View
15
Download
1
Category
Preview:
Citation preview
BAB II
KONSEP INVESTASI PARIWISATA, TANAH ADAT DAN PERLINDUNGAN HUKUM
2.1. Pengertian Pariwisata
Industri pariwisata mulai dikenal di Indonesia setelah dikeluarkan instruksi Presiden RI No.
9 tahun 1969 pada tanggal 6 Agustus 1969, dimana dalam Bab II Pasal 3 disebut: “usaha-usaha
pengembangan pariwisata Indonesia bersifat suatu pengembangan industri pariwisata dan
merupakan bagian dari usaha pengembangan dan pembangunanserta kesejahteraan masyarakat
dan negara”. Dengan pernyataan tersebut, jelaslah bahwa usaha-usaha yang berhubungan dengan
kepariwisataan merupakan usaha yang bersifat commercial. Hal tersebut dapat dilihat dari betapa
banyaknya jasa yang diperlukan oleh wisatawan jika melakukan perjalanan wisata semenjak ia
berangkat dari rumahnya hingga kembali ke rumahnya tersebut. Jasa yang diperoleh tidak hanya
oleh satu perusahaan yang berbeda fungsi dalam proses pemberian layanannya.56
Istilah pariwisata secara etimologi yang berasal dari Bahasa Sansekerta yang terdiri dari kata
‘pari’ yang berarti halus, maksudnya mempunyai tata krama tinggi dan ‘wisata’ yang berarti
kunjungan untuk melihat, mendengar, menikmati dan mempelajari sesuatu. Maka pariwisata itu
berarti menyuguhkan suatu kunjungan secara bertata krama dan berbudi. Berdasarkan Undang-
undang RI No. 10 tahun 2009 tentang kepariwisataan menyebutkan bahwa pariwisata
adalah:”Berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang
disediakan oleh masyarakat, pengusaha, pemerintah dan pemerintah daerah”. Pariwisata
merupakan suatu aktivitas yang bersifat sementara tidak untuk memperoleh penghasilan dan untuk
dan untuk menikmati perjalanan sebagai rekreasi untuk memenuhi keinginan yang beragam tanpa
adanya suatu paksaan
56 Soewantoro, Gamal, 1997, Perencanaan Produk Wisata, Yogyakarta: Diparda, hal.67
Sedangkan ilmu pariwisata adalah keseluruhan dari segala yang ditimbulkan oleh perjalanan
dan pendiaman orang-orang asing dari segala yang ditimbulkan oleh perjalanan dan pendiaman itu
tidak tinggal menetap dan tidak memperoleh penghasilan dan aktivitas yang bersifat sementara”.
Dari beberapa definisi yang dikemukakan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pariwisata adalah
suatu perjalanan yang dilakukan orang dari suatu tempat ke tempat lain, untuk sementara waktu
dengan maksud atau tujuan tidak untuk berusaha atau mencari nafkah ataupun menetap di tempat
yang dikunjungi, akan tetapi untuk menikmati perjalanan tersebut sebagai rekreasi atau untuk
memenuhi kegiatan yang beragam tanpa adanya suatu paksaan dan dilakukan perorangan maupun
kelompok.
Sedangkan wisatawan berasal dari bahasa sansekerta, yang berasal dari kata ”wisata” yang
berarti perjalanan yang dapat disamakan dengan kata tour dalam bahasa Inggris. Kata “wisatawan”
selalu diasosiasikan dengan kata tourist dalam bahasa inggris.
Berdasarkan Undang-Undang RI No.9 tahun 2010 tentang kepariwisataan menyebutkan
bahwa, wisatawan adalah orang yang melakukan wisata. Bahwa wisatawan adalah setiap orang
yang berpergian dari tempat tinggalnya untuk berkunjung ke tempat lain dengan menikmati
perjalanan dari kunjungannya itu.
Beberapa hal yang dapat dianggap sebagai wisatawan yaitu :
1. Orang-orang yang berpergian untuk tujuan bersenang-senang, alasan keluarga, untuk
tujuan kesehatan dan lain sebagainya.
2. Orang-orang yang berpergian untuk mengadakan pertemuan atau mewakili kedudukan
sebagai diplomat
3. Orang-orang yang singgah dalam pelayaran lautnya, sekalipun bila mereka tinggal kurang
dari 24 jam.57
Berdasarkan Konferensi Perserikat Bangsa Bangsa mengenai perjalanan internasional dan
pariwisata di Roma tahun 1963 menyatakan bahwa wisatawan
adalah setiap orang yang mengunjungi suatu negara selain negara tempat tinggalnya yang biasa,
untuk berbagai tujuan selain mencari nafkah dan melakukan suatu pekerjaan yang menguntungkan
di negara yang dikunjungi. Dari definisi tersebut telah mencakup wisatawan (tourist) yaitu
pengunjung yang datang paling sedikit jam di negara yang dikunjungi. Dan Pelancong
(excursionist) yaitu seorang pengunjung yang tinggal kurang dari 24 jam di negara yang
dikunjungi.
Dari definisi-definisi diatas dapat disimpulkan batasan yang disebut wisatawan adalah :
1. Perjalanan yang dilakukan lebih kurang 24 jam.
2. Perjalanan yang dilakukan hanya untuk sementara
3. Orang yang melakukan perjalanan tersebut tidak mencari nafkah di tempat tujuannya.
Sarana kepariwisataan adalah perusahaan yang memberikan pelayanan kepadawisatawan baik
secara langsung maupun tidak langsung dan kehidupannya tergantung kepada kedatangan
wisatawan. Sarana kepariwisataan ini harus tetap dijaga dan ditingkatkan baik dari segi kualitas
dan kuantitasnya sesuai dengan perkembangan kebutuhan wisata. Untuk mendukung pencapaian
yang lebih baik perlu adanya kemampuan pengelolaan yang memadai sesuai dengan kondisi objek
dan kebutuhan pengunjung.
Sarana wisata dapat dibagi dalam 3 (tiga) unsur pokok, antara lain :
57Nyoman Pendit. 2000. Ilmu Pariwisata Sebuah Pengantar Perdana. Jakarta : PT. Pradnya Paramita.hal. 142
1. Sarana Pokok Kepariwisataan (Main Tourism Suprastructure) adalah perusahaan yang
hidup dan kehidupannya sangat tergantung kepada kedatangan orang yang melakukan
perjalanan wisata, yang termasuk di dalamnya adalah : Travel Agent ; Tour Operator ;
Perusahaan Transportasi dan Restaurant, Bar, objek dan atraksi wisata.
2. Sarana Pelengkap Kepariwisataan (Supplementing Tourism Suprastructure) adalah
perusahaan yang menyediakan fasilitas untuk rekreasi yang fungsinyatidak hanya
melengkapi sarana pokok kepariwisataan, tetapi yang terpenting adalah untuk membuat
agar para wisatawan dapat lebih lama tinggal, ditempat atau daerah yang dikunjunginya.
Yang termasuk di kelompok ini adalah:lapangan tenis, lapangan golf, lapangan bola kaki,
kolam renang, bilyard, dan lain-sebagainya.
3. Sarana Penunjang Kepariwisataan (Supporting Tourism Suprastructure) adalah
perusahaan yang menunjang sarana pokok dan sarana perlengkapan yakni fasilitas-fasilitas
yang diperlukan wisatawan khususnya tourism bussiness yang berfungsi untuk membuat
para wisatawan lebih lama tinggal didaerah tersebut. Yang termasuk ke dalam kelompok
ini adalah: Night Club, Casino.1
Prasarana (infrastructure) kepariwisataan sesungguhnya merupakan touristsupply yang
perlu dipersiapkan atau disediakan bila akan mengembangkan industri pariwisata, karena kegiatan
pariwisata pada hakekatnya tidak lain adalah salah satu kegiatan dari sektor perekonomian juga.
