View
215
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
44
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG NASIONALISASI PERUSAHAAN
PENANAMAN MODAL ASING
2.1. Nasionalisasi Terhadap Perusahaan Penanaman Modal Asing
2.1.1. Pengertian Nasionalisasi
Nasionalisasi sering disamakan dengan konfikasi dan onteigening dan
pencabutan hak. Istilah nasionalisasi paling tidak mencakup tiga pengertian
“Konfiskasi”, “Onteigening” dan “Pencabutan Hak”. L. Erades memberikan arti
nasionalisasi, yakni suatu peraturan dengan mana pihak penguasa memaksakan
semua atau segolongan tertentu untuk menerima (dwingt te godegen), bahwa hak-
hak mereka atas semua atau beberapa macam benda tertentu beralih kepada
negara.1 Dengan demikian nasionalisasi adalah suatu cara peralihan hak dari pihak
partekelir kepada negara secara paksa.
“Nasionalisasi merupakan refers to the process of a government taking
control of a company or industry, which can occur for a variety of reasons.
When nationalization occurs, the former owners of the companies may or
may not be compensated for their loss in net worth and potential income.
Nationalization is most common in developing countries subject to frequent
leadership and regime changes. In these instances, nationalization is often a
way for a government to expand its economic resources and power. The
opposite of nationalization is privatization, when government-owned
companies are spun off into the private business sector.” 2
1. Gouw Giok Siong, Segi-Segi Hukum Internasional pada Nasionalisasi di Indonesia, Penerbitan
Universitas, Jakarta, 1960, hal. 6 dikutip dari L. Erades, 1954. Het rechseffecct van nationaliteit
maatregellen genomen door vreemde staten, Mededelingen van de Nederlandse Vereniging voor
International recht, Nederland, hal 32.
2. Investopedia, “Nationalization”, URL: http://www.investopedia.com/terms/n/nationalization.asp,
diakses pada tanggal 16 Maret 2015.
44
45
Nasionalisasi dipandang sebagai “Species” dari “Genus” pencabutan hak
dan Onteigening. Berkaitan dengan ketentuan di atas berarti setiap ada pencabutan
hak dan onteigening pada prinsipnya harus diikuti dengan “ganti rugi”. Sementara
itu jika tidak disertai dengan ganti rugi maka dia dapat disebut dengan
"konfiskasi”. Konfiskasi ini mirip dengan pencabutan hak (semacam onteigening),
tetapi dengan corak khusus tanpa ganti rugi.
Di Indonesia pada masa kabinet Karya Republik Indonesia ketentuan
tentang nasionalisasi diatur dalam Undang-Undang Nomor 86 tahun 1958. Dalam
istilah nasionalisasi termasuk didalamnya “expropriation” atau “Confiscatie”.
Dengan istilah nasionaliasi ini diartikan bahwa suatu perusahaan menjadi milik
negara. Perusahaan bersangkutan menjadi “a nation affair”. Dalam hal
nasionalisasi yang menjadikan objeknya perusahaan-perusahaan. Kollewijn
mengemukakan pendapatnya bahwa, “There is said to be nationalisation
principally if an expropriation forms part a more or less extensive reform of the
social or economie structure of a country”, sedangkan Gouw Giok Siong dengan
mengutip pendapat Wortley menegaskan bahwa “nationalitation is not a term of
art”, tetapi digunakan untuk menunjuk pada expropriation in the pursuance of
some national enterprises, or to strengthen, a nationally controlled industry.
Nationalization differ in its scope and extent rather than in its judicial nature
from other types of expropriation. 3
3. Gouw Giok Siong, loc.cit, dikutip dari Wortley, 1980, The Foreign Investment in Indonesia, 1st,
Gunung Agung, Singapore, hal. 8.
46
Pelaksanaan nasionalisasi oleh suatu negara terhadap hak milik atau benda-
benda yang berkaitan dengan suatu perusahaan asing di negara yang hendak
melakukan tindakan hukum nasionalisasi harus memperhatikan prinsip
“teritorialiteit”. Artinya Objek yang akan di nasionaliasasi berada di dalam batas-
batas teritorial negara yang melakukan nasionalisasi. Prinsip tertitorialiteit pada
dasarnya telah dilakukan oleh Indonesia ketika menasionalisasi perusahaan-
perusahaan Belanda di Indonesia. Hal ini dapat kita jumpai dalam ketentuan Pasal
1 UU No. 86 Tahun 1958, bahwa “perusahaan-perusahaan milik Belanda yang
berada di Republik Indonesia yang akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah
dikenakan nasionalisasi dan dinyatakan menjadi milik yang penuh dan bebas
Negara Republik Indonesia.”
2.1.2. Tujuan Dan Manfaat Nasionalisasi
Apabila dikaji difinisi diatas, ada dua manfaat dari konsep Nasionalisasi:
1. Mendapatkan keuntungan; dan
2. Pengalihan kontrol terhadap jalannya perusahaan.4
Melihat dari pengertian diatas dari tindakan nasionalisasi yang dilakukan
oleh Pemerintah Indonesia, kita dapat menarik tujuan dari penyelenggaraan
Nasionalisasi terhadap Perusahaan Penanaman Modal Asing, antara lain:
a. Meningkatkan ekonomi nasional;
b. Menyelamatkan Penanam Modal Dalam Negeri;
c. Menciptakan iklim investasi yang kondusif;
d. Meningkatkan kepastian hukum terhadap investor asing;
4. Salim HS I, op.cit, hal. 31.
47
e. Mendorong pengembangan ekonomi nasional;
f. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat;
Dengan demikian tindakan Nasionalisasi ini bertujuan untuk memberi
manfaat ekonomi kepada masyarakat Indonesia serta memperkokoh keamanan
dan pertahanan negara yang saat itu sedang berkonfrontasi dengan investor asing.
