View
4
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
17
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum
1. Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum
Pengadaan tanah adalah Istilah yang telah dikenal sejak diterbitkannya
Pengadaan Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah
Bagi Pelaksanaan pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang selanjutnya
disebut dengan Keppres No. 55 Tahun 1993. Istilah pengadaan tanah ini kemudian
dipakai untuk peraturan perundang-undangan setelahnya sebagai pengganti dari
sistem pembebasan tanah yang digunakan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 15 Tahun 1975 yang selanjutnya disebut PMDN No. 15 Tahun 1975 yang
mengatur tentang pembebasan hak atas tanah sebelumnya. Istilah pembebasan hak
atas tanah dalam PMDN No. 15 Tahun 1975 mendapat tanggapan negatif oleh
masyarakat dan pegiat hukum pertanahan [hukum agraria] sehubungan dengan
banyaknya permasalahan yang ditimbulkan dalam pelaksanaannya, sekaligus
bermaksud untuk menampung aspirasi berbagai kalangan dalam masyarakat
sebagai reaksi terhadap dampak negatif dari pembebasan tanah yang terjadi.9
Oleh karena Keppres No. 55 Tahun 1993 banyak menimbulkan
permasalahan di masyarakat, kemudian oleh Pemerintah diterbitkan peraturan
pengganti yaitu Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 yang selanjutnya
9 Maria SW Sumarjono, Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan Implementasi, Jakarta, Buku
Kompas, 2001, hlm. 72. Lihat juga : Muhammad Yamin Lubis dan Abdul Rahi,, Pencabutan hak,
pembebasan Hak dan Pengadaan Tanah, Bandung: Mandar Maju, hlm. 53.
18
disebut Perpres No. 36 Tahun 2005 yang kemudian diubah dengan Peraturan
Presiden Nomor 65 Tahun 2006 yang selanjutnya disebut Perpres No. 65 Tahun
2006 disertakan juga aturan pelaksanaannya ialah Peraturan Kelapa Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2007 yang selanjutnya
disebut Peraturan Kepala BPN No. 3 Tahun 2007. Dalam Pasal 74 Peraturan
Kepala BPN No. 3 Tahun 2007 menyatakan bahwa Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1994 dinyatakan
tidak berlaku dengan berlakunya Peraturan Badan Pertanahan No. 3 Tahun
2007.10
Menurut UU No. 2 Tahun 2012 untuk menjamin terselenggaranya
pembangunan untuk kepentingan umum diperlukan tanah yang pengadaannya
dilaksanakan dengan mengedapankan prinsip “kemanusiaan, demokratis, dan
adil.” Menurut Umar Said Sugiharto dalam pelaksanannya, pengadaan tanah
tersebut harus mempertimbangkan berbagai hal yakni :
a) Peran tanah dalam kehidupan manusia;
b) Prinsip penghormatan terhadap hak-hak yang sah atas tanah;
c) Prinsip kepastian hukum;
d) Pelaksanaannya dengan cara cepat dan transparan;
e) Berdasarkan prinsip “kemanusiaan, demokratis dan
keadilan”.
f) Berdasarkan prinsip “musyawarah langsung” dengan
pemegang hak atas tanah.11
10 Umar Said Sugiharto dkk, op.cit., hlm. 22-23 11 Ibid., hlm. 24
19
2. Pengertian Pengadaan Tanah
Pengadaan tanah merupakan perbuatan Pemerintah untuk memperoleh
tanah untuk berbagai kegiatan pembangunan, khususnya bagi kepentingan umum.
Pada prinsipnya pengadaan tanah dilakukan dengan cara musyawarah antara pihak
yang memerlukan tanah dan pemegang hak atas tanah yang tanahnya diperlukan
untuk pembangunan.12 Dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 2 Tahun 2012 disebutkan
bahwa pengertian pengadaan tanah adalah “kegiatan menyediakan tanah dengan
cara memberikan ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak.”
Adapun obyek pengadaanyang diatur dalam Pasal 1 angka 4 UU No. 2 Tahun
2012 meliputi: ruang atas tanah, dari bawah tanah, bangunan, tanaman, benda
yang berkaitan dengan tanah, atau lainnya yang dapat dinilai.13 Pada peraturan
perundang-undangan sebelumnya juga telah di atur tentang pengertian dari
pengadaan tanah yaitu dalam Keppres No. 55 Tahun 1993, Perpres No. 36 Tahun
2005, dan Perpres No 65 Tahun 2006. Menurut Keppres No.55 Tahun 1993
menyebutkan bahwa pengadaan tanah dapat dilakukan oleh siapa saja dalam arti
Pemerintah ataupun Swasta sedangkan menurut Perpres No. 36 Tahun 2005
mengaitkan pencabutan hak atas tanah sebagai cara lain dalam pengadaan tanah
dan menurut Pepres No. 65 Tahun 2006 mengartikan pengadaan tanah tanpa
mengaitkannya dengan pencabutan hak atas tanah. Dari pengertian tersebut
penulis simpulkan bahwa pengertian Pengadaan Tanah dalam UU No.2 Tahun
2012 berbeda pengertian dengan pengertian pengadaan tanah sebelumnya yang
diatur dalam Keppres No. 55 Tahun 1993, Perpres No. 36 Tahun 2005 dan
Perpres No. 65 Tahun 2006 karena dalam pengadaan tanah menurut UU No. 2
12 Maria SW Sumarjono, Op.Cit, hlm. 280 13 Umar Said Sugiharto dkk, Op.Cit., hlm. 26
20
Tahun 2012 objek yang menjadi ganti kerugian berbeda dan pengadaan tanah
menurut peraturan perundang-undangan sebelumnya yang hanya dapat dilakukan
oleh Pemerintah sendiri dan tanpa adanya cara pencabutan hak atas tanah.
