View
11
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
8
BAB II
LANDASAN TEORI, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS
A. Landasan Teori
1. Pembelajaran Sejarah di SMA
a. Pembelajaran Sejarah
Sejarah merupakan salah satu mata pelajaran yang diajarkan di sekolah-
sekolah. Kata sejarah sendiri berasal dari bahasa Arab syajara yang berarti terjadi,
syajarah yang berarti pohon, syajarah an-nasab yang berarti pohon silsilah
Kuntowijoyo, 2013: 1). Sedangkan dalam bahasa Inggris, sejarah disebut history.
Secara etimologis kata ini berasal dari bahasa yunani historia yang berarti inkuiri,
wawancara, dan juga laporan mengenai hasil tindaan-tindakan itu (Sjamsuddin,
2012: 1). Topolski dalam Sjamsuddin (2013: 23) memberikan tiga pengertian
tentang sejarah 1) sejarah sebagai peristiwa-peristiwa masa lalu (past event, res
gestae), 2) sejarah sebagai sejarah sebagai pelaksanan riset yang dilakukan oleh
sejarawan, 3) sejarah sebagai suatu hasil dari pelaksanaan riset atau seperangkat
pertanyaan-pertanyaan tentang peristiwa-peristiwa masa lalu yang sering disebut
historiografi.
Widja (1989: 23) menyatakan bahwa pembelajaran sejarah adalah
perpaduan antara aktivitas belajar dan mengajar yang di dalamnya mempelajari
tentang peristiwa masa lampau yang erat kaitannya dengan masa kini. Selanjutnya
Isjoni (2007: 71) mengatakan Sejarah adalah mata pelajaran yang menanamkan
pengetahuan dan nilai-nilai mengenai proses perubahan dan perkembangan
masyarakat Indonesa dan dunia pada masa lampau hinnga kini. Dengan demikian
sejarah merupakan suatu aspek penting untuk diajarkan kepada peserta didik
untuk membentuk karakters peserta didik tersebut. Isjoni (2007: 32) juga
mengatakan bahwa arti penting dari mempelajari sejarah adalah peristiwa sejarah
menyimpan pengalaman berharga yang dapat memberikan kearifan dengan
mengambil hikmah peristiwa yang telah terjadi di masa lampau. Mempelajari
sejarah berarti melihat gambaran nyata tentang perjalanan kehidupan manusia
9
baik sebagai individu maupun kelompok dalam menunjukkan adanya suatu
perubahan sebagai hasil aktivitas sosial, politik , ekonomi, dan kebudayaan.
Hasan Hamid berpendapat, terdapat beberapa pemaknaan terhadap
pendidikan sejarah. Pertama, secara tradisional pendidikan sejarah dimaknai
sebagai upaya untuk mentransfer kemegahan bangsa di masa lampau kepada
generasi muda. Dengan posisi yang demikian maka pendidikan sejarah adalah
wahana bagi pewarisan nilai-nilai keunggulan bangsa. Melalui posisi ini
pendidikan sejarah ditujukan untuk membangun kebanggaan bangsa dan
pelestarian keunggulan tersebut. Kedua, pendidikan sejarah berkenaan dengan
upaya memperkenalkan peserta didik terhadap disiplin ilmu sejarah. Oleh karena
itu kualitas seperti berpikir kronologis, pemahaman sejarah, kemampuan analisis
dan penafsiran sejarah, kemampuan penelitian sejarah, kemampuan analisis isu
dan pengambilan keputusan (historical issues-analysis and decision making)
menjadi tujuan penting dalam pendidikan sejarah (Hamid, 2007: 7).
Kartodirdjo (2014: 292) menyatakan peranan strategis pengajaran sejarah
dalam rangka pembangunan bangsa menuntut suatu penyelenggaran pengajaran
sejarah sebagai pemahaman dan penyadaran, sehingga mampu membangkitkan
semangat pengabdian yang tinggi, penuh rasa tanggung jawab serta kewajiban.
Kepekaannya terhadap sejarah akan melahirkan aspirasi dan inspirasi untuk
melaksanakan tugasnya sebagai warga negara.
b. Pembelajaran Sejarah di SMA
Pembelajaran sejarah pada proses pembelajarannya untuk SD, sejarah
dapat dibicarakan dengan pendekatan estetis. Artinya, sejarah diberikan semata-
mata untuk menanamkan rasa cinta kepada perjuangan, pahlawan, tanah air, dan
bangsa. Untuk SLTP, sejarah hendaknya dungan pendekatan etis. Kepada siswa
harus ditanamkan pengertian bahwa mereka hidup bersama orang, masyarakat,
dan kebudayaan lain, baik dulu maupun sekarang. Kepada anak-anak SMA yang
sudah mulai bernalar, sejarah harus diberikan secara kritis. Mereka diharapkan
sudah bisa berpikir mengapa sesuatu terjadi, apa sebenarnya yang sudah terjadi,
dan ke arah mana kejadian-kejadian itu (Kuntowijoyo, 2013: 3). Fokus utama
mata pelajaran sejarah ditingkat ini adalah tahap-tahap kelahiran peradaban
10
manusia, evolusi sistem sosial, dan perkembangan kebudayaan dan ilmu
pengetahuan (Kochar, 2008:50). Lebih lanjut Kochar (2008) menjelaskan sasaran
utama pembelajaran sejarah di Sekolah Menengah Atas (SMA) adalah :
1) Meningkatkan pemahaman terhadap proses perubahan dan perkembangan yang
dilalui umat manusia hingga mampu mencapai tahap perkembangan yang
sekarang ini. Peradaban modern yang dicapai saat ini merupakan hasil proses
perkembangan yang panjang. Sejarah merupakan satu-satunya mata pelajaran
yang mampu menguraikan proses tersebut.
2) Meningkatkan pemahaman terhadap akar peradaban manusia dan penghargaan
terhadap kesatuan dasar manusia. Semua peradaban besar dunia memiliki akar
yang sama; disamping berbagai karakteristik lokal, kebanyakan adalah unsur-
unsur yang menunjukkan kesatuan dasar manusia. Salah satu sasaran utama
sejarah pada sisi ini adalah menekankan dasar tersebut.
3) Menghargai berbagai sumbangan yang diberikan oleh semua kebudayaan pada
peradaban manusia secara keseluruhan. Kebudayaan setiap bangsa telah
menyumbangkan denmgan berbagai cara terhadap peradaban secara
keseluruhan. Mata pelajaran sejarah membawa pengetahuan ini kepada para
siswa.
4) Memperkokoh pemahaman bahwa intereksi saling menguntungkan antar
berbagai kebudayaan merupakan faktor yang penting dalam kemajuan
kehidupan manusia.
5) Memberikan kemudahan kepada siswa yang berminat memepelajari sejarah
suatu negara dalam kaitannya dengan sejarah umat manuasi secara
keseluruhan.Pada Permen Diknas No 22 tahun 2006 mengenai standar isi untuk
satuan pendidikan dasar dan menengah, disebutkan bahwa tujuan pembelajaran
sejarah adalah sebagai berikut :
1) Membangun kesadaran peserta didik tentang pentingnya waktu dan tempat
yang merupakan sebuah proses dari masa lampau, masa kini, dan masa depan
11
2) Melatih daya kritis peserta didik untuk memahami fakta sejarah secara benar
dengan didasarkan pada pendekatan ilmiah dan metodologi keilmuan
3) Menumbuhkan apresiasi dan penghargaan peserta didik terhadap peninggalan
sejarah sebagai bukti peradaban bangsa Indonesia di masa lampau
4) Menumbuhkan pemahaman peserta didik terhadap proses terbentuknya bangsa
Indonesia melalui sejarah yang panjang dan masih berproses hingga masa kini
dan masa yang akan datang
5) Menumbuhkan kesadaran dalam diri peserta didik sebagai bagian dari bangsa
Indonesia yang memiliki rasa bangga dan cinta tanah air yang dapat
diimplementasikan dalam berbagai bidang kehidupan baik nasional maupun
internasional.
Sejalan dengan itu, Ali (2005: 351) memaparkan pembelajaran sejarah
nasional memiliki tujuan sebagai berikut:
1) Membangkitkan, mengembangkan serta memelihara semangat kebangsaan;
2) Membangkitkan hasrat mewujudkan cita-cita kebangsaan dalam segala
lapangan;
3) Membangkitkan hasrat-mempelajari sejarah kebangsaan dan mempelajarinya
sebagai bagian dari sejarah dunia;
4) Menyadarkan anak tentang cita-cita nasional (Pancasila dan Undng-Undang
Pendidikan) serta perjuangan tersebut untuk mewujudkan cita-cita itusepanjang
masa.
Selanjutnya pada tingkat SMA terdapat tujuan dari pembelajaran sejarah,
yang akan dijelaskan di bawah berikut ini:
1) Mendorong siswa berpikir kritis-analitis dalam memanfaatkan pengetahuan
tentang masa lampau untuk memahami kehidupan masa kini dan yang akan
datang;
2) Memahami bahwa sejarah merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari;
3) Mengembangkan kemampuan intelektual dan keterampilan untuk memahami
proses perubahan dan keberlanjutan masyarakat (Pusat Kurikulum, 2002).
