View
3
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Stres
1. Pengertian Stres
Hawari (dalam Yusuf, 2004) berpendapat bahwa istilah stres tidak
dapat dipisahkan dari distress dan depresi, karena satu sama lainnya saling
terkait. Menurut Lazarus & Folkman (dalam Rifka, 2014) stres adalah keadaan
internal yang dapat diakibatkan oleh tuntutan fisik dari tubuh atau kondisi
lingkungan dan sosial yang dinilai potensial membahayakan, tidak terkendali
atau melebihi kemampuan individu untuk mengatasinya.
Menurut Lazrus (dalam Manktelow, 2009) stres adalah suatu kondisi
atau perasaan yang dialami ketika seseorang menganggap bahwa
tuntutan-tuntutan melebihi sumber daya sosial dan personal yang mampu
dikerahkan seseorang Stres menurut WHO (2003) adalah reaksi atau respons
tubuh terhadap stresor psikososial (tekanan mental / beban kehidupan).
Menurut Marks, Murray, Evans (2002) stres adalah kondisi ketika individu
berada dalam situasi yang penuh tekanan atau ketika individu merasa tidak
sanggup mengatasi tuntutan yang dihadapinya. Menurut Atkinson (dalam Gita.
2016), stres terjadi ketika individu dihadapkan dengan peristiwa yang mereka
anggap membahayakan kentetraman kondisi fisik dan psikologis mereka,
misalnya ketika menghadapi peristiwa yang tidak menyenangkan seperti
tekanan dalam pekerjaan, masalah pernikahan atau keuangan.
9
Dougall & Baum (2001); Hobfoll (dalam Sarafino, 2006)
mengemukakan tiga pendekatan untuk menentukan definisi stres, yaitu: a.
Pendekatan yang berfokus pada lingkungan, stres dilihat sebagai stimulus yaitu
kondisi ketika suatu pekerjaan menuntut kemampuan tertentu dari seseorang
atau pengalaman yang menyedihkan seperti kehilangan salah satu anggota
keluarga;b. Pendekatan berfokus pada reaksi individu, Stres dilihat sebagai
sebuah respon. Respon bisa berupa respon psikologis seperti pola-pola
pemikiran, emosi seperti kecemasan dan respon fisik seperti meningkatnya
detak jantung; c. Pendekatan berfokus pada individu dan lingkungan, stres
dilihat tidak hanya sebagai stimulus dan respon tetap lebih sebagai proses.
Berdasarkan definisi stres diatas dapat disimpulkan bahwa stres
menghadapi masa pensiun adalah suatu keadaan atau perasaan tidak
menyenangkan yang dialami individu saat menghadapi kondisi atau situasi
yang menekan atau membahayakan.
2. Gejala-gejala Stres
Goliszek (2005) membagi gejal-gejala stres menjadi tiga kategori, yaitu
meliputi gejala fisik, emosional dan gejala perilaku. Antara lain:
a. Gejala fisik: sakit kepala, nyeri otot, sakit punggung, rasa lemah,
gangguan pencernaan, rasa mual atau muntah-muntah, sakit perut, nafsu
makan hilang atau selalu ingin makan, jantung berdebar-debar, sering
buang air kecil, tekanan darah tinggi, tidak dapat tidur atau tidur
belebihan, berkeringat secara berlebihan dan sejumlah gejala lain.
10
b. Gejala emosional: mudah tersinggung, gelisah terhadap hal-hal kecil,
suasana hati berubah-ubah, mimpi buruk, khawatir, panik, sering
menangis, merasa tidak berdaya, perasaan kehilangan kontrol, muncul
pikiran untuk bunuh diri, pikiran yang kacau, ketidakmampuan membuat
keputusan dan sebagainya.
c. Gejala perilaku: merokok, memakai obat-obatan atau mengkonsumsi
alkohol secara berlebihan, berjalan mondar-mandir, kehilangan
ketertarikan pada penampilan fisik, menarik atau memutar-mutar rambut,
perilaku sosial berubah secara tiba-tiba, dan lainnya.
Pendapat Goliszek diatas dapat digolongkan menjadi beberapa
indikator. Indikator stres dapat dilihat dari tiga gejala, yaitu: gejala fisik; gejala
mental; dan gejala perilaku. Adapun yang termasuk gejala fisik antara lain:
menggigit-gigit kuku, berkeringat, mulut kering, mengetukkan atau
menggerakkan kaki berkali-kali, wajah tampak lelah, pola tidur yang
terganggu, memiliki kecenderungan yang berlebihan pada makanan dan terlalu
sering ke toilet.
Gejala mentalnya antara lain: kemarahan yang tidak terkendali, atau
lekas marah/agresivitas, mencemaskan hal-hal kecil, ketidakmampuan dalam
memprioritaskan, berkonsentrasi dan memutuskan apa yang harus dilakukan,
suasana hati yang sulit ditebak atau tingkah laku yang tidak wajar, ketakutan
atau fobia yang berlebihan, hilangnya kepercayaan pada diri sendiri, cenderung
menjaga jarak, terlalu banyak berbicara atau menjadi benar-benar tidak
11
komunikatif, ingatan terganggu dan dalam kasus-kasus yang ekstrim
benar-benar kacau.
Sedangkan gejala perilaku antara lain: pemakaian obat-obatan yang
berlebihan, tidak peduli dengan penampilan fisik, periaku dalam sosial
bermasyarakat tiba-tiba berubah, berubahnya pola makan serta berkurangnya
daya konsentrasi dalam kehidupan sehari-hari.
