View
6
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Generasi
Generasi adalah sebuah kelompok yang terdiri atas individu dengan kisaran
umur yang sama yang telah mengalami peristiwa sejarah yang sama dalam
periode waktu yang sama (Ryder, 1965). Borodin, Smith dan Bush (2010);
Schullery (2013) menyatakan pula bahwa orang- orang yang berasal dari
generasi yang sama mempunyai kesamaan pengalaman seperti kultur, politik,
ekonomi, persitiwa dunia, bencana alam dan teknologi sehingga membentuk
pandangan, nilai, pilihan dan kepercayaan yang sama. Hal serupa dinyatakan
oleh Kupperschmidt (2000) bahwa generasi merupakan orang yang lahir di
kisaran waktu sama yang berbagi pengalaman sejarah dan/atau kehidupan sosial
yang signifikan yang membentuk pandangan dan perspektif.
Sejarah, kejadian, fenomena budaya dan berbagai hal yang muncul pada era
para generasi ini hidup ternyata mempengaruhi memori individu-individu pada
generasi terkait, sehingga menimbulkan perkembangan sikap, nilai, perspektif
dan kepribadian tertentu (Costanza, et a;., 2012). Oleh karena itu, karena setiap
generasi menjalani berbagai pengalaman yang berbeda, perspektif, seperti nilai,
ekspektasi dan sikap dalam bekerja yang ditimbulkan pun jadi berbeda
(Roebuck, Smith, & Haddaoui, 2013).
Dewasa ini terdapat beberapa generasi yang masih aktif bekerja dalam
organisasi, antara lain silent generation atau traditionalists (1925- 1945), baby
boomers (1946- 1964), generasi X (1965- 1981), dan millennials atau generasi
Y (1982-1999) (Schoch, 2012; Hillman, 2013; Schullery, 2013). Adapun
berbagai penjabaran lebih lanjut mengenai generasi- generasi tersebut adalah
sebagai berikut.
11
2.1.1. Generasi Traditionalist
Traditionalist merupakan generasi yang lahir pada kisaran tahun 1925-
1945 (McCrindle & Wolfinger, 2010). Generasi ini hidup pada zaman
Great Depression, The New Deal, World War II dan Rise of Labor Unions,
dimana terdapat krisis, kesulitan ekonomi, para pria pergi berperang, para
wanita dipaksa bekerja di pabrik untuk menopang keluarga mereka (Cates,
2014), dan keluarga dibangun pada umur muda setelah perang berakhir
(McCrindle & Wolfinger, 2010). Pengalaman dan situasi mereka tumbuh
membentuk para traditionalist menjadi individu yang disiplin, mau
mengorbankan diri, pekerja keras, mudah menyesuaikan diri, dan patuh
pada kekuasaan (Cates, 2014).
2.1.2. Generasi Baby Boomers
Baby boomers lahir pada kisaran tahun 1946-1964 (Roebuck, Smith, &
Haddaoui, 2013). Generasi ini hidup pada masa stabil, makmur, adanya hak
asasi, kemunculan teknologi baru seperti televisi, air panas, bahkan alat-
alat rumah tangga dan pertumbuhan yang menyenangkan karena sang ibu
tidak perlu dipaksa untuk bekerja di pabrik demi menopang hidup keluarga,
namun di rumah untuk mengurus mereka (Cates, 2014). Oleh karena itu,
generasi ini memiliki optimisme, kepuasan personal, berhasrat dan
workaholic, namun juga memiliki stress atau tekanan (Roebuck, Smith, &
Haddaoui, 2013; Cates, 2014)
2.1.3. Generasi X
Generasi ini mendapat pengalaman challenger disaster, perceraian,
pertumbuhan teknologi dan personal computer (PC), serta perubahan peran
gender dalam keluarga (Cates, 2014). Di samping itu, mereka merupakan
generasi pertama yang tumbuh di sistem keluarga yang baru yang
diciptakan oleh baby boomers (Roebuck, Smith, & Haddaoui, 2013). Oleh
karena itu, generasi ini lebih individualitas, pragmatis, sinis, bertoleransi
12
pada berbagai gaya hidup dan perbedaan kultur. (Cates, 2014). Di samping
itu sebagian besar generasi X tumbuh menjadi individu yang bersikap dan
berperilaku dewasa diusia yang masih muda serta memiliki tanggung jawab
besar walau masih berada pada masa remaja (Cates, 2014). Hal ini
disebabkan karena mereka tumbuh dengan mempertanyakan kekuasaan
yang dialami oleh para orang tua mereka, baby boomers, sehingga mereka
lebih senang untuk terlibat, bertanggung jawab dan memiliki kontrol
(Roebuck, Smith, & Haddaoui, 2013). Roebuck, Smith, dan Haddaoui
(2013) juga menyatakan bahwa generasi X bahkan senang mengambil
resiko dengan melakukan kalkulasi resiko terlebih dahulu dan tidak dapat
diintimidasi oleh kekuasaan.
