View
8
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG WAKAF DI INDONESIA
1.1. Pengertian Wakaf
Ditinjai dari segi bahasa wakaf berasal dari bahasa Arab waqf yang berasal dari
kata woqofa-yaqifu-waqfa yang berarti ragu-ragu, berhenti, memperlihatkan,
memperhatikan, meletakan, mengatakan, mengabdi, memahami, mencegah, menahan,
dan tetap berdiri.1 Kata al-waqf adalah bentuk kata kerja dari ungkapan waqfu al-syai
yang berarti menahan sesuatu. Dalam pengertian secara umum wakaf adalah pemberian
yang pelaksanaannya dilakukan dengan jalan menahan (pemilikan) asal (tahbisul ashli),
lalu menjadikan manfaatnya berlaku umum. Sedangkan yang dimaksud dengan tahbisul
ashli ialah menahan barang yang diwakafkan itu agar tidak diwariskan, disewakan dan
digadaikan kepada orang lain. Cara pemanfaatanya, menggunakannya adalah sesuai
dengan kehendak pemberi wakaf (wakif) tanpa imbalan. 2
Wakaf menurut istilah berarti menahan harta yang dapat diambil manfaatnya tanpa
musnah seketika dan untuk penggunaan yang mubah, serta dimaksudkan untuk
mendapatkan keridhaan Allah S.W.T.3
1.2. Pengertian Wakaf Secara Terminologis.
Pengertian wakaf jika ditinjau dari segi terminologis ada beberapa konsep,
dimana para pakar hukum Islam memiliki pendapat yang berbeda-beda sesuai dengan
faham dari mazhab yang dianutnya.4
1 Farida Prihartin dkk, 2005, Hukum Islam, Zakat dan waqaf, Teori dan Prakteknya di Indonesia, Papas Sinar Sinanti
dan Fak. Hukum UI, Jakarta h. 108-109. 2 Departeman Agama RI,2005, Paradigma Baru Wakaf di Indonesia, Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf
Depag, Jakarta, h. 1-2. 3 Ahmad Azhar Basyir, 1987, Hukum Islam Tentang Wakaf Ijarah Syirkah, Alma’arif, Bandung, h. 5.
Al Minawi dari mazhab Syafi’i menyatakan wakaf adalah menahan harta benda
yang dimiliki dan menyalurkan manfaatnya dengan tetap menjaga pokok barang dan
keabadiannya yang berasal dari para dermawan atau pihak umum selain dari harta
maksiat, semata-mata karena ingin mendekatkan diri kepada Allah SWT. Al Kabisi dari
mazhab Hanafi menyatakan bahwa wakaf adalah menahan benda dalam kepemilikan
wakif dan menyedekahkan manfaatnya kepada orang-orang miskin dengan tetap menjaga
keutuhan bendanya. Dalam pembatasan ini menekankan bahwa wakaf itu menahan benda
milik si wakif dan yang disedekahkan adalah manfaatnya atau hasilnya saja. Sedangkan
dari penganut Imam Malik menyatakan bahwa wakaf itu adalah menjadikan manfaat
benda yang dimiliki, baik yang berupa sewa atau hasilnya untuk diserahkan kepada orang
yang berhak, dengan bentuk penyerahan berjangka waktu sesuai dengan apa yang
diperjanjikan atau yang dikehendaki oleh orang yang mewakafkan. Wakaf menurut
pendapat ini tidak disyaratkan berlaku untuk selamanya, tetapi sah apabila berlaku untuk
dalam waktu tertentu saja, sesudah itu kembali kepada pemiliknya.
Mundzir Qahaf menyatakan bahwa wakaf adalah menahan harta baik secara abadi
maupun sementara, dari segala bentuk tindakan pribadi,seperti menjual dan memberikan
wakaf atau yang lainnya, untuk tujuan pemanfaatannya atau hasilnya secara berulang-
ulang bagi kepentingan umum atau khusus, sesuai dengan tujuan yang disyaratkan oleh
Wakif dan dalam batasan hukum syari’at.5
Perkembangan pelaksanaan wakaf di Indonesia sebagian besar mengikuti mazhap
Syafi’i yang antara lain pokok-pokok pandangannya meliputi ;
a. Ikrar wakaf
4 Abdul Manan, 2007, Hukum Wakaf Dalam Paradigma baru di Indonesia, Varia Peradilan, No 255 Februari 2007,
Jakarta, h. 32. 5 Mundzir Qahaf, 2005, Manajemen Wakaf Produktif , Khalifa, Jakarta, h. 157.
b. Harta yang boleh diwakafkan
c. Kedudukan harta setelah diwakafkan
d. Harta wakaf ditujukan kepada siapa
e. Boleh tidaknya tukar menukar harta wakaf6
a. Ikrar wakaf. Sebelum adanya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun
1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik, pelaksanaan perwakafan hanya dilakukan
dengan secara lisan saja yang didasarkan pada adat kebiasaan keberagamaan yang
bersifat lokal. Pernyataan lisan secara jelas menurut pandangan As-Syafi’i termasuk
bentuk dari pernyataan wakaf yang sah. Perwakafan secara lisan dipandang sah tidak
berarti bahwa pelaksanaan perwakafan yang dilakukan secara tertulis itu tidak sah.