Yang dimaksud prasarana (infrastruktur) adalah “semua fasilitas yang memungkinkan proses
perekonomian dapat berjalan dengan lancar sedemikian rupa sehingga dapat memudahkan
manusia memenuhi kebutuhannya”. Jadi fungsi dari prasarana adalah untuk melengkapi sarana
kepariwisataan sehingga dapat memberikan pelayanan sebagaimana mestinya
1Parikesit, D. dan Trisandi.1997. Kebijakan Kepariwisataan Indonesia Dalam Pembangunan Jangka Panjang.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Business Review No. 16 / VI.hal. 67
Untuk menghindari hal-hal yang dapat merusak unsur objek wisata yang dikunjungi,
maupun yang dapat mengganggu ketenangan pengunjung itu sendiri mengingat arus kunjungan
yang datang cenderung akan lebih meningkat.Bila orang mendengar kata industri, gambaran dari
kebanyakan orang adalah suatu bangunan pabrik dengan segala perlengkapannya dan
menghasilkan produk dalam bentuk barang. Demikianlah gambaran industri pada umumnya, tetapi
industri pariwisata jauh berbeda dengan itu. Dari pengertian-pengertian kata “industri” yang telah
diuraikan diatas, makakita cenderung untuk memberikan batasan tentang industri pariwisata yaitu
: “industri pariwisata adalah kumpulan bermacam-macam perusahaan yang secara bersama - sama
menghasilkan barang dan jasa (good and service) yang dibutuhkan olehwisatawan pada khususnya
selama dalam perjalanan.
Menurut Undang-Undang RI No. 10 tahun 2009 tentang kepariwisataan menjelaskan
bahwa : “industri pariwisata adalah kumpulan usaha yang saling terkait dalam rangka penghasilan
barang atau jasa bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dalam penyelenggaraan
pariwisata”.Pengertian industri pariwisata akan lebih jelas bisa dipelajari dari jasa atau barang
yang dihasilkan atau pelayanan yang diharapkan wisatawan ketika melakukan perjalanan. Dengan
demikian akan terlihat tahap-tahap wisatawan sebagai konsumen memerlukan pelayanan tertentu.
Perusahaan-perusahaan yang termasuk dalam industri pariwisata yaitu :
1. Travel Agent
2. Perusahaan Angkutan (Transportasi)
3. Akomodasi perhotelan
4. Bar dan restoran
5. Souvenir dan Handicraft
6. Perusahaan-perusahaan yang berkaitan dengan aktivitas wisatawan, seperti :Money
changer, bank, kantor pos dan lain-lain.
Dalam hal pariwisata, produk yang dipasarkan itu adalah dalam arti jasa atau pelayanan
(service). Produk pariwisata adalah sejumlah fasilitas dan pelayanan yang disediakan dan
diperuntukkan bagi wisatawan yang terdiri dari tiga komponen, yaitu :sumber daya yang terdapat
pada suatu daerah tujuan wisata, fasilitas, dan transportasi. Ciri-ciri produk pariwisata tersebut
adalah :
1. Hasil atau Produk itu tidak dapat dipisahkan.
2. Hasil atau Produk pariwisata tersebut tidak dapat ditimbun.
3. Proses Produksi terjadi bersamaan dengan konsumsi.
4. Hasil atau Produk pariwisata tidak memiliki standar atau ukuran yang objektif.
5. Hasil atau Produk pariwisata tidak tetap dan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor non-
ekonomis terhadap permintaan (demand).
6. Calon konsumen tidak dapat mencoba atau mencicipi produk yang akan dibelinya.
7. Hasil atau Produk pariwisata itu banyak tergantung pada tenaga manusia dan sedikit sekali
yang dapat diganti dengan mesin.
Pengembangan diartikan sebagai usaha untuk menuju ke arah yang lebih baik, lebih luas
atau meningkat. (Kamus Webster) dan Pengembangan pariwisata dapat diartikan sebagai “usaha
untuk melengkapi atau meningkatkan fasilitas dan pelayanan yang dibutuhkan masyarakat”. Dari
pengembangan pariwisata, terdapat faktor yang dapat menentukan keberhasilan pengembangan
pariwisata yaitu :
1. Tersedianya objek dan daya tarik wisata.
2. Adanya fasilitas accessibility yaitu sarana dan prasarana sehingga memungkinkan
wisatawan mengunjungi suatu daerah atau kawan wisata.
3. Tersedianya fasilitas amenities yaitu sarana kepariwisataan yang dapat memberikan
pelayanan kepada masyarakat. Pengembangan pariwisata dapat berkelanjutan, maka perlu
diperhatikan kode etik pengembangan pariwisata seperti yang ditetapkan dalam konferensi
pariwisata tahun 1999 yang mengatur etika global pariwisata untuk menjamin sumber daya
alam yang menjadi sumber kehidupan kepariwisataan dan melindungi lingkungan dari
dampak buruk kegiatan bisnis pariwisata.
Adapun kode etik dalam pengembangan pariwisata global ini, meliputi :
1. Kewajiban Pemerintah.
2. Kewajiban dan Hak usaha pariwisata.
3. Kewajiban dan Hak masyarakat.
Maka sebab itu, pengembangan industri pariwisata dengan memperhatikan etika global
pariwisata dan memperhatikan prinsip-prinsip pariwisata yang berkelanjutan yaitu, penggunaan
sumber daya alam yang berkelanjutan, penurunan konsumsi berlebih dari sampah,
mempertahankan keberagaman, integrasi pariwisata dalam perencanaan, ekonomi pendukung,
melibatkan masyarakat lokal, tanggung jawab pemasaran, dan pelaksanaan penelitian tentang
pariwisata dalam melahirkan inovasi-inovasi baru kepariwisataan yang dapat dijadikan produk
baru pariwisata. Berdasarkan pengertian di atas mengenai pengembangan pariwisata, dapat
dijelaskan bahwa pengembangan pariwisata adalah suatu bentuk pembangunan dari yang belum
ada menjadi ada, dan yang sudah ada menjadi lebih baik dan berkualitas yang berkaitan dengan
sektor kepariwisataan dengan memperhatikan kode etik pariwisata global yang telah menjadi
standar dalam pengembangan pariwisata.
2.2. Konsep Investasi Pariwisata
Konsep Investasi Pariwisata mengarah pada perkembangan pariwisata secara umum,
perkembangan baru tersebut secara khusus ditunjukkan melalui bentuk- bentuk keterlibatan
wisatawan dalam kegiatan-kegiatan di luar lapangan (out-door), kepedulian akan permasalahan
ekologi dan kelestarian alam, kemajuan ilmu pengetahuan dan pendidikan, penekanan dan
penghargaan akan nilai-nilai estetika, kebutuhan pengembangan diri/pribadi serta keinginan untuk
berinteraksi secara mendalam dengan masyarakat. Jenis wisata ini menekankan pada beberapa hal
dalam implementasinya, yaitu (1) motivasi pencarian pada sesuatu yang unik/spesifik dan baru
(novelty seeking ) dan yang lebih menantang pada lokasi-lokasi baru untuk jenis atraksi yang
diminati; (2) motivasi pencarian pada pengalaman wisata yang berkualitas (quality seeking).2
Salah satu sumber daya wisata yang sangat potensial yakni kawasan wisata pantai yang
berada di Kawasan Kabupaten Badung, dengan potensi kekayaan dan keragaman yang tinggi
dalam berbagai bentuk: alam, sejarah, adat, budaya dan berbagai sumber daya lain yang terkait
dengan pengembangan kepariwisataan. Kawasan wisata pantai mempunyai nilai atraktif dan
turistik wajib dikelola dan dikembangkan bagi kesejahteraan.Bentuk alamnya dan juga keterkaitan
ekologisnya dapat menarik minat wisatawan baik untuk bermain, bersantai atau sekedar menikmati
pemandangan.