2.1.4. Generasi Y
Idrus, Ng dan Jee (2014) menyatakan bahwa yang lahir setelah tahun
1980 memasuki kelompok generasi Y. Young et al. (2014) secara lebih
spesifik menyatakan bahwa generasi Y merupakan generasi yang lahir pada
kisaran tahun 1981-2000. Generasi Y juga memiliki nama lain, seperti Net
Generation, Echo Boomers, N-Geners, Nexters, Internet Generation,
Millennials (Dimitriou & Blum, 2015), GenerationMe, dan Digital Natives
(Schullery, 2013). Generasi ini merupakan anak dari para Baby Boomers
dan generasi X, dimana mereka lahir di era yang berteknologi tinggi dan
diasuh oleh orang tua yang sangat komunikatif dan berorientasi partisipatif
(Domitriou, 2015). Generasi ini bahkan dapat menggunakan kemajuan
teknologi untuk melakukan komunikasi di samping melalui tatap muka,
seperti melalui pengirim pesan atau email dan melalui berbagai media
sosial (Young et al., 2014), sehingga memungkinkan mereka memiliki
pergaulan yang luas dengan beragam orang dari seluruh dunia (Roebuck,
Smith & Haddaoui, 2013). Oleh karena itu pula lah generasi ini memiliki
toleransi keberagaman manusia yang lebih tinggi dibanding generasi
13
lainnya (Domitriou, 2015). Young et al. (2014) bahkan menyatakan bahwa
generasi Y merupakan genersi yang paling beragam dan yang paling dapat
menerima keberagaman.
Akan tetapi, selain hidup di era peningkatan bidang ekonomi dan
teknologi, generasi Y juga hidup pada era dimana terjadi peningkatan
kejahatan, sehingga mendorong para orang tua untuk terjun langsung
melindungi anak-anak mereka dari kejadian berbahaya atau kejadian yang
sekedar mengecewakan, misalnya seperti turunnya nilai di sekolah
(Schullery, 2013). Perlindungan yang diberikan oleh para orang tua
generasi Y adalah seperti mendorong generasi Y untuk bermain di dalam
rumah dengan media teknologi yang ada, cepat memberi pujian bila sang
anak mencapai sesutu (Schullery, 2013), mengabulkan sebagian besar
permintaan mereka, memanjakan, dan memberi tahu bahwa mereka dapat
mencapai apapun yang mereka inginkan (Cates, 2014).
