View
158
Download
4
Category
Preview:
DESCRIPTION
fistum
Citation preview
RESPON TUMBUHAN TERHADAP CAHAYA
Dinding sel kaku yang menyelubungi suatu sel tumbuhan memiliki peran penting
dalam meregulasi potensial air dan merupakan komponen utama dalam mendukung structural
suatu tumbuhan. Tumbuhan tumbuh menetap di suatu tempat dan tidak dapat berpindah
lingkungan sesukanya seperti hewan. Tumbuhan tidak dapat berpindah, mencari
perlindungan terhadap kondisi lingkungan yang buruk seperti halnya hewan. Meskipun
tumbuhan juga harus menghindari kondisi buruk jika ingin bertahan hidup.
Perkecambahan biji dan keberhasilan perkecambahan dipengaruhi oleh kondisi
lingkungannya. Banyak biji tidak akan berkecambah jika terpendam terlalu dalam atau jika
berada di bawah (tertutup) kanopi hutan. Perkecambahan yang terjadi di bawah kanopi
berakhir pada pemanjangan batang hingga mencapai cahaya. Gulma yang tumbuh di tepi
lading gandum akan berukuran lebih pendek jika dibandingkan dengan sesamanya yang
berkompetisi dengan gandum yang terletak di tengah ladang. Tumbuhan berbunga pada
waktu yang berbeda, pembentukan bunga selama musim tertentu pada tiap spesies
dikarenakan menunggu beberapa isyarat dari lingkungan. Hal ini dan pola respon tumbuhan
yang sama dengan jelas memiliki keuntungan bertahan (ketahanan) yang signifikan. Mereka
membuat tumbuhan mampu mengolah sumber yang tersedia, bersaing dengan spesies lain
secara efektif, atau mengantisipasi perubahan lingkungan yang buruk.
Tetapi bagaimana biji dan perkecambahan dapat mengetahui dimana mereka?
Bagaimana tumbuhan memperkirakan waktu perubahan musim? Sebagaimana telah dibahas
pada Bab 15, jawaban untuk pertanyaan ini dan banyak pertanyaaan terkait keberhasilan
tumbuhan bertahan hidup mungkin dapat diketahui dari kapasitas mereka mendeteksi dan
menginterpretasikan variasi sinyal lingkungan. Salah satu sinyal lingkungan adalah cahaya.
Kita mengetahui bahhwa fotosinttesis mungkin terjadi hanya jika ada cahaya tetapi
fotosintesis hanyalah satu contoh kapasitas tumbuhan membedakan antara terang dan gelap.
Tumbuhan juga dapat mengetahui gradient cahaya dan mendeteksi perbedaan kecil pada
komposisi spektrumnya. Dengan cara ini, tumbuhan mampu membedakan mereka sedang
berada pada paparan matahari langsung atau di bawah bayangan tumbuhan lain, atau mampu
untuk menandai awal dan akhir suatu hari. Tumbuhan menggunakan informasi dari cahaya
dengan berbagai cara yang berbeda untuk mengontrol pertumbuhan, bentuk, dan
reproduksinya.
Pada bab ini kita:
1. Megenalkan konsep regulasi cahaya pada perkembangan tumbuhan atau fotomorfogenesis
2. Mendeskripsikan penemuan fitokrom dan tinjauan kimia dasar pada pigmen fotoreversibel
yang unik ini
3. Meninjau efek fisiologis fitokrom, menunjukkan bagaimana keterkaitannya pada semua
aspek perkembangan
4. Menunjukkan bagaimana fitokrom dapat digunakan untuk memonitor perubahan cahaya
alami lingkungan
5. Menganalisis pemahaman kita saat ini mengenai bagaimana fittokrom bekerja pada tingkat
molecular
6. Meninjau secara singkat mengenai respon tumbuhan terhadap cahaya biru dan radiasi sinar
UV
Fotomorfogenesis
Sejak cahaya merupakan satu faktor yang lebih signifikan dalam lingkungan alami,
tidak seharusnya menjadi sebuah keterkejutan bahwa respon tumbuhan terhadap cahaya,
disebut fotomorfogenesis, merupakan tema sentral pada perkembangan tumbuhan.
Ketika telah diketahui bahwa pottensial perkembangan semua organisme ditentukan
oleh gennya, kesadaran bahwa potensial pada tumbuhan sebagian besar ditentukan oleh
cahaya. Efek pencahayaan pada perkembangan tumbuhan secara konvensional telah dipilih
sebagai topic yang berbeda dari morfogenesis normal, tetapi perbedaan ini lebih sesuai
dibandingkan dengan kenyataan. Memang, signifikansi fotomorfogenesis yang sesungguhnya
dirangkumkan oleh H. Mohr dan W. Shropshire ketika mereka menulis “Perkembangan
normal pada tumbuhan tingkat tinggi adalah fotomorfogenesis” (Mohr and Sshropshire,
1983).
Bagaimana tumbuhan memperoleh dan menginterpretasikan informasi ini menjadi
sangat kritis terhadap perkembangannya? Sejak sinyal cahaya, seperti hormon, berasal dari
luar sel, kita dapat membayangkan sebuah respon rantai transduksi-persepsi sedikit analog
seperti pada respon hormon yang telah ditemukan (diketahui). Persepsi sinyal cahaya
membutuhkan sebuah pigmen yang menyerap cahaya dan secara fotokimia menjadi aktif.
Sebuah pigmen bertindak pada jalur ini disebut dengan fotoreseptor. Dengan selektif
menyerap panjang gelombang cahaya yang berbeda, fotoreseptor membaca informasi yang
terdapat pada cahaya dan menginterpretasikan informasi tersebut pada sel dan membentuk
aksi primer. Aksi primer dapat melibatkan perubahan konformasi protein sederhana, sebuah
reaksi fotokimia redoks, atau beberapa bentuk lain dari transduksi sinyal. Apapun kejadian
primer di alam, penyerapan cahaya oleh set fotoreseptor menjadi proses kimiacascade,
disebut rantai sinyal transduksi, pada akhirnya mengarahkan pada respon perkembangan.
Kebanyakan respon fotomorfogenik pada tumbuhan tingkat tinggi muncul di bawah
control satu dari tiga fotoreseptor pentransduksi sinyal yakni (1) fitokrom, yang umumnya
menyerap daerah sperktum cahaya merah (R) dan far-red (Fr); (2) reseptor biru dan penyerap
UV-A, kriptokrom; dan (3) satu atau lebih reseptor UV-B.
Fitokrom
Saat ini telah diketahui bahwa kromoprotein yang sering ditemukan yang disebut
fitokrom memiliki peran penting dalam hampir semua tahap perkembangan tumbuhan.
Keberadaannya ditemukan pada pengamatan fisiologis sederhana. Perkecambahan biji dan
pertumbuhan pemanjangan perkecambahan menunjukkan respon fotoreversibel pada cahaya
merah dan far-red. Karena keunikan karakter fotoreversibel, system pigmen yang diajukan
(diperkirakan) dihadapkan dengan skeptisme dalam komunitas ilmu pengetahuan.
Telah lama diketahui bahwa cahaya dapat mempengaruhi perkembangan tumbuhan
dibawah kondisi yang tidak mempengaruhi tingkat fotosintesis secara signifikan. Perbedaan
spesifik pada pertumbuhan dan bentuk tumbuhan dalam keadaan gelap telah menarik
perhatian ahli botani dan fisiologi selama berabad-abad. Namun, hanya sedikit kemajuan
yang diperoleh dalam mengetahui fenomena ini hingga awal 1950an. Pada saat itu, H. A.
Bortwick, seorang ahli botani dan S. B. Hendricks, seorang ahli kimia fisik, bersama
beberapa koleganya, mulai meneliti spectrum aksi (lihat Bab 7) yang secara luas
mempengaruhi fenomena seperti fotosensitif perkecambahan biji selada, pemanjangan batang
ercis, dan control fotoperiodik perbungaan. Satu penelitian menarik adalah adanya kesamaan
dari spectrum aksi, dengan puncak pada cahaya merah dan far-red. Saat ini, keseluruhan
kejadian luas ini berbagi fotoreseptor yang sama. Lebih jelas lagi, bagaimanapun, adalah
penemuan fotoreversibilitas – sebuah respon yang dipengaruhi oleh cahaya perlakuan merah
yang diikuti dengan cahaya far-red. Fotoreversibilitas yang jelas seperti ini belum pernah
dideskripsikan di biologi.
Data yang ditampilkan pada tabel 18.1 mengilustrasikan apa yang dimaksud dengan
fotoreversibilitas. Pada penelitian ini, sejumlah biji dibiarkan menyerap air dalam keadaan
gelap selama 3 jam sebelum dipaparkan pada berbagai perlakuan pencahayaan langsung.
Perlakuan cahaya merah berkisar antara 1 menit (R; 660 nm) atau 4 menit cahaya far-red
(FR; λ = 700 nm) pada taraf yang rendah, atau pergantian R dan FR secara cepat.
Berdasarkan pencahayaan yang dilakukan, biji dikembalikan ke tempat gelap selama 48 jam,
setelah jumlah biji yang berkecambah dihitung. Perhatikan bahwa Rmemacu perkecambahan
hingga 88% tetapi R yang diikuti FR (cahay merah diikuti far-red) mendukung
perkecambahan pada keadaan gelap (22%). Ketika perlakuan R dan FR diberikan bergantian,
persentasi perkecambahan tergantung pada cahaya mana yang terakhir dipaparkan, R atau
FR). Seperti yang diperkirakan bahwa perkecambahan dipengaruhi oleh pergantian cahaya
yang diberikan antara cahaya merah dan far-red.
Tabel 18.1 kontrol fotoreversibel perkecambahan. Biji selada diimbibisikan selama 3 jam sebelum perlakuan radiasi. Radiasi yang dilakukan adalah cahaya merah 1 menit, cahaya far-red 3 menit. Perkecambahan dihitung setelah 48 jam perlakuan gelap pada suhu 20˚C.
Borthwick, Hendricks, dan koleganya menemukan kesamaan fotoreversibilitas dalam
control pembungaan dan pemanjangan batang oleh R dan FR. Pengamatan ini membuat
mereka mengajukan keberadaan system pigmen, yang kemudian disebut dengan fitokrom.
Pigmen hipotetis ini dapat ditemukan dalam dua bentuk, bentuk yang menyerap cahaya
merah (Pr) dan bentuk yang menyerap cahaya far-red (Pfr). Pigmen tersebut juga dapat
bersifat fotokromik, yang berarti bahwa penyerapan cahaya dapat mengubah sifat
absorbansinya. Penyerapan cahaya merah oleh Pr dapat mengubah pigmen tersebut menjadi
bentuk penyerap cahaya far-red ketika penyerapan cahaya far-red berikutnya oleh Pfr
memicu pengubahan pigmen kembali ke bentuk penyerap warna merah (Gambar 18.1).
Berdasarkan percobaan fisiologis sederhana yang dideskripsikan pada tabel 18.1,
kelompok Beltsville mampu memperkirakan beberapa ciri pada system pigmen ini. Pertama,
karena biji dan jaringan kecambah pada keadaan gelap awalnya merespon pada cahaya
merah, bukan far-red, pigmen yang kemungkinan disintesis sebagai bentu Pr, yang
terakumulasi dalam gelap. Selebihnya, Pr lebih stabil dan mungkin secara fisiologis tidak
aktif. Kedua, karena perlakuan dengan cahaya merah menginisiasi perkecambahan dan
perkembangan lainnya, Pfr kemungkinan merupakan bentuk yang aktif. Di sisi lain, Pfr
umumnya tidak stabil dan dapat rusak atau dapat berubah menjadi Pr dalam keadaan gelap
oleh reaksi nonfotokimia yang tergantung suhu. Ketiga, karena pigmen tidak dapat terlihat
pada pertumbuhan keadaan gelap, jaringan tanpa klorofil, dapat ditemukan meskipun sedikit.
Borthwick dan Hendricks menduga lebih jauh bahwa pigmen berfungsi sebagai katalis dan
kemungkinan berwujud protein. Merupakan sebuah penghargaan atas pemikiran saintis untuk
peneliti dan kelompoknya tersebut mengingat bahwa di kemudian hari prediksi mereka
terbukti.
Gambar 18.1 sistem pigmen fotoreversibel yang umum diajukan sebagai dasar perkecambahan dan respon tumbuhan lain dalam perubahan cahaya merah dan far-red. Penyerapan cahaya merah oleh bentuk pigmen penyerap cahaya merah (Pr) mengubahnya menjadi bentuk penyerap cahaya far-red (Pfr). Pfr mengaktifkan rantai sinyal transduksi yang mengarah pada respon fisiologis.
Berdasarkan pada puncak absorbansi daerah cahaya merah pada spectrum,
diperkirakan bahwa Pr dapat berupa pigmen berwarna kebiru-biruan. Meskipun tidak ada
warna biru yang tampak pada jaringan tanpa klorofil pada batang dan koleoptil yang tumbuh
di tempat gelap, yang tetap memperlihatkan perilaku fotoreversibel dalam pertumbuhannya.
Karena keunikan karakter fotoreversibel, keberadaan fitokrom dihadapkan pada skeptisme
komunitas ilmu pengetahuan (Sage, 1992). Tidak ada prasyarat untuk suatu pigmen
fotoreversibel dalam pustaka penelitian pada tumbuhan atau hewan. Kebanyakan pendapat
yang paling diharapkan menyebutkan bahwa ada dua pigmen terpisah yang terlibat.
Secara jelas perlu diketahui penemuan fisik untuk keberadaan fitokrom dan akhirnya
untuk mengisolasi pigmen dan mengkarakterisasinya secara in vitro. Strategi yang
mengarahkan penyelesaian dari masalah ini menyebabkan karakter fotoreversibel ini kembali
dihadapkan skeptisisme. Sejak hanya fitokrom yang diketahui sebagai pigmen fotokromik
yang ada pada tumbuhan, yang seharusnya mudah dideteksi, pada perkecambahan dalam
keadaan gelap, perubahan absorbansi berhubungan dengan fotokonversi pigmen dari bentuk
satu ke bentuk lainnya. Hendricks dan koleganya memperkirakan bahwa fotokonversi Pr ke
Pfr akan disertai dnegan penurunan absorbansi cahaya merah (absorbansi maksimum Pr)
dana berhubungan pula dengan peningkatan absorbansi cahaya merah dan penurunan far-
red. Penyinaran dengan cahaya far-red dapat menyebabkan peningkatan absorbansi cahaya
merah dan penurunan pada cahaya far-red. Percobaan ini memerlukan jenis spektrofotometer
khusus, yang mampu mengukur perubahan kecil nilai absorbansi, dari sampel jaringan yang
menghamburkan cahaya. Untungnya, peralatan seperti itu sedang dikembangkan di
laboratorium Beltsville dan perlu sedikit modifikasi untuk menyesuaikan penggunaannya
dalam mendeteksi fitokrom.
Perubahan absorbansi fotoreversibel yang diperkirakan ditunjukkan pada
pertumbuhan pucuk jagung dalam keadaan gelap oleh Butler et al pada tahun 1959 (Gambar
18.2). Analisis spectrum ini yang menunjukkan secara fisik bahwa pada kenyataannya
fitokrom itu ada. Beberapa waktu kemudian, Siegelman dan Firer (1964) menggunakan
teknik purifikasi protein dan memurnikan pigmen dari kecambah sereal yang ditumbuhkan
pada kondisi gelap. Kemudian mereka dapat menunjukkan karakter fotoreversibel secara in
vitro seperti yang didapatkan pada penyerapan spectrum pada Pr dan Pfr yang telah
dimurnikan (gambar 18.3). Pada tahun berikutnya, fitokrom ditemukan dimanapun. Fitokrom
tersebut terdapat di alga, lumut (lumut daun dan lumut hati), dan kemungkinan pada semua
bagian tumbuhan yang memiliki peran penting dalam biokimia, pertumbuhan, dan
perkembangan. Saat ini juga diketahui bahwa ada banyak fitokrom, yang dikodekan oleh
sekelompok gen. Fitokrom-fitokrom yang ditunjukkan oleh Butler dan koleganya dan
merupakan yang pertama diisolasi oleh Siegelman dan Firer pada tahun 1964 diketahui
sebagai fitokrom A (PHYA). Karena fitokrom tersebut juga merupakan bentuk yang
terakumulasi pada kecambah yang mengalami etiolasi. Fisiologi dan biokimia PHYA telah
dipelajari dengan lebih ekstensif lagi selama empat decade. Signifikansi multiple fitokrom
akan dibahas kemudian. Pertama-tama, kita akan meninjau ciri fisiologi dan biokimia system
fitokrom, berdasarkan penelitian fitokrom pada perkecambahan dalam kondisi gelap.
Gambar 18.2 Kurva absorbansi pucuk jagung berdasarkan penyinaran cahaya merah dan far-red. Perhatikan bahwa kurva ini menunjukkan absorbansi keseluruhan jaringan, tidak hanya pigmen. Perhatikan juga bahwa konversi pigmen dari Pfr (garis putus-putus) ke Pr (garis lurus) menyebabkan peningkatan absorbansi cahaya merah dan penurunan daerah spectrum cahaya far-red. Perbedaan efektif spectrum menunjukkan penyerapan spectrum bentuk Pr (dari W. Butler et al Proceeding of The National Academy of Sciences USA 45:1703-1708, 1959. Dicetak ulang dengan ijin)
Gambar 18.3 Spektrum penyerapan fitokrom yang dimurnikan. Perhatikan bahwa perbedaan penyerapan daerah biru pada spektrum sebagaimana daerah merah/far-red. Beberapa efek cahaya biru dimediasi oleh fitokrom, tetapi fotokonversi oleh cahaya merah mencapai 50-100 kali lebih efektif dibandingkan biru. Karena bentuk keduanya menyerap cahaya setara dengan daerah hijau (500-550 nm) cahaya hijau tidak mengubah keadaan pigmen dan dapat dgunakan sebagai cahaya yang aman.
Fitokrom pada Perkecambahan dalam Gelap
Akumulasi fitokrom dalam bentuk Pr pada perkecambahan dalam kondisi gelap,
adalah stabil. Sekali dipaparkan pada cahaya dan dikonbersikan pada Pfr, fitokrom
mengalami transformasi yang menyebabkan hilangnya Pfr dan fitokrom total.
Seperti yang telah diperkirakan, fitokrom disintesis dalam bentuk Pr yang menyerap
warna merah, yang stabil dan terakumulasi pada biji dan kecambah dalam kondisi gelap.
Kecambah yang mengalami etiolasi, telah menjadi sumber yang disukai dalam penelitian
fitokrom sejak awal karena dua alasan. Pertama, kecambah yang mengalami etiolasi
mengakumulasi sejumlah besar pigmen. Kedua, ketidakadaan klorofil menyebabkan
kemungkinan yang lebih besar dalam mengukur fitokrom secara langsung pada jaringan
dengan spektrofotometer yang diadaptasi untuk digunakan dengan optik rapat, bahan yang
menghamburkan cahaya. Dengan cara ini, perubahan jumlah total fitokrom dan proporsi
relative Pr dan Pfr dapat diamati bersamaan dengan kontol penyinaran. Penelitian secara in
vivo ini telah mengkonfirmasi banyak prediksi awal.
Gambar 18.4 Tipe transformasi fitokrom pada jaringan kecambah yang mengalami etiolasi. Jaringan pada kondisi gelap dipaparkan pada cahaya merah dalam waktu pendek kemudian diamati menggunakan spektrofotometer untuk menghitung total pigmen dan Pfr pada periode gelap. Pr ddihitung sebagai pembanding.
