View
259
Download
9
Category
Preview:
DESCRIPTION
eklamsia
Citation preview
BAB IV
PEMBAHASAN
Diagnosis pada kasus pasien ini adalah G1P0A0, usia 20 tahun, usia
kehamilan 32 minggu, dengan eklampsia, sindroma HELLP, dan Intra Uterine
Fetal Death (IUFD). Pada pasien ini di diagnosis eklampsia karena pasien
mengalami serangan kejang sejak 3 jam sebelum masuk rumah sakit dengan
durasi ± 10 menit. Pasien kembali mengalami serangan kejang selama perawatan
di VK IGD Rumah Sakit Margono Soekarjo. Pasien juga memiliki riwayat
tekanan darah tinggi, yaitu 160/90 mmHg dan proteinuria. Pasien juga mengalami
sindroma HELLP. Keadaan ini dibuktikan pada pemeriksaan laboratorium darah,
dimana pada uji fungsi hepar pasien terdapat kenaikan SGOT (Serum Glutamat
Oksaloasetat Transaminase) yaitu 47 U/L serta kadar LDH (Laktat
Dehidrogenase) yaitu 627 U/L, sedangkan trombosit mengalami penurunan
(trombositopenia) yaitu 135.000/L.
Pada pemeriksaan keadaan kandungan pasien ketika baru datang ke rumah
sakit, tidak diketahui kondisi pasti janinnya, karena denyut jantung janin sulit
dinilai dengan menggunakan stetoskop Laennec. Pada saat pemeriksaan dengan
menggunakan USG sudah tidak didapatkan tanda-tanda kehidupan janin.
Pemeriksaan USG ini sudah dapat membuktikan bahwa telah terjadi IUFD (Intra
Uterine Fetal Death) pada janin pasien.
A. EKLAMPSIA
1. Definisi
Preeklampsia-eklampsia adalah penyakit pada wanita hamil yang
secara langsung disebabkan oleh kehamilan. Preeklampsia adalah
hipertensi yang disertai dengan proteinuria akibat kehamilan setelah
kehamilan 20 minggu atau segera setelah melahirkan, sedangkan
eklampsia merupakan preaklampsia yang disertai kejang dan disusul
koma yang timbul bukan akibat dari kelainan neurologi. ). Dahulu, pre
eklampsia didefinisikan sebagai penyakit dengan tanda-tanda hipertensi,
edema dan proteinuria yang timbul karena kehamilan. Namun kini
edema tungkai tidak dipakai lagi sebagai kriteria hipertensi kecuali
edema anaserka. Penyakit ini terjadi pada triwulan ke 3 kehamilan tetapi
dapat juga terjadi sebelumnya, misalnya pada mola hidatidosa
(Prawirohardjo, 2008; POGI,2005).
Kejang-kejang dimulai dengan kejang tonik. Tanda-tanda dari
kejang tonik ialah dengan dimulainya gerakan kejang berupa twitching
dari otot-otot muka khususnya sekitar mulut, yang beberapa detik
kemudian disusul kontraksi otot-otot tubuh yang menegang, sehingga
seluruh tubuh menjadi kaku. Pada keadaan ini wajah penderita
mengalami distorsi, bola mata menonjol, kedua lengan fleksi, tangan
menggenggam, kedua tungkai dalam posisi inverse. Semua otot tubuh
pada saat ini dalam keadaan kontraksi tonik. Keadaan ini berlangsung
15-30 detik. Kejang tonik segera disusul dengan kejang klonik. Kejang
klonik dimulai dengan terbukanya rahang secara tiba-tiba dan tertutup
kembali dengan kuat disertai pula dengan terbuka dan tertutupnya
kelopak mata. kemudian disusul dengan kontraksi intermiten pada otot-
otot muka dan otot-otot seluruh tubuh. Kejang karena eklampsia dapat
muncul kembali pada saat postpartum. Sering selama beberapa jam
sampai beberapa hari post partum. Diuresis (> 4 L/ hari) diyakini sebagai
indikator klinis yang paling akurat dari pulihnya preeklampsia atau
eklampsia, tetapi hal ini tidak menjamin tidak berulangnya kejang. Dapat
pula terjadi eklampsia postpartum lanjut (kejang eklamptik yang
berkembang > 48 jam postpartum, namun < 4 minggu postpartum) pada
25% kasus postpartum dan >16% dari seluruh kasus eklampsia
(Cunningham, 2005; Pangemanan, 2002; Prawirohardjo, 2008).
2. Epidemiologi
Eklampsia umumnya terjadi pada wanita kulit berwarna,
nulipara, dan golongan sosial ekonomi rendah. Insiden tertinggi pada usia
remaja atau awal usia 20 tahun, tetapi prevalensinya meningkat pada
wanita diatas 35 tahun. Eklampsia jarang terjadi pada usia kehamilan
dibawah 20 minggu, dapat meningkat pada kehamilan mola atau
sindroma antifosfolipid. Insiden eklampsia secara keseluruhan relatif
stabil, yaitu antara 4-5 kasus per 10.000 kelahiran hidup di negara maju.