Hidup di zaman yang berteknologi maju dan diasuh dengan cara
tersebut membuat generasi ini memiliki ekspektasi tinggi, menuntut
mendapat jawaban secara instan, lebih menyukai distribusi sumber
pengetahuan dan informasi, berpikiran terbuka, memiliki keterampilan yang
beragam, mampu mengerjakan pekerjaan yang banyak secara simultan,
tidak sabar (Idrus, Ng & Jee, 2014), partisipatif, tidak menganut paham
hierarki atau level kekuasaan, yang berarti semua orang memiliki level
yang setara, sehingga mereka bersikap sama baik kepada atasan maupun
rekan kerja, sosialis, optimis, bertalenta, kolaboratif, dan berorientasi pada
kesuksesan (Cates, 2014).
2.2. Konsep Berbagai Perspektif
Dalam melakukan analisis perilaku individu dalam organisasi, terdapat tiga
level analisis yang dapat digunakan, yaitu individu, kelompok dan organsisasi.
Pada level individu terdapat perspektif terhadap nilai individu saat berada di
14
organisasi, pada level kelompok adalah perpsektif terhadap hubungan kerja,
yaitu bagaimana individu tersebut berinteraksi dengan individu atau kelompok
atau organisasi, dan pada level organisasi adalah perspektif pada sistem kerja,
yaitu bagaimana sistem organisasi dijalankan di organisasi. Oleh karena itu,
konsep berbagai perspektif generasi Y pada penelitian ini akan dikelompokan ke
dalam tiga kelompok tersebut.
2.2.1. Nilai Individu
2.2.1.1. Kreatifitas
Kreatifitas telah mendapat perhatian belakangan ini karena
merupakan satu langkah awal menuju inovasi dan sangat penting untuk
kinerja bisnis (Fujii, 2015). Kreatifitas mencakup originalitas dan
inovasi (Fletcher dalam Murad & West, 2004). Selain itu kreatifitas
adalah kemampuan untuk menghasilkan ide baru dan keinginan untuk
terus berusaha memproduksi ide atau produk baru (Fujii, 2015).
Kreatifitas juga digambarkan sebagai berpikir kreatif atau kemampuan,
pemecahan masalah, imajinasi atau inovasi (Murad & West, 2004).
2.2.1.2. Etika
Etika didefinisikan sebagai, “bagian filsafat yang berhubungan
dengan tindakan moral” (Capilla & Jose, 2012). Etika juga merupakan
dilema moral tentang bagaimana memilih untuk melakukan tindakan
(Stys, 2006). Walaupun etika kerap dinyatakan sebagai penentu hitam
dan putih atau apa yang benar dan tidak secara kaku dan dianggap
universal, sebenarnya etika bersifat lebih personal karena setiap tempat
memiliki nilai atau standar etikanya masing-masing (Pasztor, 2015).
2.2.1.3. Adaptasi
Adaptasi merupakan kemampuan yang secara alami berada dalam
diri manusia untuk menyesuaikan diri dengan berabagi situasi dan
lingkungan yang berbeda (Berggren et al., 2016). Maka dari itu, setiap
15
individu seharusnya memiliki kemampuan beradaptasi (Graen &
Grace, 2015). Karena perubahan merupakan suatu aspek kehidupan,
termasuk bisnis yang selalu ada, perlu ada kemampuan untuk
menyesuaikan diri secara terus menerus (Dukic, 2015). Oleh karena itu,
karyawan yang memiliki kemampuan beradaptasi merupakan aset yang
berharga bagi organisasi (Nambiyar, 2014).
2.2.1.4. Kecepatan Kerja
Kecepatan kerja dilihat dari kemampuan untuk dapat segera
mengambil tindakan dibanding dengan menunggu untuk melakukan
proses berpikir terlebih dahulu sebelum mengambil tindakan
(Nambiyar, 2014). Tekanan organisasi pada karyawan agar bekerja
lebih cepat kerap menjadi penyebab, sebab banyak pekerjaan yang
perlu dikerjakan, sehingga karyawan cepat mengambil tindakan bila
tidak ingin bekerja lembur untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut
(Munawaroh, Riantoputra, & Marpaung, 2013). Agar dapat memiliki
kecepatan kerja, karyawan cenderung menyiasatinya dengan
melakukan kerja pintar dan cepat agar pekerjaan dapat segera
diselesaikan (Nambiyar, 2014).
