View
217
Download
1
Category
Preview:
Citation preview
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Labeling
Labeling adalah identitas yang diberikan oleh kelompok kepada
individu berdasarkan ciri-ciri yang dianggap minoritas oleh suatu kelompok
masyarakat. Labeling cenderung diberikan pada orang yang memiliki
penyimpangan perilaku yang tidak sesuai dengan norma di masyarakat.
Seseorang yang diberi label akan mengalami perubahan peranan dan
cenderung akan berlaku seperti label yang diberikan kepadanya (Sujono,
1994).
Teori labeling mengatakan bahwa makin sering dan makin banyak
orang yang memberikan label kepadanya, orang atau kelompok tersebut akan
menyerupai bahkan dapat menjelma menjadi label yang diberikan kepadanya.
Reaksi ini muncul karena seseorang yang diberi label merasa terkurung dalam
label yang diberikan kepadanya (Hikmat, 2008 ).
Labeling merupakan suatu teori yang muncul akibat reaksi masyarakat
terhadap perilaku seseorang yang dianggap menyimpang. Seseorang yang
dianggap menyimpang kemudian di cap atau diberi label oleh lingkungan
sosialnya (Nitibaskara, 1994 ).
Labeling merupakan salah satu penyebab seseorang melakukan
penyimpangan sekunder. seseorang yang diberi label akan cenderung
melakukan tindakan-tindakan lain yang juga termasuk tindakan
penyimpangan primer, khususnya dalam mempertahankan diri dari pemberian
label tersebut. Seseorang yang diberi label berusaha menghilangkan label
yang diberikan, tetapi akhirnya mereka cenderung melakukan penyimpangan
yang lain karena tidak dapat mempertahankan sikap terhadap label yang
diberikan kepadanya (Martine, 2008 ).
Teori labeling memiliki dua proposisi, pertama, perilaku menyimpang
bukan merupakan perlawanan terhadap norma, tetapi berbagai perilaku yang
berhasil didefinisikan atau dijuluki menyimpang. Deviant atau penyimpangan
tidak selalu dalam tindakan itu sendiri tetapi merupakan respon terhadap
orang lain dalam bertindak. Proposisi kedua, labeling itu sendiri
menghasilkan atau memperkuat penyimpangan. Respon orang-orang yang
menyimpang terhadap reaksi sosial menghasilkan penyimpangan sekunder
yang mana mereka mendapatkan citra diri atau definisi diri (self-image or self
definition) sebagai seseorang yang secara permanen terkunci dengan peran
orang yang menyimpang. Penyimpangan merupakan outcome atau akibat dari
kesalahan sosial dan penggunaan kontrol sosial yang salah (Atwar, 2008 ).
Konsep lain dalam Teori labeling adalah :
a) Master Status
Teori penjulukan memiliki label dominant yang mengarah pada
suatu keadaan yang disebut dengan Master Status. Maknanya adalah
sebuah label yang dikenakan (Dikaitkan) biasanya terlihat sebagai
karakteristik yang lebih atau paling panting atau menonjol dari pada
aspek lainnya pada orang yang bersangkutan.
Bagi sebagian orang label yang telah diterapkan, atau yang biasa
disebut dengan konsep diri, mereka menerima dirinya seperti label yang
diberikan kepadanya. Bagaimanapun hal ini akan membuat keterbatasan
bagi seseorang yang diberi label, selanjutnya di mana mereka akan
bertindak.
Bagi seseorang yang diberi label, sebutan tersebut menjadi
menyulitkan, mereka akan mulai bertindak selaras dengan sebutan itu.
Dampaknya mungkin keluarga, teman, atau lingkungannya tidak mau lagi
bergabung dengan yang bersangkutan. Dengan kata lain orang akan
mengalami label sebagai penyimpang/menyimpang dengan berbagai
konsekwensinya, ia akan dikeluarkan dan tidak diterima oleh lingkungan
sosialnya. Kondisi seperti ini akan sangat menyulitkan untuk menata
identitasnya menjadi dirinya sendiri tanpa memandang label yang
diberikan kepadanya. Akibatnya, ia akan mencoba malihat dirinya secara
mendasar seperti label yang diberikan kepadanya, terutama sekarang ia
mengetahui orang lain memanggilnya seperti label yang diberikan.
b) Deviant Career
Konsep Deviant Career mengacu pada seseorang yang diberi label
telah benar-benar bersikap dan bertindak seperti label yang diberikan
kepadanya secara penuh. Kai T. Erikson dalam Becker (9 Januari 2005)
menyatakan bahwa label yang diberikan bukanlah keadaan sebenarnya,
tetapi merupakan pemberian dari anggota lingkungan yang mengetahui
dan menyaksikan tindakan mereka baik langsung maupun tidak langsung
(Atwar, 2009).