Pernyataan secara tertulis dalam perwakafan justru dapat dipergunakan sebagai bukti
yang kuat bahwa orang yang berwakaf itu benar-benar telah melakukan wakaf.
b. Harta yang boleh diwakafkan.
Harta benda yang diwakfkan itu dipandang sah apabila memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut;
1. Benda harus memiliki nilai guna. Maksudnya tidak sah hukumnya mewakafkan
sesuatu yang bukan berwujud benda, misalnya yang berupa hak-hak, seperti hak
pakai, hak lewat, hak irigasi. Tidak sah mewakafkan sesuatu benda yang tidak
berharga menurut syara, yaitu benda yang tidak boleh diambil manfaatnya seperti
benda yang memabukan maupun benda-benda yang haram lainnya. Tujuan wakaf
6 Departemen Agama RI, 2005, perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia, Dirjen Bimas Islam dan
Penyelenggaraan Haji, Jakarta, h. 34.
adalah untuk mengambil manfaat dari benda wakaf tersebut serta untuk
mendapatkan pahala atau keridhaan Allah SWT atas perbuatan tersebut.
2. Benda tetap atau benda bergerak yang dibenarkan untuk diwakafkan. Yang
dijadikan sandaran dalamm melakukan wakaf terhadap harta adalah dilihat dari
segi kekelan fungsi atau manfaat dari harta tersebut, baik harta tersebut berupa
benda bergerak atau tidak bergerak. Pada umumnya perwakafan di Indonesia
masih didominasi wakaf terhadap harta yang tidak bergerak, misalnya tanah,
bangunan untuk masjid/mushola, tempat pendidikan/ sekolah, rumah sakit, tempat
pemakaman dan sebagainya.
3. Benda yang diwakafkan harus tertentu (nyata dapat diketahui) ketika terjadi akad
wakaf. Penentuan harta wakaf tersebut dapat ditetapkan dengan jumlah, misalnya
disebutkan jumlahnya seratus juta, atau dapat juga dengan menyebutkan
nisbahnya terhadap benda tertentu misalnya sepertiga dari tanah yang dimiliki,
dan sebagainya. Wakaf yang tidak menyebutkan secara jelas harta yang akan
diwakafkan maka hukumnya tidak sah, misalnya hanya menyebutkan sebagian
tanah miliknya atau sejumlah bukunya dan sebagainya.
4. Benda yang diwakafkan harus benar-benar menjadi milik tetap si wakif atau
orang berwakaf, ketika terjadi akad wakaf. Benda yang belum menjadi miliknya
tidak sah hukumnya untuk diwakafkan, meskipun harta itu nantinya akan menjadi
miliknya, harta yang masih dijaminkan, uang arisan yang belum diundi dan
sebagainya.
c. Kedudukan harta setelah diwakafkan. Harta yang telah diwakafkan kedudukanya
menjadi milik Allah SWT atau menjadi milik umum. Harta yang telah diwakafkan
oleh wakif sudah lepas hak kepemilikannya dari wakif sejak wakaf diikrarkan, jadi
Wakif sudah tidak mempunyai hak terhadap benda wakaf itu, maka si Wakif tidak
dapat menarik kembali, membatalkan dan membelanjakannya yang dapat
mengakibatkan perpindahan hak milik, tidak dapat menjual, menggadaikan,
menghibahkan, mewariskan.
d. Harta wakaf ditujukan kepada siapa. Pertama harta wakaf dapat ditujukan kepada
keluarga atau orang tertentu (wakaf ahli ), bahwa hasil harta wakaf itu hanya
diperuntukan kepada keluarga yang ditunjuk oleh wakif. Kedua wakaf ditujukan
kepada kepentingan umum atau masyarakat (wakaf Khairi) , hasil dari harta wakaf
dapat dimanfaantkan untuk kepentingan masyarakat
e. Boleh tidaknya tukar menukar terhadap harta wakaf. Menurut paham As-Syafii di
Indonesia harta benda wakaf tidak boleh ditukar dengan alasan apapun. Dampak dari
keteguhan pendirian berdasarkan ajaran Mazhaf Syafi’I ini terhadap harta wakaf yang
berupa bangunan masjid atau bentuk bangunan yang lain yang sudah rusak atau
kurang layak untuk digunakan maka masyarakat tidak lagi mau memanfaatkannya
yang akibatnya bangunan tersebut akan semakin tidak terurus dan terbengkelai. Pada
hal jika harta wakaf itu dapat ditukarkan dengan harta yang lebih produktif maka
hasilnya dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat.
1.3. Unsur-Unsur Wakaf
Kesempurnaan suatu pelaksanaan perbuatan wakaf sangat sangat dipengaruhi oleh
terpenuhinya unsur-unsur perbuatan wakaf. Menurut sebagian besar pandangan para
ulama rukun wakaf itu meliputi;
1. Orang yang berwakaf (wakif).
2. Harta yang diwakafkan (maukuf).
3. Tujuan wakaf(maukuf a’laih)
4. Pernyataan wakaf (shighat).7
Unsur-unsur wakaf berdasarkan pada Pasal 6 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004
Tentang Wakaf adalah;
1. Wakif
2. Nazhir
3. Harta benda wakaf
4. Ikrar wakaf
5. Peruntukan harta benda wakaf
6. Jangka waktu wakaf.
Masing-masing unsur dari wakaf tersebut harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut;
1. Wakif (orang yang melakukan wakaf).
Wakif harus memenuhi syarat mempunyai kecakapan melakukan tabaru yaitu
melepaskan hak milik tanpa imbangan materiil. seseorang dikatakan mempunyai
kecakapan bertabaru apabila ia telah dewasa (baligh), berakal sehat , tidak terhalang
melakukan perbuatan hukum, dan pemilik sah dari harta benda wakaf.