2.2.1.5. Makna Pekerjaan
Menjalani pekerjaan yang bermakna adalah bagaimana pekerjaan
dapat mengambil tempat sebagai makna pribadi dan bagaimana
pekerjaan dapat menyelesaikan sesuatu (Casey & Robbins, 2012).
Fokus makna pekerjaan adalah situasi pada literatur organisasi secara
lebih luas yang menggambarkan reaksi kepada organisasi yang mampu
menyedia kepuasan dalam bekerja (Kuchinke et al., 2010). Mereka
yang menjalani pekerjaan yang bermakna bagi diri mereka akan
menganggap bahwa pekerjaan adalah suatu hal yang penting, bernilai
dan bermanfaat (Casey & Robins, 2012). Menjalani pekerjaan yang
16
bermakna bahkan dapat membawa karyawan kearah peningkatan
keterikatan dengan tempat kerja, mau menjalani banyak tantangan dan
permintaan organisasi (Kuchinke et al., 2010).
2.2.1.6. Learning style
Learning merupakan suatu proses dimana pengetahuan diciptakan
melalui transformasi pengalaman (Kolb dalam Purwanti, Rizky, &
Handriyanto, 2013). Learning style adalah bagaimana cara individu
terkait belajar (Mhatre & Conger, 2011). Learning style juga
merupakan pola atau kebiasaan ilmiah individu dalam memperoleh dan
memproses informasi dalam situasi belajar (Purwanti, Rizky, &
Handriyanto, 2013).
2.2.2. Hubungan Kerja
2.2.2.1. Teamwork
Banyak aktivitas individu yang dapat mendapatkan keuntungan
dari kolaborasi bersama individu lainnya (Galashin & Popov, 2016).
Selain itu dibutuhkan kemampuan untuk secara efektif merespon
lingkungan yang dinamis dan kompleks, yaitu dengan cara bekerja
dalam tim atau yang disebut dengan teamwork (Hu & Liden, 2012).
Karyawan yang senang bekerja dalam tim memiliki orientasi untuk
terkoneksi pada orang lain atau bekerja di dalam tim (Clare, 2009;
Vanmeter et al., 2013). Disamping itu, mereka yang senang bekerja
dalam tim juga ingin melihat dampak dari tindakan yang ditimbulkan
pada rekan kerja mereka (Welsh, 2010).
2.2.2.2. Metode komunikasi
Komunikasi didefinisikan sebagai proses transmisi informasi dan
pengetahuan umum dari satu orang ke orang lainnya (Keyton dalam
Lunenburg, 2010). Banyak metode komunikasi yang digunakan, yaitu
misalnya melalui media internet, e-mail, telepon, dan handphone, atau
17
menggunakan cara langsung yaitu melalui proses tatap muka (Young,
2009). Bila mengetahui metode komunikasi yang cocok digunakan
pada setiap individu, dampak positif akan muncul, seperti
menghilangkan kesalahpahaman, konflik yang tidak menyenangkan
dan meningkatkan motivasi dan etika, serta moral karyawan (Dimitriou
& Blum, 2015).
2.2.2.3. Tipe kepemimpinan
Kepemimpinan adalah kemampuan mempengaruhi orang lain
untuk melaksanakan tugas (Montana & Petit, 2008). Terdapat berbagai
macam tipe kepemimpinan, misalnya seperti tipe kepemimpinan
partisipatif (Young, 2009), otoritatif yang kaku (Mhatre & Conger,
2011). Bila mengetahui tipe kepemimpinan yang sesuai dengan kondisi
organisasi, organisasi dapat mengelola karyawannya dengan lebih
optimal (Mekraz & Gundala, 2016).
