View
16
Download
3
Category
Preview:
Citation preview
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Endometrium pada Siklus Menstruasi Normal
Endometrium merupakan mukosa permukaan kavum uteri yang sangat
dinamis. Dibawah pengaruh steroid ovarium, estrogen dan progesteron,
endometrium mengalami pertumbuhan siklik , diferensiasi dan regresi yang
memunculkan fase proliferasi, sekresi, dan menstruasi. Adanya fase sekresi yang
baik sangat menentukan keberhasilan blastokis untuk berimplantasi dalam proses
terjadinya kehamilan.
Endometrium secara morfologi terbagi atas stratum fungsionalis dan
stratum basalis. Stratum fungsionalis meliputi dua pertiga atas endometrium
berfungsi untuk mempersiapkan implantasi blastokis, dan merupakan tempat
proliferasi, sekresi dan degenerasi. Stratum basalis meliputi sepertiga bawah
endometrium, menyiapkan regenerasi endometrium menggantikan stratum
fungsionalis yang hilang saat menstruasi (Fritz & Speroff, 2011; Lessey & Young,
2014).
Hormon steroid ovarium, estrogen dan progesteron, mengatur fase fase
dalam mempersiapkan implantasi melalui respon endometrium yang spesifik.
Kedua hormon ini berikatan dengan reseptor inti masing masing dan berinteraksi
dengan co-chaperones dan co-regulators yang spesifik sehingga dapat berfungsi
optimal. Reseptor P4 (PR-A dan PR-B) serta reseptor E2 (ERα dan ERβ)
diekspresikan di uterus. Untuk mencapai reseptivitas endometrium dan implantasi,
8
kerja estrogen terutama melalui ERα (Esr1), karena pada mencit dengan Esr1−/−
uterus menjadi hipoplastik dan infertil. Mencit tanpa isoform PR-A dan PR-B
(Pgr−/−) juga infertil dengan defek di ovarium dan uterus, tapi tampaknya PR-A
merupakan isoform utama bagi implantasi, karena jika mencit hanya tidak
memiliki PR-B memiliki fertilitas yang normal (Cha, et al.,2012).
Pada manusia , dengan siklus 28-30 hari, siklus haid dimulai dengan
terjadinya menstruasi. Terjadinya fase proliferasi dipengaruhi oleh meningkatnya
kadar estrogen yang dihasilkan oleh pertumbuhan folikel di ovarium, yang
mengakibatkan terjadinya proliferasi pada epitel, stroma, dan endotel pembuluh
darah dalam proses regenerasi endometrium. Kelenjar bertumbuh dan berkelok
kelok pada fase proliferasi lanjut. Meningkatnya kadar gonadotropin dari hipofise
pada fase ini menyebabkan terjadinya folikulogenesis dan seleksi folikel dominan.
Pada pertengahan siklus, terjadi lonjakan gonadotropin , FSH dan LH, yang
mengakibatkab terjadinya ovulasi dihari ke 14 (Cha, et al.,2012).
Fase sekresi awal ditandai dengan menebalnya endometrium dan
pembentukan korpus luteum dari folikel yang berovulasi dan selanjutnya terjadi
sekresi P4 sebagai persiapan bagi implantasi. Kelenjar kelenjar bersekresi disertai
dengan difrensiasi sel stroma (predesidualisasi) dan edema endometrium sebagai
persiapan implantasi (Cha, et al.,2012).
Peningkatan E2 dan P4 selanjutnya memastikan terjadinya reseptivitas
endometrium pada fase midluteal ( hari ke 20-22 siklus), yang menjadikan
keadaan kondusif bagi implantasi dan terjadinya kehamilan. Jika tidak terdapat
embrio, jendela reseptif secara spontan akan berubah ke fase refrakter,
menyebabkan terjadinya luteolisis, withdrawal hormon, dan menstruasi, yang
akan mengakhiri siklus. Sebaliknya, embrio yang berimplantasi akan mensekresi
hCG untuk mempertahankan korpus luteum, dan mendukung kehamilan (Cha, et
al.,2012).
Gambar 2.1 Lapisan endometrium (Fritz & Speroff, 2011)
2.1.1 Endometrium fase menstruasi
Endometrium saat menstruasi menjadi tipis dan padat, terdiri dari bagian
basalis dan sedikit sisa stratum spongiosum. Keadaan endometrium pada saat ini
berupa kelenjar yang tidak teratur dan pecah, fragmen pembuluh darah dan stroma
serta nekrosis, infiltrasi sel darah putih, dan diapedesis interstitial sel darah merah.
Regenerasi endometrium bermula di stem sel epithelial dan stromal. Stem sel
epithelial endometrium berada di dasar kelenjar, dan stem sel stromal disekitar
pembuluh darah lamina basalis. Tipis dan padatnya endometrium saat menstruasi
tidak hanya disebabkan eloh deskuamasi, tetapi juga oleh kolapnya matrik
penyangga. Dua pertiga dari endometrium fungsionalis hilang pada saat
menstruasi. Semakin cepat hilangnya jaringan, semakin pendek durasi menstruasi.
Proses yang lambat dan tidak lengkap berkaitan dengan perdarahan yang hebat
dan kehilangan darah yang lebih banyak (Fritz & Speroff, 2011).
Sintesis DNA terjadi pada daerah daerah basalis yang telah terkelupas
lengkap pada hari ke dua-tiga menstruasi ( endometrium di pars isthmika dan di
daerah sudut kornu sekitar ostium tuba tetap intact). Epitel permukaan yang baru
akan muncul dari kelenjar basalis yang tersisa setelah proses deskuamasi (Ludwig
H, 1991). Proliferasi sel lamina basalis dan epitel endometrium permukaan
isthmus dan ostium tuba akan diikuti dengan proses reepitelialisasi yang cepat.
Fibroblast berperan dalam perbaikan epitel ini. Lapisan stroma fibroblast
membentuk massa padat sehingga epithel dapat tumbuh di atasnya. Lapisan
stroma juga mengeluarkan faktor faktor autokrin dan parakrin yang penting bagi
pertumbuhan dan migrasi epitel. Keadaan ini lebih diakibatkan sebagai respon
terhadap injury dibandingkan dengan pengaruh hormon, karena kadar hormon
pada fase repair ini sangat rendah. Akan tetapi, pada lamina basalis sangat banyak
terdapat reseptor Estrogen (Fritz & Speroff, 2011).
Proses “repair” ini berlangsung cepat; sampai hari ke empat siklus, lebih
dari dua pertiga kavum uteri tertutup epitel yang baru (Ludwig, 1991). Sampai
hari ke lima-enam, seluruh kavum uteri telah mengalami reepitelialisasi dan
pertumbuhan stroma dimulai.
2.1.2 Endometrium fase proliferasi
Fase proliferasi berhubungan dengan pertumbuhan folikel di ovarium dan
sekresi estrogen. Sebagai hasil kerja steroid, terjadi rekonstruksi dan pertumbuhan
endometrium. Pada keadaan ini terutama terjadi pertumbuhan kelenjar. Pada
mulanya kelenjar sempit dan berbentuk tabung, dibatasi oleh sel epitel silindris
yang rendah. Selanjutnya terjadi gelombang mitosis yang mengakibatkan
terbentuknya pseudostratifikasi. Kelenjar meluas ke perifer dan saling terkait satu
sama lain. Terbentuk lapisan epitel yang menutup seluruh permukaan kavum
uteri. Bagian stroma pelahan berubah dari keadaan padat sel akhirnya menjadi
keadaan loose syncytial-like status. Tumbuh melewati stroma pembuluh darah
spirales (tidak bercabang dan tidak melingkar pada fase early proliferative)
sampai mendekati permukaan epitel, membentuk jaringan kapiler longgar. Semua
komponen jaringan ini (kelenjar, sel stroma, sel endothel) mengalami proliferasi,
yang mencapai puncaknya pada hari ke delapan-sepuluh siklus, sebagai akibat
naiknya kadar estradiol pada sirkulasi dan konsentrasi reseptor estrogen yang
maksimal di endometrium (Fritz & Speroff, 2011).
Proliferasi ini ditandai dengan meningkatnya aktivitas mitosis dan
meningkatnya sintesis DNA nukleus dan RNA sitoplasma, yang paling nyata
tampak pada lapisan fungsional pada dua pertiga atas kavum uteri , yang biasanya
menjadi tempat implantasi blastokis. Selama proliferasi, endometrium bertumbuh
dari setengah mm menjadi setinggi tiga setengah-lima mm, dimana komponen
utama dari tinggi endometrium ini adalah "reinflation" stroma. Gambaran penting
pada fase ini adalah munculnya sel bersilia dan sel sel mikrovilli. Pembentukan
silia dimulai pada hari ke tujuh-delapan siklus (Ludwig, 1991).
Sel sel bersilia banyak terdapat pada muara kelenjar dan pergerakan silia
mempengaruhi mobilisasi dan distribusi sekresi endometrium selama fase sekresi.
Mikrovilli pada permukaan sel , merupakan ekstensi sitoplasma dan membuat
permukaan sel menjadi aktif. Sepanjang waktu, sejumlah besar sel sel yang
berasal dari bone marrow berada di endometrium, meliputi limfosit dan makrofag,
yang terdistribusi difuse di stroma (Fritz & Speroff, 2011).
Gambar 2.2 Endometrium fase proliferasi (Fritz & Speroff, 2011)
2.1.3 Endometrium fase sekresi
Setelah terjadinya ovulasi, endometrium berrespon terhadap aktivitas
estrogen dan progesteron. Endometrium tetap tidak bertambah tinggi , setinggi
endometrium praovulasi (lima-enam mm) sekalipun masih terdapat rangsangan
estrogen. Proses proliferasi endometrium berhenti tiga hari setelah ovulasi
(Tabibzadeh, 1990). Adalah Progesteron yang menimbulkan efek penghambatan
ini. Terhentinya pertumbuhan ini berasosiasi dengan menurunnya mitosis dan
sintesis DNA, yang merupakan pengaruh progesteron terhadap ekspresi reseptor
estrogen dan efek stimulasi progesteron terhadap 17β-hydroxysteroid
dehydrogenase dan sulfotransferase, yang mengkonversi estradiol menjadi
estron sulfat (yang secara cepat diekskresi dari sel ) (Fritz & Speroff, 2011).
Disamping itu estrogen merangsang sejumlah onkogen yang akan memediasi
kerja estrogen dalam pertumbuhan sel. Progesteron mengantagonis kerja ini
dengan menekan transkripsi mRNA onkogen oleh estrogen (Kirkland et al., 1992;
Fritz & Speroff, 2011).
Selanjutnya, sekitar tujuh hari paska ovulasi , sel kelenjar memulai proses
sekresi , dan vacuola vacuola muncul intra luminal. Pada akhir fase ini, kelenjar
tampak "kelelahan", lumen tampak berkelok dan melebar, dan permukaan masing
masing sel terfragmentasi yang tampak sebagai gigi gergaji. Stroma bertambah
edematous , dan banyak pembuluh darah spiralis (Fritz & Speroff, 2011).
Tanda histologis terjadinya ovulasi adalah munculnya vakuola glikogen
subnuklear intrasitoplasma epitel kelenjar pada hari ke 17-18 siklus. Mitokondria
yang besar dan "sistem saluran nukleus" muncul dalam sel sel kelenjar. Sistem
saluran nukleus ini khas berupa lipatan membran inti karena pengaruh
Progesteron. Perubahan struktur ini segera diikuti dengan sekresi aktif
glikoprotein dan peptida peptida ke dalam kavum endometrium. Transudasi
plasma juga berperan dalam sekresi endometrium. Immunoglobulin
immunoglobulin penting diambil dari sirkulasi dan dikeluarkan ke kavum
endometrium secara berikatan dengan protein yang dihasilkan oleh sel epitel.
Proses sekresi mencapai puncaknya tujuh hari setelah lonjakan gonadotropin pada
pertengahan siklus , bertepatan dengan waktu implantasi blastokis (Fritz &
Speroff, 2011).
2.1.4 Endometrium fase implantasi
Endometrium menjadi sangat berubah pada tujuh -13 hari paska ovulasi
(hari ke 21-27 siklus). Pada mulanya kelenjar sekretori tampak menonjol dengan
sedikit stroma. Menjelang hari ke 13 paska ovulasi , endometrium berdifrensiasi
menjadi tiga zona. Seperempat lapisan bawah merupakan lamina basalis dengan
vaskularisasi lurus dan dikelilingi oleh sel stroma yang spindle. Endometrium
bagian tengah (kurang lebih 50% dari total) merupakan stratum spongiosum,
tersusun dari stroma yang longgar dan edematous banyak pembuluh darah spiralis
dan pita kelenjar yang lebar. Diatas stratum spongiosum adalah lapisan
superfisial endometrium ( 25% dari tinggi endometrium) disebut stratum
compactum. Gambaran histologis yang menonjol disini adalah sel stroma, yang
membesar dan polihedral. Terjadi ekspansi sitoplasma sel dengan sel yang
berbatasan, membentuk struktur yang kompak. Leher kelenjar yang melewati
lapisan ini menjadi tertekan. Kapiler dan pembuluh darah spiralis subepitel
membesar (Fritz & Speroff, 2011).
Pada saat implantasi , hari ke 21-22 siklus, tampak gambaran morfologi
stroma yang edema. Perubahan ini sekunder karena pengaruh estrogen dan
progesteron yang meningkatkan produksi prostaglandin dan vascular endothelial
growth factor (VEGF) di endometrium yang meningkatkan permeabilitas kapiler.
Reseptor steroid sex muncul pada otot pembuluh darah , dan sistem enzim bagi
sinthesis prostaglandin terdapat baik pada bagian otot maupun endotel arteriola.
Mitosis sel endotel pertama kali tampak pada hari ke 22 siklus. Proliferasi
menyebabkan arteri spiralis menjadi melingkar lingkar , sebagai respon terhadap
steroid sex, prostaglandin, dan faktor faktor autokrin dan parakrin yang
dihasilkan sebagai akibat rangsangan estrogen and progesteron (Fritz & Speroff,
2011).
Selama fase sekresi muncul sel K (Körnchenzellen) , mencapai
konsentrasi puncak pada trimester pertama kehamilan. Sel K adalah granulosit
yang berperan immunoprotektif dalam implantation dan plasentasi. Sel K
terdapat perivaskuler dan berasal dari darah. Pada hari ke 26-27, stroma
endometrium diinfiltrasi oleh leukosit polymorphonuklear yang mengalami
ekstravasasi. Mayoritas dari leukosit ini adalah killer cells dan makrofag, yang
nanti juga terlibat dalam proses endometrial breakdown dan menstruasi (Fritz &
Speroff, 2011).
Telah didapatkan pola ekspresi gen di endometrium sepanjang siklus
menstruasi, khususnya selama jendela implantasi (Carson et al., 2002; Dey et al.,
2004; Talbi et al.,2006). Analisa microarray menunjukkan bahwa terdapat
perubahan pola ekspresi gen yang berkorelasi dengan perubahan hormonal dan
stadium morfologis endometrium sepanjang siklus menstruasi (Giudice, 2006).
Sel sel stroma endometrium berrespon terhadap sinyal hormon,
menghasilkan prostaglandin, dan, setelah bertransformasi menjadi sel desidua ,
menghasilkan substansi substansi yang penting seperti prolactin, relaxin,
renin, insulin-like growth factor (IGF), dan insulin-like growth factor binding
protein (IGFBP).
Proses desidualisasi dimulai pada fase luteal dibawah pengaruh
progesteron dan dimediasi oleh faktor autokrin dan parakrin. Pada hari ke 22-23
siklus, mulai tampak sel predesidual, mula mula mengelilingi pembuluh darah,
ditandai dengan pembesaran sitonuklear, meningkatnya aktivitas mitosis, dan
pembentukan basal membran. Desidua, yang berasal dari sel stroma, penting bagi
kehamilan. Sel sel desidua membatasi invasi trofoblas. dan senyawa yang
dihasilkan oleh desidua memainkan peran autokrin dan parakrin yang penting bagi
fetus dan maternal.
Lockwood dkk mengemukakan peran kunci sel desidua dalam menstruasi
dan hemostasis endometrial (implantasi dan plasentasi) (Lockwood, 1996;
Krikun et al., 2002; Lockwood, 2007) . Implantasi memerlukan hemostasis
endometrial dan uterus memerlukan resistensi terhadap invasi. Hambatan terhadap
perdarahan endometrium di peroleh dari perubahan perubahan pada proses
desidualisasi seperti rendahnya kadar plasminogen activator , menurunnya
ekspresi enzym yang berperan dalam degradasi matrik ekstraseluler stroma
(seperti metalloproteinase), dan meningkatnya kadar plasminogen activator
inhibitor-1. Withdrawal estrogen dan progesteron, merubah keadaan kearah
sebaliknya , sehingga terjadi endometrial breakdown.
Pemahaman tentang perubahan endometrium pada mencit pada saat
implantasi penting untuk diketahui. Implantasi terjadi pada interval waktu yang
tetap setelah ovulasi dan korpus luteum terbentuk, pada mencit terjadi pada fase
diestrus dari siklus estrus.
Estrogen dan Progesteron berperan sangat penting dalam perubahan fase
di endometrium mencit. Berdasarkan dinamika fluktuasi kadarnya, siklus
reproduksi terbagi menjadi tiga stadium. Stadium pertama adalah proestrus atau
fase folikuler dengan kadar estrogen yang sangat tinggi. Stadium kedua adalah
periode dimana kadar kedua hormon menjadi rendah setelah ovulasi. Selanjutnya
stadium luteal dimana Progesteron dan estrogen di sekresi oleh korpus luteum.
Implantasi embrio terjadi pada fase luteal. Mencit pada stadium ini menunjukkan
peningkatan perlahan kadar progesteron, sebagai akibat meningkatnya sekresi
dari korpus luteum yang baru terbentuk, diikuti dengan lonjakan praimplantasi
kadar estrogen di hari keempat kehamilan (hari pertama = hari plug vaginal), dan
implantasi embrio terjadi tengah malam di hari keempat (Zhang, et al., 2013).
Pemberian estrogen dan progesteron (priming) praimplantasi merubah
uterus pada mencit yang telah di ovariektomi menjadi reseptif. Kedua hormon ini
mengarahkan persiapan uterus bagi implantasi. Dahulu diperkirakan hanya
progesteron yang diperlukan untuk implantasi. Akan tetapi , observasi pada
suckling mice dengan sekresi progesteron yang normal mengalami delayed
implantation fakultatif yang menunjukkan bahwa ada hormon lain yang terlibat
dalam implantasi. Injeksi dosis kecil estrogen dapat menginduksi implantasi pada
tikus yang menyusui (Zhang, et al., 2013).
Gambar 2.3 Kontrol hormonal implantasi embrio mencit (Zhang. et al., 2013)
(A) Pola hormon steroid digambarkan selama hari hari siklus estrus , reseptivitas
endometrium dan kehamilan awal. Sekresi estrogen (kurva merah) tinggi
pada waktu ovulasi setelah lonjakan LH. Segera setelah itu , progesteron
(kurva biru) meningkat mulai sore hari di proestrus. Bila mating berhasil,
korpus luteum yang baru terbentuk , distimulasi oleh tingkah laku mating,
akan mulai mensekresi progesteron mulai hari ke tiga dan seterusnya. Pada
hari keempat, terjadi lonjakan kecil kadar estrogen yang bersama progesteron
memunculkan reseptivitas endometrium. Implantasi blastokis ditengah malam
padaa hari keempat. Setelah implantasi, progesteron berperan dalam
desidualisasi, plasentasi dan perkembangan kehamilan selanjutnya.
(B) Gambar irisan lintang uterus praimplantasi (hari pertama, hari keempat) dan
situs implantasi (hari kelima, hari kedelapan). Pada hari pertama, epitel
luminal uterus non-reseptif sangat bercabang-cabang. Di hari keempat, uterus
menjadi reseptif dengan epithel luminal yang berlawanan menutup disekitar
blastokis yang berimplantasi. Di hari kelima, trophektoderm mural blastokis
melekat ke epitel luminal antimesometrial. Sel stroma di tempat embrio
berinvasi lalu berproliferasi dan berdifrensiasi membentuk primary decidual
zone (PDZ) yang avaskuler pada siang di hari kelima. Sel stroma disekitar
PDZ meneruskan berproliferasi dan berdifrensiasi membentuk secondary
decidual zone (SDZ) dengan vaskularisasi yang sangat baik di hari kedelapan.
