View
217
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Banyak dari kita yang tidak sadar bahwa kita sedang menonton kekerasan
di layar kaca kita. Televisi dengan mudah menyebarkan pesan-pesan dalam
tayangan kepada seluruh pemirsanya dengan bantuan teknologi yang
memungkinkan televisi untuk memiliki cakupan yang luas. Beragam konten yang
disediakan oleh setiap stasiun televisi, yang sejatinya ditujukan untuk mendidik,
memberi informasi, dan menghibur pemirsa tidak serta merta bebas dari
kekerasan bahkan yang bersifat hiburan sekalipun.
Bagi beberapa orang, ketika menganggap kekerasan yang ditampilkan
masih bisa dikompromikan dengan akal sehatnya, maka tidak menjadi masalah
untuk menonton tayangan tersebut. Akan tetapi, tidak semua orang menganggap
bahwa dengan level atau porsi kekerasan yang sama maka bisa mendapat tindakan
penerimaan yang sama pula. Banyak faktor yang mempengaruhi seseorang dalam
menginterpretasikan sesuatu, termasuk pesan media yang sedang dikonsumsinya.
Kekerasan dalam tayangan hiburan memang bukanlah hal yang baru, dan
justru perkembangan tayangan jenis ini termasuk cepat dan biasanya dengan
cakupan audiens yang luas, contoh : Opera Van Java, Pesbukers. Munculnya
istilah slapstick comedy yang menggunakan unsur kekerasan sebagai bahan utama
leluconnya dan bahkan seringkali unsur kekerasan yang ditampilkan melebihi
batas wajar atau akal sehat, semakin mempertegas keberadaan jenis tayangan yang
mengandung unsur kekerasan.
Bahkan tayangan slapstick comedy inipun tidak selalu dibalut dengan
adegan-adegan maupun plot yang kompleks yang biasanya hanya orang dewasa
maupun yang beranjak dewasa yang tertarik untuk menontonnya. Tayangan
slapstick comedy juga muncul dalam tayangan yang memiliki ratinganak-anak.
2
Yang menjadi topik utama dalam penelitian ini adalah, serial animasi Tom and
Jerry.
Anak-anak generasi 90-an di Indonesia, yang sudah menikmati televisi
pada jamannya, bisa dikatakan tidak asing dengan serial animasi Tom and Jerry
ini. Pada jaman tersebut, serial animasi, atau yang akrab disebut dengan film
kartun, kebanyakan memang ditujukan untuk anak-anak. Tom and Jerrymemiliki
alur cerita yang tidak rumit, yang mengisahkan kehidupan tokoh Tom yang
merupakan seekor kucing dan seekor tikus bernama Jerry, yang dalam tiap
episode keduanya selalu terlibat perselisihan, hingga pertengkaran yang diwarnai
adegan kekerasan di mana-mana.
Kekerasan yang disuguhkan oleh Tom and Jerry ini tentu saja mengalami
interpretasi yang berbeda oleh penontonnya, terlebih lagi penonton Tom and Jerry
tidak hanya dari golongan anak-anak. Anak-anak adalah termasuk golongan usia
yang rentan, cenderung menyerap dan meniru semua yang dilihatnya tanpa
melalui filtrasi yang dibentuk oleh kesadaran atau nilai yang telah dipelajarinya.
Berbeda dengan remaja dan golongan dewasa yang mengalami perkembangan
secara usia dan mendapatkan pengalaman yang lebih banyak di lingkungan
sosialnya, bisa menganggap komedi yang disuguhkan oleh Tom and Jerry
terdapat kekerasan di dalamnya.
Steven J. Kirsh dalam Cartoon Violence and Aggression in Youth
mencoba membedakan antara kekerasan yang disuguhkan oleh live action
film/drama dengan yang ada di dalam film kartun. Umumnya, di dalam film aksi,
kekerasan yang tampak seringkali terasa nyata, semisal adegan orang yang sedang
merasakan rasa sakit, maupun adegan yang lebih bersifat ‘dewasa’ semacam
pemerkosaan maupun pembunuhan. Sedangkan di dalam film kartun, meski jelas
terdapat konten kekerasan, namun adegan yang ditampilkan dibuat tidak sejelas
yang ada pada film aksi ataupun drama (Kirsh, 2005: 548).
Kirsh juga mencontohkan beberapa riset yang telah dilakukan oleh
beberapa peneliti, yang kemudian memberikan kesimpulan bahwa perbedaan pada
3
usia atau tingkat kedewasaan secara umur, mempengaruhi pemahaman awal
mengenai konten kekerasan yang terdapat dalam film kartun.
For instance, Snow (1974) had youth evaluate cartoons, live-action dramas, and news footage of the Vietnam War for presence of violence. Violent elements in cartoons were consistenly overlooked, with only 27% of 4- to 8-year-old and mere 16% of 9- to 12-year olds correctly identifying that the cartoon (i.e Roadrunner) they had just watched contained violence. In comparison, nearly 70% of youth in Snow’s sample classified the television Western Gunsmoke as containing violance. Reagardless of age, all children correctly identified news clips of the Vietnam War as containing violent imagery. (Kirsh, 2012:161).
Selain dari penelitian yang dilakukan Snow, Kirsh dalam bukunya juga
mencontohkan penelitian yang dilakukan oleh Haynes sebagai perbandingan dari
penelitian yang telah dilakukan Snow dalam kekerasan yang terkandung dalam
tayangan televisi.
In contrast, in an investigation of 5th and 6th grade boys and girls Haynes (1978) found that cartoons with comedic elements were perceived as more violent than cartoon without comedic elements, eventhough both cartoons contained the same amount of violence. (Kirsh, 2012:161).
Pada awalnya, Tom and Jerry tidak banyak menarik perhatian karena
hanya sebuah film kartun yang jamak ditemukan pada siaran televisi nasional.
Namun teguran KPI terhadap tiga stasiun televisi yang menayangkan Tom and
Jerry (ANTV, RCTI dan Global TV) karena kandungan kekerasan yang terdapat
dalam episode menimbulkan beberapa pertanyaan.