Di negara berkembang, insiden bervariasi luas antara 6-100 kasus per
10.000 kelahiran hidup (Halimi, 2010).
Berdasarkan penelitian Lukas dan Rambulangi (1994), di dua
RS pendidikan di Makassar insidensi preeklampsia berat 2,61%,
eklampsia 0,84% dan angka kematian akibatnya 22,2%. Sedangkan pada
penelitian yang dilakukan di RS Tarakan, Kalimantan Timur,
menyatakan bahwa angka kejadian preeklampsia-eklampsia di rumah
sakit ini selama periode antara 1 Januari-30 Desember 2010 adalah
sebesar 74 kasus (5,1%) dari total 1431 persalinan, dengan rincian
preeklampsia sebesar 61 kasus (4,2%) dan eklampsia 13 kasus (0,9%)
(Sudinaya, 2003).
3. Etiologi
Sebab eklampsia belum diketahui pasti, tapi ada beberapa teori
mencoba menjelaskan perkiraan etiologi dari kelainan tersebut di atas,
sehingga kelainan ini sering dikenal sebagai the diseases of theory.
Adapun teori-teori tersebut antara lain:
1. Peran Prostasiklin dan Tromboksan
Pada preeklampsia dan eklampsia terdapat kerusakan pada
endotel vaskuler sehingga terjadi penurunan produksi prostasiklin
yang pada kehamilan normal meningkat. Aktivasi trombosit
menyebabkan pelepasan tromboksan dan serotonin sehingga terjadi
vasospasme dan kerusakan endotel (Blum, 2003).
2. Peran Faktor Immunologis
Preeklampsia sering terjadi pada kehamilan pertama dan tidak
timbul lagi pada kehamilan berikutnya. Hal ini dapat diterangkan
bahwa pada kehamilan pertama pembentukan blocking antibodies
terhadap antigen plasenta tidak sempurna, yang semakin sempurna
pada kehamilan berikutnya (Sankaralingam, 2009).
3. Peran Faktor Genetik/Familial
Beberapa bukti yang menunjukkan peran faktor genetik pada
kejadian Preeklampsia dan eklampsia (PE-E) antara lain:
a. Preeklampsia hanya terjadi pada manusia.
b. Terdapatnya kecenderungan meningkatnya frekuensi PE-E pada
anak-anak dari ibu yang menderita PE-E.
c. Kecendrungan meningkatnya frekuensi PE-E pada anak dan cucu
ibu hamil dengan riwayat PE-E dan bukan pada ipar mereka.
4. Peran Renin Angiotensin Aldosteron System (RAAS).
Jika terjadi peningkatan sekresi dan rennin, maka tekanan darah
akan meningkat pula. Hal ini disebabkan oleh sifat renin mengikat air,
sehingga terjadi peningkatan volume darah yang menambah beban
jantung sehingga tejadi kompensasi jantung dengan meningkatkan
tekanan darah (Shah, 2005).
4. Patogenesis
Banyak teori telah dikemukakan tentang hipertensi dalam
kehamilan, tetapi tidak ada satupun teori tersebut yang dianggap mutlak
benar. Teori-teori yang sekarang banyak dianut adalah sebagi berikut:
1. Teori kelainan vaskularisasi plasenta
Tidak terjadinya invasi tropoblas pada arteri spiralis dan
jaringan matriks di sekitarnya sehingga lumen arteri spiralis tidak
mengalami distensi dan vasodilatasi sehingga terjadi kegagalan
remodelling arteri spiralis. Hal ini menyebabkan aliran darah
uteroplasenta menurun dan terjadilah hipoksia dan iskemia plasenta.
2. Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel
Iskemia plasenta akan menyebabkan terbentuknya radikal bebas
atau oksidan yang beredar dalam sirkulasi sehingga disebut toxaemia.
Radikal bebas akan mengikat asam lemak tak jenuh menjadi peroksida
lemak yang akan merusak endotel pembuluh darah.
Kerusakan endotel pembuluh darah menyebabkan disfungsi endotel
dan berakibat sebagai berikut:
- Gangguan metabolisme prostaglandin sehingga protasiklin
sebagai vasodilator kuat menurun
- Agregasi trombosit pada endotel yang rusak dan produksi
tromboksan sebagai vasokonstriktor kuat
- Perubahan endotel glomerolus ginjal
- Peningkatan permeabilitas kapiler
- Peningkatan bahan vasopresor endotelin dan penurunan nitrit
oxida (NO)
- Peningkatan faktor koagulasi
5. Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin
Hasil konsepsi pada kehamilan normal tidak terjadi penolakan
karena adanya Human Leukocyte Antigen type G (HLA-G) pada
plasenta sehingga melindungi trofoblast dari lisis oleh sel NK ibu.
HLA-G juga akan membantu invasi trofoblast pada jaringan desidua
ibu. Pada penurunan HLA-G, invasi trofoblast terhambat sehingga
tidak terjadi dilatasi arteri spiralis.