AM, antimesometrial side; Bl, blastocyst; Em, embryo; E2, estradiol-17b; GE,
glandular epithelium; LE, luminal epithelium; M, mesometrial side; P4,
progesterone; S, stroma.
Selanjutnya dapat dibuktikan peran estrogen fase luteal pada implantasi
normal. Waktu dilakukannya ovariektomi, sebelum atau sesudah estrogen luteal,
sangat penting bagi terjadinya delayed implantation pada mencit. Blastokis akan
berimplantasi normal jika ovariektomi dilakukan setelah sekresi estrogen
praimplantasi, sedang jika ovariektomi dilakukan sebelum sekresi estrogen,
embrio tidak berimplantasi dan uterus memasuki keadaan delayed implantation.
Dengan pemberian progesteron, blastokis akan tetap quiescent, tetapi dapat
diinduksi untuk berimplantasi dengan estrogen eksogen. Estrogen praimplantasi
sangat penting bagi implantasi blastokis ke progesterone-primed receptive uterus.
Estrogen proestrus mengoptimisasi respon selanjutnya sebelum implantasi.
Penting dicatat enzim aromatase tidak ditemukan pada blastokis mencit (Zhang, et
al., 2013).
2.2 Reseptivitas Endometrium
Reseptivitas endometrium didefinisikan sebagai suatu periode maturasi
endometrium dimana trophectoderm blastokis dapat melekat pada sel epitel
endometrium dan selanjutnya menginvasi stroma dan pembuluh darah. Peralihan
dari keadaan non-receptive menjadi receptive ditentukan oleh faktor faktor pada
membran, yang larut, dan faktor sekresi yang menunjang melekatnya blastokis
dan migrasi selanjutnya. Faktor faktor yang diekspresikan selama periode window
implantasi telah diselidiki sebagai biomarker keadaan yang receptive (Lessey &
Young, 2014).
Terjadinya konsepsi sangat terkait dengan kejadian kejadian di ovarium.
Setelah ovulasi, Progesteron yang dihasilkan oleh corpus luteum merubah
endometrium fase proliferasi menjadi fase sekresi dan siap untuk menerima
embrio. Pada keadaan milieu endokrin yang tepat, embrio akan berinteraksi
dengan epitel permukaan dan berinvasi ke dalam stroma , dan memulai kehamilan
(Lessey & Young, 2014).
Implantasi merupakan proses yang sangat kompleks, terbatas dalam ruang
dan waktu, serta terdiri atas tiga tahapan yaitu aposisi, adhesi dan invasi. Terjadi
komunikasi yang harmonis antara blastokis dan endometrium. Kurun waktu
dimana endometrium reseptif terhadap blastokis disebut jendela implantasi
(window of implantation/WOI) yaitu hari 16 – 22 siklus alami dan pada siklus
yang distimulasi waktu reseptif ini menjadi lebih sempit yaitu hari 16 – 18 (Nikas,
2000; Giudice, 2003). Banyak mediator yang berpengaruh pada fase reseptif ini,
dari perubahan histologis endometrium sampai munculnya molekul sel adhesi
(cell adhesion molecul/CAM) (Lessey, 1988; Diedrich, 2007; Lessey & Young,
2014).
Implantasi terdiri dari beberapa tahap , bertepatan dengan perubahan
perubahan pada endometrium akibat rangsangan steroid. Setelah ovulasi, ovum
memasuki tuba fallopii tempat terjadinya fertilisasi. Selanjutnya terjadi
pembelahan sel dan embrio memasuki kavum uteri pada stadium morula pada
sekitar dua-tiga hari setelah fertilisasi. Proses implantasi terjadi beberapa hari
kemudian, sekitar enam-tujuh hari setelah fertilisasi. Peristiwa aposisi merupakan
hal yang sangat penting, karena bila tidak terjadi maka tidak akan terjadi tahap
tahap selanjutnya dari implantasi. Penelitian eksperimental dan pada binatang
menunjukkan bahwa implantasi dan perkembangan yang normal memerlukan
sinkronisasi antara embrio dan endometrium (Lessey & Young, 2014).
Waktu terjadinya implantasi telah diteliti lewat sampel uterus pada
histerektomi, dan dengan menggunakan donor oosit yang di tandur alih ke
resipien yang telah dipersiapkan. Bergh dan Navot mendapatkan implantasi
terjadi pada hari ke 20-24 siklus, dan Wilcox et al mendapatkan bahwa
implantasi normalnya terjadi tujuh-10 hari setelah ovulasi (hari ke 21-24).
Implantasi yang lambat berkaitan dengan tingginya angka abortus, yang
dikarenakan bergesernya waktu implantasi dan hilangnya sinkronisasi antara
embrio dan endometrium (Lessey & Young, 2014).
Implantasi dapat dipandang sebagai suatu interaksi yang sangat komplek
dan sangat teratur antara endometrium dan embrio. Sejumlah faktor faktor soluble
dan yang membrane-bound secara bersama sama memfasilitasi pertumbuhan,
difrensiasi, aposisi, adhesi dan invasi embrio serta menghindar dari penolakan
immunologis. Faktor faktor maternal muncul secara simultan sehingga
memungkinkan proses intrusi serta bersamaan dengan itu membatasi dalamnya
invasi embrio ke jaringan maternal. Sejumlah sinyal atau reseptor embrionik
memiliki ligan atau koreseptor komplementer pada permukaan maternal. Embrio
yang berinvasi juga meniru antigen maternal sebagai strategi yang juga digunakan
embrio dalam penetrasi endometrium, tanpa memicu mekanisme pertahanan host.
Sejumlah protein yang terlibat dalam proses ini ditampilkan pada gambar 2.4
(Lessey & Young, 2014).
Kontak fisiologis pertama antara blastokis dengan endometrium yang
reseptif melalui tahap tahap apposisi, adhesi dan invasi, dimana keduanya
berperan dalam mengarahkan keberhasilan implantasi. Pada saat apposisi,
sejumlah penonjolan kecil, disebut uterodome atau pinopode, terbentuk pada
permukaan apical epitel luminal uterus, dan selanjutnya berinterdigitasi dengan
blastokis melalui mikrovilli permukaan apical sitotrofoblas. Sekali embrio
mendapatkan tempat di endometrium, serangkaian interaksi terjadi dengan
endometrium sehingga terjadi adhesi yang lebih stabil. Melekatnya blastokis di
epitel luminal bersamaan dengan terjadinya desidualisasi stroma endometrium
(Davidson & Coward, 2016).
Gambar 2.4 Faktor faktor dalam implantasi normal (Lessey & Young, 2014)
Setelah adhesi terjadi, trofoblas berdifrensiasi menjadi sinsitiotrofoblas
dan sitotrofoblas. Pada sisi endometrial embrio, inner cell mass menembus
sinsitiotrofoblas melewati epitel uterus dan membrana basalis. Akhirnya inner
cell mass menginvasi stroma endometrium dan berinteraksi dengan pembuluh
darah maternal (Davidson & Coward, 2016).
Kejadian kejadian yang mengatur komunikasi timbal balik embrio
endometrium utamanya dikoordinasi oleh E2 dan P4 ovarium, tetapi dialog
molekuler lokal antara ibu dengan embrio masih sedikit dimengerti (Davidson &
Coward, 2016).
Selama proses implantasi, membran plasma mengalami perubahan
morfologi dan molekuler. Implantasi umumnya dimulai dengan kontak antara
membran plasma sel endometrium dengan trofoblas. Epitel luminal bertindak
sebagai mediator utama reseptivitas endometrium, menyalurkan sinyal antar
kompartemen, karena menjadi tempat melekatnya trofoblas (Davidson & Coward,
2016).
Epitel apical mengalami serangkaian perubahan. Uterodome (dulu
disebut pinopode) , merupakan penonjolan lunak membran plasma apical.
Uterodome muncul selama fase reseptif bagi implantasi blastokis, dan merupakan
indikator penting keadaan endokrin yang normal serta reseptivitas endometrium.
Terbentuknya uterodome menunjukkan kemampuan membran plasma epitel
luminal untuk berubah dari membran plasma bermikrovilli ke membran plasma
yang lunak dan datar (Davidson & Coward, 2016).
Gambaran mikroskop elektron menunjukkan bahwa terdapat gangguan
pada apical junction complex yang menimbulkan ruang antara tepi lateral sel el
epitel bagi masuknya trophektoderm. Interaksi langsung antar membran
trophektoderm dan permukaan lateral sel endometrium kemudian bisa terjadi.
Keadaan ini menunjukkan bahwa interaksi embrio dengan permukaan epitel
luminal bersifat transien, dan muncul dugaan bahwa interaksi dengan tepi lateral
memainkan peran penting dalam implantasi (Davidson & Coward, 2016).
Beberapa perubahan terjadi pada membran plasma baso-lateral. Pada fase
midluteal, tight junction epitel luminal bergeser lebih ke dalam dan protein
claudin 1,4,5 mulai terkonsentrasi pada bagian bawah tepi lateral sel. Desmosome,
penghubung membran plasma lateral yang lain, menunjukkan perubahan
morfologis serta berkurangnya protein desmosomal tertentu pada periode reseptif
uterus (Davidson & Coward, 2016).
Membran plasma juga mengalami perubahan molekuler. Tahap
perkembangan embrio dengan proses menuju reseptif pada endometrium
berlangsung sinkron, sehingga disimpulkan bahwa terjadi proses dua arah serta
diarur oleh sistem sinyal yang kompleks. Mekanisme komunikasi molekuler
embrio-maternal masih sedikit diketahui, serta melibatkan integrin, molekul
molekul matriks ekstraseluler, molekul adhesi, dan sistem kanal ion (Davidson &
Coward, 2016).
Endometrium mensekresikan banyak protein, yang disebut endometrial
secretome yang akan berperan autokrin, parakrin dan juxtakrin bagi endometrium
dan embrio. Sampai saat ini sejumlah usaha telah dilakukan untuk menemukan
biomarker yang tepat bagi reseptivitas endometrium. Biomarker utama
ditampilkan pada tabel 2.1. Faktor faktor endometrium ini tampak relevan karena
pola ekspresinya yang terkait dengan jendela implantasi pada hari ke 20-24 siklus
(Lessey & Young, 2014).
Tabel 2.1 Biomarker bagi penilaian reseptivitas endometrium (Lessey & Young,
2014)
Dalam melakukan penilaian terhadap reseptifitas endometrium
penggunaan kombinasi pemeriksaan LIF dan integrin ανβ3 sebagai biomarker
tampaknya lebih superior dibandingkan dengan pemeriksaan lainnya, khususnya
karena pola ekspresinya pada fase sekresi (Franasiak et al., 2014). Sedangkan e-
cadherin menghilang pada saat jendela implantasi untuk memungkinkan
terjadinya invasi trofoblas (Dowland, etal., 2016).
2.3 Integrin αvβ3 Sebagai Marker Reseptivitas Endometrium
Integrin merupakan sebuah glikoprotein transmembran heterodimer yang
tersusun oleh subunit α dan β. Dimana kedua subunit tersebut terhubung melalui
ikatan nonkovalen. Terdapat setidaknya 18 rantai α dan 8 rantai β, kombinasi
berbeda dari kedua subunit tersebut menghasilkan 24 dimer yang berbeda fungsi
dan distribusi pada jaringan. Masing-masing subunit memiliki domain ekstrasel,
transmembran, dan intraselular. Domain ekstraselular berfungsi sebagai reseptor
bagi komponen-komponen matriks ekstraselular, komplemen, dan sel lainnya.
Integrin berperan dalam adhesi sel matriks, komunikasi antar sitoskeleton, dan
jalur isyarat selular saat perkembangan embrio, hemostasis, trombosis,
penyembuhan luka, mekanisme pertahanan imun, dan non-imun serta transformasi
onkogenik (Achache & Revel, 2006; Su & Fazleabas, 2015).
Struktur kristal dari integrin manusia αvβ3 dan αIIbβ3 menunjukkan bagian
ekstraselular heterodimer integrin yang terdiri dari berbagai domain. Bagian ujung
dari αvβ3 yang memuat sisi pengikat ligand, terdiri dari domain β-propeller dan
domain Plexin-Semaphorin-Integrin (PSI) dari subunit αV dan β I-like atau βA,
domain dan domain hibrida dari subunit β. Domain β-propeller terdiri dari tujuh
pengulangan dari 60 asam amino yang menyerupai subunit β dari protein G
heterotrimerik. Domain "I" terdiri dari metal-ion-dependent adhesive site
(MIDAS) dan Domain "I-like" terdiri dari struktur mirip metal-binding motif.
RGD (susunan arginine-glycine-asam aspartic) – binding site terletak diantara
domain β-propeller dan β I-like serta residu asam amino dari kedua domain
berinteraksi lecara langsung dengan ligand peptida RGD (Takada et al., 2007).
Gambar 2.5 Anggota superfamili integrin manusia dan kombinasinya membentuk
integrin heterodimer (Takada et al., 2007).
Ekor sitoplasmik dari integrin manusia panjangnya kurang dari 75 asam
amino (kecuali β4 yang panjangnya sekitar 1000 asam amino termasuk
pengulangan empat fibronektin tipe III). Terdapat homologi diantara ekor subunit
β, sedangkan ekor subunit α sangat heterogen, kecuali bagian transmembran yang
berhubungan dengan ekor subunit β (Takada et al., 2007).
Gambar 2.6 Regio ekstraseluler integrin manusia
(a) Struktur kristal integrin αVβ3 tanpa ikatan dengan peptida RGD .
(b) Domain (inserted atau interactive) terdapat pada tujuh subunit α pada
manusia diantara β-propeller repeats 2 dan 3, dan terlibat berikatan dengan
ligan. Domain I-like terdapat pada seluruh subunit β integrin manusia
bersama empat EGF-like repeats ((Takada et al., 2007).
Integrin berfungsi sebagai reseptor penarik yang dapat mentransmisi dan
mendeteksi perubahan dalam dorongan mekanis pada matriks ekstraselular. Pada
mamalia, beberapa integrin terbatas pada tipe sel atau jaringan tertentu, misalnya
αIIbβ3 pada platelet, α6β4 pada keratinosit, αEβ7 pada sel T, dendritik, dan sel
mast pada jaringan mukosa, α4β1 pada leukosit, α4β7 pada subset sel T memori,
dan β2 pada leukosit. Sementara integrin lain lebih luas tersebar seperti αVβ3
yang terekspresi pada endotelium. Susunan RGD pada fibronektin awalnya
teridentifikasi sebaagai integrin-binding motif (Pierschbacher & Ruoslahti, 1983)
dan hal ini serta susunannya berhubungan dengan molekul matriks ekstraselular
dan bertindak sebagai integrin-binding motif in vivo. Namun integrin juga
mengenali susunan non-RGD pada ligand mereka seperti tripeptida LDV pada
imunoglobulin vascular cell adhesion molecule 1 (VCAM-1) yang terekspresi
pada endotel yang terinflamasi yang berikatan pada α4β1 (Takada et al., 2007).
Berdasarkan spesifisitas ligannya, integrin pada mamalia dapat
dikelompokkan menjadi integrin yang terikat pada laminin (α1β1, α2β1, α3β1, α6
β1, α7β1, dan α6β4), integrin yang terikat pada kolagen (α11, α21, α31,
α101, dan α111), integrin leukosit ( αL2, αM2, αX2, dan αD2 ) dan
integrin yang mengenali RGD (α51, αV1, αV3, αV5, αV6, αV8 dan
αIIb3). Integrin secara individual memiliki ligan unik dan spesifik, yang lebih
jauh dibagi dalam subunit α yang memuat domain I (α1, α2, α10, α11, αL, αM,
αM, αX, αD dan αE). Domain Non-I seperti α3, α4, α5, α6, α7, α8, α9, αV dan
αIIb. Pada integrin dengan domain I, domain I memainkan peran utama dalam
ikatan ligan dan adhesi interselular ( Takada et al., 2007).
Sekalipun berikatan dengan ligan ekstraselular, integrin mengeluarkan
sinyal intrasel dan fungsinya juga diatur oleh sinyal sinyal dari dalam sel (Hynes,
2002). Integrin bertindak sebagai penghubung antara kontak ekstraseluler (sel lain
atau matriks ekstraseluler) dengan mikrofilamen aktin sitoskleton sehingga dapat
berperan meregulasi dan memodulasi. Integrin yang berikatan ekstraseluler
memicu berbagai transduksi sinyal yang dapat memodulasi perilaku sel seperti
adhesi, proliferasi, survival atau apoptosis, polaritas , motilitas, ekspresi gen, dan
diferensiasi ( Takada et al., 2007).
Sistem sinyal integrin terjadi dua arah, yang mengakibatkan proses biologi
yang berbeda. Pada saat sinyal „inside–out', suatu aktivator intraseluler, seperti
talin atau kindlins, berikatan pada ekor integrin-β, menyebabkan terjadinya
perubahan komformasional yang menghasilkan meningkatnya afinitas terhadap
ligan ekstraseluler ('aktivasi' integrin). Sinyal Inside–out mengatur kekuatan
adhesi dan memunculkan interaksi yang cukup kuat antara integrin dan protein
matriks ektraseluler (ECM) yang memungkinkan integrin untuk menghantar
kekuatan yang diperlukan bagi migrasi, remodeling, dan penyusunan matriks
ekstraseluler (Shattil, 2010).
Sinyal "inside-out" integrin mengakibatkan aktifasi integrin dan penguatan
afinitas ligan. Stimuli yang mengaktifasi dari luar seperti integrin atau ligasi
selektin atau sitokin yang berikatan dengan reseptor G-protein coupled memicu
kaskade sinyal intraseluler yang bertemu pada ekor subunit β integrin. Sinyal
aktifasi akan menimbulkan perubahan komformasional di ekor integrin yang
memungkinkan perkaitan dengan komponen adhesi focal seperti Talin. Perubahan
komformasional pada daerah ekor ditransduksikan ke domain ekstraseluler
dimana perubahan struktur tersebut akan merangsang aktifasi dan meningkatnya
afinitas terhadap ligan (Millard, et al., 2011).
Gambar 2.7 Sinyal "inside-out" integrin (Millard, et al., 2011)
Integrin juga berlaku seperti reseptor sinyal tradisional dalam menghantar
informasi ke dalam sel melalui sinyal „outside–in‟. Terikatnya integrin dengan
ligan ekstraselulernya merubah komformasi integrin dan, karena sejumlah ligan
adalah multivalen, berperan dalam pengelompokan integrin. Kombinasi dua
kejadian ini mengakibatkan sinyal intraseluler yang mengatur polaritas sel,
struktur sitoskeleton, ekspresi gen, serta survival dan proliferasi sel (Shattil,
2010).
Sinyal "outside-in" Integrin mengarahkan proses seluler. Berikatannya
ligan bertindak sebagai titik permulaan bagi transduksi kaskade sinyal intraseluler
yang mengatur sejumlah proses biologi (Millard, et al., 2011).
Gambar 2.8 Sinyal "outside-in" integrin (Millard, et al., 2011)
Sekalipun secara konsep kedua proses ini terpisah, sebetulnya keduanya
terkait erat; sebagai contoh, aktivasi integrin dapat meningkatkan kemampuan
mengikat ligan, yang menyebabkan terjadinya sinyal 'outside–in'. Sebaliknya,
terikatnya ligan dapat menimbulkan sinyal 'inside–out' (Shattil, 2010).
Integrin merupakan situs adhesi focal. Ligasi integrin mengembangkan
receptor clustering dan pembentukan adhesi focal. Talin membentuk kontak
permulaan antara ekor β integrin dan sitoskeleton actin. Vinculin berikatan silang
dengan Talin dan actin untuk menguatkan adhesi focal meningkatkan
pertumbuhan adhesi focal. α-actinin dapat berinteraksi dengan ekor-β integrin,
vinculin, talin dan actin untuk selanjutnya memperkuat ikatan silang dengan
sitoskeleton. Integrin linked kinase (ILK) bersama dengan actin serta parvin
membuat suatu badan perancah bagi pembentukan adhesi focal. Focal adhesion
kinase (FAK) terlibat dalam stabilisasi dan pemulihan adhesi focal agaknya
melalui modifikasi pascatranslasi komponen adhesi focal (Millard, et al., 2011).
