View
215
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Keawetan Kayu
Keawetan kayu adalah daya tahan kayu terhadap gangguan organisme
perusak kayu secara biologis (rayap, jamur, dan cacing laut) (Darmawan et al.
2011). Sedangkan keawetan alami kayu adalah tingkat ketahanan kayu secara
alamiah dari unsur-unsur biotik dan abiotik perusak kayu. Keawetan alami kayu
disebabkan oleh adanya suatu zat kimia di dalam kayu (zat ekstraktif) yang
merupakan unsur beracun bagi faktor perusak kayu. Umumnya semakin tinggi
kandungan ekstraktif dalam kayu, maka keawetan alami kayu cenderung
meningkat (Wistara et al. 2002). Keawetan kayu selain dipengaruhi faktor
kandungan zat ekstraktif, juga dipengaruhi faktor lain seperti, umur pohon, bagian
kayu dalam batang, kecepatan tumbuh dan tempat kayu tersebut dipergunakan
(Pandit & Kurniawan 2008).
Keawetan kayu menjadi faktor utama penentu penggunaan kayu,
bagaimanapun kuatnya suatu jenis kayu, penggunaannya tidak akan berarti bila
kayu tersebut mempunyai tingkat keawetan yang rendah. Meskipun suatu jenis
kayu memiliki kelas kuat yang tinggi, umur pakainya akan tetap rendah jika kelas
awetnya rendah. Indonesia mempunyai 3.233 jenis kayu, dan 3.132 jenis di
antaranya telah diklasifikasikan keawetannya. Diketahui hanya sebagian kecil saja
yang mempunyai keawetan tinggi, yaitu 14,3% termasuk kelas awet I-II, sisanya,
yaitu 85,7% termasuk kelas awet III, IV, dan V (Martawijaya 1996). Oleh karena
itu perlu dilakukan perlakuan pengawetan terhadap kayu agar kayu menjadi lebih
tahan terhadap faktor perusak kayu.
Pengawetan kayu merupakan proses memasukkan bahan kimia yang
bersifat racun bagi organisme perusak ke dalam kayu untuk meningkatkan umur
pakai kayu (Darmawan et al. 2011). Pengawetan kayu pada dasarnya merupakan
tindakan pencegahan (preventive) yang berperan untuk meminimalkan atau
meniadakan kemungkinan terjadi cacat yang disebabkan organisme perusak kayu,
bukan pengobatan (curative) yang diilakukan dalam rangka pengendalian mutu
atau kualitas (Barly & Subarudi 2010). Terdapat empat faktor utama yang
5
mempengaruhi hasil pengawetan kayu (Hunt & Garrat 1986), yaitu jenis kayu
(struktur anatomi, permeabilitas, kerapatan), kondisi kayu saat dilakukan
pengawetan (kadar air, bentuk kayu, komposisi kayu gubal dan teras), metode
pengawetan yang digunakan, dan sifat bahan pengawet yang dipakai.