Atas dasar tujuan tersebut, maka kompetensi dasar sejarah pada jenjang
SMA yang diharapkan dikembangkan melalui pengajaran sejarah adalah :
12
1) Mampu mengklasifikasi perkembangan masyarakat untuk menjelaskan proses
keberlanjutan dan perubahan dari waktu ke waktu;
2) Mampu memahami, menganalisis, dan menjelaskan berbagai aspek kehidupan
seperti ilmu pengetahuan dan teknologi, lingkungan hidup, ekonomi, politik,
sosial dan budaya serta pengaruhnya terhadap masyarakat di Indonesia dan
dunia dari waktu ke waktu;
3) Mampu mengidentifikasi, memahami, dan menjelaskan keragaman dalam
sejarah masyarakat di Indonesia dan dunia serta perubahannya dalam konteks
waktu;
4) Mampu menemukan dan mengklasifikasi berbagai sumber sejarah dan adanya
keragaman analisis serta interpretasi terhadap fakta tentang masa lalu yang
digunakan untuk merekonstruksi dan mendeskripsikan peristiwa serta objek
sejarah;
5) Menyadari arti penting masa lampau untuk memahami kekinian dan membuat
keputusan (Pusat Kurikulum, 2006).
Pada bahasan berikutnya, kita akan memaparkan tentang karakteristik
pembelajaran sejarah. Menurut Susanto (2014: 59-61), terdapat lima karkteristik
pembelajaran sejarah, yaitu:
1) Pembelajaran sejarah mengajarkan tentang kesinambungan dan perubahan.
2) Pembelajaran sejarah mengajarkan tentang jiwa zaman.
3) Pembelajaran sejarah bersifat kronologis.
4) Pembelajaran sejarah pada hakikatnya adalah mengajarkan tentang bagaimana
perilaku manusia.
5) Kulminasi dari pembelajaran sejarah adalah memberikan pemahaman akan
hukum-hukum sejarah.
Berdasarkan pemaparan teori di atas, dapat disimpulkan pembelajaran sejarah
merupakan bagian penting dalam proses pendidikan masa lalu bangsa. Agar siswa
dapat belajar dari masa lalu dan dapat memetakan masa depannya secara kritis.
2. Model Pembelajaran Kooperatif
Model Pembelajaran kooperatif berasal dari kata cooperative yang berarti
mengerjakan sesuatu secara bersama-sama dan saling bantu membantu satu sama
13
lainnya (Isjoni, 2007: 15). Pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang
merujuk pada berbagai macam metode pengajaran dimana para siswa bekerja
dalam kelompok-kelompok kecil untuk saling membantu satu sama lainnya dalam
mempelajari materi pembelajaran (Slavin, 2005: 4).
Menurut Lie (2007: 14), model pembelajaran kooperatif tidak sama
dengan sekedar belajar kelompok, tetapi ada unsur-unsur dasar yang
membedakannya dengan pembagian kelompok yang dilakukan asal-asalan. Model
pembelajaran kooperatif merupakan salah satu model pembelajaran yang
mendukung pembelajaran kontekstual. Sistem pengajaran pada pembelajaran
kooperatif dapat didefinisikan sebagai sistem kerja/belajar kelompok yang
terstruktur. Pembelajaran kooperatif adalah suatu strategi belajar mengajar yang
menekankan pada sikap atau perilaku bersama dalam bekerja atau membantu di
antara sesama dalam struktur kerjasama yang teratur dalam kelompok, yang terdiri
dari dua orang atau lebih.
Pembelajaran kooperatif adalah salah satu bentuk pembelajaran yang
berdasarkan faham konstruktivis. Pembelajaran kooperatif merupakan strategi
belajar dengan sejumlah siswa sebagai anggota kelompok kecil yang tingkat
kemampuannya berbeda. Dalam menyelesaikan tugas kelompoknya, setiap siswa
anggota kelompok harus saling bekerja sama dan saling membantu untuk
memahami materi pelajaran. Dalam pembelajaran kooperatif, belajar di katakan
belum selesai jika salah satu teman dalam kelompok belum menguasai bahan
pelajaran.
Eggen dan Kuachak dalam Ratumanan (2002: 107) mendifinisikan bahwa
belajar kooperatif adalah sebagai kumpulan strategi mengajar yang digunakan
siswa untuk membantu satu dengan yang lain dalam suatu kelompok untuk
mempelajari sesuatu. Sedangkan Slavin menjelaskan bahwa pembelajaran
kooperatif secara ekstensif, atas dasar teori bahwa siswa akan lebih mudah
menemukan dan memahami konsep-konsep itu dengan temannya.
Menurut muslimin dkk, pembelajaran kooperatif merupakan pendekatan
pembelajaran yang mengutamakan adanya kerjasama antarsiswa dalam kelompok
untuk mencapai tujuan pembelajaran. Sementara itu menurut wina, model
14
pembelajaran kelompok adalah rangkaian kegiatan belajar yang dilakukan oleh
siswa dalam kelompok-kelompok tertentu untuk mencapai tujuan yang telah
dirumuskan (Widyantini, 2008: 4).
Menurut Ibrahim (2000: 7), model pembelajaran kooperatif dikembangkan
untuk mencapai setidak-tidaknya tiga tujuan pembelajaran penting, yaitu :
a. Hasil Belajar Akademik.
Dalam belajar kooperatif meskipun mencakup beragam tujuan sosial,
juga memperbaiki prestasi siswa atau tugas-tugas akademis penting lainnya.
Beberapa ahli berpendapat bahwa model ini unggul dalam membantu siswa
memahami konsep-konsep sulit. Para pengembang model ini telah menunjukkan
bahwa model struktur penghargaan kooperatif telah dapat meningkatkan nilai
siswa pada belajarakademik dan perubahan norma yang berhubungan dengan hasil
belajar. Di samping mengubah norma yang berhubungan dengan hasil belajar,
pembelajaran kooperatif dapat memberi keuntungan baik pada siswa kelompok
bawah maupun kelompok atas yang bekerja bersama menyelesaikan tugas-tugas
akademik.
b. Penerimaan Terhadap Perbedaan Individu
Tujuan lain model pembelajaran kooperatif adalah penerimaan secara
luas dari orang-orang yang berbeda ras, budaya, kelas sosial, kemampuan dan
ketidakmampuannya. Pembelajaran kooperatif memberi peluang bagi siswa dari
berbagai latar belakang dan kondisi untuk bekerja dengan saling bergantung pada
tugas-tugas akademik dan melalui struktur penghargaan kooperatif akan
belajarsaling menghargai satu sama lain.
c. Pengembangan Ketrampilan Sosial
Tujuan penting ketiga pembelajaran kooperatif adalah mengajarkan
kepada siswa ketrampilan bekerja sama dan kolaborasi. Ketrampilan-ketrampilan
sosial, penting dimiliki oleh siswa sebab saat ini banyak anak muda masih kurang
dalam ketrampilan sosial. Model pembelajaran kooperatif ini merupakan salah
satu cara penyampaian pembelajaran yang berpusat pada siswa atau student
centered larning. Student centered learning adalah pendekatan pembelajaran yang
berfokus pada siswa dalam proses pembelajaran, metode ini berfokus pada
15
kebutuhan siswa, kemampuan, minat, dan cara mengajar guru sebagai fasilitator
dalam pembelajaran. Siswa yang aktif adalah siswa yang dapat mengkonstruk dan
membangun sendiri pemahamannya lewat inderanya sendiri seperti penglihatan,
suara, penciuman dan sebagainya.
Dari berbagai penjelasan tersebut di atas mengenai pembelajaran
kooperatif, maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif adalah suatu
model pembelajaran berkelompok untuk setiap kelompok mempunyai anggota
yang heterogen. Pembelajaran kooperatif ini merupakan suatu model yang setiap
anggota kelompok telah mencapai tujuan individu apabila kelompokknya telah
berhasil. Untuk mencapai tujuan individu dalam kelompok, sangat dipengaruhi
oleh keaktifan anggota kelompok tersebut dalam melakukan apa saja untuk
keberhasilan kelompokknya. Dalam pembelajaran kooperatif terdapat tiga tujuan
pembelajaran, yaitu: prestasi akademik, penerimaan pendapat yang beraneka
ragam dan pengembangan keterampilan sosial.
Pembelajaran kooperatif merupakan belajar dalam kelompok kecil yang
membantu siswa dan anggota tim lain untuk menyelesaikan tugas secara bersama-
sama. Suprayekti dalam Jurnal Pendidikan Penabur mengemukakan, secara
umum pembelajaran koopertif terdiri dari lima karakteristik yaitu:
a. Siswa belajar bersam pada tugas-tugas umum atau aktifitas untuk
menyelesaikan tugas atau aktifitas pembelajaran.
b. Siswa saling bergantung secara positif. Aktifitas diatur sehingga siswa
membutuhkan siswa lain untuk mencapai hasil bersama. Pembelajaran yang
paling baik ditangani apabila melalui kerja kelompok.
c. Siswa belajar bersama dalam kelompok kecil yang terdiri 2 sampai 5 siswa.
d. Siswa menggunakan perilaku kooperatif.
e. Setiap siswa secara mandiri bertanggung jawab untuk pekerjaan pembelajaran
mereka.
Carin dalam Zulfani (2009: 131) mengemukakan bahwa pembelajaran
kooperatif ditandai oleh ciri-ciri sebagai berikut:
a. Setiap anggota mempunyai peran
b. Terjadi interaksi langsung diantara siswa.
16
c. Setiap anggota kelompok bertanggung jawab atas belajarnya dan juga teman-
teman sekelompoknya.
d. Peran guru adalah membantu siswa untuk mengembangkan keterampilan-
keterampilan interpersonal kelompok.
e. Guru hanya berinteraksi dengan kelompok saat diperlukan.