2.2. Sejarah Nasionalisasi Perusahaan Penanaman Modal Asing
Secara historis penanaman modal asing dan tindakan nasionalisasi terhadap
perusahaan penanaman modal asing di Indonesia sebenarnya bukan merupakan
fenomena yang baru mengingat modal asing sudah hadir di Indonesia sejak zaman
kolonial dahulu. Namun tentunya kehadiran penanaman modal asing pada masa
setelah kemerdekaan, karena tujuan dari penanaman modal asing di masa kolonial
tentu didedikasikan untuk kepentingan pihak penjajah dan bukan untuk
kesejahterahan bangsa indonesia. 5
Pada tahun 1949 adanya penandatanganan perjanjian pemulihan kedaulatan
Indonesia pada tanggal 2 November 1949 telah membuka jalan bagi bangsa
Indoensia untuk menghidupkan kembali investasi asing yang sempat terbengkalai
hampir 10 tahun akibat Perang Dunia II dan perjuangan mempertahankan
kemerdekaann. Sesuai dengan isi perjanjian tersebut musalnya dibidang investasi
yang diwajibkan kepada indonseia antara lain sebagai berikut:
5. David Kairupan, op.cit, hal. 2.
48
a. Menjamin berlangsungnya iklim investasi di indonesia menghendaki
sebagaimana sebelum tahun 1942 termasuk pengakuan dan pemulihan
hak-hak investor asing.
b. Dalam hal kepentingan nasional, Indonesia menghendaki
diberlakukannya tindakan nasionalisasi, maka tindakan tersebut harus
dilakukan dengan cara memberikan ganti rugi yang layak.
c. Diperbolehkan adanya penanaman modal baru di Indonesia.6
Ketika kembali kepada negara kesatuan pada tahun 1950 dan
memberlakukan Undang-Undang Dasar Sementara 1950, mulai dilakukan
evaluasi terhadap peranan penanaman modal asing di Indonesia pada waktu-waktu
sebelumnya. Terhadap evaluasi tersebut, memunculkan berbagai mosi di DPR
yang menghendaki penghapusan kewajiban-kewajiban Indonesia di dibidang
penanaman modal asing sebagaimana ditetapkan dalam perjanjian pemulihan
kemerdekaan tahun 1949. Meskipun mosi-mosi tersebut dapat diatasi, namun
sentimen anti penanaman modal asing tampak makin kental. Disamping itu
dorongan untuk menalukan tindakan nasionalisasi juga cukup besar.
Pada Kabinet Sukiman tahun 1951, serangkai kebijakan yang anti terhadap
modal asing mulai diterapkan, yaitu sebagai berikut:
a. Mengimbangi modal asing mulai dengan modal dalam negeri yang
diseponsori leh negara dengan mengeluarkan peraturan yang disebut
“Rencana Urgensi Industrialisasi”.
6. Ana Rokhmatussa‟dyah, dan Suratman, op.cit, hal. 40.
49
b. Memperluas hak eksklusif para pribumi dalam melakukan impor atau
barang-barang tertentu.
c. Memberlakukan hak-hak eksklusif lainnya bagi golongan pribumi secara
diskriminatif.
Sayang sekali kebijakan di atas tidak dapat mengangkat kaum pribumi
secara keseluruhan, tetapi hanya menguntungkan sebagian masyarakat karena
adanya praktik korupsi dan nepotisme dikalangan pemerintah. Di samping itu,
kebijakan tersebut menemui kegagalan berbagai faktor, seperti banyak
bermunculan perusahaan “Bodong”, munculnya golongan menengah baru yang
diharapkan tidak tercapai, terjadinya inefisiensi secara administratif, tidak
berkembangnya kemampuan bisnis penguasa pribumi, serta gagalnya proses alih
teknologi. Sementara itu, sentimen anti modal asing menimbulkan berbagai
kerusuhan seperti kerusuhan Surabaya dan Tanjung Morawa tahun 1953.
Kerusuhan-kerusuhan tersebut tidak ditangani dengan baik, sehingga sangat
merugikan investasi asing, pemerintak pada saar itu ternyata tidak dapat
menegakkan hukum dengan baik.7
Ketika Kabinet Ali Sastroamidjojo berkuasa (1953-1955), dengan
indonesianisasi dalam kegiatan bisnis, kegiatan ini berkembang terus, termasuk
dengan memberikan beberapa faasilitas-fasilitas khususnya bagi kaum pribumi.
Pada Kabinet Burhanuddin Harahap (1955-1956), pemerintah mulai
melakukan seringkaian tindakan untuk memulihkan kepercayaan asing dalam
rangka penanaman modal. Serangkaian kebijakan yang ditempuh untuk mencapai
7.Ibid, hal. 42.
50
tujuan tersebut dengan menurunkan harga minyak dan barang-barang impor,
menyaring importir pribumi. Kabinet Burhanuddin diganti dengan Kabinet Ali
Sastroamidjojo II yang memenangkan pemilu 1955. Pada tahun 1958 dengan
mempertimbangkan pentingnya investasi asing di Indoensia, maka
diundangkanlah Undang-Undang Nomor 78 Tahun 1958 tentang Penanaman
Modal Asing (UU No. 78 Tahun 1958). UU ini sejalan dengan sepirit yang
menjiwai perjuangan kemerdekaan yang masih membara ketika itu, UU inipun
sangat kental dengan semangat kebangsaan.8
Dalam UU No. 78 Tahun 1958 debedakan secara tajam antara pengusaha
asing dengan pengusaha nasional berikut bidang-bidang yang diperbolehkan
untuk diusahakan dan adanya penawaran berbagai skema insentif bagi investor
asing seperti:
a. Pengurangan pajak impor,
b. Pengecualian atas materai (stamp duites),
c. Pencegahan pajak berganda,
d. Jaminan atas pengalihan keuntungan dan modal,
e. Diberikannya hak-hak atas tanah kepada investor asing, dan
f. Jaminan tidak akan dilakukannya tindakan nasionalisasi selama waktu
20-30 tahun.
Sedangkan kewajiban yang dibebankan kepada investor asing hanya
mencakup kewajiban untuk mendidik dan memperkerjakan tenaga seta sesedikit
8. Putu Sudarma Sumadi, 2008, Pengantar Hukum Investasi, Pustaka Sutra, Bandung, hal. 12.
51
mungkin menggunakan tenaga kerja asing dari segi substansi, isi Undang-Undang
Penanaman Modal Asing Nomor 78 Tahun 1958.
Meskipun memiliki perundang-undangan yang memberikan banyak fasilitas
terhadap investor asing, namun dalam kenyataannya pemerintah tetap melakukan
tindakan nasionalisasi terhadap aset-aset Belanda yang semula sudah disita.
