klinis ini ditandai dengan adanya
kerentanan mengalamin infeksi sekunder akibat bakteri seperti S. aureus, virus
seperti herpes simplex, molluscum contagiosum, jamur maupun parasit (;
Cantani, 2008; Zulkarnain, 2009).
35
m. Pityriasis Alba
Pada area yang sebelumnya terkena dermatitis atopik, terutama daerah
wajah, leher dan tubuh bagian atas, dapat timbul bercak hipopigmentasi
dengan ukuran yang bervariasi, ukuran diameter mencapai 1 cm, berbatas jelas
disertai dengan sisik halus, yang kadang-kadang menyerupai tinea korporis
atau vitiligo. Pityriasis alba dilaporkan terjadi pada 35%-44% pada penderita
dermatitis atopik. Penyebab dari pityriasis alba ini masih belum diketahui,
diduga merupakan suatu dermatitis non spesifik (kemungkinan suatu bentuk
ringan dari dermatitis atopik). Kebanyakan kasus disebabkan pajanan sinar
matahari dan gangguan perlindungan dari penebalan stratum korneum serta
disebabkan adanya gangguan melanisasi sel epidermal (Cantani, 2008;
Zulkarnain, 2009).
n. Eksim puting susu
Eksim pada puting susu ditemukan pada 12%-23% pasien dermatitis
atopik. Pada area putting susu, tampak adanya papula dan vesikel kemerahan
yang basah, simetris dan dapat meluas ke area payudara di sekitarnya. Eksim
pada puting susu merupakan kriteria yang dapat dipercaya untuk penegakan
diagnosis dermatitis atopik (Cantani, 2008; Zulkarnain, 2009).
2.2.7 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dermatitis atopik berbeda pada setiap tahapan atau
fase perkembangan kehidupan, mulai dari saat bayi hingga saat dewasa. Pada
36
setiap anak didapatkan derajat keparahan yang bervariasi, tetapi secara umum
mereka mengalami pola distribusi yang serupa (Zulkarnain, 2009).
Distribusi manifestasi klinis dibagi menjadi 3 tahap berdasarkan
tahapan usia penderita dermatitis atopik, yaitu : (Cantani, 2008; Jacoeb, 2004;
Zulkarnain, 2009)
1. Fase bayi (early infantile phase)
Fase ini terjadi pada usia 0-2 tahun. Lesi awal dermatitis atopik
muncul pada bulan pertama kehidupan, biasanya bersifat akut, sub akut,
rekuren, simetris di kedua pipi, di dahi dan kulit kepala. Lesi tampak berupa
bercak kemerahan bersisik yang sedikit basah. Bagian ekstensor tungkai
bawah dan lengan dapat terkena. Hal ini berhubungan dengan daerah kulit
yang kontak dengan tanah saat bayi mulai belajar merangkak. Lesi kulit
muncul sebagai bintil-bintil merah kecil yang terasa gatal yang dapat
bergabung membentuk bercak yang berukuran besar. Pada umumnya lesinya
polimorfik, cenderung eksudatif, kadang-kadang disertai dengan infeksi
sekunder atau pioderma.
2. Fase anak (childhood phase)
Fase ini terjadi pada usia 2-12 tahun. Sejalan dengan pertumbuhan
bayi menjadi anak-anak, pola distribusi lesi kulit mengalami perubahan.
Awitan lesi muncul sebelum usia 5 tahun. Sebagian fase ini merupakan
kelanjutan fase bayi. Tempat predileksi terutama di daerah fleksural bersifat
simetris dan sangat jarang terjadi di daerah wajah, selain itu juga dapat
mengenai bagian lateral dan anterior leher. Manifestasi klinis berupa
37
dermatitis sub akut dan cenderung kronis. Pada kondisi kronis tampak lesi
hiperpigmentasi, hyperkeratosis dan likenifikasi. Akibat adanya rasa gatal dan
garukan, akan tampak erosi, eksoriasi linear yang disebut scratch marks. Kulit
tangan biasanya kering, kasar, garis palmar lebih dalam dan nyata, serta
mengalami luka (fisura). Selain itu bibir terlihat kering, bersisik, sudut bibir,
terlihat terbelah (cheilitis), demikian pula bagian sudut lobus telinga sering
mengalami fisura. Lesi dermatitis atopic pada fase anak dapat juga ditemukan
di paha dan pantat.
3. Fase dewasa (adolescent phase)
Fase ini terjadi pada usia lebih dari 12 tahun. Bentuk lesi kulit pada
fase dewasa hampir serupa dengan lesi kulit pada fase akhir anak-anak. Pada
umumnya ditemukan adanya penebalan kulit di daerah belakang lutut dan
fleksural siku serta tengkuk leher. Akibat adanya garukan secara berulang dan
perjalanan penyakit yang kronis, lesi ditandai dengan adanya hiperpigmentasi,
hyperkeratosis dan likenifikasi. Distribusi lesi biasanya simetris. Lokasi lesi
menjadi lebih luas, selain fossa cubiti dan poplitea, dapat juga ditemukan di
bagian lateral leher, tengkuk, badan bagian atas dan dorsum pedis. Pada fase
remaja, area di sekitar puting susu juga dapat terkena.
2.2.8 Diagnosis
Sampai saat ini belum didapatkan adanya gambaran klinis maupun
pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk penegakan diagnosis dermatitis
atopik. Diagnosis ditegakkan berdasarkan identifikasi gambaran morfologi yang
38
sering terdapat pada dermatitis atopik dan ditunjang oleh adanya riwayat atopi
dalam keluarga. Terdapat beberapa kriteria yang dapat digunakan untuk
menegakkan diagnosis dermatitis atopik, antara lain kriteria Hanifin Rajka dan
kriteria Williams. Masing-masing kriteria memiliki keunggulan dalam ketepatan
dan kecepatan. Kriteria Williams lebih spesifik, sedangkan kriteria Hanifin Rajka
lebih sensitif (Zulkarnain, 2009).
Uji kulit terhadap berbagai alergen dan pengukuran kadar IgE bukan
merupakan pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis dermatitis atopik,
melainkan untuk membuktikan adanya hipersensitivitas terhadap bahan alergen
tertentu.
2.2.8.1 Kriteria Hanifin dan Rajka
Menurut Hanifin dan Rajka, kriteria diagnosis dermatitis atopik adalah
sebagai berikut :
Kriteria Mayor (harus terdapat 3) yaitu a). gatal, b). penampakan dan
distribusi lesi yang tipikal yaitu pada bayi dan anak-anak, lokasinya di wajah dan
bagian ekstensor tubuh, sedangkan pada dewasa lokasinya di bagian fleksor tubuh
dan terdapat likenifikasi, c). terdapat periode relaps yang sering dan kronis, d).
terdapat riwayat atopi sebelumnya dan riwayat atopi pada keluarga (Zulkarnain,
2009).
