View
221
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
68
BAB IV
HASIL PENELITIAN, PEMBAHASAN DAN ANALISIS
Pada bab ini membahas tentang hasil penelitian, pembahasan dan analisis 2
variabel yaitu Contextual Teaching Learning dan Karakter Kristiani. Dalam 2
variabel tersebut ada beberapa pokok bahasan. Adapun pokok bahasan tersebut
meliputi mengexplor permasalahan pemahaman tentang Karakter Kristiani dalam
diri siswa Sekolah Menengah Pertama, mendiskripsikan pelaksanaan model
Contextual Teaching Learning berkaitan dengan karakter Kristiani dan
keefektifan model CTL dalam meningkatkan karakter Kristiani siswa Sekolah
Menengah Pertama.
A. Hasil Penelitian, deskripsi dan analisa permasalahan pemahaman tentang
karakter Kristiani dalam diri siswa Sekolah Menengah Pertama Negeri 4
Surakarta
Munculnya penyimpangan perilaku siswa Sekolah Menengah Pertama
merupakan tanda-tanda dari lunturnya sebuah karakter dalam diri siswa.
Jika dicermati karakter bukanlah sebuah sikap yang muncul secara tiba-
tiba, melainkan dibutuhkan sebuah proses yang lama dan berkelanjutan.
Selain itu, karakter juga memiliki sumbangsih bagi kehidupan siswa
Sekolah Menengah Pertama. Dengan adanya karakter yang kuat dalam diri
siswa maka hal itu juga akan mempengaruhi sikap dan perilaku. Apalagi
sebagai siswa Kristen, hendaknya juga mampu mendasari hidupnya dan
69
memunculkan sikap maupun perilaku yang sesuai dengan karakter
Kristiani. Karakter Kristiani yang dimaksud disini adalah kasih, kejujuran,
tanggungjawab, dan kekedisiplinanan. Memang jika secara segi psikologi,
siswa Sekolah Menegah Pertama masuk ke dalam fase remaja. Secara
konseptual dalam buku psikologi perkembangan Erikson juga menguraikan:
bagaimana pencarian identitas ini mempengaruhi perilaku remaja faseremaja merupakan sebuah fase atau masa peralihan dan masa mencariidentitas diri. Menurut Erikson, identitas yang dicari remaja berupa usahauntuk menjelaskan siapa dirinya, perannya dalam masyarakat.1
Berdasarkan pemahaman tentang karakter kristiani dalam diri siswa Sekolah
Menengah Pertama, maka hal itu menggambarkan adanya ketidakmampuan dan
belum pahamnya siswa akan makna dan essensi dari karakter Kristiani yaitu
kasih, kejujuran, kekedisiplinanan dan tanggungjawab. Adapun indikator yang
terdapat di dalamnya adalah penerapan kasih dalam hidup siswa, perilaku yang
jujur ketika melaksanakan kewajiban, ketaatan terhadap tata tertib yang ada, serta
sikap maupun perilaku tanggungjawab ketika menjalankan tugas dari guru.
Berdasarkan dari diskripsi tersebut maka dapat disajikan melalui tabel 4.1 berikut
ini:
1 Op.cit. Hal 208
70
Tabel 4.1
Karakter Kristiani dalam diri siswa Sekolah Menengah Pertamaberdasar hasil pre test
No ASPEK INDIKATOR PRESENTASE PRETEST
REKAPITULASI RERATA
1 Kasih penerapan kasih dalam hidup siswa40,00
Kasih
40,55 %41,00
2. Kejujuran perilaku yang jujur ketika melaksanakankewajiban, 45,00
Kejujuran
41,38 %34,5041,0044,50
3 Kedisiplinan ketaatan terhadap tata tertib yang ada38,00
Kedisiplinan
32,25%32,50
4 Tanggung Jawab sikap maupun perilaku tanggungjawab ketikamenjalankan tugas dari guru 46,00
Tanggungjawab
44,25 %42,50
KASIH = 40,55 %
KEJUJURAN = 41,38 %
KEDISIPLINAN = 32,25 %
TANGGUNGJAWAB = 44,25 %
71
Dari data tabel tersebut, permasalahan karakter Kristiani dalam diri siswa Sekolah
Menengah Pertama terletak pada ketidakmampuan dan belum memahaminya aspek-
aspek yang ada dalam karakter Kristiani yaitu kasih, kejujuran, kedisiplinan dan
tanggungjawab. Hal itu dapat dideskripsikan sebagai berikut:
a. Kasih
Dari hasil statistik tabel 4.1, dapat dilihat bahwa prosentase rerata untuk aspek
kasih 40,50%. Prosentase tersebut merupakan hasil statistik yang rendah. Hal itu
memiliki arti bahwa siswa belum sepenuhnya mampu memahami dan menerapkan
makna kasih secara nyata di dalam hidupnya. Permasalahan itu muncul disebabkan
karena kurangnya keteladanan atau permodelan dalam keluarga dan sekolah, serta
kurangnya kesadaran dalam diri siswa akan pentingnya proses di dalam
pembelajaran.
Rendahnya karakter kasih dalam diri siswa juga dapat dilihat dari hasil dengan
menggunakan teknik Focus Discussion Group terutama responden yang berinisial J
mengungkapkan bahwa:
“Kasih merupakan sikap yang perlu dikembangkan, sebab denganmenerapkan kasih maka kita juga ikut membantu teman. Contohnya ketika adateman yang kesulitan ketika mengerjakan ulangan, maka sikap saya mencobamembantu dia agar bisa mengerjakan.”
Bagi guru Pendidikan Agama Kristen yang mengajar di SMPN 4 Surakarta,
rendahnya karakter Kasih dalam diri siswa disebabkan kurang pemahaman tentang
arti kasih yang sesungguhnya. Dari permasalahan tersebut siswa seringkali
memunculkan sikap kasih yang kurang tepat dan itu membuat makna dari kasih
menjadi kabur.
72
b. Kejujuran
Pada table 4.1 menyatakan bahwa prosentase rerata Karakter Kristiani aspek
kejujuran adalah 41,38%. Rendahnya karakter kristiani yaitu kejujuran
disebabkan karena belum pahamnya siswa akan kejujuran dan aplikasinya di
dalam kehidupan siswa.
Secara hasil kualitatif dengan teknik FGD yang dilakukan peneliti kepada
siswa yang berinisial K didapatkan hasil bahwa “kejujuran merupakan sikap yang
harus dilakukan. Tetapi dalam pelaksanaannya harus melihat situasi dan kondisi.
Jika tidak memungkinkan maka saya akan mencoba untuk tidak jujur. Semua
dilakukan untuk mencari aman.” Menurut guru yang mengajar disitu sikap jujur
belum mampu dimunculkan oleh siswa secara konsisten/terus-menerus. Masih
banyak siswa yang ketika ulangan membuka buku atau meminta jawaban kepada
teman. Sikap jujur dalam diri siswa belum sepenuhnya bisa diterapkan. Hal itu
terjadi karena kurang memahami manfaat dari hidup jujur dan belum memahami
aplikasi dari sikap jujur dalam hidup sehari-hari.
c. Kedisiplinan
Karakter disiplin belum mampu diterapkan dalam diri siswa. Hal itu dapat
terlihat dari table 4.1. Dari hasil statistik tersebut prosentase rerata32,25%. Hasil
di atas menunjukkan rendahnya karakter Kristiani yaitu kedisiplinan dalam diri
siswa. Hal itu disebabkan karena kurang adanya kesadaran akan pentingnya
kedisiplinan dalam siswa. Selain itu belum adanya pemahaman siswa akan makna
dari kedisiplinan.
