View
223
Download
1
Category
Preview:
Citation preview
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Eksplorasi
1. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Eks.plo.ra.si /éksplorasi/ n penjelajahan lapangan dng tujuan memperoleh
pengetahuan lebih banyak (tt keadaan), terutama sumber-sumber alam
yang terdapat di tempat itu; penyelidikan; penjajakan: --sumber minyak di
daerah lepas pantai sedang giat dilakukan.
2. Menurut Random House Unabridged Dictionary,
d. an act or instance of exploring or investigating; examination.
e. the investigation of unknown regions.
3. Eksplorasi yang dilakukan dalam rangka menunjang hasil akhir dari karya
ini adalah eksplorasi ragam hias yaitu pengolahan bentuk 2 dimensi.
Kemudian hasil eksplorasi bentuk tersebut dijadikan objek untuk
melakukan eksplorasi selanjutnya, yaitu eksplorasi penerapan pada kain
dengan menggunakan 2 teknik desain dalam tekstil, yaitu surface
designing berupa teknik sablon, bordir dan sulam tangan dan structure
designing berupa teknik tenun menggunakan Alat Tenun Bukan Mesin
(ATBM)
2.2 Tenun
1. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
te.nun n hasil kerajinan yang berupa bahan (kain) yang dibuat dari
benang (kapas, sutra, dsb) dengan cara memasuk-masukkan pakan
secara melintang pada lungsin.
2. Menurut buku Lurik, Sejarah, Fungsi dan Artinya Bagi Masyarakat
oleh Wahyono Martowikrido,
Proses menenun ialah proses pengerjaan dari bahan berupa kapas
sampai menjadi kain. Proses tersebut dapat dibagi menjadi tiga bagian
yaitu:
a. Membuat benang dari kapas
b. Persiapan menenun
c. Menenun
Pembuatan kain telah dikenal sejak jaman prasejarah, bersamaan
dengan timbulnya peradaban manusia. Mula-mula kain dibuat dari kulit-kulit
alam, baik dari binatang maupun tumbuh-tumbuhan. Cara pembuatannya sangat
primitif yaitu dengan cara memukul-mukul kulit kayu agar menjadi lemas
sehingga dengan cara ini kulit kayu tersebut dapat menjadi selembar kain tetapi
tidak cukup kekuatannya. Kemudian timbul pemikiran manusia untuk
menganyam bahan-bahan yang menpunyai cukup kekuatan, dengan tangan
seperti akar-akaran, rumput-rumputan dan sebagainya sebagai benang yang
dikenal sekarang, dan kemudian dengan alat tenun yang sangat sederhana.
Meskipun perkembangan alat tenun sampai sekarang begitu pesatnya, namun
prinsipnya tidak berubah sejak pertama kali orang mengenal alat ini. Demikian
pula maca kain tenun yang begitu banyak ragam sekarang ini, namun anyaman
kain yang dikenal orang untuk pertama kali masih mendasari anyaman-anyaman
kain yang banyak dijumpai masa kini.
Kain tenun banyak macamnya dan penggunaanya tidak terbatas untuk
keperluan sandang saja, maka penggolongannya dapat bermacam-macam.
Penggolongan kain tenun dapat didasarkan menurut:
1. Anyamannya, misalnya kain dengan anyaman polos, kain dengan anyaman
keper, kain dengan anyaman satin dan sebagainya.
2. Pemakaiannya, misalnya kain untuk sandang atau pakaian, kain untuk
keperluan rumah tangga seperti gorden, sprei, sarung bantal dan sebagainya,
kain untuk keperluan militer seperti kain parasut, kain kanvas, ikat pinggang
dan sebagainya; kain untuk keperluan industri seperti kain belt (ban), karung
goni dan sebagainya.
3. Beratnya, misalnya kain ringan yang beratnya sampai 60 g/m², kain menengah
yang beratnya 60 – 140 g/m², kain setengah berat yang beratnya 140 – 200
g/m² dan kain berat yang beratnya lebih dari 200 g/m².
2.3 Kain Tradisi Indonesia
Menurut para ahli sejarah, sejak jaman Neolithikum di Indonesia telah
mengenal cara membuat pakaian. Dari alat-alat peninggalan jaman itu dapat
diketahui bahwa kulit kayu merupakan pakaian manusia pada jaman prasejarah
di Indonesia. Alat tersebut berupa alat pemukul kulit kayu yang terbuat dari
batu, seperti yang terdapat pada koleksi Prasejarah di Museum Pusat Jakarta.
