View
223
Download
2
Category
Preview:
Citation preview
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI.
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) adalah suatu penyakit yang
dikarakteristikkan oleh adanya hambatan aliran udara secara kronis dan
perubahan-perubahan patologi pada paru, dimana hambatan aliran udara
saluran nafas bersifat progresif dan tidak sepenuhnya reversibel dan
berhubungan dengan respon inflamasi yang abnormal dari paru-paru terhadap
gas atau partikel yang berbahaya.1,2
2.2 EPIDEMIOLOGI.
Pada studi populasi selama 40 tahun, didapati bahwa hipersekresi mukus
merupakan suatu gejala yang paling sering terjadi pada PPOK, penelitian ini
menunjukkan bahwa batuk kronis, sebagai mekanisme pertahanan akan
hipersekresi mukus di dapati sebanyak 15-53% pada pria paruh umur, dengan
prevalensi yang lebih rendah pada wanita sebanyak 8-22%. Studi prevalensi
PPOK pada tahun 1987 di Inggris dari 2484 pria dan 3063 wanita yang berumur
18-64 tahun dengan nilai VEP1 berada 2 simpang baku di bawah VEP prediksi,
dimana jumlahnya meningkat seiring usia, khususnya pada perokok.16
Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa menjelang tahun
2020 prevalensi PPOK akan meningkat sehingga sebagai penyebab penyakit
tersering peringkatnya meningkat dari ke-12 menjadi ke-5 dan sebagai
penyebab kematian tersering peringkatnya juga meningkat dari ke-6 menjadi
Universitas Sumatera Utara
ke-3. Pada 12 negara Asia Pasifik, WHO menyatakan angka prevalensi PPOK
sedang-berat pada usia 30 tahun keatas, dengan rerata sebesar 6,3%, dimana
Hongkong dan Singapura dengan angka prevalensi terkecil yaitu 3,5% dan
Vietnam sebesar 6,7%.
Tabel 1. Prevalensi PPOK Pada negara-negara miskin, 1990.22
Indonesia sendiri belumlah memiliki data pasti mengenai PPOK ini
sendiri, hanya Survei Kesehatan Rumah Tangga DepKes RI 1992
menyebutkan bahwa PPOK bersama-sama dengan asma bronkhial menduduki
peringkat ke-6 dari penyebab kematian terbanyak di Indonesia.1,2,7
Tingkat morbiditas dan mortalitas PPOK sendiri cukup tinggi di seluruh
dunia. Hal ini di buktikan dengan besarnya kejadian rawat inap, seperti di
Amerika Serikat pada tahun 2000 terdapat 8 juta penderita PPOK rawat jalan
dan sebesar 1,5 juta kunjungan pada Unit Gawat Darurat dan 673.000 kejadian
rawat inap. Angka kematian sendiri juga semakin meningkat sejak tahun 1970,
dimana pada tahun 2000, kematian karena PPOK sebesar 59.936 vs 59.118
Universitas Sumatera Utara
pada wanita vs pria secara berurutan. Di bawah ini di gambarkan angka
kematian pria per 100.000 populasi.
Tabel 2. Angka kematian pria per 100.000 populasi.22
2.3. Faktor Risiko.
PPOK yang merupakan inflamasi lokal saluran nafas paru, akan ditandai
dengan hipersekresi mucus dan sumbatan aliran udara yang persisten.
Gambaran ini muncul dikarenakan adanya pembesaran kelenjar di bronkus
pada perokok dan membaik saat merokok di hentikan. Terdapat banyak faktor
risiko yang diduga kuat merupakan etiologi dari PPOK. Faktor-faktor risiko yang
ada adalah genetik, paparan partikel, pertumbuhan dan perkembangan paru,
stres oksidatif, jenis kelamin, umur, infeksi saluran nafas, status sosioekonomi,