Sedangkan kriteria minor meskipun kurang spesifik bisa terdapat 3
atau lebih yaitu a). Xerosis atau kulit kering, b). IgE yang reaktif, c). Ichtyosis,
keratosis pilaris, hiperlinearity pada telapak tangan, d). dermatitis pada tangan
atau kaki, e). fisura periaurikuler, f). cheilitis, g). gatal bila berkeringat h).
39
aksentuasi pada perifolikuler, i). eksema pada puting susu, j). Pityriasis alba, k).
meningkatnya tendensi mengalami infeksi kulit (Staphylococcus aureus, virus dan
jamur), l). reaktifitas tes kulit tipe 1 (immediate type), m). wajah pucat/ eritema
fasialis, n). onset usia awal, o). Dermatitis di lipatan leher anterior, p).
konjungtivitis berulang, q). katarak subkapsular anterior, r). keratokonus, s).
perjalanan penyakit dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan emosional, t).
intoleransi makanan, u). Intoleransi terhadap wol, v).hiperpigmentasi daerah
orbita, w). lipatan infraorbital Dennie-Morgan, dan x). white dermographism
(Zulkarnain, 2009).
Kriteria diagnosis Hanifin Rajka berguna dalam menegakkan diagnosis
dermatitis atopik. Kriteria ini juga didukung oleh UK Working Party’s Diagnostic
Criteria for Atopic Dermatitis.
Untuk mendiagnosis dermatitis atopik pada bayi, digunakan kriteria
Hanifin Rajka untuk bayi, yaitu kriteria mayor yang terdiri dari: a). riwayat
keluarga yang menderita dermatitis atopik, b). pruritus, c). eksim pada daerah
wajah atau ekstensor atau dermatitis likenifikasi, d). daerah popok dan atau wajah
sekitar mulut atau daerah hidung bebas dari lesi kulit. Kriteria minor yang terdiri
dari : a) xerosis/ichthyosis/palmar hiperlinearlity, b) fisura periaurikuler, c)
chronic scalp scaling, d) aksentuasi perifolikuler (Zulkarnain, 2009).
2.2.9 Diagnosis Banding
Secara klinis dermatitis atopik memiliki gambaran papul, vesikel,
plak, nodulus dan ekskoriasi sehingga diagnosis bandingnya cukup banyak.
40
Keadaan yang harus dipertimbangkan termasuk di antaranya dermatitis seboroik,
psoriasis dan neurodermatitis (liken simpleks kronik). Gatal juga dijumpai pada
beberapa penyakit sistemik, misalnya keganasan, tiroid dan gangguan hepar atau
ginjal, oleh karena itu anamnesis dan pemeriksaan kulit yang teliti diperlukan.
Dermatitis adalah gejala klinis dan bukan diagnosis spesifik. Semua eksim
memiliki gambaran histopatologik spongiosis, tetapi tidak semua gambaran
spongiosis secara klinis merupakan eksim sehingga berbagai diagnosis banding
harus diperhitungkan (Zulkarnain, 2009).
Pengalaman dan ketelitian klinis diperlukan untuk membedakan
dermatitis atopik dengan penyakit lainnya. Berikut ini merupakan gambaran klinis
beberapa pembanding dermatitis atopik yang disajikan dalam bentuk tabel
(Zulkarnain, 2009).
Tabel 2.4 Gambaran klinis beberapa diagnosis banding dermatitis atopik
Penyakit Gambaran klinis
Dermatitis seboroik
Psoriasis
Neurodermatitis
Dermatitis kontak
Skabies
Dermatitis herpetiformis
Dermatofita
Imunodefisiensi sekunder
Lesi kulit berminyak, skuama, riwayat
keluarga tidak ada
Plak pada daerah ekstensor, kulit kepala,
gluteus, pitted nails
Gatal, soliter, riwayat keluarga tidak ada
Riwayat kontak, ruam di tempat kontak,
riwayat keluarga tidak ada
Papul, sela jari positif ditemukan tungau
Vesikel berkelompok di daerah lipatan
Plak dengan central healing, KOH negative
Riwayat infeksi berulang
(Dikutip tanpa modifikasi dari Jacoeb, 2004)
Kadangkala pasien dengan kelainan kulit memiliki riwayat atopik
mengalami dermatitis kontak. Bila ternyata kekambuhannya dicetuskan oleh
peristiwa kontak maka uji tempel harus dilakukan untuk mencegah kekambuhan.
41
Dermatitis kontak, dermatitis seboroik, dapat dipertimbangkan sebagai diagnosis
banding dermatitis atopik pada anak (Jacob, 2004; Zulkarnain, 2009).
Tabel 2.5 Cara membedakan dermatitis kontak alergik, dermatitis atopik dan
dermatitis seboroik pada anak
Dermatitis seboroik
infantile
Dermatitis
atopik
Dermatitis
kontak alergika
Usia
Keadaan
umum
Gatal
Tidur
Distribusi lesi
Stigmata atopi
Uji kulit RAST
Prognosis
< 3 bulan
baik
tidak ada
normal
dapat mengenai
daerah popok
tidak ada
negatif
hilang dengan
bertambahnya umur
>2-3 bulan
iritabel
++++
sulit tidur
daerah popok
bersih
ada
positif (80%)
kronis residif
semua umur,
anak jarang
baik
+++
normal
terlokalisir di
daerah kontak
biasanya tidak
ada
negatif
sembuh setelah
eliminasi kontak
(Dikutip dari Zulkarnain, 2009)
2.2.10 Penatalaksanaan
Penyebab pasti dermatitis atopik masih belum diketahui, oleh karena
itu pengobatannya terutama masih bersifat simptomatik. Penyakit ini dapat
bermanifestasi mulai dari yang ringan sampai berat sekali dengan berbagai faktor
pencetus yang bervariasi sehingga memerlukan beragam pendekatan sistematik
dan holistik dalam penatalaksanaannya. Hingga saat ini penatalaksanaan
dermatitis atopik terutama ditujukan untuk mengurangi tanda dan gejala penyakit,
mencegah atau mengurangi kekambuhan sehingga dapat mengatasi penyakit
dalam jangka waktu lama serta mengubah perjalanan penyakit. Sebaiknya
42
penatalaksanaan ditekankan pada kontrol jangka waktu lama, bukan hanya untuk
mengatasi kekambuhan (Sugito, 2009).
The Second International Consensus Conference on Atopic Dermatitis
(ICCAD II) diselenggarakan di Amerika Serikat pada tahun 2002 untuk menyusun
suatu pedoman internasional mengenai pilihan terapi yang ada sekarang dan di
masa depan untuk penatalaksanaan dermatitis atopik. Disepakati suatu algoritme
sebagai dasar pedoman praktek klinis yang dapat digunakan untuk
penatalaksanaan dermatitis atopik pada stadium apapun dan di negara manapun
(Sugito, 2009).
