View
222
Download
4
Category
Preview:
Citation preview
BAB II
STUDI LITERATUR
II.1 KERJA FLEKSIBEL
II.1.1 Definisi Kerja Fleksibel
Kehadiran praktek kerja fleksibel dipengaruhi oleh kemajuan teknologi,
terutama teknologi telekomunikasi dan aplikasi komputer. Perkembangan
teknologi telah memfasilitasi terjadinya komunikasi global dan mengaburkan
batasan ruang dan waktu dalam bekerja (Selby dan Wilson, 2003; Taylor dan
Kavanaugh, 2005). Di sisi lain, lingkungan bisnis yang dinamis dan kompetitif
tidak lagi membakukan struktur organisasi dan proses operasi yang dijalankan.
Terlebih, tuntutan permintaan konsumen yang semakin bervariasi dalam hal
kuantitas dan waktu membuat perusahaan harus bertindak fleksibel untuk
memenuhinya (Olmsted dan Smith, 1997). Dari sisi pekerja, masuknya wanita ke
dalam pasar tenaga kerja berdampak pada tuntutan perubahan pola kerja sebagai
konsekuensi atas tanggung jawab keluarga dan profesi yang diemban (Sauter,
2002; Murdoch, 2007). Keinginan untuk mendapatkan keseimbangan antara
kehidupan kerja dan personal mendorong munculnya pola kerja fleksibel (Lee,
1996; Selby dan Wilson, 2003; Fleksibility, Ltd., 2006).
Dari literatur-literatur yang dipelajari, ada beberapa definisi yang
menerangkan kerja fleksibel. Selby dan Wilson (2003) dalam Flexible Working
Handbook mendefinisikan kerja fleksibel sebagai suatu istilah yang mengacu pada
semua praktek atau jenis kerja yang berada di luar model kerja tradisional. Model
kerja tradisional yang dimaksud merupakan pola kerja dengan jam dan tempat
kerja yang tetap (umumnya 08.00-16.00 atau 09.00-17.00). Definisi lain diberikan
oleh Murdoch (2007) sebagai praktek kerja yang membawa keuntungan bagi
pihak perusahaan dan pekerja dalam hal waktu, lokasi, dan pola kerja. Penerapan
kerja fleksibel mampu memberikan alokasi waktu yang lebih luas bagi kebutuhan
personal pekerja, seperti disebutkan Shiftwork Ltd. dalam www.shiftwork.com.
8
9
II.1.2 Jenis Kerja Fleksibel
Selby dan Wilson (2003) secara rinci menyebutkan aspek-aspek
fleksibilitas yang dapat diterapkan melalui praktek kerja fleksibel, yaitu:
1. Tempat kerja (flexible location atau teleworking)
Jenis kerja fleksibel ini tidak menuntut pekerja untuk melakukan pekerjaan
dari kantor atau suatu tempat yang secara tetap digunakan sebagai lokasi kerja.
Dengan kata lain, kehadiran pola kerja ini mematahkan paradigma bahwa
bekerja harus dilakukan dalam sebuah ruang kantor. Pekerjaan dapat
dilakukan di rumah (homeworking), di tempat lain (misal dari tempat klien),
bekerja ketika dalam perjalanan atau bekerja tim bersama karyawan dari
beberapa perusahaan dalam satu gedung.
2. Waktu kerja (flexible time)
Jenis kerja fleksibel ini memberi kebebasan bagi pekerja, dengan persetujuan
perusahaan, untuk mengatur jam kerja harian di luar jam kerja tetap yang
berlaku di perusahaan. Dalam praktek kerja ini pekerja tidak harus bekerja
setiap hari, namun harus tetap memperhatikan kontrak jam kerja serta waktu-
waktu tertentu yang mewajibkan pekerja untuk berada di kantor (core time).
Fleksibilitas pola kerja ini dapat berupa:
a. Pemilihan jam masuk dan pulang kerja harian yang tetap.
b. Pemilihan jam masuk dan pulang kerja harian yang bervariasi.
c. Variasi jumlah jam kerja harian dengan adanya ketentuan waktu kerja
pada jam sibuk.
d. Variasi jumlah jam kerja harian tanpa ada ketentuan waktu kerja pada jam
sibuk
e. Kerja paruh waktu (part time).
f. Pembagian kerja untuk beberapa pekerja (job sharing).
3. Kontrak fleksibel (flexible contract)
Terdapat dua jenis kontrak fleksibel yaitu kontrak antar perusahaan dan
kontrak antara perusahaan dengan individu pekerja. Jenis pekerjaan yang
tergolong flexible contract antara lain:
Bab II Studi Literatur
10
a. Fixed term contract, yaitu kontrak kerja yang dibuat untuk jangka waktu
tertentu.
b. Contract labour, yaitu kontrak kerja antara perusahaan dengan pekerja
lepas untuk melakukan pekerjaan hingga dihasilkan output tertentu.
c. Outsourcing to other companies, yaitu kontrak untuk menyediakan pekerja
bagi perusahaan lain.
d. Agency labour, yaitu kontrak kerja yang dibuat dengan suatu agen dan
bukan perusahaan.
4. Proses kerja dan tugas fleksibel
Fleksibilitas juga berlaku pada proses kerja dan pekerjaan yang dilakukan,
antara lain:
a. Pekerja bertanggung jawab dalam mengorganisasi dan melaksanakan
pekerjaan.
b. Tugas-tugas atau pekerjaan dimasukkan dalam jaringan kerja, baik dengan
interaksi fisik atau dengan komputer.
c. Pekerjaan lebih berorientasi pada proyek dengan tujuan, anggaran, proses,
organisasi, dan jangka waktu spesifik.
d. Pekerjaan menjadi lebih fleksibel akibat situasi pasar yang selalu berubah
cepat.
II.1.3 Manfaat Praktek Kerja Fleksibel
Pola kerja fleksibel hadir untuk mengurangi atau menghilangkan
kekurangan dari cara kerja tradisional sekaligus untuk memperoleh manfaat dan
kelebihan yang ditawarkan pola kerja fleksibel bagi pekerja, penyedia kerja
maupun bagi pemerintah. Manfaat yang dapat diperoleh dari implementasi
praktek kerja fleksibel antara lain (Sauter, 2002):
1. Bagi pekerja
a. Menyeimbangkan antara kehidupan pribadi atau keluarga dan kehidupan
pekerjaan, misalnya dengan memiliki waktu lebih banyak bagi keluarga.
b. Dapat menghindari kerugian yang ditimbulkan dari jam sibuk, seperti stres
yang ditimbulkan akibat kemacetan lalu lintas. Sehingga, pekerja menjadi
Bab II Studi Literatur
11
lebih produktif, bersemangat, dan termotivasi dalam bekerja dan
berdampak pada peningkatan kesehatan pekerja.
c. Memiliki waktu yang lebih banyak untuk melakukan kegiatan yang
disukai seperti hobi, melanjutkan pendidikan, dan lain-lain.
d. Jam kerja fleksibel memungkinkan pekerja untuk melakukan pekerjaan
pada waktu-waktu yang merupakan waktu produktifnya.
e. Praktek teleworking dapat menghemat waktu kegiatan pergi pulang
kantor-rumah sehingga pekerja memiliki waktu efektif bekerja yang lebih
banyak.
f. Meningkatkan komitmen pekerja terhadap organisasi. Karena pekerja
memiliki kebebasan untuk mengatur kehidupan kerja dan pribadi, maka
produktivitas dan kepuasan kerja akan meningkat. Hal ini akan
membangun komitmen pekerja terhadap perusahaan.
2. Bagi perusahaan (pemberi kerja)
a. Menghemat biaya atas tenaga kerja dan penggunaan ruangan atau gedung.
b. Pimpinan dapat lebih berkonsentrasi pada outcome (hasil) dan kualitas
pekerjaan daripada sekedar mengawasi kehadiran pekerja di kantor.
c. Praktek teleworking memungkinkan perusahaan untuk meningkatkan
pelayanan kepada pelanggan, terutama pada bisnis yang dijalankan tanpa
batasan waktu.
d. Memperbaiki kualitas kerja dan meningkatkan produktivitas karena
pekerja dapat lebih berkonsentrasi pada pekerjaan.
e. Perusahaan dapat mempertahankan pekerja dengan keahlian yang
dibutuhkan melalui penerapan teleworking.
f. Membangkitkan motivasi pekerja karena adanya kebebasan menentukan
cara atau gaya bekerja yang sesuai individu pekerja.
3. Bagi pemerintah
a. Praktek teleworking dapat mengurangi masalah pengangguran karena
memungkinkan orang cacat, lulusan sekolah, dan lain-lain untuk bekerja.
b. Mengurangi tingkat kepadatan penduduk di daerah perkantoran karena
pekerjaan dapat dilakukan dari jarak jauh (teleworking).