nutrisi dan komorbiditas.1,16
2.3.1 Genetik.
PPOK merupakan suatu penyakit yang poligenik disertai
interaksi lingkungan genetik yang sederhana. Faktor risiko genetik yang
paling besar dan telah di teliti lama adalah defisiensi α1 antitripsin, yang
merupakan protease serin inhibitor. Biasanya jenis PPOK yang
merupakan contoh defisiensi α1 antitripsin adalah emfisema paru yang
Universitas Sumatera Utara
dapat muncul baik pada perokok maupun bukan perokok, tetapi memang
akan diperberat oleh paparan rokok. Bahkan pada beberapa studi
genetika, dikaitkan bahwa patogenesis PPOK itu dengan gen yang
terdapat pada kromosom 2q.1
2.3.2 Paparan Partikel Inhalasi.
Setiap individu pasti akan terpapar oleh beragam partikel
inhalasi selama hidupnya. Tipe dari suatu partikel, termasuk ukuran dan
komposisinya, dapat berkontribusi terhadap perbedaan dari besarnya
risiko dan total dari risiko ini akan terintegrasi secara langsung terhadap
pejanan inhalasi yang didapat. Dari berbagai macam pejanan inhalasi
yang ada selama kehidupan, hanya asap rokok dan debu-debu pada
tempat kerja serta zat-zat kimia yang diketahui sebagai penyebab PPOK.
Paparan itu sendiri tidak hanya mengenai mereka yang merupakan
perokok aktif, bahkan pada perokok pasif atau dengan kata lain
environmental smokers itu sendiri pun ternyata risiko menderita PPOK
menjadi tinggi juga. Pada perokok pasif didapati penurunan VEP1
tahunan yang cukup bermakna pada orang muda yang bukan perokok.
Bahkan yang lebih menarik adalah pengaruh rokok pada bayi jika ibunya
perokok aktif atau bapaknya perokok aktif dan ibunya menjadi perokok
pasif, selain didapati berat bayi lebih rendah, maka insidensi anak untuk
menderita penyakit saluran pernafasan pada 3 tahun pertama menjadi
meningkat.1,16 Shahab dkk melaporkan hal yang juga amat menarik
bahwa ternyata mereka mendapatkan besarnya insidensi PPOK yang
Universitas Sumatera Utara
telah terlambat didiagnosis, memiliki kebiasaan merokok yang tinggi.
