View
220
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
BAB II
DASAR TEORI
2.1 Definisi Sampah
Dalam membicarakan sampah tidak akan terlepas dari satu kata yang sifatnya
hampir serupa dengan sampah, yaitu limbah. Namun limbah dan sampah memiliki
perbedaan, melalui beberapa definisi mengenai limbah dan sampah berikut diharapkan
dapat diketahui perbedaan diantara keduanya.
Limbah adalah semua buangan yang dihasilkan oleh aktivitas manusia dan hewan
yang berbentuk padat, lumpur (sludge), cair, maupun gas yang dibuang kerena tidak
dibutuhkan atau tidak diinginkan lagi. Walaupun dianggap sudah tidak berguna dan tidak
dikehendaki, namun bahan tersebut kadang-kadang masih dapat dimanfaatkan kembali
dan dijadikan bahan baku ( Enri & Tri Damanhuri, 2006).
Sampah merupakan konsekuensi dari adanya aktifitas manusia. Secara harfiah,
pengertian sampah adalah suatu bahan yang terbuang atau dibuang dari sumber hasil
aktifitas manusia maupun alam yang belum memiliki nilai ekonomis. Setiap aktifitas
manusia pasti menghasilkan buangan atau sampah. Jumlah atau volume sampah sebanding
dengan tingkat konsumsi kita terhadap barang/material yang kita gunakan sehari-hari.
Demikian juga dengan jenis sampah, sangat tergantung dari jenis material yang kita
konsumsi. Oleh karena itu pengelolaan sampah tidak bisa lepas juga dari ‘pengelolaan’
gaya hidup masyarakat.
Sampah menurut SNI 19-2454-1991 [3] tentang Tata Cara Pengelolaan Teknik
Sampah Perkotaan didefinisikan sebagai limbah yang bersifat padat terdiri atas zatorganik
dan zat anorganik yang dianggap tidak berguna lagi dan harus dikelola agar tidak
membahayakan lingkungan dan melindungi investasi pembangunan. Sampah umumnya
dalam bentuk sisa makanan (sampah dapur), daun-daunan, ranting, kertas/karton, plastik,
kain bekas, debu sisa penyapuan, dan sebagainya. Atau sampah dapat juga didefinisikan
sebagai sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau dari proses alam yang berbentuk padat.
Menurut Kamus Istilah Lingkungan 1994, sampah adalah bahan yang tidak
mempunyai nilai atau tidak berharga untuk maksud biasa atau utama dalam pembikinan
atau pemakaian barang rusak atau bercacat dalam pembikinan manufaktur atau materi
berkelebihan atau ditolak atau buangan.
9
Tiwow mengemukakan definisi yang bernilai ekonomis tentang sampah, yaitu
bahan yang terbuang atau dibuang dari suatu sumber hasil aktivitas manusia maupun
proses-proses alam yang tidak mempunyai nilai ekonomi, bahkan dapat mempunyai nilai
ekonomi yang negatif karena dalam penanganannya baik untuk membuang atau
membersihkannya memerlukan biaya yang cukup besar.
2.1.1 Jenis Sampah
Secara umum, sampah dapat dibagi 3 yaitu sampah organik (biasa disebut sebagai
sampah basah), sampah anorganik (sampah kering) dan sampah berbahaya. Sampah basah
adalah sampah yang berasal dari makhluk hidup, seperti daun-daunan, sampah dapur, dll.
Sampah jenis ini dapat terdegradasi (membusuk/hancur) secara alami. Sebaliknya dengan
sampah kering, seperti kertas, plastik, kaleng, dll. Sampah jenis ini tidak dapat
terdegradasi secara alami. Sedangkan contoh sampah berbahaya adalah baterai, botol
racun nyamuk, jarum suntik bekas dll
Pada umumnya, sebagian besar sampah yang dihasilkan di Indonesia merupakan
sampah basah, yaitu mencakup 60-70% dari total volume sampah. Oleh karena itu
pengelolaan sampah yang terdesentralisisasi sangat membantu dalam meminimasi sampah
yang harus dibuang ke tempat pembuangan akhir. Pada prinsipnya pengelolaan sampah
haruslah dilakukan sedekat mungkin dengan sumbernya. Selama ini pengelolaan
persampahan, terutama di perkotaan, tidak berjalan dengan efisien dan efektif karena
pengelolaan sampah bersifat terpusat. Misalnya saja, seluruh sampah dari kota Jakarta
harus dibuang di Tempat Pembuangan Akhir di daerah Bantar Gebang Bekasi. Dapat
dibayangkan berapa ongkos yang harus dikeluarkan untuk ini. Belum lagi, sampah yang
dibuang masih tercampur antara sampah basah dan sampah kering. Padahal, dengan
mengelola sampah besar di tingkat lingkungan terkecil, seperti RT atau RW, dengan
membuatnya menjadi kompos maka paling tidak volume sampah dapat
diturunkan/dikurangi.
