View
228
Download
3
Category
Preview:
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Salah satu ciri dari sikap modern, menurut pendapat Mulder (De Jong,
1984) ialah obyektifisasi, menaruh perhatian mental terhadap benda-benda, rasa
hormat terhadap materi dan hubungan yang positif dengan materi adalah syarat
mutlak bagi setiap modernisasi. Modernisasi dan kemajuan zaman yang
membawa masyarakat pada pola dan gaya hidup materialistis, konsumtif dan
hedonistis telah menggiring perspektif masyarakat terhadap nilai-nilai
kemanusiaan yang menyempit. Sikap sabar, tawakal, ulet, telaten, dan cermat
yang merupakan entitas kebersahajaan dan kejujuran telah tersulap menjadi sikap
menerabas, pragmatis dan serba cepat.
Manusia modern, menurut Kusuma (dalam Tuhusetya, 2007) telah
melupakan satu dari dua sisi yang membentuk eksistensinya sendiri akibat pada
keasyikan sisi yang lain. Kemajuan industri telah mengoptimalkan kekuatan
mekanismenya, tetapi melemahkan kekuatan rohaninya. Dampak dari sikap dan
gaya hidup masyarakat modern yang materialistis, konsumtif dan hedonis adalah
suatu eksistensi manusia yang timpang dan berat sebelah. Soejatmoko (dalam De
Jong, 1984) menyebutnya ”kehampaan eksistensiil” karena manusia tidak dapat
menghadapi tantangan-tantangan kehidupan modern. Soejatmoko menjelaskan
bahwa dalam peradaban modern, upaya pembangunan tidak hanya mengejar
2
peningkatan kesejahteraan material sehingga terlepas dari cita-cita yang berakar
dalam kebudayaan tradisional.
Kebudayaan dan agama yang tradisionallah yang dapat mengajarkan
manusia untuk memahami pertanyaan-pertanyaan tertinggi seperti kehidupan,
maut, tujuan, dan makna. Nilai-nilai tinggi seperti hidup, mati, dan tujuan hidup
tidak merintangi kecakapan manusia, melainkan justru memperlebarnya (De Jong,
1984). Modern tidak berarti imitasi, peniruan dari keadaan negara-negara yang
sudah maju. Modern adalah suatu sikap, suatu cara berpikir, suatu cara
menghadapi dunia dan kehidupan manusia. Modern tidak berarti merubah
keadaan tradisional melainkan berarti pembukaan dimensi-dimensi yang baru
(Mulder, 1986). Modern adalah suatu sikap yang mampu menginovasi nilai-nilai
tradisional, melestarikannya, dan mengambil sisi positifnya untuk membuka
dimensi baru demi kehidupan yang lebih bermakna, lebih bahagia, dan lebih
hidup.
Mulai tahun 2000 masyarakat mulai melirik teknik-teknik tradisional untuk
meraih ketenangan batin dan jiwa seperti yoga atau zen. Prabowo dan kawan-
kawan menerangkan bahwa sejak awal dekade 2000-an, mulai diramaikan dengan
adanya pelatihan (training seminar) yang diselengggarakan oleh konsultan asing.
Pelatihan ini mencakup latihan meditasi, pengembangan pikiran (mind), dan
kekuatan-kekuatan kejiwaan (psychic powers). Dalam pelatihan tersebut, konsep-
konsep, dan teknik-teknik diambil dari disiplin agama-agama timur terutama
India, Cina, dan Jepang (dalam Prabowo, dkk., 2005).
3
Ada baiknya sebagai masyarakat Indonesia untuk melihat cara-cara
tradisional dari budaya bangsa sendiri sebagai salah satu upaya mencapai
kebahagiaan, ketenangan dan ketentraman jiwa, serta kesehatan mental agar tidak
lagi terdapat kehampaan eksistensiil dalam kehidupan manusia Indonesia. Salah
satu upaya manusia Indonesia, khususnya masyarakat Jawa untuk memahami
hakikat kehidupan dan mencapai kebahagiaan yang sempurna adalah melalui
tradisi mistik
Sepanjang sejarah Indonesia, tanah Jawa terkenal dengan budaya dan
tradisinya yang selalu berbau mistik. Sebagian besar masyarakat memahami
mistik sebagai suatu hal yang berkaitan dengan klenik dan gaib. Namun ternyata
arti mistik lebih luhur daripada kelihatannya. Happold (dalam Hidayatullah,
2004:) dalam bukunya “Misticism; A Study and Anthology” mendefinisikan a
mystic: “one who had been initiated into this mysteries, through which he had
gained an esoteric knowledge of Divine things and had been reborn into
eternity”. Mistik dalam pengertian ini adalah suatu sikap untuk membuka tabir
misteri supaya mendapat pengetahuan Ilahi dan akhirnya dapat terlahir kembali
dalam keabadian. Mistik seperti ini seharusnya merupakan ekspresi keagamaan
paling luhur dari setiap orang. Seorang feminis, Margaret Smith menjelaskan
mistik merupakan bagian terpenting semua agama yang besar, yang bangkit
menentang formalitas beku dan ketumpulan religius. Tujuannya, menurut Smith,
membangun hubungan secara sadar dengan yang Absolut, dimana sosok manusia
menemukan obyek cinta yang bersifat personal (Sutopo, 2006).
4
Pengetahuan keilahian dan keabadian adalah dirasakan secara personal.
Meminjam pendapat James (dalam Liem, 2008), yang menyebutkan bahwa
“agama” adalah rumah dari agama personal. Sebagai rumah agama, agama formal
mampu memberikan perilaku standar, namun tidak secara personal. Bahkan
kesadaran intuitif dalam agama personal tidak bisa dipaksakan karena kesadaran
ini adalah buah dari pengertian yang melewati pengalaman psikologis yang paling
dalam. Dan itu semua diberikan oleh mistik dalam setiap agama.
Masyarakat Jawa telah mengenal mistik sejak lama. Sejak zaman dahulu
kala, telah banyak masyarakat yang tahu tentang tradisi mistik di Jawa yang
dikenal dengan agama Jawa atau kejawen (Javanisme). Sejak di tanah Jawa belum
mengenal agama, hingga masuknya agama-agama besar di Jawa, dan sampai
sekarang, mistik kejawen (Javanisme) tetap eksis dipelosok desa, di sudut kota,
bahkan di tengah hingar bingar ibukota. Javanisme menekankan ketentraman
batin, keselarasan dan keseimbangan, sikap narima terhadap segala peristiwa
sambil menempatkan individu dibawah masyarakat dan masyarakat dibawah
semesta alam (Mulder 1986).
Secara umum mistisisme kontemporer Jawa disebut kebatinan (Rajaby,
2009). Praktik mistisisme pada masyarakat Jawa lazim disebut laku batin. Laku
batin dapat dilakukan perorangan maupun ritual yang dilakukan kelompok dengan
cara mengikuti perkumpulan kebatinan (Soehadha, 2008). Kebatinan seringkali
dianggap intisari Javanisme. Gaya hidup orang Jawa adalah kebatinan, yaitu gaya
hidup manusia yang memupuk batinnya. Pada dasarnya kebatinan adalah mistik,
penembusan terhadap pengetahuan mengenai alam dengan tujuan mengadakan
5
hubungan langsung antara individu dengan lingkungan Yang Maha kuasa
(Mulder, 1986).
Sekarang ini organisasi-organisasi kebatinan atau aliran-aliran kejawen
masih tetap menunjukkan perkembangannya dengan berbagai bentuk ajaran dan
praktik ritual masing-masing. Praktik mistisisme dan aliran kebatinan berkembang
di Indonesia sejak awal abad ke-20 dan meningkat cukup pesat semenjak
kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 (Woodward, 1999 dalam Soehadha,
2008). Biro Pengawas Aliran Kepercayaan (PAKEM) dari Departemen Agama
telah mencatat sebanyak 360 gerakan kebatinan dalam tahun 1964. Setelah G 30
September 1965, banyak gerakan yang bersimpati dengan PKI hilang, sehingga
daftar PAKEM yang baru yang dibuat dalam tahun 1971 hanya mencatat
sebanyak 217 gerakan saja, dan 177 diantaranya bertempat di Jawa Tengah. Dari
ke-177 gerakan itu, 13 berada di Surakarta (De Jong, 1973, Pakan, 1978,
Koentjaraningrat, 1984).
Zifana menuliskan bahwa dalam daftar Kejaksaan Agung tahun 1975/1976
terdaftar 224 aliran. Direktorat PPK (sekarang Dit Binahayat) sejak tahun 1979
hingga 1981 berhasil menginventaris 182 macam aliran penghayat kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Ke-182 aliran yang terdaftar di Direktorat PPK
tersebut nampaknya belum mencakup keseluruhan aliran-aliran kebatinan.
Berbagai macam aliran yang masih bersifat lokal yang pernah dijumpai Simuh
dalam penelitian di daerah-daerah Banyumas, Purwokerto, Purbalingga, dan
Cilacap belum termasuk dalam perhitungan tersebut (Zifana, 2008). Said Aqil
6
Siroj, ketua pengurus besar Nahdlatul Ulama (PBNU) bahkan mengatakan saat ini
ada kurang lebih 320 aliran kebatinan di Indonesia (Siroj, 2007)
Lima aliran kebatinan terbesar di tanah Jawa yang sampai sekarang ini
masih tetap eksis dengan jumlah penganut terbanyak adalah Hardapusara dari
Purworejo, Susila Budi Darma (SUBUD) yang asalnya berkembang di Semarang,
Paguyuban Sumarah dan Sapta Darma dari Yogyakarta dan Paguyuban Ngesti
Tunggal (Pangestu) dari Surakarta. Tempo, 19 september 1987 menuliskan bahwa
di Indonesia ada ratusan aliran kepercayaan yang terdaftar. Pangestu memiliki
lebih dari 100.000 anggota dan nampaknya merupakan aliran kebatinan terbesar di
Indonesia. Jumlah itu tersebar di 170 cabang di berbagai daerah, terutama Jawa,
Kalimantan, dan Sumatra (www.majalah.tempointeraktif.com, 1987). Sekarang
ini jumlah cabang dan penganut Pangestu telah bertambah banyak. Darsokusumo,
sebagai Pejabat Ketua Pengurus Pusat Pangestu pada 20 Mei 2005 dalam
sambutannya ketika Kongres Pangestu ke-15 menerangkan bahwa Pangestu telah
memiliki 196 cabang dimana 184 cabang berada di Pulau Jawa dan 12 cabang di
luar Pulau Jawa, dengan jumlah anggota seluruhnya 206.030 orang (Kongres
Pangestu XV, 2005).
Pangestu sebagai suatu paguyuban kebatinan yang terbesar di Indonesia
memiliki pokok-pokok ajaran yang menitikberatkan pada pendidikan dan
pengolahan jiwa yang memberikan tuntunan bagi umat manusia dalam bersikap
dan berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, masyarakat, serta alam. Tujuan
Pangestu ialah “mengantar umat manusia ke kesejahteraan abadi di pangkuan
7
Suksma Kawekas (Tuhan) dan memperkukuh para anggotanya untuk
kesejahteraan umat manusia dan negara” (Hadiwiyono, 1983).
Pangestu sebagai salah satu aliran mistik kebatinan juga memiliki tujuan
mistik seperti ajaran-ajaran mistik kebatinan lainnya. Olah jiwa dan laku batin
dalam ajaran Pangestu juga mengarah pada tujuan mistik manunggaling kawula
Gusti (Endraswara, 2006). Latihan spiritual atau ritual, laku batin, maupun olah
jiwa dalam kebatinan Pangestu pada dasarnya adalah bertujuan agar para
pelakunya dapat merasakan “rasa tertinggi” sebagai aspek fundamental dari
penghayatan mistik seseorang (Geertz, 1993).
Tradisi mistik pada umumnya memiliki sebuah kesamaan, yaitu adanya
penyatuan pada sesuatu yang bersifat transenden. Penyatuan adalah pengalaman
yang ditandai dengan hilangnya batas antara subyek dan obyek. Pengalaman ini
oleh Bistami diekspresikan dalam sebuah kalimat, “Aku mencari Tuhan dan hanya
menemukan diriku. Aku mencari diriku dan hanya menemukan Tuhan” (dalam
Liem, 2008).
Tradisi mistik secara umum dan tradisi mistisisme Jawa khususnya, pada
dasarnya terangkum dalam penghayatan dan pengalaman mistik para pelakunya.
Stace mengatakan: ”Our question “what is mysticism?” really means “what is
mystical experience.” (dalam Kartowidjojo, 2004). Selanjutnya Stace
mengatakan, ”The point is that a mystical idea is a product of the conceptual
intellect, whereas a mystical experience is a non-intellectual mode of
conciousness”. Pertanyaan tentang apa itu mistik, menurut Stace sebenarnya
berarti juga apakah pengalaman mistik itu. Yang jadi poin disini adalah gagasan
8
mistik adalah hasil dari konsep intelek, sedangkan pengalaman mistik adalah hasil
dari suasana/keadaan kesadaran yang non-intelek. Memahami mistik adalah
dengan memahami pengalaman mistik pelaku mistik, sedangkan pengalaman
mistik itu sendiri lebih dari pengalaman intelektual, karena pengalaman mistik
tidak pernah terjadi pada saat indra bekerja, terutama indra intelek yaitu otak.
Geertz, Mulder, dan Jong mengatakan pengalaman mistik kebatinan Pangestu
adalah masalah “rasa”.
Pengalaman mistik ataupun permasalahan rasa dalam mistik kebatinan
Pangestu adalah suatu pengalaman transpersonal. Kajian keilmuan mengenai
pengalaman transpersonal adalah psikologi transpersonal. Psikologi transpersonal
ingin menjawab pertanyaan “siapa saya?” dengan penyembuhan, spiritual,
kreativitas, dan menghubungkan dengan ‘higher self’ (Milburn, dalam
www.judithmilburn.com; Tisdale, 1995). Beberapa psikolog telah menemukan
bahwa pengalaman mistik tampak berhubungan dengan psychological strength
dan well-being. Tes psikologi juga mengindikasikan bahwa “peakers” atau
seorang yang mengalami “peak experience” adalah lebih tidak dogmatik, tidak
autoritarian, dan lebih intelektual, imajinatif, dan rileks daripada “non-peakers”
(Koltko, 1989).
Penjelasan diatas menggambarkan psikologi transpersonal yang tertarik pada
perubahan dan perluasan konsep self. Psikologi transpersonal juga mengkaji
pengalaman seseorang yang berkenaan dengan eksistensi individual sebagai
ekspresi realitas yang lebih luas dan berkonsentrasi pada wilayah dimana
psikologi dan spiritual saling meliputi (Milburn, dalam www.judithmilburn.com).
9
Pengalaman mistik tentunya juga termasuk di dalam pengalaman semacam ini
mengingat pengalaman mistik adalah transformasi kesadaran, dari kesadaran
mental-spiritual yang bersifat empiris menjadi kesadaran transpersonal yang
bersifat tunggal ilahiah (Hilmy, 2006). Penulis menyimpulkan dalam hal ini
psikologi transpersonal ingin melihat perkembangan kepribadian seseorang,
sejauh mana individu secara sadar mengembangkan self-nya melalui pengalaman
mistik untuk mencapai kesejahteraan hidup dan psychological strength.
Bila dilihat beberapa dekade sebelum psikologi transpersonal
dikembangkan, sudah banyak tokoh psikologi yang mencoba menelurkan teori-
teori perkembangan kepribadian dan self. Tujuan perkembangan kepribadian
seluruh umat manusia tentunya adalah kepribadian sehat dan penuh. Tiap tokoh
menyebutnya dengan cara masing-masing dan menjelaskannya dengan proses
masing-masing pula. Carl Gustav Jung menyebut individu dengan kepribadian
yang sempurna adalah orang-orang yang terindividuasi. Sedangkan Abraham
Maslow menyebutnya orang-orang yang teraktualisasi.
Pribadi yang teraktualisasikan dilukiskan sebagai “penggunaan, dan
pemanfaatan secara penuh bakat, kapasitas-kapasitas, potensi-potensi, dan
sebagainya”. Orang semacam ini memenuhi dirinya dan melakukan yang terbaik
yang dapat dilakukannya (Goble, 2000; Baihaqi, 2008). Dalam perkembangan
teori Maslow berikutnya disimpulkan bahwa level tertinggi dari aktualisasi diri
adalah transenden (Huiitt, W, 2004). Maslow mengungkapkan bahwa ada dua
point yang dibuat tentang orang yang teraktualisasi yaitu nilai-nilainya yang
natural (alami) dan nampak mengalir begitu saja dalam kepribadiannya. Dan
10
orang-orang yang teraktualisasi mampu mentransendensikan banyak hal yang
berlawanan yang tidak dapat disangkal seperti perbedaan antara spiritualitas dan
fisik, egois dan tidak egois, serta yang maskulin dan feminin.
Sedikit berbeda dengan Maslow, Jung menjelaskan orang-orang yang
terrealisasi ini dengan suatu kondisi yang menunjukkan proses yang lebih
struktural karena mengikutsertakan kesadaran dan ketidaksadaran serta posisi
sentral ego dalam proses tersebut. Teori psikologi analitik Jung menjelaskan
bahwa tujuan hidup manusia adalah mencapai kesempurnaan hidup yang disebut
realisasi diri. Orang dikatakan mencapai realisasi diri, kalau dapat
mengintegrasikan semua kutub-kutub yang berseberangan dalam jiwanya menjadi
kesatuan pribadi yang homogen (Alwisol, 2008).
Realisasi diri merupakan truly your self yang dapat dicapai dengan berani
menerima kesunyian dan dilalui dengan proses yang awalnya tidak mengenakkan
(Jung, 1986). Realisasi diri berarti diferensiasi yang sangat penuh, sangat
sempurna, serta perpaduan yang harmonis dari semua aspek seluruh kepribadian
manusia. Ini berarti bahwa psyche telah mengembangkan pusat baru, yakni “diri”,
menggantikan pusat yang lama yakni ego (Hall dan Lindzey, 1993). Jung juga
menjelaskan konsepnya mengenai realisasi diri melalui fungsi transendental
dimana proses ini mencoba mengintegrasikan aspek-aspek kepribadian yang
saling berlawanan, antara kesadaran dan ketidaksadaran, antara ego dan shadow,
dan antara anima dan animus.
Apa hubungan orang yang terindividuasi menurut Jung dan orang yang
teraktualisasi menurut Maslow dengan pengalaman mistik kebatinan Pangestu
11
dan psikologi transpersonal? Pertanyaan inilah yang mendasari penelitian penulis.
Psikologi analitik Jung memahami ketidaksadaran dan dimensi spiritual dalam
hidup. Psikologi humanistik Maslow mencari makna dasar psyche sebagai ‘soul’
yang tidak hanya sebuah otak yang dihubung-hubungkan atau perilaku yang
dikondisikan. Soul adalah aspek yang abadi dari eksistensi manusia yang benar-
benar membawa makna dan hidup kepada setiap orang dan menunjukkan intisari
siapa dia sebenarnya (Milburn, dalam www.judithmilburn.com). Psikologi
analitik Jung adalah tentang kesadaran yang dipengaruhi oleh ketidaksadaran,
psikologi humanistik Maslow adalah kesadaran yang dipengaruhi oleh
pengalaman (individual conscious experience), dan psikologi transpersonal
menurut Walsh (Tisdale, 1995) adalah tentang mistik dimana rasa individu
tentang self yang secara signifikan berubah dan pada kenyataanya meluas.
Singkatnya, realisasi diri Jung yang dicapai melalui usaha mental dalam
memperluas kesadaran dengan menerima ketidaksadaran dapat dilakukan dengan
tata cara spiritual atau mistik. Sedangkan aktualisasi diri Maslow dapat dicapai
melalui pengalaman puncak (peak experience) yang terbukti lebih mistik, religius
dan indah (poetical).
Konsep realisasi diri Jung dan aktualisasi diri Maslow meskipun berada
dalam dua aliran psikologi yang berbeda namun arah dan ujung dari pemikiranya
adalah sama yaitu suatu tingkat perkembangan kepribadian yang melampaui
normalitas. Artinya, suatu tingkat perkembangan kepribadian yang belum tentu
dapat dimiliki oleh banyak orang. Ide-ide Jung telah mempengaruhi tulisan-
tulisan Maslow hingga sampai akhir hidupnya Maslow membuka aliran keempat
12
psikologi yaitu psikologi transpersonal yang mengkaji higher self dilihat dari
tradisi-tradisi mistik timur. Tidak dapat dipungkiri bahwa Jung akan diakui
sebagai pemimpin spiritual dan intelektual dari gerakan revolusioner dalam
psikologi modern ke arah fenomenologi, eksistensialisme, meditasi, kerohanian,
ilmu mistik, ilmu gaib, perluasan kesadaran, transendensi, kesatuan diri, dan
pemenuhan diri (Hall dan Lindzey, 2001). Bagaimana realisasi diri dan aktualisasi
diri ini terjadi dapat dipahami melalui pengalaman mistik yang merupakan bagian
dari psikologi transpersonal. Dan pada akhirnya, pengalaman mistik yang dipilih
penulis untuk menjadi objek kajian penelitian ini adalah mistik kebatinan
Pangestu.
Suatu hal yang menarik untuk melihat lebih dalam tentang apa saja yang
dapat diberikan oleh mistik kebatinan Jawa khususnya Pangestu pada aspek
psikologis seseorang karena mistik kebatinan Jawa ternyata bukan saja
memberikan suatu nilai yang gaib dan hitam namun memiliki nilai keluhuran
sebagai upaya mental manusia menuju kesempurnaan hidup. Mistisisme Jawa,
dalam hal ini, merupakan sebuah harapan yang mampu mempertemukan semua
tradisi spiritual dalam cara pandang yang universal. Encyclopedia Britannica
(dalam Liem, 2008) menyebutkan bahwa mistisisme adalah harta karun abad ke-
20 yang tersembunyi di pusat-pusat jiwa manusia. Bagi penulis mistik kebatinan
Jawa memiliki keistimewaan yang sama dengan Yoga dalam budaya Hindhu-
Budha dan Zen dalam budaya Jepang, dalam menyumbangkan upaya
kesejahteraan psikologis dan kesehatan mental di bidang psikologi. Mungkin hal
13
itulah yang mampu menjelaskan tentang alasan mengapa banyak orang tua Jawa
tampak sabar, tenang, dan berumur panjang.
B. PERTANYAAN PENELITIAN
Pertanyaan penelitian yang akan dicari jawabannya adalah sebagai berikut:
1) Bagaimana pengalaman mistik para penganut Pangestu?
2) Bagaimana proses mencapai realisasi diri penganut Pangestu menurut teori
Jung?
3) Bagaimana proses mencapai aktualisasi diri penganut Pangestu menurut teori
Maslow?
C. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tentang :
1) Pengalaman mistik penganut kebatinan Pangestu.
2) Proses pencapaian realisasi diri dan aktualisasi diri para pengikut Pangestu.
3) Keterkaitan antara aktualisasi diri Maslow dan Realisasi diri Jung dalam
pengalaman mistik Pangestu.
D. MANFAAT PENELITIAN
Manfaat dari penelitian ini dibagi mejadi 2 macam, di antaranya sebagai
berikut ini :
14
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya bukti empiris tentang
pengalaman mistik dalam aliran kebatinan Jawa, khususnya Pangestu sehingga
mampu membantu dalam upaya mencapai realisasi diri dan aktualisasi diri.
2. Manfaat Praktis
Dari hasil penelitian ini diharapkan:
a. Bagi masyarakan luas, dapat membantu dalam memahami filsafat dan
ajaran mistik kebatinan Jawa untuk mendapatkan kebahagiaan hidup serta
diharapkan dapat mengambil sisi positif dari pengalaman mistik para
pengikut Pangestu.
b. Bagi peneliti lain, dapat digunakan sebagai bahan masukan untuk
penelitian selanjutnya, khususnya mengenai aktualisasi diri dalam praktek
mistik pangestu, realisasi diri dalam praktek mistik pangestu dan
pengalaman mistik pengikut pangestu.
15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. MISTISISME JAWA
1. Pengertian Mistisisme Jawa
Mistisisme, dalam bahasa Inggris mysticism, bahasa Yunani mysterion, dari
mystes (orang yang mencari rahasia-rahasia kenyataan) atau myein (menutup mata
sendiri). Istilah ini berasal dari agama-agam misteri Yunani yang para calon
pemeluknya diberi nama “mystes” (dalam Hidayatullah, 2004). Pendapat-pendapat
tentang paham mistik (dalam www.wikipedia.com) adalah sebagai berikut:
1) Kepercayaan tentang adanya kontak antara manusia bumi (aardse mens) dan
Tuhan (Haeringen dan Woordenboek, 1948),
2) Kepercayaan tentang persatuan mesra (innige vereneging) ruh manusia (ziel)
dengan Tuhan (Haeringen dan Woordenboek, 1948),
3) Kepercayaan kepada suatu kemungkinan terjadinya persatuan langsung
(onmiddelijke vereneging) manusia dengan Dzat Ketuhanan (goddelijke
wezen) dan perjuangan bergairah kepada persatuan itu (Kunstwoordentolk,
dan Kramers),
4) Kepercayaan kepada hal-hal yang rahasia (geheimnissen) dan hal-hal yang
tersembunyi (verborgenheden) (Kramers),
5) Kecenderungan hati (neiging) kepada kepercayaan yang menakjubkan
(wondergeloof) atau kepada ilmu yang rahasia (geheime wetenschap).
(Kunstwoordentolk dan Kramers),
16
Happold (dalam Hidayatullah, 2004) dalam bukunya “Misticism; A Study
and Anthology” mendefinisikan a mystic: “one who had been initiated into this
mysteries, through which he had gained an esoteric knowledge of Divine things
and had been reborn into eternity”. Maksudnya, seorang yang terinisistaif ke
dalam misteri, yang mendapat pengetahuan ilahiah dan setelah itu merasa
dilahirkan kembali ke dalam keabadian.
Berger (1991) dan Geertz (1993) menerangkan bahwa mistisisme sendiri
merupakan suatu pengalaman keagamaan tertentu yang ditunjukkan oleh adanya
kondisi psikologis yang berhubungan dengan ciri-ciri tertentu yang melibatkan
jenis kesadaran tertentu, dimana simbol-simbol indrawi dan pengertian-pengertian
dari pengertian abstrak seolah-olah terhapuskan. Jiwa merasa disatukan dalam
suatu kontak langsung dengan kenyataan yang menguasainya. Dalam bentuk
idealnya, mistisisme menimbulkan pengakuan bahwa penyatuan seperti itu telah
terjadi secara empiris, semua invidualitas menghilang dan diserap dalam lautan
keilahian yang maha luas (dalam Soehadha, 2008).
Mistisisme Jawa tentunya merupakan suatu fenomena mistik ataupun
mistisisme yang terdapat atau lebih tepatnya dilakukan oleh masyarakat Jawa.
Mistisisme yang dulunya berkembang dan beranak-pinak, terutama di Jawa,
tumbuh subur bersama budaya asli, secara perlahan-lahan tergusur oleh paham
keagamaan baru yang disebut agama-agama theisme (Sutopo, 2006).
Mistisime Jawa adalah mistisisme yang berakar dari budaya Jawa (dalam
http/:mauratania.wordpress.com). Secara umum mistisisme kontemporer Jawa
disebut kebatinan (Rajaby, 2009). Praktik mistisisme pada masyarakat Jawa lazim
17
disebut laku batin. Laku batin dapat dilakukan perorangan maupun ritual yang
dilakukan kelompok dengan cara mengikuti perkumpulan kebatinan (Soehadha,
2008). Pada dasarnya orang-orang Jawa beranggapan bahwa Tuhan terletak di
dalam hati dan hidup. Bagi orang Jawa penyembahan ini adalah penyembahan
terhadap yang transenden. Selain itu pula, budaya mistik Jawa sangat memberikan
ruang bagi pemikiran dan terminology mistik agama “impor” yang juga
mengekspresikan penyembahan dengan cara-cara ritual dan ceremonial (Rajaby,
2009).
2. Sejarah Mistisisme Jawa
Tradisi mistik di Jawa merupakan suatu sinkretisme dari agama-agama yang
datang ke tanah Jawa. Agama-agama yang membawa pengaruh besar pada
perkembangan mistik di Jawa diantaranya adalah agama Hindhu, Budha, dan
Islam. Agama Hindhu yang datang di Indonesia ialah suatu bentuk penyembahan
Siwa. Agama Siwa yang ada di Indonesia pada waktu itu ialah agama Siwa yang
telah dipengaruhi oleh aliran Tantra, yaitu yang mengajarkan penjelmaan atau
penubuhan Brahman (zat pertama, asal segala sesuatu). Sedangkan Agama Budha
yang berkembang di Indonesia adalah agama Budha Mahayana yang telah
menyembah banyak Budha (Hadiwiyono, 1983). Sedangkan ajaran agama Islam
yang tersebar di pantai utara Jawa mengandung unsur-unsur mistik, karena agama
Islam yang berkembang di pantai utara itu berasal dari Gujarat India, yang pada
saat itu juga diwarnai unsur-unsur mistik (Imam, 2005). Pada akhir abad ke-16
dan belahan kedua abad ke-17 di Aceh ada 4 orang tokoh tassawuf, yaitu
18
Syamsul-din dari Pasai, Hamzah dari Pansur, Nurul-Din Al Raniri dan Adul-Rauf
dari Singkel. Namun ajaran Hamzah dan Syamsul-Din merupakan ajaran yang
mencerminkan kebatinan yang dianut umum (Hadiwiyono, 1983).
Konsep penciptaan dalam ajaran Hindhu-Siwa mapun Budha-Mahayana
merupakan suatu penciptaan alam semesta (jagad gedhe) dan manusia (jagad
cilik) yang keluar dari keadaan Siwa ataupun Budha. Ajaran Budha-Mahayana
dan Hindhu-Siwa sama-sama mengajarkan bahwa manusia dan alam semesta
dipandang sebagai pengaliran keluar dari Yang Ilahi (Hadiwiyono, 1983; Imam,
2005).
Ajaran Hamzah tentang konsep penciptaan disebut dengan ”pengaliran
keluar” (tanazzul) dan ”pengaliran kembali” (taraqqi). Dari dalam diri Allah
mengalirlah ke luar alam semesta dan manusia secara bertahap atau berpangkat-
pangkat. Di dalam kebatinan Islam pangkat-pangkat ini disebut martabat. Hamzah
mengumpamakan martabat ini seperti pangkat laut yang tak bergerak, pangkat
ombak, pangkat uap dan awan, pangkat hujan, pangkat sungai, dan pangkat
pengaliran kembali ke laut (Hadiwiyono, 1983). Sedangkan ajaran Syamsul-Din
tantang konsep penciptaan ini adalah terjadi dalam 6 pangkat, dengan 1 pangkat
tambahan tentang pengaliran kembali. Ajarannya mirip dengan ajaran Al-
Burhanpuri karena Symasul-Din juga adalah muridnya (Imam, 2005). Ajaran ini
dikenal dengan ajaran martabat tujuh.
Jalan kembali manusia kepada Tuhan baik dalam ajaran Hindhu, Budha,
maupun Islam adalah suatu jalan kesempurnaan. Konsep kelepasan dan
kesempurnaan menurut ajaran Hindhu-Siwa dan Budha-Mahayana pada
19
prinsipnya adalah ketika manusia bisa lepas dari tumimbal lahir sehingga dapat
kembali (mantuk) ke tampat kediamannya dan tercapailah kesempurnaan. Jalan
menuju kesempurnaan ini menurut Hamzah ada 4 pangkat, yaitu syaria, tariqa,
haqiqa, dan ma’rifa. Sedangkan Syamsul-Din menyebutnya dengan pangkat
islam, iman, tawhid, ma’rifa.
3. Kejawen dan Mistik Kebatinan
a. Pengertian Kejawen
Suseno juga membedakan masyarakat Jawa kedalam dua kelompok atas
dasar keagamaan. Kedua-duanya secara nominal termasuk agama Islam, tetapi
golongan pertama dalam kesadaran dan cara hidupnya lebih ditentukan oleh
tradisi-tradisi Jawa pra-Islam, sedangkan golongan kedua memahami diri sebagai
orang Islam dan berusaha untuk hidup menurut ajaran Islam. Yang pertama
disebut Jawa Kejawen. Dalam kepustakaan, kelompok pertama sering juga disebut
“abangan”, yang kedua “santri” (Suseno, 1993).
Cliford Geertz dalam disertasinya “Religion of Java” menjelaskan Kejawen
sebagai ilmu Jawi atau Javanese-ism. Kejawen adalah segala adat istiadat
masyarakat Jawa khususnya Jawa Tengah yang merupakan warisan leluhur yang
tidak termasuk dalam hukum Islam. Ada juga yang mendefinisikan kejawen
sebagai sistem budaya dari agama yang dianut orang Jawa dimana terdapat
keyakinan akan adanya Tuhan, yakni akan adanya dewa-dewa tertentu yang
menguasai alam serta memiliki konsep-konsep tentang hidup dan kehidupan
setelah kematian, yakni akan adanya makhluk-makhluk halus penjelmaan nenek
20
moyang yang sudah meninggal, yakin adanya roh-roh penjaga, setan-setan, hantu,
raksasa dan kekuatan-kekuatan gaib dalam alam semesta (Koentjaraningrat,
1984). Budaya Jawa Kejawen inilah yang selanjutnya mengembangkan ajaran
mistisisme di Jawa khususnya sangat berkembang di wilayah keraton Surakarta
dan Yogyakarta. Inti dari budaya Jawa maupun kejawen adalah mistik. De jong
menjelaskan mistik merupakan salah satu bentuk, bahkan visi dasar dari
Javanisme. Seluruh Jawa diliputi oleh suasana mistik yang merangkum semua
kelompok penduduk, lepas dari tingkat sosial atau pendidikan (De Jong, 1984).
b. Pola Pikir Mistik Jawa
Endraswara (2006) merangkumkan pola pikir mistik dalam masyarkat Jawa
sebagai berikut:
1) Pola pikir etis, yakni pemikiran mistis yang mengarah tercapainya manusia
berbudi pekerti luhur atau manusia waskitha. Yakni manusia yang mampu
hidup harmonis antara makrokosmos dan mikrokosmos;
2) Pola pikir kosmis, yakni manusia yang menginginkan lebur dengan alam
semesta. Manusia berada dalam proses ”menjadi” secara kontinu;
3) Pola pentheistis, yakni suatu paham antroposentris yang harus mengupayakan
ke arah manunggaling Kawula Gusti. Manusia selalu mengadakan semedi
untuk manunggal dengan Tuhan.
Pola pikir etis dan kosmis didasarkan pada pandangan orang-orang Jawa
untuk mencapai harmonisasi dengan alam semesta. Widodo (2004) menerangkan
bahwa kondisi harmonis ini sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari konsep
tentang kesatuan eksistensi, konsep ini dikenal dengan jagad gedhe
21
(makrokosmos) dan jagad cilik (mikrokosmos). Endraswara menjelaskan alam
semesta atau jagad gedhe identik dengan jagading manungsa atau jagad cilik yang
harus diseimbangkan. Keharmonisan dua alam hidup manusia ini, akan
menyebabkan ketentraman hidup. Prinsip harmoni dapat dicapai melalui tindakan
mistik kejawen. Yakni melalui harmonisasi batin manusia, yaitu menegakkan
etika mistik kejawen. Etika yang dianut adalah budi pekerti luhur, yaitu bertindak
sepi ing pamrih rame ing gawe (Endraswara, 2005).
Selanjutnya, terkait dengan pola pikir kosmis, Mulder (1996)
mengungkapkan adanya hukum kosmis (ukum pinesthi) yang mengungkapkan
bahwa segala peristiwa yang terjadi dalam perjalanan sejarah di dunia ini
sebenarnya telah ditetapkan sebelumnya. Segalanya menunjuk pada adanya
keteraturan karena pusat dari hukum kosmis ini sesungguhnya adalah ”Yang
Maha Tunggal” (Hyang Suksma) yaitu hidup (urip) dari mana semua eksistensi
berasal dan kepada siapa harus kembali (dalam Widodo, 2004). Peleburan dengan
kosmos ataupun alam semesta merupakan tujuan mistik kejawen.
Pola pikir pantheistis dalam mistik kejawen adalah mengenai konsep
ketuhanan yaitu manunggaling kawula Gusti. Manunggal artinya menjadi satu
atau bersatu. Jadi manunggaling Kawula Gusti merupakan upaya manusia untuk
manunggal atau bersatu dengan Tuhan. Hal ini dilandasi dengan kepercayaan
bahwa manusia dapat mengadakan komunikasi langsung atau bahkan bersatu
dengan Tuhan (Endraswara, 2006).
22
c. Pengertian dan Sifat Kebatinan
Kebatinan seringkali dianggap sebagai intisari “Kejawen”. Gaya hidup
orang Jawa adalah kebatinan (Imam, 2005). Kebatinan sendiri akar katanya batin,
berasal dari lafaz bahasa Arab, artinya yang di dalam, yang sulit, yang
tersembunyi. Batin itu menunjukkan sifat, dengan sifat batin itu manusia merasa
dirinya lepas dari segala yang semu. Beberapa tokoh mencoba mendefinisikan
kebatinan. Kebatinan menurut Wongsonegoro merupakan bentuk kebaktian
kepada Tuhan Yang Maha Esa menuju tercapainya budi luhur dan kesempurnaan
hidup (dalam Endraswara, 2006).
Kebatinan menurut Projohusodo adalah suatu ilmu atas dasar ketuhanan
absolut yang mempelajari kenyataan dan mengenal hubungan langsung dengan
Tuhan tanpa perantara (dalam Imam, 2005). Sedangkan Mertodipuro menjelaskan
bahwa kebatinan adalah cara ala Indonesia mendapatkan kebahagiaan. Di
Indonesia, kebatinan, apapun namanya seperti tasawuf, ilmu kesempurnaan,
teosofi, dan mistik adalah gejala umum. Kebatinan memperkembangkan inner
reality, kenyataan rohani. Karena itulah selama bangsa Indonesia tetap berwujud
Indonesia, beridentitas asli, maka kebatinan akan tetap di Indonesia, baik di dalam
agama atau di luarnya (dalam Imam, 2005).
Pengertian-pengertian tersebut diatas memberi kesimpulan bahwa kebatinan
merupakan cara asli Indonesia dalam mencapai kebahagiaan, budi luhur, dan
kesempurnaan hidup dengan mempelajari kenyataan dan mengenal hubungan
langsung dengan Tuhan dimana dimaksudkan untuk mengembangkan eksistensi
batin atau kenyataan rohani. Adapun mistik kejawen, adalah pelaku budaya Jawa
23
yang berusaha untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Hal ini berarti, mistik
kejawen, kepercayaan, dan kebatinan adalah tiga sisi kultural yang saling
melengkapi. Mistik kejawen adalah perwujudan dari salah satu laku yang
dilaksanakan oleh sebuah aliran kebatinan dan kepercayaan. Dengan kata lain,
mistik merupakan bagian dari jurus kebatinan dalam praktik kultural. Pandangan
hidup masyarakat Jawa yang menganut aliran kebatinan serta laku mistik, akan
menekankan pilar hidup pada ketentraman batin, keselarasan, dan keseimbangan
(harmoni), yang dilandasi oleh sikap menerima, sabar, awas eling (mawas diri),
anoraga atau andhap asor (rendah diri), dan prasaja (Endraswara, 2006).
Jelaslah bahwa dalam budaya Jawa mistik dan kebatinan adalah sangat
dekat. Bahkan menurut pemahaman kontemporer, mistisisme juga berarti
kebatinan. Pelaku mistik pasti dan selalu menggunakan daya batin untuk
menyingkapkan misteri dan kerahasiaan. Orang Jawa dalam budayanya
menggunakan batin untuk berkomunikasi langsung dengan realitas yang lebih
tinggi. Sejalan dengan hal ini Subagya (dalam Endraswara, 2006) menjelaskan
sifat-sifat kebatinan yang mengandalkan pada:
1) Batin, berasal dari lafal bahasa Arab yang bermakna perut, rasa mendalam,
tersembunyi, rohani, dan asasi;
2) Rasa, yaitu sebuah pengalaman rohani subyektif;
3) Keaslian, yaitu bangkitnya hasrat untuk mengembangkan kepribadian asli;
4) Hubungan antar warga, mereka bersatu karena terikat sebuah paguyuban yang
memiliki kesamaan pandangan hidup yaitu, ke arah manunggaling kawula
Gusti;
24
5) Ahklak sosial, kebatinan merupakan gerakan yang melawan demoralisasi,
karenanya selalu menyerukan kesusilaan dengan semboyan budi luhur dan
sepi ing pamrih;
6) Gaib, dalam kebatinan terdapat kepercayaan pada daya-daya gaib yang
suprarasional, misalnya nujum, ilmu ngalamat, ilmu pertanda, zimat, tuah, dan
sebagainya.
4. Teori Mistik
a. Delapan Postulat Geertz tentang Mistik Kebatinan Jawa
Teori mistik ini terkait dengan delapan postulat yang telah diungkapkan
Clifford Geertz dalam bukunya Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa,
yaitu sebagai berikut:
1. Dalam kehidupan sehari-hari manusia, perasaan tentang “baik” dan
”buruk”, ”kebahagiaan”, dan ”ketidakbahagiaan” saling bergantung
secara inheren dan tak bisa dipisahkan. Tak seorang pun bisa
berbahagia sepanjang waktu atau tidak bahagia sepanjang waktu,
tetapi terus menerus berada diantara dua keadaan ini dari hari ke hari,
dari jam ke jam, menit ke menit. Variasi ini sama buat semua
perasaan (cinta, benci, takut, dan sebagainya). Selanjutnya, tujuan
hidup bukanlah untuk memaksimalkan perasaan yang positif dan
meminimalkan yang negatif, yakni ”pengejaran kebahagiaan” yang
pada hakikatnya tidak mungkin, sebab maksimasi sesuatu perasaan
juga mengandung maksimasi perasaan sebaliknya. Maka yang
25
menjadi tujuan adalah meminimalkan semua nafsu dan sedapat
mungkin membungkam semuanya itu, mengerti ”perasaan’ yang
lebih benar yang terletak di baliknya. Yang mejadi tujuan adalah
tentrem ing manah, ”kedamaian (ketenangan, ketentraman) di dalam
hati (tempat kedudukan emosi-emosi itu).
2. ”Di bawah” atau ”di balik” perasaan manusiawi yang kasar ada suatu
perasaan makna dasar yang murni, rasa, yang sekaligus merupakan
diri sendiri seorang individu (aku) dan suatu manifestasi Tuhan
(Gusti, Allah) dalam individu itu. Kebenaran keagamaan yang dasar
dari seorang mistikus priyayi terletak dalam persamaan: rasa = aku =
Gusti.
3. Tujuan manusia adalah untuk ”tahu” atau ”merasakan” rasa tertinggi
ini di dalam diri sendiri. Prestasi demikian membawa kekuatan
spiritual, suatu kekuatan yang bisa digunakan untuk maksud baik
maupun buruk dalam soal-soal duniawi. Hanya ada sedikit perhatian
terhadap ganjaran di luar dunia ini; sepanjang hal semacam itu
mungkin, ini merupakan mistik yang menduniawi.
4. Untuk memperoleh ”pengetahuan” tentang rasa tertinggi ini, orang
harus memiliki kemurnian kehendak, harus memusatkan kehidupan
batinnya sepenuhnya untuk mencapai tujuan tunggal ini,
mengintensifkan dan memusatkan semua sumber-sumber
spiritualnya pada suatu titik yang kecil (seperti kalau orang
memusatkan sinar matahari melalui suryakanta untuk menghasilkan
26
panas maksimum pada suatu titik). Alat utama untuk memperoleh
kemurnian kehendak dan pemusatan daya upaya demikian ini adalah:
pertama, pengumpulan kehidupan instinktif seseorang, mengangkat
diri diatas kebutuhan fisiologis sehari-hari, dan kedua, disiplin dalam
penarikan diri dari minat duniawi untuk jangka waktu yang lama atau
sebentar dan pemusatan terhadap hal-hal yang dalam. Yang paling
penting diantara disiplin instinktual adalah puasa, begadang, dan
absensi seksual. Penarikan diri sementara dari minat kepada dunia
lahir disebut semedi atau dalam bentuknya yang paling intensif yang
tak pernah dipraktekkan sekarang, tapa, yang terdiri dari duduk lurus
berdiam diri mutlak dan mengosongkan diri dari semua isi duniawi
sejauh mungkin.
5. Kecuali disipilin spiritual dan meditasi, studi empiris terhadap
kehidupan emosional, suatu psikologi metafisik, juga menimbulkan
suatu pengertian dan pengalaman mengenai rasa. Studi semacam itu
merupakan suatu analisa pengalaman fenomenologis dan dianggap
sebagai ”teori” yang menyangkut praktek berpuasa dan kewajiban
lainnya. Salah satu rangkaian variasi diantara berbagai sekte mistik
agaknya terletak sepanjang kontinum ini; menurut titik berat yang
mereka berikan terhadap pengendalian naluriah dan meditasi di satu
pihak serta refleksi dan analisa di pihak lain; tapi tak satu pun
mengabaikan salah satu dari keduanya itu mendukung dan
memperkuat satu sama lain.
27
6. Karena orang berbeda-beda dalam kesanggupannya melaksanakan
disiplin spiritual itu (dan tak seorang pun benar-benar mampu
sekarang ini jika dibandingkan dengan orang di zaman dulu), dalam
kesanggupan lamanya mereka berpuasa, tidak tidur dan bermeditasi
dan berbeda-beda pula dalam kesanggupannya untuk melakukan
analisa sistematik tentang pengalaman dalam (atau memahami suatu
analisa yang sudah dilakukan seorang guru terkenal), maka
mungkinlah untuk meletakkan orang pada tingkatan yang berbeda-
beda menurut kesanggupan dan prestasi spiritualnya, suatu
penggolongan yang menimbulkan sistem guru-murid, dimana
seorang guru yang maju mengajar kepada murid yang kurang maju
sedang ia sendiri merupakan murid guru yang lebih maju lagi.
7. Pada tingkat pengalaman dan eksistensi tertinggi, semua orang
adalah satu dan sama dan tidak individualitas, karena rasa, aku, dan
Gusti adalah ”obyek abadi”, yang sama dalam semua orang.
Walaupun pada tingkatan pengalaman sehari-hari, individu-individu
dan bangsa-bangsa dapat dikatakan memiliki kedirian yang berbeda
dan memiliki perasaan yang berbeda pula (sekalipun bahkan disini
ada suatu unsur kebersamaan yang penting), pada dasarnya mereka
itu sama. Kombinasi pengertian ini dengan ide mengenai hirarki
yang didasarkan atas prestasi rohaniah menimbulkan suatu etik yang
menganjurkan keterlibatan yang makin meningkat dalam merasakan
perasaan orang lain (tepo saliro), dimulai dari keluarga sendiri lalu
28
para tetangga, desa, distrik, dan negara sampai ke seluruh dunia
(hanya beberapa orang saja seperti Gandhi, Isa, Muhammad yang
dianggap telah mencapai simpati universal serupa itu), dan sebuah
pandangan organis feodal mengenai organisasi sosial di mana
individu dan kelompok mempunyai suatu tempat di masyarakat
menurut anggapan tentang kesanggupan rohani mereka.
8. Karena tujuan semua manusia untuk mengalami rasa, maka sistem
religi, kepercayaan dan praktek-prakteknya seharusnya hanyalah
merupakan alat untuk mencapai tujuan itu dan hanya baik sepanjang
semua itu bisa membawa ke sana. Ini menimbulkan pandangan yang
relatifistis terhadap sistem-sistem serupa itu, dimana beberapa sistem
dianggap memang baik untuk beberapa orang dan yang lain baik buat
orang lain lagi dan semuanya memiliki beberapa kebaikan buat
seseorang. Dengan demikian adanya toleransi mutlak diperintahkan,
meskipun tidak selalu dipraktekkan dengan sempurna (dikutip dari
Geertz, 1989).
Dari ke delapan postulat tersebut dapat disimpulkan bahwa teori mistik
mengandung konsep tentang manunggaling kawula Gusti, tata cara (ritual) dan
disipilin mistik yang harus dilakukan, analisa fenomenologis mengenai
pengalaman yang dirasakan, serta interaksi yang terjadi antara guru-murid.
b. Manunggaling Kawula Gusti
Konsep ketuhanan dalam budaya mistik Jawa masih ambivalen. Endraswara
menerangkan bahwa paham mistik masih menganut transendensi dan imanensi.
29
Transendensi percaya bahwa Tuhan adalah absolut, mutlak, berada sebelum yang
lain ada. Tuhan adalah supranatural, menembus, dan teramat sangat. Sedangkan
imanensi, menganggap bahwa Tuhan ada (inhenet) atau hadir (present). Tuhan
ada di dalam alam semesta dan di dalam diri manusia (Endraswara, 2005). Tuhan
pada dasarnya ada dua peneguhan, yaitu monisme dan panteisme. Rudolf Eisler
(dalam Zoetmulder, 1991) menjelaskan monisme adalah kecederungan untuk
mengembalikan kejamakan dalam suatu bidang kepada suatu kesatuan atau
menerangkan keanekaan dengan berpangkal suatu prinsip tunggal. Sedangkan
panteisme adalah ajaran Tuhan dan dunia tak merupakan dua hakikat yang
sungguh terpisah dan yang diluar dari yang lain, melainkan Tuhan sendiri
merupakan segala-galanya, segalanya itu Tuhan, segalanya itu modus, partisipasi
dalam Ketuhanan; Tuhan adalah imanen dalam segalanya itu sebagai hakikat
kodratnya. Lalande (dalam Zoetmulder, 1991) bahkan mendefinisikan panteisme
sebagai teori yang mengajarkan bahwa segala sesuatu itu Tuhan, Tuhan dan dunia
manunggal.