Bannet menyatakan dalam bukunya Ijsoni (2007: 60) ada lima unsur
dasar yang dapat memedakan pembelajaran kooperatif dengan kerja kelompok,
yaitu:
a. Positive Interdependence
b. Interaction face to face
c. Adanya tanggung jawab pribadi mengenai materi pelajaran dalam anggota
kelompok
d. Membutuhkan keluwesan
e. Meningkatkan keterampilan bekerja sama dalam memecahkan masalah.
Layaknya model-model pemebelajaran lainnya, pembelajaran kooperatif
memiliki keunggulan seperti yang disampaikan Ruhadi dalam Jurnal Pendidikan
Serambi Ilmu, yaitu:
a. Semua anggota kelompok wajib mendapat tugas
b. Ada interaksi langsung antar siswa dengan siswa dan siswa dengan guru
c. Siswa dilatih untuk mengembangkan keterampilan sosial
d. Mendorong siswa untuk menghargai pendapat orang lain
e. Dapat meningkatkan kemampuan akademik siswa
f. Melatih siswa untuk berani berbicara di depan kelas
Selain itu terdapat pula kelemahan dari pembelajaran kooperatif, antara
lain sebagai berikut:
a. Jika ditinjau dari sarana kelas, maka untuk membentuk kelompok kesulitan
mengatur dan mengangkat tempat duduk
b. Karena rata-rata jumlah siswa di dalam kelas banyak, maka guru kurang
maksimal dalam mengamati belajar klelompok secara bergantian.
17
c. Guru dituntut bekerja cepat dalam menyelesaikan tugas-tugas yang berkaitan
dengan pembelajaran yang telah dilakukan, antara lain koreksi pekerjaan siswa,
menentukan perubahan kelompok belajar.
d. Memerlukan waktu dan biaya yang banyak untuk mempersiapkan dan
kemudian melaksanakan pembelajaran kooperatif tersebut.
Beberapa kelemahan di atas juga seiring dengan pendapat Robyn M.
Gillies dan Michael Boyle yang dipublikasikan dalam Jurnal Teaching and
Teacher Education, dalam penelitiannya ia menyebutkan Data from the interviews
indicated that while the teachers had positive experiences with CL, a number
encountered difficulties with implementing it in their classrooms. Issues identified
included students socializing during group activities and not working, managing
time effectively, and the preparation required. Data yang di dapat dari wawancara
dengan guru yang sudah memiliki pengalaman dengan cooperative learning
menunjukkan mereka memiliki beberapa kesulitan dalam pengimplementasiannya
di kelas, antara lain yaitu dalam sosialisasi siswa dalam kerja kelompok, hanya
sebagian yang bekerja, manajemen waktu, serta dibutuhkan persiapan yang
matang dalam pelaksanaannya.
a. Model Problem Based Learning (PBL)
Pada awalnya, Model Problem Based Learning (PBL) dikenal dengan
nama Problem Based Instructional, yaitu pendekatan pembelajaran yang
mengedepankan siswa pada masalah dunia nyata untuk belajar. Problem Based
Instructional dikembangkan oleh Barbara J. Dutch pada awal 1970 (Prayekti,
2010: 46). John Dewey dalam Sudjana yang dikutip oleh Trianto (2012: 91)
menerangkan, belajar berdasarkan masalah adalah interaksi antara stimulus
dengan respons, merupakan hubungan antara dua arah belajar dan lingkungan.
Eggen (2012: 307) memaparkan bahwa pembelajaran berbasis masalah
merupakan seperangkat model mengajar yang menggunakan masalah sebagai
focus untuk mengembangkan keterampilan pemecahan masalah, materi dan
pengaturan diri.
Sugiyanto (2010: 130) menyatakan Problem Based Learning mengambil
psikologi kognitif sebagai dukungan teoritisnya, fokusnya tidak banyak pada apa
18
yang sedang dikerjakan siswa (perilaku mereka), tetapi pada apa yang siswa
pikirkan (kognisi mereka) selama mereka mengerjakannya. Meskipun peran guru
dalam pelajaran yang berbasis masalah kadang-kadang juga melibatkan
mempresentasikan dan menjelaskan berbagai hal kepada siswa, tetapi guru lebih
sering memfungsikan diri sebagai pembimbing dan fasilitator sehingga siswa
dapat belajar untuk berfikir dan menyelesaikan masalahnya sendiri.
Sudarman dalam Jurnal Pendidikan Inovatif menambahkan Problem
Based Learning (PBL) adalah suatu pendekatan yang menggunakan masalah
dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang cara berpikir
kritis dan keterampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan
yang esensial dari materi pelajaran. Pembelajaran berbasis masalah dirancang
untuk merangsang berpikir tingkat tinggi dalam situasi berorientasi pada masalah.
Wena (2013: 91) menambahkan Problem Based Learning merupakan strategi
pembelajaran dengan menghadapkan siswa pada permasalahan-permasalah praktis
sebagai pijakan dalam belajar atau dengan kata lain, siswa belajar melalui
permasalahan. Pembelajaran berbasis masalah ini menyajikan kepada siswa,
situasi dan masalah yang autentik dan bermakna yang dapat memberikan
kemudahan bagi siswa untuk melakukan penyelidikan (Trianto, 2009: 91).
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat kita simpulkan Problem
Based Learning (PBL) merupakan suatu model pembelajaran yang awali dengan
menghadirkan suatu masalah kepada peserta didik, peserta didik kemudian
menyelesaikan permasalahan tersebut untuk menemukan suatu pengetahuan baru.
Model Problem Based Learning (PBL) ini menekankan pada proses kognitif
peserta didik atau dengan kata lain peserta didik dituntut untuk berpikir secara
mendalam dengan melakukan penyelidikan-penyelidikan terhadap masalah-
masalah yang ada.
Savoie dan Huges dalam Wena (2013: 91) menyatakan Model Problem
Based Learning (PBL) ini memiliki karakteristik-karakteristik sebagai berikut:
1) Belajar dimulai dengan suatu masalah.
2) Memastikan bahwa masalah yang diberikan berhubungan dengan dunia nyata
siswa.
19
3) Mengorganisasikan pelajaran diseputar masalah, bukan diseputar disiplin ilmu.
4) Memberikan tanggung jawab yang besar kepada pebelajar dengan membentuk
dan menjalankan secara langsung proses belajar mereka sendiri.
5) Menggunakan kelompok kecil.
6) Menuntut pebelajar untuk mendemonstrasikan apa yang telah mereka pelajari
dalam bentuk suatu produk atau kinerja.
Sejalan dengan pendapat di atas, Erik de Graff dan Anette Kolmos dalam
International Journal of Engineering Education juga memaparkan 7 karaktersitik
dari model Problem Based Learning (PBL), namun yang relevan pada penelitian
ini ada 4, yaitu: 1) Problem Based Learning is an educational approach whereby
problem is the starting point of learning process. 2) Who formulates the problem
statement who is responsible for the main decisions is dependent on the next
principle, Participant-directed learning processes or self-directed learning, wich
has a far more individual-oriented focus. 3) Experience learning is also an
implicit part of the participant-directed learning process, where the student build
form his/her experiences and interest. 4) Group Based Learning. Whereby the
majority of the learning process take place in groups or teams.
Melihat karakteristik model Problem Based Learning (PBL) di atas,
adalah tampak jelas bahwa model ini dimulai dengan adanya suatu masalah,
kemudian peserta didik memperdalam pengetahuan yang sudah mereka miliki dan
pengetahuan apa yang mereka butuhkan untuk memecahkan suatu masalah
tersebut.
Pemecahan masalah dalam model Problem Based Learning (PBL) harus
sesuai dengan langkah metode ilmiah. Dengan demikian pesarta didik belajar
memecahkan masalah secara sistematis dan terencana. Selain itu juga memberikan
peserta didik suatu pengalaman dalam melakukan kerja ilmiah. Pannen dalam
Ngalimun (2014: 94), paling sedikit ada delapan langkah dalam pemecahan
masalah dalam model Problem Based Learning (PBL), yaitu:
1) Mengidentifikasi masalah
2) Mengumpulkan data.
3) Menganalisis data.
20
4) Memecahkan masalah berdasarkan pada data yang ada dan analisisnya.
5) Memilih cara untuk memecahkan masalah.
6) Merencanakan penerapan pemecahan masalah.
7) Melakukan uji coba terhadap rencana yang ditetapkan.
8) Melakukan tindakan untuk memecahkan masalah.
Empat tahap pertama mutlak diperlukan untuk berbagai kategori tingkat
berfikir, sedangkan empat tahap berikutnya harus dicapai bila pembelajaran
dimaksudkan untuk mencapai keterampilan berpikir tingkat tinggi.
Arends (2008: 57) mengemukakan lima fase (tahap) dalam
pengimplemetasian model Problem Based learning (PBL) sebagai berikut:
Tabel 2.1. Sintaks model Problem Based Learning (PBL) menurut Arends
Fase Peran GuruFase 1:Memberikan orientasi tentangpermasalahannya kepada pesertadidik.
Guru menyampaikan tujuanpembelajaran, memberikan penjelasanapa saja hal-hal yang yang pentingdalam pembelajaran dan memotivasipeserta didik untuk terlibat dalamkegiatan mengatasi masalah
Fase 2:Mengorganisasikan peserta didikuntuk meneliti
Guru membantu peserta didik untukmendefinisikan danmengorganisasikan tugas-tugasbelajar yang terkait denganpermasalahannya.