Dalam studi audiens, penelitian mengenai khalayak umumnya bertujuan
untuk mengkonstruksi, menempatkan, dan mengidentifikasi entitas-entitas sosial
yang jelas, berubah-rubah maupun yang tidak diketahui (Allor, 1988 dalam
McQuail, 2005 : 401). Pendekatan menggunakan tradisi kultural dalam penelitian
audiens menekankan pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosio
kultural tertentu dan pengalaman dalam kehidupan sehari-hari (McQuail 2005 :
404).
4
Alasan KPI untuk memberi peringatan kepada film kartun Tom and
Jerrykarena tayangan tersebut memiliki rating anak yang di mana tayangan dalam
kategori anak-anak tidak boleh mempertontonkan adegan kekerasan yang ekplisit
dan dikhawatirkan memberi dampak buruk pada psikologi anak (terarsip dalam
www.kpi.go.id/index.php/lihat-sanksi). Alasan-alasan tersebut menimbulkan
beberapa pertanyaan, bagaimana audiens memaknai pesan kekerasan sebagai
pesan yang ditampilkan oleh Tom and Jerry? Bagaimana audiens bereaksi
terhadap kekerasan yang dominan yang dipertontonkan oleh Tom and Jerry?
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana audiens memaknai adegan kekerasan sebagai pesan dominan
dalam serial animasi Tom and Jerry?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap bagaimana audiens
memberikan pemaknaan atau melakukan decoding terhadap pesan kekerasan yang
terdapat pada serial animasi Tom and Jerry.
1.4 Manfaat Penelitian
a. Peneliti dapat mengetahui bagaimana audiens memaknai pesan kekerasan
yang terkandung Tom and Jerry.
b. Penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu referensi untuk
melakukan penelitian berbasis analisis resepsi.
c. Penelitian ini dapat digunakan sebagai sarana untuk membaca khalayak
dalam memaknai pesan yang diproduksi oleh media massa (tayangan
televisi).
5
1.5 Kerangka Pemikiran
1.5.1 Analisis Resepsi dan Model Encoding-Decoding Stuart Hall
Studi mengenai hubungan yang terjadi antara media dan khalayak
(pembaca,pemirsa, pengguna internet) menjadi perhatian utama antara industri
media, akademisi, maupun pemerhati media dan masalah sosial. Media mampu
menjadi stimulus individu untuk menikmati sajian pesan atau program yang
ditampilkan. Isi media mampu menjadi wacana perbincangan (penerimaan
khalayak) yang menarik apabila dikaitkan dengan konteks budaya, misalnya efek
dramatisasi visual yang ditimbulkan, pemirsa mampu mengkonstruksi makna
sesuai dengan teks dan konteks.
Salah satu standar untuk mengukur khalayak media adalah menggunakan
reception analysis (analisis resepsi), di mana analisis ini mencoba memberikan
sebuah makna atas pemahaman teks media (cetak, elektronik, internet) dengan
memahami bagaimana karakter teks media dibaca oleh khalayak. Individu yang
menganalisis media melalui kajian resepsi memfokuskan pada pengalaman dan
pemirsaan khalayak (penonton/pembaca), serta bagaimana makna diciptakan
melalui pengalaman tersebut.
Konsep teoritik terpenting dari analisis resepsi adalah bahwa teks media
penonton/pembaca atau program televisi bukanlah makna yang melekat pada teks
media tersebut, tetapi makna diciptakan dalam interaksinya antara khalayak
(penonton/ pembaca) dan teks. Dengan kata lain, makna diciptakan karena
menonton atau membaca dan memproses teks media.
Secara metodologi, analisis resepsi termasuk dalam paradigma
konstruktivis interpretif. Neuman menjelaskan,
...is the systematic analysis of socially meaningful action through the direct detailed observation of people in natural settings in order to arrive at understandings and interpretations of how people create and maintain their worlds”. (Neuman, 2000:71)
Artinya paradigma interpretif dalam konteks penelitian sosial digunakan
untuk melakukan interpretasi dan memahami alasan-alasan dari para pelaku
terhadap tindakan sosial yang mereka lakukan, yaitu cara-cara dari para pelaku
6
untuk mengkonstruksikan kehidupan mereka dan makna yang mereka berikan
kepada kehidupan tersebut.
Argumen tersebut dikembangkan dalam framework studi qualitative
empirical reception, yang mana selama dekade lampau telah mempunyai
kontribusi secara signifikan pada konvergensi antara tradisi penelitian ilmu sosial
dan humanistik, yang diartikulasikan kembali dalam batasan pemaknaan atau
penerimaan subyektifitas individu dan aktivitas sosial.
Analisis resepsi bukanlah hanya sekedar apa yang lakukan kepada
khalayaknya, atau bahkan apa yang khalayak lakukan pada media. Tetapi, pada
bagaimana media dan khalayak berinteraksi satu sama lain sebagai agen. Dalam
terminologi semiotika Saussure (1857-1913) merupakan ilmu yang mempelajari
the life of signs within society (Saussure, 1959 :16). Maknanya adalah dalam
pendekatan Semiotik komunikasi dilihat sebagai a mutual negotiation of meaning
lebih daripada hanya sekedar pengiriman pesan linear dari pengirim ke penerima.
Analisis Resepsi merujuk pada sebuah komparasi antara analisis tekstual
wacana media dan wacana khalayak, yang hasil interpretasinya merujuk pada
konteks, seperti cultural setting dan context atas isi media lain (Jensen, 2003 :
139). Khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive yang selalu
aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna, tidak hanya sekedar
menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi oleh
media massa (McQuail,1997:19). Analisis resepsi merupakan studi yang
mendalam terhadap proses aktual di mana wacana dalam media diasimilasikan
kedalam wacana dan praktik-praktik budaya khalayak.