Pada perkecambahan dalam kondisi gelap, paparan gelombang cahaya merah yang
singkat mengubah Pr menjadi Pfr. Gelombang cahaya far-red langsung mengikuti perlakuan
paparan cahaya merah dan mengubah pigmen kembali ke bentuk Pr. Cahaya far-red
meniadakan efek cahaya merah dan membatalkan respon fisiologis. Hal ini menunjukkan
bahwa Pfr, setidaknya pada perkecambahan kondisi gelap, relative tidak stabil dan jika tidak
dihilangkan secara fitokimia, konsentrasinya akan berkurang dalam keadaan gelap selama
kurang lebih 1-1,5 jam (Gambar 18.4). Kehilangan Pfr bersamaan dengan penurunan jumlah
total fitokrom. Kejadian kinetic ini dapat dijelaskan oleh fakta bahwa kedua bentuk pigmen
merupakan subjek degradasi kimia yang ireversibel (Gambar 18.5). Pr terakumulasi pada
keadaan gelap hingga tingkat sintesisnya sesuai dengan tingkat degradasi Pr. Berdasarkan
perlakuan cahaya merah yang mnegubah Pr menjadi Pfr, kandungan total fitokrom menurun
karena tingkat degradasi Pfr mencapai 100 kali lebih besar dibandingkan dengan tingkat
degradasi Pr.
Gambar 18.5 sistem fitokrom. Pigmen diisintesis secara fisiologis dalam bentuk inaktif yakni bentuk penyerap merah (Pr), yang terakumulasi pada perkecambahan dalam keadaan gelap. Cahaya merah (660 nm) mengatur fototransformasi menajdi bentuk penyerap far-red (Pfr). Penyerapan cahaya far-red (735 nm) mengembalikan pigmen ke bentuk Pr. Pfr, bentuk aktif memasuki suatu reaksi yang tidak diketahui (X) untuk memberikan respon. Pr’ dan Pfr’ mewakili masing-masing produk degradasi Pr dan Pfr yang tidak aktif.
Ciri menarik lain pada gambar 18.4 merupakan peningkatan Pr. Awalnya, dipercaya
untuk menunjukkan reversi gelap pigmen dari Pfr ke Pr, ciri ini diketahui secara luas
merupaka artefak dari metode spektrofotometer untuk mengukur fitokrom. Kedua bentuk
pigmen menunjukkan spectrum penyerapan cahaya yang tumpang tindih (Gambar 18.3).
Karena dua spectrum tersebut tumpang tindih, tidak mungkin mengubah keseluruhan pigmen
secara 100% ke bentuk lainnya, bahkan ketika menggunakan cahaya merah ataufar-
red “murni”. Bahkan, radiasi dengan cahaya tampak pada kadar ketetapan yang cukup
mendukung fotoekuilibrium, ketika terdapat kedua bentuk Pr dan Pfr. Fotoekuilibrium ()
didefinisikan sebagai:
dimana Ptot merupakan total fitokrom atau jumlah Pr dan Pfr. Fotoekuilibrium yang
ditetapkan oleh cahaya merah (660 nm) adalah 0,8 (Tabel 18.2). Oleh karena itu, bahkan
dengan cahaya merah “murni” dengan panjang gelombang 660 nm, tidak mungkin mengubah
100% pigmen tersebut menjadi Pfr. Hal ini dikarenakan Pfr juga menyerap, meskipun kurang
efisien dibandingkan dengan Pr, cahaya dengan panjang gelombang 660 nm dan, hingga
sekitar 20% Pfr melalui fototransformasi berubah kembali menjadi Pr. Dengan cara yang
sama, Pr juga menyerap sedikit cahaya far-red (735 nm), sehingga cahaya far-red mengubah
sebagian Pr menjadi Pfr. Pr yang muncul kembali pada gambar 18.4 merupakan tahapan yang
tidak terungkap, karena keanehan pada system pengukuran, sekitar 20% yang tidak
terkonversi menjadi Pfr oleh gelombang cahaya merah ketika keadaan nol. Penting untuk
diingat bahwa fotoekuilibrium, entah dibawah keadaan pencahayaan merah, far-red atau
campuran keduanya (misal cahaya putih), merupakan proses dinamis yang mengikutsertakan
siklus antara Pr dan Pfr.
Tabel 18.2 fotoekuilibrium fitokrom secara umum (ɸ) terdiri dari cahaya merah, biru, hijau dan far-red
Cahaya λ (nm) ɸ
Biru
Merah
Far-red
Far-red
450
660
720
756
0,4
0,8
0,02
0,01
Pehatikan bahwa daerah hijau pada spectrum (540 nm) terdapat sedikit atau tidak ada
penyerapan oleh berbagai fitokrom (Gambar 18.3). Oleh karena itu, cahaya hijau digunakan
sebagai cahaya yang aman untuk mempelajari fitokrom karena tidak menyebabkan konversi
fitokrom yang signifikan. Selanjutnya pada bab ini, kita akan melihat bahwa beberapa respon
fitokrom mungkin disebabkan cahaya aman yang tradisional.
Komplikasi lain yang menarik adalah kehadiran beberapa senyawa antara dalam
waktu singkat dalam fototransformasi antara Pr dan Pfr (Gambar 18.6). Pada suhu ruang,
senyawa antara trsebut memiliki rentangan waktu selama nanodetik hingga milidetik. Pada
suhu rendah, senyawa antara tersebut lebih stabil dan dapat diidentifikasi melalui spectrum
penyerapannya. Fotoeksitasi Pr (menjadi Pr*) diikuti oleh pemulihan dalam kondisi gelap
melalui tiga senyawa antara menjadi Pfr. Peran senyawa antara tersebut, di luar kontribusi
untuk memahami Fotokimia, masih tidak jelas. Bagaimanapun, ketika siklus pigmen berada
di bawah penyinaran kontinyu akan ada sedikit tetapi dalam keadaan stabil untuk masing-
masing senyawa antara terebut. Selebihnya, pemulihan antara senyawa antara tersebut
merupakan proses termal. Karena pemulihan termal berikatan lebih lambat dibandingkan
dengan eksitasi fotokimia Pr, dimungkinkan bahwa beberapa senyawa antara terakumulasi
pada tingkat signifikan secara fisiologis. Beberapa senyawa antara juga fotoreaktif dan
diyakini memiliki peran penting yang signifikan pada fenomena yang dimediasi fitokrom –
utamanya dibawah radiasi yang diperpanjang.
Gambar 18.6 Senyawa antara fotokimia pada fotokonversi fitokrom. Jangka waktu keberadaan senyawa antara diukur dalam milidetik, tetapi akan ada kedaan stabil pada konsentrasi tertentu untuk masing-masing senyawa antara.
Kimia Fitokrom
Fitokrom merupakan kromoprotein, terdiri dari kromofor dan apoprotein, keduanya,
kromofor dan bagian protein mengalami perubahan konformasi selama konversi danri Pr
dan Pfr.
Fitokrom merupakan kromoprotein kebiru-biruan dengan penyerapan maksimal 667
nm untuk Pr dan 730 nm untuk Pfr. Ciri fotokimia unik ini berasal dari interaksi kompleks
antara kromofor dan apoprotein. Kromofornya merupakan tetrapirol rantai terbuka yang
strukturnya mirip dengan fikosianin (Gambar 18.7). Perbedaannya dengan fikosianin terletak
pada substitusi kelompok –CH=CH2 menjadi –CH2-CH2 pada cincin D. Cincin A pada
kromofor terikat secara kovalen pada apoprotein melalui sebuah ikatan thioether pada residu
sistein.
Gambar 18.7 Kemungkinan struktur kromofor fitokrom dan ikatannya dengan apoprotein. Kromofor berikatan kovalen dengan protein pada sistein-321 melalui ikatan thioether. Pr terlihat. Fotokonversi antara Pr dan Pfr melibatkan isomerasi-cis pada C-15, C-16 jembatan methine.
Fitokrom diyakini terdapat secara in vivo sebagai dimer dengan satu kromofor per
monomer. Estimasi kelompok molecular monomer sangat bervariasi, tergantung pada tingkat
kesulitan dalam mengisolasi protein dalam bentuk tidak terdegradasi. Ditemukan bahwa
ekstrak kasar pada semua tumbuhan mengandung protease Pr spesifik yang memecah protein
menajdi beberapa fragmen. Isolasi utuh protein dapat dioptimalkan dengan mengkonversi
terlebih dahulu pigmen menjadi bentuk Pfr, menambahkan inhibitor protese dan berkerja
dengan cepat pada kondisi dingin (Viestra dan Quail, 1983). Sejumlah molecular monomer
berkisar pada 120 kDa hingga 127 kDa (pada jagung).
Kelompok molecular fitokrom oat, yang telah diteliti dengan sangat ekstensif, adalah
124 kDa. Seuntai polipeptida yang mengandung 1128 asam amino telah diketahui
berdasarkan analisis sekuen nukleotida DNA. Kromofor yang berikatan pada sistein-321,
bagian dari sekuen asam amino pada ujung akhir NH2 protein (Gambar 18.7). Data kimia
mengindikasikan bahwa kromofor terletak di dalam ruang protein, yang melindungi kromofor
dari lingkungan cairan eksternal. Ketertarikan saat ini menghasilkan penelitian mengenai
persebaran asam amino hidrofilik dan hiddrofobik pada protein, yang disebut dengan
ciri hydopathy. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pigmen tersebut sangat
berhubungan dengan membran sel. Bagaimanapun, ciri hydropathy pada fitokrom
menunjukkan bahwa terdapat protein hidrofilik, yang lebih konsisten dengan protein globular
dibandingkan dengan protein membrane intrinsic.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, secara umum disepakati bahwa Pr tidak
aktif secara biologis dan pembentukan Pfr merupakan bentuk aktif dalam respon fisiologis.
Pertanyaan yang muncul mengenai perbedaan structural bentuk Pr dan Pfr. Namun, kepastian
di alam terkait fotokonversi antara kedua bentuk tersebut belum jelas, baik kromofor maupun
apoprotein diyakini mengalami perubahan konformasi. Prinsip perbedaan antara kromofor Pr
dan Pfr diketahui adanya isomerisasi cis-trans pada jembatan methine antara cincin C dan D
(Rudiger, 1986). Penyerapan cahaya merah menyediakan energy yang dibutuhkan untuk
mengatasi energy aktivasi yang tinggi untuk rotasi pada ikatan rangkap, yang tidak dicapai
secara normal pada suhu kamar.
Beberapa bukti menunjukkan bahwa protein juga mengalami perubahan konformasi.
Di sisi lain, pemutusan 6 kDa dan 4 kDa frgamen dari ujung terminal NH2polipeptida secara
enzimatik (Gambar 18.8) menginduksi beberapa perubahan karakteristik molekulnya.
Diantara perubahan tersebut adalah pergantian penyerapan maksimum Pfr sebanyak 8 nm,
penurunan secara kuantum pada fotokonversi Pr menjadi Pfr.tampaknya, ujung fragmen NH2
secara structural merupakan daerah penting yang mempengaruhi ikatan kromofor Pfr dengan
protein. Daerah ini lebih rentan menjadi tempat pemutusan proteolitik dan lebih mudah
berikatan dengan antibody ketika pigmen dalam bentuk Pr dibandingkan ketika dalam bentuk
Pfr. Di sisi lain, fragmen 55 kDa pada ujung akhir karboksi lebih rentan terhadap serangan
enzim proteolitik saat pigmen dalam bentuk Pfr. Pengamatan ini dapat dijelaskan dengan
sangat baik dengan menganggap ada perubahan induksi fotokimia pada konformasi protein.
Apapun perbedaan konformasi antara Pr dan Pfr, tidak dapat diperbesar lagi mengingat tidak
ada perbedaan terdeteksi anata kedua bentuk tersebut melalui pengukuran normal yang
digunakan untuk membedakan antar proteinnya. Pengukuran tersebut termassuk pula
sedimen Pr dan Pfr yang terbentuk saat sentrifugasi (koefisien sedimentasi) atau perpindahan
muatan listrik (mobilitas elektroforesis). Bagaimana perubahan ini mengubah konformasi
protein yang menyebabkan signifikansi aksi biologisnya masih harus dijelaskan.
Gambar 18.8 Sebuah skema yang menunjukkan alignment peta 124-kDa polipeptida fitokrom Avena dengan fitokrom sekuens. Apoprotein fitokrom ditunjukkan sebagai 124-kDa polipeptida (pp). Sekuen asam amino yang mengikat kromofor terletak di dekat domain tengah 64 asam amino. Domain terminal pendek N dan 55 domain terminal-kerboksi 55 asam amino ditampilkan.
Efek Fisiologis Fitokrom
Setidaknya tiga jenis tanggapan fitokrom diketahui, tergantung pada sejauh mana
persyaratan yang diperlukan. tanggapan klasik yang rendah termasuk berbagai fenomena
fisiologis dan perkembangan dari potensial membran melalui perkembangan perkecambahan
dan pembungaan. Reaksi radiasi nonfotoreversibel tinggi juga dimediasi oleh fitokrom.
Efek yang dimediasi fitokrom dikelompokkan dalam tiga kategori berdasarkan
kebutuhan energinya (Gambar 18.9). Merah klasikak, far-red, respon fotoreversiber
ditemukan oleh Hendricks dan Borthwick dan koleganya dikenal sebagai respon rendah
(LFRs). Kebutuhan foton untuk LFRs berada pada rentangan cahaya merah 10 -1 hingga 10-
2 μmol m-2. Respon sangat rendah (VLFRs), seperti namanya, diinduksi oleh semakin
sedikitnya tingkat pencahayaan pada tingkatan cahaya merah 10-6 hingga 10-8 μmol m-2.
Reaksi penyinaran tinggi (HIRs) membutuhkan radiasi kontinyu, biasanya dengan cahaya FR
atau biru, selama beberapa jam atau lebih dan tergantung pada tingkat pencahayaannya.
Respon Lambat Fitokrom
Perkecambahan Biji
Perkecambahan pada kebanyakan biji dipengaruhi oleh cahaya seperti terlihat pada
perkecambahan yang rata (seragam) di area penanaman atau gangguan alam. Biji yang
dirangsang untuk berkecambah oleh cahaya, yang mungkin mayoritas mencakup spesies
nonpertanian, dikenal sebagai fotoblastik positif. Di mana perkecambahan yang dihambat
oleh cahaya disebut fotoblastik negatif. Beberapa benih, sebagian besar merupakan spesies
pertanian penting yang telah dipilih karena tingkat perkecambahannya yang tinggi dan tidak
dipengaruhi oleh cahaya.
Biji, seperti selada (Lactuca sativa), mungkin membutuhkan hanya pendedahan singkat
pada cahaya, diperkirakan sekitar 1-2 menit, sementara lainnya membutuhkan sekitar
beberapa jam atau bahkan hari yang konstan atau cahaya berselang (Lythrum salicaria,
Epilobium cephalostigma). Pada semua kasus, peran pigmen muncul sebagai fitokrom. Tanah
melemahkan cahaya dengan sangat cepat; 1 mm tebal tanah, sebagai contoh, melewatkan
kurang dari 1% cahaya dan hanya panjang gelombang yang lebih dari 700 nm. Sehingga
kebanyakan biji yang membutuhkan cahaya tidak perlu ditanam sangat dalam untuk
mengetahui perkecambahannya. Bagaimanapun, beberapa biji (Sinapis arvensis)
membutuhkan sangat sedikit Pfr (ɸ=0,05) untuk menstimulasi perkecambahan dan mungkin
menghambat perkecambahan jika ditanam dalam 8 mm tanah.
Penekanan perkecambahan pada biji fotoblastik negative, seperti oat liar (Avena fatua),
umumnya membutuhkan pendedahan lebih lama pada tingkat yang lebih tinggi. Cahaya far-
red dan biru yang sangat efektiif, meskipun pada beberapa kasus (Phacelia tenacetifolia)
cahaya merah juga efektif. Fotoinhibisi perkecambahan biji muncul sebagai contoh pada
reaksi radiasi tinggi.
Perkembangan Perkecambahan
Sebagaimana diketahui anak-anak secara virtual, tumbuhan yang tumbuh di tempat gelap
memiliki penampakan yang berbeda (Gambar 18.10). detilnya dapat bervariasi antara spesies
satu dan lainnya, tetapi umumnya perkecambahan batang dikotil lebih panjang dan lemah,
biasanya membentuk kurva yang jelas di bawah daun. Daunnya mengalami keterlambatan
perkembangan, tetap kecil dan menutup, hampir sama seperti keadaan seperti embrio. Tidak
tampak klorofil dan warnanya tampak putih atau kuning. Daun rumput-rumputan tetap
memanjang tetapi masih dalam keadaan menggulung. Internodus pertama atau mesokotil,
pada perkecambahan rumput memanjang berlebihan dalam gelap dan koleoptil, yang
merupakan modifikasi daun, tumbuh dengan lambat. Kondisi umum ini disebabkan tumbuhan
tersebut tumbuh pada kondisi gelap dan disebut etiolasi. Ciri lain etiolasi adalah
terhambatnya perkembangan kloroplas dan rendahnya aktivitas banyak enzim.
Pada perkecambahan dikotil, pemanjangan hipokotil, pembukaan kait plumula, dan
pelebaran daun mendapat perhatian lebih. Dengan radiasi cahaya putih, tingkat pertumbuhan
hipokotil lambat, kait hipokotil lurus, dan pemanjangan epikotil semakin cepat. Cahaya juga
menstimulasi daun untuk membuka, melebar, dan melengkapi perkembangannya.
Perkembangan kloroplas berjalan dan daun menjadi hijau karena akumulasi klorofil.
Gambar 18.10 fotomorfogenesis pada perkecambahan kacang hijau (Phaseolus vulgaris). Perkecambahan di kiri ditumbuhkan pada keadaan cahaya normal. Perkecambahan di kanan ditumbuhkan di tampat gelap. Perkecambahan di tengah dipaparkan pada cahaya merah lemah selama 5 menit setiap harinya.
Signifikansi ekologis respon tersebut tidak sulit untuk disusun. Ingatlah bahwa tumbuhan
merupakan organisme fotosintetik secara fundamental. Sebuah biji memiliki jaringan
nutritive yang terbatas sehingga setidaknya harus mencukupi dalam mendukung
perkecambahan hingga tumbuhan tersebut berkecambah dan mampu untuk melakukan
fotosintesis dan mensuplai energy dan karbon. Dalam kondisi gelap, cadangan makanan biji
digunakan untuk pemanjangan sumbu agar memaksimalkan kemungkinan plumula, daun
muda, mencapai cahaya dan dapat melakukan fotosintesis sebelum cadangan makanannya
habis. Sekali terpapar cahaya, sisa cadangan makanan mungkin digunakan untuk
pembentukan jaringan fotosintetik, dan lainnya. Karena itu, peran fitokrom dalam
perkembangan perkecambahan muncul sebagai penyampai informasi pada kecambah terkait
posisinya terhadap permukaan tanah.
Sebagai tambahan pada perubahan morfologis yang tampak pada perkecambahan etiolasi,
fitokrom juga mengatur variasi perubahan lain pada tingkat morfologi, biokimia, dan
biofisika (Tabel 18.3).
Tabel 18.3 Pilihan contoh terkait respon yang dimediasi fitokrom
Induksi bunga fotoperiodik
Pergerakan daun niktinasti
Seksitivitas fototrofik
Perkecambahan biji
Pemanjangan batang
Pembukaan kait plumula
Ekspansi kotiledon dan daun
Perkembangan kloroplas
Sintesis klorofi; dan karotenoid
Sintesis antosianin
Aktivasi enzim
Sintesis protein
Transkripsi mRNA
Perpindahan fototaksis kloroplas
Potensial permukaan (ujung akar)
Potensial transmembran
Penting dimengerti bahwa penelitian LFRs dengan pengontrolan kondisi laboratorium
yang tepat dimana tempat tersebut merupakan yang paling jelas terbukti. Semua manipulasi
yang dilakukan di abwah pencahayaan cahaya hijau, yang dianggap fotokimia dalam keadaan
tidak aktif. Radiasi yang dilakukan dibatasi hanya pada cahaya merah dan far-red, yang
berlawanan dengan cahaya putih. Akhirnya, penyinaran itu sendiri terjadi singkat (sekitar 3
menit) dan tumbuhannya dikembalikan pada kondisi gelap untuk respon perkembangannya.