Tindakan nasionalisasi ini ialah upaya memasukan spirit nasionalis dengan
dilanjutkan lagi berkenaan melalui diundangkannya Undang-Undang Nomor 86
Tahun 1958 tentang Nasionalisasi, yang jiwanya bertentangan dengan dengan
UU Penanaman Modal Tahun 1958.9
Bagi investor asing momen-momen yang terjadi pada tahun 1985
mengandung dua makna yaitu kebangkitan kembali dan awal kebangkrutan.
Dengan adanya Undang-Undang Nomor 78 Tahun 1958 berarti investasi asing
memperoleh kedudukan yang kokoh pada era kemerdekaan dan kedaulatan
Indonesia, tetapi dengan adanya Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958 investor
asing tidak dapat berkutik, karena ancaman nasionalisasi merupakan momok yang
sangat menakutkan.
Kebangkrutan investasi asing pada akhirnya memang menjadi kenyataan
setelah dikeluarkan Undang-Undang Nomor 78 Tahun 1958 dinyatakan tidak
berlaku berdasarkan Dekrit 5 Juli 1959.
9. Ana Rokhmatussa‟dyah, dan Suratman, op.cit, hal. 44.
52
Alasan terpenting yang digunakan untuk membekukan tersebut adalah
bahwa penanaman modal asing merupakan penghisapam atas manusia dan
menghambat revolusi di Indonesia.10
Catatan sejarah dalam rentan waktu dari tahun 1511 sampai sekarang
memperlihatkan bahwa hampir setiap jengkal bumi busantara ini sudah dijamaah
oleh investasi, yang bertujuan mengubah kekayaan alam (kekuatan ekonomi
potensial) menjadi kekuatan ekonomi riil, pada akhirnya tampak lebih menonjol
kiprah penanaman modal asing (real dan direct invesment) sebagai bentuk dan
sarana investasi.
Berbagai kepustakaan sesuangguhnya telah berupaya mengungkap bahwa
indonesia juga memiliki catatan mengenai nasionalisasi perusahaan asing dan
sarana investasi lainnya yang dapat memperkaya pandangan dan pengetahuan
bahwa wacana mengenai nasionalisasi perusahaan asing yang berada di Indonesia.
Pada tanggal 1 Januari 1967, diberlakukanlah undang-undang baru yaitu
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA).
Pada masa tahun 1967 pemerintah banyak melakukan langkah-langkah insentif di
bidang perpajakan, upaya untuk menarik investor terus dilakukan dengan
menetapkan kebijakan-kebijakan sebagai berikut:
a. Memperkenanakan pengelolaan perusahaan oleh personel asing.
b. Menjamin transfer modal dan keuntungan sesuai dengan mata uang yang
dikehendaki.
10.
Putu Sudarma Sumadi, op.cit, hal. 12.
53
c. Jaminan untuk tidak nasionalisasi kecuali dalam keadaan khusus dan
dengan kompensasi yang layak, efektif dan segera.
UU Penamaman Modal Asing Pasal 21 menentukan bahwa “Pemerintah
tidak akan melakukan tindakan nasionalisasi/pencabutan hak milik secara
menyeluruh atas perusahaan-perusahaan modal asing atau tindakan-tindakan yang
mengurangi hak menguasai dan/atau mengurus perusahaan yang bersangkutan,
kecuali jika dengan Undang-undang dinyatakan kepentingan Negara menghendaki
tindakan demikian”. Namun dalam Pasal 22 ayat (1) UU Penanaman Modal
Asing, pemerintah dapat melakukan tindakan nasionalisasi dengan wajib
memberikankompensasi/ganti rugi yang jumlah, macam dan cara pembayarannya
disetujui oleh kedua belah pihak sesuai dengan asas-asas hukum internasional
yang berlaku.
Tahun 1997 Indonesia mengalami krisis ekonomi yang diakibatkan oleh
perilaku bisnis yang kurang bertanggung jawab yaitu berperilaku buruk dalam
menjaga kekuatan perekonomian Indonesia. Krisis tersebut telah mengubah
keadaan dari krisis ekonomi menjadi krisis kepercayaan.
Untuk menyikapi hal tersebut pemerintah membuat program pembangunan
untuk meningkatkan iklim investasi di indonesia, seperti program Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2003-2004 dan
dilanjutkan prorgam tersebut sampai 2009. Dalam rangka pemenuhan program
pembangunan di bidang investasi tersebut, pada tahun 2007, pemerintah telah
mengesahkan dan mengundangkan undang-undang di bidang penanaman modal
yaitu Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
54
Pengaturan ketentuan nasionalisasi dalam Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2007, ada satu pasal yang mengatur tentang nasionalisasi yaitu Pasal 7 ayat
(1). Ketentuan ini berkaitan dengan kewenangan Pemerintah untuk tidak akan
melakukan tindakan nasionalisasi atau pengambilalihan hak kepemilikan penanam
modal, kecuali dengan undang-undang. Walaupun dalam ketentuan ini Pemerintah
tidak akan melakukan nasionalisasi dan divestasi modal, namun dalam ketentuan
ayat (2) ditegaskan bahwa dalam hal pemerintah melakukan tindakan
masionalisasi atau pengambilalihan hak kepemilikan, pemerintah akan
memberikan kompensasi yang jumlahnya ditetapkan berdasarkan harga pasar.11
Tindakan nasionalisasi atas perusahaan asing di satu pihak dengan kegiatan
investasi pada lain pihak, merupakan dua variabel yang saling bertentangan. Pada
variabel kegiatan investasi para investor memerlukan adanya suatu kepastian
hukum demi ketenangan untuk berusaha, dan di lain pihak negara penerima modal
dengan dalih adanya kesenjangan ekonomi, dan alasan politis lainnya dapat
melakukan tindakan nasionalisasi terhadap perusahaan asing di negaranya. Hal ini
menjadikan problematika diseputar kegiatan investasi di suatu negara berkembang
termasuk Indoneisa, mengapa perlu diadakan tindakan nasionalisasi terhadap
perusahaan asing, dan apakah perbuatan itu tidak menghambat arus investasi ke
negara penerima modal asing.
11.
Salim HS I, 2010, loc.cit, hlm. 110.