Fase 3:Membantu investigasi mandiri
Guru mendorong peserta didik untukmendapatkan info yang tepat, danmencari penjelasan dan solusi.
Fase 4:Mengembangkan danmempresentasikan hasil daripemecahan masalah yang telahdiolah.
Guru membantu peserta didik dalammerencanakan dan menyiapkanartefak-artefak yang tepat sepertilaporan, rekaman video, dan model-model yang membantu mereka untukmenyampaikan kepada orang lain.
Fase 5:Menganalisa dan mengevaluasi prosesmengatasi masalah.
Guru membantu peserta didik untukmelakukan refleksi terhadapinvestigasinya dan proses-proses yangmereka gunakan.
21
Berdasarkan dua pendapat tentang langkah-langkah dalam model
Problem Based Learning (PBL), maka dapat dibuat sintak pembelajaran yang
disesuaikan dengan penelitian, seperti berikut:
Tabel 2.2. Sintaks model Problem Based Learning (PBL)
Fase Peran Guru Peran SiswaFase 1: Memberiorientasi tentangpermasalahan kepadasiswa
Guru menyampaikantujuan pembelajaran,memberikan penjelasanapa saja hal-hal yangyang penting dalampembelajaran danmemotivasi peserta didikuntuk terlibat dalamkegiatan mengatasimasalah
Siswa mendengarkan danmencermati penjelasanguru, serta mengikutipembelajaran
Fase 2: Mengorganisirsiswa untuk belajar
Guru meminta siswauntuk membuatkelompok, gurumembagikan bahan-bahan bacaan yang sesuaidengan kebutuhan siswadalam menganalisis danberdiskusi
Siswa membentukkelompok, menerimabahan-bahan bacaan dariguru, melakukan kegiatanpembelajran sesuaidengan arahan guru
Fase 3: Membantu siswadalam memecahkanmasalah melaluipenyelidikan mandiri dankelompok
Guru mendorong pesertadidik untuk mendapatkaninfo yang tepat, danmencari penjelasan dansolusi.
Siswa menanyakan hal-hal yang belum jelas,mulai berdiskusi mencarisolusi dari permasalahan,setelah diskusi selesaikemudian membuatlaporan hasil diskusiuntuk dipresentasikan.
Fase 4: Mengembangkandan mempresentasikansolusi dari masalah
Guru membantu pesertadidik dalammerencanakan danmenyiapkan hasil yangtelah di dapat dalamdiskusi kelompok dikelas.
Siswa mempresentasikansolusi yang didapat daripermasalahan, setiapkelompok mendapatkesempatan yang samadan ada tanya jawab
Fase 5: Menganalisis danmengevaluasi prosespemecahan masalah
Guru membantu pesertadidik untuk melakukanrefleksi terhadapinvestigasinya danproses-proses yangmereka gunakan.
Menmperhatikanpenjelasan guru danbertanya kepada guru halyang kurang jelas
22
Model Problem Based Learning (PBL) ini juga memiliki kelebihan dan
kelemahan (Kurniasih, 2015: 49-51). Kelebihan model ini ialah sebagai berikut:
1) Mengembangkan pemikiran kritis dan keterampilan kreatif siswa.
2) Dapat meningkatkan kemampuan memecahkan masalah para siswa dengan
sendirinya.
3) Meningkatkan motivasi siswa dalam belajar.
4) Membantu siswa belajar untuk mentransfer pengetahuan dengan situasi yang
baru.
5) Dapat mendorong siswa mempunyai inisiatif untuk belajar secara mandiri.
6) Mendorong kreativitas siswa dalam pengungkapan penyelidikan masalah yang
telah ia lakukan.
7) Dengan model pembelajaran ini akan terjadi pembelajaran yang bermakna.
8) Model ini dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis, menumbuhkan
inisiatif siswa dalam bekerja, motivasi internal dalam bekerja, motivasi internal
untuk belajar, dan dapat mengembangkan hubungan interpersonal dalam
bekerja kelompok.
Selain kelebihan, juga terdapat kelemahan model Problem Based
Learning (PBL) ini sebagai berikut:
1) Model ini membutuhkan pembiasaan, karena model itu cukup rumitdalam
teknisnya serta siswa betul-betul harus dituntut konsentrasi dan daya kreasi
tinggi.
2) Dengan mempergunakan model ini,berarti proses pembelajaran harus
dipersiapkan dalam waktu yang cukup panjang.
3) Siswa tidak dapat benar-benar tahu apa yang mungkin penting bagi mereka
untuk belajar, terutama bagi mereka yang tidak memiliki pengalaman
sebelumnya.
4) Sering juga ditemukan kesulitan terletak pada guru, karena guru kesulitan
dalam menjadi fasilitator dan mendorong siswa untuk mengajukan pertanyaan
yang tepat daripada menyerahkan mereka solusi.
23
b. Model Group Investigation (GI)
Model Group Investigation (GI) merupakan salah satu dari bentuk model
pembelajaran kooperatif, pertama kali dikembangkan oleh Sharan dan Sharan dari
universitas Tel Aviv. Model ini merupakan salah satu model kompleks dalam
pembelajaran kelompok yang mengharuskan siswa untuk menggunakan skil
berpikir level tinggi (Huda, 2014: 292). Model pembelajaran Group Investigation
(GI) ini menenkankan pada partisipasi dan aktivitas siswa untuk mencari sendiri
materi atau segala sesuatu mengenai materi pembelajaran yang akan dipelajari
(Kurniasih, 2015: 70).
Terdapat tiga konsep utama dalam model Group Investigation (GI), yaitu
penelitian, pengetahuan, dan dinamika kelompok. Model Group Investigation
(GI) ini memadukan tujuan penelitian akademik, integrasi sosial, dan
pembelajaran serta sosial (Joyce, 2011: 322). Pembelajaran dengan model Group
Investigation (GI) menuntut melibatkan peserta didik sejak perencanaan, baik
dalam menentukan topik maupun cara untuk mempelajari melalui investigasi.
Pengimplementasian model Group Investigation (GI) ini biasanya kelas
dibagi menjadi kelompok-kelompok yang beranggotakan 5-6 orang siswa dengan
karakteristik yang heterogen. Pembagian kelompok juga di dasarkan pada
pertimbangan keakraban persahabatan atau minat yang sama dalam topic tertentu.
Para siswa memilih topik yang ingin dipelajari, mengikuti investigasi mendalam
terhadap subtopik yang telah dipilih, kemudian menyiapkan dan menyajikan suatu
laporan di depan kelas secara keseluruhan (Trianto, 2012: 79). Dalam tahap
presentasi ini diharapkan terjadi intersubjektif dan objektivasi pengetahuan yang
sudah dibangun oleh kelompok. Berbagai perspektif diharapkan dapat
dikembangkan oleh seluruh kelas atas hasil yang dipresentasikan oleh suatu
kelompok (Suprijono, 2012: 93).
Peran guru dalam model Group Investigation (GI) ini, lebih berperan
sebagai konselor, konsultan dan pemberi kritik yang ramah. Guru harus
membimbing serta merefleksikan pengalaman kelompok (Joyce, 2011: 318-319).
Selin itu guru juga bertugas untuk menginisiasi pembelajaran dengan
24
menyediakan pilihan dan control terhadap para siswa untuk memilih strategi
penelitian yang akan mereka gunakan (Huda, 2014: 292).
Slavin (2009: 218) mengemukakan enam tahap atau fase dalam
pengimplementasian model Group Investigation (GI) sebagai berikut:
Tabel 2.2. Sintaks model Group Investigation (GI)
Fase Peran Guru Peran SiswaFase 1:Mengidentifikasitopik dan mengaturmurid ke dalamkelompok
Membagi kelas dalamkelompok secaraheterogen
Mencari beberapa sumber danbergabung dengan kelompokuntuk mempelajari topic yangtelah dipilih
Fase 2:Merencanakantugas
Memanggil ketua-ketuakelompok untuk memilihmateri, tugas yangberbeda antar kelompok
Merencanakan topik danpembagian tugas
Fase 3:MelaksanakanInvestigasi
Membimbing siswadalam melakukaninvestigasi
Siswa mengumpulkaninformasi yang kemudianberdiskusi dan menyelesaikantugas sesuai dengan topik
Fase 4:Menyiapkanlaporan akhir
Mengarahkan siswadalam menganalisis,memfasilitasi proyekdiskusi, danmenyimpulkan hasil
Siswa mengumpulkan informsyang kemudian berdiskusi danmenyelesaikan tugas sesuaidengan topik
Fase 5:Mempresentasikanlaporan akhir
Mengarahkan siswadalam menganalisis,memfasilitasi prosesdiskusi, danmenyimpulkan hasil
Membuat laporan danmenyiapkan hasil yang akandipresentasikan
Fase 6:Evaluasi
Guru dan siswa berkolaborasi dalam mengevaluasipembelajaran siswa dan memberi penilaian atas hasilkerja siswa
Pada sintak yang telah di jelaskan oleh Slavin di atas, telah terlihat jelas
keteraturan dalam model Group Investigation (GI). Model Group Investigation
(GI) terdapat kelebihan dan kelemahan (Kurniasih, 2015: 73-74). Kelebihan
model ini sebagai berikut:
1) Model ini memiliki dampak positif dalam meningkatkan prestasi belajar siswa.
2) Penerapan model mempunyi pengaruh positif, yaitu dapat meningkatkan
motivasi belajar siswa.