Teori Labeling Howard S. Becker menekankan dua aspek:
a) Penjelasan tentang mengapa dan bagaimana orangorang tertentu
sampai diberi cap atau label sebagai penjahat; dan pengaruh
daripada label itu sebagai konsekuensi penyimpangan tingkah laku,
perilaku seseorang bisa sungguh-sungguh menjadi jahat jika orang
itu di cap jahat.
b) Edwin Lemert membedakan tiga penyimpangan, yaitu: (1)
Individual deviation, di mana timbulnya penyimpangan diakibatkan
oleh karena tekanan psikis dari dalam; (2)Situational deviation,
sebagai hasil stres atau tekanan dari keadaan; dan (3) Systematic
deviation, sebagai polapola perilaku yang terorganisir dalarn subsub
kultur atau sistem tingkah laku ( Nitibaskara, 1994).
Seseorang yang sudah diberi label dan berpersepsi sebagai seseorang yang tidak berguna akan semakin menguat karena interaksi dengan lingkungan sosialnya, sehingga terjadi proses sinergis yang negatif tersebut dapat dijelaskan dalam bagan di bawah ini :
Skema 2.1
Social Breakdown Syndrome Model
(Soetomo, 2008)
B. Belajar
1. Definisi Belajar
Belajar secara sederhana diartikan sebagai proses perubahan dari
belum mampu menjadi sudah mampu yang terjadi dalam jangka waktu
tertentu. Perubahan yang terjadi itu harus secara relatif bersifat menetap
dan tidak hanya terjadi pada perilaku yang saat ini tampak, tetapi juga
pada perilaku yang mungkin terjadi di masa mendatang ( Irwanto, 2002 ).
Skiner dalam Walgito ( 2004 ) mendefinisikan belajar merupakan suatu
proses adaptasi perilaku yang bersifat progresif. Ini berarti bahwa sebagai
akibat dari belajar adanya sifat progresivitas, adanya tendensi ke arah
yang lebih sempurna atau lebih baik dari keadaan sebelumnya ( Walgito,
2004 ).
Belajar pada hakikatnya adalah penyempurnaan potensi atau
kemampuan pada organisme biologis dan psikis yang diperlukan dalam
hubungan manusia dengan dunia luar dan hidup bermasyarakat. Belajar
adalah suatu usaha untuk menguasai segala sesuatu yang berguna untuk
hidup ( Notoatmojo, 2007 ).
Belajar merupakan proses psikis yang berlangsung dalam interaksi
aktif manusia dalam lingkungannya dan menghasilkan perubahan-
perubahan dalam pengetahuan, ketrampilan, nilai sikap yang bersifat
konstan dan menetap ( Purwanto, 1998 ).
Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk
memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhn,
sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan
lingkungannya ( Slameto, 2003 ).
2. Ciri-ciri Kegiatan Belajar
Pada proses belajar terdapat kegiatan jiwa sendiri. Pengajar hanyalah
menyediakan kondisi-kondisi dan stimulus tertentu. Tanpa aktivitas dari
subjek yang bersangkutan tidak mungkin terjadi apa yang dinamakan
belajar. Pada kegiatan belajar tidak semua yang terjadi merupakan hal
yang baru. Kadang-kadang hanya sebagian saja yang baru.
Kegiatan belajar dapat terjadi dimana saja, kapan saja dan oleh siapa
saja. Seseorang dapat dikatakan belajar apabila di dalam dirinya terjadi
perubahan dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak dapat mengerjakan
sesuatu menjadi dapat mengerjakan sesuatu. Dari uraian singkat tersebut
dapat disimpulkan bahwa kegiatan belajar itu memiliki ciri-ciri
(Notoatmodjo, 2007 ) :
a) Belajar adalah kegiatan yang menghasilkan perubahan pada diri
individu yang sedang belajar, baik aktual maupun potensial.
b) Perubahan tersebut pada pokoknya didapatkan karena kemampuan
baru yang berlaku untuk waktu yang relatif lama.
c) Perubahan-perubahan itu terjadi karena usaha, bukan karena proses
kematangan.
C. Prestasi Belajar
1. Pengertian
Prestasi dari bahasa Belanda “ prestatie ” dalam bahasa Indonesia
menjadi prestasi yang berarti hasil usaha. Prestasi dalam literature selalu
di hubungkan dengan aktivitas tertentu, seperti dikemukakan oleh Robert
M. Gagne (1988 :65 ), bahwa dalam setiap proses akan selalu terdapat
hasil nyata yang dapat diukur dan dinyatakan sebagai hasil belajar
(achievement) seseorang.
Prestasi belajar merupakan taraf keberhasilan muridatau santri dalam
mempelajari materi pelajaran di sekolah atau pondok pesantren dinyatakan
dalam bentuk skor yang diperoleh dari hasil tes mengenai sejumlah materi
pelajaran tertentu. Prestasi belajar adalah proses verbal dari fakta ataupun
proses tingkah laku secara fisik yang berupa memori atau ingatan yang
bersifat mentalistik, ia juga menambahkan, hasil belajar adalah proses
hubungan antara guru siswa di dalam kelas yang membawa implikasi
terhadap pengembangan diri siswa secara bebas, pembentukan memori
(ingatan) pada siswa, dan pembentukan pemahaman pada siswa. Prestasi
belajar adalah kesempurnaan yang dicapai seseorang dalam berfikir,
merasa dan berbuat. Prestasi belajar dikatakan sempurna apabila
memenuhi tiga aspek yakni kognitif, afektif dan psikomotor, sebaliknya
dikatakan prestasi kurang memuaskan jika seseorang belum mampu
memenuhi target dalam ketiga kriteria tersebut ( Supardi, 2007 ).
Beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar
adalah hasil yang dicapai dari suatu kegiatan atau usaha yang dapat
memberikan kepuasan emosional dan dapat diukur dengan alat atau tes
tertentu. Proses pendidikan prestasi dapat diartikan sebagai hasil dari
proses belajar mengajar yakni penguasaan, perubahan emosional atau
perubahan tingkah laku yang dapat diukur dengan tes tertentu.
2. Faktor-faktot yang Mempengaruhi Prestasi Belajar
Prestasi belajar siswa dapat dicapai sebagaimana yang diharapkan,
maka perlu diperhatikan beberapa faktor yang mempengaruhi prestasi
belajar yaitu (Purwanto, 2007 ) :
a) Faktor Intern
Faktor yang timbul dari dalam diri individu itu sendiri, adapun
yang dapat digolongkan ke dalam faktor intern yaitu kecerdasan /
intelegensi, bakat, minat dan motivasi.
1) Kecerdasan / intelegensi
Kecerdasan atau intelegensi adalah faktor yang sangat
mempengaruhi belajar dan juga hasil belajar, apabila intelegensi
rendah, prestasi belajarnya juga rendah.
2) Bakat
Seseorang yang tidak berbakat akan mempengaruhi hasil
belajar yang akan dicapai. Bakat adalah kemampuan tertentu yang
telah dimiliki seseorang sebagai kecakapan pembawaan. Ungkapan
ini sesuai dengan apa yang diungkapkan Purwanto bahwa bakat
dalam hal ini lebih dekat pengertiannya dengan kata aptitude yang
berarti kecakapan, yaitu mengenai kesanggupan-kesanggupan
tertentu. Bakat adalah potensi atau kemampuan kalau diberikan
kesempatan untuk dikembangkan melalui belajar akan menjadi
kecakapan yang nyata. Bakat diartikan sebagai kemampuan
individu untuk melakukan tugas tanpa banyak tergantung pada
upaya pendidikan dan latihan.
Pendapat yang dijelaskan diatas menunjukkan bahwa
tumbuhnya keahlian tertentu pada seseorang sangat di tentukan
oleh bakat yang dimilikinya sehubungan dengan bakat ini dapat
mempunyai tinggi rendahnya prestasi belajar bidang-bidang studi
tertentu. Dalam proses belajar terutama belajar ketrampilan, bakat
memegang peranan penting dalam mencapai suatu hasil akan
prestasi yang baik. Apalagi seorang guru atau orang tua memaksa
anaknya untuk melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan
bakatnya maka akan merusak keinginan anak tersebut.
3) Minat
Minat adalah kecenderungan yang tetap untuk memperhatikan
dan mengenai beberapa kegiatan. Kegiatan yang dimiliki
seseorang diperhatikan terus menerus yang disertai dengan rasa
sayang. Minat adalah kecenderungan yang menetap dalam subjek
untuk merasa tertarik pada bidang tertentu dan merasa senang
berkecimpung dalam bidang itu. Minat adalah kecenderungan
yang tetap untuk memperhatikan dan mengenang beberapa
kegiatan, kegiatan yang diminati seseorang, diperhatikan terus
yang disertai dengan rasa sayang. Minat adalah suatu kondisi
yang terjadi apabila seseorang melihat ciri-ciri atau arti sementara
situasi yang dihubungkan denan keinginan-keinginan atau
kebutuhannya sendiri.
4) Motivasi
Motivasi dalam belajar adalah faktor yang penting karena hal
tersebut merupakan keadaan yang mendorong keadaan siswa
untuk melakukan belajar. Persoalan mengenai motivasi dalam
belajar adalah bagaimana cara mengatur agar motivasi dapat
ditingkatkan. Demikian pula dalam kegiatan belajar mengajar
seorang anak didik akan berhasil jika mempunyai motivasi untuk
belajar. Motivasi adalah segala daya yang mendorong seseorang
untuk melakukan sesuatu.
Motivasi adalah menggerakkan siswa untuk melakukan sesuatu
atau ingin melakukan sesuatu. Motivasi dapat dibedakan menjadi
dua macam yaitu (a) motivasi intrinsik dan (b) motivasi
ekstrinsik. Motivasi intrinsik dimaksudkan dengan motivasi yang
bersumber dari dalam diri seseorang yang atas dasarnya
kesadaran sendiri untuk melakukan sesuatu yakni belajar.