3. Tahap-tahap stres
Tahap-tahap stress terdiri dari beberapa tingkatan. Menurut Amberg
(dalam Hidayat, 2008), stres dapat dibagi kedalam enam tahap sebagai berikut:
a. Tahap pertama
Tahap ini merupakan tahapan stres yang paling ringan dan biasanya
ditandai dengan munculnya semangat yang berlebihan, penglihatan lebih
“tajam”dari biasanya, dan biasanya (namun tanpa disadari cadangan
energi dihabiskan dan timbulnya rasa gugup yang berlebihan).
b. Tahap kedua
Pada tahap ini, dampak stres yang semula menyenangkan mulai
menghilang dan timbul keluhan-keluhan karena habisnya cadangan
energi. Keluhan-keluhan yang sering dikemukakan antara lain merasa
letih sewaktu bangun pagi dalam kondisi normal, badan (seharusnya terasa
segar), mudah lelah sesudah makan siang, cepat lelah menjelang sore,
sering mengeluh lambung atau perut tidak nyaman, jantung
12
berdebar-debar, otot punggung dan tengkuk terasa tegang dan tidak bisa
santai.
c. Tahap ketiga
Jika tahap stres sebelumnya tidak ditanggapi dengan memadai,
maka keluhan akan semakin nyata, seperti gangguan lambung dan usus
(gastritis atau maag, diare), ketegangan otot semakin terasa, perasaan tidak
tenang, gangguan pola tidur (sulit untuk mulai tidur, terbangun tengah
malam dan sukar kembali tidur, atau bangun terlalu pagi dan tidak dapat
tidur kembali), tubuh terasa lemah seperti tidak bertenaga.
d. Tahap empat
Orang yang mengalami tahap-tahap stres di atas ketiga
memeriksakan diri ke dokter sering kali dinyatakan tidak sakit karena
tidak ditemukan kelainan-kelainan fisik pada organ tubuhnya. Namun
pada kondisi berkelanjutan, akan muncul gejala seperti ketidakmampuan
untuk melakukan aktivitas rutin karena perasaan bosan, kehilangan
semangat, terlalu lelah karena gangguan pola tidur,kemampuan mengingat
dan konsentrasi menurun, serta muncul rasa takut dan cemas yang tidak
jelas penyebabnya.
e. Tahap kelima
Tahap ini ditandai dengan kelelahan fisik yang sangat, tidak
mampu menyelesaikan pekerjaan ringan dan sederhana, gangguan pada
sistem pencernaan semakin berat, serta semakin meningkatnya rasa takut
dan cemas.
13
f. Tahap keenam
Tahap ini merupakan tahap puncak, biasanya ditandai dengan
timbulnya rasa panik dan takut mati yang menyebabkan jantung berdetak
semakin cepat, kesulitan untuk bernapas, tubuh gemetar dan berkeringat,
dan adanya kemungkinan terjadi kolaps atau pingsan.
Sedangkan Patel (dalam Elis, 2008) menjelaskan adanya berbagai jenis
tingkat stres yang umumnya dialami manusia meliputi:
a. Too little stress
Dalam kondisi ini, individu belum mengalami tantangan yang berat
dalam memenuhi kebutuhan pribadinya. Seluruh kemampuan belum
sampai dimanfaatkan, serta kurangnya stimulasi mengakibatkan
munculnya kebosanan dan kurangnya makna dalam tujuan hidup.
b. Optimum stress
Individu mengalami kehidupan yang seimbang pada situasi ”atas”
maupun “bawah” akibat proses manajemen yang baik pada dirinya.
Kepuasan dan perasaan mampu individu dalam meraih prestasi
menyebabkan individu mampu menjalani kehidupan dan pekerjaan
sehari-hari tanpa menghadapi masalh terlalu banyak atau rasa lelah yang
berlebihan.
c. Too much stress
14
Dalam kondisi ini, individu merasa telah melakukan pekerjaan
yang terlalu banyak setiap hari. Dia mengalami kelelahan fisik maupun
emosinal, serta tidak mampu menyediakan waktu untuk beristirahat dan
bermain. Kondisini dialami terus-menerus tanpa memperoleh hasil yang
diharapkan.
d. Breakdown stress
Ketika pada tahap Too much stress individu tetap meneruskan
usahanya pada kondisi yang statis, kondisi akan berkembang menjadi
adanya kecenderungan neurotis yang kronis atau munculnya rasa sakit
psikomatis. Misalnya pada individu yang memiliki perilaku merokok atau
kecanduan minuman keras, konsumsi obat tidur dan terjadinya kecelakaan
kerja. Ketika individu tetap meneruskan usahanya ketika mengalami
kelelahan, ia akan cenderung mengalami Breakdown baik secara fisik
maupun psikis.
Pendapat Amberg diatas tentu berdasar pada kajian ke ilmuan yaitu
dalam bidang kedokteran jiwa. Apabila kita melihat kembali indikatornya jelas
sebagian bersifat fisik daripada psikis.
Sedangkan pendapat Wieten meski menyebutnya sebagai tingkat stres
namun peneliti berpendapat bahwa hal tersebut masih terdapat kekurangan
yaitu kekaburan perbedaan antara jenis stres ataukah tingkat stres. Sedangkan
pendapat Pattel Lebih fokus pada pembagian tingkatan stres bahkan Weitan
juga menjelaskan beberapa indikator pada tingkatan tersebut
15
Berbagai tahapan-tahapan stres manusia yang di definisikan oleh ahli,
dapat disimpulkan bahwa manusia mempunyai tahapan-tahapan stres yang
dapat menimbulkan dampak negatif bagi fisik maupun psikis apabila
meneruskan stres tersebut tanpa adanya usaha yang efektif untuk
menghilangkan stres itu sendiri.
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya stres
Menurut Weitan (dalam dalam Nasir &Muhith, 2011),bahwa ada 4
(empat) faktor yang mempengaruhi terjadinya stres pada seseorang, yaitu: a.
Perubahan, kondisi yang dijumpai ternyata merupakan kondisi yang tidak
semestinya serta membutuhkan adanya suatu penyesuaian; b. Tekanan, kondisi
dimana terdapat suatu harapan atau tuntutan yang sangat besar terhadap
individu untuk melakukan perilaku tertentu; c. Konflik, kondisi ini muncul
ketika dua atau lebih perilaku saling berbenturan, dimana masing-masing
perilaku tersebut butuh untuk diekspersikan atau malah saling memberatkan; d.
Frustasi, kondisi dimana individu merasa jalan yang akan ditempuh untuk
meraih tujuan dihambat.
Taylor (dalam Fitriyani, 2014) merinci beberapa karakteristik kejadian
yang berpotensi untuk dinilai menciptakan stres, antara lain: a. Kejadian
negatif agaknya lebih banyak menimbulkan stres daripada kejadian positif, b.