Selain kebimbangan antara Tuhan yang dianggap transenden atau imanen,
antara panteistis dan monistis, juga apakah manunggaling kawula Gusti dianggap
bersatunya manusia dengan Tuhan adalah masalah ”rasa” ataukah ”ada”.
Beberapa sumber menunjukkan bahwa manunggaling kawula-Gusti lebih bersifat
immanen. Hal ini ditunjukkan dengan ajaran martabat tujuh yang bersifat tajjali
yang rata-rata banyak aliran mistik menjelaskan konsep Tuhan dan manusia
berdasarkan ajaran ini.
30
Endraswara menerangkan bahwa manunggaling kawula-Gusti merupakan
suatu pengalaman, bukan ajaran. Manusia merasa menghadap Tuhan melalui
batin. Suatu pengalaman yang benar-benar nyata, tak terbatas (infinite) bagi yang
pernah mengalaminya (Endraswara, 2008). Jadi manunggaling kawula-Gusti
merupakan pengalaman bersatunya manusia dengan Tuhan melalui rasa.
Seperti yang dijelaskan Zoetmulder (1991) bahwa kemanunggalan yang
dimaksud adalah kemanunggalan yang tercapai dalam keadaan ekstasis.
Kemanunggalan kawula-Gusti ini terjadi dengan lenyapnya kesadaran sang
mistikus untuk sementara waktu, namun sesudah saat ekstasis kesadaran tetap
kembali dan yang dialami adalah antara Dia yang dicari dengan dia sendiri tetap
ada perbedaan. Kemanunggalan ini berarti bukan manunggal pada ”ada” Tuhan
yang mutlak, melainkan kemanunggalan yang hanya untuk menerangkan suatu
kemanunggalan yang tak dapat diterangkan.
c. Analisa Fenomenologi Pengalaman Mistik
1) Rasa
Geertz menjelaskan bahwa usaha aliran mistik adalah pertama-tama untuk
memenangkan fluktuasi perasaan dalam kehidupan sehari-hari dan mencapai
keadaan ”damai di hati” (dalam Geertz, 1989).
Jika emosi dan perasaan dapat menjadi tenang, maka ”dibelakang” atau ”di
bawah” atau ”di dalam”emosi itu seorang bisa berhadapan dengan realitas yang
tertinggi yakni refleksi Tuhan dalam diri. Biasanya, bagian pusat dari kehidupan
dalam seseorang, tempat Tuhan berada dalam individu, disebut ”hati” (manah).
Tetapi pada umumnya hanya dianggap sebagai inti dari individu manusia, pusat
31
yang dalam dari eksistensinya. Dengan demikian ”hati” dalam pengertian ini
merupakan semacam lokasi rohaniah, tempat di kedalaman individu dimana
dirinya yang sejati maupun rasa tertinggi, yakni Tuhan, dapat ditemui (dalam
Geertz, 1989).
Masalah pengalaman mistik yang perlu digaris bawahi adalah tentang
”rasa”. Gonda (1998) berpendapat bahwa rasa yang berkembang dalam
masyarakat Jawa memiliki kedalaman makna. Rasa dalam pemahaman mistik
Jawa, menurutnya ada tekanan khusus pada hati, sufi, dan atas kalbu. Selanjutnya,
Gonda menyatakan sebagai berikut:
...tidaklah mudah untuk menyatakan dengan tepat, konotasi apa yang
dimaksud oleh para mistikus ini ketika menggunakan istilah yang
favorit ”rasa”. Kata ini sering dipakai untuk menerjemahkan kata Arab
”sirr” rahasia, misteri yang merujuk pada unsur yang paling halus dan
laten dalam hati nurani manusia, yang disebut sebagai tempat Tuhan
bertahta, ”tempat” dimana roh dan Tuhan bersatu... dalam naskah-
naskah mistik Jawa prinsip Ketuhanan ini juga disebut ”rasa”, tetapi
bukan rasa yang biasa, bukan rasa (perasaan) yang kita alami di tubuh,
melainkan rasa yang kita hayati dalam hati. Hati nurani yang bersih
dan jernih menerima ”rasa” tertinggi, yang suci dan tanpa
cacat...(dan)...di satu sisi ”suksma” dan ”rasa” dianggap berkaitan,
tetapi bukan prinsip yang identik...di sisi lain keduanya dapat saling
dipertukarkan atau suksma bisa disebut ”rasa sejati” (dalam
Endraswara, 2005).
32
Rasa yang melingkupi manusia juga dibagi kedalam:
a. Rasa pangrasa, yakni rasa badan wadag, seperti yang dihayati manusia
melalui inderanya: rasa pedas, gatal, sakit, enak, dan lain-lain,
b. Rasa rumangsa, yakni rasa eling, rasa cipta, dan rasa grahita, seperti misalnya
ketika manusia menyatakan bahwa kramadangsa telah ”ngrumangsani
kaluputani” atau ” rumangsa amung titah, kramadangsa amung saos sukur”,
c. Rasa sejati, yakni rasa yang masih mengenal rasa yang merasakan, dan rasa
yang dirasakan. Sudah manunggal, tetapi masih dapat disebut. Rasa damai,
rasa bebas, rasa abadi, termasuk dalam pilihan ini,
d. Sejatining rasa, yakni rasa, yang berarti hidup itu sendiri yang abadi
(Hadiwiyono, 1983; Jatman, 1997; Endraswara, 2005).
Tingkat rasa (1) sebenarnya kalau berpijak pada pandangan psikologi Jawa
Ki Ageng Suryamentaram masih tergolong ”rasa hidup”. Sedangkan tingkatan
rasa (2), (3), (4) telah merambah ke dunia batin manusia. Rasa tersebut sudah
tergolong rasa rohani. Rasa yang benar-benar tumbuh dari kedalaman batin
(dalam Endraswara, 2005). Dari empat tingkatan rasa tadi yang paling banyak
memberi aroma batin dalam kehidupan mistik adalah rasa sejati. Akhirnya,
melalui rasa sejati manusia dapat mengenal rahasia hidup, rahasia hubungan
manusia dengan Tuhan dengan membuka tabir misteri (Endraswara, 2005).
Geertz mengatakan bahwa pengetahuan tentang rasa tertinggi adalah tujuan
pencarian mistik dan harus menjadi tujuan keagamaan semua orang. Sering
perbuatan pemahaman ini dianggap memiliki dua tahap utama yaitu ”neng” atau
”hening” atau ”diam” yang menunjuk kepada penenangan emosi, dan kemudian
33
ning (kejernihan pengetahuan yang dalam), gerak hati yang mengikuti keheningan
dan yang bisa merupakan pengalaman yang sangat emosional, sekalipun biasanya
dilukiskan sebagai ”tanpa isi sama sekali, batin yang sama sekali kosong” (dalam
Geertz, 1989).
Mulder (1983) menjelaskan tahap-tahap yang akan dilalui untuk mencapai
apa yang disebut oleh Geertz ”rasa yang tertinggi”, yaitu:
1) Tahap mistik pertama, yang paling rendah disebut sarengat adalah
menghormati dan hidup sesuai dengan hukum-hukum agama. Pelaku mistik
kaum priyayi menjalankan kewajiban-kewajiban seperti menghormati manusia
tua, guru, dan raja, dengan kesadaran bahwa menghormati mereka adalah
menghormati Tuhan. Kaum santri, menjalankan sholat lima waktu dengan
setia, sedangkan kaum abangan juga menghormati aturan-aturan sosial, tetapi
tidak secara khusus mengutamakan hirarki sosial, melainkan lebih pada hirarki
para leluhur, roh-roh, tokoh wayang, dan hormat pada tatanan kosmos. Tahap
perjalanan mistik ketiga dan selajutnya, jalan makin sempit dan meninggalkan
yang lahir menuju yang batin, dan lebih mistik;
2) Tahap kedua, disebut tarekat, dimana kesadaran tentang hakikat tingkah laku
tahap pertama harus insyafi lebih dalam dan ditingkatkan. Misalnya, doa-doa
ritual tidak lagi hanya gerak-gerik tubuh dan pembacaan ayat-ayat melainkan
usaha-usaha yang luhur dan kudus dan persiapan dasar untuk menjumpai
Tuhan dalam lubuk batin manusia;
3) Tahap ketiga, disebut hakikat adalah tahap menghadapi kebenaran. Inilah
tahap berkembangnya secara penuh kesadaran akan hakikat doa dan pelayanan
34
kepada Tuhan; pemahaman mendalam, bahwa satu-satunya cara bagi apa saja
yang ada adalah menjadi wadi Tuhan, menjadi bagian yang tergantung kepada
seluruh tatanan kosmos. Tindakan ritual menjadi kehilangan kepentingan
karena hidup dan tindakan manusia menjadi doa terus menerus kepada Tuhan;
4) Tahap terakhir dan tertinggi adalah mahrifat, yaitu ketika manusia mencapai
jumbuhing kawula lan Gusti. Dalam tahap ini, jiwa manusia terpadu dengan
jiwa semesta dan tindakan manusia semata-mata menjadi laku, kehidupan
manusia menjadi doa terus menerus kepada Tuhan, apapun yang
dikerjakannya seperti halnya bekerja, mandi, tidur, atau makan. Pada titik ini
manusia akan berseri bagaikan bulan purnama menyinari bumi (dalam
Endraswara, 2005).
2) Pengalaman Mistik
Pengalaman menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia berarti barang apa
yang dirasakan. Pengalaman mistik adalah memperluas batas pengatahuan tentang
diri. Individu akan merasa menjadi satu dengan orang lain, dengan lingkungan
alam, dengan alam semesta secara keseluruhan. Hal ini bukanlah pengalaman
intelektual belaka. Dalam pengalaman transeden individu adalah satu dengan
dunia dan alam semesta. Batas pribadi digambarkan secara lebih luas. Pada
akhirnya batas ini menghilang secara bersama-sama. Situasi seperti ini, dimana
rasa seseorang tentang identitas meluas melebihi batas kepribadian juga disebut
sebagai pengalaman transpersonal (Koltko, 1989).
Koltko, seorang psikolog juga menguraikan karakteristik pengalaman mistik
dilihat dari kualitasnya, yaitu:
35
1) The ”ego quality”, selama pengalaman ini, individu kehilangan rasa tentang
diri, dan merasakan larut ke dalam sesuatu yang lebih hebat,
2) The ”unifying quality”, selama pengalaman ini, individu merasakan bahwa
”semuanya adalah satu”,
3) The ”inner subjective quality”, individu merasakan bahwa sesuatu memiliki
kesadaran yang mana tidak biasa dipandang sebagai dasar, seperti pohon, atau
bumi itu sendiri,
4) The ”temporal/spatial quality”, individu mengalami waktu dan ruang secara
berbeda, dan bahkan merasakan bahwa pengalaman terjadi diluar batas normal
dari ruang dan waktu,
5) The ”noetic quality”, individu merasakan bahwa pengalaman merupakan
sebuah sumber dari pengetahuan yang benar,
6) The ”ineffable quality”, pengalaman yang tidak mungkin untuk diekspresikan
dalam bahasa normal,
7) The ”positive emotion quality”, pengalaman yang memiliki aspek yang riang
gembira,
8) The ”sacred quality”, pengalaman yang pada hakikatnya suci atau keramat
(dalam Koltko, 1989).
Pengalaman mistik sebagai salah satu subyek dari kajian ilmu psikologi
transpersonal merupakan transformasi kesadaran, dari kesadaran mental-spiritual
yang bersifat empiris menjadi kesadaran trans-personal yang bersifat tunggal
ilahiah (Hilmy, 2006). Koltko menjelaskan bahwa pengalaman mistik adalah
tingkat kesadaran yang lebih tinggi yang merupakan the most highly developed
36
minds yang lebih dari sekedar puisi, seni, ilmu pengetahuan, atau filosofi (Koltko,
1989).
Kesadaran mengambil posisi penting dalam pengertian pengalaman mistik
diatas. Green (2001) mendefinisikan kesadaran (consciousness) sebagai persepsi
yang terjaga dari objek-objek, peristiwa-peristiwa, dan waktu (dalam Prabowo
dkk, 2005). Kesadaran merupakan kapasitas dari mata pikiran untuk
merefleksikan image atau gambaran mental tentang diri sebagaimana
direpresentasikan dalam masa lalu, saat ini, dan masa depan (Tinnin, 1991).
Merriam webster online (2008) menyataan bahwa kesadaran adalah kualitas atau
status untuk menjadi sadar terutama sesuatu dengan diri seseorang atau tentang
objek eksternal, status, dan fakta (dalam Ahlin, 2009). Edelman (2003)
menjelaskan bahwa kesadaran adalah suatu proses multidimensional yang muncul
dari interaksi otak, tubuh, dan lingkungan. Kesadaran ini ada dua bentuk yaitu
primary consciousness dan higher consciousness. Yang pertama merupakan
kemampuan untuk menggunakan persepsi, keadaan motorik, dan memory untuk
membangun suasana multimodal di dalam keadaan sekarang, sedangkan yang
kedua adalah dihubungkan kepada yang melebihi perkembangan binatang dengan
kemampuan bahasa yang mana mengizinkan individu untuk melampaui keadaan
sekarang yang diingat, dan bentuk suatu cerita masa lalu, rencana masa depan, dan
kesadaran yang menjadi sadar (dalam Ahlin, 2009). Karakteristik dari status sadar
yang dibangun oleh otak termasuk diantaranya segi-segi, kesatuan, integrasi,
refleksi dari perasaan subyektif dan stimulasi perasaan yang familiar ataupun
perasaan kekurangan (Ahlin, 2009).
37
Kesadaran ini memiliki tingkatan (level of consciousness), tapi ada pula
yang menyebutnya sebagai “posisi”, karena sifatnya yang tidak memilki hirarki.
Huston Smith (dalam Rowan, 1993) membuat model dengan empat tingkatan:
body, mind, soul, dan spirit. Pada tingkatan soul, masalah simbolik dan ganda
merupakan hal penting. Tingkat ini merupakan tingkatan yang ditemukan apabila
benar-benar masuk ke dalam dan menerima kualitas imaginatif, sehingga banyak
orang yang meletakkan imajinasi sebagai suatu yang fantastik, menggairahkan,
bahkan mungkin berbahaya. Pada tingkatan spirit penekanannya pada kesatuan
(unity) dan meninggalkan hal-hal yang simbolis (dalam Prabowo dkk, 2005).
Dalam struktur kepribadian manusia, evolusi atau perkembangan level kesadaran
secara ringkas bisa dibagi dalam tiga tahap: dari level subconscious ke level self
conscious dan ke level superconscious. Level paling bawah, subconscious, sangat
bersifat insting, libido, impulsif, animal (sifat binatang), kurang lebih sama
dengan komponen id dalam psikoanalisa Freud. Level menengah dari kesadaran
manusia ditandai dengan sifat-sifat adaptasi sosial, penyesuaian mental, sifat
integrasi dari ego, dan tahap lanjut konsepsi. Sedangkan tahap paling tinggi yang
dicapai kesadaran manusia adalah tahap yang sama keadaannya dalam pencapaian
puncak spiritual dari agama-agama. Tahap puncak ini ditandai dengan penyatuan
kesadaran diri dengan kesadaran semesta, kebahagiaan, ketenangan dan hal-hal
yang bersifat holistik, mungkin lebih mirip dengan konsep individuasi dari Jung
dan aktualisasi diri dari Maslow (Wilber, 2000).
Lingkaran kehidupan manusia bergerak dari level bawah yaitu level
subconscious (instingtual, id-ish, impulsive) ke level menengah atau level self-
38
conscious (egoic, conceptual) kemudian ke level puncak atau level
superconscious, digambarkan dalam bentuk lingkaran. Lingkaran ini dibagi ke
dalam dua bagian, busur keluar (outward arc) dan busur ke dalam (inward arc).
Pergerakan dari level sub-conscious ke level self-conscious digambarkan dalam
bentuk busur keluar. Pergerakan ini ditandai dengan sifat penegasan diri, kisah
pertempuran sang ego dengan dirinya sendiri, dan konflik-konflik di bawah sadar
yang ditandai dengan rasa cemas dan terasing. Sedangkan perkembangan
kesadaran dari level selfconscious ke level superconscious merupakan pergerakan
ke dalam diri, digambarkan dengan busur kedalam (inward arc), ini ditandai
dengan pencapaian tahap transendensi dan realisasi diri. Kesadaran manusia selain
dapat dipahami melalui level kesadaran juga dapat dipahami melalui status
kesadaran. Beberapa status kesadaran manusia yang biasa dikenal misalnya,
terjaga, mimpi, dan tidur pulas. Ini adalah status normal kesadaran yang biasa
dialami sehari-hari, disamping ada juga status luar biasa atau perubahan status
kesadaran dan merupakan kesadaran yang sifatnya lebih tinggi, yaitu berupa
pengalaman puncak (pengalaman spiritual, atau peak experience menurut
Maslow), keadaan meditasi dan kontemplasi (Wilber, 2000).
Ada empat jenis status kesadaran yang luar biasa ini, dan disebut juga
kesadaran transpersonal, yaitu: psychic, subtle, causal dan nondual. Psychic
adalah status kesadaran yang dialami oleh type nature mysticism, yakni
pengalaman spiritual seolah-olah dirinya menyatu dengan seluruh sensor alam
semesta. Subtle ialah status kesadaran yang dialami oleh type deity mysticism,
yakni pengalaman diri yang menyatu dengan sumber, pusat alam semesta. Causal
39
adalah kesadaran yang dialami oleh type formless mysticism, dimana individu
yang mengalaminya akan merasakan terhentinya pengalaman dan segenap sensor
indrawi, tenggelam dalam keadaan yang tidak mewujud, kesadaran yang tak
berbentuk. Nondual adalah keadaan yang dialami oleh tipe integral mysticism,
yakni sebuah pengalaman bersatunya antara yang memanifestasi dan yang tidak,
antara wujud dan ketiadaan (Wilber, 2000).
Setiap struktur atau level kesadaran seseorang tentu saja meliputi semua
status kesadarannya. Setiap orang pasti akan mengalami status kesadaran yang
normal seperti terjaga, mimpi, dan keadaan pulas, tak menjadi masalah dimana
level orang tersebut berada. Juga setiap level bisa berada pada status kesadaran
yang luar biasa, atau perubahan kesadaran, berupa pengalaman puncak dalam
bentuk psychic, subtle, causal, dan nondual. Hanya saja ada perbedaan sikap dan
interperstasi terhadap pengalaman tersebut yang bergantung kepada tingkatan
level kesadarannya. Umpamanya, dua orang yang berada di level yang berbeda
(misalnya antara rational dan psychic) bisa sama-sama mempunyai pengalaman
puncak pada status causal, tapi pengaruh (berupa penyikapan dan interpretasinya)
dari pengalaman puncak tersebut masing-masing sangat berbeda. Pengalaman
puncak yang dialami oleh orang di semua tingkatan level kesadaran, pada
dasarnya bersifat sementara. Pengalaman ini menjadi permanen andaikata
seseorang sudah berada di level tersebut. Umpamanya, orang yang berada di level
causal pasti mempunyai pengalaman pada status causal secara permanen, tapi
pengalaman puncak yang berada di atasnya, misalnya pada status nondual, yang
dialami, sifatnya hanyalah sementara atau temporer (Wilber, 2000).
40
Berbeda dengan dengan kesadaran adalah bawah sadar (subconscious).
Koneksi antara kesadaran dan bawah sadar disebut altered state of consciousness
(ASC). Koneksi ini dengan sendirinya akan mengarah menjadi keadaan bawah
sadar (Green, 2001 dalam Prabowo dkk, 2005). Secara intensif, ASC dapat juga
dicapai melalui hypnosis, meditasi, berdoa, yoga atau dzikir (Prabowo dkk, 2005).
Menurut Bourguignon (1979), Altered state of consciousness adalah kondisi
dimana sensasi, persepsi, kognisi, dan emosi dirubah. Hal ini dapat
dikarakteristikkan dengan perubahan dalam melakukan sensasi, mempersepsi,
memikirkan, dan merasakan. Hal ini merupakan modifikasi hubungan individual
kepada self, body, sense of identity, and environment of time, space, or other
people (dalam Tinnin, 1990). Peters dan Price William (1983) menjelaskan bahwa
kondisi ASC sebagai jalan kepada status batin yang lain dan mereka percaya
bahwa bermacam tingkat ASC hanya untuk dinamika proses psikologis yang
secara spontan dan sukarela didatangkan, memiliki perbedaan dengan manifestasi
fisik dan menjadi secara tinggi dipengaruhi oleh kepercayaan kebudayaan, simbol,
dan nilai personal yang menentukan isi pengalaman (dalam Ahlin, 2009).
Menurut Charles Tart, ASC adalah suatu perubahan kualitatif dalam
keseluruhan pola dari fungsi mental, seperti misalnya orang yang mengalami
merasa bahwa kesadarannya secara radikal berbeda dari fungsinya yang biasa.
Selanjutnya Metzner (1992) menambahkan bahwa perubahan yang terjadi adalah
perubahan dalam berpikir, merasakan, dan mempersepsi yang memiliki awal,
durasi, dan akhir. Perubahan ini yang dapat diukur adalah:
41
1) A disturbed time sense (gangguan perasaan tentang waktu): percepatan waktu
atau “time standing still”;
2) Perceptual change (perubahan perseptual): visual dan akustik;
3) Body image change (perubahan gambaran tubuh): seperti sensasi mengambang
atau terbang atau experiencing body-boundaries dissolved (mengalami batas
tubuh yang lenyap);
4) Alteration thingking (pemikiran yang lebih): multi asosiasi, perasaan
kreativitas yang meningkat, atau pemikiran magis (dalam Kjellgren dkk,
2008).
Kadang-kadang selama ASC, pengalaman transpersonal terjadi. Pengalaman
transpersonal merupakan keseluruhan pengalaman manusia melebihi level ego,
juga termasuk pengalaman spiritual. Beberapa pengalaman sering
dikarakteristikan sebagai rasa yang tak terlukiskan, atau suatu pengalaman
langsung yang menghubungkan dengan sagala hal, atau perasaan terhubung
dengan semesta alam (Kjellgren, dkk, 2008).
d. Tata Cara (Ritual) dan Disiplin Mistik
Geertz menjelaskan untuk mencapai keadaan mistik, orang harus ngesti.
Ngesti berarti menyatukan semua kekuatan individu dan mengarahkannya
langsung kepada tujuan tunggal, memusatkan kemampuan psikologis dan fisiknya
ke arah satu tujuan yang sempit. Hal ini semacam penggalian mental yang intens,
pencarian pengertian yang didukung oleh kehendak yang tak tertahankan dan
suatu penggabungan kedalam satu keseluruhan sederhana dari berbagai kekuatan
dalam individu itu. Semua indra, emosi, bahkan sebisa mungkin seluruh proses
42
fisik tubuh, semuanya dibawa kedalam satu kesatuan dan dipusatkan kepada
tujuan tuggal (dalam Geertz, 1989).
Ngesti sebagai suatu penggalian yang intens atau sebagai permohonan yang
sangat juga dilengkapi dengan banyak disiplin instinktual. Disiplin instinktual ini
terwujud dalam suatu tata cara ataupun ritual. Turner (1966) mengartikan ritual
sebagai perilaku tertentu yang bersifat formal, dilakukan dalam waktu tertentu
secara berkala, bukan sekedar sebagai rutinitas yang bersifat teknis, melainkan
mengacu pada tindakan yang didasari oleh keyakinan religius terhadap kekuasaan
atau kekuatan mistis (dalam Soehadha, 2008).
Kesimpulannya, agar sampai kepada Tuhan orang harus memusatkan
seluruh kekuatannya kepada tujuan itu dan mengekang sejauh mungkin
kebutuhannya untuk makan, minum, tidur dan juga kebutuhan seksual. Kegiatan
serupa itu disebut semedi atau tapa (dalam Geertz, 1989).
e. Pola Guru dan Murid
Sistem guru diletakkan atas dasar perbedaan bakat spiritual diantara
berbagai individu dan kelompok, bakat yang bisa ditingkatkan tetapi hanya
sampai titik tertentu. Hubungan guru murid merupakan sekumpulan hubungan
pasangan antara individu guru dan individu murid, istilah yang pada akhirnya
relatif karena bila dua orang sedang mempelajari mistik bersama-sama maka yang
lebih tinggi otomatis adalah guru dan yang lebih rendah adalah murid (dalam
Geertz, 1989).
43
B. PANGESTU
1. Pengertian dan Sejarah Pangestu
Pengestu didirikan oleh R. Soenarto Mertowardojo. Soenarto dilahirkan
pada hari jumat 21 April 1899 di desa Simo, Kawedanan Simo, Kabupaten
Boyolali, Jawa Tengah. Paguyuban Ngesti Tunggal berdiri sebagai sebuah
organisasi pada tanggal 20 Mei 1949, dalam suatu pertemuan yang
diselengggarakan di rumah Soenarto. Acara pertemuan diawali dengan melakukan
pangesti (doa permohonan) dan dilanjutkan dengan pemberian wejangan dari
Soenarto. Isi dari wejangan tersebut dimuat dalam buku ”Sabdha Khusus”. Salah
satu dari wejangan tersebut menyebutkan agar didirikan sebuah perkumpulan
sebagai pengikat para siswa dalam mendalami ajaran Sang Guru Sejati,
sebagaimana telah diturunkan melalui R.Soenarto (Soehadha, 2008).
Perkumpulan ini dinamakan ”Paguyuban Ngesti Tunggal” setelah Soenarto
melakukan pangesthi dan mendapat petunjuk dari Tuhan. Pangestu mempunyai
arti ”berkah”, yaitu berkah dari Sang Guru Sejati kepada siswanya. Adapun
Paguyuban Ngesti Tunggal dimaksudkan sebagai sebuah perkumpulan yang
memiliki pengertian, yang bersifat lahir dan batin. Secara lahir bertujuan hendak
bertunggal (bersatu) dengan semua golongan yang dilandasi oleh kerukunan dan
kasih sayang. Pengertian yang bersifat batin dimaksudkan bahwa Pengestu
memiliki tujuan untuk bersatu atau kembali kepada Tuhan Yang Mahatunggal
(Soehadha, 2008).
Selama kurun waktu 16 tahun (dwi windu) yaitu pada tahun 1965, tahun
terakhir masa kehidupan Soenarto, Pangestu telah berkembang pesat dengan
44
memilki 82 cabang dan puluhan ribu anggota di beberapa kota di Indonesia
(Imam,2005; Soehadha, 2008).
Data terakhir diperoleh dari kongres XV Pangestu yang diadakan di Solo.
Kongres Pangestu ke-15 menerangkan bahwa Pangestu telah memiliki 196 cabang
dimana 184 cabang berada di Pulau Jawa dan 12 cabang di luar Pulau Jawa,
dengan jumlah anggota seluruhnya 206.030 orang (dalam Kongres Pangestu XV,
2005).
2. Ajaran Pangestu dalam Kitab Sasangka Djati
Di dalam kitab Sasangka Djati terangkum tujuh ajaran Pangestu yaitu Hasta
Sila, Paliwara, Gumelaring Dumadi, Tunggal Sabda, Jalan Rahayu, Sangkan
Paran, dan Panembah.
a. Hasta Sila
Ajaran hasta sila, atau panembah batin delapan sila, sebagai jalan untuk
kembali bersatu dengan Tuhan Yang Maha Esa, dibagi menjadi dua bagian, yakni
tri sila, dan panca sila. Tri sila adalah panembah hati dan cipta kepada Tuhan
Yang Maha Tunggal. tri sila terdiri atas:
1) Eling, berarti sadar atau ingat. Eling berarti kesadaran yang membuat manusia
merasa bahwa dirinya ada dan sedang melakukan sesuatu. Jadi eling adalah
kesadaran akan keberadaan (Suparto, 2001). Suparto menjelaskan terdapat tiga
kesadaran manusia kepada Tuhan, yaitu: (1) kesadaran murni, yaitu kesadaran
akan Suksma Kawekas sebagai sumber hidup; (2) kesadaran tinggi, yaitu
kesadaran akan Suksma Sejati sebagai pembabar prinsip hidup; (3) kesadaran
45
manusia sebagai wujud hidup. Terdapat tingkatan dalam kesadaran manusia.
Tingkat terendah kesadaran manusia ialah kesadaran yang dilandasi oleh
pemahaman bahwa yang disebut ’aku’ adalah raga yang kasat mata sehingga
segenap potensi hidup masih diwarnai oleh tujuan untuk melayani raga, yaitu
makan, minum, seks, dan kenyamanan. Sedangkan kesadaran yang sejati
adalah kesadaran yang dilandasi oleh suatu sikap bahwa manusia bukanlah
semata sebagai raga, melainkan roh suci sebagai sinar Tuhan yang menjadi
sumber hidup abadi;
2) Pracaya, berarti percaya. Kitab Sasangka Djati (1969) menyebutkan bahwa
orang Pangestu harus percaya bahwa Sang Guru Sejati menjadi penuntun
hidup manusia. Pangestu mengajarkan bahwa manusia sejati adalah manusia
yang dapat menyatu dengan Tuhan. Percaya kepada Tuhan adalah sesuatu
yang mutlak, jika manusia ingin menyatu dengan Tuhan;
3) Mituhu, berarti taat, taat melaksanakan perintah Tuhan. Orang Pengestu harus
percaya bahwa tidak ada suatu pekerjaan apapun yang utama yang harus
dilaksanakan manusia yang bukan pekerjaan Tuhan. Jadi semua pekerjaan
yang baik bagi semua manusia sebenarnya adalah pekerjaan Tuhan (dalam
Soehadha, 2008).
Ajaran Pancasila merupakan lima watak utama yang terdiri dari:
1) Rila, berarti ikhlas. Kitab Sasangka Djati menyebutkan bahwa rila adalah
keleluasaan hati dengan disertai rasa bahagia dalam menyerahkan seluruh
miliknya, wewenangnya, dan semua hasil pekerjaannya kepada Tuhan, dengan
rasa tulus ikhlas, sebab semua itu ada dalam kekuasaan Tuhan, maka harus
46
tidak ada sesuatu apapun yang mengganjal (membekas) dalam hatinya (kitab
Sasangka Djati, 1969);
2) Narima, berarti menerima apa adanya. Kitab Sasangka Djati (1969)
menyebutkan bahwa orang yang bersikap narima bukanlah orang yang lemah
dalam pekerjaannya, tetapi orang yang “nrima ing pandum”, yang artinya
orang yang menerima apa yang telah menjadi bagiannya dan selalu bersyukur
kepada Tuhan. Orang–orang ini adalah orang yang terkaya di antara manusia
kaya lainnya. Sikap rela mengarahkan perhatian kepada segala sesuatu yang
telah dicapai dengan upayanya sendiri, sedangkan narima menekankan kepada
“apa adanya”, menerima segala sesuatu yang telah menimpa diri (De Jong,
1976);
3) Temen, berarti jujur dan sungguh-sungguh. Temen dalam kitab Sasangka Djati
(1969) diartikan sebagai ajaran yang membangun kesadaran manusia agar
selalu sungguh-sungguh menepati janji atau kesanggupannya, baik yang masih
dalam batin maupun yang sudah diucapkan.
4) Sabar, dalam Sasangka Djati (1969) diartikan sebagai sikap kuat dalam
menghadapi segala cobaan, tetapi bukan orang yang pupus dalam
keinginannya, namun kebalikannya sebagai orang yang sentosa hatinya, luas
ilmunya, tidak sempit budinya, pantas disebut lautnya pengetahuan, oleh
karena dirinya yang tidak membeda-bedakan antara emas dengan tanah,
kawan dengan lawan sudah dianggap sama saja. Dapat diumpamakan sebagai
samudra yang dapat menampung apa saja, tidak bisa meluap akibat dialiri oleh
sungai-sungai dari mana saja;
47
5) Budi luhur, adalah sifat yang diusahakan oleh manusia agar dapat menyerupai
sifat Tuhan, yaitu kasih sayang kepada sesama.
b. Paliwara
Paliwara adalah pokok larangan Tuhan kepada manusia. Paliwara ada lima
macam, yaitu:
1) Jangan meyembah kepada selain Allah,
2) Berhati-hati dalam hal syahwat,
3) Jangan makan atau mempergunakan makanan yang memudahkan rusaknya
badan jasmani,
4) Taatilah undang-undang negara dan peraturanya
5) Jangan berselisih.
c. Gumelaring Dumadi
Gumelaring dumadi berarti pagelaran penciptaan kehidupan, mulai dari
jagad besar, mahkluk seperti hewan, tumbuhan dan juga manusia. Ajaran pertama
berisi pengetahuan tentang adanya empat unsur (anasir) yang membentuk dunia
materi alam semesta, yakni unsur swasana, api, air, dan tanah. Kedua,
pengetahuan tentang penciptaan hewan, tumbuhan, dan segala yang ada di muka
bumi ini, selain manusia. Ketiga adalah ajaran atau pengetahuan tentang
penciptaan manusia (Soehadha, 2008).
Pertama kali yang diciptakan oleh Tuhan, adalah swasana, kemudian api,
air, dan tanah. Dan kemudian menjadi jagad gedhe. Keempat anasir ini saling
berinteraksi sehingga menyebabkan terciptanya benda-benda angkasa. Baru
kemudian memungkinkan bagi adanya kehidupan dan diciptakanlah mahkluk
48
hidup. Ajaran Pangestu menerangkan bahwa masing-masing mahkluk hidup yang
ada di bumi tercipta dari anasir yang berbeda satu sama lainnya. Secara skematis
anasir yang ada dalam mahkluk tersebut dapat diambarkan dalam tabel berikut:
Tabel 1.
Anasir mahkluk menurut ajaran Pangestu (dalam Soehadha, 2008)
Mahkluk Hidup Anasir / Unsur Fisik Jiwa
Binatang
1) Sari tanah
2) Sari api
3) Sari swasana
Roh suci (tanpa penuntun Guru
Sejati)
Tumbuhan1) Sari tanah
2) Sari airTanpa Roh Suci
Mahkluk halus
(dewata)1) Sari api Daya bayangan Tuhan
Manusia
1) Sari Swasana
2) Sari api
3) Sari tanah
4) Sari air
Roh Suci disertai Suksma Sejati
sebagai penuntun dan Guru Sejati
yang manunggal dengan Suksma
Kawekas.
Selain itu manusia juga dilengkapi dengan empat macam nafsu, yaitu nafsu
mutmainah, amarah, lawamah, dan sufiah. Keempat nafsu ini merupakan
cerminan dari sifat-sifat empat anasir yang membentuk diri manusia (Soehadha,
2008):
1) Unsur swasana menimbulkan nafsu mutmainah. Nafsu mutmainah mendorong
manusia untuk selalu menyatu dengan lingkungannya dan menyatu dengan
Suksma Sejati. Oleh karena itu manusia yang memilki nafsu mutmainah
49
cenderung hidup rukun dengan masyarakat di sekelilingnya dan berakhlak
mulia.
2) Unsur tanah membentuk nafsu lawamah. Nafsu ini mendorong manusia
bersikap menjaga eksistensinya, mempertahankan diri, dan
memperkembangkannya. Wujud konkretnya mendorong manusia senang
terhadap makanan, minuman, dan syahwat.
3) Nafsu sufiah adalah nafsu yang terbentuk dari anasir air. Nafsu sufiah lazim
pula disebut keinginan. Oleh karena itu nafsu sufiah mendorong manusia
untuk mendekatkan diri kepada apa yang diinginkannya.
4) Nafsu amarah adalah nafsu yang terbentuk dari anasir api yang dapat
membakar semangat manusia atas berbagai keinginannya. Apabila nafsu
amarah manusia besar, maka akan kuat pula keinginannya, dan juga
sebaliknya.
d. Tunggal Sabda
Tunggal sabda mengandung arti bahwa baik kitab suci Al-Quran, maupun
kitab suci Injil, demikian pula kitab Sasangka Djati, ketiga-tiganya merupakan
sabda tunggal, dalam arti sama-sama sabda dari Tuhan (Allah) (Imam, 2005).
Namun tetap ada perbedaan yang mendasar dari ketiganya sebab Pangestu sendiri
menyatakan bukan agama dan R. Soenarto sendiri juga mengaku hanya sebagai
‘siswa’ Suksma Sejati, dan menyebut dirinya hanya sebagai warana (perantara)
sabda.
e. Jalan Rahayu
Jalan Rahayu terdiri dari lima ajaran, yaitu:
50
1) Paugeraning Pangeran Marang Kawula, sebagai dasar kepercayaan;
2) Panembah, sebagai sarana untuk memperkuat kebaktian kepada Tuhan yang
dapat dilakukan sepanjang waktu, namun ada waktu khusus yang sebaiknya
dilakukan yaitu ketika menjelang terbitnya matahari dan menjelang
terbenamnya matahari;
3) Budi darma, sebagai wujud kasih sayang kepada sesama hidup, seperti tolong
menolong, memberi kebaikan, dan kasih sayang, bisa berwujud materi
maupun tenaga dan pengetahuan;
4) Ngunjara hawa nafsu atau mengekang hawa nafsu yang menuju kejahatan,
yang dapat dilakukan dengan cara berpuasa atau dengan menahan segala
keinginan dan angan-angan yang bersifat keduniawian;
5) Budi luhur sebagai bekal dalam menuju hidup yang sejati, yaitu manusia yang
mampu melaksanakan perbuatan yang disenangi Tuhan, yaitu rela berkorban,
merelakan kenikmatan, dan kemuliaan diri sendiri bagi orang lain.
f. Sangkan Paran
Seperti yang dikutip Imam (2005) dari kitab Sasangka Djati bahwa sangkan
paran berisi lima ajaran, yaitu:
1) Kembalinya jiwa ke asal mulanya, jika tiba saatnya hamba dipanggil ke
hadirat Tuhan.
2) Sebab-sebab yang merintangi kembalinya jiwa ke asal mulanya, karena
melanggar larangan Tuhan,
3) Pahala dan pidana Tuhan,
4) Datangnya pembalasan dan leburnya dosa,
51
5) Datangnya pembalasan bagi perbuatan buruk yang belum dibebaskan melalui
tobat.
g. Panembah Tiga Tingkatan
Panembah tiga tingkatan terdiri dari:
1) Panembah raga kepada Roh Suci adalah tingkatan panembah bagi jiwa yang
masih muda. Pada tingkatan ini roh suci berupaya menundukkan empat nafsu,
yakni lauamah, ammarah, sufiah, dan muthmainah. Panembah raga terhadap
Roh suci sebaiknya juga menggunakan bahasa Arab, yang digunakan dalam
mengingat Tuhan yang dibarengi dengan keluar masuknya nafas dengan
kalimat: ”HU” dan ”ALLAH”. Hu dalam Sasangka Jati berarti singgasana
Tuhan yang teramat luas dan tanpa batas yaitu berada di dalam dan di luar
jagad cilik karena Tuhan itu meliputi semuanya. Allah berarti Suksma
Kawekas yang Maha Luhur, Maha Asih, yang meliputi semesta alam dan
seisinya. Panembah kepada Roh Suci sebaiknya dilakukan pada saat
tenggelamnya matahari (waktu magrib) dan pada saat munculnya matahari
yaitu pada waktu subuh.
2) Panembah roh suci kepada Suksma Sejati, adalah tingkatan panembah bagi
jiwa yang telah dewasa, karena Roh Suci telah berhasil menundukkan hawa
nafsunya. Pada tingkatan ini roh suci berupaya taat kepada Suksma Sejati.
Panembahan ini dilakukan dalam tiga waktu, yaitu ketika magrib (suruping
srengenge), tengah malam (lingsir wengi), dan subuh (bangun raina).
3) Panembah Suksma Sejati kepada Suksma Kawekas adalah tingkatan panembah
bagi jiwa yang telah luhur budinya. Panembah pada tingkatan ini merupakan
52
jalan untuk bertunggal dengan Tuhan. Waktu melakukan panembah sama
dengan dengan panembah tingkat dua, bedanya panembah tingkat tiga ini
tidak ada sembah raga
Selain penembah tiga tingkatan ada pula panembah empat tataran, yaitu:
1) Sembah raga, merupakan pertanda yang kasat mata dalam menyembah Tuhan.
Tata krama dalam panembah sebagai sembah raga, adalah sebagai berikut:
bersila dan ngapurancang, posisi tangan menyembah (kedua tangan ditempel
didepan hidung), laku duduk, dan lain-lain sesuai dengan cara masing-masing;
2) Sembah cipta, artinya penembah diikuti dengan ingat kepada Tuhan dan
memuji nama-Nya;
3) Sembah kalbu, maksudnya adalah dalam melakukan panembah tidak hanya
raga dan ciptanya saja yang melakukannya namun juga hatinya. Panembah
harus disertai dengan hati yang tulus, sungguh-sungguh dalam menyembah
Tuhan;
4) Sembah rasa, sejatinya adalah sembahing orang yang sampai pada tingkat budi
luhur sehingga dalam melakukan panembah tidak perlu menggunakan
sesembahan tiga sebelumnya. Sembah rasa dilakukan hanya dengan pasrah
jiwa raga terhadap Suksma Kawekas (Sasangka Djati, 1968).
3. Konsep Tuhan dalam Ajaran Pangestu
Konsep Tuhan dalam Pangestu adalah monoteisme, yaitu percaya pada satu
Tuhan, namun Pangestu mengajarkan keadaan Tuhan yang bersifat tiga yang
disebut Tripurusa. Tripurusa ini berarti keadaan satu yang bersifat tiga, yaitu:
53
1) Suksma Kawekas (Tuhan Sejati) atau Allah Ta’ala yang berarti yang
menghidupi, yang membuat hidup, yang membuat manusia merasa hidup, atau
sumber hidup;
2) Suksma Sejati (penuntun sejati, guru sejati) adalah utusan Tuhan. Suksma
Sejati adalah karsa atau aktivitas Suksma Kawekas. Kitab Sasangka Djati
menyebut Suksma Sejati ini sama dengan Nur Muhammad dalam ajaran
tasawuf (Islam), dan sama dengan Sang Putra atau Kristus dalam agama
Kristen. Suksma Sejati adalah utusan Tuhan yang sejati sebagai panutan,
penuntun, dan guru sejati;
3) Roh Suci (manusia sejati), adalah sifat yang dihidupi atau yang diberi hidup
dan yang diberi kekuasaan dalam melaksanakan karsa (kehendak) Tuhan. Roh
Suci adalah cahaya Ilahi yang bersemayam dalam jasmani manusia
(Hadiwiyono, 1983; Imam, 2005; Soehadha, 2008).
Sumantri menjelaskan kata sifat dalam Sasangka Djati berarti faset, aspek,
segi, muka (wajah). Jadi Allah itu satu dalam hakikat-Nya namun menampakkan
diri dalam tiga faset, tiga wajah yaitu Suksma Kawekas, Suksma Sejati, dan Roh
Suci (Hadiwiyono, 1983). Aspek pertama adalah tertinggi, mutlak, diam, statis
disebut Suksma Kawekas. Aspek kedua adalah hidup yang dinamis, dilahirkan
dari yang statis, disebut Suksma Sejati. Aspek ketiga disebut Roh Suci, jiwa sejati
dari manusia yang dianggap sebagai cahayaNya atau percikan api dari Suksma
Kawekas (Imam, 2005).
Hal ini mirip dengan konsep tajalli (penampakan diri) Tuhan dalam mistik
Islam seperti konsep tajalli dan fayd (emanasi) dari Ibn Al-Arabi dan martabat
54
tujuh dari Al-Burhanpuri. Hal ini juga sejalan dengan martabat Nur Muhammad
dalam wirid Hidayat Jati Ronggowarsito. Selain itu konsep Tripurusa ini juga
menyerupai apa yang menurut Zoetmulder disebut teori emanasi yang
disederhanakan.
4. Konsep Manusia dalam Ajaran Pangestu
Di dalam kitab SasangkaDjati di terangkan bahwa Tuhan mempunyai
kehendak menurunkan Roh Suci sebelum dunia tercipta (Imam, 2005). Sasangka
Djati juga menunjukkan bahwa penciptaan (penurunan) Roh Suci terjadi dari
cahaya Tuhan yang digambarkan seperti plethikan api dari api Yang Maha Agung.
Keterangan ini menunjukkan bahwa penciptaan manusia menurut Pangestu
melalui proses emanasi (Imam, 2005). Sebelum Roh Suci diturunkan ke dunia,
Tuhan telah memberikan kesaksian yang disebut pahugeran, agar setelah roh suci
memakai anasir jasmani senantiasa sadar, bahwa Roh Suci berasal dari Tuhan dan
harus kembali kepada-Nya.
Terjadinya manusia adalah dari cahaya Tripurusa yang diberi pakaian empat
anasir, yang dilengkapi dengan peralatan badan jasmani, yaitu lima panca indera,
empat nafsu, dan tiga angan-angan. Sejalan dengan hal ini, karena bayi terjadi dari
tujuh keadaan, yakni Tripurusa dan empat macam anasir, maka manusia juga
disebut mempunyai saudara tujuh, yang lahir bersama-sama dalam satu hari.
Empat saudara disebut nafsu lauamah, amarah, sufiah, mutmainah, dan tiga
saudara lainnya disebut angan-angan, yakni pangaribawa, prabawa, dan
kemayan. Adapun dasar alasan bahwa manusia itu disebut mempunyai saudara
55
tujuh, karena empat saudara atau empat nafsu itu terjadi dari halusnya empat
anasir, dan tiga saudara lainnya atau tiga angan-angan terjadi dari bayangan
Tripurusa (Hadiwiyono, 1983; Imam, 2005).
Angan-angan sebagai bayangan atau refleksi Tripurusa di dalam selubung
jasmani menurut Sumantri (1967) adalah daya-daya intelektual manusia. Refleksi
ini mempunyai tiga aspek, yakni cipta, nalar, dan pangerti, masing-masing
mempunyai fungsi. Cipta berfungsi untuk menangkap atau membayangkan, nalar
berfungsi untuk mengasosiasikan (menghubungkan) berbagai bayangan, dan
pangerti berfungsi untuk menyimpulkan dari semua yang dibayangkan. Daya
intelektual yang dimiliki oleh masing-asing aspek adalah sebagai pantulan dari
Tripurusa, cipta sebagai pantulan Roh suci, nalar sebagai pantulan Suksma Sejati,
dan pangerti sebagai pantulan Suksma Kawekas (dalam Hadiwiyono, 1983; Imam,
2005).
Kekuasaan angan-angan atau kecakapan intelektual manusia di dalam hidup
sehari-hari dipusatkan kepada yang disebut Aku atau Ego manusia. Bahkan, Aku
adalah pusat pimpinan jiwa manusia meliputi angan-angan, perasan dan nafsu-
nafsu. Akan tetapi angan-angan yang dipusatkan pada Aku (Ego) itu
sesungguhnya bukan jiwa manusia yang sejati, atau bukan Roh suci, melainkan
hanya bayangan Tripurusa. Kekuasaan angan-angan yang diberikan Tuhan kepada
manusia, supaya dipakai untuk mengendalikan ”saudara empat” (empat nafsunya)
lainnya, agar selaras dengan karsa atau kehendak Tuhan (Imam, 2005). Jika
kecakapan intelektual manusia disebut Ego, maka Roh Suci dapat disebut ”super
ego” (Hadiwiyono, 1983).
56
Ketiga unsur jiwa yaitu angan-angan, perasaan, dan nafsu-nafsu, harus
berada di bawah satu kendali yang dipimpin oleh sang Aku, agar ketiga unsur jiwa
tersebut dapat berjalan selaras dan seimbang sesuai dengan kehendak Tuhan. Bila
ketiga unsur jiwa tersebut berjalan selaras dan seimbang, maka jiwa manusia akan
merasa tenang tenteram dan bahagia (Imam, 2005).
Gambaran jiwa manusia menurut Pangestu yang dirangkum Sumantri dalam
Candra Jiwa Soenarto, adalah sebagai berikut:
Badan Jasmani kasar Badan Jasmani Halus (Jiwa) Alam Sejati
Angan-angan
Cipta
Nalar
Pangerti
Pangaribawa
Prabawa
Kemayan
Sadar
Perasaan
MenerimaSenang
MenarikPositif
Menolak
Tak Suka
Negatif
Super EgoAku (Ego)
Percaya
Sadar
PercayaTaat
Alat-alatPalaksana
Panca
indera
Nafsu Taat
Amarah Sufiah Mutmainah Lauwamah(kemauan) (Keinginan) (Egosentrifugal) (Netral) (Egosentrifugal)
TahanPenderitaan
KekuatanJasmani
MinumMakanTidurSyahwatLoba
TamakIriAniayaFitnahdll.
Suprasosial
Sosial
RahsaJati
Tri
Purusa
SuksmaKawekas
SuksmaSejati
RohSuci
Gambar 1. Candrajiwa Soenarto (dalam Imam, 2005; Hadiwiyono, 1983; Jatman,
2000)
Di dalam Struktur Candrajiwa Sunarto terdapat dua pusat, yaitu: pertama,
pusat yang immaterial, yakni Tri Purusa: Suksma Kawekas, Suksma Sejati, dan
Roh Suci. Kedua, pusat yang material yang terdiri atas angan-angan, nafsu-nafsu,
dan rasa pangrasa atau hidup perasaan. Angan-angan yang terdiri dari pangerti,
57
nalar, dan cipta, kemayan, pangaribawa, prabawa. Nafsu-nafsu terdiri dari
mutmainah, amarah, sufiah, dan lawwamah (Hadiwiyono, 1983).