Kawasan wisata pantai lainnya yang berpotensi besar adalah wilayah pantai dengan
kondisi yang indah dan alami, diantaranya adalah pantai barat Sumatera, Pulau Simeuleu, Pulau
Bali dan pantai terjal berbatu di selatan Pulau Lombok.
2Da Costa, Dominggus. 2005. Strategi Pengembangan Obyek Wisata Bu’at Menjadi Kawasan Wisata di
Kabupaten Timor Tengah Selatan (tesis). Badung: Universitas Udayana.hal. 95
Sehubungan dengan hal tersebut, Pemerintah Provinsi Bali telah mengeluarkan
Keputusan Gubernur yang mengatur lokasi berbagai rekreasi wisata bahari (rekreasi air). Di dalam
Keputusan Gubernur Bali Nomor 113 Tahun 1986 tentang Lokasi Rekreasi Air ditetapkan
sebanyak sembilan lokasi:
1. Rekreasi menyelam (diving) di empat kabupaten,
2. Rekreasi parasut layang (parasailing) di empat kabupaten,
3. Rekreasi berlayar/mendayung (sailing) di tujuh kabupaten,
4. Rekreasi memancing (fishing) di delapan kabupaten,
5. Rekreasi berselancar (surving) di empat kabupaten,
6. Rekreasi ski-air (water sky) di empat kabupaten,
7. Rekreasi skuter-air (water scooter) di empat kabupaten,
8. Rekreasi menyelam menikmati keindahan biota laut (snorkeling) di enam kabupaten, dan
9. Rekreasi selancar angin (wind-surving) di lima kabupaten.
Di sembilan lokasi tersebut, objek dan daya tarik wisata dikemas menjadi berbagai
variasi produk (diversifikasi products) seperti:
1. Olahraga selancar (surving) di pantai Kuta, Nusa Dua, Greenland, Canggu (keempat lokasi
ini di Kabupaten Badung), pantai Medewi (Kabupaten Jembrana),
2. Rekreasi menyelam dan menikmati keindahan biota laut (diving, snorkeling) di pantai Nusa
Lembongan (Kabupaten Klungkung), Tulamben (Kabupaten Karangasem), pantai pulau
Menjangan dan Lovina (Kabupaten Buleleng),
3. Rekreasi selancar angin (wind-surfing), skuter air (water scooter), ski- air (water-sky) dan
sebagainya di pantai Sanur (Kota Badung),
4. Rekreasi kapal cepat (cruise) di pantai Sanur dan Nusa Penida, dan
5. Rekreasi arung jeram (rafting) di sungai Ayung (Kabupaten Badung), sungai Melangit dan
Unda (Kabupaten Klungkung) dan sungai Telaga Waja (Kabupaten Karangasem).3
Saat ini pengembangan kepariwisataan tirta yang cukup dikenal di Bali terdapat di tiga
daerah, yaitu : (1) Sanur, Badung, (2) Tanjung Benoa, Badung dan (3) Bedugul, Tabanan. Dari
ketiga daerah tersebut, daerah Sanur di kota Badung dan Tanjung Benoa di Kabupaten Badung
memanfaatkan sumber daya alam pantai sebagai penunjang atraksi wisata bahari, sedangkan
daerah Bedugul di Kabupaten Tabanan memanfaatkan danau sebagai penunjang atraksi wisata
tirta.
Kabupaten Badung khususnya Desa Jimbaran memiliki ciri khas tersendiri, yang sudah
dikenal wisatawan menawarkan kegiatan wisata pantainya melalui wilayah pantai dalam bentuk
panorama pantai yang indah, tersedianya tempat pemandian, tempat untuk melakukan kegiatan
berselancar air atau surfing dengan ombak yang besar dan berkesinambungan. Kegiatan diving,
memancing, snorkeling, dan kegiatan wisata pantai lainnya mendukung berkembangnya wisata
pantai di kabupaten Badung. Kondisi wilayah pantai dengan potensi yang mendukungnya tersebut
menjadi daya tarik sangat besar bagi wisatawan untuk mendukung kegiatan wisata baharinya.
Kawasan Jimbaran sebagai barometer terhadap munculnya wisatawan asing yang
menginap atau berdomisili selain Nusa Dua dan Kuta, guna memenuhi kebutuhan Wisatawan
terhadap tempat tinggal, Badung umumnya dan Jimbaran khususnya melakukan terbosan berbagai
upaya guna mendapatkan hasil yang maksimal guna pendapatan asli Desa, salah satunya adalah
menggunakan Tanah Adat sebagai lokasi investasi perhotelan.
Saat ini, di kawasan tersebut terdapat masalah sosial mengenai berdirinya sejumlah cafe
tanpa ijin usaha.Namun yang mengherankan pajak ijin restoran tetap dibayarkan kepada pihak
3Ardika, I Gede. 2000. Beberapa Pokok Pikiran Tentang Pengembangan Wisata Bahari di Bali, Naskah
Lengkap Seminar Nasional. Badung: Universitas Udayana, hal, 167
yang berwenang. Desa Adat Jimbaran sebagai wilayah dari tempat usaha tersebut tidak
mendapatkan kontribusi dari pendiriannya dengan alasan tanah tersebut milik investor dari Jakarta,
bukan milik Desa Adat Jimbaran.Padahal melihat dari letaknya, tanah tersebut merupakan wilayah
Desa Adat Jimbaran. Berdirinya cafe-cafe tersebut juga di khawatirkan akan memunculkan opini
negatif publik mengenai kawasan tersebut, terutama bila dikaitkan dengan pantai matahari terbit
sebagai tempat melakukan kegiatan keagamaan, khususnya bagi umat Hindu, karena cafe-cafe
tersebut seringkali dijadikan tempat prostitusi terselubung.
Selanjutnya, tidak adanya rambu-rambu yang jelas menyebabkan sering terjadinya
tumpang tindih dan konflik antara sesama pengusaha maupun mereka yang berkecimpung di laut
terutama para nelayan. Pemasangan jangkar laut yang sembarangan juga mengancam kelestarian
terumbu karang
Perkembangan suatu tempat wisata tidaklah ada artinya bagi masyarakat jika masyarakat
tidak ikut menikmati hasil dari aktivitas pariwisata yang ada.Hal ini karena masyarakat, terutama
penduduk lokal adalah salah satu komponen penting dalam pengembangan pariwisata jika
pariwisata diletakkan pula sebagai upaya untuk mengembangkan dan memakmurkan masyarakat.
Mengingat Sumber daya alam yang ada, dibutuhkan suatu strategi pengembangan
berkelanjutan yang dapat menguntungkan pihak-pihak yang terlibat langsung dalam kegiatan
pembangunan kawasan wisata Jimbaran, khususnya masyarakat lokal, pengelola dan
pemerintah.Karenanya, sangatlah perlu mengupayakan pengembangan pariwisata dengan
mengoptimalkan segala potensi yang dimiliki oleh kawasan Pantai, baik mencakup sektor industri,
perdagangan dan jasa.