73
Dari hasil dengan teknik FGD yang dilakukan terutama terhadap siswa
yang berinisial D, didapatkan bahwa kedisiplinan yang dilaksanakan di sekolah
belum mencapai pada tujuan yang diinginkan. Hal itu disebabkan karena belum
adanya kesadaran dalam diri siswa akan makna dan manfaat dari hidup disiplin.
Dari permasalahan yang ada itulah menyebabkan karakter kedisiplinan belum bisa
dilakukan secara baik.” Kedisiplinan belum secara menyeluruh diterapkan oleh
siswa. Masih ada siswa yang mencoba melanggar peraturan yang mereka
munculkan melalui sikap yang datang terlambat, tidak memakai seragam sesuai
aturan dan tidak masuk sekolah tanpa ijin. Hal itu berdasarkan hasil pengamatan
dari salah satu guru yang dirangkum oleh peneliti melalui wawancara.
d. Tanggungjawab
Berdasarkan hasil statistik, seperti yang ada padatable 4.1 yang
menjelaskan bahwa hasil prosentase rerata karakter tanggungjawab adalah
44,25%. Hasil statistik diatas menunjukkan rendahnya tanggungjawab dalam diri
siswa.
berdasarkan hasil kualitatif dengan teknik FGD yang dilakukan peneliti
terutama kepada siswa berinisial B didapatkan bahwa akhir-akhir ini rasa
tanggungjawab dalam diri siswa mengalami penurunan. Hal itu disebabkan karena
kurang adanya kesadaran akan pentingnya dari sikap tanggungjawab serta
ketidaktahuan akan manfaat dari tanggung jawab. Rendahnya tanggungjawab
dalam diri siswa disebabkan karena sikap siswa yang mulai acuh tak acuh
terhadap tugas yang diberikan serta kurangnya keteladanan dalam diri siswa.
74
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diatas, peneliti
menginterpretasikan dan menganalisa dengan melihat secara obyektif di lapangan
sebagai berikut:
Permasalahan pemahaman tentang karakter Kristiani adalah akar dari masalah
yang ada. Munculnya permasalahan pemahaman akan Karakter Kristiani dalam diri
siswa disebabkan karena siswa belum memiliki pemahaman akan makna dan
penerapan karakter Kristiani dalam kehidupan sehari-hari. Dengan adanya
permasalahan pemahaman tersebut, membuat siswa tidak mampu untuk memahami
karakter Kristiani secara tepat. Permasalahan pemahaman yang ada dalam diri
siswa itu disebabkan oleh karena beberapa faktor yaitu faktor internal dan
eksternal.
Satu, faktor internal itu meliputi segala sesuatu yang berkaitan dengan apa
yang ada dalam diri siswa itu sendiri. Faktor internal ini meliputi kondisi, fisik atau
psikis dari dari siswa yang mengalami perkembangan. Misalnya rasa malas,
keragu-raguan dalam diri siswa, ketidakmauan untuk berusaha, rasa acuh tak acuh
dan keterbatasan pengetahuan mereka akan sesuatu hal. Menurut Papalia dan Old
ada tiga aspek perkembangan yaitu perkembangan fisik, perkembangan kognitif
dan perkembangan kepribadian serta sosial.2 Dari perkembangan tersebut membuat
siswa SMP yang memasuki masa remaja sering mengalami permasalahan
pemahaman akan makna dan aplikasi dari karakter Kristiani.
Faktor kedua yaitu faktor eksternal. Faktor eksternal yang dimaksud di sini
adalah faktor yang berasal dari luar diri siswa. Faktor eksternal ini yang ikut
mempengaruhi disini seperti pergaulan siswa, lingkungan dan keluarga tempat
2http://rumahbelajarpsikologi.com/index.php/remaja.html
75
mereka tinggal, teman sebaya, pendidikan yang mereka terima baik pendidikan
formal maupun informal. Menurut Joseph bahwa sebagian besar remaja
menginginkan seseorang yang dapat dipercaya, seseorang yang dapat diajak bicara,
seorang yang dapat diandalkan.3 Faktor-faktor tersebut diatas ikut mempengaruhi
munculnya permasalahan pemahaman dalam diri siswa.
Permasalahan pemahaman ini juga disebabkan oleh psikologi dari siswa. Jika
dilihat secara psikologis siswa Sekolah Menengah Pertama masuk dalam masa
remaja. Dimana masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak
menuju kemasa dewasa, masa untuk mencari jati diri, dan ketidakstabilan dalam
emosinya. Dalam masa peralihan ini remaja termasuk di dalamnya siswa SMP
mengalami banyak pergejolakan dalam hatinya. Mereka banyak mengalami
pergejolakan baik secara psikisnya maupun secara fisiknya. Dari pergejolakan dan
keadaan secara psikologis inilah yang mempengaruhi dan menimbulkan adanya
permasalahan pemahaman akan Karakter Kristiani. Adapun karakter kristiani yang
mengalami permasalahan pemahaman meliputi:
a. Kasih
Karakter Kasih ini belum mampu dipahami dengan benar oleh siswa. Hal
itu disebabkan karena adanya permasalahan pemahaman dalam diri siswa.
Mereka menganggap bahwa kasih itu dapat diwujudkan dengan berbagai
cara. Hal itu berdampak pada sikap mereka yang seringkali memakai cara dan
jalan yang salah untuk mewujudkan kasih. Seperti membantu teman saat
ulangan, membantu teman memetik buah mangga tanpa ijin. Semua itu
mereka lakukan karena mereka ingin menunjukkan kasih kepada sesamanya.
3Elizabeth B. Hurlock.Psikologi Perkembangan. (Jakarta:Erlangga, 1980).Hal 215
76
Padahal cara yang mereka lakukan salah. Munculnya permasalahan
pemahaman tentang kasih juga disebabkan karena kurang adanya keteladanan
atau permodelan dari guru atau orang tua. Menurut Wina Sanjaya permodelan
adalah proses pembelajaran dengan memperagakan sesuatu sebagai contoh
yang dapat ditiru oleh setiap siswa.4 Sedangkan menurut Sanjaya, konsep
masyarakat belajar (learning comunity) dalam CTL hasil pembelajaran
diperoleh melalui kerja sama dengan orang lain, teman, antar kelompok,
sumber lain dan bukan hanya guru.5 Melalui permodelan/keteladanan tersebut
dapat membantu siswa di dalam memahami makna kasih. Menurut Malcolm
Kasih Kristen memiliki arti yaitu:
”memberi diri kepada orang lain. Kasih berarti kesediaan untukmengorbankan diri sendiri untuk orang lain seperti Kristusmengorbankan diriNya untuk kita. Kasih Kristen diberikan tanpa pamrih,tidak menuntut balasan dan tidak berdasarkan keinginan untuk menerimasesuatu dari orang yang dikasihi.”6
Dari hasil statistik, FGD dan observasi yang ada maka penullis
menganalisa dan menginterpretasi bahwa rendahnya karakter Kristiani yaitu
Kasih disebabkan karena kurangnya pemahaman akan makna kasih,
keteladanan dalam diri siswa dan dalam proses pembelajaran kurang adanya
relasi dengan lingkungan. Sebuah pembelajaran tanpa adanya relasi dengan
lingkungan sekitar dan keteladanan dari pendidik maka siswa akan
mengalami kesulitan dalam memahami dan mengaplikasikan karakter
4 Wina Sanjaya. Strategi Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual. (jkarat:Bumi Aksara,2009).Hal 267
5 Ibid. Hal 268
6 Malcolm Brown.Pengambilan Keputusan Etis dan Faktor-Faktor Didalamnya. (Jakarta:BPK GunungMulia,2006).Hal 205
77
Kristiani yaitu Kasih di dalam kehidupan mereka. Itulah wujud dari
permasalahan pemahaman dalam diri siswa berkaitan dengan Karakter
Kristiani yaitu Kasih.
b. Kejujuran
Karakter Kristiani kejujuran belum bisa diterapkan dengan benar. Karena
siswa belum mampu membedakan makna kejujuran dengan tepat. Hal itu
disebabkan karena adanya permasalahan pemahaman dalam diri siswa.
