View
223
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
44
BAB III
KEHIDUPAN SINDEN MARIA MAGDALENA RUBINEM
A. Masa Kecil Maria Magdalena Rubinem
1. Tempat Kelahiran dan Lingkungan
a. Latar Geografis Kota Yogyakarta
Letak wilayah Kota Yogyakarta terbentang antara 110”24”19” sampai
110” 28”53” Bujur Timur dan 07”15’24” sampai 07” 49’ 26” Lintang Selatan. Di
tengah wilayah kota tersebut mengalir tiga buah sungai dari arah utara ke selatan,
yaitu sungai Winongo yang terletak di bagian barat kota, Sungai Code terletak di
bagian tengah dan Sungai Gadjah Wong terletak dibagian timur. Secara
keseluruhan Kota Yogyakarta berada di daerah dataran lereng Gunung Merapi,
dengan kemiringan yang relative datar (antara 0-3%) dan pada ketinggian 114
meter di atas permukaan air laut. Adapun wilayah kota yang luasnya 32,50 km2
disebelah utara di batasi oleh Kabupaten Sleman, di sebelah timur dibatasi oleh
Kabupaten Sleman dan Bantul, di sebelah selatan oleh Kabupaten Bantul dan
sebelah barat oleh Kabupaten Bantul dan Sleman.1 Batas-batas kota tersebut
sesungguhnya mengalami perubahan-perubahan sesuai dengan perkembangan
jaman dari masa kerajaan, kolonial, kemerdekaan, dan masa-masa mutakhir.
Kedudukan Kota Yogyakarta sejak kemerdekaan hingga masa kini ialah
menjadi Ibu Kota Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang dipimpin oleh
Gubernur, dan masa kini dijabat oleh Sultan Hamengkubuwono X. Selain itu Kota
Yogyakarta pada masa kini juga menjadi Ibu Kota Pemerintah Kota Yogyakarta
yang dipimpin oleh seorang Wali Kota. Wilayah Pemerintahan Kota Yogyakarta
1 Peraturan daerah Kota Besar Yogyakarta No. 13 2002, tentang Pola
Dasar Pembangunan Daerah Tahun 2002-2006.
45
terbagi atas 14 wilayah Kecamatan, 45 Kelurahan, 617 RW (Rukun Warga) dan
2.532 RT (Rukun Tangga). Pembagian wilayah dan luas wilayah kota tersebut
dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini:
Tabel. 1
Pembagian Wilayah dan Luas Wilayah
No. Kecamatan
(Km2)
Luas
Lahan
(%) Kelurahan R.W R.T
1 Mantrijeron 2.61 8.03 55 3 230
2 Kraton 1.40 4.31 3 43 175
3 Mergangsan 2.31 7.11 3 60 210
4 Umbulharjo 8.12 24.98 7 80 318
5 Kotagede 3.07 9.45 3 40 161
6 Gondokusuman 3.99 12.28 5 65 276
7 Danurejan 1.10 3.38 3 43 160
8 Pakualaman 0.63 1.94 2 19 84
9 Gondomanan 1.12 3.45 2 31 110
10 Ngampilan 0.82 2.52 2 21 120
11 Wirabrajan 1.76 5.42 3 34 165
12 Gedongtengen 0.96 2.95 2 44 163
13 Jetis 1.70 5.23 3 36 168
14 Tegakrejo 2.91 8.96 4 46 183
Sumber: Buku Saku Kota Yogyakarta, 1999.
Secara singkat dapat dikemukakan bahwa luas wilayah kota Yogyakarta
mengalami proses perubahan dari semenjak pendirian kota hingga masa mutakhir.
Luas dan kecepatan pemekaran fisik tersebut dapat dilihat dari tahun 1796 – 1996
dan dapat disimak dalam Tabel. 2 sebagai berikut:
46
Tabel. 2
Luas dan Kecepatan Pemekaran Fisik Kota Yogyakarta Tahun 1756 –1996
Tahun
(Ha/th)
Luas
(Ha)
Pemekaran fisik
Kota (Periode)
Lama waktu
(tahun)
Tambah
Luas (Ha)
Rata-rata
kecepatan
Pemekaran
1756 359.55 1756 – 1824 68 764.59 11.24
1824 1124.14 1824 – 1959 135 760.69 5.63
1959 1884.83 1959 - 1972 13 751.59 57.81
1972 2636.42 1972 - 1987 15 2025.79 135.05
1987 4662.21 1987 – 1996 9 2025.78 225.09
1996 6687.99
Sumber: “Perubahan Penggunaan Lahan Kota Yogyakarta Tahun 1959 -1996”.2
Daerah Istimewa Yogyakarta terletak di Jawa Tenggah sebelah selatan, di
bagian terpadat peduduknya di pulau ini, wilayahnya meliputi sekitar 3.100 km2,
termasuk 105 km2 daerah enclave (wilayah suatu Negara yang dikelilingi oleh
kerajaan lain) yang termasuk dalam wilayah Kesultanan Surakarta dan
Mangkunegaran dulu, kurang lebih meliputi 2,4 % luas pulau Jawa, namun 5,2%
penduduk pulau tersebut berdiam disini.3 Dari 3100 km
2 ini lebih dari separuh
digunakan untuk usaha pertanian dan 838 kilometer sebagai tempat tinggal,
dikarenakan banyaknya wilayah Yogyakarta memiliki lahan luas yang dijadikan
sawah, maka kebanyakan masyarakatnya bermata pencaharian sebagai petani.
Lalu sebagian wilayah yang kira-kira 478 kilometer terdiri atas hutan, pantai dan
gunung serta lereng yang curam digunakan untuk ternak dan penggembalaan.4
2 Agus Suryanto, “Perubahan Penggunaan Lahan Kota Yogyakarta Tahun
1959 -1996”. Disertasi dalam Ilmu Geografi UGM, (2002), hlm. 346. 3 Selo Soemardjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta, (Gadjah Mada
University Press. 1986), hlm. 13. 4 Wirobumi, “Soal-Soal Agrarian di Daerah Istimewa Yogyakarta”, 1956,
hlm. 1.
47
b. Keadaan Alam
Wilayah Kotamadya Yogyakarta terletak pada daerah dataran rendah
dengan tipe tanah regosol atau vulkanis muda, yaitu di daerah lereng aliran
gunung berapi (Gunung Merapi). Dari wilayah barat ke timur relief kota
menunjukan relief datar, dan dari utara ke selatan mempunyai kemiringan yang
relative datar. Kotamadya Yogyakarta di lewati tiga sungai yang mengalir ke
selatan. Di bagian timur Sungai Gajah Wong, di tengah kota di lewati sungai
Code dan di bagian barat Sungai Winongo.5
Dilihat dari adanya tiga sungai tersebut maka keadaan tanah wilayah
Yogyakarta cukup baik untuk lahan pertanian. Namun dengan semakin pesatnya
perkembangan perkotaan dan permukiman, lahan pertanian semakin menyusut per
tahunnya di perkirakan 5%. Rata-rata curah hujan 2.012 mm per tahun dengan
119 hari hujan serta suhu rata-rata 27,2º C dan kelembapan rata-rata 74,7%.
c. Penduduk
Perkembangan permukinam Kota Yogyakarta sejak akhir abad ke-19
cenderung menjadi semakin plural sebagai akibat dari semakin banyaknya orang-
orang asing yang tinggal di kota Yogyakarta. Selain orang Cina, orang-orang
Belanda dan orang Barat lainnya juga banyak yang tinggal di kota ini. Mereka itu
adalah para pejabat pemerintah Belanda, para pengusaha perkebunan, atau
pengusaha lainnya. Selain orang-orang asing, orang-orang Indonesia dari suku-
suku lainnya juga mulai datang untuk tinggal di Yogyakarta. Seperti halnya
penduduk di kota-kota kolonial, warga kota Yogyakarta pada akhirnya juga dapat
5 Sumintarsih, Suratmin, Isni Herawati, Sulistyo Budi, Pembinaan Disiplin
Di Lingkungan Masyarakat Kota Yogyakarta, (Yogyakarta: Departemen
Pendidikan Dan Kebudayaan 1994/1995), hlm. 6.