Gambar 2.9 Integrin sebagai situs adhesi focal (Millard, et al., 2011)
Integrin αvβ3 dan ligannya osteopontin, diekspresikan pada saat
implantasi pada permukaan lumen endometrium yang reseptif. Osteopontin yang
disekresikan berikatan dengan integrin melalui suatu sekuen RGD. Karena
osteopontin juga dapat berikatan dengan reseptor CD44 hyaluronate melalui
non-RGD binding sites, diduga bahwa keadaan ini memunculkan “sandwich”-
pairing pada titik pertemuan. Pada manusia, sel epitel permukaan embrio dan
endometrium keduanya mengekspresikan integrin αvβ3 dan CD44. Juga terdapat
bukti kuat bahwa RGD binding berperan sangat penting dalam proses implantasi.
Berikutnya juga diduga bahwa berikatnya integrin dan CD44 bertindak menekan
sistem immun innate melalui pengaruh decay accelerating factor (DAF) dengan
komplemen C3, suatu peran yang penting pada proteksi embrio pada saat
perlekatan awal dan invasi (Lessey, & Young, 2014).
Sejumlah integrin didapatkan di dalam lumen epitel dan kelenjar jaringan
endometrium. Meskipun mayoritas integrin diekspresikan sepanjang siklus
menstruasi, beberapa integrin memiliki pola pengaturan khusus selama siklus
endometrium. Selain oleh sel endometrium, integrin juga diekspresikan oleh sel
trofoblas manusia saat implantasi. Reseptor trofoblas untuk matriks ekstraselular
(terutama α1β1 dan αvβ1) meningkat. Diduga bahwa integrin yang terdapat pada
permukaan epitel endometrium dan trofoblas terikat pada komponen matriks
ekstraselular yang spesifik. Ligand tersebut terutama onkofetal-fibronektin yang
disekresikan oleh trofoblas dan osteopontin yang disekresikan oleh epitel uterus.
Hal ini memberikan sebuah model sandwitch atau bertumpuk pada adhesi
embrionik (Achache & Revel, 2006).
Terdapat tiga jenis integrin pada endometrium manusia yang diperoleh
pada hari 20-24 siklus menstruasi manusia, yaitu antara lain α1β1, α4β7, dan αvβ3
(Su &Fazleabas, 2015). Namun hanya subunit β3mRNA yang ditemukan
meningkat secara konsisten pada hari ke 19. Integrin αvβ3 beserta ligannya
(osteopontin) terdeteksi dengan pemeriksaan imunohistokimia pada permukaan
epitel endometrium saat pertama kali berinteraksi dengan trofoblas. Berdasarkan
lokasi dan pola ekspresinya, maka integrin αvβ3 dianggap sebagai sebuah reseptor
bagi perlekatan embrio dan juga penanda baiknya reseptivitas endometrium.
Ekspresi integrin sangat terkait dengan perubahan hormon-hormon reproduksi.
Pada fase proliferasi, kadar estrogen yang tinggi akan menghambat ekspresi
integrin. Ketika memasuki fase luteal, maka kadar progesteron akan menekan
ekpresi integrin. Selain itu dikatakan bahwa αvβ3 memiliki peran penting dalam
pemeliharaan keseimbangan antara proliferasi dan apoptosis sel melalui modulasi
respon-respon inflamasi sel-sel desidua. Hilangnya ekspresi αvβ3 endometrium
mengakhibatkan infertilitas yang tidak diketahui penyebabnya, endometriosis,
hidrosalfing, dan sindroma ovarium polikistik, meskipun mekanismenya masih
belum diketahui secara pasti (Achache & Revel, 2006; Cakmak & Taylor, 2010;
Germeyer et al., 2014).
2.4 E-cadherin
Super famili cadherin terdiri dari sedikitnya 6 sub-famili yang dibedakan
berdasarkan organisasi struktural dan fungsional, meliputi komposisi protein
domainnya, struktur genomik dan analisis filogenetik dari sekuen protein (Foty,
R. A., & Steinberg, M. S., 2004).
Subfamili ini terdiri dari: a) cadherin classical ( tipe-I) dan b) cadherin
atypical (type-II), yang utamanya ada di adheren junction (AJ) dan merupakan
kelompok definitif famili cadherin, c) cadherin desmosomal, yang membentuk
junction desmosomal, d) protocadherin, yang berperan pada perkembangan
neural, e) cadherin flamingo yang terdiri dari tujuh cadherin transmembran dan f)
FAT-like cadherins (Kokkinos, M. I., et al., 2010).
Gambar 2.10 Cell junctional complexes yang menghubungkan sel epitelial
(Kokkinos, et al., 2010)
Cadherin classical terdiri dari 3 segmen: a) domain ekstraseluler 110
asam amino yang memediasi adhesi, b) domain single-pass transmembrane, dan
c) domain sitoplasma yang ' highly conserved ' yang berinteraksi dengan
kelompok protein catenin, mengikat cadherin ke sitoskeleton actin (Kokkinos,
M. I., et al., 2010).
Cadherin memediasi adhesi sel-sel yang homotipik dan calcium-
dependent dan berperan pada berbagai proses biologi seperti adhesi sel, signaling
sel, , cell recognition, kontrol pembelahan sel, penghambatan apoptosis, migrasi,
difrensiasi, morfogenesis, implantasi embrio, dan supresi invasi tumor (Kokkinos,
M. I., et al., 2010).
Gambar 2.11 Struktur Cadherin (Halbleib, J. M., et al., 2006)
Anggota superfamili ini mempunyai banyak fungsi , mencakup terlibat
dalam cell–cell recognition. Sekalipun fungsi utamanya adalah pada adhesi sel-sel
, cadherin berperan dalam sejumlah fungsi, antara lain cell–cell recognition,
organisasi sitoskeletal, transduksi sinyal dan kontrol pertumbuhan ( Vazquez-
Levin, et al., 2015).
Cadherin epitelial (E-cadherin , Cadherin-1(CDH1), L-CAM, ARC-1,
uvomorulin) merupakan anggota utama super famili cadherin. E-cadherin,
cadherin klasik/tipe I, dianggap sebagai cadherin klasik paragdimatik dan
merupakan prototipe dari semua protein cadherin karena ditemukan paling awal
dan sifat sifatnya paling banyak diketahui, baik pada keadaan normal maupun
patologis. Mula mula dinamakan duvomorulin berdasarkan penemuan akan
kemampuannya sebagai antibodi terhadap protein adhesi untuk menghambat
interaksi antar blastomer pada murine, menyebabkan perubahan tampilan embrio
menjadi menyerupai buah anggur (bahasa latin “uva”). Penelitian selanjutnya
menunjukkan perannya yang luas sebagai glikoprotein adhesi sel. Pada awal
1980an, nama “cadherins” mulai dipakai untuk molekul adhesi sel sel klasik ini.
E-cadherin merupakan protein esensial bagi pertumbuhan , difrensiasi sel, dan
homeostasis jaringan, dan juga bagi mempertahankan polaritas epitel dan
integritas struktural ( Vazquez-Levin, et al., 2015).
Gen CDH1 yang mengkode e-cadherin manusia, berlokasi pada
kromosom 16q22.1, pada regio selebar 100kb; terdiri dari 16 exons dan 15
introns dan sangat terjaga antar spesies. Dengan kloning e-cadherin mencit
didapatkan strukturnya dan kloning homolog pada manusia menunjukkan
kesamaan yang yang terdiri dari sekuens sinyal , satu propeptida dan satu
glikopeptida one-pass-transmembrane tinggi antar spesies serta anggota famili
yang lain. Protein maturnya adalah glikoprotein ~120kDa membentuk suatu
ektodomain yang terdiri dari 5 domain ekstraseluler yang masing masing terdiri
dari 10 asam amino, satu domain single-pass transmembrane dan domain
karboksi terminal sitoplasma tang terdiri dari kurang lebih 150 asam amino,
menjadi strukur khas kelompok famili ini ( Vazquez-Levin, et al., 2015).
Domain ekstraseluler E-cadherin memediasi adhesi sel sel homofilik
antara sel sel yang berdekatan. Domain ekstraseluler pertama berisi sekuens asam
amino HAV yang diperlukan bagi berikatnya cadherin–cadherin, dan asam amino
terdekat dengan sekuen tripeptida diperlukan bagi 'recognition specificity' protein
cadherin. Ion Ca2+
esensial bagi adhesi sel yang dimediasi oleh cadherin dan
berikatan dengan sekuen spesifik yang ada pada masing masing domain di
ektodomain. Juga, sekuen spesifik dari domain E-cadherin intraseluler
berinteraksi dengan sejumlah protein (diantaranya α-, β-, δ1/(p120-
catenin,p120ctn
) dan catenin γ/(plakoglobin) (simbul resmi CTNNA1, CTNNB1,
CTNND1, CTNNG)), yang membentuk suatu link kompleks dengan sitoskeleton
aktin, yang mengatur kekuatan adhesi sel, dan/atau terlibat dalam pathway
transduksi sinyal. Interaksi antara e-cadherin dengan catenin dan Ca2+
tampaknya
sangat penting bagi kemampuan adhesinya ( Vazquez-Levin, et al., 2015).
Diantara protein protein adaptor, β-Catenin merupakan komponen sentral
dari kompleks adhesif cadherin/catenin, karena berikatan dengan cadherin tetap
merupakan prasyarat bagi adhesi karena perannya dalam melindungi domain
sitoplasma cadherin dari degradasi cepat dan juga meningkatkan efisiensi
retikulum endoplasma pada transport permukaan sel dan merekruit α-catenin
ketempat kontak sel-sel. Modifikasi post translasi (misalnya fosforilasi oleh
kinase kinase Src dan casein) yang mengatur interaksi antara β-catenin dan
cadherin berpengaruh pada adhesi sel. Pada keadaan fisiologis, lokalisasi e-
cadherin dibatasi pada tempat kontak sel-sel; sebagian dari e-cadherin
permukaan sel mengalami endositosis dan recycling, menjadi mekanisme untuk
mengatur ekspresi e-cadherin permukaan dan adhesi sel ( Vazquez-Levin, et al.,
2015).
Pada jaringan normal, E-cadherin utamanya terekspresikan pada sel epitel
dan berperan penting dalam pembentukan dan mempertahankan arsitektur dan
fungsi normal jaringan. Terdapat sejumlah mekanisme pengatur ekspresi dan
fungsi e-cadherin, antara lain modifikasi post-translasi (misalnya proses lewat
proteinase , fosforilasi, dan glikosilasi) dan juga represi transkripsional, metilasi
promotor, mutasi somatik dan herediter, dan hilangnya heterosigositas.
E-cadherin disebut sebagai suppressor pertumbuhan dan invasi tumor dan
sering mengalami downregulasi pada tumor tumor epitel, proses yang
mengakibatkan motilitas sel, invasi dan metastase. Proses ini, disebut “epithelial
to mesenchymal transition” (EMT), merangkai perubahan molekuler dan
fungsional dalam embriogenesis.
Dua penelitian (dengan tehnik knock-out gen) menunjukkan kelainan
implantasi karena embrio yang lethal pada mencit dengan targeted null mutation
gen e-cadherin (Larue et al., 1994; Riethmacher et al.,1995). Sementara hewan
mutan yang heterozigot tampak normal dan fertil, hewan mutan homozigot yang
viabel tidak terjadi pada keturunan hasil perkawinan mencit heterozigot. Embrio
dengan null e-cadherin menghasilkan blastokis yang abnormal yang tidak mampu
berimplantasi; sebelumnya telah dilaporkan bahwa blastokis ini awalnya bisa
memadat karena adanya residual maternal e-cadherin (Seftonetal., 1992), akan
tetapi kemampuan adhesif sel sel morula sangat berkurang, yang mengakibatkan
terjadinya disosiasi blastomer segera setelah tahap compaction. Anti-E-
cadherin blocking antibodies menghambat tahap awal embryonic compaction
pada embrio yang e-cadherin - null, yang menunjukkan bahwa fungsi e-cadherin
maternal tidak dapat dikompensasi oleh molekul lain. Penelitian ini juga
mendapatkan bahwa e-cadherin sangat penting bagi polaritas sel pada tahap
embrio awal mencit, karena polarisasi morfologi sangat terganggu pada embrio
mutant setelah stadium morula. ( Vazquez-Levin, et al., 2015).
Epithelial (E)- cadherin merupakan molekul adhesi yang penting dan
ekspresinya diperlukan khususnya dalam peristiwa EMT, dalam mengatur
pertumbuhan plasenta. Pada berbagai sel epitel, E-cadherin ditemukan
berhubungan dengan sitoskeleton actin, dan terlibat dalam membentuk junction
sel-sel, memperkuat adhesi sel-sel, sehingga menentukan polaritas sel (Kokkinos,
M. I., et al., 2010).
Jaringan terdiri dari sel sel, yang bisa berupa epitelial atau mesenkimal.
Ciri ciri sel epitelial terdiri dari: a) adhesi satu sama lain melalui junction sel sel
lateral dan apicolateral; b) adhesi dengan matrik ekstraseluler tertentu pada
permukaan basal; c) polarisasi apico-basal. Keadaan ini mengakibatkan sel sel
tersusun dalam satu lapisan yang sering tampak sebagai cobble-stone appearance.
Kohesi sel sel dimediasi, pada sebagian, melalui interaksi homophilik molekul
cadherin, terutama tipe classical, E-cadherin, N-cadherin dan P-cadherin, pada
regio tertentu junction sel yang disebut adherens junctions (AJ). Molekul
cadherin ini bergandengan via protein protein adaptor seperti kelompok catenin
dan vinculin, dengan sitoskeleton F-actin. Adheren junction dibandingkan
dengan tight junctions ditandai dengan molekul pembeda seperti ZO-1 dan
claudin. Kedua junctions ini bersama sama mengatur aliran molekul melewati
lapisan epitel. AJ ini disamping berperan menjaga struktur sel, juga mengatur
aliran sinyal (Kokkinos, M. I., et al., 2010).
Kemampuan mengadhesi sel sel juga ditunjukkan pada epitel oleh
kelompok desmosom, didasarkan pada perbedaan cadherin (desmocollins,
desmogleins), link molekul yang berbeda (plakoglobin, plakophillin,
desmoplakin) dan bergandengan dengan elemen sitoskeletal yang berbeda
(filamen intermediate seperti sitokeratin) (Garrod, D., & Chidgey, M., 2008).
Adhesi dengan ECM secara khusus melibatkan adhesive/signaling
transmembrane receptors dari kelompok yang berbeda, integrin, bergandengan
dengan suatu kompleks protein adaptor dan protein signaling seperti vinculin,
focal adhesion kinase (FAK), paxillin dan integrin linked kinase (ILK) pada sisi
sitoplasma (Kokkinos, M. I., et al., 2010).
Berbeda dengan sel epitelial, sel sel mesenkimal ditandai dengan: a)
berkurangnya ekspresi (setidaknya pada membran) molekul molekul junction sel-
sel seperti e-cadherin, ZO-1, desmoplakin, vinculin; b) melekat dengan ECM
interstitial integrin; dan c) hilangnya polaritas apico-basal, tetapi memanjang
atau multi-polar, dengan polarisasi “front-back” yang transien dan dapat
berubah. Sebagai akibatnya sel sel ini tidak tersusun dalam lapisan yang teratur,
tertanam di dalam ECM dan dapat memiliki potensi bermigrasi dan invasif.
(Vincent, A., & Thiery, J. P., 2003).
Sel epitelial dapat diinduksi untuk berubah menjadi fenotip mesenkimal
melalui epithelial-mesenchymal transition (EMT). Setelah bermigrasi (pada
keadaan patologis disebut invasi), sel sel dapat kembali menjadi fenotip epitelial
melalui mesenchymal-epithelial transition (MET).
Telah lama diduga bahwa proses bagaimana sitotrofoblas dari keadaan yang
melekat koheren menjadi fenotip migratori yang menginvasi desidua maternal,
merupakan salah satu bentuk EMT (Kokkinos, M. I., et al., 2010).
Ekspresi marker marker epitelial berkurang, sementara ekspresi marker
mesenkimal meningkat, sebagai contoh E-cadherin dan b-catenin berkurang
atau menghilang dari junction sel sel dan mengalami relokasi ke sitoplasma atau
nukleus. Filamen intermediate mesenkimal vimentin meningkat, disertai dengan
menurunnya filamen intermediate epitelial , sitokeratin (Meng, et al., 2007).
Pada keadaan normal proses EMT berlangsung terregulasi dan terkontrol.
Gambar 2.12 Proses EMT pada invasi trofoblas (Kokkinos, et al., 2010)
Ekspresi dan lokalisasi cadherin sangat berhubungan dengan perilaku dan
morfologi sel pada stadium perkembangan yang berbeda, khususnya selama EMT.
Lokalisasi dan ekspresi pada junction sel-sel khusus berfungsi mempertahankan
stuktur epitel yang stabil, sementara hilangnya cadherin tertentu pada tempat ini
memunculkan fenotip migratori (Kokkinos, M. I., et al., 2010).
Cadherin berhubungan dengan sitoskeleton, yang dibentuk oleh network
protein protein seperti mikrofilamen actin, mikrotubuli, dan filamen
intermediate. Network protein protein struktural yang dinamis ini khususnya
berhubungan dengan mempertahankan dan juga merubah arsitektur seluler, dan
dalam promoting pergerakan dan melekatnya sel ke sel lain atau pada ECM
(Kokkinos, M. I., et al., 2010).
Ekspresi classical cadherin diregulasi pada berbagai level meliputi
ekspresi gen dan transportnya, serta turnover protein pada permukaan sel.
Transkripsi cadherin secara langsung diatur dengan metilasi dan represi aktivitas
promoter. Metilasi adalah modifikasi DNA dibawah pengaruh enzim DNA
methyltransferase yang mengkatalisa penambahan kelompok metil keresidu
cytosine pada dinukleotida CpG (Richards 2006). Metilasi promoter e-cadherin
berhubungan dengan berkurangnya ekspresi e-cadherin . (Strathdee 2002).
Protein protein Zinc finger famili Slug/Snail dan Smad-Interacting Protein (SIP1)
merupakan represor transkripsi gen e-cadherin (Cano, et al., 1996; Batlle, et al.,
2000; Comijn, et al., 2001; Conacci-Sorrell, et al., 2003).
Menurunnya transkripsi gen e-cadherin mengakibatkan hilangnya adhesi
sel-sel dan meningkatkan migrasi sel (Thiery 2002), serta akumulasi β-catenin di
sitoplasma yang mampu menghantar sinyal dan dapat berfungsi independen
maupun sinergis dengan Wnt signaling (Ciruna and Rossant 2001).
Slug merupakan suatu target gene dari kompleks faktor transkripsi-β-catenin
(TCF/β-catenin) (Conacci-Sorrell, et al., 2003) yang juga berikatan dan merepresi
promoter e-cadherin (Jamora, et al., 2003).
Sehingga, represi ekspresi cadherin oleh Slug/Snail/SIP1 atau kompleks TCF/β-
catenin tidak hanya mengurangi adhesi sel, tetapi juga bersamaan meningkatnya
β-catenin sitoplasma akan menurunkan ambang aktivasi Wnt pathway.
Transport e-cadherin yang baru disintesa ke membran plasma
memerlukan berikatan dengan β-catenin (Chen, et al., 1999), dan setelah
mencapai permukaan sel e-cadherin akan diregulasi dengan fosforilasi,
ubiquitinasi, dan proteolisis. Integritas struktural kompleks cadherin/catenin
diregulasi positif dan negatif oleh fosforilasi. Tiga residu serine residues pada
domain sitoplasma e-cadherin (S684, S686, S692) difosforilasi oleh Casein
Kinase-II (CKII) dan glycogen synthase kinase-3β (GSK3β), yang membentuk
interaksi tambahan dengan β-catenin yang mengakibatkan afinitas antara kedua
protein sangat meningkat (Huber and Weis 2001).
