View
80
Download
22
Category
Preview:
DESCRIPTION
Buku Banten
Citation preview
Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
Katalog Dalam Terbitan. Kementerian Kesehatan RI
Indonesia.Kementerian Kesehatan RI. DirektoratJenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan AnakAssessment GAVI - HSS 2010-2011 DirektoratJenderal Bina Gizi dan KIA : Laporan akhir Provinsi Banten,--Jakarta : Kementerian Kesehatan RI.2011
1. Judul I. VACCINES II. IMUNIZATIONIII. SOCIAL CONDITION IV. PROGRAM DEVELOPMENT
614.47Inda
Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
i
DIREKTUR JENDERAL BINA GIZI DAN KIA
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
SAMBUTAN
Kegiatan imunisasi merupakan upaya yang paling cost effective dalam menu-
runkan angka kesakitan dan kematian akibat penyakit yang dapat dicegah dengan
imunisasi (PD3I) yang diharapkan akan berdampak pada penurunan angka
kematian bayi dan balita. Universal Child Immunization (UCI) Desa/Kelurahan
secara nasional setiap tahunnya selalu tidak mencapai target.
Dalam upaya mengatasi permasalahan mengenai terjadinya kemerosotan cakupan
pelayanan kesehatan dalam berbagai program termasuk program imunisasi, Pemerintah Indo-
nesia dalam hal ini Kementerian Kesehatan melakukan berbagai langkah untuk menganalisa
kondisi yang terjadi di masyarakat. Beberapa permasalahan telah diidentifikasi dan diantaranya
perlu mendapat perhatian dan penanganan secepatnya, yaitu: dukungan masyarakat yang
lemah dalam program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), termasuk imunisasi, kapasitas petugas
kesehatan yang menurun, khususnya petugas di bidang KIA dan imunisasi, kemitraan yang
belum dikembangkan dengan institusi swasta dan non pemerintah/masyarakat, dan keterbatasan
jumlah tenaga dan motivasi petugas kesehatan menurun di beberapa lokasi tertentu.
GAVI (Global Alliance for Vaccines and Immunization), suatu organisasi kesehatan
internasional yang berkedudukan di Geneva, telah memberikan bantuan hibah kepada Peme-
rintah Republik Indonesia melalui 3 (tiga) komponen yaitu ISS (Immunization Service Support),
HSS (Health System Strengthening), dan CSO (Civil Society Organization) dalam rangka
pelaksanaan program pembangunan kesehatan terkait dengan upaya mengatasi masalah tersebut.
Beberapa alasan yang melatarbelakangi pemberian bantuan GAVI pada 3 (tiga)
komponen tersebut antara lain bahwa penguatan program imunisasi sendiri saja tidak cukup
untuk meningkatkan dan mempertahankan cakupan imunisasi. Kelemahan dalam sistem
kesehatan dapat menghambat pencapaian cakupan imunisasi, dan penguatan sistem kesehatan
tidak hanya dapat meningkat cakupan imunisasi, cakupan pelayanan, kesehatan ibu dan anak,
tetapi juga berdampak pada kesehatan lain.
Sejalan dengan maksud diatas, kegiatan Healths System Strengthening (HSS) difokuskan
pada pencapaian 4 (empat) tujuan, yaitu Mobilisasi masyarakat untuk mendukung Program KIA
dan Imunisasi, Peningkatan kemampuan manajemen petugas kesehatan, Kemitraan dengan
Organisasi Non Pemerintah/ CSO (LSM), Pilot Project tentang mekanisme insentif dan kontraktual
tenaga KIA.
Untuk mendukung tujuan tersebut telah dilakukan penilaian dan pemetaan kegiatan
pemberdayaan masyarakat di tingkat desa (Village Mapping) dan ketersediaan pelayanan
kesehatan Puskesmas dan Rumah Sakit (Service Availlability Mapping) di 5 Provinsi GAVI,
Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
ii
yaitu Provinsi Banten, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Papua dan Papua Barat, yang mencakup
62 Kabupaten/Kota, 1.715 Puskesmas, 11.060 Desa. Kegiatan ini melibatkan Universitas terdekat
dengan daerah GAVI –HSS, yang terdiri dari : Universitas Indonesia untuk daerah Banten,
Universitas Pajajaran untuk daerah Jawa Barat, Universitas Hasanudin untuk daerah Sulawesi
Selatan, dan Universitas Cendrawasih untuk daerah Papua dan Papua Barat, dengan koordinasi
oleh Universitas Gajah Mada.
Hasil penilaian dan pemetaan kegiatan pemberdayaan masyarakat di tingkat desa (Vil-
lage Mapping) dan ketersediaan pelayanan kesehatan Puskesmas dan Rumah Sakit (Service
Availlability Mapping) di 5 Provinsi GAVI yang telah dilakukan, disusun dan disajikan pada buku
laporan hasil akhir VM dan SAM GAVI-HSS untuk masing-masing daerah provinsi GAVI.
Saya mengucapkan terima kasih dan menyampaikan penghargaan atas kerjasama dan
segala dukungan yang telah diberikan oleh seluruh mitra dari Universitas dan semua pihak
yang telah berkonstribusi dalam penyusunan buku Laporan Assesment GAVI-HSS ini.
Semoga data dan informasi yang tersedia pada buku laporan ini bermanfaat untuk menjadi
bahan masukan dalam menelaah keadaan yang ada di Provinsi maupun Kabupaten/Kota yang
bersangkutan dan juga sebagai dasar untuk menyusun kebijakan, perencanaan, implementasi
dan evaluasi program sehingga pencapaian pelayanan kesehatan yang maksimal menuju Indo-
nesia Sehat dapat terwujud.
Disadari bahwa data dan informasi yang tersaji dalam buku ini belum dapat memenuhi
keseluruhan kebutuhan data dan informasi, sehingga masukan berupa saran dan kritik yang
membangun untuk perbaikan kedepan sangat kami harapkan.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya serta
memberi petunjuk kepada kita sekalian dalam melaksanakan pembangunan kesehatan hingga
terwujudnya masyarakat sehat yang mandiri dan berkeadilan.
Jakarta, November 2011
Direktur Jenderal Bina Gizi dan KIA
Dr. dr. Slamet Riyadi Yuwono, DTM&H,MARS
Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
iii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kami panjatkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas segala
Rahmat dan Petunjuk-Nya sehingga pelaksanaan penelitian hingga penulisan laporan dapat
dilakukan dengan baik.
Kegiatan penelitian Global Alliance for Vaccines and Immunization Health System
Strengthening (GAVI-HSS). Laporan ini menyajikan data Hasil Survei GAVI-HSS berupa
Village Mapping (VM) dan Service Availability Mapping (SAM) di Provinsi Jawa Barat.
Kegiatan ini terselenggara berkat dukungan dari GAVI-HSS, Kementerian Kesehatan RI,
Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota serta Pemerintah Daerah Provinsi dan
Kabupaten/Kota.
Kami mengucapkan terima kasih kepada para responden dan informan yang mau menyi-
sihkan waktunya di sela-sela kesibukannya dan kepada semua pihak yang turut terlibat dalam
penelitian ini.
Kami menyadari bahwa laporan penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan. Saran dan
kritik membangun senantiasa kami harapkan dari semua pembaca. Semoga Allah Subhanahu
wa Ta’ala memberi Ridho atas semua niat dan amal baik kita.
Jakarta, 18 Oktober 2011
Tim Penyusun
Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
iv
DAFTAR ISI
SAMBUTAN .......................................................................................................... i
KATA PENGANTAR .............................................................................................. iii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iv
DAFTAR TABEL ................................................................................................... vi
DAFTAR GRAFIK ................................................................................................. vii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... ix
DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH ................................................................... x
I. PENDAHULUAN ......................................................................................... 1
A. GAMBARAN WILAYAH PENELITIAN ................................................ 1
B. LATAR BELAKANG ............................................................................ 2
C. TUJUAN ............................................................................................. 6
II. METODOLOGI PENELITIAN ...................................................................... 7
A. RANCANGAN PENELITIAN............................................................... 7
B. WAKTU DAN LOKASI PENELITIAN .................................................. 7
C. SAMPEL ............................................................................................. 7
D. PENGUMPULAN DATA ...................................................................... 8
E. PENGOLAHAN DATA ......................................................................... 9
F. TAHAPAN ANALISA DATA ................................................................. 9
III. HASIL PENELITIAN .................................................................................... 11
A. KEGIATAN MOBILISASI MASYARAKAT............................................ 11
1. Pelaku Pelayanan Kesehatan ................................................... 11
2. Kemitraan Bidan dan Dukun Bayi ............................................. 16
3. Desa Siaga................................................................................ 21
a. Poskesdes dan Polindes .................................................. 22
b. Kelompok Donor Darah .................................................... 24
c. Pendataan Ibu Hamil, Bayi dan Balita .............................. 24
d. Ambulans Desa ................................................................ 27
4. Posyandu .................................................................................. 28
5. Pembiayaan Dalam Mobilisasi Masyarakat............................... 30
a. Musrembang Desa ........................................................... 30
b. Operasional Posyandu dan Rujukan ................................ 32
B. ISU MANAJEMEN PUSKESMAS ....................................................... 34
1. Sumber Daya Manusia (SDM) .................................................. 35
a. Pelatihan Bidan ................................................................. 35
b. Tenaga Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak .................... 35
c. Pelatihan Petugas Puskesmas ......................................... 39
2. Sumber Pembiayaan Pelayanan Kesehatan ............................ 44
3. Wilayah Puskesmas .................................................................. 46
Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
4. Logistik Puskesmas .................................................................. 47
5. Sarana dan Prasarana Puskesmas .......................................... 47
6. KIA dan Pelayanan Puskesmas ................................................ 52
7. Cakupan Pelayanan KIA dan Imunisasi .................................... 54
8. Lingkungan Geografis ............................................................... 66
9. Kejadian Luar Biasa .................................................................. 70
C. ISSUE MANAJEMEN RUMAH SAKIT DAN DINAS KESEHATAN ..... 71
1. Sumber Daya Manusia .............................................................. 73
2. Logistik ...................................................................................... 74
D. CIVIL SOCIETY ORGANIZATION (CSO) .......................................... 76
A. Peranan Makro .......................................................................... 77
B. Peran Mikro ............................................................................... 78
IV. KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................................... 81
A. KESIMPULAN..................................................................................... 81
B. SARAN ............................................................................................... 81
KEPUSTAKAAN .................................................................................................. 83
v
Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
vi
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Indikator Kesehatan Berbagai Negara di Regional Asia, 2006 4
2. Kemitraan Bidan dan Dukun Bayi 18
3. Rata-rata Jumlah Dukun bayi per desa dan Besaran Insentif untuk dukun bayi 18
4. Jumlah Desa Siaga 21
5. Desa dengan Poskesdes, Polindes, Donor Darah dan Pemantauan KIA 22
6. Posyandu di Wilayah Provinsi Banten 29
7. Pelatihan Bidan 35
8. Distribusi Dokter, Bidan, Perawat Menurut Provinsi, 1996-2006 36
9. Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak 37
10. Pelatihan Petugas Puskesmas (Dokter) 40
11. Pelatihan Petugas Puskesmas (Perawat) 41
12. Pelatihan Petugas Puskesmas (Bidan) 42
13. Puskesmas yang tidak memiliki satupun dokter, perawat maupun bidan yang dilatih 43
14. Persentase Desa yang melakukan Pembahasan Anggaran, memiliki Alokasi
Anggaran dan Sumber Anggaran Kegiatan KIA 45
15. Karakteristik Puskesmas 48
16. Sarana Yang Dimiliki Puskesmas 49
17. Fasilitas yang Dimiliki Puskesmas 49
18. Sarana dan Prasarana Puskesmas 49
19. Sarana Imunisasi Puskesmas 51
20. Jenis Pelayanan Terkait Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) di Puskesmas 52
21. Cakupan Program KIA dan Imunisasi Puskesmas 54
22. Alat Transportasi Yang Digunakan Dari Puskesmas Ke Desa Terjauh 69
23. Akses ke Pelayanan Kesehatan (Puskesmas) 69
24. Kejadian Luar Biasa Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (KLB PD3
di Puskesmas dalam 1 tahun Terakhir 70
25. Karakteristik Rumah Sakit 72
26. Karakteristik Rumah Sakit 73
27. Ketenagaan RS Terkait Pelayanan KIA di Rumah Sakit 73
28. Jumlah RS dengan Kondisi Refrigerator 74
29. Sarana Freezer Rumah Sakit 75
Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
DAFTAR GRAFIK
GRAFIK Halaman
1. Desa/Kelurahan yang Memiliki Bidan Desa berdasarkan Kabupaten/Kota 13
di Provinsi Banten, 2010
2. Desa/Kelurahan yang Memiliki Bidan Desa yang menetap berdasarkan 13
Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010
3. Jumlah Kematian Ibu di Provinsi Banten dari tahun 2005 hingga 2009 14
4. Bidan menetap berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 15
5. Pendidikan Bidan Desa berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 15
6. Status Kepegawaian Bidan Desa berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 16
7. Jumlah Dukun di Provinsi Banten tahun 2005-2009 17
8. Desa/Kelurahan yang Memiliki Kemitraan antara Bidan Desa dengan Dukun 19
Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010
9. Desa/Kelurahan yang Memiliki Aturan Kemitraan Bidan Desa dengan Dukun 20
Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010
10. Persentase Bidan Desa yang Memberikan Insentif kepada Dukun Berdasarkan 20
Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010
11. Desa/Kelurahan Siaga Berdasarkan Kabupaten/Kota Provinsi Banten, 2010 21
12. Jumlah Poskesdes Berdasarkan Kabupaten/Kota Provinsi Banten, 2010 23
13. Jumlah Polindes Berdasarkan Kabupaten/Kota Provinsi Banten, 2010 23
14. Desa/Kelurahan yang Memiliki Kelompok Donor Darah dan telah Berfungsi 24
Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010
15. Pelaksanaan Pendataan Ibu Hamil di Desa/Kelurahan Berdasarkan Kabupaten/ 25
Kota di Provinsi Banten, 2010
16. Pelaksanaan Pendataan Bayi di Desa/Kelurahan Berdasarkan Kabupaten/Kota 25
di Provinsi Banten, 2010
17. Pelaksanaan Pendataan Anak Balita di Desa/Kelurahan Berdasarkan 26
Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010
18. Hasil Kegiatan Surveilans KIA Desa/Kelurahan yang Dilaporkan ke Puskesmas 26
per Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010
19. Proporsi Ambulans Desa yang berfungsi per Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 27
20. Proporsi Ambulans Desa yang berfungsi per Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 27
21. Pemantauan KIA yang di Musyawarahkan di Musrenbang Berdasarkan Kabupaten/ 30
Kota di Provinsi Banten, 2010
22. Desa/Kelurahan yang Membahas Anggaran KIA di Musrenbang Berdasarkan 31
Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010
23. Keberadaan Alokasi Anggaran KIA Desa/Kelurahan Berdasarkan Kabupaten/ 31
Kota di Provinsi Banten, 2010
vii
Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
viii
24. Ketersediaan Dana Operasional Posyandu Berdasarkan Kabupaten/Kota 32
di Provinsi Banten, 2010
26. Sumber Biaya bila Bidan Desa Merujuk ke PKM Berdasarkan Kabupaten/Kota 45
di Provinsi Banten, 2010
27. Fasilitas yang Dimiliki Puskesmas di setiap Kabupaten/Kota di Provinsi Banten,2010 46
28. Jenis Pelayanan Terkait Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) di Puskesmas berdasarkan 54
di Provinsi Banten, 2010
29. Cakupan K1 Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 55
30. Cakupan K4 Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 56
31. Cakupan Persalinan Nakes Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 56
32. Cakupan Kunjungan Nifas per Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 57
33. Cakupan Deteksi Faktor risiko per Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 58
34. Cakupan TT WUS Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 59
35. Cakupan TT Bumil per Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 59
36. Cakupan HB0 Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 60
37. Cakupan BCG Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 60
38. Cakupan DPT3 Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 61
39. Cakupan Polio 4 Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 62
40. Cakupan Campak Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 63
41. Cakupan BIAS Kelas 1 SD Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 64
42. Cakupan BIAS Kelas 2 SD per Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 65
43. Cakupan Bias Kelas 3 SD Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 65
44. Cakupan Bias Campak per Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 66
45. Tipe Puskesmas Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 67
46. Kategori letak puskesmas se-Banten, 2010 67
47. Kondisi Fisik Puskesmas Berdasarkan Kabupaten/Kota di Banten, 2010 68
Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
DAFTAR GAMBAR
GAMBAR Halaman
1. Peta Wilayah Indonesia dan Provinsi Banten, 2010 1
2. Peta Wilayah Provinsi Banten 2
3. Keberadaan Bidan Desa 12
4. Peta Sebaran Puskesmas di Provinsi Banten 53
5. Peta Cakupan DPT3 Berdasarkan Kab/Kota di Prov. Banten, 2010 67
6. Peta Cakupan Polio 4 Berdasarkan Kab/Kota di Prov. Banten, 2010 68
7. Peta Cakupan Campak Berdasarkan Kab/Kota di Prov. Banten, 2010 69
8. Cakupan BIAS Kelas 1 SD BerdasarkanKab/Kota di Prov. Banten, 2010 70
9. Sebaran Puskesmas berdasarkan Kriteria Terpencil-Biasa, dan Perawatan-
non perawatan di Banten, 2010 75
10. Peta Waktu Tempuh ke Puskesmas di Provinsi Banten 77
11. Peta Sebaran Puskesmas dan RS di Provinsi Banten 79
ix
Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH
x
ADD : Anggaran Dana Daerah
AFP non Polio : Accute Flaccid Paralysis non Polio
AMP : Audit Maternal Perinatal
APBD : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
BCG : Bacillus Calmette Guerin
CSO : Civil Society Organization
D1 : Diploma satu
D2 : Diploma Dua
D3 : Diploma Tiga
D4 : Diploma Empat
Dinkes : Dinas Kesehatan
Dll : Dan Lain lain
DPT : Difteri Pertusis Tetanus
GAVI : Global Alliance for Vaccines and Immunization
HB 0 : Hepatitis B 0 (nol)
HSS : Health System Strengthening
Kab. : Kabupaten
Kepmenkes : Keputusan Menteri Kesehatan
KIA : Kesehatan Ibu dan Anak
KLB : Kejadian Luar Biasa
Kt. : Kota
LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat
MMD : Musyawarah Masyarakat Desa
Monev : Monitoring dan Evaluasi
MTBS : Manajemen Terpadu Balita Sakit
Musrenbang : Musyawarah Perencanaan Pembangunan
Otsus : Otonomi Khusus
P4K : Program Perencanaan dan Pencegahan Komplikasi
PD3I : Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi
Pemkab : Pemerintah Kabupaten
Pemkot : Pemerintah Kota
Perda : Peraturan Daerah
PNPM : Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat
Polindes : Pondok Bersalin Desa
PONED : Pelayanan Obstetri, Neonatologi, dan Emergensi Dasar
Poskesdes : Pos Kesehatan Desa
Puskesmas : Pusat Kesehatan Masyarakat
Pustu : Puskesmas Pembantu
RR : Reporting and Recording
RSUD : Rumah Sakit Umum Daerah
S1 : Strata Satu
S2 : Strata Dua
SAM : Service Availabillity Mapping
TT : Tetanus Toxoid
UKBM : Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat
VM : Village Mapping
1Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
BAB I
PENDAHULUAN
A. GAMBARAN WILAYAH PENELITIAN
Provinsi Banten yang menjadi lokasi pada penelitian ini mempunyai luas wilayah 8.800,83
km2, dengan jumlah penduduk Provinsi Banten pada tahun 2009 sebanyak 10.295.519 jiwa.