6. Teori adaptasi kardiovaskulatori genetik
Pada wanita hamil normal, terjadi refrakter pembuluh darah
terhadap bahan vasopresor sehingga membutuhkan kadar yang tinggi
untuk menyebabkan vasokonstriksi, hal tersebut terjadi karena adanya
perlindungan prostasiklin. Pada keadaan menurunnya prostasiklin
maka kepekaan terhadap vasokonstriktor meningkat sehingga mudah
terjadi vasokonstriksi.
7. Teori defisiensi gizi
Diet yang dianjurkan untuk mengurangi resiko terjadinya
preeklamsi adalah makanan kaya asam lemak tak jenuh yang akan
menghambat terbentuknya tromboksan, aktivasi trombosit dan
vasokonstriksi pembuluh darah. Konsumsi kalsium menurut penelitian
juga menurunkan insidensi preeklamsi.
8. Teori inflamasi
Lepasnya debris tropoblas sebagai sisa proses apoptosis dan
nekrotik akibat stres oksidatif dalam peredaran darah akan
mencetuskan terjadinya reaksi inflamasi. Pada kehamilan normal
jumlahnya dalam batas wajar. Sedangkan pada kehamilan dengan
plasenta yang besar, kehamilan ganda, dan mola maka debrisnya juga
semakin banyak dan terjadi reaksi sistemik inflamasi pada ibu.
(Prawirohardjo, 2008)
Seperti yang telah dijelaskan di atas, penyebab pasti dari
terjadinya eklampsia belum diketahui pasti, tetapi kemungkinan besar
karena placental ischemia. Invasi sel trofoblast menimbulkan dilatasi
pembuluh darah pada kehamilan normal, sehingga dapat memenuhi
kebutuan nutrisi. Pada keadaan preeklampsia terjadi invasi sel trofoblast,
hanya sebagian pada arteri spiralis di endometrium desidua. Akibatnya
terjadi gangguan fungsi plasenta, karena sebagian besar arteri spiralis
terdapat pada miometrium. Hal ini membuat plasenta kekurangan nutrisi
dan oksigen, karena terjadi iskemia di regio uteroplacenta, oleh karena itu
perfusi di uteroplasenta juga menurun. Keadaan ini menginduksi
stimulasi dari substansi vasokonstriksi (seperti tromboksan, angiotensin,
endothelin) dan menghambat substansi vasodilator (PGI2, PGE2, NO) dari
plasenta yang iskemik tersebut. Kemudian mulailah hipertensi, DIC
(Disseminated Intravascular Coagulation), dan kerusakan berbagai
organ. Selama eklampsia, plasenta yang iskemik tersebut akan terus
meningkatkan thromboplastic substance dan mengurangi faktor anti
pembekuan darah (antitrombin III) sehingga terjadilah DIC.
Gambar 1Patomekanisme preeklampsia dan eklampsia
Pada keadaan normal, wanita hamil akan terjadi resistensi
terhadap vasokonstriksi dan efek hipertensi dari angiotensin. Tetapi pada
keadaan eklampsia, wanita tersebut akan kehilangan resistensinya
sehingga mengakibatkan terjadinya hipertensi sistemik. Prostaglandin E2
(PGE2) dihasilkan dari uteroplasenta selama kehamilan normal, yang
berfungsi untuk menjaga tekanan homeostasis pada wanita tersebut
sehingga resisten terhadap angiotensin sehingga tidak terjadi hipertensi.
Sedangkan pada wanita dengan eklampsia, produksi PGE2 tersebut
berkurang karena ischaemic placenta, akibatnya terjadi peningkatan
hipersensitivitas angiotensin (Blum, 2003).
5. Patofisiologi
Vasokonstriksi merupakan dasar patogenesis preeklampsia dan
eklampsia. Vasokonstriksi menimbulkan peningkatan total perifer resisten
dan menimbulkan hipertensi. Adanya vasokonstriksi juga akan
menimbulkan hipoksia pada endotel setempat, sehingga terjadi kerusakan
endotel, kebocoran arteriol disertai perdarahan mikro pada tempat
endotel. Jika semua arteriol pada tubuh mengalami spasme, maka tekanan
darah akan naik, sebagai usaha untuk mengatasi kenaikan tekanan perifer
agar oksigenasi jaringan tetap tercukupi. Sedangkan kenaikan berat badan
dan edema yang disebabkan oleh penimbunan air yang berlebihan dalam
ruang interstisial belum diketahui sebabnya, mungkin karena retensi
garam dan air. Proteinuria dapat disebabkan oleh perubahan fungsi ginjal
berupa menurunnya aliran darah ke ginjal akibat hipovolemia sehingga
terjadi oligouria bahkan anuria, spasme arteriolae menyebabkan
perubahan pada glomerulus berupa kerusakan sel glomerulus
mengakibatkan meningkatnya permeabilitas membrana basalis sehingga
terjadi kebocoran dan mengakibatkan proteinuria (Mochtar, 1998;
Prawirohardjo, 2008).
