View
4
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
29
Bab II
IDENTITAS DAN PERUBAHAN SOSIAL
1. Identitas: Identitas, Identifikasi, Identitas Sosial dan
Identitas bangsa
Identitas menurut Francis M Deng adalah konsep
tentang bagaimana orang mengidentifikasikan dirinya dan
diidentifikasi oleh orang lain berdasar ras, etnis, budaya, bahasa
dan agama.1 Identitas adalah sumber makna bagi aktor-aktor
sendiri dan dikonstruksi oleh mereka sendiri melalui proses
individuasi.2 Karenanya, meskipun setiap individu terhisap
dalam identitas sosial tetapi setiap individu memiliki
identitasnya sendiri dan identitas dalam berbagai kelompok di
mana dia berada.
Di sisi lain, Menurut Linda Martin Alcoff, individu/
masyarakat tidak selalu dapat mengidentifikasikan identitasnya
sendiri. Pada kondisi tertentu, identitas individu/kelompok
ditentukan juga oleh kolonialisme, rasial, subordinasi jenis
kelamin, konflik bangsa, dan lain-lain.3 Contoh kongkrit yang
dapat dikemukakan mengacu pada pemikiran Alcoff, yakni
realitas sosial-politik pra Indonesia merdeka yang
menempatkan rakyat Indonesia—kaya miskin, berkedudukan-
tidak berkedudukan, kalangan bangsawan-rakyat biasa-- sebagai
rakyat jajahan. Realitas demikian yang kemudian menjadi dasar
dari identifikasi yang dilakukan Soekarno terhadap identitas
kebangsaan Indonesia, yakni sebagai Marhaen. Marhaen adalah
istilah sosiologis yang dipakai Soekarno untuk menegaskan
1 Francis M Deng. War of Vissions Conflict of Indentities in the Sudan.
(Washington, D.C: The Brooking Institution, 1995), 387.
2 Manuel Castells, The Power of Identity Vol. II (Malden MA: Blackwell
Publishing, 2003), 7. 3 Linda martin Alcoff and Eduardo Mendieta, eds., Identity: Race, Class,
Gender, and Nationality (United Kingdom: Blackwell publishing, 2003), 3.
30 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou
mengenai identitas seluruh rakyat Indonesia sebagai kaum
terjajah yang sumber daya manusia dan alamnya dieksploitasi
oleh penjajah.
Defenisi dan kajian-kajian di atas menegaskan bahwa
identitas bukanlah sesuatu yang alami, dapat dikonstruksi dan
tidak pernah tunggal. Di sisi lain, identitas juga bukan sekedar
perjumpaan permukaan dari kehidupan individu. Richard Jenkis
menjelaskan kompleksitas identitas tersebut dengan beberapa
contoh konkrit yang menegaskan bahwa, pada kondisi tertentu
identitas individu dapat dengan mudah diidentifikasi
berdasarkan nama, kartu kredit, alamat email, pasport.
Sebaliknya, pada kondisi yang lain indentifikasi terhadap
identitas individu dapat direduksi sebatas nama samaran, kode,
dan reduksi identifikasi lainnya.4 Jenkins memberi contoh
proses identifikasi identitas individu berdasarkan passport yang
dimiliki. Pada situasi tertentu proses identifikasi identitas
individu berlangsung dengan mudah karena pengenalan
terhadap individu dipermudah oleh passport yang dimiliki.
Sebaliknya, pada situasi tertentu reduksi identifikasi identitas
individu melalui passport yang dimiliki menyebabkan
pengenalan terhadap identitas individu menjadi sangat terbatas
sehingga melahirkan kecurigaan terhadap individu tersebut.
Jenkins memberi contoh proses pemeriksaan terhadap individu
melalui passport yang harus dilanjutkan dengan proses
interogasi yang dalam.5
Teori Jenkins mengenai identitas dan identifikasi
tersebut di atas, mengindikasikan bahwa keduanya memiliki
jalinan yang kuat. Di sinilah kontribusi dari teori identitas
Jenkins, yakni pada penekanannya mengenai pentingnya
identifikasi sebagai rujukan identitas, karena tanpa tahapan
identifikasi tidak akan memahami siapa adalah siapa atau apa
4 Richard Jenkins, Social Identity (London and New York: Routledge Taylor &
Francis Group, 2004), 1-3.
5 Ibid.
Identitas dan Perubahan Sosial 31
adalah apa.6 Penekanan yang sejajar dikemukakan juga oleh
Stuart Hall dalam tulisannya mengenai introduction: Who Needs
Identity? Hall menjelaskan, bahwa identifikasi membantu
pemahaman yang lebih baik mengenai identitas. Karena pada
dasarnya identifikasi adalah satu proses artikulasi, penjahitan,
pengungkapan keseluruhan proses identitas. Pemahaman Hall
yang demikian didasarkan pada teori Freud mengenai Oedipus
kompleks. Hall menjelaskan, bahwa identifikasi sejak awal
sangatlah ambivalen—seperti halnya teori Oedipus yang pada
satu sisi mencintai objek dan di sisi lain menjadi lawan dari
objek. Tetapi identifikasi menurut Hall, tidak mengikat objek
yang eksis, sebaliknya mengikat pilihan objek yang ditingalkan.