3. Asas-asas Pengadaan Tanah
Dalam kegiatan pengadaan tanah tersangkut kepentingan dua pihak, yakni
Instansi Pemerintah yang memerlukan tanah dan masyarakat yang tanahnya
diperlukan untuk kegiatan pembangunan. Karena tanah sebagai kebutuhan dasar
manusia merupakan perwujudan hak ekonomi, sosial dan budaya, maka
pengadaan tanah harus dilakukan melalui suatu proses yang menjamin tidak
adanya “pemaksaan kehendak” satu pihak terhadap pihak lain. Disamping itu,
mengingatkan bahwa masyarakat harus merelakan tanahnya untuk suatu kegiatan
pembangunan, maka harus dijamin bahwa kesejahteraan sosial ekonominya tidak
akan menjadi lebih buruk dari keadaan semula, paling tidak harus setara dengan
keadaan sebelumnya tanahnya digunakan oleh pihak lain.14 Dalam Pengadaan
Tanah perlu adanya suatu asas-asas Pengadaan Tanah yang menjadi acuan
Pemerintah/negara dalam melakukan kegiatan Pengadaan Tanah.
Dalam UU No. 2 Tahun 2012 asas-asas yang digunakan dalam Pengadaan
Tanah antara lain:
a. Asas Kemanusiaan, adalah Pengadaan Tanah harus memberikan
perlindungan serta penghormatan terhadap hak asasi kemanusiaan,
harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia
secara proporsional.
14 Maria SW Sumarjono, Op.Cit., hlm. 284
21
b. Asas Keadilan, adalah memberikan jaminan pengganti yang layak
kepada pihak yang berhak dalam proses Pengadaan Tanah
sehingga mendapatkan kesempatan untuk dapat melangsungkan
kehidupan yang baik.
c. Asas kemanfaatan, adalah hasil Pengadaan Tanah mampu
memberikan manfaat secara luas bagi kepentingan masyarakat,
bangsa, dan negara.
d. Asas Kepastian, adalah memberikan kepastian hukum tersedianya
tanah dalam proses Pengadaan Tanah untuk pembangunan dan
memberikan jaminan kepada pihak yang berhak untuk
mendapatkan Ganti Kerugian yang layak.
e. Asas Keterbukaan, adalah bahwa Pengadaan Tanah untuk
pembangunan dilaksanakan dengan memberikan akses kepada
masyarakat untuk mendapatkan informasi yang berkaitan dengan
Pengadaan Tanah.
f. Asas Kesepakatan, adalah bahwa proses Pengadaan Tanah
dilakukan dengan Musyawarah para pihak tanpa unsur paksaan
untuk mendapatkan kesepakatan bersama.
g. Asas Keikutsertaan, adalah bahwa proses dukungan dalam
penyelenggaraan Pengadaan Tanah melalui partisipasi masyarakat,
baik secara langsung maupun tidak langsung, sejak perencanaan
samapi dengan kegiatan pembangunan.
22
h. Asas Kesejahteraan, adalah bahwa Pengadaan Tanah untuk
pembangunan dapat memberikan nilai tambah bagi kelangsungan
kehidupan pihak yang berhak dan masyarakat secara luas.
i. Asas Keberlanjutan, adalah bahwa kegiatan pembangunan dapat
berlangsung secara terus-menerus, berkesinambungan, untuk
mencapai tujuan yang diharapkan.
j. Asas Keselarasan, adalah bahwa Pengadaan Tanah untuk
pembangunan dapat seimbang dan sejalan dengan kepentingan
masyarakat dan negara.
Dari asas-asas tersebut dalam penelitiannya ini penulis akan berfokus dan
membahas asas kesepakatan dalam kaitannya dengan Musyawarah Pengadaan
Tanah. Karena asas kesepakatan Pengadaan Tanah ini menjadi asas yang
melandasi musyawarah penetapan ganti kerugian pengadaan tanah.
2.2 Prinsip Musyawarah Penetapan Ganti Kerugian Pengadaan Tanah Untuk
Kepentingan Umum
1. Pengertian Musyawarah dalam Pengadaan Tanah untuk Kepentingan
Umum
Dalam Pasal 1 angka 2 UU No.2 Tahun 2012 dan Pasal 1 angka 2 Perpres
No. 71 Tahun 2012 disebutkan bahwa pengadaan tanah adalah kegiatan
menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil
kepada pihak yang berhak. Menurut Pasal 1 angka 10 UU No.2 Tahun 2012, yang
dimaksud dengan ganti kerugian adalah penggantian yang adil kepada pihak yang
berhak dalam proses pengadaan tanah. Menurut UU No. 2 Tahun 2012 yang
23
dimaksud adil disini adalah memberikan jaminan penggantian yang layak kepada
pihak yang berhak dalam proses pengadaan tanah sehingga mendapatkan
kesempatan untuk dapat melangsungkan kehidupan yang lebih baik. Mengutip
dari pendapat Aristoteles yang menyatakan bahwa kata adil mengandung lebih
dari satu arti. Adil dapat berarti menurut hukum, dan apa yang sebanding, yaitu
semestinya.15 Sehingga apabila dihubungkan dengan pengadaan tanah maka adil
disini berarti pihak yang berhak mendapatkan apa yang menjadi haknya dalam
pelaksanaan pengadaan tanah seperti halnya mendapatkan ganti kerugian sesuai
dengan yang seharusnya mereka dapatkan.
Dasar pemberian ganti kerugian adalah hasil kesepakatan dalam
musyawarah menetapkan bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 37 UU No. 2 Tahun 2012. Sementara itu dalam Pasal 2 UU
No. 2 Tahun 2012 menetapkan salah satu asas yang menjadi dasar dalam
pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum adalah asas kesepakatan.