55
2.3. Penanaman Modal Asing
2.3.1. Pengertian Penanaman Modal Asing
Untuk memahami lebih jauh apa yang dimaksud dengan termitologi
penanaman modal (penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal asing)
dalam UU Penanaman Modal Nomor 25 Tahun 2007 (UUPM) yang mengganti
UU yang sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang
Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang
Penanaman Modal Dalam Negeri sebagaimana telah diganti dengan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 1968, maka kiranya diuraikan apa yang dimaksud
dengan “modal” (capital) dan “penanaman modal” (investment) dalam konteks
penanaman modal. pemahaman atas kerangka konsepsional sangat penting untuk
mengetahui kerangka yuridis pengaturan penanaman modal di indonesia.
“Penanaman Modal” diatur dalam Pasal 1 angka 1 UUPM diartikan sebagai:
“segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanaman modal dalam
negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah negara
Republik Indonesia”.
Selanjutnya, dalam ketentuan Pasal 1 angka 2 disebutkan bahwa penanam
modal dalam negeri yaitu: “Kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di
wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanaman modal dalam
begeri dengan menggunakan nodal dalam negeri”.
Adapun angka 3 disebutkan, bahwa penanaman modal asing yaitu
“Kegiatan menanam modal usaha untuk melakukan usaha di wilayah negara
56
Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanaman modal asing, baik yang
menggunakan asing sepenuhnya, maupun yang berpatungan dengan penanamn
modal dalam negeri”.
Berdasarkan uraian diatas maka jelas yang dimaksud dengan penanaman
modal khususnya PMA (foreign ivesment) tidak berarti modal tersebut berasal
dari luar negara semata, melainkan dapat juga yang sifatnya patungan (joint
venture), di mana terdapat penggabungan antara modal yang sumbernya berasal
dari luar negeri (foreign capital) dan modal yang sumbernya berasal dari dalam
negeri (domestic capital).12
Lebih lanjut Pasal 1 angka 4 UU Penanaman Modal mengatur kerangka
konseptual dari “penanam modal” sebagai perseroan atau badan usaha yang
melakukan penanaman modal baik PMDN maupun PMA. Yang menarik dari
definisi penanaman modal diatas ternyata UU Penanaman Modal mengartikan
penanaman modal tersebut perseorangan atau badan usaha (business entity), dan
tidak mencakupbadan yang non-usaha seperti yayasan (foundation). Padahal
dalam kenyataannya suatu badan non-usaha (non-pprofit organisation
organisation atau non-commercial entity) dapat saja melakukan penyertaan
modal, contohnya yayasan (foundation) dan dana pensiun (pension fund).
Terminologi pananaman modal dalam UU Penanaman Modal juga menyebutkan
secara tegas bahwa negara sebagai suatu badan hukum juga dapat menjadi
investor atau penanam modal sebagaimana dilakukan pada Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) atau perusahaan yang tidak berstatus BUMN tetapi sebagian
12.
David Kairupan, 2013, op.cit, hal. 21.
57
sahamnya dimiliki oleh negara. Berdasarkan uraian diatas maka seharusnya
definisi “penanam modal” dalam UUPM juga mencakup badan usaha non-usaha
dan negara sebagai suatu badan hukum sehingga seharusnya yang dimaksudkan
penanam modal adalah perseorangan atau badan hukum tertentu yang
diperbolehkan melakukan penanaman modal berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, baik berupa penanaman modal dalam negeri maupun
penanaman modal asing.13
Kerangka konseptual “penanam modal” dalam UUPM sebagaimana
disebutkan di atas sebagaimananya juga tidak konsisten dengan kerangka
konsepsional “penanaman modal dalam negeri” (domestic investor) dan
“penanaman modal asing (foreign invest) yang didefinisikan dalam Pasal 1 angka
5 dan angka 6. Penanam modal dalam negeri diartikan sebagai perseorangan
warga neara Indonesia, badan usaha indonesia, negara Republik Indonesia atau
dareah yang melakukan penanaman modal di wiayah Negara Republik Indonesia,
sedangkan “penanam modal asing” diartikan sebagai perseorangan warga negara
asing yang melakukan penanaman modal di wilayah Negara Republik Indonesia.
Jelas terminologi “penanam modal dalam negeri” dan “penanam modal asing”,
sebagaimana disebut di atas tidak hanya mencakup perseorangan dan badan usaha
sebagaimana didefinisikan dalam terminologi “penanam modal”, tetapi juga
mencakup negara atau daerah sebagaibadan hukum dalam hal ini tentunya
diwakilkan oleh pemerintah baik dalam konteksnya Pemerintah Republik
Indonesia, Pemerintah Daerah atau Pemerintah Asing. Namun demikian kerangka
13.
Ibid, hal. 23.
58
konseptual “penanam modal dalam negeri” dan penanam modal asing” tidak
secara tegas mengatur bahwa penanm modal mencakup juga badan usaha non-
usaha lainnya seperti yayasan.14
Mempertegas pengertian apa yang dimasudkan dengan penanaman modal,
Todung Mulya Lubis mengemukakan pengertian dari penanaman modal bahwa
kalau dibaca ketentuan yang tertuang dalam Pasal 1 UU Nomor 1 Tahun 1967 jo.
UU Nomor 11 Tahun 1970 tentang PMA, maka pengertian penanman modal
khususnya modal asing agaknya berat ke equity, suatu fresh capital yang datang
dari luar negeri.15
Pengertian tersebut terlalu sempit sehingga diakuinya pula
termasuk juga equiqment, patent, dan teknologi baru. Dalam ketentuan Pasal 1
UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing yang sudah dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku lagi disebutkan bahwa:
“Pengertian penanaman modal asing di dalam undang-undang ini hanyalah
meliputi penanaman modal asing secara langsung yang diadakan menurut
atau berdasarkan ketentuan undang-undang ini dan yang digunakan untuk
menjalankan perukasaan di Indonesia, dalam arti bahwa pemilik modal secara
langsung menanggung resiko dari penanaman modal tersebut”.16
Pengertian lain tentang penanaman modal diberikan oleh Organization
European Economic Coorporation (OEEC) yaitu “direct investment, is mean
acquisition of sufficient interest in an undertaking to ensure its control by the
investor”. Kesimpulan yang dapat ditarik dari perumusan tersebut adalah
14.
Ibid, hal.24.
15.
T. Mulya Lubis, 1992, Hukum Ekonomi, Sinar Harapan, Jakarta, hal. 23.
16.
Ibid.