Tabel 1 Keawetan alami dan keterawetan beberapa jenis kayu rakyat KabupatenBogor
No. Jenis Kayu Kelas Awet Keterawetan1 Agathis (Agathis sp) IV Sedang
2 Akasia (Acacia auriculiformis) III – IV Sukar
3 Balsa (Ochroma bicolor) V Mudah
4 Durian (Durio sp) IV – V Sukar
5 Gmelina (Gmelina arborea) IV – V Sukar
6 Jabon (Anthocephalus cadamba) V Sedang
7 Jati (Tectona grandis) II Sedang
8 Jengkol (Pithecelobium jiringa) IV Sedang
9 Jeungjing (Paraserianthes falcataria) IV – V Sedang
10 Kapuk (Ceiba pentandra) IV – V Sedang
11 Karet (Hevea brasiliensis) IV – V Sedang
12 Kecapi (Sandoricum koetjape) IV Sedang
13 Kelapa (Cocos nucifera) IV Mudah
14 Kemiri (Aleurites moluccana) V Mudah
15 Kenari (Canarium odoratum) III Mudah
16 Lamtoro (Leucaena leucocephala) V Sedang
17 Leda (Eucalyptus deglupta) IV Sukar
18 Mangium (Acacia mangium) III Sukar
19 Manii (Maesopsis eminii) IV Sedang
20 Menteng (Baccauera racemosa) IV Mudah
21 Mindi (Melia azedarach) IV – V Sukar
22 Nangka (Artocarpus integra) II Sangat Sukar
23 Petai (Parkia speciosa) IV Mudah
24 Puspa(Schima walichii) III Mudah
25 Tusam (Pinus merkusii) IV Mudah
Sumber: Wahyudi et al. (2007)
Salah satu sifat kayu yang terkait dengan proses pengawetan adalah
keterawetan (treatability). Keterawetan merupakan suatu sifat mudah tidaknya
kayu ditembus oleh bahan pengawet kayu. Kayu yang mempunyai derajat
6
keterawetan tinggi berarti kayu itu mudah diawetkan meskipun dengan metode
sederhana atau pengawetan tanpa tekan. Sebaliknya, kayu yang mempunyai
keterawetan rendah, maka kayu tersebut sangat sukar untuk diawetkan dengan
proses pengawetan sederhana. Setiap jenis kayu mempunyai struktur anatomi dan
kerapatan yang berbeda, sehingga akan mempengaruhi keterawetannya. Pada
Tabel 1 dapat dilihat kelas awet dan tingkat keterawetan dari beberapa jenis kayu
hutan rakyat dari Kabupaten Bogor.
Bahan pengawet kayu adalah unsur atau senyawa kimia beracun yang
apabila dimasukkan ke dalam kayu dapat melindungi kayu dari gangguan /
serangan organisme perusak kayu seperti jamur (fungi), serangga, dan cacing laut
(marine borrer) (Darmawan et al. 2011). Tingat keefektifan bahan pengawet
tergantung pada (i) daya racun, (ii) kelarutan dalam tubuh serangga baik sebagian
atau seluruhnya, (iii) rekasi bahan pengawet terhadap kayu atau tubuh organisme
perusak kayu, dan (iv) sifat lain yang dapat mencegah kerusakan kayu (mencegah
perkembangan organisme perusak kayu tanpa membunuhnya).
Sifat-sifat bahan pengawet yang baik adalah:
a. Berdaya racun tinggi terhadap faktor perusak kayu.
b. Memiliki daya penetrasi tinggi dan tidak mudah menguap atau tercuci.
c. Bahan kimia yang dipakai harus merupakan persenyawaan yang mantap
dan tidak kehilangan daya racunnya.
d. Tidak membahayakan manusia dan hewan peliharaan.
e. Tidak boleh bereaksi dengan bahan yang diawetkannya.
f. Tidak menyebabkan pengembangan kayu.
g. Tidak meningkatkan daya bakar kayu.
Secara umum bahan pengawet kayu dapat dikelompokan menjadi 3 (tiga),
yaitu (i) bahan pengawet berupa minyak, (ii) bahan pengawet larut minyak, dan
(iii) bahan pengawet larut air. Bahan pengawet yang digunakan dalam penelitian
ini yaitu boraks termasuk dalam kategori bahan pengawet yang larut air (ATSDR
2010), begitu juga dengan amonia yang mempunyai sifat larut air (ATSDR 2004).
Secara umum sifat positif bahan pengawet yang larut air adalah sebagai berikut
(Darmawan et al. 2011):
7
a. Dapat diangkut dalam bentuk kristal atau dalam konsentrat tertentu ke
tempat penggunaannya, sehingga pengangkutan lebih mudah.
b. Formulasainya dapat diatur agar bersifat racun terhadap berbagai
serangga dan atau terhadap cendawan.
c. Kayu awetan tetap bersih dan dapat dicat.
d. Pada umumnya tidak berbau.
e. Tidak meningkatkan sifat bakar kayu dan dapat dikombinasikan dengan
bahan penghambat api.
Namun terdapat beberapa kekurangan ketika memakai bahan pengawet
larut air yaitu pada umumnya mudah tercuci (luntur) atau menguap apabila
kondisi lingkungan sekitar terlalu lembap atau terlalu panas. Kekurangan lainnya
adalah bahan pengawet larut air dapat menyebabkan kayu mengembang setelah
diawetkan.