Bab II Studi Literatur
12
c. Mengurangi kemacetan lalu lintas, meningkatkan kualitas udara,
mengurangi penggunaan sumber energi, mengurangi kebutuhan lahan
untuk parkir, gedung, dan lain-lain.
II.1.4 Kekurangan Praktek Kerja Fleksibel
Disamping manfaat yang ditawarkan, praktek kerja fleksibel juga memiliki
beberapa kekurangan seperti (Selby dan Wilson, 2003):
1. Dari sisi pekerja
a. Praktek kerja ini menuntut motivasi, disiplin dan komitmen diri yang
tinggi dari pekerja. Taylor dan Kavanaugh (2005) menyatakan bahwa pola
kerja fleksibel hanya cocok bagi pekerja yang memiliki jiwa disiplin,
berorientasi pada hasil, mampu mengatur waktu dan pekerjaan, senang
terhadap tantangan pekerjaan serta mendapatkan kepercayaan dari
pimpinan.
b. Terutama untuk praktek kerja paruh waktu, seringkali kesempatan untuk
mengembangkan karir sangat terbatas.
c. Praktek kerja ini menuntut pekerja untuk mampu mengatur dengan baik
pemasukan dan pengeluaran karena pada pekerjaan yang bersifat proyek,
gaji diberikan di awal dan akhir proyek.
2. Dari sisi tempat kerja
a. Praktek kerja ini menuntut sarana penunjang tertentu seperti sarana
telekomunikasi yang baik antara kantor pusat dengan tempat kerja.
b. Menuntut jaminan lingkungan kerja yang kondusif bagi pekerja seperti
tempat kerja yang tidak bising.
3. Dari sisi organisasi atau perusahaan
a. Dibutuhkan kepercayaan dari pimpinan atas kemampuan pekerja untuk
melakukan praktek kerja fleksibel.
b. Dibutuhkan pimpinan yang mampu melakukan pengawasan kerja dari
jarak jauh, terutama pada praktek kerja teleworking.
Bab II Studi Literatur
13
4. Dari sisi tugas/pekerjaan
Tidak semua jenis pekerjaan dapat menerapkan pola kerja ini. Misalnya,
praktek teleworking tidak dapat diterapkan pada semua pekerjaan yang
melibatkan kegiatan pemantauan dengan laboratorium khusus seperti
pemantauan luar angkasa. Pada pekerjaan demikian, jenis fleksibilitas lain
mungkin dapat diterapkan seperti fleksibilitas dalam hal waktu kerja.
Dari penjelasan tentang pekerjaan fleksibel, maka hal-hal yang menjadi perhatian
dalam penelitian ini adalah:
1. Definisi kerja fleksibel yang digunakan untuk penelitian ini adalah definisi
yang disampaikan oleh Selby dan Wilson (2003), yaitu istilah yang mengacu
pada semua praktek atau jenis kerja yang berada di luar model kerja
tradisional.
2. Jenis pekerjaan fleksibel yang akan diteliti dalam penelitian ini ditinjau dari
aspek fleksibilitas waktu, cara dan tempat kerja. Secara spesifik, jenis
pekerjaan yang akan diteliti adalah agen asuransi.
II.2 KARAKTERISTIK PEKERJAAN
II.2.1 Definisi Karakteristik Pekerjaan
Karakteristik pekerjaan diartikan sebagai ciri khas pekerjaan yang
dilakukan seseorang dan menentukan tingkat kepuasan kerja yang dicapai (Perry
dan Porter dalam Davis and Wright, 2003). Sementara Morgeson dan Humphrey
(2006) mendefinisikan karakteristik pekerjaan sebagai cara yang dilakukan untuk
menyelesaikan suatu pekerjaan serta cakupan pekerjaan yang diberikan.
II.2.2 Model Karakteristik Pekerjaan
Dasar perkembangan model karakteristik pekerjaan ditandai dengan
adanya pergeseran paradigma dalam memandang suatu pekerjaan. Pada masa
Scientific Management, pekerjaan dirancang sedemikian rupa agar menjadi sangat
sederhana dengan segala sesuatu yang dapat dibakukan sehingga pekerja menjadi
Bab II Studi Literatur
14
sangat ahli di bidangnya. Kondisi seperti ini membuat pekerjaan menjadi sesuatu
yang rutin dan terus berulang hingga pada akhirnya menimbulkan kebosanan
dalam diri pekerja. Kemudian orang mulai memikirkan bagaimana seharusnya
pekerjaan dirancang agar pekerja menjadi termotivasi untuk melakukannya.
Penelitian yang dilakukan R. Hackman, Porter dan Edward E. Lawler III
pada tahun 1975 menemukan 3 karakteristik umum pekerjaan yang mampu
memberikan motivasi kepada pekerja. Teori Requisite Task Attribute (RTA) dari
Turner dan Lawrence menjadi kerangka dominan dalam mendefinisikan
karakteristik pekerjaan dan pemahaman hubungan pekerjaan dengan motivasi,
kinerja dan kepuasan pekerja. Ketiga karakteristik atau kondisi ini didefinisikan
sebagai kondisi psikologi kritis (critical psychological state), yaitu:
1. Pekerjaan harus mampu menimbulkan rasa tanggung jawab pekerja terhadap
tugas-tugas yang diemban (experience of responsibility). Kesuksesan atau
kegagalan pekerjaan menjadi tanggung jawab pekerja. Dengan adanya
tanggung jawab ini maka pekerja dituntut untuk melakukan usaha-usaha demi
memperoleh hasil pekerjaan yang baik.
Agar pekerja merasa memiliki tanggung jawab, maka perlu diberikan
otonomi. Makin besar otonomi yang dimiliki, makin terlihat bahwa prestasi
yang diraih merupakan hasil kerjanya. Sementara pekerjaan dengan tingkat
otonomi yang terbatas akan menimbulkan perasaan bahwa keberhasilan yang
dicapai bukan semata-mata prestasi yang dibuat pekerja, namun hasil yang
ditunjang oleh lingkungan yang menguntungkan.
2. Pekerjaan harus mampu memberikan perasaan bahwa hasil kerja sangat berarti
bagi diri sendiri maupun orang lain (experience meaningfulness of work).
Setidaknya ada dua cara agar suatu pekerjaan memiliki arti, yaitu:
a. Pekerjaan teridentifikasi sebagai satu kesatuan yang utuh. Turner &
Lawrence (1965) dalam Bowin (2001) menyebut kondisi ini sebagai
identitas pekerjaan (task identity). Pekerjaan dengan identitas yang jelas
dicirikan oleh:
1) Siklus kerja dari awal hingga akhir terlihat jelas.
2) Proses kerja dapat dilihat dengan jelas oleh pekerja.
Bab II Studi Literatur
15
3) Proses perubahan menjadi hasil kerja dapat terlihat jelas.
4) Terjadi transformasi input menjadi output pekerjaan yang cukup besar.
b. Pekerjaan menuntut sejumlah keahlian atau kemampuan tertentu yang
akan menunjang keberhasilan pekerjaan. Keahlian dan kemampuan yang
beragam dari setiap pekerjaan akan menimbulkan tantangan dan motivasi
pekerja dalam bekerja sehingga menimbulkan perasaan bahwa pekerjaan
tersebut benar-benar bermakna.
3. Pekerjaan harus memberikan umpan balik (feedback) kepada pekerja tentang
hasil pekerjaan yang telah dilakukan (knowledge of result). Umpan balik dapat
berasal dari pekerjaan tersebut dan orang lain seperti atasan, rekan kerja atau
konsumen.
Pada perkembangan selanjutnya, Hackman & Oldham meneruskan
penelitian ini dan menghasilkan suatu model karakteristik pekerjaan yang
digunakan secara luas di berbagai sektor industri, seperti dapat dilihat pada
Gambar II.1. Menurut Hackman & Oldham (1980), terdapat hubungan antara
pekerjaan dengan motivasi, kepuasan kerja, kepuasan untuk berkembang serta
efektivitas kerja. Jika seorang pekerja merasa sesuai dengan pekerjaannya, maka
ia akan dengan senang hati bekerja keras dan menjadi produktif. Hal ini
menunjukkan adanya motivasi internal. Dengan motivasi internal yang tinggi,
seseorang akan merasa terikat untuk melakukan pekerjaan dengan baik karena
akan memperoleh perasaan menyenangkan (puas) serta mendapat imbalan internal
(internal reward) atas hasil kerja yang diberikan. Model ini juga menunjukkan
adanya hubungan antara karakteristik pekerjaan dengan kondisi psikologis kritis
serta hubungan antara kondisi psikologis kritis dengan keluaran (outcomes)
pekerjaan yang berupa motivasi internal, kepuasan kerja, kepuasan dalam
berkembang serta efektivitas kerja. Sehingga outcomes suatu pekerjaan dapat
ditingkatkan melalui perancangan ulang pekerjaan. Namun hasil yang baik dari
hubungan tersebut hanya akan dapat dicapai jika terdapat dorongan untuk
berkembang yang berasal dari dalam diri pekerja (growth need strength), yang
merupakan ukuran personal pekerja.