48
dibedakan atas tiga golongan penduduk, yaitu golongan Orang Eropa, golongan
Orang Asing Timur dan golongan Orang Bumi Putra. Dilaporkan bahwa
penduduk di Yogyakarta keseluruhan pada tahun 1900-1930 disebutkan sebagai
berikut.
Tabel. 3
Jumlah Penduduk di Yogyakarta 1900-1930
Tahun Jumlah Penduduk
1900 1.084.327
1905 1.118.705
1917 1.374.165
1920 1.282.815
1930 1.559.027
Sumber: Population Trends in Indonesia.6
Adapun jumlah penduduk di Kota Yogyakarta pada periode 1920-1930
adalah sebagai berikut:
Tabel. 4
Penduduk Kota Yogyakarta 1920-1930
No. Penduduk Tahun Jumlah
1 Bumiputra 1920 94.254
1930 121. 893
2 Eropa 1920 3.730
1930 5.603
3 Cina 1920 5 643
1930 8.894
4 Asia lainnya 1920 84
1930 164
Sumber: Volkstelling 1930. Deel 1. Batavia: Landsdrukkerij, Departrement van
Landbouw, Nijverheid en Handel, 1933.
6 Widjojo Nitisastro, Population Trends in Indonesia, (Ithaca: Cornell
University Press, 1970), hlm. 6.
49
Penduduk Bangsa Eropa dan bangsa asing lainnya pada umumnya bekerja
pada bidang-bidang birokrasi pemerintahan, keamanan, perkebunan, dan
leveransir kebutuhan hidup. Mereka tinggal di sekitar permukiman masyarakat
Eropa di Loji Besar, Loji Kecil, Kota Baru, dan Sagan. Kelompok etnik orang
Arab dan Cina umumnya memiliki aktivitas di bidang perekonomian seperti
pedagang, pemungut cukai pasar, rumah gadai, rumah persewaan candu, serta
menjadi perantara antara orang Barat dan orang Bumi Putra. Mereka umumnya
tinggal di Kampung Pecinan, Sayidan, Kranggan, dan Loji kecil.
. Pada masa yang sama kota Yogyakarta juga mendapat julukan sebagi Kota
Sepeda, karena para pelajar dan mahasiswa umumnya naik sepeda pergi-pulang
sekolah atau kuliah. Perlu dicatat pula sejak masa revolusi sampai tahun 1950-an
dan 1960-an kota Yogyakarta juga menjadi pusat kelahiran seniman dan karya-
karya seni yang terkemuka dari berbagai cabang seni, seperti seni lukis, seni
sastra, teater, seni patung dan seni musik beserta sanggar-sanggarnya. Lebih-lebih
seni pedalangan dan seni tari tradisional Jawa juga berkembang di kota ini, di
samping seni-seni modern. Tidak mengherankan apabila pada periode itu juga
kota Yogyakarta mendapat sebutan sebagai Kota Budaya. Dengan demikian
Yogyakarta berkembang menjadi kota yang penuh simbol.
50
Perubahan penduduk kota Yogyakarta sesudah tahun 1950-an sampai
akhir tahun 1990-an dapat dilihat dalam table berikut ini:
Tabel. 5
Penduduk Kota Yogyakarta Tahun 1969-1990-an
Tahun Jumlah Penduduk
1969 387.023
1970 390.363
1971 343.293
1972 346.894
1973 353.857
1974 356.699
1975 360.287
1976 363.302
1977 367.705
1978 375.692
1979 374.641
1980 398.192
1990 412.052
1999 490.433
Sumber: Pemerintah Kota Yogyakarta, Buku Saku Kota Yogyakarta, 1995-1999.
Salah satu yang menarik dari kecenderungan pada masa mutakhir kota
Yogyakarta pada hakekatnya adalah posisi yang semakin kuat dan menjadikan
Kota Yogyakarta menjadi Kota Nasional atau “Kota Indonesia”, tercermin dari
komposisi penduduknya yang secara plural terdiri dari berbagai suku bangsa yang
ada di Indonesia seperti yang terdapat dalam Tabel 6 berikut ini:
51
Tabel. 6
Penduduk Kota Yogyakarta Menurut Suku Bangsa
Tahun 1980-an
No. Suku Bangsa Jumlah Penduduk
1 Jawa 355.232
2 Sunda, Priangan 6.429
3 Melayu 5.019
4 Cina 6.255
5 Batak, Tapanuli 2.768
6 Minangkabau 1.813
7 Bali 660
8 Madura 1.358
9 Lainnya 16.837
Jumlah 396.371
Sumber: Sensus Penduduk 2000 Kota Yogyakarta.
d. Kehidupan Ekonomi, Sosial dan Budaya
(1). Kehidupan Ekonomi
Kondisi ekonomi suatu daerah mempengaruhi tingkat kemakmuran warga.
Tingkat kemakmuran warga itu dapat dilihat dari tiga kebutuhan pokok yaitu
pangan sandang, dan papan (rumah). Masalah papan atau rumah merupakan
kebutuhan penting, melalui bentuk rumah dapat diketahui kondisi perekonomian
penduduk yang bersangkutan.
Pada umumnya rumah-rumah penduduk di Kotamadya Yogyakarta sudah
permanen dengan bermacam-macam bentuk arsitektur modern maupun
tradisional. Namun begitu di wilayah-wilayah tertentu masih banyak rumah-
rumah dengan kondisi kurang memadai dilihat dari bahan-bahannya yang
sederhana (dari bambu). Biasanya di lingkungan perkampungan sanitasi maupun
kebersihan lingkungan kurang mendapat perhatian, terutama di lingkungan
perkampungan dekat sungai. Sarana-sarana untuk menunjang lingkungan bersih
dan sehat masih kurang. Hal ini berkaitan dengan kondisi perekonomian mereka
52
yang umumnya pas-pasan, sehingga sebagian besar waktunya digunakan untuk
mencari nafkah.
Kebutuhan pokok lainya yaitu pangan (makan) dan sandang (pakaian).
Kedua kebutuhan ini telah terpenuhi dengan baik, artinya tidak ada kekurangan.
Kebutuhan akan sandang dan pangan dari yang harga murah sampai mahal
tersedia cukup banyak. Dilihat dari kondisi perekonomian penduduk, kebutuhan
pangan dan sandang dapat dikonsumsi dengan tanpa banyak kesulitan. Tinggi
rendahnya taraf hidup masyarakat ditentukan oleh besar kecilnya pendapatan
perkapita, yang juga dipengaruhi oleh jenis mata pencahariannya.
(2). Kehidupan Sosial Budaya
Kotamadya Yogyakarta mempunyai heterogenitas yang tinggi dari segi
segregasi sosial. Hal ini karena banyaknya pendatang dengan berbagai tujuan ke
kota tersebut. Predikat Kota Yogyakarta sebagai Kota Budaya, Pendidikan, dan
Wisata, merupakan salah satu daya tarik bagi para pendatang.
Sebagai salah satu pusat kebudayaan, khususnya budaya jawa, maka
Yogyakarta menjadi tempat pemeliharaan dan pelestarian seni budaya, adat tata
cara dan sebagainya. Hal ini didukung dengan adanya keraton yang pada
hakekatnya merupakan pusat budaya Jawa. Sebagai pusat budaya, berbagai seni
tradisi dipelihara dan dikembangkan. Di kota ini tumbuh subur kelompok-
kelompok kesenian yang kurang lebih jumlahnya sekitar 856 kelompok kesenian.
Pada dasarnya masyarakat Yogyakarta meiliki konsep bahwa Sultan
sebagai seseorang yang dianugerahi kerajaan atau wilayah dengan sekaligus
kekuasaan berpolitik, militer, dan keagamaan.7 Sehingga secara sah Sultan berhak
7 Selo Soemardjan., Op.Cit., hlm. 23.
53
mengatur dan mempunyai wewenang penuh atas rakyatnya, maka rakyatnya harus
patuh dan menerima apapun yang menjadi keputusan Sultan. Hal ini juga yang
menjelaskan tentang ketaatan rakyat terhadap Sultannya.