Disamping pakaian dari kulit kayu, dikenal juga pakaian dari kulit
binatang yang pada umumnya dipakai oleh laki-laki sebagai pakain untuk
upacara ataupun pakaian untuk perang.
Menurut dugaan, sejak jaman prasejarah nenek motang bangsa
Indonesia juga sudah mengenal teknik menenun. Dugaan ini diperkuat dengan
adanya penemuan pecahan tembikar dari jaman prasejarah, yang didalamnya
terdapat bentuk hiasan yang terbuat dari kain tenun kasar.
Dewasa ini macam-macam kain tradisi Indonesia masih terpelihara
pembuatannya diberbagai daerah, walaupun teknik dan peralatan yang
digunakan masih sangat sederhana. Ragam hias yang terdapat pada kain tradisi
ini pada umumnya sangat erat sangkut pautnya dengan adat istiadat, bentuk
masyarakat, dan cara pembuatannya. Dari segi teknis dapat dinyatakan bahwa:
1. Anyaman polos merupakan anyaman yang dominan, walaupun
beberapa daerah menghasilkan kain dengan anyaman jenis lain yang
cukup rumit.
2. Bahan baku yang digunakan adalah benang kapas, benang sutra,
benang sintetik, filamen, benang logam terutama benang emas dan
perak.
3. Peralatan yang digunakan untuk menenun sangat sederhana, tetapi
menggunakan teknik yang cukup tinggi nilainya.
Jenis ragam hias paa kain mempunyai peranan yang sangat penting
dalam arti maupun seni, karena pada umumnya ragam hias tersebut bukan saja
berfungsi sebagai hiasan, tetapi juga mempunyai arti sebagai simbol atau
lambang yang sanagt erat hubungannya dengan kepercayaan.
Seni ragam hias pada kain tradisi Indonesia sangat dipengaruhi oleh kebudayaan
jaman Neolithikum dan juga kebudayaan perunggu yang dikenal sebagai
kebudayaan Dong-Son. Tetapi disamping itu, dipengaruhi pula oleh kebudayaan
dari Cina, India dan Arab.
Dengan alasan-alasan diatas, maka untuk mempelajari seni ragam hias
apada kain tradisi Indonesia secra mendalam, diperlukan juga pengetahuan-
pengetahuan dari berbagai macam disiplin ilmu, antara lain sejarah, sosial,
antropologi, seni dan lainnya.
Jenis kain tradisi Indonesia pada umumnya dibedakan menurut cara
membuatnya. Perbedaan ini tersirat dalam pemberian nama dari tiap jenis kain,
misalnya kain songket, kain tenun ikat, kain batik dan lainnya. Sejalan dengan
cara permbedaan tersebut, maka kain tradisi Indonesia dapat digolongkan
sebagai berikut:
1. Kain tenun ikat
2. Kain songket
3. Kain dengan benang tambahan
4. Kain batik
5. Kain prada
6. Kain sarung
7. Kain kerawang
8. Kain kelim
9. kain dengan dekorasi benda tempelan
2.4 Suku Baduy
Orang Kanekes atau orang Baduy adalah suatu kelompok masyarakat
adat Sunda di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Sebutan "Baduy" merupakan
sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat
tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya
mempersamakan mereka dengan Badawi atau Bedouin Arab yang merupakan
masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah
karena adanya sungai Cibaduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara
dari wilayah tersebut, sedangkan mereka sendiri lebih suka menyebutkan diri
sebagai ‘Urang Kanekes’ atau orang Kanekes sesuai dengan nama wilayah
mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperi
‘Urang Cibeo’ (Garna, 1993).
Orang Badui penduduk Desa Kanekes pada tahun 1984 berjumlah 4.582 jiwa.
Pertambahan jumlah orang Badui tampak lamban, yakni rata-rata sekitar 1 %
per tahun.
2.4.1 Wilayah
Baduy, menghuni sejumlah kampung yang tergabung dalam Desa
Kanekes, di Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Propinsi Jawa Barat.
Desa tersebut terletak sekitar 50 km Rangkasbitung, ibu kota Kabupaten
Lebak.
Kampung-kampung di Desa Kanekes paling sedikit berjumlah 31 buah,
ditambah dengan delapan buah “anak kampung” yang mereka sebut babakan.
Wilayah kediaman orang Baduy ini terbagi menjadi dua, yaitu yang disebut
“Baduy dalam” (Baduy Kejeroan) dan “Baduy Luar” (Baduy Panamping).