2.2 Metode Pengawetan
2.2.1 Fumigasi berbahan aktif amonia
Fumigasi adalah suatu metode pengendalian terhadap faktor perusak
dengan cara melepaskan gas beracun (fumigan) pada ruang kedap udara pada
waktu, temperatur, dan konsentrasi yang telah ditentukan. Teknik fumigasi ini
memiliki tingkat penetrasi yang tinggi dan mampu membunuh semua stadia
kehidupan hama tanpa mengotori bahan yang difumigasi (Hendrawan 2007).
Fumigan yang menguap akan masuk ke dalam kayu melalui pori-pori sehingga
mengisi celah-celah di dalam sel kayu. fumigan yang digunakan adalah zat yang
pada temperatur dan tekanan tertentu dapat berubah menjadi gas dan dalam
konsentrasi serta waktu tertentu dapat membunuh hama / faktor perusak. Fumigan
yang ideal memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Memiliki tingkat racun yang tinggi terhadap hama yang menjadi target.
2. Toksisitas yang rendah terhadap tumbuhan, manusia dan organisme lain
yang bukan menjadi sasaran.
3. Tersedia di pasaran dan hemat dalam penggunaan.
4. Tidak memberikan bahaya kepada komoditas.
8
5. Tidak terbakar, tidak merusak, dan tidak meledak dalam keadaan
penggunaan normal.
6. Mudah menguap dengan penetrasi yang baik.
7. Tidak berakibat buruk terhadap lingkungan.
Amonia sebagai alternatif fumigan, merupakan senyawa kimia dengan
rumus kimia NH3 yang biasa didapati berbentuk gas dengan bau tajam yang khas.
Amonia memiliki titik didih pada suhu (-33°C) dan titik leleh (-77,7°C), sehingga
cairan amonia harus disimpan dalam suhu yang sangat rendah atau dalam tekanan
yang tinggi. Pada suhu dan tekanan normal, amonia adalah gas yang tidak
mempunyai warna dan lebih ringan daripada udara (0,589 kepadatan udara).
Amonia memiliki berat molekul 17,03, tekanan uap 400 mmHg (-45.4°C),
kelarutan dalam air 31g/100g (25°C), berat jenis 0,682 (-33,4°C), berat jenis uap
0,6 dan memilik suhu kritis 133°C. Amonia dapat diubah menjadi nitrit dan nitrat,
oleh bakteri yang terdapat dalam tanah sehingga amonia bertindak sebagai
penyubur tanah. Amonia juga dimanfaatkan dalam pembuatan pupuk urea,
sebagai bahan peledak, dan digunakan pula dalam bidang farmasi (Harwood et al.
2007). Sifat fisik amonia adalah gas tidak berwarna, berbau khas, bersifat iritan
dan mudah larut dalam air.
Berdasarkan beberapa hasil penelitian, diperoleh hasil bahwa fumigasi
amonia dapat berfungsi ganda sebagai pengawetan kayu. Azhim (2011) dan
Nurmawan (2011) menyatakan bahwa fumigasi dengan menggunakan amonia
berpengaruh secara nyata terhadap persentase mortalitas rayap tanah. Bahkan
perlakuan fumigasi amonia menghasilkan nilai persentase mortalitas yang lebih
besar dibandingkan kontrol. Berdasarkan penelitian Taqiyudin (2011), fumigasi
amonia meninggalkan residu pada contoh uji. Pengujian kayu hasil fumigasi
(setelah 24 jam diberi perlakuan fumigasi) menghasilkan nilai persentase
mortalitas rayap hingga 100% pada semua jenis kayu dan pada setiap taraf
perlakuan jarak serta volume amonia.