2.2.2.4. Loyalitas
Loyalitas adalah komitmen yang disengaja untuk menarik
ketertarikan seorang karyawan, bahkan ketika melakukan banyak
permintaan yang menuntut pengorbanan atas beberapa aspek
ketertarikan pribadi di atas apa yang disarankan oleh ketentuan dan
tugas yang ada (Elegido, 2013). Adapun loyalitas dalam organisasi
adalah perasaan terikat dari karyawan terhadap organisasi (Buchanan,
1974). Hal ini berarti perasaaan ingin selalu berada dalam organisasi
dimana individu tersebut bekerja (Kumar & Shekhar, 2012).
2.2.3. Sistem Kerja
2.2.3.1. Pelatihan
Pelatihan merupakan salah satu hal yang penting untuk dilakukan
(Tremblay et al., 2013). Dalam melakukan pelatihan, setiap generasi
memerlukan pengelolaan yang berbeda sesuai dengan perspektifnya
18
(Tremblay et al., 2010). Terdapat berbagai macam metode, misalnya
metode konvensional seperti membaca buku pelatihan atau
kesimpulan- kesimpulan pelatihan tertentu (Purwanti, Rizky, &
Handriyanto, 2013) dan metode yang memanfaatkan kemajuan
teknologi seperti menggunakan media belajar audio visual (Young et
al., 2013).
2.2.3.2. Feedback
Feedback merupakan hasil observasi penilaian kinerja karyawan
agar dapat memberi pelajaran bagi karyawan, sehingga dapat
meningkatkan kinerja karyawan terkait (Pelgrim et al., 2012).
Feedback di tempat kerja merupakan sejauh mana karyawan
melaksanakan kegiatan kerja yang mendatangkan hasil seperti yang
dikehendaki organisasi dan informasi yang jelas tentang keefektifan
kinerja (Casey & Robbins, 2012). Dalam menyampaikan feedback,
konten dan cara penyampaiannya merupakan suatu hal yang sangat
penting agar dapat mendatangkan hasi yang optimal (Pelgrim et al.,
2012).
2.2.3.3. Job enrichment
Job enrichment merupakan sebuah program dimana karyawan
diberikan berbagai macam pekerjaan, diberikan tanggung jawab yang
lebih tinggi dan diberikan tambahan otonomi serta kontrol terhadap
pekerjaan yang diberikan (Pan & Werblow, 2012). Davoudi (2013)
turut menambahkan bahwa job enrichment adalah suatu metode
manajerial untuk memotivasi karyawan dengan memberikan mereka
kesempatan yang cukup untuk menggunakan seluruh kemampuan
mereka. Terkait job enrichment, terdapat karyawan yang cenderung
ingin lebih santai dan tidak ingin terlalu serius bekerja (Stenley, 2010).
Namun banyak pula karyawan yang cenderung berbeda, dimana
19
mereka ingin ditantang kemampuannya, serta ingin mengerjakan tugas
yang lebih sulit dan lebih penting (Ng & Schweitzer, 2010; Bristow et
al., 2011).
2.2.3.4. Promosi
Promosi merupakan kebijakan dimana karyawan melakukan
perubahan arah ke hierarki tingkat atas atau pindah ke tempat yang
lebih tinggi tanggung jawabnya (Dessler, dalam Naveed, Usma, &
Bushara, 2011). Bila mendapatkan promosi, karyawan akan mengalami
peningkatan jabatan dan kompensasi, sehingga banyak karyawan yang
akan berusaha meningkatkan kinerja demi mendapatkan promosi
(Manove, 1997). Oleh karena itu, promosi kerap digunakan sebagai
penghargaan karena dapat mencapai tujuan organisasi dan memiliki
kemampuan untuk menyesuaikan tujuan organisasi dengan tujuan
pribadi (Naveed, Usma, Bushara, 2011).