Yang menjadi titik berat dalam menentukan apakah seseorang dipandang cakap
bertabaru atau tidak adalah adanya pertimbangan akal yang sempurna pada orang
yang telah mencapai umur baligh. Dalam Fikih Islam dikenal ada dua pengertian
untuk menentukan kedewasaan seseorang yaitu pengertian baligh dan rasyid .
7 Ahmad Azhar Basyir 1987, op cit, h. 8.
pengertian baligh dititik beratkan pada umur dan rasyid dititik beratakan pada
kematangan pertimbangan akal. Akan lebih tepat kiranya apabila dalam penentuan
kacakapan tabaru itu ditentukan juga adanya syarat rasyid. Tentang beragama Islam
atau tidak beragama Islam, tidak menjadi syarat bagi wakif, sehingga bagi seorang
penganut agama selain Islampun dibolehkan untuk berwakaf.
2. Nazhir.
Nazhir adalah perseorangan, organisasi atau badan hukum yang memegang amanah
untuk mengelola, mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan fungsi dan
tujuan wakaf. Adapun syarat-syarat bagi seorang Nazhir adalah
a. Warga Negara Indonesia
b. Beragama islam
c. Dewasa
d. Amanah
e. Mampu secara jasmani dan rokhani
f. Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.
3. Harta benda wakaf (mauquf) .
Harta benda yang diwakafkan dipandang sah apabila merupakan harta yang bernilai
tahan lama untuk dipergunakan dan harta yang dikuasai dan dimiliki sah oleh wakif.
Harta wakaf dapat berupa benda tidak bergerak, dan benda bergerak, seperti uang,
logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak atas kekayaan intelektual, hak sewa dan
benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
4. Ikrar wakaf.
Ikrar wakaf atau pernyataan wakaf dapat dikemukakan secara tertulis, lisan atau
dengan suatu isyarat yang dapat dipahami maksudnya. Pernyataan dengan tulisan atau
lisan dapat dipergunakan menyatakan wakaf oleh siapa saja, sedangkan cara isyarat
hanya dipergunakan bagi orang yang tidak dapat menggunakan secara tulisan atau
lisan. Untuk menjaga adanya kejelasan dalam pernyataan secara isyarat maka isyarat
tersebut harus benar-benar telah dimengerti oleh pihak yang menerima wakaf.
5. Peruntukan harta benda wakaf.
Peruntukan harta benda wakaf tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai ibadah, hal
ini sesuai dengan sifat amalan wakaf sebagai salah satu bagian dari ibadah.
Peruntukan harta benda wakaf harus merupakan hal-hal yang termasuk dalam
kategori ibadah pada umumnya, sekurang-kurangnya termasuk hal yang dibolehkan
menurut hukum Islam. Harta benda wakaf seperti diperuntukan sebagai;
a. Sarana dan kegiatan ibadah
b. Sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan
c. Bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, beasiswa
d. Kemajuan dan peningkatan ekonomi umat
e. Memajukan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertntangan dengan syariat
dan peraturan perundang-undangan.
6. Jangka waktu wakaf.
Para fuqaha berbeda-beda pendapat tentang syarat permanen atau untuk selamanya
dalam jangka waktu wakaf dan wakaf dalam jangka waktu tertentu. Diantara para
fuqaha ada yang mencantumkan jangka waktu sebagai syarat, ada juga yang tidak
mencantumkan sebagai syarat. Oleh karena itu ada fuqaha yang membolehkan wakaf
untuk jangka waktu tertentu.
1.4 Landasan Dan Pengaturan Wakaf
1.4.1. Landasan AL-Qur’an dan Hadist
Landasan amalan wakaf dapat dirujuk beberapa ketentuan dalam kitap suci Al-Qur’an
dan Hadist yang antara lain adalah;
A. Landasan Al Qur’an.
1. Qs Al-Baqarah ayat (267), disebutkan “ wahai orang-orang yang beriman,
nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari usahamu yang baik dan sebagian dari
apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih
yang buruk-buruk lalu nafkahkan dari padanya, pada hal kamu sendiri tidak mau
mengambilnya melainkan kamu akan mencicingkan mata padanya, dan ketahuilah
bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.
2. Qs Ali-Imran ayat (92), artinya Kamu sekali-kali tidak smpai kepada kebaikan
(yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai,
dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.
3. Qs AN Nahl ayat (97), artinya, barang siapa yang berbuat kebaikan laki-laki atau
perempuan dan ia beriman, niscayakan Aku beri pahala yang lebih bagus dari apa
yang mereka amalkan dan sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka
dengan pahala yang lebih baik dri apa yang telah mereka kerjakan.
4. Qs Al-Hajj (77), artinya, Wakai orang-orang yang beriman, rukuklah kamu,
sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu, dan berbuatlah kebajikan, supaya kamu
mendapat kemenangan.