59
penanaman modal diberi keleluasaan pengusahaan dan penyelenggaraan pimpinan
dalam perusahaan di mana modalnya ditanam, dalam arti bahwa penanaman
modal mempunyai penguasaan atas modal. Pengertian ini terlalu menitikberatkan
pada penguasaan perusahaan dan tidak memperhitungkan adanya kemungkinan
penanaman modal ini dalam bentuk portofolio investment.
Lain lagi, pengertian yang diberikan oleh Andean Pact yang menyangkut
Direct Foreigen Investment yaitu sebagai berikut:
Contribution coming from abroad, owned by individuals or concerns, to the
capital of enterprise must be in freely conbertible currencies, industrial
plants, machinery or equiqment with the right to re-export their value and to
remit profit aboard. Also concidered as direct foreign investments are those
investments in local currency originating from re-cources which have the
right to be remitted aboard.
Arti penanaman modal menurut Andean Pact yang terdapat dalam Pasal 1
The Caetagena Agreement tersebut, pada pokoknya menekankan kepada
pengertian modal asing yang dilakukan para penanam modal asing secara
perorangan.
Ismail Suny, lebih menegaskan lagi bahwa kiranya lebih tepat apabila
dibedakan modal asing dalam bentuk penanaman dan modal asing dalam bentuk
kredit.17
Perumusan sebagaimana yang di atas tentang apa yang dimaksudkan dengan
penanaman modal, khususnya modal asing pada prinsipnya mengandung beberapa
unsur pokok yakni:
17.
Ismail Suny dan Rudioro Rochmat, 1967, Tinjauan dan Pembahasan UUMPA dan Kredit Luar
Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 36.
60
1) Penanaman modal secara langsung (direct investment)
2) Penggunaan modal untuk menjalankan perusahaan di Indonesia.
3) Resiko yang lansung ditanggung oleh pemilik modal.
Dengan demikian, pengertian penanaman modal, khususnya penanaman
modal asing sesuai dengan rumusan Pasal 1 tersebut hanyalah bersangkutan paut
dengan penanaman modal yang dilaksanakan secara langsung (direct invesment),
di mana pemilik modal hanya memiliki sejumlah saham dalam suatu perusahaan
tanpa ikut serta atau mempunyai kekuasaan langsung dalam pengelolaan
manajemen perusahaan tersebut. Perbedaan penting diketahui agar bisa dibedakan
secara tegas, yang termasuk dalam kategori penanam modal, khususnya asing dan
yang bukan sebagai penanaman modal asing meskipun di dalamnya terdapat unsur
asing.18
Perbedaan antara penanaman modal asing dan penanaman modal dalam
negeri jelas dikaitkan dengan pihak yang melakukan penenaman modal dan asal
dari modal tersebut. Modal tidak selalu berbentuk uang, tetapi dapat juga dalam
berbentuk lain yang bikan uang sepanjang mempunyai nilai ekonomis. “Modal
Asing” dalam Pasal 1 angka 8 UU Penanaman Modal didefinisikan sebagai modal
yang dimiliki oleh negara asing, perseorangan warga negara asing, badan usaha
asing, badan hukum asing dan/atau badan hukum Indonesia yang sebagian atau
seluruh modalnya dimiliki oleh pihak asing. Selanjutnya Pasal 5 ayat (2) UU
Penanaman Modal mengatur bahwa “penanaman modal asing wajib dalam bentuk
18.
Aminuddin Ilmar, 2010, Hukum Penanaman Modal Di Indonesia, Cet. IV, Kencana Prenada
Media Group, Jakarta, hal. 54.
61
perseroan terbatas (limited liability company) berdasarkan hukum Indonesia dan
berkedudukan di dalam wilayah negara Republik Indonesia kecuali ditentukan
lain oleh undang-undang”. Hal ini mengakibatkan perusahaan yang di dalamnya
terdapat unsur modal asing memiliki status sebagai perusahaan Penanaman Modal
Asing (PMA) untuk membedakannya dengan perusahaan yang berstatus
penanaman modal dalam negeri (PMDN) atau juga perusahaan yang tidak
berstatus PMA ataupun PMDN atau yang sering dikenal sebagai swata nasional
atau perseroan terbatas biasa (PT Biasa). 19
Apabila ditinjau lebih jauh sebenarnya pemaknaan “modal asing” dalam
Pasal 1 angka 8 UU Penanaman Modal tidak terlalu tepat, karena terminologi
“modal asing” mencakup juga modal yang dimiliki oleh badan hukum Indonesia
yang sebagian atau seluruh modalnya dimiliki oleh asing atau dengan kata lain
modal yang dimiliki oleh perusahaan PMA. Modal asing yang telah
diinvestasikan secara langsung ke suatu perusahaan PMA memang merupakan
penanaman modal asing, dan karenanya perusahaan PMA tersebut menerbitkan
saham kepada pemodal asing yang bersangkutan. Uang yang diinvestasikan oleh
pemodal asing pada perusahaan PMA tersebut secara hukum dan akutansi
merupakan aset atau aktiva dari perusahaan PMA dalam bentuk cash dan tidak
dapat dikatakan lagi sebagai aset atau aktiva dari pemodal asing tersebut.
Hubungan antara pernyertaan modal atau investasi di perusahaan PMA tersebut,
di mana saham itulah yang menjadi aset atau aktiva dari penanaman modal asing
tersebut. Apabila uang tersebut kemudian digunakan oleh perusahaan PMA
19.
David Kairupan, op.cit, hal. 25.
62
tersebut sebagai penyertaan modal pada perusahaan lain, maka sebenarnya
penyertaan modal di perusahaan lain yang dilakukan oleh perusahaan PMA tidak
dapat dikategorikan sebagai penanaman modal asing.
Penyertaan modal perusahan PMA tersebut pada perusahaan lain
dikategorikan sebagai penanaman modal asing, maka sebaiknya ditentukan nilai
persentase penyertaan modal perusahaan PMA tersebut pada perusahaan lain
sangat kecil, maka seharusnya perusahaan lain tersebut tidak dapat serta merta
dikategorikan sebagai “modal asing”.20
Kejanggalan dari kerangka konseptual “modal asing” sebagaimana diaur
dalam Pasal 1 angka (8) UUPM dapat diuraikan lebih jelas apabia diilustrasikan
dengan diagram dan contoh kasus sebagai berikut:
61.Ibid, hal 26.