Fosforilasi tirosin β-catenin pada Y489 atau Y654 sebaliknya memutus
ikatan dengan e-cadherin, dan pada Y142 ikatan dengan α-catenin; fosforilasi
tirosin β-catenin diseimbangkan oleh protein fosfatase tirosin sehingga
menstabilkan interaksi β-catenin– e-cadherin (Lilien dan Balsamo 2005).
Adhesi sel-sel yang dimediasi Cadherin dimodulasi oleh perubahan level
cadherin pada permukaan sel (Duguay, et al., 2003; Foty dan Steinberg 2005).
Cadherin merupakan target dari ADAM (a disintegrin and metalloprotease
domain) 10 Maretzky, et al., 2005; Reiss, et al., 2005) yang memecah domain
ekstraseluler cadherin didekat domain transmembran. Domain sitoplasma
classical cadherin juga merupakan target bagi pemecahan secara proteolitik oleh
aktivitas γ-secretase Presenilin-1 (PS1), yang berakibat hilangnya adhesi sel-sel;
telah dilaporkan juga bahwa fragmen sitoplasma yang terlepas berikatan dengan
cAMP response element-binding protein (CREB)-binding protein (CBP), suatu
rangkaian untuk mengaktifkan modulator modulator transkripsional dari
kompleks CREB basal transcription , dan menjadikannya sebagai target
degradasi (Marambaud, et al., 2003).
E-cadherin secara aktif mengalami endositosis via clathrin-coated
vesicles (Bryant dan Stow, 2004), yang akan mengakibatkan hilangnya adhesi
sel-sel dengan cepat. Menjadi target internalisasi melalui proses ubiquitination
oleh E3 ubiquitin ligase Hakai (Fujita et al. 2002) pathway-pathway lain yang
melibatkan disrupsi kompleks cadherin–catenin oleh tyrosin kinase (Kamei, et
al., 1999; Avizienyte, et al., 2002). Stabilitas cadherin pada permukaan sel juga
diatur oleh p120 karena jika ikatan cadherin–p120 hilang akan dengan cepat
mengakibatkan endositosis kompleks e-cadherin (Davis, et al., 2003). Adanya
pengaturan transkripsional dan post-transkripsional cadherin yang ekstensif
menunjukkan bahwa level ekspresi cadherin dipermukaan sel dan
dipertahankannya ikatan dengan partner intraseluler (dikontrol oleh cascade sinyal
lain) akan memodifikasi aktivitas cadherin (Halbleib dan Nelson, 2006).
Gambar 2.13 Regulasi cadherin (Halbleib dan Nelson, 2006)
Cadherin classical (biru) diregulasi secara transkripsional oleh faktor
transkripsi zinc-finger seperti Snail dan Slug, dan metilasi promoter. Eksositosis
protein yang baru terbentuk dari retikulum endoplasma ke permukaan sel
bergantung pada keterikatan dengan β-catenin. Level cadherin pada permukaan
sel diatur oleh endositosis oleh Hakai-mediated ubiquitination yang diikuti
dengan terlepasnya catenin setelah fosforilasi; cadherin dapat dipecah oleh
ADAM10, kelompok MMP, atau PS1. Protocadherin (oranye) di membran
plasma dipecah secara sekuensial oleh ADAM10 and PS1. Dalam hal Pcdh-γ,
fragmen yang dihasilkan ditempatkan di nukleus dan dapat mengaktifkan
transkripsi klaster gen Pcdh-γ (Halbleib & Nelson, 2006).
Kalsium intraseluler bersifat esensial dalam regulasi e-cadherin.
Konsentrasi kalsium intraseluler akan mengaktifkan key signalling pathways
yang akan memediasi reorganisasi sitoskeletal dan pemecahan e-cadherin di
adherens junctions. Perubahan konsentrasi kalsium intraseluler mempengaruhi
daya adhesi dan polaritas sel epitel dengan memicu redistribusi CAM. Fenomena
ini menjadi penting pada sel epitel endometrium yang mengekspresikan e-
cadherin. Penelitian in vitro pada kultur sel Ishikawa menunjukkan bahwa suatu
peningkatan transien kalsium intraseluler , dipicu oleh calcitonin, menekan
ekspresi e-cadherin pada situs kontak sel. Yang menarik, ekspresi calcitonin
diinduksi oleh progesteron di epitel endometrium manusia khususnya pada fase
mid-sekretori siklus menstruasi. Memang calcitonin telah diketahui sebagai
regulator potensial implantation. Progesteron, diduga melalui induksi calcitonin
endometrium menyebabkan meningkatnya kalsium intraseluler, dapat meregulasi
ekspresi e-cadherin (Achache, H., & Revel, A., 2006).
Jadi e-cadherin memiliki dua fungsi. pada fase awal, ekspresinya pada
permukaan sel diperlukan bagi memastikan daya adhesi. Sebaliknya, e-cadherin
selanjutnya akan mengalami down-regulasi yang memungkinkan terjadinya
pemisahan sel epitel dan invasi blastokis (Achache & Revel, 2006).
Gambar 2.14 Hubungan ekspresi e-cadherin dan calcitonin (Achache & Revel,
2006)
A) Daya adhesi sel epitel akibat adanya e-cadherin dikontrol oleh kalsium
intraseluler. (B) Peningkatan kadar progesteron menginduksi ekspresi calcitonin
dan akan meningkatkan konsentrasi kalsium intraseluler, yang kemudian menekan
ekspresi e-cadherin pada tempat kontak sel (Achache, H., & Revel, A., 2006).
Adheren junction pada epitel endometrium menghilang pada proses
kehamilan normal, akan tetapi keadaan ini tidak terjadi pada kehamilan yang
didahului dengan stimulasi ovarium. Pada proses kehamilan, sel epitel luminal
harus bertransformasi menjadi reseptif untuk memungkinkan trofoblas
berimplantasi. Transformasi ini melibatkan perubahan pada lateral junctional
complex yang meliputi deepening tight junction (zonula occludens),
berkurangnya jumlah desmosom (macula adherens), dan menghilangnya adheren
junction. Pada kehamilan yang didahului dengan stimulasi ovarium, adherens
junction tidak menghilang saat implantasi. Estrogen menginduksi ekspresi e-
cadherin pada epitel endometrium, sehingga adanya retensi adherens junction
pada kehamilan dengan stimulasi ovarium mungkin diakibatkan oleh kadar
estrogen yang suprafisiologis.. Hal ini menunjukkan bahwa pada kehamilan
dengan stimulasi ovarium, epitel endometrium tetap melekat kuat satu sama lain
sebagai barrier epitel sehingga menganggu penetrasi trofoblas di celah antara sel
epithel. Pada proses normal, trofoblas harus berpenetrasi disisi samping epitel dan
mencapai lamina basalis yang menyebabkan terangkatnya lamina basalis. Retensi
adheren junction diduga akan mengganggu implantasi blastokis, yang mungkin
berperan pada rendahnya implantation rate pada FIV-ISIS. Kadar tinggi estrogen
juga mengantagonis produksi calcitonin sehingga juga berkontribusi pada
keadaan retensi adheren junction (Dowland, et al., 2016).
2.5 Leukemia Inhibitory Factor (LIF) Sebagai Marker Reseptivitas
Endometrium
Leukemia Inhibitory Factor (LIF) merupakan famili sitokin IL-6
Ekspresinya diatur oleh Estrogen dan Progesteron. LIF berperan pada
perkembangan dan implantasi blastokis. Wild type embryo tikus gagal
berimplantasi pada tikus dengan defisiensi gen LIF homozigot (Stewart et al.,
1992). Ekspresi LIF mRNA meningkat dua kali lipat pada pertengahan dan akhir
fase sekresi dibandingkan dengan pada fase proliferasi (Lessey & Young, 2014).
Mencit betina dengan LIF -/- menjadi infertil karena kegagalan implantasi
blastokis. Ekspresi LIF sangat tinggi pada kelenjar endometrium pada saat
pembentukan blastokis dan menjelang implantasi baik pada mencit maupun
manusia, yang diakibatkan oleh meningkatnya kadar estrogen dalam siklus
menstruasi. Reseptor LIF terdapat pada blastokis , endometrium dan trophoblas
akan tetapi kegagalan pada mencit LIF -/- adalah pada sisi maternal karena
embrio dengan LIF -/- dan reseptor LIF -/- dapat berimplantasi pada host
pseudopregnant wild-type (Nicola & Babon, 2015).
Pada wanita infertil kadar sekresi LIF pada flushing uterus dan pada ex-
vivo explants dilaporkan lebih rendah secara bermakna pada fase proliferasi lanjut
dan sekresi awal, dan pada kasus yang jarang mutasi pada gen LIF sendiri
(diperkirakan mempengaruhi proses berikatnya LIF dengan reseptor atau
mempengaruhi kadar ekspresi LIF) telah ditemukan pada wanita infertil. (Nicola
& Babon, 2015).
2.5.1 Peran LIF pada transformasi uterus menuju keadaan reseptif
Pada permulaan periode jendela implantasi , ekspresi chicken ovalbumin
upstream promoter transcription factor (COUP-TF) II, yang dikode oleh gen
NR2F2 , meningkat di stroma sebagai akibat progesteron. Peningkatan ini
menekan proliferasi sel epitel luminal melalui penghambatan pada aktifitas
reseptor estrogen - (ER-) 𝛼 . Sementara itu, faktor transkripsi lain , Hand2, yang
telah di 'upregulasi' oleh Progesteron juga menghambat proliferasi sel epitel yang
diinduksi oleh fibroblast growth factor- (FGF-) melalui downregulasi ekspresi
ER-𝛼 dan ERK1/2 signaling pathway di epitel luminal (Nicola & Babon, 2015).
Peran LIF dalam menghambat proliferasi epitel pada onset reseptivitas
uterus masih belum sepenuhnya dipahami. Sejumlah perubahan ekspresi protein
di epitel luminal telah dilaporkan terjadi pada periode reseptivitas endometrium
meliputi meningkatnya sintesis epithelial growth factor (EGF), serta heparin-
binding epidermal growth factor (HBEGF) dan reseptornya, ErbB1 and ErbB2 .
Di samping itu, pada periode ini terjadi juga peningkatan ekspresi sitokin dan
molekul adhesi interseluler seperti ICAM dan fibrinogen-𝛾 (FGG) (Nicola &
Babon, 2015).
LIF berperan mempersiapkan endometrium untuk implantasi embrio.
Pada mencit, puncak ekspresi LIF di kelenjar adalah pada saat ovulasi dan
menjelang onset implantasi. LIF bekerja sebagai regulator autokrin dalam
persiapan implantasi. Pada manusia, ekspresi LIF di endometrium hanya terdapat
pada kelenjar, dengan kadar tertinggi pada fase midluteal . Pada wanita fertil,
LIF juga terdeteksi pada cairan kavum uteri selama fase luteal, dan pada saat
implantasi. Sejalan dengan itu , ekspresi LIFR-𝛽 epitel luminal paling tinggi
selama fase sekresi sedang ekspresi gpl30 didapatkan baik pada epitel luminal
maupun epitel kelenjar sepanjang siklus menstruasi (Nicola & Babon, 2015).
Selama jendela implantasi, LIF akan berikatan secara langsung dengan
LIFR yang ada di blastokis atau permukaan endometrium, yang selanjutnya
mengatur autoregulasi sekresi LIF (Nicola & Babon, 2015).
LIF mempengaruhi sintesis growth factor di epitel endometrium. Pada
mencit betina dengan defisiensi LIF, EGF-like growth factor seperti amphiregulin
(Ar), heparin binding epidermal growth factor (HB-EGF), and epiregulin (Ereg)
tidak diekspresikan pada tempat aposisi blastokis, sekalipun ekspresi reseptor
EGF tidak terpengaruh. LIF juga diperlukan untuk menginduksi ekspresi gen gen
implantasi seperti Msx-1 and Wnt-4 (Naguib, 2014).
2.5.2 Peran LIF dalam proses desidualisasi
Selama fase luteal dan stadium diestrus pada siklus estrus, sel stroma
berproliferasi dan berdiffrensiasi menjadi sel desidua yang selanjutnya
menghasilkan bermacam macam faktor yang berperan dalam persiapan
endometrium bagi adhesi tropoblas dan invasi trophoblas. CCAAT/enhancer
binding protein 𝛽 (C/EBP𝛽) adalah faktor transkripsi yang bertindak sebagai
regulator proliferasi sel stroma di mencit dan manusia melalui pengaturan
sejumlah faktor regulator lain. C/EBP𝛽 juga meningkatkan respon HESCs
terhadap estrogen, progesteron, dan cAMP, dan meregulasi reseptor interleukin-
(IL-)11 serta ekspresi faktor transkripsi downstream nya STAT3 . Pada keadaan
tiadanya gen C/EBP𝛽 , terjadi infertilitas karena tidak adanya rangsangan
desiduogenik dan gangguan proliferasi serta difrensiasi sel stroma (Nicola &
Babon, 2015).
LIF berperan penting pada proses desidualisasi. LIF juga memperkuat
efek induksi desidualisasi dari estrogen dan progesteron pada HESCs melalui
fosforilasi STAT3. LIF juga meningkatkan sekresi IL-6 dan IL-15 pada proses
desidualisasi HESCs in vitro . Pada saat proses desidualisasi, sebagai akibat
fosforilasi STAT3, protein SOCS3 terstimulasi dan bertindak sebagai inhibitor
lewat feedback negatif yang menghilangkan aktifitas LIFR (Nicola & Babon,
2015).
LIF secara tidak langsung merangsang sintesis PGs ,yang merupakan
mediator penting proses desidualisasi, melalui IL-1, dan diperlukan bagi ekspresi
cyclooxygenase-2 (COX-2) , yang penting dalam sintesis PGs. Mencit betina
tanpa gen LIF mengalami kegagalan implantasi kerena terganggunya sintesis
prostaglandin (Nicola & Babon, 2015).
2.5.3 Peran LIF dalam rekruitmen lekosit saat implantasi
Terikatnya LIF dengan reseptornya (LIFR dan co-reseptor gp130)
mengaktifkan kaskade sinyal STAT dan RAS/MAPK di trofoblas. Sinyal LIF-
STAT bekerja sebagai modulator penting invasi trofoblas. Gen STAT3 diaktifkan
melalui fosforilasi pada tyrosine residue 705 (menyebabkan dimerisasi STAT3
dan translokasi ke nukleus) dan juga serine residue 727 ( memaksimalkan
aktifitas transkripsi) sebagai respon terhadap ligan eksternal. STAT yang aktif
membentuk homo-/hetero-dimer melalui ikatan fosfotirosin satu STAT dengan
domain SH2 partnernya (Suman, et al., 2013).
Setelah dimerisasi , STAT mengalami translokasi ke nukleus dan bekerja
sebagai faktor transkripsi. STAT yang aktif akan mempengaruhi ekspresi
sejumlah gen yang akan meregulasi fungsi yang berbeda beda seperti sitokin dan
sinyalnya (IL-6, OSMR, SOCS3, dan JUNB), adhesi (CECAM1, PDPN, dan
ITGB3), invasi (PAPPA, Caspase1, SER PINB3,TIMP1, TIMP2, dan TIMP3),
angiogenesis (ID1, ICAM1, EDIL3, dan CCL2). Pada pemberian LIF, ekspresi
gen TIMP1, TIMP2, TIMP3 terdownregulasi, sedang gen gen yang lain
mengalami upregulasi (Suman, et al., 2013).
Gambar 2.15 STAT-dependent signaling dan ekspresi gen gen pada sel trofoblas
yang diberikan LIF (Suman, et al., 2013)
Salah satu protein yang ditranskripsi adalah SOC3 yang dapat memodulasi
negatif durasi respon sinyal sitokin dengan berikatan pada residu fosfotirosin pada
JAK. LIF menekan efeknya sendiri pada pathway JAK-STAT melalui umpan
balik negatif lewat SOCS3. Pada sel trofoblas, SOCS3 (yang ekspresinya
bergantung pada STAT3) penting bagi regulasi negatif difrensiasi giant cell
trofoblas (Suman, et al., 2013).
Pada awal kehamilan , infiltrasi sel immun seperti sel dendritik, makrofag,
limfosit T dan B, sel natural killer (NK) , netrofil dan eosinofil ke endometrium
pada mulanya di stimulasi oleh faktor dari cairan seminal dan kemudian
selanjutnya oleh blastokis yang berimplantasi. Sel dendritik terlibat dalam
toleransi immun, tissue remodeling, angiogenesis, dan munculnya sel T
regulatory (Treg) . Berkurangnya ekspresi Treg pada endometrium berkaitan
dengan unxplained infertility pada manusia. Makrofag berperan dalam inflamasi,
menghambat sintesis nitric oxide , tissue remodeling, angiogenesis, dan toleransi
immun kearah implantasi blastokis. Sementara, sel T menghasilkan sitokin
sitokin tipe-1 dan tipe-2 yang terlibat dalam respon proinflamasi dan anti-
inflamasi yang mana rasionya sangat menentukan keberhasilan implantasi
(Nicola & Babon, 2015).
Pada fase sekresi lanjut dan kehamilan awal, persentase sel NK
endometrium/desidua meningkat cepat mencapai 70% total populasi leukosit
uterus. Setelah implantasi sel NK endometrium berdifrensiasi menjadi sel NK
desidua yang mulai mensekresi sitokin (TNF-𝛼, IL-10, GM-CSF, IL-1𝛽, TGF-𝛽1,
CSF-1, LIF, dan IFN-𝛾), growth factors, angiogenic factors dan juga terlibat
dalam tissue remodelling, migrasi trophoblas, dan desidualisasi (Nicola & Babon,
2015).
LIF memainkan peran penting dalam regulasi respon immun uterus pada
kehamilan awal. LIF mengatur subpopulasi lekosit dan merekruit kohort lekosit
tertentu ke tempat implantasi. mRNA LIF diekspresikan di lekosit desidua.
Macrofag dibawah pengaruh LIF mendorong terbentuknya endometrium yang
reseptif terhadap implantasi dengan memodulasi struktur glycan permukaan sel
epitel dan juga mengatur ekspresi enzim fucosyltransferase yang akan berperan
dalam pembentukan molekul adhesi embrio fucosylated glycoconjugates selama
periode respon inflamasi. Pemberian PBMC intra uterine dapat meningkatkan
angka kehamilan klinis pada pasien dengan kegagalan implantasi berulang pada
program FIV yang menunjukkan bahwa lekosit memainkan peran yang penting
dalam proses implantasi embrio manusia (Nicola &Babon, 2015).
Sir Peter Medawar, lebih dari 50 tahun yang lalu, mengemukakan
paradigma mengapa fetus, sebagai semiallograf, tidak ditolak oleh sistem immun
maternal; adanya sistem immun maternal pada tempat implantasi digunakan
sebagai bukti paradigma ini. Observasi Medawar berdasarkan asumsi bahwa
plasenta adalah suatu allograf yang memiliki protein protein paternal dan, oleh
karenanya, pada keadaan immunologi normal, akan ditolak (Mor, et al., 2011).
Perkembangan biologi plasenta menunjukkan bahwa plasenta lebih dari
sekedar organ yang ditransplantasi. Disamping terdapat mekanisme aktif yang
mencegah respon immun maternal terhadap antigen paternal, trofoblas dan sistem
immun maternal menampilkan kerjasama, saling membantu bagi suksesnya
kehamilan. Difrensiasi dan fungsi sel sel immun yang berinfiltrasi ke tempat
implantasi sebagian besar bergantung kepada lingkungan mikro yang dibuat
plasenta. Diduga bahwa sel sel trofoblas dapat menginduksi difrensiasi sel immun
kearah trophoblast-supporting phenotype. Dugaan ini didukung oleh penemuan
bahwa trofoblas dapat menginduksi monocyte-like THP-1 cells mensekresi sitokin
seperti IL-6, IL-8, MCP-1, dan GRO-α yang menunjang kearah berkembang dan
berfungsinya trofoblas (Mor, et al., 2011).