Pada preeklampsia peningkatan reaktivitas vaskuler dimulai
pada saat umur kehamilan 20 minggu, tetapi hipertensi dideteksi umumnya
pada trimester II. Tekanan darah pada preeklampsia bersifat labil dan
mengikuti irama sirkadian normal. Tekanan darah menjadi normal
beberapa hari pasca persalinan, kecuali beberapa kasus preeklampsia berat
Edema
Hemokonsentrasi
Plasenta kurang O2
Tekanan hidrostatik ↑
Protenuria
Retardasi pertumbuhan janin
Kebocoran kapiler
Uteroplasenta
Vasospasme
JantungCO ↑Tekanan darah ↑
GFR ↓ :OliguriaBersihan kreatinin, ureum, dna asam urat ↓
Otak :KonvulsiGangguan penglihatan
Iskemia hepar :SGOT – SGPT ↑Nyeri perut kanan atas
HeparGinjal
Iskemia tubukus dan glomerulus ginjal :ProteinuriaGagal ginjal
Zat vasoaktif :ProstaglandinNitrat oksidaEndothelin
Penurunan perfusi uteroplasenta
Aktivasi endotel Zat perusak :SitokinPeroksidase
Trombositopenia
Aktivasi koagulasi
Gangguan Vaskular Ibu Gangguan plasentasi
Faktor genetikImunologikInflamasi
Trofoblas berlebihan
kembalinya tekanan darah dapat terjadi 2-4 minggu pasca persalinan
(Prawirohardjo, 2008).
Gambar 2.Patofisiologi preeklampsia-eklampsia
6. Kriteria diagnosis
Secara umum, preeklampsia dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :
a. Preeklampsia ringan
Kriteria diagnostik :
Tekanan darah 140/90 mmHg yang diukur pada posisi
terlentang; atau kenaikan sistolik 30 mmHg; atau kenaikan
tekanan diastolik 15 mmHg.
Cara pengukuran sekurang-kurangnya pada dua kali pemeriksaan
dengan jarak periksa 1 jam, sebaiknya 6 jam.
Proteinuria kuantitatif 0,3 gram/liter; kualitatif 1+ atau 2+ pada
urin kateter atau mid stream
Edema : lokal pada tungkai tidak dimasukkan dalam kriteria
diagnostik kecuali anasarka.
b. Pre eklampsia berat
Pre eklampsia digolongkan berat bila terdapat satu atau lebih gejala:
1. Tekanan sistolik 160 mmHg atau lebih, atau tekanan diastolik 110
mmHg atau lebih
2. Proteinuria 5 gr atau lebih per jumlah urin selama 24 jam
3. Oliguria, urine kurang dari atau sama dengan 400 cc dalam 24
jam.
4. Kenaikan kreatinin serum.
5. Nyeri di daerah epigastrium dan nyeri kuadran atas kanan
abdomen
6. Terjadi edema paru dan sianosis
7. Terjadi kelainan serebral dan gangguan penglihatan
8. Terjadi gangguan fungsi hepar
9. Hemolisis mikroangiopatik
10. Trombositopenia (< 100.000 sel/mm3)
11. Sindroma HELLP.
(POGI, 2005; Prawirohardjo, 2008; Mochtar, 1998)
Apabila pada preeklampsia berat didapatkan sakit kepala di daerah
frontal, diplopia, penglihatan kabur, nyeri daerah epigastrium, mual atau
muntah sering merupakan petunjuk terjadinya impending eklampsia. Jika
keadaan ini tidak segera ditanggulangi maka akan timbul kejang. Kejang
pada eklampsia dibagi menjadi 4 tingkatan yaitu:
1. Tingkat awal atau aura
Keadaan ini berlangsung sekitar 30 detik. Mata penderita terbuka
tanpa melihat, kelopak mata dan tangan bergetar dan kepala diputar
kekanan atau kekiri.
2. Tingkat kejangan tonik
Berlangsung 30 detik. Pada tingkat ini seluruh otot menjadi kaku,
wajah kelihatan kaku, tangan menggenggam dan kaki bengkok ke
dalam. Pernafasan berhenti, wajah menjadi sianotik dan lidah dapat
tergigit. Stadium ini akan disusul oleh tingkat kejanga klonik.
3. Tingkat kejangan klonik
Berlangsung antara 1-2 menit. Spasme tonik menghilang, semua
otot berkontraksi dan berulang-ulang dalam tempo yang cepat. Mulut
membuka dan menutup dan lidah dapat tergigit lagi. Bola mata
menonjol. Dari mulut keluar lidah yang berbusa, wajah menunjukkan
kongesti dan sianosis. Setelah kejang terhenti, pasien bernafas dengan
mendengkur.
4. Tingkat koma
Lamanya ketidaksadaran tidak selalu sama. Secara perlahan
penderita biasa menjadi sadar lagi.
(Mochtar, 1998; Blum, 2003)
Diagnosis eklampsia umumnya tidak mengalami kesukaran.
Dengan adanya tanda dan gejala pre eklampsia yang disusul oleh
serangan kejang, maka diagnosis eklampsia sudah tidak diragukan
(Budiono, 1999).
7. Komplikasi
Berikut adalah beberapa komplikasi yang ditimbulkan pada
preeklampsia berat dan eklampsia:
1) Solutio Plasenta, biasanya terjadi pada ibu yang menderita hipertensi
akut dan lebih sering terjadi pada preeklampsia.