Masih bertolak dari teori Freud tentang Oedipus kompleks, Hall
menegaskan bahwa identifikasi adalah sesuatu yang didasarkan
dalam fantasi, proyeksi dan idealisasi. Identitas selalu
merupakan konstruksi yang terdiri dari berbagai persilangan,
perpotongan dan antagonis, wacana, praktek dan posisi.7
Lalu bagaimana keterjalinan identitas individu dengan
identitas sosial? Jenkins menjelaskan bahwa semua identitas
manusia ditentukan oleh definisi identitas sosial. Lebih lanjut
Jenkis menulis, bahwa kegiatan mengidentifikasi diri atau orang
lain adalah persoalan makna dan makna selalu meliputi
interaksi; sepakat dan tidak sepakat, konvensi dan inovasi,
komunikasi dan negosiasi. Jelas, bahwa yang Jenkins tekankan
adalah identifikasi identitas individu selalu berorentasi sosial,
karena berlangsung dalam upaya memberi makna terhadap
interaksi dengan individu atau individu-individu dalam
lingkaran sosial.
Petter Berger dalam tulisannya mengenai the Sacred
Canopy Elemen of a Theory of Religion memberi penekanan pada
keterjalinan antara identitas sosial dan individu sebagai
6 Ibid.
7 Stuart Hall. Introduction: Who Needs Identity. Dalam Stuart Hall dan Paul du
Gay, Questions of Cultural Identity (New Delhi: Sage Publications, 2003), 3,5.
32 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou
dialektika yang solid. Penjelasan Berger dalam buku tersebut
memang lebih difokuskan pada penjelasan mengenai konstruksi
sosial dan proses dialektika di dalamnya. Berger tidak mengulas
secara khusus mengenai identitas sosial, tetapi upaya konstruksi
sosial pastilah mengikutsertakan konstruksi narasi sosial atau
identitas sosial. Konstruksi narasi hidup sebagai masyarakat
turut terbangun bersamaan dengan pembangunan masyarakat.8
Dengan kata lain, pada saat manusia mengkonstruksi
masyarakatnya mereka juga mengkonstruksi identitas sosialnya.
Dalam kostruksi sosial tersebut, manusia dideskripsikan berada
dalam keterjalinan dialektika yang kental yakni eksternalisasi,
obyektifikasi dan internalisasi.
Berger menjelaskan keterjalinan tersebut di atas sebagai
satu proses yang menempatkan manusia sebagai subjek sosial
sekaligus objek sosial. Pada tahap awal manusia sebagai
pembangun masyarakat terus menerus mencurahkan dirinya
bagi masyarakat. Proses tersebut berlangsung terus menerus
sebagai relasi yang dialektis, selanjutnya menempatkan manusia
sebagai penyerap berbagai nilai dari masyarakat yang
dibangunnya. Karenanya pada tahap akhir, manusia yang
menyerap nilai-nilai masyarakat bentukannya, selanjutnya
mengatualisasikan diri sebagai produk dari masyarakat
tersebut.9 Sumbangan Berger terhadap upaya memahami
korelasi identitas individu dengan identitas sosial terletak pada
penjelasannya mengenai proses dialektika diantara keduanya.
Dialektika yang tidak hanya memutar-balik posisi individu
dalam masyarakat, tetapi juga mengkonstruksi identitas
individu dalam keterjalinan dengan identitas sosial.
Pembahasan yang komprehensif mengenai identitas
individu dan identitas sosial, dapat dikaji juga dalam penjelasan
8 Madan Sarub, Identity, Culture and Postmodern World (United States of
America: University of Georgia Press, 1996), pg. 15.
9 Peter L. Berger, The Sacred Canopy Elemen Of a Theory of Relegion (New
York: Doubleday & Company, Inc., 1976), 3-27.
Identitas dan Perubahan Sosial 33
Emile Durkheim mengenai sistim Totemisme. Menurut
Durkheim sistim Totemisme dapat dimengerti mulai dari totem
individu yang ada pada setiap orang dengan marga sebagai
penanda.
Totem individu memang hanya bersifat pilihan, tetapi
merupakan presentasi atau ekspresi dari kepribadian individu.
Totem Individu berperan layaknya teman, yakni sebagai partner
dan pelindung dan menjadi nama, tanda pengenal atau identitas
pribadi.10 Jelas, Totem individu hanya mempresentasikan
identitas perorangan yang ada dalam klan dan bukan identitas
klan. Identitas klan, dapat dilihat dari konsensus dalam klan
mengenai Totem yang sama yang menjadi lambang, nama atau
identitas kolektif mereka.
Dalam kaitan dengan Totem sebagai identitas kolektif,
Durkheim menjelaskan, bahwa individu-individu yang memiliki
Totem pribadi kemudian disatukan dibawah naungan Totem
yang sama yang menjadi identitas klan. Mereka terikat bukan
karena ikatan darah, tetapi karena kesamaan Totem. Totem
kolektif merupakan representasi emosional dan merupakan
satu-satunya objek yang konkrit tempat mereka mencurahkan
diri dan perasaan mereka. Pengalaman-pengalaman ekspresif
yang sama itulah yang memperkuat posisi bersama mereka di
bawah totem yang sama. Dalam cakupan yang lebih luas, mereka
semakin terikat karena tanggung-jawab timbal-balik yang
identik diantara mereka yang mengkondisikan untuk saling
menolong, membalas dendam, dan tidak kawin mawin diantara
mereka, dan lain-lain.11
Keterikatan dibawah Totem kolektif juga nampak dari
kesatuan yang sangat kental, meskipun mereka tersebar di
wilayah-wilayah berbeda. Identifikasi terhadap kesamaan
Totem, kesamaan identitas kolektif biasanya terlihat pada
10 Emile Durkheim, The Elementary Forms of The Religious Life (New York:
The Free Press, 1965),188.