Interaksi trofoblas-immun ini terdiri dari 3 tahap: 1. Atraksi: sel trofoblas
mensekresi kemokin yang merekruit sel immun ke tempat implantasi; 2. edukasi:
sel sel trofoblas mensekresi sitokin regulatori yang mengatur proses difrensiasi sel
sel immun; dan 3. respon: sel sel immun yang telah diedukasi oleh trofoblas
berrespon terhadap sinyal lingkungan mikro dengan cara yang unik (Mor, et al.,
2011).
Implantasi awal ditandai dengan tingginya kadar T helper (Th)-1
proinflamatori dan sitokin (IL-6, IL-8, TNFα). Sitokin sitokin ini disekresikan
oleh sel sel endometrial dan sel sistem immun yang direkruit ke tempat
implantasi. 65–70% adalah uterine-specific natural killer (NK) cells, 10–20%
adalah makrofag (Mos) dan 2–4 % adalah dendritic cells (DCs). Sel NK di
desidua berperan mengatur invasi trofoblas dengan menghasilkan IL-8 dan
interferon-inducible protein-10 chemokines. Sel sel NK juga menghasilkan
sejumlah faktor angiogenik yang menginduksi tumbuhnya vaskuler di desidua.
DC merupakan populasi sel sel yang heterogen yang memulai dan
mengkoordinasi respon immun innate adaptive (Mor, et al., 2011).
Makrofag dan DC sangat menentukan profil sitokin di maternal–fetal
interface. Hilangnya sel sel DC uterus (uDCs) menyebabkan ganggguan
implantasi dan resorpsi embrio. Terapi dengan DC menurunkan secara bermakna
tingkat resorpsi pada model mencit. Hal ini menunjukkan bahwa sel DC
disamping terlibat dalam respon immun, juga meminkan peran tropik bagi proses
implantasi (Mor, et al., 2011).
Infiltrat immun, yang berperan penting dalam difrensiasi dan tssue
renewal, juga ikut berperan dalam pembentukan endometrium yang reseptif pada
pasien yang dilakukan biopsi. Disamping merekruit sel sel sistem imun ke tempat
injury, juga diduga membuat suatu memori jaringan yang memfasilitasi implantasi
pada siklus berikutnya (Mor, et al., 2011).
Sitokin/kemokin yang dihasilkan oleh DC/Mo distroma diduga
menginduksi degradasi lokal MUC1 yang menungkinkan blastokis melekat di
area tertentu uterus. Ada empat cara yang memperkuat melekatnya blastokis: 1.
molekul molekul adhesi dengan cepat bergerak ke permukaan sel; 2. ekspresi
molekul adhesi yang baru yang diakibatkan oleh inflamasi; 3. meningkatnya
afinitas molekul molekul tertentu setelah terjadi kontak; dan 4. reorganisasi
molekul adhesi di epitel permukaan. Keempat cara ini merupakan respon epitel
endometrium terhadap sel DC (Mor, et al., 2011).
2.5.4 Peran LIF dalam tumbuh kembang blastokis
Setelah fertilisasi embrio membelah dari stadium dua sel menjadi empat
sel dan selanjutnya delapan sel , kemudian berkembang menjadi morula yang
akan berkembang menjadi blastokis dan selanjutnya menetas pada saat memasuki
kavum uteri (Niakan, et al., 2012). Blastokis ditarik mendekat ke dinding uterus
oleh kekuatan reabsorpsi cairan kelenjar uterus (Naftalin, et al., 2002). Selama
perkembangan blastokis , pluripotent inner cells dipersiapkan untuk
berdifrensiasi sementara outer trophectoderm cells berinteraksi dengan epitel
uterus bagi invasi tropoblas (Xenopoulos, et al., 2012). Blastokis tikus
mengekspresikan transkrip mRNA LIF yang mempercepat perkembangan embrio
praimplantasi. Sementara blastokis tikus, kelinci dan manusia mengekspresikan
LIFR dan gp130 yang memacu perkembangan pra implantasi kultur embrio
manusia (Nicola & Babon, 2015).
Pemberian kombinasi insulin-like growth factor-(IGF-) I, 𝛽-fibroblast
growth factor (FGF), transforming growth factor- (TGF-) 𝛽1, granulocyte-
monocyte colony stimulating factor (GM-CSF), dan LIF dapat mempercepat
perkembangan blastokis in vitro, khususnya pada saat proses penetasan (Neira, et
al., 2010).
Leptin, berperan dalam fertilitas lewat LIF , meningkatkan proporsi
blastokis yang menetas disamping menurunkan angka apoptosis sel embrio via
STAT3 signaling pathway (Fedorcsák & Storeng, 2003 ).
2.5.5 Peran LIF dalam interaksi embrio-endometrium
Pada fase aposisi dalam proses implantasi, blastokis memulai kontak fisik
yang longgar dengan endometrium yang reseptiv yang terjadi adhesi erat diatas
permukaan endometrium. Mucin-1 (MUC-1), suatu glycocalyx yang
diekspresikan di apical membran epitel luminal, mencegah perlekatan erat
blastokis (Sharma & Kumar, 2012). Pada tempat invasi tropoblas, ekspresi
MUC-1 sangat berkurang (Meseguer, et al., 2001). MUC-1 bertindak sebagai
tumpuan bagi ligan L-selectin , yang mengikatkan L-selectin pada permukaan
blastokis , menimbulkan kontak fisik yang longgar antara blastokis dengan
endometrium dan juga memungkinkan rolling blastokis pada permukaan
endometrium (Carson, et al., 2006). Ligan L-selectin diekspresikan pada
permukaan pinopode (uterodomes) yang juga membantu rolling blastokis
(Nejatbakhsh, et al., 2012). Akhirnya, meningkatnya ekspresi molekul adhesi
yang lain seperti integrin 𝛼v𝛽3 integrin (Zhao, et al., 2010), trophinins ,
junctional adhesion molecule (JAM) , dan kompleks HB-EGF/errB4
mengakibatkan pergerakan blastokis terhenti dan selanjutnya blastokis dapat
melekat erat ke permukaan endometrium menjelang invasi (Nicola & Babon,
2015).
LIF memainkan peran tak tergantikan dalam memulai interaksi embrio-
endometrium. Pada mencit tanpa LIF, pinopode juga menghilang. Sedang pada
manusia, berbagai tingkat pertumbuhan uterodomes mengekspresikan kadar LIF
and LIFR baik di epitel luminal maupun epitel kelenjar pada fase luteal hari ke
enam-sembilan (Aghajanova, et al., 2003). Satu penelitian menunjukkan bahwa
ekspresi LIFR dan gp130 pada endometrium wanita fertil berkorelasi dengan
pembentukan pinopode , keadaan sebaliknya tampak pada wanita dengan
unexplained infertility (Nicola & Babon, 2015).
2.5.6 Peran LIF dalam invasi trophoblas
Sel besar trophoblas memiliki kemampuan menginvasi ke desidua untuk
memulai reaksi implantasi (Hemberger, 2008). Pada saat bergerak kedalam uterus,
sel trophoblas dihadapkan pada berbagai protein matriks ekstraseluler (ECM) dan
basal membran seperti kolagen, fibronektin, laminin, vitronektin, trophin, dan
tastin yang dapat berikatan dengan integrin pada permukaan trophoblas. Molekul
molekul ini membantu dalam kontrol adhesi, migrasi, difrensiasi, dan penyebaran
sel sel trophoblas (Bischof & Campana, 2000). Dalam proses invasi terjadi
degradasi elemen elemen matriks ekstra seluler (ECM) kearah migrasi yang
melibatkan enzim enzim protease, seperti matrix metalloproteinases (MMPs) 2,
9, dan 14 dan dikontrol oleh tissue inhibitor of metalloproteinases (TIMPs),
seperti, TIMPs 1, 2, dan 3 (Nicola & Babon, 2015).
LIF berperan sangat penting dalam invasi trophoblas. LIF menstimulasi
difrensiasi giant cells trophoblas via JAK1-STAT3 pathway . Sementara itu,
soluble LIF memberi sinyal ekstraseluler yang menstimulasi invasi trophoblas via
aktivasi STAT3. LIF menginduksi proliferasi sel trophoblas melalui stimulasi
transisi sel ke fase G(2)/M siklus sel dan mengaktifkan kaskade sinyal STAT3
dan ERK1/2 . LIF juga meningkatkan kemampuan invasi sel trophoblas manusia
(HTR-8/SVneo cells) in vitro via aktivasi STAT1 dan STAT3, dan juga
meningkatkan kemampuan invasi sel trophoblas ekstravilli via stimulasi adhesi
ke elemen matriks ekstraseluler antara lain fibronektin, vitronektin, dan laminin.
Di samping itu, LIF juga didapatkan men 'downregulasi' ekspresi gen gen yang
mengkode TIMP1, TIMP2, dan TIMP3 , sehingga membantu mengurangi
ekspresi enzim enzim yang terlibat dalam penguatan invasi trophoblas (Nicola &
Babon, 2015).
Gambar 2.16 Peran LIF dalam implantasi embrio (Nicola & Babon, 2015)
2.6 Stimulasi Ovarium pada Program Fertilisasi Invitro
Proses stimulasi ovarium dilakukan berdasarkan pemahaman tentang
fisiologi dan endokrinologi ovulasi. Ovulasi merupakan suatu peristiwa saat
pecahnya folikel yang disertai keluarnya cairan dari folikel bersama-sama dengan
ovum yang dikelilingi oleh sel-sel kumulus ooforus . Ovulasi tidak dapat terlepas
dari fungsi reproduksi secara keseluruhan, khususnya tentang siklus menstruasi
(Fritz & Speroff, 2011).
Masa reproduksi seorang wanita sangat bervariasi, berlangsung diantara
umur 10-45 tahun. Haid pada masa ini paling teratur dan merupakan masa paling
subur dimana kemungkinan kehamilan sangat besar. Pada masa ini terjadi ovulasi
kurang lebih 450 kali, dan tidak semua menstruasi disertai ovulasi (Fritz &
Speroff, 2011 ).
2.6.1 Perkembangan folikel dan ovulasi
Ovarium, sebagaimana pula testis memiliki dua fungsi, eksokrin dan
endokrin yaitu memproduksi gamet (oosit), demikian juga hormon seks yaitu
estrogen dan progesteron. Kalau pada testis fungsi ganda tersebut berlangsung
menetap dari pubertas oleh dua struktur yang berbeda, maka pada ovarium fungsi
tersebut berlangsung secara siklis dari pubertas sampai menopause, dan
menghasilkan perubahan unit morfologis yang sama, yaitu folikel ovarium (Fritz
& Speroff, 2011; Jerome & Carmen, 2014.).
Mulai bulan ketujuh perkembangan embrio, korteks ovarium mengandung
cadangan jutaan folikel primordial yang secara progresif berkurang jumlahnya
sampai menopause. Setiap folikel dalam stroma korteks dibentuk oleh oosit
pertama yang dikelilingi oleh lapisan datar sel-sel folikel, dan sel-sel ini ditutupi
oleh membran basal (membran Slavjanski). Oosit pertama ini berdiameter 30 μm .
Dari bentuk folikel primordial ini lapisan datar sel-sel folikel mengalami
transformasi menjadi sel-sel kuboid, menandai terbentuknya folikel primer
(Fritz& Speroff, 2011; Jerome & Carmen, 2014.).
Selanjutnya sel-sel folikel mengalami multiplikasi membentuk lapisan
kedua yang mengelilingi oosit, membentuk folikel sekunder. Diameter folikel
meningkat secara progresif sampai ± 180 μm. Sel-sel folikel berjumlah ± 5000
yang membentuk granulosa. Oosit pertama mulai tumbuh dan diameternya
meningkat dari 40 μm menjadi 60 μm. Pada akhir perkembangan, folikel sekunder
dikelilingi oleh ruang yang tidak beraturan akibat diferensiasi sel epiteloid pada
stroma fibroblas yang berhubungan dengan kapiler. Sel-sel epiteloid ini
membentuk teka interna. Adanya folikel sekunder dengan teka interna disebut
sebagai folikel preantral (Fritz & Speroff, 2011; Jerome & Carmen, 2014.).
Folikel preantral merupakan kelanjutan pertumbuhan folikel primer yang
berkembang dibawah pengaruh Follicle Stimulating Hormone (FSH). Pada fase
ini oosit tumbuh membesar dikelilingi oleh membran yang disebut zona pelusida
dan sel-sel granulosa yang mengalami proliferasi sehingga menjadi berlapis-lapis.
Sel-sel granulosa pada folikel preantral ini mempunyai kemampuan untuk
melakukan produksi dan sekresi berbagai hormon steroid seperti estradiol,
progesteron, dan androstenedion dalam jumlah yang terbatas. Terbanyak adalah
konsentrasi hormon estradiol. Hormon ini dihasilkan melalui proses aromatisasi
dengan menggunakan substrat androstenedion, dengan bantuan hormon FSH,
yang mulai tampak fungsinya dengan ditemukannya reseptor FSH dalam sel
granulosa. Kerjasama antara estrogen dan FSH akan lebih meningkatkan jumlah
reseptor FSH dan mitosis pada sel granulosa, mengakibatkan perkembangan
pertumbuhan folikel ke tingkat berikutnya. Kadar esradiol dalam stadium
preantral ini juga menentukan nasib sel folikel lainnya (Fritz & Speroff, 2011;
Jerome & Carmen, 2014).
Dibawah pengaruh sinergis estrogen dan FSH, terjadilah peningkatan
produksi cairan folikel yang mengisi rongga antara sel-sel granulosa dan
terakumulasi sedemikian rupa sehingga terbentuk rongga yang berisi cairan
folikel dan disebut sebagai folikel tersier/folikel antral. Disekeliling oosit,
granulosa menonjol ke dalam kantong folikel membentuk kumulus ooforus. Teka
interna terpisah dari granulosa oleh membran Slavjanski, yang dibentuk oleh sel-
sel epiteloid. Teka eksterna dibentuk oleh serat-serat kolagen yang tebal dan
dilintasi oleh sejumlah kapiler, mengandung miofibroblas hasil diferensiasi
fibroblas stroma. Akhir perkembangan, oosit yang bersandar pada kumulus adalah
oosit pertama yang terhenti pada stadium profase (diakinesis) dan mencapai
diameter 120 μm (Fritz & Speroff, 2011; Jerome & Carmen, 2014.).
Pada stadium antral, kadar estradiol dan progesteron di cairan folikel
meningkat jumlahnya, diameter folikel diperkirakan 12 mm. Terjadinya
peningkatan kadar estradiol pada stadium antral ini disebabkan oleh karena
meningkatnya kadar enzim aromatase seiring dengan meningkatnya kadar LH dan
FSH sehingga mampu meningkatkan intensitas proses konversi androstenedion
menjadi estradiol. Pada folikel preovulasi, sel granulosa membesar dan terdapat
lemak di dalamnya, sedangkan sel teka terbentuk vakuola dan mengandung
banyak pembuluh darah. Keadaan ini menyebabkan folikel kelihatan hiperemis.
Pada saat ini produksi estrogen meningkat dan mencapai puncaknya pada 24 – 36
jam sebelum ovulasi. Kadar FSH mulai menurun sebagai akibat mekanisme
umpan balik negatif hormon estradiol. Berbeda dengan FSH, estradiol justru
memberikan umpan balik positif terhadap LH yang mengakibatkan pembebasan
kadar LH maksimum dari hipofisis. Tetapi, sesaat sebelum terjadi peningkatan
maksimum dari LH terjadilah penurunan kadar estradiol. Diduga hal ini
disebabkan karena adanya pengaruh tekanan LH sebagai salah satu mekanisme
kontrol untuk memulai produksi progesteron. Sebab kadar LH yang tinggi justru
menghambat fungsi enzim 17 hidroksilase yang berperan untuk mengubah
progesteron menjadi 17 hidroksiprogesteron, dan menghambat enzim aromatase
sebagai refleksi dari terjadinya desensitisasi (Fritz & Speroff, 2011; Jerome &
Carmen, 2014.).
Terjadinya lonjakan LH merupakan petunjuk bahwa akan terjadi ovulasi,
dimana ovulasi biasanya terjadi 34-36 jam sesudahnya . Lonjakan LH itu sendiri
akan menyebabkan berlanjutnya proses meiosis dari oosit yang berhenti pada
stadium diplotene, luteinisasi dari sel-sel granulosa, dan sintesis prostaglandin F-
2α yang penting untuk pecahnya folikel. Proses pematangan oosit dan luteinisasi
sel-sel granulosa sebelum waktunya dihambat oleh faktor lokal yang dikenal
sebagai oocyte maturation inhibitor dan luteinization inhibitor. Dengan adanya
lonjakan LH, progesteron meningkat terus sampai saatnya ovulasi. Meningkatnya
progesteron ini berakibat umpan balik negatif, sehingga lonjakan LH berakhir. Di
samping efek sentral, progesteron juga menambah kelenturan dinding folikel,
sehingga dapat dimengerti bahwa pada saat mendekati ovulasi ukuran folikel
bertambah dengan cepat (Fritz & Speroff, 2011; Jerome & Carmen, 2014.).
Ovulasi berupa pecahnya dinding folikel dan keluarnya oosit melalui
suatu proses yang sangat kompleks. Sebelum pecah, dinding folikel mengalami
degenerasi kolagen, sehingga menjadi tipis dan teregang. LH dan progesteron
akan meningkatkan aktifitas enzim proteolitik, yang akan lebih mempercepat
hilangnya lapisan kolagen dari dinding folikel. Kadar prostaglandin E dan F
dalam cairan folikel sangat meningkat dan mencapai puncaknya pada waktu
ovulasi. Prostaglandin diduga membebaskan enzim dari lisosom dan enzim inilah
yang akan menghancurkan dinding folikel. Disamping itu, prostaglandin di duga
akan menyebabkan kontraksi jaringan otot yang berada di dalam ovarium,
sehingga pada waktu otot ini berkontraksi akan membantu pengeluaran oosit dan
kumulusnya (Fritz & Speroff, 2011; Jerome & Carmen, 2014.).
Setelah folikel pecah dan terjadi ekspulsi oosit, folikel menunjukkan
bagian yang berlipat disebut dengan folikel dehiscent. Membran Slavjanski
menghilang seluruhnya dan pembuluh darah kapiler teka dengan cepat menyerbu
granulosa sehingga sel-sel granulosa membesar dan mengalami luteinisasi
sehingga terbentuklah korpus luteum. Pada saat ini vaskularisasi di jaringan
granulosa meningkat, kapiler-kapiler terbentuk hingga ke sentral. Vaskularisasi
baru ini mencapai puncaknya pada hari ke delapan-sembilan pasca ovulasi.
Korpus luteum ini merupakan salah satu organ yang unik karena dapat
memproduksi semua hormon seks, yaitu androgen, estrogen, dan progestin.
Supaya terbentuk korpus luteum yang sempurna, diperlukan pertumbuhan folikel
yang optimal pada saat pre ovulasi. Jumlah reseptor LH yang terbentuk pada fase
folikuler akan menentukan kapasitas fungsional dari korpus luteum. Di samping
itu perubahan lapisan granulosa yang avaskuler ke jaringan vaskuler pada fase
luteal juga memegang peranan penting. Hal ini disebabkan karena pembentukan
progesteron tergantung pada transport kolesterol, dan jaringan luteal yang kaya
vaskularisasi ini penting sekali untuk transport kolesterol ke sel-sel luteal (Fritz &
Speroff, 2011; Jerome & Carmen, 2014).
Korpus luteum akan mengalami degenerasi pada hari ke sembilan-11
setelah ovulasi, yang kemungkinan disebabkan oleh estradiol yang diproduksi
oleh korpus luteum itu sendiri. Luteolisis karena estrogen mungkin sebagai akibat
dari pengaruh yang ditimbulkan pada reseptor LH melalui pembentukan
prostaglandin. Estrogen yang diproduksi oleh korpus luteum masih mempunyai
efek lain, yaitu mensintesis reseptor progesteron. Reseptor ini diperlukan pada
endometrium, karena bila jumlah reseptor progesteron kurang, walaupun jumlah
progesteron cukup, maka perubahan yang terjadi pada endometrium tidak
sempurna untuk mencapai keadaan yang kondusif untuk tumbuhnya embrio.