Baduy Dalam hanya terdiri dari tiga kampung, yaitu kampung Cikeusik,
Cikertawana, dan Cibeo; kampung-kampung lainnya termasuk wilayah Baduy
Luar. Selain kampung-kampung yang termasuk Baduy Dalam dan Baduy Luar
tersebut, sebenarnya masih ada kampung-kampung lain di luar Desa Kanekes
yang mereka anggap sebagai “tanah titipan leluhur”, tanah buyut atau tanah
dangka. Di tanah titipan leluhur di tempatkan satu keluarga Baduy dengan
sebutan jaro dangka, yang bertuga menjaga daerah titipan tersebut. Namun
tanah dangka ini sekarang hampir tidak dapat lagi dipertahankan karena
banyaknya orang luar yang masuk dan menguasainya.
Dari pusat Kecamatan Leuwidamar, orang dapat menuju Desa Kanekes
dengan kendaraan bermotor sejauh lebih kurang 20 km. Jarak selebihnya harus
ditempuh dengan berjalan kaki sejauh lebih kurang 7 km sampai Kampung
Kadeketuk, yaitu sebuah kampung Baduy Luar. Kampung Kadeketuk adalah
pintu gerbang masuk, dan sekaligus pusat pemerintahan Desa Kanekes.
Luas Desa Kanekes 5.102 km². Wilayahnya berbukit-bukit dengan
lembah berdinding curam yang dilalui beberapa sungai. Keadaan alam seperti
ini menyulitkan orang memasuki wilayah tersebut. Satu kampung dan
kampung lain dihubungkan dengan jalan setapak di medan yang turun naik di
sekitar jalan setapak terdapat huma dan sedikit hutan. Sebagian wilayah
dipenuhi padang alang-alang dan semak belukar, bekas huma yang
ditinggalkan. Hutan lebat masih terdapat di daerah Badui Kejeroan. Hutan ini
memang selalu terpelihara dibawah pimpinan adat yang dinamakan puun,
karena merupakan “hutan larangan” yang dianggap suci. Tabu untuk diganggu
dan tidak boleh dimasuki dengan sembarangan.
Wilayah Kanekes secara geografis terletak pada koordinat 6°27’27” –
6°30’0” LU dan 108°3’9” – 106°4’55” BT (Permana, 2001). Mereka
bermukim tepat di kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan
Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40
km dari kota Rangkasbitung. Wilayah yang merupakan bagian dari
Pegunungan Kendeng dengan ketinggian 300 – 600 m di atas permukaan laut
(DPL) tersebut mempunyai topografi berbukit dan bergelombang dengan
kemiringan tanah rata-rata mencapai 45%, yang merupakan tanah vulkanik (di
bagian utara), tanah endapan (di bagian tengah), dan tanah campuran (di
bagian selatan). suhu rata-rata 20°C.
2.4.2 Bahasa
Bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda dialek Sunda–
Banten. Untuk berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar
menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun mereka tidak mendapatkan
pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang Kanekes 'dalam' tidak mengenal
budaya tulis, sehingga adat istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita nenek
moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja.
Menurut kepercayaan yang mereka anut, orang Kanekes mengaku
keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus
ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam
sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan
keturunannya, termasuk warga Kanekes mempunyai tugas bertapa atau asketik
(mandita) untuk menjaga harmoni dunia.
2.4.3 Asal-Usul
Orang Badui percaya bahwa nenek moyang mereka telah menepati
wilayah Kanekes sejak “jaman Nabi Adam”. Kanekes dianggap sebagai
tempat asal mula manusia dilahirkan di bumi ini. Tempat yang paling pertama
ditempati manusia adalah Kampung Cikeusik, lalu Kampung Cikertawana,
dan akhirnya Cibeo. Dari ketiga kampung ini mereka kemudian menyebar ke
kampung-kampung lainnya. Sudah tentu di luar keyakinan mereka ini, ada
pendapat lain tentang asal usul orang Badui. Ada yang mengatakan bahwa
mereka berasal dari Kerajaan Pajajaran, Bogor. Namun adapula pendapat
bahwa mereka adalah penduduk Banten Utara yang karena faktor sosial politik
tertentu pindah ke selatan, ke daerah Kanekes sekarang.