2) Hipofibrinogemia, kadar fibrin dalam darah yang menurun.
3) Hemolisis, penghancuran dinding sel darah merah sehingga
menyebabkan plasma darah yang tidak berwarna menjadi merah.
4) Perdarahan otak. Komplikasi ini merupakan penyebab utama
kematian maternal penderita eklampsia.
5) Kelainan mata, kehilangan penglihatan untuk sementara, yang
berlangsung selama seminggu.
6) Edema paru. Pada kasus eklampsia, hal ini disebabkan karena
penyakit jantung.
7) Nekrosis hati. Nekrosis periportal pada preeklampsia dan eklampsia
merupakan akibat vasospasme pembuluh darah hepar. Kelainan ini
diduga khas untuk eklampsia.
8) Sindrome HELLP (Hemolysis, elevated liver enzymes dan low
platelete count).
9) Kelainan ginjal. Kelainan berupa endoklrosis glomerulus, yaitu
pembengkakan sitoplasma sel endotial tubulus. Ginjal tanpa kelainan
struktur lain, kelainan lain yang dapat timbul ialah anuria sampai
gagal ginjal.
10) Komplikasi lain, seperti lidah tergigit, trauma dan faktur karena jatuh
akibat kejang-kejang preumania aspirasi, dan DIC (Disseminated
Intravascular Coagulation)
11) Prematuritas, dismaturitas dan kematian janin intra uterin.
(Cunningham, 2005; Prawirohardjo, 2008)
8. Penanganan
a. Tujuan terapi eklampsia
- Menghentikan berulangnya serangan kejang
- Menurunkan tekanan darah
- Memperbaiki kondisi hemokonsentrasi dengan pemberian glucose
5%-10%.
- Mengusahakan supaya O2 cukup dengan mempertahankan kebebasan
jalan nafas.
b. Penanganan Kejang
- Perlengkapan untuk penanganan kejang (jalan nafas, sedotan, masker
O2 dan tabung O2 ).
- Lindungi pasien dari trauma.
- Aspirasi mulut dan tenggorokkan.
- Baringkan pasien pada posisi kiri, Trendelenburg untuk mengurangi
resiko aspirasi.
- Beri oksigen 4-6 liter / menit.
- Terapi anti konvulsan, yaitu :
a) Sulfas Magnesikus (MgSO4)
Syarat:
Tersedia antidotum Ca Glukonas 10% (1 amp/iv dalam 3
menit). Reflek patella (+) kuat, Rr > 16 x/menit, tanda distress
nafas (-), Produksi urine > 100 cc dalam 4 jam sebelumnya.
Cara Pemberian:
Loading dose secara intravena: 4 gr/MgSO4 20% dalam 4
menit, intramuskuler: 4 gr/MgSO4 40% gluteus kanan, 4 gr/ MgSO4
40% gluteus kiri. Jika ada tanda impending eklampsi LD diberikan
IV+IM, jika tidak ada LD cukup IM saja. Maintenance
dose diberikan 6 jam setelah loading dose, secara IM 4 gr/MgSO4
40%/6 jam, bergantian pada gluteus kanan/kiri.
Penghentian SM :
Pengobatan dihentikan bila terdapat tanda-tanda intoksikasi,
setelah 6 jam pasca persalinan, atau dalam 6 jam tercapai
normotensi.
b) Diazepam
Diazepam digunakan bila MgSO4 tidak tersedia, atau syarat
pemberian MgSO4 tidak terpenuhi. Cara pemberian: drip 10 mg
dalam 500 ml, max. 120 mg/24 jam. Jika dalam dosis 100 mg/24
jam tidak ada pemberian, alih rawat ruang ICU (Intensive Care
Unit).
c. Penanganan hipertensi
- Diberikan bila tekanan darah ≥ 180/110 atau MAP (Mean Arterial
Pressure) > 126
- Obat pilihan adalah Nifedipin, yang diberikan 5-10 mg oral yang
dapat diulang sampai 8 kali/24 jam
- Nifedipine tidak dibenarkan diberikan dibawah mukosa lidah
(sublingual) karena efek vasodilatasi sangat cepat, sehingga hanya
boleh diberikan per oral.
- Labetolol 10 mg oral. Jika respons tidak membaik setelah 10 menit,
berikan lagi Labetolol 20 mg oral.
- Diuretikum tidak dibenarkan diberikan secara rutin, karena dapat
memperberat penurunan perfusi plasenta, memperberat
hipovolemia, dan meningkatkan hemokonsentrasi, menimbulkan
dehidrasi pada janin, dan menurunkan berat janin. Diuretikum
hanya diberikan atas indikasi edema paru, payah jantung kongestif,
edema anasarka. Diuretikum yang dipakai adalah Furosemide.