Banten terletak di bagian Barat Pulau Jawa. Sebelumnya, Banten masuk ke dalam wilayah
Provinsi Jawa Barat. Di Provinsi Banten ada berbagai kelompok etnis. Sejak tahun 2000, Banten
terpisah dari Jawa Barat dan berdiri sendiri sebagai Provinsi 30 Indonesia. Dengan lebar 8867,96
km2, Banten memiliki empat kabupaten dan empat kota yaitu Kabupaten Pandeglang, Kabupaten
Serang, Kabupaten Lebak, Kabupaten Tangerang, Kota Serang, Kota Tangerang, Kota Cilegon
dan Kota Tangerang Selatan. Secara geografis, Banten di batasi oleh Laut Jawa di sebelah
Utara, Samudra Hindia di sebelah Selatan, Selat Sunda di sebelah Barat, DKI Jakarta dan
Provinsi Jawa Barat di sebelah Timur.
Gambar 1. Peta Wilayah Indonesia dan Provinsi Banten
Banten terdiri dari dataran tinggi (pegunungan), dataran rendah (lembah) dan rawa. Di
daerah ini beberapa sungai mengalir dan berfungsi sebagai irigasi persawahan. Bahasa yang
umum digunakan adalah Sunda Banten. Bahasa ini memiliki perbedaan dibandingkan dengan
bahasa Sunda lainnya, terutama dalam pengucapan. Bahasa lain yang populer adalah Banten
Jawa yang dituturkan oleh penduduk Banten Utara. Daerah Banten memiliki sejarah latar
belakang yang kuat. Hal ini memotivasi peneliti domestik dan asing banyak untuk meneliti
reruntuhan artefak dari zaman pra-sejarah. Banten terkenal sebagai salah satu Kerajaan Islam
besar selama abad ke-16. Banten memiliki banyak situs, gunung, sungai dengan berbagai
2 Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
latar belakang sejarah dan keyakinan dari masyarakatnya. Mata pencaharian masyarakat
umumnya dibidang pertanian persawahan. Selain itu, mereka juga memproduksi kopi, cengkeh,
jengkol, pisang, durian dan makanan pokok lainnya.
Gambar 2. Peta Wilayah Provinsi Banten
B. LATAR BELAKANG
Pembangunan kesehatan di Indonesia sudah mulai dirancang pada tahun 50-an, namun
baru dilaksanakan secara sistematik mulai tahun 1968/1969 dengan disusunnya Rencana
Pembangunan Lima Tahun Pertama (Repelita I) dengan mengacu pada Garis-Garis Besar
Haluan Negara (GBHN). Dalam jangka waktu tiga dekade (1968-1998), pembangunan
kesehatan di Indonesia telah berhasil meningkatkan ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan
dasar secara lebih merata di seluruh wilayah Republik Indonesia, sehingga dapat menurunkan
angka kematian bayi dan balita, meningkatkan kesehatan ibu dan anak, meningkatkan keadaan
gizi masyarakat dan memperpanjang harapan hidup rata-rata penduduk.
Namun dalam beberapa tahun terakhir, pembangunan kesehatan menghadapi tantangan
yang cukup besar dalam mempertahankan laju peningkatan status kesehatan masyarakat.
Indikasi ini terlihat dari melambatnya penurunan kematian ibu, kematian bayi dan meningkatnya
tingkat kekurangan gizi pada balita.
Dalam Rencana Pembangunan Kesehatan Jangka Menengah 2004-2009, permasalahan
utama yang dihadapi dalam pembangunan kesehatan adalah disparitas status kesehatan, baik
antar wilayah geografis, antar golongan pendapatan dan perkotaan-perdesaan, beban ganda
penyakit, kinerja pelayanan kesehatan yang rendah, dan perilaku masyarakat yang kurang
mendukung perilaku hidup bersih dan sehat serta kurangnya pemberdayaan masyarakat itu sendiri.
3Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
Permasalahan kesehatan lainnya adalah rendahnya kondisi kesehatan lingkungan; rendahnya
kualitas, pemerataan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan; terbatasnya jumlah dan distribusi
yang tidak merata tenaga kesehatan; serta rendahnya status kesehatan penduduk miskin.
Sasaran pembangunan kesehatan pada akhir tahun 2009 adalah meningkatnya derajatkesehatan masyarakat melalui peningkatan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan.Sasaran dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Meningkatnya Umur Harapan Hidup dari 66,2 tahun menjadi 70,6 tahun;2. Menurunnya Angka Kematian Bayi (AKB) dari 35 menjadi 26 per 1.000 kelahiran
hidup;3. Menurunnya Angka Kematian Ibu (AKI) dari 307 menjadi 226 per 100.000 kelahiran
hidup;4. Menurunnya prevalensi gizi kurang pada balita dari 25,8 menjadi 20,0 %.
Dampak pembangunan kesehatan di Indonesia dari waktu ke waktu sesungguhnyamenunjukkan adanya perbaikan status kesehatan masyarakat. Namun, pencapaian tersebutdisertai dengan semakin melebarnya disparitas status kesehatan serta masih kalah cepat denganperbaikan status kesehatan di regional Asia Timur. Secara umum peningkatan Umur HarapanHidup berjalan stabil dan mengarah pada tercapainya target Rencana Pembangunan KesehatanJangka Menengah 2004-2009 yaitu 70,2 tahun.
Pada 1967, Angka Kematian Bayi per 1.000 kelahiran hidup masih sangat tinggi yaitu142 (Sensus Penduduk, 1971). Dalam waktu sekitar 25 tahun, angka ini menurun dengancepat menjadi 46 pada 1997. Sejak itu, Angka Kematian Bayi menurun relatif lambat. Dalamwaktu sekitar 5 tahun, Angka Kematian Bayi hanya menurun menjadi 35 (Survei Demografidan Kesehatan Indonesia, 2002-2003). Selajutnya, selama lima tahun berikutnya penurunanAngka Kematian Bayi semakin melambat, yaitu hanya menurun satu per 1.000 kelahiran hidupmenjadi 34 (Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia, 2007).
Angka Kematian Ibu cenderung mengalami penurunan yang sangat lambat. AngkaKematian Ibu menurun dari 390 selama periode 1990-1994 menjadi 334 selama periode 1993-1997 dan akhirnya menjadi 307 selama periode 1998-2003 (BPS dan OCR Macro, 2003).Laporan Sementara Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (2007) menunjukkan penurunanAngka Kematian Ibu menjadi 248.
Dengan kecenderungan seperti ini, selama jangka waktu 25 tahun (dalam hal ini selamaperiode waktu 1990-2015), diperkirakan Angka Kematian Ibu akan mengalami penurunansebesar 52 %. Secara umum status gizi anak balita membaik pada periode 1990-2000. Dalamkurun waktu ini, kekurangan gizi menurun dari 37,5 % menjadi 24,7 %. Pada periode 2000hingga 2005, terjadi peningkatan prevalensi kekurangan gizi pada balita menjadi 28,0 % (2005).
Pada periode ini kenaikan terutama disebabkan oleh meningkatkan prevalensi gizi burukyang meningkat dari 6,3 % menjadi 8,8 % pada tahun 2005. Dengan angka ini, maka padatahun 2005 diperkirakan terdapat 5,7 juta anak balita yang mengalami kekurangan gizi dan 1,8
juta di antaranya mengalami gizi buruk.
4 Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
Data kinerja pembangunan kesehatan di atas menunjukkan bahwa sejak 2004 secara
umum status kesehatan mengalami peningkatan. Namun peningkatan yang lebih besar
diperlukan agar sasaran Rencana Pembangunan Kesehatan Jangka Menengah 2004-2009
dapat tercapai. Perlu diperhatikan bahwa pencapaian target status kesehatan dalam Rencana
Pembangunan Kesehatan Jangka Menengah 2004-2009 bukanlah hanya ditentukan oleh sektor
kesehatan semata.
Tingkat kematian bayi, kematian ibu dan kekurangan gizi juga sangat ditentukan oleh
ketersediaan dan akses prasarana umum seperti air bersih dan sanitasi lingkungan, ketersediaan
bahan makanan dan bahan bakar, tingkat pendidikan orang tua, penghasilan keluarga,
transportasi, serta iklim/musim.
Dalam konteks regional Asia, status dan pelayanan kesehatan Indonesia masih tergolong
relatif rendah. Ketertinggalan Indonesia misalnya dapat dilihat dari angka kematian bayi, kematian
ibu serta berbagai indikator pelayanan kesehatan seperti cakupan imunisasi dan persalinan
oleh tenaga kesehatan lebih buruk dibandingkan dengan negara-negara lain.
Dengan jumlah penduduk yang besar, Indonesia memberikan kontribusi yang sangat
besar pada beban penyakit dan kematian baik di tingkat regional, maupun di tingkat dunia,
seperti misalnya beban penyakit akibat Tuberkulosis, campak dan beberapa penyakit lain yang
sebenarnya bisa dicegah dengan upaya imunisasi dan pencegahan lain.
Tabel 1. Indikator Kesehatan Berbagai Negara di Regional Asia, 2006
Sumber: World Bank, 2006
Persalinan
Negara PDB/ UHH AKK AKB AKBA Imunisasi Imunisasi AKI Oleh
kapita DPT Campak Nakes
1. Indonesia 1.260 67,8 7,3 28,0 36,0 70 72 420 69
2. Kamboja 430 57,0 10,4 68,0 87,3 82 79 540 43,8
3. Malaysia 4.970 73,7 4,7 10,0 12,0 90 90 62 100
4. Vietnam 620 70,7 6,0 16,0 19,0 95 95 150 90
5. Thailand 2.720 70,9 7,2 18,0 21,0 98 96 110 t.a.d.
6. Filipina 1.290 71,0 4,9 25,0 33,0 79 80 230 59,8
7. India 730 63,5 7,6 56,0 64,0 59 58 450 48
8. Cina 1.740 71,8 6,5 23,0 27,0 87 86 45 97,3
Regional Asia 1.628 70,7 6,7 26,4 32,7 83,7 83,4 t.a.d. 86,9
5Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
Depkes RI menetapkan visi “Masyarakat yang Mandiri untuk Hidup Sehat” (Depkes RI,
2006). Orientasi visi Depkes RI untuk memandirikan masyarakat hidup sehat, salah satunya
didasari atas isu strategis bahwa selama ini pembangunan kesehatan masih menempatkan
masyarakat sebagai objek, belum sebagai subjek. Berbagai masalah kesehatan dewasa ini
tidak perlu terjadi, bila kemandirian dan peran aktif masyarakat telah meningkat serta dapat
dipertahankan di masa lalu (Depkes RI, 2006).
Adanya krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997, turut menyebabkan menurunnya
kemandirian masyarakat dalam bidang kesehatan. Krisis ekonomi telah meningkatkan jumlah
masyarakat miskin, dari 11,3% atau 22,4 juta penduduk pada tahun 1996, menjadi 24,2% atau
49,5 juta penduduk pada tahun 1998 (Depkes RI, 2003:p.1).
Masyarakat miskin lebih rentan untuk terjangkit dan tertular penyakit. Hal ini disebabkan
kondisi lingkungan dan pemukiman yang buruk, pengetahuan dan perilaku hidup bersih dan
sehat yang masih kurang, serta kesulitan terhadap akses pelayanan kesehatan. Dampak
selanjutnya adalah meningkatnya kerentanan masyarakat miskin terhadap pemenuhan
kebutuhan dasar, seperti termasuk kesehatan (Depkes RI, 2008).
Sebagai upaya menanggulangi dampak krisis tersebut, mulai tahun 1999 pemerintah
menjalankan kebijakan yang bertujuan untuk memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas
bagi masyarakatnya. Kebijakan tersebut ditujukan terutama kepada cakupan pelayanan
kesehatan dasar, seperti cakupan KIA maupun Vaksin dan Imunisasi. Diharapkan agar seluruh
wilayah Indonesia dapat memenuhi Standar Pelayanan Minimal yang telah ditetapkan.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 oleh Departemen Kesehatan dan Badan
Pusat Statistik, cakupan imunisasi lengkap di Indonesia anak dibawah dua tahun hanya mencapai
46,2 %. Secara nasional, cakupan imunisasi campak dalam Riskesdas 2010 sebesar 74,5 %,
menurun 6,1 % dibanding Riskesdas 2007 (81,6%). Cakupan imunisasi terendah di Provinsi
Papua (47,4%) dan tertinggi di DI Yogyakarta (96,4%). Terdapat 19 Provinsi cakupan imunisasi
campak di bawah rata-rata nasional. Salah satunya adalah Provinsi Banten yang cakupan
imunisasinya hanya mencapai 69,3%.