Kejadian yang tidak terkontrol dan tidak terprediksi lebih membuat stres
daripada kejadian yang terkontrol dan terprediksi, c. Kejadian “ambigu” sering
16
kali dipandang lebih mengakibatkan stres daripada kejadian yang jelas, d.
Manusia yang tugasnya melebihi kapasitas (overload) lebih muda mengalami
stres daripada individu yang memiliki tugas sedikit.
Holmes dan Rahe (dalam Fajar & Dwi, 2015) merusmuskan adanya
sumber stres berasal dari: a. Dalam diri individu, hal ini berkaitan dengan
adanya konflik. Pendorong dan penarik konflik menghasilkan dua
kecenderungan yang berkebalikan, yaitu approach dan avoidance, b. Dalam
komunitas dan masyarakat, kontak individu di luar keluarga menyediakan
banyak sumber stres. Misalnya pengalaman anak di sekolah dan persaingan.
Munir dan Haryanto (2007) membagi stresor atau faktor yang
mempengaruhi terjadinya stres adalah sebagai berikut:
a. Faktor Internal, yaitu faktor yang berasal dari dalam diri seseorang.
Bagaimana kondisi emosi orang yang bersangkutan dapat
menimbulkan stres. Emosi adalah setiap kegiatan pergolakan pikiran,
perasaan dan nafsu. Emosi juga dapat diartikan sebagai keadaan mental
seseorang. Secara umum dalam diri manusia tedapat duea emosi yang
berseberangan (berlawanan), yakni positif dan negatif. Adapun
kondisi-kondisi emosinal yang dapat memicu munculnya stres antara
lain sebagai berikut: perasaan cinta yang berlebihan, rasa takut yang
berlebihan, kesedihan yang berlebihan, rasa bersalah, terkejut.
b. Faktor Eksternal, yaitu faktor penyebab stres yang berasal dari luar diri
seseorang. Dalam faktor eksternal ini dapat berupa ujian atau cobaan
17
yang berupa kebaikan atau yang dianggap baik oleh manusia adalah
keberhasilan, kesuksesan dalam karir dan bisnis, kekayaan yang
berlimpah, kehormatan, popularitas dan sebagainya. Macam kebaikan
di atas, jika tidak disikapi dengan baik akan dapat menimbulkan stres
bagi seseorang. Berbagai persoalan dan cobaan yang menimpa
kehidupan manusia yang bersifat buruk atau yang dipandang tidak baik
juga merupakan faktor dan penyebab munculnya gangguan jiwa (stres)
pada diri seseorang, yaitu: tertimpa musibah atau bencana alam, bahaya
kelaparan dan kekeringan, kekurangan harta benda, kekurangan hasil
panen, kekurangan dalam diri (cacat tubuh), problem orangtua dan
sebagainya.
Bayi, anak-anak dan dewasa semua dapat mengalami stres. Sumber
stres bisa berasal dari diri sendiri, keluarga, dan komunitas sosial (Alloy,
2004). Menurut Maramis (2009), ada empat sumber atau penyebab stres
psikologis, yaitu frustasi, konflik, tekanan dan krisis.
Frustasi timbul akibat kegagalan dalam mencapai tujuan karena ada aral
melintang, misalnya apabila ada mahasiswa yang gagal dalam mengikuti ujian
osca dan tidak lulus. Frustasi ada yang bersifat intrinsik (cacat badan dan
kegagalan usaha) dan ekstrinsik (kecelakaan, bencana alam, kematian orang
yang dicintai, kegoncangan ekonomi, pengangguran, perselingkuhan, dan
lain-lain).
Konflik timbul karena tidak bisa memilih antara dua atau lebih
macam-macam keinginan, kebutuhan atau tujuan. Ada 3 jenis konflik, yaitu :
18
a. Approach-approach conflict, terjadi apabila individu harus memilih satu
diantara dua alternatif yang sama-sama disukai, misalnya saja seseorang
yang sulit menentukan keputusan diantara dua pilihan karir yang
sama-sama diinginkan. Stres muncul akibat hilangnya kesempatan untuk
menikmati alternatif yang tidak diambil. Jenis konflik ini biasanya sangat
mudiktgah dan cepat diselesaikan.
b. Avoidance-avoidance conflict, terjadi bila individu dihadapkan pada dua
pilihan yang sama-sama tidak disenangi, misalnya wanita muda yang
hamil diluar pernikahan, di satu sisi ia tidak ingin aborsi tapi disisi lain ia
belum mampu secara mental dan finansial untuk membesarkan anaknya
nanti. Konflik jenis ini lebih sulit diputuskan dan memerlukan lebih
banyak tenaga dan waktu untuk menyelesaikannya karena masing-masing
alternatif memiliki konsekuensi yangtidak menyenangkan
c. Approach-avoidance conflict, merupakan situasi dimana individu merasa
tertarik sekaligus tidak menyukai atau ingin menghindar dari seseorang
atau suatu objek yang sama, misalnya seseorang yang berniat berhenti
merokok, karena khawatir merusak kesehatannya tetapi ia tidak dapat
membayangkan sisa hidupnya kelak tanpa rokok.
Tekanan timbul sebagai akibat tekanan hidup sehari-hari. Tekanan
dapat berasal dari dalam diri individu, misalnya cita-cita atau norma yang
terlalu tinggi. Tekanan yang berasal dari luar individu, misalnya orang tua
menuntut anaknya agar disekolah selalu rangking satu, atau istri menuntut
uang belanja yang berlebihan kepada suami.
19
Krisis yaitu keadaan mendadak yang menimbulkan stres pada individu,
misalnya kematian orang yang disayangi, kecelakaan dan penyakit yang harus
segera dioperasi.
Berdasarakan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa ada dua
sumber stres yang dimiliki oleh individu yakni faktor eksternal dimana sumber
stres berasal dari lingkungan individu dan faktor internal dimana sumber stres
berasal dari dalam individu yang tidak bisa diselesaikan sehingga
menimbulkan stres dan berdampak pada perilaku negatif dalam diri individu
itu sendiri.