PPOK yang berat berdasarkan derajat spirometri, didapatkan hanya
sebesar 46,8% ( 95% CI 39,1-54,6) yang mengatakan bahwa mereka
menderita penyakit saluran nafas, sisanya tidak mengetahui bahwa
mereka menderita penyakit paru dan tetap merokok. Status merokok
justru didapatkan pada penderita PPOK sedang dibandingkan dengan
derajat keparahan yang lain. Begitu juga mengenai riwayat merokok
yang ada, ternyata prevalensinya tetap lebih tinggi pada penderita PPOK
yang sedang (7,1%, p<0,02).23
Paparan lainya yang dianggap cukup mengganggu adalah
debu-debu yang terkait dengan pekerjaan ( occupational dusts ) dan
bahan-bahan kimia. Meskipun bahan-bahan ini tidak terlalu menjadi
sorotan menjadi penyebab tingginya insidensi dan prevalensi PPOK,
tetapi debu-debu organik dan inorganik berdasarkan analisa studi
populasi NHANES III didapati hampir 10.000 orang dewasa berumur 30-
75 tahun menderita PPOK terkait karena pekerjaan. American Thoracic
Society (ATS) sendiri menyimpulkan 10-20% paparan pada pekerjaan
memberikan gejala dan kerusakan yang bermakna pada PPOK.16
Polusi udara dalam ruangan yang dapat berupa kayu-
kayuan, kotoran hewan, sisa-sisa serangga, batubara, asap dari kompor
juga akan menyebabkan peningkatan insidensi PPOK khususnya pada
wanita. Selain itu, polusi udara diluar ruangan juga dapat menyebabkan
progresifitas kearah PPOK menjadi tinggi seperti seperti emisi bahan
bakar kendaraan bermotor. Kadar sulfur dioksida (SO2) dan nitrogen
Universitas Sumatera Utara
dioksida (NO2) juga dapat memberikan sumbatan pada saluran nafas
kecil (Bronkiolitis) yang semakin memberikan perburukan kepada fungsi
paru.1,17
2.3.3 Pertumbuhan dan perkembangan paru.
Pertumbuhan dan perkembangan paru yang kemudian
menyokong kepada terjadinya PPOK pada masa berikutnya lebih
mengarah kepada status nutrisi bayi bayi pada saat dalam kandungan,
saat lahir, dan dalam masa pertumbuhannya. Dimana pada suatu studi
yang besar didapatkan hubungan yang positif antara berat lahir dan
VEP1 pada masa dewasanya.1
2.3.4 Stres Oksidatif.
Paparan oksidan baik dari endogen maupun eksogen terus
menerus dialami oleh paru-paru. Sel paru-paru sendiri sebenarnya telah
memiliki proteksi yang cukup baik secara enzimatik maupun non
enzimatik. Perubahan keseimbangan antara oksidan dan anti oksidan
yang ada akan menyebabkan stres oksidasi pada paru-paru. Hal ini akan
mengaktivasi respon inflamasi pada paru-paru. Ketidak seimbangan
inilah yang kemudian memainkan peranan yang penting terhadap
patogenesis PPOK.1
Universitas Sumatera Utara
2.3.5 Jenis Kelamin.
Jenis kelamin sebenarnya belum menjadi faktor risiko yang
jelas pada PPOK. Pada beberapa waktu yang lalu memang tampak
bahwa prevalensi PPOK lebih sering terjadi pada Pria di bandingkan
pada wanita, tetapi penelitian dari beberapa negara maju menunjukkan
bahwa ternyata saat ini insidensi antara pria dan wanita ternyata hampir
sama, dan terdapat beberapa studi yang mengatakan bahwa ternyata
wanita lebih rentan untuk dirusak oleh asap rokok dibandingkan pria. Hal
ini dikarenakan perubahan kebiasaan, dimana wanita lebih banyak yang
merupakan perokok saat ini.24
2.3.6 Infeksi.
Infeksi, baik viral maupun bakteri akan memberikan peranan
yang besar terhadap patogenesis dan progresifitas PPOK dan kolonisasi
bakteri berhubungan dengan terjadinya inflamasi pada saluran
pernafasan dan juga memberikan peranan yang penting terhadap
terjadinya eksaserbasi. Kecurigaan terhadap infeksi virus juga
dihubungkan dengan PPOK, dimana kolonisasi virus seperti rhinovirus
pada saluran nafas berhubungan dengan peradangan saluran nafas dan
jelas sekali berperan pada terjadinya eksaserbasi akut pada PPOK.