10%
90%
10%
PT C (PMA)
PT D (PMA)
75%
PT F (PMA)
25%
PT G (PMA) Jual Beli 10% Saham di PT G
10%
90%
Pemodal Asing
A Limited
Permodalan Dalam Negeri
PT B
PT E (PT Biasa)
63
Diagram di atas digambarkan contoh di mana PT A Limited sebuah
perushaan asing yang didirikan di Singapura bersama partner lokalnya PT B,
sebuah perusahaan Indonesia secara patungan mendirikan sebuah perusahaan di
Indonesia dengan nama PT C. PT A Limited memegang kepemilikan saham di PT
C sebesar 75%, sedangkan PT B memiliki saham 25% di PT C. Dengan demikian
dalam struktur permodalan PT C terdapat modal asing yang berasal dari A
Limited dan sebagai konsekuensinya PT C berstatus perusahaan PMA. Jika PT C
selanjutnya bersama dengan salah satu pemegang sahamnya, yaitu PT B,
mendirikan PT D denga struktur permodalan yaitu PT C memiliki saham sebesar
10%, sedangkan PT B sebesar 90%, maka berdasarkan UUPM status PT D
menjadi PMA, walaupun jumlah kepemilikan modal PT C selaku perusahaan
PMA hanya 10% dibandingkan dengan PT B selaku partner dalam kepemilikan
saham di PT D. Apabila dalam perkembangannya PT D berpatungan dengan PT
E, sebuah perusahaan yang berstatus PT non PMA dengan cara membeli saham
PT G yang sebelumnya dimiliki oleh PT F, maka berdasarkan pemahaman Pasal 1
angka (8) UUPM juncto Pasal 23 Peraturan Kepala BKPM Nomor 12 Nomor
2009, status PT G harus berubah menjadi Perusahaan PMA. Perubahan status PT
G menjadi perusahaan PMA tetap harus dilakukan walaupun penyertaan modal
PT D selaku perusahaan PMA hanya 10% dibandingkan penyertaan modal PT E
selaku pemegang saham lainnya di PT G.21
Berdasarkan contoh kasus di atas, jelas menjadi semakin absurd pengertian
“modal”asing apabila dikaitkan deengan “status perusahaan PMA”, karena starus
21.
Ibid, hal. 28.
64
perusahaan PMA dapat terjadi walaupun sebenarnya penyertaan modal dari pihak
asing secara langsung di perusahaan tersebut sudah tidak ada. pemeberian status
perusahaan PMA pada sebuah perusahaan terkesan lebih menekankan formalitas
ketimbang substansi dari eksistensi dan besarnya modal pihak asing di dalam
perusahaan tersebut. Hal tersebut dapat menimbulkan misleading dalam
pendataan jumlah modal asing apabila dikaitkan dengan jumlah Perusahaan PMA
di Indonesia. Pemberian status terkesan lebih menegagkan formalitas ketimbang
substasi dari eksistensi dan besarnya modal pihak asing dalam perusahaan
tersebut.
Dianalisis lebih lanjut pengertian “penanaman modal asing” sebagaimana
diatur dalam Pasal 1 angka 3 UUPM, sebenarnya tidak memberikan penjelasan
bahwa apa yang dimaksud dengan penanaman modal asing adalah kegiatan
penanaman modal yang dilakukan oleh badan usaha Indonesia yang sebagian atau
seluruhnya dimiliki oleh pihak asing, melainkan oleh penanaman modal asing
sepenuhnya atau yang berpatungan dengan penanaman modal dalam negeri.
Dengan kata lain, penanaman modal asing sebenarnya adalah penanaman modal
yang dilakukan oleh pihak asing (pemodal asing) atau pihak asing yang
berpatungan dengan pihak lokal (penanam modal asing), di mana penanaman
modal asing itu bersifat langsung dan tidak mencakup penanaman modal asing
yang dilakukan secara tidak langsung melalui badan usaha Indonesia.22
22.
Ibid, hal. 29.
65
2.3.2. Tujuan Dan Manfaat Penanaman Modal Asing
Keberadaan investasi yang ditananamlam oleh investor, terutama modal
asing, ternyata memberikan dampak positif di dalam pembangunan nasional. Adi
Harsono mengemukakan manfaat dari adanya investasi asing atau perusahaan
asing, yaitu sebagai berikut:
1. Masalah gaji, perusahaan asing membayar gaji pegawainya lebih tinggi
dibandingkan gaji rata-rata nasional.
2. Perusahaan asing menciptakan lapangan pekerjaan lebih cepat
dibandingkan perusahaan domestik sejenis.
3. Perusahaan asing tidak segan-segan mengeluarkan biaya di bidang
pendidikan, pelatihan dan di bidang penelitian (R&D) di negara di mana
mereka menanamkan modalnya.
4. Perusahaan asing cenderung mengekspor lebih banyak dibandingkan
perusahaan domestik.23
Jhon W. Head juga mengemukakan delapan manfaat investasi, khususnya
PMA. Kedelapan keuntungan PMA itu adalah sebagai berikut:
1. Menciptakan lowongan kerja bagi penduduk nega tuan rumah sehingga
mereka dapat meningkatkan penghasilan mereka dan standar hidup
mereka;
23.
H. Salim HS, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta2010,
(selanjutnya disingkat Salim HS III),hal 112, dikutip dari Jhon W. Head, 2002, Developing
Countries and the Frame work for Negotiations on Foreign Direct Investment in The World Trade
Organitation, U.J.Intll.L, hal. 89.
66
2. Menciptakan kesempatan penanaman modal bagi penduduk negara tuan
rumah, sehingga mereka dapat berbagai dari pendapatan perusahaan-
perusahaan baru;
3. Meningkatkan ekspor dari negara tuan rumah, mendatangkan
penghasilan tambahan dari luar yang dapat dipergunakan untuk berbagai
keperluan untuk kepentingan kependudukannya;
4. Menghasilkan pengaihan pelatihan teknis dan pengetahuan, yang mana
dapat digunakan oleh penduduk untuk mengembangkan perusahaan dan
industri lain;
5. Memperluas potensi swasembada negara tuan rumah dengan
memproduksi barang setempat untuk menggantikan barang impor;
6. Menghasilkan pendapatan pajak yang dapat digunakan untuk berbagai
keperluan, demi kepentingan penduduk dari negara tuan rumah.