Mereka menganggap bahwa jika dalam hidup selalu menerapkan kejujuran
maka lama kelamaan tidak punya teman. Menurut Tesaurus Bahasa
Indonesia jujur berarti ”andal, benar, bersih, lurus. Sedangkan kejujuran
adalah integritas, kelurusan hari, ketulusan, kepolosan.”7 Secara Alkitabiah
jujur memiliki arti seperti yang tertulis dalam Matius 5:37 yaitu “Jika ya,
hendaklah kamu katakan ya, jika tidak hendaklah kamu katakan tidak. Apa
yang lebih daripada itu berasal dari si jahat”.8
Dari hasil statistik, teori dan FGD maka dapat disimpulkan bahwa
kejujuran merupakan sebuah integritas dan kebenaran yang membutuhkan
suatu keseimbangan antara apa yang dipikirkan, diucapkan dan dilakukan
sama. Untuk dapat meningkatkan karakter Kristiani yaitu kejujuran
dibutuhkan adanya sikap kritis dalam diri siswa. Tanpa adanya sikap kritis
dalam diri siswa yang diwujudkan dengan bertanya dan sikap ingin tahu,
maka makna dan aplikasi dari karakter kejujuran akan sulit untuk dipahami.
7 Eko Endarmoko.Tesaurus Bahasa Indonesia. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007).Hal 278
8 LAI.Alkitab.(Jakarta:LAI,2012).Hal 5
78
Dari argument itulah memberikan bukti bahwa masih terjadi permasalahan
pemahaman akan karakter Kristiani yaitu kejujuran.
c. Kedisplinan
Karakter Kristiani kedisiplinan belum bisa diterapkan dengan benar.
Siswa masih bersikap seenaknya sendiri dan masih ada siswa yang
menganggap bahwa sikap disiplin bisa diupayakan ketika mereka dewasa. Hal
itu disebabkan adanya permasalahan pemahaman dalam diri siswa. Mereka
menganggap bahwa hidup disiplin hanya dilakukan ketika ada guru yang
mengawasi saja. Menurut Suradinata, kedisiplinan pada dasarnya mencakup
pelajaran, patuh, taat, kesetiaan, hormat kepada ketentuan/peraturan/norma
yang berlaku.9
Berdasarkan hasil statistik, teori dan FGD maka dapat diambil
kesimpulan bahwa rendahnya karakter kedisiplinan disebabkan karena
kurangnya pemahaman siswa akan hakekat dan manfaat dari hidup disiplin.
Hal itu dapat dilihat dari sikap siswa yang masih seenaknya sendiri dalam
mengikuti pembelajaran, mengumpulkan tugas tidak tepat waktu, memakai
seragam sekolah tidak rapi, makan di dalam kelas dan sering tidak masuk
kelas. Sikap-sikap tersebut memberikan pemahaman bahwa karakter
kedisiplinan belum bisa dimengerti dalam hidup siswa. Dari argument itulah
memberikan bukti bahwa masih terjadi permasalahan pemahaman akan
karakter Kristiani yaitu kedisiplinan.
9Ermaya Suradinata.. Manajemen Sumber Daya Manusia.(Bandung: CV Ramadhan,1996).Hal 150
79
d. Tanggungjawab
Sikap tanggungjawab belum bisa dipahami oleh siswa secara benar. Hal
itu terjadi karena mereka menganggap bahwa tanggungjawab sesuatu hal yang
sulit dilakukan. Mereka juga memiliki anggapan bahwa tanggungjawab adalah
sikap yang tidak begitu penting dalam hidup mereka. Hal itu merupakan akibat
dari permasalahan pemahaman mereka akan makna dan pentingnya
tanggungjawab. Secara umum (KBBI) tanggungjawab adalah keadaan wajib
menanggung segala sesuatunya atau sikap mau menerima tugas dengan
segala konsekuensinya kemudian melakukannya dengan setia.10
Dari hal diatas maka peneliti menyimpulkan dan menganalisa bahwa
permasalahan pemahaman yang dialami oleh siswa mengakibatkan dan
menimbulkan sikap yang negatif dalam diri mereka. Permasalahan pemahaman
akan aspek-aspek karakter Kristiani juga membuat mereka menjadi siswa yang
berkepribadian yang negatif. Adapun sikap negatif yang sering dimunculkan
oleh siswa karena ketidak pahaman akan makna dan aplikasi dari karakter
yaitu sikap yang mudah menyerah, sering berkata kotor, berbohong kepada
orang tua atau guru, sering membolos, sering menolak jika mendapat tugas dan
terlambat dalam masuk kelas maupun mengumpulkan tugas. Sikap-sikap
tersebut membuktikan akibat dari permasalahan pemahaman tentang karakter
Kristiani dalam diri siswa.
10 Kelompok Kerja PAK-PGI.Cermin Remaja 3 Hidup yang Berubah.(Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2011).Hal2
80
B. Hasil Penelitian, diskripsi dan analisa pelaksanaan model Contextual Teaching
Learning
Model CTL merupakan suatu model pembelajaran yang dapat diterapkan oleh
seorang pendidik dalam menyampaikan Pendidikan Agama Kristen kepada siswa.
Melalui model CTL ini, diharapkan dapat membantu siswa dalam memahami dan
meningkatkan karakter di dalam diri siswa. Karakter yang ditekankan disini adalah
karakter Kristiani. Dalam melaksanakan model pembelajaran CTL dibutuhkan
kesiapkan, ketrampilan, inovasi dan kemampuan dari seorang pendidikan. Sebab
model pembelajaran CTL memiliki definisi seperti yang dipaparkan oleh Johnson,
Contextual Teaching Learning (CTL) merupakan model yang dapat digunakan
untuk mengefektifkan dan menyukseskan pendidikan karakter di sekolah
sekaligus menciptakan suasana belajar yang lebih bermakna.11 Menurut Victor
CTL yaitu Contextual Teaching and Learning (CTL) is a concept that helps
teacher relate subject matter to real-world situations.12
Dalam pelaksanaannya, model pembelajaran CTL memiliki beberapa
komponen. Menurut Taniredja, ada tujuh komponen utama dalam model
pembelajaran CTL yaitu (1) kontruksivisme (constructivisme), (2) bertanya
(questioning), (3) menemukan (inquiry), (4) masyarakat belajar (learning
community), (5) permodelan (modeling), (6) refleksi dan (7) penilaian
sebenarnya.13 Menurut R. G. Berns and P. M. Erickson CTL adalah:
11 Johnson. E. Contextual Teaching & Learning. Bandung: Mizan, 2007). Hal 64
12 Victoria Voelker.Contextual Teaching and Learning a Primer for Effective.(USA:Phi Delta KappaEducational Foundation, 2002).Page 2
13 Taniredja, T, dkk. Model Model Pembelajaran Inovatif.(Bandung Alfabeta, 2011). Hal 49
81
“Contextual teaching and learning is a conception of teaching and learningthat helps teachers relate subject matter content to real world situations; andotivates students to make connections between knowledge and its applicationsto their lives as family members, citizens, and workers; and engage in the hardwork that learning requires.”14
Dari penjelasan teori diatas, kemudian penulis mencoba untuk melihat
bagaimana pelaksanaan model pembelajaran CTLdi Sekolah Menengah Pertama
Negeri 4 Surakarta. Berdasarkan observasi yang dilakukan oleh peneliti, maka
didapatkan hasil bahwa model pembelajaran Contextual Teaching Learning belum
maksimal dilakukan. Hal itu dapat dilihat dan dicermati dari aspek-aspek dalam
model pembelajaran CTL yang belum diperhatikan maupun dilakukan oleh
pendidik. Aspek model pembelajaran CTL tersebut adalah:
a. Konstruksivisme
Dalam Model pembelajaran CTL kontruksivisme merupakan salah satu
aspek yang memiliki peran penting. Melalui kontruksivisme ini, guru mengajak
siswa untuk mampu membangun pemahaman berdasarkan dari pengamatan dan
pengalaman yang mereka dapat dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut Wakasek kurikulum, sebelum dilakukan sosialisasi dan
pembekalan kepada para guru akan kurikulum 2013 dengan model CTL maka
pelaksanaan model pembelajaran CTL dalam aspek kontruksivisme belum
sepenuhnya dilakukan oleh guru. Maksudnya disini bahwa aspek kontruksivisme
ini baru dilaksanakan oleh beberapa guru. Hal itu disebabkan karena keterbatasan
waktu yang ada serta kurang adanya kreatif dalam diri guru. Setelah dilakukan
14 R. G. Berns and P. M. Erickson, "Contextual Teaching and Learning: Preparing Students for the NewEconomy", The Highlight Zone: Research @ Work No. 5,2001. Retrieved June 8, 2007 from:http://www.nccte.org/publications/infosynthesis/highlightzone/highlight05/highlight05-CTL.pdf
82
sosialisasi, para guru sudah memiliki pandangan yang jelas sehingga mereka dapat
mengaplikasikan aspek ini dalam proses pembelajaran yang berlangsung.