Bila dilihat dari sumbernya, maka sampah perkotaan yang dikelola oleh
Pemerintah Kota di Indonesia sering dikategorikan dalam beberapa kelompok, yaitu:
a Sampah dari rumah tinggal, merupakan sampah yang dihasilkan dari kegiatan atau
lingkungan rumah tangga atau sering disebut dengan istilah sampah domestik. Dari
kelompok sumber ini umumnya dihasilkan sampah berupa sisa makanan, plastik,
kertas, karton/dos, kain, kaca, daun, logam, dan kadang-kadanga sampah
10
berukuran besar seperti dahan pohon. Praktis tidak terdapat sampah yang biasa
dijumpai di negara industri, seperti mebel, TV bekas, kasur, dan lain-lain.
Kelompok ini dapat meliputi rumah tinggal yang ditempati oleh sebuah keluarga,
atau sekelompok rumah yang berada dalam suatu kawasan permukiman, maupun
unit rumah tinggal yang berupa rumah susun. Dari rumah tinggal juga dapat
dihasilkan sampah golongan B3 (bahan berbahaya dan racun), seperti baterai,
lampu TL, oli bekas, dan lain-lain.
b Sampah dari daerah komersial, sumber sampah dari kelompok ini berasal dari
pertokoan, pusat perdagangan, pasar, hotel, perkantoran, dan lain-lain. Dari sumber
ini umumnya dihasilkan sampah berupa kertas, plastik, kayu, kaca, logam, dan
juga sisa makanan. Khusus dari pasar tradisional, banyak dihasilkan sisa sayur,
buah, makanan yang mudah membusuk. Secara umum sampah dari sumber ini
mirip dengan sampah domestik tetapi dengan komposisi yang berbeda.
c Sampah dari perkantoran/institusi, sumber sampah dari kelompok ini meliputi
perkantoran, sekolah, rumah sakit, lembaga permasyarakatan, dan lain-lain. Dari
sumber ini dihasilkan sampah seperti halnya dari daerah komersial non pasar.
d Sampah dari jalan/taman dan tempat umum, sumber sampah ini dapat berupa jalan
kota, taman, tempat parkir, tempat rekreasi, saluran drainase kota, dan lain-lain.
Dari daerah ini umumnya dihasilkan sampah berupa daun/dahan pohon,
pasir/lumpur, sampah umum seperti plastik, kertas, dan lain-lain.
e Sampah dari industri dan rumah sakit sejenis sampah kota, kegiatan umum dalam
lingkungan dan rumah sakit tetap menghasilkan sampah sejenis sampah domestik,
seperti sisa makanan, kertas, plastik, dan lain-lain. Yang perlu mendapat perhatian
adalah, bagaimana agar sampah yang tidak sejenis dengan sampah kota tersebut
tidak masuk dalam sistem pengelolaan sampah kota.
2.1.2 Alternatif Pengelolaan Sampah
Untuk menangani permasalahan sampah secara menyeluruh perlu dilakukan
alternatif-alternatif pengelolaan. Landfill bukan merupakan alternatif yang sesuai, karena
landfill tidak berkelanjutan dan menimbulkan masalah lingkungan. Sebalilnya alternatif-
alternatif tersebut harus bisa menangani semua permasalahan pembuangan sampah dengan
cara mendaur-ulang semua limbah yang dibuang kembali ke ekonomi masyarakat atau ke
alam, sehingga dapat mengurangi tekanan terhadap sumberdaya alam. Untuk mencapai hal
11
tersebut, ada tiga asumsi dalam pengelolaan sampah yang harus diganti dengan tiga
prinsip–prinsip baru. Daripada mengasumsikan bahwa masyarakat akan menghasilkan
jumlah sampah yang terus meningkat, minimisasi sampah harus dijadikan prioritas utama.