Riwayat tuberkulosis juga dihubungkan dengan di temukannya obstruksi
saluran nafas pada dewasa tua pada saat umur diatas 40 tahun.1,17
Universitas Sumatera Utara
2.3.7 Status sosioekonomi dan nutrisi.
Meskipun tidak terlalu jelas hubungannya, apakah paparan
polutan baik indoor maupun outdoor dan status nutrisi yang jelek serta
faktor lain yang berhubungan dengan kejadian PPOK, tetapi semua
faktor-faktor tersebut berhubungan erat dengan status sisioekonomi.1
2.3.8 Komorbiditas.
Asma memiliki faktor risiko terhadap kejadian PPOK, dimana
didapatkan dari suatu penelitian pada Tucson Epidemiologi Study of
Airway Obstructive Disease, bahwa orang dewasa dengan asma akan
mengalami 12 kali lebih tinggi risiko menderita PPOK.1
2.4 PATOLOGI, PATOGENESIS dan PATOFISIOLOGI.
Perubahan patologi pada PPOK mencakup saluran nafas yang
besar dan kecil bahkan unit respiratori terminal. Secara gamblang, terdapat 2
kondisi pada PPOK yang menjadi dasar patologi yaitu bronkitis kronis dengan
hipersekresi mukusnya dan emfisema paru yang ditandai dengan pembesaran
permanen dari ruang udara yang ada, mulai dari distal bronkiolus terminalis,
diikuti destruksi dindingnya tanpa fibrosis yang nyata.16
Penyempitan saluran nafas tampak pada saluran nafas yang besar dan
kecil yang disebabkan oleh perubahan konstituen normal saluran nafas
terhadap respon inflamasi yang persisten. Epitel saluran nafas yang dibentuk
oleh sel skuamous akan mengalami metaplasia, sel-sel silia mengalami atropi
dan kelenjar mukus menjadi hipertropi. Proses ini akan direspon dengan
Universitas Sumatera Utara
terjadinya remodeling saluran nafas tersebut, hanya saja proses remodeling ini
justru akan merangsang dan mempertahankan inflamasi yang terjadi dimana T
CD8+ dan limfosit B menginfiltrasi lesi tersebut. Saluran nafas yang kecil akan
memberikan beragam lesi penyempitan pada saluran nafasnya, termasuk
hiperplasia sel goblet, infiltrasi sel-sel radang pada mukosa dan submukosa,
peningkatan otot polos.17
Gambar 1. Gambaran Epitel saluran nafas pada PPOK dan orang sehat.4
Pada emfisema paru yang dimulai dengan peningkatan jumlah alveolar
dan septal dari alveolus yang rusak, dapat terbagi atas emfisema sentrisinar (
sentrilobular ), emfisema panasinar ( panlobular ) dan emfisema periasinar (
perilobular ) yang sering dibahas dan skar emfisema atau irreguler dan
emfisema dengan bulla yang agak jarang dibahas. Pola kerusakan saluran
nafas pada emfisema ini menyebabkan terjadinya pembesaran rongga udara
pada permukaan saluran nafas yang kemudian menjadikan paru-paru menjadi
terfiksasi pada saat proses inflasi.16
Inflamasi pada saluran nafas pasien PPOK merupakan suatu respon
inflamasi yang diperkuat terhadap iritasi kronik seperti asap rokok. Mekanisme
ini yang rutin dibicarakan pada bronkitis kronis, sedangkan pada emfisema
Universitas Sumatera Utara
paru, ketidak seimbangan pada protease dan anti protease serta defisiensi α 1
antitripsin menjadi dasar patogenesis PPOK. Proses inflamasi yang melibatkan
netrofil, makrofag dan limfosit akan melepaskan mediator-mediator inflamasi
dan akan berinteraksi dengan struktur sel pada saluran nafas dan parenkim.
Secara umum, perubahan struktur dan inflamasi saluran nafas ini meningkat
seiring derajat keparahan penyakit dan menetap meskipun setelah berhenti
merokok.18
Peningkatan netrofil, makrofag dan limfosit T di paru-paru akan
memperberat keparahan PPOK. Sel-sel inflamasi ini akan melepaskan
beragam sitokin dan mediator yang berperan dalam proses penyakit,
diantaranya adalah leucotrien B4, chemotactic factors seperti CXC chemokines,
interlukin 8 dan growth related oncogene α, TNF α, IL-1ß dan TGFß. Selain itu
ketidakseimbangan aktifitas protease atau inaktifitas antiprotease, adanya stres
oksidatif dan paparan faktor risiko juga akan memacu proses inflamasi seperti
produksi netrofil dan makrofagserta aktivasi faktor transkripsi seperti nuclear
factor κß sehingga terjadi lagi pemacuan dari faktor-faktor inflamasi yang
sebelumnya telah ada.19,20
Hipersekresi mukus menyebabkan abtuk produktif yang kronik
serta disfungsi silier mempersulit proses ekspektorasi, pada akhirnya akan
menyebabkan obstruksi saluran nafas pada saluran nafas yang kecil dengan
diameter < 2 mm dan air trapping pada emfisema paru. Proses ini kemudian
akan berlanjut kepada abnormalitas perbandingan ventilasi : perfusi yang pada
tahap lanjut dapat berupa hipoksemia arterial dengan atau tanpa hiperkapnia.