11 Ibid, 122.
34 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou
dekorasi-dekorasi Totemik yang diletakkan di bagian dalam dan
luar rumah, senjata, perahu, perabotan dan makam, bahkan
digambarkan pada tubuh manusia. Inti dari penempatan
dekorasi Totemik adalah menjadi tanda bahwa mereka adalah
bagian dari Totemnya.12 Dekorasi-dekorasi Totemik juga
digunakan dalam upacara-upacara religius dan menjadi bagian
dari liturgi; karena itu, Totem tidak hanya menjadi lebel kolektif
melainkan juga menjadi karakter religius.13 Durkheim memang
tidak menyebut kesamaan Totem dan kesamaan identitas klan
sebagai identitas sosial, tetapi saya memahami klan adalah juga
nama lain dari masyarakat untuk skala tersebut. Karenanya,
identitas kolektif klan yang dicitrakan oleh kesamaan Totem
adalah juga identitas sosial.
Penjelasan lain yang tidak kalah penting mengenai
identitas, yakni keterkaitan identitas dengan batas-batas etnis
sebagaimana yang dijelaskan Frederik Barth dalam tulisannya
mengenai Ethnic Groups and Boundaries. Barth menjelasakan,
bahwa dalam interaksi antar etnis, batasan-batasan etnis
dipertahankan dengan teguh karena batasan-batasan tersebut
adalah juga batasan sosial. Bahkan dalam interaksi dengan yang
lain, batasan-batasan etnis dikelola oleh komunitasnya sebagai
identitas yang menunjuk keanggotaan. Karenanya, intensitas
interaksi yang terjadi antara orang berbeda etnis akan
memperkecil perbedaan, tetapi kekhasaan kultural akan tetap
kuat jika terus terimplikasi dalam perilaku. Dengan kata lain,
perbedaan kultural akan tetap menjadi unit yang signifikan, jika
perbedaan yang ada tetap tercermin dalam perilaku.14
Terkait dengan perbedaan identitas etnis dan konflik
yang terjadi diantara mereka, Paul R. Brass menjelaskan kehati-
hatian memahami alasan yang melatar-belakangi konflik-konflik
12 Ibid, 184.
13
Ibid, 175,176.
14 Frederik Barth, Ethnic Group and Boundaries, The Social Organization of
Culture Difference (Oslo: Johansen & Nielsen Boktrykkeri), 1969, 15.
Identitas dan Perubahan Sosial 35
tersebut. Brass menjelaskan bahwa, seringkali konflik antar
etnis berbeda tercetus karena kompetisi di bidang politik,
ekonomi dan status sosial elit-elit etnis. Kompetisi di sektor-
sektor demikian kemudian dieksploitasi menjadi konflik karena
perbedaan etnis, padahal tidak demikian.15 Penjelasan Brass
semakin memperjelas mengenai kekuatan identitas dalam relasi
antar masyarakat dengan beragam identitas etnis.
Stuart Hall juga melihat ketersingungan identitas dengan
ideologi. Menurut Hall, karena identitas merupakan hasil
konstruksi, maka ideologi juga turut memberi pengaruh. Hall
mengutip beberapa teori mengenai ideologi dan menjelaskan
bahwa konstruksi identitas bukanlah sesuatu yang mudah
dilakukan. Usaha konstruksi identitas jika tidak dilakukan secara
hati-hati akan jatuh pada ideologisasi identitas atau
penghapusan konsep-konsep kunci. Inilah juga menurut Hall
problematika identitas, sebagai akibat dari praktek yang
menyimpang. Karena itu dalam tulisannya, Hall menegaskan
pentingnya penekanan pada disiplin dan sangsi terhadap
praktek yang menyimpang. Hall juga melihat perlunya individu
sebagai subjek identifikasi (sebagai proses identitas)
menghayati kedua hal tersebut sebagai mode, gaya hidup, hasil
dan penampilan posisi tersebut, dan melengkapi itu untuk sekali
dan sepanjang waktu, secara konstan, serta mengakomodir
secara regular aturan-aturan yang terkait dengan usaha disiplin
dan sangsi dari praktek menyimpang.16
Penjelasan Hall mengenai identitas dan kepentingan
yang turut bermain di dalamnya semakin menegaskan bahwa
konstruksi identitas tidak bebas kepentingan. Identitas juga
dapat direkayasa untuk mengklaim kepentingan tertentu—
dalam pengertian memberi pengesahan dan pengutamaan
identitas tertentu. Di sisi lain, penyimpangan konstruksi
15 Paul R. Brass, Ethnic Groups and Ethnic Identity Formation, dalam John
Hutchin, Ethnicity, 86, 89.
16
Ibid, 16.
36 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou
identitas yang menurut Hall dapat diperkecil dengan
menegakkan disiplin dan sangsi sekaligus menegaskan bahwa
konstruksi identitas tetap berada dalam proses.