Motivasi ekstrinsik dimaksudkan dengan motivasi yang
datangnya dari luar diri seorang siswa yang menyebabkan siswa
tersebut belajar.
b) Faktor Ekstern
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi prestasi belajar yang
sifatnya di luar diri siswa , yaitu beberapa pengalaman-pengalaman,
keadaan keluarga dan lingkungan sekitarnya. Pengaruh lingkungan ini
pada umumnya bersifat positif dan tidak memberikan paksaan kepada
individu.
1) Keadaan Keluarga
Keluarga merupakan lingkungan terkecil dalam masyarakat
tempat seseorang dilahirkan dan dibesarkan. Keluarga adalah
lembaga pendidikan pertama dan utama. Keluarga yang sehat
artinya untuk pendidikan kecil, tetapi bersifat menentukan dalam
ukuran besar yaitu pendidikan bangsa, negara dan dunia. Adanya
ras aman dalam keluarga sangat penting dalam keberhasilan
seseorang dalam belajar. Rasa aman itu membuat seseorang akan
terdorong untuk belajar secara aktif, karena rasa aman merupakan
salah satu kekuatan pendorong dari luar yang menambah motivasi
untuk belajar. Keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang
pertama, karena dalam keluarga inilah anak pertama-tama
mendapatkan pendidikan dan bimbingan, sedangkan tugas utama
dalam keluarga bagi pendidikan anak ialah sebagai peletak dasar
bagi pendidikan akhlak dan pandangan hidup keagamaan.
Orang tua hendaknya menyadari bahwa pendidikan dimulai
dari keluarga. Perhatian orang tua dapat memberikan dorongan
dan motivasi sehingga anak dapat belajar dengan tekun. Karena
anak memerlukan waktu, tempat dan keadaan yang baik untuk
belajar.
2) Keadaan Sekolah
Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal pertama yang
sangat penting dalam menentukan keberhasilan belajar siswa,
karena itu lingkungan sekolah yang baik dapat mendorong untuk
belajar yang lebih giat. Keadaan sekolah ini meliputi kurikulum,
guru / pengajar, sarana dan fasilitas, administrasi / manajemen.
Apabila hubungan siswa dengan keadaan sekolah kurang baik
akan mempengaruhi hasil-hasil belajarnya.
3) Lingkungan
Faktor lingkungan yang mempengaruhi prestasi belajar anak
ada dua yaitu lingkungan sosial dan lingkungan alam. Lingkungan
sosial adalah dari orang tua, lingkungan masyarakat seperti teman
sebaya dan tetangga juga merupakan salah satu faktor yang tidak
sedikit pengaruhnya terhadap hasil belajar siswa dalam proses
pelaksanaan pendidikan. Karena lingkungan masyarakat dapat
menimbulkan kesukaran belajar anak, terutama anak-anak yang
sebayanya. Jika anak-anak yang sebayanya merupakan anak-anak
yang rajin belajar, maka anak akan terangsang untuk mengikuti
jejak mereka. Sebaliknya bila anak-anak disekitarnya merupakan
kumpulan anak-anak nakal yang berkeliaran tiada menentukan
anakpun akan mengikutinya. Lingkungan alam sekitar sangat
besar pengaruhnya terhadap perkembangan pribadi anak, sebab
dalam kehidupan sehari-hari anak akan lebih banyak bergaul
dengan lingkungan dimana anak itu berada. Bagi banyak orang
(termasuk remaja) pengalaman mendapatkan label tertentu
(terutama yang negatif) dari lingkungannya memicu pemikiran
bahwa dirinya ditolak. Hal tersebut dapat mengurangi
kemampuan berinteraksi, mengurangi rasa harga diri dan
berpengaruh negatif terhadap kinerja siswa dalam berprestasi di
kehidupan sosial dan sekolahnya (Tasmin, 2009).
3. Ranah Hasil Belajar
Hasil belajar sering digunakan dalam arti yang sangat luas yakni untuk
bermacam-macam aturan terhadap apa yang telah dicapai oleh murid,
misalnya ulangan harian, tugas-tugas pekerjaan rumah, tes lisan yang
dilakukan selama pelajaran berlangsung dan tes akhir catur wulan.
Hasil belajar yang dimaksudkan adalah dalam pengertian yang
terakhir, yaitu tes terakhir catur wulan. Oleh karena itu proposisi yang
dipakai adalah sebagai berikut :
a) Hasil belajar murid merupakan ukuran keberhasilan guru dengan
anggapan bahwa fungsi penting guru dalam mengajar adalah untuk
meningkatkan prestasi belajar murid
b) Hasil belajar murid mengukur apa yang telah dicapai murid
c) Hasil belajar ( achievement ) itu sendiri dapat diartikan sebagai tingkat
keberhasilan murid dalam mempelajari materi pelajaran di pondok
pesantren atau sekolah, yang dinyatakan dalam bentuk skor yang
diperoleh dari hasil tes mengenai sejumlah materi pelajaran tertentu.
Pada umumnya, untuk menilai hasil belajar murid, guru dapat
menggunakan bermacam-macam “ achievement test ” seperti “ oral test ”
dan “ objective test ” atau “ short-answer test ”. Sedangkan untuk nilai
proses belajar dan hasil belajar murid yang bersifat ketrampilan, tidak
dapat dipergunakan hanya dengan tes tertulis atau lisan, tapi harus dengan
“ performance test ” yang bersifat praktek.