Pendapat mengenai asal-usul orang Kanekes berbeda dengan pendapat
para ahli sejarah, yang mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis dari
beberapa bukti sejarah berupa prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan
Cina, serta cerita rakyat mengenai 'Tatar Sunda' yang cukup minim
keberadaannya. Masyarakat Kanekes dikaitkan dengan Kerajaan Sunda yang
sebelum keruntuhannya pada abad ke-16 berpusat di Pakuan Pajajaran (sekitar
Bogor sekarang). Sebelum berdirinya Kesultanan Banten, wilayah ujung barat
pulau Jawa ini merupakan bagian penting dari Kerajaan Sunda. Banten
merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung dapat
dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk pengangkutan hasil
bumi dari wilayah pedalaman. Dengan demikian penguasa wilayah tersebut,
yang disebut sebagai Pangeran Pucuk Umum menganggap bahwa kelestarian
sungai perlu dipertahankan. Untuk itu diperintahkanlah sepasukan tentara
kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan berhutan
lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan pasukan
dengan tugasnya yang khusus tersebut tampaknya menjadi cikal bakal
Masyarakat Baduy yang sampai sekarang masih mendiami wilayah hulu
Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut (Adimihardja, 2000). Perbedaan
pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa yang lalu,
identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk
melindungi komunitas Baduy sendiri dari serangan musuh-musuh Pajajaran.
2.4.4 Kepercayaan
Orang Baduy menganut suatu sistem kepercayaan yang tercakup dalam
satu wadah bernama Agama Sunda Wiwitan, artinya “Agama Sunda Pertama”.
Agama ini disebut juga Agama Islam Sunda atau Agama Nabi Adam. Mereka
mengakui adanya Tuhan Yang Maha Esa, yang mereka sebut Batara Tunggal;
mengakui adanya Nabi Adam, Nabi Muhammad, dan Syahadat seperti dalam
agama Islam. Agama mereka antara lain mengajarkan bahwa manusia di dunia
ini tidak boleh mencari kesenangan secara berlebihan, dan harus menganggap
cukup apa yang ada. Hal yang dituju dalam hidup ini adalah kebajikan dan
kebaikan dengan menaati segala ketentuan yang sudah dikodratkan.
Orang Baduy juga mengenal berbagai upacara dalam daur hidup
mereka. Dalam rangka kelahiran seorang bayi, misalnya, seorang ibu harus
bersuci (bebersih) 40 atau 60 hari setelah melahirkan. Anak laki-laki yang
sudah berumur 4-7 tahun harus disunat (mereka menyebutnya nyelamkeun,
artinya “mengislamkan”). Selain itu ada upacara perkawinan dan upacara
kematian. Upacara dalam rangka kematian dilangsungkan selama tujuh hari.
Mereka percaya bahwa setelah tujuh hari, roh si mati langsung menuju surga.
Kepercayaan masyarakat Kanekes yang disebut sebagai Sunda
Wiwitan berakar pada pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme)
yang pada perkembangan selanjutnya juga dipengaruhi oleh agama Buddha,
Hindu, dan Islam. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya
pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari
orang Kanekes (Garna, 1993). Isi terpenting dari 'pikukuh' (kepatuhan)
Kanekes tersebut adalah konsep ‘tanpa perubahan apapun’, atau perubahan
sesedikit mungkin. Tabu tersebut dalam kehidupan sehari-hari
diinterpretasikan secara harafiah. Di bidang pertanian, bentuk pikukuh tersebut
adalah dengan tidak mengubah kontur lahan bagi ladang, sehingga cara
berladangnya sangat sederhana, tidak mengolah lahan dengan bajak, tidak
membuat terasering, hanya menanam dengan tugal, yaitu sepotong bambu
yang diruncingkan. Pada pembangunan rumah juga kontur permukaan tanah
dibiarkan apa adanya, sehingga tiang penyangga rumah Kanekes seringkali
tidak sama panjang. Perkataan dan tindakan mereka pun jujur, polos, tanpa
basa-basi, bahkan dalam berdagang mereka tidak melakukan tawar-menawar.
Objek kepercayaan terpenting bagi Masyarakat Kanekes adalah Arca
Domas, yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. Orang
Kanekes mengunjungi lokasi tersebut untuk melakukan pemujaan setahun
sekali pada bulan Kalima, yang pada tahun 2003 bertepatan dengan bulan Juli.