Dalam penjelasannya Pasal tersebut ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan
“asas kesepakatan” adalah bahwa proses pengadaan tanah dilakukan dengan
musyawarah para pihak tanpa unsur paksaan untuk mendapatkan kesepakatan
bersama. Dasar kesepakatan para pihak ini terdapat baik dalam tahap persiapan
maupun dalam tahap pelaksanaan penyelenggaraan pengadaan tanah.16 Secara
umum pengertian musyawarah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
adalah pembahasan bersama dengan maksud mencapai keputusan atas
15 Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum : Apa dan Bagaimana Filsafat
Hukum Indonesia, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2006, Hlm. 156 16 Djoni Sumardi Gozali, Hukum Pengadaan Tanah : Asas Kesepakatan Dalam Pengadaan
Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Yogyakarta, UII Press, 2017., Hlm. 22
24
penyelesaian masalah17. Selain itu Koesnoe berpendapat musyawarah adalah
“suatu tindakan seseorang bersama orang-orang lain untuk menyusun suatu
pendapat bersama yang bulat atas sesuatu permasalahan yang dihadapi oleh
seluruh masyarakatnya.” Dari itu musyawarah selalu menyangkut masalah hidup
masyarakat yang bersangkutan.”18 Sedangkan menurut Koentjoro Poerbopranoto
mengemukakan, musyawarah adalah “suatu sistem tertentu melalui berunding dan
berunding hingga memperoleh kata sepakat.”19
Dalam UU No. 2 Tahun 2012 tidak memberikan definisi tentang
musyawarah pengadaan tanah secara tersendiri, tetapi pengertian musyawarah
dapat ditemukan di dalam pengertian konsultasi publik. Konsultasi publik
sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 angka 8 UU No. 2 Tahun 2012 yakni proses
komunikasi dialogis atau musyawarah antar pihak yang berkepentingan guna
mencapai kesepahaman dan kesepakatan dalam perencanaan pengadaan tanah
bagi pembangunan untuk kepentingan umum.
Dalam sejarahnya pengertian musyawarah menurut undang-undang dapat
ditemukan pada peraturan perundang-undangan pengadaan tanah sebelumnya
yaitu dalam Keppres No. 55 Tahun 1993 dan Perpres No. 36 Tahun 1993. Dalam
Keppres No. 55 Tahun 1993 disebutkan yang dimaksud musyawarah adalah
proses atau kegiatan saling mendengar dengan sikap saling menerima pendapat
dan keinginan yang didasarkan atas kesukarelaan antara pihak pemegang hak atas
tanah dan pihak yang memerlukan tanah, untuk memperoleh kesepakatan
mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian. Sedangkan menurut Pasal 1 angka
17 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. 18 Moh. Koesnoe, Catatan-catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa Ini, Airlangga University Press,
Surabaya, 1979., hlm. 45 (selanjutnya disingkat Moh. Koesno IV). 19 Koentjoro Poerbopranoto, Sedikit Tentang Sistem Pemerintahan Demokrasi, Eresco, Jakarta,
1975., Hlm. 100
25
10 Perpres No. 36 Tahun 2005 yang merumuskan pengertian musyawarah adalah
kegiatan yang mengandung proses saling mendengar, saling memberi dan saling
menerima pendapat, serta keinginan, saling memberi dan saling menerima
pendapat, serta keinginan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan
besarnya ganti rugi dan masalah lain yang berkaitan dengan kegiatan pengadaan
tanah atas dasar kesukarelaan dan kesetaraan antara pihak yang mempunyai tanah,
bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah dengan
pihak yang memerlukan tanah.
Dari uraian diatas maka dapat dilihat bahwa dalam UU No. 2 Tahun 2012
tidak disebutkan secara tegas tentang pengertian dari musyawarah sedangkan
dalam peraturan perundang-undangan sebelumnya disebutkan secara tegas dan
secara tersendiri. Telah dibahas sebelumnya bahwa dalam UU No. 2 Tahun 2012
dan Perpres No. 71 Tahun 2012 tidak disebutkan secara tegas tentang pengertian
dari musyawarah, maka untuk memahami pengertian dari musyawarah penetapan
ganti kerugian harus dilihat secara keseluruhan dari UU No. 2 Tahun 2012
maupun dari Perpres No. 71 Tahun 2012 tentang apakah yang dimaksud dengan
musyawarah penetapan ganti kerugian itu. Menurut Gunanegara secara normatif
pola penetapan ganti rugi ditetapkan berdasarkan musyawarah yang merupakan
institusionalisasi lembaga asli yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat
Indonesia. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa: “esensi musyawarah adalah
kesepakatan secara bulat antara pemilik tanah dengan negara mengenai mengenai
nilai ganti rugi.”20 Sementara itu Mahakamah Agung dalam Putusannya Nomor
20 Gunanegara, Rakyat dan Negara dalam Pengadaan Tanah untuk pembangunan, Tatanusa,
Jakarta, 2008., Hlm. 239
26
2263 K/PDT/1993 merumuskan pengertian musyawarah sebagai perjumpaan
kehendak antara pihak-pihak yang tersangkut tanpa rasa takut dan paksaan.
Dari uraian tentang musyawarah yang telah disampaikan diatas, maka
dapat dilihat pengertian musyawarah pengadaan tanah yang tepat menurut penulis
yaitu menurut Perpres No. 36 Tahun 2005 karena pengertian musyawarah dalam
Perpres No. 36 Tahun 2005 menyebutkan secara tegas dan jelas tentang
pengertian dari musyawarah begitu juga dengan prinsip-prinsip dalam
musyawarah pengadaan tanah. Dalam Perpres No. 36 Tahun 2005 dikemukakan
secara tegas tentang prinsip-prinsip dari musyawarah, yaitu:
a. Pertama, adanya unsur kesetaraan atau sederajat;
b. kedua, unsur kesukarelaan;
c. ketiga, unsur sikap saling mendengar, memberi, dan menerima pendapat;
d. keempat, unsur keinginan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk
dan besarnya ganti kerugian.21
2. Penetapan Ganti Kerugian dalam Pengadaan Tanah untuk Kepentingan
Umum.