Gagne dalam Djiwandono ( 2002 ), hasil belajar dimaksukkan dalam
lima kategori yaitu informasi verbal, kemahiran intelektual, pengaturan
kegiatan, kognitif, sikap dan kletrampilan motorik.
Bloom dalam Djiwandono ( 2002 ), mengklasifikasikan hasil belajar
dalam tiga ranah yaitu ranah kognitif ( cognitive domain ), ranah afektif
( affective domain ) dan ranah psikomotor ( psychomotor domain ).
a) Ranah kognitif
Hasil belajar terdiri dari enam kategori yaitu pengetahuan
meliputi ingatan akan hal-hal yang pernah dipelajari dan disimpan
dalam ingatan, yang dapat digali bila dibutuhkan, pemahaman meliputi
kemampuan menangkap maksud dari mata pelajaran, penerapan
meliputi kemampuan untuk menggunakan suatu metode, analisis
meliputi kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang kompleks
menjadi lebih sederhana, sintesis meliputi kemampuan untuk membuat
suatu yang baru dengan menggabungkan bagian yang saling terhubung
secara bersama-sama dan evaluasi meliputi kemampuan untuk
mempertimbangkan nilai berdasarkan kriteria tertentu yang disertai
pertanggungjawaban.
b) Ranah afektif
Berkenaan dengan sikap yang terdiri dari lima aspek, yakni
penerimaan meliputi kesediaan siswa untuk memperhatikan
rangsangan atau stimulasi yang ada, partisipasi bukan hanya dilihat
dari kehadiran tetapi juga dari keaktifan dalam kegiatan dan yang
menekankan persetujuan tanpa protes, penilaian meliputi kemampuan
dalam menilai yang dinyatakan dengan satu tindakan atau perkataan,
organisasi meliputi kemampuan dalam menyelesaikan konflik dengan
perbedaan nilai dan membentuk suatu sistem nilai yang konsisten dan
pembentukan pola hidup meliputi kemampuan individu dalam
menghayati nilai kehidupan dan menjadi pegangan hidup.
c) Ranah psikomotorik
Bekenaan dengan tujuh aspek, yakni persepsi meliputi
kemampuan untuk melihat perbedaan pada masing-masing stimulus
berdasarkan pada cirinya, kesepian meliputi kemampuan untuk
menyiapkan dirinya jika ingin melakukan suatu kegiatan, gerakan
terbimbing meliputi kemampuan untuk melakukan gerakan sesuai
contoh yang diberikan, gerakan yang terbiasa meliputi kemampuan
melakukan gerakan secara lancar tanpa memperhatikan contoh,
gerakan yang kompleks meliputi kemampuan untuk melaksanakan
suatu ketrampilan secara tepat dan efisien, penyesuaian pola gerakan
meliputi kemampuan untuk menyesuaikan gerakan sesuai dengan
persyaratan, kreativitas meliputi kemampuan untuk membuat gerakan
baru berdasarkan inisiatif sendiri.
4. Pengukuran Prestasi Belajar
Pengukuran yang dilakukan dengan memberikan skor yang
dilanjutkan dengan penilaian, penskoran adalah langkah awal dalam
mengolah hasil pekerjaan siswa dan merupakan pengubahan jawaban-
jawaban tes menjadi angka-angka, atau dengan istilah kita mengadakan
kuantifikasi. Penilaian adalah ubahan dari skor dan sudah dijadikan satu
dengan skor-skor lain serta telah disesuaikan pengaturannya dengan
standar tertentu ( Djiwandono, 2002 ).
Indikator yang dapat digunakan sebagai tolok ukur untuk mengukur
keberhasilan suatu proses belajar mengajar khususnya di sekolah,
berdasarkan ketentuan kurikilum yang telah disempurnakan yang saai ini
digunakan adalah :
a) Daya serap terhadap bahan pelajaran yang diajarkan mencapai prestasi
tinggi, baik secra individu maupun kelompok.
b) Perilaku yang digariskan dalam tujuan pengajaran instruksional khusus
telah dicapai siswa dengan baik individu maupun klasikal.
Demikian tolok ukur yang dapat digunakan sebagai acuan dalam
menentukan tingkat keberhasilan proses belajar mengajar. Namun banyak
digunakan sebagai tolok ukur sebagai keberhasilan dari keduanya adalah
daya serap siswa terhadap pelajaran.