Progresifitas ini berlanjut kepada hipertensi pulmonal dimana abnormalitas
Universitas Sumatera Utara
perubahan gas yang berat telah terjadi. Faktor konstriksi arteri pulmonalis
sebagai respon dari hipoksia, disfungsi endotel dan remodeling arteri
pulmonalis (hipertropi dan hiperplasi otot polos) dan destruksi Pulmonary
capillary bad menjadi faktor yang turut memberikan kontribusi terhadap
hipertensi pulmonal.16,25
2.5 INFLAMASI PADA PPOK.
2.5.1 Inflamasi Lokal dan Sistemik.
Belakangan ini banyak bukti terhadap inflamasi
sistemik pada PPOK peningkatan kadar sitokin pro inflamasi dan
protein fase akut tampak pada PPOK yang stabil, dimana
sebelumnya memang sudah diketahui luas bahwa kedua faktor
inflamasi itu terkait dengan eksaserbasi pada PPOK. Inflamasi ini
kemudian akan mempengaruhi banyak sistem sehingga
menelurkan pendapat bahwa PPOK sebagai penyakit multi
komponen.19
Hambatan aliran udara pada saluran nafas, terkait
dengan perubahan-perubahan seluler dan struktural pada PPOK
ketika proses inflamasi tersebut meluas keparenkim dan arteri
pulmonalis. Asap rokok diamati memang memancing reaksi
inflamasi yang ditandai dengan infiltrasi limfosit T, neutropil dan
makrofag pada dinding saluran nafas. Disamping itu terjadi juga
pergeseran akan keseimbangan limfosit T CD4+/CD8+, dimana
Universitas Sumatera Utara
limfosit T sitotoksik (CD8+) akan menginfiltrasi saluran nafas sentral
dan perifer. Neutrofil yang juga meningkat pada kelenjar bronkus
pasien dengan PPOK memberikan peranan yang penting juga
terhadap hipersekresi mukus, dimana hal ini kemudian memacu
ekspresi gen IL-4 yang mengekspresikan sejumlah besar sel-sel
inflamasi pada subepitel bronkus dan kelenjar submukosa
penghasil sekret.19
TNF α yang merupakan sitokin proinflamasi yang potensial
akan berkoordinasi dan menyebabkan peningkatan sitokin-sitokin
lainnya seperti IL-1 dan IL-6 yang kemudian akan menginduksi
angiogenesis. Peningkatan sitokin-sitoin diatas selain berada
didalam saluran nafas, juga beredar di sirkulasi sistemik.
Peningkatan sitokin-sitokin proinflamasi pada saluran nafas sebagai
petanda inflamasi lokal, juga akan memberikan gambaran pada
peningkatan sel-sel inflamasi secara sistemik, termasuk didalamnya
neutrofil dan limfosit pada gambaran darah tepi.5
Asal inflamasi sistemik pada PPOK sebenarnya tidaklah
terlalu jelas dimengerti, tetapi terdapat beberapa jalur yang
diperhitungkan dapat menjelaskan proses tersebut. Mekanisme
pertama yang telah diketahui luas adalah salah satu faktor risiko
yaitu asap rokok.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2. Mekanisme Inflamasi Pada PPOK.4
Selain menyebabkan inflamasi pada saluran nafas, asap rokok sendiri
secara independen menyebabkan efek ekstra pulmoner seperti kejadian
kardiovaskular dan inflamasi sistemik melalui stres oksidatif sistemik dan
disfungsi endotel vaskular perifer dan menariknya kejadian ini juga akan dialami
oleh perokok pasif meski hanya terpapar beberapa tahun. Mekanisme kedua
yang bertolak belakang dari mekanisme pertama menyatakan bahwa respon
inflamasi lokal ber diri sendiri, begitu juga inflamasi sistemik. Hal ini dibuktikan