Menurut McQuail (1997), analisis resepsi menekankan pada penggunaan
media sebagai refleksi dari konteks sosial budaya dan sebagai proses dari pemberian
makna melalui persepsi khalayak atas pengalamannya. Penelitian resepsi
mendasarkan pada kesadaran atau cara subyek dalam memahami obyek dan peristiwa
dengan pengalaman individu. Analisis resepsi dapat melihat mengapa khalayak
memaknai sesuatu secara berbeda, faktor-faktor psikologis dan sosial apa yang
mempengaruhi perbedaan tersebut, dan konsekuensi sosial apakah yang muncul.
7
Analisis resepsi merujuk pada sebuah komparasi antara analisis tekstual
wacana media dan wacana khalayak, yang hasil interpretasinya merujuk pada
konteks, seperti cultural setting dan context atas isi media lain. Khalayak dilihat
sebagai bagian dari interpretive communitive yang selalu aktif dalam mempersepsi
pesan dan memproduksi makna, tidak hanya sekedar menjadi individu pasif yang
hanya menerima saja makna yang diproduksi oleh media massa. Pendekatan ini
mencoba untuk membuka dan menguraikan pemahaman individu secara nyata, apa
yang telah mereka alami dan rasakan.
Analisis resepsi dapat berarti sebagai analisis perbandingan tekstual dari
sudut pandang media dengan sudut pandang audiens yang menghasilkan suatu
pengertian tegas pada suatu konteks. Pembaca/pemirsa belum tentu melakukan
pembacaan sesuai apa yang diinginkan oleh pembuat teks atau dengan kata lain
khalayak melakukan interpretasi makna yang terdapat di dalam teks secara aktif.
Ratna (2008:165) mengemukakan secara definitif resepsi berasal dari
kata “recipere” (Latin), “reception” (Inggris) yang berarti penerimaan atau
penyambutan. Selanjutnya, Endraswara (2003: 118) mengemukakan bahwa
resepsi berarti penerimaan atau penikmatan sebuah teks oleh pembaca. Resepsi
merupakan aliran yang meneliti teks dengan bertitik tolak kepada pembaca yang
memberi reaksi atau tanggapan terhadap teks itu. Dalam bahasa Inggris dapat
disamakan dengan kata “perception” yang berarti tanggapan daya memahami atau
menanggapi. Dari istilah studi sastra, resepsi didefinisikan sebagai pengolahan
teks atau cara-cara pemberian makna (tanggapan) terhadap karya sastra sehingga
dapat memberikan respons terhadapnya.
Teori resepsi sastra ini kemudian diadopsi oleh teori komunikasi.
Analisis dengan teori resepsi biasanya masuk dalam pembahasan studi pembaca,
yang termasuk di dalamnya motivasi pembaca dalam memilih/menerima pesan
media/buku (Vivian, 2008: 438). Jika mengikuti tipologi Fiske (2006: 8 – 9)
mengenai aliran dalam kajian isi komunikasi, yang membagi menjadi dua : aliran
transmisi dan aliran produksi, dan pertukaran makna, maka analisis resepsi ini
dapat dimasukan dalam aliran yang kedua. Oleh karena itu, resepsi dipahami
dalam penelitian ini sebagaimana yang dikonsepkan dalam teori komunikasi
8
massa, yang mengadopsi teori resepsi sastra, yakni penerimaan/tanggapan
pembaca terhadap sebuah teks.
Pada awal perkembangannya, penelitian media massa hanya fokus
kepada analisis interpretasi makna. Pendekatan yang digunakan ialah metode
analisis isi sebagaimana penelitian isi koran yang dilakukan oleh Max Weber pada
tahun 1910 (Weber dalam Neuman, 1999: 293). Metode ini mengungkapkan isi
teks secara objektif sehingga hasil penelitiannya “replicable” atau dapat
dibuktikan oleh peneliti berikutnya dengan hasil yang sama (Kripendorrf, 1993:
14). Selain itu, sistematika penyampaian pesan pada awalnya digambarkan satu
arah atau secara linear.
Dengan kata lain, pengirim pesan (sender) diposisikan sebagai sumber
yang mutlak dan bertanggung jawab penuh atas pesan yang diciptakan (message).
Kemudian, proses distribusi pesan ini dianggap selesai ketika sampai kepada
penerima pesan (reciever). Pada kenyataanya, pola persebaran pesan seperti di
atas menuai kritik karena dianggap terlalu menekankan pada isi pesan tanpa
memperhatikan keterkaiatan yang cukup kompleks antara pengirim pesan, pesan
itu sendiri, dan penerima pesan. Dalam hal ini, pengirim pesan seolah-olah
memposisikan penerima pesan sebagai objek yang pasif. Hal ini berdasarkan
kepada asumsi bahwa pesan yang diciptakan akan secara menyeluruh dapat
diterima dan diserap oleh setiap penerima pesan sebagai target akhir. Padahal
menurut Elliot, penonton berperan sebagai penerima pesan (reciever) sekaligus
sumber (source) dalam distribusi pesan di televisi (dalam During, 1993: 92).
Sebagai solusi dari masalah di atas, tulisan Stuart Hall (1973) yang
berjudul “Encoding and Decoding Television Discourse” membawa pembaharuan
dalam bidang ini. Pada dasarnya, Hall berangkat dari konsep linear satu arah yang
kemudian ia kembangkan menjadi sebuah pola yang lebih dinamis dengan
memperhitungkan peranan semua pihak yang terkait dalam proses produksi dan
penyebaran pesan. Ia menawarkan empat tahapan dalam teori komunikasi,
produksi, sirkulasi, penggunaan (atau yang disebut dengan distribusi atau
konsumsi) dan reproduksi (During, 1993: 90). Dalam memaknai konsep Hall
tersebut, During menambahkan bahwa satu tahap mempengaruhi tahap
9
selanjutnya dan pesan yang diciptakan akan secara tersirat terbawa sampai akhir
produksi. Namun demikian, tahapan-tahapan bersifat independen karena dapat
dianalisis secara terpisah. Storey (1996) menyederhanakan konsep Hall menjadi
tiga bagian, dengan menggabungkan tahap ketiga dan keempat. Ketiga tahapan
tersebut dijelaskan dengan mengacu pada diagram persebaran makna milik Hall
seperti berikut:
Tahap pertama ialah proses produksi sebuah wacana, dalam hal ini
tayangan televisi. Salah satu alasan mendasar yang memicu terjadinya sebuah
produksi antara lain adanya kepentingan institusi terkait dan atau permintaan
pasar untuk menayangkan program yang baru di televisi. Proses ini dilakukan oleh
instansi media tertentu yang tergabung dalam sebuah lembaga profesional,
misalnya satu tim produksi dari sebuah stasiun televisi. Pada tahap ini, pengirim
pesan merencanakan dan memilih ide, nilai, serta fenomena sosial apa yang akan
ditampilkan kedalam tayangan. Maka, dari proses inilah siklus distribusi makna
dimulai. Selanjutnya, Hall menjelaskan aturan-aturan yang membatasi proses ini.