LFRs yang diinduksi dengan menyeimbangkan system dengan tingkat maksimum Pfr dalam
waktu yang singkat. Pfr aktif kemudian menyebabkan respon fisiologis, fotoresponsibilitas
cahaya merah dan far-red dengan penyinaran singkat, karakteristik LFRs, merupakan kunci
pengujian terhadap keterlibatan fitokrom dalam aksi fisiologis. Fitokrom hanyalah system
fotobiologis yang diketahui membuktikan resiprositas antara durasi radiasi dan tingkat
penyinarannya, tetapi hanya sampai pada tingkatan yang menunjukkan fotoekuilibrium antara
Pr dan Pfr. LFRs tidak bergantung pada tingkat fotoekuilibrium antara Pr dan Pfr yang
ditunjukkan.
Pada kebanyakan percobaan, tingkat respon dengan FR, baik sendiri maupun pada radiasi
akhir dengan sekuen R, umumnya lebih tinggi dibandingkan control kondisi gelap. Sehingga
dapat dikatakan bahwa, FR tidak pernah menunjukkan fotoreversibilitas lengkap. Ini dapat
dijelaskan dengan terjadinya tumpang tindih pada penyerapan spectrum Pr dan Pfr (Gambar
18.3). Karena penyerapan spectrum Pr dan pfr tumpang tindih pada daerah far-red, Pr akan
menyerap sejumlah keci FR. Sehingga, bahkan sumber FR murni akan mengubah sejumlah
kecil, sekitar 1-3%, Pr menjadi Pfr. Jumlah Pfr biasanya cukup untuk menginisiasi respon
pada tingkat yang rendah.
Potensial Bioelekrik dan Distribusi Ion
Waktu respon untuk efek perkembangan yang dimediasi fitokrom dihitung dalam jam atau
bahkan hari, tetapi ada beberapa respon dimana responnya dihitung dalam detik atau menit.
Kebanyakan, tapi tidak semua, respon cepat yang munculgaruhi berhubungan dengan
aktivitas membrane seperti potensial bioelektrik atau fluks ion.
Satu dari indikasi paling awal yang menunjukkan bahwa fitokrom mempengaruhi sifat
kelistrikan suatu jaringan merupakan sebuah efek yang ingin diketahui merupakan tugas
permukaan ujung akar yang dilaporkan oleh T. Tanada (1968). Dia mengamati akar
tumbuhan barley yang ditumbuhkan dalam kondisi gelap akan mengapung bebas pada beaker
glass yang memiliki muatan negative. Setelah penyinaran singkat dalam 30 detik akan
menempel di permukaan. Perlakuan cahaya far-red yang cukup akan melepaskan ujung akar
dari gelas. M. Jaffe mendemonstrasikan bahwa adhesi dan pelepasan berhubungan dengan
perubahan yang menginduksi fitokrom pada potensial permukaan ujung akar (Jaffe, 1968).
Perlakuan cahaya merah yang singkat menghasilkan potensial negative pada permukaan,
sehingga menyebabkan ujung akarnya terlepas. Efek yang serupa karena cahaya merah
dan far-red terhadap potensial permukaan koleoptil Avena telah didemonstrasikan oleh I.
Newman (1981.
Potensial transmembran yang diatur fitokrom telah dilaporkan pada berbagai jaringan dari
beberapa laboratorium. Hasilnya tidak sepenuhnya konsisten, tetapi pada banyak kasus,
cahaya merah menginduksi depolarisasi membrane antara 5-10 detik mengikuti perlakuan
cahaya merah (Gambar 18.11). Perlakuan lanjutan dengan far-redmenyebabkan
pengembalian rendah pada polaritas normal atau hiperpolarisasi rendah. Pada saat ini, tidak
diketahui efek yang disebabkan oleh aksi fitokrom secara langsung pada membrane atau
terkait keterlibatan second messenger.
Gambar 18.11 Grafik rekaman potensial membrane 6 koleoptil sel parenkim oat (Avena) selama penyinaran cahaya hijau, merah, dan far-red. Angka menunjukkan nilai potensial masing-masing perlakuan.
Salah satu penelitian tertua dan terdetail mengenai efek fitokrom pada membrane adalah
rotasi kloroplas pada Mougeotia. Setiap sel pada filament alga hijau ini memiliki kloroplas
pipih tunggal yang mampu berotasi sepanjang sumbunya sehingga muka maupun sisinya
dapat menghadap pada cahaya yang datang (Gambar 18.12). perputaran ulang kloroplas
diipengaruhi oleh fitokrom: cahaya merah paling efektif sedangkan far-red dapat
dikembalikan (kembali asal). Pada seri penelitian yang elegan, W. Haupt menggunakan
cahaya polarisasi pesawat dan mickrobeam cahaya merah dan far-red untuk meradiasi lokasi
spesifik pada sel. Dia menemukan bahwa peran fitokrom dalam rotasi kloroplas terletak pada
kloroplas itu sendiri dan bukan pada kortikal sitoplasma, yakni daerah sitoplasma yang
berada di dalam membrane plasma. Haupt juga menemukan bahwa perputaran balik kloroplas
akibat cahaya polarisasi pesawat tergantung pada arah polarisasi sepanjang sumbunya.
Cahaya merah yang dipolarisasi, sebagai contoh, sangat efektif ketika vector listriknya
parallel terhadap sumbu memanjang selnya. Far-red juga sangat efektif dalam membalikkan
efek cahaya merh ketika dipolarisasikan pada sudut yang tepat. Hasil ini menunjukkan bahwa
molekul fitokrom menganggap orientasi sitoplasma saat ini dan orientasi Pfr adalah normal
terhadap orientasi Pr.
Sebelum fitokrom berpindah dari membrane plasma ke kloroplas, yang tidak mungkin,
terdapat rantai sinyal yang menghubungkan keduanya. Satu kemungkinan dalah kalsium
berfungsi sebgaai second messenger pada fitokrom, mungkin berinteraksi dengan sitoskeleton
untuk mengontrol orientasi kloroplas. Pengambilan Ca2+ ke dalam sel Mougeotia disstimulasi
oleh cahaya merah. Sebagai tambahan, aplikasi kalsium ionophore A23187 pada posisi
tertentu di sel akan menstimulasi perputaran balik kloroplas, tetapi hanya jika terdapat
kalsium di medium suspensinya (Serlin dan Roux, 1984). Aplikasi yang serupa menggunakan
valinomisin, ionophore K+, tidak menunjukkan pengaruh. Diketahui bahwa Pfr menstimulasi
pengambilan kalsium oleh dinding sel, yang menyebabkan perputaran balik kloroplas.
Perubahan potensial bioelektik merupakan fenomena elektrokimia, berhubungan dengan
perpindahan ion melalui membrane plasma. Pada kasus ujung akar kacang hijau, sebagai
contoh, Jaffe menemukan bahwa induksi cahaya merah positif meningkatkan potensial
permukaan bersamaan dengan penembusan ion hydrogen. Korelasi antara fitoktom dan
perpindahan ion telah didemonstrasikan melalui niktinasti atau pergerakan istirahat daun.
Pergerakan ini akan dibahas lebih lanjut pada Bab 19, tetapi karena interaksinya dengan
fitokrom dan pergerakan ion maka diskusi singkat pada bab ini diperlukan. Pasangan daun
atau pucuk daun pada beberapa tumbuhan umumnya horizontal selama siang hari tetapi akan
menekuk jika keadaan gelap. Tumbuhan yang menunjukkan tingkah laku ini memiliki daerah
bonggol, yang disebut pulvinus, pada bagian basal tangkai daun. Pulvinus mengatur
pergerakan daun dengan mengubah bentuknya sebagai akibat perbedaan volume sel pada
organ bagian atas dan bawah. Perubahan bentuk dan volume pada motor sel secara osmosis
merupakan respon resistribusi zat terlarut, biasanya K+, Cl+, dan malat. Ruth Satter dan
rekannya telah mendokumentasikan fitokrom yang mengontrol fluks K+ pada organ ini (lihat
Bab 19). Diketahui, bagaimanapun, bahwa fitokrom tidak secara langsung mengontrol K+.
K+ berpindah melalui gerbang kanal elektrik K+ yang dibuka oleh fitokrom akibat
penembusan H+. peran fitokrom mungkin untuk mengaktifkan membrane plasma yang
mengikmat pompa proton ATPase yang mendepolarisasi membrane untuk membuka kanal
K+. ada banyak indikasi bahwa CA2+ juga mungkin terlibat sebagai second messenger pada
pergerakan niktinasti. Memang, CA2+/kalmodulin telah diketahui sebagai mediator beberapa
respon fitokrom. Fitokrom-fitokrom tersebut merespon jika CA2+ telah berimplikasi sebagai
mediator yang biasanya bersamaan dengan pengambilan Ca2+ melalui induksi cahaya dan
umumnya dicegah oleh inhibitor kalmodulin. Masih perlu didemonstrasikan bahwa fitokrom
memacu peningkatan Ca2+bebas di sitoplasma sel tumbuhan.
Gambar 18.12 Diagram dari Eksperimen Haupt dengan kloroplas Mougeotia. Mougeotia merupakan alga hijau berbentuk filament dengan kloroplas tunggal seperti piring pada masing-masing sel.
Repon yang Sangat Lambat
Beberapa penelitian telah mengindikasikan bahwa perkecambahan dalam keadaan
gelap mampu merespon cahaya pada tingkat yang sangat rendah. Cahaya merah, sebagai
contoh, memacu peningkatan sensitivitas pada perkecambahan biji sereal menjadi sebuah
stimulus fototrofik tertentu. Tetapi, cahaya merah yang diperlukan untuk menjenuhkan
respon ditemukan paling sedikit 100 kali lebih sedikit dibandingkan dengan yang dibutuhkan
untuk menginduksi suatu konversi pengukuran Pr menjadi Pfr. Pencahayaanfar-red rendah
juga memacu sensitivitas fototrofik seperti pada cahaya merah, mengindikasikan bahwa
kurang dari 1% pigmen yang dikonversikan menjadi Pfr untuk menjenuhkan respon tersebut.
D. F. Mandoli dan W. R. Briggs (1981) menemukan bahwa pendedahan bahkan pada lampu
hijau dim tradisional dapat mengeluarkan atau menjenuhkan respon pemanjangan pada
perkecambahan Avena di tempat gelap. Mereka memperkirakan bahwa Pfr sekecil 0,01%
diperlukan untuk mengeluarkan hambatan pemanjangan mesokotil. Sesitivitas ekstrim pada
cahaya ini menyebabkan penelitian mengenai teknik VLFRs menajdi sulit. Prinsip bahwa
respon VLF dimediasi oleh fitokrom merupakan kesamaan aksi spectrum terhadap
penyerapan Pr (Mandoli dan Briggs, 1981). Fenomena, bagaimanapun,
meningkatkan ketertarikan terkait kebingungan pertanyaan mengenai penelitian fotokontrol
perkembangan tumbuhan.
Reaksi Iradiasi Tinggi
Di lingkungan alam, tumbuhan terdedah sinar matahari dalam periode yang lama pada
tingkat yang cukup tinggi. Di bawah kondisi tertentu, dicirikan dengan tingginya energy
selama beberapa periode, program fotomorfogenesis mencapai ekspresi dan respon
maksimum seperti ekspansi daun dan pemanjangan batang menjadi lebih mencolok. Seperti
respon yang bergantung pada cahaya diketahui sebagai respon radiasi tinggi (HIRs). Respon
radiasi tinggi memiliki dua ciri (Mancinelli, 1980): (a) respon ekspresi penuh yang
memerlukan pendedahan radiasi tinggi yang lebih lama; (b) besarnya respon merupakan
bentuk fungsi dari tingkat dan lama pendedahan (hukum Bunsen-Roscoe tidak digunakan);
(c) berbeda dengan LFRs, HIRs tidak sepenuhnya merah, far-red reversible.
HIRs diungkap pertama kali dalam penelitian sintesis antosianin pada kecambah kubis
merah (Siegelman dan Hendricks, 1957). Seperti halnya respon perkecambahan yang
mengalami etiolasi, inisiasi akumulasi antosianin merupakan LFR yang bergantung pada
fitokrom. Fotoreversibilitas merah dan far-red, terbatas pada radiasi singkat. Ketika radiasi
dalam waktu lama dilakukan, puncak aksi akumulasi antosianin berubah menjadi far-red,
dengan mereduksi efektivitas pada penyerapan cahaya merah. Efek perpanjangan radiasi
cahaya far-red telah diinterpretasikan sebagai cara untun memelihara tingkat Pfr agar tetap
rendah – cukup lama untuk mencegah penipisan Pfr akibat degradasi.
Gambar 18.13 Spektrum aksi penghambatan pemanjangan batang oleh radiasi berlanjut. Grafik di atas menunjukkan perkecambahan selada yang mengalami etiolasi
HIR telah terlibat dalam respon yang sangat luas yang juga memenuhi syarat sebagai
LFRs, termasuk pertumbuhan batang, ekspansi daun, dan perkecambahan biji. HIRs mungkin
menunjukkan spectrum aksi yang amat berbeda tergantung pada kondisi pertumbuhan
spesiesnya (Gambar 18.13). perkecambahan yang mengalami etiolasi, misalnya, merespon
pada cahaya biru, emrah, dan far-red. Ketika mengalami de-etiolasi, ada pergantian dari HIR
sensitive cahaya far-red menjadi HIR sensitive cahaya merah. Tidak mengherankan jika,
perkecambahan kondisi terang, jaringan hijau lebih responsive pada cahaya merah
dibandingkan far-red. Beberapa system seperti sintesis antosianin pada kecambah Sorghum,
hanya merespon pada cahaya UV-A biru.
Apakah fitokrom merupakan fotoreseptor untu HIRs? Meskipun keefektivan cahaya
merah dan far-red mendukung dalam hal fitokrom sebagai fotoreseptor, karakteristik unuk
reaksi fitokrom – fotoreversibilitas – secara mencolok tidak ditemukan dari reaksi radiasi
tinggi. Namun beberapa model teoretis telah dikembangkan untuk menjelaskan HIR dalam
kaitannya dengan konsentrasi fitokrom, tingkat siklus antara Pr dan Pfr, tingkat kestabilan
senyawa antara fotokimia, dan sifat lain yang diketahui pada system fitokrom. Tidak satupun
dari model yang memuaskan dan dapat menjelaskan semua karakteristik HIR, terutama aksi
pada daerah spectrum UV-A biru. Berdasarkan variasi macam aksi spectrum, setidaknya tiga
macam HIRs yang dapat dikenali: (a) aksi pada cahaya UV-A biru, merah, dan far-red; (b)
aksi pada cahaya UV-A biru dan merah; (c) aksi hanya pada cahaya UV-A biru (Mancinelli,
1980). Untuk menjelaskan perbedaan ini, umumnya diakui bahwa setidaknya dua
fotoreseptor harus terlibat pada fitokrom, dan reseptor UV-A biru.
K. M. Hartman telah menyampaikan pendapat yang sangat kuat bahwa puncak 716
nm pada spectrum aksi dalam penghambatan pertumbuhan hipokotil pada perkecambahan
selada di bawah penyinaran terus-menerus (Gambar 18.13) disebabkan oleh fitokrom. Pada
percobaan yang sangat menarik, Hatrmann menunjukkan bahwa perkecambahan dengan
cahaya 658 nm atau 766 nm (Hartmann, 1967; lihat juga Cosgrove, 1986). Panjang
gelombang ini dipilih karena mekeduanyareka diserap oleh Pr maupun Pfr, beruurtan, tetapu
mencegah sebanyak kemungkinan daerah tumpang tindih antara kedua bentuk pigmen.
Dipaparkan secara terpisah, cahaya 658 dan 766 dapat menghambat pemanjangan seefektif
cahaya 716 nm. Trik untuk mengetahui tingkat pengaruh cahaya 658 nm dan 766 nm
disesuaikan untuk memberikan tingkat senyawa antara Pfr (Pfr/TOT) yang sama sebagaimana
radiasi 716. Perkiraan Hartmann adalah bahwa cahya 766 nm kurang efektif karena
mengubah fitokrom predominan mejadi bentuk Pr. Di sisi lain, cahaya 658 nm mengkonversi
pigmen predominan menjadi bentuk Pfr, meskipun menghambat secara inisial, mengalami
kehilangan oleh reaksi degradasi. Cahaya 716 nm sangat efektif karena menghasilkan tingkat
senyawa antara pada Pfr orang-orang Pfr, memilih reaksi kompetisi aksi Pfr dan degradasi
Pfr. Cahaya 716 nm konsentrasi Pfr mendirikan perusal yang paling efektif dan selama
perlakuan penyinaran berlangsung.
Ada juga kejadian yang mendukung pemisahan reseptor UV-A bitu yang mungkin,
pada beberapa system, berinteraksi dengan fitokrom dalam mengontrol reaksi radiasi tinggi.
Penghambatan pemanjangan hipokotil yang tergantung pada cahaya biru pada timun, selada,
dan tomat yang ditumbuhkan pada kondisi terang, dapat didemonstrasikan oleh radiasi
simultan menggunakan cahaya biru dan putih. Kondisi tersebut tidak begitu mengubah rasio
Pfr pada keseluruhan total fitokrom, tetapi menyebabkan penghambatan pemanjangan batang
dibandingkan dengan control yang hanya disinari cahaya putih. Pada system lain, fitokrom
(fotoreversibel merah dan far-red) mengontrol biosintesis antosianin pada kecambah
Sorghum dan menjadi semakin efektif setelah penyinaran menggunakan cahaya biru dan
putih yang diperlama.
Masih pada system lain, pemanjangan hipokotil pada Arabidopsis tipe liar dihambat
oleh pemaparan Fr, cahaya biru, UV-A, dan merah. Terdapat dua mutan Arabidopsis, dikenal
sebagai by-1 dan by-2, yang telah mengalami mereduksi jumlah fitokrom. Pada kedua mutan
tersebut diketahui tidak ada Fr dan merah untuk penghambatan pemanjangan hipokotil,
dengan tanpa perubahan terhadap cahaya biru dan UV-A. akhirnya, fitokrom tidak
menginduksi biosintesis antosianin pada perkecambahan dalam keadaan gelap total.
Bagaimanapun, control fotoreversibel merah dan far-red yang secara nyata mengikuti
perlakuan cahaya biru yang diperpanjang. Hasil ini mendukung dengan kuat hipotesis
mengenai fotoreseptor UV-A biru yang mungkin beroperasi pada beberapa HIRs dana yang
mungkin bertindak kooperatif dengan fitokrom.
Fitokrom pada Tumbuhan Hijau
Fitokrom pada tumbuhan hijau berbeda dengan fitokrom pada jaringan yang
mengalami etiolasi. Bentuk fitokrom diekspresikan pada jaringan yang mengalami etiolasi
hanya merupaka satu dari lima produk gen. Empat produk gen lainnya diekspresikan pada
tingkat yang sangat rendah baik pada jaringan yang tumbuh dalam kondisi gelap atau
terang.
Asumsi bahwa fitokrom memiliki peran aktif secara langsung dalam morfogenesis
dibawah kondisi radiasi alammi menambahkan pertanyaan yang menarik. Apakah Pfr
didegradasi dengan cepat pada tumbuhan hijau sebagaimana pada jaringan yang mengalami
etiolasi, bagaimana tumbuhan di bawah penyinaran kontinyu mempertahankan tingkat
fitokrom aktif yang memadai? Ini telah lama diargumentasikan, berdasarkan pada penelitian
spektrofotometri fisiologis dan in vivo, bahwa beberapa kondisi fitokrom pada tumbuhan
hijau dalam kondisi terang berbeda dengan yang mengalami etiolasi. Baru-baru ini baru ada
dukungan secara langsung dari molecular yang mendukung pendapat ini.