5. Konsep Mistik dalam Ajaran Pangestu
Konsep mistik dalam ajaran Pangestu tampak pada hakikat ajarannya yang
mengarah pada manunggaling kawula-Gusti. Di dalam Sasangka Djati
diterangkan bahwa ajaran Pangestu hakikatnya merupakan tuntunan kerohanian
(Kesuksman) menuju bertunggal dengan Tuhan. Hasta sila sebagai intisari ajaran
Pangestu, adalah jalan menuju kembali bertunggal dengan Tuhan, berwujud
sembah batin delapan sila. Bila Tri sila telah sampai pada kesempurnaanya, maka
panca sila segera menyusul mengikuti Tri sila, hingga sampai pula pada
kesempurnaannya. Keadaannya lantas campur lebur bertunggal menjadi satu,
berwujud kasunyatan (kesempurnaan) abadi (Imam, 2005). Menurut Pangestu ada
dua macam kesempurnaan, yaitu kesempurnaan yang tertinggi yang dicapai
setelah meninggal dunia dan kesempurnaan yang dicapai orang di dalam hidup ini
(Hadiwiyono, 1983).
C. REALISASI DIRI JUNG
1. Struktur Psike atau Kepribadian
Psikhe adalah totalitas segala peristiwa psikis baik yang disadari maupun
tidak disadari (Suryabrata, 2005). Psyche adalah mencakup keseluruhan pikiran,
perasaan dan tingkah laku (Alwisol, 2008). Jung (1971) percaya bahwa psyche
adalah tersusun dari sistem-sistem yang saling tergantung yang terdiri dari
58
kesadaran, yang menyediakan konsistensi, petunjuk dan persepsi yang terkontrol,
ingatan, pikiran, dan perasaan; ketidaksadaran personal yang terdiri dari materi
yang dilupakan dan direpresikan yang telah hilang dari pikiran yang sadar tapi
masih dapat dikeluarkan kembali; dan ketidaksadaran kolektif, yang merupakan
transpersonal atau nonpersonal kesadaran yang tidak menyangkut dengan
pengalaman personal (dalam, James dan Gillliland). Jadi psyche terdiri dari
kesadaran dan ketidaksadaran. Kedua alam itu tidak hanya saling mengisi, tetapi
berhubungan secara kompensatoris. Kesadaran berfungsi untuk penyesuaian
terhadap dunia luar dan ketidaksadaran berfungsi untu penyesuaian terhadap dunia
dalam (Suryabrata, 2005). Batas antara kesadaran dan ketidaksadaran tidak tetap
melainkan dapat berubah-ubah, artinya luas daerah kesadaran atau ketidaksadaran
dapat bertambah atau berkurang (Suryabrata, 2005).
Ada tiga jalinan asumsi tentang sejarah universal psyche, yaitu:
1) The evolution of the psyche, psyche layaknya tubuh telah terstruktur secara
kolektif, dan dalam beberapa pengertian dapat dikembangkan seperti itu.
Dalam pandangan Darwinian, simbol ini, image, dan ide yang telah
diperjuangkan sangat lama adalah paling pas dalam memandu proses
individuasi;
2) The preexitence of the psyche, psyche bukanlah sesuatu yang simpel yang
telah datang menjadi merdeka dari setiap jiwa, telah mempersiapkan untuk
mati, atau hidup dalam beberapa bentuk individual. Bagaimanapun juga efek
kumulatif dari seorang yang terindividuasi menemukan jalannya kepada
kebijaksanaan secara kolektif dalam ras;
59
3) The archeology of the psyche, menyusul abad ke-19 prinsip biology bahwa
“ontogeny recapitulates phylogeny”, proses individuasi mengizinkan ego
individual untuk mengalami lagi sejarah psikis ras atau bangsa dari waktu
sebelum peradaban sampai sekarang (dalam Heisig, 1997).
a. Kesadaran
1) Ego
Menurut Jung, hasil pertama dari proses diferensiasi kesadaran itu adalah
ego (Alwisol, 2008). Ego merupakan subyek dari segala kegiatan pribadi
kesadaran. Kesadaran adalah fungsi aktif yang menghubungkan isi-isi psikis
dengan ego sebagai pusatnya sehingga isi psikis ini dapat disadari oleh ego.
Seluruh pengalaman menyangkut dunia luar dan dalam harus melewati ego
supaya dapat diamati dan dialami. Semua relasi dengan ego sejauh oleh ego
sendiri tidak dialami sebagai berhubungan denganya, tetap tinggal dalam
ketidaksadaran dan tidak termasuk dalam wilayah kekuasaan ego. Relasi dari satu
isi psikis dengan ego merupakan kriterium dari keasadaran, karena tak ada yang
menjadi sadar jika tidak dihadirkan kepada satu subyek (Jung, 1986). Jadi
membicarakan kesadaran sama halnya dengan membicarakan ego, ego lah yang
menyaring atau menghadirkan semua hal dalam kesadaran subyek.
Ego bukan faktor tunggal atau elementer tapi satu faktor kompleks yang
tidak bisa diuraikan sampai habis. Ego dilandasi oleh dua dasar berbeda, yaitu
dasar somatis dan dasar psikis (Jung, 1986). Dasar somatis ego terdiri dari faktor
sadar yaitu faktor-faktor yang mampu menembus ambang kesadaran, dan faktor
tak sadar merupakan faktor yang sebagian besar subliminal atau dibawah ambang
60
kesadaran. Dasar psikis ego yaitu ego berdasar pada seluruh ruang kesadaran dan
juga pada seluruh jumlah isi yang tak sadar. Ego adalah faktor sadar yang paling
utama (par excellence). Awalnya ego muncul dari tubrukkan yang lain antara
dunia luar dan dunia batin. Ego merupakan subyek dari semua usaha adaptasi
yang berhasil, sejauh usaha-usaha ini dicapai oleh kehendak, namun kehendak
didalamnya terbatas. Ego punya peranan penting dalam pengaturan psikis. Ego
hanya titik referensi dari ruang kesadaran, yang didasarkan pada dan dibatasi oleh
faktor somatis yang disebut diatas, bukan terdiri dari seluruh alam kesadaran. Ego
hanyalah bagian dari kepribadian, bukan seluruh kepribadian. Jadi tidak mungkin
memberi uraian umum tentang ego karena sifatnya yang individualitas, individual,
unik, dan mempertahankan identitasnya sampai tingkat tertentu (Jung, 1986).
Kesadaran mempunyai dua komponen pokok, yaitu fungsi jiwa dan sikap jiwa
(Suryabrata, 2005).
2) Fungsi Jiwa
Fungsi jiwa, adalah suatu bentuk aktivitas kejiwaan yang secara teori tiada
berubah dalam lingkungan yang berbeda-beda. Jung membedakan empat fungsi
pokok, yang dua rasional, yaitu pikiran dan perasaan, sedang yang dua lagi
irasional, yaitu pendriaan dan intuisi. Fungsi-fungsi rasional bekerja dengan
penilaian. Pikiran menilai atas benar dan salah, sedang perasaan menilai atas dasar
menyenangkan dan tidak menyenangkan. Fungsi irasional berfungsi hanya
semata-mata dengan pengamatan. Pendriaan mendapatkan pengamatan dengan
sadar-indriah, sedang intusi mendapatkan pengamatan secara sadar-naluriah. Pada
dasarnya tiap manusia memiliki keempat fungsi itu, akan tetapi biasanya hanya
61
salah satu fungsi saja yang paling berkembang (dominan) (Alwisol, 2008;
Hall&Lindzey, 2005; Suryabrata, 2005).
3) Sikap Jiwa
Sikap jiwa, adalah arah daripada energi psikis umum atau libido yang
menjelma dalam bentuk orientasi manusia terhadap dunianya. Arah ini dapat
keluar ataupun ke dalam. Arah orientasi manusia yang cenderung ke luar
menunjukkan bahwa individu itu memiliki sikap jiwa yang ekstravers.
Orientasinya terutama tertuju keluar, pikiran, perasaan, serta tindakannya terutama
ditentukan oleh lingkungan, baik lingkungan sosial maupun non-sosial. Sikap jiwa
dengan arah orientasi ke dalam menunjukan orang yang introversi. Orang ini
terutama dipengaruhi oleh dunia subyektif, yaitu dunia dalam dirinya sendiri
(Alwisol, 2008; Hall&Lindzey, 2005; Suryabrata, 2005).
Jung memakai kombinasi sikap dan fungsi ini untuk mendeskripsi tipe-tipe
kepribadian manusia dan diperoleh delapan macam tipe manusia, yakni tipe
ekstraversi-pikiran, ekstraversi-perasaan, ekstraversi-pengindraan, ekstraversi-
intuisi, introversi-pikiran, introversi-perasaan, introversi-pengindraan, dan
introversi-intuisi (Alwisol, 2008; Hall&Lindzey, 2005; Suryabrata, 2005).
4) Persona
Apa yang telah diuraikan di atas adalah keadaan kehidupan alam sadar yang
sebenarnya, tetapi masih ada satu lagi yaitu bagaimana individu dengan sadar
menampakkan diri ke luar karena cara individu dengan sadar menampakkan diri
keluar itu belum tentu sesuai dengan keadaannya dirinya yang sebenarnya, dengan
individualitasnya. Cara individu dengan sadar menampakkan diri keluar (ke dunia
62
sekitarnya) disebut ”Persona” (Suryabrata, 2005). Jung (1945) menjelaskan
bahwa persona adalah topeng yang dipakai sang pribadi sebagai respon terhadap
tuntutan-tuntutan kebiasaan dan tradisi masyarakat, serta terhadap kebutuhan
arketipal sendiri. Persona adalah kepribadian publik, aspek pribadi yang
ditunjukkan kepada dunia atau pendapat publik yang melekat pada individu,
lawan dari kepribadian privat yang berada di balik wajah sosial (dalam Hall dan
Lindzey, 2005).
b. Ketidaksadaran
1) Isi Tak Sadar
Isi tak sadar terbagi dalam:
a. Isi yang untuk sementara subliminal, yaitu yang dapat dihasilkan kembali
sekehendak hati (memory),
b. Isi yang tidak apa diingat kembali menurut kemauan, munculnya tiba-tiba
(irupsi) dan spontan dari isi subliminal ke dalam kesadaran,
c. Isi yang sama sekali tak bisa menjadi sadar, bersifat hipotetis, yang merupakan
kesimpulan logis dari fakta-fakta yang mendasari kelompok isi yang kedua. Isi
ketidaksadaran ini belum meyerbu ke kesadaran, atau sama sekali tak bisa
menjadi sadar (Jung, 1986).
Ketidaksadaran mempunyai dua lingkaran, yaitu ketidaksaran pribadi
(personal) dan ketidaksadaran kolektif.
a. Ketidaksadaran Personal, meliputi hal-hal yang terdesak atau tertekan
(kompleks terdesak) dan hal-hal yang terlupakan (bahan-bahan ingatan) serta
hal-hal yang teramati, terpikir, dan terasa di bawah ambang kesadaran
63
(Suryabrata, 2005). Ketidaksadaran personal berisikan sekelompok idea
(perasaan-perasaan, pikiran-pikiran, persepsi-persepsi, ingatan-ingatan)
mungkin mengorganisir diri menjadi satu, yang disebut kompleks (Alwisol,
2008). Ketidaksadaran Personal memuat isi-isi yang adalah unsur integral dari
kepribadian individual dan karena itu juga bisa sadar (Jung, 1986);
b. Ketidaksadaran kolektif, mengandung isi-isi yang diperoleh selama
pertumbuhan jiwa seluruhnya, pertumbuhan jiwa seluruh jenis manusia
melalui generasi yang terdahulu. Daerah yang paling atas langsung dibawah
ketidaksadaran pribadi berisi emosi-emosi dan afek-afek serta dorongan-
dorongan primitif, apabila isi-isi ini termanifestasi maka orang masih dapat
mengontrolnya. Daerah dibawahnya lagi berisi ”invasi”, yaitu erupsi dari
bagian terdalam daripada ketidaksadaran serta hal-hal yang sama sekali tak
dapat dibuat sadar, manifestasi dari hal ini dialami oleh individu sebagai
sesuatu yang asing (Suryabrata, 2005).
2) Arketip
Ketidaksadaran adalah tidak sadar. Pengetahuan individu akan apa yang
tidak disadarinya diperoleh dari manifestasi daripada isi-isi ketidaksadaran itu,
yaitu dapat berbentuk kompleks dan symptomp, mimpi, dan archetipus. Symtomp
adalah tanda bahaya, yang memberitahu bahwa ada sesuatu dalam kesadaran yang
kurang, dan karenanya perluasan ke alam tak sadar. Kompleks-kompleks adalah
bagian kejiwaan kepribadian yang terpecah dan lepas dari penilikan (kontrol)
kesadaran dan kemudian mempunyai kehidupan sendiri dalam kegelapan alam
64
ketidaksadaran, yang selalu dapat menghambat atau memajukan prestasi
kesadaran (Suryabrata, 2005).
Mimpi sering timbul dari kompleks dan memiliki bahasa yang bersifat
perlambangan dan perlu ditafsirkan. Arketip adalah suatu bentuk pikiran (ide)
universal yang mengandung unsur emosi yang besar (Alwisol, 2008; Hall &
Lindzey, 2005). Arketip merupakan pusat serta medan tenaga daripada ketidak
sadaran yang dapat mengubah sikap kehidupan sadar manusia (Suryabrata, 2005).
Arketip dibawa sejak lahir dan tumbuh pada ketidaksadarn kolektif selama
perkembangan manusia (sebagai jenis) jadi tidak tergantung pada manusia
perorangan. Meskipun semua arketip dapat dipandang sebagai sistem-sistem
dinamik otonom yang secara relatif bidang menjadi tidak tergantung pada aspek-
aspek lain kepribadian, namun sejumlah arketip telah berkembang sedemikian
jauh sehingga harus dipandang sebagai sistem-sistem terpisah dalam kepribadian,
yaitu bayang-bayang (shadow), syzygy (anima dan animus), dan self (Alwisol,
2008; Hall dan Lindzey, 2005).
a. Shadow (Bayang-bayang), bayang-bayang atau shadow adalah arketip yang
mencerminkan insting kebinatangan yang diwarisi manusia dari evolusi
mahkluk tingkat rendahnya. Bayang-bayang merupakan ”bagian gelap”
kepribadian, kekurangan yang tak disadari. Bayang-bayang terbentuk dari
fungsi inferior serta sikap jiwa yang inferior, yang karena pertimbangan moral
atau pertimbangan-pertimbangan lain dimasukkan ke dalam ketidaksadaran,
karena tidak serasi dengan kehidupan alam sadarnya. Bayang-bayang bersifat
emosional, semacam otonomi, obsesif (menghantui) dan posesif (menguasai).
65
Pada taraf tertentu bayang-bayang dapat diasimilasikan ke dalam kepribadian
sadar selama masih bersifat personal, namun jika bayang-bayang muncul
sebagai arketip akan menjadi sulit untuk membuatnya sadar. Hal ini terjadi
melalui proyeksi, namun terkadang proyeksi ini tidak dikenali sebagai
proyeksi sehingga penyingkapannya merupakan usaha moral yang besar
(Alwisol, 2008; Hall dan Lindzey, 2005; Jung, 1986; Suryabrta, 2005).
b. Syzygy, terdiri dari anima dan animus. Anima adalah penjelmaan sifat wanita
dalam rupa manusia, sifat wanita yang terdapat dalam alam tak sadar pria.
Animus adalah penjelmaan sifat pria dalam rupa manusia, sifat pria dalam
alam tak sadar wanita (Alwisol, 2008; Hall dan Lindzey, 2005; Jung, 1986;
Suryabrta, 2005). Syzygy ada dalam hubungan yang langsung dengan persona.
Persona menyesuaikan diri ke luar sedang syzygy menyesuaikan diri ke dalam;
jadi persona adalah fungsi perantara antara aku dan dunia dalam. Makin kaku
persona, maka makin rendah diferensiasi anima atau animus dan makin
diproyeksikan kepada orang lain (Suryabrata, 2005). Anima dan animus hanya
disadari dalam relasi lawan jenis, sebab dalam relasi yang demikian proyeksi-
proyeksi ini bekerja selektif (Jung, 1986). Harus ada kompromi antara
tuntutan tak sadar kolektif dengan realitas dunia, agar terjadi penyesuaian
yang sehat (Alwisol, 2008; Hall dan Lindzey, 2005).
c. Self adalah arketip yang memotivasi perjuangan seseorang menuju keutuhan
(Alwisol, 2008). Self adalah titik pusat kepribadian, di sekitar mana semua
sistem lain terkonstelasikan. Self mempersatukan sistem-sistem ini dan
66
memberikan kepribadian dengan kesatuan, keseimbangan, dan kestabilan pada
kepribadian.
2. Perkembangan Psike atau kepribadian
a. Kausalitas, Teleologi, dan Sinkronitas
Jung berpendapat, bahwa kausalitas dan teleologi kedua-duanya penting
dalam psikologi (Suryabrata, 2005). Segi pandangan teleologis menerangkan
masa sekarang dari sudut masa depan. Kepribadian manusia dipahami menurut
kemana akan pergi, bukan dimana telah berada. Sebaliknya, masa sekarang dapat
dijelaskan oleh masa lampau. Ini adalah pandangan kausalitas, yang menyatakan
bahwa peristiwa-peristiwa sekarang adalah akibat atau hasil pengaruh dari
keadaan-keadaan atau sebab-sebab sebelumnya. Orang memeriksa masa lampau
seseorang dengan maksud untuk menerangkan tingkah lakunya sekarang (Hall dan
Lindzey, 2005).
Menurut Jung, peristiwa psikis tidak selalu dapat dijelaskan dengan prinsip
sebab akibat. Dua peristiwa psikis yang terjadi secara bersamaan dan tampak
saling berhubungan, yang satu tidak menjadi penyebab dari yang lain, karena
keduanya tidak dapat ditunjuk mana yang masa lalu dan mana yang masa depan.
Ini dinamakan prinsip sinkronitas. Jung menyimpulkan dari pengalaman-
pengalaman dalam telepati mental, penginderaan batin (clairvoyance), dan
fenomena paranormal lainnya; bahwa ada aturan lain di alam semesta disamping
aturan sebab akibat, aturan itulah prinsip sinkronitas (Alwisol, 2008).
67
b. Progresi dan Regresi
Di dalam proses perkembangan dapat terjadi gerak maju (progresi) atau
gerak mundur (regresi). Apa yang dimaksud dengan progresi oleh Jung adalah
bahwa aku sadar dapat menyesuaikan diri secara memuaskan baik terhadap
tuntutan-tuntutan dunia luar maupun kebutuhan-kebutuhan ketidaksadaran. Dalam
progresi normal, kekuatan-kekuatan penghalang dipersatukan secara selaras dan
koordinatif oleh proses-proses kejiwaan (Hall dan Lindzey, 2005; Suryabrta,
2005).
Apabila gerak maju ini terganggu oleh rintangan dan karenanya libido
tercegah untuk digunakan secara maju maka libido lalu membuat regresi kembali
ke fase yang telah di lewati atau masuk ke ketidaksadaran. Regresi tidak selalu
berarti negatif, regresi memungkinkan individu untuk mencari penyelesaian dari
dalam ketidaksadaran (Hall dan Lindzey, 2005; Suryabrta, 2005).
c. Sublimasi dan Represi
Sublimasi merupakan pemindahan energi dari proses-proses yang lebih
primitif, instingtif, dan kurang berdiferensiasi ke proses-proses kultural dan
spiritual yang lebih tinggi dan lebih berdiferensiasi. Sublimasi ini terjadi untuk
proses individuasi dan fungsi transedensi. Apabila pelepasan energi terhambat,
entah melalui saluran instingtif atau saluran yang telah disublimasikan maka
dikatakan bahwa energi itu direpresikan (Hall dan Lindzey, 2005).
Jadi dalam pandangan Jung sublimasi dan represi adalah dua hal yang
berlawanan: sublimasi itu progresif, menyebabkan psyche bergerak maju,
68
menambah rasionalitas, sedang represi itu adalah regresif, menyebabkan pyche
bergerak mundur, dan menghasilkan irasionalitas. Namun bagi Jung represi itu
tetap mempunyai nilai positif (Suryabrata, 2005).
d. Jalan Kesempurnaan
1) Individuasi
Proses individuasi merupakan proses analitik, memilah-milah, memerinci,
dan mengelaborasi aspek-aspek kepribadian (Alwisol, 2008). Individuasi adalah
kemungkinan-kemungkinan yang terdapat dalam spesies-spesies manusia dan
pada setiap orang dengan mana psyche individu dapat mencapai perkembangan
yang lengkap dan utuh. Prosesnya berpangkal dari keseluruhan psyche, suatu
organisme yang bagian-bagian individualnya dikoordinir oleh sistem relasi
komplementer dan saling mengimbangi dan memperkembangkan kematangan
kepribadian (Jung, 1986).
Proses individuasi berjalan melalui empat sifat yaitu (dalam Baihaqi, 2008;
Schultz, 1991):
a. Sifat pertama ialah bahwa orang menyadari segi-segi diri yang telah
diabaikannya. Hal ini tidak dapat terjadi sebelum usia setengah tua. Jung
merumuskan proses individuasi sebagai proses menjadi individu yang unik,
diistilahkanya dengan “satu ada, mewujud, yang homogen” yaitu menjadi diri
sendiri. Untuk bertujuan ke arah individuasi, orang harus melepaskan tingkah
laku-tingkah laku, nilai-nilai, dan pikiran-pikiran yang membimbing setengah
bagian pertama dari kehidupan dan sampai pada ketidaksadarannya;
69
b. Sifat kedua ialah pengorbanan tujuan-tujuan material dari masa remaja dewasa
dan sifat-sifat kepribadian yang memungkinkan seseorang mencapai tujuan-
tujuan itu. Dalam individuasi tidak ada satupun fungsi atau sikap yang
dominan. Dengan individuasi secara paradoks, kategori-kategori perbedaan
individual (tipologi kepribadian) ini hilang sebab orang itu tidak dapat
dikategorikan sebagai misalnya seorang yang ekstrovers, introvers, ataupun
yang lain. Di dalam individuasi akan terjadi perubahan-perubahan pada usia
setengah tua, yaitu yang pertama penurunan tahta persona. Kepribadian publik
tetap diteruskan sebab masih ada peranan-peranan sosial tetapi orang harus
menyadari dirinya dan juga menjadi dirinya sendiri. Yang kedua, ialah
menyadari semua kekuatan bayang-bayang yang bersifat destruktif dan
konstruktif. Hal ini berarti orang harus menyadari sisi gelap kepribadiannya
serta menerima impuls-impuls yang bersifat animalistis dan primitif seperti
sifat destruktif dan egois. Hal ini merupakan bagian dari tahap pengetahuan
diri, individu harus menerima dan menyadari sisi buruk kepribadiannya juga.
Yang ketiga ialah menerima biseksualitas psikologis yaitu anima dan animus.
Setiap langkah dalam proses individuasi adalah sulit, tapi mengenal dalam diri
sendiri kualitas-kualitas dan sifat-sifat dari jenis kelamin lain jelas hal yang
paling sulit karena merupakan hal yang sangat luar biasa dan penyimpangan
yang sangat tajam dari gambaran diri sebelumnya. Hal ini juga berfungsi
sebagai pelepasan terakhir dalam pengaruh masa kanak-kanak. Bersamaan
dengan pengetahuan diri muncullah penerimaan diri.
70
c. Sifat ketiga ialah integrasi diri. Semua segi kepribadian diintegrasikan dan
diharmoniskan sehingga semuanya dapat diungkapkan. Untuk pertama kalinya
hidup, tidak ada segi, sikap, atau fungsi yang dominan
d. Sifat terakhir ialah orang yang mampu menampakkan ungkapan-diri.
Ungkapan diri merupakan sifat terkahir dari orang-orang yang terindividuasi.
2) Fungsi Transendensi
Jung (1961) menjelaskan bahwa apabila keanekaragaman telah dicapai lewat
proses individuasi, maka sistem-sistem yang berdifereniasi itu kemudian
diintegrasikan oleh fungsi transeden (dalam Hall dan Lindzey, 2005). Fungsi
transendensi merupakan proses sintetik, mengintegrasikan materi tak sadar dengan
materi kesadaran, mengintegrasikan aspek-aspek di dalam suatu sistem, dan
mengintegrasikan sistem-sistem secara keseluruhan agar dapat berfungsi dalam
satu kesatuan secara efektif (Alwisol, 2008). Jung (1943) menjelaskan bahwa
fungsi ini memiliki kapasitas untuk mempersatukan semua kecenderungan yang
saling berlawanan dalam beberapa sistem dan bekerja menuju tujuan yang ideal
yakni kebulatan sempurna (diri). Tujuan dari fungsi transenden adalah
pengungkapan pribadi yang esensial dan “realisasi kepribadian dalam semua
aspeknya yang mula-mula tersembunyi dalam cairan sel telur; produksi dan
penyingkapan dari kebulatan yang original dan potensial” (dalam Hall dan
Lindzey, 2005).
3) Realisasi diri
Proses individuasi dan fungsi transendensi merupakan langkah menuju
realisasi diri. Realisasi diri adalah tujuan hidup menurut pandangan Jung atau
71
tujuan dari perkembangan kepribadian itu sendiri. Realisasi diri berarti
diferensiasi yang sangat penuh, sangat sempurna serta perpaduan yang harmonis
dari semua aspek seluruh kepribadian manusia. Hal ini berarti bahwa psyche telah
mengembangkan pusat baru, yakni diri menggantikan pusat yang lama, yaitu ego
(Hall dan Lindzey, 2005). Sifat-sifat dalam individuasi akan menunjukkan
individu yang mampu menjadi dirinya sendiri atau mencapai realisasi diri. Boeree
menyebut pribadi ini sebagai pribadi yang tidak egoistik (Boeree, 2000). Ciri
orang seperti ini adalah berupa:
1) Penerimaan dan toleransi terhadap kodrat manusia pada umumnya. Orang-
orang yang terindividuasi memiliki kesadaran dan toleransi yang lebih besar
terhadap kondisi umat manusia, dengan begitu orang-orang ini merasa lebih
empati dengan masalah kemanusiaan, tanpa memandang ras, golongan, dan
agama (Baihaqi, 2008; Schultz, 1991).
2) Orang-orang ini menerima apa yang tidak diketahui dan misterius, menerima
dalam kesadaran dan ketidaksadaran, serta adanya faktor-faktor irasional. Hal
ini juga meliputi gejala-gejala supranatural dan spiritual yang mencakup
kepercayaan terhadap kewaskitaan dan kepercayaan terhadap Allah.
3) Selanjutnya orang yang sudah terindividuasi adalah orang yang memiliki
kepribadian yang universal karena tidak ada satupun segi kepribadian yang
dominan (Baihaqi, 2008; Schulz, 1991). Ketika individuasi tercapai, self
meliputi totalitas psyche manusia seimbang dalam pusatnya, self menyatukan
tanpa kontradiksi dari kutub-kutub jiwa: kesadaran dan ketidaksadaran, terang
dan gelap, tubuh dan jiwa, dan sebagainya (Kuhnis, 2006). Self adalah tujuan
72
hidup, suatu tujuan yang terus menerus diperjuangkan tetapi jarang tercapai.
Sebelum diri muncul, maka berbagai komponen kepribadian harus terlebih
dahulu berkembang sepenuhnya dan terindividuasikan (Hall dan Lindzey,
2005). ”True self” dapat dengan kemudian berpartisipasi secara individual
dalam kenyataan sebelumnya untuk beberapa perbedaan antara subyek dan
obyek, antara kesadaran dan dunia, bahkan antara berpikir dan bertindak. Self
adalah tujuan atau kesempurnaan dari ego. Hal ini diandaikan seperti biji
yang jatuh ke tanah dan mati, kemudian mengeluarkan lagi bunga yang indah.
Individu yang luar biasa yang mampu menjadi pahlawan karena membunuh
kekuatan binatang dan meletakkan tangan pada harta yang terpendam (Heisig,
1997). Ada enam kesimpulan tentang self dalam teori Jung, yaitu:
1) An original wholeness, self merupakan totalitas psyche;
2) A potential for becoming, self membuat terindividuasi secara total;
3) A agent of the collective unconscious, self merupakan pusat dari proses
individuasi;
4) An achieved wholeness, self merupakan hasil aktual dari kesatuan yang
harmonis dan antara kekuatan-kekuatan psyche;
5) An archetype of the transcendent absolute, image dari Tuhan, Buddha,
Tao, dan sebagainya tak dapat dibedakan dari image self;
6) An archetyoe of the union of the transcendent and the immanent, image
Kristus, Khidr, dan lainnya adalah tidak dapat dibedakan dari image self
(dalam Heisig, 1997).
73
Integrasi isi-isi ketaksadaran kolektif memiliki pengaruh yang besar
terhadap kepribadian ego. Integrasi isi-isi ketaksadaran merupakan bagian dari
self. Asimilasinya dapat memperbesar ruang kesadaran tapi juga peranan ego.
Sangat penting supaya ego berlabuh dalam dunia kesadaran dan supaya kesadaran
diperkuat dengan adaptasi yang tepat. Untuk ini kebajikan-kebajikan tertentu
seperti perhatian, ketelitian, kesabaran sangatlah penting dari sudut moral,
sebagaimana observasi yang cermat dari symtomatology alam tak sadar dan kritik-
kritik diri yang obyektif sangat berguna dari segi intelektual (Jung, 1986).
Pengalaman-pengalaman religius sejati merupakan bentuk pengalaman paling
dekat dengan diri (selfhood) yang mampu dicapai oleh kebanyakan manusia. Rata-
rata archetipe self tidak akan tampak sebelum orang mencapai usia setengah baya
(Hall dan Lindzey, 2005) .
D. AKTUALISASI DIRI MASLOW
1. Teori Kebutuhan Maslow
a. Deficiensy Needs
Pada awalnya Maslow, mengemukakan kebutuhan manusia meliputi lima
kebutuhan yang bersifat hierarkis, yaitu kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan rasa
aman, kebutuhan akan memiliki dan cinta, kebutuhan-kebutuhan akan
penghargaan, kebutuhan untuk mencapai aktualisasi diri. Keempat kebutuhan
pertama disebut basic needs atau D needs (Deficiency-needs) (Baihaqi, 2008).
Tabel 2 berikut menjelaskan tentang hirarki kebutuhan Maslow.
74
Tabel 2
Hirarki Kebutuhan dari Maslow (Alwisol, 2008)
Jenjang Need Deskripsi
Kebutuhan
berkembang
(meta need)
Self
actualization
needs
(metaneeds)
Kebutuhan orang unuk menjadi yang seharusnya
sesuai dengan potensinya. Kebutuhan kreatif,
realisasi diri, pengembangan self.
Kebutuhan harkat kemanusiaan untuk mencapai
tujuan, terus maju, menjadi lebih baik.
Kebutuhan
karena
kekurangan
(Basic need)
Esteem Needs
Love needs/
belongingness
Safety needs
Physiological
needs
(1) kebutuhan kekuatan, penguasaan, kompetensi,
kepercayaan diri, kemandirian.
(2) kebutuhan prestise, penghargaan dari orang lain,
status, ketenaran, dominasi, menjadi penting,
kehormatan, dan apresiasi
Kebutuhan kasih sayang, keluarga, sejawat,
pasangan, anak.
Kebutuhan bagian dari kelompok, masyarakat.
Kebutuhan keamanan, stabilitas, proteksi, struktur,
hukum, keteraturan, batas, bebas dari takut dan
cemas.
Dapat berupa:
(1) kebutuhan pekerjaan dan gaji yang mantap,
tabungan dan asuransi (askes dan taspen),
memperoleh jaminan masa depan.
(2) praktek beragama dan keyakinan filsafat tertentu
dapat membantu orang untuk mengorganisir
dunianya menjadi lebih bermakna dan seimbang.
Kebutuhan homeostatik: makan, minum, gula,
garam, serta kebutuhan seks dan istirahat
75
b. Being Needs
Dalam penelitian Maslow selanjutnya (1971) memperluas konsep basic need
ini untuk memasukkan sebuah kategori kebutuhan yang lebih tinggi yang disebut
”metaneeds” atau ”metamotivation”. Metaneeds atau metamotivation adalah
tentang dorongan untuk orang-orang yang mengaktualisasikan diri. Maslow
menyebut nilai yang paling utama ini mencari aktualisasi diri seseorang sebagai
”being values” atau ”B-values”. Nilai ini disebutkan lagi dan lagi oleh orang yang
teraktualisasi diri atau oleh orang lain untuk mendeskripsikan pengalaman
puncak. B-values ini terdiri dari: wholeness, perfection, completion, justice,
aliveness, richness, simplicity, beauty, goodness, uniqueness, effortlessness,
playfulness, truth, honesty, self sufficiency, and meaningfulness (dalam Dhiman,
2007).
Empat kebutuhan dasar adalah kebutuhan karena kekurangan atau “D-need”
(deficiency need), sedang kebutuhan meta atau kebutuhan aktualisasi diri adalah
kebutuhan karena ingin berkembang, ingin berubah, ingin mengalami
transformasi menjadi lebih bermakna atau B-need (being need) (Alwisol, 2008).
Awalan ”meta’ berarti sesudah atau melampui, dan metamotivation berarti
bergerak melampaui ide tradisioal tentang dorongan. Dorongan ini tidak seperti
sekedar dorongan kebutuhan D-needs yang terjadi karena keadaan kekurangan. D-
needs ialah dorongan untuk membereskan suatu kekurangan dalam organisme.
Sedangkan metamotivation tidak diusahakan untuk memperbaiki kekurangan-
kekurangan atau mereduksi tegangan. Tujuannya ialah memperkaya dan
memperluas pengalaman hidup, meningkatkan kesenangan dan kegembiraan yang
76
luar biasa dalam hidup. Cita-citanya ialah meningkatkan tegangan melalui
bermacam-macam pengalaman baru yang menantang (Schultz, 1991). Menurut
Maslow kebutuhan dasar berisi kebutuhan kebutuhan konatif, sedangkan
kebutuhan meta berisi kebutuhan estetik dan kebutuhan kognitif (Alwisol, 2008).
Nilai-nilai dalam B-values ini tidak dapat dipisahkan sepenuhnya satu sama
lain. Nilai-nilai ini saling berhubungan dan untuk merumuskan yang satu perlu
menggunakan lain-lainnya sehingga kebutuhan-kebutuhan untuk tumbuh
seluruhnya memiliki nilai yang sama pentingnya dan tidak hierarkis (Goble,
2000). Alwisol (2008) menjabarkan B-needs sebagai meta kebutuhan untuk
tumbuh dan berkembang yang berisi kebutuhan estetik dan kebutuhan kognitif
dalam tabel 3 di bawah ini. B-needs atau metakebutuhan akan lebih jelas dengan
menyajikan juga dengan metapatologi-metapatologi khusus yang disebabkan oleh
kegagalan metakebutuhan (Schlutz, 1991).
Tabel 3
Kebutuhan Meta: Kebutuhan estetik dan kognitif dan metapatologi
(Alwisol, 2008 ; Goble, 2000; Schlutz, 1991)
B-needKarakter yang
sama atau berhubungan
Metapatologi-metapatologi
Keanggunan (beauty)
Bersemangat (aliveness)
Keindahan,
keseimbangan
bentuk, menarik
perhatian.
Hidup, bergerak
spontan, berfungsi
penuh, berubah
dalam aturan.
Kekasaran, kegelisahan, kehilangan
selera, rasa suram.
Mati, menjadi robot, merasa diri
sendiri sama sekali ditentukan,
kehilangan emosi dan semangat dalam
kehidupan, kekosongan pengalaman.
77
Lanjutan tabel 3
B-NeedsKarakter yang
sama atau berhubungan
Metapatologi-metapatologi
Keunikan (uniqueness)
Bermain-main
(playfullness)
Kesederhanaan
(simplicity)
Kebaikan (goodness)
Teratur (order)
Kemandirian (self
sufficiency)
Kemudahan
(effortlessness)
Keistimewaan,
kekhasan, tak ada
yang sama,
kebaruan.
Gembira, riang,
senang,
menggelikan, humor.
Jujur, terbuka,
menasar, tidak
berlebihan, tidak
rumit.
Positif, bernilai,
sesuai dengan yang
diharapkan.
Rapi, terencana,
mengikuti aturan,
seimbang.
Otonom,
menentukan diri
sendiri, tidak
tergantung.
Ringan, tanpa usaha,
tanpa hambatan
Kehilangan perasaan diri dan
individualitas, perasaan diri sendiri
yang dapat berubah-rubah atau
anonim.
Keseragaman, depresi, keadaan tidak
jenaka, paranoid, kehilangan
semangat dalam kehidupan,
kesedihan.
Terlalu kompleks, kekacauan,
kebingungan, kehilangan orientasi.
Kebencian, penolakan, kejijikan,
kepercayaan hanya pada diri dan
untuk diri.
Ketidakamanan, keidakwaspadaan,
kehilangan rasa aman, dan
kemungkinan meramalkan, perlu
berhati-hati.
Tanggung jawab diberikan pada
orang lain.
Kelelahan, tegagan, kecanggungan,
kejanggalan, kekakuan.
78
Lanjutan tabel 3
B-needs Karakter yang sama atau berhubungan
Metapatologi-metapatologi
Kesempurnaan
(perfection)
Kelengkapan
(completion)
Berisi (richness)
Hukum (justice)
Penyatuan
(dicotomy/transcendence)
Keharusan (necessity)
Kebulatan (wholeness)
Kebenaran (truth)
Mutlak, pantas, tidak
lebih, tidak kurang,
optimal
Selesai, tamat,
sampai akhir, puas
terpenuhi, tanpa sisa.
Kompleks, rumit,
penuh, berat,
Tidak berat sebelah,
menurut hukum yang
seharusnya.
Menerima perbedaan,
perubahan,
penggabungan.
Tak dapat ditolak,
syarat sesuatu harus
seperti itu.
Kesatuan, integrasi,
kecenderungan
menyatu, saling
berhubungan.
Kenyataan, apa
adanya, faktual, tidak
berbohong.
Keputusasaan, tidak bisa bekerja apa-
apa.
Ketidaklengkapan, keputusasaan,
berhenti berjuang dan
menanggulangi.
Depresi, kegelisahan, kehilangan
perhatian pada dunia.
Kemarahan, sinisme,
ketidakpercayaan, pelanggaran hkum,
sama sekali mementingkan diri
sendiri.
Pikiran hitam/putih, pikiran salah
satu dari dua, pandangan sederhana
tentang kehidupan.
Kaca balu, tidak dapat diramalkan.
disintegrasi
Ketidakpercayaan, sinisme,
skeptisisme
79
2. Aktualisasi Diri
a. Pengertian Aktualisasi Diri
Definisi pribadi yang teraktualisasikan memang masih kabur, namun secara
bebas Maslow melukiskanya sebagai ”penggunaan, dan pemanfaatan secara penuh
bakat, kapasitas-kapasitas, potensi-potensi, dan sebagainya. Orang semacam ini
memenuhi dirinya dan melakukan yang terbaik yang dapat dilakukannya (Goble,
2000; Baihaqi, 2008).
Mula-mula Maslow menyebut orang-orang luar biasa yang diseledikinya itu
orang-orang yang ”teraktualisasikan dirinya”. Aktualisasi diri hanya terdapat pada
orang-orang berusia lanjut, cenderung dipandang sebagai suatu keadaan puncak
atau keadaan akhir, suatu tujuan jangka panjang, bukan sebagai suatu proses
dinamis yang terus menerus aktif sepanjang hidup, lebih sebagai ada daripada
menjadi (Goble, 2000).
Karena orang-orang yang teraktualisasikan dirinya demikian ini biasanya
berumur enam puluh tahun atau lebih, maka kebanyakan orang tidak termasuk
dalam kategori ini, orang-orang tersebut belum statis, belum sampai, sedang
beranjak ke arah kematangan. Proses aktualisasi adalah perkembangan atau
penemuan jati diri dan mekarnya potensi yang ada atau yang terpendam (Goble,
2000).
Posisi dasar teori Maslow adalah seseorang menjadi lebih “ter-aktualisasi
diri dan ter-transendensi diri”, orang dapat menjadi lebih bijaksana dan otomatis
tahu apa yang akan dilakukan dalam suatu situasi yang sangat bervariasi. Daniels
(2001) menyarankan bahwa kesimpulan terakhir Maslow bahwa level tertinggi
80
dari aktualisasi diri adalah transenden, pada dasarnya mungkin adalah kontribusi
terpenting Maslow pada studinya tentang perilaku dan motivasi manusia (dalam
Huiit W, 2004)
Transendensi diri adalah untuk menghubungkan sesuatu melebihi ego atau
untuk membantu orang lain menemukan pemenuhan diri dan merealisasikan
segala potensinya (Huiit W, 2004). Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan
Dhiman dalam tulisannya, “ Maslow went beyond even self actualization. He
considered self-transcendent to be our deepest need and highest aspiration”
(Dhiman, 2007).
b. Dua Macam Pengaktualisasi Diri
Alwisol menjelaskan bahwa aktualisasi diri yang dapat dipandang sebagai
kebutuhan tertinggi dari hirarki kebutuhan, tapi juga dapat dipandang sebagai
tujuan final, tujuan ideal dari kehidupan manusia dapat dicapai melalui
pengembangan diri dan pengalaman puncak (peak experience). Maslow
mengemukakan dua jalur untuk mencapai aktualisasi diri yaitu, jalur belajar yang
diartikan dengan mengembangkan diri secara optimal pada semua tingkat
kebutuhan hirarkis dan jalur pengalaman puncak (peak experience) (Alwisol,
2008).
Berkaitan dengan ini Maslow menambahkan bahwa terdapat dua macam
pengaktualisasi diri yaitu yang pertama adalah orang mengalami pengalaman
puncak lebih kurang atau lebih ringan dan yang kedua adalah orang yang
mengalami pengalaman puncak lebih banyak. Yang pertama disebut non-peakers
dan yang kedua disebut peakers.
81
1) Peakers
Peakers lebih hidup dalam dunia-B, dimetamotivasikan dengan lebih jelas
dan memiliki pengalaman-pengalaman puncak yang memberikan wawasan-
wawasan yang jelas tentang diri mereka dan dunia mereka (dalam Schlutz, 1991).
2) Non Peakers
Non-peakers cenderung menjadi orang-orang yang praktis, berinteraksi
dengan dunia nyata secara efekif, dan kurang dengan dunia kehidupan B (B-
living) yang lebih tinggi (dalam Schlutz, 1991).
c. Karakteristik Aktualisasi Diri
Maslow mendeskripsikan arti aktualiasi diri dalam bentuk perilaku nyata,
yaitu (dalam Dhiman, 2007):
1) Going at thing ‘whole hog”, aktualisasi diri berarti penuh pengalaman, hidup
penuh semangat, tidak mementingkan diri sendiri dengan penuh konsentrasi
dan totalitas;
2) Making growth choices. Untuk membuat sebuah pilihan hidup daripada
pilihan ketakutan. Selusin waktu dalam sehari adalah untuk bergerak maju
menuju aktualisasi diri;
3) Letting the self emerge, dengan mendengarkan gerak suara hati. Orang yang
teraktualisasikan membiarkan “self emerge”;
4) Taking responsibility. Orang-orang yang teraktualisasi diri tiap waktunya
selalu bertindak dengan jujur dan bertanggung jawab;
5) Listening to one’s own self, menjadi lebih berani dan memiliki keteguhan hati
dalam menikmati hidup;
82
6) Working ti become first-rate, selalu ingin menjadi sebaik semampunya;
7) Creating condition for peak experiences. Dengan membuat pilihan untuk
berkembang, dengan menjadi jujur dan bertanggung jawab, dengan
mendengarkan suara hati, dan dengan selflessly dalam bekerja adalah suatu
alasan kejayaan diri mereka. Orang-orang yang teraktualisasi menciptakan
kondisi sehingga menjadi mengalami pengalaman yang lebih tampak benar-
benar terjadi.
8) Having courage to drop ane’s defenses. Artinya, dapat mengidentifikasi
pertahanan dan menemukan alasan untuk berkembang.
Berikut ini karakteristik sifat pada orang-orang yang teraktualisasi (Boeree
dalam www.ship.edu.com; Baihaqi, 2008; Goble, 2000) yaitu:
1) Orang-orang yang reality-centered, dimana dapat mendeferensiasikan apa itu
tipuan dan ketidakjujuran dari apa itu kenyataan dan kesungguhan. Orang-
orang ini tidak memandang dunia hanya sebagaimana yang diinginkan atau
dibutuhkan, namun melihatnya sebagaimana adanya.
2) Orang-orang ini adalah problem-centered, artinya memperlakukan kesulitan
hidup sebagai suatu masalah yang perlu solusi, bukan suatu kekacauan
personal yang bisa membuat menyerah begitu saja. Dan orang-orang ini
memiliki pandangan yang berbeda tentang makna dan tujuan. Orang-orang ini
merasa bahwa tujuan akhir bukanlah suatu keperluan untuk membenarkan
makna, bahwa makna dapat menjadi tujuan akhir dari semuanya, dan bahwa
makna adalah sebuah perjalanan yang lebih penting daripada tujuan akhir.
Orang-orang seperti ini memiliki dedikasi yang tinggi terhadap pekerjaan dan
83
profesinya. Orang-orang ini menganggap pekerjaan bukanlah sebagai tugas,
namun sebagai suatu permainan dan senang melakukannya. Bagi orang-orang
seperti ini ide-ide seperti liburan, lelucon, hiburan, istirahat, atau kegemaran
terlebur dalam tugas, panggilan, dan pekerjaan.
3) Orang-orang yang menikmati kesepian, dan nyaman dengan kesendirian.
Orang-orang ini menikmati relasi personal yang lebih dalam dengan sedikit
teman dekat dan anggota keluarga, daripada suatu hubungan yang dangkal
dengan banyak orang. Orang-orang ini memiliki kemampuan untuk
membentuk pikiran, mencapai keputusan, dan melaksanakan dorongan dan
disiplinnya sendiri.
4) Orang-orang ini menikmati otonomi, suatu kemerdekaan yang relatif dari
sekedar kebutuhan fisik dan sosial. Orang-orang ini menentang enkulturasi,
tidak mudah terkena jebakan tuntutan sosial untuk menjadi ”sesuai aturan”
atau ”layak”, dalam kenyataannya orang-orang ini nonconformists in the best
sense. Hal ini terjadi karena orang-orang ini tidak lagi didorong oleh motif-
motif kekurangan dan tidak tergantung pada dunia nyata untuk mendapatkan
kepuasan sebab pemuasan dari motif-motif pertumbuhan datang dari dalam.
Orang-orang ini mampu mempertahankan suatu ketenangan dasar di tengah-
tengah apa yang dilihat orang-orang yang kurang sehat sebagai malapetaka.
5) Orang-orang yang memiliki unhostile sense of humor, memiliki kualitas yang
disebut acceptance of self and others. Artinya, orang-orang ini lebih suka
membawa “dirimu” sebagai “dirimu” daripada merubah “dirimu” menjadi apa
yang seharusnya. Orang-orang ini juga memiliki motivasi yang kuat untuk
84
merubah kualitas negatif dalam diri mereka sendiri jika dapat dirubah. Ini
semua datang secara spontan dan simpel. Orang-orang ini lebih suka menjadi
diri mereka sendiri daripada harus pura-pura terlihat “wah”.
6) Orang-orang ini memiliki rasa kerendahan hati dan rasa hormat terhadap
orang lain. Artinya, orang-orang ini terbuka terhadap etnik dan keunikan
individual, bahkan menghargainya. Orang-orang ini memiliki ketertarikan
sosial, perasaan kasihan, dan kemanusiaan. Hal ini diiringi oleh etika yang
kuat, yang mana adalah spiritual dan kadang-kadang religiusitas dalam
pengertian yang alami.
7) Orang-orang ini memiliki apresiasi yang segar, kemampuan untuk melihat
sesuatu, bahkan sesuatu yang luar biasa. Orang-orang ini tidak mudah menjadi
puas atau bosan oleh pengalaman hidup. Orang-orang ini senantiasa
menghargai pengalaman-pengalaman tertentu bagaimanapun seringnya
pengalaman itu terulang, dengan suatu perasaan kenikmatan yang segar,
perasaan terpesona, dan kagum. Kemampuannya menjadi kreatif,
berdayacipta, dan original. Orang-orang ini adalah asli, inventif, dan inovatif,
meskipun tidak selalu dalam pengertian dalam menghasilkan karya seni.
Maslow menyamakan kreativitas ini dengan daya cipta dan daya khayal naif
yang dimiliki anak-anak, suatu cara yang tidak berprasangka dan langsung
melihat kepada hal-hal. Kreativitas lebih merupakan suatu sikap, suatu
ungkapan kesehatan psikologis, dan lebih mengenai cara bagaimana
mengamati dan bereaksi terhadap dunia dan bukan mengenai hasil-hasil yang
sudah selesai dari suatu karya seni.
85
8) Orang-orang ini lebih cenderung memiliki pengalaman puncak (peak
experience) daripada orang-orang pada umumnya.
3. Peak experience
a. Pengertian Peak Experience
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa orang yang mencapai
aktualisasi diri ternyata mengalami pengalaman puncak. Pengalaman puncak
adalah suatu pengalaman mistik mengenai perasaan dan sensasi yang mendalam,
psikologik, dan fisiologik. Suatu keadaan dimana seseorang mengalami ekstasi-
keajaiban-terpesona-kebahagiaan yang luar biasa, seperti pengalaman keilahian
yang mendalam, dimana saat itu diri seperti hilang atau mengalami transendensi
(Alwisol, 2008).
b. Karakteristik Peak Experience
Maslow menerima gambaran pengalaman puncak yang disusun oleh
William James sebagai berikut:
1) Tak terlukiskan (ineffability): subyek sesudah mengalami pengalaman puncak
segera mengatakan bahwa itu adalah ekspresi keajaiban, yang tidak dapat
digambarkan dengan kata-kata, yang tidak dapat dijelaskan kepada orang lain;
2) Kualitas kebenaran intelektual (noetic quality): pengalaman puncak adalah
pengalaman menemukan kebenaran dari hakikat intelektual;
3) Waktunya pendek (transiency): keadaan mistis tidak bertahan lama.