Selain program imunisasi, program kesehatan ibu dan anak (KIA) merupakan salah
satu prioritas utama pembangunan kesehatan di Indonesia, program ini bertanggung jawab
terhadap pelayanan kesehatan bagi ibu hamil, ibu melahirkan, bayi, dan anak. Penelitian ini
dilakukan untuk mengetahui sejauhmana pelaksanaan program KIA dan imunisasi yang ada di
Provinsi Banten. Sehingga nantinya dapat dijadikan bahan evaluasi untuk mencari jalan guna
mengatasi masalah kesehatan masyarakat, khususnya imunisasi dan KIA.
6 Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dari kegiatan ini adalah menilai dan mendapatkan gambaran dasar: (1) Kegiatan
gerakan/mobilisasi masyarakat; (2) pengelolaan program KIA dan Imunisasi di Puskesmas
terpilih; (3) ketersediaan sarana yang berkaitan dengan KIA dan imunisasi di 5 provinsi termasuk
Provinsi Banten.
7Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
BAB II
METODOLOGI PENELITIAN
A. RANCANGAN PENELITIAN
Penelitian ini merupakan operasional studi yang bersifat kualitatif dan kuantitatif. Studi
kuantitatif dengan desain survei melalui pengumpulan data primer dan sekunder (data dan
laporan kegiatan Puskesmas yang terkait, profil Kesehatan Kabupaten/ Kota serta data-data
yang menunjang lainnya).
1. Metode Kuantitatif
Metode kuantitatif digunakan untuk memperoleh informasi kegiatan masyarakat
dalam program KIA dan imunisasi dengan menggunakan kuesioner dan untuk
memperoleh informasi pemetaan pelayanan kesehatan atau Service Availability
Mapping (SAM) dengan menggunakan instrumen survei.
2. Metode Kualitatif
Metode kualitatif digunakan untuk memperoleh informasi secara mendalam melalui
wawancara (indepth interview) dalam rangka mendukung data-data kuantitatif.
B. WAKTU DAN LOKASI PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan selama 2 bulan yaitu bulan November sampai Desember 2011
di seluruh wilayah kerja Provinsi Banten.
C. SAMPEL
Sampel dalam penelitian ini di ambil untuk kuantitatif dan kualitatif. Berikut adalah
penjelasan sampel kuantitatif dan kuantitatif.
1. Sampel Kuantitatif
Sampel kuantitatif dalam penelitian ini adalah seluruh desa (village mapping),
puskesmas utama (Service Availability Mapping Puskesmas) dan rumah sakit
(Service Availability Mapping Hospital) di Provinsi Banten. Pengumpulannya
dilakukan dengan wawancara ke seluruh desa perangkat desa (Kades atau Sekdes),
puskesmas utama (Kepala puskesmas, Bidan Koordinator, dan petugas imunisasi)
dan rumah sakit (Dirut RS/Dir. Pelayanan, Unit/bagian Obgyn dan Anak dan
Imunisasi) se-provinsi Banten.
8 Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
2. Sampel Kualitatif
Sampel kualitatif diambil di level desa, kecamatan dan kabupaten. Responden di
level desa diambil dari perangkat desa (Kades atau Sekdes), Koordinator kader
desa/ PKK, dan Bidan desa. Responden di level Puskesmas adalah Kepala pus-
kesmas, Bidan Koordinator, dan petugas imunisasi. Responden di level kabupaten
adalah Kepala Dinas Kesehatan, Kepala Bidang Kesehatan dan Keluarga,dan
Kepala bidang P2.
Berikut adalah penjelasan kriteria inklusi sampel di level desa:
1. Mempunyai bidan desa
2. Ada kemitraan bidan dan dukun (didukung adanya kesepakatan)
3. Ada desa siaga
Kriteria inklusi di level Kecamatan/Puskesmas:
1. Puskesmas ibukota kecamatan
2. Mempunyai bidan desa
3. Ada kemitraan bidan dan dukun (didukung adanya kesepakatan)
4. Ada desa siaga
D. PENGUMPULAN DATA
Pengumpulan data diseluruh desa (village mapping) untuk assesment masyarakat dalam
program KIA dan Imunisasi dilakukan oleh Enumerator.
1. Pengumpulan Data Kualitatif Di Desa
Pengumpulan data kualitatif disalah satu desa pada kecamatan yang sama dan
kabupaten yang sama dengan wawancara mendalam untuk assessment
masyarakat dalam program KIA dan Imunisasi dilakukan oleh Koordinator lapangan
(Korlap). Penentuan desa/kelurahan untuk pengumpulan data kualitatif dilakukan
dengan mempertimbangkan unsur keterwakilan karakteristik kecamatan.
2. Pengumpulan Data Di Kecamatan
Pengumpulan data kualitatif di kecamatan (Puskesmas) untuk kegiatan masyarakat
dalam program KIA dan imunisasi dilakukan oleh Koordinator lapangan (Korlap).
Penentuan kecamatan untuk pengumpulan data kualitatif dilakukan dengan
mempertimbangkan unsur keterwakilan karakteristik kabupaten.
3. Pengumpulan Data Kualitatif di Dinkes Kabupaten
Pengumpulan data kualitatif ditingkat kabupaten dalam hal kegiatan masyarakat
dalam program KIA dan imunisasi dilakukan oleh Koordinator lapangan dengan
Informan Kadinkes dan atau staf yang paling mengetahui data dan kondisi yang
ada.
9Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
E. PENGOLAHAN DATA
Setelah dilakukan pengumpulan data, maka dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
- Coding data, pada tahap ini dilakukan pemberian kode pada setiap informasi yang
telah terkumpul pada setiap pertanyaan kuesioner pada kotak yang tersedia
disebelah kanan daftar pertanyaan.
- Editing data, tahap ini dilakukan kegiatan mengedit/menyunting data yang telah
terkumpul, misalnya kelengkapan pengisian jawaban dari kuesioner.
- Entry data, memasukkan seluruh data ke dalam perangkat lunak yang telah diplilih.
- Cleaning data, sebelum dilakukan analisis data maka dilakukan cleaning/
pembersihan data terlebih dahulu, untuk mengkoreksi kesalahan saat dilakukan
entry.
F. TAHAPAN ANALISA DATA
Analisa data digunakan untuk menyederhanakan data kedalam bentuk yang mudah
dibaca dan dilakukan interpretasi. Adapun tahapan dalam analisis menggunakan ukuran
frekuensi, bertujuan untuk menjelaskan berapa kerap suatu peristiwa terjadi di populasi.
10 Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
11Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
BAB III
HASIL PENELITIAN
A. KEGIATAN MOBILISASI MASYARAKAT
Data atau informasi mengenai kegiatan mobilisasi pelayanan kesehatan masyarakat
di sini mencakup penjelasan tentang Pelaku Pelayanan Kesehatan meliputi Bidan Desa, Desa
Siaga, Pemberi Layanan KIA, Kemitraan Bidan dan Dukun, dan Karakteristik kader. Selanjutnya
mengenai Dukungan Materil dan Non-materil Pelayanan Kesehatan meliputi Dukungan
Pelayanan KIA, Dukungan Pelayanan Kesehatan di Polindes, Dukungan Transportasi Rujukan,
Dukungan Pelayanan Kesehatan di Posyandu, dan Dukungan Aktivitas Desa Siaga.
1. Pelaku Pelayanan Kesehatan
Peningkatan akses pelayanan kesehatan bagi ibu dan anak dibutuhkan oleh ibu
khususnya saat dan segera setelah persalinan. Selain meningkatkan pelayanan kesehatan,
perubahan perilaku masyarakat yang paling rentan terhadap kematian ibu juga harus dilakukan,
termasuk peningkatan pengetahuan keluarga tentang status kesehatan dan gizi, serta
pemberitahuan tentang jangkauan dan jenis layanan yang dapat mereka gunakan. Pemerintah
juga perlu meningkatkan sistem pemantauan untuk mencapai MDG 5.
Peningkatan sistem pengumpulan data, terutama aspek manajemen dan aliran informasi,
data kesehatan dasar khususnya infrastruktur, dan koordinasi antar instansi terkait dengan
masyarakat donor juga perlu ditingkatkan untuk menghindari tumpang tindih dan kegiatan yang
tidak perlu, sehingga peningkatan kesehatan ibu dapat dicapai dengan efektif dan efisien.
Salah satu aktor dalam pelayanan kesehatan yang utama di desa adalah bidan desa.
Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (1997), bidan di desa adalah bidan yang
ditempatkan, diwajibkan tinggal serta bertugas melayani masyarakat di wilayah kerjanya, yang
meliputi 1 sampai 2 desa. Fungsi Bidan di desa adalah untuk memberikan pelayanan kesehatan
khususnya pelayanan KIA termasuk KB, di wilayah desa tempat tugasnya. Dalam menjalankan
fungsinya, bidan desa diwajibkan tinggal di desa tempat tugasnya dan melakukan pelayanan
secara aktif sehingga tidak selalu menetap atau menunggu di suatu tempat pelayanan namun
juga melakukan kegiatan atau pelayanan keliling dan kunjungan rumah sesuai dengan
kebutuhan.
Untuk menunjang seluruh upaya pembangunan kesehatan diperlukan tenaga yang
mempunyai sikap nasional, profesional, semangat pengabdian yang tinggi, berilmu dan terampil.
Kemampuan serta persebarannya dapat mendukung penyelenggaraan pembangunan
12 Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
kesehatan disetiap tingkatan khususnya dalam mendukung pelaksanaan otonomi daerah. Di
Provinsi Banten dari jumlah 1532 desa, tercatat 1414 (92,3%) memiliki bidan desa, dan bidan
yang menetap didesa tersebut sebanyak 80,8 % atau 1143 orang.
Dari data tersebut dapat dilihat bahwa tidak 100 % desa yang terdapat di Provinsi Banten
memiliki bidan desa, sehingga masih ada sekitar 118 desa yang tidak memiliki tenaga yang
kompeten didalam memberikan pelayanan/pertolongan persalinan.
Sumber : Survey GAVI HSS, 2010
Gambar 3. Keberadaan Bidan Desa
Berdasarkan data yang ada, berkisar 43,8 % Bidan desa yang terdapat di Provinsi Banten
berstatus PNS. Sedangkan untuk tingkat pendidikan didominasi oleh lulusan D3 yaitu sebanyak
85,8% atau 1306 orang, sehingga bisa dikatakan dari segi pendidikan formal sebagian besar
sudah cukup memadai. Meskipun pendidikan tetap harus ditingkatkan sebagai upaya
peningkatan kompetensi didalam memberikan pelayanan/pertolongan persalinan.
Peran ibu sangat besar dalam pertumbuhan bayi dan perkembangan anak. Gangguan
kesehatan yang dialami seorang ibu yang sedang hamil dapat mempengaruhi kesehatan janin
dalam kandungannya hingga kelahiran dan masa pertumbuhan anaknya. Resiko kematian ibu
paling banyak terjadi pada periode kelahiran/persalinan. Periode persalinan merupakan periode
yang berkontribusi besar terhadap angka kematian ibu di Indonesia, kematian saat bersalin
dan 1 minggu pertama diperkirakan 60% dari seluruh kematian ibu (lancet ,2006). Pertolongan
persalinan aman dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi kebidanan.
Berdasarkan survey sosial ekonomi nasional (susenas)2009, sebesar 77,34% kelahiran pada
balita ditolong oleh tenaga kesehatan, Presentase penolong kelahiran tertinggi oleh bidan
61,24%, dukun 21,29%, dan dokter 15,28%.
13Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
Sumber : Survey GAVI HSS, 2010
Grafik 1. Desa/Kelurahan yang Memiliki Bidan Desa berdasarkan Kabupaten/Kotadi Provinsi Banten, 2010
Dari Grafik di atas dapat terlihat bahwa Kota Tangerang memiliki persentase terendah
jumlah bidan desa (9,60). Sedangkan secara rata – rata Provinsi jumlah proporsinya relative
baik (92,3%). Dengan angka ini sebetulnya Banten cukup baik dalam hal keberadaan bidan
desa, namun jika dibandingkan dengan Standar Pelayanan Minimal (SPM), jumlah ini masih
kurang. Menurut Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota
(Kepmenkes, 2008) seharusnya setiap desa memiliki minimal satu bidan desa.
Sumber : Survey GAVI HSS, 2010
Grafik 2. Desa/Kelurahan yang Memiliki Bidan Desa yang menetap berdasarkanKabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010
14 Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
Dalam meningkatkan kelangsungan hidup ibu, terdapat tiga komponen yang menjadi
sasaran, yaitu peningkatan penggunaan tenaga kesehatan terampil di fasilitas, peningkatan
kualitas pelayanan, dan mengimplementasi rujukan yang tepat (dan efektif). Komponen tersebut
saling terkait satu sama lain, dimana membuat ibu melahirkan dengan persalinan tenaga
kesehatan terampil di fasilitas harus disertai dengan rujukan yang tepat (dan efektif), ketika
rujukan diperlukan.
Dalam kaitannya dengan kebijakan penempatan bidan desa, menempatkan bidan desa
juga harus disertai dengan kompetensi bidan yang cukup. Sehingga, pemempatan bidan di setiap
desa yang belum memiliki bidan desa sesuai dengan harapan agar pelayanan kesehatan yang
merata dapat terwujud.
Dari data yang ada meskipun proporsi rata – rata penempatan bidan desa sudah tinggi,
namun persoalan kematian ibu di Banten dari waktu kewaktu belum menunjukkan penurunan
yang signifikan.
Sumber: Dinas Kesehatan Provinsi Banten
Grafik 3. Jumlah Kematian Ibu di Provinsi Banten dari tahun 2005 hingga 2009
Persoalan lain yang sering muncul adalah masalah bidan menetap di desa. Bidan desa
yang tidak menetap di wilayah kerjanya diharapkan dapat tinggal menetap di wilayah kerjanya
agar dapat mendeteksi secara dini apabila ada masalah kesehatan di wilayah kerjanya. Tentunya
hal ini harus didukung oleh ketersediaan fasilitas yang memadai.
15Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
Sumber : Survey GAVI HSS, 2010
Grafik 4. Bidan menetap berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010
Sumber : Survey GAVI HSS, 2010
Grafik 5. Pendidikan Bidan Desa berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010
16 Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
Berdasarkan Grafik diatas sebagian besar bidan desa yang berada di wilayah kabupaten/
kota di Provinsi Banten berpendidikan D3.
Sumber : Survey GAVI HSS, 2010
Grafik 6. Status Kepegawaian Bidan Desa berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010
Status kepegawaian bidan desa yang berada di setiap kabupaten/kota di Provinsi Banten
sebagian besar berstatus PNS.
2. KEMITRAAN BIDAN DAN DUKUN
Masih tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia yaitu sebanyak 208/100.000
kelahiran hidup pada tahun 2007 melatarbelakangi beragamnya program pemerintah untuk
mengatasi masalah tersebut. Salah satu diantaranya ialah kemitraan bidan dan dukun. Kemitraan
ini didasari pada kenyataan bahwa masih banyaknya masyarakat yang memilih dukun paraji
sebagai penolong pertama persalinan disebabkan potensi yang dimilikinya seperti kedekatannya
dengan masyarakat; memiliki ilmu praktek persalinan yang menghargai nilai-nilai sosial dan
budaya; pelayanan yang lebih lengkap (termasuk mengurut dan mencuci); kedudukannya
sebagai orang yang di-tua-kan sehingga memiliki pengaruh yang besar dan sangat dipercaya
di masyarakat; dan dianggap lebih sabar dan telaten dalam pelayanan persalinan.