Seperti yang telah disampaikan sebelumnya bahwa dalam UU No. 2 Tahun
2012 dan Perpres No. 71 Tahun 2012 tidak disebutkan secara tegas tentang
pengertian dari musyawarah pengadaan tanah. Demikian halnya UU No. 2 Tahun
2012 maupun Perpes No. 71 Tahun 2012 tidak menyebutkan pengertian tentang
musyawarah penetapan ganti kerugian pengadaan tanah secara tegas, sehingga
menurut penulis perlu melihat kedua peraturan perundang-undangan secara
menyeluruh dan juga melihat dari peraturan perundang-undangan tentang
21 Djoni Sumardi Gozali, Op. Cit. Hlm. 154
27
pengadaan tanah sebelumnya disertai dengan pendapat para ahli. Namun sebelum
mengetahui apa makna dan pengertian dari musyawarah penetapan ganti kerugian
maka perlu diketahui terlebih dahulu tentang pengertian dari asas kesepakatan.
Hal ini karena menurut penulis asas kesepakatan menjadi asas yang penting dalam
kaitannya dengan musyawarah ganti kerugian. Oleh karena itu asas kesepakatan
yang dijabarkan terlebih dahulu sebagai pembuka dari bahasan ini karena fokus
bahasan penelitian ini bukan tentang asas kesepakatan pengadaan tanah namun
perihal musyawarah penetapan ganti kerugian.
UU No. 2 Tahun 2012 ini menetapkan kesepakatan sebagai salah satu asas
dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Dalam Penjelasan Pasal 1 huruf
f UU No. 2 Tahun 2012 dinyatakan, yang dimaksud dengan “asas kesepakatan”
adalah bahwa proses Pengadaan Tanah dilakukan dengan musyawarah para pihak
tanpa unsur paksaan untuk mendapatkan kesepakatan bersama. Asas Kesepakatan
berasal dari kata dasar sepakat, yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
Pusat Bahasa, berarti setuju, semufakat, sependapat. Kesepakatan, berarti perihal
sepakat, konsensus.22 Asas kesepakatan dalam pengadaan tanah muncul sebagai
asas yang melandasi musyawarah pengadaan tanah terutama dalam musyawarah
penetapan ganti kerugian. Sehingga menurut penulis asas kesepakatan tidak akan
lepas dari musyawarah ganti kerugian karena sudah menjadi satu hal penting yang
harus dipenuhi dalam musyawarah ganti kerugian yaitu bahwa tujuan dari
musyawarah penetapan ganti kerugian adalah untuk mencapai kata sepakat.
22 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Edisi
Keempat, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2014., Hlm. 1278
28
Asas kesepakatan sangat erat kaitannya dengan musyawarah karenanya
asas kesepakatan menjadi asas yang penting untuk di bahas dalam kaitannya
dengan musyawarah penetapan ganti kerugian. Sebagaimana yang telah
disampaikan sebelumnya tentang pengertian dari musyawarah menurut peraturan
perundang-undangan, maka pada dasarnya pengadaan tanah dilakukan dengan
proses musyawarah untuk mencapai kesepakatan antara pemegang hak atas tanah
dengan pihak/Instansi yang memerlukan tanah. Dari beberapa pengertian tentang
musyawarah tersebut penulis menggunakan pengertian dari Perpres No. 36 Tahun
2005, sebagai bahasan tentang asas kesepakatan. Dari pengertian musyawarah
yang telah dijabarkan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa asas kesepakatan
terdapat pada seluruh pengertian musyawarah dalam peraturan perundang-
undangan tentang pengadaan tanah sehingga musyawarah demikian halnya
menurut UU No. 2 Tahun 2012 dan Perpres No. 71 Tahun 2012 tidak dapat lepas
dari asas kesepakatan. Hal ini karena asas kesepakatan ini digunakan sebagai
landasan Pemerintah dalam melakukan musyawarah ganti kerugian yang
berhubungan langsung dengan masyarakat yang berhak dalam dalam pelaksanaan
pengadaan tanah. Asas kesepakatan dapat terpenuhi apabila prinsip-prinsip dalam
musyawarah pengadaan tanah terpenuhi.
Beranjak dari asas kesepakatan diatas, selanjutnya penulis akan membahas
tentang musyawarah penetapan ganti kerugian pengadaan tanah. Telah disebutkan
sebelumnya bahwa pengertian musyawarah tidak disebutkan secara tegas namun
istilah musyawarah dapat ditemukan pada pengertian konsultasi publik. Didalam
pengadaan tanah musyawarah tidak hanya dalam hal penetapan ganti kerugian
tetapi dalam hal juga musyawarah penetapan lokasi pengadaan tanah yang diatur
29
dalam Pasal 29 sampai Pasal 44 Perpres No. 71 Tahun 2012. Namun dalam
pembahasan ini akan dibahas tentang musyawarah penetapan ganti kerugian.
Dalam pengertian musyawarah dalam Pasal 1 angka 8 disebutkan bahwa
musyawarah pengadaan tanah ini ditujukan untuk penetapan lokasi yang terdapat
dalam tahap persiapan pengadaan tanah dan bukan pengertian pengadaan tanah
secara umum ataupun musyawarah penetapan ganti kerugian. Karena musyawarah
penetapan ganti kerugian terdapat dalam tahap pelaksanaan pengadaan tanah.
Dari uraian diatas dilihat bahwa penetapan ganti kerugian pengadaan tanah
dilakukan dalam musyawarah penetapan ganti kerugian untuk menetapkan
kesepakatan tentang bentuk dan besaran ganti kerugian pengadaan tanah tidak
diatur secara tegas dan secara tersendiri, maka harus melihat secara menyeluruh
tahapan tentang penetapan ganti kerugian pengadaan tanah. Penilaian ganti
kerugian ini menurut ketentuan Pasal 37 UU No. 2 Tahun 2012 dilakukan oleh
Penilaian Pertanahan untuk menghitung nilai/harga objek pengadaan tanah.