b. Menemukan
Aspek menemukan merupakan aspek kedua dalam model pembelajaran
CTL. Menurut Wakasek kurikulum aspek menemukan ini sangat mendukung
dalam membantu anak untuk mengasah otak dan pribadi mereka. Melalui aspek
menemukan ini anak diajak untuk tidak selalu menerima materi dari pengulasan
yang diberikan guru, melainkan mereka diajak untuk menggali dari kehidupan
mereka masing-masing. Hal itu dimaksud untuk mengajak siswa berfikir kritis
terhadap segala sesuatu.
Dari hasil observasi dan wawancara yang ada maka dapat diinterpretasikan
bahwa model pembelajaran CTL setelah diterapkan dalam Pendidikan Agama
Kristen dapat membantu siswa untuk menggali dan mencari pengetahuan melalui
pergaulan dan ketrampilan yang siswa miliki. Dengan kata lain bahwa aspek
menemukan dalam model pembelajaran ini membantu siswa dalam berkreasi dan
berelasi. Melalui aspek ini siswa menjadi aktif, sebab pembelajaran tidak berfokus
kepada guru saja. Siswa juga diajak untuk bisa mengembangkan talenta yang ada
dalam diri mereka sehingga dapat membantu dalam meningkatkan karakter
Kristiani yang ada dalam dirinya
c. Bertanya
Dalam pengamatan yang dilakukan oleh peneliti, aspek bertanya sudah
diterapkan dalam proses pembalajaran Pendidikan Agama Kristen. Hal itu terlihat
pada gambar 3.
83
Gambar 3. Keadaan siswa ketika mengikuti Pendidikan Agama Kristen
Keterangan Gambar:Pada gambar diatas dapat dideskripsikan bahwa ada salah satu siswa yangmeminta informasi karena ada materi yang belum dia pahami.
Dari hal diatas, maka aspek bertanya juga berperan dalam pelaksanaan model
pembelajaran CTL. Melalui aspek ini anak menjadi lebih paham akan materi yang
belum mereka pahami. Hal ini dapat dikatakan bahwa model pembelajaran CTL
setelah diterapkan dalam Pendidikan Agama Kristen dapat mengasah pikiran
siswa dan mengajak siswa untuk mampu bersikap kritis terhadap sesuatu hal.
Sehingga dengan sikap kritis dan rasa ingin tau yang tinggi dapat membantu siswa
dalam mengembangkan dirinya secara utuh.
d. Proses Belajar
Proses belajar merupakan aspek dari model pembelajaran CTL. Dimana
dalam proses belajar ini mengajak siswa untuk memiliki kemampuan dan
ketrampilan didalam menggabungkan antara pengetahuan dan pengalaman yang
ada. Dalam proses belajar ini, anak diminta untuk kreatif, kritis dan peka terhadap
lingkungan sekitar mereka. Selain itu guru memiliki peran sebagai fasilitator atau
tempat konsultasi ketika siswa mengalami kesulitan. Aspek proses belajar ini
84
sudah diterapkan dalam pembelajaran Pendidikan Agama Kristen di SMP Negeri
4 Surakarta. Hal itu dapat dilihat pada Gambar 4. dibawah ini:
Gambar 4. Sosiodrama kelas 7A dalam Pembelajaran pendidikan Agama Kristen
Keterangan Gambar: merupakan pelaksanaan sosiodrama dalam prosespembelajaran Pendidikan Agama Kristen dengan tujuan untukmengkontestualisasikan materi kedalam kehidupan sehari-hari.
Dalam hal ini melalui sosidrama yang dilakukan oleh siswa, maka mereka
mampu untuk memahami materi yang mereka terima. Melalui sosidrama ini,
siswa diajak untuk bisa mengembakan kreativitas, keberanian, tanggungjawab dan
percaya diri sehingga semuanya ini dapat membantu siswa dalam meningkatkan
karakter Kristiani yang ada dalam dirinya.
e. Permodelan
Permodelan atau teladan dibutuhkan dalam meningkatkan karakter Kristiani
siswa Sekolah Menengah Pertama. Melalui permodelan atau teladan ini, dapat
membantu siswa dalam mengaplikasikan sebuah karakter kristiani dalam hidup
mereka. Hal itu sudah dilaksanakan oleh guru-guru yang ada di SMPN 4
Surakarta. Menurut guru Pendidikan Agama Kristen, permodelan atau teladan
merupakan hal yang penting dalam membantu siswa untuk mengembangkan dan
85
meningkatkan karakternya. Melalui permodelan tersebut para guru bisa
memberikan contoh yang baik, karakter kristiani untuk bisa diterapkan dalam
hidup para siswa. Seperti ada pepatah yang mengatakan “guru iku digugu lan
ditiru.” Mengacu dari hal itu maka sebagai seorang guru harus mampu menjadi
teladan dan permodelan bagi para siswa. Dengan cara itulah maka dapat
membantu siswa dalam meningkatkan dan mengembangkan karakter mereka
terkhusus karakter Kristiani.
f. Refleksi
Refleksi adalah proses pengendapan pengalaman yang telah dipelajari dengan
cara mengurutkan kembali kejadian-kejadian atau peristiwa pembelajaran yang
telah dilaluinya. Dalam proses pembelajaran dengan CTL, setiap akhir proses
pembelajaran, guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk merenung atau
mengingat kembali apa yang telah dipelajarinya.