2.2.2 Rendaman dingin berbahan aktif boron
Metode rendaman dingin merupakan salah satu cara untuk mengawetkan
kayu dengan bahan pengawet yang larut dengan air. Prosesnya relatif sederhana
9
yaitu dengan merendam kayu yang akan diawetkan dengan campuran bahan
pengawet dan air. Perendaman dilakukan pada kisaran suhu 10°C - 25°C atau
dalam ruangan ber AC selama beberapa hari atau beberapa minggu. Menurut
Barly (1988) absorpsi bahan pengawet akan berlangsung cepat pada waktu 2 (dua)
sampai 3 (tiga) hari pertama rendaman yang kemudian akan berlangsung secara
lambat setelah hari-hari berikutnya. Makin lama kayu terendam dalam bahan
pengawet semakin besar penetrasi yang diperoleh sehingga hasilnya akan sama
dengan yang diperoleh dengan metode tekanan.
Cara ini sangat cocok untuk mengawetkan kayu yang memiliki kelas
keterawetan mudah dan sedikit sukar diawetkan dengan cara tekanan. Lama waktu
perendaman bergantung kepada jenis kayu dan ukuran tebal sortimen atau
perendaman dihentikan apabila berat contoh uji sebelum dan sesudah diawetkan
telah menunjukkan nilai retensi yang dikehendaki. Tingkat keefektifan tergantung
pada jenis bahan pengawet, karakteristik kayu (struktur anatomi, kerapatan, kadar
air, dan kekasaran permukaan), serta lamanya perendaman. Menurut Dumanauw
(2001) ada beberapa kelebihan metode perendaman yaitu pada umumnya
penetrasi dan retensi bahan pengawet lebih tinggi, kayu dalam jumlah banyak
dapat diawetkan, dan larutan dapat digunakan berulang kali (dengan menambah
konsentrasi bila berkurang).
Boraks (borax) merupakan suatu senyawa garam natrium dengan nama
kimia natrium tetrabonat (Na2B4O7.10H2O) yang berbentuk kristal, warna putih,
tidak berbau, larut dalam air dan stabil pada suhu dan tekanan normal. Boraks
merupakan nama dagang dari senyawa boron. Larutan boraks sangat bersifat basa
dengan pH antara 9 dan 10 (pH 7 adalah netral). Daya pengawet yang kuat dari
boraks berasal dari kandungan asam borat didalamnya. Boraks banyak digunakan
dalam berbagai industri non pangan khususnya industri kertas, gelas, pengawetan
kayu, dan keramik. Boraks dipilih sebagai bahan pengawet kayu karena
mempunyai toksisitas yang rendah (Yamauchi et al. 2007). Bahan pengawet ini
mempunyai sifat racun terhadap jamur dan serangga perusak kayu, tidak korosif
terhadap logam, tidak berbau dan tidak menimbulkan warna, serta relatif aman
bagi manusia dan hewan peliharaan (Singer & German 1962).
10
2.3 Uji Efikasi dengan Graveyard Test
Graveyard test (uji kubur) adalah pengujian ketahanan kayu terhadap
organisme perusak yang dilakukan dengan menanam kayu ke dalam tanah selama
periode waktu tertentu. Uji kubur dilakukan untuk mengetahui tingkat keawetan
kayu pada kondisi lingkungan yang sebenarnya. Kelebihan dari uji kubur adalah
dapat mengetahui kerusakan kayu yang terjadi akibat akumulasi dari semua faktor
perusak kayu (biotik dan abiotik). Namun terdapat kelemahan dari uji kubur yaitu
diperlukan waktu pengujian yang cukup lama (± 3 bulan) sehingga menyulitkan
pengamatan, lapangan pengujian harus selalu di kontrol agar tidak menjadi semak
belukar, dan sulit untuk menganalisis kerusakan kayu yang ditimbulkan oleh salah
satu faktor perusak.
Pada penelitian ini uji kubur dilakukan di dua tempat yaitu di perkebunan
kelapa sawit dan industri pengerjaan kayu. Perkebunan kelapa sawit dipilih
mewakili daerah dengan serangan intensitas tinggi namun oleh faktor perusak
yang terbatas. Perkebunan kelapa sawit yang dipilih berada di PTPN VIII
Cikasungka, Bogor. Menurut Arinana et al. (2012), rayap yang menyerang
tanaman kelapa sawit di PTPN VIII unit Cikasungka adalah rayap jenis
Macrotermes gilvus, Coptotermes curvignathus, Nasutitermes javanicus, dan
Capritermes mohri. Persentase serangan didominasi oleh rayap jenis M. gilvus
dengan 86,67%, diikuti rayap C. curvignathus dengan 6,67%, rayap N. javanicus
dengan 4,44%, dan yang paling sedikit adalah rayap jenis C. mohri dengan 2,22%.