Menurut ketentuan Pasal 1 angka 11 UU No. 2 Tahun 2012 jucto Pasal 1 angka 11
Pepres No. 71 Tahun 2012 jucto Perpres No 148 Tahun 2015 yang dimaksud
Penilai Pertanahan, yang selanjutnya disebut Penilai, adalah orang perseorangan
yang melakukan penilaian secara independen dan profesional yang telah
mendapatkan izin praktik Penilaian dari Menteri Keuangan dan telah mendapat
lisensi dari Kementerian untuk menghitung nilai/harga Objek Pengadaan Tanah.
Kementerian yang dimaksud disini menurut Perpres No. 148 Tahun 2015 adalah
lembaga Pemerintah yang menyelenggarakan urusan Pemerintah dibidang
pertanahan. Sedangkan penilai Publik menurut ketentuan Pasal 1 angka 12 Pepres
30
No. 71 Tahun 2012 adalah penilai yang telah memperoleh izin dari Menteri
Keuangan untuk memberikan jasa penilaian.23
Dalam UU No. 2 Tahun 2012 maupun Perpres No. 71 Tahun 2012 dan
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2012 yang selanjutnya disebut Perkaban No.
5 Tahun 2012 tidak menentukan standart penilaian dalam peraturan hukum yang
digunakan oleh Penilai Pertanahan. Akan tetapi acuan dari penilian yang
dilakukan oleh Tim Penilai dapat ditemukan di dalam “Petunjuk Teknis Penilian
Terhadap Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.”24
Dalam petunjuk teknis tersebut menyatakan bahwa dasar nilai/penilain dari tim
penilai adalah Nilai Penggantian Wajar yang selanjutnya disebut NPW. Dalam
petunjuk teknis tersebut yang dimaksud NPW adalah nilai untuk kepentingan
pemilik yang didasarkan kepada kesetaraan dengan Nilai Pasar atas suatu properti,
dengan memperhatikan unsur luar biasa berupa kerugian non fisik yang
diakibatkan adanya pengambil alihan hak atas properti. NPW dapat dihasilkan
dari kombinasi kerugian fisik dan kerugian non fisik atas suatu objek penilaian.
Kombinasi ini dapat digambarkan sebagai penjumlahan indikasi Nilai Pasar atas
kerugian fisik ditambah indikasi nilai atas kerugian non fisik. 25
Dalam UU No. 2 Tahun 2012 maupun Perpres No. 71 tahun 2012 tidak
dijelaskan kedudukan/status dari hasil penilaian yang dilakukan oleh Penilai
Pertanahan ini, apakah merupakan hasil yang sudah tetap tidak bisa berubah atau
masih bisa berubah ketika dilakukan musyawarah dengan pihak yang berhak.
23 Djoni Sumardi Gozali, Op. Cit. Hlm. 143-144 24 Komite Penyusun Standar Penilaian Indonesia (KPSPI) dan Masyarakat Profesi Indonesia
(MAPPI), Petunjuk Teknis Penilaian Terhadap Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum (Spi 306), 2014, Hlm. 5 25 Ibid, Hlm. 2
31
Sehubungan dengan hal ini mengutip pendapat dari Eman Ramelan yang
berpendapat bahwa:26
Tidak dijelaskan pula dalam UU No. 2 Tahun 2012 beserta
peraturan pelaksananya tentang posisi dan hasil penilaian
Penilai yang menyangkut besarnya ganti kerugian, bersifat final
atau masih bisa sesuai dengan dinamika yang ada dalam proses
musyawarah. Kalau itu bersifat final, maka proses musyawarah
itu sekedar legitimasi semata atas hasil penilaian dari penilai
tanpa mempertimbangkan pendapat dan kepentingan dari
pemegang hak atas tanah. Bagaimana mungkin terhadap hal
yang menyangkut nasib dan masa depan pemegang hak atas
tanah segala penilaian tentang ganti kerugian tanpa melibatkan
peran dari pemegang hak atas tanah.
Pendapat yang disampaikan oleh Eman Ramelan tentang posisi dan hasil
penilaian Penilai yang menyangkut besarnya ganti kerugian ini dan hasil penilaian
Penilai pengadaan tanah yang menyangkut besarnya ganti kerugian ini ada
benarnya. Karena seperti yang telah disampaikan bahwa UU No. 2 Tahun 2012
maupun Perpres No. 71 Tahun 2012 tidak mengatur secara tegas. Hal ini karena
apabila besaran hasil penilai dari Penilai tidak dapat diberubah lagi maka
musyawarah penetapan ganti kerugian hanya sekedar penandatangan tanganan
berita acara. Dari uraian tersebut, penulis memilih pengertian musyawarah
menurut Pepres No. 36 Tahun 2005 karena dalam Perpres ini disebutkan pula
prinsip-prinsip tentang musyawarah sehingga semua prinsip tersebut harus
dipenuhi agar musyawarah dianggap sah dan telah terjadinya musyawarah.
Sehingga untuk membahas masalah tersebut perlu dilihat secara menyeluruh
tentang maksud dan tujuan dari musyawarah penetapan ganti kerugian pengadaan
tanah.
26 Eman Ramelan, Hukum Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum di
Indonesia,Airlangga University Press dengan LP3 Unair, Surabaya,2014. Hlm. 65
32
Tahap penetapan ganti kerugian pengadaan tanah diatur dalam Pasal 63
sampai Pasal 73 Perpres No. 71 Tahun 2012. Menurut penulis pada hakikatnya
tahapan penetapan ganti kerugian pengadaan tanah yaitu besaran atau nilai
pengadaan tanah telah ditentukan oleh tim penilai dan ditetapkan oleh ketua
pengadaan tanah yang akan menjadi dasar musyawarah penetapan ganti kerugian.