Umumnya hanya berlangsung 30 menit atau paling lama satu atau dua jam;
86
4) Pasif (passivity): orang yang mengalami pengalaman mistik merasa kemuan
dirinya tergusur (abeyance), dan terkadang merasa terperangkap dan dikuasai
oleh kekuatan yang sangat besar (dalam Alwisol, 2008).
c. Pengaruh Peak Experience dalam Jangka Lama
Pengaruh pengalaman puncak berjangka lama, antara lain:
1) Hilangnya symptom neurotic,
2) Kecenderungan melihat diri sendiri lebih sehat,
3) Perubahan pandangan mengenai orang lain dan hubungan dirinya dengan
orang lain,
4) Perubahan pandangan diri mengenai dunia,
5) Munculnya kreativitas, spontanitas, dan kemampuan mengekspresikan diri.
6) Kecenderungan mengingat pengalaman puncak itu dan berusaha
mengulanginya,
7) Kecenderungan melihat kehidupan secara umum sebagai hal yang lebih
berharga (dalam Alwisol, 2008).
Maslow menyimpulkan bahwa selama mengalami pengalaman puncak orang
memperoleh persepsi yang lebih baik tentang realitas itu sendiri (Goble, 2000).
87
Kejawen
Mistik Kebatinan
PANGESTU
Ajaran Ritual PANEMBAH
Konsep Manusia
Konsep Ketuhanan
Candra Jiwa Sunarto
Manuggaling Kawula_Gusti
1. Panembah Raga kepada Roh Suci
2. Panembah Roh Suci kepada Suksma Sejati
3. Panembah Suksma Sejatikepada Suksma Kewekas
PENGALAMAN MISTIK
MASLOW B-Needs Aktualisasi Diri
JUNG Struktur Psyche
Perkembangan Psyche: REALISASI DIRI
Konsep mistik
Tripurusa
E. KERANGKA KONSEPTUAL PENELITIAN
Gambar 2. Kerangka Konseptual Penelitian
Kerangka konseptual penelitian ini disusun berdasarkan landasan teori yang
telah dikemukakan diatas. Gambar 2 menunjukkan bahwa sasaran penelitian ini
adalah pengalaman mistik para pengikut Pangestu yang melakukan ritual
Panembah tiga tingkatan. Konsep tentang ritual mistik tentunya juga disertai
dengan pemahaman konsep ajarannya. Di dalam setiap ajaran kebatinan termasuk
Pangestu selalu terangkum konsep tentang ketuhanan, kemanusiaan dan mistik.
88
BAB III
METODE PENELITIAN
A. DESAIN PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
kualitatif. Bogdan dan Taylor mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis
atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (dalam Moleong,
2007).
Rancangan penelitian yang digunakan adalah penelitian studi kasus.
Menurut Smith (dalam merriam,1998) rancangan studi kasus dibedakan dari
rancangan penelitian kualitatif yang lain karena mendeskripsikan dan menganalisa
secara lebih intensif terhadap satu unit tunggal atau satu sistem terbatas (bounded
system) seperti seorang individu, suatu program, suatu peristiwa,suatu intervensi,
atau suatu komunitas (dalam Alsa, 2007). Sebagaimana halnya penelitian ini yang
berusaha menganalisa lebih mendalam suatu sistem terbatas pengalaman mistik
komunitas penganut aliran kebatinan Pangestu, oleh karena itu rancangan
penelitian yang digunakan adalah studi kasus.
B. FOKUS PENELITIAN
Penelitian ini difokuskan pada pengalaman mistik penganut Paguyuban
Ngesti Tunggal dalam melakukan ritual mistik panembah untuk mendapatkan
gambaran yang jelas mengenai proses realisasi diri menurut teori Jung dan proses
89
aktualisasi diri menurut teori Maslow. Fokus penelitian ini telah dirumuskan
dalam pertanyaan penelitian berikut ini:
1) Bagaimana pengalaman mistik para penganut Pangestu?
2) Bagaimana proses mencapai realisasi diri penganut Pangestu menurut teori
Jung?
3) Bagaimana proses mencapai aktualisasi diri penganut Pangestu menurut teori
Maslow?
C. RESPONDEN PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan tiga responden sesuai dengan tiga tingkatan
panembah, yaitu panembah raga kepada Roh Suci, panembah Roh Suci kepada
Suksma Sejati, dan panembah Suksma Sejati kepada Suksma Kawekas. Kriteria
umur dari responden disesuaikan dengan ciri yang diberikan oleh Maslow dan
Jung yaitu bahwa realisasi diri dan aktualisasi diri tidak dapat terjadi sebelum usia
setengah tua (dalam Goble, 2000).
Responden yang akan digunakan dalam penelitian ini dapat disimpulkan
dalam kriteria sebagai berikut:
1) Siswa Pangestu
2) Melaksanakan panembah dan telah sampai minimal pada ritual panembah
tingkatan pertama atau sembah raga,
3) Komunikatif,
4) Berdomisili di wilayah karisidenan Surakarta. Karisidenan Surakarta dipilih
sebagai lokasi penelitian karena pangestu lahir dan berkembang pesat di
90
Surakarta selain karena Surakarta adalah salah satu pusat mistik dan budaya
Jawa.
D. METODE PENGUMPULAN DATA
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan wawancara. Wawancara
adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan
tertentu (Poerwandari, 2005). Jenis wawancara yang akan digunakan dalam
penelitian ini adalah sesuai dengan pembagian jenis wawancara menurut Patton
(dalam Poerwandari, 2005; Moleong, 2007), yaitu wawancara dengan pedoman
umum. Jenis wawancara ini mengharuskan pewawancara membuat kerangka dan
garis besar pokok-pokok yang dirumuskan yang tidak perlu ditanyakan secara
berurutan (Moleong, 2007).
Pada proses wawancara dengan pedoman umum, peneliti dilengkapi
rancangan wawancara yang sangat umum, yang mencantumkan isu-isu yang harus
diliput tanpa menentukan urutan pertanyaan, bahkan mungkin tanpa bentuk
pertanyaan eksplisit. Rancangan wawancara digunakan untuk mengingatkan
peneliti mengenai aspek-aspek yang harus dibahas. Wawancara dengan pedoman
umum ini diarahkan pada bentuk wawancara mendalam, dimana peneliti
mengajukan pertanyaan mengenai berbagai segi kehidupan subjek secara utuh dan
mendalam (Poerwandari, 2005). Jenis wawancara ini tidak terdapat pertanyaan
baku yang sudah disiapkan terlebih dahulu, pelaksanaan wawancara disesuaikan
dengan konteks wawancara yang sebenarnya (Moleong, 2007).
91
E. PROSEDUR PENGUMPULAN DATA
Prosedur pengambilan data pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Data Penelitian
Data penelitian dalam penelitian ini adalah pengalaman mistik yang
mengandung aspek realisasi diri dan aktualisasi diri. Data pengalaman mistik yang
mengandung aspek realisasi diri dan aktualisasi diri tersebut tersimpan dalam
sumber data.
2. Sumber Data Penelitian
Sumber data dalam penelitian ini ada dua macam, yaitu sumber data primer
dan sumber data sekunder. Sumber data primer penelitian ini adalah langsung dari
responden atau subyek penelitian dan akan berupa kata-kata yang diperoleh
melalui wawancara. Sedangkan sumber data sekunder adalah berupa deskripsi
tertulis yang diperoleh dari buku-buku tentang Pangestu, yaitu hasil penelitian
Hadiwiyono, Soehadha, dan De Jong serta kitab-kitab Pangestu, yaitu Sasangka
Djati dan Candra Jiwa Soenarto.
3. Operasionalisasi Data Penelitian
Operasionalisasi data penelitian ini merumuskan tentang definisi-definisi
operasional data penelitian. Hal ini akan dapat digunakan untuk membuat
pedoman pertanyaan penelitian.
a. Pengalaman menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia berarti barang apa yang
dirasakan. Pengalaman mistik berarti mengalami mistik, yaitu tentang adanya
kontak antara manusia, alam semesta, dan Tuhan atau persatuan mesra antara
ruh manusia, atau persatuan langsung manusia dengan dzat ketuhanan dan
92
perjuangan bergairah kepada perstuan itu. Pengalaman mistik merupakan
transformasi kesadaran, dari kesadaran mental-spiritual yang bersifat empiris
menjadi kesadaran trans-personal yang bersifat tunggal ilahiah (Hilmy, 2006).
Untuk mengungkap variabel pengalaman mistik digunakan metode wawancara
dengan rencana umum dan dari ajaran Pangestu melalui kitab Pangestu dan
buku-buku tentang Pangestu.
b. Realisasi diri adalah tujuan hidup menurut pandangan Jung atau tujuan dari
perkembangan kepribadian itu sendiri. Hal ini berarti bahwa psyche telah
mengembangkan pusat baru, yakni diri menggantikan pusat yang lama, yaitu
ego. Realisasi diri dicapai melalui proses individuasi dan fungsi transendensi.
Proses individuasi dan fungsi transendensi akan dilihat dari sifat-sifat orang-
orang yang terrealisasi yang diberikan oleh Baihaqi (2008) dan Schultz (1991)
dan seorang yang mencapai realisasi diri tampak dari ciri-ciri yang
disampaikan oleh Schlutz (1991). Untuk mengungkap variabel realisasi diri
digunakan metode wawancara dengan rencana umum dan dari ajaran Pangestu
melalui kitab Pangestu dan buku-buku tentang Pangestu.
c. Aktualisasi diri adalah penggunaan, dan pemanfaatan secara penuh bakat,
kapasitas-kapasitas, potensi-potensi, dan sebagainya. Orang semacam ini
memenuhi dirinya dan melakukan yang terbaik yang dapat dilakukannya.
Aktualisasi diri dalam penelitian ini adalah aktualsasi diri yang dicapai
melalui pengalaman puncak (peak experience) yang dalam hal ini adalah
pengalaman mistik (peakers). Perubahan yang terjadi dalam diri peakers
karena pengalaman mistik tampak pada pengaruh pengalaman puncak
93
menurut Alwisol (2008). Untuk mengungkap variabel aktualisasi diri
digunakan metode wawancara dengan rencana umum dan dari ajaran Pangestu
melalui kitab Pangestu dan buku-buku tentang Pangestu.
4. Langkah-langkah Pengumpulan Data Penelitian
Adapun langkah-langkah mencari data terbaik dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut. (1) mengkaji sumber data sekunder, yaitu dari buku-buku hasil
penelitian Pangestu diantaranya buku Konsepsi Manusia dalam Kebatinan Jawa
karangan Hadiwiyono, Salah Satu Sikap Hidup Orang Jawa karangan De Jong,
dan Orang Jawa Memaknai Agama karangan M. Soehadha serta kitab Pangestu
yaitu Sasangka Djati dan Candra Jiwa Soenarto. (2) melakukan wawancara
langsung terhadap informan atau responden penelitian untuk mendapatkan sumber
data primer. (3) memadukan dan mengkonsultasikan sumber data primer dan
sumber data sekunder kepada informan atau responden penelitian. (4) data terbaik
yang didapat akan dijadikan data penelitian.
Prosedur pengumpulan data ini secara konkret dapat dilihat pada gambar 3
dibawah ini:
94
Gambar 3. Prosedur Pengumpulan Data
F. TEKNIK PEMERIKSAAN KEABSAHAN DATA
Pelaksanaan teknik pemeriksaan data dilakukan atas empat kriteria, yaitu
derajat kepercayaan (credibility), keteralihan (transferability), kebergantungan
(dependability), dan kepastian (confirmability) (Moleong, 2007).
Kredibilitas penelitian berfungsi untuk melaksanakan inkuiri sedemikian
rupa sehingga tingkat kepercayaannya dapat dicapai dan mempertunjukkan derajat
kepercayaan hasil-hasil penemuan dengan jalan pembuktian oleh peneliti pada
kenyataan ganda yang sedang diteliti. Kredibilitas dalam penelitian ini dapat
dilakukan dengan teknik triangulasi (Moleong, 2007).
Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan
sesuatu yang lain (Moleong, 2007). Penelitian ini akan menggunakan kredibilitas
penelitian dengan teknik triangulasi sumber atau data. Triangulasi sumber
mengarahkan peneliti agar didalam mengumpulkan data juga menggunakan
Pengumpulan Data
Sumber Data Primer
Sumber Data Sekunder
Berupa Kata-kata Berupa deskripsi tertulis
Diperoleh dari Hasil Wawancara
Diperoleh dari buku Konsepsi Manusia dalam Kebatinan
Jawa karangan Hadiwiyono, Salah Satu Sikap Hidup Orang Jawa karangan De Jong, dan
Orang Jawa Memaknai Agama karangan M. Soehadha
serta kitab Pangestu yaitu Sasangka Djati dan Candra
Jiwa Soenarto
Dipadukan dan Dikonsultasikan dengan
Informan atau Responden Penelitian
Data Terbaik
95
beragam sumber data yang berbeda-beda yang tersedia. Artinya, data yang sama
atau sejenis akan lebih mantap kebenarannya bilamana dipadukan dengan data
sejenis yang diperoleh dari sumber lain yang berbeda, baik kelompok sumber
sejenis atau berbeda jenis (Sutopo, 2006). Triangulasi sumber dalam penelitian
adalah untuk memperoleh suatu data, peneliti akan menggunakan tiga sumber
data, yaitu informan, kitab dan buku Pangestu, serta aktivitas atau perilaku.
Sumber pertama diperoleh langsung dari responden dan sumber kedua dari buku
dan kitab Pangestu. Data dari sumber yang pertama diperoleh dari hasil
wawancara dengan responden dan hasil observasi aktivitas responden selama
penelitian. Triangulasi sumber dalam penelitian ini tampak jelas dalam gambar 4
berikut:
Gambar 4. Triangulasi Sumber Penelitian
Kriteria keteralihan berbeda dengan validitas eksternal dari nonkualitatif.
Keteralihan sebagai persoalan empiris bergantung pada kesamaan antara konteks
pengirim dan penerima (Moelong, 2007). Mengutip Stangl (1980), Sarantakos
(1993) menyampaikan bahwa dalam penelitian kualitatif validitas dicoba dicapai
tidak melalui manipulasi variabel, melainkan melalui orientasinya, dan upayanya
mendalami dunia empiris, dengan menggunakan metode paling cocok untuk
pengambilan dan analisis data. Konsep yang dipakai antara lain validitas
kumulatif, validitas komunikatif, validitas argumentatif, dan validitas ekologis.
Data
Wawancara
Kesimpulan hasil penelitian dan konsep ajaran
Responden
Buku dan Kitab Pangestu
96
Validitas kumulatif dicapai bila temuan dari studi-studi lain mengenai topik yang
sama menunjukkan hasil yang kurang lebih serupa. Validasi komunikatif
dilakukan melalui dikonfirmasikannya kembali data dan analisisnya kepada
responden penelitian. Validitas argumentatif tercapai bila presentasi temuan dan
kesimpulan dapat dibuktikan dengan melihat kembali ke data mentah. Validitas
ekologis menunjuk pada sejuah mana studi dilakukan pada kondisi alamiah dan
apa adanya (dalam Poerwandari, 2005).
Reliabilitas dalam penelitian kualitatif dikenal dengan dependenbility.
Melalui konstruk dependenbility peneliti memperhitungkan perubahan-perubahan
yang mungkin terjadi menyangkut fenomena yang diteliti, juga perubahan dalam
desain sebagai hasil dari pemahaman yang lebih mendalam tentang setting yang
diteliti. Peneliti menyadari kompleksitas konteks yang dihadapinya dengan
menggunakan desain dan strategi penelitian yang luwes. Peneliti berusaha
mengkonsentrasikan diri pada pencatatan rinci tentang fenomena yang diteliti,
termasuk interrelasi aspek-aspek yang berkait (Poerwandari, 2005).
Konfirmabilitas (confirmability) diusulkan untuk mengganti konsep
tradisional tentang objektivitas. Objektivitas dapat diartikan sebagai sesuatu yang
muncul dari hubungan subjek-subjek yang berinteraksi. Karenanya, objektivitas
dilihat sebagai konsep inter-subjektivitas, terutama dalam kerangka ‘pemindahan’
dari data yang subjektif ke arah generalisasi (data objektif). Untuk peneliti
kualitatif lain, yang lebih penting adalah obyektivitas dalam pengertian
transparansi, yakni kesediaan peneliti mengungkapkan secara terbuka proses dan
97
elemen-elemen penelitianya, sehingga memungkinkan pihak lain melakukan
penilain (Poerwandari, 2005)
G. PROSEDUR ANALISIS DATA
Analisis artinya kajian untuk menguraikan dan menemukan keterkaitan logis
antar hal dan susunan keterkaitan tersebut. Keterkaitan logis antar hal dan susunan
keterkaitan dapat disebut memetakan. Singkatnya, menganalisis berarti mengkaji
dengan menguraikan dan memetakan (Suwignyo, 2002). Model yang digunakan
untuk melakukan itu semua dalam penelitian ini adalah metode analisis data
menurut Miles dan Huberman yaitu model analisis interaktif (interactive model of
analysis) (Moleong, 2007; Sutopo, 2006).
Analisis terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan yaitu:
reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi (Miles &
Huberman, 1992). Prosedur analisis data dalam penelitian ini akan berlangsung
sesuai dengan alur kegiatan analisis yang disarankan dalam model analisis
interaktif Miles dan Huberman.
1. Reduksi Data
Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada
penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data ”kasar” yang muncul dari
catatan-catatan tertulis di lapangan (Miles dan Huberman, 1992). Reduksi data
dalam penelitian ini merupakan komponen pertama dalam analisis yang
merupakan proses seleksi, pemfokusan, penyederhanaan, dan abstraksi dari semua
jenis informasi yang tertulis lengkap dalam catatan lapangan (fieldnote). Proses ini
98
berlangsung terus sepanjang pelaksanaan penelitian (Sutopo, 2006). Data dapat
disederhanakan dan ditrasformasikan dalam koding yaitu melalui seleksi yang
ketat, melalui ringkasan atau uraian singkat, menggolongkan dalam suatu pola
yang lebih luas, dan sebagainya (Miles & Huberman, 1992).
2. Penyajian Data
Penyajian dibatasi sebagai sekumpulan informasi yang tersusun yang
memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan
(Miles & Huberman, 1992). Data dalam penelitian ini akan disajikan dalam
bentuk teks naratif, meskipun tidak menutup kemungkinan juga akan disajikan
dalam bentuk matriks, grafik, jarigan dan bagan (Miles & Huberman, 1992;
Sutopo, 2006). Semuanya dirancang guna merakit informasi secara teratur supaya
mudah dilihat dan dapat lebih dimengerti dalam bentuknya yang lebih kompak
(Sutopo, 2006).
3. Verifikasi atau Penarikan Kesimpulan
Sejak permulaan pengumpulan data, penulis mulai mencari arti benda-
benda, mencatat keteraturan, pola-pola, penjelasan, konfigurasi-konfigurasi yang
mungkin, alur sebab akibat, dan proposisi. Kesimpulan-kesimpulan yang didapat
dibiarkan longgar, terbuka, dan skeptis. Mula-mula kesimpulan yang disediakan
belum jelas kemudian meningkat menjadi lebih rinci dan mengakar dengan kokoh.
Kesimpulan akhir tidak mungkin muncul sampai pengumpulan data berakhir.
Selama proses analisis berlangsung, kesimpulan-kesimpulan ini juga diverifikasi
(Miles & Huberman, 1992; Sutopo, 2006).
99
Verifikasi merupakan aktifitas pengulangan untuk tujuan pemantapan,
penelusuran data kembali dengan cepat, mungkin sebagai akibat dari pemikiran
kedua yang timbul melintas pada penulis pada waktu menulis sajian data dengan
melihat kembali sebentar pada catatan lapangan (Sutopo, 2006). Singkatnya,
verifikasi merupakan pengujian kebenaran data penelitian, kekokohannya, dan
kecocokannya, atau dengan kata lain validitasnya (Miles & Huberman, 1992).
Ketiga jenis kegiatan analisis dan kegiatan pengumpulan data itu sendiri
merupakan proses siklus dan interaktif. Proses analisis data bergerak di antara
empat ”sumbu” kumparan itu selama pengumpulan data, selanjutnya bergerak
bolak-balik di antara kegiatan reduksi, penyajian, dan penarikan kesimpulan atau
verifikasi data selama sisa waktu penelitiannya (Miles & Huberman, 1992).
Prosesnya adalah sebagai berikut: pengumpulan data dilakukan yaitu dengan
menggali data dari sumber data primer dan sumber data sekunder sehingga
diperoleh data pengalaman mistik dari dua sumber. Data pengalaman mistik yang
berupa catatan lapangan yang terdiri dari bagian deskripsi dan refleksinya disusun
rumusan pengertiannya secara singkat, berupa pokok-pokok temuan yang penting
dalam reduksi data. Kemudian dilakukan penyusunan sajian data yang berupa
cerita sistematis dan logis dengan suntingan penulis supaya makna peristiwa
menjadi lebih jelas dipahami, dengan dilengkapi perabot sajian yang diperlukan
(matriks, gambar, atau bagan) yang mendukung kekuatan sajian data. Dari sajian
data akan dilakukan penarikan kesimpulan (sementara) dan dilanjutkan
verifikasinya.
100
Data penelitian mistik dari dua sumber data akan direduksi dan disajikan
dalam dua bentuk kiteria, teks naratif, matriks, jaringan, dan bagan. Data ini akan
diteliti manakah yang mengandung aspek realisasi diri dan aspek aktualisasi diri
dan kemudian baru akan diperoleh kesimpulan sementara lalu diverifikasi. Proses
analisis data model interaktif menurut Miles dan Huberman bila diaplikasikan
pada proses analisis data pengalaman mistik Pangestu dalam penelitian akan
menjadi gambar 5 di bawah ini.
Gambar 5. Proses Analisis Data Pengalaman Mistik Pangestu berdasarkan Model
Interkatif Miles dan Huberman
SAJIAN DATA1. Teks naratif2. matriks, jaringan, dan
bagan.
PENGUMPULAN DATA1. Data pengalaman mistik hasil
wawancara dan observasi (sumber data primer)
2. Data pengalaman mistik dalam ajaran kitab Pangestu dan menurut buku tentang Pangestu (sumber data sekunder).
VERIFIKASI DATA1. Aspek realisasi diri2. Aspek aktualisasi diri
REDUKSI DATA1. Data dari sumber data primer
didapatkan dan dibandingkan dengan sumber data sekunder
2. Kesimpulan perbandingan data didiskusikan dengan responden atau informan
3. Data pengalaman mistik dengan aspek realisasi diri dan aktualisasi diri dideskripsikan
101
BAB IV
PERSIAPAN, PELAKSANAAN, HASIL PENELITIAN, DAN
PEMBAHASAN
A. PERSIAPAN PENELITIAN
Sebelum penelitian berlangsung peneliti melakukan beberapa tahap guna
mempersiapkan penelitian ini. Tahap-tahap yang dilakukan adalah sebagai
berikut:
1. Tahap Penyusunan Panduan Wawancara dan Pengembangan Metode
Wawancara
Berdasarkan apa yang telah dihasilkan dari tahap eksplorasi metode
wawancara maka telah dikembangkan pertanyaan-pertanyaan dalam panduan
wawancara (panduan pertanyaan dapat dilihat lebih lanjut pada lampiran 1).
Pertanyaan-pertanyaan dalam panduan pertanyaan disusun dengan susunan dari
pertanyaan-pertanyaan yang bersifat sangat konseptual (lebih abstrak) menurun
hingga pertanyaan pada sesuatu yang lebih nyata atau konkret. Susunan ini
digunakan selain untuk mengetahui seberapa jauh pertanyaan menangkap hal- hal
yang abstrak, hal ini juga digunakan untuk mengurangi terjadinya pengaruh dari
pertanyaan yang direktif yang biasanya hanya akan dijawab “ya” atau “tidak”.
Selain itu juga dikembangkan teknik wawancara yang disesuaikan dengan
kebiasaan responden.
a. Pertanyaan dalam wawancara biasanya diajukan dengan bahasa Jawa.
102
b. Kalau pertanyaan terbuka belum mampu menggali apa yang dipikirkan dan
dirasakan oleh responden, responden dapat dituntun dengan menggunakan
pertanyaan-pertanyaan yang bersifat direktif.
c. Formulasi pertanyaan dengan menggunakan kata “apa”, “seperti apa” biasanya
lebih mudah dibandingkan pertanyaan-pertanyaan yang menggunakan kata
“mengapa”, “kenapa”, “bagaimana”.
2. Rencana Koding Untuk Reduksi Data
Koding adalah pemberian kode pada satuan-satuan yang telah direduksi.
Pemberian kode meliputi: (a) penandaan sumber asal satuan, dalam penelitian ini
data yang berasal dari wawancara, (b) penandaan jenis responden, pada penelitian
ini kode R=Responden. Kedua responden akan dibedakan dengan pemberian kode
I untuk responden I dan kode II untuk responden II, (c) penandaan waktu
wawancara, pada penelitian ini wawancara dilakukan dilakukan minimal dua kali
untuk setiap responden. Pemberian kode waktu wawancara adalah dengan
menggunakan kode 01 dan 02 untuk membedakan wawancara 1 dan wawancara 2,
(d) penandaan letak baris di dalam verbatim, penandaan dilakukan dengan
mengggunakan angka Arab untuk menunjukkan letak baris di dalam verbatim.
Contoh: W. R. I. 01. 101-105 berarti ini merupakan wawancara terhadap
responden I, pada pertemuan yang pertama, dan kutipan diambil dari baris 101-
105 dari verbatim tersebut.
Satuan yang telah dikoding dimasukkan ke dalam kategori-kategori
tertentu. Kategori adalah kelompok satuan yang disusun berdasarkan pikiran,
intuisi, pendapat, atau kriteria tertentu (Moleong, 2000). Penafsiran data dilakukan
103
dengan menemukan hubungan antar kategori dan memberinya label dengan
pernyataan sederhana berupa proposisi yang menunjukkan hubungan. Proses ini
diteruskan hingga memperoleh hubungan yang cukup padat, yaitu sampai
menemukan petunjuk metafora atau kerangka berpikir umum (Moleong, 2000).
B. PELAKSANAAN PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan September sampai bulan Oktober.
Penelitian ini diawali dengan mencari responden. Responden di dapatkan dari
hasil pencarian melalui beberapa teman dan kerabat. Awalnya didapatkan
informasi dari seorang teman yang salah satu kerabatnya adalah seorang penganut
Pangestu cabang Surakarta. Namun setelah dihubungi orang tersebut meminta
untuk menghubungi orang lain, tepatnya adalah pengurus Pangestu bidang
penelitian. Orang ini ternyata tak dapat dihubungi, sehingga diputuskan untuk
mencari responden dari cabang Pangestu yang lain. Salah satu kerabat ternyata
dekat dengan para penganut Pangestu Ranting Ngargoyoso, cabang Karanganyar.
Dari orang inilah didapatkan tiga responden penganut Pangestu ranting
Ngargoyoso. Berikut tabel responden yang digunakan dalam penelitian:
Tabel 4
Data Responden Penelitian
No Nama Jenis kelamin Usia Agama
1 Soenardi Pria 63 tahun Kristen
2 Sutanti Wanita 49 tahun Kristen
3 Sularso Pria 49 tahun Islam
104
Pengambilan data dilakukan pada bulan Oktober. Jadwal pengambilan data dapat
dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 5
Jadwal Pengambilan Data
Pengambilan
Data pada
Responden
1 2 3
Responden I 10 Oktober 2009 17 Oktober 2009 22 Oktober 2009
Responden II 17 Oktober 2009 18 Oktober 2009 23 Oktober 2009
Responden III 18 Oktober 2009 24 Oktober 2009 -
C. HASIL PENELITIAN
1. Karakteristik Responden
Tidak ada kendala dalam membuat rapport dengan responden penelitian
selama pengambilan data. Responden I bernama Soenardi. Selama wawancara
responden I sering dipanggil dengan “Eyang Nardi”. Responden I adalah seorang
kakek yang telah memiliki banyak cucu, berumur 63 tahun, dan seorang
pensiunan kepala sekolah dasar salah satu SD negeri di Kecamatan Ngargoyoso.
Responden I memiliki dua orang istri, beberapa teman dan kerabatnya menyebut
dia memiliki bojo sambung. Istri pertamanya telah meninggal, istri keduanya
tampak lebih muda. Responden I hampir tidak pernah secara langsung
menyebutkan agama apa yang dia anut. Menurut informasi yang diperoleh dari
teman responden I, dikatakan, “mbah Nardi agamane ketoke Kristen, garwane
sing dhisik agamane Kristen”. Sehari-hari responden I menghabiskan hari-hari di
105
kebun. Responden I memiliki kebun wortel. Di kampungnya, responden I
menjabat sebagai ketua RW.
Responden II adalah seorang ibu yang memiliki dua orang anak gadis.
Selama wawancara biasa dipanggil Budhe Tanti. Responden II memiliki sebuah
warung makan di pinggir jalan besar. Kebetulan responden yang satu ini adalah
anak dari ketua Pangestu ranting Ngargoyoso, namun ketika penelitian ini
dilaksanakan ketua ayahnya telah meninggal. Sementara responden III adalah
seorang ayah dari tiga orang anak gadis. Selama wawancara biasa dipanggil
pakdhe Larso. Responden III adalah seorang penjaga sekolah sekaligus penjual
ayam.
Responden I dan III selama pengambilan data sangat bekerja sama, semua
pertanyaan di jawab dengan cukup jelas. Sedangkan responden II lebih banyak
bicara dibandingkan dua responden lainnya. Selama pengambilan data pertanyaan
dijawab dengan panjang lebar dan terkadang keluar dari topik dalam pertanyaan.
Selain itu jawaban yang diungkapkan sering diulang-ulang. Responden I selama
pengambilan data sering menjawab pertanyaan dengan menggunakan bahasa
Indonesia, sedangkan dua responden lainnya lebih sering menjawab pertanyaan
dengan bahasa Jawa. Responden III sangat sering menjawab pertanyaan dengan
bahasa Jawa krama inggil, sedangkan responden II lebih sering menjawab
pertanyaan dengan bahasa Jawa ngoko.
106
2. Hasil Wawancara Responden I
a. Pengalaman Mistik
Pengalaman mistik berarti mengalami suatu keadaan mistik, yaitu adanya
kontak antara manusia, alam semesta, dan Tuhan. Responden I mengaku bahwa
selama ini pengalaman seperti ini hanya dialami ketika melakukan ritual
panembah (W. R. I. 03. 899-903). Sebagaimana pengertian ritual sebagai perilaku
tertentu yang bersifat formal, dilakukan dalam waktu secara berkala, bukan
sekedar rutinitas yang bersifat teknis, melainkan mengacu pada tindakan yang
didasari oleh keyakinan religius terhadap kekuasan atau kekuatan mistis (dalam
Soehadha, 2008). Panembah pun dilakukan oleh responden I secara berkala dan
penuh keyakinan akan adanya Tuhan. Seperti diterangkan dalam kitab Sasangka
Djati bahwa panembah terdiri dari tiga tingkatan yaitu sembah raga, sembah
kalbu, dan sembah rasa. Responden I dirasa-rasakan telah mencapai sembah rasa.
Dia mampu melakukan panembah dimanapun, dan kapanpun hanya
menghubungkan perasaannya dengan Tuhan tanpa perlu lagi memperagakan
gerakan-gerakan seperti dalam sembah raga dan sembah kalbu.
Saya melakukan panembah sesuai kebutuhan saya mbak, biasanya
tiap bangun tidur dan sebelum tidur pada malam hari. Selebihnya
sesuai kebutuhan dan keinginan saya. Seperti misalnya kemarin
ketika saya akan ke Surabaya, saya melakukannya di dalam mobil.
Di dalam mobil ?? Iya, di dalam mobil. Panembah dapat
dilakukan dimana saja, mbak. Di dalam mobil, pastinya ramai,
ada suara mesin, suara bising hiruk pikuk jalan raya. Apakah
107
mungkin bisa tercipta suasana hening?? Kalau saya bisa, mbak
Ganis (eyang tersenyum). Ketika kita berpergian jauh dan disitu
bersama-sama banyak orang tentunya kita akan memohon
keselamatan kepada Sang Gusti Pangeran baik itu untuk saya
maupun semua orang yang berada di dalam mobil. (W. R. I. 01.
80-95).
Responden I mengaku bahwa perbedaan dari ketiga tingkatan panembah
adalah pada sembah raga seolah-olah hanyalah sebagai latihan dan masih mudah
sekali terganggu, setelah mencapai tahap sembah kalbu timbul perasaan mantap.
Pada saat melakukan panembah ini satu hal yang teramat sulit yaitu menciptakan
konsentrasi.
ee..kemudian. ini sedikit mengingat-ingat yang, ketika eyang
melakukan panembah itu ka nada tingkatan, ee apakah ada
perbedaan ketika eyang melakukan tingkatan pertama, kedua,
dan ketiga? Anu, perbedaanya? Iya, Perbedaanya, anu.. kalau
sembah raga yang jelas itu untuk awal daripada petunjuk itu
seolah-olah merupakan latihansaja. Tetapi setelah sampai kita
meningkat pada sembah kalbu kemudian sembah suksma, itu anu
rasa-rasanya hanya mantap begitu. Hanya begitu, mantap. Kalau
kita nilai perbedaan secara pribadi, awalnya rasanya hanya
merupakan latihan tapi masih mudah sekali terganggu. Mudah
sekali terganggu. Tapi setelah sudah sampai pada tingkatan
berikut rasanya mantap, begitu. Hanya begitu. Kalau saya
108
mengatakan terganggu ya, kadang-kadang pada saat itu, pada
saat melaksanakan sembah raga seharusnya kan harus
konsentrasi, lah konsentrasi ini yang benar-benar sulit. Nah,
kadang-kadang ketika saya baru melakukan panembah, kemudian
ada suara anak-anak dari luar mungkin orang lain itu saya masih
mendengar dan setelah saya dengar seolah-olah hati saya kurang
konsentrasi. Kurang konsentrasi. Padahal sebaiknya kita
melakukan itu harus konsentrasi, melupakan segalanya. (W. R. I.
02. 228-250).
Dari responsden I diketahui bahwa pengalaman mistik dalam melakukan
panembah terdapat proses dari heneng ke hening. Heneng adalah suatu keadaan
dimana pikiran hanya terpusat pada satu arah yaitu Tuhan. Keadaan ini disebut
responden I dengan “lupa segala-galanya”.
Melupakan segalanya? Iya, melupakan segalanya istilahnya
dalam bahasa heneng dan hening. Heneng dan hening? Heneng
dan hening. Yang heneng dan hening tadi, yang. Heneng itu
apa? Dan hening itu apa? Heneng itu ee artinya setelah kita
mulai manembah, pikiran itu yah tidak kemana-kemana,
melupakan segala-galanya, menuju ke satu arah. Satu arah.
Pengertiannya satu arah itu hanya kepada Yang Maha Pencipta
atau kepada Tuhan. Dan Tuhan itu dimana. Kemarin sudah saya
bilang Tuhan itu yah tampatnya dimana-mana, besarnya sedunia
ini, mungkin lebih besar lagi tapi bisa dikatakan kecil karena
109
sudah berada di istilahnya telenge manah. Apa ya? Lubuk hati.
Lubuk hati? Iya, lubuk hati. Sudah berada di lubuk hati kita. (W.
R. I. 02. 251-307).
Baru kemudian proses ini berlanjut ke tahap hening. Hening adalah suatu
konsentrasi yang teramat sangat dan sepenuh hati kepada Tuhan. Segala doa dan
pujian ataupun permohonan dan pengharapan hanya ditujukan kepada Tuhan.
Kalau hening? Kalau hening, hening artinya apa yang kita
kehendaki, mungkin dapat diucapkan atau mungkin dapat
dikatakan ini yah kalau ini merupakan kata-kata atau kalimat kita
ucapkan dengan mulut misalnya atau bisa dibaca dalam hati saja
tapi langsung, langsung tujuan ini hanya kepada hati yang kecil
sekali yang kita tuju Tuhan berada disitu. Misalnya, “Duh Gusti
Allah kang Maha Kawasa”, ini ee ucapan ini betul-betul diaturke
kesana gitu loh. Nah maksud saya itu.(W. R. I. 02. 308-316).
Selama ini responden I berusaha melakukan panembah sesuai dengan
petunjuk yang ada pada kitab Sasangka Djati, namun kadang-kadang karena fisik
yang tidak kuat maka sambil duduk pun bisa. Sedangkan ketika melakukan
sembah kalbu responden I masih mudah terganggu namun responden I selalu
berusaha untuk tidak peduli agar suasana heneng dan hening dapat tercapai.
Eyang melakukan panembah itu bagaimana? Sebenarnya
sesuai petunjuk dalam sembah raga itu ada gerakan-gerakan.
Menurut petunjuk. Tapi dapat dilakukan sesuai sikon. Yah..kalau
orang Islam itu seperti melakukan sholat. Tapi kadang-kadang
110
orang mau melakukan seperti itu fisiknya enggak kuat. Sambil
duduk di lantai pun bisa, jadi bukanlah suatu keharusan, begitu.
Tapi memang sebaiknya sesuai dengan yang ada di buku petunjuk
itu. Yang pertama begini, kemudian begini, eee…yang terakhir
begini. Kalau waktu eyang sembah raga itu masih sulit
menimbulkan suasana heneng sama hening ya, Yang? Iya, iya.
Kalau di sembah kalbu sendiri bagaimana, Yang? Yah, saya
katakan sulit tadi awal ya. Setelah kita melakukan sembah kalbu
ee terus terang saja sampai sekarang ini istilahnya khusus pribadi
saya, masih mudah terganggu pihak-pihak kiri atau pihak lain,
begitu. Artinya untuk kita membuat suatu konsentrasi tapi ternyata
ada suara-suara dari luar masih mendengar. Tapi saya suara apa
itu, suara bagaimana itu saya, karena saya ingin sampai heneng
dan hening tadi ya tidak peduli, begitu. Kalau dulu, pertama gitu
saja atau awal itu akhirnya saya masih ingin mengikuti artinya
masih ingin berpikir itu gimana tapi ee akhirnya tuh yah
terserahlah yang penting saya baru menghadap Tuhan, menurut
perasaan saya begitu. Jadi apapun situasinya tidak peduli.(W. R.
I. 02. 328-352).
Responden I mengaku bahwa ketika melakukan panembah yang dirasakan
adalah perasaan bertemu dengan Tuhan atau berhadapan dengan Tuhan.
Responden I sangat yakin bahwa saat itu rasanya dihadapan Tuhan. Dan baginya
disitu hanya ada dia dan Tuhan, tidak ada yang lain.
111
Ketika melakukan panembah itu rasanya bagaimana? Gimana
ya kalau saya rasakan rasanya tuh anu benar-benar rasa saya
bertemu atau saya ini berhadapan dengan Maha Pencipta.
Rasanya saya berhadapan dengan Maha Pencipta. Hanya saja
yang saya katakan Maha Pencipta atau Tuhan disitu tidak dapat
kita gambarkan, tidak bisa kita gambarkan seperti apapun, tidak
bisa. Tapi saya yakin karena Tuhan itu ada, pada saat melakukan
panembah ini benar-benar rasa saya di hadapan Tuhan, begitu.
Rasanya tuh apakah eyang benar-benar merasakan disitu
hanya ada eyang sendiri dan Sang Maha Pencipta atau masih
ada gangguan?? Ya, yang jelas hanya saya dan Maha Pencipta.
Tidak ada yang lain. (W. R. I. 02. 353-366).
Pada saat itu responden I mengaku bahwa tubuhnya terasa merinding. Jika
rasanya merinding kadang-kadang bisa langsung berakhir artinya panembah itu
selesai. Namun kadang-kadang bisa berlanjut sampai tahap berada di pangkuan
Tuhan.
Apa yang eyang rasakan pada tubuh eyang pada saat itu?
Kadang-kadang anu ee rasanya itu merinding. Terus? Kalau
rasanya saya merinding begitu kadang-kadang bisa langsung
berakhir, kadang-kadang sampai anu sama sekali yang lain itu
tidak ada, kita benar-benar berada di pangkuan Tuhan. Rasanya
begitu. Ya sulit kita gambarkan, ehehehe…Hehehe.. (W. R. I. 02.
367-374).
112
Hal ini secara emosional digambarkan oleh responden dengan perasaan
yang bahagia, benar-benar bahagia. Bagi responden I, saat itu hatinya merasa
nalongso dan penuh dosa.
Secara emosional rasanya bagaimana? (responden diam saja,
melihat peneliti penuh tanya) Secara emosional itu, mm
apakah merasa gembira atau bagaimana? Ooh anu rasanya
bahagia, jadi merasa bahagia. Benar-benar bahagia. Bahagia?
Iya, bahagia. Mm mungkin ada kata lainya yang bisa lebih
menggambarkan itu? Hehe gimana ya ehehehe…hanya bahagia
dan senang. Hati sana itu rasanya itu istilahnya apa ya, nalongso,
mm benar-benar saya ini mahkluknya Tuhan, pernah mempunyai
banyak dosa. Ini, nalongsonya disitu. Timbul perasaan seperti
itu? Ho’o ada perasaan seperti itu. (W. R. I. 02. 375-389).
Responden mengaku bahwa pada saat itu yang ada di ingatannya adalah
segala harapan baik bagi dirinya pribadi, keluarga, maupun masyarakat pada
umumnya. Ketika pengharapan itu responden memohon kepada Tuhan maka dia
pun berharap segala permohonannya dikabulkan selain untuknya juga untuk
keluarga dan seluruh masyarakat.
Ketika terjadi seperti itu, apa yang ada pikiran, Eyang? Di
ingatan Eyang itu apa? Ketika perasaan seperti itu terjadi,
karena saya ini masih diberikan hidup hanya harapan, mudah-
mudahan Tuhan selalu mengabulkan apa yang kita kehendaki atau
yang kita inginkan. Ini bukan untuk secara pribadi saja, tapi juga
113
kita sekeluarga, sampai pada masyarakat pada umumnya, sampai
disitu. Gitu. Sampai pada keluarga, sampai pada masyarakat
pada umumnya? maksudnya? Ee kadang-kadang kan kita ini
hidup ditengah-tengah masyarakat, kalau saya mohon salah satu
misalnya ee mohon keselamatan dan kekuatan misalnya kecuali
pribadi juga keluarga, juga masyarakat pada umumnya. Artinya,
ee semuanya diberikan tuntunan dan ee pepadang dalam bahasa
Jawanya begitu, pepadang ini dapat saya ganti, pengertian antara
umat dengan Tuhan, begitu. (W. R. I. 02. 290-405).
Hal ini terjadi seperti sebuah permohonan yang diucapkan dalam hati,
seolah-olah seperti berbicara kepada Tuhan. Namun sepanjang pembicaraan itu
tidak ada yang menjawab. Dan disini responden sangat yakin bahwa
permohonannya didengar oleh Tuhan dan akan dikabulkan.
Apakah itu terjadi seolah-olah Eyang bicara atau bagaimana?
Saya atau Yang Pencipta? Ya Eyang sendiri gimana, Yang
Pencipta gimana? Hehehe…Ooh. Saya sendiri dalam hati kecil
sana berbicara tapi sepanjang pembicaraan itu ya tidak ada yang
menjawab. Tapi yang kita bicarakan, saya sendiri punya
keyakinan karena tujuan saya kepada Tuhan, saya yakin Tuhan
pasti tahu. Dan saya juga yakin karena saya umat menyampaikan
permohonan atau permintaan kepada Tuhan, saya yakin akan
mengabulkan. Hanya begitu, ini dilandasi dengan keyakinan yang
kuat. Kalau tidak ya heeeh…. (W. R. I. 02. 406-416).
114
Panembah ini dilakukan dan tanpa terasa bisa berlangsung selama satu jam
misalnya. Responden mengaku bahwa panembah itu tahu-tahu sudah selesai dan
pernah diceritakan bahwa responden pernah melakukan panembah dari kecamatan
Karangpandan sampai di Karanganyar (W. R. I. 01. 100-104).
Kalau seperti itu rasanya cepat atau gimana, Yang? Waktunya
bagaimana rasanya? Seperti misalnya ketika Eyang ceritakan
melakukan panembah dari Karangpandan sampai
Karanganyar. Itu rasanya cepat, karena pada detik ini saya mulai
manembah, dalam perjalanan tadi ya itu tahu-tahu sudah sampai
disana atau tahu-tahu sudah disana. Itu kan anu menyangkut
perasaan cepat itu. Begitu. Jadi ya tidak peduli digoyang-goyang
dalam kendaraan. Eehem. Seperti itu tidak terasa? Tidak terasa.
Ee ya terasa tapi sekilas saja, sekilas saja tapi ya saya
tetap..nekat. agar disini tidak goyah begitu. (W. R. I. 02. 417-
127).
Keadaan ini terjadi dalam suasana heneng dan hening dan bisa terjadi baik
pada sembah raga, sembah kalbu, maupun sembah rasa. Semua itu bisa tercapai
kalau dari awal akan melakukan panembah sudah diniati. Namun kalau asal-
asalan akan mudah terganggu. Suatu panembah hingga bisa tercapai suasana
heneng dan hening dirasa sulit oleh responden dan dinilai belum seratus persen
menjalankannya.
Itu semua terjadi dalam suasana heneng dan hening? Iya.
Keadaan seperti itu terjadi dalam keadaan sembah raga,
115
sembah kalbu, atau sembah suksma? Semuanya. Semuanya?
Iya. Eyang merasakan setiap manembah terjadi seperti itu
atau bagaimana? Kalau kita dari awal itu memang ee sudah kita
niati, niati tahu? Iya. Hemm itu bisa. Selalu? Iya, tapi kalau acak-
acakan atau asal-asalan gampang sekali diganggu. Sampai
seperti itu sulit? Sulit. Tidak semuanya dapat melakukan seperti
itu dan saya sendiri melakukan sampai seperti itu kalau saya nilai
sendiri yah seperti tadi belum seratus persen. (W. R. I. 02. 428-
447).
Pada pertemuan berikutnya, peneliti menanyakan tentang tumraping laku
manunggal yang tertulis dalam kitab sasangka djati. Ini merupakan suatu perilaku
yang berupaya untuk menyatu dengan Tuhan. Responden menjelaskan hal ini
sebagai suatu kegiatan manembah yang langsung kepada Tuhan. Manembah
dalam hal ini adalah suatu kegiatan dimana individu tidak memikirkan hal lain
selain Tuhan, segala hal sedapat mungkin dilupakan, dan perasaan hanya
dikonsentrasikan untuk bertemu Tuhan.
Tumraping laku manunggal, maksude laku manunggal niku
gimana yang? Laku manunggal iku maksudnya seseorang yang
sedang melakukan manembah, tentunya manembah kan langsung
pada Tuhan. Maksudnya manunggal itu seperti yang saya katakan
kemarin dalam hati kecil atau perasaan saat melaksanakan
manembah berlaku manunggal, pikiran tidak memikirkan hal-hal
lain selain Gusti Allah. Jadi harus konsentrasilah intinya seperti
116
itu. Ada sesuatu atau hal-hal lain itu sedapat mungkin dilupakan .
Jadi saya merasa hanya berhadapan sama Tuhan, melupakan hal-
hal lain. Istilahnya jika saya merasa di sini, Tuhan di depan saya,
perasaanya begitu. Ini kalau dijabarkan panjang, tapi intinya ya
seperti tadi, istilahnya melupakan segala sesuatu apapun situasi
yang ada di dunia ini dan saat itu hati kita fokus hanya satu arah
berhadapan dengan Tuhan. (W. R. I. 03. 490-504).
Ini adalah suatu tahap dimana lebih unggul dari situasi heneng dan hening.
Ada satu kejanggalan ketika hal ini ditanyakan kepada responden. Jika kemarin
responden menerangkan seolah-olah tahap heneng dulu baru hening, namun kali
ini responden mengaku bahwa situasinya adalah heneng dulu, baru kemudian
hening. Hening disini juga merupakan suatu tahap dimana seseorang mampu
ngereh hawa nafsune atau menekan hawa nafsu. Hawa nafsu perlu ditekan agar
tidak mengganggu perjalanan manembah untuk bertemu dengan Tuhan. Setelah
tahap hening ini mampu tercapai, baru kemudian adalah tahap heneng dimana
seseorang diajarkan harus matahake gegarane, pangaribawane, lan ciptane atau
singkatnya mengosongkan pikiran.
Itu lebih unggul daripada hening yang eyang ceritakan
kemarin itu? Ya..ya..seperti itu. Karena saya ingin hening sampai
heneng, klo masih belum dapat melupakan hal-hal yang lain
namanya nanti belum bisa heneng. Hening dulu baru heneng.
Hening kemarin berarti kalau ngereh hawa nafsu manembah
jati sukmo. Manembah pertama berarti menciptakan hening?
117
Ya….berarti ngereh hawa nafsu. Betul….ngereh hawa nafsu itu
ada 4 macam, kudu direh agar tidak mengganggu saya pada saat
saya ingin bertemu dengan Tuhan. Ya…ya…ya. Berarti disitu
baru matahake gegarane pangaribawane atau ciptane yang
berarti mengosongkan pikiran gitu yang? Ya….betul. (W. R. I.
03. 505-518).
Setelah mengosongkan pikiran inilah, seseorang akan mampu manunggal
dengan Tuhan. Namun responden menjelaskan bahwa itu hanyalah pikiran, tidak
sampai ke rasa. Jika seseorang merasa berhadapan dengan Tuhan, walaupun
Tuhan sebenarnya tidak bisa digambarkan seperti apa. Tuhan itu ada, namun tidak
dapat digambarkan seperti apa. Jika seseorang merasa bertemu dengan Tuhan dan
tergambarkan, sesungguhnya itu bukan.
Setelah mengosongkan pikiran baru manunggal dengan
Tuhan? Ya…ya..Itu hanya pikiran, enggak sampai ke rasa. Kalau
saya merasa berhadapan dengan Tuhan, walaupun Tuhan itu
sebenarnya tidak bisa digambarkan seperti apa…artinya ora
gondho, ora rupo ora iso dirupakake…Nek Tuhan iku koyo opo.