Dari sisi yang berbeda dengan Hall, David Brown melihat
secara spesifik relasi identitas etnis dengan ideologi negara
sebagai identitas bangsa. Relasi tersebut dapat berupa kerelaan
masyarakat etnis untuk menggabungkan diri sebagai bangsa
dengan identitas kebangsaannya. Selanjutnya, Brown
menjelaskan bahwa daya tarik terhadap identitas bangsa,
terutama karena masyarakat etnis melihat ide mengenai
kesetaraan status dan kekuasaan, serta akses ke sumber-sumber
daya.17
Bentuk relasi etnis dan bangsa juga dapat berupa
benturan antara identitas etnis dan identitas bangsa dengan
ideologinya. Di sisi lain, Brown menjelaskan, bahwa benturan
dapat diminimalisir, jika negara mampu mengelola
administrasinya dengan baik dalam relasi dengan identitas etnis.
Brown memberi contoh penerimaan Pancasila, sebagai ideologi
dan identitas bangsa yang diterima oleh semua etnis pra
Indonesia Merdeka, sebagai salah satu contoh dari pengelolaan
negara yang baik.18
Brown memang tidak melakukan kajian lebih jauh
tentang apa dan bagaimana Pancasila sehingga dapat diterima
oleh semua golongan dan kelompok—termasuk di dalamnya
masyarakat etnis. Tetapi data historis mengenai penetapan
Pancasila sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) menegaskan, bahwa Pancasila dasar NKRI tidak dapat
dimengerti tanpa mengacu pada Pancasila yang disampaikan
17 David Brown, Ethnic Confilct and Nationalism. Dalam John Hutchinson &
Anthony D. Smith, Ethnicity (Oxford-New York: Oxford University Press, 1996),
307.
18 Ibid, 306, 308.
Identitas dan Perubahan Sosial 37
Soekarno dalam pidato 1 Juni 1945 di rapat BPUPKI (Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia).19
Dalam Pidatonya, Soekarno menjelaskan bahwa
Pancasila dengan sila-silanya adalah hasil penggalian di
kedalaman bumi Indonesia. Sila-sila dalam Pancasila telah
berakar di kedalam bumi Indonesia, dan menghidupi seluruh
rakyat sejak masa para leluhur.20 Bagi Soekarno hanya Pancasila
yang dapat merajut keragaman NKRI yang akan dibentuk.
Keragaman Identitas yang dirumuskan Soekarno sebagai tiga
kekuatan besar di Indonesia masa itu, yakni Nasionalisme lokal,
Islamisme dan Marxisme. Jelas, Pancasila adalah pilihan
strategis dan kompromis yang ditawarkan Soekarno dalam
rangka mengolah keragaman identitas Indonesia.21
Setelah melewati perdebatan dalam rapat BPUPKI,
akhirnya Pancasila dengan beberapa modifikasi pada urutan
pasal-pasalnya diterima sebagai dasar Negara Indonesia
merdeka.22 Brown menilai kesepakatan bersama untuk
menetapkan Pancasila sebagai Dasar Negara Indonesia, sebagai
salah satu contoh dari kemampuan negara mengelola pluralitas
etnis menjadi satu budaya inti. Pancasila menjadi budaya inti
yang mengatasi kohesi politik dan loyalitas sosial yang menjadi
basis kuat dari etnis-etnis pra Indonesia Merdeka.23
Meskipun demikian, persoalan mengenai dasar negara
tidak selesai dengan ditetapkannya Pancasila sebagai dasar
19 Saafroedin Bahar, dkk., penyunting, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945-22 Agustus 1945 (Jakarta: Sekretariat
Negara Republik Indonesia, 1995), 62-84.
20 Sukarno, Pantja Sila Sebagai Dasar Negara (Djakarta: Prapantja), 38.
21
Marhaeni L Mawuntu, Nasionalisme dan Agama dalam Pemikiran Sukarno.
Kajian Interpretatif mengenai Agama dalam Pemikiran Sukarno tentang
Nasionalisme (Tesis Program Pasca Sarjana Agama dan Masyarakat Universitas
Kristen Satya Wacana, Salatiga, 1996), 96.
22 Baca juga proses perumusan dan penetapan Pancasila sebagai dasar negara
dalam Saafroedin Bahar, Risalah Sidang…, 62-84. 23
Brown, Ethnic…, 308.
38 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou
negara Indonesia Merdeka. Dalam rapat BPUPKI ke II, persoalan
mengenai negara tidak berdasar agama kembali mencuat dan
menjadi perdebatan serius. Ada dua topik utama yang
diperdebatkan, yakni UUD pasal 28 ayat 1 tentang Negara
berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya (dikenal juga sebagai tujuh
kata). Topik perdebatan kedua, yakni mengenai Presiden
Indonesia haruslah orang Indonesia asli yang beragama Islam.24
Dua agenda rapat tersebut menjelaskan bahwa desakan
kelompok Islam untuk memasukan syariat Islam dalam aturan
bernegara Indonesia Merdeka, masih sangat kuat. Soekarno
sadar bahwa desakan kelompok Islam bila tidak ditanggapi
secara taktis akan menjadi hambatan bagi kesepakatan
mengenai Undang Undang Dasar (UUD). Karenanya, Soekarno
menawarkan solusi dengan menganjurkan kepada kelompok
kebangsaan agar menerima syarat presiden harus beragama
Islam. 25 Tawaran Soekarno terkesan bertolak belakang dengan
semangat persatuan dan kesetaraan yang selalu menjadi dasar
pemikirannya.