[the moment of media production] is framed throughout by meanings and ideas: knowledge in use concerning the routines of production, historically defined technical skills, professional ideologies, institutional knowledge, definitions and assumptions, assumptions about the audience and so on frame the constitution of the programme through this production structure. (dalam Storey, 1996:10).
Dari penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa sebuah proses produksi
dilakukan secara diskursif atau terbatas pada nilai-nilai tertentu. Adapun faktor
yang membatasinya terdiri dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal
technical infrastructure
relations of productions
frameworks of knowledge
technical infrastructure
relations of productions
frameworks of knowledge
meaning structures 1
meaning structures 2
encoding decoding
programme as ‘meaningful’ discourse
Figur 1. Diagram sirkulasi makna oleh Hall (1973) (dalam Storey, 1996: 10)
10
meliputi sudut pandang produsen dalam melihat fenomena sosial sebagai bentuk
aplikasi dari ideologi yang menjadi visi dan misi. Citra atau gambaran yang
diharapkan dapat dibentuk dari tayangan yang dihasilkan. Kemudian, fasilitas
infrastruktur (teknis) serta kemampuan dan kreatifitas individu dalam proses
produksi juga sangat penting. Sementara itu, keberadaan target penonton pun turut
dipertimbangkan sebagai faktor eksternal dalam proses ini. Dengan adanya
batasan-batasan ini, maka proses produksi tayangan televisi berbeda antara satu
dan yang lainnya. Hasil akhir dari proses ini berupa pembentukan kode dari
fenomena sosial menjadi sebuah pesan atau yang disebut dengan meaning
structure 1 atau struktur rmakna 1. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
struktur makna pada tahap ini didominasi dan dimaknai dari sudut pandang
produsen sebagai pencipta dan pengirim pesan.
Tahap selanjutnya ialah penyampaian pesan yang sudah dikemas dalam
bentuk sebuah tayangan atau program. Dengan kata lain, program tersebut
merupakan realisasi dari rancangan ide yang telah diproses sebelumnya. Melalui
medium inilah penonton memiliki akses untuk memaknai pesan yang dikirimkan.
Maka, penonton tidak secara langsung menerima struktur makna 1 dari produsen
melainkan dari tayangan yang ditonton di televisi. Selain itu, pada tahap ini
eksistensi pengirim pesan tidak lagi terlihat karena bahasa dan visualisasi dalam
tayangan menjadi elemen yang sangat mendominasi. Dengan demikian, ketika
pesan ini ditayangkan interpretasi terhadap isinya bisa dipastikan menjadi sangat
beragam dan sepenuhnya bergantung pada penonton sebagai penerima pesan.
Tahapan yang terakhir ialah saat di mana penonton berusaha memaknai
isi tayangan dengan membongkar kode-kode dari tayangan yang disaksikan. Sama
halnya dengan proses produksi, proses pembongkaran kode ini juga meliputi
beberapa proses dan dipengaruhi oleh latar belakang penonton. Sebagai contoh,
interpretasi yang berbeda antara beberapa orang penonton terhadap film yang
sama dapat disebabkan karena adanya perbedaan pengalaman tentang suatu
peristiwa. Pesan yang berhasil ditangkap dari sudut pandang penonton ini disebut
oleh Hall sebagai meaning structure 2 atau struktur makna 2. Praktek nyata atau
aplikasi pesan yang berhasil ditangkap oleh penonton merupakan bentuk
11
reproduksi dari sebuah produksi. Dengan kata lain, proses produksi yang bermula
dari visualisasi nilai kehidupan sosial kembali diproduksi dalam kehidupan sosial
pula. Berbeda dengan konsep linear yang satu arah, sirkulasi makna milik Hall
disebut juga sebagai rantai komunikasi karena proses produksi dan distribusi
pesan terus berputar secara sirkular.
Dari diagram diatas, makna yang dirancang dalam struktur makna 1 tidak
otomatis identik dengan makna yang ditangkap penonton dalam struktur makna 2.
Hal ini seperti yang dikatakan oleh Hall,
The codes of encoding and decoding may not be perfectly symmetrical
(dalam During, 1993: 93).
Pada kenyataannya, instansi profesional tentu saja mengharapkan
penonton dapat mengerti pesan yang diciptakan secara menyeluruh dan
menerimanya dengan baik.
Sebagai contoh, media berusaha meyakinkan penonton melalui sebuah
iklan agar produk tersebut laris di pasaran. Namun demikian, tidak ada jaminan
mengenai resepsi penonton yang akan dihasilkan dari sebuah produksi.
Perbedaan kedua makna tersebut sering kali diartikan sebagai sebuah
kesalahpahaman. Hall melihat fenomena ini dari sudut pandang yang berbeda,
What they [the broadcasters] really mean to say is that viewers are
not operating within the ‘dominant’ or ‘preferred’ code. (dalam Storey,
1996: 12).
Yang dimaksud dengan “dominant code” atau kode dominan dan
“preferredcode” atau kode pilihan adalah acuan terhadap pengetahuan atau
kebiasaan universal sebagai bagian dari budaya yang dipahami oleh kebanyakan
masyarakat.