25
3) Pembelajaran yang dilakukan membuat suasana salaing bekerja sama dan
berinteraksi antar siswa dalam kelompok tanpa memandang latar belakang.
4) Model ini melatih siswa untuk memiliki kemampuan yang baik dalam
berkomunikasi dan mengemukakan pendapatnya.
5) Memotivasi dan mendorong siswa agar aktif dalam proses belajar mulai dari
tahap pertama sampai tahap akhir pembelajaran.
Telah dipaparkan kelebihan dari model GI seperti di atas. Selanjutnya
kelemahan dari model ini ialah sebagai berikut:
1) Model ini merupakan model pembelajaran yang kompleks dan sulit untuk
dilaksanakan dalam pembelajaran kooperatif.
2) Model ini membutuhkan waktu yang lama.
3. Kemampuan Berpikir Kritis
a. Pengertian Kemampuan
Invencevic (1995: 54) berpendapat bahwa kemampuan adalah sifat
(bawaan dari lahir atau dipelajari) yang memungkinkan seseorang melakukan
sesuatu yang bersifat mental atau fisik. Sedangkan menurut As’ad (1995:60)
bahwa kemampuan adalah non motivasional attributes yang dimiliki oleh individu
untuk melaksanakan suatu tugas.
Dari dua pendapat di atas tentang suatu definisi di atas, kemampuan
dapat disusun menjadi sebuah pemahaman mengenai kemampuan yaitu
merupakan suatu sifat yang ada pada diri seseorang yang dimiliki sejak dia lahir
melalui proses berlatih, yang berisikan kecakapan dan kesanggupan sebagai
kekuatan dasar dalam melakukan setiap pekerjaan secara efektif.
b. Berpikir kritis
Sebelum menjelaskan tentang definisi berpikir kritis, ada baiknya terlebih
dahulu menjelaskan definisi dari berfikir itu sendiri. Menurut Purwanto (2004:43),
berpikir ialah suatu keaktifan pribadi manusia yang mengakibatkan penemuan
terarah kepada suatu tujuan. Sedangkan menurut pendapat Walgito (2004: 122)
berpikir merupakan sebuah proses penguatan hubungan antara stimulus dan
respon. Senada dengan itu, menurut Ennis dalam Kuswana (2013: 19), berpikir
26
kritis adalah suatu cara berpikir reflektif yang masuk akal atau berdasarkan nalar
yang difokuskan untuk menentukan apa yang harus diyakini dan dilakukan.
Menurut pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa berpikir merupakan
kegiatan yang dilakukan oleh otak manusia dimana di dalamnya menyangkut
tentang suatu proses yang aktif dalam mencoba merumuskan dan meng arahkan
sebuah informasi kepada tujuan tertentu sebagai bentuk respon dari informasi
yang diterima sehingga menjadi suatu gambaran baru (ide) tentang apa yang akan
dituju. Johnson (2011: 185) mendefinisikan berpikir kritis sebagai berikut:
1) Berpikir kritis adalah sebuah proses sistematis yang memungkinkan peserta
didik untuk merumuskan dan mengevaluasi keyakinan dan pendapat peserta
didik sendiri.
2) Berpikir kritis adalah sebuah proses terorganisir yang memungkinkan peserta
didik mengevluasi bukti, asumsi, logika, dan bahasa yang mendasari orang
lain.
Fischer (2008: 2-4) mengutip beberapa pendapat ahli tentang definisi
berpikir kritis sebagai berikut:
1) Menurut John Dewey, berpikir kritis merupakan suatu bentuk berpikir reflektif
yang memuat suatu pertimbangan yang aktif, persistent(terus menerus), dan
teliti mengenai sebuah keyakinan atau bentuk pengetahuan yang diterima
begitu saja dipandang dari sudut alasan-alasan yang mendukungnya dan
kesimpulan-kesimpulan lanjutan yang menjadi kecenderungannya.
2) Gleser, mendefinisikan berpikir kritis sebagai suatu sikap mau berpikir secara
mendalam tentang masalah-masalah dan hal-hal yang berada dalam jangkauan
pengalaman sesorang; pengetahuan tentangmetode-metode pemeriksaan dan
penalaran logis; semacam suatu keterampilan untuk menerapkan metode-
metode tersebut.
3) Menurut Richard Paul, berpikir kritis adalah metode berpikir, mengenai hal,
substansi atau apa saja, dimana si pemikir meningkatkan kaulitas pemikirannya
dengan menangani secara terampil struktur-struktur yang melekat dalam
pemikiran dan menerapkan standar-standar intelektual padanya.
27
Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat diambil suatu kesimpulan
bahwa definisi berpikir kritis adalah suatu proses berpikir secara sistematis dan
terorganisir dengan maksud untuk mencapai pemahaman yang mendalam, dengan
mengungkapkan ide-ide dibalik suatu kejadian, sehingga kejadian tersebut
memberikan pemahaman dalam mengungkapkan makna dari kejadian tersebut.
Fee-Alexandra Hase dalam Jurnal Nomadas, Revista de Ciencias
Sociales juridicas mengatakan: Critical Thinking is the intellectually diciplines
process of using information in a process of observation, experience, reflection,
or reasoning using the following strategies: 1) Conceptualising information, 2)
Applying information, 3) Analysing information, 4) Synthesizing information, 5)
Evaluating information (Berpikir kritis adalah proses disiplin inteliktual yang
menggunakan informasi dalam proses pengamatan, pengalaman, refleksi, atau
penalaran dengan menggunakan strategi berikut: 1) Konseptualisasi informasi, 2)
Menerapkan informasi, 3) Menganalisis informasi, 4) Sintesis informasi, 5)
Mengevaluasi informasi.
Terdapat 12 indikator dalam berpikir kritis yang dikelompokkan oleh
Ennis (1995: 55-56) dalam lima kelompok besar sebagai berikut:
1) Memberikan penjelasan sederhana yang berisi: memfokuskan pertanyaan,
menganalisis pertanyaan dan bertanya, serta menjawab pertanyaan tentang
suatu penjelasan atau pertanyaan.
2) Membangun keterampilan dasar, yang terdiri atas mempertimbangkan sumber
dapat dipercaya atau tidak dan mengamati secara mempertimbangkan suatu
laporan hasil observasi.
3) Menyimpulkan yang terdiri atas kegiatan mendeduksi atau mempertimbangkan
hasil induksi atau mempertimbangkan hasil induksi, dan membuat serta
menentukan nilai pertimbangan.
4) Memberikan penjelasan lanjut, yang terdiri atas mengidentifiksi istilah-istilah
dan definisi pertimbangan dan juga dimensi, serta mengidentifikasi asumsi.
5) Mengatur strategi dan teknik, yang terdiri atas menentukan tindakan dan
berinteraksi dengan orang lain.
28
c. Kemampuan berpikir kritis
Menurut Browne dan keeley dalam Johnson (2011: 183) kemampuan
berpikir dengan jelas dan imajinatif, menilai bukti, bermain logika dan mencari
alternatif dari ide-ide konvensional, akan memberi anak-anak muda dalam sebuah
rute yang jelas ditengah carut marut pemikiran pada zaman teknologi saat ini.
Kemampuan berpikir kritis merupakan suatu proses dimana individu sanggup dan
memiliki kecakapan dalam berpikir ketingkat yang lebih tinggi. Kemampuan
berpikir kritis tentunya menjadi bagian terpenting sebagai dasar untuk
memecahkan setiap masalah lewat informasi yang diterima.
Robert Duron et. al dalam International Journal of Teaching and
Learning in Higher Education mengatakan terdapat lima langkah untuk
mengarahkan siswa untuk berpikir kritis dalam pelajaran, yaitu Step 1, Determine
Learning Objectives; Step 2, Teach Through Questioning; Step 3, Practice Before
You Asses; Step 4, Review, Refine, and Improve; Step 5, Provide Feedback and
Asessment of Learning (Langkah 1, Tentukan Tujuan belajar; Langkah 2, Ajarkan
Melalui bertanya; Langkah 3, Berlatih sebelum diberikan penilaian; Langkah 4,
beri Ulasan, Pertajam, dan tingkatkan; Langkah 5, Memberikan Feedback dan
Penilaian Belajar). Dengan demikian siswa dapat dilatih kemampuan berpikir
kritisnya. Dalam proses pembelajaran khususnya pembelajaran sejarah,
kemampuan berpikir kritis menjadi suatu hal yang tidak dapat dipisahkan
khususnya pada pembelajaran sejarah di SMA, hal ini dikarenakan pembelajaran
sejarah merupakan suatu pembelajaran yang mencoba menggali dampak dari
sebuah peristiwa sejarah berdasarkan hubungan kausalnya dan siswa SMA sudah
dapat berpikir tingkat tinggi.
Zaini (2008) memberikan pandangan tentang tujuan pembelajaran untuk
meningkatkan kemampuan berpikir kritis, yaitu:
1) Mengembangkan kecakapan menganalisis.
2) Mengembangkan kemampuan yang masuk akal dari pengamatan
3) Memperbaiki kecakapan menghafal
4) Mengembangkan kecakapan strategi, dan kebiasaan belajar
5) Belajar tema-tema/istilah/fakta
29
6) Belajar konsep-konsep dan teori-teori
7) Meningkatkan kecakapan mengurangi elemen-elemen yang ada di dalam tema-
tema dan fakta-fakta imu pengetahuan
8) Meningkatkan kecakapan menjabarkan unsur-unsur yang ada dalam sebuah
teori ilmu pengetahuan.