Potensi ini melahirkan persepsi rasa nyaman dan aman di kalangan ibu hamil dan
masyarakat. Potensi ini juga yang tampaknya memberikan kewenangan pada dukun paraji
sebagai pihak yang memutuskan apakah seorang ibu perlu dirujuk ke tenaga kesehatan atau
tidak. Di lain pihak, tidak bisa dipungkiri, ada banyak kematian ibu dan bayi disebabkan oleh
dukun paraji, termasuk didalamnya karena terlambat mengambil keputusan dan merujuk ke
fasilitas kesehatan.
17Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
Di beberapa daerah seperti di Kabupaten Takalar, Subang dan Trenggalek keberhasilan
pelaksanaan kemitraan bidan-dukun sudah terlihat signifikasinya dalam meningkatkan persalinan
dengan tenaga kesehatan dan menurunkan angka kematian ibu. Bahkan di Kabupaten Takalar
dalam waktu 6 bulan semenjak diberlakukannya kemitraan bidan dan dukun pada pertengahan
tahun 2007 di 2 kecamatan percontohan, cakupan persalinan dengan tenaga kesehatan sudah
mencapai 100% dan tidak ada kejadian kematian ibu sama sekali. Hal ini menunjukkan bahwa
kerjasama dengan dukun paraji memegang peranan yang sangat penting dalam penurunan
angka kematian ibu secara drastis dan dalam waktu singkat.
Definisi Kemitraan Bidan dan Dukun sendiri adalah suatu bentuk kerjasama bidan dan
dukun yang saling menguntungkan dengan prinsip keterbukaan, kesetaraan dan kepercayaan
dalam upaya untuk menyelamatkan ibu dan bayi, dengan menempatkan bidan sebagai penolong
persalinan dan mengalihfungsikan dukun dari penolong persalinan menjadi mitra dalam merawat
ibu dan bayi pada masa nifas, dengan berdasarkan kesepakatan yang telah dibuat antara
bidan dan dukun serta melibatkan seluruh unsur/elemen masyarakat yang ada.
Kerjasama antara dukun bayi dengan bidan telah ada di beberapa tempat di Banten. Ada
pula peraturan yang mendukung, namun kurang berjalan dengan baik. Seperti yang dikatakan
oleh informan (bidan desa) berikut ini,
“Surat tertulis, dari puskesmas ada....ada berbentuk,...ada tanda tangan.”
Dengan kemitraan tersebut dukun mendapatkan insentif dari bidan,
“Ada... kalau misalnya di dampingi sama dukun, kita bidan ngasih fee 100 ribu”
Jika melihat data dari Dinkes Provinsi Banten, tidak terlihat penurunan jumlah absolut
dukun bayi di Provinsi Banten, bahkan terlihat trend peningkatan jumlah dukun dari waktu ke
waktu. Tabel di bawah ini memperlihatkan kondisi jumlah dukun di Provinsi Banten dari tahun
2005 hingga tahun 2009.
Sumber: Dinkes Provinsi Banten 2010
Grafik 7. Jumlah Dukun di Provinsi Banten tahun 2005-2009
18 Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
No Kemitraan Jumlah Persentase
1 Jumlah desa yang memiliki kemitraan bidan dan dukun bayi 1343 88,3%
2 Bentuk kemitraan bidan dan dukun bayi :
a. Formal 1132 84,3%
b. Tidak formal 211 15,7%
3 Bentuk kemitraan formal yang sudah didukung dengan 845 62,9%
peraturan
4 Jumlah dukun bayi yang mendapat insentif dari bidan yang telah bermitra1325 87,2%
Berdasarkan pengumpulan data di lapangan, dukun bayi yang terdapat di Provinsi Banten
sebanyak 88,3% atau 1343 orang, dan dukun bayi tersebut sudah melakukan kemitraan dengan
bidan baik itu secara formal ataupun tidak formal.
Tabel 2. Kemitraan Bidan dan Dukun Bayi
Sumber : Survey GAVI HSS, 2010
Jumlah dukun bayi yang sudah melakukan kemitraan secara formal dan didukung oleh
peraturan sebanyak 62,9% dan yang melakukan kemitraan secara tidak formal sebanyak 15,7%
sedangkan sisanya melakukan kemitraan secara formal hanya saja belum didukung oleh
peraturan.
Tabel 2 menunjukkan bahwa jumlah desa di Banten yang memiliki kemitraan bidan
desa dengan dukun sudah mencapai 88,3%, berarti masih ada sekitar 11,7% desa/kelurahan
yang belum memiliki kemitraan bidan dan dukun. Hal ini bisa jadi karena masih tingginya tingkat
kepercayaan masyarakat untuk menggunakan dukun.
Tabel 3. Rata-rata Jumlah Dukun bayi per desa dan Besaran Insentif untuk dukun bayi
No Dukun Bayi Minimum Maksimum Mean
1 Jumlah Dukun bayi per desa/kelurahan 0 24 3,51
2 Besaran insentif yang diterima dukun bayi 0 600.000 60.500
Sumber : Survey GAVI HSS, 2010
Jika dilihat dari nilai rata – rata, maka di setiap desa di Provinsi Banten terdapat paling
kurang 3 dukun di setiap desanya. Angka ini cukup menggambarkan bahwa bidan di desa
paling tidak dikelilingi 3 orang dukun. Dari insentif yang diberikan ke dukun, rata – rata insentif
yang di terima adalah Rp. 60.000,- dengan median Rp. 50.000,-.
19Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
Sumber : Survey GAVI HSS, 2010
Grafik 8. Desa/Kelurahan yang Memiliki Kemitraan antara Bidan Desa dengan DukunBerdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010
Jika dilihat dari Grafik di atas, terlihat bahwa mayoritas kabupaten/kota sudah melakukan
kemitraan dan sebagian besar adalah kemitraan dukun yang formal. Hanya Kota Tangerang
dan Kota Cilegon yang jumlah kemitraannya dibawah 60%. Sekilas terlihat bahwa kemitraan
sudah berjalan dengan baik. Namun jika ditelusuri lebih jauh, kemitraan bidan – dukun yang
ada yang ada yang ada tidak sepenuhnya berjalan. Kemitraan hanya akan berjalan dengan
optimal jika menggunakan prinsip – prinsip keterbukaan, kesetaraan dan lain sebagainya. Harus
di bangun sebuah pemahaman akan peran sosial dan hubungan yang saling menguntungkan
antara bidan dan dukun.
Pengaturan, jasa dukun dihargai sebesar lima puluh ribu rupiah hingga seratus ribu
rupiah per kelahiran dari pihak Puskesmas. Merasakan kesetaraan peran dan manfaat ekonomi
yang layak, para dukun mulai bersemangat mengidentifikasi ibu hamil, membawa mereka ke
bidan, dan mengajak ibu hamil menjalan insentif dan penghargaan terhadap dukun adalah
kunci yang mesti diaplikasikann. Bidan pun diharapkan dapat mengambil kepercayaan dari
masyarakat dan pengguna kesehatan. Tanpa hal tersebut di atas, kemitraan yang ada hanya
berjalan semu.
20 Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
Sumber : Survey GAVI HSS, 2010
Grafik 9. Desa/Kelurahan yang Memiliki Aturan Kemitraan Bidan Desa dengan DukunBerdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010
Grafik di atas menunjukkan bahwa bentuk kemitraan formal di Banten yang didukung
dengan adanya peraturan sebanyak 74,6%.
Sumber : Survey GAVI HSS, 2010
Grafik 10. Persentase Bidan Desa yang Memberikan Insentif kepada DukunBerdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010
Grafik 10 menunjukkan bahwa di Banten sekitar 87,2% dukun yang memperoleh insentif
dari bidan. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada sekitar 12,8% dukun yang bermitra tidak
mendapatkan intensif dari bidan. Kondisi ini disebabkan karena setelah persalinan biasanya
pasien/ ibu bersalin langsung memberikan uang/insetif kepada dukun jadi bidan merasa tidak
perlu lagi memberikan insetif.
21Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
Proporsi pemberian insentif di wilayah Kabupaten umumnya lebih tinggi daripada yang
ada di Kota. Dibeberapa desa insentif kemitraan bidan dan dukun desanya tidak hanya dalam
bentuk uang saja tapi juga dalam bentuk jasa pelayanan kesehatan dengan cara memberikan
pelayanan khusus kepada dukun jika ada keperluan di sarana kesehatan, seperti berobat gratis,
mendapatkan prioritas dan fasilitas khusus.
3. Desa Siaga
Desa Siaga adalah desa yang penduduknya memiliki kesiapan sumber daya dan kemam-
puan serta kemauan untuk mencegah dan mengatasi masalah-masalah kesehatan, bencana
dan kegawatdaruratan kesehatan secara mandiri (DEPKES 2007). Dalam bidang kesehatan
ibu dan anak (KIA) pemberdayaan masyarakat ini diharapkan mampu membangun sebuah
sistem kesiagaan masyarakat dalam upaya mengatasi situasi gawat darurat terkait kehamilan
dan persalinan.
Tabel 4. Jumlah Desa Siaga
No Variabel Jumlah Persentase
1 Jumlah Desa Siaga 1092 71,4%
Sumber : Survey GAVI HSS, 2010
Di wilayah Provinsi Banten terdapat 1092 (71,4%) desa siaga, sehingga masih ada
25,6% desa yang belum terbentuk menjadi desa siaga. Hal ini perlu didorong mengingat desa
siaga sebagai komunitas kesehatan yang berbasis masyarakat akan mampu meningkatkan
pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang pentingnya kesehatan.
Sumber : Survey GAVI HSS, 2010
Grafik 11. Desa/Kelurahan Siaga Berdasarkan Kabupaten/Kota Provinsi Banten, 2010
22 Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
Salah satu kriteria dari desa siaga adalah adanya pelayanan kesehatan dasar bagi
masyarakat desa adalah pondok persalinan desa (Polindes), dan pos kesehatan desa
(Poskesdes). Adapun kriteria lain desa siaga adalah adanya forum masyarakat desa, adanya
pelayanan kesehatan dasar, adanya UKBM Mandiri yang dibutuhkan masyarakat, dibina
puskesmas PONED, memiliki sistem surveilans (faktor risiko dan penyakit) berbasis masyarakat,
memiliki sistem kewaspadaan dan kegawatdaruratan bencana berbasis masyarakat, memiliki
sistem pembiayaan kesehatan berbasis masyarakat, memiliki lingkungan yang sehat, dan
masyarakatnya berperilaku hidup bersih dan sehat.
Tabel 5. Desa dengan Poskesdes, Polindes, Donor Darah dan Pemantauan KIA
No Variabel Jumlah Persentase
1 Jumlah Desa yang telah memiliki poskesdes 371 34,0%
2 Jumlah Desa yang masih mempunyai polindes 204 13,3%
4 Jumlah poskesdes yang berfungsi sebagai polindes 107 52,5%
5 Jumlah Desa yang memiliki kelompok donor darah 530 34,7%
6 Jumlah Desa yang memilki kelompok donor darah yang 231 43,6%sudah berfungsi
7 Jumlah desa yang melakukan koordinasi danmusyawarah terhadap hasil kegiatan pemantauan KIA 1256 82,1%
8 Jumlah desa yang menggunakan hasil kegiatanpemantauan KIA untuk pengambilan keputusan di 1125 73,6%
tingkat desa
Sumber : Survey GAVI HSS, 2010
Grafik 11 diatas menunjukkan bahwa diantara 8 Kabupaten/Kota di Banten, Kabupaten
Pandeglang, Lebak, Serang dan Kota Cilegon memiliki proporsi desa siaga diatas angka Provinsi
Banten yaitu 71,4%. Sedangkan di Kab. Tangerang, Kota Tangerang, Kota Serang, dan Kota
Tangerang Selatan proporsi desa siaganya lebih rendah dari proporsi desa siaga Provinsi Banten.
Standar Pelayanan Minimal bidang kesehatan tahun 2008 menargetkan pada tahun 2015 jumlah
desa siaga aktif mencapai 80%.
a) Poskesdes dan Polindes
Menurut konsep yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan, Poskesdes adalah Upaya
Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) yang dibentuk di desa dalam rangka
mendekatkan/menyediakan pelayanan kesehatan dasar bagi masyarakat desa. Hal ini menjadi
syarat dalam pembentukan desa siaga. Sebagai salah satu kriteria desa siaga, Pos kesehatan
desa (Poskesdes) memiliki fungsi pelayanan kesehatan dasar ditingkat masyarakat desa.
Kepala desa/Lurah: ....Poskesdes itu manfaatnya kalo ada masyarakat yang sakit sedikit
apa segala berobat sudah kumpulnya itu seminggu 3 kali, seminggu 3 kali itu standby
23Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
bidannya kader-kader itu kumpul disitu jadi masyarakat kumpul disitu menanyakan ato
segala macam. Poskesdes sudah ada (Transkrip wawancara).
Sumber : Survey GAVI HSS, 2010
Grafik 12. Jumlah Poskesdes Berdasarkan Kabupaten/Kota Provinsi Banten, 2010
Sedangkan Polindes adalah bangunan yang dibangun dengan bantuan dana pemerintah
dan partisipasi masyarakat desa untuk tempat pertolongan persalinan dan pemondokan ibu
bersalin, sekaligus tempat tinggal Bidan di desa. Di samping pertolongan persalinan juga
dilakukan pelayanan antenatal dan pelayanan kesehatan lain sesuai kebutuhan masyarakat
dan kompetensi teknis bidan tersebut.
Sumber : Survey GAVI HSS, 2010
Grafik 13. Jumlah Polindes Berdasarkan Kabupaten/Kota Provinsi Banten, 2010
24 Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
b) Kelompok Donor Darah
Dalam konsep Desa Siaga, desa diharapkan memiliki kelompok pendonor darah sebagai
penyedia darah bagi PMI yang dapat digunakan oleh ibu bersalin yang memerlukan darah.
Dari data dilapangan, Kota Serang memiliki proporsi kelompok donor darah tertinggi.
Sedangkan Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan adalah kota/ kabupaten dengan
proporsi kelompok donor darah yang paling rendah. Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang,
Kota Cilegon dan Kota Tangerang Selatan merupakan kabupaten/kota dengan proporsi desa
yang kelompok donor darah di bawah proporsi Provinsi Banten yang angkanya 34,7%. Demikian
pula jika dilihat dari proporsi kelompok donor darah yang berfungsi, daerah – daerah tersebut
angkanya di bawah proporsi Provinsi Banten yang berjumlah 43,6%.
Sumber : Survey GAVI HSS, 2010
Grafik 14. Desa/Kelurahan yang Memiliki Kelompok Donor Darah dan telah BerfungsiBerdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010
Dari data diatas, terlihat bahwa kelompok donor darah lebih banyak di wilayah rural
seperti Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak. Berbeda dengan wilayah perkotaan,
kelompok donor ini justru tidak terlalu banyak. Hal ini bisa jadi membuktikan bahwa masyarakat
mencoba mengatasi kesulitannya sendiri dengan melakukan pemberdayaan dari diri sendiri.
Pada data ini, angka Provinsi Banten sendiri hanya sejumlah 34,7%.
c) Pendataan Ibu Hamil, Bayi dan Balita
Data adalah hal yang sangat diperlukan dalam pelaksanaan program kesehatan ibu
dan anak. Pendataan ibu hamil, bayi maupun balita dimaksudkan untuk mempermudah
mengontrol faktor-fakktor resiko yang mungkin bisa terjadi, sehingga bila kasus yang beresiko
petugas kesehatan cepat bergerak.
25Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
Sumber : Survey GAVI HSS, 2010
Grafik 15. Pelaksanaan Pendataan Ibu Hamil di Desa/Kelurahan Berdasarkan
Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010
Sumber : Survey GAVI HSS, 2010
Grafik 16. Pelaksanaan Pendataan Bayi di Desa/Kelurahan Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010
26 Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
Sumber : Survey GAVI HSS, 2010
Grafik 17. Pelaksanaan Pendataan Anak Balita di Desa/Kelurahan BerdasarkanKabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010
Banyak kabupaten memiliki angka pendataan bumil, bayi, dan balita oleh kader didesa
yang sudah mencapai 100%. Di Banten pendataan bumil mencapai 98,7%. Angka ini cukup baik
dan diharapkan kedepannya, pendataan tetap dapat dilakukan sehinggamencapai angka optimal.
Sumber : Survey GAVI HSS, 2010
Grafik 18. Hasil Kegiatan Surveilans KIA Desa/Kelurahan yang Dilaporkan kePuskesmas per Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010
Dari Grafik di atas menunjukkan bahwa Kabupaten Serang, Kabupaten Pandeglang,
Kabupaten Lebak dan Kabupaten Tangerang adalah kabupaten yang proporsi pelaporan
surveilans KIAnya di bawah angka Provinsi Banten (95,7%).
27Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
d) Ambulans Desa
Berdasarkan Grafik di bawah ini bahwa kepemilikan ambulans desa sangat bervariasi
antar kabupaten kota. Terlihat bahwa Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Serang dan Kabupaten
Lebak adalah wilayah yang memiliki proporsi ambulans desa terbanyak. Hal sebaliknya, proporsi
ambulans desa justru rendah di wilayah perkotaan, kecuali Kabupaten Tangerang. Hal ini
memperlihatkan bahwa masyarakat di wilayah selatan (remote) umumnya lebih berperan dalam
mencari solusi yang terkait dengan persoalan kesehatannya.
Sumber : Survey GAVI HSS, 2010
Grafik 19. Proporsi Ambulans Desa yang berfungsi per Kabupaten/Kotadi Provinsi Banten, 2010
Grafik berikut ini memperlihatkan proporsi ambulan desa yang masih berfungsi di semua
kabupaten/kota di Provinsi Banten.
Sumber : Survey GAVI HSS, 2010
Grafik 20. Proporsi Ambulans Desa yang berfungsi per Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010
28 Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
Hal yang sama dengan Grafik sebelumnya memperlihatkan bahwa ambulans desa yang
berfungsi lebih banyak di wilayah kabupaten (Pandeglang, Lebak, dan Serang). Hal sebaliknya,
proporsi ambulans desa berfungsi rendah di wilayah perkotaan. Kondisi masyarakat di wilayah
sulit memaksa penggunaan ambulans desa lebih berfungsi.
4. Posyandu
Pos pelayanan terpadu (Posyandu) yang merupakan salah satu bentuk upaya kesehatan
bersumber daya masyarakat (UKBM) yang dikelola dan diselenggarakan dari, oleh, untuk dan
bersama masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan, guna memberdayakan
masyarakat dan memberikan kemudahan kepada msayarakat dalam memperoleh pelayanan
kesehatan dasar (Depkes 2006).
Kegiatan Posyandu dilapangan meliputi beberapa kegiatan seperti imunisasi, penimbangan
balita, penyuluhan, dan yang lainnya. Kegiatan tersebut dilaksanakan oleh kader Posyandu.
Kepala desa/Lurah: Posyandu sepanjang kegiatan belum lama ini, ada kegiatan imunisasi
campak dan polio, penimbangan balita, ibu hamil, pemberian gizi, tapi rata-rata, posyandu itu
perpanjangan tangan dari puskesmas. Jadi nanti ada bidan pembina yang turun langsung ke
posyandu, ada kegiatan namanya BKB (bina keluarga balita), pendidikan anak usia dini, itu
sudah berjalan sejak 2006 sejak saya kemari, sudah tahun lebih itu, kalau penyuluhan yang
keterkaitan gizi balita dengan ada asi eksklusif ya, kemudian ada lagi KDRT ya? Juga diberikan
sosialisasi, reproduksi, disini juga ada digalakkan tentang DBD. Keterkaitan bagaimana kita
bisa meminimalisir sedapat mungkin demam berdarah, bahkan khusus di kota tangerang kita
punya yang namanya jumantik, itu mewujud agar setiap RT peduli terhadap sarang-sarang
nyamuk. (Transkrip wawancara)
Kader: Selain imunisasi juga ada penimbangan, penyuluhan, PMT, itu tiap bulan rutin,
kita punya donatur dari dokter gigi, dulu kan jadi pembina kelurahan karena skrg di tugaskan ke
dinas jadi kita dapat PMT, pembagiannya waktu lokmin disini. (Transkrip wawancara)
Permasalahan Posyandu yang terdapat di Provinsi Banten khususnya di wilayah
perkotaan adalah kurangnya tingkat kehadiran ibu dan anak pada saat kegiatan Posyandu.
Seperti yang diungkapkan oleh informan pada saat wawancara.
Petugas Puskesmas: Ya kurangnya cakupan..kalau saya ya. Kalau sudah ditaksir segini,
ternyata didesa kok lebih susah. Apalagi… kalau dulu…desa yang terbelakang gitu ya. Kalau
sekarang masalahnya bukan ini, malah kita..rumahnya. Rumah elit tuh kita mau masuk susah.
Itu caranya gimana…walaupun ada posyandu tapi kok ga datang. Padahal posyandunya sudah
bagus-bagus, tapi kok yang datang juga sedikit. (Transkrip wawancara)
Ada beberapa faktor yang menyebabkan kurangnya kehadiran pada saat kegiatan
Posyandu, untuk daerah perkotaan salah satunya adalah faktor kemampuan keluarga untuk
melakukan imunisasi kepada dokter swasta. Sehingga mengakibatkan mereka enggan datang
pada saat kegiatan posyandu.
29Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
Petugas Puskesmas: Karena sudah ke dokter, mungkin gengsi ya ke posyandu gitu kali
ya. Kalau menurut saya sih, gengsi ke posyandu, mendingan ke dokter. Padahal kan ke dokter
kan mahal. Kadang-kadang malah ada yang kaya gitu, dikira murahanlah, inilah… (Transkrip
wawancara).
Persoalan Posyandu lainnya adalah masih banyaknya Posyandu yang tidak memiliki
tempat pelayanan yang layak, sehingga kegiatan diselenggarakan dirumah penduduk.
Kepala desa/Lurah: Posyandu ini kan sementara di kelurahan ciwedus itu masih
menumpang di rumah warga memang ada sebagian yang sudah tetap dibangun oleh swadaya
masyarakat jadi kita minta bantu ke pemerintah cilegon pada tahun 2009 untuk alokasi di 2011.
(Transkrip wawancara)
Kepala desa/Lurah: Kita punya posyandu 9 buah, 2 udah pemerintah (terbangun dengan
dana APBD), 7 masih ke RW, nah yang bergerak di posyandu itu para PKK. (Transkrip
wawancara)
Berdasarkan hasil wawancara dengan 2 orang kepala desa/lurah terlihat bahwa masih
banyaknya kegiatan Posyandu yang dilakukan di rumah warga, ini artinya sebagian besar
Posyandu belum memiliki tempat pelayanan yang layak.
Dibawah ini tabel mengenai Pos pelayanan terpadu (Posyandu) diwilayah Provinsi
Banten.
Tabel 6. Posyandu di Wilayah Provinsi Banten
No Variabel Posyandu Minimum Maksimum Mean Median
1 Jumlah posyandu per desa 0 35 6,49 5
2 Jumlah posyandu aktif per desa 0 35 6,47 5
3 Rata-rata jumlah kader per posyandu 1 30 4,86 5
4 Rata-rata jumlah kader aktif per posyandu 10 100 90,63 100
5 Jumlah kader yang sudah dilatih
program KIA per posyandu 0 30 2,4 2
6 Jumlah posyandu
a. Pratama 0 70 2,02 0
b. Madya 0 25 3,04 3
c. Purnama 0 32 1,16 0
d. Mandiri 0 37 0,33 0
7 Jumlah ibu hamil per desa 0 3000 78,01 38
8 Jumlah bayi (< 1 tahun) yang ada di desa 0 1765 122,50 80
9 Jumlah anak balita (1 - < 5 tahun) yang ada di Desa ini 0 4227 476,52 316
10 Responden yang menyatakan pernah merujuk bayi/balita ke puskesmas978 63,9%
Sumber : Survey GAVI HSS, 2010
30 Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
5. Pembiayaan Dalam Mobilisasi Masyarakat
a) Musrenbang Desa
Melalui Musrenbang Desa diharapkan agar masyarakat memiliki kemampuan dalam
menemukan permasalahan yang ada, kemudian merencanakan dan melakukan pemecahannya
sesuai dengan potensi yang dimiliki. Penekanan ini sangat jelas dalam program yang canangkan
oleh Departemen Kesehatan.
Sumber : Survey GAVI HSS, 2010
Grafik 21. Pemantauan KIA yang di Musyawarahkan di MusrenbangBerdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010
Berdasarkan variabel pembahasan KIA dalam musrenbang desa dan penggunaan hasil
Musrenbang dalam keputusan desa terlihat bahwa Kab. Lebak, Kab. Pandeglang dan Kota
Serang umumnya rendah dan berada dibawah proporsi Provinsi Banten. Hal yang menarik
terlihat di Kota Cilegon, dimana pembahasan KIA dalam Musrenbang desa proporsinya 93%
namun hasil pembahasan KIA digunakan dalam keputusan desa hanya sebesar 67,4%.
Hasil pemantauan KIA di Banten relatif belum dimanfaatkan sepenuhnya oleh seluruh
perangkat desa dalam pengambilan keputusan ataupun kebijakan di tingkat desa. Dari data
Provinsi Banten, pembahasan KIA di musrenbang sebanyak 82,1%, sedangkan penggunaan
hasil pembahasan KIA sebagai keputusan desa hanya sejumlah 73,6%. Diskusi dalam
musrembang lebih didominasi oleh diskusi hal lain seperti pembangunan fisik, dan infrastuktur
lainnya. Pelaksanaan musrenbang desa juga tidak akan berjalan secara maksimal jika
pemerintahan desa juga tidak terlalu berperan aktif membantu masyarakatnya.
31Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
Sumber : Survey GAVI HSS, 2010
Grafik 22. Desa/Kelurahan yang Membahas Anggaran KIA di Musrenbang BerdasarkanKabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010
Grafik di atas menunjukkan bahwa proporsi tertinggi desa yang membahas anggaran
KIA dalam musrenbang desa adalah Kota Tangerang Selatan dan yang terendah adalah Kota
Serang dan Kabupaten Lebak. Jumlah proporsi dilevel proporsi sendiri sebanyak 49,7%.
Sumber : Survey GAVI HSS, 2010
Grafik 23. Keberadaan Alokasi Anggaran KIA Desa/Kelurahan BerdasarkanKabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010
32 Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
Grafik di atas menunjukkan bahwa di Kabupaten Lebak hanya 13,8% desa yang
memiliki anggaran KIA. Sedangkan Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan adalah
wilayah dengan proporsi desa tertinggi. Proporsi di level Provinsi Banten sejumlah 31,75.
Angka ini terbilang rendah mengingat angkanya yang ada dibawah 50%. Variasi antar
kabupaten kota juga sangat tinggi.
b) Operasional Posyandu dan rujukan
Sumber : Survey GAVI HSS, 2010
Grafik 24. Ketersediaan Dana Operasional Posyandu Berdasarkan Kabupaten/Kota diProvinsi Banten, 2010
Grafik di atas menunjukkan bahwa posyandu di Provinsi Banten hanya 42,6% yang
memiliki dana operasional. Kota Serang, Kabupaten Serang dan Kabupaten Pandeglang
angkanya masing – masing 9,1%, 24,4% dan 35%. Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan
adalah dua wilayah yang memiliki proporsi tertinggi dalam hal posyandu yang memiliki dana
operasional.
Anggaran kegiatan kesehatan ibu dan anak (KIA) ditingkat desa sebagian besar
menggunakan dana APBD (62,9%), yang diajukan setelah melalui proses musrenbang desa
lalu kecamatan dan terakhir musrenbang kota/kabupaten.
Bidan desa: tapi memang kan ..waktu itukan kita pernah kita musrenbang, tapi
musrenbangnya bukan desa siaga sih . Tapi biasanya eee...apa...Ada dana untuk kegiatan di
posyandu, ee..apa namanya...kegiatan untuk bikin gedung posyandu juga Ada ..kita minta gitukan
.. untuk anggaran ke situ..gitu kan..
33Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
Kepala Desa/Lurah: Kalo kita disini itu Musrenbang kalo kita kan musyawarah
pembangunan kelurahan jadi kita kumpulkan RT, RW, tokoh masyarakat, tokoh agama termasuk
ketua pemuda dan karang taruna itu kita kumpulkan kita membicarakan apa kendala atau
masalah yang ada di kelurahan kemudian kedepan untuk kemajuan kelurahan apa aja, contoh
kalo untuk bidang kesehatan itu kita minta seperti foging karena disini kan banyak DBD kita
ajukan disitu foging per triwulan itu salah satunya kemudian untuk fisiknya kita banyak.. (Transkrip
wawancara)
Penggunaan dana APBD ini sejalan dengan kebijakan otonomi daerah yang pada
dasarnya merupakan pemberian wewenang yang lebih besar pada suatu daerah dalam
pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik daerah tersebut. Sayangnya,
saat ini perhatian pemerintah daerah terhadap persoalan kesehatan ibu dan anak (KIA) atau
kesehatan pada umumnya masih kecil. Anggaran APBD cenderung lebih banyak digunakan
untuk administrasi dan pembangunan fisik, sementara program-program kesehatan pada
umumnya dipandang sebagai program nonfisik yang tidak menarik perhatian pemerintah daerah.
Sedangkan Pendanaan untuk kegiatan Posyandu berasal dari dana APBD, selain dana
APBD ada juga dana bantuan dari pihak swasta/perusahaan dalam kerangka coorporate so-
cial responsibility (CSR), dana ini merupakan bentuk pertanggung jawaban sosial perusahaan
terhadap masyarakat dimana perusahaan tersebut beroperasi. Potensi dana CSR ini merupakan
salah satu aset penting didalam membantu keterbatasan pemerintah daerah didalam mendanai
pelayanan kesehatan. Sehingga tidak ada pungutan biaya pelayanan kesehatan bagi bayi/
balita.
Pewawancara: Kalau yang posyandu itu jadi dari APBD ya?
Petugas Puskesmas: Dari APBD. (Transkrip wawancara)
Lurah: Sejauh ini, tidak dipungut, bahkan setiap pemeriksaan mendapatkan PMT, bahkan
kita dapat dari kemitraan perusahaan, mereka bisa bantu biskuit buat balita, telur dan
kacang hijau, diolah oleh para kader, bantuan rutin dari perusahaan yang peduli.
(Transkrip wawancara)
Kalau pun terdapat pungutan lebih bersifat sukarela, yang dananya digunakan untuk
operasional kader dan bidan dilapangan. Hal ini dikatakan salah seorang kader yang menjadi
informan.