Penelitian juga dilakukan di industri pengerjaan kayu mewakili daerah yang
mempunyai potensi tinggi terhadap serangan rayap tanah akibat adanya tumpukan
kayu baik yang berupa limbah maupun bahan baku pengerjaan kayu. Dalam
penelitian ini juga akan diidentifikasi jenis-jenis rayap yang menyerang kayu di
lokasi industri pengerjaan kayu PD Wijaya Kayu, Cibanteng, Bogor.
2.4 Faktor Perusak Kayu
Faktor perusak kayu adalah segala jenis faktor biotik maupun abiotik yang
dapat menurunkan kualitas ataupun kekuatan kayu. Secara umum faktor perusak
kayu dapat dikelompokan menjadi faktor abiotik dan biotik.
11
2.4.1 Faktor Abiotik
Faktor perusak kayu abiotik adalah faktor yang disebabkan oleh unsur
alam yang tidak ada campur tangan dari makhluk hidup. Faktor abiotik secara
umum dapat dibedakan menjadi faktor iklim, faktor mekanis, dan faktor kimia.
Namun pada graveyard test faktor abiotik yang paling berpengaruh adalah faktor
iklim. Faktor iklim merupakan salah satu faktor alam yang tidak dapat di kontrol
yang dapat mempengaruhi kualitas kayu sehingga umur pakainya menjadi
singkat. Faktor iklim terdiri dari suhu, kelembaban udara, panas matahari, api,
udara, dan air (Muin et al. 2010) Kerusakan yang terjadi akibat faktor ini
biasanya berupa perubahan dari dimensi kayu. Faktor iklim juga dapat menjadi
katalis bagi timbulnya faktor biotik, seperti contohnya kadar air yang meningkat
pada kayu akibat faktor air akan mengundang jamur untuk tumbuh dan merusak
kayu.
2.4.2 Faktor Biotik
Faktor biotik merupakan faktor penyebab kerusakan kayu terbesar
dibandingkan faktor lainnya. Faktor biotik perusak kayu yang menyebabkan
kerusakan terbesar pada uji kubur pada umumnya adalah rayap. Rayap merusak
kayu karena mereka menjadikan kayu sebagai tempat tinggal dan sumber
makanannya.
Secara biologi, rayap memiliki kesamaan dengan semut yaitu sama-sama
ada dalam kelas Insekta dengan cirinya adalah memiliki tagmata (pembagian)
tubuh menjadi kepala, thoraks, dan abdomen. Serangga sosial ini kemudian
terpisah menjadi ordo sendiri yaitu Isoptera (berdasarkan morfologi), dan
sekarang sebagian peneliti merevisi tingkat takson tersebut karena adanya mutasi
DNA rayap sehingga dimasukkan ke dalam Ordo Blatodea (Inward et al. 2007).
Rayap hidup di daerah yang bersuhu agak hangat dengan kelembaban 60-70%
(Nandika et al. 2003). Hingga saat ini di dunia terdapat lebih dari 2300 spesies
rayap yang dapat diidentifikasi. Sekitar 15% dari keragaman spesies rayap
tersebut berada pada tata ruang yang dikelola oleh manusia, dan sekitar 150
spesies diketahui menyerang struktur berbahan baku kayu. Sekitar 10% atau 200
spesies ditemukan di Indonesia, dan sekitar 20 spesies berperan sebagai hama
12
perusak kayu dan tanaman (Tarumingkeng 2001). Famili rayap yang banyak
ditemukan di kawasan Asia Tenggara (kawasan oriental) khususnya Indonesia
adalah Rhinotermitidae, Kalotermitidae, dan Termitidae.
Rayap memiliki tubuh yang lunak, berwarna terang, dan hidup berkoloni.