dari penelitian akan kadar TNFαR dan IL8 pada sputum yang ternyata
meskipun tinggi pada sputum, ternyata tidak menunjukkan adanya inflamasi
sistemik yang berat. Begitu juga pada orang sehat yang dipaparkan akan
produk bakterial yang pro inflamasi, lipopolisakarida memang menunjukkan
adanya proses inflamasi lokal berupa kenaikan temperatur tubuh, reaktifitas
Universitas Sumatera Utara
saluran nafas dan penurunan FEV1, hanya saja terjadi perbedaan dimana
memang inflamasi sistemik tampak pada subjek yang mengalami demam,
tetapi tidak pada subjek yang hanya mengalami gangguan saluran nafas tanpa
demam. Mekanisme ketiga yang diduga adalah hipoksia, dan ini merupakan
masalah berulang pada PPOK, dimana hipoksia yang terjadi akibat
penyempitan saluran nafas, akan mengaktivasi sistem TNF dan makrofag yang
menyebabkan peningkatan sitokin proinflamasi pada sirkulasi perifer.21
Gambar 3. Lingkaran terjadinya proses kerusakan pada PPOK.26
2.5.2 TNF Alpha pada PPOK.
TNF Alpha atau sinonim lainnya Lymphotoxin B, Cachectin adalah
sitokin inflamasi pleotropik . Teori tentang respon anti tumoral dari sistim imun
secara in vivo sudah di ketahui sejak 100 tahun yang lalu oleh seorang medis
William B. Coley. Pada tahun 1968 Dr. Gale A Granger dari University of
California melaporkan adanya faktor sitotoksik yang dihasilkan oleh lymphocyte
dan diberi nama Lymphotoxin (LT). Sesudah itu pada tahun 1975 Dr. Lloyd J.
Old dari Memorial Sloan-Kettering Cancer Center, New York , melaporkan
Universitas Sumatera Utara
faktor sitotoksik lainnya yang diproduksi oleh makrofag dan diberi nama Tumor
Necrosis Factor (TNF). 8,10
Tumor Necrosis Factor (TNF)-α adalah sitokin pleotropik yang
memiliki efek yang bermacam-macam, seperti growth promotion, growth
inhibition, angiogenesis, cytotoxicity, inflammation, dan imunomodulation yang
berimplikasi terhadap beberapa kondisi inflamasi. Sitokin ini tidak hanya
diproduksi oleh aktivasi makrofag tetapi juga oleh sistim imun yang lainnya
meliputi : lymphocytes, natural killer cells, mast cells dan jaringan stromal
meliputi : endotelhelial cells, fibroblasts, microglial cells. TNF di sintesis oleh
monomeric Type-2 transmembrane protein (tmTNF) berada didalam membran
homotrimer dan membelah menjadi matrix metalloprotease TNF-α converting
enzyme (TACE) dan untuk soluble circulating trimer (solTNF). Dimana
keduanya tmTNF dan solTNF merupakan bentuk biologi yang aktif.
Keseimbangan antara tmTNF dan solTNF menberikan signal yang dapat
mempengaruhi tipe dari sel, aktivasi dari sel, dan menstimulus produksi dari
TNF, aktifitas TACE, dan ekspresi dari endogenous TACE inhibitors merupakan
petunjuk efek dari penyimpangan TNF mediated pada kelangsungan hidup
sel.13
Alveolar macrophages memainkan peranan yang penting sebagai
imunitas bawaan dan didapat., yang berperan sebagai pertahanan patogen
terhadap paru-paru, pembersih dari partikel-partikel inhalasi dan respon
inflamasi. Alveolar macrophages memiliki tempat yang unik di dalam tubuh,
karena mereka berlokasi diantara penghubung yaitu udara dan jaringan paru-
paru, dan bertindak sebagai pertahan pertama terhadap pertikel-partikel
Universitas Sumatera Utara
inhalasi yang berasal dari udara. Normalnya alveolar macrophages berjumlah
kurang lebih 95% dari leukosit airspace , serta 1 sampai 4% limphosit dan
hanya 1% neutophil, ini adalah alasannya bahwa alveolar macrophages
berhubungan dengan sel phagositosis dari sistem imun bawaan pada paru-
paru. Sel ini memegang peranan sebagai poros dari proses inflamasi pada
PPOK. Alveolar macrophages mengalami kenaikan (5-10 kali) pada saluran
nafas, parenkim paru, Broncho Alveolar Lavage (BAL) dan sputum pada
penderita PPOK yang merokok dan peningkatan jumlah makrophag ini juga
berhubungan dengan tingkat keparahan dari PPOK.