Bab II Studi Literatur
16
Gambar II.1 Model karakteristik pekerjaan Hackman dan Oldham (1980)
Terdapat 5 dimensi karakteristik pekerjaan yang dikemukakan dalam
model ini, yaitu:
1. Variasi keterampilan (skill variety), yaitu suatu tingkat keragaman
keterampilan yang dibutuhkan pekerja untuk melaksanakan berbagai kegiatan
dalam suatu pekerjaan. Jika suatu pekerjaan mengharuskan seseorang
menggunakan semakin banyak keterampilan, maka pekerjaan itu dirasakan
semakin berarti.
2. Identitas tugas (task identity), yaitu suatu tingkat penyelesaian pekerjaan
secara menyeluruh serta tahapan pekerjaan yang terlihat jelas. Seseorang akan
lebih menghargai pekerjaannya jika pekerjaan dilakukan secara menyeluruh,
dan bukan merupakan sebagian kecil dari keseluruhan pekerjaan.
3. Makna tugas (task significance), yaitu suatu dampak yang ditimbulkan
pekerjaan bagi kehidupan seseorang dalam organisasi atau masyarakat luas.
Pekerjaan akan terasa lebih berarti jika menimbulkan dampak penting bagi
fisik atau mental orang lain.
4. Otonomi (autonomy), yaitu tingkat keleluasaan yang dimiliki pekerja untuk
menentukan jadwal serta prosedur yang digunakan dalam bekerja. Jika
Bab II Studi Literatur
17
otonomi yang diberikan kepada seseorang makin besar, maka timbul rasa
tanggung jawab atas keberhasilan atau kegagalan pekerjaan.
5. Umpan balik pekerjaaan (feedback), yaitu informasi langsung dan jelas dari
pihak lain mengenai efektivitas pekerjaan yang dilakukan. Jika umpan balik
semakin besar, seorang pekerja akan mengetahui informasi tentang hasil kerja
yang dilakukan sehingga menimbulkan perasaan puas atau tindakan evaluasi.
Houston (2000) melakukan penelitian mengenai karakteristik pekerjaan
dalam menciptakan motivasi kerja. Untuk melakukan perbandingan antara
motivasi pekerja sektor publik dan sektor swasta, dimensi karakteristik pekerjaan
yang digunakan pada penelitian tersebut adalah: tingkat gaji, jaminan keamanan
pekerjaan, waktu kerja, kesempatan berkembang, serta makna pekerjaan. Hasil
penelitian Houston menunjukkan adanya perbedaan urutan tingkat kepentingan
masing-masing karakteristik pekerjaan dalam membentuk motivasi pada pekerja
sektor publik dan swasta. Namun, hasil penelitian ini juga menyebutkan makna
tugas sebagai variabel karakteristik pekerjaan yang paling penting dalam
menentukan motivasi pekerja di kedua sektor tersebut. Hal ini menunjukkan
bahwa makna tugas menjadi salah satu pertimbangan utama yang menentukan
seseorang untuk termotivasi dalam bekerja.
Penelitian menyangkut karakteristik pekerjaan juga pernah dilakukan oleh
Davis dan Wright pada tahun 2003. Dalam penelitian tersebut, dianalisis pengaruh
lingkungan kerja terhadap kepuasan kerja pada pekerja sektor publik, dengan
melibatkan karakteristik pekerjaan sebagai variabel perantara. Elemen yang
digunakan Davis dan Wright untuk mengukur karakteristik pekerjaan adalah
rutinitas, spesifikasi tugas, program pengembangan SDM serta umpan balik
pekerjaan. Hasil penelitian menunjukkan hanya rutinitas, spesifikasi tugas serta
program pengembangan SDM sebagai faktor karakteristik pekerjaan yang secara
langsung berdampak pada kepuasan kerja. Rutinitas memiliki pengaruh negatif
terhadap kepuasan kerja, sementara spesifikasi tugas dan program pengembangan
SDM akan meningkatkan kepuasan kerja.
Bab II Studi Literatur
18
Leisink dan Steijn (2006) dalam penelitian mengenai komitmen organisasi
pada pekerja sektor publik di Belanda, menggunakan dimensi lain dalam
mengukur karakteristik pekerjaan. Dimensi-dimensi tersebut adalah: jumlah jam
kerja, jabatan permanen, gaji, tingkat otonomi, tantangan tugas, serta dukungan
antar pekerja. Pada penelitian tersebut, Leisink dan Steijn menyimpulkan bahwa
karakteristik pekerjaan akan menentukan komitmen afektif pekerja, sementara
komitmen normatif dan kontinyu lebih dipengaruhi oleh karakteristik pekerja.
Berdasarkan uraian tentang karakteristik pekerjaan, maka hal-hal yang menjadi
perhatian dalam penelitian ini adalah:
1. Dimensi karakteristik pekerjaan yang akan digunakan pada penelitian ini
mengacu pada Model Karakteristik Pekerjaan Hackman dan Oldham (1980).
Dimensi pekerjaan yang diukur dalam model ini yaitu: variasi keterampilan
(skill variety), identitas tugas (task identity), makna tugas (task significance),
otonomi (autonomy) serta umpan balik pekerjaan (feedback). Menurut
Leonardi dan Frew (1991), model karakteristik pekerjaan yang baik harus
ditunjang oleh teori yang baik serta kemudahan dalam aplikasi. Secara
spesifik, Leonardi dan Frew (1991) mensyaratkan model karakteristik
pekerjaan yang baik harus teratur, baku, dan berguna. Kriteria ini telah
terkandung dalam Model Karakteristik Pekerjaan Hackman dan Oldham
(1980). Beberapa model karakteristik pekerjaan lain yang telah dikemukakan
sebelumnya memiliki dimensi yang juga tercakup dalam model karakteristik
pekerjaan Hackman dan Oldham (1980). Merujuk pada definisi karakteristik
pekerjaan sebagai suatu ciri khas pekerjaan, maka aspek pekerjaan merupakan
ukuran utama dalam karakteristik pekerjaan. Beberapa ukuran karakteristik
pekerjaan yang digunakan Houston (2000), Davis dan Wright (2003) serta
Leisink dan Steijn (2006) merupakan bentuk praktek pengelolaan pekerja dan
tidak secara langsung mengukur aspek pekerjaan.
Penggunaan model karakteristik pekerjaan Hackman dan Oldham (1980) juga
didasarkan pada pertimbangan bahwa model ini mengakomodasi hubungan
karakteristik pekerjaan dengan outcomes yang dirasakan pekerja seperti
Bab II Studi Literatur
19
motivasi dan kepuasan kerja. Sementara, kepuasan kerja merupakan ukuran
yang digunakan dalam menentukan kualitas kehidupan kerja, yang juga
menjadi fokus penelitian ini.
2. Penelitian ini memfokuskan pada dimensi karakteristik pekerjaan, sehingga
aspek personal pekerja seperti hasrat pekerja untuk tumbuh dianggap sebagai
variabel konstan.
3. Pada dasarnya, kondisi psikologis kritis merupakan suatu tahap yang dilalui
karakteristik pekerjaan sebelum mencapai outcomes. Hubungan antara kondisi
psikologis kritis dengan karakteristik pekerjaan pun tidak sepenuhnya kuat.
Menurut Hackman dan Oldham dalam Hani (2004), hubungan antara otonomi
dan perasaan bertanggung jawab terhadap hasil pekerjaan juga tidak sekuat
hubungan karakteristik pekerjaan dengan kondisi psikologis kritis lainnya.
Dengan pertimbangan tersebut, model penelitian ini tidak mengikutsertakan
faktor kondisi psikologis kritis.
II.3 KUALITAS KEHIDUPAN KERJA
II.3.1 Definisi Kualitas Kehidupan Kerja
Kerja memiliki arti penting dalam kehidupan manusia. Steers dan Porter
(1991) dalam Marks dan Grzywacz (2000) mengklasifikasikan 4 alasan seseorang
bekerja, yaitu:
1. Sebagai pertukaran
Pekerja menerima kompensasi dalam berbagai bentuk sebagai pertukaran atas
jasa atau hasil pekerjaan yang diberikan. Pekerja memiliki harapan-harapan
tertentu tentang jenis dan jumlah kompensasi atas jasa yang diberikan dan
akan mempengaruhi kinerja pekerja di masa mendatang.