Untuk mengukur dan mengevaluasi tingkat keberhasilan pelajaran
belajar trsebut dapat dilakukan melalui tes prestasi belajar. Berdasarkan
tujuan dan ruang lingkupnya, tes prestasi belajar dapat digolongkan
kedalam jenis penilaian sebagai berikut :
a) Tes formatif
Pengukuran ini digunakan setiap satuan bahasan tertentu dan
bertujuan hanya utuk memeperoleh gambaran tentang datya serap
siswa terhadap satuan bahasan tersebut. Hasil tes ini digunakan untuk
memperbaiki proses belajar mengajar bahan terterntu dalam waktu
tertentu pula, atau sebagai feedback dalam memperbaiki proses belajar
mengajar.
b) Tes sub sumatif
Penilaian ini meliputi sejumlah bahan pengajaran satuan
bahasan yang telah diajarkan dalam waktu tertentu. Tujuannya dalah
selain untuk memperoleh gambaran daya serap, juga untuk
menetapkan tingkat prestasi belajar siswa. Hasilnya diperhitungkan
untuk menentukan nilai raport.
c) Tes sumatif
Penilaian ini diadakan untuk mengukur daya serap siswa
terhadap pokok-pokok bahasan yang telah diajarkan selama satu
semester. Tujuannya ialah untuk menetapkan tingkay atau taraf
keberhasilan belajar siswa dalam suatu periode belajar tertentu. Hasil
dari tes ini dimanfaatkan untuk kenaikan kelas, menyususn peringkat
atau sebagai ukuran kualitas sekolah.
Usman ( 1993 ) menyatakan bahwa untuk mengetahui sampai dimana
tingkat keberhasilan siswa terhadap proses belajar yang telah
dilakukannya dan sekaliguas juga untuk mengetahui keberhasilan megajar
guru, kita dapat menggunakan acuan tingkat keberhasilan tersebut sejalan
dengan kurikulum yang berlaku saat ini adalah sebagai berikut :
a) Istimewa / maksimal
Apabila seluruh dahan pelajaran yang diajarkan itu dapat dikuasai oleh
siswa.
b) Baik sekali / optimal
Apabila sebagian besarc 85-91% bahan pelajaran yang diajarkan dapat
dikuasai siswa.
c) Baik / minimal
Apabila bahan pelajaran yang diajarkan hanya 75-84% dapatdikuasai
oleh siswa.
d) Kurang
Apabila bahan pelajaran yang diajarkan kurang dari 75% yang
dikuasai.
D. Remaja
1. Definisi Remaja
WHO ( Word Health Organization ) 1974 mendefinisikan remaja yang
lebih konseptual dengan adanya tiga kriteria yaitu (a) biologis dengan ciri
individu berkembang mulai saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda
seksual sekundernya. Sampai saat mencapai kematangan seksual, (b)
remaja sebagai individu yang mengalami perkembangan psikologik dan
pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa dan (c) pada kriteria
sosial ekonomi terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi yang
penuh kepada keadaan yang relatif mandiri.
WHO menetapkan batas usia 10-20 tahun sebagai batasan remaja,
pada tahun 1985 menetapkan tahun pemuda internasional dengan kriteria
usia pemuda 15-24 tahun. Sensus penduduk 1980 di Indonesia membantah
kriteria remaja yang mendekati batasyaitu 14-24 tahun ( Widjanarko,
1999). Periode remaja adalah masa transisi dalam periode anak-anak ke
periode dewasa, periode ini dianggap sebagai masa yang amat penting
dala kehidupan sekarang khususnya dalam perkembangan kepribadian
individu ( Irwanto, 1996 ).
Remaja merupakan masa peralihan antar masa kanak-kanak dan masa
dewasa, yang dimulai pada saat terjadinya kematangan seksual yaitu
antara 11 atau 12 tahun sampai dengan 20 tahun yaitu menjelang masa
dewasa muda. Remaja tidak mempunyai tempat yang jelas, yaitu bahwa
mereka tidak termasuk golongan anak-anak tetapi tidak juga termasuk
golongan orang dewasa ( Soetjiningsih, 2004 ).
Batasan usia remaja berbeda-beda sesuai dengan sosial budaya
setempat. Menurut WHO batasan usia remaja adalah 12 sampai 24 tahun.
Sedangkan dari segi program pelayanan, definisi remaja yang digunakan
oleh Departemen Kesehatan adalah mereka yang berusia10 sampai 19
tahun dan belum menikah. Sementara itu, menurut BKKBN ( Direktorat
Remaja dan Perlindungan Hak Reproduksi ) batasan usia remaja adalah 10
sampai 21 tahun (BKKBN, 2005 ).
Periode remaja adalah masa transisi dalam periode anak-anak ke
periode dewasa. Periode ini dianggap sebagai masa-masa yang sangat
penting dalam kehidupan seseorang khususnya dalam pembentukan
kepribadian individu. Kebanyakan ahli memandang masa remaja harus
dibagi dalam dua periode karena terdapat ciri-ciri perilaku yang cukup
banyak berbeda dalam kedua sub periode tersebut ( Irwanto, 2002 ).
Ciri-ciri perilaku yang menonjol pada usia-usia ini terutama terlihat
pada perilaku sosialnya. Dalam masa-masa ini teman sebaya punya arti
yang sangat penting. Mereka ikut dalam klub-klub atau geng-geng sebaya
yang perilaku dan nilai-nilai kolektifnya sangat mempengaruhi perilaku
serta nilai-nilai individu yang menjadi anggotanya. Inilah proses dimana
individu membentuk pola perilaku dan nilai baru yang pada gilirannya
bisa menggantikan nilai-nilai serta pola perilaku yang dipelajarinya di
rumah ( Irwanto, 2002 ).