Hanya puun yang merupakan ketua adat tertinggi dan beberapa anggota
masyarakat terpilih saja yang mengikuti rombongan pemujaan tersebut. Di
kompleks Arca Domas tersebut terdapat batu lumpang yang menyimpan air
hujan. Apabila pada saat pemujaan ditemukan batu lumpang tersebut ada
dalam keadaan penuh air yang jernih, maka bagi masyarakat Kanekes itu
merupakan pertanda bahwa hujan pada tahun tersebut akan banyak turun, dan
panen akan berhasil baik. Sebaliknya, apabila batu lumpang kering atau berair
keruh, maka merupakan pertanda kegagalan panen (Permana, 2003).
Bagi sebagian kalangan, berkaitan dengan keteguhan masyarakatnya,
kepercayaan yang dianut masyarakat adat Kanekes ini mencerminkan
kepercayaan keagamaan masyarakat Sunda secara umum sebelum masuknya
Islam.
2.4.5 Kelompok-kelompok dalam Masyarakat Kanekes
Masyarakat Kanekes secara umum terbagi menjadi tiga kelompok
yaitu tangtu, panamping, dan dangka (Permana, 2001). Kelompok tangtu
adalah yang dikenal sebagai Baduy Dalam, yang paling ketat mengikuti adat,
yaitu warga yang tinggal di 3 kampung (Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik).
Ciri khas Orang Baduy dalam adalah pakaiannya berwarna putih alami dan
biru tua serta memakai ikat kepala putih. Sedangkan kelompok masyarakat
panamping adalah yang dikenal sebagai Baduy Luar yang tinggal di berbagai
kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Baduy Dalam, seperti Cikadu,
Kadu Ketuk, Kadu Kolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. Masyarakat
Baduy Luar berciri khas dengan pakaian hitam dan ikat kepala hitam. Apabila
Baduy Dalam dan Baduy Luar tinggal di wilayah Kanekes, maka Baduy
Dangka tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2 kampung
yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirah Dayeuh (Cihandam).
Kampung Dangka tersebut berfungsi sebagai semacam buffer zone atas
pengaruh dari luar (Permana, 2001).
2.4.6 Pemerintahan
Masyarakat Kanekes mengenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem
nasional, yang mengikuti aturan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan
sistem adat yang mengikuti adat istiadat yang dipercaya masyarakat. Kedua
sistem tersebut digabung atau diakulturasikan sedemikian rupa sehingga tidak
terjadi perbenturan. Secara nasional penduduk Kanekes dipimpin oleh kepala
desa yang disebut sebagai jaro pamarentah, yang ada di bawah camat,
sedangkan secara adat tunduk pada pimpinan adat Kanekes yang tertinggi,
yaitu Puun. Struktur pemerintahan secara adat Kanekes adalah sebagaimana
tertera pada Gambar 1.
Pemimpin adat tertinggi dalam masyarakat Kanekes adalah Puun yang
ada di 3 kampung tangtu. Jabatan tersebut berlangsung turun temurun,
walaupun tidak otomatis dari bapak ke anak, melainkan dapat juga kerabat
lainnya. Jangka waktu jabatan puun tidak ditentukan, hanya berdasarkan pada
kemampuan seseorang memegang jabatan tersebut.
Pelaksana sehari-hari pemerintahan adat 'kapuunan' (kepuunan)
dilaksanakan oleh Jaro, yang dibagi ke dalam empat jabatan, yaitu jaro tangtu,
jaro dangka, jaro tanggungan, dan jaro pamarentah. Jaro tangtu bertanggung
jawab pada pelaksanaan hukum adat pada warga tangtu dan berbagai macam
urusan lainnya. Jaro dangka bertugas menjaga, mengurus, dan memelihara
tanah titipan leluhur yang ada di dalam dan di luar Kanekes. Jaro dangka ini
ada 9 orang, yang apabila ditambah dengan 3 orang jaro tangtu disebut sebagai
jaro duabelas. Pimpinan dari jaro duabelas ini disebut sebagai jaro
tanggungan. Adapun jaro pamarentah secara adat bertugas sebagai
penghubung antara masyarakat adat Kanekes dengan pemerintah nasional,
yang dalam tugasnya dibantu oleh pangiwa, carik, dan kokolot lembur atau
tetua kampung (Makmur, 2001).