Pengobatan awal dermatitis atopik terdiri atas penggunaan tak terbatas
pelembab untuk hidrasi kulit yang disertai edukasi kepada pasien dan atau orang
tua/pengasuhnya untuk menghindari faktor pencetus. Dalam keadaan flare, dapat
diberikan kortikosteroid topikal jangka waktu pendek. Penghambat kalsineurin
topikal juga merupakan pilihan lain pada fase akut tersebut untuk mengatasi
inflamasi dan pruritus. Bila radang telah teratasi, kembali hanya diberikan
pelembab (Sugito, 2009).
Untuk pengobatan pemeliharaan pada kasus yang persisten atau sering
kambuh, dapat diberikan penghambat kalsineurin topikal. Pimekrolimus terbukti
dapat mencegah progresivitas penyakit dan mengurangi terjadinya flare.
Takrolimus juga efektif untuk pengobatan dermatitis atopik jangka waktu lama,
walaupun pengaruhnya terhadap insidens flare belum diteliti. Kortikosteroid
topikal hanya diberikan pada eksaserbasi akut, dengan demikian lama
43
penggunaannya dapat dikurangi. Bila sudah remisi, pelembab dilanjutkan (Sugito,
2009).
Bersamaan dengan pengobatan, beberapa terapi tambahan perlu
dilakukan untuk mendapatkan hasil yang maksimal, mulai dari menghindari faktor
pencetus sampai dukungan psikologis. Infeksi dapat mengubah perjalanan
penyakit, sehingga bila terdapat infeksi harus dievaluasi dan diberikan antibiotik,
antijamur, dan antiviral yang sesuai secepatnya. Sebelum melakukan pemberian
antiinflamasi, infeksi klinis pada lesi harus sudah teratasi (Sugito, 2009).
Bila gejala dermatitis atopic refrakter dan tidak dapat diatasi dengan
penghambat kalsineurin topikal maupun kortikosteroid topikal secara intermiten,
beberapa pilihan dapat dipertimbangkan, bergantung pada keadaan pasien. Pilihan
tersebut antara lain fototerapi, kortikosteroid yang lebih poten maupun sediaan
oral, imunosupresan : siklosporin, metotreksat, atau azatioprin (sendiri-sendiri
atau dalam kombinasi), dan psikoterapi/psikofarmakologi (Sugito, 2009).
44
Gambar 2.2 Algoritma penatalaksanaan dermatitis atopik
(Dikutip tanpa modifikasi dari Sugito, 2009)
Penilaian awal riwayat penyakit, luas dan derajat penyakit
Termasuk penilaian efek psikologis, pengaruh terhadap keluarga
Remisi
Penyakit
(tidak ada
tanda dan
gejala)
Pelembab, edukasi
Terapi
tambahan/adjuvant
- Hindari faktor-
faktor pencetus
- Infeksi
bakterial :
antibiotik oral
dan atau
topikal
- Infeksi viral :
terapi antiviral
- Intervensi
psikologis
- Antihistamin
Mengatasi pruritus dan
inflamasi akut
- Kortikosteroid topikal
atau
- Penghambat
kalsineurin topikal
- Pimekrolimus 2 kali
sehari atau takrolimus
2 kali sehari
Terapi pemeliharaan
Untuk penyakit persisten dan atau sering kambuh
- Pada tanda dini rekurensi gunakan
penghambat kalsineurin topikal untuk
mencegah progresivitas penyakit
- Pimekrolimus untuk mengurangi terjadinya
flare
- Kortikosteroid topikal secara intermitten
- Penggunaan kalsineurin topikal jangka waktu
lama untuk pemeliharaan
Penyakit berat dan refrakter
- Fototerapi
- Kortikosteroid topikal poten
- Siklosporin
- Metotreksat
- Kortikosteroid oral
- Azatioprin
- Psikoterapi
45
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir
Angka kejadian dermatitis atopik meningkat 2-3 kali dalam beberapa
dekade terakhir dan telah menjadi masalah kesehatan di beberapa negara
berkembang. Salah satu dampak peningkatan kejadian tersebut adalah biaya
pengobatan yang tinggi dan penurunan kualitas hidup penderita dan keluarganya.
Dermatitis atopik merupakan manifestasi awal penyakit alergi yang sering
dijumpai pada awal masa kehidupan. Perjalanan alamiah penyakit alergi
menggambarkan bahwa dermatitis atopik pada masa bayi akan berlanjut menjadi
rhinitis alergika, alergi makanan dan atau asma. Upaya pencegahan kejadian
dermatitis atopik pada awal kehidupan diharapkan kelak akan dapat mencegah
kejadian penyakit alergi lainnya. Pada umumnya disepakati bahwa pencegahan
primer dimulai sedini mungkin sebelum terjadi sensitisasi.
Dermatitis atopik merupakan penyakit kompleks, hasil interaksi dari
berbagai faktor. Faktor genetik berupa kelainan pada kromosom
2,3,5,6,11,12,13,14,16,17, dan 20, riwayat atopi keluarga yang positif; faktor
lingkungan baik debu rumah, hewan peliharaan, pajanan dengan asap dan serbuk
sari; faktor makanan seperti pajanan dengan alergen makanan (protein susu sapi,
kacang-kacangan, produk susu sapi, dsb), kekurangan omega-3, asam folat dan
kekurangan antioksidan; faktor hygiene seperti penggunaan antiseptik berlebihan,
kejadian infeksi yang berkurang, jumlah anggota keluarga kecil, akan
46
menyebabkan gangguan keseimbangan Th1 dan Th2 didalam tubuh, bahkan sejak
janin dalam kandungan. Ketidakseimbangan antara Th1 dan Th2 akan
menyebabkan dominasi Th2, yang mengakibatkan diproduksinya sitokin yaitu IL-
4, IL-5, IL-9, IL-13 dan GM-CSF. Sitokin tersebut akan merangsang sel B untuk
memproduksi IgE, dan memicu proliferasi, diferensiasi dan rekruitment dari
eosinofil.
Ketika dalam kandungan, secara alamiah sirkulasi fetoplasenta akan
memproduksi Th2 lebih banyak untuk mempertahankan kehamilan dan janin akan
terpapar oleh sitokin Th2 lebih tinggi daripada Th1. Setelah lahir, bayi non atopik
akan mengalami pergeseran keseimbangan Th1 danTh2, dimana Th1 akan
meningkat pelahan selama satu tahun pertama kehidupan dan mencapai
keseimbangan antara Th1 dan Th2. Sedangkan pada bayi atopik pergeseran
keseimbangan ini tidak terjadi sehingga masih terdapat dominasi Th2 dalam tahun
awal kehidupan.