2. Sebagai fungsi sosial
Kerja umumnya menyediakan beberapa fungsi sosial. Tempat kerja
memberikan kesempatan bagi pekerja untuk bertemu dan bersosialisasi
dengan orang-orang baru serta membentuk persahabatan. Pada kenyataannya
beberapa pekerja menghabiskan lebih banyak waktu untuk berinteraksi dengan
rekan kerja daripada dengan keluarga.
Bab II Studi Literatur
20
3. Sumber status
Pekerjaan sering mewakili status seseorang dalam masyarakat. Pekerjaan
dapat pula menjadi sumber pembeda sosial.
4. Arti pribadi bagi seseorang
Dari sisi psikologis, pekerjaan dapat menjadi sumber identitas, penghargaan
dan aktualisasi diri. Melalui pekerjaan, seseorang dapat merasa bahwa dirinya
berguna. Sebaliknya, pekerjaan dapat pula menjadi sumber frustasi, kejenuhan
dan perasaan tidak berguna. Hal ini bergantung pada karakteristik pekerjaan
serta orang yang menjalani pekerjaan tersebut.
Istilah Kualitas Kehidupan Kerja atau Quality of Working Life (QWL)
mulai muncul pada Konferensi Internasional Pekerja pada tahun 1972 karena
memandang pentingnya tercipta hubungan yang berkualitas antara pekerja dengan
lingkungan pekerjaan. Istilah ini kemudian berkembang di seluruh sektor industri.
Meningkatnya jumlah pekerja wanita yang masuk ke dalam struktur industri
semakin memperbesar tuntutan atas penciptaan QWL (Bruning, 2005).
Straw dan Heckscher (1984) dalam Rose dan Kumar (2006)
mendefinisikan QWL sebagai cara pandang dalam menangani pekerja sebagai
aset yang paling berharga bagi perusahaan. Metz (1982) memberikan definisi
QWL sebagai upaya perbaikan lingkungan kerja melalui penciptaan situasi kerja
yang lebih humanis dan menyenangkan bagi pekerja. Metz juga memaparkan
sejumlah praktek pengelolaan sumber daya manusia sebagai bagian dari program
kualitas kehidupan kerja perusahaan, yaitu: (1) peningkatan jumlah kompensasi
pekerja, (2) pengembangan imbalan pekerja, (3) praktek kerja fleksibel, (4)
program kesehatan pekerja, (5) program keterlibatan pekerja, dan (6)
pengembangan organisasi.
Robbins (1989) mendefinisikan QWL sebagai kesempatan yang diberikan
organisasi kepada pekerja untuk menentukan desain kehidupan kerjanya. Tujuan
pencapaian QWL dapat dilihat dari dua sisi kebutuhan, yaitu pekerja dan
perusahaan. Dari sisi pekerja, QWL mampu meningkatkan kualitas kondisi kerja
yang akan berdampak pada peningkatan motivasi dan kepuasan kerja. Dari sisi
organisasi, QWL mampu meningkatkan efektivitas organisasi melalui
Bab II Studi Literatur
21
pemberdayaan pekerja dengan baik sehingga mampu meningkatkan daya saing
perusahaan. Penelitian yang dilakukan oleh Johnson (1999) telah membuktikan
adanya pengaruh yang signifikan antara penerapan QWL dengan peningkatan
kinerja finansial perusahaan.
Definisi kualitas kehidupan kerja secara umum diberikan Nadler dan
Lawler (1985) sebagai sebuah cara dalam mengatur pekerja, pekerjaan serta
organisasi kerja. Bowin (2001) juga memberikan definisi umum terhadap QWL
sebagai suatu filosofi dalam mengatur organisasi terutama dari sisi sumber daya
manusia.
II.3.2 Model Pengukuran Kualitas Kehidupan Kerja
Berbagai penelitian telah dilakukan terhadap kualitas kehidupan kerja
dengan menggunakan beragam pendekatan pada berbagai sektor industri. Menurut
Robbins (1989) serta Bowin (2001), dimensi yang digunakan untuk mengukur
QWL tidak dapat digeneralisasikan. Hal ini mengingat perbedaan kehidupan kerja
yang terjadi pada tiap sektor bisnis. Ukuran konsep QWL yang digunakan
Robbins (1989) adalah jaminan keamanan pekerjaan, sistem imbalan, kesempatan
berkembang, partisipasi serta peningkatan kinerja organisasi. Nadler dan Lawler
(1985) menyatakan dua elemen QWL yaitu dampak pekerjaan terhadap pekerja
dan efektifitas organisasi serta keterlibatan pekerja dalam pemecahan masalah dan
pembuatan keputusan organisasi.
Sirgy et al. (2001) memandang QWL sebagai kondisi puas yang dirasakan
pekerja atas pemenuhan berbagai kebutuhan yang dimiliki. Penelitian yang
dilakukan Sirgy et al. (2001) membuktikan bahwa kondisi QWL dapat tercipta
apabila kebutuhan pekerja atas persyaratan pekerjaan, lingkungan pekerjaan,
perilaku pimpinan serta praktek kerja yang memperhatikan kebutuhan personal
pekerja telah terpenuhi. Melalui penelitian ini, Sirgy et al. (2001) juga
membuktikan adanya pengaruh positif linier antara kepuasan kerja terhadap QWL
serta QWL terhadap komitmen organisasi, sebagai dampak atas penerapan QWL
dalam suatu organisasi.
Bab II Studi Literatur
22
Cascio (1995) mendefinisikan kualitas kehidupan kerja sebagai cara
memandang manusia, kerja dan organisasi dengan memfokuskan pada
karakteristik dampak pekerjaan terhadap manusia dan efektivitas organisasi,
persyaratan kondisi fisik dan mental kerja serta partisipasi karyawan. Elemen-
elemen QWL yang diutarakan Cascio meliputi beberapa hal seperti dapat dilihat
pada Gambar II.2.
Gambar II.2 Elemen-elemen QWL (Cascio, 1995)
Salah satu model pengukuran QWL yang banyak digunakan adalah model
yang diusulkan oleh Walton (1973). Seperti diutarakan Walton dalam Campos
dan Souza (2006), terdapat 8 kategori yang terkait dengan QWL yaitu:
kompensasi yang adil dan seimbang, kondisi kerja yang aman dan sehat,
kesempatan pengembangan potensi pekerja, jaminan pekerjaan dan karir,
hubungan sosial, perlindungan hak, keseimbangan kehidupan kerja dan pribadi
serta tanggung jawab sosial. Rose, Beh, Uli, dan Idris (2006) melakukan
penelitian mengenai dimensi karir yang akan berpengaruh pada QWL. Dalam
penelitian tersebut, Rose et al. (2006) menyimpulkan adanya kontribusi signifikan
variabel-variabel QWL yang diusulkan. Dimensi yang digunakan pada penelitian
tersebut adalah prestasi, kepuasan karir serta keseimbangan karir. Penelitian
Bab II Studi Literatur
23
tersebut juga membahas status perkawinan sebagai faktor pembeda pencapaian
karir 475 pekerja eksekutif di Malaysia, dan menyimpulkan bahwa pekerja yang
sudah menikah dan memiliki anak cenderung memiliki level QWL serta kepuasan
atas pencapaian prestasi yang tinggi.
Di tahun 1991, Jamal dan Baba melakukan penelitian untuk mengetahui
pengaruh rutinitas pekerjaan terhadap kualitas kehidupan kerja. Dalam penelitian
tersebut digunakan 7 ukuran QWL yaitu kepuasan kerja, keterlibatan kerja,
ambiguitas peran kerja, konflik peran dalam pekerjaan, tekanan pekerjaan,
komitmen organisasi serta keinginan pekerja untuk keluar dari pekerjaan. Survei
melalui kuisioner kepada sejumlah tenaga medis di Canada menunjukkan bahwa
tipe pekerjaan rutin cenderung membentuk kualitas kehidupan kerja yang rendah.
Untuk mengetahui persepsi pekerja medis pada sebuah Rumah Sakit di
Tehran mengenai kualitas kehidupan kerja yang dirasakan, Saraji dan Dargahi
(2006) melakukan penelitian dengan mengembangkan 30 indikator QWL. Hasil
penelitian menunjukkan hanya 9 elemen yang digunakan sebagai indikator
penentu kualitas kehidupan kerja, yaitu: kesehatan dan keselamatan kerja,
dukungan dari pimpinan, dukungan dari rekan kerja, kompensasi, tipe pekerjaan
yang dilakukan, kepercayaan dari manajemen puncak, keseimbangan kehidupan
kerja dan pribadi, tekanan pekerjaan serta prospek karir. Hasil penelitian juga
menunjukkan faktor kesehatan dan keselamatan kerja, kompensasi serta dukungan
dari pimpinan merupakan tiga aspek terpenting dalam kualitas kehidupan kerja.