Dalam sebuah tayangan, kedua kode di atas disebut juga sebagai kode
profesional karena di dalamnya mengandung dominasi dan ideologi institusional
pengirim pesan. Ketika penonton tidak mampu mengerti kode-kode tersebut
dalam sebuah tayangan, mereka seringkali dianggap salah. Hall tidak menyangkal
bahwa kesalahpahaman ini mungkin saja terjadi, namun ia berpendapat bahwa hal
ini perlu dimaknai secara tersendiri. Hal ini memicu pentingnya penelitian
12
mengenai resepsi penonton karena hal tersebut tidak bisa disamaratakan. Dalam
hal ini, ia memberikan kontribusi yang signifikan bagi pendekatan analisis media
massa, yakni penelitian dari segi penonton.
1.5.2 Khalayak dalam Analisis Resepsi
Riset khalayak menurut Stuart Hall (1973) seperti dikutip Baran (2003
:269) mempunyai perhatian langsung terhadap : (a) analisis dalam konteks sosial
dan politik di mana isi media diproduksi (encoding); dan (b) konsumsi isi media
(decoding) dalam konteks kehidupan sehari-hari. Analisis resepsi memfokuskan
pada perhatian individu dalam proses komunikasi massa (decoding), yaitu pada
proses pemaknaan dan pemahaman yang mendalam atas media texts, dan
bagaimana individu menginterpretasikan isi media (Baran, 2003 : 269-270). Hal
tersebut bisa diartikan individu secara aktif menginterpretasikan teks media
dengan cara memberikan makna atas pemahaman pengalamannya sesuai apa yang
dilihatnya dalam kehidupan sehari-hari (verstehen atau understanding).
Interpretasi didefinisikan sebagai kondisi aktif seseorang dalam proses berpikir
dan kegiatan kreatif pencarian makna (Littlejohn, 1999: 199). Sementara makna
pesan media tidaklah permanen, makna dikonstruksi oleh khalayak melalui
komitmen dengan teks media dalam kegiatan rutin interpretasinya. Artinya,
khalayak adalah aktif dalam menginterpretasi dan memaknai teks media.
Sementara menurut Lorimer (1994 : 170) melihat pada bagaimana
audiens merasakan (make sense) media sebagai sebuah produk budaya dan
bagaimana interpretasi atas apa yang mereka baca, lihat dan dengar. Proses
interpretasi terjadi apabila media mampu memberikan makna tersendiri atas ritual
konsumsi media yang dilakukan setiap harinya, dalam konteks sosialnya.
Konsumsi isi media mampu berbagi pengalaman antara seseorang dengan orang
lain melalui tahapan penggunaan media (contexts of media use), dengan
interpretasi secara introspeksi, retrospeksi (persepsi), dan pernyataan verbal
seseorang atas kegiatannya mengkonsumsi media. Tahapan decoding yaitu pada
proses memproduksi makna dan membagikan kepada orang lain. Dalam konteks
sosial, konsumsi media cenderung mengkonseptualisasikan media sebagai
13
representasi daripada sebagai sumber informasi. Media terintegrasi kedalam
kehidupan sosial seseorang setiap harinya (Jensen, 1991 : 161-163). Media adalah
bagian kehidupan sosial manusia, dan manusia terhubung dengan media dalam
nila-nilai sosial masing-masing.
Kelahiran penelitian resepsi dalam ranah penelitian komunikasi massa
kembali pada encoding dan decoding Stuart Hall (1974) dalam wacana televisi.
Penelitian resepsi dalam studi media adalah terkait dengan kajian budaya dan
Birmingham Centre, meskipun kemudian menunjukkan bahwa teori resepsi
memiliki akar lainnya (Alaasutari, 1999: 2). Kegiatan penerimaan pesan diawali
dengan proses decoding yang merupakan kegiatan yang berlawanan dengan
proses encoding. Decoding adalah kegiatan untuk menerjemahkan atau
menginterpretasikan pesan-pesan fisik ke dalam suatu bentuk yang memiliki arti
bagi penerima (Morissan, 2013: 21).
Menurut Stuart Hall, khalayak melakukan decoding terhadap pesan
media melalui tiga kemungkinan posisi, yaitu:
1. Posisi Hegemoni Dominan, yaitu situasi di mana khalayak menerima
pesan yang disampaikan oleh media. Ini adalah situasi di mana media
menyampaikan pesannya dengan menggunakan kode budaya dominan dalam
masyarakat. Dengan kata lain, baik media dan khalayak sama-sama menggunakan
budaya dominan yang berlaku. Media harus memastikan bahwa pesan yang
diproduksinya harus sesuai dengan budaya dominan yang ada dalam masyarakat.
Jika misalnya khalayak menginterpretasikan pesan iklan di media melalui cara-
cara yang dikehendaki media maka media, pesan, dan khalayak sama-sama
menggunakan ideologi dominan. Penonton yang termasuk dalam klasifikasi ini
memahami isi pesan secara apa adanya. Dengan kata lain, penonton sejalan
dengan kode dominan yang dari awal berusaha dibangun oleh pengirim pesan. Hal
ini merupakan contoh dari bentuk ideal peyampaian pesan yang transparan karena
respon penonton dianggap sesuai dengan harapan pengirim pesan yang sering kali
diartikulasikan melalui professional code (kode profesional).
2. Posisi Negosiasi, yaitu posisi di mana khalayak secara umum menerima
ideologi dominan namun menolak penerapannya dalam kasus-kasus tertentu
14
(sebagaimana dikemukakan Stuart Hall: the audience assimilates the leading
ideology in general but opposes its application in specific case). Dalam hal ini,
khalayak bersedia menerima ideologi dominan yang bersifat umum, namun
mereka akan melakukan beberapa pengecualian dalam penerapannya yang
disesuaikan dengan aturan budaya setempat. Posisi ini merupakan posisi
kombinasi. Pada satu sisi, penonton mampu menangkap kode dominan yang ada
di dalam teks (tayangan televisi) sebagai sebuah abstraksi yang terkandung
(global). Namun demikian di saat yang bersamaan, penonton juga melakukan
penolakan dengan menyeleksi mana yang cocok atau tidak untuk diadaptasikan ke
dalam konteks yang lebih terbatas (lokal). Dengan kata lain, penonton tidak
menerima mentah-mentah pesan yang ada. Storey (1996) menambahakan bahwa
secara umum mayoritas penonton berada dalam posisi ini.