Identifikasi populasi risiko tinggi, yaitu pada bayi atopik merupakan salah
satu strategi pencegahan primer yang penting. Salah satu metode yang digunakan
di Indonesia adalah melalui kartu deteksi dini alergi IDAI POGI. Kartu deteksi
dini alergi ini mampu mengidentifikasi populasi risiko tinggi berdasarkan nilai
atopi keluarga. Peranan faktor lingkungan, higiene dan gaya hidup dalam
perkembangan penyakit alergi menyebabkan perlunya pengkajian ulang peranan
kartu deteksi dini alergi, yang hanya mengklasifikasikan tingkat risiko alergi
berdasarkan faktor atopi keluarga.
47
3.2 Kerangka Konsep
3.3 Hipotesis Penelitian
Kejadian dermatitis atopik pada bayi usia 0-4 bulan dengan nilai atopi
lebih dari 0 lebih tinggi daripada bayi usia 0-4 bulan dengan nilai atopi 0.
1. Usia kehamilan
2. Diet
- Susu Formula
- ASI eksklusif
- Pengenalan makanan
padat terlalu dini
3. Hygiene
- Infeksi neonatal
- Imunisasi
- Jumlah saudara
kandung dalam
keluarga
4. Lingkungan
- Paparan asap rokok
- Hewan peliharaan
Riwayat atopi keluarga
Nilai Atopi Keluarga dalam
Kartu Deteksi Dini Risiko Alergi
Nilai 0
(risiko
kecil)
Dermatitis atopik
Nilai 4-6
(risiko
tinggi)
Nilai 1-3
(risiko
sedang)
48
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan rancangan penelitian kohort
prospektif, untuk mengetahui perbandingan kejadian dermatitis atopik antara nilai
atopi keluarga > 0 dan = 0 pada bayi usia 0-4 bulan. Sampel penelitian diikuti
selama 4 bulan kemudian diamati adanya dermatitis atopik atau tidak.
Bagan 4.1 Skema rancangan penelitian
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di RSUP Sanglah Denpasar mulai 1 Juni 2012
sampai dengan 31 Desember 2012.
4.3 Penentuan Sumber Data
4.3.1 Populasi Penelitian
Populasi target pada penelitian ini adalah ibu hamil dan bayi yang
dilahirkannya hingga usia 4 bulan. Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah
Sampel
Kriteria
inklusi &
eksklusi
Nilai atopi
keluarga =0
Dermatitis
Atopik
Tidak
Diikuti selama 4 bulan
Nilai atopi
keluarga > 0
Dermatitis
Atopik
Tidak
49
ibu hamil yang memeriksakan kehamilan di Poliklinik Kebidanan dan Kandungan
RSUP Sanglah Denpasar saat trimester ketiga, dan atau melahirkan di Ruang
Bersalin RSUP Sanglah Denpasar mulai 1 Juni 2012 sampai 31 Juli 2012 dan bayi
yang dilahirkannya hingga berusia 4 bulan.
4.3.2 Sampel Penelitian
Sampel penelitian ini adalah populasi terjangkau yang memenuhi
kriteria inklusi dan eksklusi.
4.3.2.1 Kriteria Eligibilitas
Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah: 1) tinggal di Bali dan tidak
berencana keluar Bali selama 4 bulan mendatang, 2) dapat dihubungi melalui
telepon, 3) orang tua menyetujui bayinya untuk berpartisipasi dalam penelitian ini.
Sebagai kriteria eksklusinya adalah 1) ibu hamil dengan gejala imunodefisiensi
sekunder, 2) ibu hamil dengan penyakit autoimun dan atau mendapat terapi
kortikosteroid jangka panjang. Sampel penelitian dinyatakan drop out apabila : 1)
bayi lahir mati, 2) bayi dengan kelainan kongenital, 3) lost of follow up. Sampel
penelitian dinyatakan lost of follow up apabila 1) tidak dapat dihubungi melalui
telepon sesuai yang tercantum dalam kuesioner dan atau alamat rumah yang
tercantum tidak dapat dilacak, 2) bayi meninggal sebelum terdiagnosis dermatitis
atopik.
4.3.2.2 Perhitungan Besar Sampel
Teknik pengambilan sampel dengan cara berurutan (consecutive
sampling), yaitu dilakukan subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan
50
kriteria eksklusi. Pengambilan sampel dilakukan sampai tercapai jumlah sampel
yang diinginkan.
Untuk menentukan besar sampel minimal berdasarkan rumus :
(Machine, 1997)
Zα = derivate baku alfa untuk α = 0,05 dengan tingkat kepercayaan 95%
sebesar 1,96
Zβ = derivate baku beta untuk β = 0,20 dengan tingkat kepercayaan 95%
sebesar 0,84
P1 = estimasi kejadian bayi dermatitis atopik yang lahir dari orang tua dengan
riwayat atopi, diambil dari kepustakaan yaitu sebesar 0,32 (Halkjaer
dkk., 2006)
Q1 = 1 – P1, diperoleh nilai 0,68
P2 = estimasi kejadian bayi dermatitis atopik yang lahir dari orang tua tanpa
riwayat atopi yaitu sebesar 0,05
Q2 = 1 – P2, diperoleh nilai 0,95
P1-P2 = selisih proporsi yang dianggap bermakna, yaitu sebesar 0,27
P = proporsi total
= (P1+P2)/2, diperoleh nilai 0,18
Q = 1 – P, diperoleh nilai 0,82
Sehingga diperoleh jumlah sampel minimal sebesar n1 = n2 = 32 orang.
( Zα 2
(P1-P2)2
51
Untuk antisipasi drop out yang diperkirakan 10%, maka jumlah sampel minimal
adalah n1 = n2 = 36 orang.
4.4 Variabel Penelitian
4.4.1 Identifikasi Variabel
Variabel bebas : nilai atopi keluarga
Variabel tergantung : dermatitis atopik pada bayi usia 0-4 bulan
Variabel pengganggu : paparan asap rokok, paparan hewan peliharaan (anjing dan
kucing), cara persalinan, status imunisasi, infeksi saat
neonatus, jumlah saudara kandung dalam keluarga,
pemberian makanan padat terlalu dini, pemberian ASI
eksklusif, paparan susu formula
4.4.2 Definisi Operasional Variabel
1. Nilai atopi keluarga adalah total nilai riwayat atopi keluarga sesuai kondisi
yang disebutkan dalam kartu deteksi dini risiko alergi IDAI-POGI. Nilai
diberikan terhadap anggota keluarga (bapak, ibu dan saudara kandung
janin) yang memiliki gejala alergi, seperti dermatitis/eksema, kemerahan
di kulit, diare, muntah, kolik, pilek nafas berbunyi, asma. Nilai 2 : untuk
ibu, bapak dan atau salah satu saudara sekandung janin/bayi yang
dinyatakan oleh dokter atau secara medis terkena alergi, nilai 1 : untuk ibu,
bapak dan atau salah satu saudara sekandung janin/bayi yang diduga
terkena alergi, nilai 0 : untuk ibu, bapak atau salah satu saudara sekandung
janin/bayi tanpa riwayat alergi apapun. Kemudian nilai yang diperoleh dari
52
bapak, ibu dan saudara kandung janin dijumlahkan. Dibedakan menjadi 2
tingkatan yaitu : nilai 0, dan nilai >0 (skala variabel ordinal).