Paparan asap rokok memang merupakan penyebab tersering dari
PPOK, di mana sebagai akibat dari asap rokok ini akan mengaktivasi makrofag
untuk melepaskan beberapa mediator inflamasi, salah satunya adalah TNFα.
TNFα di percaya memerankan peranan yang sangat penting terhadap
patofisiologi dari PPOK. TNFα di perlihatkan pada binatang percobaan yang
dapat menginduksi perubahan patologi pada PPOK, termasuk infiltrasi sel
inflamasi pada paru-paru, fibrosis paru dan emphisema. Secara In vivo
peninggian kadar TNFα juga dapat di jumpai pada darah perifer, biopsi
bronkhial, induksi sputum dan BAL dari pasien-pasien PPOK stabil yang
dibandingkan dengan kontrol.9,13
2.6 DIAGNOSIS.
Penderita yang datang dengan keluhan klinis dispneu, batuk kronik
atau produksi sputum dengan atau tanpa riwayat paparan faktor risiko PPOK
sebaiknya dipikirkan sebagai PPOK. Diagnosis PPOK di pastikan melalui
Universitas Sumatera Utara
pemeriksaan spirometri paksa bronkhodilator. Perasaan rasa sesak nafas dan
dada terasa menyempit merupakan gejala non spesifik yang dapat bervariasi
seiring waktu yang dapat muncul pada seluruh derajat keparahan PPOK.1
Pemeriksaan fisik memainkan peranan penting untuk diagnosis
PPOK. Tanda fisik hambatan aliran udara biasanya tidak muncul hingga
terdapat kerusakan yang bermakna dari fungsi paru muncul, dan deteksi
memiliki nilai sensitifitas dan spesifisitas yang rendah. Pada inspeksi dapat di
temukan sentral sianosis, bentuk dada “barel-shaped”, takhipneu, edema
tungkai bawah sebagai tanda kegagalan jantung kanan. Perkusi dan palpasi
jarang membantu diagnosis PPOK kecuali tanda-tanda hiperinflasi yang akan
mengaburkan batas jantung dan menurunkan batas paru-hati. Auskultasi sering
memberikan kelemahan saluran nafas, dapat dengan disertai adanya mengi.17
Uji faal paru dengan spirometri merupakan suatu hal yang wajib di
lakukan pada penderita yang memang sudah di curigai PPOK untuk lebih
memastikan diagnosa yang ada sekaligus memantau progresifitas penyakit.
Perangkat ini merupakan alat bantu diagnosis yang paling objektif,
terstandarisasi dan most reproducible akan adanya hambatan aliran nafas.
Spirometri akan menilai Kapasitas Vital Paksa (KVP) Paru dan Volume
Ekspirasi Paksa 1 detik (VEP1) yang didasarkan pada umur, tinggi badan, jenis
kelamin dan ras. Diagnosa PPOK ditegakkan bila didapati nilai paksa paska
bronkodilatornya VEP1/KVP < 0,70 dan VEP1 < 80% prediksi, dan berdasarkan
penilaian VEP1 tadi, dapat dinilai derajat keparahan dari PPOK.27,28
Gambaran foto dada yang abnormal jarang tampak pada PPOK,
kecuali adanya bulosa pada paru. Perubahan radiologis yang mungkin adalah
Universitas Sumatera Utara
adanya tanda hiperinflasi (pendataran diafragma dan peningkatan volume
udara pada rongga retrosternal), hiperlusensi paru dan peningkatan corak
vaskuler paru. Selain itu radiologis membantu dalam melihat komorbiditas
seperti gambaran gagal jantung. Untuk kepentingan operatif, CT Scan paru
juga memegang peranan penting.1
Universitas Sumatera Utara
Recommended