Terkait dengan perubahan sikap dari Soekarno tersebut di
atas, dalam Tesis saya mengenai Nasionalisme dan Agama dalam
pemikiran Sukarno, saya menyimpulkan dua alasan mendasar
yang kemungkinan besar mendasari sikap Soekarno. Pertama,
keinginan Soekarno yang kuat untuk segera mewujudkan negara
Indonesia Merdeka mengantarnya pada pilihan meminimalisir
segala persoalan yang dapat menjadi hambatan. Kedua,
kemungkinan Soekarno tidak melihat topik yang diperdebatkan
dalam sidang BPUPKI ke II sebagai masalah mendasar.26
Karenanya, ketika perwakilan Indonesia Timur menyatakan
keberatan mereka terhadap pencantuman tujuh kata dan
24 Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni dan Sejarah Konsensus
Nasional antara Nasionalis “sekuler” Tentang Dasar Negara Republik Indonesia
1945-1959 (Jakarta: Rajawali, 1983),
25 Ibid, 356,357.
26
Marhaeni, Nasionalisme…, 126.
Identitas dan Perubahan Sosial 39
meminta dihapus dari mukadimah UUD 1945, Soekarno
bersama Hatta dan Achmad Soebardjo memproses penghapusan
tersebut. Di sisi lain menurut saya, penghapusan tujuh kata
tersebut oleh Soekarno, Hatta dan Achmad Soebardjo,27 adalah
penegasan bahwa ide tentang kesetaraan semua golongan
merupakan hal penting yang harus tetap dipertahankan.
Penghapusan tujuh kata untuk mengakomodir tuntutan
masyarakat di Indonesia Timur, berproses bukan tanpa masalah.
Kritik tajam terutama diarahkan terhadap peran Soekarno,
Hatta dan Achmad Soebardjo yang dinilai tidak mewakili Islam
meskipun mereka beragama Islam. Kritik demikian, datang dari
kalangan Islam yang merasa kepentingan mereka berkaitan
dengan syariat Islam tidak diakomodir.28
Pada sisi berbeda, keputusan penghapusan tujuh kata
yang diambil Soekarno dan kelompok kebangsaan dinilai
sebagai keputusan politis dalam rangka mewujudkan negara
Indonesia Merdeka. Subadio Sastrosatomo, mantan ketua Fraksi
Partai Sosialis Indonesia dan Sudibjo, mantan wakil ketua
merangkap sekretaris Islam Indonesia, menilai keputusan
tersebut sebagai konsekuensi kehidupan berbangsa dan
bernegara.29
27 Endang, Piagam…, 57,58.
28 Kahar Muzakir dalam Majelis Konstituante, mengkritik keputusan penghapusan
tujuh kata dalam mukadimah UUD 1945, sebagaimana yang dikutip oleh Endang
Anshari sebagai berikut:
…Pancasila itu sudah dirusak. Sebab, katanya, prinsip-prinsip yang mendatangkan
moral yang luhur dengan adanya Pancasila Piagam Jakarta (baca: Pancasila dalam
bentuk Piagam Jakarta) itu telah hilang dari wujud Pancasila; yang tadinya
merupakan gentleman’s agreement itu telah diciderai dan dibatalkan atas kehendak
satu fihak, yaitu fihak kebangsaan. “Maka dengan itu,” dia berkata, maka fihak
yang menghianati (gentleman’s agreement) itu bukanlah fihak kami, yaitu fihak
Islam, akan tetapi fihak yang mengubah itulah, yakni yang menghapuskan rumusan-
rumusan yang esensil yang mengenai Islam itu.” Dalam Endang Saifuddin Anshari,
Piagam, 62,63.
29
Wawancara dengan Subadio Sastrosatomo, mantan ketua Fraksi Partai Sosialis
Indonesia dan Sudibjo, mantan wakil ketua merangkap sekretaris Islam Indonesia,
dalam Marhaeni L Mawuntu, Nasionalisme dan Agama dalam Pemikiran Sukarno.
Kajian Interpretatif mengenai Agama dalam Pemikiran Sukarno tentang
40 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou
Terkait dengan keputusan Soekarno dan kelompok
kebangsaan tersebut, John Titaley dalam disertasinya menilai
sikap tersebut sebagai kesadaran bahwa NKRI memang tidak
dapat didasarkan pada satu golongan saja. Negara Indonesia
Merdeka yang akan dibentuk adalah fenomena baru, karena
tidak pernah ada di masa pra-Indonesia Merdeka. Selanjutnya,
Titaley menawarkan cara pandang yang lebih objektif dalam
memahami negara Indonesia Merdeka. Menurut Titaley, dalam
negara Indonesia Merdeka sebagai fenomena baru, semua yang
menyangkut keindonesiaan—termasuk di dalamnya agama—
harus dimengerti secara baru. Karena dalam fenomena baru
tersebut, semua yang menyangkut Keindonesiaan diletakkan
sejajar dan sama pentingnya. Itu artinya, tidak ada satu golongan
pun yang dapat mengklaim dirinya sebagai Indonesia—sebab
Indonesia bukanlah agama, budaya ataupun idelogi tertentu.30
Selain itu menurut Titaley, Soekarno tidak menempatkan agama
sebagai dasar negara karena dia melihat Islam tidak sebagai
representasi seluruh rakyat Indonesia. 31
Pergulatan Ideologis mengenai tujuh kata dalam
mukadimah UUD 1945 selesai dengan kesepakatan menghapus
tujuh kata tersebut. Kesepakatan tersebut tidak hanya
menegaskan kesepakatan UUD, tetapi terutama menegaskan
bahwa Pancasila sebagai ideologi NKRI telah final. Implikasinya,
semua keragaman—termasuk keragaman etnis dirajut menjadi
satu kesatuan Indonesia dengan Pancasila sebagai identitas
bangsa. Dalam Pancasila sebagai identitas bangsa, identitas
lokal/sektarian agama diberi ruang untuk hidup dan
mengembangkan diri dalam tataran yang sama.