5. Macam-macam stres
Setiap individu mempunyai persepsi dan respon yang berbeda-beda
terhadap stres. Persepsi seseorang didasarkan pada keyakinan dan norma,
pengalaman, dan pola hidup, faktor lingkungan, struktur dan fungsi keluarga,
tahap perkembangan keluarga, pengalaman masa lalu dengan stres serta
mekanisme koping. Berdasarkan studi literatur, ditemukan tingkatan stres
menjadi lima bagian dalam Psychology Foundation of Australia (2010), antara
lain:
a. Stres normal
Stres normal yang dihadapi secara teratur dan merupakan bagian
alamiah dari kehidupan. Seperti dalam situasi: kelelahan setelah
mengerjakan tugas, takut tidak lulus ujian, merasakan detang jantung
berdetak lebih keras setelah aktivitas (Crowford & Henry, 2003). Stres
20
normal alamiah dan menjadi penting, karena setiap orang pasti pernah
mengalami stres. Bahkan, sejak dalam kandungan.
b. Stres ringan
Stres ringan adalah stresor yang dihadapi secara teratur yang dapat
berlangsung beberapa menit atau jam. Situasi seperti banyak tidur,
kemacetan atau dimarahi dosen. Stresor ini dapat menimbulkan gejala,
antara lain bibir sering kering, kesulitan bernafas (sering terengah-engah),
kesulitan menelan, merasa goyah, merasa lemas, berkeringat berlebihan
ketika temperature tidak panas serta tidak melakukan aktivitas, takut tanpa
alasan yang jelas, denyut jantung lebih cepat walaupun tidak melalukan
aktivitas fisik, tremor pada tangan, dan merasa sangat lega jika situasi
berakhir. Dengan demikian, stresor ringan yang menumpuk dalam jangkau
waktu yang singkat dapat meningkatkan resiko penyakit yang diderita oleh
individu.
c. Stres sedang
Stres ini terjadi lebih lama, antara beberapa jam sampai beberapa
hari. Misalnya masalah perselisihan yang tidak dapat diselesaikan dengan
teman atau pacar. Stresor ini dapat menimbulkan gejala, antara lain mudah
marah, bereaksi berlebihan terhadap suatu situasi, sulit untuk beristirahat,
merasa lelah karena cemas, tidak sabar ketika mengalami penundaan dan
menghadapi gangguan terhadap hal yang sedang dilakukan, mudah
tersinggung, gelisah, dan tidak dapat memaklumi hal apapun yang
menghalangi ketika sedang mengerjakan sesuatu hal
21
d. Stres berat
Stres berat adalah situasi kronis yang dapat terjadi dalam beberapa
minggu sampai beberapa tahun, seperti perselisihan dengan teman
terus-menerus, kesulitan finansial yang berkepanjangan, dan penyakit yang
tidak kunjung sembuh. Makin sering dan lama situasi stres, makin tinggi
risiko stres yang ditimbulkan. Stresor ini dapat menimbulkan gejala, antara
lain tidak dapat merasakan perasaan positif, merasa tidak kuat lagi untuk
melakukan suatu kegiatan, merasa tidak berharga sebagai seorang manusia,
berpikir bahwa hidup tidak bermanfaat.
e. Sangat berat
Stres sangat berat adalah situasi kronis yang dapat terjadi dalam
beberapa bulan dan dalam waktu yang tidak dapat ditentukan. Seseorang
yang mengalami stres sangat berat tidak memiliki motivasi untuk hidup
dan cenderung pasrah. Seseorang dalam tingkatan stres ini biasanya
teridentifikasi mengalami depresi berat.
B. Self Efficacy
22
1. Pengertian Self Efficacy
Bandura mengungkapkan bahwa self-efficacy adalah penilaian keyakinan diri
tentang seberapa baik individu dapat melakukan tindakan yang diperlukan yang
berhubungan dengan situasi yang prospektif (Luthans, 2006). Setiap orang telah
dibekali potensi, oleh karena itu setiap individu harus yakin bahwa setiap
individu memiliki kemampuan. Selain itu, Davis dan Newtorm (dalam Hendra,
2012) mengatakan bahwa salah satu faktor internal yang sangat mempengaruhi
motivasi (usaha) individu pada waktu melaksanakan pekerjaan dalam upaya
menghasilkan serta mengembangkan prestasi adalah keyakinan, kemantapan
dan perkiraan individu terhadap kemampuan yang dimiliki sebagai faktor
self-efficacy.
Lebih lanjut Bandura (dalam Wantiyah, 2010) mengatakan bahwa
self-efficacy adalah salah satu komponen dari pengetahuan tentang diri (self
knowledge) yang paling berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari. Bandura juga
menegaskan bahwa semua proses perubahan psikologis dipengaruhi oleh
self-efficacy. Wood dan Bandura (dalam Mulkiyatus, 2008), mengatakan bahwa
self-efficacy merupakan kepercayaan tentang kemampuan seseorang dalam
mengarahkan motivasi, sumber daya kognitif dan menentukan tindakan yang
dibutuhkan untuk mencapai suatu situasi yang diinginkan.
Lewicki (dalam Carlos, 2006) menjelaskan self efficacy sebagai
keyakinan seseorang terhadap kemampuan dirinya untuk menggerakkan
motivasi, sumber-sumber kognitif dan tindakan yang dibutuhkan untuk
mengendalikan peristiwa dalam kehidupan mereka. Santrock (2006)
23
mendefinisikan self efficacy sebagai keyakinan individu terhadap kemampuan
dirinya untuk menguasai situasi dan menghasilkan sesuatu yang positif.