B. Landasan Hadist.
1. Sunnah Rasulullah dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda apabila
manusia meninggal dunia terputuslah (pahala) amal perbuatanya kecuali dari tiga
hal, yaitu sedekah jariah yang mengalir terus menerus (wakaf), ilmu yang
bermanfaat dan anak shaleh yang mendoakan orang tuanya,(HR Muslim)8
2. Sunnah Rasulullah dari Ibnu Umar ra, bahwa Umar bin al- Khathab ra memperoleh
tanah (kebun) di Kaibar, lalu ia datang menghadap Rasulullah SAW untuk
meminta petunjuk. Umar berkata “ Hai Rasulullah SAW , saya mendapat sebidang
tanah di Khaibar, saya belum pernah mendapatkan harta sebaik itu, maka apakah
yang engkau perintahkan kepadaku?” Rasulullah SAW bersabda, bila engkau
suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan engkau sedekahkan (hasilnya).
Kemudian Umar mensedekahkan (tanahnya untuk dikelola), tidak dijual, tidak
diwariskan dan tidak untuk dihibahkan. Umar mensedekahkannya (hasil
pengelolaan tanah) kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, hamba sahaya,
sabilillah, ibnu sabil dan tamu dan tidak dilarang bagi yang mengelola (Nazhir)
wakaf makan dari hasilnya dengan cara yang baik (sepantasnya) atau
memberimakan orang lain dengan tidak bermaksud memupuk harta. (HR
Muslim).
8 Elsi Kartka Sari, 2006, Pengantar Hukum Zakat dan Wakaf, Grasindo, Jakarta, h. 56.
Setelah Umar bin al Khaththab mewakafkan tanahnya kemudian disusul oleh Abu
Thalhah yang mewakafkan kebun kesayangannya, dan sahabat Nabi SAW lainnya
seperti Abu Bakar yang mewakafkan sebidang tanahnya di Mekah, Utsman
menyedekahkan harta di Khaibar, Ali bin Abi Thalib mewakafkan tanahnya yang
subur, Muadz bin Jabal mewakafkan rumahnya, Anas bin Malik, Abdullah bin
Umar, Zubair bin Awwam, dan Aisyah istri Rasulullah SAW.
Dalam perkembangannya wakaf tidak hanya ditujukan kepada orang-orang
fakir dan miskin saja, tetapi wakaf menjadi modal untuk membangun lembaga
pendidikan, membangun perpustakaan dan untuk beasiswa bagi para pelajar
mahasiswa dan sebagainya. Sikap antusias dari masyarakat terhadap pelaksanaan
wakaf, menarik perhatian Pemerintah Negara untuk mengaturnya, bahwa
pengelolaan wakaf sebagai sektor untuk membangun solidaritas sosial dan
ekonomi masyakat.9
2.4.2 Pengaturan Perwakafan di Indonesia
A. Pengaturan Perwakafan di Indonesia pada masa Penjajahan Belanda.
Sebelum bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan bangsa Indonesia
sudah sering melakukan perwakafan. Praktek perwakafan ini selaras dengan
banyaknya kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, seperti kerajaan Demak, kerajaan
Pasai, kerajaan Mataram dan sebagainya. Pelaksanaan perwakafan yang berkembang
di masyarakat dilaksanakan dengan berdasarkan ajaran Islam yang bersumber dari
nilai-nilai ajaran Islam. Pada masa pemerintahan Hinda Belanda telah diterbitkan
9 Departemen Agama Ri, 2004, op cit , h. 11.
berbagai peraturan tentang wakaf di Indonesia guna mengatur tentang harta wakaf
yang begitu banyak berada di masyarakat. Adapun aturan-aturan tersebut adalah;
1. Surat Edaran Sekretaris Governemen Pertama Tanggal 31 Januari 1905 No.
435, sebagaimana termuat didalam Bijblad 1905 No. 6196, Tentang Toezicht
op den bouw van Muhammedaansche bedehuizen. Dalam surat edaran ini
meskipun tidak secara khusus mengatur tentang wakaf, tetapi pemerintah
Kolonial Belanda tidak bermaksud melarang atau menghalang-halangi praktek
wakaf yang dilakukan oleh umat Islam untuk memenuhi keperluan
keagamaannya. Akan tetapi untuk membangun tempat-tempat ibadah
diperbolehkan apabila benar-benar dikehendaki oleh kepentingan umum.surat
edaran tersebut ditujukan kepada kepala daerah di Jawa dan Madura kecuali
daerah Swapraja, untuk melakukan pendataan dan pendaftaran tanah-tanah atau
tempat ibadah Islam yang ada di Kabupaten masing-masing.
2. Surat Edaran dari Sekretaris Governemen Tanggal 4 Juni 1931 Nomor 1361 A,
yang dimuat dalam bijblad 1931 Nomor 125/ A Tentang Toezich van de
regeering op Muhammedansche bedehuizen, vrijdagdiensten en wakafs. Dalam
Surat Edaran ini pada garis besarnya memuat agar bijblad Tahun 1905 Nomor
6169 diperhatikan dengan baik. Untuk mewakafkan harta tetap diperlukan ijin
Bupati, yang menilai permohonan itu dari segi tempat harta tetap itu dan
maksud pendiriannya. Bupati memberi perintah supaya wakaf yang
diijinkannya dimasukan kedalam daftar, yang dipelihara oleh ketua pengadilan
agama. Dari semua pendaftaran diberitahukan kepada Asisten Wedana untuk
bahan baginya dalam pembuatan laporan kepada kantor Landrente.