Secara tradisional sulit mempelajari fitokrom pada tumbuhan hijau karena rendahnya
konsentrasi dan gangguan yang intens oleh penyerapan klorofil fan fluoresensi pada daerah
cahaya merah dan far-red. Gangguan klorofil saat ini dapat dipisahkan sebagian melalui
teknik penghilangan klorofil secara cepat dari ekstrak, sehingga menyebabkan analisis
spectrum secara in vitro. Kalau tidak, kecambah yang ditumbuhkan dalan kondisi terang
mungkin diberi Nonflurazon, herbisida yang menghambat biosintesis karotenoid, dan
hasilnya menginduksi foto-bleaching klorofil. Hasil tersebut dapat digunakan dalam analisis
spektrofotometri secara in vivo.
Beberapa kejadian saat ini mengkonfirmasi kecurigaan yang ada sebelumnya bahwa
fitokrom pada jaringan hijau berbeda dengan pada yang mengalami etiolasi. Fitokrom pada
kecambah Avena yang ditumbuhkan pada kondisi terang lebih kecil (berat molekulnya=1118
kDa) dan memiliki tingkat penyerapan maksimum Pr lebih rendah (652 nm) dibandingkan
dengan pigmen dari jaringan yang mengalami etiolasi (124 kDa; 666 nm). Sebagai tambahan,
fitokrom kecambah pada kondisi terang tidak bersifatimmunoprecipitated atau dikenal
pada immunoblots oleh antibodi yang terdapat pada fitokrom dari kecambah yang mengalami
etiolasi. Kinetic fotokonversi (Pr ke Pfr dan kembali ke Pr) tampaknya serupa, tetapi Pfr pada
jaringan yang tumbuh pada kondisi terang memiliki ketahanan hidup setngah kali lebih lama.
Sebagai contoh, M. Jabben telah mengukur transformasi aksi fitokrom pada kecambah
jagung yang diberi perlakuan dengan herbisida SAN 9789, yang menghambat akumulasi
klorofil pada keadaan terang. Pfr setengah hidup pada kecambah tersebut tumbuh di bawah
penyinaran kontinyu 8 jam. Serupa dengan Pfr yang kuat setengah kali lebih lama, telah
diamati pada Avena dan beberapa kecambah yang tumbuh pada kondisi terang.
Bentuk labil fitokrom yang terakumulasi pada perkecambahan kondisi gelap disebut
sebagai fitokrom tipe 1, sedangkan bentuk stabil lain yang ada pada jaringan hijau disebut
tipe II (Furuya 1989; Vince-Prue, 1991). Penelitian saat ini menggunakan teknik rekombinan
DNA yang menunjukkan ada bentuk multi fitokrom tipe II, yang dikode oleh sekelompok
kecil gen yang berbeda (Vierstra 1993; Chory, 1997). Kelompok gen yang paling baik
dikarakteristikkan telah diisolasi dari Arabidopsis thaliana, dimana terdapat 5 gen fitokrom
(disebut phyA, phyB, phyC, phyD, phyE). Gen phyA diekspresikan pada jaringan yang
tumbuh dalam kondisi gelap dan mengkode fitokrom tipe I yang labil (PHYA), yang
terakumulasi dalam kondisi gelap. PHYA tidak terakumulasi dalam kondisi terang karena
transkripsi phyA dihambat oleh PfrA (bentuk penyerap warna merah PHYA). Sebagai
tambahan, protein PHYA dengan cepat didegradasi. Gen fitokrom tipe II yang tersisa (phyB,
phyC, phyD, phyE) diekspresikan pada tingkat yang rendah dalam kondisi terang maupun
gelap. Produknya (PHYB-F) stabil.
Keberadaan fitokrom yang berbeda bentuk pada tumbuhan hijau dengan Pfr yang
lebih stabil terlihat mulai menajwab sebagian pertanyaan yang ada di awal. Sangat
dimungkinkan bahwa degradasi Pfr pada jaringan hijau cukup lambat untuk diseimbangkan
dengan sintesis Pr, sehingga memelihara sejumlah fitokrom stabil pada penyinaran kontinyu.
Tetapi mengapa tumbuhan memerlukan banyak bentuk fitokrom? Di sisi lain, mengapa
jaringan yang mengalami etiolasi lebih banyak mengakumulasi fitokrom A yang labil? Belum
ada jawaban untuk pertanyaan ini, tetaoi H. Smith memiliki pendapat yang menarik (Vince-
Prue, 1991). Smith menyebutkan bahwa akumulasi fitokrom A dalam dua situasi: (1) biji
yang memerlukan cahaya merah untuk berkecambah dan tidak berkecambah karena terkubur
terlalu dalam di tanah dan (2) kecambah yang fitokromnya digunakan untuk mendeteksi
cahaya ketika mencapai permukaan tanah. Sehingga sejumlah besar fitokrom A yang
terakumulasi di bawah kondisi tersebut muncul sebagai antenna sensitive, yang utamanya
mendeteksi kehadiran cahaya dibandingkan dengan kualitas cahaya. Sekali biji terpapar
cahaya yang memadai, sejumlah fitokrom yang labil menghilang. Hal ini menyebabkan
fitokrom tipe II mampu memonitor rasio R-FR dan perkembangan langsung yang sesuai.
Mungkin sulit untuk mendapatkan bukti secara langsung yang mendukung kejadian tersebut,
tetapi langkah awal penting dalam mempelajari fitokrom diluar laboratorium adalah di dunia
nyata.
Akhirnya, dogma yang diterima mengenai fitokrom adalah Pr secara biologis inaktif
dan pembentukan Pfr menginisiasi respon perkembangan aktif. Bagaimanapu, beberapa
peneliti memiliki pertanyaan terkait Pr yang mungkin memiliki peran aktif lebih, yang
bertanggung jawab dalam pemanjagan batang pada tumbuhan yang tumbuh dalam kondisi
terang (Smith, 1983). Saat ini, telah disampaikan bahwa pertumbuhan vertical normal
kecambah Arabidopsis secara nyata berkurang ketika ditumbuhkan pada kondisi cahaya
merah (Liscum dan Hangarter, 1993). Kecambah yang tumbuh pada cahaya merah
menganggap orientasi acak yang lebih jauh. (Pertumbuhan memanjang normal merupakan
contoh gravitropisme negative – lihat bab 19). Di sisi lain, mutan yang kekurangan fungsi
fotokimia fitokrom dan tidak mampu menghasilkan Pfr, menunjukkan pertumbuhan
memanjang normal karena penyinaran. Berdaarkan analisis genetis, Liscum dan Hangarter
menyimpulkan bahwa pertumbuhan memanjang yang normal terjadi ketika fitokrom B dalam
keadaan Pr. Hal ini tentu saja dianggap bahwa pemanjangan dan bukan pertumbuhan acak
merupakan respon aktif. Apakah control respon pada tumbuhan lain mungkin disebabkan Pr
yang terlihat dengan cara yang sama.
Fitokrom pada Kondisi Alami
Salah satu pertanyaan yang paling menantang mengenai fitokrom adalah mengenai
fungsinya pada lingkungan alami, di bawah penyinaran yang diperpanjang pada variasi
tingkat penyinaran dan variasi waktu. Adakah informasi pada cahaya alam dari lingkungan
yang dapat diinterpretasikan oleh fitokrom?
Informasi terbesar mengenai fitokrom berasal dari penelitan kecambah yang
mengalami etiolasi karena radiasi singkat, yakni LFRs. Tetapi selain di laboratorium,
tumbuhan tidak tumbuh di dalam kotak gelap dengan penyinaran cahaya merah dan far-red.
Cahaya awalnya dirasakan oleh kecambah ketika mencapai permukaan yang tidak diragukan
lagi bekerja sebagai LFRs klasik, menyebabkan konversi sejumlah besar Pr yang ada menjadi
Pfr dan menginisasi proses de-etiolasi. Tetapi juga menyebabkan stimulasi kehilangan Pfr
dan penurunan kandungan total fitokrom. Hal ini menambah pertanyaan mengenai fungsi
fitokrom pada tumbuhan yang dipaparkan pada sinar paa tingkat yang tinggi secara terus-
menerus.
Respon tumbuhan hijau yang berbeda mencolok pada kecambah yang mengalami
etiolasi. secara kuantitatif, tumbuhan hijau lebih sensitive pada cahaya merah. Penghambatan
pemanjangan hipokotil pada kecambah sawi dalam kondisi terang, membutuhkan tingkat
yang lebih rendah dibandingkan dengan kecambah dalam kondisi gelap. Di awal diskusi kita
mengenai respon radiasi tinggi, diketahui bahwa de-etiolasi bersamaan dengan pergantian
dari fitokrom sensitive cahaya far-red ke merah. Memang, cahaya far-red tingkat tinggi
secara actual menstimulasi pertumbuhan pada kebanyakan tumbuhan hijau.
Banyak penelitian pada tumbuhan yang tumbuh dalam kondisi terang
mengindikasikan pertumbuhan ditentukan setidaknya oleh konsentrasi Pfr atau rasio Pfr/P
(symbol = ɸ). Satu indikasi paling awal diberikan oleh penelitian perlakuan manipulasi
“pengakhiran hari” (Downs et al, 1957). Beberapa varietas kacang hijau, matahari, dan
krangkong dipaparkan pada Fra tau FR yang disusul R diakhir fotoperiodisme 8 jam
menggunakan cahaya fluoresen putih yang dingin (Gambar 18.15). Cahaya merah diberikan
di akhir fotoperiodisme yang menunjukkan bahwa proporsi tinggi Pfr di awal periode gelap,
menghasilkan penghambatan kuat pada pemanjangan batang. Cahaya yang mereduksi tingkat
Pfr menyebabkan reduksi bersamaan dengan efek penghambatan. Dengan kata lain, taraf
pemanjangan internodus kedua ditentukan oleh proporsi Pfr yang ada di awal periode gelap.
Control pemanjangan batang adalah R, FR reversible. Percobaan lain dengan Synningia dan
Fuchsia telah menunjukkan ketergantungan serupa dalam pemanjangan batang pada kondisi
yang terdapat sedikit pfr pada akhir fotoperiodisme normal.
Gambar 18.15 efek perlakuan pengakhiran hari dengan far-red (hijau) atau far-red, merah (abu-abu) pada panjang internodus Helianthus (A), Phaseoolus (B) danPharbitus (C). Perlakuan diberikan dengan durasi 5 menit di akhir 8 jam fotoperiodisme cahaya fluoresen putih. Panjang internodus diplotkan relative sebagai kontrol (putih) yang tidak mendapatkan perlakuan pengakhiran hari.
Percobaan seperti ini telah membantu memfokuskan perhatian terhadap perilaku
fitokrom pada tumbuhan hijau dan meskipun fitokrom memiliki peran signifikan dalam hal
keberhasilan strategi tumbuhan. Banayk perhatian telah difokuskan pada tumbuhan yang
tumbuh di bawah kanopi, sejak terjadi perubahan distribusi spectrum cahaya alami yang
dramatic. Radiasi dibawah kanopi diketahui kekurangan cahaya biru dan merah, yang
kebanyakan diserap oleh daun di atasnya. Sebaliknya, klorofil bersifat transparan pada
cahaya far-red; atenuasi far-red terbatas hampir semata-mata untuk dipantulkan. Efek
penutupan oleh kakopi dapat dideskripsikan dengan menukur rasio cahaya merah
terhadap far-red (R/FR, atau ζ; Gr. Zeta). Nilai ζ pada cahaya yang tidak terhalangi memiliki
rentangan 1,05 hingga 1,25. Nilai penghalangan pada kanopi bervariasi tergantung pada
vegetasi dan densitas kanopi. Beberapa nilai tercantum pada tabel 18.4. nilai ini berada dalam
rentangan dimana perubahan kecil ζ dapat menyebabkan perubaha besar terhadap proporsi
(Gambar 18.16). Oleh sebab itu, fitokrom harus merupakan sebuah sensor yang sangat baik
dalam menentukan kualitas penghalangan cahaya.
Tabel 18.4 perkiraan hasil R/Fr (ζ) untuk cahaya terhalang kanopi
Kanopi R/Fr
Gandum
Jagung
0,5
0,20
Oak woodland
Maple woodland
Spruce forest
Tropical rainforest
0,12-0,17
0,14-0,28
0,15-0,33
0,22-0,30
Gambar 18.16 hubungan anatra rasio R:Fr dan fotoekuilibrium fitokrom. Area yang diarsis mengindikasikan daerah hasil untuk ζ yang teramati
dibawah indikasi kondisi ekologis.
Terdapat berita baik bahwa tumbuhan memang dapat mendeteksi perbedaan karakter
antara ternaungi ataupun tidak. Cahaya ternaungi dapat ditiru di laboratorium atau ruang
pertumbuhan menggunakan pengganti cahaya fluoresen putih (ζ=2,28) dengan berbagai
jumlah cahaya far-red sepanjang fotoperiodismenya. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat
radiasi aktif fotosintesis (PAR) tetap konstan dari satu perlakuan cara hidup satu dan lainnya.
Perbedaan pada pertumbuhan dan morfogenesis disebabkan nilai fotoekuilibrium fitokrom
(ɸ), yang dapat diestimasi dari rasio R/FR yang terhitung untuk masing-masing cara hidup.
Ketika tumbuhan muda Chenopodium album ditumbuhkan dengan cara ini, tingkat
pemanjangan batang logaritmik ditemukan berhubungan dengan ɸ(Gambar 18.17). Respon
pada kualitas cahaya dapat diamati dalam 7 menit dengan penambahan cahaya FR pada
sumber fluoresen.
Gambar 18.17 fotomorfogenesis pada perkecambahan dalam keadaan gelap. (A-kiri) hubungan natara proporsi Pfr (ɸ) dan laju ekstensi batang Chenopodium album yang tumbuh selama 9 hari pada pengurangan cahaya secara simulasi. (B-kanan) perkecambahan Chenopodium album yang tumbuh selama 14 hari pada pengurangan cahaya secara simulasi. Pengurangan cahaya secara simulasi dilakukan dengan menyediakan penambahan cahaya far-red yang cukup untuk mendukung indikasi rasio R:FR (ζ).
Juga terdapat perubahan substansial dalam distribusi energy spectrum cahaya alami
sehari-hari (Holmes dan Smith, 1977; Hughes et al, 1984). Pada kedua keadaan (pagi dan
sore), ketika matahari berada pada garis horizon yang rendah, ada penurunan nilai ζ yang
relative signifikan dibandingkan dengan keseluruhan hari. Pada suatu penelitian, sebagai
contoh, nilai ζ saat sore berkurang sebanyak 14% dari 44% saat siang hari. (Holmes dan
Smith, 1977). Pada pengujian secara detail mengenai respon timun.yang diberi perlakuan
pengakhiran hari dengan cahaya merah atau far-red menunjukkan bahwa reaksi proporsi
fitokrom tetap pada Pfr di akhir fotoperiodisme yang berhubungan dengan perubahan drastis
dalam pola perkembangan. Penurunan nilai ɸ dari tinggi (ca 0,65 hingga 0,75) menjadi
rendah (ca 0,03) menyebabkan adanya penggemukan batang dan ekstensi tangkai daun,
mengurangi pelebaran daun dan percabangan, dan menurunkan kandungan klorofil.
Percobaan ini membuktikan hubungan sebab akibat antara fotoekuilibrium fitokrom dan
respon morfogenik. Mereka mendemonstrasikan bahwa tumbuhan memiliki kapasitas untuk
merespon perubahan dalam distribusi energy spectrum yang serupa dengan yang terjadi
secara alami di lingkungan. Kelihatannya bahwa fitokrom merupakan fotoreseptor yang
mendeteksi sinyal dan penghalangan dalam pengakhiran hari.
Mekanisme Aksi Fitokrom
Fitokrom muncul untuk mengatur lebih dari satu tingkatan. Dokumentasi terbaik ini
berhubungan dengan fungsi membrane dalam regulasi transkripsi mRNA.
Mengartikan hubungan sebab akibat pada tingkat selular atau subselular merupakan
pekerjaan yang cukup berat. Pada keadaan dimana stimulus menginduksi efek yang tersusun
kompleks, jika pada kasusnya dengan fitokrom, tugas yang dilakukan adalah
mengidentifikasi aksi primer yang menjadi semakin menakutkan. Meskipun Pfr merupakan
pemula yang umum pada berbagai perkembangan, rantai metabolisme atau biokimia
berikutnya dapat bervariasi antar respon atau antara satu tumbuhan dengan tumbuhan lainnya
atau bahkan pada umur perkembangan. Sebagai contoh, adakah aksi primer Pfr yang sama
dengan LFRs jika untuk HIRs atau fitokrom menginduksi respon serupa melalui jalan
berbeda?
Komplikasi tambahan dikenali oleh waktu respon yang bervariasi. Beberapa efek
dapat diamati dalam detik sementara yang lainnya berjalan dalam waktu jam atau hari.
Meskipun adanya kompleksitas ini, bagaimanapun, dua tema konsisten telah muncul. Satu
adalah banyaknya efek Pfr yang dapat dijelaskan sebagai perubahan sifar membrane selular.
Penelitian awal mengenai fitokrom yang menginduksi pergerakan pucuk daun muda pada
Mimosa dan Abizzinia dan percobaan Tanada yang mendemonstrasikan pengaturan
perubahan permukaan ujung akar dimana keduanya menunjukkan perubahan distribusi ion
yang cepat melalui membrane sel. Memberikan gambaran peran membrane dalam
memediasi aksi pengaturan hormone, terkadang melalui pengontrolan kanal ion, mungkin
akan mengherankan jika fitokrom juga tidak memiliki pengaruh terhadap aktivitas
membrane.
Tema umum kedua adalah bahwa Pfr meregulasi ekspresi gen. memberikan diversitas
luas dalam perubahan perkembangan yang diinduksi fitokrom, diharapkan bahwa di beberapa
titik transkripsi informasi genetik baru harus ikut berperan. Awalnya diajukan oleh H. Mohr
pada pertengahan 1960an, hanya dengan perkembanaan teknik molekuler modern sehingga
hipotesis aktivasi gen dapat diuji. Antara 1993 dan 1997, mutasi telah diuji setidaknya 3 dari
5 gen Arabidopsis yang mengkode protein fitokrom (phyA, phyB, phyD) dan dua yang terlibat
dalam biosintesis kromofor (by1, by2) (lihat Chory, 1997). Pembagian efek mutan-mutan
tesebut pada fenomena mediasi fitokrom yang bervariasi akan menjadi langkah pertama yang
penting dalam mengelusidasi jalur sinyal transduksi fitokrom.
Fitokrom dan Membran
Sejak kebanyakan fenomena singkat yang diinduksi fitokrom dapat dengan sangat
mudah diinterpretasikan sebagai efek pada fungsi membrane, pertanyaan pertama yang
disadari untuk diajukan apakah molekul fitokrom berhubungan dengan membrane pada sel.
Ada dua cara untuk menjawab pertanyaan ini. Cara pertama adalah dengan membuat fraksi
sel menggunakan spektrofotoeter dengan dua gelombang berbeda, untun mengetahui
fitokrom pada berbagai fraksi. Jika sfitokrom dilokalisasikan pada satu atau lebih system
membrane, diharapkan adanya aktivitas spesifik yang tinggi pada fraksi tersebut.
Menggunakan pendekatan ini, fitokrom telah dilaporkan berhubungan dengan setiap fraksi
setiap sel, termasuk plastid (membrane etioplas dan kloroplas), mitokondria, reticulum
endoplasma, nucleus, dan membrane plasma, dalam fraksi larutan.
Hasil penelitian fraksinasi menjadi permasalahan. Sebagai contoh, kebanyakan
fitokrom yang terekstrak dari tumbuhan yang tumbuh pada kondisi gelap bersifat larut
sementara lebih dari setengah fitokrom dari tumbuhan yang diradiasi cahaya merah dapat
menjadi pellet dalam fraksi tersebut. Masih belum ada hubungan yang istimewa dengan
fraksi membrane-membran tersebut. Pada banyak kejadian, aktivitas spesifik fitokrom pada
fraksi tersebut kurang lebih sama dengan jumlah kotor yang dihomogenkan dari bahan fraksi
itu berasal. Hasil ini apat diharapkan jika ikatan fitokrom-organel secara sederhana
berhubungan dengan permukaan yang tidak spesifik karena disrupsi sel. Mereka juga
konsisten dengan keadaan hidropati fitokrom, yang merupakan protn terlarut. Di sisi lain,
settidaknya 75% fitokrom yang berhubungan dengan mitokondria dapat doperoleh melalui
enzim proteolitik yang mengindikasikan bahwa ada hubungan lebih mendalam dengan
membrane.