Schunk juga mengatakan bahwa self efficacy sangat penting perannya dalam
mempengaruhi usaha yang dilakukan, seberapa kuat usahanya dan memprediksi
keberhasilan yang akan dicapai (Anwar, 2009). Carlos (2006) menyimpulkan
bahwa perilaku dan motivasi individu dipengaruhi oleh keyakinan mereka
sendiri. Self efficacy menentukan bagaimana individu merasakan, berpikir,
memotivasi diri mereka dan berperilaku. Individu dengan kepercayaan yang
tinggi mengenai kemampuannya memandang tugas-tugas yang sulit sebagai
tantangan untuk menjadi lebih baik daripada bersikap menghindar. Self
efficacy memberi harapan yang membantu memunculkan ketertarikan intrinsik
dan kesenangan yang mendalam terhadap kegiatan. Mereka menganggap
tujuan yang telah mereka tetapkan sebagai tantangan dan bertahan kuat dengan
komitmen mereka. Mereka mempertinggi dan mempertahanakan usaha
mereka ketika berhadapan dengan kegagalan. Mereka dengan cepat kembali
percaya pada kemampuannya setelah mengalami kegagalan. Mereka
menghubungkan kegagalan dengan usaha yang tidak cukup atau pengetahuan
dan keterampilan yang kurang. Mereka mendekati situasi yang mengancam
dengan kepercayaan bahwa mereka dapat mengontrol situasi tersebut.
Self-efficacy menghasilkan pribadi yang berprestasi, dapat mengurangi stres
dan tidak lebih mudah terkena depresi (Bandura, 1994).
Lewicki (dalam Carlos, 2006) menjelaskan self efficacy sebagai
keyakinan seseorang terhadap kemampuan dirinya untuk menggerakkan
24
motivasi, sumber-sumber kognitif dan tindakan yang dibutuhkan untuk
mengendalikan peristiwa dalam kehidupan mereka. Santrock (2006)
mendefinisikan self efficacy sebagai keyakinan individu terhadap kemampuan
dirinya untuk menguasai situasi dan menghasilkan sesuatu yang positif.
Robbins (2007) menyebutkan bahwa self-efficacy merujuk pada keyakinan individu
bahwa dirinya mampu menjalankan suatu tugas. Semakin tinggi Self-efficacy maka
semakin yakin pada kemampuan untuk menyelesaikan tugas atau mengerjakan
sesuatu. Jadi dalam situasi sulit, orang dengan Self-efficacy rendah lebih mungkin
mengurangi usaha atau melepaskannya sama sekali, sementara orang dengan
self-efficacy tinggi semakin giat mencoba untuk mengatasi tantangan tersebut.
Berdasarkan dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa Self-efficacy
merupakan keyakinan atas kemampuan diri sendiri untuk menjalankan suatu tugas,
serta kemantapan diri dalam menentukan tindakan-tindakan yang dibutuhkan
dalam menyelesaikan tugas tertentu.
2. Hal-hal yang Mempengaruhi Self-Efficacy
Menurut Bandura (dalam Feist & Feist, 2009), ada 4 hal yang
mempengaruhi tinggi rendahnya self-efficacy di dalam diri seseorang, yaitu:
a. Mastery experiences: merupakan sumber yang paling mempengaruhi
self-efficacy. Secara umum, keberhasilan ditentukan dari seberapa keras
orang akan mencoba dan berapa lama mereka akan bertahan pada perilaku
25
tersebut. Pertama, keberhasilan dapat diraih berdasarkan dari proporsi
self-efficacy dalam menghadapi kesulitan tugas. Kedua, tugas yang dapat
diselesaikan oleh diri sendiri akan lebih memuaskan jika dibandingkan
dengan mendapat bantuan dari orang lain. Ketiga, ketika kita gagal maka
akan mengurangi self-efficacy dan kita dapat mengetahui seberapa besar
usaha yang telah dilakukan. Keempat, ketika gagal dalam kondisi
rangsangan emosional yang tinggi atau tekanan yang tidak melemahkan
diri sebagai kegagalan dalam kondisi maksimal. Kelima, kegagalan
sebelum membangun rasa penguasaan lebih merugikan perasaan
keberhasilan pribadi daripada mendapatkan kegagalan kemudian.
Keenam, keterkaitan tersebut menunjukan bahwa kegagalan memiliki
sedikit efek terhadap efficacy, terutama untuk orang yang memiliki
harapan yang tinggi untuk mencapai kesuksesan.
b. Social modeling: sumber efficacy selanjutnya adalah social modeling yaitu
dengan cara melihat orang lain melakukan suatu perilaku tertentu yang
kurang lebih sama (vicarious experience). Akan tetapi efek dari social
modeling tidak sebesar kinerja personal untuk mendapatkan tingkatan
efficacy.
c. Social persuasion: efek dari social persuasion masih terbatas. Akan tetapi
jika dipengaruhi oleh kondisi, persuasi dari pihak lain dapat meningkatkan
3. Sumber Self-efficacy
26
Bandura (dalam Yayan, 2013), Self-efficacy memiliki empat hal yang
menjadi sumber informasi dalam mekanisme pembentukan Self-efficacy yakni
mastery experiences atau performance accomplishment, Vicorious Experience
atau modeling, sosial persuasion and psychological arosal.
a. Performance Accomplishment (Pencapaian Prestasi)
Keberhasilan akan membangun kepercayaan diri seseorang dan sebaliknya
kegagalan akan merusak rasa kepercayaan diri seseorang, terlebih bila rasa
kegagalan terjadi sebelum rasa keberhasilan itu tertanam kokoh pada dirinya.
Orang yang mengalami keberhasilan akan mudah mengharapkan hasil yang
cepat dan mudah berkecil hati bila mengalami kegagalan. Sementara itu untuk
mencapai keberhasilan seseorang membutuhkan berbagai pengalaman dalam
mengatasi hambatan. Beberapa kesulitan dan kegagalan akan bermanfaat bagi
seseorang untuk mencapai keberhasilan yang biasanya memerlukan usaha
berkelanjutan
b. Vicorious Experience atau modeling (Pengalaman Orang lain atau meniru)
Self-efficacy dapat diperkuat melalui pengalaman orang lain atau biasa disebut
model sosial. Melihat orang lain yang mirip dengan diri seseorang dan sukses
melakukan suatu kegiatan dengan upaya yang terus menerus akan menimbulkan
keyakinan bagi pengamat. Hal ini akan menanamkan keyakinan bahwa mereka
juga mempunyai kemampuan yang sama untuk melakukan kegiatan tersebut.