Sebenarnya ada, tapi ga bisa digambarkan kayak apa. Dalam arti
hening artinya Manunggal dengan Tuhan perasaannya, tapi kalau
perasaan masih tergambar rumongso aku urip koyo ngono, ada
sesuatu merupakan gambaran itu Bukan….sebenarnya tidak ada
apa-apa, tapi kalau masih merasa ada, itu tetap bukan….sulit ya?
(W. R. I. 03. 519-529).
118
Ketika pikiran kosong dan segala hal telah dilupakan terkadang muncul
sesosok yang mengaku Tuhan. Dan ini dianggap godaan, responden menjelaskan
bahwa ini adalah godaan saudara ke empat, atau nafsu-nafsu dalam ajaran
Pangestu dan dapat juga ini adalah godaan syetan.
Apa kadang-kadang merasa ada apa-apa? Ya. Apanya itu apa?
Saya sudah konsentrasi secara benar sampai hening, perasaan
saya satu, saya berhadapan dengan Tuhan…oh ini saya ketemu
Tuhan rupa dan bentuknya seperti ini…oh ternyata bukan. Apa
kadang-kadang seperti itu? Ya….namanya hawa nafsu sodara ke
4 tadi masih mengganggu…jadi bisa aja terjadi demikian. Apa
pernah terjadi? Ya….Melihat sesosok? Ya… Apa? Ya hanya
seperti tubuh manusia. Godaan bisa saya katakan syetan…ya
bentuk dan rupanya seperti manusia. (W. R. I. 03. 530-546).
Jika hal ini terjadi maka harus disingkirkan terlebih dahulu atau berhenti
dulu. Di dalam ajaran Pangestu hal ini dapat disingkirkan dengan suatu cara,
responden menyebutnya dengan kata-kata mistik. Namun kata-kata itu tidak
diperkenankan untuk diberitahukan kepada orang lain yang belum masuk ke
Pangestu dan mengikuti ceramahnya.
Eyang melihat sesuatu waktu melakukan manembah,
perasaaanya gimana? Oh masih ada yang menganggu….perlu
kita singkirkan dulu atau pergikan dulu atau kita berhenti dulu.
Dan caranya menyingkirkan seperti itu ada. Gimana yang?
Kemarin udah saya utarakan…satu hal itu. Untuk pengertiannya
119
tidak dapat saya utarakan pada mbak…soalnya mbak sendiri
belum mengikuti dan masuk dalam Pangestu. Berarti caranya
hanya ingin melupakan hal itu kalau saya gambarkan berarti
menganggap itu nafsu dan Eyang melupakan gitu? Ya…itu ada
caranya dan merupakan kata-kata mistik, tapi saya yakin itu bisa
menyingkirkan semua yang menggoda hati. Itu semua sebenarnya
berbadan syetan. (W. R. I. 03. 551-561).
Responden mengaku bahwa karena hal seperti di atas sering terjadi maka sebelum
melakukan panembah harus diniati dengan sungguh-sungguh supaya tidak ada
gangguan dari empat nafsu. Dan jika tidak ada yang mengganggu akan sampai
pada tahap lupa dengan segala-galanya dan manunggal dengan Tuhan. Responden
mengaku bahwa perasaanya ketika manunggal itu adalah merinding seperti luyut.
Nanti kalau setelah seperti itu baru tahap seperti itu tidak ada
apa-apa? Atau langsung tidak apa-apa? Karena pernah
mengalami gangguan , klo dalam bahasa jawa ada istilah kata-
kata “ aku arep nindake manembah opo yang dikehendaki jangan
ganggu gawe”ini jawabe dalam hati. Baru melaksanakan
Manembah, tentang lama dan tidaknya tergantung pribadi
masing-masing…kadang-kadang sampai lupa, artinya itu sudah
masuk dalam suasana hening. Lha jalurnya manunggal dengan
Tuhan, ora rupo dan digambarkan koyo ngopo ga bisa. Tidak ada
tapi ada kalau gambaran Tuhan seperti itu ada….itu berarti
bukan. Rupanya beda-beda ya? Ya….beda…beda. Kalau seperti
120
itu rasanya di tubuh gimana yang? Segalanya seolah-olah lupa,
mrinding luyut, lupa segalanya. (W. R. I. 03. 562-576).
Luyut ini adalah perasaan yang merasa tenang, tentram, kosong dari segala
beban duniawi. Pada saat luyut ini responden hanya merasakan kekosongan dalam
pikiran, adanya hanya Tuhan menyatu dengan hati. Menurut responden luyut
adalah perasaan dimana dirinya berada di alam suwung dan remang-remang.
Responden tidak merasakan apa-apa hanya ada satu titik di hati yang menurutnya
menghubungkan antara dirinya dengan Tuhan.
Apa yang artinya luyut yang? Sudah melaksanakan manembah
dari heneng, hening sampai ke luyut. Luyut itu adalah perasaan
yang merasa tenang, tentram kosong dari segala beban duniawi.
Kesadaran Eyang dalam luyut itu gimana? Situasinya sulit
untuk diilustrasikan, pokoknya setelah hening ke luyut itu lupa
segala-galanya atau ada kekosongan dalam pikiran. Kalau
menurut Pakdhe narto ada aspirasi dari Tuhan yang mungkin
merupakan petunjuk, titah..tapi selama ini saya rasakan belum ke
level itu. Adanya ya…Tuhan itu menyatu dengan hati kita
begitu..menyatu dan tak ada apa-apa. Kan bisa merasakan
antara batas ini saya ini alam pada saat manunggal? Ya…tapi
perasaan itu adalah alam kosong atau suwung dan perasaan itu
remeng-remeng.tidak terang benderang gitu, tapi remeng-remeng.
Tahu remeng-remeng? Iya, terang tapi tidak terang sekali, tapi
juga tidak gelap sekali. Iya betul..betul. Antara diri kita
121
mungkin dengan udara, Eyang bisa merasakan batas antara
diri saya dan alam? Pada saat luyut, tidak bisa merasakan sama
sekali hanya titik di hati. Seolah-olah ada tali yang
menghubungkan dengan Tuhan, hanya begitu. Sulit sekali
digambarkan dengan kata-kata. Sulit sekali. (W. R. I. 03. 612-
635).
b. Realisasi Diri
Ciri pertama realisasi diri adalah kesadaran dan toleransi yang besar
terhadap kondisi umat manusia, lebih empati dengan masalah kemanusiaan tanpa
memandang ras, golongan, dan agama. Responden I sangat menghargai hal
tersebut. Responden mengaku senang dengan orang lain yang taat dengan agama
masing-masing. Menurut responden setiap manusia dikodratkan untuk berbakti
dengan Tuhan karena manusia adalah ciptaan Tuhan. Cara berbakti inilah yang
berbeda-beda, ada yang secara Islam, Kristen, ataupun Pangestu. Responden juga
sangat mengahargai dan menerima perbedaan. Responden menceritakan bahwa
dirinya sangat senang ketika ada KKN dari mahasiswa UGM di desanya. Menurut
responden para mahasiswa ini dari berbagai daerah, pintar, sopan, dan baik hati.
Responden mengaku sangat menyenangkan berkumpul dengan orang-orang yang
berasal dari banyak daerah yang berbeda-beda.
Ya…ya…ya. Menurut Eyang kodrat sebagai manusia
bagaimana? Saya menjadi manusia itu tau yang mengadakan
siapa? Kalau sudah tau yang mengadakan, sebaiknya berbakti
kepadaNya. Berbakti ini dapat melalui berbagai jalan, misalnya
122
lewat Agama Islam, Kristen atau Pangestu. Dalam Pandangan
Eyang Bagaimana? Misal saya orang Pangestu melihat orang
lain yang beragama lain, menurut saya kalau orang lain sudah
memiliki keyakinan agama lain berarti saya senang. Artinya
mereka-mereka punya jalan untuk berbakti kepada yang
menciptakan.Bagaimana menerapkan Bhineka Tunggal Ika
dalam kehidupan sehari-hari? Saling hormat-menghormati,
saling memberi dan menerima. Bhinelka Tnggal ika yang ada di
Indonesia satu. Contoh perilaku saling hormat menghormati,
saling memberi dan menerima adalah seperti kemarin ada KKN
dari UGM berjumlah 25 orang, mereka berasal dari suku, agama
yang berbeda-beda. Dari ke 25 orang ini ditempatkan dalam 4
tempat., kebetulan di tempat Eyang terdapat 7 orang. Orang-
orang ini berasal dari medan, padang, wonosobo, Jakarta, Ciamis,
Irian dan Bantul. Melihat mereka hidup begitu akrab saya
melihatnya senang sekali, kita ajak apa saja mereka selalu siap.
UGMnya jurusan apa? Macam-macam, peternakan, peternakan,
kependudukan geografi. Dan sekarang ke 7 orang UGM yang
sudah 2 tahun 2bulan tingkat kuliahnya tidak sama. Setelah lulus
dan diwisuda ada yang sudah kerja, yang dari wonosobo jadi
guru. Kalau ke sini memberikan les privat anak-anak namanya
Lia. Programnya apa? Saya enggak tau, tapi setiap mingu selalu
membuat laporan dan mengirimkan laporan ke UGM. Sekarang
123
yang kerja di Pontianak 1 orang, tapi kadang muter-muter sampai
ke Makasar, yang 1 lagi diangkat sebagai PNS di Jakarta. Ini
kaitannya dengan Bhineka Tunggal Ika selama 2 bulan hidup
dalam satu keluarga dengan orang-orang dari berbagai asal di
kota-kota Indonesia.Kemarin ada permainan Kujang ganong yang
hamper mirip dengan Reog Ponorogo. Ini yang mendorong saya
mencari alat sampai ke Ponorogo.Kaitannya dengan Bhineka
Tunggal ika saya senang sekali kita hidup di dalam satu keluarga
bisa saling memberi dan menerima. (W. R. I. 03. 653-693).
Responden I adalah seorang yang menerima banyak hal yang misterius,
seperti kehidupan spiritual yang menyangkut dengan hubungan dengan Tuhan,
alam semesta yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan mahkluk halus
seperti jin, syetan, ataupun malaikat.
Menurut Eyang, hubungan manusia dengan Tuhan
seharusnya yang seperti apa dan bagaimana? Kalau seperti apa
itu sulit sekali digambarkan. Yang jelas menurut saya, saya
berperasaan kuat bahwa saya ada karena dicipta olehNYA,
sehingga kita tau. Berbaktinya menurut saya ya sesuai dengan
ajaran agama yang kita anut. Kalau dalam Islam sholat 5 waktu,
Kristen kebaktian tiap hari minggu, tapi kalau di Pangestu
berbaktinya tidak terikatwaktu dan dimana tempatnya tidak apa-
apa. Kalau hubungan manusia dengan alam semesta gimana
yang? Gimana ya….Kalau hubungan manusia dengan alam
124
semesta, alam yang dimaksud alam lingkungan sekitar. Karena
saya ditempatkan di alam yang saya lihat sekarang ini, kita wajib
bersyukur, memelihara, merawat segala sesuatu yang ada di
lingkungan kita saja. Karena ini juga menyangkut yang ada di
lingkungan ini. Ini juga mirip dengan cobaan kita. Kalau istilah
dalam Pangestu, Manusia sama dengan Jagat kecil, sedangkan
Dunia adalah Jagad Besar. Untuk manusia terjadinya dari an
nash 4 macam yaitu bumi, air, api dan udara. Kalau alam
semesta yang kita tidak lihat gimana yang? Alam di luar jagad.
Kalau orang Jawa menyatakan awang-awang atau langit. Langit
itu panas dan tak ada batasnya, seandainya kita sampai ke sana
kita akan ketemu dengan apa yang dinamakan Galaksi. Galaksi itu
adalah suatu tempat ciptaan Tuhan, di tengah-tengah ada
matahari dan dikelilingi oleh planet sampai planet terbesar. Di
sana ada bintangbintang hanya akan mengelompok disini.Kalau
di alam lain, kayak dunia ghaib? Dunia Ghoib alam lain yang
ditempati makhluk Tuhan yang tidak dapat dilihat dengan mata,
atau biasa disebut makhuk halus.Kalau alam ghoib Tuhan
menciptakan makhluk-makhluk yang manusia tidak bisa
melihatnya karena kecilnya dan tidak dapat dilihat, maka disebut
makhluk halus. Manusia diciptakan paling sempurna dan paling
akhir. Makhluk halus diciptakan dan diberi ijin untuk menggoda
manusia. Kalau dalam buku Sasongko Jati saya yang dik ganis
125
bawa tolong nanti kalau di rumah ada…gumelare dumadi pernah
dibaca? Pernah ada rincian. (W. R. I 03. 694-732).
Responden juga mengaku pernah mengalami kejadian-kejadian
supranatural. Namun sesuai dengan ajaran Pangestu, responden tidak menerima
pertolongan dari paranormal. Responden adalah seorang yang sangat meyakini
pertolongan Tuhan, dan sangat percaya bahwa mahkluk halus juga ciptaan Tuhan
jika tidak diganggu juga tidak akan mengganggu.
Kalau kejadian sepeti spiritual, supranatural eyang pernah
mengalaminya? Pernah, tapi secara bersama-sama dengan
teman-teman lain, tidak sendirian… (W. R. I. 03. 767-796).
Ya…ya….ya. Menurut Eyang itu gimana pendapat eyang
fenomena tentang orang-orang yang mampu melihat masa
depan, atau melakukan konsultasi spiritual atau pengobatan
alternative gitu? Misalnya kaitannya dengan perdukunan, kalau
kita percaya pada Sang Guru Sejati (Pangestu), kalau dalam Islam
gih Nabi Muhammad SAW bahwa Sang Guru itu yang
membimbing kita, memberikan petunjuk, memberikan jalan dan
pertolongan. Sebenarnya kalau kita ke tempat orang-orang
“pinter” itu tidak benar atau tidak disahkan. Kenapa segala
sesuatu yang memberi Tuhan lantaran Sang guru tadi, koq malah
mintanya kepada orang “pinter” tadi? Ini sangat berdopsa dan
disitu sabda yang tertulis juga berbunyi antara lain “Nek kowe
butuh opo wae kowe lagi kebingungan, kekurangan sak piturute,
126
nyuwuno marang Aku (Gusti), Aku bakal maringi, menehi opo sing
mbok suwun, tapi kalau masih dating kepada paranormal berarti
jiwa orang itu masih tipis dan istilah lainnya ibaratnya orang
berjalan sudah tidak melewati jalan yang benar/ menyimpang.
Atau dengan kata lain lagi dia itu sudah dianggap mempunyai
Tuhan yang 2 arah, bukan Tuhan Yang Maha Kuasa, tapi Tuhan
kepada paranormal tadi karena percaya. Ini bahayanya disitu…
.(W. R. I. 03. 707-817).
Hal ini menurut responden dianggap berbahaya karena akan mengganggu saat
kematian. Meminta pertolongan kepada Tuhan dianggap menyimpang dari Tuhan
oleh responden.
Kenapa koq bahaya?sangat Bahaya? Bahaya, kalau minta pada
paranormal, karena sudah dianggap menyimpang dengan Tuhan
yang lain tidak langsung pada Tuhan Yang Maha Esa. Ini
seandainya dia nanti sudah meninggal itu nanti disana akan
banyak gangguan mungkin jalannya tidak langsung mulus ke
surga, tapi lewat jembatan yang sangat mengerikan, menyedihkan
dan lain sebagainya. Mungkin begitu…..mungkin. Kalau di
Sasongko jati kemarin sempat baca……..kalau tidak salah
orang-orang yang sudah melakukan tata-cara tata-cara yang
diajarkan Pangestu kemudian melakukan praktek
perdukunan bukanlah suatu hal yang benar. Apa benar
memang ajaran di Pangestu itu bisa memberikan kepada kita
127
suatu pengertian-pengertian yang orang awam tidak
mengetahui gitu ya? Yang pertama, tidak dibenarkan atau tidak
benar. Misalnya ada orang yang datang ke Paranormal untuk
minta pertolongan itu tidak dibenarkan. Ajaran-ajaran Pangestu
itu yang dapat melaksanakan adalah pribadi masing-masing
pengikut, semua dapat dilihat, dalam arti tingkah laku dan
kepribadian seseorang yang telah mengikuti ajaran Pangestu itu.
Ini kalau memang ajaran itu sudah benar-benar dimengerti oleh
seseorang, tapi kalau ngambang atau belum dapat diresapi orang
itu ya…ga bisa. (W. R. I. 03. 820-842).
Ciri ke tiga realisasi diri adalah seorang yang memiliki kepribadian yang
universal, artinya tidak ada satu pun segi kepribadian yang dominan. Namun
selama pengambilan data responden hanya mengaku ada banyak perubahan pada
diri pribadinya dan perubahan dalam hidup secara umum. Satu hal yang sering
diungkapkan responden selama pengambilan data yaitu responden merasa lebih
sabar, tidak cepat marah, dan tenang.
Mengandung arti, itu arti yang bagaimana, yang? Mengandung
arti…. Setelah saya me…ya istilahnya instropeksi pada diri saya
sendiri, itu kan dalam saya hidup ini banyak hal-hal yang saya
lakukan..yah kami anggap kurang baik…saya ingin mempunyai
perilaku yang baik. Lah maksudnya baik dan tidak baik untuk saya
ya misalnya didalam urusan rumah tangga ini itu kadang-kadang
saya pernah tidak, hati saya itu tidak sabar misalnya begitu. Nah
128
ini saya ingin mempunyai jiwa yang sabar. Kalau saya punya
sesuatu kemudian diminta atau digunakan oleh orang lain,
kadang-kadang saya, ee dalam hati kecil saya tidak rela, tidak
iklas. Setelah itu saya tahu, saya ingin semuanya itu, agar saya
mempunyai jiwa yang rela, iklas. Artinya saling tolong menolong
kepada sesama. Itu..contoh itu. Banyak sekali.. (W. R. I. 02. 169-
182). Kalau tentang menilai kepribadian atau karakter pada
diri Eyang sendiri setelah melaksanakan olah rasa itu
bagaimana? Menurut perasaan saya yang tadinya saya kurang
sabar, akhirnya bisa lebih sabar. Itu yang bisa kita terapkan, hal-
hal lain masih banyak. (W. R. I. 03. 878-881).
Penjelasan ini tentu belum dapat mengungkapkan tidak adanya segi yang
dominan dalam kepribadian. Penjelasan responden tentang perubahan dalam
pribadinya setelah menghayati ajaran Pangestu hanyalah suatu efek dari selama
ini berusaha untuk menghayati dan memahami ajaran. Dan efek ini belum tentu
menjelaskan perubahan dalam struktur kepribadian. Menurut pengamatan selama
pengambilan data responden I kurang sering mengungkapkan tentang kehidupan
pribadi dan keluarganya. Hanya dua kali responden menceritakan tentang
keluarganya, itupun tentang kehidupan anak-anaknya. Responden sama sekali tak
pernah bercerita tentang dirinya dan istrinya juga tentang kehidupan bergamanya.
Namun dari transkrip wawancara responden di atas tampak bahwa adanya satu
kesadaran untuk merubah sisi gelap pribadinya menjadi lebih baik sesuai tuntunan
ajaran Pangestu. Walaupun responden mengatakan bahwa hal itu sangat sulit
129
tercapai dan hanya 20 sampai 30 persen saja yang responden mampu capai dari
tuntunan ajaran Pangestu tersebut.
Eyang merasa sulit? Merasa sulit. Seandainya yang saya katakan
kemarin namanya pancasila. Utamanya empat, panca itu kan lima,
yang empat ini saja rila,narima, temen atau jujur, dan sabar ini
udah tertanam pada jiwa saya, diri saya mungkin saya sudah bisa.
Saya tahu itu tapi menurut saya, saya nilai sendiri pada pribadi
saya sendiri, keempat-empatnya ini belum bisa sempurna untuk
kita terapkan. Kalau keempat-empatnya ini nanti bisa seratus
persen, kalau saya persentase mungkin yah baru dua lima atau
tiga puluh persen begitu. Hehe.. Dua puluh lima sampai tiga
puluh persen ya, yang? Iya..hahaha..ini penilaian saya sendiri,
kalau saya boleh interopeksi..eehehehe.. (W. R. I. 02. 215-227).
c. Aktualisai Diri
Responden mengaku bahwa ada banyak perubahan yang terjadi dalam diri
dan dalam hidupnya setelah menghayati ajaran Pangestu dan mampu mencapai
heneng, hening, dan luyut dalam melakukan Panembah. Perubahan dalam diri
ditunjukkan responden dari pengakuannya bahwa dirinya merasa lebih sabar,
iklas, dan tenang (W. R. I. 03. 878-881). Sedangkan perubahan dalam kehidupan
pribadi dengan orang lain tampak dari banyak jawaban responden seperti ketika
responden selalu memohonkan keselamatan (W. R. I. 01. 91-95) dan pepadhang
(W. R. I. 02. 392-405) untuk keluarga dan masyarakat. Responden juga mengaku
bahwa dirinya dulu sering bersikap kurang sabar sdalam rumah tangga namun
130
setelah menghayati ajaran Pangestu responden merasa lebih sabar di dalam rumah
tangga dan lebih iklas dalam kehidupan bermasyarakat, tolong menolong dan
bergotong royong (W. R. I. 02. 169-182 dan 881-896).
Dalam menghayati ajaran Pangestu itu sejauh Eyang
menghayatinya selama ini ada perubahan enggak dalam hidup
Eyang? Perubahan dalam kehidupan Eyang secara pribadi yang
dulu mudah marah, tidak sabaran dan lain sebagainya, ternyata
saya setelah ikut Pangestu mengalami perubahan banyak sekali.
Kemudian dengan orang lain pun dalam hal tolong menolong,
gotong royong benar-benar sangat saya rasakan. Bahasanya
hidup koq kebingungan dengan masalah ini, kita Tanya saja kowe
jane bingung masalah opo? Butuhmu ki opo? Kita timbul rasa
kasihan. Sebab akhirnya setelah kita rasakan bahwa hidup ini, kita
lahir ini awalnya tidak membawa apa-apa, jadi yang saya nikmati
sekarang ini hanyalah sesuatu titipan saja. Sodaqah itu pahalanya
besar, bukan dalam hal materi tapi mungkin dalam hal salah dan
dosa dapat dikurangi juga dengan melaksanakan sodaqah.Dalam
Pangestu sodaqah itu namanya Budi Dharma (memberi kepada
orang lain dilepas secara ikhlas dan sah). Itu dalam bentuk olah
rasa. Misalnya saya pas datang mengikuti acara kuraos di
Pangestu, kebetulan saya membawa uang 1 juta. Setelah saya
kalkulasi dengan semua kebutuhan uang itu masih sisa 1rb..lha
uang sisa ini saya masukkan ke kotak amal, tetapi pas dikalkulasi
131
ternyata ga cukup, ga memasukkan ke kotak amal ga apa-apa. (W.
R. I. 03. 855-877).
Responden mengaku merasa bahagia ketika melakukan panembah.
Menurut responden saat melakukan panembah adalah suatu pengalaman yang
luar biasa dan responden merasa bahwa panembah adalah suatu kebutuhan.
Responden melakukan panembah secara rutin setiap bangun tidur dan sebelum
tidur malam, selebihnya sesuai dengan kebutuhan dan keinginan. Ada suatu
keinginan untuk selalu mengulang panembah dan pengalaman yang luar biasa
tersebut.
Saya melakukan panembah sesuai kebutuhan saya mbak, biasanya
tiap bangun tidur dan sebelum tidur pada malam hari. Selebihnya
sesuai kebutuhan dan keinginan saya. Seperti misalnya kemarin
ketika saya akan ke Surabaya, saya melakukannya di dalam mobil.
(W. R. I. 01. 80-84).
Responden mengaku bahwa sekarang tidak ada perasaan cemas akan hari
esok. Responden mengatakan bahwa sama sekali tidak ada perasaan seperti itu.
Responden memang memiliki keyakinan yang besar terhadap rencana Tuhan.
Menurut responden Tuhan telah mengatur hidup manusia, dan hanya kepadaNya
seharusnya mengeluh, dan meminta pertolongan.
Kalau sekarang Eyang memandang masa depan gimana Yang?
Apa ada perasaan was-was, cemas, kuatir gitu?tentunya setelah
mengikuti Pangestu… Rasa cemas atau kuatir sama sekali ga ada,
dulu sebelum ikut ajaran Pangestu sering sekali kuatir. Ada istilah “
132
Yen Kowe Butuh Kebutuhan Rasah Sumelang, Kowe Jaluk Engsun
bakal Paringi” begitu mbak…. (W. R. I. 03. 897-903).
3. Hasil Wawancara Responden II
a. Pengalaman Mistik
Responden ini adalah seorang Kristen yang cukup taat. Panembah
dilaksanakan dengan menggunakan doa Kristen. Responden melakukan panembah
empat kali sehari, pagi saat bangun tidur, siang, sore dan sebelum tidur.
Budhe, nglampahi panembah menurut ajaran pangestu niku
nggih setiap teng gereja, nggih setiap saat? Kulo, nek manembah
niku, gandeng agama kulo Kristen nggih nggange doa Kristen.
Tapi nek setiap saat bututine pangesti, misalnya saya
membutuhkan pepadhang, saya bisa menggunakan cara pangestu.
(W. R. I. 03. 296-301). Jadi waktune nek sembahyang berapa
kali ? Lima kali. Lima kali ? Pagi, siang, trus mengke….eh empat
kali ding, jadi sonten, terus badhe mapan sare, terus diantara jam
satu sampai tiga niku, terus pagi. Niku. Nah itu kalo dalam
pangestu itu doa nya bisa sewktu-waktu, tapi yang tidak mau harus
dijalankan. (W. R. I. 03. 311-317).
Responden mengaku melakukaan sembah raga dan sembah kalbu. Akan
lebih baik jika melakukan sembah raga karena menurut responden ada banyak
pengorbanannya. Namun terkadang mau berdiri saja tidak mau sehingga yang
dilakukanya adalah sembah kalbu.
133
Budhe sudah sembah raga atau sembah kalbu? Dua-duanya.
Kadang-kadang arep ngadeg we wegah, mbak dadi sing kulo
lakoni nggih sembah kalbu. Nggangge duduk, lha sing marake
nggih nilai wau aluawamah'e hehehe… wegah adem-adem.
Sembah kalbu yang penting dirinya bisa nyampe kesana
(menunjuk dada lalu menunjuk keatas) nek bisa niate, ngoten
mbak..lebih baik lagi sembah raga. Sembah Raga ka nada
pengorbanan lagi, misalnya saya mensucikan diri dulu, harus
obah, kudu obah. Tambah bagus lagi itu nek iso nglakoni.hehe..
(W. R. I. 03. 333-242).
Responden II mengaku bahwa saat melakukan panembah merasakan suatu
ketenangan dan kedamaian jika khusyuk dalam melakukannya. Responden juga
mengaku bahwa ketika melakukan panembah seolah-olah merasa melupakan
segalanya.
Oh niku rasane pripun ketika melakukan panembah ? Rasane
nggih….kalo kula, padane dengan khusyuk saestu ngoten lhe
mbak, kan otomatis disitu ada rasa ketenangan, kedamaina…nek
pas khusyuk tenan. Nah kan kadas melupakan segalanya.
Melupakan segalanya ? Nggih, melupakan keduniawian ngoten
lhe mbak. Dadi niate mung nyaket thok, dadi teng mriki (menunjuk
ke dada) damai dan selamat. (W. R. I. 03. 348-356).
Saat melakukan panembah agar sampai pada tahap khusyuk maka harus
diusahakan untuk melupakan alam sekitar. Selama panembah agar kekhusyukan
134
dapat tercapai sebisa mungkin tidak merasakan apa yang terjadi atau apa yang
dirasakan pada tubuh. Responden mengumpamakan hal ini dengan digigit
nyamuk. Jadi walaupun digigit nyamuk, sebisa mungkin untuk tidak dirasakan
agar mencapai khusyuk.
Rasane Lingkungan sekitarnya tuh gimana? saat manembah
terus khusyuk begitu niku pripun? Oh…pas khusyuk ngaten
berusaha melupakan alam sekitar, ngoten. Oh ngoten nggih ?
Nggih, rasanya Cuma tenang. Merasakan ketenangan dan
ketentraman. Kalau kayak gitu itu merem ?
Nggih no mbak merem. Kalau berdoa merem, kalau ga merem
padanane nyamuk, misale awake dewe pas berdoa, terus da
nyamuk,trus digigit, dianggap wae ga digigit mbak. Yo ra
dirasake, dirasake nggih podo mawon. Enggak dirasake, niku
kerasa tapi ga dirasake, opo ga kerasa tenan ? Kerasa nanging
ga dirasakake. Berusaha tidak merasakan itu. Oh gitu? Yo
kerasa….hehe..wong dicokot, tapi ga dirasake ben khusyuk. (W.
R. I.03. 357-372).
Pada saat khusyuk tubuh responden merasa merinding, kemudian tubuh
terasa ringan. Hal ini dirasakan sebagai suatu keajaiban bagi responden, tubuh
terasa ringan, tidak merasakan apa-apa, dan hanya merasa enak saja. Namun kalau
tidak khusyuk kaki mulai terasa kesemutan, dan jika digigit nyamuk jadi terasa.
Terus tubuhnya tuh rasanya gimana? Nek pas khusyuk ngoten
gitu nggih gemrinding, terus entiiing ngoten, tapi sok-sok ning sikil
135
kene gringgingen. oh gitu? Nggih. Tapi pas bener-bener
khusyuk gitu tuh? Ya enggak merasakan. Tubuhnya rasanya
gimana? Entenglah…biasa ngaten le, mbak. Mboten ngrasake
pripun-pripun ngaten, koyo dene suatu keajaiban ngaten nika,
dadi awak ki ngrasake penak thok. Nek dong pas ora ngoten
nggih…..oalah nyamuke, di ceplek..terus dadi ora khusyuk, wong
dirasake, dadi wis ora sido khusyuk maleh. Nek khusyuk tenan
niku, rasane nggih penak thok. (W. R. I. 03. 374-387).
Secara emosional responden mengaku merasa senang karena pada saat
khusyuk itu hanya ada ketenangan, ketentraman, dan kedamaian. Pada saat
khusyuk pikiran harus dikosongkan, segala permasalahan keduniawian harus
ditinggalkan. Namun bukanlah suatu hal yang mudah mengiklaskan segala bentuk
keinginan dan permasalahan duniawi.
Secara emosional gimana? Secara emosional…mah… sedih..
seneng. Seneng, tentrem og. Nek khusyuk tenan niku
tenang…seneng…perasaane ki damai seneng! … Terus di dalam
pikirannya itu pripun? Pikirane nggih, harus di kosongkan
pikirkan itu harus kosong mbak. Semua keduniawan koyo wis
ditinggal-nggal tenan, ngoten nika. Koyo-koyo nek belajar wis
nglaleke, sing arep dipikir-pikir yo wis iklasno ngoten nika. Tapi
tidak setiap doa itu bisa tercapai seperti itu. Tapi Budhe pernah
mencapai seperti itu?? Kadang-kadang. Tidak sering tapi
kadang-kadang enek masalah arep nglaleke yo angel yo mbak, yo
136
ra khusyuk mung ngucapke thok. Dadine koyo keburu-buru ngoten
niku. Kerep yen ngoten niku. Kerepe ngoten niku, dadi misale oh
arep doa sek, duwe pikiran ''ngopo to kesusu'' , nah untuk
menghilangkan itu tuh kan sulit sekali, dadi yo mung butuhe thok
ok..plek..plek..wis nindakake kewajibane. Padane ngoten niku,
dadi ra khusyuk. Khusyuk dan tidaknya sering tidaknya,
hehe…waktu doa itu. Wong sesasi niku, khusyuk niku paling ping
tiga ping pindho kok khusyuknya, lha wong rumongso piye dunia
besar tesih sumandul ning badan niki, dados untuk ngosong ke
pikiran itu susah sekali. Karepe pas niat tenan dilalah pikirane
pingin tenang eh mikir opo, kelingan opo, kan dadi ora khusyuk.
Ngoten niku. (W. R. I. 03. 388-419).
Pada saat khusyuk itu tidak melihat apa-apa. Diri menjadi merasa berdosa,
nelangsa, dan penuh taubat. Pikiran kosong dan hati merasa penuh dosa. Jika
suasana seperti ini dapat tercapai maka lamanya panembah menjadi tidak terasa.
Pikiran kosong, tidak tahu waktu, tidak merasa capek dan kesemutan (W. R. I. 03.
451-453). Satu jam ataupun setangah jam berlalu begitu saja. Namun jika suasana
ini tidak tercapai, mengingat situasi seperti ini tidak selalu mampu dicapai karena
sulit maka pelaksanaan panembah juga menjadi terburu-buru.
Pas khusyuk gitu pernah ga kosong, ga lihat apa-apa ? Nek pas
khusyuk niku malah anu mbak teng mriki niku koyo ewa den era
nonton apa-apa. Malah hanya merasa diri kita itu penuh dosa,
penuh panalongso, penobatan, ngaten lhe mbak nek koyo ra
137
terpikir, dadine neng jiwa ki koyo wis penuh kotoran, penuh dosa
ngunu. Teng mriki koyo kosong blong ngoten.Berapa lama
kegiatan gitu? Lah kadang-kadang pas donga tenan ngoten, sak
jam yo ra kroso, setengah jam mboten kroso nek pas saat-saat
ngoten niku nggih, tapi nek pas saat-saat sambil lalu yo lima menit
koyo wis kudu oyak-oyak. Hehe…Padane cepet-cepet ndang
rampung. Sing penting nglakoni kewajibane. Ngoten niku
gangguan luar ki tetep masih banyak…mboten mesti sebulan iso
khusyuk ping pisan nopo ping pindho niku mboten mesti, tenan
niku. Hehe..mengosongkan niku sulit sekali. (W. R. II. 03. 420-
435).
Setelah melakukan panembah sampai pada suasana khusyuk yang
dirasakan adalah senang, gembira, lega, dan tenang. Beban terasa lepas, hilang,
dan yang ada hanya merasa tenang. Baik sembah raga, sembah kalbu, dan sembah
rasa suasana khusyuk ini tetap dapat diciptakan.
Nek bar ngeteniku bar nglakoni manembah. Setelah
manembah khusyuk selama 1 jam, itu rasane ati gimana? Gih
sumringah neng ati seneng, lego, tenang ngoteniku mbak….beban
rasane koyo ucul, ilang yang ada Cuma ketenangan
…Ya….ya….ya… Iku gunanya di antara manembah rasa,
manembah qalbu bisa diciptakan semacam itu? Bisa…tapi
alam khusyuk bener-bener tenang, damai. Ketenangan tetep ada,
ketentraman juga tetep ada. (W. R. II. 03. 483-492).
138
Responden mengaku tidak pernah merasa bertemu dengan Sang Pencipta.
Saat melakukan panembah sampai khusyuk tadi yang dirasakan hanya perasaan
damai, senang, dan tenang saja.
Ketemu sama Pencipta? Klo ketemu yo gak mbak….wong Gusti
Allah iku angel dijangkau. Yang ada Cuma merasakan senang,
damai dan tenang…merasakan kosong blong ga da beban…eneke
muk seneng, damai tenang…. (W. R. II. 03. 493-497).
Suasana khusyuk ini tercapai dengan mengucapkan dzikir terus menerus.
Di dalam dzikir ini tersebar doa dan permohonan kepada Tuhan. Responden
mengucapkan hu Allah, hu Allah terus menerus dengan khusyuk, pikiran dan hati
terus mengucapkan doa kepada Tuhan hingga tidak terasa, perasaan menjadi
damai, dan pikiran menjadi kosong.
Selama itu mengucapkan doa terus dan kita merasa tenang
tenang gitu? Yo gih…andaikan kita khusyuk betul-betul kan
diwaktu kita doa..apa kebutuhan kami dan ucapannya tersebar itu
kados Dzikir. Klo dzikirnya dari Pangestu
itu…Hu…Allah…Hu…Allah dzikir dalam batin. Begitu terus?
Ya…selama kita dzikir kan tidak terasa mbak…klo sehabis kita
doa mengucapkan ayat itu sudah ikut dzikir. Sembah raga?
Waktu sembah raga jadi suasana khusyuk pas dzikir itu?
Gih…Jadi dipikiran sama hatinya mengucapkan Hu Allah…Hu
Allah gitu terus. (W. R. II. 03. 498-510).
139
Responsden mengatakan bahwa dirinya sudah sampai pada sembah kalbu.
Selama ini responden ingin sekali melaksanakan sembah rasa tapi belum bisa
karena dirasa-rasakan belum sesuai dengan apa yang pernah dibaca dan tuntunan
Pangestu.
Budhe, sampeyan nek mpun sampe sembah apa ? Nek kulo
niku sampe sembah kalbu. Nek sembah rasa ingin sekali tapi
belum bisa. Belum bisa ? Iya karena dirasa-rasakan kok tidak
sesuai dengan apa yang pernah dibaca. Ajaran-ajaran yang sudah
disampaikan sama atasan-atasan, itu kan oh sembah rasa ki
ngaten-ngaten, tapi belum pernah merasakan. (W. R. II. 03. 625-
627).
Pada sembah rasa menurut responden adalah sudah merasakan
kekosongan, alam terasa kosong. Responden mengumpakan sama dengan keadaan
mati suri.
Sejauh ini yang dirasakan sampai sembah kalbu itu gimana
Budhe ? Sembah kalbu, nggih ngaten wau… yow is sing
melupakan ke duniawian lha nek sembah rasa kan iku mbak sing
wis iso seakan-akan kosong, alame wis kosong seakan-akan koyo
wis ngrasake MATI SURI niko le. Nek aku durung pernah. Budhe
dereng pernah ? Belum. Lha kan masih banyak kekurangan,
dosa-dosa gitu, utawa kesalahan-kesalahan. Belum sesempurna
apa yang diharapkan. (W. R. II. 03. 633-642).
140
b. Realisasi Diri
Responden adalah seorang yang menerima kodrat kemanusiaan dan
perbedaan. Responden menganggap bahwa kodrat manusia adalah seperti roh
yang suci, yang suka berbuat baik sesuai dengan ajaran Tuhan. Selain itu kodrat
menurut responden diibaratkan seperti takdir, harus berusaha merubah dan
menjadi lebih baik namun dengan jalan yang baik dan mendekat dengan Tuhan.
Responden menerima kodrat manusia yang dipahami sebagai takdir namun juga
tidak ingin menyerah pada nasib. Manusia harus menerima takdir yang dituliskan
Tuhan namun juga mau merubahnya menjadi lebih baik dengan jalan yang baik
dan mendekat pada Tuhan.
Kalau menurut, Budhe kodrat manusia yang seharusnya itu
bagaimana? Kodrat? Ya itu tadi kalau jiwa manusia ini kan ada
roh suci. Nah kodratnya juga harus berbuat seperti roh suci.
Berbuat kebaikan sesuai ajaran Tuhan. Ning manusia kalau sudah
di kodratkan di dalam sangkan paran, yang dulu pernah berbuat
seperti itu, terus diciptakan lagi. kodratmu ik kalu kita tidak mau
merubah, kodrat itu kan seperti takdir to mbak? Kalau kita tidak
berusaha merubah, lha misale kodrae we arep dadi wong sugih,
kita malas bekerja, kan kita melawan kodrat. Nah malas-malasan
kan kita enggak bisa kan kita jadi orang kaya. Seperti itu. Nek
kodrate dadi wong ora duwe, sanajan warisane akeh, ndilalah
tumindake ora bener, opo diapusi uwong, opo lah. Nah ini harus
kita lawan. Tuhan tidak akan merubah kodrat manusia, kalau kita
141
sendiri tidak merubah. Lha nek gitu kita harus hati-hati, mendekat
pada Sang Pencipta. Lha misale wong ki arep kejeglokan kelopo,
karena kita mendekat kepada Tuhan dadine kejeglokan pelem wae
ora loro. Dapet pengentheng-pengentheng. Tapi nek ora mendekat
kejeglokan kelopo, eh malah sing akeh sisan. Hahahaha. (W. R.
II. 03. 1112-1131).
Beberapa jawaban responden menunjukkan bahwa responden adalah
seorang yang sangat menghagai perbedaan agama, maupun ras, dan golongan.
Seperti halnya responden I, responden II juga hidup di tengah-tengah perbedaan
agama, orang tuanya seorang Islam, dan pembantunya yang setiap hari bekerja di
warung makan miliknya juga seorang muslim, sedangkan dia sendiri beragama
Kristen dan cukup taat. Beberapa cerita tentang sikap responden terhadap
pembantunya yang suka mencuri menunjukkan bahwa sikap responden sangat
menghargai, dan menerima perbuatan pembantunya. Responden tidak ingin
melukai hati pembantunya dengan mengeluarkannya dari pekerjaan dengan cara
yang buruk sehingga tidak terjadi pertengkaran kemudian memutus tali
persaudaraan diantara keduanya. Meskipun pembantunya berbeda keyakinan
dengan responden. Tidak berbeda dengan responden I, responden II pun beralasan
bahwa semua umat manusia ini ciptaan Tuhan sama dengan dirinya dan mengapa
pula tidak saling membantu padahal tujuan semua manusia adalah sama yaitu
kembali kepada Tuhan hanya jalannya saja yang berbeda.
Sak niki mbak nek jenenge uwong ora saling menghargai, lha sak
niki kula Kristen, orang tua Islam to mbak kok iso seiring to mbak
142
wong urip bareng-bareng. Sing penting iso kerja sama, nggih to?
Wong kabeh ciptaane Tuhan. Nek rewang kulo ora sholat, nggih
kulo sengeni. “mbak luhur, mbak sholat, ngashar opo magrib”
seperti itu kita saling mengingatkan. Saat pengajian, “mbak kowe
kok ora pengajian, ngopo?”, nah gitu. Kalau saya mau ke gereja,
yo dielingke, “Budhe nang gereja mboten, beston mboten?”, gitu.
Jadi kita saling menghargai, jadi komunikasinya kan bagus,
ngaten. (W. R.II. 03. 1102-1111).
Responden menjelaskan bahwa dalam menerapkan prinsip Bhineka
Tunggal Ika dalam kehidupan sehari-hari harus pandai-pandai menempatkan diri.
Hal ini berhubungan dengan saling menghormati dan menghargai. Dalam ajaran
Pangestu memang dituntun agar menghargai semua umat manusia, menghargai
dan menghormati umat agama lain. Jika seorang Pangestu menjalankan ajaran
Pangestu dengan baik, sudah otomatis kehidupan bertoleransi dan berbhineka
tunggal ika akan dijalankan dalam kehidupan sehari-hari.
Nah, kalau menurut Budhe menerapkan prinsip bhineka
tunggal ika dalam kehidupan sehari-hari, itu bagaimana? Kita
harus pandai-pandai menempatkan diri. Nah ini kalau
hubungannya saling menghargai, saling menghormati tadi. Yang
kalau tadi kita berlainan agama, kan tujuannya sama. Misalnya
mau ke Solo, ada yang lewat Sragen, lewat Karanganyar. Lah ini
mengapa kita tidak saling mengingatkan, saling menjaga? Kalau
dalam bhineka kan harus menghargai kerukunan, nggih to mbak?
143
Kalau kita bisa menjalankan kodrat ajaran otomatis, bhineka
tunggal ika kita jalankan sehari-hari. Nggih to? Hehehe… (W. R.
II. 03. 1132-1142).
Hal ini menunjukkan responden memenuhi ciri pertama realisasi diri yaitu
menerima kodrat manusia pada umumnya, memiliki kesadaran dan toleransi yang
lebih besar terhadap kondisi umat manusia, dan berempati dengan masalah
kemanusiaan, tanpa memandang ras, golongan, dan agama.
Responden tentunya adalah pribadi yang sangat meyakini akan adanya
Tuhan. Terbukti karena berdasarkan pengamatan selamapengambilan data,
responden tiap minggu pergi ke gereja. Dan dari banyak pembicaraan selama
pengambilan data, responden sering menghubungkan masalah sehari-hari dengan
rencana atau kehendak Tuhan (W. R. II. 02. 198-200; 205-207; 439-447; 437-
448). Selain itu responden juga mempercayai hal-hal yang misterius dan
supranatural seperti takdir, mahkluk halus, surga, neraka dan kematian.
Responden dalam banyak kesempatan sering mengungkakan bahwa hidupnya
sudah dekat dengan kematian.
Nggih niku wau, carane srengenge wis pangklong dadi wong ki
umure wis kari pirang dino kas, dadi lagi kroso meh tobat.
Hehe…Baru menyadari, baru sangat membutuhkan, nek boten
nggih yi dianggap alah opo ngunu kuwi, alah…. Hehe…. Wis
umur……. Tapi kan mung ucapan lha nek koyo niku ngoten-ngoten
eh yo penting tenan. (W. R. II. 02. 182-187).
144
Responden juga nampak banyak berusaha untuk memperbaiki
hubungannya dengan Tuhan. Responden merasa banyak dosa, dan berusaha
memperbaiki diri dengan semakin mendekat dengan Tuhan. Banyak
permasalahan hidup yang diselesaikan dengan memperbanyak kepasrahan kepada
Tuhan, seperti masalah responden dengan pembantunya, masalah rejeki, bahkan
masalah rumah tangga. Oleh karena itu responden mendapat ketenangan dan
ketentraman.
Kalau dalam kepribadian atau karakter Budhe,bagaimana?
Didalam kehidupan sebelum menghayati Pangestu itu ajaran-
ajaran mungkin didalam batin itu tidak tenang, ketentraman
tidak ada, kedamaina di dalam rumah tangga, tidak ada. Tidak
ada kekompakan. Tapi setelah menyiswa, setelah menghayati
ajaran semua itu yo rumah tangga merasa ada kedamaian, ada
ketentraman antara pakdhe, sama anak, dan sama lingkunganya
pun merasa jauh sekali sebelum kita mengenal. Sekarang sudah
ada rasa panarima. Apa yang ada didepan saya sudah saya
syukuri, itu yang membuat kita rasakan tenang. Gimana ya
mbak…orang yang menyiswa dan tidak itu mesti ada bedanya.
Misalnya kalau kita merasa sedih, orang awam pasti larinya ke
dukun atau paranormal. Tetapi kita sudah punya senjata yaitu
berserah kepada Tuhan. Meski kita akan mendapatkan apa yang
kita inginkan dalam arti kita bias merasakan ketenangan dalam
berdoa, Tuhan akan memberikan jalan ketenangan. Kan
145
misalkan hati kita sedih, sedang dalam menghadapi masalah,
apa yang membuat hati kita gelap. Tapi setelah mendekat,
berserah itu kita ada pepadhang dari Tuhan, gitu. (W. R. II. 03.
650-674)
Selain meyakini akan adanya Tuhan, responden juga mempercayai hal-hal
yang tidak diketahui secara kasat mata di alam semesta seperti indra keenam serta
hal-hal misterius yang tidak banyak disadari. Responden percaya bahwa manusia
diciptakan Tuhan hidup berdampingan dengan mahkluk lain yang tidak kelihatan
yaitu mahkluk halus.
Kalau memandang alam semesta, gimana Budhe? Alam donya
niku kan misterius, ada yang kita ketahui, ada yang tidak. Nah
itu menurut Budhe gimana? Misale punden, roh halus,
gendruwo ngaten to mbak? (Kemudian Budhe berdiri dan
menunjukkan kepada saya suatu kitab tentang pewayangan Jawa
yang hubungannya dengan alam kadewatan. Tapi karena kitab itu
tidak ada penjelasanya dan hanya terdapat gambar, Budhe
berusaha menjawab pertanyaan peneliti dengan kalimatnya
sendiri). Panca indera manusia itu kan sebetulnya ada indera
keenam. Kalau orang-orang biasa, kalau ada apa-apa kan kita
enggak tahu. Kalau kita mendekat, misalnya saja diberi
pengetahuan lebih oleh Tuhan, misalnya saja ada roh halus disitu,
dia tahu. Nah jin-jin itu kan tidak semuanya jahat, ada yang suka
menolong, ada yang untuk pesugihan itu, ada yang mengganggu
146
tapi kalau misalnya kita tidak mengganggu, mereka juga tidak
mengganggu. (W. R. II. 03. 1143-1159).
Ini menunjukkan bahwa responden II memenuhi ciri kedua realisasi diri
yaitu menerima hal-hal yang misterius, tidak disadari, dan hal yang berhubungan
dengan kewaskitaan, supranatural, dan kepercayaan akan adanya Tuhan.
Selanjutnya untuk ciri ketiga realiasasi diri yaitu tentang kepribadian yang
universal ternyata tidak jauh berbeda dengan apa yang ditunjukkan oleh
responden I. Jawaban responden II tidak menunjukkan ciri yang spesifik yang
bisa menunjukkan bahwa terjadi perubahan struktur kepribadian selama reponden
menghayati ajaran Pangestu dan memiliki pengalaman mistik selama melakukan
panembah. Responden mengaku bahwa setelah benar-benar menghayati ajaran
Pangestu, menerapkan sendiri ajarannya, dan merasakan sendiri pengalaman-
pengalaman selama melakukan panembah telah terjadi banyak perubahan dalam
diri dan kehidupan pribadinya. Responden merasa lebih sehat, merasa bahwa
banyak sifat buruknya yang menjadi lebih baik sekarang, dan hubungan dengan
orang lain juga menjadi lebih baik, hubungan dengan keluarga menjadi semakin
kompak.
Ee… selama ini, selama 5 tahun ini menghayati Pangestu,
walaupun sebelumnya sudah tahu, perasaanya gimana?