Dalam berpikir kritis, peserta didik dituntut untuk menggunakan startegi
kognitif tertentu yang tepat untuk menguji kendala, gagasan pemecahan masalah,
dan mengatasi kesalahan atau kekurangan (Syah, 2008: 120). Dengan kemampuan
menggunakan strategi berpikir kritis, segala bentuk gagasn yang dikeluarkan
setelah melalui proses berpikir akan terasa sangat memuaskan dan terorganisir.
Menurut Ennis dalam Costa (1985:55) indikator kemampuan berpikir
kritis dapat ditururnkan dari aktivitas kritis peserta didik meliputi:
1) Mencari pernyataan yang jelas dari pertanyaan
2) Mencari alasan
3) Berusaha mengetahui informasi dengan baik
4) Memakai sumber yang memiliki kredibilitas
5) Memerhatikan situasi dan kondisi secara keseluruhan
6) Berusaha tetap relevan dengan ide utama
7) Mengingat kepentingan yang asli dan mendasar
8) Mencari alternatif
9) Bersikap dan berpikir terbuka
10) Mengambil posisi ketika ada bukti yang cukup untuk melakukan sesuatu
11) Mencari penjelasan sebanyak mungkin
12) Bersikap secara sistematis dan teratur dengan bagian dari keseluruhan
masalah
Berdasarkan pemaparan di atas dapat ditarik suatu indikator dalam
kemampuan berpikir kritis yang akan dipakai dalam penelitian ini, yaitu:
1) Mampu memahami informasi
2) Mampu menganalisis informasi
3) Mampu menyimpulkan berbagai informasi
30
4. Motivasi Belajar
a. Pengertian Motivasi
Motivasi berasal dari kata latin movere yang berarti dorongan atau
daya penggerak. Motivasi ini hanya diberikan kepada manusia, khususnya
kepada para bawahan atau pengikut (Hasibuan, 2005 : 92). Menurut Luthans
dalam Thoha (2007:207), motivasi terdiri dari tiga unsur, yakni kebutuhan
(need), dorongan (drive), dan tujuan (goals). Motivasi, kadang- kadang
istilah ini dipakai silih berganti dengan istilah-istilah lainnya, seperti misalnya
kebutuhan (need), keinginan (want), dorongan (drive), atau impuls.
Motivasi berkaitan dengan upaya seseorang untuk mendorong orang
lain atau kelompok orang dengan menumbuhkan semangat untuk melakukan
kegiatan. Menurut Harsey dan Balanchard dalam http:’’iwanps.wordpress.com,
motivasi adalah kegiatan untuk menumbuhkan situasi yang secara langsung
dapat mengarahkan dorongan-dorongan yang ada dalam diri seseorang kepada
kegiatan-kegiatan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Sedangkan
Purwanto (2004:64-65) memberikan arti bahwa apa yang diperbuat
manusia,yang penting maupun kurang penting,yang berbahaya maupun yang
tidak mengandung resiko, selalu ada motivasinya.
Berkaitan dengan proses belajar siswa, motivasi belajar
sangatlah diperlukan. Motivasi mempunyai peranan penting dalam proses belajar
mengajar baik bagi guru maupun siswa. Bagi guru mengetahui motivasi belajar
dari siswa sangat diperlukan guna memelihara dan meningkatkan semangat
belajar siswa. Bagi siswa motivasi belajar dapat menumbuhkan semangat belajar
sehingga siswa terdorong untuk melakukan perbuatan belajar. Siswa melakukan
aktivitas belajar dengan senang hati karena didorong motivasi. Dengan adanya
motivasi yang tinggi yang ada dalam diri siswa-siswa, maka akan menumbuhkan
keikhlasan dalam belajar dan kesadaran bahwa belajar adalah hal yang sangat
penting bagi mereka dan untuk masa depan mereka sendiri di hari kelak.
Bahkan motivasi yang tinggi akan menjadikan mereka mempunyai tekad
yang kuat untuk belajar dan bersedia menghadapi segala kesulitan-
31
kesulitan yang datang dalam kegiatan belajar para siswa.
Motivasi sangat erat hubungannya dengan kebutuhan, sebab memang
motivasi muncul karena kebutuhan. Seseorang akan terdorong untuk
bertindak manakala dalam dirinya ada kebutuhan. Oleh karena itu motivasi
siswa untuk belajar sangat penting terhadap proses pembelajaran, dan
tentunya motivasi yang tinggi dalam belajar akan meningkatkan kualitas
siswa itu sendiri yang berupa prestasi belajarnya.
Peserta didik yang motif belajarnya lebih bersifat di dalam diri sedangkan
pada orang lain bersifat ekstrinsik hal ini karena adanya:
1) Faktor Individual
Penelitian Harter dalam Hawadi (2004: 45) pada siswa berdasarkan
dimensi instrinsik dan ekstrinsik menunjukkan bahwa hanya siswa yang
mempersepsikan dirinya untuk berkompetensi dalam bidang akademis yang
mampu mengembangkan motivasi intrinsik. Siswa ini lebih menyukai tugas yang
menantang dan berusaha mencari kesempatan untuk memuaskan rasa ingin
tahunya. Sebaliknya, siswa dengan persepsi diri yang rendah, lebih menyukai
tugas-tugas yang mudah dan sangat tergantung pada pengarahan guru. Yang
termasuk faktor individual antara lain pengaruh orang tua. Dari penelitian Ames
dan Acter (Hawadi, 2004:45) terlihat bahwa pada ibu yang amat menekankan nilai
rapor pada anaknya, motivasi yang berkembang lebih ke arah ekstrinsik,
sedangkan ibu yang lebih mengutamakan bagaimana anaknya bekerja dan melihat
bahwa keberhasilan adalah hasil usaha, maka motivasi yang berkembang lebih ke
arah intrinsik.
2) Faktor Situasional
Besar kecilnya kelas berpengaruh terhadap pembentukan ragam motivasi
siswa. Kelas yang besar cenderung bersifat formal, penuh persaingan dan kontrol
dari guru. Dengan setting seperti ini maka setiap siswa cenderung menekankan
pentingnya kemampuan bukan pada penguasaan bahan pelajaran (Hawadi, 2004:
45-46). Motivasi belajar seseorang akan tercermin pada perilaku. Ada beberapa
ciri yang menjadi indikator orang yang memiliki motivasi belajar yang tinggi.
Individu yang motif belajar tinggi akan menampakkan tingkah laku dengan ciri-
32
ciri menyenangkan pekerjaan-pekerjaan yang menuntut tangung jawab pribadi,
memilih pekerjaan yang resikonya sedang (moderat), mempunyai dorongan
sebagai umpan balik (feed back) tentang perbuatannya dan berusaha melakukan
sesuatu dengan cara-cara kreatif. Dapat disimpulkan bahwa terdapat empat buah
karakteristik yang membedakan antara seseorang yang motivasi belajarnya rendah
dengan orang yang yang motivasi belajarnya tinggi. Motivasi belajar siswa akan
terlihat pada sikap perilaku pada kehidupan sehari-hari antara lain dapat
dijabarkan bagaimana keaktifannya dalam belajar untuk mencapai prestasi, dalam
menyelesaikan tugas, pemanfaatan waktu luang dan waktu libur serta bagaimana
ia bersikap untuk mengatasi hambatan belajar.
Ciri-ciri orang yang memiliki motivitasi tinggi, akhirnya dapat
dinyatakan bahwa individu akan mempunyai motivasi belajar tinggi akan
mempersepsikan bahwa keberhasilan adalah merupakan akibat dari kemauan dan
usaha. Sedangkan individu yang memiliki motivasi belajar rendah akan
mempersepsikan bahwa kegagalan adalah sebagai akibat kurangnya kemampuan
dan tidak melihat usaha sebagai penentuan keberhasilan.
b. Fungsi Motivasi dalam Pembelajaran
Segala aktivitas yang dilakukan oleh manusia untuk menghasilkan
sesuatu muncul karena adanya suatu dorongan dalam diri atau motivasi. Seperti
halnya dengan belajar, adanya suatu keinginan untuk berhasil dalam belajar dalam
setiap diri individu akan memunculkan semangat yang kuat. Maka dalam hal ini
hasil belajar akan menjadi bagus dan optimal karena adanya motivasi belajar. Jadi,
dapat diambil suatu kesimpulan bahwa motivasi belajar akan muncul apabila ada
suatu tujuan yang ingin dicapai.
Suprijono (2012: 163) memaparkan fungsi dari motivasi belajar sebagai
berikut:
1. Mendorong peserta didik untuk berbuat. Motivasi sebagai pendorong atau
motor dari setiap kegiatan belajar.
2. Menentukan arah kegiatan pembelajaran yakni ke arah tujuan belajar yang
hendak dicapai. Motivasi belajar memberikan arah dan kegiatan yang harus
dikerjakan sesuai dengan rumusan tujuan pembelajaran.
33
3. Menyelesaikan kegiatan pembelajaran, yakni menentukan kegiatan-kegiatan
apa yang harus dikerjakan yang sesuai guna mencapai tujuan pembelajaran
dengan menyeleksi kegiatan-kegiatan yang tidak menunjang bagi pencapaian
tujuan tersebut.
Selain ketiga fungsi motivasi belajar yang telah dipaparkan di atas,
motivasi juga sebagai pendorong adanya usaha dan pencapaian prestasi belajar.