3. Posisi Oposisi, Cara terakhir yang dilakukan khalayak dalam melakukan
decoding terhadap pesan media adalah melalui oposisi yang terjadi ketika
khalayak audiensi yang kritis mengganti atau mengubah pesan atau kode yang
disampaikan media dengan pesan atau kode alternatif. Audiensi menolak makna
pesan yang dimaksudkan atau disukai media dan menggantikannya dengan cara
berpikir mereka sendiri terhadap topik yang disampaikan media. Sama halnya
dengan penonton dalam posisi negosiasi, dalam hal ini penonton juga mengerti
benar makna denotatif dan konotatif sebagai abstraksi dari pesan yang dibuat,
tetapi sikap yang mereka tunjukkan justru bertolakbelakang dengan isi pesan.
Dengan kata lain, dalam posisi ini terlihat adanya bentuk keberatan terhadap kode
dominan karena adanya acuan alternatif yang dianggap lebih relevan.
Stuart Hall menerima fakta bahwa media membingkai pesan dengan
maksud tersembunyi yaitu untuk membujuk, namun demikian khalayak juga
memiliki kemampuan untuk menghindari diri dari kemungkinan tertelan oleh
ideologi dominan. Namun demikian sering kali pesan bujukan yang diterima
khalayak bersifat sangat halus. Para ahli teori studi kultural tidak berpandangan
khalayak mudah dibodohi media, namun seringkali khalayak tidak mengetahui
bahwa mereka telah terpengaruh dan menjadi bagian dari ideologi dominan
(Morissan, 2013: 550-551).
15
Menurut Littlejohn dan Foss, audiens dapat dibedakan menjadi audiens
pasif dan audiens aktif. Audienspasif maksudnya adalah pengertian yang
mengangap bahwa masyarakat lebih banyak dipengaruhi oleh media. Masyarakat
secara pasif menerima apa yang disampaikan media, masyarakat menerima secara
langsung apa-apa yang disampaikan oleh media. Sedangkan audiens aktif berlaku
sebaliknya, kelompok ini lebih selektif dalam menerima pesan-pesan media,
mereka juga selektif dalam memilih dan menggunakan media (Littlejohn, & Foss,
2005:333). Khalayak adalah partisipan aktif dalam membangun dan
menginterpretasikan makna atas apa yang mereka baca, dengar dan lihat sesuai
dengan konteks budaya. Isi media dipahami sebagai bagian dari sebuah proses di
mana common sense dikonstruksi melalui pembacaan yang diperoleh dari gambar
dan teks bahasa. Sementara, makna teks media bukanlah fitur yang transparan,
tetapi produk interpretasi oleh pembaca dan penonton. Asumsinya adalah,
sebelumnya media hanya menjadi penyalur informasi, maka kini ia menjadi
fasilitator, penyaring dan pemberi makna dari sebuah informasi. Media kini
bertugas untuk membawa audiensnya masuk dalam dunia makna yang lebih luas,
tidak terbatas pada tempat dan waktu kejadian sebuah peristiwa.
Konsep khalayak aktif (active audience) pada mulanya berangkat dari
Stuart Hall dalam tradisi cultural studies ketika memperkenalkan model
komunikasi encoding/decoding. Ini berisi gagasan tentang proses komunikasi di
mana gagasan/ide di-encode dalam pesan, dikirim dan diterima untuk di-decode,
yang bisa jadi ide yang dikirimkan tadi tidak dipahami secara identik dengan yang
mengirim, karena makna tidaklah ada dalam pesan, melainkan bahwa pemaknaan
ditentukan oleh faktor seperti konteks, tujuan, ideologi, kepentingan atau bahkan
juga media yang digunakan. Di situlah muncul bahwa khalayak tidaklah pasif,
tapi aktif karena berhak menentukan sendiri makna dan refleksi pengalamannya
terhadap teks yang dikonsumsinya.
Dalam kajian yang dilakukan oleh Frank Biocca dalam artikelnya yang
berjudul ”Opposing Conceptions of the Audience : The Active and Passive
Hemispheres of Communication Theory” (1998), yang kemudian diakui menjadi
tulisan paling komprehensif mengenai perdebatan tentang khalayak aktif versus
16
khalayak pasif, ditemukan beberapa tipologi dari khalayak aktif (Junaedi,
2007:82-83).
1. Selektifitas (selectivity)
Khalayak aktif dianggap selektif dalam proses konsumsi media yang mereka
pilih untuk digunakan. Mereka tidak asal-asalan dalam mengkonsumsi media,
namun didasari alasan dan tujuan tertentu.
2. Utilitarianisme (utilitarianism)
Di mana khalayak aktif dikatakan mengkonsumsi media dalam rangka suatu
kepentingan untuk memenuhi kebutuhan dan tujuan tertentu yang mereka
miliki.
3. Intensionalitas atau Intentionality
Mengandung makna penggunaan secara sengaja dari isi media.
4. Involvement atau Keikutsertaan
Khalayak secara aktif berfikir mengenai alasan mereka dalam mengkonsumsi
media.
5. Khalayak aktif dipercaya sebagai komunitas yang tahan dalam menghadapi
pengaruh media atau tidak mudah dibujuk oleh media itu sendiri.
Khalayak yang lebih terdidik (educated people) cenderung menjadi bagian dari
khalayak aktif, karena mereka lebih bisa memilih media yang mereka
konsumsi sesuai kebutuhan mereka dibandingkan khalayak yang tidak terdidik.