Dalam setiap koloni terdapat dua kasta menurut fungsinya masing-masing, yaitu
kasta non reproduktif (pekerja dan prajurit) dan kasta reproduktif (reproduktif
primer dan reproduktif sekunder). Kasta reproduktif terdiri dari sepasang ratu dan
raja yang bertugas untuk menghasilkan telur (Triplehorn & Johnson 2005). Ratu
dapat hidup selama 6 – 20 tahun bahkan berpuluh-puluh tahun. Apabila
reproduktif mati atau koloni membutuhkan penambahan reproduktif baru untuk
perluasan koloninya maka dibentuk reproduktif sekunder (neotenic).
Rayap kasta non reproduktif (steril) terdiri dari kasta prajurit dan kasta
pekerja yang umumnya terdiri dari individu-individu jantan dan betina, tidak
bersayap, pada kebanyakan spesies umumnya buta. Rayap kasta pekerja
merupakan individu terbanyak dalam koloni rayap. Satu koloni rayap dapat terdiri
dari ratusan sampai dengan jutaan individu rayap pekerja. Fungsi kasta ini adalah
mencari makan, merawat telur, serta membuat dan memelihara sarang. Selain itu,
juga mengatur aktivitas dari koloni dengan jalan membunuh dan memakan
individu-individu yang lemah atau mati untuk menghemat energi dalam
koloninya. Kasta prajurit memiliki ciri warna tubuh lebih pucat dan lunak karena
kurang tersklerotisasi. Kasta prajurit mudah dikenali karena bentuk kepalanya
yang besar dengan sklerotisasi yang nyata. Anggota-anggota dari kasta ini
mempunyai mandible atau rostrum yang besar dan kuat. Fungsi kasta prajurit
adalah melindungi koloni terhadap gangguan dari luar (Muin et al. 2010).
Selain mempunyai kasta dalam koloninya, rayap juga mempunyai sifat
yang berbeda dengan serangga pada umumnya, Menurut Nandika et al. (2003),
rayap memiliki sifat-sifat cryptobiotik, thropalaxis, kanibalistik, dan neurophagy.
Cryptobiotik merupakan sifat rayap yang tidak tahan terhadap cahaya.
Thropalaxis merupakan perilaku rayap yang saling menjilati dan tukar menukar
makanan antar individu. Kanibalistik merupakan perilaku rayap untuk memakan
individu lain yang sakit atau lemas. Sedangkan neurophagy merupakan perilaku
rayap yang memakan bangkai individu lainnya.
13
Harris 1971 mengatakan bahwa rayap tanah termasuk serangga sosial yang
senang berkelompok dan membentuk koloni dalam jumlah sangat besar. Mereka
umumnya tinggal di bawah permukaan tanah dan merusak struktur bangunan
tanpa terdeteksi melalui jalan tersembunyi yang hampir tidak terlihat di fondasi
dinding atau lantai. Golongan rayap ini meliputi anggota Family Rhinotermitidae
(Coptotermes, Reticulitermes, Schedorhinotermes), Family Mastotermitidae
(Mastotermes darwinensis), dan sebagian dari Family Termitidae (Macrotermes,
Microtermes, Nasutitermes).
2.5 Sifat Beberapa Jenis Kayu Rakyat
2.5.1 Petai (Parkia speciosa)
Petai (Parkia speciosa) merupakan pohon tahunan tropika dari suku polong-
polongan (Fabaceae), anak-suku petai-petaian (Mimosoidae). Tumbuhan ini
tersebar luas di Nusantara bagian barat. Petai tumbuh baik di hutan hujan dataran
rendah dan kadang-kadang juga di hutan sekunder dataran tinggi, tanah lempung
berpasir dan podsolik. Tumbuh baik pada ketinggian 600 - 900 mdpl dengan
curah hujan 1200 - 3600 mm/tahun dan musim kering sampai 4 bulan (Joker
2002). Tanaman petai menyukai jenis tanah liat dan kadang ditemukan pada tanah
yang tergenang air. Kayu petai digunakan secara lokal untuk kontruksi ringan,
pertukangan, furnitur dan pembuatan lemari, cetakan, interior, kelongsong,
penyangga beton, kotak dan peti, korek api, sandal bakiak dan sumpit.