Dengan memandang QWL sebagai kualitas hubungan antara pekerjaan
dan lingkungan kerja, Carayon et al. (2003) melakukan penelitian mengenai
pengaruh desain pekerjaan terhadap kualitas kehidupan kerja di sektor teknologi
informasi. Faktor desain pekerjaan yang digunakan diadopsi dari Teori
Karakteristik Pekerjaan Hackman dan Oldham, sementara QWL diukur dengan
kepuasan kerja, keterlibatan pekerja, beban kerja, tekanan pekerjaan serta tingkat
keluar masuk pekerja. Sebagai faktor pembeda tingkat QWL yang dirasakan
pekerja, digunakan variabel gender dan sektor pekerjaan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pada pekerja IT wanita, karakteristik identitas tugas
memiliki pengaruh paling besar terhadap QWL.
Bab II Studi Literatur
Bab II Studi Literatur
24
Dalam penelitian mengenai pengaruh perubahan organisasi terhadap
kualitas kehidupan kerja, Wisnawa (1997) menyimpulkan empat sikap kerja yang
berpengaruh positif terhadap kualitas kehidupan kerja, yaitu: (1) kualitas
partisipasi anggota, (2) kualitas persyaratan kerja, (3) kualitas hubungan terbuka,
dan (4) kualitas otonomi dan tanggung jawab. Menurut Wisnawa (1997), budaya
kerja yang berpengaruh positif atau mendorong pengembangan QWL adalah sikap
kerja yang berorientasi pada nilai-nilai strategis perusahaan, sikap kerja yang
berorientasi pada profesionalisme, sikap kerja yang berorientasi pada teknologi,
hubungan non formal dan sinergis, sikap kerja yang berorientasi pada pelayanan
dan efisiensi serta partisipasi dan keterlibatan anggota dalam perusahaan.
Dari penjelasan mengenai kualitas kehidupan kerja, hal-hal yang menjadi
perhatian dalam penelitian ini adalah:
1. Definisi QWL yang digunakan mengacu pada istilah yang merefleksikan
perasaan pekerja terhadap hubungan antara pekerjaan dan lingkungan
pekerjaan. Pengertian tersebut didasarkan pada definisi kualitas kehidupan
kerja yang diberikan oleh beberapa peneliti seperti Davis dan Werther (1983),
Cascio (1995) dan Carayon (2003). Definisi ini diambil karena mencakup
seluruh hal yang berhubungan dengan pekerja dan lingkungan kerja dalam
hubungan profesional dan sosial.
2. Dimensi yang digunakan untuk mengukur QWL dipilih dengan cara mencari
kesamaan dimensi yang dipakai dalam penelitian-penelitian QWL
sebelumnya. Langkah ini dimaksudkan agar dimensi QWL yang akan
digunakan dalam penelitian ini mampu mencakup semua hal yang dianggap
penting dalam menentukan QWL. Dimensi QWL yang terpilih dapat dilihat
pada Tabel II.1.
25
Tabel II.1 Dimensi QWL yang digunakan dalam penelitian
Bab II Studi Literatur
Walton (1973)
Robbins (1989)
Cascio (1995)
Wisnawa (1997)
Carayon et al (2003)
Saraji&Dargahi (2006)
Jaminan pekerjaan Jaminan pekerjaan Jaminan pekerjaan Keadilan gaji Sistem upah Kompensasi Kompensasi Kesempatan berkembang
Kesempatan berkembang Pengembangan karir Prospek karir
Partisipasi pekerja Partisipasi pekerja Partisipasi pekerja
Keterlibatan pekerja
Kondisi kerja aman&sehat Kesehatan
lingkungan kerja Persyaratan
kerja Kesehatan kerja
Hubungan sosial Komunikasi Hubungan terbuka Dukungan rekan
kerja Keseimbangan
kehidupan kerja Keseimbangan kehidupan kerja
Tekanan pekerjaan
Tekanan pekerjaan
Tanggung jawab sosial Kebanggaan Otonomi dan
tanggung jawab Tipe pekerjaan
Dukungan pimpinan
Kepercayaan pimpinan
Kepuasan kerja Resolusi konflik Turnover pekerja Kinerja perusahaan
Perlindungan hak individu Kebahagiaan pekerja
Keterangan: Huruf bercetak tebal menunjukkan kesamaan dimensi QWL yang digunakan pada penelitian
26
Dari Tabel II.1 terlihat bahwa terdapat beberapa kesamaan dimensi yang
digunakan oleh para peneliti untuk mengukur QWL. Beberapa dimensi yang tidak
sama menunjukkan penggunaan dimensi QWL yang spesifik terhadap obyek
penelitian. Hal ini misalnya terjadi pada dimensi turnover pekerja yang digunakan
Carayon et al. (2003) saat melakukan penelitian kualitas kehidupan kerja di sektor
teknologi informasi yang diindikasikan oleh banyak terjadi turnover pekerja.
Selain itu terlihat adanya penggunaan dimensi QWL yang berulang, seperti
dukungan pimpinan dan kepercayaan pimpinan yang digunakan oleh Saraji dan
Dargahi (2006). Dengan memperhatikan beberapa kesamaan dimensi yang
digunakan pada penelitian kualitas kehidupan kerja sebelumnya, maka dimensi
yang digunakan untuk mengukur QWL dalam penelitian ini adalah:
1. Kepuasan kerja
Locke (1976) dalam Greenberg (2002) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai
perasaan senang yang dirasakan seseorang atas pekerjaannya. Sokoya (2000)
dalam Rastogi dan Garg (2006) menyatakan bahwa kepuasan kerja ditentukan
oleh karakteristik pekerjaan, tugas serta personal pekerja. Menurut Greenberg
dan Baron (1997) serta Skinner (2005), kepuasan kerja meliputi hal-hal yang
berhubungan dengan pekerjaan seperti karakteristik pekerjaan, kompensasi
dan pengembangan diri pekerja. Dimensi kepuasan kerja yang digunakan
dalam penelitian ini merujuk pada elemen kepuasan kerja dalam Job
Descriptive Index (JDI) serta Hackman dan Oldham (1980) dalam Job
Diagnostic Survey, yaitu:
a. Keamanan pekerjaan (job security)
Job security merupakan rasa aman yang dirasakan pekerja dari ketakutan
akan kehilangan pekerjaan. Rasa takut akan kehilangan pekerjaan akan
menimbulkan tekanan emosional bagi pekerja sehingga mengurangi
produktivitas kerja (Metz,1982; Nardone, Jonathan dan Julie, 1997).
b. Kompensasi
Kompensasi (gaji dan penghargaan lain) yang diberikan perusahaan
merupakan ukuran yang paling banyak digunakan untuk menentukan
kepuasan kerja (Walton, 1973; Robbins, 1989; Cascio, 1995; serta Saraji
Bab II Studi Literatur
27
dan Dargahi, 2006). Carayon et al. (2003) meskipun tidak menyebutkan
secara spesifik faktor kompensasi, namun memasukkan dimensi kepuasan
kerja sebagai salah satu indikator QWL. Tingkat kompensasi yang adil dan
seimbang dengan usaha yang telah dikeluarkan pekerja akan menimbulkan
kepuasan bagi pekerja.
c. Prospek karir dan kesempatan pengembangan potensi pekerja
Aspek karir dan pengembangan potensi pekerja juga merupakan ukuran
yang banyak digunakan untuk menentukan tingkat kepuasan kerja.