Banyak hal yang menjadikan Yogyakarta menjadi daerah istimewa, salah
satunya karena memiliki seni yang beragam dan dapat diterima masyarakatnya.
Seni muncul melalui proses yang dilakukan oleh manusia. Seni sendiri dapat
dilihat dalam intisari ekspresi dari kreativitas manusia. Seni juga dapat diartikan
sesuatu yang diciptakan manusia yang didalamnya mengandung unsur keindahan.
Seni juga tidak bisa dinilai sama antara individu maupun kelompok.
Salah seorang yang tetap memegang teguh kesenian tradisional di
Yogyakarta adalah Rubinem. Ia merupakan seorang sinden yang lahir di Desa
Ngadiwinatan. Desa Ngadiwinatan termasuk dalam salah satu desa di Kelurahan
Ngampilan, Kecamatan Ngampilan, Kota Yogyakarta. Tipologi Kelurahan
Ngampilan terbagi dalam lahan persawahan, perladangan, perkebunan,
peternakan, nelayan, pertambangan/galian, kerajinan dan industri kecil, industri
sedang dan besar, dan yang terakhir jasa dan perdagangan. Luas wilayah daerah
ini adalah 0,45% km2. Batas wilayah Kelurahan Ngampilan di sebelah utara
adalah Kelurahan Pringgokusuman Kecamatan Gedong Tengen, sebelah Selatan
berbatasan dengan Kelurahan Notoprajan Kecamatan Ngampilan, sebelah Barat
berbatasan dengan Kelurahan Pakuncen Kecamatan Wirobrajan, dan di sebelah
Timur berbatasan dengan Kelurahan Ngupasan Kecamatan Gondomanan.8
8 Data Monografi Kelurahan Ngampilan Tahun 2015.
54
2. Masa Kecil Maria Magdalena Rubinem
Rubinem lahir pada 11 Maret 1925 di Desa Ngadiwinatan, ayahnya
bernama Wongso Kromo dan ibunya bernama Lantem. Wongsokromo dan
Lantem memiliki tiga orang anak, satu laki-laki dan dua perempuan.9 Menurut
keterangan Rubinem, anak pertama perempuan diberi nama Sayem, anak kedua
lahir perempuan dan diberi nama Rubinem. Anak ketiga seorang laki-laki
bernama Sarjiman.
Rubinem sejak masih kecil turut serta membantu kedua orangtuanya dalam
bekerja. Ia membantu ibunya yang bermata pencaharian sebagai penjual wedang
serbat (wedang jahe) dan aneka jajanan pasar (bongko dan mendut) di desanya. Ia
membantu membuat wedang serbat di rumah dan kemudian para penjual keliling
mengambilnya untuk dijual keliling desa.10
Garis seni yang mengalir dalam diri Rubinem, mengalir dari sang ayah
yang pada saat itu menjadi Ketua Jathilan di desa Ngadiwinatan. Kesenian
Jathilan merupakan bentuk seni tari dan dimasukan dalam seni pertunjukan rakyat.
Karena kesenian Jathilan adalah salah satu macam kesenian jenis tari yang
menggunakan kuda kepang. Jathilan juga merupakan salah satu jenis kesenian
rakyat, maka dapat dijadikan sebagai aset industri pariwisata. Kegemaran
masyarakat menyaksikan pertunjukan kesenian Jathilan tidak terlepas dari unsur-
unsur hiburan dalam pementasannya. Dengan menonton kesenian Jathilan orang
dapat menikmati syair-syair yang dinyanyikannya, serta menikmati gerakan-
gerakan tari yang diiringi seperangkat alat musik. Penyajian atraksi-atraksi yang
9 Wawancara dengan Maria Magdalena Rubinem tanggal 6 Agustus 2015.
10 Wawancara dengan Maria Magdalena Rubinem tanggal 3 Mei 2015.
55
memikat sehingga kesenian Jathilan dapat dijadikan hiburan dan rekreasi bagi
semua orang.11
B. Karier Maria Magdalena Rubinem Tahun 1943-2014
1. Awal Mula Karier
Masa kecil Rubinem dihabiskan untuk membantu ibunya yang berjualan,
ia sering membantu untuk mengambil air (ngangsu toya). Saat mengambil air
inilah, Rubinem sering menyanyi untuk menghibur diri dan tanpa sepengetahuan
Rubinem, tetangganya mendengar. Menurut tetangga Rubinem, ia memiliki suara
yang indah dan bakat bernyanyi yang baik, sehingga ia disarankan untuk
mengikuti latihan sinden di keraton. Awalnya ia tidak bersedia karena sebelumnya
tidak pernah sekolah dan tidak bisa membaca, begitu penuturan Rubinem.12
11
Aris murdowo., Kesenian Jathilan Sebagai Sarana Upacara Ritual Di
Desa Salamrejo Kecamatan Sentolo Kabupaten Kulonprogo: Study Sejarah
Budaya Local Tahun 1970-1991. (Surakarta: Skripsi Jurusan Ilmu Sejarah
Fakultas Sastra Dan Seni Rupa UNS, 1992). 12
Wawancara dengan Maria Magdalena Rubinem tanggal 6 Agustus 2015.
56
Gambar. 1
Foto Maria Magdalena Rubinem saat berusia 18 tahun,
pada tahun 1943.
Sumber : Koleksi Keluarga
Tetangga Rubinem (ia memanggil dengan sebutan pakdhe) terus
meyakinkan Rubinem agar ia mau belajar sinden. Rubinem yang sebelumnya
tidak mau karena kurang percaya diri, akhirnya mau diajak untuk belajar sinden di
keraton. Rubinem kemudian belajar sinden dari para seniman di Keraton
Yogyakarta, diantaranya adalah eyang dari seniman Djadug selama kurang lebih
tiga bulan. Mempunyai modal dasar suara yang indah, membuatnya mudah dalam
mengikuti latihan sinden. Dari keluarga kecilnya, hanya Rubinem yang mewarisi
darah seni dari orang tuanya, berbeda dengan kakak dan adiknya, kakaknya
Sayem bekerja sebagai petani, sedangkan adiknya Sarjiman bekerja sebagai
Pembantu Umum (PU).13
Selain belajar sinden, Rubinem juga belajar menari
Gambir Anom dan Gambyong. Untuk menari Gambir Anom, ia belajar pada
13
Wawancara dengan Maria Magdalena Rubinem tanggal 29 Mei 2015.
57
seorang guru dari Solo yang bernama Sadali.14
Dalam tarian Gambir Anom ini
diakui Rubinem, ia diminta untuk “njoged lanang” (tarian khusus laki-laki).
Diakuinya, ia nyinden pertama kali di keluarga ndoro-ndoro Keraton
Yogyakarta, dan baru setelah itu ia mulai berani pentas. Pentas pertama pada
jaman Belanda, yaitu pada tahun 1942. Pentasnya pada wayang orang, dagelan,
atau wayang kulit.15
Saat pertama kali tampil di acara keluarga ndoro-ndoro
tersebut, Rubinem berusia 18 tahun dan saat itu Indonesia masih di bawah
pendudukan Belanda. Berbekal suara yang indah membuat Rubinem menjadi
pesinden yang handal, dan didukung pula dengan belajar langsung dari pesinden-
pesinden di Keraton Yogyakarta. Berawal dari belajar sinden, perlahan Rubinem
juga mulai belajar untuk membaca dan menulis.
Tahun 1943 Rubinem mendapat kesempatan untuk bergabung di Radio
Republik Indonesia Yogyakarta (RRI) sebagai pengisi acara apapun yang
mengandung unsur budaya Jawa setelah agresi militer kedua Belanda.
Saya menjadi pemain apa pun pada acara yang berbau Jawa,
entah dagelan, ketoprak, uyon-uyon, dan wayang.16
Memiliki suara yang khas menjadi kelebihan tersendiri bagi Rubinem,
karena bisa dibilang tidak ada pesinden lain yang suaranya khas dan indah seperti
Rubinem. Tidak hanya sebagai pesinden di RRI, di luar tempatnya bekerja
tersebut Rubinem kerap dipanggil untuk tampil diberbagai tempat di Yogyakarta,
bahkan di luar Yogyakarta.