Kader: Jadi mungkin bu, mengenai posyandu kita lanjutkan jadi begini secara resmi
diwajibkan biaya memang tidak ada,, Cuma kegiatan posyandu itu artinya supaya berjalan
sehingga kader itu semacam kensceng lah, tetapi tidak diwajibkan atau tidak dipaksa misalnya
harus Rp. 1000 atau harus Rp. 5000 tidak begitu, sehingga berapa aja si ibu itu seikhlasnya
untuk memberi ke posyandu. Apalagi yang jamkesmas bu, itu 100% kami melarang untuk
memungut. . Jadi ke kader itu beberapa kali sudah diumumkan baik dipertemuan kader kan
kami melaksanakan pertemuan kader bu, setiap 1 bulan sekali di minggu kedua setiap hari
34 Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
rabu, Itu dihimbau semacau himbauan baik juga dibahas dalam pertemuan lintas program,
pelayanan yang mempunyai atau keluarga jamkesmas pelayanan dilarang menarik, baik di
posyandu di pusling di pustu, di puskesmas termasuk persalinan sehingga pelayanan di
posyandu sudah begitu tetapi bagi yang tidak memiliki jamkesma, sifatnya menyumbang saja
ke posyandu kan ada kencleng seikhlasnya, ada yang ngasih sebesar 500 atau yang ngasih
1000 nah uangnya kemana? Ya.. Disimpan di posyandu ya.. Jadi begitu bu kami hanya
seikhlasnya saja. (transkrip wawancara)
Kader: Jadi begitu aja, keuangannya untuk apa bu, ya itu di situ..di.posyandu saja ada
bendahara kader dicatet, kadang kadang mungkin saya mungkin…bukan membela teman.teman
bidan desa kadang kadang si bidan desanya dengan loyal u. teman2 posyandu tiu ee…kader
itu…mengeluarkan sendiri ini bu kader ini untuk baso . Ya mungkin walaupun tidak besar
(bercanda membahas bidan yang memberikan dana untuk kader membeli baso) Karena memang
betul betul darimana kader itu, (oke.. Gpp bu). Jadi untuk pendanaan di posyandu, kami tidak
sengaja menarik, harus sekian tidak…termasuk imunisasi atau ANC…Tetapi hanya itu saja,
untuk operasional, itupun ke kader semua…itu nantinya…malahan…tetapi terkadang si bidan
desanya yang memberi untuk beli baso setiap posyandu itu. Tapi mudah2an rejekinya lebih
dari yang dikasih (hehehe…) amiin…itu saja yang saya tahu begitu… (Transkrip wawancara).
Apabila kader memberikan rujukan ke puskesmas, itu tidak dikenakan biaya. Untuk
transport kader itu sendiri tergantung dari kesadaran pasien yang meminta rujukan. Akan tetapi
biasanya nanti kader diganti dari jamkesmas, karena di jamkesmas ada dana rujukan.
Kader: Nah kebetulan setau saya tidak. Kebanyakan kalo dirujuk rujuk saja, ya paling
tidak mungkin ya..mereka hanya untuk biaya ongkosnya mereka saja ke sini... (Transkrip
wawancara)
Kader: Ya tidak mengikat tidak, kesadaran dari pengunjung aja, iya begitu, Jadi kalo
merujuk minta tolong kader, (Transkrip wawancara)
Kader: Tapi bu biasanya begini kalo jamkesmas kan ada dana rujukan jadi nanti digantinya
dari situ si kadernya, apalagi yang punya jamkesmas, tidak sama sekali.. (Transkrip wawancara)
B. ISU MANAGEMEN PUSKESMAS
Puskesmas merupakan unit pelaksana teknis dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
yang berada di wilayah kecamatan yang melaksanakan tugas-tugas operasional pembangunan
kesehatan. Pembangunan puskesmas di tiap kecamatan memiliki peran yang sangat penting
dalam memelihara kesehatan masyarakat.
Organisasi kesehatan fungsional yang merupakan pusat pembangunan kesehatan
masyarakat yang juga membina peran serta masyarakat disamping memberikan pelayanan
kesehatan secara menyeluruh dan terpadu pada masyarakat di suatu wilayah kerja tertentu
dalam bentuk usaha kesehatan pokok.
35Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
1. SUMBER DAYA MANUSIA (SDM)
a) Pelatihan Bidan
Program pelatihan bidan desa pernah berubah beberapa kali dalam hal materi dan
metodenya. Semuanya dimaksudkan untuk memberikan wawasan dan keterampilan bagi bidan
sehingga mempunya kompetensi yang cukup. Membimbing dan melaksanakan gerakan
pemberdayaan masyarakat melalui kemitraan, Membimbing dan melaksanakan pelayanan
kegawat daruratan kesehatan sehari-hari dan berencana, Membimbing dan melaksanakan
tanggap darurat bencana (safe community), Melaksanakan pelayanan medis dasar sesuai
dengan kompetensi dan kewenangan yang dimiliki oleh bida itu sendiri.
Ada beberapa pelatihan bidan yang dilakukan untuk menunjang program kesehatan ibu
dan anak yaitu pelatihan MTBS, pelatihan imunisasi, pelatihan P4K. Jumlah bidan desa diProvinsi
banten yang sudah mendapatkan pelatihan tersebut adalah: 18,2% MTBS, 52,4% imunisasi,
dan 62,1% P4K. Seperti yang tertera pada tabel dibawah ini.
Tabel 7. Pelatihan Bidan
No Variabel Jumlah Persentase
1 Jumlah bidan desa yang sudah mendapatkan pelatihan MTBS 278 18,2%
2 Jumlah bidan desa yang sudah mendapatkan pelatihan imunisasi 798 52,4%
3 Jumlah bidan desa yang sudah mendapatkan pelatihan P4K 947 62,1%
Sumber : Survey GAVI HSS, 2010
b) Tenaga Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak
Jumlah tenaga kesehatan di Indonesia terus bertambah dengan pesat selama tiga dekade
terakhir. Pada 2006, diperkirakan terdapat 70.000 dokter (terdiri dari 55.000 dokter umum dan
15.000 dokter spesialis), 300.000 perawat dan 80.000 bidan. Dengan jumlah tenaga kesehatan
seperti ini, maka rasio tenaga kesehatan untuk dokter, spesialis, perawat, dan bidan secara
berturut-turut adalah sekitar 20; 5,5; 138; dan 35 per 100.000 penduduk. Jumlah dan rasio
jumlah tenaga kesehatan-penduduk ini meningkat dari periode sebelumnya. Dalam hal mutu
tenaga kesehatan, penilaian tentang mutu tenaga kesehatan sulit dilakukan karena tidak ada
data tentang hal tersebut. Namun berbagai upaya perbaikan telah dilakukan, misalnya
pengembangan kurikulum berbasis kompetensi untuk dokter, pengembangan standar
kompetensi untuk 10 jenis tenaga kesehatan, penyelenggaraan berbagai training, pembenahan
regulasi, lisensi dan sertifikasi tenaga kesehatan.
36 Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
Tabel 8. Distribusi Dokter, Bidan, Perawat Menurut Provinsi, 1996-2006
Provinsi
Dokter Bidan Perawat
1996 2006 1996 2006 1996 2006
1. Nangroe Aceh Darussalam 564 820 3.248 4.475 3.248 2.158
2. Sumatera Utara 2.042 2.761 7.939 7.142 7.939 3.314
3. Sumatera Barat 903 1.013 3.212 2.723 3.212 779
4. Riau 558 903 2.130 1.616 2.130 1.046
5. Jambi 345 537 1.576 1.270 1.576 853
6. Sumatera Selatan 1.093 1.002 3.638 3.048 3.638 1.388
7. Bengkulu 217 311 1.243 1.287 1.243 587
8. Lampung 486 710 2.119 2.302 2.119 1.437
9. Bangka Belitung - 187 - 346 - 321
10. Kepulauan Riau - 287 - 436 - 360
11. DKI Jakarta 3.591 2.893 1.826 907 1.826 130
12. Jawa Barat 5.090 5.531 11.710 8.615 11.710 6.101
13. Jawa Tengah 4.181 5.356 10.048 9.973 10.048 5.899
14. D.I. Yogyakarta 1.006 1.307 1.786 792 1.786 747
15. Jawa Timur 4.763 6.410 11.236 10.294 11.236 5.786
16. Banten - 1.069 - 2.018 - 1.088
17. Bali 1.004 1.378 2.147 1.156 2.147 1.072
18. Nusa Tenggara Barat 248 502 1.659 1.096 1.659 1.428
19. Nusa Tenggara Timur 249 494 2.555 3.077 2.555 2.168
20. Kalimantan Barat 350 445 2.064 1.367 2.064 1.415
21. Kalimantan Tengah 219 317 1.821 1.125 1.821 1.353
22. Kalimantan Selatan 418 520 2.109 1.778 2.109 1.224
23. Kalimatan Timur 511 711 2.032 1.152 2.032 1.305
24. Sulawesi Utara 770 937 3.290 1.273 3.290 1.913
25. Sulawesi Tengah 325 360 2.258 1.541 2.258 988
26. Sulawesi Selatan 1.374 1.659 5.275 3.242 5.275 2.340
27. Gorontalo - 173 - 374 - 429
28. Maluku 269 176 2.323 1.009 2.323 937
29. Maluku Utara 324 146 3.604 712 3.604 531
30. Papua - 463 - 2.084 - 2.926
Sumber data: Survei PODES (BPS, 2006)
37Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
Dengan mengacu pada jumlah dan rasio jumlah tenaga kesehatan-penduduk yang di-
harapkan pada 2010, maka sebenarnya telah terjadi kekurangan pada semua jenis tenaga ke-
sehatan yang ada. Jika dibandingkan dengan dengan negara-negara lain di regional Asia Tenggara,
jumlah dan rasio tenaga kesehatan Indonesia relatif rendah. Dibandingkan dengan negara-negara
yang mempunyai tingkat pendapatan yang sama, rasio dokter per 100.000 penduduk di Indone-
sia jauh lebih rendah dibandingkan dengan Filipina (58) dan Malaysia (70), bahkan dibandingkan
dengan negara dengan tingkat pendapatan yang lebih rendah seperti Vietnam dan Kamboja,
rasio jumlah tenaga kesehatan-penduduk di Indonesia masih lebih rendah. Walaupun demikian,
untuk jumlah dan rasio bidan dan perawat, di Indonesia lebih baik dari rata-rata di wilayah Asia
Tenggara yaitu perawat 62 dan bidan 50 per 100.000 penduduk. Tenaga kesehatan yang paling
dibutuhkan saat ini adalah dokter spesialis, perawat, bidan dan tenaga gizi.
Berdasarkan pengumpulan data di Banten, dari jumlah total puskesmas yang ada, tenaga
yang melakukan pelayanan kesehatan ibu dan anak (KIA) 46,6% dokter, 24,76% perawat, dan
76.7% bidan. Untuk imunisasi jumlah tenaga yang tersedia adalah: 24,27 % dokter, 45,63 %
perawat, 72,3 % bidan, dan 0,97 % puskesmas yang tidak memiliki satupun tenaga dokter,
perawat, dan bidan dalam pelayanan imunisasi. Sedangkan tenaga untuk pelayanan keluarga
berencana (KB) adalah 20,38 % dokter, 24,76 % perawat, 72,3 % bidan. Dari data tersebut
bisa dilihat bahwa selain masih rendahnya proporsi tenaga kesehatan yang ada, juga masih
ada puskesmas yang tidak memiliki satupun tenaga yang melayani imunisasi, meskipun jumlah
sangat kecil.
Tabel 9. Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak
No Jenis Pelayanan Jumlah Persentase
1 Kesehatan Ibu dan Anak (KIA)
1.1 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga dokter dalam 96 46.6%
pelayanan KIA
1.2 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga perawat dalam 51 24.76%
pelayanan KIA
1.3 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga bidan dalam 158 76.7%
pelayanan KIA
1.4 Jumlah puskesmas yang tidak memiliki satupun tenaga dokter,
perawatan, dan bidan dalam pelayanan KIA 0 0%
2 Imunisasi
2.1 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga dokter dalam
pelayanan imunisasi 50 24.27%
2.2 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga perawat dalam
pelayanan imunisasi 94 45.63%
2.3 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga bidan dalam
pelayanan imunisasi 149 72.3%
38 Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
Sumber : Survey GAVI HSS, 2010
Tabel diatas menunjukkan bahwa tidak ada puskesmas yang tidak memiliki tenaga dokter,
perawat, dan bidan untuk pelayanan KIA. Dari data tenaga bidan di puskesmas, masih 25%
puskesmas yang tidak memiliki tenaga bidan dan berkisar 50% yang tidak memiliki dokter.
Penyebaran tenaga kesehatan adalah satu hal yang seringkali menjadi kendala dalam
memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan di banyak wilayah. Konsentrasi tenaga kesehatan
yang ada disetiap unit pelayanan cenderung berada dititik – titik tertentu.
Kewenangan daerah untuk merekrut tenaga kesehatan di tingkat daerah belum dapat
dimanfaatkan dengan baik. Pemerintah Provinsi dan kabupaten/kota yang mempunyai
kewenangan untuk mengangkat pegawai tidak banyak merekrut tenaga kesehatan karena
berbagai kendala. Penelitian Bappenas (2005) menunjukkan bahwa masalah utama yang
dihadapi oleh kabupaten/kota dalam pengangkatan pegawai baru adalah keterbatasan formasi
dan keterbatasan dana kemudian disusul berturut-turut oleh masalah regulasi, peminat yang
terbatas, lulusan yang terbatas dan lain-lain.
Tenaga kesehatan juga seringkali harus merangkap kegiatan lain, yang bisa jadi
berhubungan atau malah kurang sesuai dengan latar belakang pendidikan dan keahlian yang
dimiliki. Kebijakan tentang pengembangan dan pemberdayaan tenaga kesehatan sangat
dipengaruhi oleh kebijakan kebijakan sektor lain, seperti: kebijakan sektor pendidikan, kebijakan
sektor ketenagakerjaan, sektor keuangan dan peraturan kepegawaian. Kebijakan sektor kesehatan
yang berpengaruh terhadap pengembangan dan pemberdayaan tenaga kesehatan antara lain:
kebijakan tentang arah dan strategi pembangunan kesehatan, kebijakan tentang pelayanan
kesehatan, kebijakan tentang pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan, dan kebijakan tentang
pembiayaan kesehatan. Selain dari pada itu, beberapa faktor makro yang berpengaruh terhadap
pengembangan dan pemberdayaan tenaga kesehatan, yaitu: desentralisasi, globalisasi,
menguatnya komersialisasi pelayanan kesehatan, teknologi kesehatan dan informasi. Oleh karena
itu, kebijakan pengembangan dan pemberdayaan tenaga kesehatan harus memperhatikan semua
faktor di atas.
2.4 Jumlah puskesmas yang tidak memiliki satupun tenaga dokter,
perawatan, dan bidan dalam pelayanan imunisasi 2 0.97%
3 Keluarga Berencana (KB)
3.1 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga dokter dalam 42 20.38%
pelayanan KB
3.2 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga perawat dalam 51 24.76%
pelayanan KB
3.3 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga bidan dalam 149 72.3%
pelayanan KB
3.4 Jumlah puskesmas yang tidak memiliki satupun tenaga
dokter, perawat,dan bidan dalam pelayanan KB 1 0.46%
39Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
c) Pelatihan Petugas Puskesmas
Pelatihan petugas puskesmas merupakan upaya didalam meningkatkan mutu pelayanan
kesehatan. Menurut Solter (2002) pelatihan diprogramkan untuk menjaga pengetahuan dan
ketrampilan mereka dalam mengatasi masalah kesehatan di wilayah kerja masing-masing.
Akan tetapi program pelatihan yang bersifat sentral tidak banyak membantu menyelesaikan
masalah ketrampilan SDM didaerah. Ini terjadi karena kurangnya informasi mengenai kebutuhan
pelatihan di daerah.
Kepala Dinas Kesehatan: Ya jangan banyak-banyak pelatihanlah..jangan. Saya polanya
bukan ditarik tapi justru dilihat dari sini ke sana, on job. Saya ga terlalu mengizinkan staf saya
mengikuti banyak pelatihan karena banyak waktu yang ditinggalkan. Karena setiap tahun itu
staf saya yang KIA itu seminggu itu kadang-kadang terus-menerus dia pertemuan kesana-
kesini. Jadi saya engga terlalu setuju terlalu banyak pelatihan. Ini minggu ini saja KIA itu ada 4
yang harus dia hadiri. Kapan dia bekerjanya?! Makanya saya tidak terlalu setuju kecuali yang
urgent. (Transkrip wawancara)
Kepala Dinas Kesehatan: misalnya Kementerian Kesehatan mengundang dari daerah,
dari kita. Provinsi mengundang dari kita, kita sendiri menyelenggarakan. Jadi dana pelatihan
itu luar bisa dan itu tidak dirasakan oleh masyarakat. Sebab perilaku petugas begitu pelatihan
sama aja begitu-begitu saja. (Transkrip wawancara)
Pada era desentralisasi yang terjadi pada saat ini telah memberikan kesempatan kepada
daerah untuk melakukan training need assessment secara mandiri sebagai dasar membuat
program pelatihan, yang tepat sasaran, tepat tujuan dan tepat metode. Seperti yang dilakukan
oleh salah satu dinas kesehatan yang ada diwilayah Provinsi banten.