1.5.3 Serial Animasi Tom and Jerry
Sebuah film secara kuat menggambarkan dampak media massa pada
masyarakat yang lebihluas. Tom and Jerry adalah sebuah serial animasi Amerika
Serikat hasil produksi MGM yang bercerita tentang seekor kucing (Tom) dan
seekor tikus (Jerry) yang selalu bertengkar. Seri animasi ini telah memenangkan
penghargaan Academy Award (Piala Oscar) dan membentuk dasar dari seri sukses
studio Metro Goldwyn Mayer (MGM). Cerita pendek mereka ini diciptakan,
ditulis dan disutradarai oleh dua orang animator bernama William Hanna dan
Joseph Barbera (mereka kemudian terkenal sebagai Hanna-Barbera). Seri animasi
ini diproduksi oleh MGM Cartoon Studio di Hollywood pada tahun 1940 hingga
17
1957 saat unit animasi studio tersebut ditutup. Pada tahun 1960, MGM
mempekerjakan Rembrandt Films (pimpinan Gene Deitch) di Eropa Timur untuk
memproduksi seri Tom and Jerry ini.
Produksi Tom and Jerry kembali ke Hollywood pada tahun 1963,
dikerjakan oleh Sib-Tower 12 Productions pimpinan Chuck Jones. Seri produksi
ini berlangsung hingga tahun 1967. Tom and Jerry muncul kembali di acara
kartun televisi hasil produksi Hanna-Barbera (1975-1977; 1990-1993) dan
Filmation Studios (1980-1982). Film animasi pendek produksi MGM karya
Hanna dan Barbera dikenal karena telah memenangkan tujuh Academy Award,
menyamai prestasi Silly Symphonies karya Walt Disney. Dua karya ini adalah
karya animasi seri yang paling banyak menerima penghargaan.
1.6 Kerangka Konsep
Setelah melalui penjabaran kerangka pemikiran sebelumnya, maka dapat
diambil sejumlah konsep yang membantu peneliti untuk menjawab rumusan
masalah dalam penelitian ini. Konsep-konsep tersebut terdiri dari : perilaku
kekerasan dalam tayangan Tom and Jerry dan decoding audiens terhadap perilaku
kekerasan dalam tayangan Tom and Jerry.
1.6.1. Perilaku Kekerasan dalam Serial Animasi Tom and Jerry
Film Tom and Jerry adalah sebuah serial animasi Amerika Serikat hasil
produksi MGM yang bercerita tentang seekor kucing (Tom) dan seekor tikus
(Jerry) yang selalu bertengkar. Serial di sini merujuk kepada bentuk (biasanya
digunakan dalam istilah dunia perfilman) untuk menunjukkan bahwa suatu produk
penyiaran tersebut memiliki episode yang berurutan. Dalam merriam webster
dictionary, serial atau series memiliki arti, a set of regularly presented television
programs each of which is complete in itself (www.merriam-
webster.com/dictionary/series). Sedangkan animasi adalah salah satu bentuk
bagaimana sebuah film diproduksi, biasanya menggunakan bantuan komputer
untuk merealisasikannya (Cinemagz Edisi 171, Oktober 2013).
18
Cerita di dalam serial animasi Tom and Jerry berpusat pada karakter Tom
& Jerry, tentang persaingan keduanya dalam kehidupan sehari-hari di manapun
mereka berada. Tom and Jerry juga termasuk dalam kategori slapstick comedy.
Slapstick comedy adalah komedi yang menggunakan bentuk kekerasan sebagai
bahan utama leluconnya dan seringkali unsur kekerasan yang ditampilkan
melebihi batas wajar atau akal sehat. Ini terlihat dalam setiap episode tayangan
Tom and Jerry selalu saja terjadi adegan kekerasan (pukul-memukul, menendang,
dan sebagainya).
Beberapa bentuk kekerasan yang terjadi bersifat fisik yaitu memukulkan
kepala berkali-kali ke plang besi, adegan anjing memukul tubuh kucing dan
kepalanya dengan balok kayu, serta terdapat adegan saling mencekik, adegan
ketika seekor tikus kecil yang membawa kapak dan mengayunkan pada tokoh
Tom untuk memotong ekornya hingga putus. Kemudian dia juga memotong
bagian atas kepala Tom hingga bulu kepalanya terpotong. Sedangkan kekerasan
yang besifat verbal yaitu mengumpat, mencaci maki dan mengintimidasi.
Atmasasmita (2008:55) mendefinisikan kekerasan sebagai tindakan yang
membawa kekuatan untuk melakukan paksaan atau pun tekanan berupa fisik
maupun non fisik. Schneiders (2006:10) mendefinisikan agresi sebagai suatu
bentuk respon yang mencari pengurangan ketegangan dan frustasi melalui
perilaku yang banyak menuntut, memaksa dan menguasai orang lain.
Para ahli menggolongkan dua aspek perilaku kekerasan yaitu (Videbeck,
2008:9):
1. Aspek fisik, termasuk melemparkan sesuatu, menghentakkan kaki, mendorong,
mencekik, menyerobot, menampar, menendang, menghajar, meninju dan
serangan dengan menggunakan suatu obyek, seperti senjata tajam.
2. Aspek verbal, termasuk menolak berbicara, berteriak, menjerit, mengutuk,
menghina, mencaci maki, memfitnah dan menyebar gosip.
19
1.6.2. DecodingAudiens terhadap Perilaku Kekerasan dalam Serial
AnimasiTom and Jerry.
Penelitian ini mengenai studi khalayak, secara spesifik tentang audiens
yang menonton televisi program animasi kartun film Tom and Jerry. Sedangkan
hal yang yang ingin diteliti adalah mengenai resepsi audiens terhadap pesan
kekerasan dalam tayangan Tom and Jerry. Analisis konsep ini menggunakan
analisis resepsi; karena dalam studi analisis resepsi, audiens merupakan entitas
yang aktif dalam membangun dan menginterpretasikan makna atas apa yang
mereka baca, lihat, dan dengar sesuai dengan latar belakang dan faktor psikologi,
sejarah, sosial, politik dan budaya tertentu serta bingkai referensi (frame of
reference) dan bidang pengalaman (field of experience). Resepsi oleh audiens
dalam tayangan film Tom and Jerry mengacu pada segala bentuk proses decoding,
interpretasi, pemahaman, opini, dan pandangan dari pesan yang diterimanya.
