View
215
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan
IV.1 Isolasi Kitin dari Limbah Udang
Sampel limbah udang kering diproses dalam beberapa tahap yaitu penghilangan
protein, penghilangan mineral, dan deasetilasi untuk diubah menjadi kitosan.
Sampel limbah udang kering sebanyak 50 g dapat menghasilkan 11,25 g kitosan
dengan rincian massa dan rendemen pada Tabel IV.1.
Protein dalam kitin tidak dapat dihilangkan seluruhnya sebab protein ini diikat
oleh kitin melalui ikatan kovalen dan membentuk kompleks yang stabil. Residu
yang didapat dicuci dengan air sampai netral kemudian dibilas menggunakan
aquades. Hasil kitin kasar yang diperoleh setelah ekstraksi dengan NaOH
berwarna coklat.
Kandungan mineral utama dalam kulit udang adalah CaCO3, sebesar 40-50%
berat. Mineral lain yang terdapat pada kulit udang adalah Ca3(PO4)2. Larutan
HCl akan bereaksi dengan mineral-mineral tersebut, sehingga terbentuk garam-
garam yang larut dalam pelarut dan mudah dihilangkan atau terbentuk gas CO2
yang dapat keluar dari campuran berupa gelembung-gelembung udara. Reaksi
mineral dengan HCl adalah sebagai berikut :
CaCO3(s) + 2HCl(aq) CaCl2(aq) + H2O(l) + CO2(g)
Ca3(PO4)2(s) + 4HCl(aq) 2CaCl2(aq) + Ca(H2PO4)2 (aq)
Penghilangan garam-garam yang larut dilakukan dengan penyaringan, sedangkan
gas akan keluar saat pelarutan. Hal ini dapat dilakukan karena kitin tidak larut
dalam HCl.
27
IV.2 Pembuatan Kitosan
IV.2 1 Deasetilasi Kitin menjadi Kitosan
Deasetilasi kitin adalah penghilangan gugus asetil yang berikatan dengan gugus
amin menggunakan larutan basa kuat yang pekat. Larutan basa kuat yang
digunakan adalah NaOH 50%, hal ini disebabkan karena basa lemah tidak dapat
memutuskan ikatan C-N gugus asetamida pada atom C-2 pada asetamida kitin,
sedangkan basa kuat akan memutuskan ikatan antara gugus asetil dengan atom N,
sehingga terbentuk gugus amina (-NH2) pada kitosan. Banyaknya gugus asetil
yang hilang merupakan besarnya % deasetilasi kitosan. Transformasi kitin
menjadi kitosan adalah reaksi hidrolisa. Mekanisme reaksinya seperti pada
Gambar IV.1.
Tabel IV 1 Rincian Massa Tiap Proses Pembuatan Kitosan
Proses Massa (g) Rendemen
Penghilangan protein 26,50 53,0%
Penghilangan mineral 14,20 28,4%
Deasetilasi 11,25 22,5%
IV.2.2 Karakterisasi kitosan
Kitosan hasil deasetilasi dikarakterisasi dengan FTIR, dengan spektra yang
terlihat pada Gambar IV.2 untuk kitin dan Gambar IV.3 untuk kitosan. Dari
spektra tersebut dapat dilihat adanya puncak-puncak yang dimiliki oleh gugus
fungsi kitin pada Tabel IV.2, dan puncak-puncak yang dimiliki oleh kitosan pada
Tabel IV.3.