(POGI, 2005)
d. Penanganan obstetrik
Setelah kejang dapat diatasi dan keadaan umum penderita
diperbaiki, maka direncanakan untuk mengakhiri kehamilan atau
mempercepat persalinan dengan cara yang aman. Apakah pengakhiran
kehamilan dilakukan dengan seksio sesarea atau dengan induksi
persalinan per vaginam, hal tersebut tergantung dari banyak faktor,
seperti keadaan serviks, komplikasi obstetrik, paritas, adanya ahli
anestesia, tidak terdapat koagulopati dan sebagainya (Prawirohardjo,
2008).
Persalinan per vaginam merupakan cara yang paling baik bila
dapat dilaksanakan cepat tanpa banyak kesulitan. Pada eklampsia
gravidarum perlu diadakan induksi dengan amniotomi dan infus
oksitosin, setelah penderita bebas dari serangan kejang selama 12 jam
dan keadaan serviks memungkinkan. Tetapi, apabila serviks masih
lancip dan tertutup terutama pada primigravida, kepala janin masih
tinggi, atau ada persangkaan disproporsi sefalopelvik, sebaiknya
dilakukan sectio caesarea. Jika persalinan sudah mulai pada kala I,
dilakukan amniotomi untuk mempercepat partus dan bila syarat-syarat
telah dipenuhi, dilakukan ekstraksi vakum atau forceps
(Prawirohardjo, 2008).
Setelah persalinan, perawatan dan pengobatan intensif
diteruskan untuk 48 jam berikutnya. Bila tekanan darah menurun,
maka pemberian obat penenang dapat dikurangi setelah 24 jam
postpartum untuk kemudian lambat laun dihentikan. Biasanya diuresis
bertambah 24 - 48 jam setelah kelahiran dan edema serta proteinuria
berkurang. antikonvulsan diteruskan sampai 24 jam postpartum atau
kejang terakhir, teruskan antihipertensi jika tekanan diastolik masih >
110 mmHg (Prawirohardjo, 2008).
9. Prognosis
Prognosis preeklampsia berat (PEB) dan eklampsia dikatakan jelek
karena kematian ibu antara 9,8 – 20,5%, sedangkan kematian bayi lebih
tinggi lagi, yaitu 42,2 – 48,9%. Kematian ini disebabkan karena kurang
sempurnanya pengawasan antenatal, disamping itu penderita eklampsia
biasanya sering terlambat mendapat pertolongan. Kematian ibu biasanya
karena perdarahan otak, decompensatio cordis, oedem paru, payah ginjal
dan aspirasi cairan lambung. Sebab kematian bayi karena prematuritas
dan hipoksia intra uterin (Budiono, 1999).
B. SINDROMA HELLP
1. Definisi
Sindroma HELLP yang merupakan singkatan dari Hemolysis,
Elevated Liver enzymes and Low Platelet counts, pertama kali dilaporkan
oleh Louis Weinstein tahun 1982 pada penderita PEB. Sindroma ini
merupakan kumpulan gejala multi sistem pada penderita PEB dan
eklampsia yang terutama ditandai dengan adanya hemolisis, peningkatan
kadar enzim hepar dan trombositopeni (Roeshadi, 2004).
2. Insidensi
Insidensi sindroma HELLP sampai saat ini belum diketahui dengan
pasti. Hal ini disebabkan karena onset sindroma ini sulit diduga, gambaran
klinisnya sangat bervariasi, dan perbedaan dalam kriteria diagnosis. Angka
insidensi sindroma HELLP berkisar antara 2 – 12% dari pasien dengan
PEB, dan berkisar 0,2 – 0, 6% dari seluruh kehamilan (Roeshadi, 2004).
3. Patogenesis
Karena sindroma HELLP adalah merupakan bagian dari
preeklampsia, maka etiopatogenesisnya sama dengan preeklampsia.
Sampai saat ini belum diketahui dengan pasti patogenesis preeklampsia
atau sindroma HELLP (Curtin, 1999).
Ada perbedaan yang nyata antara kehamilan normal dan pre
eklampsia, yaitu pada tekanan darah pada trimester II (kehamilan normal)
menurun, sedangkan kadar plasma renin, angiotensin II, prostasiklin dan
volume darah meningkat. Lain halnya pada preeklampsia, tekanan darah
pada trimester II meningkat, sedangkan kadar plasma renin, angiotensin II
dan prostasiklin menurun. Beberapa ahli menitikberatkan pada gangguan
fungsi endotel atau trofoblast dan teori ini dikenal dengan teori kerusakan
endotel (Curtin, 1999; Roeshadi, 2004).
4. Klasifikasi
Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium, penderita sindroma
HELLP dibagi ke dalam 3 kategori, yaitu :
Kelas I : jumlah platelet 50.000/mm3
Kelas II : jumlah platelet 50.000 – 100.000/mm3
Kelas III : jumlah platelet 100.000 – 150.000/mm3
Menurut Audibert et al. (1996), dikatakan sindroma HELLP parsial
apabila hanya dijumpai satu atau lebih perubahan parameter sindroma
HELLP seperti hemolisis (H), elevate liver enzymes (EL) dan low platelets
(LP); dan dikatakan sindroma HELLP murni jika dijumpai perubahan pada
ketiga parameter tersebut.