Sampah yang dibuang harus dipilah, sehingga tiap bagian dapat dikomposkan atau didaur-
ulang secara optimal, daripada dibuang ke sistem pembuangan limbah yang tercampur
seperti yang ada saat ini. Dan industri-industri harus mendesain ulang produk-produk
mereka untuk memudahkan proses daur-ulang produk tersebut. Prinsip ini berlaku untuk
semua jenis dan alur sampah.
Pembuangan sampah yang tercampur merusak dan mengurangi nilai dari material
yang mungkin masih bisa dimanfaatkan lagi. Bahan-bahan organik dapat
mengkontaminasi/ mencemari bahan-bahan yang mungkin masih bisa di daur-ulang dan
racun dapat menghancurkan kegunaan dari keduanya. Sebagai tambahan, suatu porsi
peningkatan alur limbah yang berasal dari produk-produk sintetis dan produk-produk yang
tidak dirancang untuk mudah didaur-ulang; perlu dirancang ulang agar sesuai dengan
sistem daur-ulang atau tahapan penghapusan penggunaan.
Program-program sampah kota harus disesuaikan dengan kondisi setempat agar
berhasil, dan tidak mungkin dibuat sama dengan kota lainnya. Terutama program-program
di negara-negara berkembang seharusnya tidak begitu saja mengikuti pola program yang
telah berhasil dilakukan di negara-negara maju, mengingat perbedaan kondisi-kondisi
fisik, ekonomi, hukum dan budaya. Khususnya sektor informal (tukang sampah atau
pemulung) merupakan suatu komponen penting dalam sistem penanganan sampah yang
ada saat ini, dan peningkatan kinerja mereka harus menjadi komponen utama dalam sistem
penanganan sampah di negara berkembang.
2.1.3 Pengangkutan
Pengangkutan sampah adalah sub-sistem yang bersasaran membawa sampah dari
lokasi pemindahan atau dari sumber sampah secara langsung menuju tempat pemerosesan
akhir atau TPA. Pengangkutan sampah merupakan salah satu komponen penting dan
membutuhkan perhitungan yang cukup teliti, dengan sasaran mengoptimalkan waktu
angkut yang diperlukan dalam sistem tersebut, khususnya bila:
a Terdapat sarana pemindahan sampah dalam skala cukup besar yang harus
menangani sampah;
b Lokasi titik tujuan sampah relatif jauh;
12
c Sarana pemindahan merupakan titik pertemuan masuknya sampah dari berbagai
area;
d Ritasi perlu diperhitungkan secara teliti; dan
e Masalah lalu-lintas jalur menuju titik sasaran tujuan sampah.
Dengan optimasi sub-sistem ini diharapkan pengangkutan sampah menjadi mudah,
cepat, dan biaya relatif murah. Di negara maju, pengangkutan sampah menuju titik tujuan
banak menggunakan alat angkut dengan kapasitas besar, yang digabung dengan
pemadatan sampah, seperti yang terdapat di Cilincing-Jakarta. Persyaratan alat
pengangkutan sampah antara lain adalah :
a Alat pengangkut sampah harus dilengkapi dengan penutup sampah, minimal
dengan jaring;
b Tinggi bak maksimum 1,6 m;
c Sebaiknya ada alat ungkit;
d Kapasitas disesuaikan dengan kondisi/kelas jalan yang akan dilalui; dan
e Bak truk/dasar kontainer sebaiknya dilengkapi pengaman air sampah
Untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengoperasian sarana angkutan
sampah kemungkinan penggunaan stasiun atau depo kontainer layak diterapkan. Dari
pusat kontainer ini truk klapasitas besar dapat mengangkut kontainer ke lokasi
pemerosesan atau TPA, sedangkan truk kapasitas kecil (kota) tidak semuanya perlu
sampai ke lokasi tersebut. Dengan demikian jumlah ritasi truk sampah dapat ditingkatkan.
Usia pakai minimal 5-7 tahun. Volume muat sampah 6-8m3, atau 3-5 ton. Ritasi truk
angkutan per hari dapat mencapai 4-5 kali untuk jarak tempuh di bawah 20 km, dan 2-4 rit
untuk jarak tempuh 20-30 km, yang pada dasarnya akan tergantung waktu per ritasi sesuai
kelancaran lalu lintas, waktu pemuatan dan pembongkaran sampah.