28
O
H
OH
CH 2OH
H
H
H
NH
CCH 3
H
n
O
H
OH
CH 2OH
H
H
H
NH
C
CH 3
H
n
OH -
OH-OO
O
H
OH
CH 2OH
H
H
H
C
CH 3
NH
H
O-O H
OH -
O
H
OH
CH 2OH
H
H
H
NH 2+
C
CH 3
H
O --O
n n
O
H
OH
CH 2OH
H
H
H
NH 2+
C
CH 3
H
O --O
n
OH -
O
H
OH
CH 2OH
H
H
H
NH 2
H
n
+ CH3COO- + OH-
Gambar IV 1 Transformasi kitin menjadi kitosan
29
50075010001250150017502000250030003500400045001/cm
37.5
45
52.5
60
67.5
75
82.5
90
97.5
%T
3448
.72
3309
.85
3267
.41
3109
.25
2960
.73
2929
.87
2885
.51
1658
.78
1627
.92
1564
.27
1417
.68
1377
.17
1315
.45
1157
.29
1116
.78
1074
.35
1024
.20
975.
9895
2.84
896.
90
750.
3170
0.16
599.
8656
3.21 53
2.35
401
19
Khitin Gambar IV 2 Spektrum FTIR kitin
50075010001250150017502000250030003500400045001/cm
30
40
50
60
70
80
90
100
%T
3444
.87
2881
.65
1656
.85 15
95.1
3 1421
.54
1379
.10
1323
.17
1151
.50
1089
.78
1033
.85
896.
90
601.
79
401
19
Khitosan
Gambar IV 3 Spektrum FTIR kitosan
30
Tabel IV 2 Jenis Vibrasi Gugus-gugus Fungsi Yang Terdapat Dalam Kitin
Bilangan Gelombang (cm -1) Jenis
Vibrasi
Gugus yang
bervibrasi
3000- 3500 Regang O-H dan N-H
2929,87 Regang C-H, CH3
1658,78 Regang C=O amida
1417,68 Tekuk C-H
1075-1200 Regang C-O-C
Tabel IV 3 Jenis Vibrasi Gugus-gugus Fungsi Yang Terdapat Dalam Kitosan
Bilangan Gelombang (cm -1) Jenis
Vibrasi
Gugus yang
bervibrasi
3000- 3500 Regang O-H dan N-H
2881,65 Regang C-H, CH3
1656,85 Regang C=O amida
1421,54 Tekuk C-H
1089,78 Regang C-O-C
Spektra kitin dan kitosan menunjukkan puncak dengan intensitas yang sedikit
berbeda. Perbedaan puncak yang paling menonjol terlihat pada puncak C=O
amida, pada kitin intensitasnya lebih besar dibandingkan pada kitosan. Hal ini
menunjukkan adanya gugus asetil yang hilang dari kitin. Dari spektra kitosan,
terlihat masih ada karbonil yang terikat pada amida, hal ini menunjukkan kitosan
yang diperoleh derajat deasetilasinya kurang dari 100%. Dari hasil perhitungan
pada Lampiran 1 diperoleh derajat deasetilasi kitosan sebesar 71,52%
31
IV.2.3 Penentuan Massa Molekul Relatif Rata-rata
Kitosan yang diperoleh pada penelitian ini, setelah ditentukan ηr, ηsp, ηred dan ηi,
kemudian dengan persamaan Mark-Houwink (persamaan II.5 ), memiliki massa
molekul relatif rata-rata sebesar 2,61. 106 Da, dengan perhitungan pada Lampiran
2.
IV.3 Penggunaan Kitosan Untuk Penjernihan Air
Sampel air yang digunakan dalam penelitian ini ada 2 macam, yaitu air keruh
simulasi yang mengandung ion Fe (III) dari larutan FeSO4, dan air dari sungai
Cikapundung di sekitar Babakan Siliwangi. Untuk penjernihan air keruh ini
digunakan dua jenis koagulan yaitu kitosan dan tawas (Al2(SO4)3). Parameter
yang dianalisis pada pengolahan sampel air ini adalah turbiditas (kekeruhan) dan
derajat keasaman (pH). Tabel IV.4 menunjukkan karakteristik sampel air sebelum
pengolahan.