1.7 Metodologi Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif, yang artinya penelitian ini dibuat hanya
untuk menggambarkan situasi atau peristiwa (Rakhmat, 1984:34). Menggunakan
pendekatan kualitatif, karena dengan pendekatan kualitatif hasil penelitian yang
didapatkan tidak dilakukan melalui perhitungan, maupun bukan dalam bentuk
hasil statistik (Strauss & Corbin, 2007:4). Sedangkan menurut Jensen (1991:136),
analisis resepsi dipakai sebagai metode untuk mengetahui bagaimana resepsi
audiens terhadap pesan yang terkandung di dalam sebuah media yang
dikonsumsinya. Dalam penelitian ini, analisis resepsi digunakan untuk melihat
bagaimana resepsi audiens terhadap pesan kekerasan yang terkandung di dalam
tayangan serial animasi Tom and Jerry.
1.7.1 Subjek dan Lokasi Penelitian
Meski tayangan Tom and Jerry di Indonesia memiliki rating A (anak)
menurut KPI, pada kenyataannya penonton Tom and Jerry tidak hanya berasal
dari golongan anak-anak. Dalam penelitian ini, akan dipilih subjek penelitian atau
informan yang memiliki kedekatan dengan teks, dalam hal ini serial animasi Tom
20
and Jerry. Dengan kata lain, informan yang dipilih adalah yang menonton serial
animasi Tom and Jerry di televisi.
1.7.2 Teknik Pengumpulan Data
1. Observasi Partisipan
Dalam observasi partisipan, peneliti turut serta melakukan apa yang
dikerjakan oleh subjek penelitian, mengamati segala yang dilakukan subjek, dan
kemudian melakukan analisis. Hal ini dilakukan ketika subjek melakukan
aktivitas menonton serial animasi Tom and Jerry, apakah mereka melakukan
imitasi tingkah laku tokoh, melakukan pendampingan, maupun mengalami
pelarangan menonton dari orang yang lebih tua dari subjek.
2. Wawancara
Wawancara dilakukan untuk mengetahui apa yang ada dalam pikiran
subjek ketika mereka menonton tayangan serial animasi Tom and Jerry. Dengan
menyodorkan berbagai pertanyaan yang sudah disesuaikan dengan aspek-aspek
yang perlu diteliti, peneliti akan mendapatkan data penelitian sesuai dengan
panduan wawancara yang telah dibuat.
3. Studi Pustaka
Studi pustaka diperlukan untuk memperkuat peneliti mengukur resepsi
pesan yang dilakukan subjek penelitian terhadap tayangan serial animasi Tom and
Jerry. Studi pustaka bisa bersumber dari penelitian yang telah dilakukan, jurnal,
maupun buku yang bersifat menunjang penelitian ini.
1.7.3 Teknik Analisis Data
Mengacu pada jenis data penelitian ini, yakni data kualitatif, maka
analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan analisis kualitatif. Teknik
kualitatif digunakan untuk menganalisis data yang diperoleh melalui hasil
dokumentasi lembar saran dan pendapat responden. Analisis data kualitatif berupa
21
analisis deskriptif. Penelitian deskriptif biasanya mempunyai dua tujuan, yang
pertama adalah mengetahui perkembangan fisik tertentu atau frekuensi
tersedianya suatu aspek fenomena sosial tertentu. Yang kedua adalah untuk
mendeskripsikan secara terperinci fenomena sosial tertentu.
Adapun langkah-langkah analisis data yang digunakan untuk
menganalisa masalah yang hendak diungkap yakni dengan menggunakan model
interaktif yang dikembangkan oleh Miles dan Huberman (2009: 20) sebagai
berikut:
a. Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dari pengamatan atau observasi dan dokumentasi
dicatat dalam catatan lapangan, yang terdiri dari dua bagian, yaitu: pertama,
catatan kasus yang merupakan catatan tentang apa yang diamati, didengar,
dilihat dan dialami sendiri oleh peneliti secara alami atau apa adanya dari
lapangan tanpa ada pendapat atau tafsiran dari peneliti. Kedua, catatan reflektif
yang merupakan catatan yang berisi kesan, komentar, pendapat, saran dan
tafsiran peneliti tentang fenomena yang baru saja dijumpai, dalam catatan
refleksi, peneliti mulai melakukan penarikan kesimpulan awal bersifat
sementara dan baru pada data secara sendiri-sendiri. Di samping itu dalam
catatan lapangan dibuat rencana untuk kegiatan pengumpulan data pada tahap
berikutnya
b. Reduksi Data
Data yang dicatat dalam catatan lapangan yang jumlahnya banyak akan
mempersulit penarikan kesimpulan, maka perlu dipersingkat, dirangkum dan
dipilih data yang penting dan berkaitan langsung dengan pokok persoalan.
Kegiatan ini disebut reduksi data.
c. Sajian Data
Data yang telah direduksi, perlu disajikan dalam bentuk tulisan yang
disusun secara sistematik, atau dibuat matrik, grafik, atau tabel supaya nudah
dilihat dan dipahami hubungannya antara satu data dengan yang lainnya,
sehingga memudahkan kesimpulan
22
d. Penarikan Kesimpulan
Penarikan kesimpulan dilakukan selama penelitian berlangsung. Data yang
diperoleh sejak awal penelitian sudah mulai ditafsirkan dan diambil
kesimpulannya. Ketika data masih sedikit jumlahnya, kesimpulan yang ditarik
masih belum jelas, makin banyak data yang didapat, maka kesimpulan akan
makin jelas. Apabila kesimpulan dirasa masih kurang mantap, makan peneliti
perlu kembali mengumpulkan data di lapangan. Keempat komponen tersebut
berinteraksi satu sama lain dan merupakan siklus dan dapat digambarkan
sebagai berikut:
Figur 2.
Bagan siklus analisis interaktif model Miles & Huberman (2009:20)
Pengumpulan Data (Data collection)
Penyajian Data (Data display)
Reduksi Data (Data reduktion)
Kesimpulan: Penarikan / Verifikasi
Recommended