Nasionalisme, (Tesis Program Pasca Sarjana Agama dan Masyarakat Universitas
Kristen Satya Wacana, Salatiga, 1998), 136.
30 John A Titaley, A Sociohistorical Analysis of The Pancasila as Indonesia’as
State Ideology in The Light of The Royal Ideology in The Davidic State, (diss.,
Ph.d., Graduate Theological Union Berkeley, California, 1992) 134, 151.
31
Ibid, 141.
Identitas dan Perubahan Sosial 41
2. Perubahan Sosial
Pembahasan mengenai perubahan sosial dalam bab ini
akan saya paparkan dengan mengkaji teori dari para sosiolog
awal, yakni Emile Durkheim, Karl Marx dan Max Webber.
Emile Durkhiem dalam buku The Division of Labor in
society membahas tentang perubahan sosial bertolak dari
perubahan yang terjadi dalam masyarakat solidaritas mekanik
ke masyarakat sodidaritas organik. Perubahan sosial tersebut
ditandai oleh penekanan pada pembagian kerja dalam
masyarakat organik yang tidak hanya menjadi karakter moral,
tetapi juga alasan bagi eksisnya masyarakat.32 Perubahan sosial
yang terjadi sangat signifikan, karena diperkuat oleh perubahan
yang fundamental terhadap dasar hukum sosial.
Durkheim menjelaskan, bagaimana relasi masyarakat
mekanik dengan konsesus kolektif sebagai dasar hukum.
Konsesus kolektif yang dilegalkan sebagai hukum—benar-atau
salah— membutuhkan kesetiaan individu yang sistimatis.33 Pada
tataran yang demikian, hukum menjadi sesuatu yang sangat kuat
dan mengatasi kolektivitas, karena itu menyakiti sentimen
kolektif dinilai sebagai kejahatan. Intinya, sistim hukum
masyarakat mekanik adalah ungkapan kemarahan kolektif
terhadap perilaku menyimpang.34 Durkheim juga menjelaskan
bahwa sentimen kolektif berbeda dengan sentimen lainnya.
Karena sentimen kolektif bukan hanya tertulis pada kesadaran
setiap orang, tetapi juga tertulis di kedalaman diri setiap orang.
Sentimen kolektif merupakan emosi-emosi dan watak yang
sangat kuat yang berakar dalam diri masyarakat. 35 Karenanya
tindakan kejahatan tidak hanya menyakiti kolektivitas, tetapi
32 Emile Durkheim, The Division of Labor in Society, Translated by W.D. Halls
(New York: The Free Press a Division of Macmillan, Inc.), 15.
33 Ibid, 37.
34
Doyle Paul Johnson, Teori Sosial Klasik dan Moderen, Terjemahan Robert
M.Z. Lawang (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1994), 184.
35
Durkeim, The Division, 33.
42 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou
juga dianggap menentang otoritas transendental yang
memelihara koletivitas tersebut.36 Kekurangan dari hukum
represif ini yakni bahwa pertimbangan-pertimbangan hukum
lebih ditentukan oleh reaksi emosional.
Pada masyarakat berdasar hukum restitori, relasi sosial
dalam masyarakat organik yang berlangsung didasarkan pada
saling ketergantungan fungsional karena spesialisasi yang
dimiliki setiap individu. Relasi yang demikian tidak hanya
merobek harmonisasi yang telah terbentuk dalam solidaritas
mekanik, tetapi juga merubah model relasi dalam masyarakat.37
Solidaritas sosial berdasar kesadaran kolektif berubah menjadi
solidaritas sosial berdasar pembagian kerja. Ini yang menjadi
penanda utama dari perubahan sosial yang terjadi dari
masyarakat mekanik ke masyarakat organik. Dalam relasi yang
demikian tidak berarti solidaritas ini kehilangan dasar moral
bersama, sebaliknya, saling ketergantungan fungsional
tersebutlah yang menjadi kode moral dari kehidupan bersama.38
Berpijak pada dasar moral baru tersebut relasi-relasi
dalam masyarakat dikonstruksi kembali. Setiap individu dalam
masyarakat memainkan peran berbeda yang diatur berdasarkan
kontrak sosial.39 Kontribusi teori Emile Durkheim mengenai
perubahan sosial yang terjadi karena perubahan sistim sosial,
terletak pada penekananannya mengenai kontrak sosial sebagai
dasar moral sosial yang baru. Kontrak-kontrak sosial menjadi
ekspresi legal tertinggi dari kerjasama, dan juga simbol dari
perubahan dalam masyarakat. 40 Kontrak sosial juga bukan
hanya sekedar kebutuhan untuk kerjasama yang sedang
berlangsung di masa kini, tetapi juga untuk mengatasi
perkembangan dari relasi kerjasama tersebut. 41 Jika terjadi
36 Ibid, 43.
37 Ibid, 105.
38 Ibid, 116,117.
39 Ibid, 132.
40 Ibid, 79, 80.
41
Ibid, 160.