Tabel IV 4 Karakteristik sampel air sebelum pengolahan
Parameter
Sampel Air
Kekeruhan (NTU) pH
Sampel air keruh simulasi 67,43 7,87
Sampel air sungai 72,91 7,53
Dari hasil pengukuran dengan Spectronic 20 diperoleh nilai Transmitan (%T),
yang kemudian ditentukan nilai Absorbannya dan ditentukan nilai kekeruhan
(NTU) berdasarkan persamaan regresi linier dari larutan standar hidrazin sulfat
pada Lampiran 4.
32
IV.3.1 Pengaruh Konsentrasi Kitosan Dan Tawas Terhadap Efektifitas Penjernihan Sampel Air Keruh Simulasi
Koagulan kitosan dan tawas dengan volume tertentu ditambahkan ke dalam 200
mL sampel air sehingga konsentrasi koagulan kitosan maupun tawas dalam
pengolahan ini bervariasi dari 2-10 ppm. Pada awal penambahan koagulan
kitosan dengan pengadukan cepat, sudah mulai terlihat sampel air yang diolah
menjadi keruh kemudian dengan pengadukan lambat mulai terbentuk gumpalan-
gumpalan kecil atau disebut mikroflok. Gumpalan-gumpalan tersebut semakin
lama semakin membesar atau disebut makroflok. Setelah didiamkan beberapa
saat, makroflok-makroflok tersebut mengendap dalam waktu 40 menit sehingga
bagian atas air terlihat lebih jernih dari sebelumnya. Endapan yang terbentuk
adalah berupa gumpalan yang berwarna coklat kekuningan serta mudah terpecah,
sehingga ada sebagian kecil lapisan yang mengapung dan membentuk lapisan
dipermukaan. Kemudian untuk memisahkan endapan dan lapisan di permukaan
air dilakukan proses penyaringan dengan kertas saring sehingga diperoleh air yang
jernih. Sedangkan penambahan koagulan tawas yang diolah dengan cara yang
sama tidak banyak menghasilkan endapan, sehingga bagian atas air tidak begitu
jernih dan masih kelihatan keruh, walaupun sudah dilakukan proses penyaringan.
Lampiran 5 menunjukkan pengaruh konsentrasi kitosan dan tawas terhadap
kekeruhan air keruh simulasi.
Gambar IV.4 menunjukkan pengaruh konsentrasi koagulan kitosan dan tawas
pada penjernihan air keruh simulasi. Dan Gambar IV.5 menunjukkan pengaruh
konsentrasi kitosan dan tawas terhadap persen penurunan kekeruhan air keruh
simulasi. Dari grafik tersebut dapat dilihat bahwa dengan menggunakan koagulan
kitosan, dengan konsentrasi 2 ppm, dari kekeruhan awal air keruh simulasi
sebesar 67,43 NTU mengalami penurunan kekeruhan menjadi 9,78 NTU dengan
persentase penurunan kekeruhan sebesar 85,49 %. Setelah ditambahkan koagulan
kitosan dengan konsentrasi 4 ppm, terjadi penurunan kekeruhan yang lebih besar
lagi, menjadi 0,09 NTU dengan persentase penurunan kekeruhan sebesar 99,88 %.
Tetapi dengan penambahan konsentrasi koagulan kitosan yang lebih besar lagi
misalnya dengan konsentrasi kitosan 6 ppm sampai 10 ppm, kekeruhan
33
mengalami kenaikan lagi, dengan persentase penurunan kekeruhan sebesar 97,03
% ; 94,20%; dan 91,35%. Penurunan kekeruhan yang maksimal diperoleh dengan
konsentrasi kitosan 4 ppm.