Dari berbagai tawaran pentas tersebut Rubinem laris menjadi pesinden
dalam pementasan wayang kulit dan pentas di Istana Negara Jakarta yang
14
Wawancara dengan Maria Magdalena Rubinem tanggal 29 Mei 2015. 15
Wawancara dengan Maria Magdalena Rubinem tanggal 29 Mei 2015. 16
Wawancara dengan Maria Magdalena Rubinem tanggal 29 Mei 2015.
58
diundang khusus oleh Presiden pertama Republik Indonesia Ir. Soekarno. Sejak
tahun 1951 ia dipercaya mewakili RRI Yogyakarta untuk pentas di hadapan
Presiden Soekarno satu bulan sekali di Istana Negara Jakarta. Berkat suara yang
indah ia pun dipercaya untuk pentas berkali-kali. Hanya satu tahun ia bisa meniti
karier di Jakarta, karena pada saat itu ia harus kembali ke Yogyakarta untuk
mengurus ibunya yang sedang sakit.17
2. Rumah Tangga Rubinem
a. Rubinem dan Sugito
Selama masa hidupnya Rubinem menikah dua kali. Perkawinan yang
pertama dengan seorang seniman bernama Sugito tahun 1960-an. Sugito
merupakan kembar bersaudara dengan Sugati. Mereka dilahirkan di Dusun
Pajangan, sebuah dusun yang masuk wilayah Desa Pandowoharjo, Kecamatan
Sleman. Dilahirkan pada 31 Desember 1936 dari ayah yang bernama Cermo
Warno dan Ibu bernama Juwok, mereka mewarisi darah seni dari kedua orang
tuanya. Selain mahir dalam berakting di ketoprak, Gito juga pintar mendalang.
Kesusastraan yang dikuasai oleh Gito membantunya dalam mendalang dan
tentunya dalam bermain ketoprak, figur Gito Gati juga berpengaruh terhadap
pementasan ketoprak yang pada tahun 1970-an sampai tahun 1980-an selalu
dibanjiri penonton.18
17
Wawancara dengan Maria Magdalena Rubinem tanggal 29 Mei 2015. 18
Ki Sugito, dalam “7 Tokoh Budaya di Kabupaten Sleman Dalam
Bingkai Arsip Daerah”, (Kantor Arsip Daerah, Pemerintah Kabupaten Sleman,
Yogyakarta), hlm. 58.
59
Gambar. 2
Foto Sugito (Suami pertama Maria Magdalena Rubinem)
Sumber : Koleksi Arsip Daerah Sleman
Orang-orang terdekat dalam hidup Sugito juga berkecimpung dalam seni
tradisi. Dua dari empat istri Sugito adalah waranggana atau pesinden. Anak-anak
Sugito pun juga mengikuti jejaknya. Dari istri pertama yakni Napsiyati, Gito
memiliki empat anak yaitu Endang Sugiarti, Edi Suwondo, Edi Indarto, dan
Bambang Rabies. Keemat anaknya ini juga menggeluti dalang dan kethoprak.
Sedang istri kedua dan ketiga, yaitu Sri Hartati dan Rubinem yang merupakan
waranggana. Istri keempat bernama Peni, hanya istri pertama dan terakhir yang
bukan seniman, tetapi selalu mengiringi hidup Sugito untuk mengabdi dalam
dunia seni.19
Rubinem dan Sugito yang merupakan seniman kesenian tradisional, kerap
kali tampil bersama dalam satu panggung. Setiap kali menggelar pertunjukan
19
Ibid., hlm. 59.
60
kethoprak Rubinem dan Sugito yang menjadi pemain, dan pada pagelaran
pertunjukan wayang, jika Sugito dalangnya, maka Rubinem yang menjadi
waranggananya. Pernikahan mereka tidak berjalan lama, karena perbedaan prinsip
mereka memutuskan untuk berpisah. Dari pernikahannya dengan Sugito, Rubinem
mendapat perlakuan yang tidak mengenakkan dari keempat anak tirinya. Menurut
Sri, harta Rubinem terkuras saat ia bersama dengan Sugito karena dimintai oleh
anak-anak Sugito.20
Rubinem memilih menjanda dan menjalani hidupnya dari
bawah lagi dengan anak angkatnya.
b. Rubinem dan Augustinus Subadi
Pada tahun 1965 Rubinem mendapatkan tambatan hati lagi, ia adalah
Augustinus Subadi duda berputra satu yang bukan dari darah seniman. Saat
menikah, pihak Subadi membawa seorang anak laki-laki bernama Agus yang saat
itu Sekolah Menengah Pertama (SMP), sedangkan dari pihak Rubinem juga
diketahui mempunyai seorang anak angkat perempuan yang bernama Sri Sukartini
yang diangkat sejak berusia 8 bulan, pada saat itu ia Sekolah Dasar (SD). Subadi
bekerja di Badan Pelaksana Harian (BPH) Kabupaten Sleman periode 1966-1967.
Dari Subadi, Rubinem mengenal agama Katholik. Rubinem akhirnya tertarik dan
dengan mantap mengikuti pelajaran agama Katholik. Ia dibaptis dan menikah di
Gereja Katholik Kemetiran Yogyakarta pada tahun 1965. Ia mantap menjadi
Katholik, bukan karena Pak Subadi pegawai kaya, karena pada waktu itu rubinem
juga sudah kaya. Rubinem menjadi Katholik karena ingin menata hidup
rohaninya. 21
20
Wawancara dengan Sri Sukartini tanggal 26 Agustus 2015. 21
Wawancara dengan Maria Magdalena Rubinem tanggal 29 Mei 2015.
61
Gambar. 3
Foto Augustinus Subadi saat menjabat sebagai Anggota B.P.H Seksi I
Pemerintahan Umum Aparat Pemerintahan Excecutief Daerah Kabupaten Sleman
periode 1966-1967.
Sumber : Koleksi Arsip Daerah Sleman
Perbedaan profesi antara Rubinem dengan Subadi tidak membuat mereka
sering bertengkar. Diakuinya, Subadi selalu mendukungnya bekerja sebagai
sinden. Sebagai seorang suami sinden yang mau menerima keadaan seorang
isterinya, maka hal itu menjadi dorongan semangat bagi perjalanan kariernya.
Restu dari sang suami sangatlah penting untuk diindahkan. Apalagi suaminya
seorang pengusaha atau pegawai negeri yang mempunyai penghasilan tetap.
Penghasilannya dapat menambah kebutuhan keluarga.22
Bahtera rumah tangga
Rubinem menjumpai banyak gelombang, berbagai persoalan melanda kehidupan
22
Isnin Sholihin., Kehidupan Pesinden Di Kecamatan Gondang
Kabupaten Sragen: Suatu Kajian Sejarah Kebudayaaan/Kesenian, (Surakarta:
Skripsi Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS, 2005), hlm.
128.
62
pribadinya, akhirnya ia memilih menjanda. Diakui Rubinem, Agus anak laki-
lakinya sekarang menjadi Romo (pendeta).
3. Karier Rubinem
a. Bekerja di RRI Yogyakarta Tahun 1943-1972
(1). Sejarah Radio Republik Indonesia
Salah satu alat perhubungan yang vital pada masa perjuangan
kemerdekaan adalah radio. Pada waktu itu radio sebagai alat komunikasi massa,
yang memiliki kelebihan kecepatan dalam penyampaian informasi, jika
dibandingkan dengan media massa yang lain. Kebutuhan adanya komunikasi
radio dirasakan sejak usai Perang Dunia pertama, yang mana Belanda sebagai
Negara netral tentu ingin selalu memonitor keadaan di Hindia Belanda
(Indonesia). Lahirlah hubungan radio-telegrafi antara Nederland dan Hindia
Belanda, kemudian disusul hubungan radio-telegrafi antara Amsterdam dan tanah-
tanah jajahannya di Asia.23
Adanya perkembangan siaran radio yang dipelopori oleh Bataviase Radio
Vereniging (BRV), tidak mengherankan dalam waktu singkat di Yogyakarta lahir
suatu perkumpulan siaran radio dengan nama Mataramse Vereniging Voor Radio
Omroep (MAVRO). Adapun siarannya menggunakan bahasa Indonesia,
sedangkan tujuan awalnya hanya menyiarkan kesenian dan kebudayaan daerah.