Pohon petai dapat mencapai tinggi 20 meter, mempunyai sedikit cabang,
daun majemuk, dan tersusun sejajar. Kayu petai biasanya ringan dan kadang keras
menengah-berat dengan kepadatan 350 – 810 kg/m3. Kayu petai memiliki berat
jenis minimum sebesar 0,35 dan maksimum sebesar 0,53 dengan rata-rata sebesar
0,45 serta termasuk ke dalam kelas awet V dan kelas kuat III – V (Oey 1990).
2.5.2 Karet (Hevea brasiliensis)
Kayu karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg) termasuk tumbuhan dalam
famili Euphorbiaceae. Secara alami pohon ini memiliki daerah persebaran dari
Brasil hingga Venezuela, dan dari Kolombia hingga Peru dan Bolivia. Dibawa ke
Indonesia pada tahun 1876, dan saat ini pohon karet telah ditanam di berbagai
14
wilayah di Indonesia baik dalam bentuk hutan rakyat, perkebunan swasta maupun
perkebunan negara (Damayanti 2006). Tanaman karet termasuk tanaman tahunan
yang dapat tumbuh sampai umur 30 tahun. Habitus tanaman ini merupakan pohon
dengan tinggi tanaman dapat mencapai 15 – 20 meter.
Karet memiliki jari-jari agak sempit (30-50 μ), jarang sampai agak lebar
(50-100 μ), dan tingginya sekitar 1,8 mm. Pembuluhnya bersifat baur, soliter dan
berganda radial yang terdiri atas 2-4 pori (terkadang mencapai 5-8 pori) dengan
diameter agak kecil (100-200 μ) sampai agak besar (200-300 μ), dan jumlah pori
sekitar 3-4/mm2. Kayu karet mempunyai ciri fisis dan mekanis yaitu kerapatan
0,61 (0,55-0,70), termasuk dalm kelas awet V, kelas kuat II-III, dengan
keterawetan sedang (Pandit & Kurniawan 2008). Kayu dapat bertahan hingga 2
tahun untuk yang kontak langsung dengan tanah. Kayu karet mudah diserang oleh
jamur dan penggerek, sehingga harus diawetkan sebelum digunakan. Kayu ini
mudah diawetkan dengan teknik perendaman maupun vakum tekan (Damayanti
2006).
2.5.3 Sengon (Paraserianthes falcataria)
Kayu Sengon (Falcataria moluccana) termasuk tumbuhan dalam Famili
Fabaceae. Sengon tumbuh baik pada daerah bercurah hujan 1500 - 4500 mm/th
dengan ketinggian tempat 0 - 1200 m dpl. Pada tanah yang kurang subur pun jenis
ini masih dapat tumbuh dengan baik. Jenis ini menghendaki iklim basah sampai
agak kering, pada dataran rendah hingga ke pegunungan sampai ketinggian 1500
m dari permukaan laut, dengan ketinggian optimum 0–800 m dari permukaan laut
(Siregar et al. 2010). Sengon tumbuh pada suhu sekitar 20°C–33°C dengan
kelembaban sekitar 50–75%. Sengon dapat dipanen pada umur yang relatif
singkat, yaitu 5–7 tahun setelah di tanam.
Tinggi pohon sengon dapat mencapai 40 m dan diameter bisa mencapai 100
cm. Sifat Kayunya lunak, sangat ringan, dan mudah menyerap bahan pengawet.
Menurut sifat anatominya, sengon mempunyai pori berbentuk oval, tersebar, dan
jumlahnya 4-7 mm2. Kayu sengon mempunyai berat jenis rata-rata 0,33 (0,24–
0,49), dan tergolong dalam kelas kuat IV-V dan kelas awet IV-V (Pandit &
Kurniawan 2008). Daya tahan sengon terhadap rayap kayu kering termasuk kelas
15
III, sedangkan terhadap jamur pelapuk kayu termasuk kelas II-IV. Tingkat
ketahanan kayu Sengon termasuk kelas awet IV-V pada uji lapang. (Martawijaya
et al. 2005). Kayu sengon mengandung selulosa tinggi, lignin rendah, pentosan
rendah dan ekstraktif tinggi. Persentase lignin rendah menunjukkan kayu tidak
terlalu kuat dan tidak terlalu kaku. Persentase pentosan yang rendah akan
mengurangi kekuatan kayu karena selain sebagai cadangan makanan bagi sel,
pentosan juga berfungsi sebagai penguat dinding sel kayu (Atmosuseno 1998).