Degenerasi korpus luteum akan terjadi apabila tidak terjadi kehamilan. Apabila
terjadi kehamilan, korpus luteum dipertahankan oleh stimulus baru yang kadarnya
dengan cepat meningkat, yaitu hCG. Human Chorionic Gonadotropin (hCG)
pertama kali timbul pada sekitar hari ke sembilan–13 setelah ovulasi. Human
Chorionic Gonadotropin (hCG) ini akan mempertahankan korpus luteum untuk
tetap memproduksi steroid melalui steroidogenesis sampai sembilan-sepuluh
minggu usia kehamilan, dimana pada saat ini steroidogenesis dari plasenta telah
berfungsi (Fritz & Speroff, 2011; Jerome &Carmen, 2014.).
2.6.2 Obat-obatan untuk stimulasi ovarium pada fertilisasi invitro
Pada siklus alamiah tedapat konsep tentang suatu batas ambang minimal
dari kadar FSH yang dapat menyebabkan tumbuhnya satu folikel dominan,
sementara folikel-folikel yang lain mengalami atresia. Konsep ini dikenal sebagai
“FSH window consept”. Pemberian suatu FSH eksogen dimaksudkan untuk
memodifikasi prinsip dasar tersebut dengan memperpanjang lama FSH window
sehingga folikel yang akan berkembang menjadi lebih banyak dibanding siklus
alami (Bachmann, et al., 2015).
Gambar 2.17 Konsep FSH threshold and window pada perkembangan folikel
dan pemanfaatannya bagi perkembangan multi folikel (Bart
& Fauser, 2014)
Sejarah mengenai produksi dan penggunaan gonadotropin dalam
pengobatan infertilitas sangat panjang, mulai dari upaya awal pengambilan
senyawa ini dari hewan, kadaver serta urine manusia, hingga dihasilkannya
produk rekombinan dari mamalia (sel tikus hamster China). Perkembangan
gonadotropin selama 70-80 tahun terakhir ini terus berlangsung untuk dapat
menghasilkan produk-produk yang aman, efektif, murni dan konsisten, sehingga
dapat mengurangi variabilias pengobatan (Bachmann, et al., 2015).
2.6.2.1 Follicle stimulating hormone (FSH)
Penggunaan FSH eksogen untuk terapi pertama kali adalah pada tahun
1930 terhadap penderita amenorhea dengan menggunakan produk yang
diekstraksi dari babi. Selama tahun 1950-an, FSH berhasil diekstraksi dari
kelenjar hipofise wanita yang meninggal dunia dan wanita menopause, karena
konsentrasi gonadotropin lebih tinggi dibanding wanita masa reproduksi
(hipergonadotropik status). Selanjutnya pada tahun 1960-an dikembangkan human
Menopausal Gonadotropin (hMG) dari urin wanita menopause. Keberhasilan
penggunaan gonadotropin urin diawali dengan beredarnya hMG (Pergonal) atau
menotropin secara komersial yang komposisinya adalah 75 IU FSH dan 75 IU LH
(Bachmann, et al.,2015).
Kemudian, pada tahun 1980-an diluncurkan suatu produk baru yaitu
Metrodin, dengan kadar LH:FSH adalah 0,1 IU:75 IU, yang secara praktis kadar
bioaktif LH sangat minimal atau hampir tidak ada, namun masih didapatkan
sejumlah konsentrasi protein lain yang melekat pada FSH. Pemberian FSH untuk
induksi pada awal fase folikuler (hari 1-2) merupakan pilihan dengan
pertimbangan bahwa folikel pada stadium ini tidak mempunyai reseptor LH,
tetapi lebih banyak ditemukan reseptor FSH. Oleh karena kondisi yang
menyerupai kondisi fisiologik inilah hampir semua klinik bayi tabung dilaporkan
menggunakan FSH untuk stimulasi ovarium pada fertilisasi in vitro (Bachmann, et
al., 2015).
Terdapat kelemahan dari FSH yang diekstraksi dari urin wanita menopause
yaitu adanya kontaminasi komponen protein lain dengan konsentrasi >95%.
Kontaminasi tersebut dikhawatirkan dapat menyebabkan terjadinya reaksi alergi
pada penderita. Adanya kelemahan tersebut mendorong para ahli untuk
menciptakan produk FSH yang lebih murni, sehingga pada tahun 1995
dikembangkan penggunaan FSH dengan menggunakan teknik pemurnian yang
lebih sempurna (uhpFSH), dan melalui teknologi rekombinan (rFSH). Dengan
teknik rekombinan diperoleh FSH dengan kemurnian sampai 99% dengan
bioaktifitas yang tinggi (100.000 IU/mg protein) (Bachmann, et al., 2015).
Mulai tahun 2000, penggunaan gonadotropin generasi baru yaitu
rekombinan FSH (rFSH) makin banyak digunakan oleh berbagai klinik bayi
tabung. Keinginan untuk menciptakan produk FSH rekombinan didasarkan atas
pertimbangan bahwa FSH dalam sirkulasi sangat heterogen bentuknya, sehingga
peran aktifitas biologis dalam kondisi fisiologis yang dihasilkan juga beragam.
FSH melalui teknik rekombinan diupayakan untuk memperoleh molekul yang
mirip dengan produk FSH seperti yang disintesis oleh hipofise (Bachmann et al.,
2015).
2.6.2.2 Luteinizing hormone (LH)
Berbeda dengan FSH, LH menunjukkan peranannya yang lebih luas, lebih
bervariasi, dan lebih beragam dalam pengendalian siklus reproduksi. Kerjasama
yang harmonis antara FSH dan LH, serta tentunya dengan substansi biomolekul
lainnya ikut menentukan kualitas folikel, oosit, dan proses biologis siklus
reproduksi lainnya. Untuk menjalankan fungsi tersebut, konsentrasi LH harus
optimum yang berada pada spektrum ambang tertentu. Konsentrasi LH yang
terlalu rendah atau sebaliknya, akan memberikan konsekuensi biologis pada organ
target (Bachmann, et al., 2015).
Dalam kondisi fisiologis, proses biokimia reproduksi membutuhkan
konsentrasi LH yang tidak terlalu rendah dan tidak terlalu tinggi, yaitu antara 1
IU/ml – 10 IU/ml. Apabila konsentrasi LH terlalu tinggi, timbul masalah biologis
yang lebih rumit dan mengakibatkan gangguan pada pengendalian fungsi
reproduksi. Secara komersial, produk LH yang tersedia di pasaran adalah human
Chorionic Gonadotrophin (hCG). Pada stimulasi ovarium untuk fertilisasi in
vitro, pemberian hCG pada saat akhir menjelang terjadinya ovulasi, umumnya 24-
36 jam setelah pemberian hMG terakhir, tujuannya adalah untuk memantapkan
pematangan folikel fase preovulasi dan oosit. Dianjurkan pemberian hCG
terendah sebaiknya > 5000 IU, mengingat pada 2000 IU didapatkan 77% oosit
sedangkan 5000 IU didapatkan 95,5% dan pada 10 000 IU didapatkan 98,8% oosit
dengan kualitas yang lebih baik (Bachmann, et al., 2015).
Mengingat sebagian besar struktur dan aktifitas biologis hCG mirip dengan
LH, dan dengan struktur kimiawi yang unik serta tidak terpengaruh oleh feedback
hormone steroid sehingga hCG diperkirakan dapat merangsang efek LH endogen
secara cepat dan singkat sebagai syarat terjadinya final maturasi dan ovulasi.
Tetapi berbeda dengan keadaan fisiologis dimana FSH dan LH secara bersamaan
meningkat secara proporsional untuk menimbulkan ovulasi, pemberian hCG
eksogen akan menimbulkan peningkatan tinggi terhadap LH saja (Bachmann, et
al., 2015).
2.6.2.3 Gonadotropin releasing hormone (GnRH) analog
Penggunaan GnRH analog sebagai pengobatan dalam stimulasi ovarium
pada program fertilisasi in vitro sudah merupakan prosedur standar. GnRH sudah
terbukti dapat meningkatkan sinkronisasi dan penurunan frekuensi terjadinya
penundaan akibat lonjakan LH prematur yaitu dari sebesar 20% penundaan
menjadi hanya dua % penundaan. Selain itu, juga terjadi peningkatan angka
fertilisasi dan angka implantasi (Huirne, 2007).
Kokohnya ikatan GnRH analog terhadap reseptor GnRH menimbulkan
pengaruh pada keseimbangan hormon steroid dan gonadotropin yang lazim
disebut sebagai up regulation, yaitu terjadi pembebasan sejumlah besar LH dan
FSH dari hipofise dan meningkatnya jumlah reseptor GnRH di hipofise. Pengaruh
ini dibuktikan dalam suatu uji klinis yang menunjukkan bahwa 12 jam setelah
pemberian GnRH agonis terjadi peningkatan FSH sebesar 5 kali, LH sebesar 10
kali, dan estradiol sebesar 4 kali. Namun pemberian GnRH agonis secara konstan
dalam waktu lama (14-21 hari) menimbulkan desensitisasi total sehingga sel
gonadotrop tidak mampu memberikan reaksi terhadap rangsangan GnRH yang
disebut down regulation. Akibatnya terjadi penurunan kadar LH, FSH, hormon
steroid, dan atresia folikel. Fenomena ini melandasi pemikiran untuk
menggunakan GnRH agonis dalam stimulasi ovarium (Verberg, et al., 2009; Bart
& Fauser, 2014)
Sejak tahun 1980-an, pada program FIV stimulasi ovarium selalu diberikan
bersama GnRH agonis, untuk menekan sekresi gonadotropin endogen , dengan
tujuan antara lain menekan lonjakan LH prematur. GnRH agonis dapat diberikan
dengan metode protokol panjang (long protocols) atau dengan protokol pendek
(short atau flare protocols). GnRH agonis awalnya menyebabkan sekresi
gonadotropin (efek flare up), respon ini sangat berguna pada fase folikular awal
karena kombinasi GnRH dan estradiol menghasilkan simpanan gonadotropin yang
cukup banyak. Umumnya supresi hipofise terjadi dalam tujuh – 14 hari kemudian.
Jadi pemberian diteruskan GnRH agonis menyebabkan down
regulation/desentisisasi, kemudian tejadi kerusakan reseptor. GnRH agonis
berikatan dengan reseptor melalui proses internal receptor – mediated
endocytosis. Ikatan kompleks ini diikuti dengan degradasi ligand dan daur ulang
parsial dari reseptor sehingga reseptor GnRH akan berkurang. Pada saat reseptor
akan menjadi normal, desensitisasi dipelihara oleh mekanisme post reseptor
termasuk berkurangnya dan kegagalan fungsi reseptor GnRH dalam berikatan
dengan ion Ca dan hilangnya kemampuan transfer gonadotropin dari non
releaseable ke bentuk releasable. Mekanisme post reseptor menyebabkan sekresi
gonadotropin biologis tidak aktif (Verberg et al., 2009; Cheng & Leung, 2011).
Pada dekade berikutnya GnRH antagonis juga dipakai pada program FIV,
dan mempunyai efek inhibisi langsung pada sekresi gonadotropin. Molekul
antagonis bersaing dengan menempati reseptor GnRH sehingga menghambat
kerja GnRH endogen, bersifat penghambat kompetitif. GnRH antagonis
menyebabkan supresi langsung (tanpa flare up) dan reseptor GnRH tidak
berkurang, ini menunjukkan asupan konstan antagonis ke sel gonadotrop sehingga
semua reseptor GnRH tetap terikat. Dengan antagonis menyebabkan supresi
hipofise yang lebih baik dibandingkan dengan GnRH agonis (Cheng & Leung,
2011; Bart & Fauser, 2014).
2.6.2.4 Protokol stimulasi ovarium pada program fertilisasi invitro (FIV)
Secara umum, stimulasi ovarium akan berhasil dengan baik bila dilakukan
pada pasien-pasien dengan respon ovarium yang baik. Keadaan ini dapat
diketahui melalui pemeriksaan kadar hormonal basal, yaitu pada hari kedua atau
ketiga haid. Kadar FSH > 12 IU/mL, atau bahkan sampai diatas 20 IU/mL
berhubungan dengan buruknya respon ovarium terhadap stimulasi pada program
FIV (spesifisitas 80-100%, sensitifitas 10-30%). Tingginya kadar FSH ini
berhubungan pula dengan meningkatnya usia penderita, dimana peningkatan usia
menyebabkan penurunan jumlah oosit dan kualitas oosit. Tingginya kadar
estradiol pada hari ke-2 atau ke-3 haid (>60-80 pg/mL) juga dapat memprediksi
sulitnya terjadi proses kehamilan. Peningkatan kadar estradiol yang prematur
berhubungan dengan recruitment folikel sebagai respon meningkatnya sekresi
FSH. Bila kadar basal hormon FSH dan estradiol tinggi pada hari ke-2 atau hari-3
haid menunjukkan respon ovarium terhadap stimulasi ovarium yang jelek (Fritz &
Speroff, 2011).
2.6.2.4.1 Protokol pendek agonis
Stimulasi ovarium protokol pendek GnRH agonis (short/flare up protocol)
menekankan cara pemberian GnRH-a dan gonadotropin secara bersamaan yaitu
pada saat awal fase proliferasi (hari kedua haid) sampai saat pemberian hCG
(Shah & Bansal, 2014).
Gambar 2.18 Protokol pendek agonis GnRH (Shah & Bansal, 2014)
2.6.2.4.2 Protokol panjang agonis
Protokol panjang dimaksudkan untuk mencapai downregulasi hipofise
yang disertai dengan penekanan gonadotropin endogen sebelum stimulasi dengan
FSH eksogen. Pada protokol ini agonis GnRH mulai diberikan pada fase midluteal
(hari ke 21 atau 22) dari siklus menstruasi sebelumnya atau pada fase folikular
dini (gambar). Tidak terdapat perbedaan outcome antara kedua cara mulai ini
(Maheshwari, et al., 2011).
Gambar 2.19 Protokol panjang agonis GnRH (Shah & Bansal, 2014)
Agonis umumnya diberikan sampai 2 minggu, sehingga didapatkan
penekanan ovarium yang ditunjukkan dengan kadar estradiol plasma < 50 pg/mL
dan/atau ketebalan endometrium kurang dari lima mm pada pemeriksaan USG.
Gonadotropin eksogen dan agonis GnRH diberikan bersama sama sampai hari
pemberian hCG (Shah & Bansal, 2014).
Satu dari enam atau tujuh pasangan memerlukan penanganan infertilitas.
Sebagian dari pasangan ini memerlukan tindakan in vitro fertilization (IVF), yang
sekarang telah digunakan secara luas . IVF berkembang semakin penting, dan di
beberapa negara, jumlah siklus IVF meningkat pesat dalam dekade terakhir (Shah
& Bansal, 2014).
Tujuan setiap protokol stimulasi ovarium adalah untuk mendapatkan
sebanyak mungkin folikel sehingga bisa didapatkan oosit yang berkualitas, tanpa
terjadinya komplikasi seperti hiperstimulasi ovarium (Shah & Bansal, 2014).
Gonadotropin muncul sebagai satu tonggak dalam penanganan infertilitas
dan telah digunakan secara ekstensif dan efektif selama tiga dekade terakhir.
Induksi ovulasi dapat dioptimalisasi dengan mengembangkan protokol stimulasi
sesuai kasus dan pengaturan dosis gonadotropin sesuai dengan hasil pemeriksaan
cadangan ovarium, riwayat respon terhadap controlled ovarian hyperstimulation
(COH) sebelumnya dan jenis kasus anovulasi yang dihadapi (Shah & Bansal,
2014).
2.6.2.4.3 Protokol antagonis GnRH
Antagonis GnRH berikatan dengan reseptor GnRH di hipofise, akan tetapi
tidak menginduksi pelepasan gonadotropin. Terikatnya GnRH secara kompetitif
dengan reseptor mencegah GnRH endogen bekerja sehingga tidak menimbulkan
efek perangsangan pada sel sel hipofise. Sebagai akibatnya adalah tidak terjadi
efek flare-up seperti pada pemberian GnRH agonis dan kadar gonadotropin
endogen tertekan dengan cepat dan efektif . Jadi, antagonis GnRH memiliki efek
penghambatan langsung , serta efek penekanan yang reversibel terhadap sekresi
gonadotropin. Mode of action yang terjadi bergantung kepada ekuilibrium antara
GnRH endogen dan antagonis yang dipakai. Sebagai akibatnya, efek kerja
antagonis adalah dosedependent (Shah & Bansal, 2014).
Keuntungan pemakaian antagonis GnRH adalah : merupakan protokol
stimulasi ovarium yang lebih nyaman, dengan periode stimulasi yang lebih
pendek dan tanpa didahului penekanan hipofise, lebih fisiologis, penekanan
hipofise dimulai saat ada ancaman lonjakan LH prematur, serta risiko terjadinya
OHSS lebih rendah (Shah & Bansal, 2014).
Struktur antagonis GnRH dikembangkan dari struktur molekul GnRH
native. Asam amino pada posisi satu, dua, tiga, enam, dan sepuluh berperan
penting dalam struktur dan fungsi molekul GnRH native (dekapeptida). Asam
amino pada posisi enam berperan pada pemecahan enzim. Posisisi dua dan tiga
penting dalam pelepasan gonadotropin dan posisi satu, enam, dan sepuluh
penting dalam struktur tiga dimensi molekul (Sardana & Rao, 2014).
Pada agonis GnRH, hanya terdapat perubahan penting pada posisi enam
dan sepuluh . Pada antagonis GnRH perubahannya lebih kompleks. Asam amino
His pada posisi dua dan Trp pada posisi tiga diganti dan D-amino acids
disubstitusi pada posisi enam dengan neutral D-ureidoalkyl amino acids. Dengan
modifikasi ini , dikembangkan antagonis generasi ke-tiga, yang sejak tahun 1999
terdapat dua macam preparat yaitu : (1) cetrorelix (Cetrotide, Serono
International SA, Geneva, Switzerland); dan (2) ganirelix (Orgalutran,Organon,
Oss, The Netherlands). Kedua preparat ini yang digunakan dalam protokol
stimulasi GnRH antagonis (Sardana & Rao, 2014).
Antagonis Gonadotropin-releasing hormone bekerja sebagai competitive
blockers pada reseptor GnRH native, sehingga memblok GnRH native untuk
memulai pembentukan dimer dan transduksi sinyal (pelepasan follicle stimulating
hormone (FSH) dan LH dari hipofise ). Tidak seperti GnRH agonis, antagonis
tidak memiliki aktifitas intrinsik (Sardana & Rao, 2014).
Tabel 2.2 Struktur GnRH alamiah dan analog GnRH dengan variasi posisi asam
amino (Sardana & Rao, 2014)
Blokade kompetitif reseptor GnRH segera menyebabkan terhentinya
sekresi gonadotropin, tetapi ini bersifat reversibel. Dan juga, karena tidak ada
reseptor yang hilang, antagonis harus diberikan secara konstan untuk tetap
memblok semua reseptor GnRH. Sehingga diperlukan dosis antagonis yang lebih
tinggi dibandingkan dengan agonis untuk mendapatkan efek penekanan hipofise
yang efektif (Sardana & Rao, 2014).
Protokol dosis multipel mencegah penekanan LH yang berlebihan serta
turunnya kadar estradiol yang sering terjadi pada saat antagonis diberikan.
Protokol dosis multipel merupakan protokol yang simpel, aman, dan efisien
untuk mencegah lonjakan LH (Sardana & Rao, 2014).
Protokol dosis tetap lebih sederhana serta kurang memerlukan monitoring
siklus. Sedang protokol dosis fleksibel mencegah suntikan yang tidak perlu jika
risiko lonjakan LH minimal dan karenanya lebih sedikit memakai ampul
antagonis serta gonadotropin. Sehingga tampaknya lebih cost-effective (Sardana &
Rao, 2014).
Efek blokade kompetitif reseptor GnRH segera menyebabkan penekanan
sekresi gonadotropin. Dalam waktu enam jam (range empat-24 jam) setelah
pemberian antagonis GnRH, kadar LH plasma turun sampai 70% (range 52-91%)
dan kadar FSH 30% (range 23–61%) . Jumlah serta durasi penekanan ini adalah
dose dependent. Cetrorelix, dengan dosis 3 mg single dose dan dosis harian 0.25
mg , memiliki half-life masing masing 62.8 jam dan 20.6 jam. Ganirelix, dengan
dosis harian 0.25 mg , memiliki half-life 16,2 jam. Kadar tidak terdeteksi lagi
dalam waktu 24-72 jam (Sardana & Rao, 2014).