Lahirnya MAVRO sebenarnya tidak dapat dipisahkan dari semangat keradioan di
Yogyakarta, karena didorong oleh banyak peminat radio dari kalangan para
bangsawan, masyarakat Belanda, maupun Tionghoa. Minat tersebut juga
23
Nurdiyanto., “Peranan RRI Yogyakarta Dalam Mempertahankan
Kemerdekaan Tahun 1945-1950”, dalam Laporan Penelitian Jarahnitra No.
016/P/1999, (BPNB: Yogyakarta), hlm. 3.
63
didasarkan pada keadaan kota Yogyakarta yang merupakan salah satu pusat
kebudayaan Jawa. Sedangkan kemajuan kebudayaan Jawa di Yogyakarta sudah
tampak semakin pesat, karena atas jasa Hamengku Buwana VIII yang telah
banyak memberi sumbangan untuk membina dan melestarikan buah seni budaya
Jawa.
MAVRO melakukan siaran pertama kali pada tanggal 22 Pebruari 1934 di
Pendopo Pangeran Hangabehi di Ngabean. Dengan menggunakan pemancar milik
Van Deutekom yang bergelombang 55,97 meter, dan kemudian dirubah menjadi
153,06 meter. Siaran tersebut diberi jangka waktu hanya 3 kali satu minggu. Pada
tahap permulaan siaran MAVRO hanya bertujuan untuk mengembangkan seni
budaya daerah. Tapi lama kelamaan lebih menuju pada gerakan nasionalis untuk
mengobarkan semangat kebangsaan dan semangat persatuan. Dengan berakhirnya
penjajahan Hindia Belanda di Indonesia pada bulan Maret 1942, kegiatan
MAVRO yang sudah delapan tahun mengudara, siarannya terpaksa dihentikan
setelah bala tentara Jepang menduduki Yogyakarta, yang diikuti pula oleh barisan
propagandanya.24
Jepang berusaha untuk men-Jepangkan bangsa Indonesia, maka pengaruh
barat harus dihilangkan. Bersamaan dengan penghapusan semua pengaruh barat,
tentara Jepang juga telah menutup Indonesia dari dunia luar dengan jalan
melarang orang Indonesia mendengarkan siaran-siaran dari dunia luar, tindakan
Jepang terhadap semua perkumpulan “radio nasional”, maupun perkumpulan
setengah resmi yang sudah ada sebelumnya juga telah diambil alih untuk dikuasai.
Tugas dan pengelolaan di bidang radio segera dibentuk suatu jawatan yang
24
Ibid., hlm. 12.
64
mengurusi siaran radio dengan nama Hoso Kanri Kyoku yang berpusat di Jakarta.
Sedangkan untuk kota besar lainnya bernama Hoso Kyoku, selain itu Hoso Kyoku
juga mendirikan kantor cabang di daerah kabupaten dengan nama Shodanso.
Kantor tersebut berfungsi mengkoordinir semua bengkel servis radio setempat,
sebab reparasi dan pemeriksaan alat-alat radio harus diawasi Jepang. Shodanso
juga mengurus penempatan radio-radio umum yang ditempatkan dipelosok-
pelosok daerah.
Pada perkembangan selanjutnya, yaitu pada tahun 1944 Jepang
mengadakan mutasi pegawainya. Untuk perkembangan selanjutnya, ternyata Hoso
Kyoku hanya mampu mengudarakan acara-acara siarannya kurang lebih selama
tiga tahun, hal itu dikarenakan pada tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia
telah berhasil memproklamasikan kemerdekaannya. Dengan adanya peristiwa
semacam itu, maka atas perintah Saiko Sikikan mulai tanggal 19 Agustus 1945
semua kegiatan Hoso Kyoku dihentikan. Termasuk juga Hoso Kyoku Yogyakarta.
Sejak saat itu maka siarannya pun lenyap dari udara.25
Setelah melalui berbagai situasi politik yang berlarut-larut, akhirnya radio
siaran dapat menyumbangkan peranannya dalam menyiarkan berita proklamasi
Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Dikarenakan Indonesia
baru merdeka, maka badan-badan radio siaran belum dapat diorganisasi. Baru
pada tanggal 10-11 September 1945 para pemimpin radio siaran mengadakan
pertemuan yang melahirkan berdirinya “Radio Republik Indonesia” atau yang
lebih dikenal dengan RRI.
25
Ibid., hlm. 10-11.
65
Eksistensi RRI hingga saat ini masih mutlak dianggap penting, karena
media itu termasuk salah satu alat vital bagi Negara. Karakteristik RRI dengan
potensi tembus dan daya geraknya yang cepat, tidak pernah merasa tersaingi
ditengah-tengah persaingan tajam antar media massa berkat kemajuan teknologi
yang semakin canggih.
(2). RRI di Yogyakarta
Sebelum Yogyakarta menjadi kota hijrah bagi Ibukota Republik Indonesia,
siaran-siaran yang diudarakan oleh RRI Yogyakarta sudah mulai terkenal.
Terutama siaran penyebar dan penebal semangat dari pidato-pidato Bung Tomo
dan Bung Tarjo. Bung Tarjo yang pada waktu itu sebagai pimpinan “Barisan
Pemberontakan Rakyat Indonesia” (BPRI) daerah Mataram, melalui corong RRI
telah mengadakan penerangan dan pembangkitan semangat rakyat untuk
mempertahankan kemerdekaan RI. Pidato tersebut ternyata tidak berkenan di hati
Sekutu, maka RRI Yogyakarta mandapat ultimatum. Ultimatum itu berisi apabila
RRI Yogyakarta terus menyiarkan pidato BPRI, maka Sekutu akan mengambil
tindakan.26
Dikarenakan RRI Yogyakarta tidak menanggapi ultimatum tersebut, maka
Sekutu pada pukul 8.30 tanggal 25 Nopember 1945 telah menyerang dan
mengebom gedung Siaran Radio Yogyakarta. Akan tetapi tidak berhasil dan
sekutu merasa belum puas. Kemudian pengeboman diulangi lagi pada tanggal 27
Nopember 1945. Serangan yang berupa bom dan roket pada tanggal itu berhasil
menghancurkan Balai Mataram (bekas Sositeit Belanda). Tetapi Gedung Siaran
Radio Yogyakarta yang menempati bekas gedung Nilmy dalam keadaan selamat,
26
Ibid., hlm. 17.
66
meskipun ada sebagian yang rusak. Pada malam harinya siaran Radio Yogyakarta
sudah dapat mengudara, karena pemancar radio berhasil diselamatkan ditempat
lain.
Sejak berpindahnya Presiden beserta wakil Presiden dari Jakarta ke
Yogyakarta pada tanggal 4 Januari 1946, kota Yogyakarta menjadi pusat
pemerintahan Republik Indonesia, dan RRI Yogyakarta otomatis berfungsi
sebagai RRI Pusat. Adapun gedung studionya berada di Secodiningratan (JL. P.
Senopati, sekarang termasuk komplek Bank Indonesia). Dari tempat inilah RRI
Yogyakarta melangsungkan siaran-siaran Nasionalisnya.27
(3). Karier Maria Magdalena Rubinem Di RRI Yogyakarta
Awal mula karier Rubinem dikenal sebagai pesinden sebelum tahun 1945,
Rubinem hampir setiap hari mengisi acara di wilayah Yogyakarta termasuk di
radio Radio Republik Indonesia (RRI). Rubinem bukan satu-satunya pesinden di
Yogyakarta, karena masih ada pesinden lain yang satu generasi dengan Rubinem.