2. Dermatitis atopik adalah penyakit kulit kronis, berulang, ditandai dengan
adanya inflamasi dan disertai rasa gatal yang hebat,dan distribusinya pada
tempat-tempat tertentu dari tubuh, biasanya pada pipi dan bagian ekstensor
ekstremitas tubuh pada bayi. Diagnosis dermatitis atopi pada penelitian ini
ditegakkan dengan kriteria Hanifin dan Rajka untuk bayi. Dibedakan
menjadi ya dan tidak (skala variabel nominal).
3. Berat badan lahir adalah berat badan yang diukur saat bayi lahir
menggunakan satuan gram dan diukur dalam 1 jam pertama setelah lahir,
dibedakan menjadi <2500 gram dan ≥2500 gram (skala variabel ordinal).
4. Usia kehamilan adalah usia kehamilan ibu saat melahirkan bayi, dihitung
berdasarkan hari pertama haid terakhir dan hari saat bayi dilahirkan.
Dibedakan menjadi < 37 minggu dan ≥ 37 minggu (skala variabel ordinal).
5. Cara persalinan adalah metode yang digunakan untuk melahirkan bayi.
Dibedakan menjadi pervaginam dan sectio caesaria (skala variabel
nominal).
6. Paparan asap rokok adalah terdapat anggota keluarga dan atau selain
anggota keluarga yang merokok di dalam rumah, terutama di sekitar
tempat tidur bayi. Dibedakan menjadi ya dan tidak (skala variabel
nominal).
7. Paparan bulu hewan peliharaan adalah terdapat kontak rutin dengan hewan
peliharaan yaitu kucing dan anjing yang tinggal serumah atau sering
53
berkeliaran di tempat tinggal bayi. Dibedakan menjadi ya dan tidak (skala
variabel nominal).
8. Status imunisasi adalah kelengkapan imunisasi bayi sesuai dengan jadwal
imunisasi IDAI 2011. Dibedakan menjadi lengkap dan tidak lengkap
(skala variabel nominal).
9. Infeksi saat neonatus adalah infeksi yang terjadi saat bayi berusia kurang
dari 1 bulan. Penegakan diagnosis infeksi dilakukan oleh dokter spesialis
anak dan diketahui berdasarkan catatan medis bayi. Dibedakan menjadi ya
dan tidak (skala variabel nominal).
10. Jumlah saudara kandung adalah jumlah total saudara kandung bayi yang
tinggal serumah dengan bayi. Dibedakan menjadi <3 dan ≥3 (skala
variabel kategorikal ).
11. Pemberian makanan padat dini adalah bayi diberikan makanan padat
(bubur, buah) sebelum berusia 4 bulan. Dibedakan menjadi ya dan tidak
(skala variabel nominal).
12. ASI eksklusif adalah bayi mendapatkan ASI sejak awal kelahirannya
sampai usia 4 bulan, tanpa disertai susu formula. Dibedakan menjadi ya
dan tidak (skala variabel nominal).
13. Paparan susu formula adalah bayi pernah mendapatkan paparan susu
formula dari awal kelahirannya sampai usia 4 bulan, baik pemberian susu
formula penuh atau ASI yang dikombinasi dengan susu formula.
Dibedakan menjadi ya dan tidak (skala variabel nominal).
54
4.5 Instrumen Penelitian
1. Kartu Deteksi Dini Risiko Alergi IDAI-POGI
Kartu yang digunakan untuk menentukan nilai atopi keluarga berdasarkan
anamnesis riwayat alergi pada bapak, ibu dan saudara kandung bayi.
Berdasarkan nilai atopi keluarga dapat ditentukan tingkat risiko alergi
bayi.
2. Kuesioner
Berisi identitas lengkap orang tua dan data riwayat alergi orang tua dan
saudara kandung bayi, faktor-faktor resiko lain yang dapat memicu
munculnya dermatitis atopik serta gejala-gejala dermatitis atopik.
Kuesioner dilengkapi setiap saat ketika melakukan follow up baik ketika
subjek penelitian melakukan pemeriksaan ke Poliklinik Anak, evaluasi
melalui telepon ataupun kunjungan rumah.
4.6 Prosedur Penelitian
4.6.1 Cara Penelitian
4.6.1.1 Pengambilan Sampel Penelitian
Ibu hamil yang kontrol di Poliklinik kandungan dan kamar bersalin
RSUP Sanglah yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi diberikan informasi
lengkap mengenai penelitian ini dan diminta kesediaannya untuk bekerja sama
dalam penelitian ini, serta menandatangani informed consent. Bapak atau ibu dari
bayi melengkapi data di kuesioner yang tersedia, mengisi identitas lengkap dan
55
mencantumkan nama, no telp rumah atau HP saudara terdekat dari bapak atau ibu
hamil tersebut untuk mencegah lost of follow up.
4.6.1.2 Penentuan Nilai Atopi Keluarga
Peneliti melakukan anamnesis mengenai riwayat alergi pada bapak,
ibu dan anak kandung lainnya. Riwayat alergi bapak ditanyakan langsung pada
bapak sampel penelitian. Apabila bapak sampel tidak ikut serta maka anamnesis
riwayat alergi bapak dilakukan melalui telepon.
Riwayat alergi yang ditanyakan mencakup gejala dari penyakit
alergi, yaitu dermatitis atopik/eksem, rhinitis alergika, asma bronkial, dan alergi
makanan. Pertanyaan mengenai riwayat dermatitis / eksem, kemerahan, diare,
kolik, muntah, pilek, nafas berbunyi dan asma juga ditanyakan dan apakah gejala
alergi tersebut sudah didiagnosis oleh dokter atau belum.
Hasil anamnesis dikonversikan menjadi nilai keluarga dalam kartu
deteksi dini risiko alergi IDAI-POGI, dimana :
Nilai 2 : untuk ibu, bapak, dan/atau salah satu saudara sekandung janin/bayi yang
dinyatakan oleh dokter terkena alergi,
Nilai 1 : untuk ibu, bapak, dan/atau salah satu saudara sekandung janin/bayi yang
diduga terkena alergi,
Nilai 0 : untuk ibu, bapak dan/atau salah satu saudara sekandung janin/bayi tanpa
riwayat alergi apapun,
kemudian nilai keluarga yang diperoleh dijumlahkan.