Di negara maju terdapat dua metode pengangkutan sampah, yaitu :
a Hauled Container System (HCS), adalah sistem pengumpulan sampah yang
wadahnya dapat dipindah-pindah dan ikut dibawa ke tempat pemerosesan atau
TPA. HCS ini merupakan sistem wadah angkut untuk daerah komersial.
b Stationary Container System (SCS), adalah sistem pengumpulan sampah yang
wadah pengumpulannya tidak dibawa berpindah-pindah. Wadah pengumpulan ini
berupa wadah yang dapat diangkat maupun yang tidak dapat diangkat. SCS
merupakan sistem wadah tinggal ditujukan untuk melayani daerah pemukiman.
13
Beberapa prosedur sebaiknya diikuti dalam operasional pengangkutan sampah
untuk mendapatkan sistem pengangkutan sampah yang efektif dan efisien :
a Menggunakan rute pengangkutan yang sependek mungkin dan dengan hambatan
yang sekecil mungkin;
b Menggunakan kendaraan angkut dengan kapasitas/daya angkut yang semaksimal
mungkin;
c Menggunakan kendaraan angkut yang hemat bahan bakar; dan
d Dapat memanfaatkan waktu kerja semaksimal mungkin dengan meningkatkan
jumlah beban kerja/ritasi pengangkutan semaksimal mungkin.
Beberapa jenis kendaraan angkut yang biasa digunakan dalam sistem pengelolaan
sampah adalah sebagai berikut :
a Truk terbuka, hanya sebagai pengangkut sampah. Perlu penutup agar sampah di
truk tidak berterbangan. Tidak dianjurkan, kecuali dana terbatas.
b Dump truck, truk pengangkut sampah yang dilengkapi dengan penutup kontainer.
Dianjurkan, karena lebih mudah dalam pembongkaran sampah di tujuan.
c Arm-roll truck, Roll-on truck, Multi-loader truck, truk pengangkut sampah yang
dilengkapi mesin pengangkat kontainer. Dinajurkan, untuk daerah pasar dan
sumber sampah besar lainnya.
d Compactor truck, truk pengangkut sampah yang dapat mengkompaksi sampah
sehingga dapat menampung lebih banyak sampah. Sesuai untuk kota-kota besar
dan metropolitan.
2.2 Jaringan Jalan
Jalan direncanakan dan dirancang sedemikian rupa sehingga ada hirearki yang
membentuk sistem pelayanan yang tek terpisahkan dengan pola tata ruang kegiatan.
Watak jalan yang mampu berperan sebagai pemicu dan pemacu pembangunan adalah
fakta nyata. Ruas jalan yang dibangun sebagai penghubung antara satu kawasan dengan
kawasan lain, dengan serta merta mengubah nilai lahan pada jalur yang bersangkutan
sebagai akibat dari akses yang meningkat. Akibatnya, tak terelakkan lagi, kegiatan di
sepanjang jalan tersebut berkembang.
Dalam penataan jaringan jalan, agar tersusun sistem jaringan yang baik, harus
diperhatikan hirearki jaringan. Hirearki jaringan jalan akan menuntun pada susunan sistem
14
sirkulasi lalu lintas di jalan. Tidak kurang pentingnya adalah lingkungan di sepanjang jalur
jalan, karena hal ini cuikup besar pengaruhnya dalam perlalulintasan. Lingkungan yang
tertata dengan baik selain dapat menambah kenyamanan bagi para pengguna jalan, juga
mempunyai peranan penting dalam keamanan berkendaraan sehingga dapat meningkatkan
keamanan berlalu lintas. Rambu-rambu, isyarat, lampu, marka jalan, pagar pengaman,
pilihan jenis tanaman pelindung adalah berbagai elemen lingkungan yang harus menjadi
perhatian dalam mengelola perlalulintasan.