Hal ini dapat dikatakan bahwa model pembelajaran CTL setelah diterapkan
dalam Pendidikan Agama Kristen dapat membantu anak dalam merefleksi materi
yang mereka terima dalam kehidupan mereka masing-masing. Sehingga melalui
itu siswa dapat menemukan jati dirinya dengan tepat.
g. Penilaian Nyata
Dalam pelaksanaan model pembelajaran CTL seorang pendidik memberikan
nilai bukan hanya berdasarkan nilai akhir ketika ulangan melainkan juga harus
memperhatikan sikap dan perilaku siswa ketika mengikuti pembelajaran. Jadi
dalam hal ini penilaian nyata dilakukan bukan berdasar dari kedekatan siswa
dengan guru atau hanya berdasar pada hasil test saja melainkan berdasarkan pada
86
keseluruhan kehidupan dan proses yang dilakukan oleh siswa ketika mereka
menerima pelajaran dan ketika mereka berelasi dengan sesama.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diatas, peneliti
menginterpretasikan dan menganalisa dengan melihat secara obyektif di lapangan
sebagai berikut:
Model Pembelajaran CTL adalam model pembelajaran yang diterapkan
dengan cara menggabungkan materi yang ada dengan keadaan dan lingkungan
sekitar. Melalui model pembelajaran CTL membantu siswa dan guru untuk
bersikap kritis dan mampu untuk mengkaitkan antara materi yang mereka terima
dengan lingkungan sekitar. Pada model pembelajaran ini juga membantu di dalam
menangani permasalahan pemahaman dalam diri siswa. Dalam model
pembelajaran CTL terdapat beberapa aspek di dalamnya yaitu:
a. Konstruksivisme
Aspek dalam model pembelajaran CTL yang membangun dan menyusun
pengetahuan baru dengan cara mengajak siswa untuk kreatif, inovatif dan
aktif. Dalam memahami suatu materi tidak hanya dengan cara menghafal saja
melainkan siswa diajak untuk bisa mengkonstruksikan dengan pengalaman
yang ada dalam hidup dan dirinya. Menurut Sanjaya konstruksivisme adalah
proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif
siswa berdasarkan pengalaman. Menurut konstruksivisme, pengetahuan itu
memang berasal dari luar akan tetapi dikonstruksi dari dalam diri seseorang.15
Berdasarkan data dan teori yang ada maka penulis dapat
menginterpretasikan melalui pembahasan bahwa model pembelajaran CTL
15 Wina Sanjaya. Strategi Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual. (jkarat:Bumi Aksara,2009) Hal 264
87
setelah diterapkan dalam Pendidikan Agama Kristen dapat membantu siswa
dalam menghubungkan antara pengalaman pribadinya dengan materi yang dia
terima. Dengan kata lain bahwa aspek kontruksivisme dalam model
pembelajaran ini membantu siswa. Misalnya dalam pembelajaran Pendidikan
Agama Kristen siswa diajak melakukan pengamatan diluar kelas. Setelah
mengadakan pengamatan siswa diminta untuk menganalisis hasil pengamatan
tersebut dan menuliskan di buku mereka. Dari model pembelajaran itu dapat
membantu siswa untuk membangun sebuah pengetahuan dengan berdasar
pada pengalaman yang ada. Contohnya ketika pada materi pertobatan siswa
diminta untuk menceritakan pengalaman yang pernah mereka alami, kemudian
di tuliskan diselembar kertas. Hal ini bertujuan untuk melatih siswa dalam
ketrampilan mereka untuk menggabungkan materi dengan pengalaman
mereka.
b. Menemukan
Menemukan merupakan suatu proses pembelajaran yang mengajak siswa
untuk bisa kritis di dalam menghadapi sesuatu hal. Menurut Sanjaya Inquiry
adalah “proses pembelajaran yang didasarkan dari pencarian dan penemuan
melalui proses berfikir secara sistematis dan dilakukan melalui beberapa
langkah yaitu merumuskan masalah, mengajukan hipotesis, mengumpulkan
data, menguji hipotesis dan membuat kesimpulan.”16
Dalam aspek ini, siswa diajak untuk memiliki kemampuan menemukan
pemahaman, makna dari pengetahuan atau materi yang mereka terima. Melalui
aspek ini mengajak siswa untuk bisa meningkatkan ketrampilan dalam
16 Wina Sanjaya. Strategi Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual. (Jakarata:Bumi Aksara,2009).Hal 265
88
mengelola pengetahuan yang mereka dapat berdasarkan fakta yang ada di
lingkungan. Contohnya siswa diminta melakukan pengamatan dilingkungan
mereka berada berkaitan dengan sikap hidup orang yang mengasihi.
Mengasihi disini bisa dengan saudara, teman atau orang tua. Kemudian hal itu
ditulis dibuku untuk dipresentasikan.
c. Bertanya
Aspek bertanya merupakan aspek yang mengajak dan mengasah daya
pikir siswa dalam menanggapi sesuatu hal yang mereka jumpai dalam
kehidupan sehari-hari. Menurut Mulyasa ada 6 ketrampilan bertanya dalam
kegiatan pembelajaran yaitu pertanyaan yang jelas dan singkat, memberi
acuan, memusatkan perhatian, member giliran dan menyebarkan pertanyaan,
pemberian kesempatan berfikir, dan pemberian tuntunan.17 Melalui aspek ini
mengajak siswa untuk mampu berfikir lebih mendalam akan sesuatu hal yang
telah mereka terima, sehingga mereka bisa mempertanggungjawabkannya.
Misalnya ketika guru menjelaskan suatu materi kemudian ada salah satu siswa
yang bertanya. Hal itu menunjukkan bahwa ada rasa ingin tahu dalam diri
siswa yang dimunculkan melalui sikap yang mau bertanya.
d. Masyarakat belajar
Model pembelajaran Contextual Teaching Learning mengajak siswa
dan pendidik untuk bisa menghubungkan dan menjalin relasi dengan
masyarakat sekitar. Dengan kata lain bahwa tujuan dari Pendidikan Agama
Kristen dapat tercapai, jika dalam proses belajar mengajar siswa mampu
17 Enco Mulyasa. Menjadi Guru Profesional. (Bandung:Rosda Karya,2009).Hal 70
89
menghubungkan serta menerapkan ilmunya di dalam kehidupan mereka.
Menurut Muslich konsep masyarakat belajar dalam CTL adalah:
“hasil pembelajaran diperoleh melalui kerjasama dengan oranglain. Hal ini berarti bahwa hasil belajar bisa diperoleh dengan sharingantar teman, antar kelompok, dan antar yang tahu kepada yang tidaktahu, baik di dalam maupun di luar kelas.”18
Contohya guru memberikan sebuah study kasus kepada siswa secara
tentang masyarakat majemuk, kemudian siswa diminta untuk memberikan
solusi terhadap kasus yang mereka terima dengan membahasnya secara
berkelompok. Melalui relasi yang dijalin tersebut, maka dapat membantu
siswa untuk memunculkan dan meningkatkan karakter Kristiani dalam semua
aspek kehidupan mereka.
e. Permodelan
Dalam model pembelajaran CTL, permodelan memiliki peran yang
penting dalam proses pembelajaran. Menurut Wina Sanjaya, permodelan
adalah proses pembelajaran dengan memperagakan sesuatu sebagai contoh
yang dapat ditiru oleh setiap siswa.19 Melalui permodelan ini mengajak siswa
untuk mampu memahami lebih nyata akan suatu materi pembelajaran yang
mereka terima. Aspek permodelan ini membantu siswa bisa memahami
sesuatu hal secara nyata. Pemodelan dapat diwujudkan melalui demonstrasi,
pemberian contoh tentang konsep atau aktivitas belajar. Guru memberi model
tentang bagaimana cara belajar. Dalam pembelajaran kontekstual, guru bukan
18 Mansur Muslich. KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual. (Jakarta:BumiAksara,2009). Hal 46
19 Wina Sanjaya. Strategi Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual. (Jakarata:Bumi Aksara,2009) Hal 267
90
satu-satunya model, akan tetapi model dapat dirancang dengan melibatkan
siswa atau juga dapat dari luar
f. Refleksi
Aspek refleksi membantu siswa di dalam merenungkan materi
pembelajaran yang telah mereka terima. Menurut Wina Sanjaya, refleksi
adalah proses pengendapan pengalaman yang telah dipelajari dengan cara
mengurutkan kembali kejadian-kejadian atau peristiwa pembelajaran yang
telah dilaluinya. Dalam proses pembelajaran dengan CTL, setiap akhir proses
pembelajaran, guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk merenung
atau mengingat kembali apa yang telah dipelajarinya.20 Melalui refleksi ini
mengajak siswa untuk mampu menilai diri mereka sendiri yang kemudian
digunakan sebagai acuan untuk memperbaiki diri mereka sendiri.
g. Penilaian Nyata
Penilaian nyata disini merupaka aspek dalam CTL yang berfungsi untuk
memberikan apresiasi berupa nilai kepada siswa yang mampu memahami
dan melakukan apa yang menjadi tujuan dari pembelajaran. Menurut
Muslich penilaian autentik adalah:
“proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaranatau informasi tentang perkembangan pengalaman belajar siswa. Gambaranperkembangan pengalaman belajar siswa perlu diketahui oleh guru setiap saatagar bisa memastikan bahwa siswa mengalami proses pembelajaran yangbenar.”21
20 Ibid. hal 268
21 Mansur Muslich. KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual. (Jakarta:BumiAksara,2009). Hal 47
91
Penilaian nyata disini tidak hanya berupa nilai ketika mereka mengikuti test
melainkan juga dapat melalui nilai ketika mereka bersikap dalam mengikuti
pembelajaran.