01020304050607080
0 5 10 15
konsentrasi koagulan (ppm)
keke
ruha
n (N
TU)
kitosantawas
Gambar IV 4 Pengaruh konsentrasi kitosan dan tawas terhadap kekeruhan air
keruh simulasi
020406080
100120
0 5 10 15
konsentrasi koagulan (ppm)
% p
enur
unan
kek
eruh
an
kitosantawas
Gambar IV 5 Pengaruh konsentrasi kitosan dan tawas terhadap persen
penurunan kekeruhan air keruh simulasi
Sedangkan pengolahan air dengan menggunakan koagulan tawas, penambahan
koagulan tawas sebesar 2 ppm terjadi penurunan kekeruhan menjadi 64,74 NTU,
34
dengan persentase penurunan kekeruhan sebesar 3,99%. Setelah ditambahkan
koagulan tawas dengan konsentrasi yang lebih besar lagi, terjadi penurunan
kekeruhan, tetapi tidak begitu besar, misalnya dengan penambahan konsentrasi
maksimal koagulan tawas 10 ppm, kekeruhan menjadi 28,57 NTU dengan
persentase penurunan kekeruhan sebesar 57,63%. Penurunan kekeruhan yang
maksimal diperoleh dengan konsentrasi tawas 10 ppm. Data persen penurunan
kekeruhan air keruh simulasi dengan koagulan kitosan dapat dilihat pada Tabel
IV.5, dan data persen penurunan kekeruhan air keruh simulasi dengan koagulan
tawas pada Tabel IV.6 .
Tabel IV 5 Persen penurunan kekeruhan air keruh simulasi dengan koagulan kitosan
Kekeruhan (NTU) Konsentrasi
kitosan (ppm) awal akhir
% penurunan
kekeruhan
2 67,43 9,78 85,49
4 67,43 0,09 99,87
6 67,43 2,00 97,03
8 67,43 3,91 94,20
10 67,43 5,83 91,35
Tabel IV 6 Persen penurunan kekeruhan air keruh simulasi dengan koagulan tawas
Kekeruhan (NTU) Konsentrasi
tawas (ppm) awal akhir
% penurunan
kekeruhan
2 67,43 64,74 3,99
4 67,43 59,52 11,73
6 67,43 35,26 47,71
8 67,43 33,00 51,06
10 67,43 28,57 57,63
35
Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa koagulan kitosan lebih efektif dan
efisien dibandingkan koagulan tawas. Konsentrasi optimal kitosan adalah 4 ppm
sedangkan konsentrasi optimal tawas 10 ppm. Hasil pengolahan air keruh
simulasi dengan koagulan kitosan dan tawas dapat dilihat pada Gambar IV.7,
IV.8, IV.9, IV.10.
Air keruh simulasi, dibuat dengan melarutkan serbuk FeSO4 ke dalam air, dan
dibiarkan selama kira-kira 24 jam. Kekeruhan air keruh simulasi disebabkan oleh
ion Fe2+ yang teroksidasi menjadi ion Fe3+ dan membentuk koloid Fe(OH)3.
Koloid Fe(OH)3 dapat bermuatan positif dengan mengadsorpsi ion Fe3+ dalam
suasana asam (pH < 7). Dan koloid Fe(OH)3 juga dapat bermuatan negatif
dengan mengadsorpsi ion OH- dalam suasana basa (pH > 7). Pada pembuatan air
simulasi , serbuk FeSO4 dilarutkan dalam air PAM dengan pH 7,87 (suasana
basa), sehingga koloid Fe(OH)3 yang terbentuk bermuatan negatif. Skema
hidrolisis ion Fe+3 dapat dilihat pada Gambar IV.6. Muatan negatif dari koloid
Fe(OH)3 akan dinetralkan oleh polielektrolit kitosan. Prinsip koagulasi kitosan
disini adalah adanya gaya tarik menarik antara koloid Fe(OH)3 yang bermuatan
negatif dengan kitosan yang memiliki gugus amina bebas yang bermuatan positif
karena mengikat ion H+ dari asam asetat. Akibatnya partikel-partikel koloid
Fe(OH)3 akan menyatu membentuk flok dan akhirnya mengendap.