2.3. Konsep Tanah Adat
Sejak tahun 1960, hukum tanah di Indonesia mendapat penataan kembali sesuai cita-
cita bangsa yang dilandasi persatuan.Pengaturan yang bersifat dualistis, yaitu di satu pihak
diaturoleh hukum barat (BW) dan aturan pelaksanaannya, dilain pihak diatur oleh hukum adat,
dirasakan tidak sesuai dengan suasana kemerdekaan. Dalam rangka mewujudkankesatuan
hukum di bidang pertanahan ini maka dibentuklah satu kesatuan yang bersifat nasional yaitu
dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang
populer disebut Undang-Undang Pokok Agraria(UUPA).
UUPA ini merupakan perwujudan dan upaya maksimal bangsa Indonesia untuk
membebaskan diri dari ketergantungan kepada bangsa lain di bidang hukum pertanahan,
sekaligus sebagai upaya perwujudan cita-cita bangsa Indonesia merdeka yang menginginkan
kesejahteraan rakyat. Dengan UUPA ini diharapkan tanah-tanah rakyat yang keberadaannya
diakui oleh hukum adat yang tadinya tidak diakui oleh Pemerintah Belanda akibat politik
Domeinverklaring, kini dapat diakui secara maksimal.4
Disamping itu UUPA bukan saja mengadakan perombakan secara struktural mengenai
kedudukan hukum tanah di Indonesia, tetapi juga secara tidak langsung telah merombak sistem
hukum adat.5
Pengaturan tanah menurut Undang-Undang ini sesuai ketentuan Pasal 5, berdasarkan
pada hukum adat yang tidak menghambat terbentuknya masyarakat adil dan makmur.
Selengkapnya bunyi Pasal 5 UUPA sebagai berikut :
Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang
tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas
persatuan bangsa dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang
4 Sukardi,1977, Politik Hukum Terhadap Penggunaan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Bagi Orang Asing
Di Indonesia, Majalah Yuridika, Nomor 526 Tahun XII, Sep-des, hal. 40. 5 Adi Winata,S, 1978, Perkembangan Hukum Perdata/Adat Sejak Tahun 1960, Alumni, Cetakan ketiga,
Bandung, hal. X
tercantum dalam Undang-Undang ini dan dengan peraturan-peraturan lainnya, segala
sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada agama6.
Di dalam UUPA hak ulayat diakui. Pengakuan hak ulayat dapat dilihat pada ketentuan
Pasal 3 yaitu :
Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan
hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjangmenurut
kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan
nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan
dengan Undang-Undang dan peraturan lain yang lebih tinggi.
Menurut Boedi Harsono, ketentuan –ketentuan Pasal 3 UUPA, tersimpul dua syarat
terhadap pengakuan hak ulayat, yaitu :
1. Mengenai Eksistensinya; Hak ulayat diakui sepanjang menurut kenyataannya masih ada.
Di daerah-daerah di mana hak itu tidak ada lagi, tidak akan dihidupkan kembali. Daerah-
daerah di mana tidak pernah ada hak ulayat, tidak akan dilahirkan hak ulayat baru.
2. Mengenai Pelaksanaannya;Pelaksanaan hak ulayat harus sedemikian rupa sehingga sesuai
dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta
tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang dan Peraturan-peraturan lain yang lebih
tinggi.
Dalam penjelasan Umum UUPA.II.3, dapat dibaca sebagai berikut :
“……….. berhubung dengan disebutkannya hak ulayat di dalam UUPA yang pada
hakekatnya berarti pula pengakuan hak itu, maka pada dasarnya hak ulayat akan di
perhatikan sepanjang hak tersebut menurut kenyataannya masih ada pada masyarakat
hukum yang bersangkutan. Misalnya, pada pemberian suatu hak atas tanah (umpama hak
guna usaha) masyarakat hukum yang bersangkutan sebelumnya akan didengar
6 Boedi Harsono, 1992, Hukum Agraria Indonesia, Djambatan, Cetakan Ke sebelas, Jakarta, hal. 7.
pendapatnya dan diberirecognitie yang memang ia berhak menerimanya selaku pemegang
hakl ulayat itu................”
UUPA ditertbitkan dalam rangka penataan dalam bidang pertanahan, mempunyai
beberapa tujuan:
1. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang akan merupakan alat
untuk membawakan kemakmuran kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat,
terutama rakyat tani dalam rangka menuju masyarakat adil dan makmur.
2. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum
pertanahan.
3. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah
bagi rakyat seluruhnya. 7
Seperti telah dikemukakan di diatas pengaturan tanah menurut UUPA, berdasarkan
hukum adat yang tidak menghambat terbentuknya masyarakat adil dan makmur. Kemudian
dalam ketentuan Pasal 1 dan 2 yang bersumber pada Pasal 33 UUD 1945 dinyatakan bahwa
bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara. Hal ini
dijelaskan lebih lanjut di dalam penjelasan umum bahwa dalam kehidupan bernegara ini tanah
sudah tepat dikuasai negara sehingga dengan demikian hak ulayat yang semula ada di tangan
persekutuan hukum adat diangkat dalam kehidupan nasional. Dengan demikian tanah di
wilayah negara adalah merupakan hak ulayat negara.8
Beralihnya hak ulayat ke tangan negara akan membawa konskwensi-konskwensi
tertentu, yaitu bahwa pengaturan segala sesuatu menyangkut tanah ada di tangan negara,
walaupun dalam hal-hal tertentu dapat diserahkan pada persekutuan hukum (Pasal 2 ayat 4).
Sejalan dengan ini dapat dilihat ketentuan Pasal 3 yang menyatakan bahwa hak ulayat dan hak-
hak serupa itu masih diakui sepanjang dalam kenyataannya masih ada dan penggunaannya
diarahkan agar sesuai dengan kepentingan nasional dan peraturan perundang-undangan yang
7 Sri Soetami, 1986, Pengantar Ilmu Hukum, Karunika Kakarta, Universitas terbuka, Jakarta, hal. 102. 8 Wirta Griadhi, dkk, Op. Cit., hal. 4.
lebih tinggi. Dengan demikian persekutuan hukum masih diberi kewenangan menguasai tanah
di wilayahnya sepanjang memang ada, tetapi harus disesuaikan dengan kehidupan bernegara.
Di lain pihak ada ketentuan, dalam rangka penyesuaian kepada ketentuan UUPA, agar hak-hak
atas tanah menurut hukum adat diubah statusnya sesuai dengan jenis hak yang dikenal dalam
UUPA (dikonversi) berupa hak milik atau hak pakai.
Dengan konversi ini maka tanah-tanah yang semula dikuasai perorangan dengan hak
pakai atau hak milik yang terikat pada Desa harus di jadikan hak milik menurut UUPA.
Demikian juga tanah yang dikuasai Desa, sebagai tanah druwe desa, harus di konversi menjadi
hak milik.
Soekanto dalam bukunya” Meninjau Hukum Adat Indonesia” berkaitan dengan
pengertian persekutuan hukum mengatakan, dalam masyarakat Indonesia, terdapat
persekutuan–persekutuan(“gemeenschappen”). Ada persekutuan-persekutuan (dahulu) dimana
warganya mempunyai hubungan kekerabatan yang erat dan berdasarkan keturunan satu nenek
moyang. Ada juga persekutuan-persekutuan yang tak berdasar hubungan kekeluargaan, tetapi
berdasar daerah atau wilayah, yang didiami. Ada juga persekutuan-persekutuan yang dasarnya
tidak hanya hubungan kekerabatan, akan tetapi juga daerah atau wilayah yang didiami.9
Persekutuan-persekutuan tersebut baik yang pertama,maupun yang kedua atau yang
ketiga, mempunyai warga yang teratur, mempunyai pemerintahan sendiri (kepala dan
pembantunya), mempunyai harta materiil dan immateriil sendiri.