Identitas dan Perubahan Sosial 43
pelanggaran terhadap perjanjian, maka kejahatan tersebut akan
diproses berdasarkan prosedur hukum—sipil atau komersial—
yang memainkan peran yang sama dalam sistim hukum.
Di sisi berbeda, Durkheim juga menyadari adanya
kelemahan dari masyarakat dengan solidaritas sosial berdasar
pada pembagian kerja. Kekuatiran Durkheim terletak pada
menguatnya kesadaran kolektif pada kelompok-kelompok
dalam masyarakat dan mengabaikan kesadaran kolektif sosial.
Karena jika demikian yang terjadi, maka solidaritas sosial
masyarakat organik akan lemah, bahkan dapat menjadi anomi.
Karenanya bagi Durkheim penyimpangan sosial demikian, justru
memberikan fungsi sosial positif bagi masyarakat untuk
menegaskan kembali nilai-nilai moral di mana solidaritas itu
berpijak. Dengan kata lain, masyarakat perlu di dorong untuk
membuat peraturan yang dapat meminimalisir penyimpangan
dan juga kesadaran untuk terus-menerus memperkuat kembali
dasar moral.42
Penekanan berbeda mengenai perubahan sosial dapat
disimpulkan dalam tulisan Karl Marx mengenai The German
Ideology. Marx memberi penekanan khusus pada pembagian
kerja sebagai faktor yang mendorong perubahan sosial, tetapi
dalam wujud yang destruktif. Marx melihat, pembagian kerja
dalam masyarakat modern yang mengkristal pada
pengelompokkan individu karena tidak tertata baik justru
memperburuk keadaan pekerja, bahkan merubah relasi-relasi
sosial. Buruknya dampak pembagian kerja bagi masyarakat,
dijelaskannya dengan menunjuk apa yang terjadi dalam
keluarga. Demikian Marx menegaskan, bahwa:
With the division of labour, in which all these contradictions are implicit, and which in its turn is based on the natural division of labour in the family and the separation of society into individual families opposed to one another, is given
42 Doyle, Teori Sosiologi, 195.
44 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou
simulthaneously the distribution, and indeed the unequal distribution, both quantitative and qualitative, of labour and its products, hence property: the nucleus, the first form, of which lies in the family, where wife and children are the slave of husband. This latent slavery in the family, though still very crude, is the first property, but even at this early stage it corresponds perfectly to the definition of modern economimict…43
Penekanan berbeda mengenai pembagian kerja dalam
pemikiran Marx merupakan refleksi akademis terhadap sistim
sosial yang dihadapinya. Sistim sosial yang mengatur pola relasi
sosial—borjuis dan proletar—berdasar pada hasil produksi dan
pembagian kerja. Relasi sosial yang mereduksi kemanusiaan
proletar, sehingga mengalami keterasingan dari pekerjaannya,
dari relasi-relasi sosial, dari relasi dan dalam keluarga, dan dari
dirinya sendiri.44 Marx juga menggambarkan relasi sosial yang
terjadi dalam masyarakat sebagai relasi yang didasarkan pada
kesadaran palsu. Karena kerjasama yang terbangun bukan
sebagai kekuatan yang menyatu, tetapi sebagai kekuatan asing
yang eksis di luar masyarakat yang asal-usul dan sasarannya
tidak dapat mereka tolak, menentang dan tidak terkontrol. Marx
menegaskan kembali, bahwa penyatuan demikian menjebak
individu dalam kesadaran palsu. Seolah-olah penyatuan yang
terjadi berdasarkan interes yang sama akan memberikan
perlindungan dan memperjuangkan interes mereka. Padahal
menurut penilaian Marx, bergabungnya individu dalam kelas-
kelas berdasarkan interes yang sama, pada akhirnya akan
menjadi senjata yang menyerang balik eksistensi mereka.
Karena berada dalam kelas menyebabkan individu kehilangan
eksistensinya; posisi dan pengembangan personalnya harus
43 Karl Marx, The German Ideology: Part I, dalam Robert C Tucker, ed. The
Marx-Engels Reader (New York-London: W.W. Norton & Company, 1978),
159,160.
44 Idem, The Economic and Philosophic Manuscripts of 1844, dalam Ibid, 72-74.
Identitas dan Perubahan Sosial 45
dilakukan dalam kategori yang ditentukan oleh kelasnya. 45
Masyarakat demikian adalah sesuatu yang tidak nyata, dipenuhi
oleh ilusi-ilusi yang kemudian melahirkan belenggu-belenggu
baru.46 Marx kemudian menawarkan perubahan sosial yang
konstruktif sebagai antitesa dari perubahan sosial yang
destruktif. Individu-individu yang terasing harus melakukan
revolusi sosial untuk menghapus dan menghancurkan
kepemilikan pribadi dan relasi asing yang terjadi dalam
masyarakat47.