Tabel 1.1 Jalur Pemerintahan
2.4.7 Mata Pencaharian
Mata pencaharian pokok orang Badui adalah bercocok tanam di ladang
(huma). Mereka masih melakukan perladangan berpindah-pindah. Musim
tanam berlangsung satu tahun sekali. Setelah tiga kali musim tanam, mereka
meninggalkan tanah itu selama 3-7 tahun. Selama menanam padi ladang,
mereka juga menanam kacang, terong, cabai dan pisang. Tanaman lain yang
mereka manfaatkan hasilnya adalah durian dan rambutan, yang biasa mereka
jual ke luar desa. Mereka tidak mengenal pertanian sawah dengan irigasi.
Pertanian sawah tidak mungkin mereka lakukan karena adanya kepercayaan
yang mengandung beberapa larangan , seperti tidak boleh membelokkan air
atau membendung air. Selain itu, adapula larangan untuk membalikkan tanah,
seperti yang dilakukan orang ketika mencangkul atau membajak sawah. Itulah
sebabnya mereka tidak menggunakan cangkul atau bajak.
Dalam kehidupan sehari-hari, mereka juga menangkap ikan di sungai
dengan kail, bubu, dan jala. Mereka hanya boleh memelihara ayam;
memelihara ternak lainnya adalah tabu. Alat yang mereka gunakan antara lain
golok, alat pelubang kayu (tatah), dan rimbas untuk meratakan kayu. Dalam
pembuatan rumah, yang biasanya terbuat dari bambu, mereka tidak
menggunakan paku, melainkan tali-tali pengikat.
2.4.8 Sistem Kekerabatan
Sistem kekerabatan Orang Baduy antara lain ditandai oleh adat
penarikan garis keturunan secara bilateral, meskipun garis pihak ayah tampak
lebih kuat daripada garis ibu. Pemilihan jodoh dalam perkawinan lebih banyak
ditentukan oleh orang tua, terutama untuk perkawinan yang pertama.
Perkawinan yang yang dilakukan secara adat bersifat monogam. Perkawinan
diakhiri hanya dengan kematian atau perceraian yang direstui, misalnya
dengan alasan tidak memperoleh keturunan atau penyimpangan salah satu
pihak dalam kehidupan berumah tangga. Adat menetap sesudah nikah
tergantung pada kesepakatan pasangan yang bersangkutan. Pasangan suami
isteri masyarakat Baduy umumnya sangat mengidamkan anak perempuan,
antara lain karena anak perempuan lebih cepat dewasa, sehingga dapat
membantu pekerjaan dalam rumah tangga.
2.4.9 Interaksi Dengan Masyarakat Luar
Orang sering menggolongkan orang Baduy sebagai salah satu “suku-
terasing”, meskipun sebenarnya tidak demikian halnya. Sejak lama mereka
sudah berhubungan dan bergaul dengan anggota masyarakat luar, baik di
dalam mapun di luar Desa Kanekes. Komunikasi itu terutama diadakan untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mereka membutuhkan barang keperluan
sehari-hari, seperti garam, ikan asin, tembakau, rokok, obat-obatan, pakaian,
piring, gelas dan sebagainya, dari luar daerahnya. Barang-barng tersebut
mereka beli di luar Desa Kanekes. Orang Baduy Luar sekarang sudah biasa
menggunakan radio, makanan dari kaleng, atau pakaian yang biasa dipakai
oleh orang lain di luar masyarakat Baduy. Orang Baduy Dalam sendiri
sekarang sudah mulai menggunakan obat-obatan yang dibuat berdasarkan ilmu
kedokteran modern.
Banyak orang Baduy, terutama Baduy Panamping, sudah bepergian ke
Bandung, Cirebon, Jakarta dan kota-kota lain di daerah Banten. Dalam
upacara seba, tokoh-tokoh adat dari Baduy Kejeroan, seperti puun dan jaro
tangtu, menyerahkan persembahan berupa hasil bumi kepada pemerintah
(bupati), sebagai tanda “titip diri” kepada penguasa itu sekaligus sebagai tanda
ketaatan terhadap pemerintah. Orang luar pun terkadang datang menemui
puun, untuk meminta ramalan tentang nasib, perjodohan, “ilmu” tertentu, dan
lain-lain.
Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang ini ketat mengikuti adat
istiadat bukan merupakan masyarakat terasing, terpencil, ataupun masyarakat
yang terisolasi dari perkembangan dunia luar. Berdirinya Kesultanan Banten
yang secara otomatis memasukkan Kanekes ke dalam wilayah kekuasaannya
pun tidak lepas dari kesadaran mereka. Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan
kepada penguasa, masyarakat Kanekes secara rutin melaksanakan "seba" ke
Kesultanan Banten (Garna, 1993). Sampai sekarang, upacara Seba tersebut
terus dilangsungkan setahun sekali, berupa menghantar hasil bumi (padi,
palawija, buah-buahan) kepada Gubernur Banten (sebelumnya ke Gubernur
Jawa Barat). Di bidang pertanian, penduduk Baduy Luar berinteraksi erat
dengan masyarakat luar, misalnya dalam sewa menyewa tanah, dan tenaga
buruh.