3. Surat Edaran Sekretaris Governemen Tanggal 24 Desember 1934 Nomor
3088/A sebagaimana termuat didalam Bijblad Tahun 1934 Nomor 13390
Tentang Toezicht van de regeering op Muhammedansche bedehuizen, vrijdag
diensten en wakafs. Surat Edaran ini sifatnya hanya mempertegas apa yang
disebutkan oleh Surat Edaran sebelumnya, yang isinya memberi wewenang
kepada Bupati untuk menyelesaikan perkara, jika terjadi perselisihan atau
sengketa tentang tanah-tanah wakaf tersebut.
4. Surat Edaran Sekretaris Governemen Tanggal 27 Mei 1935 Nomor 1273/A
sebagaimana termuat didalam Bijblad 1935 Nomor 13480. Surat Edaran ini
juga bersifat penegasan terhadap Surat-Surat Edaran sebelumnya, yaitu khusus
mengenai tatacara perwakafan, sebagai realisasi dari ketentuan Bijblad Nomor
6169/1905 yang menginginkan registrasi dari tanah-tanah wakaf tersebut.
B. Pengaturan Perwakafan pada Negara Kesatuan Republik indonesia.
Setelah Indonesia merdeka maka dibentuklah Departemen Agama pada
Tanggal 3 Januari 1946 dan bidang wakaf mulai menjadi wewenang dari Departemen
Agama. Wewenang Departemen Agama dibidang perwakafan ini berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1949 yuncto Peraturan Pemerintah Nomor 8
Tahun 1950 serta berdasarkan Peraturan Menteri Agama Nomor 9 dan Peraturan
Menteri Agama Nomor 10 Tahun 1952. Disebutkan dalam peraturan tersebut bahwa
Departemen Agama dengan lembaga hierarkhi kebawah berkewajiban menyelidiki,
menentukan, mendaftar dan mengawasi pemeliharaan harta wakaf (khusus harta tak
bergerak yang berupa tanah dan bangunan masjid). Berdasarkan ketentuan tersebut
berarti wewenang dari Departeman Agama terbatas pada hal-hal tersebut dan di
dalamnya tidak terkandung maksud mencampuri atau menjadikan benda-benda wakaf
sebagai tanah milik Negara. 10
Selanjudnya berdasarkan Surat Edaran Jawatan Urusan Agama Nomor
5/D/1956 Tentang Prosedur Perwakafan Tanah, disebutkan urusan perwakafan
menjadi wewenang Kantor Urusan Agama, maka selanjudnya urusan perwakafan
diserahkan kepada Kantor Urusan Agama. Dalam isi edaran ini ditegaskan pula bahwa
Kantor Urusan Agama dianjurkan membantu orang-orang yang akan mewakafkan
hartanya lengkap dengan prosedurnya sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Jawatan
Urusan Agama Nomor 5/D/1956 tersebut. Selain itu dengan adanya peraturan ini juga
untuk mempertegas dan menindaklanjuti dari peraturan-peraturan yang dikeluarkan
pada masa Kolonial Belanda yang dirasakan belum memadahi dan belum memberikan
kepastian hukum tentang kedudukan tanah-tanah wakaf di Republik Indonesia.
Dalam rangka pembaharuan hukum agraria maka urusan perwakafan tanah
menjadi salah satu perhatian yang serius oleh pemerintah. Sejalan dengan
perkembangan mayarakat dimana persoalan tanah merupakan hal yang sangat
mendesak untuk diaturnya maka dibentuklah Undang-Undang Pokok Agraria yaitu
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria.
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria atau sering disingkat UUPA Pasal 14 ayat (1) dinyatakan bahwa
pemerintah membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan
10
Abdul Ghofur Anshori 2005, op cit, h. 43.
penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung
didalamnya;
a. Untuk keperluan Negara.
b. Untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya, sesuai dengan dasar
Ketuhanan Yang Maha Esa.
c. Untuk keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, social, kebudayaan dan lain-lain
kesejahteraan.
d. Untuk keperluan memperkembangkan produksi pertanian, peternakan dan perikanan
serta sejalan dengan itu.
e. Untuk keperluan memperkembangkan industri, transmigrasi dan pertambangan.
Tanah untuk keperluan suci dan sosial diatur dalam Pasal 49 UUPA;
1. Hak milik tanah badan-badan keagamaan dan sosial sepanjang dipergunakan untuk
usaha dalam bidang keagamaan dan sosial, diakui dan dilindungi. Badan-badan
tersebut dijamin pula akan memperoleh tanah yang cukup untuk bangunan dan
usahanya dalam bidang keagamaan dan sosial.
2. Untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya sebagai dimaksud dalam
Pasal 14 dapat diberikan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dengan hak pakai.
3. Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Tanah sebagai obyek perwakafan diatur dalam ketentuan Pasal 49 ayat (3) UUPA
yang dinyatakan bahwa “perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan
Pemerintah”. Dari ketentuan Pasal 49 ayat (3) UUPA maka dapat diketahui bahwa untuk
melindungi perwakafan tanah milik yang selama ini telah berlangsung diperlukan adanya
suatu peraturan perwakafan tanah milik sesuai dengan kebutuhan terhadap perkembangan
dan perlindungan hukum.