Diantaranya adalah Nyi Suparmi, Nyi Sumiyati, Nyi Kitin Sumartinah, Nyi
Meneng, Nyi Sri Rahayu, Nyi Podosih, Nyi Sumijati, Nyi Toekinem, Nyi Niken
Larasati, dan Nyi Tasri. Karena suaranya yang khas, Rubinem mulai dikenal oleh
masyarakat luas.
27
Ibid., hlm. 18.
67
Gambar. 4
Foto Maria Magdalena Rubinem saat memperagakan Tari Gambyong
Tahun 1943.
Sumber : Koleksi Keluarga
Sejak di RRI Yogyakarta inilah, Rubinem mulai dikenal oleh masyarakat
Yogyakarta dan sekitarnya. Sejak menjadi pesinden di RRI Yogyakarta, nama dan
suara Rubinem mulai dikenal luas. Lantunan suaranya yang kian mantap, akhirnya
sebulan sekali ia dipercaya untuk pentas di RRI Jakarta mewakili RRI
Yogyakarta. Berkat penampilannya di RRI Jakarta, popularitas Rubinem kian
berkembang. Ia diundang tampil ke berbagai kota di Pulau Jawa, seperti Jakarta,
Bandung, Surabaya, Semarang hingga Banyuwangi. Rubinem juga bangga dapat
pergi keluar kota berkat kemampuannya menjadi pesinden. Ketenaran Rubinem
inilah yang membuatnya betah dengan profesi yang dilakoni sampai saat ini
sebagai sinden sekaligus seniman tradisi.
68
Tahun 1951 Rubinem mulai nyinden di Istana Negara. Presiden Sukarno
setiap satu bulan sekali di Istana Presiden selalu mengadakan pagelaran wayang
kulit, tidak ketinggalan Maria Magdalena Rubinem turut serta mengiringi
pementasan wayang kulit sebagai waranggana. Kepiawaian Rubinem dalam
sinden, membuatnya berkali-kali mendapat kesempatan untuk tampil di depan
orang-orang penting di negara Indonesia, salah satunya yakni Presiden Sukarno.
Rubinem mengaku bangga karena dapat mewakili RRI Yogyakarta dan bisa
sampai ke Jakarta untuk tampil di depan Presiden.28
Tahun 1960-an merupakan zaman keemasan bagi Rubinem, karena dalam
satu bulan ia bisa mendapat tawaran pentas sampai 40 kali. Rubinem adalah
seorang pesinden ternama dikala itu, dan ia adalah pelopor profesi sinden
dikalangan perempuan khususnya di Yogyakarta. Dalam satu bulan tersebut, ia
membagi waktu siang dan malam untuk pentas. Sampai akhirnya ia menyerah
karena sudah merasa lelah. Selain rekornya 40 kali tampil dalam satu bulan, ia
juga pernah mendapatkan jadwal pentas selama tiga bulan full setiap hari. Karena
jadwal yang begitu padat, akhirnya ia menyiasati dengan berbohong pada setiap
orang yang mengundangnya. Jika ada yang menghubungi untuk memintanya
pentas, ia mengatakan sudah penuh supaya ada waktu untuk istirahat.29
Pernah ia ditanggap30
dan mendapat honor Rp. 500.000,00. Honor itu
sudah sangat tinggi untuk tanggapan sinden pada saat itu, dan Rubinemlah yang
dibayar dengan honor semahal itu. Sepanjang kariernya sebagai sinden baik di
RRI sampai di luar RRI, ia belum pernah mendapatkan bayaran sebesar itu.
28
Wawancara dengan Maria Magdalena Rubinem tanggal 3 Mei 2015. 29
Wawancara dengan Maria Magdalena Rubinem tanggal 3 Mei 2015. 30
Diundang untuk tampil dalam suatu acara.
69
Bahkan pada awal kariernya sebagai sinden ia pernah mendapatkan bayaran hanya
ucapan terima kasih. Waktu di RRI, ia diundang di Jakarta untuk tampil di depan
Pak Sukarno, ia tidak pernah mendapat bayaran, kecuali hanya dari gaji pokok
RRI.31
Karena jadwal manggungnya di luar begitu padat, pada tahun 1972 ia
memutuskan untuk keluar dari RRI dan mulai menerima tawaran-tawaran pentas
dari luar.
Keseragaman seorang pesinden dalam acara pementasan dapat dilihat dari
cara memakai kostum dan bekal yang dibawa diatas panggung. Begitupun
Rubinem yang selalu mengenakan kostum atau atribut apabila manggung.32
Apabila diidentifikasikan pakaian yang di gunakan pesinden adalah sebagai
berikut :
a. Rambut disanggul dengan konde dan ditata serangkaian bunga
melati melingkar pada sambungan konde tersebut sebagai
aksesoris serta susuk rias berwarna emas untuk memperkuat
sambungan konde yang sedikit berat.
b. Make up yang digunakan oleh pesinden untuk merias wajahnya
dengan memakai alas bedak kuning langsat tebalnya tiga lapisan
bedak, agar kelihatan segar dan terlihat bulu sinom pada kerutan
dahi, diberi eyeshadow pada pelipis mata, celak untuk
merapikan bulu alis atau mempertebal, pada bagian pipi dipakai
shadow warna merah ranum agar tetap kelihatan, bibir dioles
dengan lipstick yang sesuai dengan kostum. Anting atau
“ceplik” dipakai pada kuping.
31
Wawancara dengan Maria Magdalena Rubinem tanggal 3 Mei 2015. 32
Wawancara dengan Maria Magdalena Rubinem tanggal 3 Mei 2015.
70
c. Pada bagian badan memakai kutang basahan dirangkap dengan
pakaian khas Jawa bordiran transparan bermotif bunga dengan
warna menyesuaikan kesukaan masing-masing. Ada beberapa
yang melengkapinya dengan bross pada bagian kancing baju
paling atas atau sebelah kanan, kalung emas pada leher dan
gelang emas, dan terakhir pada bagian badan di diagonalkan
selendang kecil panjang di atas pundak sampai pinggul.
d. Pada bagian bawah memakai kebaya yang sebelumnya diikat
dengan stagen atau sabuk panjang pada pinggul, motif
selendang biasanya batik tulis bebas, tanpa alas kaki.
e. Membawa buku saku kumpulan atau catatan lagu-lagu, kipas,
pulpen dan tas berbentuk bantal sekaligus untuk tempat duduk
yang berisi make up kecil untuk memperbaiki setiap pertunjukan
berlangsung.
Keterangan di atas adalah sarana dan bekal pesinden di atas panggung
dalam melaksanakan tugasnya sebagai penyanyi. Bagi pesinden-pesinden modern
mungkin ditambah dengan berbagai asesoris untuk menambah daya tarik dan
kepercayaan diri dalam penampilannya di atas panggung.
71
Gambar. 5
Cover salah satu kaset rekaman di sertai Foto Nyi Maria Magdalena
Rubinem yang menggunakan kostum sinden saat pentas.
Sumber : Koleksi Keluarga
b. Bekerja di Dunia Akting
Selain dunia suara, Rubinem juga merambah dunia akting. Ia membintangi
beberapa judul sinetron di TVRI (Televisi Republik Indonesia) Jakarta, antara
lain:
1. Gedasih
2. Dua Batas Penantian
3. Sayup
4. Kaki Langit
5. Mbok Sênêk
Sinetron-sinetron tersebut dibuat sekitar tahun 1970-an, pembuatan
sinetron tersebut diambil dari berbagai tempat di sekitar Yogyakarta.33
Selain
33
Wawancara dengan Maria Magdalena Rubinem tanggal 3 Mei 2015.
72
bermain sinetron, Rubinem juga pernah diundang untuk mengisi salah satu acara
di TVRI Yogyakarta yakni, “Pangkur Jenggleng” pada tahun 2003.