Distribusi fitokrom subselular telah dipelajari melalui immunocytochemistry. Pada
teknik ini, bahan difiksasi untuk diuji menggunakan cahaya atau mikroskop electron untuk
menyelidiki keterkaitan antibody dengan fitokrom. Antibodinya dilabeli dengan enzim
peroksidase atau penanda lain sehingga dimungkinkan pengamatan kompleks antigen-
antibodi secara langsung. Pada sel parenkima oat yang tumbuh dalam kondisi gelap, fitokrom
ditemukan tersebar di sitosol, meskipun beberapa pigmen juga ditemukan berhubungan
dnegan membrane plasma, reticulum endoplasma, dan selubung inti (membrane inti).
Sementara ada kesulitan teknis dalam pendekatan ini, tidak sedikit yang berasumsi bahwa
lokalisasi fitokrom di dalam sel tidak terkena dampak oleh proses fiksasi, hasil ini secara
umum konsisten (tetap) dengan penelitian fraksionasi.
Satu hasil menarik dari penelitian immunocytodhemical adalah pengamatan distribusi
fitokrom yang terbagi berdasarkan bentuknya. Sel koleoptil yang tidak disinari Pr tersebar
tetapi Pfr tidak! Pembentukannya dalam hitungan detik melalui radiasi, Pfr menjadi terasing.
Sehingga, aggregate Pfr berada pada lokus yang berlainan di dalam sel. Kejadian serupa telah
diamati pada jaringan epikotil ercis. Percobaan untuk mengidentifikasi lokasi dan fungsi dari
fitokrom yang terasing ini masih belum berhasil – tidak berhubungan dengan membrane atau
organel lain yang bisa diidentifikasi. Pengasingan Pfr di dalam sel, tidak berhubungan dengan
meningkatnya peletabilitas (kemampuan membuat/ membentuk pellet) pada pengamatan Pfr
secara in vitro. Keduanya bersifat fotoreversibel dan merupakan perwujudan dari proses
biokimia yang sama.
Sejak organel yang diisolasi memiliki keterkaitan dengan fitokrom di dalam
selnya, hal ini merupakan bahan yang sederhana untuk menguji organel dalam fungsi
fotoreversibel R/FR. Penelitian tersebut telah berhasil dilakukan dengan mengisolasi
mitokondria, plastid, peroksisom dan inti sel. Mitokondria yang diisolasi telah
didokumentasikan dan menunjukkan aktivitas reduksi fotoreversibel NADP, fluks kalsium,
dan ATPase. Fungsi ini telah didemonstrasikan menggunakan fitokrom endogen yang
diekstrak dari organel atau secara eksogen dengan penambahan fitokrom.
Pada keadaan seimbang, kejadian tersebut menunjukkan indikasi bahwa fitokrom
bukan merupakan protein membrane intrinsic. Secara luas bahwa kemungkinan perubahan
induksi pada sifat membrane, harus dilakukan dengan menghilangkan hubungan dengan
membrane atau rantai sinyal senyawa antaranya tetapi masih belum teridentifikasi.
Fitokrom dan Aksi Gen
Harapan yang muncul dalam biologi adalah perubahan ekspresi gen yang berada jelas
di bawah control perkembangan. Keikutsertaan fitokrom yang tampak pada mayoritas
perkembangan seperti perkecambahan biji, de-etiolasi, dan konversi pucuk vegetative
menjadi pucuk berbunga secara alami menunjukkan bahwa ada keterlibatan perubahan
ekspresi gen. Hal ini menimbulkan harapan bahwa perubahan pada tingkatproduk gen
spesifik (misal protein) dan akhirnya pada tingkat mRNA merupakan persoalan pokok dalam
regulasi oleh fitokrom.
Regulasi fitokrom pada tingkat protein pertama kali dilaporkan pada tahun 1960 oleh
A. Marcus, yang melaporkan bahwa reversible fitokrom merah dan far-red mengontrol
aktivitas gliseraldehid-3-fosfat dehydrogenase pada perkecambahan kacang hijau. Setelah itu,
daftar enzim dan protein lain yang aktivitasnya diatur oleh cahaya, pada banyak kasus adalah
fitokrom, mencapai lebih dari 60. Sembilan tahun kemudian, m. jaffe melaporkan bahwa
ketergantungan pada fitokrom meningkatkan kandungan RNA pada tunas kacang hijau
setelah 24 jam perlakuan penyinaran cahaya merah. Peneliti lain melaporkan bahwa
perubahan tingkat variasi RNAs atau efek penghambatan oleh cahaya akibat D-aktinomisin,
sebuah inhibitor transkripsi. Bagaimanapun, kejadian terkait fotoregulasi gen pada tumbuhan
tingkat tinggi menunggu berkembangnya teknologi untuk isolasi dan translasi mRNA
secara in vitro pada akhir tahun 1970an. Tahun 1985, E. M. Tobindan J. Silverthorne mampu
mendaftar sejumlah Sembilan protein yang teridentifikasi dan banyak protein yang belum
teridentifikasi yang gennya diekspresikan secara berbeda pada tumbuhan yang ditumbuhkan
dalam keadaan terang dan gelap. Tujuh dari gen tersebut diketahui diregulasi oleh fitokrom.
Menjadi sebuah keingintuan yang cukup besar mengingat bahwa kebanyakan gen
yang diregulasi fiitokrom merupakan gen nuclear yang mengode mRNAs protein kloroplas.
Dua telah diteliti secara ekstensif: sub-unit kecil ribulosa-1,5-bifosfat
karboksilase/oksigenase (Rubisko) dan penyerap cahaya – protein pengikat klorofil a/b
(LHCP). Rubisko merupakan enzim terlarut yang terdapat banyak pada kloroplas yang
mengkatalisis tahap karboksilase pada fotosintresis (Bab 10). Merupakan protein multimerik,
yang terdiri dari delapan sub-unit besar (LSU) dan delapan sub-unit kecil yang identic. LSU
dikodekan oleh genom kloroplas dan disintesis di kloroplas. SSu yang dikodekan oleh gen
inti dan disintesis di sitoplasma sebagai precursor polipeptida. LHCP merupakan komponen
utama pada kompleks antenna yang mengumpulkan cahaya untuk fotosintesis (Bab 9).
Seperti SSU, polipeptida apoprotein LHCP (juga dikenal sebagai protein pengikat klorofil
a/b) dikodekan oleh nucleus dan ditrasnpor ke kloroplas.
Penelitian awal menunjukkan bahwa cahaya menstimulasi peningkatan protein
Rubisko pada kecambah Barley. Menggunakan translasi poly(A) RNA secara in vitro yang
diisolasi dari duckweed (Lemna gibba), E. M. Tobin menunjukkan bahwa perubahan yang
terjadi merupakan akibat peningkatan ketergantungan fitokrom pada tingkat Tobin di
Amerika dan K. Apel dan rekannya di Jerman mengenai protein pengikat klorofil a/b pada
Lemma dan Barley. Percobaan nuclear ini telah menunjukkan bahwa fitokrom meregulasi
gen pada tingkat protin maupun traskripsinya. Pada percobaan tersebut, inti sel diisolasi
kemudian diikuti dengan perlakuan penyinaran diinkubasi terkait munculnya precursor RNA
yang dialbeli radio aktif (32P uridin-trifosfat). Kondisi tersebut menunjukkan hanya
transkripsi yang diinisiasi pada isolasi sebelumnya akan menunjukkan label tersebut. Jumlah
RNA yang ditranskripsikan dari gen cDNA yang diketahui mengandung gen tersebut. Hasil
percobaan ini menunjukkan bahwa Pfr bertindak meningkatkan tingkat transkripsi dua gen
tersebut.
Tidak semua gen distimulasi oleh fitokrom. Setidaknya terdapat dua contoh gen
penting yang transkripsinya diregulasi secara negatif oleh fitokrom. Untuk gen ini Pfr
menyebabkan penurunan dalam transkripsi. Gen yang diregulasi secara negative
mengkodekan NADPH-protoklorofilida oksireduktase, enzim yang mengkatalisis reduksi
protoklorofil menajdi klorofil. Pada kejadian ini, tingkat mRNA yang dapat ditranslasi
menurun dalam 1 jam setelah disinari dnegan gelombang merah singkat dan tetap dalam
kadar rendah selama penyinaran kontinyu. Efek gelombang merah bersifar reversible
dengan far-red. Penurunan mRNA secara bertahap menunjukkan penurunan aktivitas enzim
ini ketika terpapar cahaya.
Contoh kedua transkripsi negative adalah gen fitokrom itu sendiri (Colbert et al,
1983). Dalam waktu pencahayaan sinar merah yang singkat yakni 5 detik, menyebabkan
penurunan yang sangat mRNA yang dapat ditranslasi dnegan cepat pada kecambah yang
mengalami etiolasi. setelah periode lag selama 15 menit, tingkat mRNA menurun 50% dalam
waktu satu jam pertama dan lebih dari 95% dalam waktu 2 jam (Gambar 18.18a). Penurunan
mRNA pada ketika reversible far-red meskipun tingkat Pfr ditentukan oleh cahaya far-
red sendiri cukup untuk menginduksi kehilangan mRNA yang signifikan. Sehingga diketahui
bahwa fitokrom melakukan autoregulasi transkripsi menggunakan mRNA-nya sendiri melalui
bentuk penghambatan umpan balik (Gambar 18.18b).
Gambar 18.18 penurunan fitokrom terinduksi pada mRNA fitokrom. (A) kinetic mRNA fitokrom pada perkecambahan dalam keadaan gelap dengan diberikan pencahayaan merah 5 detik yang dibandingkan dengan kehilangan Pfr dan keseluruhan fitokrom. (B) interpretasi skematis dari (A), menunjukkan umpan balik penghambata mRNA fitokrom oleh Pfr.
Dengan bantuan teknik molecular biologi modern, telah dibuktikan dengan jelas
bahwa fitokrom mengontrol ekspresi gen dan pengaruhnya hingga pada tingkat transkripsi.
Bagaimana Pfr meregulasi transkripsi gen masih belum jelas. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa Pfr mungkin mengaktifkan protein lain (mungkin second messenger)
yang berikatan pada sekuens DNA tertentu yang disebut elemen yang diregulasi cahaya
(LREs) (Gambar 18.19). LREs merupakan sekuens DNA pendek yang terletak pada daerah
promoter bagian downstream dari gen itu sendiri. Pengikatan terhadap protein regulatori pada
LRE menstimulasi transkripsi gen; transkripsi tidak akan berjalan jika tidak ada fitokrom
(lihat Mosses dan Chua, 1988). LREs telah diidentifikasi memiliki 2 gen – yang mengkode
sub-unit kecil Rubisko (rbcS) dan apoprotein LHCP (cab). Menarik untuk diperhatikan
bahwa rbcS LRE mungkin juga meregulasi gen lain yang berada dibawah kontrolnya. LRE
untuk gen rbcS akan menentukan sensitivitas cahaya pada gen reporter yang diinsersikan
pada kromosom di daerah LRE.
Gambar 18.19 model skematis untuk regulasi fitokrom pada gen sub unit kecil Rubisko (rbcS). Pfr mengaktifkan protein regulator (RP) yang berpindah ke nucleus dan berikatan dengan elemen regulator cahaya (LRE). LREs terletak pada daerah downstream promoter yang tidak dikodekan (sepanjang akhir-5’) pada gen rbcS. LRE menstimulasi transkripsi gen dan menghasilkan mRNA yang dikeluarkan ke sitosol dimana terjadi translasi sub unit kecil (SSU) protein precursor secara langsung. Protein precursor SSU kemudian ditransporkan ke kloroplas, diproses, dan dikombinasikan dengan sub unit besar untuk membentuk Rubisko aktif.
Pada penelitian menarik lainnya, D. Ernst dan D. Oesterheldt (1984) melaporkan
bahwa terjadi peningkatan transkripsi secara in vitro ketika fitokrom ditambahkan untuk
mengisolasi initi rye. Pengamatan ini menunjukkan bahwa ada kemungkinan dalam interaksi
secara langsung antara fitokrom dan nucleus, tanpa membutuhkan intervensi protein antara
atau second messenger.
Meskipun penemuan ini menarik, uraian aksi molekular fitokrom pada regulasi gen
hanyalah langkah awal menuju perjalanan yang panjang. Masih banyak yang harus dipelajari
terkait perkembangan biologi molecular. Tidak ada gen tunggal untuk ekspansi daun atau
pemanjangan batang. Hal ini dan perkembangan kompleks lainnya bahkan membutuhkan
masukan terkoordinasi mengenai banyak produk gen yang harus diekspresikan pada jaringan
dan waktu yang tepat. Hanya ketika kita mengerti kompleksitas interaksi spasial dan temporal
ini maka kita akan mulai memahami dan tertarik akan peran fitokrom sebenarnya dalam
mengatur respon tumbuhan pada radiasi lingkungan alami.
Respon Cahaya Biru
Sebagai tambahan pada cahaya UV-A dan biru yang meregulasi HIRs pada deskripsi
di atas, ada respon-respon lain yang diaktifkan secara spesifik oleh cahaya UV-A atau biru
(lihat Senger, 1987).
Sensitifitas terhadap cahay biru dan UV-A dicirikan secara khusus oleh tumbuhan
tingkat rendah dan jamur, yang menunjukkan bahwa fotoreseptor cahaya biru mungkin
merupakan evolusioner yang lebih primitive. Hal ini telah ada pada tumbuhan tingkat tinggi
dalam mengontrol sejumlah respon tumbuhan tersebut termasuk fototropisme (termasuk juga
respon yang mencolok pada tumbuhan tingkat rendah dan jamur), pemanjangan batang,
pembukaan stomata, dan aktivasi flavoenzim.
Dulu diargumentasikan bahwa, karena Pr dan Pfr menyerap cahay biru yang berbeda,
control respon seperti pemanjangan batang oleh cahaya biru mungkin juga dapat dijelaskan
melalui fitokrom. Bagaimanapun, seperti pada kasus respon energi yang tinggi, beberapa
bukti menunjuk pada fotoreseptor yang terpisah (berbeda). (1) pada beberapa
perkecambahan, cahaya merah dan biru dirasakan oleh organ yang berbeda sementara
sensitivitas organ lain menjadi hilang selama perkembangan tetapi sensitivitas terhadap
cahaya merah tidak. (2) ada juga perbedaan kinetic. Menggunakan transduser sensitive untuk
mengukur respon pertumbuhan yang cepat, Cosgrove (1981) telah menunjukkan bahwa
penghambatan cahaya biru pada pertumbuhan batang dapat diketahui dalam 60 detik
sementara cahaya respon merah tidak terjadi selama 15-90 menit. (3) pemanjangan dalam
pertumbuhan hipokotil dapat dihambat oleh keberlangsungan paparan cahaya biru yang
rendah dengan menggunakan background (latar belakang) tingkat paparan cahaya kuning
yang tinggi (ɸ=0,74) yang mengesampingkan pengaruh dari cahaya biru pada
photoequilibrium fitokrom (Thomas dan Dickinson, 1979).
Tabel 18.5 ko-aksi fitokrom dan sebuah reseptor cahaya biru dalam fotokontrol biosintesis antosianin pada perkecambahan milo (Surghum vulgare). Perlakuan dimulai pada hari kelima setelah penanaman. Kandungan antosianin diekspresikan dengan absorbansi pada 510 nm.
Perlakuan Kandungan antosianinn
27 hrs R
27 hrs Fr
3 hrs B + 24 hrs dark
3 hrs B + 5 min R + 24 hrs dark
3 hrs B + 5 min Fr + 24 hrs dark
3 hrs B + 5 min Fr + 5 min R + 24 hrs dark
0,0
0,0
0,19
0,19
0,05
0,19
Akhirnya, control biosintesis antosianin, sebuah cahaya biru yang dominan,
mengindikasikan sebuah ko-aksi antara reseptor biri dan fitokrom. Secara khusus, control
oleh fitokrom tidak menjadi begitu efektif sebelum diberi perlakuan dengan cahaya biru
dalam waktu yang cukup lama (tabel 18.5). identitas fotooreseptor cahaya biru yang
berinteraksi dengan fitokrom masih belum diketahui. Dimungkinkan merupakan kriptokrom
flavoprotein (Bab 7) atau fotoreseptor UVA-biru yang terlibat dalam fototropisme (Bab 19).
Respon UV-B
Dampak positif cahaya ultraviolet terhadap akumulasi antosianin telah diketahui sejak
pertengahan tahun 1930an. Kemudian, diketahui bahwa cahaya yang menembus dan disaring
kaca jendela, yang menyerap sinar ultraviolet, kurang efektif daripada sinar matahari yang
tidak disaring. Efek ini akhirnya dikarakterisasi oleh Wellman pada tahun 1971 ketika dia
menunjukkan bahwa biosintesis flavonoid pada kultur suspensi sel peterseli (Petroselinum
crispum) dan perkecambahan yang diinduksi oleh radiasi UV-B (280-320 nm) (Begss dkk,
1986). Efektivitas maksimum berada pada panjang gelombang 290-300 nm dengan sedikit
atau tidak ada pengaruh pada panjang gelombang 320 nm. Pada tahun 1986, Begss dkk
mendaftar sebelas spesies tumbuhan tingkat tinggi yang telah diberi perlakuan UV-B
menginduksi biosintesis antosianin dan flavonoid pada koleoptil, hipokotil, akar
perkecambahan, dan kultur sel.
Pada Sorgburn bicolor, spectrum aksi menunjukkan tiga puncak yakni 290, 385, dan
650 nm. Aksi pada 385 dan 650 nm dapat dibalik (dikembalikan) setelah pemaparan pada
cahaya far-red, tetapi panjang gelombang 290 tidak bisa. Yatsuhashi dkk (1982) menandai
puncak 385 dan 650 sebagai fitokrom, tannpa puncak 290 karena merupakan reseptor UV-B.
pada peterseli terlihat bahwa hasil biosintesis flavonoid berasal dari tiga ko-aksi pigmen,
yakni fitokrom, resptor biru yang terpisah, dan resptor UV-B. System UV-B merupakan
prasyarat yang diperlukan dalam biosintesis flavonoid sejak reseptor biru ataupun fitookrom
efektif kecuali didahului dengan perlakuan cahaya UV-B.
Identitas reseptor UV-B tidak diketahui. Fitokrom telah dipercaya - terikat pada
molekul protein yang menyerap sinar UV-B – tetapi hasilseperti yang dijelaskan di atas
sependapat menentangnya. Pada family Leguminosae, sintesis flavonoid akibat induksi
ultraviolet dapat dibalik (dikembalikan) dengan cahaya biru melalui cara yang mirip dengan
fotoreaktivasi kerusakan ultraviolet pada mikroorganisme. Dalam hal ini bisa melibatkan
DNAnya sendiri sebagai fotoreseptor UV, tapi puncak aksi digeser pada panjang gelombang
yang lebih pendek daripada karakteristik aksi UVB normal. Identitas dari reseptor UVB
masih harus diselesaikan.
Kanopi suatu vegetasi akan menahan dann mengabsorpsi sejumlah cahaya sehingga ini akan menentukan jumlah cahaya yang mampu menembus dan merupakan sejumlah energi yang dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan dasar. Intensitas cahaya yang berlebihan dapat berperan sebagai faktor pembatas. Cahaya yang kuat sekali dapat merusak enzim akibat foto- oksidasi, ini menganggu metabolisme organisme terutama kemampuan di dalam mensisntesis protein.
Cahaya matahari langsung nampak menjadi berkurang nilainya pada sebagian besar di bawah kanopi.