Fe(H2O)63+ [Fe(H2O)5OH]2+ [Fe(H2O)4(OH)2]+ [Fe(H2O)3(OH)3](s)
[Fe(H2O)2(OH)4]-
Fe2(OH)24+
Gambar IV 6 Skema hidrolisis untuk Fe3+ 21
kenaikan pH
36
Gam
bar I
V 8
Air
keru
h si
mul
asi
hasi
l pen
gola
han
deng
an k
itosa
n se
belu
m p
enya
ringa
n
Gam
bar I
V 8
Air
keru
h si
mul
asi h
asil
peng
olah
an d
enga
n ta
was
sebe
lum
pen
yarin
gan
37
Gam
bar I
V 9
Air
keru
h si
mul
asi h
asil
peng
olah
an d
enga
n k
itosa
n se
tela
h p
enya
ringa
n
Gam
bar 1
0 A
ir ke
ruh
sim
ulas
i has
il pe
ngol
ahan
den
gan
taw
as se
tela
h pe
nyar
inga
n
38
IV.3.2 Pengaruh Konsentrasi Kitosan Dan Tawas Terhadap Efektifitas Penjernihan Air Sungai
Pada Tabel IV.1 terlihat bahwa sampel air sungai mempunyai karakteristik nilai
kekeruhan sebesar 72,91 NTU, dengan pH sebesar 7,53. Sampel air sungai
memiliki kekeruhan yang relatif tinggi dibandingkan dengan kekeruhan air keruh
simulasi. Seperti halnya sampel air keruh simulasi, pengolahan sampel air
sungaipun dilakukan dengan variasi konsentrasi kitosan dan tawas yaitu 2-10
ppm. Data lengkap hasil penjernihan dapat dilihat pada Lampiran 6. Pada
Gambar IV.11 dapat dilihat pengaruh konsentrasi kitosan dan tawas terhadap nilai
kekeruhan (NTU) air sungai, dan Gambar IV.12 pengaruh konsentrasi kitosan dan
tawas terhadap persentase penurunan kekeruhan air sungai.
01020304050607080
0 5 10 15konsentrasi koagulan (ppm)
keke
ruha
n (N
TU)
kitosantawas
Gambar IV 11 Pengaruh konsentrasi kitosan dan tawas terhadap kekeruhan air
sungai
39
0
20
40
60
80
100
120
0 5 10 15konsentrasi koagulan (ppm)
% p
enur
unan
kek
eruh
an
kitosan tawas
Gambar IV.12 Pengaruh konsentrasi kitosan dan tawas terhadap persen
penurunan kekeruhan air sungai
Dari grafik tersebut juga dapat dilihat bahwa dengan menggunakan koagulan
kitosan, dengan konsentrasi 2 ppm, kekeruhan berkurang menjadi 7,78 NTU,
sehingga persentase penurunan kekeruhan yaitu sebesar 89,33%. Setelah
ditambahkan koagulan kitosan dengan konsentrasi 4 ppm, terjadi penurunan
kekeruhan yang lebih besar lagi, dengan persentase penurunan kekeruhan sebesar
99,88%. Tetapi dengan penambahan konsentrasi koagulan kitosan yang lebih
besar lagi, kekeruhan mengalami kenaikan lagi. Hal ini menunjukkan pentingnya
optimasi konsentrasi koagulan agar suatu proses koagulasi dapat berjalan efektif.
Pada pengolahan air sungai dengan menggunakan koagulan tawas, penambahan
koagulan tawas sebesar 2 ppm mengakibatkan penurunan kekeruhan menjadi
44,61 NTU, dengan persentase penurunan kekeruhan sebesar 38,81%. Setelah
ditambahkan koagulan tawas dengan konsentrasi yang lebih besar, yaitu 10 ppm
terjadi penurunan kekeruhan dengan persentase penurunan kekeruhan sebesar
54,74%. Data persen penurunan kekeruhan air sungai dengan koagulan kitosan
dapat dilihat pada Tabel IV.7, dan data persen penurunan kekeruhan air sungai
dengan koagulan tawas pada Tabel IV.8 .