Perasaanya yo luwih tenang, luwih tentrem sak wene mpun
menghayati ngono.Ooh…ngoten…? Nggih, pokoke misalkan
dhek mbiyen nggih budhe, perkara napa-napa ngoten langsung
mak prempeng ngoten, sak niki mboten. Oh yow is ben…pasrah
147
karo Gusti Allah. Ya piker sek tak nalar. Prempeng?? Emosi,
misale…..hueh..huh (responden memperagakan tangan kanan
diremas-remas dan dipukul-pukul di atas tangan kiri.
Langsung pipine uabang…brangasan). Emosinya di depan. Sak
niki eh nggih iso rodo nekon sithik, eh..sing penting Gusti Allah,
perso nek ngoten kan iso rodo nekan sithik. Hwah nek mbiyen opo-
opo sithik brangasan. Hueh..huh..akhirnya kita sendiri yang rugi.
Kesehatan terganggu…ngoten niku. Kenapa ko merasa lebih
sehat ? Ya karena ada ketenangan itu tadi kan semua jiwa yang
tenangkan mempengaruhi lha niku sing kulo pengeni. Supaya
sehat tenan kan jiwa yang tenang kan bedo mbak karo jiwa sing
brangasan, otomatis mengko darah tinggi… thuru… thut… thut…
thut. Hehehe. (W. R. II. 02. 193-215).
Responden merasa sekarang semakin bisa mengendalikan emosi dan amarah,
serta lebih sabar dan iklas dalam menjalani hidup. Rasa sosial juga terasa lebih
mudah.
Sampai penghayatan sejauh ini dalam Pangestu…Mm…ada
perubahan ga dalam diri Budhe? Ada. Banyak. Apa aja,
Budhe? Misalkan nek kulo biasane gampang emosi. Mm..
misalnya dalam hidup bermasyarakat. Mm…. difitnah,
et…hem…dirasani uwong misalnya, sing A ngomong,’’ mbak kowe
dirasani iki’’. Biasane kan mak bel…Emosi, sekarang tidak
misalnya gitu. Terus rasa sosialnya niku merasakan kurang, tapi
148
sekarang karena berkat yang diberikan pada kita rasa sosialnya,
entah berupa apa, walaupun tak berharga tapi mungkin kita sudah
punya rasa itu. (W. R. II. 03. 643-654).
Responden juga merasakan ketenangan dan ketentraman setelah menghayati
ajaran Pangestu. Kehidupan rumah tangga menjadi lebih kompak.
Kalau dalam kepribadian atau karakter Budhe,bagaimana?
Didalam kehidupan sebelum menghayati Pangestu itu ajaran-
ajaran mungkin didalam batin itu tidak tenang, ketentraman tidak
ada, kedamaian di dalam rumah tangga, tidak ada. Tidak ada
kekompakan. Tapi setelah menyiswa, setelah menghayati ajaran
semua itu yo rumah tangga merasa ada kedamaian, ada
ketentraman antara pakdhe, sama anak, dan sama lingkunganya
pun merasa jauh sekali sebelum kita mengenal. Sekarang sudah
ada rasa panarima. Apa yang ada didepan saya sudah saya
syukuri, itu yang membuat kita rasakan tenang. Gimana ya
mbak…orang yang menyiswa dan tidak itu. (W. R. II. 03. 655-
665).
Namun responden mengakui bahwa dirinya masih merasa kurang dalam
sifat iklas. Responden masih merasa kurang iklas terlebih setelah sepeninggal
orang tuanya. Ada rasa dimana responden belum merelakan kematian orang
tuanya. Namun dibalik itu responden merasa bersyukur mengenal pangestu.
Responden mengatakan bahwa sekarang menjadi lebih tenang, karena jika tidak
betapa menderitanya dirinya. Pangestu dan agama harus seiring, inilah yang
149
membuat responden merasa lebih menerima hidup. Dengan mengenal Tuhan
responden merasa bahagia walaupun masih dirasa kurang atau belum sempurna
menjalankan ajarannya.
Setiap manusia kan punya kelebihan dan kekurangan. Selama
ini, sejauh menghayati pangestu, apa yang budhe rasakan
terhadap kekurangan dan kelebihan Budhe? Kekurangan saya
mm…saya sering merasa kekurangan. Disini ini.. rasa tidak iklas
itu sering muncul. Padahal disitu itu ada lima. Pancasila itu, rila,
narima, temen, sabar, budi luhur. Untuk mencari rila kan iklas,
mbak. Rasa iklas ki, apalagi saat-saat sekarang itu waktu mbah
kakung meninggal itu, sering sekali muncul rasa tidak iklas.
Mengapa orang tua sudah dipanggil, kadang saya sering
menangis, sering ini mengulang kembali. Ini kan rasa tidak iklas,
mbak. Nah,ini sering menghantui mengulang kembali. Ini kan rasa
tidak iklas, mbak. Nah, ini sering menghantui dan untuk saya
rasakan kelebihan saya, seandainya saya tidak mengenal ini,
seperti apa jiwa saya, lebih menderitanya diri saya. Itu kelebihan
dan kekuranganya. Jadi kelebihanya tuh disini to untuk
menghibur, dari pribadi, seumpamane saya tak mengenal
pangestu, tidak mentaati peraturannya, walaupun anu yo mbak,
piye yo mbak. Mm…Pangestu dengan agama kan harus seiring. Yo
kan?! misalkan saja belajar tentang keagamaan terus, tidak
disertai Pangestu. Saya kira, jalan tidak seimbang. Saya
150
menghadapi pangestu terus, tapi dalam tata keorganisasian kan
kita harus mengikuti agama, seperti pernikahan, kematian kan
ada tata caranya, tapi untuk jiwa, seandainya kita mengenal
Tuhan, tidak sungguh-sungguh alangkah menderitanya jiwa kita.
Nah kelebihannya saya merasa beruntung sekali, mengenal Tuhan
dan masuk dalam pangestu ini. Merasa beruntung itu kelebihan
kami. Kekurangannya yaitu belum saya itu, belum, rasa-rasanya
masih belum benar-benar menjalankan perintahnya, rasa iklas,
rasa sabar, masih kurang, rasa panarima, ini kadang-kadang
masih timbul rasa tidak panarima juga. (W. R. II. 03. 782-818).
Ini menunjukkan adanya kesadaran dalam diri responden untuk menerima
kekurangan dan terus berusaha untuk memperbaikinya. Responden sadar bahwa
dirinya memiliki sisi gelap dan terus berusaha menekan kemunculannya dalam
perilakunya meskipun itu sulit karena dia manusia biasa.
Jane ucapannya cuma sabar, tapi sulit sekali menjalankannya
seperti menghadapi pembeli yang tidak sesuai dengan nurani kita,
kadang emosi, rasa sabar ini yang sulit sekali……hahaha. Jujur
saja, mbak rasa tidak iklas ini sekarang-sekarang ini sering
muncul sepeninggal mbah kakung, alah…..mengapa begitu cepat
simbah itu dipanggil Allah ini,mengapa…..lha disini kadang-
kadang menangis sendiri. Nah ini kan kadang-kadang membuat
jiwa kita tidak sehat karena tidak bisa menjalankan pancasila.
Nah itu tadi untuk menjalankan ya kita berusaha, tapi manusia
151
masih banyak kekurangan. Setiap bangun tidur saja, berdoa, minta
kekuatan dan kesabaran. Nah baru berdoa saja kan ini kan sabar
sudah hilang lagi. Nah bangun ketemu pakdhe ah…ha..ha.. Kan
sulit sekali untuk menjalankan apa yang kita harapkan, apa yang
kita inginkan, tapi kan mengapa tidak menjalankan yang sulitnya
jalan tadi. Kita ibaratkan orang jalan. Jalan setapak menuju
kebaikan itu kan banyak duri-durinya, kita harus pegangan kuat.
Memang ada kelebihan dan kekurangan. Kalo kita menerima
anugerah, menerima kedamaian, disini waah sering merasa
bahagia sekali. Tapi kadang-kadang entah sebulan sekali, entah
sedetik, diberi ujian sedikit saja sudah menghujat Tuhan. (W. R.
II. 03. 818-838).
c. Aktualisai Diri
Pengalaman mistik pangestu yang dirasakan oleh responden II ternyata
menunjukkan banyak perubahan pada diri dan kehidupan pribadi. Seperti sudah
banyak diungkapkan pada sub bab realisasi diri diatas, responden mengaku
merasa lebih sehat, karena merasa lebih sabar dan tidak cepat marah (W. R. II. 02.
196-215). Responden merasa sekarang merasa ada ketenangan dan ketentraman di
dalam hati. Responden mengatakan bahwa jiwa yang tenang akan berbeda dengan
jiwa yang brangasan atau jiwa yang terburu-buru dan penuh emosi. Menurut
responden jiwa yang brangasan dapat memicu penyakit darah tinggi.
Kenapa ko merasa lebih sehat ? Ya karena ada ketenangan itu
tadi kan semua jiwa yang tenangkan mempengaruhi lha niku sing
152
kulo pengeni. Supaya sehat tenan kan jiwa yang tenang kan bedo
mbak karo jiwa sing brangasan, otomatis mengko darah tinggi…
thuru… thut… thut… thut. Hehehe. (W. R. I. 02. 210-215).
Dulu sebelum menghayati pangestu dan menerapkan ajarannya responden
sering terpicu emosinya, emosional, dan mudah marah. Namun setelah mulai
menghayati pangestu, responden sekarang memasrahkan semua yang terjadi
kepada Tuhan sehingga perasaan menjadi lebih tenang dan tentram.
Ee… selama ini, selama 5 tahun ini menghayati Pangestu,
walaupun sebelumnya sudah tahu, perasaanya gimana ?
Perasaanya yo luwih tenang, luwih tentrem sak wene mpun
menghayati ngono. Ooh…ngoten…? Nggih, pokoke misalkan
dhek mbiyen nggih budhe, perkara napa-napa ngoten langsung
mak prempeng ngoten, sak niki mboten. Oh yow is ben…pasrah
karo Gusti Allah. Ya piker sek tak nalar. Prempeng?? Emosi,
misale…..hueh..huh (responden memperagakan tangan kanan
diremas-remas dan dipukul-pukul di atas tangan kiri.
Langsung pipine uabang…brangasan). Emosinya di depan. Sak
niki eh nggih iso rodo nekon sithik, eh..sing penting Gusti Allah,
perso nek ngoten kan iso rodo nekan sithik. Hwah nek mbiyen opo-
opo sithik brangasan. Hueh..huh..akhirnya kita sendiri yang rugi.
Kesehatan terganggu…ngoten niku. (W. R. II. 02. 193-209)
153
Hubungan dengan orang lain pun menjadi lebih baik, dengan keluarga,
anak dan suami, semuanya menjadil lebih kompak. Rumah tangga dirasakan lebih
nyaman.
Didalam kehidupan sebelum menghayati Pangestu itu ajaran-
ajaran mungkin didalam batin itu tidak tenang, ketentraman tidak
ada, kedamaina di dalam rumah tangga, tidak ada. Tidak ada
kekompakan. Tapi setelah menyiswa, setelah menghayati ajaran
semua itu yo rumah tangga merasa ada kedamaian, ada
ketentraman antara pakdhe, sama anak, dan sama lingkunganya
pun merasa jauh sekali sebelum kita mengenal. Sekarang sudah
ada rasa panarima. Apa yang ada didepan saya sudah saya
syukuri, itu yang membuat kita rasakan tenang. Gimana ya
mbak…orang yang menyiswa dan tidak itu mesti ada bedanya.
Misalnya kalau kita merasa sedih, orang awam pasti larinya ke
dukun atau paranormal. Tetapi kita sudah punya senjata yaitu
berserah kepada Tuhan. Meski kita akan mendapatkan apa yang
kita inginkan dalam arti kita bias merasakan ketenangan dalam
berdoa, Tuhan akan memberikan jalan ketenangan. Kan misalkan
hati kita sedih, sedang dalam menghadapi masalah, apa yang
membuat hati kita gelap. Tapi setelah mendekat, berserah itu kita
ada pepadhang dari Tuhan, gitu. (W. R. II. 03. 656-674).
Selain hubungan dengan keluarga, responden juga merasa rasa sosialnya
semakin meningkat. Karena berkat dan rejeki yang diberikan Tuhan membuat
154
responden merasa lebih mudah memberi dan berbagi walaupun tidak seberapa
namun perasaan ingin memberi itu sudah ada.
Misalkan nek kulo biasane gampang emosi. Mm.. misalnya dalam
hidup bermasyarakat. Mm…. difitnah, et…hem…dirasani uwong
misalnya, sing A ngomong,’’ mbak kowe dirasani iki’’. Biasane
kan mak bel…Emosi, sekarang tidak misalnya gitu. Terus rasa
sosialnya niku merasakan kurang, tapi sekarang karena berkat
yang diberikan pada kita rasa sosialnya, entah berupa apa,
walaupun tak berharga tapi mungkin kita sudah punya rasa itu.
(W. R. II. 03. 647-659).
Responden II pun memiliki toleransi yang besar dengan masyarakat.
Responden hidup rukun dengan pembantunya yang Islam dan ada kerja sama
yang baik diantara keduanya. Responden dan pembantunya saling mengingatkan
untuk menjalakan ibadah sesuai dengan agama masing-masing.
Sak niki mbak nek jenenge uwong ora saling menghargai, lha sak
niki kula Kristen, orang tua Islam to mbak kok iso seiring to mbak
wong urip bareng-bareng. Sing penting iso kerja sama, nggih to?
Wong kabeh ciptaane Tuhan. Nek rewang kulo ora sholat, nggih
kulo sengeni. “mbak luhur, mbak sholat, ngashar opo magrib”
seperti itu kita saling mengingatkan. Saat pengajian, “mbak kowe
kok ora pengajian, ngopo?”, nah gitu. Kalau saya mau ke gereja,
yo dielingke, “Budhe nang gereja mboten, beston mboten?”, gitu.
155
Jadi kita saling menghargai, jadi komunikasinya kan bagus,
ngaten. (W. R. II. 03. 1102-1111).
Pandangan responden dalam banyak hal yang terjadi di dunia ini hampir
selalu dihubungkan dengan Tuhan. Seperti menanggapi perbedaan agama,
responden mengatakan bahwa semua manusia adalah ciptaan Tuhan, agama
hanyalah sebagai suatu jalan, walaupun berbeda-beda tujuannya adalah sama
yaitu Tuhan, mengapa semua orang tidak saling membantu dan saling bekerja
sama (W. R. II. 03. 1132-1142). Responden yang dulunya tidak pernah ke gereja
sekarang menjadi rutin ke gereja karena itu adalah suatu kebutuhan. Responden
juga berusaha selalu mendekat kepada Tuhan dengan banyak berdoa, tidak hanya
pada saat susah saja, namun diusahakan untuk selalu mengingat Tuhan setiap saat.
Beda banget ya, Budhe ? Beda. Sudah jauh berbeda dulu saya
enggak pernah ke Gereja. Agama saya Kristen, belum mengenal
pangestu. Yo mengenal tapi belum menghayati kadang kalo inget,
ke Gereja, kalo enggak yo enggak. Tapi sih masuk dan menghayati
yo kita semakin aktif ke Gereja, karena itu ternyata suatu
kebutuhan. Lha dalam masuk pangestu itu seakan-akan diabaikan,
ternyata pangestu bukan agama tapi menguat jiwa, menunjuk kan
mana yang benar, mana yang harus ke Gereja. Perbedaanya jauh
sekali. Yang dulu dong-dongan yen longgar saja. Sekarang wong
itu kebutuhan ya harus kita usahakan, dulu doa, waktu lagi susah
aja langsung datang kepada Tuhan untuk memberi pertolongan itu
lah setelah ikut pangestu, kita eling itu dan menyadari kita ciptaan
156
Tuhan, mengapa kita tidak dating kepada Tuhan. Lha sehari dulu
itu misalkan doa Cuma sekali, sekarang setelah ikut Pangestu, kita
resapi, kita hayati kita bias setiap saat berdoa. Misalkan kita tidak
sempat meluangkan waktu masuk kemari dan duduk. Tapi saat
memasak atau dalam perjalanan pun kita bisa mendekat. Disitulah
perbedaanya. Jauh sekali….(W. R. II. 03. 675-694).
Sebisa mungkin menurut responden seseorang harus mensyukuri apa yang
diberikan Tuhan. Manusia memang harus berusaha namun juga sebaiknya
mensyukuri apa yang diterima. Tidak mensyukuri membuat pikiran menjadi
ngongso atau terpaksa, tertuntut, dan berambisi. Perasaan bersyukur dan berserah
kepada Tuhan membuat responden merasa berkecukupan dan kecukupan ini
sesuai dengan kekuatannya.
Kadang-kadang wah sing penting uripe sugih neng donya we.
Seperti Tuhan bersabda, ‘’ Banya murid, tapi sedikit terpilih’’.
Kita pun berusaha semaximal mungkin dihadapan Tuhan belum
apa-apa tapi niat ingsun usaha, entah dihadapan Tuhan yang
menilai. Tapi setelah kita betul-betul berserah, menghadapi apa
yang ada dihadapan kita, ya semua orang karepe yo sugih yo
menurut kekuatan. Misalkan saja kita sehari biasanya dapat 50
ribu, hari ini mendapat 100 rb tidak kita syukuri, ini kan ngongso
pikirane, dan tidak kita syukuri akhire golek pelarian lah. Nah
inilah goda yang paling besar. Bila kita berserah, apa yang kita
dapatkan kita syukuri, tapi bisa membuat kecukupan pada
157
kehidupan kami. Nah kecukupan ini tadi sesuai dengan kekuatan
kita. Nah nek wong kuwi lagi mbrangkan terus pingin ngadeg kan
mesti jatuh. (W. R. II. 695-709).
Pernyataan responden menunjukkan bahwa budi pekerti yang baik itu sulit
dicapai dan hanya orang lain yang bisa menilai. Sering orang lain itu menilai
seseorang buruk dan belum tentu banyak orang menyukai sikap seseorang.
Responden mengatakan bahwa hanya sedikit saja orang yang biasanya menyukai
sikap masing-masing orang, namun walaupun begitu tetap saja harus terus berbuat
baik. Dan untuk mendapatkan hal ini (image diri yang baik) itu tidak perlu banyak
sanjungan, yang paling penting adalah terus berbuat baik.
…tetangga kan udah dilihat orang itu kaya atau miskin. Tapi
tentang budi pekerti ini sulit sekali kan untuk dibaca kalo kita
tidak berusaha menunjukkan kepada masyarakat atau kepada
tetangga, misalkan he wong kuwi dek mben gawene galak kok
saiki ora, ndek mben gawene ngene ternyata kan, disini kita
harus perubahan ini kita berusaha berubah bukan kita yang
menilai tapi orang lain yang menilai, lha disini. Dadi entah
orang itu menilai seperti apa terserah menilai kita tapi yang
penting kita berusaha untuk berbuat baik … lha untuk
mendapatkan ini tidak perlu mendapat sanjungan dari orang-
orang tapi yang penting kita berusaha berbuat baik kalo ada
hasil atau tidaknya kita yang merasakannya. Nggih to mbak,
masalah orang wong kie, wong njobo wah wong iki saiki sugih,
158
wonge saiki berhasil tapi dari segi itu bagaiman jalan mendapat
rejeki itu tapi kalo budi pekerti perilaku, lha ini sulit sekali. (W.
R. II. 03. 711-748).
Karena sikap yang berusaha mendekat kepada Tuhan, pasrah, sabar, dan
terus berusaha menjadi pribadi yang lebih baik sesuai dengan ajaran Pangestu
maka di hati ada rasa kedamaian. Dengan terus berbuat baik dan taat pada ajaran
maka perasaan menjadi damai, tenang, dan tentram.
kalo kita tau taat kepada ajaran seperti hal-hal yang seperti ini tidak
perlu kita ucapkan, kita lihat lebih teliti, kita tidak tau gitu saja kan
disini ada perdamaian tidak dapat tekanan darisana, darisini. (W. R.
II. 03. 768-771).
Sekarang responden merasa harus terus berbuat baik, mengikuti tuntunan
agama dan ajaran pangestu. Hal ini karena semua keinginan sudah berkurang dan
keinginan responden sekarang hanya ingin mendekat kepada Tuhan untuk sangu
pati atau bekal kematian. Bekal ini bukanlah harta dunia, namun kesucian. Karena
inilah responden ingin terus berbuat baik kepada orang lain.
Ya. Iki pangestu ini adalah rasa panarima tadi, untuk keinginan yang
tersampaikan…Mm…kalau kita sudah mengingat umur ya mbak? kalo
umur diatas 30-40 tahun kan misalkan matahari kan masih berada di
tengah, keinginanya sekuat tenaga, ingin mencapai setinggi langit,
tapi kalau sudah mencapai umur 40 keatas, nah kan ibarat sinar
matahari kan sudah glewang. Nah disini kan sudah orang seakan-
akan sudah pangklong srengenge iku, nah kalo orang belajar
159
keagamaan, belajar pangestu, dalam taat beragama karena disini
semua keinginan sudah berkurang, mbak. Ya keinginan cuma ingin
mendekat, dan untuk sangu pati. Dan sangu pati ini tidak butuh bondo
donya, mbak. Yang dibutuhkan hanya kesucian. Lha untuk mencapai
kesucian ini, kita harus merubah segalanya. Yang dirubah bukannya
keinginan, tapi yang dirubah Cuma watak kita. Yang dulunya tamak,
sekarang tidak ramak. Yang dulunya brangasan, sekarang harus kita
tekan. (W. R. II. 03. 855-871).
Meskipun berulang kali diungkapkan bahwa responden berusaha terus mendekat
kepada Tuhan dan terus berserah, ternyata responden juga mengungkapkan bahwa
responden masih merasa cemas akan masa depan ataupun hari-hari esok.
Responden merasa was-was dan untuk menghilangkannya sulit sekali. Responden
masih sering merasa was-was tentang masa depan baik masa depannya maupun
masa depan keluarga juga tentang pekerjaan.
Selama menghayati pangestu, ada kecemasan, kekhawatiran
enggak akan masa depan, Budhe? Itu masih ada, mbak. Masih
ada? Waktu mbah kakung mau meninggal itu kan saya pernah baca
sedikit di kitab sabda khusus itu tentang anu orang was-was,rasa
kuatir. Saya itu ngopo nggih, kalo sekarang kuatir, merasa was-was.
Gimana cara untuk menghilangkan rasa was-was itu. Itu sulit sekali
memang, kadang-kadang ya ini menghilangkan memang sulit sekali
rasa was-was itu. Ya memang saya sering sekali merasa was-was.
Apalagi masih banyak keluarga. Gimana nanti kehidupan anak saya.
160
Hidup keluarga saya. Apakah nanti bias masuk surga tidak.
Bagaimana nanti dapat jodoh yang bagaimana. Rasa kuatir tetap
menghantui. Ini sering muncul, tidak cuma sekali, dua kali dalam
sehari, dua hari. Misalkan dalam jualan, kalau kita tidak bisa
memegang teguh jiwa kita. Dodolanku mengko payu po ra. Ini kan
rasa kuatir. Ini nanti kalo ada perubahan pekerjaan, pekerjaan yang
lain, iki piye, lha terus ngko piye, laaah…Rasa kuatir itu sering
muncul. Rasa kuatir dan rasa was-was. Tidur sampe mandi, sampe
tidur lagi, seringkali muncul. Kadang saat makan saja, saya bias
berpikir iki mengko piye yo….. (W. R. II. 03. 915-937)
Setelah menghayati ajaran pangestu, perasaan was-was ini sudah berkurang
walaupun masih ada. Perasaan was-was ini sekarang timbul dan tenggelam,
sedangkan kalau dulu perasaan was-was ini hampir terus muncul.
Sampai sekarang? Sampai sekarang. Berkurang atau tidak? Ya
berkurang. Kalau dulu yang dimakan apa, rasa kuatir full, hampir
satu hari full. Tapi setelah ikut pangestu yo muncul, tenggelam,
muncul. Ada tenggelamnya dulu, nanti kuatirnya full, nah sekarang yo
mungkin timbul tenggelam, timbul tenggelam, rasa kuatirnya. (W. R.
II. 03. 938-945).
Responden juga menerangkan bahwa sekarang usaha warung makannya
sudah memiliki pelanggan, padahal dulu harapan tinggalah harapan, tidak ada
usaha untuk mewujudkannya. Sekarang setelah berserah kepada Tuhan, usaha
warung makannya telah memiliki tempat tetap untuk berjualan dan tidak perlu
161
menawar-nawarkan untuk mencari pelanggan. Responden menjelaskan bahwa
dalam berdagang ataupun bekerja mencari keuntungan adalah suatu hal yang baik
namun harus dengan cara yang wajar. Jika Tuhan sudah berkehendak maka
kesuksesan akan datang, dan responden merasa bersyukur karena sampai sekarang
pelanggannya tidak ada yang kapok. Kalau seseorang itu taat kepada tuntunan
agama dan ajaran pangestu, selalu bersyukur kepada Tuhan, menerima segala
yang terjadi maka akan ada ketentraman dan kedamaian di hati. Bekerja
sebaiknya sekuatnya untuk mendapatkan rejeki dan tidak perlu di paksa.
Oh, nggih. Misalkan dulu, kita punya harapan, ya tinggal harapan
thok, misalkan pembeli aja kita harus ndadak nawak-nawake kesana-
kemari. Tapi setelah betl-betul berserah, serah kepada tuhan, kita
tidak menawarkan, orang yang mencari kita. Tak usah mencari
pelanggan keman-mana … Orang dagang mencari keuntungan adalah
hal yang baik, tapi dengan jalan yang wajar. Untunge pelanggan-
pelanggan saya enggak ada yang kapok. Orang lewat misalkan
kebetulan lewat pasti bilang, “ kalau saya lewat, saya pasti mampir
sini karena saya cocok masakane”, gitu … Nek uwis taat, disyukuri,
ditrimo yo kuwi sing penting disini ada kedamaian, ketentraman.
Nyambut gawe sak kuwate, lantaran pengen entuk rejeki, yo kudu
usaha, sak mampune. Ora usah dipeksa. Itu. (W. R. II. 03. 1054-
1092).
Pernyataan-pernyataan responden II ketika pengambilan data ini menunjukkan
perubahan dalam diri, hidup, dan pandangan terhadap dunia setelah menghayati
162
ajaran Pangestu. Penghayatan responden terhadap ajaran pangestu ini
mengantarkannya pada pengalaman-pengalaman mistik ketika melakukan
panembah ataupun berdoa dan membawa responden pada perubahan dalam diri
dan hidupnya. Satu pernyataan yang sering diungkapkan adalah perubahan diri
menjadi lebih sabar dan tidak emosional, perubahan hidup yang menjadi lebih
kompak dalam rumah tangga, lebih bertoleransi dengan orang lain, dan semakin
rajin beribadah. Hal ini yang membuat responden merasa damai, tenang, dan
tentram. Ini menunjukkan bahwa responden lebih menikmati hidup.
3. Hasil Wawancara Responden III
a. Pengalaman Mistik
Responden III mengaku seorang muslim, namun dengan jujur responden
mengatakan bahwa dia tidak melakukan ibadah sholat. Ekspresi keagamaanya
langsung pada ritual panembah menurut ajaran Pangestu. Responden III mengaku
merasa kurang puas dalam menjalankan syariat Islam. Responden memilih
beragama Islam hanya karena tuntutan yang diberlakukan pemerintah.
Ini kan ga dibatasi waktu, saya ga sholat saya ikuti Pangestu, jadi
ikuti manembah…ya manembah Pangestu. Memang agama saya
Islam, tapi saya tidak melaksanakan syariat Islam rasanya kurang
puas..sedangkan peraturan pemerintah kan enggak seperti itu. (W.
R. III. 01. 116-120).
Responden III melaksanakan panembah wajib minimal tiga kali sehari, dan sekali
waktu pada waktu tengah malam. Menurut responden kegiatan mengingat Tuhan,
163
apapun dan bagaimanapun caranya sudah dapat disebut sebagai manembah
kepada Tuhan. Asalkan seseorang eling kepada Tuhan setiap melakukan sesuatu
baik dalam ucapan maupun perbuatan, itu sudah dapat disebut menyembah
Tuhan.
Kalau saya melaksanakan minimal 3x dalam sehari, itu wajib. Ada
tambahan lagi 1x dalam sehari di tengah malam. Setiap saat atau
tiap detik mengingat dan mengucapkan agama dari Tuhan itu
sudah dinamakan Manembah. Istilahnya saya dalam melakukan
sesuatu, saya eling dengan Tuhan begitu juga dalam ucapan
maupun tindakan saya. (W. R. III. 01. 131-135).
Responden III mengaku menjalani panembah masih dalam tahap sembah
raga (W. R. III. 02. 288-289). Sembah raga dilaksanakan dengan niat lahir dan
batin untuk melaksanakan kewajiban. Sembah raga dilaksanakan dengan
mengucapkan doa sambil melakukan gerakan-gerakan sesuai dengan yang
diajarkan oleh Pangestu. Setelah selesai mengucapkan doa responden melakukan
dzikir dengan menyebut hu-Allah, hu-Allah sampai luyut.
Masalah Manembah Pakdhe,….sembah Pakdhe pun sampai
tataran nopo? Gih tasih sembah raga, sembah raga nek pun
sembah qalbu kaitane kalian niku. Istilahe sembah raga disik baru
sembah qalbu. Selama ini yang dirasakan waktu sembah raga?
Gih nek pun nganyaki sembah raga niku gih pun netepi kewajiban,
rasane pun niat suci lair batin, diucapkan doane nek pun rampung
doane gih kantun dzikir. Dzikir di dalam Pangestu niku gih Hu
164
Allah…Hu Allah sampai luyut. Ten Pangestu gitu. Jadi sesudah
sembah rasa, istilahe rasane pun manunggal tapi gih dereng saget
100%. (W. R. III. 02. 286-297).
Kurang lebih responden III mendefinisikan luyut tidak berbeda dengan
responden III. Luyut adalah kosong, yang ada cuma perasaan senang, tenang,
tentram, dan tidak ada pikiran apa-apa.
Lha rasane sampai luyut niku pripun? Luyut niku gih kosong,
eneke muk seneng,tenang, tentrem, ga ada pikiran apa-apa. (W.
R. III. 02. 298-330).
Responden III mengaku melakukan panembah sesuai dengan kebutuhan, namun
jika melakukan panembah di waktu pagi hari masih merasa buru-buru. Hal ini
dikarenakan dikejar waktu untuk bekerja dan dibayang-bayangi banyaknya
pekerjaan maka terasa buru-buru.
Gih menurut kebutuhan, nek waktu pagi biasane gih rodo kesusu
margo selak kekoyak gawean, istilahe dalam sembahyang
dibayang-bayangi gawean mulo dadine kesusu. (W. R. III. 02.
305-307).
Hal ini terjadi jika suasana heneng dan hening tidak mampu diciptakan.
Responden mengatakan bahwa seperti itu adalah suatu panembah yang secara
lahir dikatakan sembahyang namun secara batin tidak. Dan menurut responden
belum tentu banyak orang pangestu mampu menciptakan suasana heneng dan
hening dalam melakukan panembah.
165
Masih sering kepikiran apa-apa gitu? Ya kalau tidak dalam
hening heneng gih.. o…oo. Iki ko ndang ngene…ngene laire
sembahyang, tapi batine boten. Mulo kulo critakne bahwa hening
heneng niku seumur hidup boten mesti saget nglampahi sekali
mawon. (W. R. III. 02. 308-313).
Responden III dalam pengambilan data mengaku tidak dapat
menggambarkan suasana ketika manunggal dengan Tuhan dalam melakukan
panembah. Hal ini dikarenakan responden belum pernah merasakan manunggal
dengan Tuhan, namun percaya bahwa dirinya sudah menjalankan kehendak
Tuhan atau melaksanakan tugas.
Kalau setaunya pakdhe manunggal itu rasanya gimana? Belum
tau, wong belum merasakan, tapi dalam hati dan pikiran percaya
bahwa saya itu sudah menjalani kehendak Tuhan atau
melaksanakan tugas. (W. R. III. 02. 314-317).
Responden mengaku bahwa dia masih jarang melakukan sembah raga
sampai tahap heneng dan hening. Namun kemudian responden meralat pernyataan
jarang ini dengan belum pernah. Heneng dan hening dikatakan sebagai suasana
yang lupa, tidak ingat apa-apa. Tidak merasakan pegal dan kesemutan. Tidak
memikirkan apa-apa dan melupakan segalanya, yang dirasakan hanya enak saja.
Namun responden belum pernah merasakan hal ini, apalgi luyut dan manunggal.
Kalau waktu heneng yang dirasakan gimana? waktu hening
gimana? Rasanya heneng hening niku nek pun iso nglakoni
heneng ning rasane pun boten kados kelingan, ning kejadian
166
ngeten niki gih jarang, belum pernah. Gih kados ingkang kulo
aturke ten ngajeng wau gih meniko sekali seumur hidup. Lali
kabeh nopo pripun? Gih. Sing pun nglampahi kan ngeten niku
pun ngrasake keju, gringgingen, pun boten mikir nopo-nopo pun
lali kabeh, entene muk penak.Sing pun nglampahi ngeten niku
boten enten keju, kesel dan ngantuk. (W. R. III. 02. 318-329).
Selama ini responden masih merasakan kesemutan sewaktu melakukan
panembah. Selain panembah responden juga melakukan amalan saat tengah
malam selama kurang lebih satu setengah jam. Amalan ini kurang lebihnya juga
sama dengan ritual panembah. Selain melakukan panembah responden III
melakukan ritual yang lain yang disebutnya dengan prihatin, yaitu dengan puasa.
Namun responden tidak setuju jika ritual prihatin ini disamakan dengan puasa.
Prihatin disini hanyalah mengurangi makan, minum, tidur, dan membicarakan
sesuatu yang tidak enak didengar.
Pakdhe tesih ngrasakne keju? Gih tesih gringgingen. Kulo gih
kerep nglakoni amalan gih wekdale 1 – 2 jam waktu mbah giyono
seh dereng surut, kalau sembahyang habis lilin 1 gih minimal 1,5
jam meniko wonten ing tengah malam. Kalau dalam Agama Islam
lebih dikenal dengan sebutan Tahajud. Kalau di Pangestu
nglakoni atau prihatin, sing dilakoni nopo? poso? Boten poso,
tapi ngurang-ngurangi gih ngurang-ngurangi maem, minum, tidur,
ngendiko barang sing boten kepenak ten kuping. Wonten ing
Agama Islam kan gih boten angsal nglakoni sing elek. Nek neng
167
Pangestu iku gulang-gulangane ngeten niku. (W. R. III. 02. 330-
342).
Sebelumnya dalam pengambilan data responden pernah mengungkapkan
bahwa dirinya kadang-kadang merasa heneng dan hening dalam melakukan
panembah. Namun responden belum pernah sampai pada tahap bertemu dengan
Tuhan. Selama dalam panembah yang dirasakan adalah mampu mengendalikan
diri. Sambil melakukan panembah responden bisa melupakan kebutuhan
ekonomi, kebutuhan keluarga. Dan kalau sudah heneng yang dirasakan hanyalah
enak dan tidak memikirkan apa-apa.
Pernah enggak pakdhe waktu Manembah sampai bener-bener
ketemu sama Tuhan? elum….yang sudah bisa bertemu dengan
Tuhan itu belum tentu dari 1000 orang ada 1 orang yang bisa
ketemu. Menjalani Manembah itu dari sudut pandang pakdhe
gimana? Kalau saya rasakan selama saya manembah rasanya
saya bisa mengendalikan diri, umpamanya pengen nesu bisa
hilang. Sambil sembahyang kadang-kadang bisa menghilangkan
kebutuhan ekonomi, kebutuhan dengan keluarga. Kalau sudah
heneng gitu sudah terasa enak, wong boten mikir nopo-nopo
rasane enak. Pakdhe sudah sampai pada tahap situ? Kadang-
kadang, tapi belum sampai pada tahap ketemu Tuhan. (W. R. III.
01. 163-175).
Selama melakukan panembah jika belum lama waktunya maka
sembahyang atau kualitas manembahnya belum sampai ke hati. Dalam hal ini doa
168
sudah dibacanya namun belum sampai ke dalam atau ke hati sehingga belum
heneng. Namun bila sudah heneng yang dirasakan adalah seperti tidur pulas dan
rasanya tenang. Tetapi kadang-kadang bila sudah dalam waktu lama belum
sampai pada tahap heneng, tubuh akan merasa merinding. Tapi bila sudah heneng
rasanya seperti orang mati.
Yang jadi pikiran itu kayak gimana? Mikir apa waktu
manembah? Kalau waktu belum lama belum nyampe ke hati,
sudah membaca doanya tapi belum sampai ke dalam atau heneng.
Bila sudah heneng bisa heneng….tidur pulas rasanya tenang.
Kadang-kadang kalau belum nyampe tidur rasanya prinding gitu,
tapi bila sudah nyampe tidur itu rasanya kayak mati. (W. R. III.
01. 176-182).
b. Realisasi Diri
Tidak jauh berbeda dengan responden II, responden III menganggap
kodrat manusia sebagai takdir yang bisa dirubah selama seseorang itu berusaha.
Jika dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak mau merubah sikap maka
sikapnya tak kan berubah menjadi lebih baik. Sepanjang seseorang berusaha
berubah disertai dengan taubat dan doa serta terus memohon kepada Tuhan maka
Tuhan pasti mengabulkan.
Menurut pakde kodrat manusia ini bagaimana? Kodrat
manusia menurut orang Jawa dapat diwiradati artinya bisa
dirubah selama mau dan berusaha untuk merubahnya. Kodrat
wong gih ngeten niku, tapi sepanjang ada usaha untuk berubah
169
pasti bisa berubah. Dalam kehidupan sehari-hari sepanjang
manusia ga gelem merubah sikape gih ngeten-ngeten niku terus,
tapi sepanjang saget merubah ditambahi toubat lan dongo,
nyenyuwun kalian Gusti Allah maka lambat laun saget berubah.
Misale mbak ganis nyuwun laptop ibuke, tapi mbak ganis nyuwun
mawon gih boten ditumbaske, ananging benten menawi mbak
ganis nyuwun terus tur menawi ibuke kerepotan gawean diewangi,
mesti ko bakal dipundutke. (W. R. III. 02. 502-512).
Pernyataan ini menunjukkan bahwa manusia sebaiknya tidak berpangku tangan,
namun selalu berusaha untuk merubah hidupnya menjadi lebih baik namun
dengan cara-cara yang baik pula sesuai tuntunan ajaran yang diyakini.
Sedikit berbeda dengan responden I dan responden II , dalam beberapa
pernyataan jawaban responden III sering menunjukkan sikap bangga sebagai
seorang penganut pengestu. Beberapa pernyataanya menunjukkan hubungan
atau interaksi yang hanya sekitar lingkup anggota dalam pangestu saja. Jawaban
responden ketika pengambilan data cukup sering memberi kesan bahwa di
dalam pangestu selalu ada toleransi dan semua agama, ras, dan golongan
dianggap sama, namun responden tidak menunjukkan kesan yang sama pada
masyarakat selain pengikut pangestu. Pernyataan responden III menerangkan
bahwa agama kadang hanya dipakai kedok untuk menutupi perbuatan negatif.
Responden yakin bahwa disekitar warga pangestu, selama orang tersebut
menjalankan ajaran pangestu maka tidak akan berbuat negatif.
170
Nek istilahe teng gen keagamaan kalian Pangestu benten koq.
Ten Pangestu niku diblake nopo enek e, wulangane Pangestu
niku nek langsung disukakne, nyoto iso dilakoni benten kalian
agama-agama sanese, kados Agama Islam katah ingkang dipun
sanepakne utowo dikiaskan. Agama Islam niku sae, tapi jarang
sing iso nompo sing iso nglakoni. Pangestu adalah satu,
wulangane dimana saja sama. Nek enten kegiatan boten enten
saru sikune, boten enten pemikiran negatif. Dadi misale wonten
kerja bakti bareng antara pengikut lanang lan wadon, gih dipun
lakoni kanthi sareng-sareng lan rukun, boten enten pemikiran
neko-neko. Sebagai gambaran adalah Bagaimana caranya bisa
lewat sungai yang ada buayanya yang buas? Lha rombongan
harus membuat cara bagaimana biar ga kecebur lan sampai
tujuan dengan selamat. Satu sama lain bergandengan tangan
jangan sampai jatuh ke air. Lha itu Pangestu diibaratkan Satu,
membangun kesepakatan, saling erat. Kalau dengan umat lain,
yang berbeda agama, suku, latar belakang sikapnya gimana?
Sepanjang warga Pangestu sama. Selain warga Pangestu ya ga
papa, cuma tidak sepaham, tidak saling tau dalamnya hati
masing-masing, Cuma tujuane sama. Kalau saya menilai agama-
agama sanese seh nggawe ditunggangi utowo buat kedok dengan
cara-cara atau perilaku yang salah. Kalau Pangestu sepanjang
100% masih Pangestu ga mungkin melaksanakan perbuatan
171
negatif. Kalau ada kegiatan yang mengumpulkan pengikut dari
semua jenis, ga mungkin ada yang berbuat negatif, kalau ada
yang berbuat begini begitu pasti ada tujuane. Sepanjang mboten
enten tujuane ga mungkin berbuat negatif. (W. R. III. 02. 513-
542).
Namun responden juga menyataka bahwa dalam menyikapi perbedaan di
dalam masyarakat seperti perbedaan agama, ras, dan golongan adalah harus saling
menghormati. Misalnya seorang Pangestu maka harus menghormati seorang
muslim, begitupun sebaliknya, seorang muslim juga sebaiknya menghormati
seorang pangestu.
Menurut pakde bagaimana sikap kita dalam menerapkan
prinsip Bhineka Tunggal Ika dalam hidup sehari-hari? Harus
saling menghormati dengan agama lain, suku lain, orang lain.
Umpama saya melaksanakan tugas Pangestu, yang lain
melaksanakan tugas Islam ya silakan. (W. R. III. 02. 543-547).
Responden III sangat percaya akan kehadiran Tuhan. Hal ini tampak pada
ketekunanya dalam melakukan panembah. Tanpa adanya kepercayaan yang kuat
akan kehadiran Tuhan, keadaan mistik dalam melakukan ritual panembah sulit
diciptakan seperti heneng, hening, luyut, bahkan manunggal. Responden juga
percaya bahwa Tuhan akan memberikan imbalan yang melimpah bagi orang-
orang yang baik, yang dengan iklas memberi dan menafkahkan hartanya. Orang-
orang seperti ini akan dilipatgandakan rejekinya. Hal seperti ini dalam pangestu
disebut dengan budi dharma.
172
Nek kangge kulo bondo donyo sak piturute niku naming titipan.
Lha nek uripe pun cukup, surut, unduh-unduhane nek saget gih
nglakoni budi dharma, weweh, pitulung tumraping sanes. Lha
besok diunduh naliko wis surut. Gusti Allah bakal nglipetake
ganjarane. Menawi wonten Agama islam pas bulan poso menehi
dhaharan saur utowo buko niku ganjarane bakal dilipetke 70 kali.
Niku gih masuk akal. Tuhan yang Katon Wajib disungkemi.
lae..lae..lae. Maksude lae…lae? Sambat. Mbokne yen dijaluki ki
kek ono, ko rak diijoli langkung okeh. misale ngekeki biji jagung 1
ko lak oleh ijol biji 9. (W. R. III. 02. 453-463).
Responden juga menunjukkan sikap yang percaya dengan hal irasional dan
misterius. Dalam suatu kesempatan ketika pengambilan data responden pernah
menganjurkan peneliti untuk rutin nyekar atau mengunjungi makam kerabat yang
sudah meninggal. Kebetulan ayah kandung peneliti sudah meninggal sejak enam
tahun yang lalu, dan responden menganjurkan peneliti untuk tetap mengurus dan
mengunjungi makam. Menurut responden seseorang yang mau mendoakan seorang
yang sudah meninggal adalah suatu bentuk penghormatan kepada yang meninggal
dan imbal baliknya adalah yang meninggal pun memintakan ampunan bagi yang
mendoakan kepada Tuhan. Dan karena seorang yang meninggal sering didoakan
maka ruh nya dapat manunggal dengan Tuhan.
Buk’e sering nyekar bapak boten mbak? Gih masih nyekar,
sebelum 1000 hari dulu nyekare tiap minggu, tapi setelah 1000
hari nyekare sebulan sekali. Boten masalah. Sing penting paling
173
boten pas wetone nek boten gih pas geblake. Dalam filosofi orang
nyekar dapat digambarkan kayak begini…aku, yang sudah mati
sudah jadi nisan saja keluargaku masih peduli untuk kirim doa,
imbal baliknya dimintakan ampunan pada Gusti Allah, supados
ruhnya saget manunggal kalian Gusti. Gih kulo pas seminggu
setelah bapak meninggal saya diajak pakde saya ke tempat
seorang kyai, lha pak kyai itu menyarankan supaya tiap
malam jumat kirim doa. Menawi nyekar boten beto kembang
boten nopo-nopo mbak, yang penting kiriman doanya agar ruh
yang meninggal bisa menyatu dengan Gusti. (W. R. III. 02. 463-
477).
Responden III pun mengaku hidupnya telah banyak berubah setelah
mengikuti Pangestu. Responden menjelaskan perubahan ini baik dari dalam
maupun luar. Kalau perubahan dari dalam adalah perasaan dan pikiran menjadi
longgar, tenang, tentram, dan tidak ada perasaan was-was akan hidup. Sedangkan
perubahan dari luar adalah perubahan hidup dalam bidang ekonomi yang semakin
baik, hubungan dengan keluarga menjadi bersatu dan masalah-masalah yang
dapat terselesaikan dengan baik sehingga tidak sampai mengganggu pikiran.
Kalau perubahan dalam diri pakdhe secara pribadi? Istilah
pribadi itu dari dalam atau luar? Kalau dari dalam? Rasanya
tenang, tentram tak ada rasa kuatir was-was ga ada istilah sesuk
piye yo? Kebutuhan ekonomi luar nopo hubungan dengan
keluarga bisa bersatu terus. Bila ada masalah mampu dipecahkan
174
walaupun masalah ringan ataupun berat adanya dalam hati saja.
Masalah dikatakan ringan, berat hanya dalam perkataan saja
tetapi di hati tidak. Jadi Allah itu bila memberikan ujian, cobaan
pasti disesuaikan dengan umatnya bukan asal langsung
memberikan ujian gitu. (W. R. III. 01. 190-200).
Selanjutnya responden menjelaskan bahwa sebelum mengikuti pangestu sering
berbuat seenaknya saja. Artinya banyak perilakunya yang tidak baik, yaitu
melanggar ajaran agama dan merugikan orang banyak. Sekarang, setelah
responden mengikuti pangestu, responden mengaku banyak keputusan yang
diambil dengan berpikir panjang sehingga sebisa mungkin tidak merugikan dan
menyakiti perasaan orang lain.
Pakdhe setelah mengikuti Pangestu ada perubahan dalam diri
pakdhe ga? misale gih dari karakter atau sifat-sifat … Gih
enten. Jaman rumiyen sak derange ngerti wulangane Pangestu,
Agama meniko menawi mlangkah utawi mlaku sak senenge dewe.
Misale jane mlaku kudu lewat dalan iki, ananging amargo kurang
sabar akhire ga sido mlaku lewat dalan mau e malah mlaku
nglumpati pager.ngeten niku kan jane boten bener. Ning sak niki
sak sampunipun mlebet Pangestu pun boten wani nglampahi
ingkang kados mekaten. Nek meh mlaku dipikir sing dowo disik,
dadi yen iso jo ngrugekne wong liyo, misale guneman gih boten
ngantos nglarani tumraping sanes. (W. R. III. 02. 367-378).
175
Selain itu responden juga merasakan perubahan dalam berhubungan
dengan orang lain. Sekarang menjadi lebih iklas dalam membantu orang lain.
Perubahan ten tetangga, wong liyo? Istilahe gih secara ikhlas,
misale enten wong kebutuhane nopo mawon gih menawi saget
dipun Bantu. Mbantu meniko gih kanthi ikhlas ten manah. Intine
misale mampu tur dijaluki bantuan, maka akan memberikan
bantuan itu kanthi ikhlas boten enten paksaan. (W. R. III. 02.
381-386).
Responden mengaku bahwa dulunya dia adalah seorang yang suka minum
minuman keras, berjudi, dan sering keluar rumah. Namun setelah responden
mengikuti pangestu perbuatan tersebut mulai dikurangi dan sampai sekarang
sudah tidak dilakukan serta mulai menuntun kawan-kawanya untuk menghentikan
perbuatan seperti itu.
Melaksanakan tugas hidup. Kulo tumut Pangestu pun kat jaman
rien, naliko sak derenge ikut Pangestu, tumindak kula tasih sering
maen, minum,dolan nanging sak sampunipun ikut Pangestu lambat
laun tindakan kolo wau kulo kirangi sekedik-sekedik sampai pun
boten nglakoni. Sak sampuni ikut Pangestu niku nular-nularke
barang sing apik. (W. R. III. 02. 397-401).
Pernyataan responden ini secara keseluruhan belum dapat menjelaskan
perubahan struktur kepribadian sehingga dapat dikatakan pribadi yang universal,
yang dapat menyeimbangkan atau mengintegrasikan kutub-kutub yang
berlawanan dalam kepribadian. Penghayatan responden terhadap ajaran pangestu
176
serta pengalaman mistiknya dalam melakukan ritual panembah jelas membawa
perubahan yang besar dalam diri pribadi dan kehidupannya secara keseluruhan.