C. Hasil Penelitian, diskripsi dan analisa keefektifan model pembelajaran CTL
melalui Pendidikan Agama Kristen untuk meningkatkan karakter Kristiani
Siswa Sekolah Menengah Pertama Negeri 4 Surakarta
Pada hakekatnya, model pembelajaran CTL efektif untuk meningkatkan
karakter siswa Sekolah Menengah Pertama. Dalam model pembelajaran ini siswa
tidak hanya diasah pengetahuannya saja, melainkan juga diajak untuk bisa
mengkombinasikan dan menghubungkan antara pengalaman pribadi, ketrampilan
yang dimiliki, pergaulan mereka dengan materi yang diterima ketika mengikuti
pembelajaran. Dengan dilaksanakannya dan diterapkannya model pembelajaran
CTL ini, maka siswa dapat lebih mudah memahami, menerima dan melakukan apa
yang menjadi tujuan dari Pendidikan Agama Kristen yang mereka terima. Selain itu
juga efektif untuk meningkatkan karakter Kristiani siswa Sekolah Menengah
Pertama, menjadi lebih baik.
Sebelum dilakukan pengujian statistik perbedaan peningkatan pretest-posttest
model pembelajaran CTL efektif meningkatkan Karakter Kristiani perlu dipenuhi
syarat normalitas, homogenitas data dan uji beda dua rata-rata yang kemudian
dediskripsikan sebagai berikut:
a. Uji Normalitas Data Pretest-Posttest
Adapun rumusan hipotesis pengujian normalitas data sebagai berikut.
Ho: Data berdistribusi normal model pembelajaran CTL untuk meningkatkan
Karakter Kristiani
92
H1 : Data tidak berdistribusi normal pembelajaran CTL untuk meningkatkan
Karakter Kristiani.
Dengan menggunakan α = 0,05 (5%), Ho diterima jika α< (nilai sig) dan
sebaliknya jika α> (nilai sig) maka H1 diterima.
Tabel 4.2Uji Normalitas Data Pretest-Posttest Model Pembelajaran CTL untuk
meningkatkan Karakter Kristiani
No ASPEK Kolmogorov-
SmirnovShapiro-Wilk
Keputusan
Signifikan Signifikan
1 KasihPretest 0,200 0, 474 Normal
Posttest 0, 200 0, 220 Normal
2 KejujuranPretest 0,200 0, 267 Normal
Posttest 0, 058 0, 075 Normal
3 KedisiplinanPretest 0,200 0, 143 Normal
Posttest 0, 200 0, 512 Normal
4 TanggungjawabPretest 0, 073 0, 220 Normal
Posttest 0, 200 0, 306 Normal
Tabel 4.2 memperlihatkan data berdistribusi secara normal untuk data pretest-posttest model pembelajaran CTL untuk meningkatkan Karkater Kristiani yangmeliputi kejujuran, kasih, kedisiplinan, tanggungjawab.
Hal ini ditunjukan dengan semua nilai signifikan lebih besar dari 0,05 baik dengan
uji Kolmogorov-Smirnov maupun Shapiro-Wilk, sehingga dibuat keputusan
menerima Ho dan menolak H1 yang berarti data berdistribusi normal.
93
b. Uji Homogenitas DataPretest-Posttest
Untuk menguji homogenitas data didefinisikan hipotesis sebagai berikut:
Ho : Data memiliki varians sama (homogen) model pembelajaran CTL dan Karakter
Kristiani.
H1 : Data tidak memiliki varians sama (tidak homogen) model pembelajaran CTL dan
Karakter Kristiani.
Dengan menggunakan α = 0,05 (5%), Ho diterima jika α< (nilai sig) dan
sebaliknya jika α> (nilai sig) maka H1 diterima.
Tabel 4.3Uji Homogenitas DataPretest-Posttest Model Pembelajaran CTLuntuk
meningkatkan karakter Kristiani
No Perkembangan &
Dimensi Spiritual
Kelompok Levene
statisticSignifikan
Keputusan
1 Kasih Pre Test-post test 0,135 0,715 Homogen
2 Kejujuran Pre Test-post test 0,798 0,456 Homogen
3 Kedisiplinan Pre Test-post test 2,108 0,133 Homogen
4 Tanggungjawab Pre Test-post test 0,386 0,682 Homogen
Tabel 4.3 memperlihatkan semua data hasil pengujian homogen, pada modelpembelajaran CTLuntuk meningkatkan karakter Kristiani, yaitu Kasih, kejujuran,kedisiplinan dan tanggungjawab.
Hal ini ditunjukan dengan nilai signifikan (Levene Sig) lebih besar dari 0,05,
sehingga dibuat keputusan menerima Ho dan menolak H1 yang berarti data
memiliki varians yang sama (homogen).
94
c. Peningkatan Uji beda Dua Rata-Rata Pretest-Posttest pada model pembelajaran
CTL untuk meningkatkan Karakter Kristiani
Penggunaan uji beda dua rata-rata dilakukan untuk membandingkan apakah ada
perbedaan peningkatan karakter Kristiani dengan model pembelajaran CTL.
Ho :Tidak terdapat perbedaan peningkatan karakter Kristiani dengan model
pembelajaran CTL.
H1: Ada perbedaan peningkatan karakter Kristiani dengan model pembelajaran
CTL
Adapun kriteria pengujian adalah, jika α< (nilai sig) maka Ho diterima dan
sebaliknya jika α> (nilai sig) maka H1diterima.
Berikut ini disajikan hasil uji beda dua rata-rata (paired sample test), yang dapat
dilihat pada tabel 4.4 di bawah ini:
Tabel 4.4Rekapitulasi Hasil Ujibeda Dua Rata-RataPretest-Posttest peningkatan karakter
Kristiani dengan model pembelajaran CTLNo Perkembangan &
Dimensi SpiritualKelompok
Mean dfThitung
Ttabel
Sig(2-
tailed)1 Kasih Pre Test- Post Test 1,420 49 11,685 1,684 0,000
2 Kejujuran Pre Test- Post Test 4,280 49 26,614 1,684 0,000
3 Kedisiplinan Pre Test- Post Test 2,600 49 17,513 1,684 0,000
4 Tanggungjawab Pre Test- Post Test 1,580 49 14,732 1,684 0,000
Tabel 4.7 memperlihatkan bahwa pre-post untuk permasalahan peningkatanKarakter Kristiani yang meliputi Kasih, kejujuran, kedisiplinan dantanggungjawab, nilai thitung> ttabel atau dilihat nilai α = 0,05> sig (0,000), berartimenerima H1 dan menolak Ho.