Total nilai keluarga yang diperoleh dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu :
1) Kelompok dengan nilai 0,
56
2) kelompok dengan nilai 1-3, dan
3) kelompok dengan nilai 4-6.
Berdasarkan perhitungan nilai atopi keluarga, maka keluarga dengan
total nilai atopi 0 dimasukkan sebagai kelompok tanpa riwayat atopi, keluarga
dengan total nilai atopi lebih dari 0 dimasukkan sebagai kelompok dengan riwayat
atopi.
4.6.1.3 Evaluasi Rutin / Follow Up
Tim peneliti akan menghubungi subjek penelitian pada hari persalinan
yang diperkirakan dan dilakukan pengambilan meliputi cara persalinan, berat
badan saat lahir, usia kehamilan saat lahir. Apabila bayi lahir mati maka subjek
penelitian dinyatakan drop out.
Bayi yang memenuhi kriteria inkulsi diikuti selama 4 bulan atau
sampai tegak diagnosis dermatitis atopik. Follow up dilakukan setiap bulan
terhitung sejak hari lahir ketika orang tua memeriksakan bayinya secara rutin
setiap bulan ke Poliklinik Anak RSUP Sanglah. Apabila bayi tidak kontrol ke
Poliklinik Anak RSUP Sanglah dalam kurun waktu 2x24 jam, maka dilakukan
follow up melalui telepon/Short Messages Services (SMS). Dalam follow up
melalui telepon/SMS, ditanyakan secara rinci mengenai gejala dermatitis atopik
yang muncul pada bayi, apabila dicurigai ada gejala dermatitis atopik seperti
kemerahan pada pipi dan ekstremitas, disertai gatal, maka tim peneliti melakukan
kunjungan rumah atau sampel penelitian disarankan ke Poliklinik Anak RSUP
Sanglah..
57
Ketika kunjungan rumah tim peneliti melakukan evaluasi ulang gejala
dan tanda untuk memastikan gejala dermatitis atopik atau bukan. Apabila gejala
sesuai dengan kriteria Hanifin Rajka, maka bayi disarankan ke Poliklinik Anak
RSUP Sanglah untuk menegakkan diagnosis dan mendapatkan terapi. Apabila,
diagnosis dermatitis atopik telah ditegakkan, maka bayi tersebut dianggap telah
memenuhi tujuan dari penelitian ini dan tidak dilakukan follow up lagi di bulan
berikutnya, namun tetap disarankan untuk kontrol rutin ke divisi alergi imunologi
Poliklinik Anak RSUP Sanglah Denpasar. Apabila gejala dan tanda yang
dilaporkan ternyata bukan gejala dermatitis atopik, maka sampel akan dilakukan
follow up lagi di bulan berikutnya.
Orang tua juga telah diberikan informasi lengkap mengenai gejala dan
tanda dermatitis atopik dan apabila orang tua menjumpai tanda dan gejala
tersebut, maka orang tua dianjurkan untuk menghubungi peneliti. Apabila sampai
usia 4 bulan, tidak ditemukan gejala dermatitis atopik pada bayi, maka bayi
dimasukkan ke dalam kelompok bukan dermatitis atopik.
Selama follow up rutin setiap bulan, dicatat juga data-data lain yang
diperlukan seperti riwayat imunisasi, nutrisi yang diberikan (ASI dan atau susu
formula) dan riwayat penyakit infeksi yang pernah diderita.
4.6.1.4 Diagnosis Dermatitis Atopik
Penegakan diagnosis dermatitis atopik dilakukan berdasarkan kriteria
Hanifin Rajka oleh residen senior yang bertugas di Poliklinik Anak, yang
sebelumnya telah dilakukan uji Kappa (nilai 72,2%). Peneliti termasuk dalam
58
residen senior dan telah diikut sertakan dalam penilaian uji Kappa. Subjek dengan
dermatitis atopik diterapi sesuai standar pelayanan medis di poliklinik anak RSUP
Sanglah. Dokter residen senior (6 orang) yang menegakkan diagnosis dermatitis
atopik tidak mengetahui nilai atopi keluarga dari bayi tersebut.
59
4.6.2 Alur Penelitian
Gambar 4.2 Skema alur penelitian
Ibu hamil dari poliklinik kandungan dan kamar bersalin RSUP
Sanglah
Kriteria inklusi dan
eksklusi
Sampel Penelitian
Anamnesis riwayat atopi keluarga : ayah, ibu dan saudara
kandung bayi
Nilai atopi keluarga dalam kartu deteksi
dini risiko alergi IDAI-POGI
Analisis Data
Bayi dilakukan follow up rutin
setiap bulan selama 4 bulan
Nilai atopi keluarga
= 0
Nilai atopi
keluarga > 0
Bukan dermatitis
atopik
Dermatitis
atopik
60
4.6.3 Prosedur Pengumpulan Data
4.6.3.1 Data Nilai Atopi
Nilai atopi keluarga diperoleh dari anamnesis riwayat alergi keluarga,
berdasarkan kartu deteksi dini risiko alergi IDAI-POGI. Kepada ibu hamil
ditanyakan riwayat alergi pada dirinya sendiri dan anak kandung sebelumnya.
Pertanyaan riwayat alergi meliputi :
1. Pernahkah ibu mengalami gejala alergi seperti dermatitis/eksema? Nafas
berbunyi? Asma?
2. Pernahkan ibu dinyatakan oleh dokter menderita alergi?
3. Pernahkah salah satu anak kandung ibu mengalami gejala alergi seperti
dermatitis/eksema? Kemerahan disertai gatal pada saat bayi, didaerah pipi
atau tungkai? Diare atau muntah setelah minum susu formula? Kolik?
Pilek yang tidak sembuh dengan pengobatan? Nafas berbunyi “ngik-
ngik”? asma?
4. Pernahkan salah satu anak kandung ibu dinyatakan oleh dokter menderita
alergi?
Riwayat alergi bapak ditanyakan langsung kepada yang bersangkutan. Apabila
bapak tidak hadir saat wawancara terhadap ibu dilakukan, maka wawancara
terhadap bapak akan dilakukan melalui telepon. Pertanyaan riwayat alergi yang
ditanyakan meliputi :
1. Pernahkah bapak mengalami gejala alergi seperti dermatitis/eksema?
Nafas berbunyi? Asma?
2. Pernahkan bapak dinyatakan oleh dokter menderita alergi?
61
Dari hasil anamnesis tersebut di atas, kemudian dikonversikan ke dalam nilai
atopi keluarga sesuai tabel di bawah ini.