Namun hal ini belum dapat mengindikasikan adanya perubahan dalam struktur
kepribadian dan menjadikan responden sebagai pribadi yang universal. Apalagi
penjelasan responden banyak membicarakan tentang perubahan secara luar seperti
perubahan ekonomi.
c. Aktualisasi Diri
Pengalaman mistik responden III yang diungkapkan dalam sub bab
sebelumnya terbukti membawa efek terhadap diri pribadi dan kehidupan
responden secara keseluruhan. Seperti yang dijelaskan dalam sub bab realisasi
diri, responden mengatakan ada dua bentuk perubahan dalam dirinya, yang
pertama adalah perubahan dari dalam dan perubahan dari luar. Kalau perubahan
dari dalam adalah perasaan dan pikiran menjadi longgar, tenang, tentram, dan
tidak ada perasaan was-was akan hidup. Sedangkan perubahan dari luar adalah
perubahan hidup dalam bidang ekonomi yang semakin baik, hubungan dengan
keluarga menjadi bersatu dan masalah-masalah yang dapat terselesaikan dengan
baik sehingga tidak sampai mengganggu pikiran (W. R. III. 01. 190-200). Ini
menunjukkan bahwa ada perubahan dalam memandang diri sendiri menjadi lebih
sehat. Hal ini ditunjang dengan pernyataanya bahwa sekarang setelah responden
mengikuti pangestu ada perubahan minat dan kebiasaan buruknya. Yaitu,
kebiasaan responden yang suka mabuk, berjudi, dan sering keluar rumah (W. R.
III. 02. 397-401).
177
Perubahan ini juga terjadi dalam hubunganya dengan orang lain.
Responden mengaku hubungan rumah tangganya menjadi bersatu, banyak
masalah yang dapat diselesaikan dengan baik (W. R. III. 01. 190-200) dan adanya
rasa iklas dalam membantu orang lain (W. R. III. 02. 382-385). Sedangkan
perubahan dalam kehidupan secara umum yang sering diungkapkan responden
adalah perubahan ekonomi keluarga, yaitu yang dulunya serba kekurangan
sekarang responden merasa kebutuhan keluarganya semakin berkecukupan.
Alhamdulillah, terima kasih Tuhan saya ucapkan selama saya
ingin pergi atau melaksanakan kerja apa aja. Kalau saya ucapkan
dan apa yang saya minta. Kalau saya ucapkan dan apa yang
diminta itu sudah saya rasakan apa saja yang saya minta sudah
banyak terlaksana, daripada yang tidak. Misalnya, umpama ingin
pergi saya minta diayomi, selamat, perjalanan lancar tidak ada
alangan sampai tujuan….banyak dikabulkan daripada tidak.
Kenyataane sakderenge kulo mlebet ten Pangestu kalih pun mlebet
niku bentene katah…Jaman riyen maem kurang, nyandang boten
utuh, papan kurang apik, kulo gih boten ngetok-ngetoke lek
maringi Gusti Allah. Kulo tumut Pangestu sekedik-sekedik saget
mlampah, ekonomi gih pun lancar, tentrem nopo sing dikarepke
gih kepareng..ning gih istilahe Pengyuwunan direwangi melek,
prihatin, ngurang-ngurangi anggone maem, minum, mutih lan
sakpiturute. (W. R. III. 01. 136-151).
178
Perubahan pandangan yang terjadi dalam diri responden terhadap dunia
adalah pandangannya bahwa manusia hidup haruslah selalu memiliki cita-cita,
mau berusaha, dan terus berdoa dan meminta kepada Tuhan. Maksud dari usaha
ini harus selain berusaha mencapai cita-cita juga harus disertai dengan pertobatan
dan prihatin. Dengan berusaha dan berdoa maka perubahan kehidupan yang lebih
baik akan dikabulkan oleh Tuhan.
Gih nyuwun sewu, menawi kulo wong urip niku kedah gadah cita-
cita, tujuan, menawi boten gadah lha kengeng nopo ndadak urip.
Pedomane wong urip niku enek sing nguripi gih enten sing njatah,
sepanjang kita usaha nek naming jatahke gih keliru. (W. R. III.
02. 432-436).
Responden mengungkapkan bahwa secara keseluruhan masih dirasakan perasaan
was-was walaupun sedikit. Menurut responden seorang itu tidak mungkin
melepaskan perasaan kuatirnya seratus persen akan hidup. Bagi responden dalam
hidup ini harus ada perencanaan untuk masa depan. Perasaan was-was ini timbul
dalam merintis kemudian menjalani perencanaan hidup itu.
Sekarang pakdhe ada ga perasaan was-was, kuatir, tentang
kehidupan masa depan itu gimana? Gih sedikit masih ada. Gih
wong niku nek ken nglepas 100% rasa kuatire niku gih boten
enten. Misale mawon mikir masalah ekonomi keluarga, wonten ing
mriku kan wonten rancangan-rancangan hidup. Rancangan hidup
niki gih kedah dipun rintis lan jalani. (W. R. III. 02. 410-416).
179
Namun responden sudah menerima dan sangat bersyukur dengan kehidupannya
sekarang. Tapi responden belum merasa puas, karena tujuannya belum tercapai.
Tujuan responden adalah mampu manunggal dengan Tuhan, dan responden terus
berusaha sampai sekarang dengan rutin melakukan panembah dan prihatin. Salah
ritual prihatin yang dilakukan responden adalah tiap tengah malam berjalan
mengelilingi kampung. Dalam satu kesempatan pernah ditanyakan mengapa hal
itu dilakukan, dan responden hanya menjawab tidak ada alasan apa-apa. Jawaban
ini diikuti senyuman istrinya. Ketika ditanyakan ada perasaan apa ketika
melakukan prihatin tiap tengah malam, responden pun hanya menjawab tidak ada
dan hanya ingin melakukannya saja.
Kalau disimpulkan kehidupan pakdhe sekarang, dah puas,
atau dah cukup senang? Kalau puas belum mbak. Kalau cukup
sudah, ya cukup sandang, papan, pangan, tapi belum merasa puas.
Kalau sudah merasa puas berarti sudah tidak mau melaksanakan
apa-apa di dunia ini, karena selama orang merasa puas niku cita-
citane ten donyo pun ilang. Sudah menerima atau bersyukur?
Sudah nerima, bersyukur, ucapan terima kasih pada Tuhan, tapi
belum merasa puas amargo belum keturutan tujuane.Tujuane gih
muk pengen waktu sembahyang bisa menyatu dengan Gusti Allah.
Nek wong Pangestu cita-citane muk niku, padahal yang bisa
menyatu dengan Tuhan itu jarang bisa. Mbok bilih diparengke
mengke kan saget menyatu atau manunggal kawulo Gusti. Kulo
satu bulan penuh niki yen bengi mlaku-mlaku ngubengi kampung
180
sampai jam 12 malem baru masuk rumah. Masuk rumah,
sembahyang trus tidur. Ini merupakan suatu yang dinamakan
sesirih atau Prihatin. (W. R. III. 02. 483-499).
Responden satu kali pernah mengakui bahwa jika melakukan manembah
sampai heneng dan hening rasanya enak dan ingin terus mengulangi. Ini
menunjukkan bahwa ada dorongan dalam diri responden untuk mengulangi
pengalaman mistik itu (W. R. III. 01. 111-114).
D. ANALISIS DATA
Pada tahap analisis data peneliti menyajikan data hasil wawancara yang
telah di koding secara satuan dalam matriks per tema dalam penelitian.
Tabel 6
Analisis Data Tema Ajaran Pangestu
Tema Kategori Verbatim
Suksma Kawekas
Suksma SejatiKetuhanan(tripurusa)
Roh Suci
(W. R. I. 12-37); (W. R. II. 01. 43-56); (W. R. III. 01. 47-54); (W. R. III. 55-60).
Manusia dan Candra Jiwa
(W. R. I. 08-11); (W. R. I. 38-48); (W. R. I. 01. 49-55); (W. R. 01. 210-227); (W. R. I. 02. 448-464); (W. R. I. 02. 473-488); (W. R. II. 01. 23-42); (W. R. II. 01. 57-64); (W. R. II. 01. 65-75); (W. R. II. 01. 76-94); (W. R. II. 01. 106-116); (W. R. II. 01. 160-172); (W. R . II. 02. 233-252); (W. R. III. 01. 25-46); (W. R. III. 01. 63-66).
A J
A R
A N
MistikManunggaling Kawula Gusti
(W. R. I. 01. 150-155); (W. R. II. I. 03. 490-504); (W. R. I. 03. 519-529); (W. R. II. 01. 95-101); (W. R. II. 01. 117-141); (W. R. II. 02. 253-265); (W. R. II. 02. 266-270).
Tripurusa menurut ketiga responden sering diumpamakan dengan
sinar,cahaya,atau pepadhang. Tripurusa adalah Tuhan yang bersifat
181
tiga,diumpamakan seperti lampu yang bersinar. Orang pangestu sangat percaya
pada satu Tuhan, namun sifat Tuhan ini memancar,memancarkan sinarnya kepada
manusia. Sedangkan manusia dalam ajaran pangestu sesungguhnya adalah roh
yang suci. Semua manusia dianggap roh suci. Menurut ajaran pangestu manusia
adalah lahir bersama saudara tujuh, yaitu empat nafsu dan tiga angan-angan yang
merupakan gambaran tripurusa. Jadi sejak lahir manusia sebenarnya telah
memiliki kesucian karena mempunyai gambaran tripurusa atau Tuhan dalam
jiwanya.
Candra jiwa dalam ajaran pangestu menerangkan bahwa jiwa manusia
diibaratkan seperti kereta kencana yang ditumpangi oleh roh suci. Kereta kencana
ditarik oleh empat kuda yang diibaratkan sebagai nafsu, dan dikendalikan oleh
seorang kusir yang diibaratkan sebagai angan-angan. Jika kereta kencana telah
diberi pepadhang oleh Tuhan maka perjalanannya terkontrol oleh kebaikan sifat
Tuhan. Tapi jika tidak maka jiwa manusia akan dikuasai oleh empat nafsu,
perjalanan kereta terbawa oleh lari kuda. Dan jika begitu maka hidup manusia
tidak akan tenang, karena jiwa nya tak tahu kemana tujuan dan arahnya.
Jiwa manusia yang telah terang, disinari oleh cahaya Tuhan karena telah
mampu mengalahkan empat nafsu mewujudkan pribadi manusia yang berbudi
luhur. Dalam ajaran pangestu, pribadi yang berbudi luhur memiliki lima watak
utama yang disebut pancasila. Selama pengambilan data, perwujudan menjadi
manusia yang budi luhur inilah yang sering diungkapkan oleh responden.
Keseluruhan wawancara dari ketiga responden menunjukkan bahwa tujuan dari
182
ajaran dan ritual yang dihayati oleh seluruh warga pangestu adalah pancasila,
yaitu manusia yang memiliki lima watak utama,manusia berbudi luhur.
Usaha mistik adalah untuk mencapai itu semua. Pribadi yang berbudi
luhur akan tercapai jika seseorang memahami ajaran pangestu, menghayatinya,
dan melaksanakannya. Keseluruhan responden menyatakan bahwa sangatlah tidak
mudah untuk benar-benar menjalankan ajaran pangestu sehingga seorang dapat
dikatakan “berbudi luhur”. Usaha yang sangat sering diungkapkan responden
terkait dengan mistik adalah panembah. Responden I menyatakan dengan jelas
bahwa keadaan mistik, yaitu adanya kontak dengan alam semesta dan Tuhan
hanya dirasakan selama panembah. Manunggaling kawula lan Gusti tercapai
ketika manusia menjalankan panembah dengan sempurna.
Tabel 7
Analisis Data Tema Pengalaman Mistik Ritual Panembah
Tema Pengertian Kategori Verbatim
Pen
gala
man
Mis
tik
Pengalaman berarti
barang apa yang
dirasakan. Jadi
pengalaman mistik
adalah merasakan
mistik.
Mistik mengandung
arti:
1) Adanya kontak
antara manusia, alam
Alam
Semesta
(*alam =
lingkungan
sekitar)
(W. R. I. 01. 72-74); (W. R. I. 01. 75-77); (W. R. I. 02. 234-250); (W. R. I. 02. 251-316); (W. R. I. 02. 340-352); (W. R. I. 02. 367-373); (W. R. I. 02. 375-381); (W. R. I. 02. 417-427); (W. R. I. 02. 428-443); (W. R. I. 03. 505-509); (W. R. I. 03. 530-546); (W. R. I. 03. 557-567); (W. R. I. 03. 570-571); (W. R. I. 03. 602-610); (W. R. I. 03. 618-622); (W. R. I. 623-630); (W. R. II. 03. 334-342); (W. R. II. 03. 348-352); (W. R. II. 03. 353-362); (W. R. II. 03. 364-373); (W. R. II. 03. 374-378); (W. R. II. 03. 379-387); (W. R. II. 03. 388-391); (W. R. II. 03. 399-404); (W. R. II. 03. 405-419); (W. R. II. 03. 427-235); (W. R. II. 03. 449-464); (W. R. II. 03. 473-482); (W. R. II. 03. 483-487); (W. R. II. 03. 489-492); (W. R. II. 03. 498-506); (W. R. II. 03. 633-642); (W. R. III. 01. 104-117); (W. R. III. 01. 167-173); (W. R. III. 01. 176-189);
183
Lanjutan tabel 7
Tema Pengertian Kategori Verbatim
(W. R. III. 02. 292-297); (W. R. III. 02. 298-302); (W. R. III. 02. 304-307); (W. R. III. 02. 308-310); (W. R. III. 02. 326-225).
PE
NG
AL
AM
AN
MIS
TIK
2) Persatuan mesra
antara ruh manusia;
3) Persatuan langsung
dengan Dzat
ketuhanan dan
perjuangan
bergairah ke arah
itu.
Pengalaman mistik
adalah merasakan suatu
kondisi mistik yaitu
adanya kontak dan bisa
berupa persatuan antara
manusia dengan alam
semesta dan Tuhan
Tuhan
(W. R. I. 02. 353-361); (W. R. I . 02. 362-366); (W. R. I. 02. 382-389); (W. R. I. 02. 390-396); (W. R. I. 02. 406-416); (W. R. I. 03. 490-504); (W. R. I. 03. 510-529); (W. R. I. 03. 611-617); (W. R. II. 03. 420-426); (W. R. II. 03. 436-448); (W. R. II. 03. 493-497); (W. R. III. 01. 128-136); (W. R. III. 01. 163-166); (W. R. III. 01. 175); (W. R. III. 02. 311-323).
Pengalaman mistik yang dialami oleh ketiga responden berbeda satu sama
lain. Hal ini ternyata sesuai dengan tingkatan panembah yang dijalankan. Dari
ketiga responden, responden I memiliki gambaran yang paling kaya tentang
pengalaman mistik. Responden I telah menjalankan sembah rasa, panembah
tingkat ketiga walaupun dirinya masih merasa belum dapat dikatakan berbudi
luhur. Karena pengalamannya tentang manunggal baru saja dirasakan setelah
sekian lama menghayati ajaran pangestu. Setiap tingkatan panembah memiliki
gambaran pengalaman yang berbeda-beda. Pengalaman ini juga memiliki tahapan
yang sesuai dengan tahapan dalam panembah.
184
Berdasarkan data selama wawancara ditemukan ada tiga tahapan
pengalaman mistik yang dirasakan yaitu heneng, hening, dan luyut. Setelah
dikroscekkan dengan data sekunder dari kitab Sasangka Djati, gambaran setiap
tahapan pengalaman ini sesuai dengan tiap tingkatan panembah. Dari data primer
melalui wawancara ini juga ditemukan bahwa terjadi perubahan kesadaran setiap
responden mulai memasuki tahapan pengalaman heneng, hening, dan luyut.
Perubahan kesadaran ini adalah dari kesadaran individu akan kehidupan dunia
menjadi kesadaran tunggal akan kehadiran Tuhan. Perubahan ini ditandai dengan
lupa segala-galanya, tidak merasakan apa-apa, tubuh terasa ringan, tidak terasa
batas antara tubuh dan alam, kosong, tidak mendengar apa-apa, merasa hanya ada
titik di hati yang menghubungkan dengan Tuhan. Dari data hasil wawancara
hanya reponden I dan II yang merasakan hal ini dan keduanya mengaku merasa
bahagia ketika pengalaman ini terjadi.
Tabel 8
Analisis Data Tema Realisasi Diri
Tema Ciri Indikator Verbatim
Kesadaran dan toleransi
terhadap kodrat
manusia
(W. R. I. 03. 598-657); (W.
R. II. 03. 1112-1131); (W.
R. III. 02. 501-512).
RE
AL
ISA
SI
DIR
I
Penerimaan dan
toleransi terhadap
kodrat manusia pada
umumnya serta
memiliki kesadaran dan
toleransi yang lebih
besar terhadap kondisi
umat manusia sehingga
merasa lebih empati
dengan masalah.
Empati terhadap
masalah kemanusiaan
tanpa memandang
perbedaan ras,
golongan, dan agama.
(W. R. I. 03. 659-708); W.
R. II. 03. 1132-11420); (W.
R. III. 01. 184-189); (W. R.
III. 02. 530-542); (W.R. I.
03. 543-545)
185
Lanjutan tabel 8
Tema Ciri Indikator Verbatim
kemanusiaan tanpa
memandanga ras,
golongan, dan agama
Menerima gejala-gejala
supranatural dan
irasional
(W. R. I. 03. 709-716); (W.
R. I. 03. 717-727); (W. R. I.
03. 728-736); (W. R. I. 03.
737-746); (W. R. I. 03.
747-759); (W. R. I. 03.
762-778); (W. R. I. 03.
627-630); (W. R. I. 03.
552-556);
(W. R. II. 03. 1101-1112);
(W. R. II. 03. 1143-1146).
RE
AL
ISA
SI
DR
I
Menerima apa yang
tidak diketahui dan
misterius, menerima
dalam kesadaran dan
ketidaksadaran, serta
adanya faktor-faktor
irasional. Hal ini juga
meliputi gejala
supranatural dan
spiritual yang
mencangkup
kepercayaan terhadap
kewaskitaan dan
kepercayaan terhadap
Tuhan
Menerima gejala-gejala
spiritual dan
kepercayaan kepada
Tuhan.
(W. R. I. 03. 792-813); (W.
R. I. 03. 814-821); (W. R. I.
03. 689-697); (W. R. I. 03.
654-657);
W. R. I. 03. 564-567); W.
R. I. 03. 519-529); (W. R. I.
03. 494-504); (W. R. I.
354-361); (W. R. I. 03.
150-157); (W.R. I. 03 404-
405); (W. R. II. 02. 587-
596); (W. R. II. 02. 597-
605); (W. R. II. 02. 665-
674); (W. R. II. 02. 675-
702); (W. R. II. 02. 807-
812); (W. R. II. 02. 855-
870); (W. R. II. 02. 892-
900); (W. R. II. 02. 1062);
186
Lanjutan tabel 8
Tema Ciri Indikator Verbatim
(W. R. III. 01. 134-136);
(W. R. III. 01 198-202);
(W. R. III. 02. 291-297);
(W. R. III. 02. 443-445);
(W. R. III. 02. 453-459);
(W. R. III. 02. 465-471);
(W. R. III. 02. 475-477);
(W. R. III. 02. 493-500);
(W. R. III. 02. 505-509).
RE
AL
ISA
SI D
IRI
Memiliki kepribadian
yang universal karena
tidak ada satupun segi
kepribadian yang
dominan.
Ungkapan self. Self
meliputi psyche
manusia yang seimbang
dalam pusatnya. Self
menyatukan tanpa
kontradiksi dari kutub-
kutub jiwa. Self adalah
arketip yang
memotivasi perjuangan
orang menuju
keutuhan, titik pusat
kepribadian,
mempersatukan sistem-
sistem dan memberikan
kepribadian dengan
kesatuan,
keseimbangan, dan
kestabilan pada
kepribadian.
(W. R. I. 02. 159-168); (W.
R. I. 02. 170-173); (W. R. I.
02. 180-183); (W. R. I. 02.
186-206); (W. R. I. 03.
544-552); (W. R. II. 02.
587-596); (W. R. II. 02.
646-654); (W. R. II. 02.
655-665); (W. R. II. 02.
782-786); (W. R. II. 02.
787-829); (W. R. II. 02.
855-870); (W. R. III. 02.
367-378); (W. R. III. 03.
379-380); (W. R. III. 03.
381-386); (W. R. III. 03.
396-401); 850-872); (W. R.
I. 03. 873-891); (W. R. II.
02. 189-192); (W. R. II. 02.
193-215); (W. R. II. 02.
216-232; (W. R. II. 02.
529-532); (W. R. II. 02.
538-542).
187
Data primer hasil wawancara diatas menunjukkan bahwa ketiga responden
memenuhi dua ciri pertama realisasi diri,yaitu toleransi yang lebih besar terhadap
kemanusiaan dan menerima yang misterius, keadaan yang irasional, supranatural,
dan spiritual. Hal ini ditunjukkan dengan sikap responden yang menerima
perbedaan agama,ras,golongan, dan kepercayaan. Ketiga responden juga sangat
mempercayai adanya Tuhan karena inilah pondasi dasar dalam pengalaman
mistiknya ketika melakukan panembah. Responden juga menunjukkan sikap yang
percaya pada banyak hal yang misterius, khususnya yang menyangkut tentang
alam semesta. Sesuai dengan ajaran pangestu bahwa Tuhan menciptakan dunia
dan alam semesta beserta dengan mahkluk-mahkluknya baik mahkluk yang
berbadan kasar seperti manusia dan mahkluk yang berbadan halus yang tidak
kasat mata.
Berbeda dengan ciri pertama dan kedua realisasi diri, ciri ketiga
menunjukkan hasil yang sulit disesuakan dengan keadaan seluruh responden.
Responden mengaku terjadi banyak perubahan dalam diri dan kehidupannya
namun perubahan ini belum menunjukkan suatu kepribadian yang universal.
Keperibadian yang universal adalah pribadi yang mampu menyeimbangkan
kutub-kutub dalam kepribadiannya, antara kesadaran dan ketidaksadaran, antara
ego dan shadow, antara anima dan animus. Artinya individu ini telah mampu
mengembangkan arketip self dalam kepribadiaannya. Tujuan ini belum tercapai
karena keseluruhan responden mengaku masih banyak kekurangan dalam
menjalankan ajaran pangestu sepenuhnya. Namun ketiga responden terus berusaha
untuk mencapainya, terbukti dengan perubahan yang terus terjadi pada diri dan
188
hidup responden. Satu perubahan yang sering diungkapkan adalah perubahan dari
seorang yang emosional, kurang iklas dalam menolong sesama, cepat marah, dan
berperilaku buruk menjadi seorang yang lebih sabar, narimo, iklas dalam memberi
pertolongan, tidak cepat marah, dan berperilaku baik.
Tabel 9
Analisis Data tema Aktualisasi Diri melalui Pengalaman Mistik (Peakers)
Tema Kategori Ciri Verbatim
Hilangnya simptomp
neurotic (*neurotic =
halangan untuk
memperoleh kepuasan
kebutuhan dasar dan
menghalangi gerak maju
menuju aktualisasi diri
(W. R. I. 03. 892-898); (W. R.
II. 03. 915-935); (W. R. II. 03.
940-945); (W. R. III. 03. 410-
421)
Melihat diri sendiri lebih
sehat
(W. R. I. 02. 162-163); (W. R.
I. 03. 853-856); (W. R. I. 03.
873-877); (W. R. II. 02. 210-
225); (W. R. II. 02. 205-209);
(W. R. II. 02. 226-230); (W.
R. II. 02. 465-471); (W. R. II.
03. 646-654); (W. R. II. 03.
702-704); (W. R. II. 03. 776-
789); (W. R. II. 03. 825-827);
(W. R. II. 03. 827-865); (W.
R. III. 03. 177-173).
Ak
tual
isas
i dir
i mel
alui
pen
gala
man
mis
tik
( pea
kers
)
Efek
pengalaman
mistik dalam
jangka waktu
lama
Perubahan pandangan
diri mengenai dunia
(*dunia = alam
kehidupan, lingkungan,
segala yang bersifat
kebendaan)
(W. R. I. 03. 699-708); (W. R.
I. 03. 856-857); (W. R. I. 03.
877-891); (W. R. II. 02. 440-
441); (W. R. II. 02. 442-441);
(W. R. II. 02. 442-468); (W.
R. II. 02. 551-565); (W. R. II.
189
Lanjutan tabel 9
Tema Kategori Ciri Verbatim
02. 571-586); (W. R. II. 02.
656-658); (W. R. II. 03. 675-
680); (W. R. II. 03. 720-769);
(W. R. II. 03. 790-795); (W.
R. II. 03. 940-954); (W. R. II.
03. 1015-1028); (W. R. II. 03.
1065-1080); (W. R. III. 02.
144-162); (W. R. III. 02. 206-
219); (W. R. III. 02. 241-260);
(W. R. III. 02. 274-285).
Perubahan pandangan
mengenai orang lain
dan hubunganya
dengan orang lain
(W. R. I. 02. 174-182); (W. R.
I. 02. 393-405); (W. R. I. 03.
654-656); (W. R. I. 03. 686-
688); (W. R. II. 02. 659-674);
(W. R. II. 03. 900-914); (W.
R. II. 03. 1000-1025); (W. R.
III. 02. 372-378); (W. R. III.
380).
Munculnya kreativitas,
spontanitas, dan
kemampuan
mengekspresikan diri.
(*kreativitas = berdaya
cipta dan original,
spontanitas = asli,
inventif, inovatif)
(W. R. I. 02. 319-325); 9W.
R. I. 03. 677-688); (W. R. II.
01. 29-35); (W. R. II. 02. 181-
191); (W. R. II. 02. 603-605);
(W. R. II. 02. 730-740); (W.
R. II. 02. 961-985); (W. R. III.
115-120); (W. R. III. 02. 135-
136); (W. R. III. 02. 387-393);
(W. R. III. 02. 396-409). (W.
R. III. 02. 449-459).
Ak
tual
isas
i dir
i mel
alui
pen
gala
man
mis
tik
(pea
kers
)
Efek
pengalaman
mistik dalam
jangka waktu
lama
Kecenderungan
melihat kehidupan
(W. R. I. 03. 860-863); (W. R.
I. 01. 155-159); (W. R. II. 02.
190
Lanjutan tabel 9
Tema Kategori Ciri Verbatim
secara umum lebih
berharga
322-332); (W. R. II. 919-
937); (W. R. II. 02. 1044-
1045); (W. R. III. 03. 597-
596).
Ak
tual
isas
i dir
i mel
alu
i
pen
gala
man
mis
tik
( pea
kers
)Efek
pengalaman
mistik dalam
jangka waktu
lama
Kecenderungan
mengingat pengalaman
puncak dan berusaha
mengulanginya
(W. R. I. 01. 80-84); (W. R. I.
01. 98-123); (W. R. II. 02.
1044-1045); (W. R. III. 01.
111-114);
Efek atau pengaruh pengalaman mistik dalam jangka waktu lama pada
ketiga responden dalam penelitian ini kurang lebih menunjukkan hasil yang sama
dengan teori Maslow. Dengan jelas responden mengaku bahwa banyak perubahan
yang terjadi dalam diri dan kehidupan responden. Ketiga responden menunjukkan
hasil yang kurang lebihnya mirip, hanya satu pertanyaan saja yang menunjukkan
hasil yang berbeda antara satu responden dengan dua responden yang lainnya.
Responden I mengaku bahwa tidak ada lagi perasaan cemas akan masa depan atau
hari esoknya nanti. Sedangkan responden II dan III mengaku masih ada perasaan
cemas akan masa depan dan hari esok dia dan keluarganya.
Pertanyaan selebihnya menunjukkan jawaban yang kurang lebih sama
antara ketiga responden. Pada intinya keseluruhan responden mengaku ada
perubahan dalam pandangan pada diri sendiri,orang lain,dunia secara keseluruhan,
kehidupan, dan minat. Ketiga responden cenderung merasa lebih sehat, tenang,
tentram, dan bahagia. Ketiganya juga terus berusaha mengulang pengalaman
191
mistiknya dalam melakukan panembah hingga mampu merasakan manunggal
dengan Tuhan.
E. PEMBAHASAN
Pada tahap ini peneliti menganalisis dan menerjemahkan hasil temuan
penelitian. Hasil temuan yang telah dimasukkan ke dalam kategori-kategori
kemudian akan dilanjutkan ke dalam proses penafsiran dan penerjemahan. Proses
penafsiran dan penerjemahan ini akan peneliti lakukan dengan membandingkan,
mencari hubungan sebab-akibat, mencari keterkaitan antara satu kategori dengan
kategori yang lain untuk mendapatkan pola hubungan antarkategori untuk
kemudian mendapatkan jawaban dari pertanyaan penelitian yang peneliti ajukan.
Peneliti juga akan menggunakan proses pembandingan dengan sumber data
sekunder dari kitab Pangestu, buku hasil penelitian tentang pangestu, dan
beberapa dokumen ceramah pangestu yang diberikan oleh responden serta teori
psikologi analitik Jung dan humanistik Maslow.
1. Identifikasi Pengalaman Mistik
Pengalaman mistik adalah merasakan suatu keadaan mistik yaitu adanya
kontak yang bisa berupa persatuan antara manusia dengan alam semesta dan
Tuhan. Pengalaman ini melebihi pengalaman intelektual belaka. Di dalam
pengalaman mistik terjadi perubahan kesadaran atau transformasi kesadaran dari
kesadaran mental spiritual yang bersifat empiris menjadi kesadaran transpersonal
yang bersifat tunggal-ilahiah (Hilmy, 2006). Bersifat empiris berarti bersifat nyata
dan konkret. Kesadaran mental-spiritual yang bersifat nyata ini akan dirubah
menjadi kesadaran transpersonal yang bersifat tunggal-ilahiah. Transpersonal
192
berasal dari kata trans yang berarti diatas (beyond, over) dan personal yang berarti
diri. Dalam pengalaman mistik kesadaran mental-spiritual yang masih bersifat
empiris ini akan berubah menjadi kesadaran yang melebihi atau diatas kesadaran
tentang diri dan kesadaran ini bersifat tunggal-ilahiah. Pengertian ini
menunjukkan adanya persatuan atau peleburan kesadaran yang melebihi
kesadaran tentang diri menuju ke kesadaran yang lebih luas, dan lebih tinggi yaitu
Tuhan. Menurut psikologi transpersonal, transformasi kesadaran adalah mengenai
pengalaman-pengalaman yang mendalam, perasaan keterhubungan dengan pusat
kesadaran semesta dan penyatuan dengan alam (Tart, 2001).
Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh responden I bahwa
ketika melakukan responden merasa kosong dan tidak ada apa-apa (W. R. I. 01.
76-77). Perasaan kosong dan tidak apa-apa adalah suatu gambaran pikiran dan
perasaan yang lupa segalanya atau tidak ingat apa-apa. Segala fungsi tubuh, baik
perasaan dan pikiran hanya ditujukan pada satu arah yaitu Tuhan. Ucapan,
ingatan, dan perasaan hanya difokuskan pada satu tujuan dan tidak ada yang lain.
Melupakan segalanya? Iya, melupakan segalanya…. setelah kita
mulai manembah, pikiran itu yah tidak kemana-kemana,
melupakan segala-galanya, menuju ke satu arah. Satu arah.
Pengertiannya satu arah itu hanya kepada Yang Maha Pencipta
atau kepada Tuhan. (W. R. I. 02. 256-301)
Hal ini dilakukan dan diresapi dengan sangat dalam artinya fokus dari
fungsi mental ditujukan pada satu tempat, yaitu hati terdalam, lubuk hati atau
telenge manah.
193
Tuhan itu yah tampatnya dimana-mana, besarnya sedunia ini,
mungkin lebih besar lagi tapi bisa dikatakan kecil karena sudah
berada di istilahnya telenge manah. Apa ya? Lubuk hati. (W. R. I.
02. 302-305)
Sebagaimana yang dikatakan oleh Geertz bahwa hati atau manah dianggap orang
Jawa sebagai inti dari individu manusia, pusat yang dalam dari eksistensinya, dan
suatu lokasi rohaniah, tempat dimana dirinya yang sejati yakni Tuhan dapat
ditemui (Geertz, 1989).
Keadaan yang lupa segalanya lebih ditegaskan dengan melupakan
keduniawian. Artinya melupakan segala urusan yang baru beberapa detik
ditinggalkan dan termasuk juga segala bentuk urusan yang ditangkap panca indera
seketika setelah ritual panembah dimulai.
Nggih, melupakan keduniawian ngoten lhe mbak. Dadi niate mung
nyaket thok, dadi teng mriki (menunjuk ke dada) damai dan
selamat. (W. R. II. 03. 354-356).
Inilah yang dimaksud dengan “merubah kesadaran mental-spiritual yang
bersifat empiris menjadi kesadaran transpersonal yang bersifat tunggal-ilahiah”.
Segala hal keduniawian yang empiris dan dapat ditangkap oleh panca indera
ditinggalkan dalam pengalaman mistik. Tidak ada yang dilihat, didengar, dirasa,
dan diraba. Kosong sama sekali. Suatu pengalaman yang dalam karena
membutuhkan kepasrahan dan keiklasan yang total atas segala hal menuju satu
tujuan yaitu Tuhan. Semua masalah dunia baik itu kesulitan hidup ataupun
kebahagiaan harus ditinggalkan.
194
Pikirane nggih, harus di kosongkan pikirkan itu harus kosong
mbak. Semua keduniawan koyo wis ditinggal-nggal tenan, ngoten
nika. Koyo-koyo nek belajar wis nglaleke, sing arep dipikir-pikir
yo wis iklasno ngoten nika. Tapi tidak setiap doa itu bisa tercapai
seperti itu. (W. R. II. 03. 400-404).
Ketika kesadaran ini telah berubah yaitu dari kesadaran mental spiritual
yang bersifat empiris menjadi kesadaran transpersonal yang bersifat tunggal-
ilahiah yang terjadi adalah suatu keadaan yang benar-benar kosong, sama sekali
kosong. Pengalaman mistik yang artinya mengalami mistik adalah mengalami
kekosongan. Pada saat ini pikiran dan perasaan hanya menuju pada Tuhan dan
benar-benar merasuk ke dalam hati sanubari. Dan ketika benar-benar kosong
inilah yang disebut sebagai manunggal.
Maksudnya manunggal itu… seperti yang saya katakan kemarin
dalam hati kecil atau perasaan saat melaksanakan manembah
berlaku manunggal, pikiran tidak memikirkan hal-hal lain selain
Gusti Allah. Jadi harus konsentrasilah intinya seperti itu. Ada
sesuatu atau hal-hal lain itu sedapat mungkin dilupakan . Jadi
saya merasa hanya berhadapan sama Tuhan, melupakan hal-hal
lain. Istilahnya jika saya merasa di sini, Tuhan di depan saya,
perasaanya begitu. Ini kalau dijabarkan panjang, tapi intinya ya
seperti tadi, istilahnya melupakan segala sesuatu apapun situasi
yang ada di dunia ini dan saat itu hati kita fokus hanya satu arah
berhadapan dengan Tuhan. (W. R. I. 03. 494-504).
195
Kekosongan inilah yang dianggap sebagai kontak atau persatuan antara
manusia dengan Tuhan, manunggaling kawula lan Gusti. Pada saat ini benar-
benar dirasakan bahwa tidak ada yang lain selain “aku” dan Tuhan.
pada saat melakukan panembah ini benar-benar rasa saya di
hadapan Tuhan, begitu. Rasanya tuh apakah eyang benar-benar
merasakan disitu hanya ada eyang sendiri dan Sang Maha Pencipta
atau masih ada gangguan?? Ya, yang jelas hanya saya dan Maha
Pencipta. Tidak ada yang lain. (W. R. I. 360-366).
Saat ini terjadi, batin adalah sama sekali kosong. Tak ada apa-apa sama
sekali, hanya ada titik di hati yang menghubungkan diri dengan Tuhan, seperti
yang diungkapkan responden I, “Pada saat luyut, tidak bisa merasakan sama
sekali hanya titik di hati. Seolah-olah ada tali yang menghubungkan dengan
Tuhan, hanya begitu”. Jika ada apa-apa, atau merasakan atau mendengar atau
melihat itu bukan. Dalam ajaran pangestu Tuhan sama sekali tak dapat
digambarkan, ora rupa, ora iso dirupakake. Kontak dengan Tuhan adalah suatu
keadaan yang benar-benar kosong dan tidak ada apa-apa. Dalam pengertian warga
pangestu inilah yang disebut dengan manunggaling kawula Gusti. Keadaan
manunggal adalah suatu keadaan yang tanpa isi sama sekali. Ketika fungsi mental
telah kehilangan kontak dengan segala hal yang berhubungan dengan
keduniawian ada satu tekanan yang harus diperhatikan bahwa pertemuan dengan
Tuhan adalah alam kosong, tak ada isi sama sekali, yang dalam banyak tulisan
mistik Jawa disebut sebagai alam suwung.
196
Tekanan ini penting karena dalam pengalaman mistik bukan tidak
mungkin ada satu penampakan yang mengaku sebagai Tuhan. Warga pangestu
selalu menegaskan hal ini, bahwa Tuhan bersifat immaterial, tidak dapat dicapai
dengan panca indera, berada di luar maupun di dalam, berada di mana-mana
mencakup alam semesta seisinya. Responden I menjelaskan bahwa terkadang
ketika pikiran dan perasaan sudah mulai lupa dengan hal-hal keduniawian maka
bisa terjadi gangguan dengan melihat sesosok dan mendengar bahwa sosok itu
mengatakan dirinya adalah Tuhan. Jika ini terjadi maka panembahnya belum
mencapai manunggal.
tapi kalau perasaan masih tergambar rumongso aku urip koyo
ngono, ada sesuatu merupakan gambaran itu Bukan….sebenarnya
tidak ada apa-apa, tapi kalau masih merasa ada, itu tetap
bukan….sulit ya? Apa kadang-kadang merasa ada apa-apa? Ya.
Apanya itu apa? Saya sudah konsentrasi secara benar sampai
hening, perasaan saya satu, saya berhadapan dengan Tuhan…oh
ini saya ketemu Tuhan rupa dan bentuknya seperti ini…oh
ternyata bukan. Apa kadang-kadang seperti itu? Ya….namanya
hawa nafsu sodara ke 4 tadi masih mengganggu…jadi bisa aja
terjadi demikian. Apa pernah terjadi? Ya….Melihat sesosok? Ya…
Apa? Ya hanya seperti tubuh manusia. Godaan bisa saya katakana
syetan…ya bentuk dan rupanya seperti manusia. (W. R. I. 03. 52-
546).
197
Pengalaman manunggal dalam panembah ini seperti apa yang
diungkapkan koltko (1989) bahwa pengalaman transpersonal adalah suatu
pengalaman yang melebihi pengalaman intelektual belaka, batas diri digambarkan
secara lebih luas dan kemudian hilang secara bersama-sama, dan situasi ini adalah
ketika rasa seseorang tentang identitas meluas melebihi batas kepribadian. Tidak
ada batas antara individu dan alam semesta, yang ada hanya kekosongan, suwung,
remang-remang namun dalam sanubari merasa bahwa ada hubungan atau kontak
dengan Tuhan. Responden I mengatakan sepanjang itu semua terjadi ada perasaan
nalongso, penuh dosa, dan ingin bertaubat. Kontak atau hubungan terjadi melalui
suatu doa atau permohonan namun dengan keyakinan yang amat sangat bahwa
seketika itu dia benar-benar dihadapan atau dipangkuan Tuhan.
Suasana ini membawa pada satu hasil akhir yang luar biasa. Secara
emosional seluruh responden mengaku bahwa ketika pengalaman mistik terjadi,
ketika kesadaranya seketika berubah dari empiris menjadi transpersonal hanya
ada perasaan bahagia. Ini tak ubahnya sebagai suatu keajaiban menurut responden
II. Hati merasa tenang, tentram, dan damai karena tidak merasakan apa-apa.
Mboten ngrasake pripun-pripun ngaten, koyo dene suatu keajaiban
ngaten nika, dadi awak ki ngrasake penak thok… Secara emosional
gimana? Secara emosional…mah… sedih.. seneng. Seneng, tentrem
og. Nek khusyuk tenan niku tenang…seneng…perasaane ki damai
seneng! (W. R. I. 02. 382-391)
Hal ini mirip apa yang disebut oleh Prof. Nurcholis Madjid sebagai
kemabukan mistik. Prof. Nurcholis Madjid menjelaskan hal ini dalam tulisannya
198
tentang mistisisme Islam. Satu hal pokok dalam pembicaraan tentang mistik yaitu
adanya keyakinan dan penghayatan yang dalam akan kehadirat Tuhan. Mistik
mampu membangun ruang personal antara individu dengan Tuhan, dan disinilah
letak penghayatan keagamaan yang tertinggi. Mengutip tulisan Prof. Nurcholis
Madjid, pengalaman mistik tertinggi menghasilkan situasi kejiwaan yang disebut
ekstase, suatu kemabukan mistik dimana individu tidak menyadari hal lain selain
keberadaan Tuhan. Prof. Nurcholis Madjid menjelaskan bahwa meskipun
pengalaman mistik hanyalah suatu kejadian sementara (transitory), namun
relevansinya bagi pembentukan budi pekerti akan bersifat abadi. Sebab dalam
pengamalan intense sesaat itu orang berhasil menangkap suatu kebenaran yang
utuh. Kesadaran akan kebenaran itulah yang menimbulkan rasa bahagia dan
tentram yang mendalam. Dan inilah yang dimaksud oleh Geertz (1989) bahwa
tujuan dari semua mistik adalah pencapaian ”rasa yang tertinggi”, yaitu rasa
bahagia dan tentram yang mendalam.
Perubahan kesadaran dalam pengalaman mistik oleh psikologi
transpersonal disebut dengan altered state of consciousness (ASC). ASC ini dapat
dicapai melalui hypnosis, meditasi, berdoa, yoga, atau dzikir. Pengalaman mistik
dalam ritual panembah ini tidak jauh berbeda dengan dengan berdoa, dzikir, dan
meditasi. Pada tingkatan sembah raga, panembah akan diikuti dengan dzikir
dengan mengucapkan hu-Allah berulang-ulang, dan dalam seluruh tingakatan
panembah selalu ada permohonan dan doa yang akan dipanjatkan. Perubahan
yang diungkapkan oleh responden sesuai dengan perubahan yang terukur dalam
penelitian Kjellgren, dkk (2008), yaitu:
199
1) A disturbed time sense (gangguan perasaan tentang waktu): percepatan
waktu atau “time standing still”; responden I dan II mengaku bahwa ketika
panembah dapat dilakukan dengan khusyuk responden tak merasa jika
ternyata panembah telah dilakukan selama 30 menit sampai 1 jam.
2) Perceptual change (perubahan perseptual): visual dan akustik; responden I
mengaku bahwa dalam keadaan manunggal tidak ada apapun yang di dengar
ataupun dilihat. Responden kehilangan kontak dengan dunia luar, yang ada
hanya kekosongan.
3) Body image change (perubahan gambaran tubuh): seperti sensasi
mengambang atau terbang atau experiencing body-boundaries dissolved
(mengalami batas tubuh yang lenyap); responden I mengaku bahwa pada
saat luyut atau manunggal tidak bisa merasakan batas antar alam dan diri,
yang ada hanya titik di hati. Sedangkan responden II mengaku bahwa ketika
khusyuk tubuhnya terasa sangat ringan, tidak merasakan pegal, ataupun
kesemutan. Responden II bahkan mengatakan bahwa pengalaman tersebut
seperi sebuah keajaiban.
4) Alteration thingking (pemikiran yang lebih): multi asosiasi, perasaan
kreativitas yang meningkat, atau pemikiran magis. Responden I dan II,
keduanya mengatakan bahwa dalam pikiran dan ingatan mereka hanya ada
gambaran diri yang penuh dosa dan ingin bertaubat. Responden merasa
nelangsa.
200
2. Tahapan Pengalaman Mistik
Pengalaman mistik dalam penelitian ini adalah pengalaman mistik yang
dirasakan ketika melakukan ritual panembah. Dalam pengalaman mistik itu
sendiri peneliti simpulkan ada tiga tahapan berdasarkan data yang diperoleh ketika
wawancara serta data sekunder dari kitab sasangka jati dan dokumen ceramah
pangestu yang dipinjamkan oleh responden kepada peneliti. Tahapan ini sangat
berhubungan dengan tingkatan panembah dalam ajaran pangestu. Hal ini tidak
jauh berbeda dengan tulisan Geertz (1989) dan Endraswara (2006) bahwa
biasanya ada dua tahapan dalam pengalaman mistik yaitu “neng” dan “ning”.
Berdasarkan penjelasan responden ada tiga tahapan ketika pengalaman mistik
berlangsung, yaitu:
1) Heneng, adalah suatu tahap dimana pelaku mistik berusaha meninggalkan
segala urusan keduniawian, melupakan segala-galanya dan pikiran
difokuskan atau ditujukan pada satu arah yaitu Tuhan. Pada tahap ini
pelaku mistik harus benar-benar berkonsentrasi penuh untuk meninggalkan
segala bentuk urusan dan masalah hidupnya dan kemudian memusatkan
pikirannya hanya pada Tuhan.
2) Hening, adalah kejernihan dan ketulusan hati dan pikiran untuk
menyembah Tuhan. Segala pujian, permohonan, dan doa harus diresapi
sedalam-dalamnya dan ditujukan pada satu titik ke lubuk hati dimana
Tuhan dianggap berada. Hal ini membutuhkan konsentrasi yang sangat
dan tidak akan tercapai sebelum pelaku mistik dapat melupakan segala hal
dan hanya mengingat Tuhan. Dapat diumpamakan hening adalah suatu
201
kedaan dimana dalam keheningan dan kejernihan pikiran, seseorang benar-
benar menyembah, memuji, dan memohon hanya kepada Tuhan dengan
ketulusan yang dalam.
3) Luyut, perasaan yang tenang, tentram dan kosong meninggalkan segala
beban duniawi. Pada tahapan inilah pelaku mistik akan menemui alam
suwung karena pada tahap ini pelaku mistik sudah benar-benar lupa
segalanya dan hanya merasakan kekosongan. Batas diri telah lenyap,
individu merasa lebur dengan alam semesta dan ikut menjadi satu dengan
kekosongan itu sendiri. Individu tidak merasakan apa-apa sama sekali
hanya titik di hati seolah-olah ada tali yang menghubungkan diri dengan
Tuhan.
Selanjutnya, tahapan dalam pengalaman mistik ini berkaitan erat dengan
tiga tingkatan dalam panembah dan empat tataran panembah. Panembah dalam
ajaran pangestu terdiri dari tiga tingkatan, yaitu panembah raga kepada roh suci,
panembah roh suci kepada suksma sejati, dan panembah suksma sejati kepada
suksma kawekas. Di dalam panembah ini sebenarnya terkandung empat tataran
penyembahan, yaitu sembah raga, sembah cipta, sembah kalbu, dan sembah rasa.
Berkaitan dengan tahapan pengalaman yang telah disebutkan diatas, setiap
tingkatan ternyata menunjukkan tahap pengalaman yang berbeda-beda. Ketiga
responden dalam penelitian ini ternyata melakukan tingkatan yang berbeda-beda.
Responden I mengaku belum lama merasakan sembah rasa setelah sekian lama
mengikuti pangestu, responden II merasa telah melakukan tingkatan sembah kalbu
walaupun baru lima tahun benar-benar menghayati ajaran pangestu, sedangkan
202
responden III masih dalam tingkatan sembah raga. Sembah raga dan sembah cipta
biasanya dianggap satu tingkatan atau tataran.
Tiap tahapan pengalaman mistik dalam tiga tingkatan dan tataran
panembah adalah sebagai berikut:
1) Panembah raga kepada roh suci, panembah raga kepada roh suci
mengandung tataran sembah raga dan sembah cipta. Dalam kitab sasangka
jati dijelaskan bahwa roh suci memiliki sifat Pangeran atau Tuhan yang
menguasai empat nafsu (luamah, amarah, supiah, dan mutmainah). Pada
tingkatan ini pelaku mistik berusaha ngereh hawa nafsune atau
mengekang hawa nafsunya. Dalam mengekang hawa nafsu ini pikiran
(cipta) digunakan untuk selalu mengingat Tuhan dan utusannya dengan
meluhurkan atau memuji namanya melalui gerakan yang diperagakan.
Pada panembah raga kepada roh suci ini berarti bertujuan untuk
menciptakan keadaan heneng dalam pengalaman mistik. Seperti yang
dirasakan oleh responden I, pada tahap ini tubuh dan panca indera
terkadang masih merasakan pegal, letih, ataupun kesemutan.
2) Panembah roh suci kepada suksma sejati, panembah roh suci kepada
suksma sejati mengandung tataran sembah kalbu. Pada tahap ini roh suci
sudah mampu menguasai hawa nafsunya jadi pikiran (cipta) mulai dapat
mengontrol hawa nafsu. Diri tidak lagi diarahkan oleh hawa nafsu karena
pikiran sudah mampu menguasai nafsu-nafsu itu. Pada tingkatan ini
individu mulai untuk taat dengan kesungguhan dan kesucian hati untuk
memasrahkan kuasa dirinya yaitu memasrahkan pikiran (cipta). Artinya
203
pikiran sudah tidak digunakan lagi dan mulai diselamkan kedalam
keheningan. Panembah tingkatan yang kedua ini adalah untuk mencapai
tahap hening dimana pikiran dapat seolah-olah berpisah dari otak dan
individu mulai untuk mengiklaskan segala hal dengan kejernihan dan
kesucian batin hingga diri menjadi larut dalam suasana hening. Individu
akan merasakan kedamaian dan ketenangan ketika mencapai keheningan.
Batas diri sedikit demi sedikit mulai tak terasa.
3) Panembah suksma sejati kepada suksma kawekas, merupakan tumraping
laku panunggal atau penerapan dari keadaan manunggal. Pada panembah
tingkat ketiga individu benar-benar memasrahkan segalanya kepada kuasa
Tuhan. Setelah mampu menundukan hawa nafsu, kemudian merelakan
pikiran dan akhirnya pada tahap ini individu memasrahakn angen-angen
atau harapan dan keinginan kepada Tuhan. Individu harus membiasakan
diri untuk ngukut angen-angene atau meredam segala keinginan agar
sedikit demi sedikit dapat sampai pada sadhuwuring budi atau memiliki
watak yang budiluhur. Pada tahap ini menunjukkan kepasrahan total
kepada Tuhan, batas diri mulai lebur karena tak ada lagi nafsu, kebutuhan,
dan keinginan yang ada hanyalah kuasa Tuhan. Hasil akhir dari tingkatan
ini adalah keadaan luyut, yaitu lupa akan segala-galanya, yang ada
hanyalah kekosongan, tanpa isi sama sekali.