2.2.1 Kondisi Fisik Jaringan Jalan
Menurut Guide to Trafic Engineering Practice Part I, Austroda 1988 kinerja arus
lalu lintas dan kapasitas jalan dipengaruhi oleh kondisi fisik jaringan jalan, seperti :
a Lebar jalur jalan;
b Alignment vertikal dan horizontal jalan;
c Rancangan geometrik jalan;
d Kondisi dan jenis perkerasan jalan;
e Lebar dan banyaknya lajur;
f Gradien;
g Jarak pandang;
h Frekuensi dan bentuk persimpangan;
i Kelengkapan jalan;
j Hampiran (terrain); dan
k Daya tarik lintas
Apabila persyaratan teknis semua elemen tersebut di atas terpenuhi, baik kualitas
maupun kuantitas, maka kelancaran lalu lintas dapat terjamin. Guna memperlancar arus
lalu lintas kendaraan, jalur jalan dapat ditetapkan menjadi jalur searah atau jalur dua arah
yang masing-masing dapat dibagi dalam beberapa lajur sesuai dengan lebar badan jalan.
Jalur adalah bagian jalan yang dipergunakan untuk
15
TABEL II.1
Jenis Peralatan Konstruksi/bahan Kelebihan Kelemahan Catatan Truk Biasa Terbuka
- Bak konstruksi kayu - Harga relatif murah - Kurang sehat - Memerlukan waktu
pengoperasian lebih lama
- Banyak dipakai di Indonesia - Bak konstruksi plat
besi - Perawatan relatif lebih
mudah/murah
- Estetika kurang
- Diperlukan tenaga lebih banyak
Dump/Tipper Truck
- Bak plat baja - Tidak diperlukan banyak tenaga kerja pada saat pembongkaran
- Perawatan lebih sulit - Kurang sehat - Kurang estetis - Relatif lebih mudah
berkarat
- Dump truck dengan peninggian bak pengangkutnya - Pengoperasian lebih efektif
dan efisien - Sulit untuk pemuatan
- Perlu modifikasi bak
Arm Roll Truck - Truk untuk mengangkut/membawa kontainer-kontainer hidrolis
- Praktis dan cepat dalam pengoperasian
- Tidak diperlukan tenaga kerja yang banyak
- Lebih bersih dan sehat - Estetika baik
- Hidrolis sering rusak - Harga relatif mahal - Biaya perawatan
lebih mahal
- Penempatan lebih fleksibel
- Diperlukan lokasi (areal) untuk penempatan dan pengangkatan
- Cocok pada lokasi-lokasi dengan produksi sampah yang relatif banyak
Compactor Truck - Truk dilengkapi dengan alat pemadat sampah
- Volume sampah terangkut lebih banyak
- Lebih bersih dan hygienis - Estetika baik - Praktis dalam
pengoperasian
- Harga relatif mahal - Biaya investasi dan
pemeliharaan lebih mahal
- Tidak diperlukan banyak tenaga kerja
- Waktu pengumpulan lama bila untuk sistem door to door
- Cocok untuk pengumpulan dan angkutan secara komunal
Mulit Loader - Truk untuk mengangkut/membawa kontainer-kontainer hidrolis
- Praktis dalam pengoperasian
- Tidak diperlukan banyak tenaga kerja
- Hidrolis sering rusak - Cocok pada lokasi-lokasi dengan produksi sampah yang relatif banyak
- Diperlukan lokasi (areal) untuk penempatan dan pengangkatan - Penempatan lebih fleksibel
- Pernah digunakan di Makasar
Truck With Crane - Truk dilengkapi dengan alat pengangkat sampah
- Tidak memerlukan banyak tenaga kerja untuk menaikkan sampah ke truk
- Hidrolis sering rusak
- Cocok untuk mengangkut sampah yang besar (bulky waste)
- Sulit untuk digunakan di daerah yang jalannya sempit dan tidak teratur
- Telah digunakan di DKI Jakarta
Mobil Penyapu Jalan (Street Sweeper)
- Truk dilengkapi dengan alat penghisap sampah
- Pengoperasian lebih cepat - Sesuai untuk jalan-jalan
protokol yang memerlukan pekerjaan cepat
- Estetis dan hygienis
- Harga lebih mahal - Perawatan lebih
mahal
PERALATAN SUBSISTEM PENGANGKUTAN
- Tidak memerlukan tenaga kerja yang banyak
- Belum memungkinkan untuk kondisi jalan di Indonesia umumnya
- Baik untuk jalan-jalan protokol : yang rata, tidak berbatu, dan dengan batas jalan yang baik
16
lalu lintas kendaraan. Lajur adalah bagian jalur yang memanjang, dengan atau tanpa marka
jalan, yang memiliki lebar cukup untuk laju satu kendaraan bermotor, selain sepeda motor
(PP No.43 tahun 1993). Membangun median jalan untuk membuat satu jalur menjadi dua
jalur yang berbeda arah dan tiap jalur terdiri atas beberapa lajur adalah upaya untuk
memperlancar arus lalu lintas. Hal ini menuntut lebar jalan tertentu agar teknik tersebut
dapat diterapkan.