Menurut Teori Hierarki Kebutuhan Maslow, secara alamiah manusia ingin
sampai pada tingkat aktualisasi diri. Tingkatan tersebut dapat dicapai
dengan mengembangkan potensi diri seseorang. Dalam bekerja,
pengembangan potensi diri salah satunya dilakukan dengan pencapaian
karir (Greenberg dan Baron, 1997; Rose et al. 2006). Prospek karir yang
jelas serta adanya kesempatan pengembangan potensi pekerja memberikan
kepuasan bagi pekerja sehingga dapat memicu produktivitas kerja.
d. Pimpinan
Pimpinan memegang peranan penting dalam mewujudkan kualitas
kehidupan kerja seseorang. Terkait praktek kerja fleksibel yang diangkat
pada penelitian ini, Taylor dan Kavanaugh (2005) mensyaratkan
karakteristik pimpinan yang dibutuhkan dalam penerapan pola kerja
fleksibel yaitu: (1) mempercayai integritas dan kemampuan pekerja, (2)
menghargai kinerja pekerja berdasarkan hasil yang diperoleh, (3) mampu
mengevaluasi kinerja pekerja, (4) mendorong pekerja untuk meningkatkan
kemampuan diri, serta (5) memahami kebutuhan pekerja atas
keseimbangan kehidupan. Yammarino dan Dubinsky (1988) menyatakan
bahwa terkait peran penting agen asuransi dalam perusahaan, maka
pimpinan harus dapat memberi perhatian pada bagaimana menstimulasi
sikap dan perilaku positif dari agen-agen asuransi.
e. Rekan kerja
Greenberg (2002) menyatakan rekan kerja sebagai sumber penciptaan
kepuasan kerja melalui dukungan yang diberikan. Sebaliknya, Greenberg
Bab II Studi Literatur
28
juga menyatakan rekan kerja dapat menjadi sumber tekanan dalam diri
pekerja apabila konflik antar rekan kerja terjadi. Dalam penelitiannya,
Taylor dan Kavanaugh (2005) menyatakan bahwa praktek telecommuting
dapat berdampak negatif pada komunikasi dan interaksi antara pekerja
dengan rekan kerja dan pimpinan. Untuk mengatasi hal tersebut, alat
komunikasi elektronik banyak digunakan.
2. Keterlibatan pekerja (employee involvement)
Keterlibatan pekerja merupakan bentuk partisipasi pekerja dalam kegiatan
pembuatan keputusan organisasi. Melalui partisipasi ini pekerja memiliki rasa
tanggung jawab atas keputusan yang diambil. Sehingga di dalam diri pekerja
akan timbul rasa memiliki perusahaan serta dorongan yang kuat untuk bekerja
dengan baik demi pencapaian tujuan perusahaan. Pekerja akan merasakan
tingkat kualitas kehidupan kerja yang tinggi apabila telah merasa memberikan
kontribusi yang berarti bagi kesuksesan perusahaan (Davis dan Werther,
1989). Vera (2001) menyatakan keterlibatan pekerja sebagai kunci dalam
mencapai fleksibilitas. Dalam penelitiannya, Vera (2001) mengutip ciri
keterlibatan pekerja yang diungkapkan Lawler, Mohrman dan Ledford (1995)
yaitu: pembagian kekuasaan, pembagian informasi, penghargaan pekerja serta
pengembangan diri pekerja. Pentingnya keterlibatan pekerja dimasukkan
sebagai elemen kualitas kehidupan kerja juga disampaikan oleh Nadler dan
Lawler (1985), Jamal dan Baba (1991), Igbaria, Parasuraman dan Badawy
(1994), Wisnawa (1997) serta Bowin (2001).
3. Keseimbangan kehidupan kerja
Faktor lain yang banyak digunakan oleh peneliti dalam menentukan tingkat
QWL adalah keseimbangan kehidupan kerja. Skinner (2005) menyatakan
bahwa konsep kualitas kehidupan kerja berakar pada hubungan baik antara
kehidupan pekerjaan dan non pekerjaan. Marks dan Grzywacz (2000)
memberikan kesimpulan atas hasil penelitiannya bahwa kehidupan pekerjaan
dan non pekerjaan akan saling mempengaruhi. Ditambahkan Rose et al.
(2006), pekerja dengan latar belakang keluarga bahagia cenderung memiliki
kepuasan kerja dan pencapaian karir yang tinggi. Pentingnya keseimbangan
Bab II Studi Literatur
29
kehidupan kerja sebagai faktor yang diperhitungkan dalam mengukur kualitas
kehidupan kerja juga dinyatakan oleh Shamir dan Salomon (1985). Selain itu
keseimbangan kehidupan juga merupakan isu yang muncul sebagai dampak
positif yang diperoleh pekerjaan fleksibel. Sehingga penggunaan dimensi
keseimbangan kehidupan sesuai dengan obyek yang diteliti pada penelitian
ini.
II.4 STATISTIK PENGOLAHAN DATA
II.4.1 Uji Kualitas Kuisioner
Menurut Sekaran (2006), kuisioner adalah daftar pertanyaan tertulis yang
telah dirumuskan sebelumnya dalam alternatif yang didefinisikan dengan jelas
untuk dijawab oleh responden. Kuisioner merupakan metode pengumpulan data
yang efisien jika peneliti mengetahui dengan tepat apa yang diperlukan serta
bagaimana mengukur variabel penelitian. Penyebaran kuisioner dapat dilakukan
secara langsung atau melalui media seperti surat dan media elektronik. Dalam
penelitian ini penyebaran kuisioner dilakukan secara langsung kepada responden
atau melalui pihak perusahaan asuransi.
Dalam perancangan kuisioner, harus diperhatikan konstruksi pertanyaan
agar terhindar dari bias dan kesalahan pengukuran. Ketepatan pengukuran akan
memastikan akurasi hasil pengukuran yang baik sehingga meningkatkan kualitas
ilmiah penelitian. Penentuan kualitas ukuran kuisioner dilakukan dengan
(Sekaran, 2006):
1. Uji Keandalan (Reliabilitas)
Keandalan suatu pengukuran menunjukkan sejauh mana pengukuran tersebut
tanpa bias sehingga menjamin hasil pengukuran yang konsisten. Secara
empiris, ukuran keandalan dinyatakan dalam koefisien keandalan. Walaupun
secara teoritis besar koefisien keandalan berkisar antara 0 - 1, akan tetapi pada
kenyataannya koefisien sebesar 1 tidak pernah dicapai dalam pengukuran. Hal
ini disebabkan karena manusia sebagai subyek pengukuran psikologis
merupakan sumber kesalahan yang potensial. Beberapa metode yang dapat
dilakukan untuk menguji keandalan suatu alat ukur seperti:
Bab II Studi Literatur
30
a. Keandalan tes ulang (test-retest reliability)
Teknik pengujian keandalan ini dilakukan dengan melakukan pengulangan
pengukuran pada sampel yang sama. Korelasi antara hasil pengukuran
pertama dengan hasil pengukuran kedua menunjukkan tingkat reliabilitas
alat ukur.
b. Keandalan bentuk paralel
Teknik ini dapat diterapkan dengan menggunakan sampel yang sama atau
sampel yang berbeda. Jika pengujian menggunakan sampel yang sama,
dilakukan perubahan susunan kata serta urutan pertanyaan yang diajukan
pada pengukuran kedua. Jika pengujian menggunakan sampel yang
berbeda, tidak perlu dilakukan perubahan susunan kata atau urutan
pertanyaan. Suatu alat ukur dikatakan reliabel apabila kedua pengukuran
menunjukkan hasil yang sama.
c. Kendalan konsistensi antar item
Keandalan konsistensi antar item merupakan pengujian konsistensi
jawaban responden atas semua item yang diukur. Apabila beberapa item
digunakan untuk mengukur konstruk yang sama, maka hasil pengukuran
item-item tersebut akan berkorelasi satu sama lain. Tes keandalan antar
item yang paling populer adalah koefisien Alpha Cronbach yang
digunakan untuk item skala multipoin. Dalam penelitian ini ukuran
keandalan instrumen yang digunakan adalah keandalan konsistensi antar
item, yaitu dengan menggunakan koefisien Alfa Cronbach. Ukuran ini
digunakan karena jenis skala yang digunakan dalam penelitian adalah
multipoin (7 skala) serta antar item yang dibentuk dalam operasionalisasi
variabel saling berkorelasi (Sekaran, 2006).
d. Keandalan belah dua (split-half reliability)
Keandalan belah dua mencerminkan korelasi antara dua bagian instrumen.
Estimasi akan berbeda-beda bergantung pada kriteria yang digunakan
untuk membagi dua item pengukuran. Korelasi antara hasil pengukuran
belahan pertama dengan belahan kedua menunjukkan konsistensi
pengukuran.
Bab II Studi Literatur
31
2. Uji Validitas
Uji validitas dilakukan untuk mengetahui apakah instrumen pengukuran yang
digunakan dalam penelitian tepat dan dapat mengukur obyek atau konsep yang
diamati. Menurut American Psychological Assosiation (1985) dalam Hani
(2004), terdapat tiga tipe validitas yaitu:
a. Validitas isi (content validity), yaitu validitas yang menggunakan
pembuktian secara logika dan bukan secara statistik. Suatu pengukuran
dikatakan memiliki validitas isi apabila pengukuran tersebut memberi
gambaran yang memadai mengenai domain konseptual yang dirancang
untuk suatu alat ukur.
b. Validitas prediksi (predictive validity), yaitu validitas yang memeriksa
apakah ada kesesuaian antara ramalan tentang perilaku obyek penelitian
dengan perilaku nyata. Validitas prediktif bernilai tinggi apabila kondisi
yang diramalkan terbukti.
c. Validitas konstruk (construct validity), yaitu validitas yang digunakan
untuk melihat hubungan antara hasil pengukuran dengan konsep
teoritiknya. Dalam penelitian ini, validitas konstruk digunakan karena
pembuktian dilakukan secara statistik dan tidak bertujuan untuk
membuktikan suatu ramalan. Selain itu perancangan instrumen penelitian
yang dilakukan pada penelitian membutuhkan pengujian validitas konstruk
untuk memastikan instrumen yang dikembangkan sesuai konsep teoritis.