Tiap tingkatan ini hanya individu masing-masing yang bisa merasakan.
Sama sekali tidak ada patokan bahwa pada kuantitas seberapa individu dapat naik
ke tingkatan berikutnya. Diri pribadi yang melakukan dan juga diri sendiri yang
204
merasakan serta memutuskan sudah mampukah untuk melanjutkan ke tingkatan
panembah selanjutnya.
3. Realisasi Diri dalam Ajaran Pangestu
Menurut ajaran pangestu yang terangkum dalam candra jiwa (Sasangka
Djati, 2005; Ceramah Penerangan Pangestu, 2009), manusia terdiri dari tiga
struktur jiwa yaitu:
1) Badan jasmani kasar (soma), terdiri dari tubuh manusia dan lima panca
indera. Panca indera inilah yang menghubungkan manusia dengan dunia luar
atau dunia besar (jagad gedhe).
2) Badan jasmani halus (psyche), terdiri dari angan-angan, nafsu, dan perasaan.
Angan-angan, merupakan bayangan Tripurusa, terdiri dari cipta atau pikiran
(pangaribawa) yang merupakan bayangan roh suci dan memiliki fungsi
membayangkan dan menangkap gatra dan wujud. Kedua, adalah nalar
(prabawa) yang merupakan bayangan suksma sejati yang berfungsi untuk
menghubungkan bayangan yang ada dan ketiga, adalah pengerti (kemayan)
yang merupakan bayangan dari suksma kawekas berfungsi untuk
menimbulkan pengertian setelah melihat keseluruhan fungsi cipta dan nalar.
Nafsu terdiri dari empat macam yang terbetuk dari empat anasir yaitu luamah,
amarah, sufiah, dan mutmainah. Perasaan adalah hasil dari mempengaruhi
(interaksi) antara angan-angan dan nafsu-nafsu. Bila angan-angan dan nafsu-
nafsu selaras maka perasaan menjadi positif yaitu menerima, senang, puas,
dsb. Bila yang terjadi adalah sebaliknya maka perasaan menjadi negatif yaitu
perasaan menolak, sedih, kecewa, dsb.
205
3) Alam sejati, adalah tempat bertahtanya Tripurusa, kerajaan Allah yang berada
di hati sanubari manusia yang suci.
Candra jiwa manusia menurut ajaran pangestu ini diibaratkan seperti
kereta kencana yang ditarik oleh empat ekor kuda dengan empat warna dan
dikendalikan oleh seorang kusir. Di dalam kereta duduk seorang penumpang
menggunakan pakaian jubah dan sorban. Arti dari perumpamaan ini adalah badan
jasmani diumpakan sebagai kereta, empat nafsu sebagai kuda, angan-angan
diumpamakn sebagai kusir, dan roh suci diumpamakan sebagai penumpang.
Manusia dalam pangestu diibaratkan hidup sesuai dengan kereta kencana yang
berjalan. Jika kuda dan kusir terprakarsai oleh kehendak penumpang yang telah
mendapatkan sinar atau pepadhang dari Tuhan maka hidupnya akan bahagia dan
tenang. Kereta kencana diibaratkan seperti kaca. Jika kaca itu bersih dan bening
maka sinar Tuhan mampu ditangkap, namun jika kaca itu kotor dan gelap maka
sinar Tuhan tak kan mampu menjangkaunya.
Kereta kencana atau jiwa manusia dalam ajaran Pangestu dituntun menuju
pancasila yaitu menusia dengan lima watak utama, yaitu rila, narima, temen,
sabar, dan budi luhur. Lima watak utama ini tercapai dengan menundukan badan
jasmani halus pada tri sila yaitu sadar, percaya, dan mituhu (taat). Angan-angan
yang terdiri dari cipta, nalar, dan pangerti harus sadar akan rahsa sejati, artinya
angen-angen menyadari alam sejati tempat Tripurusa bertahta. Perasaan harus
percaya akan rahsa sejati dan alam sejati. Oleh karena itu empat nafsu dapat
dikendalikan oleh angan-angan dan akhirnya mampu taat serta selaras akan karsa
Tuhan. Hasil akhir dari semua ini adalah manusia hidup tak lagi mengikuti arah
206
kemana empat kuda wujud dari nafsu-nafsu ini berjalan, melainkan arah hidup
manusia dikendalikan oleh karsa Tuhan melalui angan-angan yang mampu
mengendalikan laju empat nafsu tersebut.
Konsep ajaran pangestu tentang manusia ini dapat dibandingkan proses
individuasi dalam teori Jung. Hasil akhir dari individuasi adalah realisasi diri dan
komponen paling penting dalam individuasi adalah membuka tabir ketidaksadaran
menuju satu keutuhan dan kebulatan kepribadian. Dalam individuasi, ego akan
menurunkan tahta persona untuk lebih mendekat kepada ketidaksadaran. Tujuan
akhir dari pencarian ego di dalam ketidaksadaran adalah diri (self). Sebelum
sampai pada self, harus ada pengetahuan diri dimana ego menyadari sisi gelap
kepribadiannya, kemudian biseksualitas psikologisnya, lalu menerima setiap
pengetahuan tentang dirinya tersebut dan baru akan sampai pada self. Ketika
realisasi diri tercapai jiwa mengembangkan pusat yang baru yaitu diri (self)
menggantikan pusatnya yang lama yaitu ego (Hall & Lindzey, 2005). Ketika
realisasi diri ini tercapai, shadow dan syzygy (anima dan animus) tak lagi
memproyeksikan dirinya ke dalam ego sehingga mempengaruhi perilaku sadar
individu. Shadow sebagai sisi gelap manusia dan syzygy sebagai biseksualitas
psikologis telah terdiferensiasi dan terintegrasi dalam diri (self) dan pada akhirnya
diri (self) mampu mengungkapkan diri dalam sifat-sifat orang-orang yang
terindividuasi, orang-orang yang telah merealisasikan dirinya.
Ada kesamaan antara individuasi dan candra jiwa dalam ajaran pangestu.
Pangestu sering ditegaskan oleh penganutnya sebagai wadah pendidikan jiwa
dimana tujuannya adalah membekali para anggotanya dengan jiwa yang sehat,
207
kuat, dan berbudi pekerti luhur agar dapat melaksanakan tugas hidup jasmaniah-
rohaniah dengan sempurna dan agar dapat mencapai tujuan hidup yang hakiki
ialah hidup bahagia abadi dan akhirnya dapat kembali bertunggal dengan Tuhan.
Dalam wawancara dengan ketiga responden banyak diungkapkan bahwa tujuan
dari ajaran pangestu ini adalah membentuk pribadi yang berbudi pekerti luhur,
dan caranya adalah dengan melaksanakan jalan rahayu yaitu paugeraning
pangeran marang kawula sebagai dasar kepercayaan, panembah, budi darma atau
beramal, mengekang hawa nafsu, dan budi luhur sebagai bekal dalam menuju
hidup yang sejati.
Inti dari ajaran pangestu adalah membentuk pribadi yang budi luhur
karena pribadi inilah yang dianggap dapat hidup bahagia dan mampu manunggal
dengan Tuhan. Pribadi yang budi luhur adalah manusia yang mampu
melaksanakan perbuatan yang disenangi oleh Tuhan dan segala perilakunya dekat
dengan sifat Tuhan. Sedangkan menurut Jung (1986) dalam diri manusia ada satu
tendens yang paling besar yaitu kecenderungan batin untuk mewujudkan diri,
untuk menjadi diri sendiri. Sebab dalam diri manusia terdapat kemungkinan atau
potensi-potensi asli yang mengarah pada tujuan tertentu dan tujuan dari proses
perkembangan psikis adalah mencapai keutuhan kepribadian, yang sebesar
mungkin meluaskan bidang kesadaran. Jalan unik untuk mencapainya disebut
individuasi dan tujuan dari individuasi ini tidak lain daripada membebaskan self
dari bungkus-bungkus palsu persona (topeng psikis sebagai adaptasi atau
penyesuaian dengan tuntutan sosial) dan dari kekuasaan alam tak sadar arketipis
yang merajalela (shadow dan anima atau animus). Hal ini tak ubahnya dengan
208
proses membebaskan pancaran tripurusa dari angan-angan yang dikendalikan oleh
empat nafsu hewani dalam ajaran pangestu.
Self adalah arketip yang menggambarkan Tuhan (dalam Jung, 1986). Jika
ini dibandingkan dengan banyak ajaran kebatinan di Jawa secara umum dan ajaran
pangestu khususnya nampak banyak kesamaan. Inti dari ajaran mistik, termasuk
juga pangestu adalah mengolah rasa batin untuk menyatukan diri dengan Tuhan
(manunggaling kawula Gusti) dan mewujudkan manusia yang berbudi pekerti.
luhur. Dalam ajaran pangestu seorang dituntun untuk menjadi manusia yang
berbudi luhur dan manusia berbudi luhur dapat menunggal dengan Tuhan setelah
meninggal. Untuk menjadi manusia yang berbudi luhur ini harus memiliki empat
watak utama dalam pancasila yaitu rila, narima, temen, sabar. Jika keempat watak
telah dimiliki maka otomatis watak budi luhur ini tercapai. Watak pancasila ini
tercapai dengan membawa badan jasmani halus kepada trisila, yaitu membawa
angan-angan, perasaan, dan nafsu-nafsu untuk sadar, percaya, dan taat.
Sempurnanya trisila, pancasila, dan jalan rahayu, mencapai budi luhur didorong
oleh panembah yang sempurna.
Jika pangestu menuntun untuk membersihkan jiwa manusia agar pancaran
sinar tripurusa dapat diterima menuju manusia yang berbudi pekerti luhur yang
menjalankan karsa Tuhan maka tidak berbeda dengan teori Jung yang
menyatakankan bahwa manusia memiliki tendensi untuk mengungkapkan dirinya
yang sejati melalui individuasi menuju self sebagai gambaran Tuhan (imago dei)
agar tercapai realisasi diri. Dengan kata lain penganut pangestu dalam berusaha
209
mencapai manusia berbudi pekerti luhur adalah sedang melakukan proses
individuasi untuk mencapai realisasi diri.
Realisasi diri di dalam ajaran pangestu adalah tercapainya pribadi yang
berbudi luhur yang memiliki lima watak utama dalam pancasila. Pribadi yang
berbudi pekerti luhur adalah pribadi yang mampu mengungkapkan self sebagai
pusat baru dalam kepribadiannya. Arketip self adalah sama dengan gambaran
Tripurusa dalam ajaran pangestu yang terselam dalam alam kasunyatan atau alam
sejati. Jika ini terungkapkan maka sang manusia menjadi manusia yang berbudi
luhur yaitu memiliki perilaku yang sesuai dengan karsa Tuhan. Tabel 10 dibawah
ini menunjukkan perbandingan antara empat sifat dalam proses individuasi
dengan proses mencapai budi luhur dalam pangestu.
Tabel 10
Perbandingan proses Individuasi dengan Proses Mencapai Watak Budi Luhur dalam
Pangestu
Empat sifat dalam individuasi
(dalam Baihaqi, 2008; Schultz,
1991)
Proses meencapai watak budi luhur
melalui tiga tingkatan panembah
dalam pangestu
a. Sifat pertama ialah bahwa orang
menyadari segi-segi diri yang telah
diabaikannya. Hal ini tidak dapat
terjadi sebelum usia setengah tua.
Untuk bertujuan ke arah individuasi,
orang harus melepaskan tingkah laku-
tingkah laku, nilai-nilai, dan pikiran-
pikiran yang membimbing setengah
a. Angan-angan harus dibuat sadar dan
perasaan dibuat percaya akan adanya
Tripurusa (Tuhan Yang Maha Esa)
sehingga individu dapat merasakan
rasa sejati yaitu merasakn kehadiran
Tripurusa dalam hati sanubari yang
suci.
b. Meredam atau mengendalikan nafsu
210
Lanjutan tabel 10
Empat sifat dalam individuasi
(dalam Baihaqi, 2008; Schultz,
1991)
Proses meencapai watak budi luhur
melalui tiga tingkatan panembah
dalam pangestu
bagian pertama dari kehidupan dan
sampai pada ketidaksadarannya;
b. Sifat kedua ialah pengorbanan tujuan-
tujuan material dari masa remaja
dewasa dan sifat-sifat kepribadian yang
memungkinkan seseorang mencapai
tujuan-tujuan itu. Dalam individuasi
tidak ada satupun fungsi atau sikap
yang dominan. Di dalam individuasi
akan terjadi perubahan-perubahan pada
usia setengah tua, yaitu yang pertama
penurunan tahta persona. Kepribadian
publik tetap diteruskan sebab masih
ada peranan-peranan sosial tetapi orang
harus menyadari dirinya dan juga
menjadi dirinya sendiri. Yang kedua,
ialah menyadari semua kekuatan
bayang-bayang yang bersifat destruktif
dan konstruktif. Hal ini berarti orang
harus menyadari sisi gelap
kepribadiannya serta menerima impuls-
impuls yang bersifat animalistis dan
primitif seperti sifat destruktif dan
egois. Hal ini merupakan bagian dari
tahap pengetahuan diri, individu harus
menerima dan menyadari sisi buruk
kepribadiannya juga. Yang ketiga ialah
lauamah dan amarah, sehingga cipta
tidak lagi dutunggangi lauamah dan
amarah. Terkendalinya laumah dan
amarah mewujudkan watak jujur dan
sabar. Dengan demikian angan-angan
(cipta, nalar, dan pangerti) mendapat
tuntunan dan pepadang dari suksma
kawekas dan suksma sejati. Sila ketiga
tri sila tercapai dengan membuat taat
nafsu laumah dan amarah kepada
cipta. Hal ini merupakan hasil dari
kesempurnaan sembah raga (tingkatan
pertama dalam panembah)
c. Nalar (prabawa) ditundukkan sampai
menyerah kepada suksma sejati, dan
prabawa silem ing kaheningan atau
larut dalam keheningan. Watak rila
dan narima terwujud karena sifat tidak
iklas dan tidak menerima
bersumberkan pada prabawa (nalar)
yang ditunggangi oleh laumah.
d. Menundukkan kamayan (pangerti)
tunduk dan pasarh kepada suksma
sejati dan akhirnya kamayan (pangerti)
larut dalam keheningan. Bersama-
sama cipta dan nalar, kamayan
(pangerti) lepas dari otak dan individu
211
Lanjutan tabel 10
Empat sifat dalam individuasi
(dalam Baihaqi, 2008; Schultz,
1991)
Proses meencapai watak budi luhur
melalui tiga tingkatan panembah
dalam pangestu
menerima biseksualitas psikologis
yaitu anima dan animus. Bersamaan
dengan pengetahuan diri muncullah
penerimaan diri.
c. Sifat ketiga ialah integrasi diri. Semua
segi kepribadian diintegrasikan dan
diharmoniskan sehingga semuanya
dapat diungkapkan. Untuk pertama
kalinya hidup, tidak ada segi, sikap,
atau fungsi yang dominan.
d. Sifat terakhir ialah orang yang mampu
menampakkan ungkapan-diri.
Ungkapan diri merupakan sifat terkahir
dari orang-orang yang terindividuasi.
menjadi luyut. Budi luhur tercapai atau
panunggla antara roh suci, suksma sejati,
dan suksma kawekas terwujud di alam
sejati. Individu mencapai tingkat
kasunyatan jati dan tercapailah watak budi
luhur.
4. Realisasi Diri dan Aktualisasi diri melalui Pengalaman Mistik
Ketiga responden mengaku bahwa banyak perubahan yang terjadi pada
diri masing-masing setelah sekian lama menghayati ajaran pangestu. Responden I
yang telah 39 tahun menghayati pangestu mengaku belum lama ini merasakan
pengalaman manunggal dalam melakukan panembah dan hanya satu orang ini saja
dari ketiga responden penelitian yang mengaku sudah merasakan manunggal
ketika panembah. Walaupun begitu responden I masih merasa belum menjadi
pribadi yang diharapkan dalam ajaran pangestu atau pribadi yang berbudi luhur.
Responden II mengaku baru lima tahun benar-benar menghayati ajaran pangestu
212
dan sekarang responden telah sampai pada sembah kalbu. Sedangkan responden
III sudah 27 tahun mengikuti pangestu tapi masih menjalankan sembah raga.
Hanya responden I dan II yang memiliki banyak gambaran tentang pengalaman
mistik dalam melakukan panembah. Responden III mengaku masih sering
merasakan kesemutan selama melakukan panembah. Dari ketiga responden
mengatakan bahwa banyak sekali perubahan yang telah dirasakan setelah
mengikuti dan menghayati ajaran pangestu.
Sesuai dengan teori Maslow, bahwa merasakan pengalaman mistik dalam
jangka waktu lama akan membawa banyak perubahan yang dikategorikan dalam
(dalam Alwisol, 2008):
1) Hilangnya symptom neurotik,
2) Kecenderungan melihat diri sendiri lebih sehat,
3) Perubahan pandangan mengenai orang lain dan hubungan dirinya dengan
orang lain,
4) Perubahan pandangan diri mengenai dunia,
5) Munculnya kreativitas, spontanitas, dan kemampuan mengekspresikan diri.
6) Kecenderungan mengingat pengalaman puncak itu dan berusaha
mengulanginya,
7) Kecenderungan melihat kehidupan secara umum sebagai hal yang lebih
berharga.
Ketujuh perubahan ini setelah ditanyakan kepada ketiga responden, beberapa
diantaranya menunjukkan jawaban yang tidak jauh berbeda dari ketiga responden.
Hanya satu pertanyaan yang yang dijawab berbeda dari ketiga responden yaitu
213
pertanyaan dari kategori hilangnya symptom neurotik. Neurotik dalam teori
Maslow dijelaskan sebagai suatu halangan untuk memperoleh kepuasan
kebutuhan dasar dan menghalangi gerak maju menuju aktualisasi diri (Alwisol,
2008). Untuk kategori ini peneliti menggunakan pertanyaan “apakah setelah
mengahayati ajaran pangestu sejauh ini masih ada perasaan cemas menghadapi
hari esok atau masa depan?”. Dari ketiga responden, hanya responden I yang
menjawab, “tidak sama sekali” (W. R. I. 03. 895-896). Responden II menjawab,
“masih, tapi sudah berkurang, jauh berkurang” (W. R. II. 03. 940-945). Dan
responden III menjawab, “sedikit masih ada” (W. R. III. 03. 410-421).
Keenam kategori pertanyaan lainnya di jawab hampir sama oleh ketiga
responden. Seluruh responden cenderung merasa dirinya lebih sehat sekarang.
Keseluruhan responden merasa pikiran longgar, tenang, tidak emosional, dan rasa
ingin marah yang jauh berkurang (lebih sabar). Seluruh responden juga merasa
hubunganya dengan orang lain semakin baik khususnya hubungan dalam rumah
tangga. Ketiga responden sama-sama menjawab bahwa keadaan rumah tangganya
kini lebih kompak. Interaksi dengan orang lain selain keluarga pun menjadi lebih
iklas khususnya dalam hal saling tolong menolong. Untuk kategori perubahan
pandangan diri mengenai dunia pun menunjukkan respon yang sama dari ketiga
responden. Dunia diartikan sebagai alam kehidupan, lingkungan, dan segala yang
bersifat kebendaan. Dan pandangan responden mengenai hal ini selalu
dihubungkan dengan ciptaan Tuhan atau titipan Tuhan. Responden I dan II sangat
jelas menunjukkan hal ini (W. R. I. 03. 699-708; 856-857; 873-877 dan W. R. II.
03. 700-705; 776-789; 825-927; 827-860) sehingga membuat dua orang ini
214
memandang perbedaan entah itu perbedaan agama, ras, golongan ataupun apa saja
hanya sebagai sarana menuju satu tujuan yang sama. Misalkan saja perbedaan
agama dipandang hanyalah perbedaan cara namun memiliki tujuan yang sama
yaitu kembali ke Tuhan. Ataupun perbedaan kaya dan miskin dipandang hanyalah
sebuah cobaan. Harta dan kekayaan hanyalah sebuah titipan bukan tujuan. Orang-
orang ini memiliki satu tujuan yang sama yaitu kembali kepada Tuhan dan
manunggal setelah meninggal menuju alam kamulyan langgeng (surga).
Ketiga responden juga menunjukkan sikap yang spontan, apa adanya,
jujur, bebas, dan tanpa pamrih. Misalkan dalam menolong peneliti ketika
pengambilan data, ketiga responden mau meminjamkan buku-bukunya, dan
meluangkan waktu untuk wawancara. Responden II adalah salah satu contoh
orang yang sangat jujur dan spontan bahkan bersedia bercerita tentang
permasalahan rumah tangganya atau langsung tanpa basi-basi meminjamkan
semua buku-buku pangestu kepada peneliti. Ketiga responden juga nampak
melihat kehidupan secara umum lebih berharga. Hal ini tampak dari tujuan-tujuan
mereka mengikuti pangestu (W. R. I. 02. 160-182; W. R. II. 02. 181-191; W. R.
III. 01. 25-26). Mereka ingin merubah hidup mereka menjadi lebih baik,
berperilaku baik, lebih mendekatkan diri kepada Tuhan, dan akhirnya dapat
meninggal dengan manunggal. Ketiga responden juga selalu berusaha untuk
meningkatkan pengalaman mereka dalam melakukan panembah. Ketiga
responden merasa sulit melakukan panembah yang sempurna sehingga bisa benar-
benar mengalami suatu pengalaman mistik manunggal dengan Tuhan namun
ketiganya selalu berusaha untuk terus melakukanya sampai bisa.
215
Hal ini menunjukkan bahwa orang-orang pangestu memiliki metamotivasi
untuk terus mengaktualisasikan dirinya. Peakers dalam teori Maslow adalah
orang-orang yang hidup dalam dunia B, dimetamotivasikan dengan lebih jelas,
memiliki pengalaman puncak yang memberikan wawasan yang jelas tentang diri
dan dunia mereka (Schultz, 1991). Orang-orang pangestu adalah peakers dalam
teori maslow. Orang-orang ini berusaha untuk terus berkembang menjadi pribadi
yang sesuai dengan ajaran pangestu, terus dan terus meskipun itu sulit.
Pengalaman mistik yang mereka rasakan membawa mereka pada wawasan bahwa
dirinya sebagai manusia dan dunia dimana dia berada adalah milik Tuhan. Dengan
menjadi pribadi yang berawatak budi luhur maka manusia akan mampu menjadi
dirinya yang sejati yang memiliki perilaku sesuai dengan karsa Tuhan.
Jika aktualisasi diri dalam teori Maslow dipandang sebagai kebutuhan
tertinggi dari suatu hirarki kebutuhan, namun juga dipandang sebagai tujuan final,
tujuan ideal dari kehidupan manusia (dalam Alwisol, 2008). Maka hal ini pun
sama dengan realisasi diri dalam teori Jung yang dianggap sebagai tujuan final
perkembangan kepribadian manusia menuju keutuhan. Dalam ajaran pangestu
yang dipandang sebagai tujuan utamanya adalah membentuk watak pancasila,
menjadi pribadi yang berbudi luhur dan akhirnya nanti akan dapat manunggal
dengan Tuhan ketika meninggal. Dalam ajaran pangestu pribadi yang mekar
menjadi dirinya yang sejati adalah pribadi yang memiliki watak budiluhur yang
memiliki sifat-sifat yang dekat dengan Tuhan, perilakunya adalah sesuai dengan
karsa Tuhan. Dan untuk mencapai seperti ini tergantung pada sempurnanya
panembah (Bawa Raos ing Salabeting raos, 1986). Pengalaman mistik yaitu
216
pengalaman dimana individu merasakan kontak dengan alam semesta dan Tuhan
adalah terjadi pada saat panembah. Sempurnanya ini semua akan membawa pada
pembentukan watak yang budi luhur. Dapat dikatakan bahwa budi luhur dalam
pangestu merupakan suatu tujuan final perkembangan manusia yang dalam
psikologi analitik disebut realisasi diri, dan psikologi humanistik disebut
aktualisasi diri.
Tabel 11 dibawah ini menunjukkan perbandingan lima watak pancasila
dengan ciri-ciri individu yang terindividuasi (terealisasi) (dalam Schultz, 1991)
dan ciri-ciri inidividu yang teraktualisasi (dalam Alwisol, 2008; Boeree dalam
www.ship.edu.com; Baihaqi, 2008; Goble, 2000).
Tabel 11
Perbandingan Lima Watak Utama Pancasila, Ciri Realisasi Diri, dan Ciri Aktualisasi diri
Lima watak Pancasila
dalam Ajaran Pangestu
Ciri-ciri Realisasi
diri
(dalam Schultz,
1991)
Ciri-ciri Aktualisasi Diri
(dalam Alwisol, 2008; Boeree
dalam www.ship.edu.com;
Baihaqi, 2008; Goble, 2000).
1) Rila, berarti ikhlas. rila
adalah keleluasaan hati
dengan disertai rasa
bahagia dalam
menyerahkan seluruh
miliknya,
wewenangnya, dan
semua hasil
pekerjaannya kepada
Tuhan, dengan rasa
tulus ikhlas, sebab
1) Penerimaan dan
toleransi terhadap
kodrat manusia
pada umumnya.
Orang-orang
yang
terindividuasi
memiliki
kesadaran dan
toleransi yang
lebih besar
1) Orang-orang yang reality-
centered, dimana dapat
mendeferensiasikan apa itu
tipuan dan ketidakjujuran dari
apa itu kenyataan dan
kesungguhan. Orang-orang ini
tidak memandang dunia hanya
sebagaimana yang diinginkan
atau dibutuhkan, namun
melihatnya sebagaimana
adanya.
217
Lanjutan tabel 11
Lima watak Pancasila
dalam Ajaran Pangestu
Ciri-ciri Realisasi
diri
(dalam Schultz,
1991)
Ciri-ciri Aktualisasi Diri
(dalam Alwisol, 2008; Boeree
dalam www.ship.edu.com;
Baihaqi, 2008; Goble, 2000).
semua itu ada dalam
kekuasaan Tuhan, maka
harus tidak ada sesuatu
apapun yang
mengganjal
(membekas) dalam
hatinya. Orang ini tidak
mengharap-harapkan
buah jerih payahnya,
bersusah hati atau
berkeluh kesah tentang
semua penderitaan atau
kesengsaraan. Orang ini
tidak menginginkan
sanjung puji dan
kemashuran. Tidak iri
hati dan tidak gemar
mencampuri urusan
orang lain, serta tidak
lekat kepada semua
benda yang dapat rusak
tetapi bukan orang yang
melalaikan kewajiban.
2) Narima, berarti
menerima apa adanya.
Kitab Sasangka Djati
terhadap kondisi
umat manusia,
dengan begitu
orang-orang ini
merasa lebih
empati dengan
masalah
kemanusiaan,
tanpa
memandang ras,
golongan, dan
agama (Baihaqi,
2008; Schultz,
1991).
2) Orang-orang ini
menerima apa
yang tidak
diketahui dan
misterius,
menerima dalam
kesadaran dan
ketidaksadaran,
serta adanya
faktor-faktor
irasional. Hal ini
juga meliputi
2) Orang-orang ini adalah
problem-centered, artinya
memperlakukan kesulitan
hidup sebagai suatu masalah
yang perlu solusi, bukan
suatu kekacauan personal
yang bisa membuat
menyerah begitu saja. Dan
orang-orang ini memiliki
pandangan yang berbeda
tentang makna dan tujuan.
Orang-orang seperti ini
memiliki dedikasi yang
tinggi terhadap pekerjaan
dan profesinya. Orang-orang
ini menganggap pekerjaan
bukanlah sebagai tugas,
namun sebagai suatu
permainan dan senang
melakukannya.
3) Orang-orang yang
menikmati kesepian, dan
nyaman dengan kesendirian.
Orang-orang ini menikmati
relasi personal yang lebih
dalam dengan sedikit teman
218
Lanjutan tabel 11
Lima watak Pancasila
dalam Ajaran Pangestu
Ciri-ciri Realisasi
diri
(dalam Schultz,
1991)
Ciri-ciri Aktualisasi Diri
(dalam Alwisol, 2008; Boeree
dalam www.ship.edu.com;
Baihaqi, 2008; Goble, 2000).
(1969) menyebutkan
bahwa orang yang
bersikap narima
bukanlah orang yang
lemah dalam
pekerjaannya, tetapi
orang yang “nrima ing
pandum”, yang artinya
orang yang menerima
apa yang telah menjadi
bagiannya dan selalu
bersyukur kepada
Tuhan. Orang–orang ini
adalah orang yang
terkaya di antara
manusia kaya lainnya.
Sikap rela mengarahkan
perhatian kepada segala
sesuatu yang telah
dicapai dengan
upayanya sendiri,
sedangkan narima
menekankan kepada
“apa adanya”,
menerima segala
sesuatu yang telah
menimpa diri (De Jong,
gejala-gejala
supranatural dan
spiritual yang
mencakup
kepercayaan
terhadap
kewaskitaan dan
kepercayaan
terhadap Allah.
3) Selanjutnya
orang yang
sudah
terindividuasi
adalah orang
yang memiliki
kepribadian
yang universal
karena tidak ada
satupun segi
kepribadian
yang dominan
(Baihaqi, 2008;
Schulz, 1991).
Ketika
individuasi
tercapai, self
meliputi totalitas
dekat dan anggota keluarga,
daripada suatu hubungan yang
dangkal dengan banyak orang.
Orang-orang ini memiliki
kemampuan untuk membentuk
pikiran, mencapai keputusan,
dan melaksanakan dorongan
dan disiplinnya sendiri.
4) Orang-orang ini menikmati
otonomi, suatu kemerdekaan
yang relatif dari sekedar
kebutuhan fisik dan sosial.
Orang-orang ini menentang
enkulturasi, tidak mudah
terkena jebakan tuntutan sosial
untuk menjadi ”sesuai aturan”
atau ”layak”, dalam
kenyataannya orang-orang ini
nonconformists in the best
sense. Hal ini terjadi karena
orang-orang ini tidak lagi
didorong oleh motif-motif
kekurangan dan tidak
tergantung pada dunia nyata
untuk mendapatkan kepuasan
sebab pemuasan dari motif-
motif pertumbuhan datang dari
219
Lanjutan tabel 11
Lima watak Pancasila
dalam Ajaran Pangestu
Ciri-ciri Realisasi
diri
(dalam Schultz,
1991)
Ciri-ciri Aktualisasi Diri
(dalam Alwisol, 2008; Boeree
dalam www.ship.edu.com;
Baihaqi, 2008; Goble, 2000).
1976); narima
cenderung kepada
ketentraman hati, jadi
bukan orang yang
enggan bekerja,
melainkan menerima
apapun yang menjadi
bagiannya. Apapun
yang sudah ada di
tangannya dikerjakan
dengan senang hati,
tidak tamak, dan tidak
serakah serta tidak iri
terhadap kebahagiaan
orang lain.
3) Temen, berarti jujur dan
sungguh-sungguh.
Temen dalam kitab
Sasangka Djati (1969)
diartikan sebagai ajaran
yang membangun
kesadaran manusia agar
selalu sungguh-sungguh
menepati janji atau
kesanggupannya, baik
yang masih dalam batin
maupun yang sudah
psyche manusia
seimbang dalam
pusatnya, self
menyatukan tanpa
kontradiksi dari
kutub-kutub jiwa:
kesadaran dan
ketidaksadaran,
terang dan gelap,
tubuh dan jiwa, dan
sebagainya (Kuhnis,
2006).
dalam. Orang-orang ini
mampu mempertahankan suatu
ketenangan dasar di tengah-
tengah apa yang dilihat orang-
orang yang kurang sehat
sebagai malapetaka.
5) Orang-orang yang memiliki
unhostile sense of humor,
memiliki kualitas yang disebut
acceptance of self and others.
Artinya, orang-orang ini lebih
suka membawa “dirimu”
sebagai “dirimu” daripada
merubah “dirimu” menjadi apa
yang seharusnya. Orang-orang
ini juga memiliki motivasi
yang kuat untuk merubah
kualitas negatif dalam diri
mereka sendiri jika dapat
dirubah. Ini semua datang
secara spontan dan simpel.
Orang-orang ini lebih suka
menjadi diri mereka sendiri
daripada harus pura-pura
terlihat “wah”.
6) Orang-orang ini memiliki rasa
kerendahan hati dan rasa
220
Lanjutan tabel 11
Lima watak Pancasila
dalam Ajaran Pangestu
Ciri-ciri Realisasi
diri
(dalam Schultz,
1991)
Ciri-ciri Aktualisasi Diri
(dalam Alwisol, 2008; Boeree
dalam www.ship.edu.com;
Baihaqi, 2008; Goble, 2000).
diucapkan.
4) Sabar, dalam Sasangka
Djati (1969) diartikan
sebagai sikap kuat
dalam menghadapi
segala cobaan, tetapi
bukan orang yang
pupus dalam
keinginannya, namun
kebalikannya sebagai
orang yang sentosa
hatinya, luas ilmunya,
tidak sempit budinya,
pantas disebut lautnya
pengetahuan, oleh
karena dirinya yang
tidak membeda-
bedakan antara emas
dengan tanah, kawan
dengan lawan sudah
dianggap sama saja.
Dapat diumpamakan
sebagai samudra yang
dapat menampung apa
saja, tidak bisa meluap
akibat dialiri oleh
sungai-sungai dari
hormat terhadap orang lain.
Artinya, orang-orang ini
terbuka terhadap etnik dan
keunikan individual, bahkan
menghargainya. Orang-orang
ini memiliki ketertarikan
sosial, perasaan kasihan, dan
kemanusiaan. Hal ini diiringi
oleh etika yang kuat, yang
mana adalah spiritual dan
kadang-kadang religiusitas
dalam pengertian yang alami.
7) Orang-orang ini memiliki
apresiasi yang segar,
kemampuan untuk melihat
sesuatu, bahkan sesuatu yang
luar biasa. Orang-orang ini
tidak mudah menjadi puas atau
bosan oleh pengalaman hidup.
Orang-orang ini senantiasa
menghargai pengalaman-
pengalaman tertentu
bagaimanapun seringnya
pengalaman itu terulang,
dengan suatu perasaan
kenikmatan yang segar,
perasaan terpesona, dan
221
Lanjutan tabel 11
Lima watak Pancasila
dalam Ajaran Pangestu
Ciri-ciri Realisasi
diri
(dalam Schultz,
1991)
Ciri-ciri Aktualisasi Diri
(dalam Alwisol, 2008; Boeree
dalam www.ship.edu.com;
Baihaqi, 2008; Goble, 2000).
mana saja.
5) Budi luhur, adalah sifat
yang diusahakan oleh
manusia agar dapat
menyerupai sifat
Tuhan, yaitu kasih
sayang kepada sesama.
kagum. Kemampuannya
menjadi kreatif, berdayacipta,
dan original. Orang-orang ini
adalah asli, inventif, dan
inovatif.
8) Orang-orang ini lebih
cenderung memiliki
pengalaman puncak (peak
experience) daripada orang-
orang pada umumnya.
Berdasarkan perbandingan di atas tampak bahwa lima watak utama dalam
pancasila ini membawa seseorang menuju pribadi yang sesuai dengan ciri realisasi
diri dan aktualisasi diri. Watak rila dan narima membawa seseorang untuk
menerima perbedaan dan menerima kenyataan, apapun itu. Kedua watak ini
membuat seseorang menerima kenyataan atas apa yang sudah diusahakan maupun
kenyataan yang terjadi apa adanya dalam hidup. Watak ini membuat orang
menjadi reality centered, menikmati kesepian dan kesendirian, menerima diri
sendiri dan orang lain, spontan, apa adanya, dan rendah hati. Watak jujur
membuat seseorang menjadi merasa bebas, adil, dan memegang teguh kebenaran.
Watak jujur membawa seseorang merasa merdeka, menikmati otonomi, dan
bebas. Orang-orang ini tidak tergantung pada dunia nyata untuk mendapatkan
222
kepuasan sebab pemuasan dari motif-motif datang dari dalam sehingga mampu
mempertahankan ketenangan ditengah-tengah kesulitan.
Watak sabar membawa orang untuk terus berusaha dan tidak putus asa.
Orang yang sabar memiliki hati yang lapang, kuat, menerima berbagai cobaan tapi
juga berhati teguh, berpengetahuan luas, tidak berpikiran sempit, dan tidak
berhenti berusaha. Watak ini membawa seseorang pada pribadi yang problem-
centered yang memperlakukan kesulitan hidup sebagai suatu masalah yang perlu
solusi, bukan suatu kekacauan personal yang membuat putus asa.
Jika keempat watak ini tercapai maka seseorang itu secara otomatis
menjadi pribadi yang berbudi luhur. Watak ini mengungkapkan arketip self dalam
kepribadian. Orang yang berwatak budi luhur adalah orang yang menebarkan sifat
Tuhan. Pada watak inilah arketip self mengungkapkan diri dan menunjukkan
peranan sebagai pusat kepibadian yang baru menggantikan ego.
F. KELEMAHAN PENELITIAN
Sejauh penelitian ditulis, peneliti berusaha melasanakan penelitian sebaik
dan seilmiah mungkin Seperti halnya penelitian lain, penelitian ini mempunyai
kelemahan, yaitu
1. Sulitnya menemukan pengikut pangestu yang telah memiliki watak budi luhur.
Beberapa orang yang dianggap telah sampai watak budi luhur telah meninggal
dunia.
2. Keterbatasan waktu membuat interaksi di lapangan penelitian hanya sebentar
sehingga data yang diperoleh kurang variatif dan kurang sempurna.
223
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
1. Berdasarkan data yang diperoleh dalam penelitian ini, Pengalaman mistik
adalah merasakan suatu keadaan mistik yaitu adanya kontak yang bisa berupa
persatuan antara manusia dengan alam semesta dan Tuhan. Kontak antara
manusia dengan alam semesta dan Tuhan berupa kekosongan, individu tidak
merasakan apa-apa, hanya titik di hati yang menghubungkan individu dengan
Tuhan. Di dalam pengalaman mistik terjadi perubahan kesadaran atau
transformasi kesadaran dari kesadaran mental spiritual yang bersifat empiris
menjadi kesadaran transpersonal yang bersifat tunggal-ilahiah (Hilmy, 2006).
Perubahan yang terjadi adalah:
a. Percepatan waktu; responden I dan II mengaku bahwa ketika panembah
dapat dilakukan dengan khusyuk responden tak merasa jika ternyata
panembah telah dilakukan selama 30 menit sampai 1 jam.
b. Perubahan perseptual, yaitu persepsi visual dan akustik; responden I
mengaku bahwa dalam keadaan manunggal tidak ada apapun yang di
dengar ataupun dilihat. Responden kehilangan kontak dengan dunia luar,
yang ada hanya kekosongan.
c. Perubahan gambaran tubuh dan mengalami batas tubuh yang lenyap.,
responden I mengaku bahwa pada saat luyut atau manunggal tidak bisa
merasakan batas antar alam dan diri, yang ada hanya titik di hati.
224
Sedangkan responden II mengaku bahwa ketika khusyuk tubuhnya terasa
sangat ringan, tidak merasakan pegal, ataupun kesemutan.
d. Pemikiran yang lebih, multi asosiasi dan pemikiran magis. Responden I
dan II mengatakan bahwa dalam pikiran dan ingatan mereka hanya ada
gambaran diri yang penuh dosa dan ingin bertaubat. Responden merasa
nelangsa.
Pengalaman mistik ini memiliki tahapan yaitu:
a. Heneng, adalah suatu tahap dimana pelaku mistik berusaha meninggalkan
segala urusan keduniawian, melupakan segala-galanya dan pikiran
difokuskan atau ditujukan pada satu arah yaitu Tuhan. Pada tahap ini
pelaku mistik harus benar-benar berkonsentrasi penuh untuk meninggalkan
segala bentuk urusan dan masalah hidupnya dan kemudian memusatkan
pikirannya hanya pada Tuhan.
b. Hening, adalah kejernihan dan ketulusan hati dan pikiran untuk
menyembah Tuhan. Segala pujian, permohonan, dan doa harus diresapi
sedalam-dalamnya dan ditujukan pada satu titik ke lubuk hati dimana
Tuhan dianggap berada. Hal ini membutuhkan konsentrasi yang sangat
dan tidak akan tercapai sebelum pelaku mistik dapat melupakan segala hal
dan hanya mengingat Tuhan. Dapat diumpamakan hening adalah suatu
kedaan dimana dalam keheningan dan kejernihan pikiran, seseorang benar-
benar menyembah, memuji, dan memohon hanya kepada Tuhan dengan
ketulusan yang dalam.
225
c. Luyut, perasaan yang tenang, tentram dan kosong meninggalkan segala
beban duniawi. Pada tahapan inilah pelaku mistik akan menemui alam
suwung karena pada tahap ini pelaku mistik sudah benar-benar lupa
segalanya dan hanya merasakan kekosongan. Batas diri telah lenyap,
individu merasa lebur dengan alam semesta dan ikut menjadi satu dengan
kekosongan itu sendiri. Inidividu tidak merasakan apa-apa sama sekali
hanya titik di hati seolah-olah ada tali yang menghubungkan diri dengan
Tuhan.
2. Realisasi diri dalam ajaran pangestu adalah mencapai pribadi yang budi luhur.
Realisasi diri dalam pangestu berarti tersingkapnya pepadhang dari Tuhan
dalam pribadi yang budi luhur karena sifat dan perilakunya selalu dekat
dengan Tuhan ini juga berarti bahwa self sebagai arketip gambaran Tuhan
(imago dei) telah menjadi pusat baru dari kepribadian (psyche) menggantikan
pusat yang lama yaitu ego. Berdasarkan data yang diperoleh, orang-orang
pangestu berusaha untuk menjadi orang yang berwatak budi luhur dan
manunggal dengan Tuhan. Jadi mekarnya potensi warga pangestu adalah
menjadi pribadi yang berbudi luhur. Proses mencapai realisasi diri penganut
pangestu atau dalam hal ini adalah proses individuasi adalah melalui
pengalaman mistik yang dilatih didalam panembah. Prosesnya adalah dengan
Tri sila yaitu suatu sikap manusia kepada Tripurusa (Tuhan Yang Maha Esa)
untuk mencapai lima watak utama dalam pancasila. Prosesnya adalah sebagai
berikut:
226
a. Angan-angan harus dibuat sadar dan perasaan dibuat percaya akan adanya
Tripurusa (Tuhan Yang Maha Esa) sehingga individu dapat merasakan
rasa sejati yaitu merasakn kehadiran Tripurusa dalam hati sanubari yang
suci.
b. Meredam atau mengendalikan nafsu lauamah dan amarah, sehingga cipta
tidak lagi dutunggangi lauamah dan amarah. Terkendalinya laumah dan
amarah mewujudkan watak jujur dan sabar. Dengan demikian angan-
angan (cipta, nalar, dan pangerti) mendapat tuntunan dan pepadang dari
suksma kawekas dan suksma sejati. Sila ketiga tri sila tercapai dengan
membuat taat nafsu laumah dan amarah kepada cipta. Hal ini merupakan
hasil dari kesempurnaan sembah raga (tingkatan pertama dalam
panembah)
c. Nalar (prabawa) ditundukkan sampai menyerah kepada suksma sejati, dan
prabawa silem ing kaheningan atau larut dalam keheningan. Watak rila
dan narima terwujud karena sifat tidak iklas dan tidak menerima
bersumberkan pada prabawa (nalar) yang ditunggangi oleh laumah.
d. Menundukkan kamayan (pangerti) tunduk dan pasarh kepada suksma
sejati dan akhirnya kamayan (pangerti) larut dalam keheningan. Bersama-
sama cipta dan nalar, kamayan (pangerti) lepas dari otak dan individu
menjadi luyut. Budi luhur tercapai atau panunggla antara roh suci, suksma
sejati, dan suksma kawekas terwujud di alam sejati. Individu mencapai
tingkat kasunyatan jati dan tercapailah watak budi luhur.
227
3. Aktualisasi diri yang dicapai melalui pengalaman mistik menghasilkan
seorang peakers dimana aktualisasi dirinya membuat orang tersebut menjadi
lebih mistik, religius, sholeh, dan, indah (poetical). Peakers dalam ajaran
pangestu adalah seorang yang budi luhur dan memiliki lima watak utama
dalam pancasila yaitu rila, narima, temen, sabar, dan budi luhur. Orang-orang
ini selalu dimetamotivasikan oleh B-neeeds untuk terus berkembang menjadi
individu berbudi luhur dan memiliki sifat-sifat yang mirip dengan sifat Tuhan.
Aktualisasi diri penganut pangestu adalah melalui pengalaman mistik yang
dilatih didalam panembah. Efek pengalaman mistik dalam jangka waktu lama
membawa perubahan dalam diri dan kehidupan penganut pangestu. Perubahan
ini adalah:
a. Hilangnya simptomp neurotik. Penganut pangestu mengaku sama sekali
tidak merasa cemas akan apa yang terjadi terhadap diri dan kehidupannya
nanti setelah sebelumnya perasaan cemas itu masih ada ketika pengalaman
mistik belum dirasakan secara intens.
b. Kecenderungan melihat diri sendiri lebih sehat. Penganut pangestu
cenderung mengaku lebih sehat, tenang, tentram, dan bahagia dengan
kondisinya. Penganut pangestu merasa sekarang lebih sabar, iklas, dan
tidak emoional dibanding sebelumnya.
c. Perubahan pandangan mengenai orang lain dan hubungan dengan orang
lain. Penganut pengestu umumnya sekarang merasa hubungan dengan
keluarga menjadi semakin kompak, rumah tangga menjadi lebih
228
menyenangkan dibanding sebelumnya. Selain itu toleransi dalam
masyarakat juga semakin besar.
d. Perubahan pandangan diri mengenai dunia. Dunia diartikan sebagai alam
kehidupan, lingkungan, dan segala yang bersifat kebendaan. Dan
pandangan penganut pangestu mengenai hal ini selalu dihubungkan
dengan ciptaan Tuhan atau titipan Tuhan, seperti pandangan mengenai
harta, hubungan dengan masyarakat, maupun perbedaan agama.
e. Munculnya kreativitas dan spontanitas, dan kemampuan mengekspresikan
diri. Sekarang kehidupan para penganut pangestu dirasa lebih baik secara
finansial dan banyak perencanaan yang berhasil dicapai seperi dalam
bidang usaha, pendidikan, dan pekerjaan.
f. Kecenderungan mengingat pengalaman puncak dan berusaha
mengulanginya. Seluruh penganut pangestu mengaku untuk terus berusaha
mengulang pengalaman mistiknya walaupun diakui sangat sulit mencapai
tahap-tahap dalam pengalaman mistik.
g. Kecenderungan melihat kehidupan secara umum lebih berharga. Orang-
orang pangestu ingin merubah hidup mereka menjadi lebih baik,
berperilaku baik, lebih mendekatkan diri kepada Tuhan, dan akhirnya
dapat meninggal dengan manunggal.
4. Aktualisasi diri dan realisasi diri dalam pengalaman mistik Pangestu sama-
sama diperoleh melalui sempurnanya panembah. Panembah yang sempurna
membawa panganut pangestu pada lima watak utama pancasila. Aktualisasi
diri menurut teori Maslow lebih menunjukkan hasil akhir dari karakteristik
229
orang-orang yang teraktualisasikan. Maslow tidak menyebutkan bagaimana
proses untuk mencapainya, yang diungkapkan hanyalah caranya yaitu dengan
pengalaman mistik, sedangkan proses didalamnya tidak diungkapkan dengan
gamblang. Sedangkan realisasi diri menurut teori Jung adalah sebaliknya.
Jung mengungkapkan bagaimana proses mencapai realisasi diri dan proses ini
lebih bersifat psikis yaitu dalam proses individuasi. Namun Jung tidak
mengungkapkan secara jelas ciri-ciri atau karakteristik orang-orang yang
terindividuasi atau terrealisasi ini.
B. SARAN
Beberapa hal yang dapat dilakukan baik untuk perbaikan dalam penelitian
selanjutnya, maupun saran yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari
adalah sebagai berikut:
a. Masyarakat
Mistik tidak hanya mengenai hal-hal yang bersifat klenik dan gaib, namun
mistik adalah lebih kepada penghayatan yang dalam akan kehadiran Tuhan.
Mistik dapat membuat ruang personal antara manusia dengan Tuhan. Cara-cara
didalam mistik dapat digunakan untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan,
lebih khusyuk dalam beribadah, dan lebih bertoleransi dengan kehidupan
kemanusian selama tidak bertentangan dengan tuntunan dan ajaran agama masing-
masing.
230
b. Peneliti selanjutnya
1) Penelitian ini akan lebih baik jika menggunakan metode kuantitatif dan
kualitatif yaitu dengan menggunakan metode psikotest agar aktualisasi
diri dan realisasi diri dapat dibuktikan dan ditunjukkan signifikasinya
dengan pengalaman mistik selain dinamika dan proses yang terjadi di
dalamnya.
2) Kemampuan menggunakan metode clinical interview kiranya akan
sangat dibutuhkan untuk melakukan penelitian spiritualitas dalam mistik
kebatinan Jawa.
3) Penelitian ini dapat dikembangkan pada penelitian tentang psikoterapi
humanistik dan analitik dengan menggunakan prinsip-prinsip spiritual
dalam tradisi dan kebudayaan Jawa. Selain itu juga dapat dikembangkan
pada hal-hal yang lebih kontekstual seperti kaitan antara mistik dengan
religiusitas seseorang, kebermaknaan hidup dan psikopatologi.
Recommended