7. Membuat sumber daya negara tuan rumah baik sumber daya alam da
sumber daya manusia menjadi lebih baik pemanfaatannya daripada
semula.24
Berdasarkan teori pertumbuhan modal yang dikemukakan oleh Adam
Smith, yang berpendapat bahwa perkembangan ekonomi memerlukan PMA.
Pembagian kerja hanya bisa dilakukan setelah adanya akumulasi modal (capital
accumulation). Namun pengemban selanjutnya dari teori pertumbuhan modal ini
adalah David Ricardo dan Oentoeng Soeropati. Ia mengemukakan sebagai
berikut:
24.
Ibid, hal. 113.
67
“Pemerintah tidak boleh mencampuri kegiatan perdagangan dan investasi
dan harus selalu mengupayakan pasar yang bebas. Mekasnisme pasarlah
yang seharusnya menentukan bagaimana kinerja investasi asing dan
kebebasan aliran akan mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi.
Kebebasan persaingan seluas-luasnya antara pelaku bisnis domestik dan
asing agar pasar bebas benar-benar efisien. Investasi dianggap sebagai suatu
kegiatan pembentukan modal (capital formation). Artinya bahwa fungsi
laba dalam perekonomian di mana pemerintah tidak menjadi investor atau
partisipasipan penting. Investasi asing dapat dianggap sebagai pembentukan
modal oleh perusahaan ke suatu negara asing”.25
Apablia kita analisis pandangan ini, keberadaan dari investasi asing di
dalam suatu negara akan mempercepat pertumbuhan ekonomi dan negara
penerima investasi. Hal yang sangat penting bagi investor adalah kepastian hukum
di negara ia melakukan usahanya di negara yang bersangkutan. Keberadaan
investasi asing, di tingkat regional atau lokal, akan menggerakan aktivitas
ekonomi yang cukup tinggi. Dunia usaha akan berkembang dengan dengan baik
begitu juga masyarakat lokal menjadi meningkat.26
Tujuan yang di dapatkan oleh PMA di kemukakan oleh William A. Fannel
dan Joseph W. Tyler, serta Eric. M Brut, yaitu:
1. Memberikan modal kerja;
2. Mendatangkan keahlian, manajerial, ilmu pengetahuan, modal dan
koneksi pasar;
3. Penanaman modal asing tidak melahirkan utang baru;
25.
Oentoeng Soeropati, 1999, Hukum Investasi Asing, Fakultas Hukum Universitas Kreisten Satya
Wacana, Salatiga, hal. 25.
26.
Ibid, hal. 123.
68
4. Menbantu upaya-upaya pembangunan kepada perekonomian negara
penerima.27
Dampak positif PMA, keberadaan modal asing juga menimbulkan dampak
negatif bagi negara penerima, yaitu sebagai berikut:
1. Penanaman modal asing berdampak negatif bagi perekonomian negara
penerima.
2. Penanaman modal asing melahirkan sengketa dengan negara penerima
atau dengan penduduk asli miskin setempat, khususnya negara-negara
berkembang.
3. PMA oleh Multinational Enterprise atau MNEdapat mengontrol atau
mendominasi perusahaan-perusahaan lokal. Sehingga akibatnya, mereka
dapat mempengaruhi ekonomi bahkan kebijakan politis negara penerima.
4. MNE banyak dikecam telah mengembalikan keuntungan-keuntungan dari
kegiatan-kegiatan bisnisnya ke negara tempat perusahaan induknya
berada. Praktik ini setidaknya telah mengurangi cadangan persediaan
mata uang asing (foreign exchange reserves) dari negara penerima.
5. Adanya tuduhan terhadap MNE yang kegiatan usahanya ternyata telah
merusak lingkungan di sekitar lokasi usahanya terutama negara-negara
yang sedang berkembang. Pasalnya MNE telah menggunakan zat-zat
27.
Huala Adolf, 2004, Perjanjian Penanganan Modal Dalam Hukum Perdagangan Internasional,
Cetakan, I, Raja Grafindo Persada, Jakarta. hal. 6, dikutip dari William A. Fenel and Joseph W.
Tyeler, 1995, Trade and International Investment from the GAAT to the Multilateral Agreement on
Investment, tanpa penerbit, tanpa tempat terbit, hal. 2003.
69
yang membahayakan lingkungan atau menerapkan teknologi yang tidak
atau kurang memperhatikan lingkungan.
6. MNE telah dikritik telah merusak aspek-aspek positif penanaman modal
itu sendiri di negara-negara sedang berkembang. Misalnya, adanya
praktik MNE yang acap kali menerepkan kegiatan usaha yang bersifat
restriktif (restrctive bussiner practices).
Walaupun PMA berdampak negatif terhadap negara rumah tangga, setiap
negara tetap berkeinginan supaya negara pemilik modal dapat melakukan
penanaman modal di negata yang bersangkutan. Ini disebabkan keberadaan
penanaman modal, khususnya PMA terlihat lebih dominan dampak positif
daripada negatif.28
2.4. Perbedaan antara Nasionalisasi dan Divestasi terhadap Perusahaan
Penanaman Modal Asing
Tindakan nasionalisasi atas perusahaan asing di satu pihak dengan kegiatan
investasi pada lain pihak, merupakan dua variabel yang saling bertentangan. Pada
variabel kegiatan investasi para investor memerlukan adanya suatu kepastian
hukum demi ketenangan untuk berusaha, dan di lain pihak negara penerima modal
dengan dalih adanya kesenjangan ekonomi, dan alasan politis lainnya dapat
melakukan tindakan nasionalisasi terhadap perusahaan asing di negaranya. Hal ini
menjadikan problematika diseputar kegiatan investasi di suatu negara berkembang
termasuk Indoneisa, mengapa perlu diadakan tindakan nasionalisasi terhadap
28.
Salim, HS III, op.cit, hal. 114.
70
perusahaan asing, dan apakah perbuatan itu tidak menghambat arus investasi ke
negara penerima modal asing.29
Dengan demikian nasionalisasi adalah suatu cara peralihan hak dari pihak
partekelir kepada negara secara paksa. Dalam rangka tinjauan tersebut maka
nasionalisasi dipandang sebagai “Species” dari “Genus” pencabutan hak
danOnteigening. Berkaitan dengan ketentuan di atas berarti setiap ada
“onteigening” pada prinsipnya harus diikuti dengan “ganti rugi”.