5. Gambaran Klinis
Gejala klinis sindroma HELLP merupakan gambaran adanya
vasospasme pada sistem vaskuler hepar yang menurunkan fungsi hepar. Oleh
karena itu gejala sindroma HELLP memberi gambaran gangguan fungsi
hepar yang dapat berupa : malaise, nausea, kadang-kadang disertai vomitus
dan keluhan nyeri di epigastrium kanan atas (Angsar, 1995).
Karena gejala dan tanda bervariasi maka seringkali terjadi salah
diagnosis, sehingga ada peneliti yang merekomendasikan bahwa semua
ibu hamil yang memiliki salah satu dari gejala tersebut hendaknya
dilakukan pemeriksaan apusan darah, jumlah trombosit dan enzim hepar
serta tekanan darah ibu (Angsar, 1995).
5. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium pada sindroma HELLP sangat
diperlukan karena diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil laboratorium,
walaupun sampai saat ini belum ada batasan yang tegas tentang nilai batas
untuk masing-masing parameter.
Hemolisis
Gambaran ini merupakan gambaran yang spesifik pada
sindroma HELLP. Hemoglobin bebas dalam sistem retikulo
endothelial akan berubah menjadi bilirubin. Peningkatan kadar
bilirubin menunjukkan terjadinya hemolisis. Hemolisis intravaskuler
menyebabkan sumsum tulang merespon dengan mengaktifkan proses
eritropoesis, yang mengakibatkan beredarnya eritrosit imatur.
Peningkatan kadar enzim hepar
Serum aminotransferase yaitu aspartat aminotransferase
(SGOT) dan glutamat piruvat transaminase (SGPT) meningkat pada
kerusakan sel hepar. Pada preeklampsia, SGOT dan SGPT meningkat
pada 1/5 kasus, dimana 50% diantaranya adalah peningkatan SGOT.
Pada sindroma HELLP peningkatan SGOT lebih tinggi dari SGPT
terutama pada fase akut. Peningkatan SGOT dan SGPT dapat juga
merupakan tanda terjadinya ruptur hepar.
Laktat dehidrogenase (LDH) adalah enzim katalase yang
bertanggungjawab terhadap proses oksidasi laktat menjadi piruvat.
LDH yang meningkat menggambarkan terjadinya kerusakan sel hepar.
Peningkatan kadar LDH tanpa disertai peningkatan kadar SGOT dan
SGPT menunjukkan terjadinya hemolisis.
Jumlah platelet yang rendah
Kadar platelet dapat bervariasi dan nilainya menjadi acuan
untuk dikelompokkan dalam kelas yang berbeda.
(Roeshadi, 2004)
6. Diagnosis
Kriteria diagnosis sindroma HELLP menurut Sibai adalah sebagai
berikut :(Cunningham, 1995)
Hemolisis
i) Histiosit pada apusan darah
ii) Bilirubin 1,2 mg/dl
iii) Haptoglobin plasma tidak ada
Peningkatan enzim hepar
i) SGOT 72 IU/L
ii) LDH 600 IU/L
Jumlah trombosit rendah
i) Trombosit 100.000/mm3
7. Penatalaksanaan
Mengingat kejadian sindroma HELLP pada kehamilan muda, maka
terdapat kontroversi pada penanganan sindroma HELLP. Menurut Roeshadi
(2004), prioritas utama adalah menstabilkan kondisi ibu terutama jika terjadi
gangguan pembekuan darah. Tahap berikutnya adalah melihat kesejahteraan
janin, kemudian keputusan segera apakah ada indikasi untuk dilahirkan atau
tidak.
Sebagian setuju untuk melakukan perawatan secara konservatif sampai
kematangan paru janin tercapai dalam upaya meningkatkan kualitas bayi yang
dilahirkan. Sebagian lainnya melakukan tindakan agresif untuk melakukan
terminasi secepatnya apabila gangguan fungsi hati dan koagulasi diketahui.
Beberapa peneliti menganjurkan terminasi kehamilan dengan segera tanpa
memperhitungkan usia kehamilan, mengingat besarnya risiko maternal serta
jeleknya luaran perinatal apabila kehamilan diteruskan. Namun semua peneliti
sepakat bahwa terminasi kehamilan merupakan satu-satunya terapi yang
definitif (Roeshadi, 2004).
Penanganan pertama sesuai dengan penanganan PEB. Kemudian
dilakukan evaluasi dan koreksi kelainan faktor-faktor pembekuan (Roeshadi,
2004).
Untuk perawatan konservatif dianjurkan tirah baring total dengan infus
plasma albumin 5–25%. Tujuannya untuk menurunkan hemokonsentrasi,
peningkatan jumlah trombosit dan pengurangan beberapa gejala toksemia. Jika
serviks memadai dapat dilakukan induksi oksitosin drip pada usia kehamilan
32 minggu. Apabila keadaan serviks kurang memadai, dilakukan tindakan
seksio caesarea elektif. Apabila jumlah trombosit 50.000/mm3 dilakukan
tranfusi trombosit (Roeshadi, 2004).