Sebagai tindak lanjut dari amanat UUPA Pasal 14 ayat (1 b) yang menyatakan
bahwa untuk keperluan peribadatan dan keperluan-keperluan suci lainnya, sesuai dengan
dasar Ketuhanan Yang Maha Esa, dan ketentuan Pasal 49 ayat (3) bahwa perwakafan
tanah mili8k dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Atas dasar ketentuan
tersebut maka segera disusun dan disahkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977
Tentang Perwakafan Tanah Milik.
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 ini segera disahkan dengan dasar
pertimbangan sebagai berikut;
a. Bahwa wakaf adalah suatu lembaga keagamaan yang dapat dipergunakan sebagai
salah satu sarana guna pengembangan kehidupan keagamaan, khususnya bagi umat
yang beragama Islam, dalam rangka mencapai kesejahteraan spiritual dan material
menuju masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
b. Bahwa peraturan perundang-undangan yang ada sekarang ini yang mengatur
perwakafan tanah milik, selain belum memenuhi kebutuhan akan cara-cara
perwakafan, juga membuka kemungkinan timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan
disebabkan tidak adanya data-data yang nyata dan lengkap mengenai tanah-tanah
yang diwakafkan.
Maka dengan dasar pertimbangan tersebut, pada tanggal 17 Mei 1977 Pemerintah
mensahkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah
Milik. Yang sering disebut PP Nomor 28 Tahun 1977 , dengan sistematika sebagai
berikut;
Bab I. Ketentuan Umum
Bab II. Fungsi Wakaf (meliputi Pasal 2 sampai dengan Pasal 8), Bagian Pertama tentang
Fungsi Wakaf. Bagian Kedua tentang Unsur-Unsur dan Syarat-Syarat Wakaf. Bagian
ketiga tentang Kewajiban dan Hak-Hak Nazhir.
Bab III. Tata Cara Mewakafkan dan Pendaftarannya (Pasal 9 sampai dengan Pasal 10).
Bagian Pertama tentang Tata Cara Perwakafan Tanah Milik. Bagian kedua tentang
Pendaftaran Wakaf Tanah Milik.
Bab IV. Perubahan, Penyelesaian Perselisihan dan Pengawasan Perwakafan Tanah
Milk.(Pasal 11 sampai dengan Pasal 13). Bagian Pertama tentang Perubahan Perwakafan
Tanah Milik. Bagian Kedua tentang Penyelesaian Perselisihan Perwakafan Tanah Milik.
Bagian Ketiga tentang Pengawasan Perwakafan Tanah Milik.
Bab V. Ketentuan Pidana (Pasal 14 sampai dengan Pasal 15).
Bab VI. Ketentuan Peralihan (Pasal 16 sampai dengan Pasal 17)
Bab VII. Ketentuan Penutup (Pasal 18).
Untuk menindak lanjuti pelaksanaan PP Nomor 28 Tahun 1977, terhadap hal-hal
yang belum cukup diatur dalam PP Nomor 28 Tahun 1977 tersebut maka akan diatur
lebih lanjut oleh Peraturan Menteri Agama dan Peraturan Mentei Dalam Negri sesuai
dengan bidangnya masing-masing.
Adapun berbagai peraturan pelaksanaan PP Nomor 28 Tahun 1977 antara lain
adalah;
1. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1977 Tentang Tata Pendaftaran
Tanah Mengenai Perwakafan Tanah Milik. Peraturan ini dibentuk untuk keperluan
pembuktian yang kuat, maka tanah yang diwakafkan perlu dicatat dan didaftarkan
sesuai dengan ketententuan mengenai peraturan pendaftaran tanah. Perlu ditegaskan
bahwa semua tanah yang diwakafkan harus didaftarkan kepada Kantor Sub Direktorat
Agraria (Badan pertanahan Nasional) Kabupaten/Kotamadya setempat. Terhadap
tanah-tanah wakaf yang telah dibuatkan Akta Ikrar Wakaf maka PPAIW
berkewajiban untuk mengajukan permohonan pendaftaran kepada Kantor Sub
Direktorat Agraria Kabupaten/ Kotamadya setempat, dalam waktu selambat-
lambatnya 3 bulan sejak Akta Ikrar Wakaf dibuat.
2. Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978 Tentang Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik. Peraturan ini
dimaksudkan untuk melaksanakan Peraturan pemerintah Nomor 28 Tahun 1977,
didalamnya menegaskan bahwa setiap perwakafan tanah milik bentuk pelaksanaan
ikrar wakaf harus dibuat secara tertulis dan Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan
yang ditunjuk sebagai Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW).
3. Keputusan Menteri Agama Nomor 73 Tahun 1978 Tentang Pendelegasian Wewenang
Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi/ Setingkat di serluruh Indonesia
untuk Mengangkat/ Memberhentikan setiap Kepala Kantor Urusan Agama
Kecamatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW).