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa insiden lonjakan LH prematur
pada protokol antagonis bervariasi antara satu persen dan 35% . Hal ini penting
diperhatikan khususnya pada dosis harian (Sardana & Rao, 2014).
Pemicuan ovulasi dilakukan apabila telah didapatkan satu atau beberapa
folikel dengan diameter 17-22 mm . Kadar estradiol juga dipakai sebagai kriteria
bagi pemicuan ovulasi (Sardana & Rao, 2014).
Suatu randomized study prospektif membandingkan outcome dari timing
pemicuan yang berbeda (folikel dengan diameter 17 mm atau ditunda dua hari).
Suatu perbaikan outcome yang bermakna didapatkkan pada kelompok dengan
pemberian hCG secara dini dalam hal perbaikan implantation rate dan ongoing
pregnancy rates. Mekanisme yang mendasari adalah adanya pernaikan dalam
kualitas oosit dan reseptivitas endometrium. Menunda pemberian hCG selama ≥
dua hari setelah didapatkan tiga atau lebih folikel berdiameter ≥ 17 mm ,
berasosiasi dengan penurunan yang bermakna dalam pregnancy rates (Sardana &
Rao, 2014).
Pemicuan dengan hCG [urinary human chorionic gonadotropin (uhCG)
atau recombinant hCG (rhCG)] paling sering digunakan di berbagai pusat
pelayanan fertilitas di dunia bagi maturasi akhir oosit. Akan tetapi kejadian
ovarian hyperstimulation syndrome (OHSS) tetap menjadi perhatian utama,
sekalipun insiden OHSS pada protokol antagonis lebih rendah secara bermakna
(sekitar 50%) dibandingkan dengan protokol agonis. Pemakaian agonis GnRH
(0.2 mg triptorelin) sebagai pengganti hCG menghilangkan kemungkinan
terjadinya OHSS (karena half-life lonjakan LH endogen yang pendek). Picu
ovulasi dengan agonis GnRH juga bekerja lebih fisiologis bagi maturasi oosit
(Sardana & Rao, 2014).
Kelemahan penggunaan agonis adalah berasosiasi dengan luteolisis
prematur. Suatu penelitian meta-analisis melaporkan penurunan pregnancy rates
yang bermakna pada penggunaan agonis sebagai picu ovulasi pada siklus dengan
fresh embryo transfer (Sardana & Rao, 2014).
Pada keadaan ancaman terjadinya OHSS dianjurkan melakukan
kriopreservasi embrio serta tandur alih pada siklus berikutnya. Hal ini tidak hanya
bisa mendapatkan pregnancy rate yang lebih baik, tetapi juga mencegah late-
onset pregnancy-associated OHSS pada fresh cycle. (Sardana & Rao, 2014).
Protokol stimulasi ovarium dapat menimbulkan gangguan pada fase luteal.
Pada protokol stimulasi agonis, penunjang fase luteal bersifat mandatory .
Progesteron paling sering digunakan karena sama efektifnya dengan hCG dengan
risiko OHSS yang lebih rendah. Pada mulanya, diperkirakan protokol antagonis
tidak memerlukan penunjang fase luteal karena durasi kerja yang pendek dan
cepatnya reversibilitas. Akan tetapi, pada suatu penelitian dengan protokol
antagonis tanpa penunjang fase luteal tidak didapatkan terjadinya kehamilan
(Sardana & Rao, 2014).
Sekarang telah dimengerti bahwa terjadinya insufisiensi fase luteal adalah
karena kadar hormon steroid sex yang suprafisiologis pada stimulasi gonadotropin
yang memberi umpan balik sehingga menyebabkan prolonged pituitary
suppression. Oleh karena itu, penunjang fase luteal diperlukan bagi endometrium
dan mempertahankan kehamilan tanpa memandang jenis GnRH analog yang
digunakan pada stimulasi ovarium. Progesteron tetap terpilih sebagai komponen
utama penunjang fase luteal. Penambahan estrogen pada progesteron tidak
memperbaiki pregnancy rates (Sardana & Rao, 2014).
Pengembangan preparat antagonis GnRH sangat berkaitan dengan efek
samping yang terjadi. Antagonis GnRH generasi ketiga tidak menyebabkan
terjadinya pelepasan histamin, karena dosis yang diperlukan untuk terjadinya
keadaan itu 1000 kali konsentrasi efektif plasma. Juga tidak didapatkan reaksi
kulit sistemik maupun lokal. Efek samping yang sering didapat adalah reaksi
minor pada tempat suntikan , nausea, sakit kepala, fatigue dan malaise. Tidak
terdapat perubahan bermakna pada kimia darah dan parameter hematologi lain.
Tidak terdapat interaksi obat (Sardana & Rao, 2014).
Dua preparat GnRH antagonis yang tersedia adalah cetrorelix (Cetrotide,
Serono) dan ganirelix (Orgalutran,Organon). Antagonis dapat digunakan dalam
dua protokol yang berbeda yaitu protokol dosis tunggal dan dosis multipel,
dengan dosis 0,25 mg dan 3 mg.
Pada protokol antagonis dosis tunggal, dosis tunggal 3 mg cetrorelix
diberikan pada hari ke enam atau tujuh pemberian FSH , pada saat kadar serum
estradiol 550 - 750 pmol/L dan diameter folikel lebih dari 14 mm. Dosis tunggal
cetrorelix ini berkerja sebagai preparat pseudodepot , yang mengakibatkan
supresi fungsi hipofise dalam beberapa hari. Dosis 3 mg cetrorelix ini adalah dosis
minimal yang diperlukan pada protokol antagonis GnRH. Pada dosis 2 mg,
didapatkan terjadi lonjakan LH prematur (Shah & Bansal, 2014).
Protokol ini mudah digunakan, dapat ditoleransi dengan baik dengan
hanya reaksi pada tempat suntikan yang ringan dan transien, sehingga baik bagi
compliance pasien (Sardana & Rao, 2014).
Pada protokol antagonis dosis multipel, controlled ovarian stimulation
(COH) dimulai dengan pemberian gonadotropin eksogen pada fase folikular dini.
Lonjakan LH prematur dicegah dengan pemberian dosis harian 0.25 mg
cetrorelix s.c mulai hari ke lima-enam dan seterusnya. Dosis 0.25 mg merupakan
dosis efektif minimal pada protokol dosis multipel. Dosis yang sama juga
digunakan untuk ganirelix. Kedua protokol terbukti sama sama efektif dan aman
(Shah & Bansal, 2014).
Pada protokol dosis multipel dapat digunakan protokol yang fixed atau
fleksibel. Pada protokol antagonis GnRH dosis tetap, antagonis pertama diberikan
pada hari ke enam stimulasi gonadotropin dan dilanjutkan sampai hari pemberian
hCG. Pada protokol antagonis GnRH dosis fleksibel antagonis mulai diberikan
pada saat diameter folikel mencapai 14 mm dan dilanjutkan sampai hari
pemberian hCG (Shah & Bansal, 2014).
Protokol dosis multipel mencegah penekanan LH yang berlebihan serta
turunnya kadar estradiol yang sering terjadi pada saat antagonis diberikan.
Protokol dosis multipel merupakan protokol yang simpel, aman, dan efisien
untuk mencegah lonjakan LH (Sardana & Rao, 2014).
Protokol dosis tetap lebih sederhana serta kurang memerlukan monitoring
siklus. Sedang protokol dosis fleksibel mencegah suntikan yang tidak perlu jika
risiko lonjakan LH minimal dan karenanya lebih sedikit memakai ampul
antagonis serta gonadotropin. Sehingga tampaknya lebih cost-effective (Sardana &
Rao, 2014).
Suatu penelitian meta-analisis yang membandingkan antara protokol dosis
antagonis tetap dan fleksibel menunjukkan bahwa protokol dosis fleksibel
menggunakan lebih sedikit gonadotropin dan lebih sedikit antagonis GnRH. Akan
tetapi ada kecenderungan kearah pregnancy rate yang lebih rendah pada protokol
fleksibel, khususnya bila pemberian antagonis GnRH lebih lambat melewati hari
ke 8 stimulasi ovarium (Shah &Bansal, 2014).
Menaikkan dosis FSH , pada saat dimulainya pemberian antagonis GnRH
tidak meningkatkan keberhasilan kehamilan menurut satu penelitian prospektif
randomized trial (Propst, 2006).
Penambahan LH tidak diindikasikan pada seluruh siklus stimulasi dengan
antagonis GnRH. Penambahan LH mungkin diperlukan pada pasien pasien
dengan pertumbuhan folikel yang kurang pada hari ke enam stimulasi
gonadotropin, dengan riwayat respon yang buruk pada siklus sebelumnya, dan
pada pasien usia tua (Shah & Bansal, 2014).
Gambar 2.20 Protokol antagonis dosis tunggal (Shah & Bansal, 2014)
Gambar 2.21 Protokol antagonis dosis multipel (Shah & Bansal, 2014)
Dengan ditemukannya reseptor GnRH diluar hipofise, keamanan analog
GnRH khususnya di ovarium, oosit, dan endometrium menjadi ramai
diperdebatkan. Telah di hipotesakan bahwa antagonis GnRH terlibat dalam
program mitosis sel dalam folikulogenesis, pembentukan blastomer dan
perkembangan endometrium (Sardana & Rao, 2014).
Pertumbuhan folikel tidak dipengaruhi oleh dosis antagonis GnRH , akan
tetapi penurunan yang dose-related tampak pada kadar LH, androstenedion dan
estradiol pasa akhir fase folikular. Antagonis GnRH pada dosis tinggi dapat
mempengaruhi steroidogenesis folikel, dan juga dapat menurunkan cleavage rate
embrio (Sardana & Rao, 2014).
Terjadinya gangguan reseptivitas endometrium diduga sebagai penyebab
menurunnya angka implantasi (yang dose-related) , karena embrio kriopreservasi
mempunyai pregnancy rate yang normal.
Akan tetapi konsep ini dibantah oleh Mannaerts dan Gordan, (2000), karena
antagonis tidak mengaktifasi reseptor GnRH. Antagonis GnRH hanya bisa
memblok kerja dari GnRH dan agonis GnRH. Terlebih lagi, penelitian penelitian
selanjutnya gagal menemukan perbedaan yang bermakna dalam angka implantasi
dan kehamilan dengan menggunakan antagonis GnRH (Sardana & Rao, 2014).
Tidak ditemukan efek buruk atau teratogenik terhadap perkembangan
embrio pada penelitian binatang. Follow-up pada anak anak yang dilahirkan juga
menunjukkan keamanan penggunaan antagonis GnRH. Data yang didapat
menunjukkan safety profile antagonis yang baik. Kejadian malformasi dan
kelainan kongenital tidak meningkat (Sardana & Rao, 2014).
2.7 Pengaruh Kadar Suprafisiologis Estrogen pada Reseptivitas
endometrium
2.7.1 Pengaruh stimulasi ovarium terhadap hormon steroid
Salah satu parameter yang digunakan sebagai refleksi dari kualitas stimulasi
ovarium adalah steroidogenesis di folikel. Umumnya stimulasi ovarium akan
meningkatkan produksi dan sekresi hormon steroid (estradiol dan progesteron),
sebagai refleksi dari pertumbuhan multifolikel. Semua stimulasi ovarium akan
merubah pola dan komposisi rasio kadar hormon steroid, khususnya estradiol dan
progesteron, baik di sirkulasi maupun di cairan folikel (Fritz & Speroff, 2011).
Sampai kini telah dicapai kesepakatan bahwa kadar estradiol plasma
merupakan parameter yang dapat dipakai untuk memantau pertumbuhan folikel.
Tetapi untuk mengevaluasi/mengidentifikasi spektrum kadar estradiol yang
dianggap sesuai bagi suksesnya suatu kehamilan pada program fertilisasi in vitro,
masih belum dicapai kesepakatan. Peningkatan kadar estradiol plasma secara
bertahap/stabil yang dipantau secara berkala, dan diikuti dengan pertumbuhan
diameter folikel yang konsisten (dipantau dengan sonografi transvagina) akan
memberikan korelasi terhadap oosit dengan kualitas yang lebih baik. Lagi pula
penurunan atau tidak adanya peningkatan kadar estradiol di awal stimulasi
ovarium merupakan parameter utama untuk membatalkan/menunda program
fertilisasi in vitro sehingga dapat menghemat biaya dan waktu (Palshetkar, et al.,
2014).
Selain estradiol, pemantauan kadar progesteron juga mulai mendapat
perhatian. Pemeriksaan kadar progesteron plasma pada 20 sampai 34 jam setelah
pemberian hCG pada stimulasi ovarium dengan FSH/hMG menunjukkan
peningkatan progesteron plasma tiga kali lebih besar pada kelompok penderita
yang hamil dibandingkan dengan kelompok yang tidak hamil. Hasil ini
menunjukkan adanya suatu tanda awal dari periode transisi antara kapasitas
folikel yang matang dan mulai berfungsinya korpus luteum, mengingat pada
keadaan fisiologis luteinisasi di folikel Graaf sudah mulai terjadi 20 jam sebelum
ovulasi. Dapat pula diinterpretasikan sebagai waktu yang tepat untuk pemberian
hCG dan dimulainya fase luteinisasi atau sebagai salah satu kriteria untuk
meramalkan kematangan oosit di dalam folikel yang matang tersebut. Sebab
aspirasi folikel baru dilakukan antara 34-36 jam setelah pemberian hCG
(Palshetkar, et al., 2014).
2.7.2. Pengaruh Stimulasi Ovarium Terhadap Endometrium
Seperti diketahui bahwa hormon ovarium, estrogen dan progesteron
mempersiapkan endometrium untuk siap menerima implantasi blastokista.
Perubahan dari fase proliferasi ke endometrium fase sekresi adalah bagian penting
untuk mencapai kondisi reseptif yang dibutuhkan untuk implantasi. Perubahan ini
akibat ekspresi histologik dari proses biokimia dan molekuler (Mesiano, 2014).
Pada fase midluteal endometrium mencapai ketebalan 10-14 mm, saat ini
aktivitas sekresi mencapai puncaknya dan sel-sel endometrium kaya akan
glikogen dan lipid. Jendela reseptivitas endometrium terbatas pada hari 16-22
siklus, dengan diawali oleh pembentukan pinopode yaitu epitel permukaan
mikrovilli yang memperlihatkan perubahan kistik, muncul dan beregresi selama
jendela reseptivitas. Pinopode dapat menyerap cairan dari kavum uterus sehingga
memaksa blastokista mengadakan kontak dengan epitel endometrium.
Pertumbuhan pinopode berkaitan dengan adesi blastokista pada epitel lumen,
menunjukkan reseptivitas nidasi endometrium. Progesteron merangsang
munculnya pinopode sedangkan estrogen menyebabkan regresinya. Sepanjang
siklus menstruasi normal, penampakan terbanyak pinopode terjadi pada hari 19,
20 dan 21 dari siklus 28 hari (Nikas, 2000.)
Bourgain dan Devroey, mengevaluasi indeks proliferasi endometrium dan
mendapatkan bahwa pada fase luteal dini terjadi efek antiproliferatif yang berat
baik pada sel kelenjar maupun stroma endometrium pada siklus yang distimulasi
dibanding siklus alami. Pada stimulasi ovarium pemunculan progesteron lebih
awal dan secara cepat menyebabkan transformasi lebih awal fase sekresi dan
berhentinya maturasi sel kelenjar endometrium dari fase luteal ( Bourgain &
Devroey, 2003). Pada siklus yang distimulasi menggunakan clomiphene citrate
(100mg/hari) selama lima hari, diikuti dengan hMG pada hari keenam, delapan,
dan kesepuluh siklus, kemudian pemberian hCG (5.000 IU), formasi pinopode
tampak pada hari 16, 17 dan 18. Perbedaan penampakannya tersebut menjadikan
pinopode sebagai petanda morfologis jendela implantasi bergeser menjadi lebih
awal dibanding siklus alami (Nikas, 2000; Guidice, 2003).
Pada FIV-ET dimana selalu dilakukan stimulasi ovarium dengan co-
treatmen GnRH analog dapat penyebab terjadinya defisiensi fase luteal (luteal
phase defect / LPD) antara lain oleh karena : suprafisiologi hormon steroid
ovarium menyebabkan dissinkroni perkembangan stroma dan kelenjar dan
perpanjangan fase proliferasi, dan dipercaya merupakan penyebab terbesar LPD;
pemberian GnRH agonis menyebabkan prolong recovery kelenjar hipofise dan
menyebabkan kegagalan support corpus luteum; pemakaian GnRH antagonis
walaupun rapid recovery kelejar hipofise tetapi dapat menyebabkan luteolisis
berat; pemberian hCG untuk final maturation oosit dapat menyebabkan supresi
produksi LH melalui mekanisme short loop feedback ; dan yang terakhir
kehilangan dalam jumlah besar sel granulosa saat tindakan petik ovum
menyebabkan hilangnya sumber progesteron dan kegagalan corpus luteum
(Fatemi, 2007).
Pada fase reseptif uterus mulai menghasilkan faktor-faktor pertumbuhan
seperti EGF dan HB-EGF. Endometrium juga menghasilkan sekurangnya tiga
sitokin yang terlibat dalam implantasi seperti CSF-1, LIF, dan IL-I. Dengan
protein-protein ini, melalui gen pengatur HOXA-10, menyebabkan ekspresi dari
enzim siklo-oksigenase (COX) dan molekul sel adhesi (Taylor, 2000; Guidice,
2003).
Molekul adesi sel integrin terdapat selama fase sekresi. Satu integrin yang
dideteksi dengan imunohistokimia dan sitometri pada epitel kelenjar selama hari
5- 6 postovulasi, dengan ekspresi reseptor vitronektin v3 menunjukkan
terbukanya jendela implantasi. Sub unit v terdapat pada tingkat epitel selama
fase sekresi awal dan lanjut serta pada stroma selama seluruh siklus. Sedangkan
subunit 3 mulai muncul secara mendadak pada hari 20 siklus (mulainya jendela
implantasi secara teoritis) dan terdapat pada epitel selama fase sekresi lanjut dan
pada stroma selama seluruh siklus sampai awal kehamilan ( Lessey, 1998,
Mesiano, 2009).
Pengaturan ekspresi dari integrin subunit 3 epitel endometrium yang
muncul 6-8 hari setelah ovulasi telah lama dihubungkan dengan reseptor
progesteron karena saat ekspresi terjadi, setelah adanya kenaikan progesteron
serum (Bagchi et al., 2003). Pada fase sekretorik epitel endometrium secara
selektif kehilangan reseptor progesteron (PR), sementara sel stroma
mempertahankan ekspresi PR ini. Hilangnya PR intraepitelial akibat dari
peningkatan konsentrasi progesteron dalam serum yang secara efektif mengurangi
PR. Pergeseran dalam jumlah reseptor ini terjadi bertepatan dengan awal
reseptivitas endometrium pada hari ke 19-20 siklus (pasca-lonjakan LH hari
kelima-enam) seiring dengan munculnya v3 (Bagchi, et al., 2003; Achache,
2006).
Down regulation specific dari reseptor steroid oestrogen (ER) dan
progesterone (PR), dan disisi lain konsentrasi hormon estrogen dan progesteron
yang tinggi dalam sirkulasi darah mengakibatkan partisi fungsional dari fase
skretorik menjadi dua segmen. Pada hari 16 siklus, konsentrasi progesteron dan
PR yang tinggi baik dalam epitel maupun sel stroma sebagai respon efek terhadap
steroid ovarium (estrogen dan progesterone tinggi dalam sirkulasi). Pada hari 22,
ketika PR dan ER terjadi penurunan selektif dalam sel epitel (PR dan ER dalam
epitel menurun sedangkan dalam stroma tetap ada), akibatnya aktivitas seks
steroid terutama terjadi pada sel stroma, yang kemudian dapat mempengaruhi
sel epitel secara tidak langsung melalui faktor parakrin tertentu. Sehingga para
ahli berpendapat bahwa reseptivitas endometrial (hari 22) diatur oleh pergeseran
ini dalam pengaruh selular, secara tidak langsung oleh aktivitas hormon
progesteron (Lessey, 1998; Achache, 2006).