8. Prognosis
Penderita sindroma HELLP mempunyai kemungkinan 19-27%
untuk mendapat risiko sindrom ini pada kehamilan berikutnya dan
mempunyai risiko sampai 43% untuk mendapat pre eklampsia pada
kehamilan berikutnya. Angka morbiditas dan mortalitas pada bayi
tergantung dari keparahan penyakit ibu. Anak yang menderita sindroma
HELLP mengalami Intra Uterine Growth Retardation (IUGR) dan
sindroma kegagalan napas (Roeshadi, 2004).
C. INTRA UTERINE FETAL DEATH (IUFD)
Intra Uterine Fetal Death (IUFD) adalah kematian janin (keadaan
tidak adanya tanda-tanda kehidupan janin dalam kandungan dengan umur
kehamilan lebih dari 20 minggu atau berat badan lebih dari 500 gram (janin
sudah viable) (Bari, 2003).
a. Etiologi
Penyebab IUFD bisa dari faktor ibu, janin, atau maupun dari
plasenta.
Kemungkinan penyebab dari faktor ibu :
Kehamilan postterm
Diabetes melitus
Lupus eritematosus sistemik (SLE)
Infeksi
Hipertensi
Preeklampsia dan eklampsia
Hemoglobinopati
Umur ibu hamil yang tua
Penyakit Rh
Ruptur uteri
Sindrom antifosfolipid
Hipotensi maternal akut
Kematian maternal
Kemungkinan penyebab dari faktor janin:
IUGR (Intra Uterine Growth Retardation)
Kelainan kongenital
Kelainan genetik
Infeksi (Parvovirus B-19, CMV, Listeria)
Kemungkinan penyebab dari faktor plasenta:
Kerusakan tali pusat
Ketuban pecah dini (KPD)
Vasa previa
b. Faktor risiko
Multigravida
Umur ibu yang lanjut
Riwayat IUFD
Infertilitas ibu
Hemokonsentrasi pada ibu
Kelompok ibu dengan penyakit tertentu (seperti GBS, Ureaplasma
urealitikum)
Riwayat persalinan preterm
Obesitas
(Bari, 2003)
c. Diagnosis Anamnesis : ibu tidak merasakan gerakan janin dalam beberapa hari.
Ibu merasakan perutnya tidak bertambah besar, bahkan bertambah
kecil. Atau ibu belakangan ini merasa perutnya sering menjadi keras
dan merasakan sakit seperti mau melahirkan.
Pemeriksaan fisik
Inspeksi : tidak terlihat gerakan janin, yang biasanya dapat terlihat
pada ibu hamil yang kurus.
Palpasi :
o Tinggi fundus uteri lebih rendah dari usia kehamilan.
o Tidak teraba gerakan janin.
o Dengan palpasi yang teliti, dapat dirasakan adanya krepitasi
pada tulang kepala janin.
Auskultasi : tidak terdengar denyut jantung janin.
Pemeriksaan penunjang
Reaksi kehamilan : tes kehamilan negatif setelah beberapa minggu
janin mati dalam kandungan.
USG : tidak terlihat denyut jantung janin dan gerakan-gerakan
janin.
d. Penanganan
1. Bila telah diduga terjadi kematian janin dalam rahim, tidak perlu
terburu-buru bertindak, sebaiknya diobservasi dulu dalam 2-3 minggu
untuk mencari kepastian diagnosis. 75% pasien akan melahirkan
janinnya yang mati secara spontan dalam masa itu. Apabila setelah 2
minggu belum lahir, dapat dilakukan induksi dengan amniotomi, dan
pemberian oksitosin atau prostaglandin.
2. Bila partus belum dimulai, maka ibu harus dirawat agar dapat dilakukan
induksi partus.
(Mochtar, 1998; Sastrawinata, 2003)
e. Komplikasi
Kematian janin dalam kandungan pada masa kehamilan 3-4 minggu,
biasanya tidak membahayakan ibu. Setelah lewat 4 minggu maka
kemungkinan terjadinya kelainan darah (hipofibrinogemia) akan lebih
besar. Bila terjadi hipofibrinogemia, bahayanya adalah perdarahan
postpartum. Hal ini sering menyebabkan terjadinya DIC (Disseminated
Intravascular Coagulation) yang merupakan suatu keadaan patologis dari
sistem koagulasi dan fibrinolitik yang berhubungan dengan kematian
janin, sepsis, PEB, plasenta previa dan HELLP syndrome. Secara klinis
tanda-tanda DIC diantaranya adanya petekie atau purpura, sedangkan dari
pemeriksaan laboratorium didapatkan trombositopenia,
hipofibrinogenemia, peningkatan PT, APTT, peningkatan D-dimer, dan
fibrin split products (Hidayat, 1998).
Pada IUFD dapat terjadi hipofibrinogemia pada ibu oleh karena
terjadi degenerasi produk konsepsi sehingga terjadi peningkatan dari
agregasi trombosit, peningkatan konsumsi dari faktor koagulasi,
pengaktifan sistem fibrinolitik dan deposisi fibrin pada multiple organ
yang berakibat kegagalan organ. Dengan adanya trombositopenia dan
ketiadaan dari produk fibrin timbul gangguan hemostasis (Hidayat, 1998).
Recommended