Dalam Peraturan Daerah (PERDA) Propinsi Bali, Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa
Pakraman, menyatakan bahwa istilah persekutuan hukum dipakai sebutan masyarakat hukum
yang menunjuk pada lembaga atau badan, dalam hal ini “Desa Pakraman”, yang mempunyai
9 Soekanto,1981, Meninjau Hukum Adat Indonesia, CV.Rajawali, Jakarta,hal.78.
satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun-
temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa yang mempunyai wilayah
tertentu dan harta kekayaan sendiri,serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri .
Dari uraian di atas dapat disimpulkan,persekutuan hukum memiliki beberapa unsur :
1. Adanya kelompok orang sebagai satu kesatuan
2. Adanya tatanan organisasi yang bersifat tetap
3. Adanya kekuasaan sendiri sebagai kelompok otonom
4. Mempunyai harta kekayaan
5. Memiliki aturan-aturan hukum yang bersumber pada nilai-nilai budayanya sendiri .
Hak menguasai tanah oleh persekutuan hukum tersebut pada umumnya disebut hak ulayat
(seperti juga di pergunakan dalam UUPA) dan hak pertuanan (Soepomo).Hak ulayat ini
mempunyai daya berlaku kedalam dan keluar. Kedalam artinya ditujukan buat persekutuan
hukum itu sendiri beserta para para warganya, sedang keluar artinya ditujukan untuk orang luar
atau persekutuan hukum lainnya10.
Ter Haar, mengatakan bahwa sebagai suatu totalitas, maka masyarakat hukum adat
menerapkan hak ulayat dengan cara menikmati atau memungut hasil tanah, hewan maupun
tumbuh-tumbuhan. Sebagai badan penguasa, maka masyarakat hukum adat membatasi
kebebasan warga masyarakat untuk memungut hasil-hasil tersebut. Hak ulayat dan hak-hak
warga masyarakat secara pribadi, mempunyai hubungan timbal balik yang bertujuan untuk
mempertahankan keserasian sesuai dengan kepentingan masyarakat dan warga-warganya.11
10 Wirta Griadhi, dkk, Op. Cit., hal. 10. 11 Soerjono Soekanto, 2002, Hukum Adat Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Cetakan Kelima, Jakarta,
hal. 175
Oleh karena itu, maka masyarakat hukum adat menguasai dan memiliki tanah terbatas
yang dinamakan lingkungan tanah (wilayah beschikkingskring). Lingkungan tanah tersebut
lazimnya berisikan tanah kosong murni, tanah larangan dan lingkungan perusahaan yang terdiri
dari tanah yang di atasnya terdapat berbagai bentuk usaha sebagai perwujudan hak pribadi atau
hak peserta atas tanah.
Mengenai hak ulayat dan pengakuannya oleh UUPA Maria S. Sumarjono, menyatakan
bahwa dengan semakin meningkatnya kebutuhan akan tanah untuk keperluan pembangunan,
sementara tanah negara dapat dikatakan hampir tidak tersedia lagi, isu tentang eksistensi hak
ulayat perlu mendapat pemikiran yang proporsional. Terdapat dua pandangan/sikap mengenai
isu tersebut, yaitu di satu pihak terdapat kekhawatiran, bahwa hak ulayat yang semula sudah
tidak ada lagi, kemudian dinyatakan hidup. Dipihak lain ada kekhawatiran, bahwa dengan
semakin meningkatnya kebutuhan akan tanah, akan semakin mendesak hak ulayat yang di
jamin oleh Pasal 3 UUPA.12
UUPA sendiri tidak memberikan penjelasan tentang pengertian hak ulayat itu, kecuali
menyebutkan bahwa yang di maksud dengan hak ulayat adalah beschikkingsrecht dalam
kepustakaan hukum adat. Di dalam laporan penelitian Integrasi Hak Ulayat ke dalam Yurisdiksi
UUPA, DEPDAGRI –UGM tahun 1978 dicantumkan bahwa hak ulayat sebagai istilah teknis
yuridis adalah hak yang melekat sebagai kompetensi khas pada masyarakat hukum adat, berupa
wewenang/kekuasaan mengurus dan mengatur tanah seisinya dengan daya laku ke dalam
maupun ke luar.13
Hak ulayat menunjukkan hubungan hukum antara masyarakat hukum (subyek hak) dan
tanah/wilayah tertentu (obyek hukum). Hak ulayat tersebut berisi wewenang untuk :
12Koesnadi Hardjasoemantri, Op. Cit., hal. 157. 13 Koesnadi Hardjasoemantri, Loc. Cit.
a. Mengatur dan menyelenggarakan penggunaan tanah (untuk pemukiman, bercocok
tanam, dan lain-lain), persediaan (pembuatan permukiman/persawahan baru dan lain
lain), dan pemeliharaan tanah.
b. Mengatur dan menentukan hubungan hukum antara orang dengan tanah (memberikan
hak tertentu pada subyek tertentu).
c. Mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-
perbuatan hukum yang berkenaan dengan tanah (jual beli, warisan dan lain-lain).
Koentjaraningrat menyatakan di Bali tanah dibawah hak ulayat Desa adalah tanah yang
ada di bawah pengawasan desa, atau secara konkret di bawah pengawasan pimpinan desa.
Tanah semacam itu bisa diberikan kepada pamong desa atau lain-lain pejabat desa, juga kepada
warga desa yang membutuhkan tanah itu. Dalam hal itu pamong dan pejabat-pejabat desa harus
mengembalikan tanah itu kepada desa bila mereka berhenti, sedangkan desa berhak mencabut
kembali tanah yang diberikan kepada warga desa bila perlu.14
Mengenai tanah-tanah adat atau tanah-tanah ulayat di Bali lebih memasyarakat dengan
sebutan” tanah desa”. Tanah desa ini dapat di bedakan menjadi :
1. Tanah Desa, atau sering disebut dengan tanah desa atau tanah druwe, yaitu tanah yang dimiliki
atau dikuasai oleh Desa Adat/Desa pakraman yang bisa di dapat melalui usaha-usaha
pembelian ataupun usaha lainnya. Kalau tanah-tanah druwe desa ini berupa tanah pertanian
(sawah, ladang) akan digarap oleh krama desa dan penggarapannya di atur dengan membagi-
bagikan secara perorangan maupun secara kelompok yang kemudian hasilnya diserahkan oleh
penggarap kepada Desa Adat/Desa Pakraman. Yang termasuk tanah druwe desa adalah :
a. Tanah Pasar, yaitu tanah yang di pakai untuk pasar.
14Koentjaraningrat, 1982, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Djambatan, Cetakan Ketujuh, Jakarta, hal.
263.
b. Tanah Lapang, yaitu tanah yang di pakai untuk lapangan, baik untuk kegiatan
olahraga maupun kegiatan lainnya.
c. Tanah Kuburan/Setra, yaitu tanah yang dipergunakan untuk kuburan atau menanam
mayat.
d. Tanah Bukti, yaitu tanah-tanah pertanian (sawah, ladang) yang diberikan pada
perangkat pejabat desa atau pengurus desa. Tanah bukti ini mirip dengan tanah
bengkok di Jawa.
2. Tanah Laba Pura, adalah tanah yang dulunya milik desa (dikuasai oleh desa) yang khusus
dipergunakan untuk keperluan Pura. Tanah Laba Pura ini atau Palemahan Pura ini ada dua
macam, yaitu :
a. Tanah yang khusus untuk tempat bangunan Pura.
b. Tanah yang di peruntukkan guna pembiayaan keperluan Pura, misalnya untuk
pembiayaan upacara-upacara rutin dan biaya memperbaiki Pura.