40
Tabel IV 7 Persen penurunan kekeruhan air sungai dengan koagulan kitosan
Kekeruhan (NTU) Konsentrasi
kitosan (ppm) awal akhir
% penurunan
kekeruhan
2 72,91 7,78 89,33
4 72,91 0,09 99,88
6 72,91 2,00 97,26
8 72,91 5,83 92,00
10 72,91 7,78 89,33
Tabel IV 8 Persen penurunan kekeruhan air sungai dengan koagulan tawas
Kekeruhan (NTU) Konsentrasi
tawas (ppm) awal akhir
% penurunan
kekeruhan
2 72,91 44,61 38,81
4 72,91 37,57 48,47
6 72,91 37,57 48,47
8 72,91 35,26 51,64
10 72,91 33,00 54,74
Seperti halnya pada pengolahan sampel air keruh simulasi yang mengandung ion
Fe(III), pada pengolahan sampel air sungai juga terjadi kekeruhan pada waktu
pengadukan cepat, kemudian dengan pengadukan lambat mulai terbentuk
gumpalan-gumpalan kecil atau disebut mikroflok. Gumpalan-gumpalan tersebut
semakin lama semakin membesar atau disebut makroflok. Setelah didiamkan
beberapa saat, makroflok-makroflok tersebut mengendap dalam waktu 40 menit,
sehingga bagian atas air terlihat lebih jernih dari sebelumnya. Setelah dilakukan
penyaringan baru diperoleh air yang jernih. Endapan yang terbentuk dari hasil
pengolahan air sungai berupa gumpalan-gumpalan yang lebih besar dibandingkan
41
gumpalan hasil pengolahan air keruh simulasi, dengan warna endapan coklat dan
stabil. Hal ini terjadi karena kekeruhan pada air sungai terjadi karena adanya
padatan tak larut dalam air tersebut. Padatan ini sangat bervariasi, baik jenis,
sumber maupun ukuran partikelnya. Jenis padatan yang merupakan faktor utama
penyebab kekeruhan adalah padatan-padatan yang tergolong koloid, baik koloid
organik maupun koloid anorganik. Partikel-partikel koloid dalam air keruh
simulasi hanya sejenis dengan ukuran partikel koloid yang lebih halus, sehingga
gumpalan-gumpalan makrofloknya lebih mudah pecah dengan warna endapan
coklat kekuningan, karena banyak mengandung koloid Fe(OH)3. Dari data
tersebut dapat disimpulkan bahwa penggunaan koagulan kitosan juga lebih efektif
dan efisien untuk menjernihkan air sungai dibandingkan koagulan tawas.
Konsentrasi optimal kitosan adalah 4 ppm sedangkan konsentrasi optimal tawas
10 ppm. Hasil pengolahan air sungai dengan koagulan kitosan dapat dilihat pada
Gambar IV.13, IV.14 dan hasil pengolahan air sungai dengan koagulan tawas
pada Gambar IV.15, IV.16.
Salah satu penyebab kekeruhan air sungai adalah banyaknya padatan tak larut.
Padatan ini sangat bervariasi, baik jenis, sumber maupun ukuran partikelnya.
Jenis padatan yang merupakan faktor utama penyebab kekeruhan air sungai
adalah padatan-padatan yang tergolong partikel koloid tanah liat yang dihasilkan
dari erosi tanah21, dan padatan-padatan lain baik koloid organik maupun
anorganik. Partikel koloid merupakan partikel yang bermuatan listrik sebagai
hasil dari adsorpsi ion positif atau negatif pada permukaan partikel-partikel
koloid. Partikel-partikel koloid dalam media air pada umumnya mengadsorpsi
anion sehingga bermuatan negatif21 dan terdistribusi merata pada permukaannya.