Lebar minimal satu lajur bervariasi disesuaikan dengan fungsi jalan yang
bersangkutan. Untuk lalu lintas lambat di daerah perkotaan, lebar minimal lajur + 2,7
meter, lebar ideal bagi ruas jalan yang pendek karena lebar jalur (2 lajur) tersebut hanya
cukup untuk dua kendaraan besar berpapasan dalam kecepatan yang sangat rendah. Pada
jalan yang diperuntukkan untuk lalu lintas cepat, standard lebar minimal setiap jalur
adalah 3,5 meter yang ditandai dengan marka jalan. Lebar yang berlebihan akan
merangsang pengemudi untuk bertingkah laku kurang displin yang justru akan
mengganggu laju kendaraan dan mengurangi kapasitas jaringan jalan.
2.2.2 Jenis-jenis Jaringan Jalan
Sesuai dengan daya dukungnya, jalan diatur dalam berbagai kelas yaitu :
a Jalan kelas I, yaitu jalan arteri yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk
muatan dengan lebar tidak melebihi 2.500 milimeter, ukurab panjang tidak
melebihi 18.000 milimeter, dan muatan sumbu terberat yang diizinkan lebih besar
dari 10 ton;
b Jalan kelas II, yaitu jalan arteri yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk
muatan, dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 milimeter, ukuran panjang tidak
melebihi 18.000 milimeter, dan muatan sumbu terberat yang diizinkan 10 ton;
c Jalan kelas III A, yaitu jalan arteri atau kolektor yang dapat dilalui kendaraan
bermotor termasuk muatan, dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 milimeter,
ukuran panjang tidak melebihi 18.000 milimeter, dan muatan sumbu terberat yang
diizinkan 8 ton;
d Jalan kelas III B, yaitu jalan kolektor yang dapat dilalui kendaraan bermotor
termasuk muatan, dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 milimeter, ukuran
panjang tidak melebihi 12.000 milimeter, dan muatan sumbu terberat yang
diizinkan 8 ton; dan
17
e Jalan kelas III C, yaitu jalan lokasi yang dapat dilalui kendaraan bermotor
termasuk muatan, dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.100 milimeter, ukuran
panjang tidak melebihi 9.000 milimeter, dan muatan sumbu terberat yang diizinkan
8 ton.
Berdasarkaan fungsinya, jalan terbagi menjadi :
a Arteri primer, yaitu jalan yang menghubungkan kota hirearki kesatu yang terletak
berdampingan, atau menghubungkan kota hirearki kesatu dengan kota hirearki
kedua;
b Arteri sekunder, yaitu jalan yang menghubungkan kawasan primer dengan
kawasan sekunder hirearki kesatu, atau menghubungkan kawasan kawasan
sekunder hirearki kesatu dengan kawasan sekunder hirearki kesatu lainnya, atau
kawasan sekunder hirearki kesatu dengan kawasan sekunder hirearki kedua;
c Kolektor primer, yaitu jalan yang menghubungkan kota hirearki kedua dengan kota
hirearki kedua lainnya, atau kota hirearki kedua dengan kota hirearki ketiga;
d Kolektor sekunder, yaitu jalan yang menghubungkan antara pusat hirearki kedua,
atau antara pusat hirearki kedua dengan ketiga;
e Lokal primer, yaitu jalan yang menghubungkan persil dengan kota pada semua
hirearki; dan
f Lokal sekunder, yaitu jalan yang menghubungkan pemukiman dengan semua
kawasan sekunder.
Berdasarkan pengelolaannya, jalan dibedakan menjadi :
a Jalan negara, yaitu jalan yang dibina oleh Pemerintah Pusat;
b Jalan propinsi, yaitu jalan yang dibina oleh Pemerintah Daerah Propinsi;
c Jalan kabupaten, yaitu jalan yang dibina oleh Pemerintah Daerah Kabupaten atau
Kota: dan
d Jalan desa, yaitu jalan yang dibina oleh Pemerintah Desa.