Begitupun sebaliknya ketika seseorang mengamati orang lain mengalami
kegagalan, meskipun dengan upaya yang tinggi, hal ini akan menurunkan
keyakinan terhadap keberhasilan mereka sendiri dan melemahkan usaha mereka.
27
Dampak dari model self-efficacy sangat dipengaruhi oleh persamaan persepsi
terhadap model yang diamati. Semakin besar kesamaan terhadap pemodelan
dianggap semakin persuasif keyakinan terhadap keberhasilan atau kegagalan.
c. Verbal Persuasion (PersuasiVerbal)
Persuasi verbal adalah cara lain untuk memperkuat keyakinan seseorang
terhadap Self-efficacy. Verbal persuasi termasuk kalimat verbal yang
memotivasi seseorang untuk melakukan suatu perilaku (Peterson, 1994).
Seseorang yang mendapatkan persuasi verbal berupa sugesti dari luar bahwa
dirinya memiliki kemampuan untuk melakukan kegiatan, maka mereka akan lebih
mampu bertahan ketika berada dalam kesulitan. Sebaliknya akan sulit
menanamkan self-efficacy pada seseorang ketika persuasi verbal tidak
mendukung dengan baik. Orang-orang yang memiliki keyakinan bahwa dirinya
kurang mampu melakukan sesuatu maka akan cenderung menghindari potensi
melakukan aktifitas yang ada dan akan lebih cepat menyerah dalam menghadapi
tantang.
d. Phisiological feedback and Emotional Arousal (Umpan balik fisiologi dan
kondisi emosional)
Seseorang sering menunjukkan gejala somatik dan respon emosional dalam
menginterpretasikan sebuah ketidakmampuan. Gejala somatik dan kondisi
emosional berupa kecemasan, ketegangan, aerosal, mood yang dapat
mempengaruhi keyakinan self-efficacy seseorang. Mereka akan terlihat stres dan
tegang sebagai tanda kerentanan terhadap ketidakmampuan melakukan suatu
tindakan. Dalam sebuah kegiatan yang melibatkan kekuatan stamina orang
28
akan mengalami kelelahan, sakit dan nyeri sebagai tanda-tanda kelemahan fisik.
Mood juga akan mempengaruhi keberhasilan seseorang. Mood yang positif
akan meningkatkan keberhasilan seseorang begitupun sebaliknya keputuasaan
akan menyebabkan kegagalan. Orang yang mempunyai keyakinan
keberhasilan yang tinggi akan mempunyai kemauan yang efektif sebagai
fasilitator dalam melakukan kegiatan, dan begitupun sebaliknya seseorang
yang penuh dengan keraguan akan menganggap kemauan yang mereka miliki
sebagai penghambat dalam melakukan kegiatan.
4. Dimensi Self-Efficacy
Menurut Bandura (dalam Muharrini, 2011), yang termasuk ke dalam
dimensi self-efficacy adalah:
a. Level / Magnitude
Yang dimaksud dengan level adalah suatu tingkatan seseorang
dalam meyakini usaha atau tindakan yang dapat individu lakukan.
Individu yakin memiliki kemampuan untuk memahami tugas yang
sulit, yakin mampu mengatasi hambatan saat menghadapi tugas yang sulit,
dan yakin mampu mencapai prestasi yang tinggi.
b. Strength
Yaitu keyakinan akan kemampuan diri untuk bertahan dan berusaha
mencari penyelesaian dalam mengerjakan sesuatu.
29
Individu yakin bahwa pengalaman buruk tidak menghalangi
pencapaian suatu keberhasilan, yakin mampu mengerjakan tugas dalam
berbagai situasi dan kondisi, dan yakin mampu menyelesaikan tugas.
c. Generality
Bagaimana seseorang dapat menggunakan self-efficacy dalam
berbagai situasi yang berbeda.
Individu yakin memiliki kemampuan dalam mengerjakan berbagai
macam tugas.
5. Dampak Self Efficacy Pada Perilaku
Keyakinan self-efficacy berdampak pada perilaku dalam beberapa hal
yang penting menurut Pajares (2002), yaitu:
a. Self-efficacy mempengaruhi pilihan-pilihan yang dibuat dan tindakan yang
dilakukan individu dalam melaksanakan tugas-tugas dimana individu
tersebut merasa berkompeten dan yakin. Keyakinan diri yang
mempengaruhi pilihan-pilihan tersebut akan menentukan pengalaman dan
mengedepankan kesempatan bagi individu untuk mengendalikan
kehidupan.
b. Self-efficacy menentukan seberapa besar usaha yang dilakukan oleh
individu, seberapa lama individu akan bertahan ketika menghadapi
rintangan dan seberapa tabah dalam mengahadapi situasi yang tidak
menguntungkan. Self-efficacy mempengaruhi tingkat stres dan
kegelisahan yang dialami individu ketika sedang melaksanakan tugas dan
30
mempengaruhi tingkat pencapaian prestasi individu.
C. Pensiun
1. Pengertian Pensiun
Pensiun adalah sebuah konsep sosial yang memiliki beragam
pengertian menurut Newman (2006). Sebenarnya pensiun sulit untuk
didefinisikan menurut Cavanaugh(2006). Pensiun tidak hanya sekedar berhenti
bekerja karena usia. Sebagai sebuah istilah, pensiun kurang lebih bermakna
purnabakti, tugas selesai, atau berhenti (Sutarto, 2008).Menurut Floyd, dkk
dalam Newman (2006) pensiun juga mengacu kepada transisi psikologis, suatu
perubahan yang terprediksi dan normatif yang melibatkan persiapan,
pengertian kembali tentang peran dan peran perilaku, serta penyesuaian
psikologis dari seorang pekerja yang dibayar menjadi melakukan aktivitas
yang lain.
31
Kondisi ini mengakibatkan transisi peran dari seorang pekerja menjadi
seorang pensiunan yang tidak bekerja lagi. Masa-masa ini cukup kritis dalam
perjalanan hidup seseorang, dan memengaruhi kesejahteraan hidupnya kelak.