II.4.2 Analisa Faktor
Analisa faktor merupakan suatu metode yang digunakan untuk
mempelajari dan menganalisis suatu permasalahan. Dasar pemikiran analisa faktor
adalah bahwa korelasi yang diobservasi sebagian besar akan menghasilkan
beberapa faktor yang mendasari keteraturan dalam suatu data. Menurut Supranto
(2004), tujuan penggunaan analisa faktor adalah:
1. Mengenali atau mengidentifikasi dimensi yang mendasari atau faktor, yang
menjelaskan korelasi antara suatu set variabel. Dengan tujuan ini,
menganalisis faktor berarti mereduksi data atau variabel.
Bab II Studi Literatur
32
2. Mengenali atau mengidentifikasi suatu set variabel baru yang tidak berkorelasi
dan lebih sedikit jumlahnya untuk menggantikan suatu set variabel asli yang
saling berkorelasi sehingga dapat digunakan pada analisis multivariat
selanjutnya.
3. Mengenali atau mengidentifikasi suatu set variabel yang penting dari suatu set
variabel yang banyak jumlahnya untuk digunakan dalam analisis multivariat
selanjutnya.
Sebelum analisa faktor dimulai harus dilakukan pengujian ketepatan
penggunaan analisa faktor. Ukuran statistik yang dapat digunakan adalah
Bartlett’s test of spherecity, nilai KMO (Keiser-Meyer-Olkin) serta MSA
(Measure of Sampling Adequacy). Nilai KMO merupakan indeks untuk
membandingkan besar koefisien korelasi hasil pengamatan dengan koefisien
korelasi parsial. Nilai KMO kecil menandakan bahwa ukuran kecukupan
pengambilan data rendah serta analisis faktor kurang sesuai untuk digunakan.
Nilai KMO rendah menunjukkan korelasi antar pasangan variabel tidak dapat
dijelaskan oleh variabel-variabel lainnya.
Dua prosedur analisis faktor yang paling banyak digunakan adalah
Principal Component Analysis (PCA) dan Common Factor Analysis (CFA).
Supranto (2004) menyatakan metode PCA direkomendasikan jika tujuan
penggunaan analisa faktor adalah minimasi jumlah faktor yang terbentuk dengan
maksimasi variansi data asli yang dapat dijelaskan. Pada metode PCA, jumlah
variabel penelitian akan tereduksi namun karakteristik variabel asli tetap
dipertahankan. Sebaliknya metode CFA dianggap tepat penggunaannya apabila
analisa faktor dilakukan untuk mengidentifikasi atau mengenali dimensi yang
mendasari serta penelitian terfokus pada variansi bersama (common variance)
antar variabel yang digunakan.
Hair, Anderson, Tatham, dan Black (1998) memaparkan beberapa teknik
yang dapat dilakukan untuk menentukan jumlah faktor yang akan terbentuk,
seperti a priori, eigenvalue, scree plot, percented of variance accounted for, split
half reliability serta significance test. Interpretasi atas variabel-variabel
pembentuk faktor dilakukan berdasar bobot faktor (factor loading). Bobot faktor
Bab II Studi Literatur
33
merupakan nilai korelasi variabel terhadap suatu faktor. Bobot faktor yang tinggi
menunjukkan bahwa variabel tersebut dapat mewakili suatu faktor. Kriteria
minimum bobot faktor untuk memasukkan variabel ke dalam suatu faktor adalah
0.3. Kesulitan interpretasi faktor terjadi apabila terdapat variabel-variabel yang
memiliki bobot faktor menengah atau memiliki bobot tinggi pada beberapa faktor.
Untuk mengatasi hal tersebut, Hair et al. (1998) menyarankan untuk melakukan
rotasi faktor. Merotasi faktor berarti mengubah struktur matriks faktor ke dalam
matriks yang lebih sederhana sehingga lebih mudah diinterpretasi. Rotasi faktor
dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:
1. Rotasi ortogonal
Pada rotasi ortogonal, sumbu antar faktor dipertahankan tegak lurus (900),
sehingga antar faktor saling independen atau berkorelasi rendah. Metode rotasi
ortogonal yang banyak digunakan adalah varimax.
2. Rotasi oblique
Pada rotasi oblique, sumbu antar faktor tidak dipertahankan tegak lurus (900),
sehingga memungkinkan ditemui adanya korelasi antar faktor, meskipun
diharapkan korelasi yang terjadi cukup rendah.
Dalam Hair et al. (1998) dinyatakan bahwa pada dasarnya tidak ada aturan
spesifik mengenai pemilihan metode rotasi faktor. Namun beberapa peneliti
menyarankan pemilihan metode rotasi faktor didasarkan pada tujuan penelitian.
Rotasi ortogonal disarankan apabila penelitian bertujuan mereduksi jumlah
variabel yang terlibat sehingga mudah digunakan pada teknik multivariat
selanjutnya. Sementara rotasi oblique disarankan apabila penelitian bertujuan
mengidentifikasi konstruksi yang mendasari data. Berdasarkan pernyataan
tersebut, maka teknik rotasi faktor yang digunakan pada penelitian ini adalah
rotasi ortogonal.
Analisa faktor dapat dilanjutkan dengan teknik multivariat lainnya. Untuk
melakukan hal tersebut, perlu ditentukan output analisa faktor yang akan
digunakan sebagai input pada teknik multivariat lanjutan. Pilihan langkah yang
dapat dilakukan adalah:
Bab II Studi Literatur
34
1. Pemilihan surrogate variable, yaitu variabel yang mewakili suatu faktor.
Teknik ini tepat dilakukan jika satu variabel secara sempurna memiliki bobot
faktor terbesar di antara variabel lain. Namun pada prakteknya hal tersebut
sulit terjadi. Sehingga penggunaan surrogate variable menjadi sarat dengan
kesalahan pengukuran.
2. Menentukan summated scale
Teknik ini dilakukan dengan menjumlahkan atau merata-ratakan nilai variabel
dalam satu faktor. Hair et al. (1998) menyatakan teknik ini mempunyai dua
kelebihan yaitu meminimalkan kesalahan pengukuran serta memiliki
kemampuan untuk mewakili multi aspek dari konsep yang diukur pada satu
faktor.
3. Menentukan skor faktor
Skor faktor menunjukkan nilai responden terhadap masing-masing variabel
awal yang telah distandarisasikan, dengan melibatkan bobot faktor yang
terbentuk. Kelemahan penggunaan skor faktor adalah kesulitan dalam
melakukan replikasi studi karena turut memperhitungkan bobot faktor.
II.4.3 Regresi Linier Berganda
Regresi linier berganda merupakan suatu teknik multivariat yang
menggambarkan hubungan dependensi antara satu jenis variabel yang disebut
variabel independen dengan jenis variabel lain yang disebut variabel dependen.
Hair et al. (1998) merumuskan dua tujuan penggunaan teknik regresi linier
berganda yaitu:
1. Meramalkan nilai variabel tak bebas (dependen) apabila nilai seluruh variabel
bebas (independen) diketahui dan semua koefisien regresi parsial sudah
dihitung.
2. Mengetahui besar pengaruh setiap variabel independen yang tercakup dalam
suatu persamaan regresi terhadap variabel dependen
Hair et al. (1998) juga mensyaratkan sejumlah asumsi yang harus
terpenuhi sebelum regresi linier berganda dilakukan. Asumsi tersebut meliputi:
Bab II Studi Literatur
35
1. Linieritas
Suatu model linier harus dapat memprediksi nilai variabel dependen pada satu
garis lurus yang perubahan nilainya konstan terhadap perubahan nilai variabel
independen. Pengujian hubungan linier dilakukan dengan membuat plot
residu. Apabila plot residu mengikuti suatu garis lurus untuk setiap
pertambahan nilai variabel independen dan dependen, maka model dinyatakan
memenuhi asumsi linieritas.
2. Variansi residu yang konstan (homoscedasticity)
Asumsi ini diperlukan karena diharapkan variansi nilai variabel dependen
yang dijelaskan melalui model tidak terkonsentrasi pada nilai variabel
independen yang terbatas sehingga eror pengukuran yang terjadi tidak
berdistribusi normal. Pengujian variansi ini dilakukan dengan membuat plot
antara residu (studentized residu) terhadap variabel independen.