2.3 Pemilihan Rute
18
Prosedur pemilihan rute bertujuan memodelkan prilaku pelaku pergerakan dalam
memilih rute yang menurut mereka merupakan rute terbaiknya. Dengan kata lain, dalam
proses pemilihan rute, pergerakan antara dua zona untuk moda tertentu dibebankan ke rute
tertentu yang terdiri dari ruas jaringan jalan tertentu. Jadi, dalam pemodelan pemilihan
rute dapat diidentifikasikan rute yang akan digunakan oleh setiap pengendara sehingga
akhirnya didapat jumlah pergerakan pada setiap ruas jalan.
Dengan mengasumsikan bahwa setiap pengendara memilih rute yang
meminimumkan biaya perjalanan (bisa juga meminimumkan waktu dan jarak perjalanan),
maka adanya penggunaan ruas yang lain mungkin disebabkan oleh perbedaan persepsi
pribadi tentang biaya atau mungkin juga disebabkan oleh keinginan untuk menghindari
kemacetan.
Hal utama dalam proses pembebanan rute adalah memperkirakan asumsi pengguna
jalan mengenai pilihannya yang terbaik. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi
pemilihan rute pada saat seseorang melakukan perjalanan. Beberapa diantaranya adalah
waktu tempuh, jarak, biaya (bahan bakar dan yang lainnya), kemacetan dan antrian, jenis
manuver yang dibutuhkan, jenis jalan (jalan arteri, tol, atau lainnya), pemandangan,
kelengkapan rambu dan marka jalan, serta kebiasaan. Sangatlah sukar menghasilkan
persamaan biaya gabungan yang menggabungkan semua faktor tersebut. Selain itu, tidak
praktis memodelkan semua faktor tersebut sehingga harus digunakan beberapa asumsi
atau pendekatan.
Salah satu pendekatan yang sering digunakan adalah mempertimbangkan dua
faktor utama dalam pemilihan rute, yaitu nilai waktu dan biaya pergerakan – biaya
pergerakan dianggap proporsional dengan jarak tempuh. Dalam beberapa model pemilihan
rute dimungkinkan penggunaan bobot yang berbeda bagi faktor waktu tempuh dan faktor
jarak tempuh untuk menggambarkan presepsi pengendara dalam kedua faktor tersebut.
Terdapat bukti kuat yang menunjukkan bahwa bobot lebih dominan dimiliki oleh waktu
tempuh dibandingkan dengan jarak tempuh pada pergerakan di dalam kota.
Permintaan transportasi tidak pernah tetap, sementara infrastruktur transportasi
(jaringan jalan) memiliki kapasitas yang terbatas. Keterbatasan kapasitas ini menyebabkan
jaringan jalan tidak dapat menampung tambahan permintaan baru. Limitasi pada kapasitas
jaringan jalan menghasilkan suatu gangguan berupa kemacetan lalu lintas, dimana
kecepatan kendaraan yang melalui jaringan jalan tersebut mengalami penurunan akibat
kepadatan lalu lintas. Selain mempengaruhi waktu tempuh perjalanan, kemacetan lalu
19
lintas juga berpengaruh pada biaya operasional perjalanan. Semakin tinggi kecepatan
kendaraan maka biaya operasional perjalanan akan semakin rendah. Oleh karena itu,
penurunan kecepatan kendaraan pada suatu jaringan jalan akibat kemacetan lalu lintas
akan berdampak pada peningkatan biaya operasional perjalanan.
Penurunan kecepatan kendaraan yang terjadi menyebabkan penurunan pada tingkat
pelayanan jalan (Level of Service/LOS). Tingkat pelayanan ini berupa rasio antara volume
kendaraan dengan kapasitas jalan (Volume Capacity Ratio/VCR). LOS yang menurun
berarti pelayanan jalan tidak lagi optimal. Tingkat pelayanan suatu ruas jalan adalah istilah
yang dipergunakan dalam menyatakan kualitas pelayanan yang disediakan oleh suatu jalan
dalam kondisi tertentu.
TABEL II.2
HUBUNGAN LOS, KECEPATAN RATA-RATA, DAN VCR
LOS Kecepatan Rata-rata (km.jam) VCR A >50 <0,4 B 40 - 50 <0,58 C 32 - 40 <0,8 D 27 -32 <0,9 E 24 -27 <1 F <24 >1
Sumber: Maulana Akbar & D. Prabowo, 2000
20
Recommended