Cahaya Optimal Bagi Tumbuhan
Proses pertumbuhan dari tumbuhan membutuhkan hasil fotosintesis yang melebihi kebutuhan
respirasi. Jadi kebutuhan minimum cahaya untuk proses pertumbuhan ini baru terpenuhi apabila
cahaya melebihi titik kompensasinya. Bagi umumnya tumbuhan intensitas cahaya optimum untuk
fotosintesis haruslah lebih kecil dari intensitas cahaya matahari penuh apabila ditinjau dari sudut
kebutuhan daun secara individual. Meskipun demikian bila suatu tumbuhan besar hidup pada
cahaya yang penuh sebagian besar dari dedaunannya tidak dapat menerima cukup cahaya
matahari untuk fotosintesis secara maksimal akibat tertutup dedaunan di permukaan kanopinya.
Dengan demikian cahaya matahari penuh akan menguntungkan bagi daun-daun di dalam kanopi
untuk mencapai efektifitas fotosintesis secara total bagi tumbuhan untuk mengimbangi
kekurangan dari daun-daun yang berada dalam cahaya supra-optimal. Intensitas cahaya optimum
bagi tumbuhan yang hidup di habitat alami janganlah diartikan betul-betul cahaya optimal untuk
difotosintesis. Pada umumnya cahaya matahari itu terlalu kuat atau terlalu lemah bagi organ-organ
fotosintesis. Optimum haruslah diartikan bahwa kombinasi tertentu dari faktor-faktor lingkungan
lainnya, ingat konsep holosinotik, akan memberikan pengaruh bersih dari kondisi cahaya dalam
suatu perioda tertentu lebih baik untuk proses fotosintesis dibandingkan dengan keadaan lainnya.
Adaptasi Tumbuhan Terhadap Cahaya Kuat
Beberapa tumbuhan mempunyai karakteristik yang dianggap sebagai adaptasinya dalam
mereduksi kerusakan akibat cahaya yang terlalu kuat atau supra-optimal. Dedaunan yang
mendapat cahaya dengan intensitas yang tinggi kloroplast berbentuk cakram, posisinya
sedemikian rupa sehingga cahaya yang diterima hanya oleh dinding vertikalnya. Bahkan pada
beberapa jenis tertentu letak daun secara keseluruhan sering tidak berada dalam keadaan
horisontal, hal ini untuk menghindar dari arah cahaya yang tegak lurus pada permukaan daun dan
ini berarti mengurangi kuat cahaya yang masuk. Berkurangnya kadar klorofil pada intensitas
cahaya yang tinggi mengandung aspek yang menguntungkan, cahaya yang diserap atau
diabsorpsi akan mempertinggi energi ayng diubah menjadi panas akibat efisiensi ekologi yang
rendah. Hal ini akan tidak saja menggenggui keseimbangan air tetapi juga akan mengganggu
keseimbangan fotosintesis dengan respirasi dalam tumbuhan.
Telah banyak dipelajari bahwa umumnya tumbuhan tropika intensitas cahaya yang diterima
mempunyai hubungan langsung dengan kadar anthocyanin. Pigmen ini yang biasanya terletak
pada lapisan permukaan dari sel berperan sebagai pemantul cahaya sehingga menghambat atau
mengurangi penembusan cahaya ke jaringan yang lebih dalam. Pigmen-pigmen yang berwarna
merah ini akan memantulkan terutama cahaya merah yang berkadar panas. Dengan
dipantulkannya cahaya merah ini maka akan mereduksi kemungkinan kerusakan-kerusakan sel
sebagai akibat pemanasan. Ternyata suhu di bawah lapisan berwarna merah dari suatu buah
mempunyai suhu lebih rendah jika dibandingkan dengan bagian lainnya yang berwarna hijau.
Beberapa ganggang yang bebas bergerak akan menghindar dari cahaya yang terlalu kuat dengan
jalan pergerakan secara vertikal, bermigrasi ke kedalaman air.
1. LAPORAN HASIL KEGIATAN PRAKTIKUM STRUKTUR DAN FISIOLOGI PENGAMATAN STRUKTUR ANATOMI (MESOFIL) DAUN RUMPUT GAJAH (Panicum maximum) DI TEMPAT NAUNGAN DAN TIDAK TERNAUNGI DI SUSUN OLEH : KELOMPOK II JUMIATI RENI ASMARANY SYAWALINA FITRIA P2BA11034 P2BA11051 P2BA11053 KEMENTRIAN PENDIDIKAN NASIONAL DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN TINGGI PROGRAM PASCA SARJANA FAKULTAS BIOLOGI UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO 2012 PENGAMATAN STRUKTUR ANATOMI (MESOFIL) DAUN RUMPUT GAJAH (Panicum maximum) DI TEMPAT NAUNGAN DAN TIDAK TERNAUNGI
2. I. I.1. Latar Belakang I.1.1. PENDAHULUAN Fungsi dan Struktur Daun Daun merupakan salah satu organ tumbuhan yang tumbuh dari batang, umumnya berwarna hijau (mengandung klorofil) dan terutama berfungsi sebagai penangkap energi dari cahaya matahari untuk fotosintesis. Daun adalah organ terpenting bagi tumbuhan dalam melangsungkan hidupnya karena merupakan organisme autotrof obligat, sehinga harus memasok kebutuhan energinya sendiri melalui konversi energi cahaya menjadi energi kimia. Terganggunya proses penangkapan cahaya matahari akan berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman (Gardner et al., 1991). Daun mempunyai bentuk yang sangat beragam, namun biasanya berupa helaian, bisa tipis atau tebal. Gambaran dua dimensi daun digunakan sebagai pembeda bagi bentuk-bentuk daun. Bentuk dasar daun membulat dengan variasi cuping menjari atau menjadi elips dan memanjang. Bentuk ekstrimnya bisa meruncing panjang. Daun juga bisa bermodifikasi menjadi duri (misalnya pada kaktus), sehingga daun kehilangan fungsinya sebagai organ fotosintetik. Daun tumbuhan sukulen atau xerofit juga dapat mengalami peralihan fungsi menjadi organ penyimpan air. Warna hijau pada daun berasal dari kandungan klorofil pada daun. Klorofil adalah senyawa pigmen yang berperan dalam menyeleksi panjang gelombang cahaya yang energinya diambil dalam fotosintesis. Sebenarnya daun juga memiliki pigmen lain, misalnya karoten (berwarna jingga), xantofil (berwarna kuning), dan antosianin (berwarna merah, biru, atau ungu, tergantung derajat keasaman). Daun tua kehilangan
3. klorofil sehingga warnanya berubah menjadi kuning atau merah (dapat dilihat dengan jelas pada daun yang gugur). Daun mempunyai beberpa fungsi, yaitu sebagai berikut : Tempat terjadinya fotosintesis. pada tumbuhan dikotil, terjadinya fotosintesis di jaringan parenkim palisade. sedangkan pada tumbuhan monokotil, fotosintesis terjadi pada jaringan spons. Sebagai organ pernapasan. Di daun terdapat stomata yang befungsi sebagai organ respirasi (lihat keterangan di bawah pada Anatomi Daun). Tempat terjadinya transpirasi. Tempat terjadinya gutasi. Alat perkembangbiakkan vegetatif. Misalnya pada tanaman cocor bebek (tunas daun). Daun mempunyai struktur anatomi sebagai berikut : i. Epidermis Epidermis pada daun merupakan lapisan sel hidup terluar. Jaringan ini terbagi menjadi epidermis atas dan epidermis bawah, berfungsi melindungi jaringan yang terdapat di bawahnya. ii. Jaringan mesofil Mesofil merupakan
jaringan parenkimatis yang terdapat di antara epidermis yang berdiferensiasi membentuk jaringan fotosintetik yang banyak mengandung klorofil, yang berfungsi dalam proses pembuatan makanan. Mesofil disebut juga jaringan tiang. Mesofil terbagi atas : 1) Palisade/ jaringan tiang :
4. Merupakan sel memanjang berbentuk batang, tersusun dalam barisan, tegak lurus permukaan daun. Terdiri dari satu atau beberapa lapis sel yang mengandung kloroplas. terspesialisasi untuk meningkatkan efisiensi fotosintesis. terdapat tepat di bawah epidermis, umumnya pada sisi adaksial daun dorsiventral/bifacial. Pada tumbuhan xerofit (hidup pada kondisi kering), palisade terdapat pada kedua sisi /permukaan daun- daun isolateral/ isobilateral. Bentuk dan susunan sel pada palisade memungkinkan kloroplas terlokalisasi pada posisi yang paling strategis untuk menyerap cahaya matahari secara maksimum. Peningkatan efisiensi fotosintesis juga ditentukan oleh adanya ruang antar sel pada mesofil, yang akan memfasilitasi pertukaran gas yang cepat. Area permukaan sel yang bebas dari kontak dengan sel lain pada sel-sel palisade juga merupakan faktor yang menentukan tingginya efisiensi fotosintesis pada jaringan ini. 2) Jaringan bunga karang Disebut juga jaringan spons karena lebih berongga bila dibandingkan dengan jaringan palisade. Bentuknya isodiametris atau memanjang sejajar permukaan daun. Terletak di bawah palisade Fungsi utama penyimpanan gula dan asam amino yang disintesis di lapisan palisade. Membantu proses pertukaran gas
5. Pada siang hari sel-sel bunga karang mengeluarkan O2 dan uap air ke lingkungan dan mengambil CO2 dari lingkungan iii. Berkas pembuluh angkut Terdiri dari xilem atau pembuluh kayu dan floem atau pembuluh tapis, pada tumbuhan dikotil keduanya dipisahkan oleh kambium. Pada akar, Xilem berfungsi mengangkut air dan mineral menuju daun. Pada batang, xilem berfungsi sebagai sponsor penegak tumbuhan, sedangkan floem berfungsi mentransfor hasil fotosintesis dari daun ke seluruh bagian tumbuhan iv. Stomata Stoma atau stomata berfungsi sebagai organ respirasi. Stoma mengambil CO2 dari udara untuk dijadikan bahan fotosintesis, mengeluarkan O 2 sebagai hasil fotosintesis. Stoma ibarat hidung kita dimana stoma mengambil CO 2 dari udara dan mengeluarkan O2, sedangkan hidung mengambil O2 dan mengeluarkan CO2. Stoma terletak di epidermis bawah. Selain stoma, tumbuhan tingkat tinggi juga bernafas melalui lentisel yang terletak pada batang. I.1.2. Rumput Gajah Rumput Gajah (P. purpureum Schum.) adalah salah satu jenis hijauan unggul untuk makanan ternak karena berproduksi tinggi, kualitasnya baik, dan daya adaptasinya tinggi (Reksohadiprojo, 1985). Rumput gajah berasal dari Afrika tropika, kemudian menyebar dan diperkenalkan ke daerah daerah tropika di dunia, dan tumbuh alami di seluruh Asia Tenggara yang bercurah hujan melebihi 1.000 mm dan tidak ada musim panas yang panjang. Rumput ini dikembangkan secara terus-menerus dengan berbagai silangan sehingga menghasilkan banyak kultivar, terutama di Amerika, Philippine dan India (Whiteman et al,. 1974).
6. Rumput gajah merupakan keluarga rumput rumputan (graminae) yang telah dikenal manfaatnya sebagai pakan ternak pemamah biak (Ruminansia) yang alamiah di Asia Tenggara. Rumput ini biasanya dipanen dengan cara membabat seluruh pohonnya lalu diberikan langsung (cut and carry) sebagai pakan hijauan untuk kerbau dan sapi, atau dapat juga dijadikan persediaan pakan melalui proses pengawetan pakan hijauan dengan cara silase dan hay (Siregar, 1970). Selain itu, rumput gajah juga bisa dimanfaatkan sebagai mulsa tanah yang baik. Di Indonesia sendiri, rumput gajah merupakan tanaman hijauan utama pakan ternak (Reksohadiprojo, 1985). Rumput ini secara umum merupakan tanaman tahunan yang berdiri tegak, berakar dalam, dan tinggi dengan rimpang yang pendek. Tinggi batang dapat mencapai 2-4 meter (bahkan mencapai 6-7 meter), dengan diameter batang dapat mencapai lebih dari 3 cm dan terdiri sampai 20 ruas/buku. Tumbuh berbentuk rumpun dengan lebar rumpun hingga 1 meter. Pelepah daun gundul hingga berbulu pendek; helai daun bergaris dengan dasar yang lebar, ujungnya runcing (Hughes et al,. 1976). Gambar 1. Rumput gajah berusia 2 (dua) minggu Rumput gajah merupakan tumbuhan yang memerlukan hari dengan waktu siang yang pendek, dengan fotoperiode kritis antara 13-12 jam. Namun kelangsungan
7. hidup serbuk sari sangat kurang sehingga menjadi penyebab utama dari penentuan biji yang lazimnya buruk (Whiteman et al,. 1974). Disamping itu, kecambahnya lemah dan lambat. Oleh karenanya rumput ini secara umum ditanam dan diperbanyak secara vegetatif. Bila ditanam
pada kondisi yang baik, bibit vegetatif tumbuh dengan cepat dan dapat mencapai ketinggian sampai 2-3 meter dalam waktu 2 bulan (Hughes et al,. 1976). Rumput gajah ditanam pada lingkungan hawa panas yang lembab, tetapi tahan terhadap musim panas yang cukup tinggi dan dapat tumbuh dalam keadaan yang tidak seberapa dingin. Rumput ini juga dapat tumbuh dan beradaptasi pada berbagai macam tanah meskipun hasilnya akan berbeda. Akan tetapi rumput ini tidak tahan hidup di daerah hujan yang terus menerus. Secara alamiah rumput ini dapat dijumpai terutama di sepanjang pinggiran hutan. Di Indonesia, produksi segar rumput Gajah jenis Hawaii berbulu mencapai 277 ton/ha/tahun (36 ton/ha/tahun bahan kering) (Reksohadiprojo, 1985). I.1.3. Cahaya dan Fotosintesis Fotosintesis terjadi pada semua bagian berwarna hijau pada tumbuhan karena memiliki kloroplas, tetapi tempat utama berlangsungnya fotosintesis adalah daun. Pigmen warna hijau yang terdapat pada kloroplas disebut dengan klorofil, dan dari zat inilah warna daun berasal. Klorofil menyerap energi cahaya yang menggerakkan sintesis molekul makanan dalam kloroplas untuk menghasilkan energi (Campbell, 2002). Selain klorofil tumbuhan juga membutuhkan cahaya untuk perkembangannya. Cahaya merupakan salah satu kunci penentu dalam proses metabolisme dan fotosintesis tanaman. Cahaya dibutuhkan oleh tanaman mulai dari proses perkecambahan biji sampai tanaman dewasa. Respon tanaman terhadap cahaya berbeda-beda antara jenis satu dengan jenis lainnya. Ada tanaman yang tahan ( mampu tumbuh ) dalam kondisi cahaya yang terbatas atau sering disebut tanaman toleran dan
8. ada tanaman yang tidak mampu tumbuh dalam kondisi cahaya terbatas atau tanaman intoleran. Kedua kondisi cahaya tersebut memberikan respon yang berbeda-beda terhadap tanaman, baik secara anatomis maupun secara morfologis (Morais et al,. 2004). Tanaman yang tahan dalam kondisi cahaya terbatas secara umum mempunyai ciri morfologis yaitu daun lebar dan tipis, sedangkan pada tanaman yang intoleran akan mempunyai ciri morfologis daun kecil dan tebal. Kedua kondisi tersebut akan dapat menjadi faktor penghambat pertumbuhan tanaman apabila pemilihan jenis tidak sesuai dengan kondisi lahan, artinya tanaman yang toleran ketika ditanam diareal yang cukup cahaya justru akan mengalami pertumbuhan yang kurang baik, begitu juga dengan tanaman intolean apabila di tanam pada areal yang kondisi cahaya terbatas pertumbuhan akan mengalami ketidak normalan (Darmawan dan Baharsyah, 1983). Dengan demikian pemilihan jenis berdasarkan pada sifat dasar tanaman akan menjadi kunci penentu dalam keberhasilan pembuatan tanaman. Berikut ini adalah perbedaan Tanaman Toleran ( Shade leaf) Vs Intoleran ( Sun Leaf) menurut Silvika (2009) : 1. Tumbuhan cocok ternaungI menunjukkan laju fotosintesis yang sangat rendah pada intensitas cahaya tinggi dibanding tumbuhan cocok terbuka. 2. Laju fotosintesis tumbuhan cocok ternaung mencapai titik jenuh pada intensitas cahaya yang lebih rendah dibanding tumbuhan cocok terbuka. 3. Laju fotosintesis tumbuhan cocok ternaung lebih tinggi dibanding tumbuhan cocok terbuka pada intensitas cahaya yang sangat rendah. 4. Titik kompensasi cahaya untuk tumbuhan cocok ternaung lebih rendah dibanding tumbuhan cocok terbuka. Terdapat empat macam penerima cahaya yang dikenal dalam mempengaruhi fotomorfogenesis pada tumbuhan. Pertama, fitokrom yaitu diketahui paling kuat menyerap cahaya merah dan juga mampu menyerap cahaya biru. Kedua adalah
9. kriptoksom, yaitu kelompok sejumlah pigmen yang serupa menyerap cahaya biru dan gelombang ultraviolet. Ketiga, penerima cahaya UV yaitu satu atau beberapa senyawa yang tidak dikenal yang menyerap radiasi ultraviolet antara kurang lebih 280-320 nm. Keempat ialah protoklorofilida, yaitu pigmen yang menyerap cahaya merah dan biru, bias tereduksi menjadi klorofil (Sasmitamiharja, 1990). Telah diketahui bahwa beberapa enzim fotosintetik memegang peranan yang sangat penting di dalam proses fotosintesis pada tanaman tingkat tinggi. Fotosintesis yang diregulasi oleh cahaya merupakan suatu fenomena yang kornpleks, berpusat pada aktivitas enzim ribulosa bifosfat karboksilasel oksigenase (Rubisco) yang rnerupakan enzim utama untuk fiksasi karbon. Enzim Rubisco telah menjadi subyek penting untuk fotosintesis diteliti karena fungsi kontrolnya yang tinggi terhadap pada berbagai kondisi cahaya (Gardner et al., 1992). Dalam kondisi naungan, penurunan aktivitas enzim fotosintetik Rubisco rnenyebabkan turunnya hasil biji, karena intensitas cahaya yang rendah rnenyebabkan rendahnya pembentukan 3fosfogliserat (3-PGA) (Dwijoseputro,1980). I.2. Tujuan 1. Mengetahui prosedur kerja pengamatan terhadap struktur dan anatomi tumbuhan, terutama daun yang
memiliki khloroplas. 2. Mengetahui pengaruh cahaya terhadap struktur dan anatomi daun rumput gajah.
10. II. II.1. PROSEDUR KERJA Alat dan Bahan Alat-alat dan bahan yang digunakan pada kegiatan praktikum ini adalah sebagai berikut : Peralatan : Mikroskop Kaca preparat Kaca objek (penutup) Pisau silet Pipet tetes Alat pengait Bahan –bahan : Daun rumput gajah dari tempat yang ternaungi Daun rumput gajah dari tempat yang tidak ternaungi akuades II.2. Waktu dan Tempat
11. Kegiatan praktikum dilaksanakan pada tanggal 21 Januari 2012 dan bertempat di laboratorium Fisiologi Tumbuhan, Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. II.3. Cara Kerja Alat dan bahan disiapkan Daun rumput gajah dari tempat yang ada naungan dan tidak ada naungan (terkena cahaya matahari langsung) dipotong melintang setipis mungkin Dengan menggunakan alat pengait, daun diletakkan pada preparat yang sudah ditetesi aquabides sebanyak 1-2 tetes Tutup kaca preparat dengan objek glass (kaca objek), lalu letakkan di mikroskop dan amati struktur anatomi kedua sampel daun tersebut secara bergantian. Perhatikan susunan dan letak setiap macam jaringan yang menyusun organorgan tersebut Gambar dan tunjukkan bagian-bagian setiap organ secara lengkap dan jelas Pengamatan dilakukan dengan perbesaran awal 4 hingga 40
12. III. III.1. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pengamatan Beradasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa daun rumput gajah yang dipelihara pada tempat ternaungi memiliki jumlah mesofil yang lebih sedikit
13. dibandingkan dengan daun rumput gajah yang dipelihara pada tempat yang terkena cahaya matahari secara langsung. Kondisi tersebut menyebabkan daun rumput gajah pada tempat ternaungi mempunyai ukuran (ketebalan daun) yang lebih tipis dibandingkan dengan daun rumput gajah yang dipelihara pada tempat yang terkena cahaya matahari langsung (tidak ternaungi). Perbedaan ini secara jelas dapat dilihat pada gambar berikut ini. III.2.