Tabel 4.1 Kondisi dan nilai atopi keluarga
Kondisi Nilai
Ibu, bapak dan atau salah satu saudara sekandung janin/bayi
yang dinyatakan oleh dokter atau secara medis terkena alergi
2
Ibu, bapak dan/atau salah satu saudara sekandung janin/bayi
diduga terkena alergi
1
Ibu, bapak dan atau salah satu saudara sekandung janin/bayi
tanpa riwayat alergi apapun
0
Dari tabel di atas maka akan diperoleh nilai total atopi keluarga, yang kemudian
dapat diprediksi tingkat risiko alergi janin sesuai tabel di bawah ini.
Tabel 4.2 Nilai atopi keluarga dan tingkat risiko alergi janin
Nilai Atopi Keluarga Tingkat risiko alergi bayi/janin
0 Risiko kecil
1-3 Risiko sedang
4-6 Risiko tinggi
Bersamaan dengan dilakukan pengambilan data mengenai nilai atopi
keluarga, juga ditanyakan mengenai identitas lengkap keluarga dan informasi lain
seperti paparan asap rokok dan hewan peliharaan di rumah, sesuai dengan yang
tertera di kuesioner.
4.6.3.2 Data Dermatitis Atopik
Setelah orang tua menandatangani informed consent untuk ikut serta
dalam penelitian, maka ibu hamil dan janin yang dikandungnya akan diikuti
sampai bayi berusia 4 bulan atau sampai didiagnosis dermatitis atopik. Diagnosis
62
dermatitis atopik ditegakkan dengan kriteria Hanifin Rajka, yang terdiri dari
kriteria mayor dan minor.
4.7 Analisis Data
Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan
program komputer. Karakteristik subjek penelitian ditampilkan dalam bentuk
narasi dan tabel. Normalitas data dianalisis dengan uji Kolmogorov Smirnov
(p>0,05). Untuk data yang berdistribusi normal ditampilkan mean dan standart
deviasi, sedangkan data yang berdistribusi tidak normal ditampilkan median dan
nilai minimum maksimum. Perbandingan kejadian dermatitis atopik pada masing-
masing kelompok nilai atopi keluarga dianalisis dengan uji Chi-square. Kemudian
waktu munculnya dermatitis atopik pada masing-masing kelompok nilai atopi
keluarga ditampilkan dalam kurva Kapplan Meier.
4.8 Etika Penelitian
Penelitian ini telah mendapat izin dan kelaikan etik (ethical clearance)
dari Unit Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana/RSUP Sanglah No: 101/UN.14.2/Litbang/III/2012, dan surat
izin Direktur SDM dan Pendidikan RSUP Sanglah No:
LB..02.01./II.C5.D11/3197/2012.
63
BAB V
HASIL PENELITIAN
5.1 Karakteristik Sampel Penelitian
Selama periode penelitian, terdapat total 280 sampel yang terpilih dan
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Sampel penelitian terbagi menjadi 2
kelompok yaitu kelompok dengan nilai atopi keluarga = 0 yang setelah dilakukan
follow up selama 4 bulan, terdapat 3 sampel meninggal dunia dan 11 sampel lost
of follow up sehingga diperoleh 218 sampel. Pada kelompok nilai atopi keluarga >
0 terdapat 1 sampel meninggal dunia dan 1 sampel lost of follow up sehingga
diperoleh 46 sampel (Gambar 5.1). Alasan lost of follow up adalah sampel
penelitian tidak dapat dihubungi kembali saat penelitian berlangsung. Penyebab
kematian pada 4 sampel penelitian adalah karena sindroma aspirasi mekoneal
sebanyak 1 sampel, penyakit membran hialin sebanyak 2 sampel dan asfiksia
berat sebanyak 1 sampel. Karakteristik dasar sampel penelitian ditampilkan pada
Tabel 5.1.
Uji normalitas Kolmogorov Smirnov dilakukan pada data karakteristik
sampel penelitian dan diperoleh nilai p > 0,05 pada kedua kelompok.
64
Gambar 5.1 Skema hasil penelitian
Ibu hamil yang kontrol di Poliklinik kandungan saat trimester ketiga dan di kamar
bersalin (mulai 1 Juni 2012 – 31 Juli 2012)
n = 452
Kriteria Eksklusi 1 suspek imunodefisiensi
sekunder
23 tinggal di luar Bali (penduduk tidak tetap)
Kriteria Inklusi
n = 428
Nilai atopi keluarga = 0
n = 232
Consecutive random
sampling
n= 280
Nilai atopi keluarga > 0
n = 48
Follow up rutin selama 4
bulan
3 meninggal
11 lost of follow up
Nilai atopi keluarga = 0
n = 218
Nilai atopi keluarga > 0
n = 46
1 meninggal
1 lost of follow up
Dermatitis Atopik (+)
n = 8
Dermatitis Atopik (-)
n = 25 Dermatitis Atopik (+)
n = 21
Dermatitis Atopik (-)
n = 210
65
Tabel 5.1 Karakteristik demografis subjek penelitian
Variabel n (%) Nilai atopi keluarga
(n, %)
>0
(n=46)
0
(n=218)
Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan
142 (53,8)
122 (46,2)
23 (50)
23 (50)
119 (54)
99 (45)
Umur Ibu, tahun
median (min-maks)
25 (19-37)
25 (19-37)
25,5 (19-37)
Umur Ayah, tahun
median (min-maks)
27 (20-40)
26 (21-38)
27 (20-40)
Tingkat pendidikan ibu
SD
SMP
SMU
S1 atau sederajat
6 (2,3)
77 (29,2)
165 (62,5)
16 (6,1)
0 (0)
15 (32,6)
29 (63,0)
2 (4,3)
6 (2,7)
62 (28,4)
136 (62,4)
14 (6,4)
Tingkat pendidikan bapak
SD
SMP
SMU
S1 atau sederajat
4 (1,5)
68 (25,8)
176 (66,7)
16 (6,1)
0 (0)
13 (28,2)
31 (67,4)
2 (4,3)
4 (1,8)
55 (25,2)
145 (66,5)
14 (6,4)
5.2. Perbandingan variabel penelitian terhadap kejadian dermatitis atopik
Tidak didapatkan adanya perbedaan bermakna antara jenis kelamin, berat
badan lahir, cara persalinan, usia kehamilan, pemberian ASI eksklusif, paparan
susu formula, hewan peliharaan, riwayat infeksi, dan jumlah saudara kandung
pada kedua kelompok (p>0,05).
Sebesar 86,2% sampel dengan paparan asap rokok mengalami dermatitis
atopik dan 65,5% tidak mengalami dermatitis atopik. Hasil uji Chi-square
menunjukkan ada perbedaan bermakna secara statistik pada paparan asap rokok
antara kelompok dermatitis atopik dan bukan dermatitis atopik (p = 0,02). Faktor
pemberian makanan padat dini dan status imunisasi tidak dapat dilakukan analisis
bivariat karena hubungan antara kedua variabel bersifat konstan (Tabel 5.2).