2.2.3.5. Rotasi kerja
Rotasi kerja merupakan sebuah metode manajemen SDM dimana
karyawan diberi kesempatan untuk menempati posisi pekerjaan yang
berbeda (Cuesta et al., 2011). Bobbitt et al. dalam Song, Bij, dan
Weggeman (2006) turut menyatakan bahwa rotasi kerja adalah
perpindahan pekerja yang direncanakan dari suatu tugas atau
departemen ke tugas atau departemen lainnya. Rotasi kerja ini
diberikan kepada individu di dalam organsasi untuk menghindari
tekanan karena melakukan tugas yang sama secara terus menerus
(Cuesta et al., 2011; Comper & Padula, 2014).
2.2.3.6. Kompensasi
Kompensasi kerap digunakan untuk memacu karyawan
meningkatan kinerja dan kompetensi diri (Manove, 1997). Bahkan
kompensasi dianggap sebagai salah satu aspek penting atau elemen
20
kunci dalam organisasi yang dapat memiliki dampak besar pada hasil
pengelolaan organisasi karena terkait erat dengan kinerja bisnis
(Ingram, 2015). Kompensasi merupakan salah satu hal yang utama
dalam organisasi, sebab terkait dengan rekrutmen, motivasi,
mempertahankan karyawan, dan mempertahankan keunggulan lainnya
dalam organisasi (Boyd & Salamin, 2001). Kompensasi yang
disediakan oleh organisasi antara lain adalah gaji pokok, pelayanan
kesehatan, dan tunjangan lainnya.
2.2.3.7. Instruksi pekerjaan yang perlu dilakukan
Dalam organisasi terdapat karyawan yang cenderung ingin
diberikan instruksi pekerjaan secara berkala, satu per satu (Keegan,
2011). Adapula karyawan yang cenderung senang mengerjakan
berbagai instruksi pekerjaan dalam waktu singkat atau yang disebut
dengan multitasking (Keegan, 2011).
2.2.3.8. Keterlibatan dalam pengambilan keputusan manajemen
Ketika berada di dalam organisasi, terdapat karyawan yang ingin
mempunyai peran dan pengaruh dalam organisasi (Dai & Goodrum,
2012). Bahkan mereka kerap berpikir bahwa ide mereka sama baik dan
bahkan terkadang lebih baik daripada ide atasan, sehingga mereka
merasa layak turut terlibat dalam pengambilan keputusan manajemen
(Trends Magazine, 2009). Namun di sisi lain terdapat karyawan yang
cenderung tidak terlalu terlibat ketika ada pengambilan keputusan
manajemen (Stanley, 2010).
2.2.3.9. Work - family balance
Work- family balance merupakan keseimbangan antara kehidupan
di tempat kerja dan keluarga di rumah (Welsh, 2010). Karyawan yang
senang dengan work family balance akan memilih memiliki
keseimbangan kehidupan di tempat kerja dan keluarga di rumah (Ng,
21
Schweitzer, & Lyons, 2010). Sebab mereka ingin membangun keluarga
dan memiliki anak (Tremblay et al., 2010), sehingga tidak ingin
menghabiskan semua waktu untuk bekerja.
2.2.3.10. Fleksibilitas jam kerja
Dewasa ini organisasi menghadapi berbagai macam tantangan,
dimana para pekerja kerap merasa tertekan karena jam kerja mengikis
waktu yang dapat digunakan untuk melakukan aktivitas di luar
pekerjaan (Kossek, Thompson, & Lautsch, 2015). Apalagi ketika
dikaitkan dengan karyawan yang cenderung lebih mengutamakan
kehidupan di luar pekerjaan dibanding kehidupan di tempat kerja
(Trends E-Magazine, 2009). Oleh karena itu, banyak karyawan yang
mengharapkan jam dan jadwal kerja yang lebih fleksibel (Bristow et
al., 2011). Bahkan diantaranya terdapat yang menganggap
kefleksibilitas jam kerja lebih penting dibandingkan materi (Bristow et
al., 2011).
Recommended