3. Tanah Pekarangan Desa (PKD), adalah tanah yang dikuasai oleh desa yang diberikan kepada
warga desa (krama) untuk tempat tinggal atau mendirikan perumahan yang lazimnya dalam
ukuran luas tertentu dan hampir sama untuk tiap keluarga. Kewajiban yang melekat (yang
lebih dikenal dengan ayahan) pada krama desa yang menempati tanah itru adalah adanya
beban berupa tenaga atau materi yang diberikan kepada Desa Adat/Desa Pakraman.
4. Tanah Ayahan Desa (AyDs), adalah tanah-tanah yang dikuasai oleh desa yang
penggarapannya diserahkan kepada masing-masing krama desa dengan hak untuk di nikmati
dengan kewajiban untuk memberikan ayahan, berupa tenaga maupun materi kepada Desa
Adat/Desa Pakraman mirip dengan tanah gogolan di Jawa.15
15Suasthawa I Made, Op. Cit., hal. 40-41.
Dalam kaitannya dengan Tanah Pekarangan Desa (PKD) seperti telah dikemukakan diatas
merupakan salah satu dari jenis-jenis tanah-tanah adat di Bali yang pada umumnya berada di
lingkungan/di bawah kekuasaan Desa Adat/Desa Pakraman dan di dalam eksistensinya tidak dapat
dilepaskan dari falsafah Tri Hita Karana sebagai falsafah kehidupan masyarakat di Bali.
Dalam kaitannya dengan status dari judul penelitian ini, yang dimaksudkan adalah kedudukan
Tanah Pekarangan Desa menurut Hukum Agraria Nasional. Juga dimaksudkan apakah dengan
berlakunya Hukum Agraria Nasional Tanah Pekarangan Desa sebagai salah satu Tanah-Tanah
Adat di Bali diakui atau mendapat pengakuan.
Mengenai Tanah Pekarangan Desa, seperti apa yang telah di kemukakan diatas bahwa Tanah
Pekarangan Desa merupakan salah satu dari jenis-jenis tanah adat/tanah-tanah ulayat di Bali. Di
samping Tanah Pekarangan Desa terdapat apa yang disebut Tanah Druwe Desa/Tanah Druwe,
Tanah Laba Pura dan Tanah Ayahan Desa (AyDs).
Tanah Pekarangan Desa (PKD) merupakan tanah yang dikuasai oleh desa yang diberikan
kepada warga desa (krama desa) untuk tempat mendirikan perumahan yang lazimnya dalam
ukuran luas tertentu dan hampir sama untuk tiap keluarga. Kewajiban yang melekat (yang lebih
dikenal dengan ayahan) pada krama desa yang menempati tanah itu ialah adanya beban berupa
tenaga atau materi yang diberikan kepada Desa Adat.16
Apabila di jabarkan lebih lanjut dari pengertian Tanah Pekarangan Desa (PKD) di atas terlihat
adanya bebarapa unsur :
1. Terdapat kekuasaan Desa Adat/Desa Pakraman terhadap tanah yang diberikan kepada
warga Desa (krama Desa).
2. Dimanfaatkan/dipergunakan untuk tempat mendirikan perumahan atau bangunan.
16 Suasthawa, D, M, Op. Cit., hal. 41.
3. Tanah yang diberikan dalam ukuran luas tertentu dan hampir sama untuk tiap keluarga.
4. Terdapat beban atau ayahan dari krama Desa kepada Desa Adat/Desa Pakraman baik
berupa tenaga maupun materi.
Selanjutnya yang dimaksudkan dengan Hukum Agraria Nasional dalam hal ini adalah
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang lebih
dikenal dengan sebutan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). UUPA diundangkan pada
tanggal 24 September 1960, Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 2043.
Lahirnya UUPA telah merombak hukum Agraria yang lama dengan meletakkan Dasar-
Dasar Hukum Agraria Nasional. UUPA ini membuat ketentuan-ketentuan baru secara pokok-
pokok dan sekaligus mencabut beberapa peraturan perundangan yang tidak sesuai dengan jiwa dan
cita-cita bangsa Indonesia di alam kemerdekaan. Dengan adanya UUPA ini hilanglah dualisme
dan terciptalah suatu kesatuan hukum (unifikasi) di bidang Hukum Agraria di Indonesia17.
Beberapa peraturan perundangan yang di cabut antara lain :
1. Agrarische Wet (Stb. 1870-55).
2. Domeinverklaring(Stb. 1870-118).
3. Algemene Domeinverklaring (Stb. 1875-119 a).
4. Domeinverklaring untuk Sumatra (Stb. 1874-947).
5. Domeinverklaring unjtuk Kresidenan Menado (Stb.1877-55).
6. Domeinverklaring untuk residentie Zuiden en Oostafdeling van Borneo (Stb.188-58).
7. Koninklyk Besluit (Stb.1872-117) dan Peraturan Pelaksanaannya.
8. Buku ke II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia yang mengenai bumi, air serta
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, kecuali ketentuan-ketentuan mengenai
hipotik 18
17 Wantjik Saleh,K, Op. Cit., hal. 9. 18 Parlindungan, A.P, 1986, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Alumni, Cetakan IV, Bandung,
hal. 6.
Selain peraturan perundangan tersebut di diatas yang dengan tegas dinyatakan dicabut,
ada beberapa peraturan perundangan lainnya yang tidak disebutkan sebagai yang dicabut, tetapi
dapat dianggap tidak berlaku lagi apabila bertentangan dengan jiwa UUPA19.
Sesuai Pasal 5 UUPA bahwa Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang
angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara,
yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-
peraturan yang tercantum dalam Undang-Undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya,
segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.
Dengan demikian Dasar Hukum Agraria adalah Hukum Adat, yang tidak boleh
bertentangan dengan :
a. Kepentingan Nasional dan Negara yang berdasarakan atas Persatuan Bangsa.
b. Sosialisme Indonesia.
c. Ketentuan-ketentuan dalam UUPA.
d. Peraturan-peraturan lainnya di bidang Agraria.
e. Dengan unsur-unsur Hukum Agama.
Selanjutnya Pasal 2 ayat 1 UUPA menyebutkan : “….atas dasar ketentuan dalam Pasal
33 ayat 3 Undang-Undang dasar dan hal-hal sebagai yang di maksud dalam Pasal 1, bumi, air dan
ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi
dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat…..”
Perkataan” dikuasai” dalam Pasal ini menurut Penjelasan Umum UUPA, bukanlah berarti
“dimiliki”, akan tetapi adalah pengertian yang memberi wewenang kepada Negara, sebagai
moraganisasi kekuasaan dari Bangsa Indonesia, untuk pada tingkatan yang tertinggi untuk :
19 Wantjik Saleh, K, Op. Cit., hal. 10.
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaannya.
b. Menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas (bagian dari) bumi, air, dan ruang
angkasa itu.
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang
angkasa20.
Ruang lingkup UUPA cukup luas, tidak hanya mengatur tentang tanah saja, tetapi juga
seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Sedangkan apa yang di maksud dengan tanah dalam hal ini, hanya permukaan bumi, jadi
merupakan sebagian dari bumi.
Dalam Hukum Adat dapat dilihat konsepsi pokok bahwa tanah berada dalam kekuasaan
persekutuan hukum berlandaskan asas kebersamaan yang dikenal dengan hak ulayat. Kekuasaan
artinya kuasa (untuk mengurus, memerintah dan sebagainya), kemampuan, kesanggupan,
kekuatan21.