Perdagangan yang pada waktu yang lampau dilakukan secara barter,
sekarang ini telah mempergunakan mata uang rupiah biasa. Orang Kanekes
menjual hasil buah-buahan, madu, dan gula kawung/aren melalui para
tengkulak. Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi
sendiri di pasar. Pasar bagi orang Kanekes terletak di luar wilayah Kanekes
seperti pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger.
Pada saat ini orang luar yang mengunjungi wilayah Kanekes semakin
meningkat sampai dengan ratusan orang per kali kunjungan, biasanya
merupakan remaja dari sekolah, mahasiswa, dan juga para pengunjung dewasa
lainnya. Mereka menerima para pengunjung tersebut, bahkan untuk menginap
1 malam, dengan ketentuan bahwa pengunjung menuruti adat istiadat yang
berlaku di sana. Aturan adat tersebut antara lain tidak boleh berfoto di wilayah
Baduy Dalam, tidak menggunakan sabun atau odol di sungai.
Pada saat pekerjaan di ladang tidak terlalu banyak, orang Baduy juga
senang berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan syarat harus
berjalan kaki. Pada umumnya mereka pergi dalam rombongan kecil yang
terdiri dari 3 sampai 5 orang, berkunjung ke rumah kenalan yang pernah
datang ke Baduy sambil menjual madu dan hasil kerajinan tangan. Dalam
kunjungan tersebut biasanya mereka mendapatkan tambahan uang untuk
mencukupi kebutuhan hidup.
2.4.10 Baduy Luar
Merupakan orang-orang yang telah keluar dari adat Baduy Dalam. Ada
beberapa hal yang menyebabkan dikeluarkanya warga Baduy Dalam ke Baduy Luar.
Pada dasarnya, peraturan yang ada di Baduy Luar dan Baduy Dalam itu hampir sama,
tetapi Baduy Luar lebih mengenal teknologi dibanding Baduy Dalam.
Foto dok. www.highcamp.org Gambar 2.1
Pria Baduy Luar
Penyebabnya diantaranya adalah karena mereka telah melanggar adat
masyarakat Baduy Dalam atau memang berkeinginan untuk keluar dari Baduy
Dalam karena suatu alasan tertentu.
Mata pencaharian sehari-hari orang paamping lebih bervariasi
dibanding orang tangtu. Orang panamping sekarang ada yang biasa berdagang
pakaian, rokok, gula, garam, ikan asin, mie instant, dan hasil hutan atau hasil
huma lainnya. Mereka juga ada yang biasa membeli benang dan kain batik
“corak Baduy” di Pasar Pagi atau Tanah Abang Jakarta dan Majalaya (Jawa
Barat). Sering pula orang panamping berdagang pakaian, madu, dan kerajinan
Baduy ke luar wilayah Baduy hingga Bogor, Bandung, dan Jakarta.
Dalam kehidupan sehari-hari, sebagian orang panamping telah
memiliki barang “modern”, seperti piring dan cangkir kaca atau porselen,
sendok dan garpu dari plastik atau logam, lampu minyak tanah, kasur, dan
bantal kapuk, bahkan memiliki lampu senter dan radio; namun pemakaiannya
masih sembunyi-sembunyi, sebab peralatan tersebut jika ketahuan pejabat
tangtu (terutama puun) atau jika ada pembersihan desa akan dirampas dan
dimusnahkan.
2.4.11 Baduy Dalam
Foto dok. Pribadi
Gambar 2.2 Pria Baduy Dalam
Baduy dalam adalah bagian dari keseluruhan Suku Baduy. Tidak
seperti Baduy Luar, warga Baduy Dalam masih memegang teguh adat istiadat
nenek moyang mereka.
2.4.12 Gaya Berbusana
Pakaian orang Baduy pun memancarkan kesederhanaan. Menurut
mereka meninggalkan kesederhanaan berarti meninggalkan tapa dunianya.