Kebanyakan ahli memandang masa remaja dibagi dalam dua periode
karena terdapat ciri-ciri perilaku yang cukup banyak berbeda dalam kedua
periode tersebut. Pembagian ini biasanya menjadi periode remaja awal
yaitu berkisar antara 13 sampai 17 tahun, dan periode masa akhir yaitu 17
sampai 18 tahun ( usia matang secara hukum ) ( Hurlock, 1995 ). Kaplan
& Sadock dalam bukunya Sinopsis Psikiatri, menyebutkan fase remaja
terdiri atas remaja awal (11-14 tahun), remaja pertengahan (14-17 tahun),
dan remaja akhir (17-20) tahun.
Secara psikologis masa remaja adalah usia dimana individu
berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi
merasa dibawah tingkat orang yang lebih tua melainkan berada pada
tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak ( Hurlock,
1996 ).
Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa remaja adalah
masa transisi dari periode anak-anak ke periode dewasa yang berkisar
antara 10 sampai 25 tahun dimana pada masa ini terjadi perubahan
psikologis, sosial dan fisiologis.
2. Perkembangan Psikososial Pada Remaja
Pencarian identitas diri merupakan tugas utama perkembangan
psikososial remaja. Remaja harus membentuk hubungan sebaya yang
dekat atau tetap terisolasi secara sosial. remaja mencari identitas
kelompok karena mereka membutuhkan harga diri dan penerimaan.
Kebutuhan yang kuat dari identitas kelompok tampaknya merupakan
konflik pada saat pencarian identitas diri. Seolah-olah remaja
membutuhkan ikatan kuat dengan sebayanya sehingga mereka kemudian
dapatmenemukan kembali diri mereka dalam identitas kelompok.
Perkembangan penilaian moral sangat tergantung pada ketrampilan
kognitif, komunikasi serta interaksi sebayanya. Remaja belajar untuk
memahami peraturan yang merupakan persetujuan kooperatif yang dapat
dimodifikasi untuk memperbaiki situasi. Remaja menilai diri mereka
sendiri dengan ide internal, yang sering menyebabkan konflik antara nilai
diri dan nilai kelompok ( Potter, 2005 ).
3. Perkembangan Sosioemosional Pada Remaja
Satu dari ciri-ciri remaja adalah penampilan reflectivity atau
kecenderungan untuk berpikir tentang apa yang terjadi pada pikiran diri
seseorang dan mempelajari dirinya sendiri. Remaja mulai melihat lebih
dekat diri mereka sendiri untuk mendefinisikan bahwa diri mereka
berbeda. Mereka belajar diam-diam bahwa orang lain tidak dapat mengerti
secara penuh apa yang mereka pikir dan rasakan. Menurut Erikson. Tahap
selama remaja adalah berpusat pada siapa saya, dengan identitas apa
sebetulnya saya. Perubahan pubertas mengharuskan remaja untuk
mengubah konsep fisik mereka, menyesuaikan diri terhadap harapan-
harapan teman dan keluarga serta membuat keputusan tentang peranan
sekolah dan tingkah laku ( Djiwandono, 2006 ).
4. Ciri-ciri Masa Remaja
a) Masa remaja sebagai periode yang penting
Pada masa remaja sebagai akibat fisik dari psikologis
mempunyai persepsi yang sangat penting. Perkembangan fisik yang
tepat disertai dengan cepatnya perkembangan mental terutama pada
awal masa remaja, dimana perkembangan itu dapat menimbulkan
perlunya penyesuaian mental dan perlunya membentuk sikap, nilai dan
minat baru ( Hurlock, 1995 ).
b) Masa remaja sebagai periode peralihan
Peralihan tidak berarti terputus atau berubah dari apa yang
terjadi sebelumnya, tetapi peralihan yang dimaksud adalah dari satu
tahap perkembangan ketahap berikutnya. Artinya, apa yang terjadi
sebelumnya akan meninggalkan bekasnya pada apa yang terjadi
sekarang dan yang akan datang. Bila anak beralih dari masa kanak-
kanak kemasa dewasa, anak harus meninggalkan segala sesuatu yang
bersifat kekanak-kanakan dan juga harus mempelajari pola perilaku
dan sikap baru untuk mengartikan perilaku dan sikap yang sudah
ditinggalkan (Hurlock, 1995 ).