Kekuasaan itu ialah ciptaan mereka-mereka yang paling kuat dan berkuasa. Dalam
suasana alam bebas (status naturalis) itu mereka yang paling kuat, berani dan berkemauan teguh
telah memaksakan kemauannya kepada pihak yang lemah. Alam sendiri menunjukkan demikian
kata Kallikles bahwa bila orang-orang yang lebih baik telah memperoleh kekuasaan yang lebih
besar daripada yang kurang baik, maka di situlah keadilan, demikian juga orang yang lebih kuat
terhadap yang lemah. Sudah sering terbukti, bahwa yang demikian terdapat pada manusia maupun
makhluk lain, bahkan pada negara-negara bahwa yang kuat memerintah (menguasai) yang
lemah22.
20 Eddy Ruchiyat, 1995, Politik Pertanahan Sebelum dan Sesudah Berlakunya UUPA (UU No. 5 Tahun
1960), Alumni, Cetakan V, hal. 10. 21 Porwadarminta, WJ.S, Op. Cit., hal. 529. 22Solly Lubis, M, 2002, Ilmu Negara, CV. Mandar Maju, Cetakan V, Bandung, hal. 39
Laski, berpendapat yang bersamaan dengan Marx, bahwa setiap pergaulan hidup
memerlukan organisasi pemaksa (“coercive intrument”), demikian untuk menjamin kelanjutan
hubungan produksi yang tetap, sebab kalau tidak demikian maka pergaulan hidup itu takkan dapat
menjamin nafkahnya.23
Max Weber, menyatakan kekuasaan adalah kesempatan seseorang atau sekelompok
orang untuk menyadarkan masyarakat akan kemauan-kemauannya sendiri, dengan sekaligus
menerapkannya terhadap tindakan-tindakan perlawanan dari orang-orang atau golongan-golongan
tertentu. Kekuasaan mempunyai aneka macam bentuk dan bermacam-macam sumber. Hak milik
kebendaan dan kedudukan adalah sumber kekuasaan. Birokrasi juga merupakan salah satu sumber
kekuasaan, di samping kemampuan khusus dalam bidang ilmu-ilmu pengetahuan yang tertentu
ataupun atas dasar peraturan-peraturan hukum yang tertentu. Jadi kekuasaan terdapat di mana-
mana, dalam hubungan sosial maupun di dalam organisasi- organisasi sosial. Akan tetapi pada
umumnya kekuasaan yang tertinggi berada pada organisasi yang dinamakan” Negara”.24
Secara formal negara mempunyai hak untuk melaksanakan kekuasaan tertinggi, kalau
perlu dengan paksaan. Juga negaralah yang membagi-bagikan kekuasaan yang lebih rendah
derajatnya. Itulah yang dinamakan kedaulatan (soverignity). Kedaulatan biasanya dijalankan oleh
segolongan kecil masyarakat yang menamakan diri The Rulling Class. Ini merupakan gejala yang
umum dalam setiap masyarakat. Dalam kenyataan, diantara orang-orang yang merupakan warga
the rulling class, pasti ada yang menjadi pemimpinnya. Meskipun menurut hukum dia tidak
merupakan pemegang kekuasaan yang tertinggi.25
23Ibid, hal. 40. 24Soerjono Soekanto, 1991, Sosiologi Suatu Pengantar, CV. Rajawali, Cetakan Keempatbelas, Jakarta, hal.
297. 25Ibid.
Dipandang dari sudut masyarakat, wewenang tidak dapat dilepaskan dari kekuasaan atau
saling berkaitan, karena kekuasaantanpa wewenang merupakan kekuatan yang tidak sah.
Kekuasaan harus mendapatkan pengakuan dan pengesahan dari masyarakat agar menjadi
wewenang. Wewenang adalah hak yang dimiliki seseorang atau sekelompok orang.
Kekuasaan persekutuan hukum atas hak ulayat terhadap hak peorangan menunjukkan”
sifat mulur-mungkeret” atau” mengembang-mengempis”,yaitu apabila hak ulayat kuat maka hak
perorangan lemah dan sebaliknya apabila hak ulayat lemah maka perorangan memiliki kedudukan
yang kuat.Atau menurut Teori Balon (Ballen Theori) dari Ter Haar yang mengatakan bahwa
semakin kuat hak ulayat maka semakin lemah hak perorangan dan demikian sebaliknya. Terlihat
bahwa teori ini berlaku terhadap penguasaan tanah-tanah desa di Bali.
Tanah-tanah adat di Bali mempunyai fungsi sosial religius. Berfungsi sosial,
menunjukkan bahwa tanah-tanah adat tidak semata-semata untuk kepentingan pribadi tetapi juga
memperhatikan kepentingan yang lebih luas. Berfungsi religius (keagamaan) dapat dilihat dari
beban kewajiban “ngayahang” yang menyertai bagi barang siapa yang mengusahakan tanah adat.
Oleh karena itu keberadaan tanah-tanah adat di Bali dalam pengelolaannya terlihat di pengaruhi
oleh unsur agama (Agama Hindu). Kiranya hal ini sejalan dengan Teori Van Den Berg
yaitu”Receptio in Complexu”, yang pada intinya adat istiadat dan hukum adat tidak dapat
dilepaskan dari unsur agama (Di Bali Agama Hindu). 26
Landasan filosofis masyarakat di Bali tidak dapat dilepaskan dari falsafah hidup Tri Hita
Karana yang memadukan tiga unsur yaitu : Tuhan sebagai Sang Pencipta (Parhyangan), Alam
semesta sebagai tempat manusia menjalani dan mengisi kehidupannya (Palemahan), serta manusia
itu sendiri (Pawongan). Keterpaduan ini mengandung makna bahwa ketiganya harus diperhatikan
26 Bushar Muhammad, 1981, Asas-Asas Hukum Adat, Pradnya Paramita, Cetakan Ketiga, Jakarta, hal. 12.
oleh manusia sebagai subyek dan sekaligus dijaga keharmonisannya. Di dalamnya terkandung pula
suatu makna penghargaan yang seimbang oleh manusia terhadap sesamanya, terhadap alam dan
terhadap Tuhannya27.
2.4. Konsep Perlindungan Hukum
Perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman kepada hak asasi manusia yang
dirugikan orang lain dan perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat agar mereka dapat
menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum atau dengan kata lain perlindungan hukum
adalah berbagai upaya hukum yang harus diberikan oleh aparat penegak hukum untuk memberikan
rasa aman, baik secara pikiran maupun fisik dari gangguan dan berbagai ancaman dari pihak
manapun.
Perlindungan hukum adalah perlindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan
terhadap hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum berdasarkan ketentuan hukum
dari kesewenangan atau sebagai kumpulan peraturan atau kaidah yang akan dapat melindungi
suatu hal dari hal lainnya. Berkaitan dengan konsumen, berarti hukum memberikan perlindungan
terhadap hak-hak pelanggan dari sesuatu yang mengakibatkan tidak terpenuhinya hak-hak
tersebut. Perlindungan hukum adalah penyempitan arti dari perlindungan, dalam hal ini hanya
perlindungan oleh hukum saja. Perlindungan yang diberikan oleh hukum, terkait pula dengan
adanya hak dan kewajiban, dalam hal ini yang dimiliki oleh manusia sebagai subyek hukum dalam
27 Wirta Griadhi I Ketut, 1994, Karakteristik Dan Otonomi Desa Adat (Suatu kajian Teoritis), Makalah
Seminar Dalam Lustrum VI dan HUT XXX FH UNUD, 13-14 Desember 1994, hal. 4.
interaksinya dengan sesama manusia serta lingkungannya.Sebagai subyek hukum manusia
memiliki hak dan kewajiban untuk melakukan suatu tindakan hukum.28
Menurut Setiono, perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya untuk melindungi
masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang tidak sesuai dengan aturan
hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman sehingga memungkinkan manusia untuk
menikmati martabatnya sebagai manusia.