Pangkur Jenggleng berawal dari acara siaran di RRI Yogyakarta yang
dibawakan oleh seniman dagelan Mataram yakni Basiyo. Pangkur merupakan
salah satu dari tembang macapat. Pangkur bertujuan untuk memberikan petuah
tentang kehidupan. Pangkur kemudian dimodifikasi dengan irama rampak
instrument yang berbunyi “jenggleng”, cengkoknya dijengglengkan supaya ada
unsur penghibur. Berkembang di RRI Yogyakarta sekitar tahun 1970an,
memberikan inspirasi Amien Rais yang mempunyai 50 Kaset audio “Pangkur
Jenggleng” yang saat ia belajar di Amerika kaset-kaset ini menjadi salah satu
hiburannya. Setelah kembali ke Yogyakarta, Pada tahun 2003 Amien Rais dan
TVRI Yogyakarta bekerja sama untuk memvisualkan acara yang sebelumnya
hanya bisa didengar.34
Tahun 2004 acara pangkur Jengleng dimodivikasi menjadi “Pangkur
Jenggleng Ayom-ayem” (Orang tua yang mengayomi anak-anaknya). Dari
berbagai unsur seni dimasukkan menjadi satu dalam acara ini, terdapat unsur
pengrawit, dalang, sinden, busana, budaya, dan etika. Sekitar tahun 2004 Maria
Magdalena Rubinem diundang tampil untuk menjadi waranggana acara Pangkur
Jenggleng Ayom-ayem ini. Awal mula diundangnya Rubinem dalam acara ini
karena Amien Rais selaku pemilik sponsor merasa kasihan terhadap Rubinem
yang sudah pensiun dari RRI Yogyakarta dan kemudian mengundangnya.35
34
Wawancara dengan Heruwati tanggal 10 Juli 2015. 35
Wawancara dengan Heruwati tanggal 10 Juli 2015.
73
C. Maria Magdalena Rubinem sebagai Pesinden Tiga Zaman
Maria Magdalena Rubinem dikenal sebagai pesinden tiga zaman yakni,
zaman kependudukan Belanda, zaman kependudukan Jepang, dan terakhir zaman
Indonesia Merdeka, termasuk ketika ia hidup dizaman Raja Hamengku Buwana
ke VIII, IX dan X Keraton Yogyakarta.36
1. Masa Kependudukan Belanda
Rubinem yang lahir pada tahun 1925, sudah menyinden sejak kecil,
meskipun pada masa kependudukan Belanda belum mendapat tawaran manggung
karena ia masih pemula dalam hal persindenan.37
Pada masa ini diketahui
Rubinem memulai kariernya sebagai seorang pesinden.
2. Masa Kependudukan Jepang
Pada masa kependudukan Jepang tahun 1942 sampai pertengahan tahun
1945, karier Rubinem mulai merangkak naik. Ia belajar sinden dari keluarga
ndoro-ndoro Keraton Yogyakarta dan mulai manggung saat ia berusia 18 tahun.
Pada keemasannya menjadi sinden di RRI, Rubinem nyaris menjadi korban
pengeboman tentara Jepang di RRI. Saat itu Jepang tengah berupaya menguasai
Indonesia dan beberapa kali melakukan serangan ke Yogyakarta.38
Suatu hari, kantor RRI yang waktu itu dekat dengan kantor pos besar di
pusat Kota Yogyakarta mendapat serangan bom dari Jepang.39
Beruntung baginya
ketika pengeboman terjadi, ia belum sampai kantor untuk mengisi acara sinden
karena memang jadwalnya bukan pas kejadian, jadi tidak harus cepat-cepat ke
RRI. Namun nahas, salah seorang temannya terkena bom.
36
Wawancara dengan Maria Magdalena Rubinem tanggal 3 Mei 2015 37
Wawancara dengan Maria Magdalena Rubinem tanggal 29 Mei 2015. 38
Wawancara dengan Maria Magdalena Rubinem tanggal 29 Mei 2015. 39
Wawancara dengan Maria Magdalena Rubinem tanggal 29 Mei 2015.
74
Belum sampai kantor, ia mendapat kabar kalau kantor RRI terkena bom
dari Jepang dan seorang temannya menderita luka, ia terdiam dan kaget.
"Saya terus di rumah saja, enggak ke RRI, kaget, itu sampai berdarah-darah
katanya," kenangnya.40
Setelah kejadian tersebut, Rubinem selalu merasa was-
was jangan sampai kejadian tersebut menimpanya. "Ngeri, jadi saya sampai was-
was kalau mau ke RRI, takut kalau nanti ada bom lagi," ungkapnya.41
3. Masa Indonesia Merdeka
Pada masa kemerdekaan Republik Indonesia, kesenian semakin
berkembang pesat dikalangan masyarakat. Hal ini dikarenakan Indonesia sudah
bebas dari penjajahan dan bebas pula berekspresi dalam menciptakan sebuah
karya. Setelah masa kemerdekaan kesenian juga ditandai dengan bermunculan
berbagai jenis kesenian dan kemudian lambat laun beranjak berbentuk
kontemporer. Karier Maria Magdalena Rubinem pada masa ini semakin
merangkak naik dan mulai banyak dikenal oleh masyarakat, khususnya
masyarakat Yogyakarta. Pekerjaannya menjadi pengisi suara di RRI Yogyakarta,
pernah tampil dihadapan Presiden Sukarno di Istana Negara, dan berbagai tawaran
manggung sampai keluar kota, merupakan salah satu bukti bahwa nama Rubinem
semakin tenar sampai akhir tahun 1970.42
Ada berbagai cara yang ditempuh seorang pesinden dalam memelihara dan
mengembangkan profesinya agar suara dan jasmaninya terawat dengan baik.43
40
Wawancara dengan Maria Magdalena Rubinem tanggal 29 Mei 2015. 41
Wawancara dengan Maria Magdalena Rubinem tanggal 29 Mei 2015. 42
Wawancara dengan Maria Magdalena Rubinem tanggal 29 Mei 2015. 43
Isnin Sholihin., Kehidupan Pesinden Di Kecamatan Gondang
Kabupaten Sragen: Suatu Kajian Sejarah Kebudayaaan/Kesenian, (Surakarta:
Skripsi Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS, 2005), hlm.
100.
75
Seperti yang dilakukan Rubinem untuk semakin sehat dan bugar dalam
memelihara suara maupun bentuk tubuhnya, yakni dengan cara:
a. Pertama, secara alami yaitu pesinden yang benar-benar dengan proses
belajar dalam merawat suara dan tubuhnya dengan melatih suara
melalui latihan pernafasan, olah raga, mencegah makan yang
berlebihan dan makanan yang terlalu banyak kadar kolesterol tinggi
dan berlemak. Latihan pernafasan berfungsi untuk memperpanjang
oktaf44
suara dan membersihkan suara agar tidak serak atau parau, cara
ini untuk mencapai wilayah-wilayah nada atau oktaf yang tinggi,
bahkan suara fasset (suara dalam dengan menggunakan pernafasan
perut) yang sering digunakan pesinden pada umumnya. Selalu
menghindari minuman yang dapat menurunkan adrenalin dan
kelantangan suara. Cara itu haruslah terjaga setiap hari sebagai pondasi
dasar power yang akan dikeluarkan untuk menyanyi, meskipun
demikian latihan itu juga didukung dengan mendengarkan lagu-lagu
melalui kaset maupun audio teknologi yang berkembang seperti dapat
digunakan untuk karaoke maupun alat untuk menyelaraskan suara
sebagai control dalam ketepatan suara.
Kemudian dalam mengembangkan khas atau cengkok yang ingin didapat
oleh pesinden dengan cara mengenali satu persatu khas gurunya, dengan cara lain
mendengarkan gendhing sebanyak-banyaknya kemudian mengambil kelebihan
masing-masing suara pesinden senior tersebut untuk dikembangkan menjadi
44
Oktaf adalah susunan tangga nada pada tingkat tinggi rendahnya nada
tertentu.