Selanjutnya tim pengadaan tanah bersama Instansi yang memerlukan tanah
dengan pihak yang berhak untuk melakukan musyawarah penetapan ganti
kerugian pengadaan tanah. Dalam musyawarah penetapan ganti kerugian tim
pengadaan tanah melakukan musyawarah tentang besaran/nilai dan bentuk ganti
kerugian untuk mencapai kesepakatan bersama. Kemudian kesepakatan tentang
besaran dan bentuk ganti kerugian di tuangkan dalam berita acara kesepakatan
ganti kerugian. Sehingga menurut penulis karena musyawarah ganti kerugian
pengadaan tanah menurut Perpres No. 71 Tahun 2012 tidak disebutkan pengertian
secara tegas dalam hal musyawarah ganti kerugian, sehingga penulis
menggunakan pengertian musyawarah menurut Perpres No. 36 Tahun 2005
sebagai acuan. Tetapi meskipun demikian apabila dilihat secara menyeluruh
tentang musyawarah penetapan ganti kerugian berdasarkan UU No. 2 Tahun 2012
dan Perpres No. 71 Tahun 2012 maka terdapat 3 prinsip yang harus terpenuhi
antara lain:
Pertama, yaitu adanya hasil penilaian dari tim penilai yang didasarkan
Nilai Penggantian Wajar yang selanjutnya disebut NPW. Hasil penilaian ini
digunakan sebagai dasar untuk dibahas dalam musyawarah penetapan ganti
kerugian sehingga hasil penilaian ini digunakan sebagai patokan atau dasar dalam
musyawarah penetapan ganti kerugian. Hal tersebut telah diatur dalam Pasal 31
33
sampai Pasal 36 UU No. 2 Tahun 2012 dan Pasal 63 sampai Pasal 67 Pepres No.
71 Tahun 2012.
Kedua, adalah peristiwa tawar menawar atau berunding tentang nilai atau
besaran ganti kerugian antara panitia pelaksana pengadaan tanah dengan pihak
yang berhak. Proses tawar menawar ini berdasarkan pada nilai yang sebelumnya
telah di tetapkan oleh Tim Penilai yang digunakan sebagai dasar atau patokan
dalam menentukan nilai ganti kerugian. Musyawarah penetapan ganti kerugian
diatur dalam Pasal 37 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2012 dan Pasal 68 sampai Pasal
71 Perpres No. 71 Tahun 2012.
Ketiga, yaitu adanya kesepakatan, dalam musyawarah penetapan ganti
kerugian hasil dari proses tawar menawar atau perundingan tersebut yang
nantinya menjadi hasil final dari besaran atau nilai ganti kerugian yang telah
disepakati oleh Panitia Penyelenggara Pengadaan Tanah dan Pihak yang berhak.
Kesepakatan ini menyangkut juga akan hal kesetaraan kedudukan antara pihak
yang berhak dengan Tim pelaksana pengadaan tanah. Hal ini di tandai dengan
tidak adanya unsur paksaan saat adanya kesepakatan, seperti yang telah
disebutkan dalam asas kesepakatan dalam UU No. 2 Tahun 2012. Setelah
diperoleh kesepakatan maka hasil kesepakatan tersebut di tuangkan dalam berita
acara kesepakatan sebagaimana diatur dalam Pasal 37 ayat (2) UU No. 2 Tahun
2012 dan Pasal 72 Pepres No. 71 Tahun 2012.
Musyawarah penetapan ganti kerugian pengadaan tanah merupakah tahap yang
penting karena hasil musyawarah penetapan ganti kerugian menjadi dasar tim
pengadaan tanah dalam menetapkan ganti kerugian pengadaan tanah baik besaran
ataupun bentuk ganti kerugian. Oleh karenanya dalam melakukan Musyawarah
34
penetapan ganti kerugian harus dilakukan sesuai dengan prinsip dan tujuan dari
musyawarah tersebut sesuai dengan UU No. 2 Tahun 2012 tentang pengadaan
tanah.
Dari kegiatan musyawarah penetapan ganti kerugian tersebut akan
menghasilkan sebuah kesepakatan tentang besaran atau nilai ganti kerugian yang
dinyatakan dalam berita acara kesepakatan. Berita acara kesepakatan tersebut
merupakan sebuah ketetapan yang dikeluarkan antara Tim pelaksana pengadaan
tanah dengan Pihak yang berhak. Oleh karena itu dalam membuat berita acara
tersebut harus didasarkan dan dilakukan dengan pada hal yang benar sesuai
dengan UU No. 2 Tahun 2012 dan Prepres No. 71 Tahun 2012. Karena apabila
ketetapan tersebut tidak benar maka Menurut Van der Wel terdapat enam akibat
dari ketetapan yang mengalami kekurangan, yakni:27
1. batal karena hukum;
2. kekurangan itu menjadi sebab atau menimbulkan kewajiban
untuk membatalkan ketetapan itu untuk sebagiannya atau
seluruhnya;
3. kekurangan itu menyebabkan bahwa alat pemerintah yang
lebih tinggi dan yang berkompeten untuk menyetujui atau
meneguhkannya, tidak sanggup memberi persetujuan atau
peneguhan itu;
4. kekurangan itu tidak mempengaruhi berlakunya ketetapan;
5. karena kekurangan itu, ketetapan yang bersangkutan
dikonversi ke dalam ketetapan lain;
6. hakim sipil mengganggap ketetapan yang bersangkutan
tidak mengikat
Oleh karena itu apabila dalam membuat berita acara kesepakatan musyawarah
penetapan ganti kerugian tidak sesuai dengan UU No. 2 Tahun 2012 maka berita
acara atau ketetapan tersebut tidak bersifat mengikat.