Pemikiran tentang perubahan sosial dapat juga
ditemukan dalam tulisan Max Weber. Weber memang tidak
memberi porsi khusus bagi pembahasan mengenai perubahan
sosial, tetapi teorinya mengenai perubahan sosial dapat
ditemukan dalam tulisannya mengenai The Protestant Ethic and
The Spirit of Capitalism.” Dalam penjelasannya mengenai teologi
Calvin tentang orang yang terpilih untuk menerima rahmat,
Weber mengemukakan bahwa dari teologi tersebut kita
kemudian bisa mengerti keterkaitannya dengan semangat
kapitalisme. Selanjutnya Weber menjelaskan mengenai dua
penekanan dalam teologi Calvin tentang orang terpilih. Pertama,
orang terpilih memiliki keharusan untuk menjadi anggota
gereja, melakukan askese dalam rangka berkomunikasi secara
pribadi dengan Allah dan mematuhi firmanNya beradasarkan
kemampuan setiap orang. Kedua, orang-orang kristen pilihan
juga dikehendaki oleh Tuhan untuk mengelola kehidupan
sosialnya menurut firman Tuhan. Karenanya, aktivitas orang-
orang Kristen di dunia adalah in majorem gloriam Dei (semua
demi kemuliaan Tuhan). Ciri yang kuat dari in majorem gloriam
Dei yakni pemenuhan tugas sehari-hari; panggilan hidup yang
melayani kehidupan duniawi dari masyarakatnya.48 Karenanya,
45 Karl Marx, The German, 179.
46
Ibid, 197.
47
Ibid, 200.
48
Max Webber, The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism, Translated by
Talcot Parsons (New York: Dover Publicatian, INC., 2003), 108, 109.
46 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou
menurut Weber dalam teologi Calvin, askese yang dimaksudkan
bukanlah seperti seorang rahib yang karena melakukan askese,
menarik diri dari dunia dan mengabaikan tugas-tugas sosial.
Sebaliknya, semua manusia adalah rahib pada semua
kehidupannya dan bahwa sebagai rahib manusia dipaksa
mengejar cita-cita asketis mereka di antara pekerja-pekerjaan
keduniawian.49 Pengajaran Calvin soal askese, semakin
berkembang dengan penekanan pada pentingnya membuktikan
iman seseorang dalam aktivitas duniawinya.50
Weber juga mengacu pada pemikiran Richard Baxter—
seorang Presbiterian dan seorang apologis dari Sinode
Westrminster mengenai etika puritan. Weber menyitir pikiran
Baxter yang menegaskan bahwa kesejahteraan dan kebaikan
umum harus diletakkan di atas kesejahteraan dan kebaikan kita.
Bexter juga menekankan, bahwa setiap orang harus bekerja
sebagaimana perintah Tuhan. Bahkan orang kaya sekalipun yang
hidup berkelimpahan dengan kekayaannya harus tetap bekerja
dan tidak boleh makan jika tidak bekerja, karena kerja adalah
perintah Allah yang harus dilakukan setiap individu demi
kemuliaan Allah. Bexter juga memberi penilian terhadap
pentingnya pembagian kerja. Pembagian kerja memungkinkan
untuk meningkatkan kemampuan individu yang kemudian akan
mengarah pada perbaikan-perbaikan produksi secara kualitatif
maupun kuantitatif. Pembagian kerja juga akan mengarahkan
individu pada penguasaan dan pelaksanaan kerja yang optimal.
Acuan pengajaran lain yang disitir Weber, yakni
pengajaran kaum Queker. Kaum ini meyakini bahwa kehidupan
manusia dalam panggilannya adalah suatu latihan dalam
keutamaan atau kebajikan asketis, suatu bukti dari “state of
grace” manusia melalui sifat hati-hati yang juga diharapkan
dapat digunakannya untuk mencari panggilannya. Bagi kaum
Quaker, kerja harus selalu dipahami dalam kaitan dengan
49 Ibid, 121.
50
Ibid, 128.
Identitas dan Perubahan Sosial 47
panggilan Tuhan, sehingga yang utama bukanlah pekerjaan
dalam dirinya melainkan pekerjaan rasional dalam suatu
panggilan. 51
Bagian terakhir dari tulisan Weber, yakni penilaiannya
terhadap askese kaum Puritan. Menurut Weber, ketika askese di
bawa keluar dari sel-sel monastik ke dalam kehidupan yang
nyata setiap hari, dan mulai mendominasi moralitas duniawi,
askese akhirnya berperan dalam membangun kosmos yang luar
biasa dari tatanan perekonomian modern—yang terikat pada
kondisi-kondisi teknis dan ekonomis dari produksi mesin-mesin
sekarang yang menentukan hidup semua manusia. Dalam askese
perhatian terhadap harta benda ekternal seharusnya hanya
seperti jas ringan yang ada di pundak santa, yang bisa dilempar
menjauh kapan saja. Yang terjadi sebaliknya, jas itu menjadi
suatu “sangkar besi.’ Karenanya, askese harus memperbaiki
dunia sedemikian rupa, sehingga kemudian menyebabkan harta
benda menjadi kekuatan yang solid terhadap hidup manusia.52
Sekarang menurut Weber, askese tidak lagi berada dalam
kurungan besi, tetapi kapitalisme telah menjadi kekuatan besar
yang tidak lagi membutuhkan dukungan agama.
Lepas dari pro kontra terhadap pemikiran Weber
demikian, tetapi pada intinya Weber berusaha menjelaskan
bahwa aspek-aspek tertentu dalam etika Protestan merupakan
perangsang yang kuat dalam meningkatkan pertumbuhan sistim
ekonomi kapitalis pada tahap-tahap pembentukannya.
Selanjutnya, setelah kapitalisme berdiri sebagai suatu sitim
ekonomi yang mandiri, semangat sistim ini yang benar-benar
sekuler mungkin secara ironis merusakkan etika agama apa saja
yang justru merupakan pendukung pada saat berdirinya. 53
51 Ibid, 161, 162.
52
Ibid, 181.
53 Doyle, Teori Sosiologi, 238, 239.
Recommended