3. Independensi residu
Nilai variabel dependen yang diprediksi harus independen satu sama lain.
Untuk mendeteksinya dapat dilakukan dengan membuat plot antara residu
dengan variabel independen. Apabila residu bersifat independen, maka plot
akan terlihat random.
4. Residu yang berdistribusi normal
Sifat kenormalan harus dimiliki oleh variabel independen dan dependen.
Pengujian ini dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan visual terhadap
histogram residu. Metode lain yang dapat dilakukan adalah dengan membuat
normal probability plot, yaitu plot antara residu yang distandarisasi dengan
plot distribusi normal. Jika normal, plot residu akan mengikuti garis lurus.
Pemilihan variabel independen yang dimasukkan ke dalam model regresi
dapat dilakukan dengan teknik enter/confirmatory atau teknik stepwise. Pada
teknik enter, seluruh variabel independen dimasukkan ke dalam model regresi.
Sebaliknya, teknik stepwise menekankan pada kontribusi signifikan masing-
masing variabel independen dalam menjelaskan variansi yang terdapat pada
variabel dependen. Indikator signifikansi yang digunakan untuk melibatkan suatu
variabel ke dalam model regresi yang terbentuk adalah nilai t. Dalam penelitian
Bab II Studi Literatur
36
ini, teknik pemilihan variabel dilakukan dengan teknik stepwise sehingga
diharapkan variabel-variabel independen yang terlibat dalam model regresi
merupakan variabel dengan kontribusi besar untuk menjelaskan variansi variabel
dependen.
Interpretasi dilakukan dengan menganalisis koefisien regresi yang
terbentuk pada model regresi. Koefisien regresi menunjukkan bobot yang dimiliki
setiap variabel independen pada persamaan regresi. Namun, untuk mengetahui
tingkat kepentingan antar variabel independen yang digunakan perlu diperhatikan
nilai koefisien beta. Koefisien beta merupakan koefisien regresi yang sudah
distandarisasikan sehingga tidak lagi mengandung satuan pengukuran variabel
independen.
Hal yang perlu diperhatikan dari model regresi yang terbentuk adalah
keberadaan multikolinearitas, yaitu hubungan antar variabel independen.
Multikolinieritas dapat mempengaruhi kemampuan model dalam menjelaskan dan
mengestimasi variabel dependen. Parameter yang mengindikasikan hadirnya
multikolinieritas pada model regresi adalah Variance Inflation Factor (VIF) dan
tolerance.
Validasi model regresi yang terbentuk dapat dilakukan dengan cara (Hair,
et al. 1998):
1. Menambah atau membagi dua sampel
Untuk melakukan validasi ini dapat dipilih sampel baru atau mengambil
sebagian dari sampel terdahulu.
2. Menghitung statistik press
Metode validasi ini dilakukan dengan menghilangkan satu per satu observasi
dan memprediksi nilai variabel dependen menggunakan sejumlah observasi
yang tersedia.
2. Membandingkan model regresi
Cara ini dilakukan dengan membandingkan suatu model regresi terhadap
model regresi lain yang melibatkan jumlah variabel independen dan atau
ukuran sampel berbeda. Kriteria kebaikan model seperti R2, SEE dapat
digunakan.
Bab II Studi Literatur
Bab II Studi Literatur
Melalui Gambar II.3, ditunjukkan beberapa penelitian yang mengkaji
masalah pekerjaan fleksibel, karakterististik pekerjaan serta kualitas kehidupan
kerja. Beberapa penelitian mampu mengaitkan antar bidang tersebut, seperti Hani
(2004) serta Carayon et al. (2003). Namun belum ada penelitian yang mampu
secara bersama-sama mengaitkan ketiga bidang tersebut. Penelitian ini hadir
dengan mengangkat tema karakteristik pekerjaan fleksibel dalam kaitannya
terhadap kualitas kehidupan kerja. Daftar selengkapnya mengenai judul dan obyek
penelitian dapat dilihat pada Tabel II.2.
II.5 POSISI PENELITIAN
3. Memprediksi dengan model
Metode validasi ini dilakukan dengan memprediksi model menggunakan
sejumlah sampel penelitian yang baru.
Gambar II.3 Posisi Penelitian
37
38
Tabel II.2 Posisi penelitian No Nama Tahun Judul Penelitian Obyek Adopsi Model
1 Arum Sari 1988 Evaluasi Model Karakteristik Pekerjaan yang Diajukan Oleh R.Hackman dan G. Oldham untuk Kasus PT. IPTN
PT. IPTN Hackman dan Oldham (1980)
2 Leonardi, T., dan Frew, D. 1991 Applying Job Characteristic Theory to Adult
Probation Aparat penegak hukum
Pennsylvania Hackman dan Oldham (1980)
3 Ellen Rusliati 1991 Perilaku Penyelia Pemasaran yang Efektif dengan Memperhatikan Faktor Situasi Kedewasaan Bawahan dan Karakteristik Pekerjaan
PT. Dexa Medica Hackman dan Oldham (1980)
4 Ina Primiana 1994 Mempelajari Profil dan Hubungan Karakteristik Pekerjaan dan Karakteristik Usaha terhadap Pembentukan Keahlian
Pekerja Bangunan di Bandung
Imbalan, Umur saat masuk kerja, status pekerja,
pendidikan, pengalaman, masa kerja
5 Nyoman Wisnawa 1997
Identifikasi Perubahan Internal dan Eksternal Organisasi yang Berpengaruh terhadap Budaya Kerja dan Kualitas Kehidupan Kerja Di PT. PLN
PT. PLN Nadler dan Lawler (1985);
Burstein (1985); Gopenhaver dan Guest (1985)
6 Jimmy Gozali 1998 Pengaruh Karakteristik Pekerjaan terhadap Kepuasan Kerja Karyawan Bagian Produksi PT. Multi Busana
PT. Multi Busana Hackman dan Oldham (1980)
7 Johnson, S.K. 1999 A Longitudinal Study of Quality of Work Life and Business Performance
Kinerja keuangan perusahaan di Amerika Lau dan May (1998)
8 Christina Iriany N. 2003 Identifikasi Motif-Motif yang Mendasari Pekerja
Melakukan Kerja Fleksibel Penyiar, MLM person, Pekerja
Proyek Teori Motivasi Herzberg
9 Davis, B., dan Wright, B 2003 Job Satisfaction In The Public Sector: The Role of
the Work Environment Karakteristik pekerjaan dan
organisasi sektor publik DeSantis & Durst (1996)
Bab II Studi Literatur
39
Tabel II.2 Posisi penelitian (Lanjutan) No Nama Tahun Judul Penelitian Obyek Adopsi Model
10
Carayon, Hoonakker,
Marchand, & Schwarz
2003 Job characteristics and quality of working life in the IT workforce: the role of Gender Pekerja IT Vs Non IT
Hackman dan Oldham (1980), tekanan pekerjaan dan Davis
(1983)
11 Dina Apriliawati 2004 Identifikasi Kebutuhan Kompetensi untuk Pekerja
Fleksibel Salesman, Penyiar radio,
Bimbingan Belajar Teori Kompetensi Spencer
12 Hani S.H. 2004 Identifikasi Karakteristik Pekerjaan Menurut Hackman dan Oldham pada Pekerjaan Fleksibel
Wartawan, penyiar radio, MLM person, account manager Hackman dan Oldham (1980)
13 Dahnila D. 2004 Identifikasi Manfaat Impelemtasi Kerja Fleksibel Bagi Perusahaan
Account Manager PT. Telkom Divre III C. Selby dan F. Wilson (2001)
14 Rose, Beh, Uli, dan Idris, 2006 An Analysis of Quality of Work Life (QWL) and
Career-Related Variables Pekerja perusahaan multinasional
dan UKM Malaysia Sommer, Bae and Luthans
(1995)
15 Saraji dan Dargahi 2006 Study of Quality of Work Life Tenaga medis di Iran Walton (1973), Survey QWL
pekerja medis 2004
16 Esti Wulandari 2008 Pengaruh Karakteristik Pekerjaan Fleksibel Terhadap Kualitas Kehidupan Kerja (Studi: Pekerjaan Agen Asuransi)
Agen asuransi dari 6 perusahaan asuransi di Bandung
Hackman dan Oldham (1980); Rangkuman dimensi QWL
beberapa peneliti (Walton, 1973; Robbins, 1989; Cascio, 1995; Wisnawa, 1997; Carayon et al. 2003; Saraji dan
Dargahi, 2006)
Bab II Studi Literatur
Recommended