95
Dengan itu, ada perbedaan peningkatan karakter Kristiani pada penerapan model
pembelajaran CTL. Hal itu dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Kasih. Dalam table 4.7 memperlihatkan nilai thitung (11,685)> ttabel (1,684) atau dilihat nilai
α = 0,05> sig (0,000), berarti menerima H1 dan menolak Ho. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa model pembelajaran CTL dapat meningkatkan karakter
Kristiani yaitu kasih.
2) Kejujuran. Pada poin kejujuran ini, memperlihatkan nilai-nilai thitung (26,614) > ttabel
(1,684) atau dilihat nilai α = 0,05> sig (0,000), berarti menerima H1 dan menolak Ho.
Dengan demikian, karakter Kristiani yaitu kejujuran dapat ditingkatkan melalui
model pembelajaran CTL.
3) Kedisiplinan. Hasil pre-post pada point kedisiplinanyang ditampilkan dalam table
4.7 memperlihatkan nilai thitung (17,513)> ttabel (1,684) atau dilihat nilai α = 0,05> sig
(0,000), berarti menerima H1 dan menolak Ho. Hal ini menunjukkan bahwa
penerapan model pembelajaran CTL dapat meningkatkan karakter Kristiani dalam
hal kedisiplinan.
4) Tanggungjawab. Nilai tanggungjawab pada table 4.7 memperlihatkan nilai thitung
(14,735)> ttabel (1,684) atau dilihat nilai α = 0,05> sig (0,000), berarti menerima H1 dan
menolak Ho. Hal tersebut mengindikasikan bahwa model pembelajaran CTLefektif
untuk meningkatkan karakter siswa dalam hal tanggungjawab.
Berdasarkan hasil uji normalitas, homogenitas dan uji du rata-rata maka pada point
berikutnya akan dibahas perbedaan peningkatan Pretest-Posttest pelaksanaan model
pembelajaran Contextual Teaching Learning untuk meningkatkan Karakter Kristiani
siswa SMPN 4 Surakarta. Perbedaan peningkatan tersebut digambarkan melalui tabel
4.5 sebagai berikut:
96
Tabel 4.5
Karakter Kristiani dalam diri siswa Sekolah Menengah Pertama berdasar hasil pre test dan post test
No ASPEK INDIKATOR PRESENTASEPRE TEST
REKAPITULASIRERATA
PRESENTASEPOST TEST
REKAPITULASIRERATA
1 Kasih penerapan kasih dalam hidupsiswa
40,00 Kasih
40,55 %
81,50 Kasih
80,25 %41,00 79,00
2. Kejujuran perilaku yang jujur ketikamelaksanakan kewajiban,
45,00 Kejujuran
41,38 %
82,00 Kejujuran
88,38 %34,50 85,50
41,00 86,00
44,50 80,00
3 Kedisiplinan ketaatan terhadap tata tertibyang ada
38,00 Kedisiplinan
32,25%
75,00 Kedisiplinan
81,50%32,50 88,00
4 Tanggung Jawab sikap maupun perilakutanggungjawab ketikamenjalankan tugas dari guru
46,00Tanggungjawab
44,25 %
87,50 Tanggungjawab
85,50 %42,50
83,50
KASIH = 40,55 % KASIH = 80,25 %KEJUJURAN = 41,38 % KEJUJURAN = 88,38 %
KEDISIPLINAN = 32,25 % KEDISIPLINAN = 81,50 %TANGGUNGJAWAB = 44,25 % TANGGUNGJAWAB = 85,50 %
97
Dari data tabel tersebut, permasalahan karakter Kristiani dalam diri siswa Sekolah
Menengah Pertama terletak pada ketidakmampuan dan belum memahaminya aspek-aspek yang
ada dalam karakter Kristiani yaitu kasih, kejujuran, kedisiplinan dan tanggungjawab. Hal itu
dapat dideskripsikan sebagai berikut:
a. Kasih
Pada hasil statistik tabel 4.5, menunjukkan peningkatan dalam diri siswa yaitu
semula presentase rerata 40,55% menjadi 80,25%. Secara hasil kualitatif dengan teknik
FGD yang dilakukan oleh peneliti terutama terhadap siswa yang berinisial J diperoleh hasil
bahwa:
“melalui model pembelajaran CTL yang diterapkan dalam Pendidikan AgamaKristen membuat mereka dapat memahami materi yang disampaikan oleh guru termasuk didalamnya makna dari kasih. Melalui model pembelajaran CTL saya lebih suka karenadapat mengkaitkan dengan kehidupan sehari-hari.”
Jika dilihat dari nilai thitung (11,685) > ttabel (1,684) atau dilihat nilai α = 0,05 > sig (0,000),
maka dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa melalui model pembelajaran CTL
membawa siswa mampu mewujudkan sikap kasih kepada Allah melalui berbuat baik
kepada sesamanya. Kasih yang dijadikan dasar adalah kasih agape, kasih yang tulus dan
tanpa pamrih. Hal itu memiliki arti bahwa melalui aspek yang ada dalam model
pembelajaran CTL yaitu keteladanan mampu membantu siswa untuk memahami,
mewujudkan karakter Kristiani yaitu Kasih.
Mengacu dari hasil penelitian di atas maka penulis menginterpretasikan bahwa
Karakter Kristiani yaitu Kasih mengalami peningkatan dikarenakan, pelaksanaan dan
penerapan model pembelajaran CTL dalam Pendidikan Agama Kristen. Hal itu
98
memberikan bukti bahwa model pembelajaran CTL melalui aspek permodelan mampu
membantu anak dalam memahami makna dan mewujudkan sikap kasih dalam hidup
mereka. Sikap dan wujud dari Kasih itu misalnya mengampuni orang yang pernah
menyakiti kita, peduli kepada sesama yang menderita, tidak membedakan dalam keluarga.
b. Kejujuran
Penerapan model pembelajaran CTL memberi manfaat bagi pembentukan karakter
Kristiani siswa Sekolah Menegah Pertama. Hal itu dapat dilihat pada tabel 4.5 yang
menyatakan bahwa sebelum diterapkannya model pembelajaran CTL aspek kejujuran
dalam Karakter Kristiani belum sepenuhnya bisa dipahami dan dilakukan oleh siswa. Hal
itu dapat terlihat dari hasil statistik yang semula 41,38% menjadi 88,38%. Dari hasil
statistik menunjukkanadanya peningkatan secara signifikan antara sebelum diterapkannya
CTL dengan sesudah diterapkannya CTL. Secara kualitatif dengan teknik FGD yang telah
dilaksanakan oleh peneliti terhadap siswa beinisial D di dapatkan hasil bahwa:
“kejujuran merupakan hal yang harus diupayakan dalam diri siswa. Sebab tanpaadanya kejujuran dalam diri siswa, maka dapat dijamin hidup mereka akan dihantui olehrasa bersalah serta ketakutan. Melalui model pembelajaran CTL ini saya merasa senang danenak dalam menerima pembelajaran, karena disitu saya bisa menggabungkan antarapengalaman saya dengan materi yang saya dapat.”
Pada hasil nilai thitung (26,614) > ttabel (1,684) atau dilihat nilai α = 0,05> sig (0,000).
Maksudnya disini adalah melalui model pembelajaran CTL membawa siswa bisa
memahami kejujuran dengan cara yang benar. Dari hasil penelitian dan FGD maka penulis
menginterpretasikan bahwa melalui penerapan model pembelajaran CTLsiswa mampu
memahami kejujuran dan mengaplikasikan dalam hidup mereka yaitu melalui sikap hidup
yang tidak mencontek ketika ulangan, membayarkan uang SPP serta berani berkata “ya”
jika itu memang benar dan “tidak” jika itu memang bukan suatu kebenaran.