Dari pengamatan ini, dikembangkan hipotesa bahwa v3 seharusnya
dihambat oleh steroid seks dan bahwa hilangnya reseptor steroid akan
meningkatkan ekspresi integrin ini. Hipotesis ini didukung oleh penelitian, bahwa
adanya korelasi ekspresi dari integrin v3 dengan PR endometrium dan
gambaran histologi endometrium, pada wanita dengan defisiensi fase luteal.
Keterlambatan histologis pada pasien-pasien ini dikaitkan dengan tidak adanya
integrin v3 dan tetap tingginya PR epitel (Lessey, 1998; Apparao, et al., 2001).
Dari hasil penelitian tentang efek antiprogestin terhadap ekspresi integrin
didapatkan bahwa integrin subunit β3 dan α4 menurun secara signifikan pada
pemberian berbagai dosis antiprogestin sedangkan integrin αvβ3 tidak
menunjukan perubahan ekspresi, dan disimpulkan bahwa ekspresi berbagai
subunit integrin dapat diatur oleh hormon steroid dan ada yang diatur oleh
hormon steroid dan faktor lain misalnya growth factor dan sitokin seperti ekspresi
integrin αvβ3 (Marions, 2000).
Sampai pada akhirnya dilakukan penelitian dan ditemukan bahwa hormon
steroid tidak secara langsung meningkatkan ekspresi integrin subunit β3 tetapi
melalui kompleks PR - progesteron meregulasi transkrips faktor gen HOXA10
dan HOXA10 binding site 5’ mengaktivasi reporter gene expression melalui 41-
bp elemen subunit integrin β3 (ITGB3) pada sel epitel endometrium. Jadi steroid
ovarium tidak secara langsung meregulasi ekspresi gen integrin beta-3(ITGB3)
tetapi melalui aktivator gen HOXA10 (Gaurang, 2002).
Pada stimulasi sederhana dengan klomifen sitrat didapatkan kadar estrogen
lebih tinggi (38%) dan tejadi penekanan ekspresi integrin subunit 3 dan PR,
ada perbedaan dengan kontrol, sedangkan pada integrin subunit v, 1 dan 4
tidak ada perbedaan dibandingkan dengan siklus alami (Palomino, 2004).
Pada penelitian yang membandingkan ekspresi integrin v3, 11 dan
41 pada pasien yang mengikuti program FIV (infertitas karena faktor wanita
seperti gangguan tuba dan endometriosis) dan ICSI (infertilitas karena gangguan
sperma), dan kontrol (wanita yang menjalani steril laparoskopi), didapatkan tidak
ada perbedaan bermakna secara statistik antara kedua program pada ekspresi
semua integrin . Tetapi pada analisa lebih dalam, ditemukan bahwa integrin v3
pada epitel endometrium lebih baik ekspresinya pada kelompok infertil karena
gangguan sperma (Thomas, 2003).
Leukimia Inhibitory Factor merupakan salah satu biomarker reseptivitas
endometrium (Lessey & Young, 2014). Selama proses implantasi, LIF
terekspresikan di epitel kelenjar dan stroma endometrium. Sebagai regulator
autokrin , ekspresi LIF di kelenjar endometrium tertinggi pada fase luteal madya,
dan juga terdeteksi pada cairan kavum uteri selama fase luteal (Nicola & Babon,
2015).
LIF memiliki peran tak tergantikan dalam proses implantasi. LIF berperan
dalam proses transformasi uterus menjadi reseptif, dalam proses desidualisasi,
meregulasi respon immun, dalam perkembangan embrio, ikut mengatur interaksi
embrio-endometrium, serta invasi trofoblas (Nocola & Babon, 2015).
Stimulasi ovarium pada program FIV, dengan perkembangan multifolikel,
menghasilkan kadar estrogen suprafisiologis yang dapat merugikan proses
implantasi, karena mengurangi kadar ekspresi gen gen tertentu. Gen LIF ter
'downregulasi' pada blastokis yang dihasilkan dalam siklus dengan stimulasi
ovarium. Selama proses embriogenesis , mRNA LIF, LIFR, dan gp130 tidak
terdeteksi pada stadium satu-dua sel, tetapi muncul setelah stadium blastokis
(Movaghar & Askarian, 2012). Ekspresi gen LIF pada endometrium, tujuh hari
setelah pemberian hCG, juga mengalami down regulation pada siklus yang
distimulasi dengan gonadotropin urin dan agonis GnRH, dibandingkan dengan
kontrol alami (Horcajadas, et al.,2005).
Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa stimulasi ovarium menurunkan
ekspresi LIF di endometrium (Chen, et al., 2008). Ekspresi LIF (dan juga integrin
β3) secara bermakna didapatkan lebih rendah pada kelompok moderate responder
(kadar E2 5000-15.000 pmol/L pada saat hCG), dan kelompok high responder
(kadar E2 > 15.000 pmol/L pada saat hCG), dibandingkan dengan kontrol siklus
alami. Hal ini menunjukkan bahwa marker reseptivitas endometrium pada siklus
dengan stimulasi ovarium lebih rendah dibandingkan dengan siklus alami, dan
keadaan ini lebih nyata pada kadar E2 yang lebih tinggi (Chen, et al., 2008).
Penelitian tentang efek gonadotropin pada endometrium pada saat
kehamilan awal menunjukkan berkurangnya ekspresi HoxA10, TGF-β, LIF, dan
PGHS-2 pada hari ke 12 kehamilan, pada siklus yang distimulasi dengan
gonadotropin/hCG. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh buruk stimulasi
ovarium terhadap persiapan endometrium bagi implantasi (Blitek, et al., 2010).
2.8 Inhibitor Aromatase
Estrogen merupakan hasil akhir dari tahap transformasi steroid. Blokade
pada setiap konversi dalam pathway steroidogenesis akan menyebabkan
berkurangnya produksi Estrogen, akan tetapi penekanan yang lebih spesifik akan
didapat melalui inhibisi pada tahap akhir produksi Estrogen yang sangat unik.
Perubahan dari androgen ke estrogen merupakan reaksi yang komplek, melibatkan
3-hydroksilasi, masing masing menggunakan NADPH sebagai donor elektron
dalam mengeliminasi group methyl C-19 dan membentuk cicin aromatik steroid A
(Miller, 2006, Klauss, 2015).
Reaksi tahap akhir ini melibatkan enzim tunggal cytochrome P450 (P45-
arom) . Peran kunci dari aromatase dalam biosintesis estrogen menimbulkan
perhatian pada inhibitor enzim ini , yang dapat digunakan pada therapi beberapa
kelainan endokrinologi (Miller, 2006, Simpson, 2006, Klauss, 2015).
Enzim aromatase cytochrome P450. merupakan produk dari gen
CYP19A1, yang terdapat di membran retikulum endoplasma dan dihasilkan di
hati, kelenjar adrenal, otak, plasenta dan gonad. Super famili gen P450 sangat
besar, terdiri dari 3000 dalam 350 famili, dimana cytochrome P450 arom
merupakan anggota famili 19. Haem protein ini berikatan dengan substrat steroid
androgen C19 dan mengkatalisa serangkaian reaksi yang membentuk cincin
phenolic A yang merupakan ciri estrogen (Simpson, 2006). Mutasi dari gen
CYP19A1 dapat menyebabkan hilang atau berlebihnya aromatase (Klauss, 2015).
Gambar 2.21 Classical pathway biosintesis Estrogen dari kolesterol (Buzdar, A.
2006)
Gambar 2.23 Mekanisme biosintesis Estrogen (Buzdar, 2006)
Inhibitor aromatase berdasarkan mekanisme kerja dan strukturnya terbagi
dalam dua tipe. Inhibitor tipe I berkaitan dengan substrate-binding site enzim dan
memiliki variasi struktur androgen (disebut inhibitor steroidal). Sebaliknya
inhibitor tipe II berinteraksi dengan sistem Cytochrome P450 dan kebanyakan
memiliki struktur azole, dan non-steroidal (Miller, 2006; Klauss, 2015).
Secara umum inhibitor tipe I bersifat lebih spesifik dibandingan dengan
tipe II. Beberapa preparat dari tipe I seperti formestane dan exemstane , secara
sendiri sendiri memiliki efek inhibisi yang sangat kecil, tetapi saat berikatan
dengan catalytic site enzim, mengalami metabolisme menjadi bentuk intermediate
yang akan melekat irreversibel ke active site enzim sehingga memblok
aktivitasnya. Tipe I ini disebut juga sebagai suicide inhibitors enzim akan menjadi
tidak aktif hanya sebagai akibat dari mekanisme kerjanya sendiri. Efek
penghambatan ini berlangsung memanjang, karena enzim tetap tidak aktif
sekalipun obat telah tidak ada lagi di sirkulasi. Pulihnya produksi estrogen
bergantung kepada sintesis molekul aromatase yang baru (Miller, 2006).
Gambar 2.24 Berbagai tipe inhibitor aromatase (Miller, 2006)
Sebaliknya, inhibitor tipe II tidak menghancurkan enzim dan mekanisme
kerjanya bersifat reversibel bergantung kepada lamanya pemberian. Inhibitor tipe
II berinteraksi dengan bagian haem group dari cytochrome P450 dalam enzim
aromatase. Evolusi perkembangan kedua tipe inhibitor aromatase dengan cepat
telah mancapai generasi akhir dengan spesifisitas dan potensi yang meningkat
(Miller, 2006).
Tabel 2.3 Klasifikasi inhibitor aromatase (Miller, 2006)
Inhibitor aromatase generasi pertama seperti aminoglutethimide masih
jauh dari ideal bagi pemakaian klinis. Obat ini tidak efektif menekan kadar plasma
estrogen dan karena tidak spesifik memerlukan terapi pengganti glucocorticoid
secara rutin. Aminoglutethimide tidak spesifik karena juga bekerja pada sistem
cytochrome P450 yang lain. Yang lebih menganggu adalah , aminoglutethimide
memiliki sejumlah efek samping yang berat seperti lethargy dan somnolence
sampai ke ataxia dan juga nausea serta vomiting . Keadaan ini menyebabkan
dikembangkannya obat inhibitor aromatase yang lebih spesifik, lebih efektif, serta
dengan efek samping yang dapat ditoleransi (Miller, 2006).
Inhibitor aromatase generasi II seperti formestane dan fadrozole, sudah
dikembangkan sehingga menjadi lebih selektif dan memiliki potensi yang lebih
tinggi dibandingkan dengan generasi I. Sebagai contoh, fadrozole yang
merupakan turunan imidazole dari aminoglutethimide yang menghambat sistem
aromatase di plasenta dan ovarium, memiliki potensi 400–1000 kali dibandingkan
dengan aminoglutethimide . Obat ini juga memiliki efek yang kecil terhadap
enzim kelompok cytochrome P450 yang lain. Yang berarti obat ini dapat
diberikan tanpa memerlukan terapi pengganti corticoid . Akan tetapi fadrozole
memiliki half-life yang relatif pendek, yang mengakibatkan aktivitas in vivo lebih
buruk dibandingkan dengan triazole yang memiliki clearence lebih lambat.
Spesifisitas fadrozole juga diragukan, karena juga dapat menekan sintesis cortisol
and aldosteron, sekalipun efek ini tidak bermakna secara klinis (Miller, 2006).
Inhibitor aromatase generasi III mencakup anastrozole , letrozole dan
exemestane . Baik letrozole maupun anastrozole merupakan kelompok triazoles
yang memiliki cincin aromatik yang flat yang sangat sesuai dengan substrate-
binding site enzim. Disamping itu, terdapat bagian didalam struktur cincin yang
dapat berkoordinasi dengan bagian haem iron aromatase dan secara efektif
menghambat reaksi hidroksilasi pada proses aromatisasi. Kombinasi dari
haemgroup-binding dan active-site binding menyebabkan potensi yang lebih
tinggi dan lebih target spesifik. Exemestane merupakan analog androgen yang
menghambat aromatase dengan cara yang sama dengan formestane (Miller, 2006,
Buzdar, 2006).
Anastrozole dan letrozole bersifat reversibel, turunan imidazole, dan
termasuk inhibitor aromatase nonsteroidal , sedangkan exemstane merupakan
inhibitor aromatase steroidal yang irreversibel (Buzdar, 2006).
Anastrozole, letrozole dan exemstane lebih poten dari aminoglutethimide
dalam hal penghambatan aktivitas aromatase in vitro. Pada aminoglutethimide
diperlukan konsentrasi obat dalam micromolar, sedang untuk letrozole,
anastrozole dan exemestane dalam nanomolar.
Profil pharmacokinetik obat generasi ke III yang lebih superior juga menunjukkan
bahwa obat ini lebih efeltif in vivo. Dalam hal ini, dosis harian dalam milligram
anastrozole, letrozole dan exemestane efektif menghambat proses aromatisasi di
seluruh tubuh (Tabel), dan kadar estrogen di sirkulasi akan turun sampai tidak
terdeteksi. (Miller, 2006).
Tabel 2.4 Aktifitas penghambatan aromatase pada berbagai jaringan (Miller,
2006)
Penting dibedakan antara anti-estrogen (selective estrogen receptor
modulators; SERMs) dengan inhibitor aromatase. Inhibitor aromatase
menurunkan sintesis estrogen endogen sedangkan SERM seperti tamoxifen tidak
menghambat sintesis dan kadar estrogen tetap tidak berubah.
Inhibitor aromatase tidak berinteraksi dengan ER dan tidak memiliki
aktifitas agonis estrogen, sementara tamoxifen berikatan langsung dengan ER
(Miller, 2006).
Tabel 2.5 Penghambatan aromatase in-vivo (Miller, 2006)
Penggunaan inhibitor aromatase dibidang reproductive medicine semakin
meluas, akan tetapi sejauh ini masih bersifat off-label (Sujata, 2013; Klauss,
2015). Kebutuhan akan alternatif terhadap klomifen sitrat untuk induksi ovulasi
mulai dirasakan sejak tahun 1990. Kerugian klomifen sitrat adalah : mendeplesi
reseptor estrogen (ER) diseluruh badan, memiliki efek kumulatif, dan half-life
yang panjang. Sebaliknya, suatu inhibitor aromatase memblok konversi androgen
ke estrogen di folikel ovarium, jaringan perifer, dan di otak. Keadaan ini
mengakibatkan dua hal : (a) Turunnya kadar estrogen di sirkulasi dan lokal dan
(b) meningkatnya androgen intraovarian . Turunnya kadar estrogen, melepas
poros hypothalamopituitary dari negative feedback estrogen. Terjadi lonjakan
pelepasan follicle stimulating hormone (FSH) , yang akan mengakibatkan
pertumbuhan folikel. Karena mekanisme feedback masih intact; pertumbuhan
folikel yang normal , seleksi folikel dominan, dan terjadi atresia folikel yang
tumbuh lebih kecil; dan karenanya memfasilitasi pertumbuhan monofolikular dan
ovulasi (Sujata, 2013).
Mekanisme kerja inhibitor aromatase lainnya adalah meningkatkan
androgen intraovarium. Hal ini akan meningkatkan sensitivitas folikel ovarium
terhadap FSH. Peran androgen pada fase early follicular adalah memperbanyak
reseptor FSH dan merangsang insulin-like growth factor (IGF)-I; FSH dan IGF-I
bekerja secara sinergis mendorong pertumbuhan folikel (Sujata, 2013).
Keunggulan inhibitor aromatase inhibitor dibandingkan dengan klomifen
sitrat adalah: (1) Tidak mendeplesi ER di seluruh badan, (2) tetap menjaga poros
hypothalamopituitary utuh (3) bersifat short acting (45 menit half-life).
Farmakodinamik letrozole ini mengakibatkan perbaikan ketebalan endometrium ,
mukus servikal , monofolikel, dan folikulogenesis yang lebih baik. Faktor faktor
ini menghasilkan pregnancy rate yang lebih tinggi dan kehamilan tunggal (Sujata,
2013).
Inhibitor aromatase juga diteliti dalam bidang Tehnologi Reproduksi
berbantu bagi mendapatkan oosit serta dlam usaha mengurangi jumlah obat FSH
yang digunakan pada protokol stimulasi ovarium. Sejumlah penelitian sedang
berlangsung, dan Cochrane-review tentang pemakaian letrozole dalam induksi
ovulasi masih sedang dikerjakan (Klauss, 2015). Sammour dkk. membandingkan
efek Klomifen sitrat dengan letrozole pada 49 pasien unexplained infertility yang
menjalani superovulasi-Inseminasi intra uterin. Ditemukan bahwa, sekalipun
klomifen sitrat menghasilkan lebih banyak folikel mature pada saat pemberian
human chorionic gonadotrophin (hCG), endometrium didapatkan lebih tipis
dibandingkan dengan kelompok letrozole. Pregnancy rate didapatkan tiga kali
lebih tinggi pada kelompok letrozole. Mousavi-Fatemi mendapatkan bahwa
letrozole menyebabkan berkembangnya folikel lebih sedikit dibandingkan dengan
pada pemberian klomifen sitrat. Pada penelitian lainnya El Helw dkk
menggunakan dosis 20 mg letrozole single dose pada hari ke tiga siklus pada
53 pasien yang dirandomisasi dan mendapatkan pregnancy rate yang sedikit
lebih tinggi pada kelompok letrozole (18.2%) dibandingkan dengan klomifen
sitrat (11.5%) (Simpson, 2006).
Sejumlah penelitian mendapatkan bahwa letrozole mengurangi jumlah
pemakaian FSH dalam induksi ovulasi , tetapi dosis ideal yang diperlukan masih
perlu diteliti lebih lanjut. Mitwally dan Casper meneliti pemakaian letrozole
pada 12 wanita poor responder yang dengan pemberian FSH mendapatkan lebih
sedikit dari 3 folikel. Letrozole diberikan dengan dosis 2.5 mg pada hari ke tiga-
tujuh siklus. Respon terhadap FSH membaik dalam hal jumlah folikel mature,
didapatkan pregnancy rate 21% serta jumlah pemakaian FSH berkurang..
(Simpson, 2006).
Membandingkan antara protokol pendek gonadotrophin-relasing hormone
(GnRH) agonist, FSH + letrozole dengan FSH dan GnRH antagonist pada pasien
poor responder , didapatkan bahwa dosis FSH yang diperlukan untuk
mendapatkan angka ovulasi lebih rendah pada kelompok dengan letrozole dan
tebal endometrium membaik, didapatkan pregnancy rate 16.7% pada kelompok
letrozole dibandingkan dengan 7.7% pada kelompok kontrol (Simpson, 2006).
Penelitian lain mendapatkan bahwa FSH dapat dihemat jika pasien
diberikan 5 mg letrozol tetapi tebal endometrium menjadi terganggu. Pada
penelitian ini , gonadotropin diberikan sendiri mulai hari ke tiga siklus atau
dikombinasi dengan 5 mg letrozol mulai hari ke 5 siklus. Pemicuan ovulasi
menggunakan hCG saat folikel dominan mencapai diameter 18 mm. Pada
kelompok letrozol diperlukan lebih sedikit ampul gonadotropin dan didapatkan
lebh banyak folikel dengan diameter lebih besar dari 14 mm; pregnancy rate tidak
berbeda pada kedua kelompok sekitar 20%. Pengaruh buruk pada ketebalan
endometrium pada kelompok letrozol agaknya disebabkan karena waktu
pemberian obat. Pada penelitian ini induksi ovulasi dilakukan empat hari setelah
tablet letrozol terakhir dan juga dosis letrozol dua kali dosis standar. Jika melihat
half-life letrozol , agaknya konsentrasi terapi aktif obat masih ada pada saat
pemberian hCG yang akan mengurangi produksi estrogen den mengganggu
ketebalan endometrium (Simpson, 2006).
Tabel 2.6 RCT Penggunaan letrozole untuk induksi ovulasi pada IVF/ICSI
(Sujata, 2013)
Recommended