14. Pembahasan III.
15. 2.1. Pengaruh Intensitas Cahaya Terhadap Proses Perkembangan Daun. Proses fotosintesis tidak lepas dari peran cahaya matahari. Respon tanaman terhadap intensitas cahaya yang berbeda tergantung dari sifat adaptif tanaman tersebut. Respon terhadap intensitas cahaya tinggi dapat menguntungkan atau merugikan. Hal ini karena tanaman memiliki ambang batas terhadap intensitas cahaya yang harus diterima. Intensitas cahaya yang tinggi menyebabkan rusaknya struktur kloroplas yang membantu proses metabolisme tanaman, sehingga menyebabkan produktifitas tanaman menurun (Salisbury dan Ross, l992). Tanaman yang tumbuh pada intensitas cahaya yang rendah sampai cukup, menunjukkan ukuran luas daun lebih besar namun ketebalannya lebih tipis. Menurut Fahn (l992), pertumbuhan awal daun terjadi karena meristem apikal dan marginal, yang keduanya mempunyai pola pembelahan. Pada tanaman dikotil, lapisan terluar meristem marginal membelah antiklinal dan tidak tergantung pada lapisan sel di bawahnya. Perluasan dalam permukaan daun berasosiasi dengan peningkatan jumlah dan ukuran kloroplas serta jumlah klorofil yang terdapat pada palisade dan spons parenkim. Susunan sel-sel jaringan palisade saling melekat, tetapi beberapa bagian terpisah sehingga udara dalam ruang antar sel tetap mencapai sisi panjang dengan kloroplas melekat tepi dinding. Hal ini terspesialisasi untuk efisiensi fotosintesis atau dimensi daerah permukaan bebas Disamping itu, adanya tulang-tulang daun kecil sangat berperan dalam penyebaran arus transpirasi melalui mesofil dan berperan sebagai titik awal penyerapan hasil fotosintesis dan translokasinya ke luar daun. Sel penengah (sel antara mesofil dan unsur tapis) dalam tulang daun minor sesuai dengan konsep bahwa sel mentransfer karbohidrat ke aliran (konduit) dalam floem memerlukan energi, untuk dipakai dalam pertumbuhan dan penyimpanan. Daun ternaungi lebih tampak berwarna hijau, merupakan adaptasi daun agar menyerap cahaya lebih efektif (Lakitan, 200l), sedangkan daun terkena sinar matahari langsung berwarna hijau keunguan. Pigmen ini diduga merupakan antosianin yang berfungsi melindungi klorofil dan protoklorofil dari kerusakannya akibat fotooksidasi. Jumlah daun lebih banyak, namun luasnya kecil-kecil. Pigmen ini juga berfungsi membantu klorofil dalam menangkap cahaya dalam proses
fotosintesis. Menurut Inaba (1984), ketebalan sel epidermis atas dan bawah, jaringan palisade serta jaringan bunga karang daun berkurang dengan berkurangnya intensitas cahaya yang diterima tanaman. Jumlah lapisan sel palisade dan jaringan bunga karang juga berkurang dengan adanya naungan. Hal yang sama juga disampaikan oleh Callan dan Kennedy (1995), yang menyatakan bahwa daun tanaman yang mendapat cahaya matahari penuh jumlah mesofilnya lebih banyak, sehingga ukuran daun lebih tebal dan kadang-kadang lebih berbulu dibandingkan dengan perlakuan naungan, karena daun mempunyai sel parenkim berbentuk batang dan sel epidermis lebih tebal dibandingkan dengan daun tanaman yang dinaungi. Pengurangan intensitas cahaya yang diterima oleh daun mengakibatkan pengurangan tingkat ketebalan daun . Hal tersebut disebabkan perkembangan sel parenkim yang terganggu (Oguchi et al., 2005). Menurut Weaver dan Clements (1986), pada intensitas cahaya rendah tanaman hanya mampu mengembangkan satu lapisan jaringan palisade sedangkan pada intensitas cahaya tinggi tanaman mampu mengembangkan dua lapisan jaringan palisade. Jaringan palisade banyak mengandung kloroplas yang sangat penting dalam meningkatkan efisiensi fotosintesis (Bolhar dan Draxler, 1993). Ruang antar sel daun rumput gajah yang ditanam pada intensitas cahaya penuh lebih kecil
16. dibandingkan dengan ruang antar sel pada daun yang dinaungi. Menurut Morais et al. (2004), daun di bawah naungan mempunyai kutikula dan dinding sel yang tipis, jumlah stomata sedikit, volume mesofil lebih kecil, tetapi ruang antar selnya lebih besar. Menurut Gregoriou et al. (2007), tanaman yang beradaptasi baik terhadap naungan, apabila dipaparkan dibawah naungan akan mengalami pengurangan terhadap kepadatan stomata, trikoma, dan parenkim palisade lebih kecil dibandingkan dengan tanaman yang sensitif terhadap naungan. Menurut Salisbury dan Ross (1991), tanaman dikotil yang berkembang di bawah naungan mempunyai ukuran daun yang lebih tipis dibandingkan dengan daun yang berkembang pada kondisi tanpa naungan. Hal tersebut dikarenakan berkurangnya distribusi fotosintat ke masing-masing sel, sehingga sel penyusun helaian daun mengalami pengurangan ketebalan daun (Maghfiroh, 2006). Kemampuan tanaman dalam mengatasi cekaman naungan bergantung pada kemampuannya untuk melanjutkan fotosintesis dalarn kondisi defisit cahaya, yang dapat dicapai apabila respirasi juga efisien. Levitt (1980) menyatakan bahwa adaptasi terhadap naungan dicapai melalui : (i) mekanisme penghindaran (avoid- ance) yang berkaitan dengan perubahan anatomi dan morfologi daun untuk fotosintesis yang efisien, serta (ii) mekanisrne toleran (toleransi) yang berkaitan dengan penurunan titik kornpensasi cahaya serta respirasi yang efisien. Berdasarkan hasil tersebut di atas, tampak jelas bahwa pengurangan ketebalan daun disebabkan oleh berkurangnya ketebalan sel epidermis atas dan bawah, serta jaringan palisade. III.2.2. Adaptasi Tanaman Terhadap Intensitas Cahaya Tinggi Energi cahaya yang diserap oleh tanaman dirubah ke dalam bentuk panas, untuk melindungi tanaman dari intensitas cahaya dan suhu tinggi. Dedaunan tanaman heliophytes yang tidak tepat menerima cahaya matahari, akan mengurangi jumlah cahaya langsung yang jatuh pada permukaannya. Tanggapan terhadap peningkatan intensitas cahaya berbeda antara tumbuhan yang cocok untuk kondisi ternaungi
17. dengan tumbuhan yang bisa tumbuh pada kondisi tidak ternaungi. Tumbuhan cocok ternaungi menunjukkan laju fotosintesis yang sangat rendah pada intensitas cahaya tinggi. Laju fotosintesis tumbuhan cocok ternaungi mencapai titik jenuh pada intensitas cahaya yang lebih rendah, laju fotosintesis lebih tinggi pada intensitas cahaya yang sangat rendah, titik kompensasi cahaya lebih rendah dibanding tumbuhan cocok terbuka (Lakitan, l993). Tanaman yang tumbuh pada kondisi cahaya penuh dapat beradaptasi dari pengaruh radiasi tinggi dengan beberapa cara (Gardner et al., 1991), yaitu sebagai berikut : 1. Beberapa spesies membentuk arah tumbuh daun secara vertikal. 2. Membentuk bulu-bulu putih atau permukaaan yang mengkilap pada daun untuk memantulkan kembali banyak radiasi yang diterima. 3. Membentuk lapisan tipis pada daun untuk melindungi selnya. 4. Kecepatan transprasi yang tinggi pada tanaman heliophytes menjamin dedaunannya akan tetap dingin. 5. Adanya lapisan kutikula pada daun dan adanya jaringan gabus pada kulit kayu akan membantu mengisolasi tanaman dari radiasi matahari. Menurut Levitt (1980), terdapat dua mekanisme yang dapat menggambarkan toleransi tanaman terhadap suatu cekaman, yaitu : penghindaran dan toleransi. Mekanisme adaptasi terhadap kekurangan cahaya dapat dicapai melalui peningkatan efisiensi penangkapan cahaya, berupa (1) Peningkatan penangkapan cahaya secara total melalui peningkatan luas daun, peningkatan
proporsi luas daun per unit jaringan tanaman. Efisiensi maksimum dapat dicapai melalui peningkatan luas daun dan pengurangan penggunaan energi. Oleh karena itu, daun-daun yang ternaungi memiliki ketebalan daun yang tipis dan kadar bahan keringnya rendah, hasil
18. fotosintesis per unit bahan kering maksimum juga rendah. (2) Peningkatan persentase cahaya terserap untuk proses fotosintesis, melalui pengurangan proporsi cahaya yang dipantulkan dan ditransmisikan. Mekanisme tersebut digambarkan oleh peningkatan kandungan kloroplas dan pigmen-pigmen yang ada di dalamnya serta susunan grana, terhambatnya perkembangan kutikula, lapisan lilin, dan bulu daun. IV. KESIMPULAN Daun tanaman rumput gajah yang mendapat cahaya matahari penuh jumlah mesofilnya lebih banyak, sehingga ukuran daun lebih tebal dan lebih berbulu dibandingkan dengan perlakuan naungan, karena daun gajah tersebut mempunyai sel parenkim berbentuk batang dan sel epidermis lebih tebal dibandingkan dengan daun tanaman rumput gajah yang dipelihara pada naungan. Pengurangan intensitas cahaya yang diterima oleh daun mengakibatkan pengurangan tingkat daun. Hal tersebut disebabkan perkembangan sel parenkim yang terganggu. ketebalan
19. DAFTAR PUSTAKA Bolhar-Nordenkampf, H.R., G. Draxler. 1993. Functional leaf anatomy. In: D.O. Hall, J.M.O. Scurlock, H.R. Bolhar – Nordenkampf, R.C. Leegood, S.P. Long (eds.) Photosynthesis and Production in a Changing Environment. A Field and Laboratory Manual. Chapman & Hall. London. Glasgow. New York. Tokyo. Melbourne. Madras. p. 91-112. Callan, E. J., C. W. Kennedy. 1995. Intercropping stokes aster: Effect of shade on photosynthesis and plant morphology. Crop Sci. 35: 1110-1115. Campbell, N. A. 2002. Biologi Jilid I. Erlangga. Jakarta. Darmawan dan Baharsyah. 1983. Dasar-dasar Fisiologi Tanaman. PT Suryani Utama. Semarang. Dwijoseputro, D. 1980. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. Gramedia. Jakarta Fahn, A. l992. Anatomi Tumbuhan. PT Gramedia. Jakarta. Gardner, P. F., Pearce, R. B. and Mitchell, R. L. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta.
20. Gregoriou, K., K. Pontikis, S. Vemmos. 2007. Effects of reduced irradiance on leaf morphology, photosynthetic capacity, and fruit yield in olive (Olea europaea L.). Photosynthica 45(2) : 172-181. Hughes, HD., Heath, ME., Metcafe, DS. 1976. Forages The Science of Grassland Agriculture. The Lowa State University Press. USA. Inaba, K. 1984. Effect of shading on leaf anatomy in Konjak plants (Amorphophallus konjac). Japanese J. Crop Sci. 53(3): 243-248. Lakitan, Benyamin. l993. Dasar-dasar Fisiologi Tumbuhan. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Lakitan, Benyamin. 2001. Dasar-dasar Fisiologi Tumbuhan. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Levitt, J. 1980. Responses of Plants to Environmental Stresses. Water, Radiation, Salt, and Other Stresses. Vol. II. Academic Press, Inc. (London) LTD. Maghfiroh, L. 2006. Identifikasi genotip kedelai (Glycine max L.) tahan naungan. (Skripsi). Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Malang. Morais, H., M.E. Medri, C.J. Marur, P.H. Caramori, A. M. de Arrura Ribeiro, J.C. Gomes. 2004. Modifications on leaf anatomy of Coffea arabica caused by shade of pigeonpea (Cajanus cajan). Brazilian Archives of Biology and Technology. 47(6): 863-871. Oguchi, R., K. Hirokas, T. Hirose. 2005. Leaf anatomy as a constraint for photosynthetic acclimation: differential responses in leaf anatomy to increasing growth irradiance among three deciduous trees. Plant, Cell & Environment 28(7) : 916-927. Reksohadiprodjo, S. 1985. Produksi Tanaman Hijauan Makanan Ternak Tropik. Bagian Penerbitan Fakultas Ekonomi UGM. Yogyakarta. Sallisbury, F. B. And Ross, C. W. l992. Plant Physiologi. Wadsworth Publishing Company Belmont, California. Sasmitamiharjdo, D. Siregar. 1990. Dasar- dasar Fisiologi Tumbuhan. ITB. Bandung Silvika. 2009. Cekaman Cahaya. http://silvika.atspace.com/acara3.htm. Diakses pada tanggal 23 Januari 2012.
21. Siregar, M.E. 1970. Pengaruh Umur Pemotongan Terhadap Hasil dan Mutu Rumput Gajah Varietas Hawaii. Lembaga Penelitian Pertanian Bogor. Bogor. Weaver, J.E., and F.E. Clements. 1986. Plant Ecology. 2nd Edition. Tata McGraw-Hill Publishing Company, Ltd. New Delhi. Whiteman, PC., Humpreys, LR., Monteith, H., Howth, EH., Bryant, PM., Slater, JE. 1974. A Course Manual in Tropical Pasture Science. Australian Vice-Chancellor Committee Brisbance. Watson Ferguson & Co. Ltd.
cahaya pada tumbuhanBAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Cahaya matahari adalah sumber energi utama bagi kehidupan seluruh
makhluk hidup di dunia. Bagi manusia dan hewan cahaya matahari adalah
penerang dunia ini. Selain itu , bagi tumbuhan khususnya yang berklorofil cahaya
matahari sangat menentukan proses fotosintesis. Fotosintesis adalah proses dasar
pada tumbuhan untuk menghasilkan makanan. Makanan yang dihasilkan akan
menentukan ketersediaan energi untuk pertumbuhan dan perkembangan
tumbuhan. Kekurangan cahaya matahari akan mengganggu proses fotosintesis dan
pertumbuhan, meskipun kebutuhan cahaya tergantung pada jenis tumbuhan.
Misalnya saja pada tanaman anggrek. Tanaman anggrek dalam istilah
ilmiahnya disebut Orchidaceae. Anggrek disukai oleh para penggemarnya karena
bunganya yang indah warna warni beraneka ragam dari kuning, hijau, biru, violet,
ungu tua, merah cabai, coklat tembaga, merah bata, harumnya bunga dan kerena
bunganya tahan lama, untuk anggrek bulan (Phalaenopsis) antara 1 sampai dengan
5 bulan.
Di Indonesia yang beriklim tropis ini, mempunyai ekologi yang istimewa, dari
iklim hangat seperti dekat pantai, iklim sedng seperti dikaki gunung, dan iklim
sejuk diatas gunung. Dengan demikian, Indonesia dapat menanam segala jenis
angggrek dari seluruh dunia, mulai dari iklim tropis sampai dengan iklim sub tropis.
Untuk memperoleh pertumbuhan anggrek yang optimal dan rajin berbunga maka
kondisi lingkungan tanaman anggrek haruslah dalam keadaan yang optimum.
1.2.Rumusan Masalah
1.2.1. Bagaimanakah pengaruh cahaya dalam proses fotosintesis?
1.2.2. Bagaimanakah pengaruh cahaya matahari terhadap pertumbuhan dan
perkembangan tanaman anggrek?
1.2.3. Bagaimanakah perbedaan pertumbuhan tanaman anggrek yang diberi naungan
dan tanpa naungan?
1.3. Tujuan
1.3.1. Untuk mengetahui pengaruh cahaya dalam proses fotosintesis.
1.3.2. Untuk mengetahui pengaruh cahaya matahari terhadap pertumbuhan dan
perkembangan tanaman anggrek.
1.3.3. Untuk mengetahui perbedaan pertumbuhan tanaman anggrek yang diberi naungan
dan tanpa naungan.
1.4. Manfaat
Manfaat yang kita ambil adalah kita dapat mengetahui pengaruh cahaya
matahari terhadap pertumbuhan tanaman.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
A. Proses Fotosintesis
Proses fotosintesis adalah proses pengolahan bahan dari luar tanamanseperti
air, CO2, nutrisi, yang akan digunakan untuk kebutuhan hidup, memperbaiki
kerusakan sel, dan sebagai sumber energi serta untuk membentuk cadangan
makanan bagi tanaman.
Pada siang hari apabila mendung maka proses asimilasi akan berkurang.
Dan bila temperatur tinggi, maka tanaman akan kehilangan cadangan makanan,
karena proses disimilasi juga tinggi. Proses disimilasi adalah proses membongkar
dan menguraikan zat-zat cadangan makanan yang akan dijadikan energi panas atau
energi lainnya. Proses disimilasi akan terjadi lebih giat apabila temperatur
lingkungannya panas.
Sebaliknya bila cahaya cerah dan temperatur agak rendah, maka tanaman
akan terjadi pertumbuhan.
B. Tanaman Anggrek
Tanaman anggrek dalam istilah ilmiahnya disebut Orchidaceae. Anggrek
disukai oleh para penggemarnya karena bunganya yang indah warna warni
beraneka ragam dari kuning, hijau, biru, violet, ungu tua, merah cabai, coklat
tembaga, merah bata, harumnya bunga dan kerena bunganya tahan lama, untuk
anggrek bulan (Phalaenopsis) antara 1 sampai dengan 5 bulan.
Indonesia beriklim tropis, mempunyai ekologi yang istimewa, dari iklim
hangat seperti dekat pantai, iklim sedang seperti dikaki gunung, dan iklim sejuk
diatas gunung. Dengan demikian sebenarnya Indonesia dapat ,menanam segala
jenis angggrek dari seluruh dunia, mulai dari iklim tropis sampai dengan iklim sub
tropis. Untuk memperoleh pertumbuhan anggrek yang optimal dan rajin berbunga
maka kondisi lingkungan tanaman anggrek haruslah dalam keadaan yang optimum.
Faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan anggrek yaitu faktor
makro dan faktor mikro.
Faktor makro meliputi:
1. Cahaya matahari
2. Suhu udara
3. Kelembaban
4. Awan
5. Angin
6. O2 dan CO2
7. Pencemaran udara
Faktor mikro (faktor edatif) yaitu media tumbuh yang meliputi:
1. Unsur hara
2. Tekstur
3. Struktur media
4. Komposisi larutan
5. Komposisi udara media terutama O2 dn CO2
C. Anggrek dan Kebutuhan Cahaya Matahari
Anggrek untuk hidupnya mutlak membutuhkan cahaya matahari. Kebutuhan
tanaman anggrek terhadp intensitas cahaya matahari berbeda-beda tergantung
pada jenisnya, ada yang membutuhkan cahaya matahari yang banyak, tetapi ada
pula jenis yang membutuhkan hanya sedikit. Menurut Simon & Schusters (19)
mengemukakan bahwa anggrek Dendrobium memerlukan cahaya matahari penuh
(full sun) sedang Cattleya labiata, Cymbidium sp., Cypridium calceolus, dan
Phalaenopsis sp memerlukan cahaya matahari sebagian di naungi (semishade).