27 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: UII Press, 2002, hlm.128
35
3. Tahapan Penetapan Ganti Kerugian dalam Pengadaan Tanah untuk
Kepentingan Umum.
Dalam penyelenggaraan pengadaan tanah tentang tahap-tahap pengadaan
tanah telah ditentukan dalam UU No. 2 Tahun 2012 juncto Perpres No. 71 Tahun
2012 juncto Perpres No. 99 Tahun 2014 juncto Perpres No. 148 Tahun 2015.
Pengadaan tanah untuk kepentingan umum diselenggarakan melalui 4 tahapan
antara lain:
1. Perencanaan;
2. Persiapan;
3. Pelaksanaan; dan
4. penyerahan hasil.
Namun pada bahasan ini hanya akan dibahas pada tahap pelaksanaan yaitu
penetapan ganti kerugian pengadaan tanah.
Tahap-tahap penetapan ganti kerugian pengadaan tanah dibagi dalam 3 bahasan
yaitu :
a. Penilaian Ganti Kerugian
Pada tahapan ini diatur dalam Pasal 63 sampai dengan Pasal 67
Perpres No. 71 Tahun 2012 junco Perpres No. 99 Tahun 2014. Penetapan
besarnya nilai ganti kerugian dilakukan oleh Ketua Pelaksana Pengadaan
Tanah berdasarkan hasil penilaian dari jasa Penilaian atau Penilai Publik
yang ditetapkan oleh Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah. Dalam Pasal 64
36
Perpres No. 71 Tahun 2012 apabila pemilihan Penilai tidak dapat
dilaksanakan, maka Ketua Pengadaan Tanah menunjuk Penilai Publik.
Pasal 63 Perpres No. 71 Tahun 2012 junco Perpres No. 99 Tahun 2014
menyebutkan Penilaian tersebut didasarkan pada hasil penilaian dari jasa
Penilai yang dilakukan oleh Instansi yang memerlukan tanah dalam
waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja. Selain itu dalam Pasal
tersebut disebutkan apabila dalam hal nilai pengadaan tanah, hasil
penilaian dari Penilai atau Penilai publik di atas Rp. 50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah), maka jasa Penilai atau Penilai Publik dilakukan
dengan menggunakan metode pascakualifikasi. Sehingga dapat
disimpulkan yaitu apabila hasil penilian dari Penilai lebih atau diatas dari
lima puluh juta rupiah maka Penilai atau Penilai Publik menggunakan
cara pascakualifikasi dalam waktu paling lama 30 hari.
Selanjutnya berdasarkan Pasal 65 Perpres No. 71 Tahun 2012
Penilai melakukan Penilaian besarnya Ganti Kerugian bidang per bidang
tanah meliputi:
a) tanah,
b) ruang atas tanah dan bawah tanah,
c) bangunan, tanaman,
d) benda yang berkaitan dengan tanah dan/atau
e) kerugian lain yang dapat dinilai.
37
Berdasarkan Pasal 65 Perpres No 71 Tahun 2012 pelaksanaan
tugas dari penilai dilaksanakan paling lama 30 hari kerja sejak
ditetapkannya Penilai oleh Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah. Besarnya
nilai Ganti Kerugian didasarkan pada hasil penilaian oleh Penilai ini
disampaikan kepada Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah dengan Berita
acara penyerahan hasil penilaian.
b. Musyawarah Penetapan Ganti Kerugian
Tahap ini diatur dalam Pasal 68 sampai Pasal 73 Perpres No. 71
tahun 2012. Musyawarah Penetapan Ganti Kerugian dilakukan oleh
Pelaksana Pengadaan Tanah dengan pihak yang berhak dengan
mengikutsertakan instasi yang memerlukan tanah yang dilaksanakan
waktu 30 hari kerja sejak hasil penilaian dari Penilai diterima ketua
pelaksana pengadaan tanah. Menurut Pasal 68 Perpres No. 71 Tahun
2012 Musyawarah dilakukan secara langsung untuk menetapkan bentuk
ganti kerugian berdasarkan hasil penilaian ganti kerugian. Meskipun
dalam Pasal 68 Perpres No. 71 Tahun 2012 judul dari Pasal tersebut
hanya menyebutkan bentuk ganti kerugian namun sejatinya ditentukan
juga besaran dari ganti kerugian pengadaan tanah dari Penilai. Hal ini
dapat dilihat dalam Pasal 64 Pepres No. 71 Tahun 2012 yang
menyebukan tentang Pelaksana Pengadaan Tanah menyampaikan
besarnya Ganti Kerugian hasil penilaian ganti kerugian dari Penilai.
Sehingga dalam musyawarah penetapan ganti kerugian ini berbicara
tentang penetapan bentuk dan nilai ganti kerugian. Selanjutnya Pelaksana
Pengadaan Tanah mengundang Pihak yang berhak dalam Musyawarah
38
Penetapan Ganti Kerugian. Menurut Pasal 69 Perpres No. 148 Tahun
2015 undangan disampaikan paling lambat 2 hari kerja sebelum tanggal
pelaksanaan musyawarah Penetapan Ganti Kerugian. Musyawarah dapat
dibagi dalam beberapa kelompok dengan mempertimbangkan jumlah
pihak yang berhak, waktu dan tempat pelaksanaan musyawarah. Jika
belum tercapai kesepakatan, musyawarah dapat dilaksanakan lebih dari 1
kali.
Dalam Pasal 71 Perpres No. 71 Tahun 2012, apabila pihak yang
berhak berhalangan hadir dalam musyawarah, dapat memberikan kuasa
kepada :
• Seorang dalam hubungan darah ke atas, ke bawah atau ke
samping sampai derajat kedua atau suami/isteri bagi pihak
yang berhak berstatus perorangan;
• Seorang yang ditunjuk sesuai dengan ketentuan anggaran
dasar bagi pihak yang berhak berstatus badan hukum; atau
• Pihak yang berhak lainnya.