4. Istruksi Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1978
Tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang
Perwakafan Tanah Milik. Instruksi ini dikeluarkan untuk sinkronisasi dan
pengamanan pelaksanaan ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28
Tahun 1977. Instruksi tersebut ditujukan kepada para Gubernur Kepala daerah
seluruh Indonesia dan kepada para Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama
Seluruh Indonesia, untuk Pertama-tama melaksanakan dengan sebaik-baiknya
ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang
Perwakafan Tanah Milik dan Peranturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun1977
Tentang Tata Pendaftaran Tanah Mengenai Perwakafan Tanah Milik, serta Peraturan
Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978 Tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah
Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik. Kedua memerintahkan
kepada Instansi dan Pejabat bawahannya untuk memtaati dan melaksanakan Instruksi
ini serta segenap Peraturan Pelaksanaan Instruksi ini serta segenap Peraaturan
Pelaksanaan yang ditetapkan oleh Menteri Agam dan Menteri Dalam Negeri sesuai
dengan bidangnya masing-masing. Ketiga Mengamankan dan mendaftarkan
perwakafan tanah milik yang terjadi sebelum berlakunya Per5aturan Pemerintah
Nomor 28 Tahun 1977 tanpa biaya apapun kecuali biaya pengukuran dan meterai.
Keempat memberikan laporan tentang pelaksanaan Instruksi ini kepada Menteri
Agama dan Menteri Dalam Negeri.
5. Instruksi Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1979 Tentang Petunjuk Pelaksanaan
Keputusan Menteri Agama Nomor 73 Tahun 1978 Tentang Pendelegasian Wewenang
Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi /Setingkat di seluruh Indonesia
untuk Mengangkat/ Memberhentikan setiap Kepala Kantor Urusan Agama
Kecamatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW).
6. Peraturan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor Kep/D/75/78
Tentang Formulir dan Pedoman Pelaksanaan Peraturan-Peraturan tentang Perwakafan
Tanah Milik. Peraturan ini lahir untuk ketertiban pelaksanaan administrasi
perwakafan tanah milik danmemberikan pedoman peraturan pelaksanaan dari
Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978.
7. Surat Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji Nomor
DII/5/ED/07/1981 Tanggal 17 Februari 1981 perihal Pendaftaran Perwakafan Tanah
Milik, yang ditujukan kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I seluruh Indonesia
agar dapat diberikan bantuan terutama dalam hal biaya ukur dengan diberikan
bantuan keringanan sebagaimana biaya ukur atas tanah milik instansi pemerintah atau
pembebasan dari semua pembebanan biaya. Hal ini mengingat tanah wakaf tersebut
semata-mata diperuntukan dalam kegiatan peribadatan dan keagamaan.
8. Keputusan Bersama Menteri Agama dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor
422 Tahun 2004 dan Nomor 3/SKB/BPN/2004 Tentang Sertifikasi Tanah Wakaf.
Keputusan ini dikeluarkan dikarenakan masih banyaknya tanah wakaf di seluruh
Indonesia yang belum bersertfikat, sehingga perlu dilakukan peningkatan usaha
pensertifikatannya demi untuk tertib admihistrasi dan kepastian haknya.
Dengan berlakunya Peraturan pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 maka peraturan-
peraturan dan atau ketetuan-ketentuan tentang perwakafan tanah milik sebagaimana
tercantum dalam Bijblad-Bijblad Nomor 6196 Tahun 1905, Nomor 12573 Tahun 1831,
Nomor 13390 Tahun 1934, Nomor 13480 Tahun 1935 beserta ketentuan pelaksanaannya,
sepanjang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor
28 Tahun 1977 dinyatakan tidak berlaku lagi.
Kompilasi Hukum Islam merupakan pedoman dan landasan bagi para hakim guna
penyelesaian perkara dalam praktek Peradilan Agama. Kompilasi Hukum Islam sebagai
hukum materiil didalam Hukum Islam Indonesia.
Adanya perbedaan pendapat dikalangan para ulama pada suau persoalan hukum
Islam yang berdampak kepada tidak adanya kesatuan hukum di dalam pelaksanaan tehnis
yudisial peradilan Agama. Dengan tidak adanya kesatuan hukum dalam berbagai
masalah yang menjadi kewenangan dari Peradilan agama maka landasan putusan
peradilan agama akan menjadi simpang siur dan tidak ada kepastian hukum bagi pencari
keadilan serta tidak adanya pegangan landasan ketentuan hukum yang sama bagi para
hakim Peradilan Agama dalam memutus suatu perkara.
Untuk mengatasi adanya perbedaan landasan ketentuan hukum diantara para
hakim dalam memutus suatu perkara dipersidangan maka perlu disusun suatu Kompilasi
Hukum Islam. Kompilasi Hukum Islam dimaksudkan sebagai hukum materiil yang dapat
dipakai sebagai pegangan dan pedoman para hakim dalam lingkungan Peradilam agama
sebagai hukum terapan dalam penyelesaian perkara-perkara yang diajukan kepadanya.
Kompilasi Hukum Islam yang mengatur mengenai Hukum Perkawinan,
Kewarisan dan Perwakafan. Dalam buku 3 Kompilasi Hukum Islam khusus mengatur
tentang Perwakafan dengan sistematika sebagai berikut;
Bab I Ketentuan Umum (Pasal 215).
Bab II Fungsi, Unsur-Unsur dan Syarat-Syarat Wakaf ( dalam Pasal 216 sampai dengan
Pasal 222).