Hal ini berdasarkan hasil penelitian yang diterbitkan oleh Institute of
Economic Affairs (IEA) pada tahun 2013 bahwa masa pensiun dinilai
meningkatkan risiko depresi klinis sebesar 40% dan 60% kemungkinan untuk
menderita secara fisik. Dalam Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Indonesia
tahun 2010, prevalensi masalah mental emosional yakni depresi dan ansietas
adalah sebanyak 11,60% dari jumlah penduduk Indonesia atau sekitar 24 juta
jiwa. Dan hasil Survey World Health Organization Department of Mental
Health and Substance Abuse bahwa depresi merupakan kontributor signifikan
sebagai beban gangguan global yang mempengaruhi banyak orang disemua
kalangan seluruh dunia. Hingga hari ini, tercatat depresi telah mempengaruhi
350 juta orang dan akan semakin meningkat pada tahun 2020.
Dalam era modern seperti sekarang ini, pekerjaan merupakan salah satu
faktor terpenting yang bisa mendatangkan kepuasan (karena uang, jabatan, dan
memperkuat harga diri). Oleh karena itu, sering kali terjadi orang yang pensiun
bukannya bisa menikmati masa tua dengan hidup santai, sebaliknya ada yang
justru mengalami problem serius (kejiwaan ataupun fisik). Individu yang
melihat masa pensiun hanya dari segi finansial kurang bisa beradaptasi dengan
baik dibandingkan dengan mereka yang dapat melihat masa pensiun sebagai
masa dimana manusia beristirahat menikmati hasil jerih payahnya selama ini
dimasa tuanya.
32
Pensiun mengakibatkan hilangnya prestise, tidak mempunyai peran
dalam situasi yang cocok, atau paling tidak di defenisikan secara jelas sebagai
hilangnya posisi sosial dan peranan yang diharapkan agar terkenal. Sekali
seseorang tidak dapat menampilkan peranan jabatannya, pengakuannya
terdahulu atau posisi sosialnya tidak penting lagi dengan demikian berarti
identitas dirinya sudah runtuh. Efek dari goncangan karena pensiun secara
mendadak paling serius setelah pensiun, yaitu pada waktu individu
menyesuaikan diri terhadap perubahan keteraturan dan harus memutuskan
hubungan sosial yang selama ini karyawan yakini menurut Hurlock (2002).
Dengan kata lain masa pensiun mempengaruhi aktivitas seseorang, dari
situasi kerja ke situasi di luar pekerjaan. Sedangkan berdasarkan pandangan
psikologi perkembangan, pensiun dapat dijelaskan sebagai suatu masa transisi
ke pola hidup baru, ataupun merupakan akhir pola hidupnya. Lagi karena
usianya sudah lanjut dan harus diberhentikan menurut Agustina (2008). Masa
pensiun ini dapat menimbulkan masalah karena tidak semua orang siap untuk
menghadapinya. Pensiun akan memutuskan seseorang dari aktivitas rutin yang
telah dilakukan selama bertahun-tahun, selain itu akan memutuskan rantau
sosial yang sudah terbina dengan rekan kerja, dan yang paling vital adalah
menghilangnya identitas diri seseorang yang sudah melekat begitu lama.
Pensiun sering kali dianggap kenyataan yang tidak menyenangkan sehingga
menjelang masanya tiba sebagian orang sudah merasa cemas karena tidak tahu
kehidupan macam apa yang akan dihadapi kelak.
33
2. Jenis-jenis Pensiun
Jenis-jenis Pensiun Masa pensiun dapat dibagi atas 2 bagian besar,
yaitu yang secara sukarela (voluntary) dan yang berdasarkan pada peraturan
(compulsory/mandatory retirement). Ketika Indonesia memasuki masa krisis
moneter, banyak perusahaan goyah sehingga harus menciutkan sejumlah
pegawai dengan diberikan sejumlah 38 imbalan. Kepada karyawan diberikan
kebebasan untuk memilih apakah ia akan tetap bekerja atau mengundurkan
diri. Kondisi seperti ini termasuk pensiun yang dilakukan secara sukarela
Kondisi lain yang termasuk dalam pensiun secara sukarela adalah kondisi
dimana seeseorang ingin melakukan sesuatu yang lebih berarti dalam
kehidupannya dibandingkan dengan pekerjaan sebelumnya dalam Hurlock
(1980). Pensiun yang dijalani berdasarkan aturan dari perusahaan adalah
pensiun yang kerap kali dilakukan oleh satu perusahaan berdasarkan aturan
yang berlaku pada perusahaan tersebut. Dalam hal ini kehendak individu
diabaikan, apakah dia masih sanggup atau masih ingin bekerja kembali.
3. Perubahan-perubahan Akibat Pensiun
Perubahan-perubahan Akibat Pensiun. Menurut Turner dan Helms (dalam
Eliana, 2003) ada beberapa hal yang mengalami perubahan dan menuntut
penyesuaian diri yang baik ketika menghadapi masa pensiun:
a. Masalah Keuangan
Pendapat keluarga akan menurun drastis, hal ini akan
mempengaruhi kegiatan rumah tangga. Masa ini akan lebih sulit jika
34
masih ada anak-anak yang harus dibiayai. Hal ini menimbulkan stres
tersendiri bagi seorang suami karena merasa bahwa perannya sebagai
kepala keluarga tertantang (Walsh, dalam Carter).
b. Berkurangnya harga diri (Self Esteem).
Hurlock (dalam Safitri B., 2013) mengemukakan bahwa harga
diri seorang pria biasanya dipengaruhi oleh pensiunnya mereka dari
pekerjaan. Untuk mempertahankan harga dirinya, harus ada aktivitas
pengganti untuk meraih kembali keberadaan dirinya. Dalam hal ini
berkurangnya harga diri dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti feeling
of belonging (perasaan memiliki), feeling of competence (perasaan
mampu), dan feelling of worthwhile (perasaan berharga). Ketiga hal yang
disebutkan di atas sangat mempengaruhi harga diri seseorang dalam
lingkungan pekerjaan.
c. Berkurangnya kontak sosial yang berorientasi pada pekerjaan.
Kontak dengan orang lain membuat pekerjaan semakin menarik.