Adanya motivasi yang baik dalam belajar maka akan menunjukan hasil yang baik
pula.
c. Motivasi dalam proses pembelajaran
Belajar dan motivsi merupakan dua hal yang saling mempengaruhi. Jika
individu merasa senang dengan proses pembelajaran maka memungkinkan
meningkatnya motivasi belajarnya. Hal ini disebabkan siswa tersebut merasa
senang melakukannya. Juga sebaliknya, apabila pembelajaran yang dilakukan
terasa sangat membosankan, maka motivasi dari siswa tersbut akan melemah.
Menurut Santrock (2010: 514), motivasi untuk meraih sesuatu terdiri atas
dua hal, yaitu motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik adalah
motivasi internal untuk melakukan sesuatu demi sesuatu itu sendiri. Misalnya
ketika siswa belajar sebelum melaksanakan ujian karena siswa tersebut menyukai
pelajaran yang di ujikan tersebut. Motivasi ekstrinsik adalah suatu dorongan dari
luar diri untuk melakukan sesuatu untuk mendapatkan suatu yang lain. Hal ini
misalnya dipengaruhi oleh sebuah imbalan atau hukuman. Motivasi intrinsik
adalah motivasi internal untuk melakukan sesuatu demi sesuatu itu sendiri.
Misalnya ketika peserta didik belajar sebelum menghadapi ujian yang disebabkan
peserta didik tersebut menyenangi pelajaran tersebut.
Johnson and Johnson dalam Hom, H. L The Journal of Genetic
Psychology memaparkan bahwa Motivasi intrinsik menjadi motivasi yang melekat
pada tugas akademik yang relevan untuk belajar siswa. Selain itu juga perlu
adanya penekanan yang berarti dan umpan balik yang menandakan kompetensi.
Dengan demikian motivasi belajar dapat timbul karena faktor dari dalam
dan dari luar. Faktor dari dalam dapat berupa keinginan untuk berhasil dan
dorongan untuk belajar, harapan dan cita-cita. Sedangkan factor dari luar adalah
34
adanya penghargaan, dorongan dari orang tua dan teman-teman kegiatan belajar
yang menarik dan suasnan belajar yang kondusif.
Slameto (2010: 23) memaparkan empat faktor yang mempengaruhi
motivasi belajar. Empat faktor tersebut yaitu: 1) Kebutuhan untuk berbuat sesuatu,
terdorong untuk melakukan aktivitas belajar karena menyadari arti pentingnya
belajar. 2) Kebutuhan untuk menyenangkan orang lain, adanya kegiatan yang kuat
untuk membuat senang orang yang telah mendukung dalam belajar. 3) berupaya
semaksimal mungkin untuk mendapatkan hasil yang memuaskan dari proses
belajar. 4) Kebutuhan untuk mengatasi kesulitan, adanya dorongan untuk berusaha
memecahkan masalah yang berkaitan dengan kesulitan belajar yang dihadapi.
Selanjutnya menurut Uno (2008: 27), terdapat beberapa peranan penting
dari motivasi dalam belajar dan pembelajaran, hal tersebut yaitu: 1). Menentukan
hal-hal yang dapat dijadikan penguat belajar, 2). Memperjelas tujuan belajar yang
hendak dicapai, 3). Menentukan ragam kendali terhadap rangsangan belajar, 4).
Menentukan ketekunan belajar. Sardiman (2009: 81) mengemukakan indikator
motivasi belajar, yaitu:
1) Tekun menghadapi tugas;
2) Ulet menghadapi kesulitan;
3) Menunjukkan minat terhadap macam-macam masalah orang dewasa;
4) Lebih senang bekerja mandiri;
5) Dapat mempertahankan pendapatnya.
Selain pendapat Sardiman di atas, adapun indikator motivasi belajar
menurut Uno (2008: 31) diklasifikasikan sebagai berikut:
1) Adaya hasrat dan keinginan berhasil
2) Adanya dorongan dan kebutuhan dalam belajar
3) Adanya harapan dan cita-cita masa depan
4) Adanya penghrgaan dalam belajar
5) Adanya kegiatan yang menarik dalam belajar
6) Adanya lingkungan yang kondusif sehingga memungkinkan peserta didik dapat
belajar dengan baik.
35
Apabila seseorang memiliki ciri-ciri seperti di atas, maka ia memiliki
motivasi yang kuat dalam belajar. Motivasi merupakan suatu dorongan yang
memberikan suatu kekuatan bagi peserta didik untuk mencapai suatu tujuan. Dari
bebagai uraian penjelasan yang telah di paparkan di atas, maka dalam penelitian
ini akan dilihat beberapa indikator untuk mengetahui motivasi belajar siswa:
1) Ketekunan
2) Percaya Diri
3) Minat
4) Belajar Mandiri
5) Mempertahankan Pendapat
6) Hasrat
7) Kepedulian
8) Adanya Dorongan
Berdasar indikator di atas, diharapkan guru dapat meningkatkan motivasi
belajar peserta didik dengan mengidentifikasi kebutuhan peserta didik dan
merancanakan model pembelajaran yang tepat.
B. Penelitian Relevan
Terdapat penelitian yang sudah dilakukan menggunakan model
pembelajaran PBL dan GI. Penelitian tersebut antara lain:
1. Elok Kusuma Dewi & Oksiana Jatiningsih. 2015. Pengaruh Penggunaan
Model Pembelajaran Problem Based Learning terhadap Kemampuan Berpikir
Kritis Siswa pada Mata Pelajaran PPKn kelas x di SMAN 22 Surabaya dalam
Jurnal Kajian Moral dan Kewarganegaraan Volume 02 Nomor 03 Tahun
2015. Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan jika
keterlaksanaan pembelajaran pada kelas Problem Based Learning (PBL)
menunjukkan nilai rata-rata dari empat kali pengamatan sebesar 84.37 dengan
kategori keterlaksanaan dengan sangat baik, sedangkan untuk kelas yang
menggunakan model pembelajaran langsung mendapatkan nilai rata-rata
sebesar 74.99. Lalu untuk aktivitas belajar siswa yang menggunakan model
pembelajaran Problem Based Learning lebih aktif dibandingkan dengan
menggunakan model pembelajaran ceramah bervariasi, yaitu sebesar 85,30
36
untuk kelas eksperimen dan 77,08 untuk kelas kontrol. Dari hasil analisis pada
hasil belajar menunjukan bahwa t hitung sebesar -34.481 dengan nilai t tabel -
1,688 pada taraf signifikansi α = 0.05. Dari hasil tersebut didapat bahwa t
hitung < -t tabel sehingga disimpulkan jika hasil penelitian ini menolak Ho dan
menerima Ha. Yang diartikan terdapat pengaruh penggunaan model Problem
Based Learning dengan metode ceramah bervariasi dalam meningkatkan
kemampuan berpikir kritis siswa.
2. Kd. Urip Astika dkk. 2013. Pengaruh Model Berbasis Masalah Terhadap
Sikap Ilmiah dan Keterampilan Berpikir Kritis dalam Jurnal Pascasarjana
Universitas Ganesha Volume 3 Tahun 2013. Penelitian ini menunjukkan: 1)
Terdapat perbedaan sikap ilmiah dan keterampilan berpikir kritis antara siswa
yang belajar menggunakan model pembelajaran berbasis masalah dengan siswa
yang belajar menggunakan model pembelajaran ekspositori (F=19,630;
p<0,05). 2) Terdapat perbedaan sikap ilmiah antara siswa yang belajar
menggunakanmodel pembelajaran berbasis masalah dengan siswa yang belajar
menggunakan model pembelajaran ekspositori (F= 12,778 ; p < 0,05). 3)
Terdapat perbedaan keterampilan berpikirkritis antara siswa yang belajar
menggunakan model pembelajaran berbasis masalah dengan siswa yang belajar
menggunakan model pembelajaran ekspositori (F =23,129; p < 0,05).
3. Suprapto. 2014. Pengaruh Model Pbl Dan Model Kooperatif Gi Terhadap
Prestasi Belajar Ditinjau Dari Motivasi Belajar Dan Kreativitas Belajar Siswa
(Studi Pada Materi Bioteknologi Kelas Xii Semester 2 Sma Negeri I Gondang
Kabupaten Sragen Tahun Peajaran 2013/2014. Tesis UNS. Hasil penelitian ini
terhadap prestasi belajar Biologi adalah 1) ada pengaruh model pembelajaran
PBL dan GI dengan hasil prestasi belajar pada PBL lebih tinggi daripada GI, 2)
ada pengaruh motivasi belajar terhadap prestasi belajar kognitif, tetapi tidak
mempengaruhi prestasi belajar afektif dan psikomotor, 3) ada pengaruh
kreativitas belajar terhadap prestasi belajar kognitif, tetapi tidak mempengaruhi
prestasi belajar afektif dan psikomotor, 4) tidak ada interaksi motivasi belajar
dengan model pembelajaran, 5) tidak ada interaksi kreativitas belajar dengan
model pembelajaran, 6) interaksi motivasi belajar dengan kreativitas belajar
37
mempengaruhi prestasi belajar afektif, tetapi tidak mempengaruhi prestasi
belajar kognitif dan psikomotor, 7) tidak ada interaksi model pembelajaran,
motivasi belajar dan kreativitas belajar.
4. Ubayu Wahyuning Awi Gangga. 2014. Eksperimentasi Model Problem Based
Learning (Pbl) Dan Model Group Investigation (Gi) Dalam Pembelajaran
Matematika Materi Bangun Ruang Sisi Datar Ditinjau Dari Sikap Percaya
Diri Siswa Kelas Viii Smp Se-Kabupaten Madiun Tahun Pelajaran 2013/2014.