Menurut Muchsin, perlindungan hukum merupakan kegiatan untuk melindungi individu
dengan menyerasikan hubungan nilai-nilai atau kaidah-kaidah yang menjelma dalam sikap dan
tindakan dalam menciptakan adanya ketertiban dalam pergaulan hidup antar sesama
manusia.Menurut Muchsin, perlindungan hukum merupakan suatu hal yang melindungi subyek-
subyek hukum melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dipaksakan
pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Perlindungan hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
a. Perlindungan Hukum Preventif
Perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk mencegah sebelum
terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam peraturan perundang-undangan dengan maksud
untuk mencegah suatu pelanggaran serta memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan
dalam melakukan suatu kewajiban.
b. Perlindungan Hukum Represif
Perlindungan hukum represif merupakan perlindungan akhir berupa sanksi seperti denda,
penjara, dan hukuman tambahan yang diberikan apabila sudah terjadi sengketa atau telah
dilakukan suatu pelanggaran.
Menurut Philipus M. Hadjon, bahwa sarana perlindungan Hukum ada dua macam, yaitu :
28Setiono, 2004, Rule of Law (Supremasi Hukum), Surakarta, Tesis, Magister Ilmu Hukum Program
Pascasarjana Universitas Sebelas Maret..hal. 3
1. Sarana Perlindungan Hukum Preventif
Pada perlindungan hukum preventif ini, subyek hukum diberikan kesempatan untuk
mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat
bentuk yang definitif. Tujuannya adalah mencegah terjadinya sengketa. Perlindungan hukum
preventif sangat besar artinya bagi tindak pemerintahan yang didasarkan pada kebebasan
bertindak karena denganadanya perlindungan hukum yang preventif pemerintah terdorong
untuk bersifat hati-hati dalam mengambil keputusan yang didasarkan pada diskresi. Di
indonesia belum ada pengaturan khusus mengenai perlindungan hukum preventif.
2. Sarana Perlindungan Hukum Represif
Perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Penanganan
perlindungan hukum oleh Pengadilan Umum dan Pengadilan Administrasi di Indonesia
termasuk kategori perlindungan hukum ini. Prinsip perlindungan hukum terhadap tindakan
pemerintah bertumpu dan bersumber dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan
terhadap hak-hak asasi manusia karena menurut sejarah dari barat, lahirnya konsep-konsep
tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia diarahkan kepada
pembatasan-pembatasan dan peletakan kewajiban masyarakat dan pemerintah. Prinsip kedua
yang mendasari perlindungan hukum terhadap tindak pemerintahan adalah prinsip negara
hukum. Dikaitkan dengan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia,
pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia mendapat tempat utama dan
dapat dikaitkan dengan tujuan dari negara hukum.
Keadilan dibentuk oleh pemikiran yang benar, dilakukan secara adil dan jujur serta
bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan. Rasa keadilan dan hukum harus ditegakkan
berdasarkan Hukum Positif untuk menegakkan keadilan dalam hukum sesuai dengan realitas
masyarakat yang menghendaki tercapainya masyarakat yang aman dan damai. Keadilan harus
dibangun sesuai dengan cita hukum (Rechtidee) dalam negara hukum (Rechtsstaat), bukan negara
kekuasaan (Machtsstaat). Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia,
penegakkan hukum harus memperhatikan 4 unsur :
a. Kepastian hukum (Rechtssicherkeit)
b. Kemanfaat hukum (Zeweckmassigkeit)
c. Keadilan hukum (Gerechtigkeit)
d. Jaminan hukum (Doelmatigkeit). 29
Penegakan hukum dan keadilan harus menggunakan jalur pemikiran yang tepat dengan alat
bukti dan barang bukti untuk merealisasikan keadilan hukum dan isi hukum harus ditentukan oleh
keyakinan etis, adil tidaknya suatu perkara. Persoalan hukum menjadi nyata jika para perangkat
hukum melaksanakan dengan baik serta memenuhi, menepati aturan yang telah dibakukan
sehingga tidak terjadi penyelewengan aturan dan hukum yang telah dilakukan secara sistematis,
artinya menggunakan kodifikasi dan unifikasi hukum demi terwujudnya kepastian hukum dan
keadilan hukum.
Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia, agar kepentingan manusia
terlindungi, hukum harus dilaksanakan secara profesional. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung
normal, damai, dan tertib. Hukum yang telah dilanggar harus ditegakkan melalui penegakkan
hukum. Penegakkan hukum menghendaki kepastian hukum, kepastian hukum merupakan
perlindungan yustisiable terhadap tindakan sewenang-wenang. Masyarakat mengharapkan adanya
kepastian hukum karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan tertib, aman dan damai.
29Ishaq.2009, Dasar-dasar Ilmu Hukum. Jakarta. Sinar Grafika. 2009. hal. 43
Masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan penegakkan hukum. Hukum adalah untuk
manusia maka pelaksanaan hukum harus memberi manfaat, kegunaan bagi masyarakat jangan
sampai hukum dilaksanakan menimbulkan keresahan di dalam masyarakat. Masyarakat yang
mendapatkan perlakuan yang baik dan benar akan mewujudkan keadaan yang tata tentram raharja.
Hukum dapat melindungi hak dan kewajiban setiap individu dalam kenyataan yang senyatanya,
dengan perlindungan hukum yang kokoh akan terwujud tujuan hukum secara umum: ketertiban,
keamanan, ketentraman, kesejahteraan, kedamaian, kebenaran, dan keadilan.
Aturan hukum baik berupa undang-undang maupun hukum tidak tertulis, dengan demikian,
berisi aturan-aturan yang bersifat umum yang menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku
dalam hidup bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan sesama maupun dalam hubungannya
dengan masyarakat. Aturan-aturan itu menjadi batasan bagi masyarakat dalam membebani atau
melakukan tindakan terhadapindividu. Adanya aturan semacam itu dan pelaksanaan aturan
tersebut menimbulkan kepastian hukum. Dengan demikian, kepastian hukum mengandung dua
pengertian, yaitu pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui
perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan dan dua, berupa keamanan hukum bagi
individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu
individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap
individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa Pasal dalam undang-undang, melainkan juga
adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim
yang lainnya untuk kasus serupa yang telah diputuskan.
Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan
secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam arti tidak menimbulkan keragua-
raguan (multi tafsir) dan logis dalam arti ia menjadi suatu sistem norma dengan norma lain
sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Konflik norma yang ditimbulkan
dari ketidakpastian aturan dapat berbentuk kontestasinorma, reduksi norma, atau distorsi norma.
Peran pemerintah dan pengadilan dalam menjaga kepastian hukum sangat penting.
Pemerintah tidak boleh menerbitkan aturan pelaksanaan yang tidak diatur olehundang-undang atau
bertentangan dengan undang-undang. Apabila hal itu terjadi, pengadilan harus menyatakan bahwa
peraturan demikian batal demi hukum, artinya dianggap tidak pernah ada sehingga akibat yang
terjadi karena adanya peraturan itu harus dipulihkan seperti sediakala. Akan tetapi, apabila
pemerintah tetap tidak mau mencabut aturan yang telah dinyatakan batal itu, hal itu akan berubah
menjadi masalah politik antara pemerintah dan pembentuk undang-undang. Yang lebih parah lagi
apabila lembaga perwakilan rakyat sebagai pembentuk undang-undang tidak mempersoalkan
keengganan pemerintah mencabut aturan yang dinyatakan batal oleh pengadilan tersebut. Sudah
barang tentu hal semacam itu tidak memberikan kepastian hukum dan akibatnya hukum tidak
mempunyai daya prediktibilitas.30
30 Peter Mahmud Marzuki.2008, Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta. Kencana.hal. 157-158
Recommended