2.5.4 Manii (Maesopsis eminii)
Kayu manii (Maesopsis eminii) adalah salah satu jenis tanaman yang
banyak di tanam di hutan rakyat dari famili Rhamnaceae. Pada sebaran alami,
jenis ini tumbuh di dataran rendah sampai hutan sub pegunungan sampai
ketinggian 1800 mdpl. Pohon manii biasanya ditanam di dataran rendah dan
tumbuh baik pada ketinggian 600 - 900 mdpl. Tumbuh baik pada daerah dengan
curah hujan 1200 - 3600 mm/tahun dengan musim kering sampai 4 bulan. Pohon
meranggas, tinggi mencapai 45 m dengan bebas cabang 2/3 tinggi total (Joker
2002).
Kayu manii merupakan jenis pohon cepat tumbuh dan berkekuatan sedang
sampai kuat, biasa digunakan untuk pembuatan konstruksi, kotak, dan tiang. Kayu
ini memiliki kadar selulosa 47,19%, kadar lignin 20,45%, kadar abu 0,28-1,94%,
dan kelarutan ekstraktif dalam air panas 2,75%. Menurut Martawijaya et al.
(2005), kayu manii mempunyai kerapatan 0,4 dengan sifat mekanis dan fisis dari
kayu manii tergolong ke dalam kelas kuat III, dan kelas awet III-IV.
2.5.5 Pinus (Pinus merkusii)
Pinus atau sering disebut tusam merupakan salah satu jenis pohon industri
yang mempunyai nilai produksi tinggi dan merupakan salah satu prioritas jenis
untuk reboisasi terutama di luar pulau Jawa. Tumbuh pada ketinggian 30 - 1800 m
dpl, pada berbagai tipe tanah dan iklim (Hidayat & Hansen 2001). Kayu tusam
dapat dipergunakan untuk bangunan perumahan, lantai, mebel, kotak dan tangkai
korek api, pensil (dengan pengolahan khusus), pulp, tiang listrik (diawetkan),
papan wol kayu dan kayu lapis (Damayanti 2006). Jenis ini tergolong jenis cepat
16
tumbuh dan tidak membutuhkan persyaratan khusus. Keistimewaan jenis ini
antara lain merupakan satu-satunya jenis pinus yang menyebar secara alami ke
selatan khatulistiwa sampai melewati 20 LS (Harahap 1995).
Tinggi pohon pinus dapat mencapai 20-40 m, dengan diameter 100 cm dan
batang bebas cabang 2-23 m. Pinus tidak berbanir, kulit luar kasar berwarna
coklat kelabu sampai coklat tua, tidak mengelupas dan beralur lebar serta dalam.
Kayu pinus berwarna coklat-kuning muda, berat jenis rata-rata 0,55, termasuk
kelas kuat III dan kelas awet IV (Pandit & Kurniawan 2008), serta mempunyai
kelas keterawetan mudah (Damayanti 2006). Sjostrom (1981) menambahkan
bahwa kayu teras pada pinus mengandung ekstraktif yang khas jauh lebih banyak
daripada kayu gubal. Senyawa fenol yang terkandung mempunyai sifat-sifat
fungisida dan melindungi kayu terhadap serangan mikrobiologi. Kandungan zat
ekstraktif ini berguna untuk melindungi kayu dari kerusakan secara mikrobiologi
atau serangan serangga. Zat ektraktif pada kayu pinus juga ada yang bersifat
attractant terhadap organisme perusak kayu. Sehingga kayu ini banyak digunakan
sebagai kontrol pada berbagai penelitian karena dapat menarik organisme ke
tempat pengujian kayu di lapangan.
Recommended