Tesis UNS. Hasil penelitian ini adalah: (1) model GI memberikan prestasi
belajar matematika yang lebih baik daripada model PBL dan pembelajaran
langsung, model PBL memberikan prestasi belajar matematika yang lebih baik
daripada pembelajaran langsung; (2) prestasi belajar matematika siswa dengan
sikap percaya diri tinggi lebih baik daripada siswa dengan sikap percaya diri
sedang maupun rendah, tetapi prestasi belajar matematika siswa dengan sikap
percaya diri sedang sama dengan siswa dengan sikap percaya diri rendah; (3)
pada siswa dengan sikap percaya diri tinggi, model PBL sama efektifnya
dengan model GI, model PBL dan GI memberikan prestasi yang lebih baik
daripada model pembelajaran langsung, sedangkan pada siswa dengan sikap
percaya diri sedang dan rendah, model PBL memberikan prestasi yang sama
baiknya dengan model GI dan model pembelajaran langsung; (4) pada model
PBL, sikap percaya tinggi memiliki prestasi yang lebih baik daripada sikap
percaya diri rendah, sikap percaya diri tinggi memiliki prestasi yang sama
dengan sikap percaya diri sedang, sikap percaya diri sedang memiliki prestasi
yang sama dengan sikap percaya diri rendah, sedangkan pada model GI dan
pembelajaran langsung ketiga kategori sikap percaya diri memiliki prestasi
yang sama.
5. Anis Yuliastutik. 2010. Penerapan model pembelajaran problem based
learning dengan media Video Campact Disk (vcd) dalam upaya meningkatkan
motivasi belajar dan kemampuan berpikir kritis mahasiswa (studi kasus di
AKPER Rustida Banyuwangi). Tesis UNS. Hasil penelitian menunjukkan 1)
Penerapan model pembelajaran problem based learning dengan media Video
Campact Disk (VCD) dalam upaya meningkatkan kemampuan berpikir kritis
38
pada mata kuliah kebutuhan dasar manusia II dapat meningkatkan motivasi
belajar mahasiswa dari rata – rata 65 dengan ketuntasan klasikal 55 % menjadi
rata – rata motivasi belajar mahasiswa ≥ 80 dengan ketuntasan klasikal 90 %
dan 2) dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis mahasiswa dari rerata 8
dengan ketuntasan klasikal 56 % pada siklus I menjadi rerata kemampuan
berpikir kritis mahasiswa 18 klasikal sebesar 82 % pada siklus II Kesimpulan
dalam penelitian ini adalah penerapan model pembelajaran problem based
learning dengan media Video Campact Disk (VCD) dapat meningkatkan
motivasi belajar dan kemampuan berpikir kritis mahasiswa, sehingga model
pembelajaran ini dapat dijadikan alternatif pilihan pada strategi pembelajaran
materi kebutuhan dasar manusia.
C. Kerangaka Berpikir
1. Perbedaan Pengaruh Model PBL Dan GI Terhadap Kemampuan berpikir
Kritis
Dalam proses pembelajaran banyak model-model pembelajaran yang
digunakan. Model pembelajaran adalah kegiatan guru dalam proses belajar
mengajar yang dapat memberikan kemudahan atau fasilitas kepada siswa. Dalam
kegiatan pembelajaran, guru tidak harus terpaku pada satu model pembelajaran,
melainkan dapat menggunakan model pembelajaran yang tidak membosankan
bagi peserta didik.
Model Problem Based Learning (PBL) merupakan model pembelajaran
yang awali dengan menghadirkan suatu masalah kepada peserta didik, peserta
didik kemudian menyelesaikan permasalahan tersebut untuk menemukan suatu
pengetahuan baru. Model Problem Based Learning (PBL) ini menekankan pada
proses kognitif peserta didik atau dengan kata lain peserta didik dituntut untuk
berpikir secara mendalam dengan melakukan penyelidikan-penyelidikan terhadap
masalah-masalah yang ada. Jadi peserta didik dituntut untuk menyelesaikan suatu
masalah untuk menemukan pengetahuan baru yang berguna.
Model Group Investigation (GI) ini menenkankan pada partisipasi dan
aktivitas siswa untuk mencari sendiri materi atau segala sesuatu mengenai materi
39
pembelajaran yang akan dipelajari. Sehingga peserta didik dituntut untuk mencari
suatu permasalah sendiri untuk diteliti dan dicari solusinya.
Kedua model pembelajaran di atas menuntut adanya suatu kemampuan
berpikir tingkat lanjut pada peserta didik. Hal ini sesuai dengan tuntutan sekarang,
yang mana pada era globalisasi sekarang kita harus memiliki kemampuan untuk
memiliah-milah informasi yang masuk. Sehingga dengan pembelajaran
menggunakan kedua model ini diharapkan untuk menumbuhkan kemampuan
berpikir kritis peserta didik.
2. Perbedaan Pengaruh Motivasi Belajar Terhadap Kemampuan Berpikir
Kritis
Motivasi mempunyai peranan penting dalam proses belajar mengajar
baik bagi guru maupun siswa. Bagi guru mengetahui motivasi belajar dari siswa
sangat diperlukan guna memelihara dan meningkatkan semangat belajar siswa.
Misalkan apabila ada beberapa siswa yang diketahui mempunyai motivasi yang
rendah pada mata pelajaran tertentu dikarenakan penggunaan metode yang kurang
bisa diterima oleh siswa-siswanya, maka bagi seorang guru dengan menetahui
tanda-tanda siswa-siswanya tidak bermotivasi dalam mengikuti kegiatan belajar
mengajar, guru tersebut akan mengintrospeksi diri dengan metode yang digunakan
dan akan memperbaiki metode yang digunakan atau bahkan akan menggunakan
metode lain untuk menumbuhkan motivasi belajar siswa-siswanya.
Bagi siswa motivasi belajar dapat menumbuhkan semangat belajar
sehingga siswa terdorong untuk melakukan perbuatan belajar. Untuk mencapai
pemahaman yang mendalam, motivasi tinggi dari peserta didik sangat
berpengaruh mengingat motivasi yang tinggi akan mendorong peserta didik untuk
mengetahui lebih dalam lagi suatu informasi baik dari luar maupun dalam proses
pembelajaran di kelas. Rasa keingintahuan yang tinggi menjadikan peserta didik
diajak untuk berfikir sehingga akan mendapatkan sebuah pemahaman dari
informasi yang diterimanya. Dengan pemahaman yang diterimanya, membuat
peserta didik dapat mengungkapkan makna dibalik suatu kejadian (informasi)
yang berujung pada peningkatan kemampuan berpikir kritis peserta didik.
40
3. Interaksi Pengaruh Antara Model Pembelajaran Dan Motivasi Belajar
Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis
Pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran menjadikan
proses pembelajaran lebih menarik dan mengesankan. Dengan menerapkan model
Problem Based Learning (PBL) dan Group Investigation (GI) peserta didik diberi
kesempatan untuk melakukan penelitian dan menemukan sendiri jalan keluar atas
masalah yang ada. Selain itu peserta didik menemukan sendiri pengetahuannya
yang berujung pada pemahaman dari suatu materi atau informasi yang diajarkan.
Dengan model pembelajaran ini, bertujuan untuk menghindari proses belajar yang
pasif. Dalam model Problem Based Learning (PBL) dan Group Investigation (GI)
guru tidak menjadi dominan dalam proses pembelajaran, namun peserta didik ikut
terlibat menggali pengetahuan dan peserta didik sendiri yang mengembangkan
sebuah materi agar menjadi bermakna.
Motivasi dan belajar merupakan dua hal yang saling mempengaruhi.
Oleh karena itu, kegiatan belajar bermakna dan menyenangkan akan
menumbuhkan motivasi belajar yang tinggi pada peserta didik. Dalam belajar,
dengan motivasi yang tinggi maka seseorang akan terdorong untuk melakukan
kegiatan belajar. Apabila demikian, maka peserta didik akan selalu berusaha
untuk mendapatkan informasi baru. Dari penjelasan di atas, maka model
pembelajaran akan menumbuhkan motivasi belajar pada peserta didik. Pada saat
motivasi itu tumbuh, maka ada dorongan untuk mencari dan mengetahui
informasi baru. Pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran akan
menjadikan informasi atau materi diolah dan lebih bermakna pada proses belajar.
41
Gambar 2. 1 Skema Kerangka Berpikir
D. Hipotesis
Berdasarkan kerangka berpikir di atas, maka dalam penelitian ini diajukan
hipotesis sebagai berikut :
1. Ada perbedaan pengaruh antara model Problem Based Learning (PBL) dan
Group Investigation (GI) terhadap prestasi belajar sejarah siswa kelas XI
SMAN Kota Martapura.
2. Ada perbedaan pengaruh antara motivasi belajar tinggi dan motivasi belajar
rendah terhadap kemampuan berpikir kritis siswa kelas XI SMAN Kota
Martapura.
3. Ada interaksi pengaruh antara penggunaan model pembelajaran dan motivasi
belajar terhadap kemampuan berpikir kritis siswa kelas XI SMAN Kota
Martapura.
Model PBL
Motivasi Tinggi
Model PBL
Motivasi Rendah
Model GI
Motivasi Tinggi
Model GI
Motivasi Rendah
ProsesPembelajaran
KemamapuanBerpikir Kritis
Recommended