Kemampuan koagulasi dari kitosan disebabkan oleh adanya gugus amino bebas
yang mengalami protonasi karena adanya ion H+ dari asam asetat, sehingga
kitosan dapat menyumbangkan sifat polielektrolit kation yang sangat potensial
untuk digunakan sebagai koagulan.
42
Gam
bar I
V.1
3
Air
sung
ai h
asil
peng
olah
an d
enga
n ki
tosa
n se
belu
m p
enya
ringa
n
G
amba
r IV
.14
A
ir su
ngai
has
il pe
ngol
ahan
den
gan
taw
as se
belu
m p
enya
ringa
n
43
Gam
bar I
V.1
5
Air
sung
ai h
asil
peng
olah
an d
enga
n ki
tosa
n se
tela
h pe
nyar
inga
n
Gam
bar I
V.1
6
Air
sung
ai h
asil
peng
olah
an d
enga
n ta
was
sete
lah
peny
arin
gan
44
IV.3.3 Tinjauan Kekeruhan dan pH
Proses koagulasi yang disebabkan oleh polielektrolit meliputi empat tahap, yaitu:
1. Dispersi dari polielektrolit dalam koloid
2. Adsorpsi antara permukaan solid-liquid
3. Kompresi dari polielektrolit yang teradsorpsi
4. Koalisi atau penyatuan dari masing-masing polielektrolit yang terlingkupi oleh
partikel untuk membentuk flok-flok kecil dan berkembang menjadi flok yang
lebih besar
Pada penelitian ini konsentrasi optimum kitosan sebesar 4 ppm, baik pada
pengolahan air keruh simulasi maupun air sungai. Tetapi jika penambahan
kitosan melebihi 4 ppm maka akan terjadi kenaikan kekeruhan. Hal ini
menunjukkan bahwa proses koagulasi dan flokulasi sangat dipengaruhi oleh faktor
konsentrasi koagulan. Pada suatu dosis tertentu akan terjadi suatu proses
koagulasi yang paling efektif terhadap koloid tertentu. Kitosan merupakan
koagulan berupa polimer, yang terdiri dari satuan-satuan kecil monomer. Jika
dosis polimer berlebih, maka segmen polimer akan menjenuhkan permukaan
partikel koloid, sehingga tidak ada lagi sisi untuk membentuk jembatan, hal ini
mengakibatkan partikel stabil kembali.
Penambahan koagulan kitosan ke dalam air keruh simulasi maupun air sungai,
tidak menunjukkan perubahan pH yang signifikan. Seperti yang terlihat pada
Lampiran 5 dan Lampiran 6. Perubahan pH yang terjadi hanya berkisar 0,02-0,3
unit pH saja untuk setiap penambahan konsentrasi koagulan. Misalnya untuk
sampel air keruh simulasi dengan pH awal sebesar 7,87 berubah menjadi 7,70,
sampel air sungai dari 7,53 berubah menjadi 7,23 setelah masing-masing sampel
air ditambahkan koagulan kitosan dengan konsentrasi sebesar 4 ppm.
Dari data yang diperoleh pada Lampiran 5 dan Lampiran 6, secara umum setiap
kenaikan konsentrasi koagulan kitosan yang ditambahkan ke dalam sampel air,
maka akan terjadi kecenderungan penurunan pH. Hal ini disebabkan karena
45
koagulan yang ditambahkan relatif bersifat asam karena terdiri dari kitosan yang
dilarutkan dalam asam asetat. Penurunan pH sampel air terjadi secara perlahan
karena asam yang digunakan sangat rendah konsentrasinya yaitu 1%, dan asam
yang digunakan asam asetat yang tergolong asam lemah dengan tetapan ionisasi
(Ka) sebesar 1,8 x 10-5. Kitosan merupakan koagulan yang tidak terionisasi
dengan baik di dalam air, sehingga tidak merubah pH yang begitu besar pada
sampel air.
Recommended