99
c. Kedisiplinan
Pada tabel 4.5 dideskripsikan adanya peningkatan dalam diri siswa berkaitan
dengan pelaksanaan dan penerapan model pembelajaran CTL. Hal itu bisa dilihat dari hasil
statistik bahwa dari hasil semula 32,25% menjadi 81,50%. Dari hasil wawancara
menunjukkan bahwa sikap kedisiplinan mengalami peningkatan. Hal itu disebabkan karena
siswa telah memahami dengan benar makna dari kedisiplinan. Karakter kedisiplinan dalam
diri siswa mampu membawa siswa kepada pribadi yang berkarakter serta membantu
mereka dalam mencapai kesuksesan.
Dilihat nilai thitung (17,513)> ttabel (1,684) atau dilihat nilai α = 0,05> sig (0,000). Dari
hasil diatas maka dapat diartikan bahwa penerapan model pembelajaran CTL efektif dalam
meningkatkan karakter Kristiani siswa. Hasil kualitatif dengan teknik FGD yang dilakukan
peneliti terhadap siswa berinisial K menyatakan bahwa:
“saya suka dengan pelaksanaan model CTL ini, karena bisa membantu saya untuklebih berfikir semestinya. Artinya saya bisa melihat contoh-contoh nyata dalam hidup yangkemudian dikaitkan dengan materi yang ada. Jadi saya tahu apa yang benar dan salah, apayang harus dilakukan dan dihindari.”
Dari hasil statistik, wawancara dan teori maka penulis menginterpretasikan bahwa
melalui model pembelajaran CTL efektif dalam meningkatkan karakter Kristiani siswa
SMPN 4 Surakarta. Karakter Kristiani disini yaitu kedisiplinan. Kedisiplinan disini dapat
mengacu pada kedisiplinan secara fisik maupun rohani. Kedisiplinan fisik misalnya
memakai seragam sesuai aturan, masuk kelas tepat waktu, mengumpulkan tugas sesuai
100
deadline yang diberikan. Kedisiplinan rohani misalnya mampu mengatur waktu untuk
melakukan saat teduh, doa keluarga dan persekutuan.
d. Tanggungjawab
Hasil statistik pada tabel 4.5 menjelaskan bahwa ada peningkatan hasil semula
44,25% menjadi 85,50%. Menurut hasil dengan teknik FGD yang dilakukan peneliti
terhadap siswa berinisial B didapatkan bahwa:
“akhir-akhir ini rasa tanggungjawab dalam diri kami mengalami peningkatan. Halitu disebabkan karena kami sudah memahami makna dan aplikasi yang tepat tentangtanggungjawab.Melalui model CTL ini membuat saya merasa nyaman dan enjoy dalammengikuti Pendidikan Agama Kristen, sebab model CTL ini kreatif dan nyata dalam hidupsehari-hari.”
Dari hasil uji normalitas, homogenitas dan uji dua rata-rata di dapatkan hasil nilai
thitung (14,735)> ttabel (1,684) atau dilihat nilai α = 0,05> sig (0,000). Hal ini membutikan bahwa
melalui model pembelajaran CTLmampu mengajak siswa mewujudkan tanggungjawab
dalam melaksanakan tugas. Keefektivan model pembelajaran CTL bagi peningkatan
karakter Kristiani yaitu tangggungjawab dapat dilihat dari gambar 5.
101
Gambar 5. Kegiatan ibadah pagi
Keterangan gambar: menjelaskan tentang tanggungjawab yang diterapkan siswadalam memimpin pujian ketika Ibadah pagi, yang diikuti oleh semua siswa yangberagama Kristen pada setiap hari.
Tanggungjawab siswa mampu dimunculkan ketika mereka menerima tugas untuk
memimpin pujian. Mereka melaksanankan dengan penuh kesungguhan hati dan tidak
menggerutu. Sikap tanggungjawab itu muncul karena siswa sudah memahami akan makna
dan manfaat dari tanggungjawab bagi hidup mereka.
Dari data diatas, maka penulis menginterpretasikan bahwa model pembelajaran CTL
mampu meningkatkan Karakter Kristiani yaitu tanggungjawab. Melalui model pembelajaran
CTL siswa mampu memahami makna dari tanggungjawab dan aplikasinya dalam kehidupan
sehari-hari. Misalnya ketika diberi tugas memimpin pujian, membawakan renungan dapat
dilaksanakan dengan baik dan tidak menggerutu.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diatas, peneliti menginterpretasikan dan
menganalisa dengan melihat secara obyektif di lapangan sebagai berikut:
102
Dari hasil penelitian baik secara kuantitatif maupun kualitatif maka peneliti
menganalisa bahwa ketika model pembelajaran CTL ini diterapkan secara efektif maka
dapat meningkatkan karakter Kristiani siswa SMPN 4 Surakarta. Keefektifan tersebut
terlihat dari sikap siswa dalam memaknai dan melakukan karakter Kristiani dalam hidup
mereka. Hal ini berarti bahwa model pembelajaran CTL dapat diterima siswa dan membuat
siswa lebih mengerti akan materi pembelajaran yang mereka terima sehingga mereka dapat
mengaplikasikan di dalam hidupnya. Melalui model pembelajaran CTL ini juga membantu
siswa dalam mengatasi permasalahan pemahaman akan makna dan aplikasi dari karakter
Kristiani.
Sebelum dilaksanakan dan diterapkannya model pembelajaran CTL ini masih banyak
siswa yang mengalami permasalahan pemahaman akan makna dan aplikasi dari karakter
Kristiani. Hal itu dimunculkan dengan sikap dan perilaku siswa yang masih sering
melanggar aturan dan norma yang ada. Pelanggaran yang sering dilakukan oleh misalnya
mencontek ketika ulangan, membolos sekolah, menolak ketika diberi tugas memimpin
pujian, berkata kotor, membantu siswa ketika ulangan dan tidak mengikuti pelajaran dengan
baik. Siswa mengalami permasalahan pemahaman karena mereka masih mengalami
kebingungan dan tidak tahu isi dari materi yang mereka terima. Dari permasalahan tersebut
maka peneliti, melakukan penelitian terhadap model pembelajaran CTL. Dengan penerapan
dan pelaksanaan model pembelajaran CTL yang terdiri dari 7 aspek yaitu kontruksivisme,
menemukan, bertanya, masyarakat belajar, permodelan, dan penilaian nyata ternyata efektif
dalam meningkatkan karakter Kristiani siswa SMPN 4 Surakarta. Hal itu dapat dilihat
melalui hasil statistik yang menunjukkan peningkatan serta hasil FGD terhadap siswa yang
103
menyatakan bahwa mereka senang dan nyaman dengan model pembelajaran CTl. Mereka
juga bisa lebih nyata dalam memahami materi pelajaran yang mereka terima.
Keefektivan model pembelajaran CTL juga dapat dilihat dari hasil obeservasi yang
menyatakan bahwa melalui model pembelajaran ini sikap dan perilaku siswa mengalami
peningkatan. Perubahan dan peningkatan sikap serta perilaku siswa dapat dimunculkan
melalui sikap yang bersedia menerima tugas dari guru yaitu untuk memimpin pujian dapat
dilakukan dengan kesungguhan hati, mengumpulkan tugas tepat waktu, mengikuti proses
pembelajaran pendidikan Agama Kristen dengan tertib, mengikuti ibadah pagi secara rutin,
serta tidak berkata kotor kepada teman.
Sikap-sikap diatas membuktikan bahwa mereka sudah bisa membedakan manakah hal
yang harus dilakukan dan dihindari. Siswa juga sudah mampu mewujudkan sikap kasih
dengan benar, menerapkan sikap disiplin yaitu dengan datang tepat waktu, mengikuti
kebaktian serta berani untuk menjadi pemimpin pujian serta membawakan renungan. Hal itu
menunjukkan dan membuktikan bahwa model pembelajaran CTL efektif dalam
meningkatkan karakter Kristiani siswa Sekolah Menengah Pertama Negeri 4 Surakarta.
Recommended