Di Indonesia ketentuan tentang nasionalisasi diatur dalam Undang-Undang
Nomor 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan Milik Belanda. Dalam
istilah nasionalisasi termasuk didalamnya “expropriation” atau “confiscatie”.30
Dengan istilah nasionaliasi ini diartikan bahwa suatu perusahaan menjadi milik
negara. Perusahaan bersangkutan menjadi “a nation affair”. Dalam hal
nasionalisasi yang menjadikan objeknya perusahaan-perusahaan. Kollewijn
mengemukakan pendapatnya bahwa “There is said to be nationalisation
principally if an expropriation forms part a more or less extensive reform of the
social or economie structure of a country”.
Sedangkan Gouw Giok Siong dengan mengutip pendapat Wortley
menegaskan bahwa “nationalitation is not a term of art”, tetapi digunakan untuk
menunjuk pada expropriation in the pursuance of some national enterprises, or to
29.
Gouw Giok Siong, op.cit, hal. 6.
30.
Ibid, hal. 8.
71
strengthen, a nationally controlled industry. Nationalization different in its scope
and extent rather than in its judicial nature from other types of expropriation.31
Divestasi merupakan ketentuan yang mengatur tentang penjualan saham
yang dimiliki oleh perusahaan atau cara mendapatkan uang dari investasi yang
dimiliki oleh seseorang. Sementara itu pengertian divestasi sendiri dapat
ditemukan dalam Pasal 1 anggka 13 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2008
tentang Investasi pemerintah dan Pasal 1 angka 1 Peraturan Mentri Keuangan
Republik Indonesia Nomor 183/PMK.05/2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara
Divestasi Terhadap Investasi Pemerintah. Divestasi adalah “ penjualan surat
berharga dan/atau kepemilikan pemerintah baik sebagian atau keseluruhan kepada
pihak lain ”.
Jeff Madura memberikan pengertian divestasi, yaitu sebagai berikut:
“pengurangan beberapa jenis aset baik dalam bentuk finansial atau barang, dapat
pula disebut penjualan dari bisnis yang dimiliki ileh perusahaan, ini adalah
kebalikan dari investasi pada aset yang baru”.32
Sedangkan Setyo Wibowo
mendefinisikan divestasi:
“Sebagai suatu transaksi penjualan aset kepemilikan/saham suatu entilitas
ekonomi yang dikuasai pemerintahan oleh intitusi yang ditunjuk seperti
BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) atau PT Perusahaan
Pengelola Aset (Persero).33
31.
Ibid.
32.
Wikipedia, TT, „Divestasi‟, http://dd.wikipedia.org/wiki/Divestasi, diakses tanggal 19
Desember 2014.
33.
Setyo Wibowo, 2006, “Divestasi dan Privatisasi Aset Negara ke Investor Asing – Antara Nasionalisme
Ekonomi dan Keniscayaan Globalisasi”, http://setyowibowo.wordpress.com/2006/07/05/7/, diakses
tanggal 19 Desember 2014.
72
Abdul Moin juga memberikan pengertian divestasi, yaitu “menjual sebagian
unit bisnis atau anak perusahaan kepada pihak lain untuk mendapatkan dana segar
dalam rangka menyehatkan perusahaan secara keseluruhan”.34
Apabila berbagai definisi yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah dan
pandangan para ahli tersebut dianalisis, ternyata divestasi dikonstruksikan sebagai
jual beli. Dikonstruksikan sebagai kegiatan jual beli dikarenakan jual beli
merupakan suatu persetujuan, dengan mana pihak satu mengikat dirinya untuk
menyerahkansuatu kebendaan, dan pihak lain untuk membayar harga yang
dijanjikan (Pasal 1457 KUHPerdata). Pemerintah bertindak sebagai penjual,
sedangkan pihak lainnya, berupa Badan Usaha, Badan Layanan Umum (BLU),
Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota. Badan Layanan Umum Daerah (BLUD),
dan/atau badan hukum asing bertindak sebagai pembeli. Objek divestasi adalah
surat berharga dan aset. Surat berharga adalah:“saham dan/atau surat utang”.
Sementara itu, yang diartikan dengan saham adalah:“surat bukti pemilikan modal
perseroan terbatas yang memberikan hak atas deviden dan lainnya”.35
Nasionalisasi dan divestasi selalu menjadi polemik terutama bila dikaitkan
dengan keterlibatan investor asing. Pihak yang tidak setuju dengan penjualan
kepada pihak asing pada umumnya mendasarkan pendapatnya pada konsep
nasionalisme ekonomi, sedangkan pihak yang sebaliknya mendasarkan pada
konsep pasar bebas dan globalisasi. Walaupun mungkin merupakan implifikasi,
34.
Abdul Moin, 2007, Merger, Akuisisi, & Divestasi, Edisi Kedua, Ekosina Kampus Fakultas
Ekonomi UII, Yogyakarta, hal. 332.
35.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1989, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka, Jakarta, hal. 766.
73
tindakan nasionalisme ekonomi akan dipandang sebagai antitesis dari pasar bebas
(liberalisme) dan globalisasi.
Tindakan Nasionalisasi akan menolak modal asing karena dipandang
sebagai alat bagi agen liberalisme dan globalisasi (negara-negara maju dan
lembaga-lembaga internasional pemilik modal) dalam mempertahankan
hegemoninya atas negara-negara berkembang dan terbelakang. Oleh nasionalisme
ekonomi, modal asing justru dipandang hanya menimbulkan ketergantungan
negara penerimanya terhadap negara donor. Setelah terjadi ketergantungan,
negara donor bisa memaksakan berbagai ketentuan yang hanya menguntungkan
pihaknya, seperti keharusan membuka pasar atau mengadopsi sistem ekonomi dan
politik tertentu. Secara singkat, modal asing dipandang akan membahayakan
kepentingan nasional.
Namun demikian, mau tidak mau atau suka tidak suka, globalisasi telah,
sedang, dan masih akan terus berlangsung dan menjadi sebuah keniscayaan.
Apalagi untuk negara yang posisi tawarnya sangat lemah seperti Indonesia yang
terdesak dengan masalah fiskal yang defisit, investasi dalam negeri yang sangat
rendah, pengangguran yang membengkak, sistem moneter yang rentan
goncangan, dan segudang masalah lainnya.36
36.
Setyo Wibowo, loc.cit.
Recommended