Hal tersebut tertuang dalam ungkapan bijak mereka: sare tambah teu tunduh,
ngawadang tambah teu lapar, make tambah teu taranjang ‘tidur sekedar
pelepas kantuk, makan sekedar pelepas lapar, berpakaian sekedar tidak
telanjang’.
Orang Panamping memiliki sedikit kebebasan dalam berpakaian,
warna mereka tak lagi hitam dan putih, namun warna yang menjadi dominan
adalah biru dan hitam. Pria Panamping mengenakan celana pendek hitam
dipadu dengan jamang kampret yaitu baju yang memiliki kancing dan terbuka.
Mereka juga melengkapi penampilan dengan romal merong, ikat kepala kotak-
kotak berwarna biru tua. Selain itu, mereka juga sering memakai poleng
hideung yaitu sarung hitam motif kotak-kotak besar biru muda sebagai adu
mancung.
Akulturasi dengan budaya luar terlihat pada batik merong. Batik ini
digunakan sebagai kain bawahan untuk perempuan Baduy dewasa dan orang
tua dalam kegiatan sehari-hari. Batik merong atau sarung samping merong ini
dibuat di desa Trusmi, sebelah luar kota Cirebon, dibuat dengan teknik cap.
Warna dasar kain adalah biru gelap dengan motif sepasang sayap, segitiga dan
bunga. Semua motif berwarna biru muda.
Foto dok. Pribadi Gambar 2.3
Wanita Baduy Luar
Untuk kaum perempuan, pakaian mereka lebih bervariasi ketimbang
perempuan tangtu. Sehari-harinya mereka memiliki sarung kacang herang,
yaitu sarung hitam motif kotak-kotak kecil berwarna biru. Sarung tersebut
diikat dengan selendang putih di pinggang. Sementara atasannya berupa
kebaya hitam dan biru tua. Saat menghadiri acara pernikahan penampilan
penampilan mereka dipercantik dengan mengenakan suat songket atau suat
samata, yaitu selendang pada bahu kanan.
Foto dok. Pribadi Foto dok. Pribadi
Gambar 2.4 Gambar 2.5 Suat Songket atau Suat samata Sarung Kacang Herang
Di waktu tertentu suat songket juga dikenakan sebagai kemben. Memiliki
panjang 204 cm, suat songket ditenun dengan benang warna-warni merah tua,
biru, kuning, dan hitam. Dikedua ujung sisinya terdapat pilihan benang.
Untuk busana pengantin, tak banyak perbedaan antara Baduy Tangtu dan
Baduy Panamping. Mereka tak mengenal busana khusus. Namun untuk
membedakan dengan busana harian, rambut pengantin perempuan disanggul
jucung dihias dedaunan. Sementara wajahnya dihiasi taretes, yaitu bulatan
kecil berderet di pipi hingga kedepan telinga. Kepala diikat debgan ceceret
yaitu kain putih yang diselipi koin kuno, dan dahi dihias cecentung yaitu
rambut dibentuk melingkar.
Kesederhanaan sebagi prinsip hidup tetap dibawa oleh warga Baduy luar.
Tidak adanya perbedaan mencolok pada pakaian mereka terlihat saat mereka
menghadiri upacara kematian. Pakaian yang mereka kenakan tak berbeda
dengan pakaian sehari-hari seperti celana, bukan kain. Bedanya, celana tak
berlaku sebagai pakaian pria Baduy Dalam. Untuk momen apapun kaum
Baduy Tangtu tidak pernah memakai celana. Bawahan yang mereka kenakan
adalah aros atau kain samping.
Untuk semua kebutuhan sandang, masyarakat Baduy terbiasa dengan
bertenun sendiri. Mulai dari biji kapas yang ditanam, dipanen, dipintal,
ditenun sampai dicelup menurut motif khasnya. Mereka bertenun untuk
dipakai sendiri dan tidak dijual, dan kegiatan ini biasanya dilakukan oleh
kaum perempuan saat selesai musim panen. Yang mereka kerjakan antara lain
adalah kain sarung, selendang, ikat kepala, dan dasar baju.
Kegiatan menenun dilakukan dirumah pada waktu senggang oleh wanita,
namun alat-alatnya dibuat oleh kaum pria. Kaum tangtu dilarang memakai
pakaian dari luar. Oleh karena itu, orang-orang tangtu memesan dan
mengenakan kain tenunan orang panamping. Kain atau pakaian yang
dikenakan oleh orang tangtu hanya berwarna putih, sedangkan orang
panamping umumnya menggunakan warna hitam.
Recommended