76
bentuk cengkok atau wiled yang diinginkan, dengan begitu proses waktu semakin
sering berlatih akan mudah mendapatkan khas yang mereka inginkan.
b. Kedua, dengan cara perawatan khusus seperti pemasangan susuk emas,
ada yang meyakini bahwa susuk emas ini berfungsi untuk
membersihkan suara dan agar tetap awet kecantikannya, cara ini tidak
semua pesinden menggunakannya. Contohnya seorang dalang juga
melakukan cara ini namun dengan “kungkum” di air baik di sungai
maupun ditempat-tempat tertentu. “Poso mutih” lebih sering dijalani
untuk menahan hawa lapar dan mengendalikan kesabaran. Penggunaan
susuk ini tempatnya berbeda-beda, didasarkan pada kebutuhan masing-
masing. Susuk untuk perawatan suara di tempatkan pada lengan tangan
di bagian belakang seperti seseorang yang memakai susuk KB, di
bagian yang lain yang berhubungan dengan syaraf kulit atau otot
dipasang susuk untuk terapi agar tetap segar dan awet muda.45
Kedua cara tersebut dijelaskan bukanlah menjadi sesuatu kewajiban setiap
pesinden, namun dengan cara-cara mereka sendiri hal itu dapat ditempuh menurut
keinginannya masing-masing. Mereka hanya berusaha bagaimana harus menjaga
kepiawaiannya dalam menjalani profesi agar tetap menjadi sesuatu yang sempurna
baik secara jasmaniah dan rohaniahnya, sehingga masyarakat dapat merasakan
keindahan yang dimiliki dari seorang pesinden. Hal ini dilakukan berharap dapat
langgeng dan tetap baik dalam kesejahteraan masing-masing pesinden disisi lain
ketenaran itu semua pesinden menginginkan demikan.
45
Wawancara dengan Sri Mulyono tanggal 9 Juli 2015.
77
Selain kedua cara tersebut, menurut Sri Mulyono disebutkan pula sinden
yang menggunakan ritual-ritual khusus agar menjadi sinden yang sukses, lancar,
terkenal yakni dengan ritual puasa seperti puasa mutih, puasa ngalong, puasa
ngrowo, dan puasa pati geni. Selain menjalani puasa para sinden juga menjalani
ritual mandi malam, mandi kembang dan pergi ke petilasan-petilasan sinden
jaman dahulu yang dipercaya dapat memberikan berkah dan kesuksesan seperti
sinden tersebut.46
Di luar dugaan, banyak penonton atau masyarakat “gandrung” karena
suara sinden yang merdu. Sebagian besar mereka yang tergila-gila dengan
cengkok khas yang dibawakan oleh pesinden cukup dengan mendengar atau
melihat saja. Akan tetapi bagi mereka yang tidak puas dengan suaranya, apalagi
paras penyanyinya mendukung, mereka tidak segan mencari kesempatan di luar
pertunjukan dengan menawarkan jasa mereka mengantarkan pulang demi
kepuasan batinnya. Bahkan rela mengeluarkan banyak uang untuk kelanjutan
hubungan yang sering disebut sebagai orang “demenan” (jawa: kesayangan)
dengan sinden yang cantik. Namun perlu ditegaskan tidak semua pesinden mau
atau berperilaku sama dalam menghadapi penggemarnya.47
a. Peran yang Dilakukan Rubinem
Kesenian tradisional merupakan salah satu aset bangsa yang sangat
berharga baik dari aspek ekonomi, sosial, maupun budaya. Sebagai aset ekonomis,
kesenian tradisional terbukti memiliki nilai komersil yang tinggi dengan
banyaknya apresiasi dari dunia internasional. Dapat juga dikatakan bahwa
kesenian tradisional merupakan warisan budaya yang memiliki arti penting bagi
46
Wawancara dengan Sri Mulyono tanggal 9 Juli 2015. 47
Wawancara dengan Maria Magdalena Rubinem tanggal 29 Mei 2015.
78
kehidupan, adat dan sosial karena di dalamnya terkandung nilai, kepercayaan, dan
tradisi, serta sejarah dari suatu masyarakat lokal. Oleh karena itu adanya budaya
atau kesenian yang terus dijaga dan dilestarikan yang manfaatnya untuk kebesaran
budaya bangsa Indonesia itu sendiri. Salah satu aset kesenian tradisional yang
dimiliki oleh bangsa Indonesia salah satunya adalah sinden.
Kehidupan dan kelestariaan pada hal-hal yang berbau tradisional,
senantiasa terancam oleh arus budaya modern dan kehidupan kekinian yang
mengglobal. Dalam konteks ini Umar Kayam pernah secara pesimis menyatakan
bahwa kesenian tradisional yang berasal dari masyarakat agraris dan feodal itu
harus bersaing dengan konsep kesenian modern yang diciptakan untuk masyarakat
kota dan industri, yang dapat berbicara dalam bahasa modern dan teknologi. Lalu
apakah kesenian tradisional mampu mempertahankan sosoknya yang asli dan
fungsinya yang lama?48
Memang tidak bisa dipungkiri isu-isu globalisasi dan modernisasi sering
menimbulkan rasa gamang di kalangan seniman tradisi. Tidak pula yang dirasakan
oleh Rubinem, semakin banyaknya kesenian modern yang masuk di Indonesia
membuatnya tidak menutup mata dan telinga, karena masuknya kesenian modern
tersebut memberikan warna baru tanpa harus menggerus kesenian tradisional.
Nama Rubinem pun dikenal masyarakat luas sebagai sinden yang tetap
menjaga kelestarian kesenian tradisi khususnya sinden dengan cara mengajarkan
ilmunya kepada para masyarakat yang mau dan ingin bersungguh-sungguh dalam
belajar sinden. Selain itu ia juga mengajar sinden dibeberapa paguyuban kesenian.
Paguyuban merupakan nomina (kata benda) perkumpulan yang bersifat
48
Umar Kayam, Kelir Tanpa Batas. (Yogyakarta: Gama Media, 2001),
hlm. xv.
79
kekeluargaan, didirikan orang-orang yang sepaham (sedarah) untuk membina
persatuan (kerukunan) di antara anggotanya.49
b. Pewarisan Tembang atau Gendhing
Setiap pesinden mempunyai keunikan masing-masing dalam menekuni
gendhing-gendhing yang akan dihapal dan dinyayikan. Pewarisan gendhing-
gendhing yang berkembang melibatkan seluruh anggota seniman dalam
pertunjukan wayang kulit, terutama seorang dalang. Ia harus menguasai gendhing-
gendhing terlebih dahulu sebelum ia mementaskan lakon atau menjadi seorang
dalang. Para pengrawit dan penggerong yang selalu mengisi isen-isen dan
ngimbali gendhing-gendhing yang dinyanyikan pesinden. Dalam dunia karawitan
harus tahu dan paham terhadap gendhing-gendhing yang akan dibawakan agar
laras yang didapat sempurna.
Pesinden dapat belajar melalui media dan sumber apapun, namun yang
paling mendasar bagi pewarisan gendhing tersebut adalah dengan cara langsung
mendalami materi-materi senior atau gurunya dengan metode mendengarkan
kumpulan bentuk-bentuk garap berdasarkan nilai dan fungsi pada pertunjukan.50
Tingkat kesulitan dan kekuatannya akan didapat lebih kuat dan bermakna
dibanding dengan memperoleh tanpa mengetahui makna yang terkandung dalam
gendhing tersebut.
Pada bagian yang penting adalah pewarisan yang tidak disengaja akhirnya
membentuk suatu pola pelestarian secara turun-temurun dangan istilah “nguri-uri”
49
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia.
(Jakarta: Balai Pustaka, 2005). 50
Isnin Sholihin., op.cit., hlm. 105..
80
gendhing yang sudah dilewati beberapa generasi dan budaya yang berbeda seperti
pada kenyataan dapatlah kita lihat adanya seorang sinden yang menyanyikan
gendhing yang tercipta sebelum ia lahir, hal ini membuktikan bahwa pewarisan
gendhing-gendhing yang ada sangat bermakna bagi generasi berikutnya baik itu
dilakukan dengan sengaja maupun tidak sengaja.
Langkah generasi sekarang dalam mengembangkan gendhing dan profesi
sinden akan sangat kompleks dan unik karena semakin luas wilayah-wilayah
garap itu keragaman akan nampak sebagai salah satu refleksi budaya masyarakat
Jawa khususnya dalam mengambangkan apresiasi dan interpretasi pada sebuah
sajian hasil karya.
Recommended