Pihak yang berhak hanya dapat memberikan kuasa kepada 1 orang
penerima kuasa atas 1 atau beberapa bidang tanah yang terletak pada 1
lokasi pengadaan tanah. Dalam hal pihak yang berhak telah diundang
secara patut tidak hadir dan tidak memberikan kuasa, maka pihak yang
berhak dianggap menerima bentuk dan besarnya ganti kerugian yang
ditetapkan oleh pelaksana pengadaan tanah.
39
Selanjutnya hasil kesepakatan dalam musyawarah penetapan ganti
kerugian menjadi dasar pemberian ganti kerugian yang dituangkan dalam
berita acara kesepakatan yang memuat:
• Pihak yang berhak yang hadir atau kuasanya, yang setuju
beserta bentuk ganti kerugian yang disepakati;
• Pihak yang berhak yang hadir atau kuasanya, yang tidak
setuju; dan
• Pihak yang berhak yang tidak hadir dan tidak memberikan
kuasa.
Apabila tidak terjadi kesepakatan mengenai bentuk dan/atau
besarnya ganti kerugian, pihak yang berhak dapat mengajukan keberatan
kepada Pengadilan Negeri setempat dalam waktu paling lama 14 hari
kerja setelah ditandatangani berita acara hasil musyawarah, dan
pengadilan negeri memutus bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian
dalam waktu paling lama 30 hari kerja sejak diterimanya pengajuan
keberatan.
Apabila masih ada pihak yang keberatan terhadap putusan
Pengadilan Negeri tersebut, maka berdasarkan Pasal 73 Perpres No. 71
Tahun 2012 dalam waktu paling lama 14 hari kerja dapat mengajukan
kasasi kepada Mahkamah Agung, dan Mahkamah Agung wajib
memberikan putusan dalam waktu paling lama 30 hari kerja sejak
permohonan kasasi diterima. Putusan Pengadilan Negeri/Mahkamah
40
Agung yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap menjadi dasar
pembayaran ganti kerugian kepada pihak yang mengajukan keberatan.
a. Pemberian Ganti Kerugian
Tahap selanjutnya yaitu pemberian ganti kerugian yang diatur
dalam Pasal 74 sampai Pasal 83 Perpres No. 71 Tahun 2012 juncto
Perpres No. 148 Tahun 2015. Ganti kerugian diberikan kepada pihak
yang berhak berdasarkan hasil penilai yang ditetapkan dalam
musyawarah dan/atau putusan Pengadilan Negeri/Mahkamah Agung.
Bentuk ganti kerugian, baik berdiri sendiri maupun gabungan dari
beberapa bentuk ganti kerugian diberikan sesuai dengan nilai ganti
kerugian yang nominalnya sama dengan nilai yang ditetapkan oleh
penilai. Meski ganti kerugian dapat dilakukan dalam bermacam-macam
bentuk, namun pelaksana pengadaan tanah mengutamakan pemberian
ganti kerugian dalam bentuk uang.
Berdasarkan Pasal 76 Perpres No. 71 Tahun 2012 juncto Perpres
No. 148 Tahun 2015, ganti kerugian pengadaan tanah apabila diberikan
dalam bentuk mata uang rupiah maka dilakukan paling lama 7 hari kerja
sejak penetapan bentuk ganti kerugian oleh pelaksana pengadaan tanah,
dilakukan oleh Instansi yang memerlukan tanah atau pejabat yang
ditunjuk dalam waktu 3 hari kerja sejak berita acara kesepakatan bentuk
ganti kerugian ditandatangani. Dalam Pasal 83 Pepres No. 71 Tahun
2012 pemberian ganti kerugian dibuat dalam berita acara pemberian ganti
kerugian dengan dilampiri:
• Daftar pihak yang berhak penerima ganti kerugian;
41
• Bentuk dan besarnya ganti kerugian yang diberikan;
• Daftar dan bukti pembayaran/kwitansi; dan
• Berita acara pelepasan hak atas tanah atau penyerahan
tanah.
Apabila dalam hal pihak yang berhak menolak bentuk dan/atau
besarnya ganti kerugian berdasarkan hasil musyawarah atau putusan
Pengadilan Negeri/Mahkamah Agung, maka berdasarkan Pasal 42 UU
No. 2 Tahun 2012 juncto Pasal 86 Perpres No. 71 Tahun 2012, ganti
kerugian dititipkan di Pengadilan Negeri setempat. Demikian halnya pula
pihak yang berhak menolak bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian
berdasarkan hasil musyawarah dan tidak mengajukan keberatan ke
pengadilan, ganti kerugian dititipkan di Pengadilan Negeri setempat.
Selain itu, penitipan ganti kerugian di Pengadilan juga dilakukan
terhadap hal antara lain :
1) Pihak yang berhak menerima ganti kerugian tidak
diketahui keberadaannya; atau
2) Objek pengadaan tanah yang akan diberikan ganti kerugian
:
• Sedang menjadi objek perkara di pengadilan;
• Masih dipersengketakan kepemilikannya;
• Diletakkan sita oleh pejabat yang berwenang; atau
• Menjadi jaminan di bank.
42
Pada saat pelaksanaan pemberian ganti kerugian dan pelepasan hak
telah dilaksanakan atau pemberian ganti kerugian sudah dititipkan di
pengadilan negeri, maka berdasarkan Pasal 43 UU No. 2 Tahun 2012
kepemilikan atau hak atas tanah dari pihak yang berhak beralih tanahnya
menjadi tanah yang negara. Selanjutnya tentang pemutusan hubungan
hukum antara pihak yang berhak dengan objek pengadaan tanah diatur
dalam Pasal 100 sampai dengan Pasal 108 Perpres No. 71 Tahun 2012.
Recommended