Bahkan pekerjaan itu sendiri bisa menjadi reward sosial bagi beberapa
pekerja misalnya seorang sales, resepsionis, customer services yang
meraih kepuasan ketika berbicara dengan pelanggan. Selain dari kontak
sosial, orang juga membutuhkan dukungan dari orang lain berupa
perasaan ingin dinilai, dihargai, dan merasa penting. Sumber dukungan
ini dapat diperoleh dari teman sekerja, atasan, bawahan dsb. Tentunya
ketika memasuki masa pensiun, waktu untuk bertemu dengan rekan
seprofesi menjadi berkurang.
35
d. Hilangnya makna suatu tugas.
Pekerjaan yang dikerjakan seseorang mungkin sangat berarti bagi
dirinya. Dan hal ini tidak bisa dikerjakan saat seeorang itu mulai
memasuki masa pensiun.
e. Hilangnya kelompok referensi yang bisa mempengaruhi self image.
Biasanya seseorang menjadi anggota dari suatu kelompok bisnis
tertentu ketika dia masih aktif bekerja. Tetapi ketika dia menjadi pensiun,
secara langsung keanggotaan pada suatu kelompok akan hilang. Hal ini
akan mempengaruhi seseorang untuk kembali menilai dirinya lagi.
f. Hilangnya rutinitas
Pada waktu bekerja, seseorang bekerja hampir 8 jam kerja. Tidak
semua orang menikmati jam kerja yang panjang seperti ini, tapi tanpa
disadari kegiatan panjang selama ini memberikan sense of purpose,
memberikan rasa aman, dan pengertian bahwa kita ternyata berguna.
menurut Longhurst dalam Michael (2001) Ketika menghadapi masa
pensiun, waktu ini hilang, orang mulai merasakan diri tidak produktif
lagi.
Menurut Longhurst & Michael (2001) individu yang mengalami
kesulitan dalam penyesuaian diri, perubahan yang terjadi pada fase ini akan
menimbulkan gangguan psikologis dan juga gangguan fisiologis. Kondisi
gangguan fisiologis bisa menyebabkan kematian yang lebih cepat atau
premature death. Istilah lain dikemukakan para ahli adalah retirement shock
36
atau retirement syndrome. Sedangkan gangguan psikologis yang diakibatkan
oleh masa pensiun biasanya stres, frustasi dan depresi.
D. Hubungan Self Efficacy dengan Stres menghadapi masa pensiun
Pada kehidupan sehari-hari setiap individu selalu dihadapkan pada
tugas, kewajiban, dan tanggung jawab masing-masing, baik berupa tanggung
jawab pribadi maupun sosial. Dalam menjalankan kewajiban dan tanggung
jawab tersebut sering individu dihadapkan pada situasi dan kondisi yang
penuh dengan konflik dan tekanan. Situasi dan kondisi yang penuh konflik
dan tekanan, baik yang didapat di lingkungan rumah ataupun di kantor akan
membuat individu rentan dengan keadaan stres. Keadaan stres pada karyawan
Masa Persiapan Pensiun (MPP) tentunya akan mempengaruhi tindakannya
ketika berlangsung proses pekerjaan di kantor, yang akan sangat merugikan
karywan Masa Persiapan Pensiun (MPP) itu sendiri. Untuk itu agar dapat
bertahan dalam kondisi sehat, seimbang, dan tidak terganggu dengan tekanan
dan konflik maka seorang karyawan Masa Persiapan Pensiun (MPP) harus
mempunyai suatu daya menghilangkan stres yang tinggi. Individu yang
mempunyai daya meminimalisir stres yang tinggi akan terhindar dari kondisi
tegang yang dapat mempengaruhi emosi, proses berfikir, dan kondisi fisik
walaupun berada dalam kondisi dan situai yang penuh dengan stressor. Pada
dasarnya toleransi terhadap stres pada setiap orang berbeda. Hal ini karena
persepsi setiap individu terhadap peristiwa atau kejadian di sekitarnya
berbeda, sehingga akan menimbulkan reaksi berbeda pula. Maramis (1980)
37
menyebutkan sebagai perbedaan proses kognitif, yang mana hal ini
menyebabkansuatu peristiwa yang dianggap stressor bagi individu belum
tentu merupakan stressor bagi yang lain.
Self efficacy adalah salah satu proses mental yang mana sangat
dimungkinkan terkait dengan toleransi terhadap stres. Terbentuknya self
efficacy tersebut banyak dipengaruhi oleh proses kognitif pada diri individu
dalam menghadapi kesulitan hidup atau kondisi ketertekanan yang dialami.
Bandura (1997) menjelaskan self efficacy adalah keyakinan tentang sejauh
mana individu memperkirakan kemampuan dirinya dalam melaksanakan
suatu tugas atau tindakan tertentu. Self-efficacy mempunyai peranan dalam
pengendalian reaksi terhadap tekanan, dimana keyakinan akan kemampuan
yang dimilikinya akan menentukan apakah individu akan mencoba mengatasi
situasi yang sulit atau tidak. Individu yang memiliki self-efficacy yang tinggi
akan melakukan usaha yang lebih keras untuk mengatasi semua kesulitan,
individu akan berusaha menggerakkan seluruh kemampuan sumber daya
kognitif, motivasi, dan menentukan atau merencanakan tindakan apa yang
dibutuhkan untuk mencapai situasi yang diinginkan.
Self efficacy pada karyawan membantu mereka dalam mengatasi
berbagai keadaan sulit akibat dari berbagai tuntutan dari dalam diri dan
lingkungannya, dengan self efficacy memungkinkan karyawan MPP mampu
beradaptasi dengan kondisi sulit yang dialaminya sehinga tidak mudah
tertekan dan semakin membentuk stres.
38
E. Hipotesis
Berdasarkan landasan teori dan latar belakang yang dikemukakan
diatas dapat ditarik hipotesis penelitian sebagai berikut: ada hubungan negatif
antara self-efficacy dengan stres menghadapi masa pensiun. Artinya semakin
tinggi self-efficay yang dimiliki subyek maka akan semakin rendah stres yang
dialami saat menghadapi masa pensiun. Sebaliknya semakin rendah
self-efficacy yang dimilki subyek maka akan semakin tinggi tingkat stres yang
dialami saat menghadapi masa pensiun.
Recommended