Bab III Tata Cara Perwakafan dan Pendaftaran Benda Wakaf (dalam Pasal 223 sampai
dengan Pasal 224).
Bab IV Perubahan , Penyelesaian dan Pengawasan Benda Wakaf (dalam Pasal 225
sampai dengan Pasal 227).
Bab V Ketentuan Peralihan ( Pasal 228).
Kompilasi Hukum Islam khususnya yang mengatur tentang wakaf secara garis
besarnya mengandung substansi yang tidak jauh berbeda dengan ketentuan wakaf yang
telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977. Unsur-unsur yang
termuat didalam Kompilasi Hukum Islam banyak segi kesamaannya dengan unsur-unsur
yang terkandung dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977. Perbedaan yang
jelas antara ketentuan yang ada dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977
Tentang Perwakafan Tanah Milik dengan Buku ke III Kompilasi Hukum Islam yang
mengatur tentang perwakafan adalah terletak pada obyek wakaf. Yang menjadi obyek
wakaf dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 adalah tanah milik, sedangkan
yang menjadi obyek wakaf dalam Kompilasi Hukum Islam adalah meliputi benda
bergerak dan benda tidak bergerak.
Hukum Perwakafan merupakan suatu hukum yang hidup dalam masyarakat maka
adanya hukum perwakafan merupakan suatu kebutuhan masyarakat sesuai dengan
perkembangan hukum masyarakat. Dengan pertimbangan tersebut maka bidang
perwakafan seharusnya segera diatur dalam suatu undang-undang. Pembentukan undang-
undang tentang wakaf itu dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan hukum oleh
masyarakat.
Dalam rangka pembinaan dan perkembangan hukum nasional maka
Oleh Pemerintah bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 27 Oktober 2004
telah dibentuk dan disahkannya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.
Pembentukan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf didasarkan
atas pertimbangan sebagai berikut;
a. Bahwa lembaga wakaf sebagai pranata keagamaan yang memiliki potensi dan
manfaat ekonomi perlu dikelola secara efektif dan efisien untuk kepentingan ibadah
dan untk memajukan kesejahteraan umum.
b. Bahwa wakaf merupakan perbuatan hukum yang telah lama hidup dan dilaksanakan
dalam masyarakat, yang pengaturannya belum lengkap serta masih tersebar dalam
berbagai peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas ditetapkanlah pembentukan undang-
undang yang mengatur tentang wakaf sebagaimana yang dimuat di dalam Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf .
Adapun sistematika Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
adalah sebagai berikut;
Bab I Ketentuan umum (Pasal 1)
Bab II Dasar-Dasar Wakaf (meliputi Pasal 2 s/d 31).
Bagian pertama Umum (Pasal 2 s/d 3 ).
Bagian Kedua Tujuan dan Fungsi Wakaf (Pasal 4 s/d 5)
Bagian Ketiga Unsur Wakaf (Pasal 6).
Bagian Keempat Wakif (Pasal 7 s/d 8).
Bagian Kelima Nazhir (Pasal 9 s/d 14).
Bagian Keenam Harta Benda Wakaf (Pasal 15 s/d 16).
Bagian Ketujuh Ikrar Wakaf (Pasal 17 s/d 21).
Bagian Kedelapan Peruntukan Harta Benda Wakaf (Pasal 22 s/d 23).
Bagian Kesembilan Wakaf dengan Wasiat (Pasal 24 s/d 27)
Bagian Kesepuluh Wakaf Benda Bergerak Berupa Uang
(Pasal 28 s/d 31 ).
Bab III Pendaftaran dan Pengumuman Harta Benda Wakaf (Pasal 32 s/d 39 )
Bab IV Perubahan Status Harta Benda Wakaf (Pasal 40 s/d 41).
Bab V Pengelolaan dan Pengembangan Harta Benda Wakaf
(Pasal 42 s/d 46).
Bab VI Badan Wakaf Indonesia (Pasal 47 s/d 61).
Bagian Pertama Kedudukan dan Tugas (Pasal 47 s/d 50 )
Bagian Kedua Organisasi (Pasal 51 s/d 52)
Bagian Ketiga Anggota (Pasal 53 s/d 54 )
Bagian Keempat Pengangkatan dan Pemberhentian (Pasal 55 s/d 58)
Bagian Kelima Pembiayaan (Pasal 59)
Bagian Keenam Ketentuan Pelaksanaan (Pasal 60)
Bagian Ketujuh Pertanggungjawaban (Pasal 61 ).
Bab VII Penyelesaian Sengketa (Pasal 62)
Bab VIII Pembinaan dan Pengawaasan (Pasal 63 s/d 66)
Bab IX Ketentuan Pidana dan Sanksi Administratif (Pasal 67 s/d 68)
Bagian Pertama Ketentuan Pidana (Pasal 67 )
Bagian Kedua Sanksi Administratif (Pasal 68 )
Bab X Ketentuan Peralihan (pasal 69 s/d 70 )
Bab XI Ketentuan Penutup (Pasal 71 ).
Sebagai bentuk pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang
Wakaf, maka oleh Pemerintah ditetapkan Peraturan pemerintah Nomor 42 Tahun 2006
Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. Dengan
berlakunya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf maka semua
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perwakafan masih tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan yang baru
berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.
Recommended