66
Tabel 5.2 Hasil uji analisis bivariat variabel penelitian terhadap kejadian
dermatitis atopik
Variabel Dermatitis Atopik
p
IK 95% Ya
(n = 29)
Tidak
(n = 235)
RR
Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan
13 (44,8)
16 (55,2)
129 (54,9)
106 (45,1)
0,6
0,30
0,3-1,4†
Usia kehamilan
< 37 minggu
≥ 37 minggu
4 (13,8)
25 (86,2)
24 (10,2)
211 (89,8)
1,4
0,55
0,4-4,3†
Berat badan saat lahir
< 2500 gram
≥ 2500 gram
6 (20,7)
23 (79,3)
27 (11,5)
208 (88,5)
2,0
0,16
0,7-5,3†
Cara persalinan
Pervaginam
Sectio caesaria
19 (65,5)
10 (34,5)
164 (69,8)
71 (30,2)
0,8
0,64
0,4-1,8†
Jumlah saudara
kandung
<3
≥3
27 (93,1)
2 (6,8)
217 (92,3)
18 (7,7)
1,1
0,88
0,2-5,0†
Paparan asap rokok
Ya
Tidak
25 (86,2)
4 (13,8)
154 (65,5)
81 (34,5)
3,2
0,02
1,1-9,7†
Hewan peliharaan
Ya
Tidak
1 (3,4)
28 (96,5)
14 (5,9)
221 (94)
0,6
0,58
0,1-4,4†
ASI eksklusif
Ya
Tidak
16 (55,2)
13 (44,8)
152 (64,9)
83 (35,1)
0,7
0,31
0,3-1,5†
Paparan susu formula
Ya
Tidak
13 (44,8)
16 (55,2)
83 (35,1)
152 (64,9)
1,5
0,31
0,7-3,2†
Status imunisasi*
Lengkap
Tidak lengkap
0 (0)
29 (100)
0 (0)
235 (100)
Riwayat infeksi
neonatus
Ya
Tidak
0 (0)
29 (100)
6 (2,5)
229 (97,4)
0,4
1,1
1,0–1,2†
Pemberian makanan*
padat dini
Ya
Tidak
0 (0)
29 (100)
0 (0)
235 (100)
Keterangan :
*tidak dapat diuji † Uji Chi-Square
67
Tabel 5.3 Hasil analisis multivariat pengaruh paparan asap rokok terhadap
kejadian dermatitis atopik*
Variabel adjusted RR IK95% p
Paparan asap rokok 3,5 1,0-11,5 0,04
Nilai atopi keluarga 22,5 8,8-57,0 0,001
*Uji regresi logistik
Hasil uji Chi-Square antara variabel paparan asap rokok terhadap kejadian
dermatitis atopik didapatkan nilai p = 0,02 dengan RR 3,2 dan IK95% 1,1-9,7.
Untuk menyingkirkan bias terhadap hasil penelitian ini dilakukan analisis
multivariat dengan uji regresi logistik. Hasil uji regresi logistik menunjukkan
pengaruh antara paparan asap rokok terhadap kejadian dermatitis atopik dengan
nilai adjusted risiko relatif (RR) sebesar 3,5 dan IK95% 1,0-11,5 (p = 0,04) (Tabel
5.3).
5.3 Perbandingan Nilai Atopi Keluarga Dan Kejadian Dermatitis Atopik
Insiden dermatitis atopik pada populasi penelitian ini sebesar 10,9%.
Untuk memperjelas peran nilai atopi keluarga terhadap risiko alergi, peneliti juga
menghitung insiden dermatitis atopik pada kelompok nilai atopi > 0 yaitu sebesar
45,6%, sedangkan insiden dermatitis atopik pada kelompok nilai atopi 0 sebesar
3,6%. Dari hasil uji Chi-square diperoleh adanya perbedaan bermakna kejadian
dermatitis atopik pada kelompok nilai atopi keluarga > 0 dibandingkan kelompok
nilai atopi 0 dengan risiko relatif (RR) sebesar 12,4 dan IK95% 5,8 – 26,3
(p=0,001) (Tabel 5.4). Analisis multivariat dengan uji regresi logistik
menunjukkan ada pengaruh nilai atopi keluarga terhadap kejadian dermatitis
atopik dengan nilai adjusted risiko relatif (RR) sebesar dan IK95% 8,8-57,0 (p =
0,001)
68
Kelompok nilai atopi keluarga > 0 dibagi lagi menjadi 2 kelompok yaitu
kelompok dengan nilai atopi 1-3 dan kelompok dengan nilai atopi 4-6. Dari hasil
uji Chi-square didapatkan adanya perbedaan bermakna kejadian dermatitis atopik
pada kelompok nilai atopi keluarga 4-6 dibandingkan kelompok nilai atopi 1-3
dengan risiko relatif sebesar 5,5 dan IK95% 2,2 – 13,8 (p=0,001) (Tabel 5.5).
Tabel 5.4 Hasil analisis perbandingan nilai atopi keluarga > 0 dan nilai atopi
keluarga = 0 dengan kejadian dermatitis atopik
Nilai atopi keluarga Dermatitis atopik RR IK 95% p
Ya
(n= 29)
Tidak
(n= 235)
>0 (risiko sedang-
tinggi)
21 25 12,4 5,8 – 26,3 0,001*
0 (risiko kecil) 8 210
Keterangan : * uji Chi-square
Tabel 5.5 Hasil analisis perbandingan nilai atopi keluarga 1-3 dan nilai atopi
keluarga 4-6 dengan kejadian dermatitis atopik
Nilai atopi keluarga Dermatitis atopik RR IK 95% p
Ya
(n= 21)
Tidak
(n= 25)
4-6 (risiko tinggi) 17 3 5,5 2,2 -13,8 0,001*
1-3 (risiko sedang) 4 22
Keterangan : * uji Chi-square
5.4 Waktu Munculnya Dermatitis Atopik
Waktu munculnya dermatitis atopik pada masing-masing kelompok nilai
atopi keluarga ditampilkan dalam kurva Kapplan Meier (Gambar 5.2). Pada kurva
tampak kejadian dermatitis atopik muncul pada usia 1 bulan pada kelompok
dengan nilai atopi > 0. Rerata terjadinya event adalah 2,5 bulan (standar error
0,189) dengan IK 95% 3,1-3,8 pada kelompok dengan nilai atopi > 0, dan pada
69
kelompok dengan nilai atopi 0 didapatkan rerata terjadinya event adalah 3,5 bulan
(standar error 0,203) dengan IK95% 2,1-2,9. Perbedaan antara kedua kurva
tersebut dengan signifikansi 0,01 menunjukkan bahwa perbedaan tersebut
signifikan.
Gambar 5.2 Kurva Kapplan Meier
Waktu (bulan)
Dermatitis
atopik
0 = ya
1 = tidak
Recommended