c) Masa remaja sebagai usai bermasalah
Masalah pada remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi
baik oleh anak laki-laki maupun anak perempuan. Terdapat dua alasan
bagi kesulitan anak tersebut, yaitu (1) sepanjang masa kanak-kanak,
masalah anak-anak sebagian diselesaikan oleh orang tua dan guru-
guru, sehingga kebanyakan remaja tidak berpengalaman dalam
mengatasi masalah, (2) para remaja merasa mandiri, sehingga mereka
ingin mengatasi masalahnya sendiri, menolak bantuan dari orang tua
dan guru. Ketidakmampuan remaja untuk mengatasi masalahnya,
maka mereka memakai menurut cara mereka sendiri. Banyak akhirnya
remaja menemukan bahwa penyelesaiannya tidak selalu sesuai dengan
harapan mereka. Banyak kegagalan yang sering kali disertai akibat
tragis, bukan karena ketidakmampuan individu tetapi kenyataan bahwa
tuntutan yang diajukan kepadanya justru saat tenaganya telah
dihabiskan untuk mencoba mengatasi masalah pokok, yang
disebabkan oleh pertumbuhan dan perkembangan seksual yang normal
( Hurlock, 1995 ).
d) Masa remaja sebagai masa mencari identitas
Periode remaja adalah periode pemantapan identitas dari
pengertiannya akan siapa ahli yang dipengaruhi oleh pandangan
orang-orang sekitarnya serta pengalaman-pengalaman pribadinya akan
menentukan pola perilaku sebagai orang dewasa ( Irwanto, 1996 ).
E. Hubungan Labeling Dengan Prestasi Belajar
Remaja yang diberi label akan mengatakan label yang diberikan
adalah benar, seterusnya akan terus menerus melakukan dan menjadi apa yang
di labelkan kepadanya. Seandainya guru-guru atau siapapun melabelkan
seseorang dengan gelar yang tidak baik seperti “ bodoh ”, akhirnya label itu
perlahan-lahan membentuk pribadi seseorang. Karena label-label ini,
seseorang menjadi pribadi yang tertutup, berputus asa dan tidak ada semangat
yang tinggi untuk menjalani hidup ( Sazuana, 2009 ).
Pelabelan-pelabelan yang diterima oleh seseorang menyebabkan ia
memiliki citra diri negatif. Mereka cenderung menjerumuskan dirinya menjadi
apa yang dilabelkan kepadanya. Citra dirinya menjadi hilang, keinginan untuk
menjadi anak yang rajin, pandai dan baik terpuruk oleh sebutan-sebutan dari
orang lain yang diberikan kepadanya sehingga menyebabkan penurunan
dalam kegiatan belajarnya. Mereka memiliki anggapan bahwa “ untuk apa
berubah, sekalian saja menjadi apa yang menjadi sebutannya sehari-hari ”.
dampak lain selain anak justru “ sekalian ” menjadi apa yang menjadi
julukannya juga banyak dampak-dampak lainnya, seperti rendah diri, minder,
persimis, tidak memiliki motivasi ( motivasi belajar untuk seorang siswa ) dan
tidak memiliki rasa percaya diri untuk berinteraksi dengan lingkungannya.
Begitu besar dampak labeling bagi anak terutama remaja yang sedang dalam
fase pencarian jati diri. Dia akan tumbuh dan berkembang menjadi pribadi
yang labil serta tidak memiliki rasa percaya diri ( Saputro, 2008 ).
Peran perawat dalam hal ini adalah sebagai konselor yaitu
mengidentifikasi perubahan pola interaksi klien terhadap keadaan sekitarnya.
Adanya pula interaksi ini merupakan dasar dalam merencanakan metode
untuk meningkatkan kemampuan adaptasinya. Memberikan konseling/
bimbingan kepada klien, keluarga dan masyarakat tentang masalah kesehatan
sesuai prioritas. Konseling merupakan proses membantu klien untuk
menyadari dan mengatasi tekanan psikologis atau masalah sosial untuk
membangun hubungan interpersonal yang baik dan untuk meningkatkan
perkembangan seseorang. Didalamnya diberikan dukungan emosional dan
intelektual (Bangfad, 2008).
Konseling diberikan kepada individu/keluarga dalam
mengintegrasikan pengalaman kesehatan dengan penglaman yang lalu,
pemecahan masalah difokuskan pada masalah keperawatan, mengubah
perilaku hidup kea rah perilaku hidup sehat (Admin, 2008).
F. KerangTeori
Faktor Intern
a. Kecerdasan atau intelegensi
b. Bakat
c. Minat
d. Motivasi
Prestasi Belajar Nilai rapot
Faktor Ekstern
a. Keadaan keluarga
b. Keadaan sekolah
c. Lingkungan
• Labeling (penilaian negatif)
Skema 2.2
Hubungan Labeling Dengan Prestasi Belajar
(Sumber : Purwanto, 2007; Tasmin, 2009 )
G. Kerangka Konsep
Variabel Independent Variabel Dependent
Labeling Prestasi Belajar
Skema 2.3
Kerangka konsep
H. Variabel Penelitian
1. Variabel Independent
Variabel independent dalam penelitian ini adalah labeling.
2. Variabel Dependent
Variabel dependent dalam penelitian ini adalah prestasi belajar.
I. Hipotesis
Ada hubungan labeling dengan prestasi belajar di SMA Muhammadiyah
Gubug.
Recommended