Menurut S.M. latif (1960) mengemukakan bahwa untuk anggrek Arachnis
(anggrek laba-laba = kalajengking) dapat tumbuh di tanah dan dalam panas
matahari langsung (full sun), untuk di pegunungan tinggi hidupnya cukup baik asal
mendapatkan panas matahari. Anggrek Dendrobium hampir semuanya
menghendaki udara yang panas dan mendapatkan panas pada siang hari. Anggrek
Paphiopedilum habitat aslinya tumbuh berada terlindungi di bawah pohon. Anggrek
Phalaenopsis semua jenisnya menyukai terang. Dan anggrek Vanda ditanam pada
tempat panas.
Menurut Yos Sutiyono (19) mengemukakan bahwa anggrek Cattleya,
Oncidium, Vanda pada umumnya hidup ditempat yang ternaungi. Sebaiknya
anggrek Vanda terete (Vanda pensil), Arachnis, Aranda, Renanthera, Renanthanda,
dan Aeridachnis memerlukan cahaya matahari dalam jumlah yang lebih banyak.
Menurut Sugeng Sri Lestari (1985) mengemukakan bahwa anggrek
Phalaenopsis membutuhkan banyak sinar matahari tetapi memerlukan juga peredah
yang agak lembab, terutama ia hanya memerlukan sedikit saja sinar yang secara
langsung mengenainya. Anggrek Cattleya menyukai sinar matahari yang cerah,
tetapi tidak dapat menerima sepenuhnya sinar matahari, maksimum 60 % dapat
menerima sinar matahari pada tanaman dewasa. Dan anggrek Vanda teres ditanam
ditanah pada tempat yang terkena sinar matahari penuh dan juga tahan sengatan
matahari.
Menurut Susiani Purbaningsih (1988) mengemukakan bahwa anggrek
komunitas pot (pembibitan) tidak terkena cahaya matahari secara langsung dan
kebutuhannya berkisar antara 800-1.500 f.c. Menurut Moeso Suryowinoto (1988)
mengemukakan bahwa kebutuhan jenis anggrek terhadap sinar matahari berbeda-
beda tergantung jenisnya:
Jenis anggrek menurut intensitas cahaya:
a. Paphiopedilum 10 – 15 %
b. Aerides 15 – 30 %
c. Vanda 20 - 30 %
d. Phalaenopsis 10 – 40 %
e. Cattlleya 20 – 40 %
f. Dendrobium 50 – 65 %
g. Oncidium 60 - 75 %
Secara garis besar dibedakan kreteria penyinaran cahaya matahari kedalam
empat kelompok:
1. Sinar kuat, berarti sinar matahari penuh atau 100 % tidak ada penghalang /
peneduh, ini ada di daerah tropis.
2. Agak teduh, intensitas sinar matahari 50 – 100 %. Adanya peneduh, kalau berupa
tirai adalah masih ada antara untuk masuknya cahaya yang cukup. Peneduh yang
berupa pohon biasanya pohon yang mempunyai daun majemuk yang tips seperti :
Flamboyan, sengon, petai, petai cina, asam, pinus dan lain-lain.
3. Setengah teduh, intensitas cahaya yang menjadikan keadaan setengah teduh
menggambarkan kondisi cahaya matahari yang masuk sebesar 50 %. Biasanya
digunakan tirai kain, plastik bening disemprot cat putih susu, dapat pula dipakai
tirai bambu.
4. Teduh sekali, suatu keadaan dimana sinar matahari tidak diterima langsung oleh
tanaman, tetapi sinar diperoleh dari difrasi / pemancaran diffuse. Disini intesitas
cahaya matahari besarnya kurang dari 5 %.
Berdasarkan ekologinya terhadap penerimmaan cahaya, tanaman
diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Heliofit, yaitu tanaman yang tumbuh baik jika kena cahaya matahari penuh.
2. Skiofit, yaitu tanaman yang tumbuh baik di intensitas cahaya yang lebih rendah.
Tanaman anggrek termasuk golongan heliofit sekaligus skioit tergantung
jenis anggreknya. Skiofit berbeda dengan helioffit dalam kemampuannya untuk
menambah kadar klorofil pada intensitas cahaya yang rendah. Skiofit kemungkinan
tidak dapat membentuk klorofil dengan cepat, jika tanaman tersebut terkena
cahaya matahari penuh. Cahaya yang terus menerus akan merusak klorofil
sehingga akan menghalangi fotosistesis.
BAB 3
PEMBAHASAN
1. Pengaruh cahaya dalam Proses Fotosintesis
Dalam proses fotosintesis, cahaya berpengaruh melalui intensitas, kualitas
dan lamanya penyinaran, tetapi yang terpenting adalah intensitasnya. Intensitas
cahaya berpengaruh terhadap pembesaran dan differensiasi sel. Sehubungan
dengan laju fotosintesis, intensitas cahaya yang semakin tinggi mengakibatkan lalu
fotosisntesis semakin tidak bertambah lagi walaupun intensitas cahaya terus
bertambah. Batas ini disebut titik saturasi cahaya atau titik jenuh cahaya (ligh
saturation point). Pada keadaan ini, cahaya bukan sebagai sumber energi maupun
sebagai bentuk, tetapi cahaya mengakibatkan temperatur daun meningkat, sebagai
akibat menutupnya stomata, sehingga sebagaian klorofil menjadi pecah dan rusak
(fotodestruktif).
Pada intensitas cahaya yang semakin menurun sampai batas tertentu jumlah
O2 yang dikeluarkan oleh proses fotosintesis sama dengan jumlah O2yang
diperlukan oleh proses respirasi. Batas ini disebut titik kompensasi cahaya (light
compensation point). Oleh karena itu setiap jenis tanaman mempunyai batas titik
kompensasi cahaya dan titik saturasi cahaya yang tidak sama. Tanaman yang
menerima cahaya diatas intensitas cahaya yang optimal daunnya menunjukkan
lebih tebal dengan jumlah klorofil lebih kecil. Hal ini sesuai dengan pendapat
Kramer dan Kozlowneski (1979) bahwa kandungan klorofil tanaman di bawah
naungan lebih besar per satuan berat kering dibandingkan dengan tanaman yang
terbuka, mampunyai daun yang lebih tebal, sehingga volumenya lebih besar per
satuan luas.
2. Pengaruh Cahaya Matahari Terhadap Pertumbuhan Dan Perkembangan
Tanaman Anggrek
Cahaya matahari merupakan sumber utama energi bagi kehidupan, tanpa
adanya cahaya matahari kehidupan tidak akan ada. Bagi pertumbuhan tanaman
ternyata pengaruh cahaya selain ditentukan oleh kualitasnya ternyata ditentukan
intensitasnya. Intensitas cahaya berpengaruh nyata terhadap sifat morfologi
tanaman. Tanaman yang mendapatkan cahaya matahari dengan intensitas yang
tinggi menyebabkan lilit batang tumbuh lebih cepat, susunan pembuluh kayu lebih
sempurna, internodianya lebih pendek, daun lebih tebal, tetapi ukurannya lebih
kecil dibanding dengan tanaman yang terlindung.
Beberapa efek dari cahaya matahari yang penuh (yang melebihi) kebutuhan
optimum dapat menyebabkan layu, fotosistesis lambat, laju respirasi meningkat
tetapi cenderung mempertinggi daya tahan tanaman. Intensitas cahaya yang tinggi
di daerah tropis tidak seluruhnya dapat digunakan oleh tanaman. Energi cahaya
matahari yang digunakan oleh tanaman dalam proses fotosintesis berkisar antar 0,5
– 2,0 % dari jumlah total energi yang tersedia. Sehingga hasil fotosintesis
berkurang apabila intensitas cahaya kurang dari batas optimum yang dibutuhkan
oleh tanaman, yang tergantung pada jenis tanaman. Hal ini juga berlaku terhadap
jenis-jenis anggrek.
Bila cahaya matahari kurang, karena tanaman anggrek berada dalam
keadaan terlalu teduh, maka proses fotosintesis akan berkurang, sehingga hidrat
arang sebagai hasil proses tersebut juga kurang jumlahnya. Bila tanaman kurang
dapat menghasilkan hidrat arang maka energipun hanya dihasilkan sedikit saja,
sedangkan energi perlu untuk akar menyerap air berikut zat hara dan mendorong
ke bagian tanaman lainnya.
Dalam keteduhan, sel dibentuk oleh tanaman anggrek adalah sel yang besar,
tetapi gembos, karena encernya protoplasma didalam sel tanamannya. Tanaman
akan panjang ruas-ruasnya (karena beretilasi) karena tanaman ingin mengejar
matahari dengan cepat, tanaman anggrek terlihat pucat, lemah. Tanaman akan
lebih mudah menguapkan air karena kutikula/lapisan lilin pada permukaan daun
sangat tipis.
Di dalam ruangan yang mempunyai intensitas cahaya sangat rendah,
pertumbuhan ruas (internodia) menjadi sangat lambat dan perkembangan daun
menjadi tertekan secara lemah dan pucat (etiolasi). Cahaya matahari dengan
assimilasinya akan menyebabkan hidrat arang pada suatu waktu mencapai nilai
ambang yang merupakan rangasan untuk tanaman anggrek berbunga. Dengan
keteduhan yang berlebihan, maka nilai ambang ini tidak akan tercapai, sehingga
bungapun tidak dihasilkan.
Disamping itu intensitas cahaya matahari mempengaruhi kualitas bunga.
Intensitas cahaya kurang warna bunganya tidak secerah bunga yang cukup cahaya
matahari. Tekstur / ketebalan bunga tidak seberapa sehingga bunga mudah sekali
layu dan cepat gugur. Pengurangan sinar dari suatu tanaman yang telah optimal
sinarnya, suhunya dan kelembabannya akan menyebabkan pengurangan
pertumbuhan akar dan tanaman menunjukkan gejala etiolasi. Kebutuhan cahaya
matahari dan temperatur berbeda untuk setiap jenis tanaman anggrek. Ada jenis
anggrek yang tidak tahan terhadap cahaya matahari langsung, misalnya Cattleya,
Dendrobium atau Phalaenopsis. Bila cahaya matahari kurang, daun tanaman
menjadi berwarna hijau tua, bunga tidak mau keluar, rentan terhadap serangan
hama dan penyakit, serta pertumbuhan tanaman kurang baik. Sedangkan bila
cahaya matahari berlebih, tanaman menjadi kekuning-kuningan, dan kadang-
kadang sampai terbakar. Terjadi pembongkaran cadangan makanan yang berlebih,
pertumbuhan terhambat, dan bila berlanjut tanaman akan mati.
Kebutuhan cahaya matahari (%) dan temperatur (OC) untuk beberapa jenis
tanaman anggrek (Tom Gunadi, 1979):
Jenis Anggrek % cahaya matahariTemperatur (OC)
Malam Siang
Cattleya 50 ~ 60 13 ~ 16 19 ~ 24
Dendrobium 50 ~ 60 15 ~ 16 25 ~ 27
Oncidium 60 15 ~ 18 27
Paphiopedilum(daun hijau)
10 ~ 15 13 21 ~ 25
Paphiopedilum(daun lurik)
20 ~ 30 15 ~ 19 27
Phalaenopsis 15 ~ 30 19 27
Vanda (pensil) 100 21 28
Vanda (sabuk) 30 ~ 50 21 28
3. Perbedaan Pertumbuhan Tanaman Anggrek yang Diberi Naungan dan
Tanpa Naungan
Tanaman anggrek yang menerima intensitas cahaya yang semakin tinggi,
jumlah daunnya semakin sedikit. Pertambahan jumlah daun maksimum dicapai
pada intensitas kira-kira 50 % terhadap cahaya penuh. Dan menunjukkan bahwa
jumlah klorofil daun mempunyai kecenderungan untuk menurun dengan menaiknya
intensitas cahaya. Jumlah klorofil daun erat hubungannya dengan proses
fotosintesis, sebab secara langsung akan mempengaruhi laju fotosintesiss. Laju
fotosintesis menunjukkan kenaikan dengan naiknya intensitas cahaya, tetapi laju
fotosintesis akan menurun setelah melewati titik saturasi cahaya.
Pengaturan cahaya matahari yang sesuai dengan kebutuhannya akan
membuat kehidupannya lebih baik, tumbuhan subur, warna daun hijau sehat,
berbunga pada waktunya, dan juga tidak mudah terserang hama dan penyakit.
Untuk mengatur kebutuhan cahaya matahari bisa digunakan naungan. Naungan
digunakan untuk menciptkan iklim mikro. Pemberian naungan akan mengurangi
radiasi yang diterima tanaman dan mengakibatkan adanya perubahan-perubahan
unsur-unsur iklim seperti suhu udara dan kelembaban udara di sekitar daerah
pertanaman.
Pengaruh yang nyata dari penggunaan naungan baru dapat terlihat pada
tanaman berbunga. Pemberian naungan 55% memberikan hasil yang terbaik pada
pertumbuhan / penambahan jumlah tangkai bunga per pot bila dibandingkan
dengan tanaman yang diberi naungan 65% dan 75%. Begitupun, untuk jumlah
kuntum bunga per tangkai, tanaman yang diberikan naungan 55% memberikan
hasil paling baik (paling banyak kuntum bunga per tangkai). Dengan kata lain,
untuk menumbuhkan bunga pada anggrek maka paling baik digunakan naungan
yang memberikan intensitas cahaya sebesar 55%.
Penggunaan naungan dalam budidaya anggrek sangat penting. Cahaya
matahari sangat penting untuk berlangsungnya proses fotosintesis yang akan
menghasilkan energi untuk tanaman agar dapat tumbuh dan berkembang dengan
baik. Oleh karena itu, bila kekurangan cahaya maka pertumbuhan akan terhambat
namun di sisi lain jika kelebihan cahaya maka akan mengakibatkan kerusakan pada
tanaman, seperti klorosis dengan gejala ujung tanaman mengering. Pemilihan
naungan yang tepat agar memberikan cahaya pada tingkat optimum sangat
diperlukan untuk menghasilkan anggrek yang berkualitas.
Pemberian naungan pada tanaman baik secara alami & buatan, akan berarti
mengurangi intensitas cahaya yang diterima oleh tanaman tersebut, hal ini akan
mempengaruhi pertumbuhan maupun hasil tanaman. Tanaman yang kurang
mendapatkan cahaya matahari akan mempunyai akar yang pendek. Cahaya
matahari penuh menghasilkan akar lebih panjang dan lebih bercabang. Tanaman
anggrek yang cukup sinar matahari perakaran akan berkembang lebih baik, jumlah
akar akan banyak, ukurannya besar dan banyak bercabang.
BAB 4
KESIMPULAN
Setiap jenis anggrek membutuhkan intensitas cahaya matahari yang
berbeda-beda. Pertumbuhan tanaman anggrek yang optimal, salah satu faktornya
adalah apabila diberikan kebutuhan intensitas cahaya mahatari secara optimal.
Intensitas cahaya matahari yang melebihi kebutuhan optimal tanaman anggrek,
menyebabkan pertumbuhannya terhambat, ukuran daun lebih kecil, klorofil daun
akan menjadi rusak, kemudian daun menjadi kekuningan = klorosis, dan meningkat
daun menunjukkan gejala terbakar. Sedangkan intensitas cahaya matahari yang
lebih rendah dari kebutuhan optimal tanaman anggrek akan menunjukkan bahwa
daunnya tidak tebal, lebih hijau daunnya, peerakarannya berkurang, ruas-ruasnya
lebih panjang (gejala etiolasi), bunganya berukang dan warna bunganya tidak
cerah.
Naungan digunakan untuk mengatur kebutuhan cahaya matahari.
Pengaturan cahaya matahari yang sesuai dengan kebutuhannya akan membuat
kehidupannya lebih baik, tumbuhan subur, warna daun hijau sehat, berbunga pada
waktunya, dan juga tidak mudah terserang hama dan penyakit.
DAFTAR PUSTAKA
Kimball JW. 1992. Biologi Jilid 1. Erlangga, Jakarta.
http://www.biologycorner.com/resources/photosynthesis-overview.gif
http://harikuyangcerah.blogspot.com/2008/12/bab-i-pendahuluan-1.html
http://cfs.nrcan.gc.ca/images/6240
IV. ADAPTASI TANAMAN TERHADAP INTENSITAS CAHAYA TINGGI
Energi cahaya yang diserap oleh tanaman dirubah ke dalam bentuk panas, untuk melindungi tanaman dari intensitas cahaya dan suhu tinggi. Dedaunan tanaman heliophytes yang tidak tepat menerima cahaya matahari, akan mengurangi jumlah cahaya langsung yang jatuh pada permukaannya. Tanggapan terhadap peningkatan intensitas cahaya berbeda antara tumbuhan yang cocok untuk kondisi ternaungi dengan tumbuhan yang bisa tumbuh pada kondisi tidak ternaungi. Tumbuhan cocok ternaungi menunjukkan laju fotosintesis yang sangat rendah pada intensitas cahaya tinggi. Laju fotosintesis tumbuhan cocok ternaungi mencapai titik jenuh pada intensitas cahaya yang lebih rendah, laju fotosintesis lebih tinggi pada intensitas cahaya yang sangat rendah, titik kompensasi cahaya lebih rendah dibanding tumbuhan cocok terbuka. (Lakitan, l993). Tanaman yang tumbuh pada kondisi cahaya penuh dapat beradaptasi dari pengaruh radiasi tinggi dengan beberapa faktor (Gardner et al., 1991).
1. Beberapa spesies membentuk arah tumbuh daun secara vertikal.2. Membentuk bulu-bulu putih atau permukaaan yang mengkilap pada daun untuk memantulkan kembali banyak radiasi yang diterima.3. Membentuk lapisan tipis pada daun untuk melindungi selnya.4. Kecepatan transprasi yang tinggi pada tanaman heliophytes menjamin dedaunannya akan tetap dingin.5. Adanya lapisan kutikula pada daun dan adanya jaringan gabus pada kulit kayu akan membantu mengisolasi tanaman dari radiasi matahari.
DAFTAR PUSTAKA
Gardner, P. F., Pearce, R. B. and Mitchell, R. L. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta.
Fahn, A. l992. Anatomi Tumbuhan. PT Gramedia. Jakarta.
Fitter, A. H. and Hay, R. K. M. l99l. Fisiologi Lingkungan Tanaman. Diterjemahkan oleh Sri Andani dan Purbayanti. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Haryanti, S. ..... Respon Pertumbuhan Jumlah dan Luas Daun Nilam (Pogostemon cablin Benth.) pada Tingkat Naungan yang Berbeda. Labarotorium Biologi Struktur dan Fungsi Tumbuhan Jurusan Biologi FMIPA UNDIP.
Hendalastuti, H. R., Hidayat, A. Dan Frianto, D. 2006. Pengaruh Naungan dan Pupuk Kandang Terhadap Pertumbuhan Tanaman Serta Jumlah dan Mutu Daun Nilam. Draft tulisan ilmiah dikoreksi oleh dewan redaksi Jurnal Hutan dan Konservasi Alam. Puslit Hutan dan Konservasi Alam. Bogor.
Imran. 1994. Pengaruh Peubah Lingkungan Fisik Terhadap Pertumbuhan, Hasil dan Kandungan Minyak Nilam. Tesis Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Lakitan. l993. Dasar-dasar Fisiologi Tumbuhan. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta
Nuryani, Y., Emmyzar. dan Wiratno. 2005. Budidaya Tanaman Nilam. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatika. Bogor.
Nuryani, Y. 2006. Karakteristik Empat Aksesi Nilam. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Buletin Plasma Nutfah. Bogor.
Sallisbury, F. B. And Ross, C. W. l992. Plant Physiologi. Wadsworth Publishing Company Belmont, California.
Sudaryani, T. dan Sugiharti, E. 1989. Budidaya dan Penyulingan Tanaman Nilam, Penebar Swadaya, Jakarta.
Recommended