Kepala Dinas Kesehatan: Jadi nanti kalau memang dia itu tidak mampu baru dilatih.
Tapi pelatihannya itu tidak usah ditarik, dimagangkan. Kemudian lebih baik di on job. Untuk itu
kenapa pelatihannya ga usah dilapangan, ditempat dia kerja itu lebih bagus hasilnya (Transkrip
wawancara).
Kepala Dinas Kesehatan: Kalau on job itu…misalnya, permasalahan dia diketahui
dilapangan dia. Contoh misalnya, “Bu saya tidak bisa, sterilitasnya kurang.”, “kenapa?” “saya
tidak punya, (misalnya) seterilisator”. Ada juga yang ini. Langsung dion jobkan kan. “oh, ya
udah nanti saya catat”. Berikutnya kita nanti diadakan, diberikan. Jadi langsung apa yang jadi
kebutuhan di lapangan. Langsung tercatat, dan nanti bagaimana penggunaan dilapangan. Misal
buku KIA,Nah, “ayo kita cari Ibu hamil”. “ayo cara ngisinya”(Transkrip wawancara).
Dengan pola desentralisasi yang memberikan kemandirian kepada daerah maka pela-
tihan tersebut akan berdasarkan kepada kebutuhan petugas dilapangan. Sehingga diharapkan
mampu mengefektifkan kinerja petugas kesehatan di daerah.
40 Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
Berikut ini jumlah petugas puskesmas di Provinsi banten yang sudah mengikuti pelatihan
kesehatan ibu dan anak (KIA).
Tabel 10. Pelatihan Petugas Puskesmas (Dokter)
Sumber : Survey GAVI HSS, 2010
Berdasarkan tabel 10 di atas ditemukan proporsi tenaga dokter yang diberikan pelatihan
umumnya hanya di bawah 15%, kecuali pada pelatihan PONED, fasilitator desa siaga, MTBS,
manajemen puskesmas dan P4K/ pelatihan penggunaan buku KIA. Tenaga dokter yang dilatih
hal – hal yang berkaitan dengan imunisasi seperti Cold Chain, safe injection dan pengelola
imunisasi sangat rendah.
No Jenis Pelayanan Jumlah Persentase
1.1 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga dokter dilatih 22 10.68%
APN
2.1 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga dokter dilatih 25 12.1%
manajemen asfiksia bayi baru lahir
3.1 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga dokter dilatih 19 9.2%
manajemen bayi berat lahir rendah
4.1 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga dokter dilatih 49 23.8%
PONED
5.1. Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga dokter dilatih 47 22.8%
fasilitator Desa Siaga
6.1 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga dokter dilatih 59 28.6%
MTBS
7.1 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga dokter dilatih 23 11.1%
AMP
8.1 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga dokter dilatih 57 27.67%
manajemen puskesmas
9.1 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga dokter dilatih 68 33%
Orientasi P4K (Program Perencanaan Persalinan dan
Pencegahan Komplikasi) / Pelatihan Penggunaan Buku
KIA
10.1 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga dokter dilatih 11 5.34%
Cold Chain
11.1. Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga dokter dilatih 10 4.85%
safe injection/vaksinator
12.1 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga dokter dilatih 7 3.4%
pengelola imunisasi
13.1 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga dokter dilatih 20 9.7%
SDITK
41Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
Tabel 11. Pelatihan Petugas Puskesmas (Perawat)
No Jenis Pelayanan Jumlah Persentase
1.2 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga perawat dilatih 9 4.36%
APN
2.2 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga perawat dilatih 8 3.88%
manajemen asfiksia bayi baru lahir
3.2 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga perawat dilatih 5 2.4%
manajemen bayi berat lahir rendah
4.2 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga perawat dilatih 28 13.6%
PONED
5.2 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga perawat dilatih 40 19.4%
fasilitator Desa Siaga
6.2 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga perawat dilatih 80 38.8%
MTBS
7.2 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga perawat dilatih 6 2.9%
AMP
8.2 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga perawat dilatih 40 19.4%
manajemen puskesmas
9.2 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga perawat dilatih 47 22.8%
Orientasi P4K (Program Perencanaan Persalinan dan
Pencegahan Komplikasi) / Pelatihan Penggunaan Buku
KIA
10.2 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga perawat dilatih 83 40.3%
Cold Chain
11.2 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga perawat dilatih 75 36.4%
safe injection/vaksinator
12.2 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga perawat dilatih 88 42.7%
pengelola imunisasi
13.2 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga perawat dilatih 23 11.2%
SDITK
Sumber : Survey GAVI HSS, 2010
Berdasarkan tabel 10 di atas ditemukan proporsi tenaga perawat yang diberikan pelatihan
yang berkaitan dengan imunisasi seperti Cold Chain, safe injection dan pengelola cukup baik.
Namun angka ini tidak terlalu tinggi (40%, 36.4%, da 42,7%), proporsinya tidak lebih dari 50%.
42 Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
Tabel 12. Pelatihan Petugas Puskesmas (Bidan)
No Jenis Pelayanan Jumlah Persentase
1.3 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga bidan dilatih 193 93.69%
APN
2.3 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga bidan dilatih 175 84.95%
manajemen asfiksia bayi baru lahir
3.3 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga bidan dilatih 127 61.65%
manajemen bayi berat lahir rendah
4.3 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga bidan dilatih 84 40.8%
PONED
5.3 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga bidan dilatih 133 64.6%
fasilitator Desa Siaga
6.3 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga bidan dilatih 128 62.14%
MTBS
7.3 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga bidan dilatih 100 48.5%
AMP
8.3 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga bidan dilatih 45 21.8%
manajemen puskesmas
9.3 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga bidan dilatih 175 84.95%
Orientasi P4K (Program Perencanaan Persalinan dan
Pencegahan Komplikasi) / Pelatihan Penggunaan Buku
KIA
10.3 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga bidan dilatih 131 63.6%
Cold Chain
11.3 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga bidan dilatih 98 47.6%
safe injection/vaksinator
12.3 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga bidan dilatih 113 54.85%
pengelola imunisasi
13.3 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga bidan dilatih 100 48.5%
SDITK
Sumber : Survey GAVI HSS, 2010
Berdasarkan tabel 10 di atas terlihat bahwa tenaga bidan mendapatkan pelatihan rela-
tive lebih banyak, khususnya dengan pelatihan KIA maupun imunisasi. Namun untuk angka
pelatihan imunisasi, proporsinya juga belum mencapai angka yang optimal. Gambaran ini bisa
jadi memperlihatkan tingginya beban dan tanggung jawab bidan dilapangan. Hal lain, table di
atas juga memperlihatkan bahwa bidan dianggap membutuhkan banyak bekal dilapangan.
43Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
No Jenis Pelayanan Jumlah Persentase
1.4 Jumlah puskesmas yang tidak memiliki satupun tenaga 0 0%
dokter, perawatan, dan bidan dilatih APN
2.4 Jumlah puskesmas yang tidak memiliki satupun tenaga 7 3.4%
dokter, perawat, dan bidan dilatih manajemen asfiksia
bayi baru lahir
3.4 Jumlah puskesmas yang tidak memiliki satupun tenaga 10 4.85%
dokter, perawat, dan bidan dilatih manajemen bayi berat
lahir rendah
4.4 Jumlah puskesmas yang tidak memiliki satupun tenaga 17 8.25%
dokter, perawat, dan bidan dilatih PONED
5.4 Jumlah puskesmas yang tidak memiliki satupun tenaga 7 3.4%
dokter, perawat, dan bidan dilatih fasilitator Desa Siaga
6.4 Jumlah puskesmas yang tidak memiliki satupun tenaga 6 2.9%
dokter, perawat, dan bidan dilatih MTBS
7.4 Jumlah puskesmas yang tidak memiliki satupun tenaga 18 8.7%
dokter, perawatan, dan bidan dilatih AMP
8.4 Jumlah puskesmas yang tidak memiliki satupun tenaga 17 8.25%
dokter, perawat, dan bidan dilatih manajemen puskesmas
9.4 Jumlah puskesmas yang tidak memiliki satupun tenaga 4 1.94%
dokter, perawat, dan bidan dilatih Orientasi P4K
(Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan
Komplikas) / Pelatihan Penggunaan Buku KIA
10.4 Jumlah puskesmas yang tidak memiliki satupun tenaga 3 1.46%
dokter, perawat, dan bidan dilatih Cold Chain
11.4 Jumlah puskesmas yang tidak memiliki satupun tenaga 10 4.85%
dokter, perawat, dan bidan dilatih safe injection/vaksinator
12.4 Jumlah puskesmas yang tidak memiliki satupun tenaga 5 2.4%
dokter, perawat, dan bidan dilatih pengelola imunisasi
13.4 Jumlah puskesmas yang tidak memiliki satupun tenaga 17 8.25%
dokter, perawat, dan bidan dilatih SDITK
Tabel 13. Puskesmas yang tidak memiliki satupun dokter, perawat maupun bidanyang dilatih
Sumber : Survey GAVI HSS, 2010
Berdasarkan tabel di atas ditemukan masih ada puskesmas yang tidak memiliki tenaga
dokter, perawat, ataupun bidan yang pernah mengikuti pelatihan manajemen asfiksia bayi baru
lahir (3,4%), manajemen BBLR (4,85%), PONED (8,25%), fasilitator desa siaga (3,4%), MTBS
(2,9%), AMP (8,7%), manajemen puskesmas (8,25%), P4K/pelatihan penggunaan buku KIA
(1,94%), cold chain (1,46%), safe injection/vaccinator (4,85%), pengelola imunisasi (2,4), dan
SDIDTK (8,25%).
44 Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
2. Sumber Pembiayaan Pelayanan Kesehatan
Kementerian Kesehatan secara umum bertanggung jawab pada kebijakan kesehatan
nasional, mengoperasikan beberapa rumah sakit vertikal, rumah sakit khusus dan rumah sakit
pendidikan, rekrutmen dan alokasi tenaga kesehatan secara terbatas serta operasionalisasi
beberapa program vertikal seperti untuk pengendalian penyakit menular. Kementerian Kesehatan
juga masih memegang fungsi penyediaan dan pembiayaan pelayanan kesehatan. Pangalo-
kasian dana di Kementerian Kesehatan (dan Kementerian dan lembaga lainnya) oleh Kemen-
terian Keuangan masih berdasarkan pada anggaran tahun-tahun sebelumnya, dan belum sepe-
nuhnya didasarkan pada kebutuhan. Kementerian Kesehatan juga mempunyai alokasi untuk
membayar klaim rumah sakit dan pemberian dana berdasarkan kapitasi untuk puksemas melalui
skema jamkesmas.
Pemerintah kabupaten/kota mempunyai tanggung jawab utama dalam penyelenggaraan
pelayanan kesehatan dan pengalokasian dana untuk membayai pelayanan kesehatan. Peme-
rintah kabupaten/kota merupakan penanggung jawab bagi ketersediaan fasilitas pelayanan
kesehatan dasar dan pelayanan kesehatan rujukan di tingkat daerah termasuk pemenuhan
kebutuhan tenaga kesehatan. Peran Provinsi hanya terbatas pada capacity building dan
koordinasi. Dengan setting seperti ini, hubungan antara pusat, Provinsi dan kabupaten/kota
menjadisering terhambat, misalnya dalam sistem informasi, yang tidak dapat mengalir dengan
mulus dari kedua arah.
Sejak era desentralisasi (mulai dari 2000), pembagian peran antar pemerintah pusat,
Provinsi dan kabupaten/kota dalam pembangunan kesehatan masih belum jelas. Dengan
terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007, sebenarnya telah dirumuskan secara
lebih rinci mengenai pembagian urusan dalam bidang kesehatan ini. Namun aturan ini masih
belum secara tegas dan eksplisit mengatur pembagian kewenangan tersebut, misalnya intervensi
apa yang seharusnya dilakukan setiap tingkat pemerintahan, dan bagaimana pembagian
tanggung jawab untuk pembiayaannya.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005, sebenarnya telah ditetapkan perlunya
Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang harus dilaksanakan oleh pemerintah daerah termasuk
pembiayannya. Kementerian Kesehatan telah menetapkan SPM bidang kesehatan melalui
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 741 Tahun 2008 yang menetapkan 18 indikator kesehatan
yang dikelompokkan dalam 4 kategori yaitu (i) pelayanan kesehehatan dasar; (ii) pelayanan
kesehatan rujukan; (iii) surveilans epidemiologi, serta (iv) promosi kesehatan dan pemberdayaan
masyarakat. Dengan adanya SPM ini, maka pemerintah kabupaten/kota wajib mengalokasikan
anggaran untuk pencapaian SPM sesuai dengan target waktunya. Apabila daerah tidak
melaksanakan SPM ini maka pemerintah pusat dapat mengambil alih pelaksanaannya dengan
biaya dari daerah itu sendiri dan memberi sanksi kepada daerah yang bersangkutan.
Alokasi dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang berasal dari
Dana Alokasi Umum (DAU), Pendapat Asli Daerah (PAD) atau Dana Bagi Hasil (DBH) untuk
membiayai pembangunan kesehatan cukup kecil. Berbagi studi menunjukkan bahwa rata-rata
proporsi anggaran kesehatan terhadap total APBD adalah sebesar 6 % (Bappenas, 2008).
45Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
Walaupun puskesmas dan rumah sakit milik daerah menjadi tanggung jawab pemerintah daerah,
dalam pelaksanaannya, anggaran daerah sangat terbatas, sehingga sebagain besar akan
mengandalkan pada ketersediaan subsidi dari pemerintah pusat, misalnya melalui Program
Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas).
Dalam kesehatan, Pembiayaan memegang peranan yang sangat penting untuk
memastikan penyelenggaraan akan pelayanan kesehatan itu sendiri. Dengan hal ini, diharapkan
agar pemerintah mencapai berbagai tujuan, termasuk merencanakan dan mengatur pembiayaan
kesehatan yang memadai (health care financing)
Tabel 14. Persentase Desa yang melakukan Pembahasan Anggaran, memiliki AlokasiAnggaran dan Sumber Anggaran Kegiatan KIA
Sumber : Survey GAVI HSS, 2010
Tabel diatas menunjukkan besarnya biaya transportasi bayi/balita ke puskesmas rata-
rata sebesar Rp.17.884,66 dengan sumber biaya 87,3% berasal dari orang tua/keluarga bayi
atau balita.
Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010
Grafik 26. Sumber Biaya bila Bidan Desa Merujuk ke PKM Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010
No Variabel Jumlah Persentase
1 Jumlah desa yang melakukan pembahasan anggaran 760 49,7%
untuk kegiatan KIA di dalam musrenbang Desa
2 Jumlah Desa yang memiliki alokasi anggaran untuk 485 31,7%
kegiatan KIA di tingkat desa
3 Sumber anggaran kegiatan KIA di tingkat Desa
a. ADD 58 12,0%
b. APBD 305 62,9%
c. PNPM 23 4,7%
d. Otsus 8 1,6%
e. Lain-lain 91 18,8%
46 Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
3. Wilayah Puskesmas
Berikut mapping wilayah Puskesmas di seluruh Kabupaten/Kota di Provinsi Banten.
Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010
Gambar 3. Peta Puskesmas di Provinsi Banten Tahun 2010
Berdasarkan peta sebaran puskesmas di Provinsi Banten, di Kabupaten Lebak dan
Pandeglang masih ada wilayah yang jumlah puskesmasnya sangat kurang.
Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010
Grafik 27. Fasilitas yang Dimiliki Puskesmas di setiap Kabupaten/Kota di ProvinsiBanten,2010
47Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
Berdasarkan Grafik sebagian besar puskesmas di kabupaten/kota di wilayah Provinsi
Banten telah memiliki fasilitas listrik, air bersih dan komputer.
4. Logistik Puskesmas
Sarana dan prasarana di puskesmas sangat diperlukan agar dapat tercapai pelayanan
kesehatan yang optimal.
5. Sarana dan prasarana Puskesmas
Puskesmas (pusat kesehatan masyarakat) adalah sarana unit fungsional kesehatan
yang memberikan pelayanan kesehatan dasar kepada masyarakat di wilayah kerjanya. Puskes-
mas mempunyai fungsi utama menjalankan pelayanan kesehatan untuk menanggulangi masalah
kesehatan masyarakat, terutama menggerakkan pogram promosi kesehatan, penanggulangan
dan pencegahan penyakit menular (P2M). Dengan fungsinya yang strategis sebagai penggerak
pembangunan kesehatan ditengah masyarakat, maka diperlukan dukungan sarana dan
prasarana yang cukup memadai sehingga pelayanan puskesmas dapat berjalan secara
maksimal.
Secara nasional jumlah Puskesmas dan jaringannya terus meningkat. Pada 2004, jumlah
Puskesmas mencapai 7.550 unit, sedangkan pada 2006 meningkat menjadi 8.015 unit.
Peningkatan jumlah puskesmas ini diperkirakan telah mampu mengikuti pertambahan penduduk.
Rasio puskesmas terhadap penduduk juga meningkat dari 3,5 pada 2004, menjadi 3,6
puskesmas per 100.000 penduduk 2007. Peningkatan jumlah puskesmas ini diikuti dengan
peningkatan fasilitas jejaring Puskesmas yaitu Puskesmas Pembantu dan Puskesmas Keliling.
Secara nasional jumlah puskesmas sudah cukup baik dibandingkan dengan penduduk
yang dilayani. Namun jika dilihat menurut provinsi, maka terdapat disparitas rasio jumlah
puskesmas-penduduk yang cukup besar. Rasio jumlah puskemas-penduduk tertinggi adalah
di Provinsi Maluku yaitu 8,7 per 100.000 penduduk, sedangkan yang terrendah adalah di Provinsi
Banten, yaitu 1,92 per 100.000 penduduk. Pada provinsi dengan jumlah penduduk besar, maka
rasio jumlah puskesmas-penduduk menjadi relatif kecil. Namun demikian, peningkatan jumlah
puskemas, seharusnya tidak hanya dilihat dari rasio per penduduk, namun lebih pada cakupan
luas wilayah yang ditangani oleh puskesmas. Rasio jumlah puskemas-penduduk sebenarnya
tidak dapat menggambarkan tingkat aksesibilitas penduduk terhadap fasilitas kesehatan,
terutama pada daerah-daerah dengan wilayah geografi yang luas, daerah terpencil dan daerah
perbatasan. Pada wilayah-wilayah dengan cakupan wilayah kerja yang luas, akses penduduk
terhadap pelayanan kesehatan masih terbatas. Pembangunan puskesmas dan jejaringnya pada
periode 2004-2009 diutamakan pada daerah tertinggal, terpencil, perbatasan dan daerah
kepulauan.
48 Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010
Gambar 4. Peta Sebaran Puskesmas di Provinsi Banten
Saat survei dilakukan, kondisi fisik gedung puskesmas yang ada di provinsi Banten
76,2% kondisinya baik. Dari jumlah tersebut, 13,1% rusak ringan, 5,8% rusak sedang, adapun
kondisi gedung puskesmas yang rusak berat dan sedang dalam perbaikan masing – masing
berjumlah 2,4%. Dengan masih adanya kondisi fisik gedung puskesmas yang rusak berat,
berakibat pada tidak maksimalnya pelayanan kesehatan kepada masyarakat.
Tabel 15. Karakteristik Puskesmas
Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010
No Karakteristik Puskesmas Jumlah Persentase
1 Jumlah puskesmas 206 1002 Tipe puskesmas2.1 Perawatan 49 24.52.2 Non Perawatan 151 75.53 Letak puskesmas3.1 Biasa 188 91.33.2 Daerah terpencil 18 8.73.3 Sangat terpencil- -4 Kondisi fisik gedung puskesmas4.1 Baik 157 76.24.2 Rusak ringan 27 13.14.3 Rusak sedang 12 5.84.4 Rusak Berat 5 2.44.5 Sedang dalam perbaikan 5 2.4
49Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
Untuk sarana penunjang pelayanan kesehatan, dapat dilihat pada tabel dibawah ini,
Tabel 16. Sarana Yang Dimiliki Puskesmas
No Sarana Puskesmas Minimum Maksimum Mean Median
1 Jumlah puskesmas keliling roda 4 0 12 1.04 1.00
2 Jumlah puskesmas keliling air 0 8 0.06 0.001
3 Jumlah puskesmas pembantu 0 5 1.30 1.00
4 Jumlah polindes di wilayah kerja 0 6 0.60 0.001
5 Jumlah posyandu 0 99 43.53 43.00
Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010
Tabel 17. Fasilitas yang Dimiliki Puskesmas
No Sarana Puskesmas Jumlah Persentase
1 Memiliki fasilitas listrik PLN 205 99.5
2 Memiliki fasilitas telepon 134 65
3 Memiliki fasilitas air bersih 195 94.7
4 Memiliki fasilitas komputer dengan kondisi bagus 198 96.1
5 Memiliki fasilitas internet 54 26.2
Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010
Untuk fasilitas listrik, air bersih, dan komputer sebagian besar puskesmas diprovinsi
Banten memiliki fasilitas tersebut.
Sedangkan untuk sarana dan prasarana penunjang kegiatan kesehatan ibu dan anak
(KIA) baik itu medik ataupun non medik bisa dilihat pada tabel dibawah ini :
Tabel 18. Sarana dan Prasarana Puskesmas
No Sarana Jumlah
Jumlah puskesmasdengan kondisi sarana
baik dan tidak baik
Baik/berfungsiTidak
baik/tidakberfungsi
n % n % n %
1 Jumlah puskesmas yang memiliki 200 97.1 187 93.5 13 6.5bidan kit
2 Jumlah puskesmas yang memiliki 140 68 130 92.85 10 7.1resusitasi kit
3 Jumlah puskesmas yang memiliki 204 99 193 94.6 11 5.4alat pengukur tekanan darah
4 Jumlah puskesmas yang memiliki 205 99.5 200 97.6 5 2.4stetoskop
5 Jumlah puskesmas yang memiliki 187 90.8 183 97.9 4 2.1stetoskop laenec
50 Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010
6 Jumlah puskesmas yang memiliki 195 94.7 190 97.4 5 2.6
termometer
7 Jumlah puskesmas yang memiliki 171 83 159 93 12 7
ARI Timer/Timer ISPA
8 Jumlah puskesmas yang memiliki 76 36.9 63 82.9 13 17.1
tensimeter dengan manset anak
9 Jumlah puskesmas yang memiliki 180 87.4 175 97.2 5 2.8
meja alat
10 Jumlah puskesmas yang memiliki 203 98.5 202 99.5 1 0.5
tempat tidur periksa
11 Jumlah puskesmas yang memiliki 204 99 196 96.1 8 3.9
timbangan dewasa
12 Jumlah puskesmas yang memiliki 205 99.5 193 94.1 12 5.9
timbangan bayi
13 Jumlah puskesmas yang memiliki 198 96.1 193 98 5 2.5
pengukur tinggi badan
14 Jumlah puskesmas yang memiliki 199 96.6 197 99 2 1
stok buku KIA
15 Jumlah puskesmas yang memiliki 175 85 172 99.4 1 0.6
stok Buku KMS
16 Jumlah puskesmas yang memiliki 165 80.1 153 92.7 12 7.3
wastafel
17 Jumlah puskesmas yang memiliki 196 95.1 191 97.4 5 2.6
poster/iklan layanan masyarakat
18 Jumlah puskesmas yang memiliki 80 38.8 77 96.2 3 3.8
PONED kit
19 Jumlah puskesmas yang memiliki 134 65 133 96.4 1 0.75
stok buku bagan MTBS
20 Jumlah puskesmas yang memiliki 130 63.1 126 98.4 2 1.6
stok formulir MTBS bayi < 2 bulan
21 Jumlah puskesmas yang memiliki 128 62.1 125 98.4 2 1.6
stok formulir MTBS bayi 2 – 59 bulan
22 Jumlah puskesmas yang memiliki 174 84.5 168 98.2 3 1.8
stok register kohort bayi
23 Jumlah puskesmas yang memiliki 147 71.4 143 97.9 3 2.1
stok register kohort balita
24 Jumlah puskesmas yang memiliki 59.7 118 99.2 1 0.8
stok pedoman teknis Vitamin K1 123
25 Jumlah puskesmas yang memiliki 192 93.2 186 98.4 3 1.6
stok obat terkait KIA (oksitosin, Fe,
Vit. A, Vit K1 ampul, oralit, zinc,
antibiotik oral, antibiotik injeksi,
cairan infus)
26 Jumlah puskesmas yang memiliki 118 57.3 112 96.6 4 3.4
ruang persalinan
27 Jumlah puskesmas yang memiliki 181 87.9 170 95 9 5
tempat tidur kebidanan
51Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
Data berikut ini adalah tentang sarana imunisasi puskesmas yang ada di Provinsi Banten.
Tabel 19. Sarana Imunisasi Puskesmas
Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010
No Sarana Jumlah
Jumlah puskesmasdengan kondisi sarana
baik dan tidak baik
Baik/berfungsiTidak
baik/tidakberfungsi
n % n % n %
1 Jumlah puskesmas yang memiliki 206 100 202 98.5 3 1.5
cool pack
3 Jumlah puskesmas yang memiliki 206 100 203 99 2 1
alat suntik
4 Jumlah puskesmas yang memiliki 185 89.8 179 95.7 8 4.3
refrigerator
5 Jumlah puskesmas yang memiliki 205 99.5 201 98 4 2
vaccine carrier/termos
6 Jumlah puskesmas yang memiliki 201 97.6 198 98.5 3 1.5
safety box
7 Jumlah puskesmas yang memiliki 132 64.1 126 95.45 6 4.5
wastafel
8 Jumlah puskesmas yang memiliki 63 30.6 60 95.2 3 4.8
genset
9 Jumlah puskesmas yang memiliki 195 94.7 187 95.9 8 4
poster/iklan layanan masyarakat
10 Jumlah puskesmas yang memiliki 177 85 174 98.3 3 1.7
termostat
11 Jumlah puskesmas yang memiliki 204 99 200 98.5 3 1.5
lembar pemantauan suhu
12 Jumlah puskesmas yang memiliki 203 98.5 201 98.5 2 0.98
stok vaksin HbO
13 Jumlah puskesmas yang memiliki 203 98.5 202 99.5 1 0.5
stok vaksin DPT
14 Jumlah puskesmas yang memiliki 201 97.6 199 99 2 1
stok vaksin polio
15 Jumlah puskesmas yang memiliki 205 99.5 204 99.5 1 0.5
stok vaksin campak
16 Jumlah puskesmas yang memiliki 200 97.1 198 99 2 1
stok vaksin BCG
17 Jumlah puskesmas yang memiliki 187 90.8 185 98.9 2 1.1
stok format RR
52 Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
Dari data tabel diatas bisa dilihat bahwa hanya 30.6% saja puskesmas yang memiliki
genset, ini berakibat pada tidak akan berjalannya pelayanan kesehatan yang membutuhkan
aliran listrik apabila terjadi gangguan listrik PLN.
Masih terdapat puskesmas dengan sarana imunisasi belum lengkap. Ada sekitar 4%
puskesmas yang tidak memiliki refrigerator. Puskesmas dengan kepemilikan wastafel hanya
64% dari jumlah keseluruhan puskesmas.
6. KIA dan Pelayanan Puskesmas
Pelayanan kesehatan dasar antara lain meliputi kesehatan ibu dan anak, imunisasi,
keluarga berencana, manajemen terpadu balita sakit, perbaikan gizi, penanganan penyakit
infeksi dan penghentian merokok. Dalam Sistem Kesehatan Nasional terdapat 15 jenis pelayanan
kesehatan dasar yang harus diselenggarakan melalui puskesmas dan jejaringnya. Pada tahun
1970-an hingga 1990-an terjadi ekspansi yang cukup besar dalam penyediaan infrastruktur
puskesmas dan puskesmas pembantu. Dengan ekspansi ini, maka puskesmas tersedia mini-
mal disetiap kecamatan, sehingga memudahkan akses masyarakat terhadap pelayanan
kesehatan dasar. Setelah 2000, puskesmas dan puskesmas pembantu masih terus bertambah
walaupun tidak secepat dua dekade sebelumnya. Pada 2006, terdapat lebih dari 8.000
puskesmas kecamatan, dimana 27 % di antaranya merupakan puskesmas dengan tempat
perawatan. Rasio puskesmas per 100.000 penduduk juga terus meningkat hingga mencapai
3,6 pada 2006. Selain itu kegiatan outreach juga semakin meningkat dengan semakin
bertambahnya Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu). Pada 2005, terdapat 316.000 posyandu
yang tersebar di seluruh pelosok nusantara (Profil Kesehatan Indonesia, 2006).
Puskesmas sebagai pusat pelayanan kesehatan yang bergerak diwilayah kerjanya,
dituntut meningkatkan mutu pelayanannya. Terselenggaranya pelayanan kesehatan yang
bermutu dan memuaskan di Puskesmas dalam rangka terwujudnya peningkatan kesadaran,
kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar dapat mewujudkan derajat
kesehatan yang setinggi-tingginya.
Dibawah ini adalah jenis pelayanan terkait kesehatan ibu dan anak (KIA) di puskesmas
di wilayah Provinsi Banten.
Tabel 20. Jenis Pelayanan Terkait Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) di Puskesmas
No Jenis Pelayanan Jumlah Persentase
1 Jumlah puskesmas yang menyelenggarakan pelayanan 205 99.5
penyuluhan/promosi kesehatan
2 Jumlah puskesmas yang menyelenggarakan pelayanan 202 98
kesehatan lingkungan
3 Jumlah puskesmas yang menyelenggarakan pelayanan 205 99.5
penyuluhan/promosi kesehatan
53Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010
Dari tabel di atas diketahui bahwa semua jenis pelayanan terkait KIA, belum mencapai
100% bahkan jumlah puskesmas yang menyelenggarakan pelayanan persalinan normal hanya
73,8%.
4 Jumlah puskesmas yang menyelenggarakan pelayanan
Kesehatan Ibu dan Anak
4.1 Jumlah puskesmas yang menyelenggarakan pelayanan 152 73.8
persalinan normal
4.2 Jumlah puskesmas yang menyelenggarakan pelayanan 200 97
imunisasi HbO bayi baru lahir ( < 7 hari)
4.3 Jumlah puskesmas yang menyelenggarakan pelayanan 176 85.4
MTBS pada bayi – balita
4.4 Jumlah puskesmas yang menyelenggarakan Audit 172 83.5
Maternal Perinatal
4.5 Jumlah puskesmas yang melakukan otopsi verbal pada 169 82
kematian maternal/neonatal
4.6 Jumlah puskesmas yang melakukan kunjungan 203 98.54
neonatus
4.7 Jumlah puskesmas yang melakukan kunjungan bayi 203 98.54
4.8 Jumlah puskesmas yang menyelenggarakan pelayanan 199 96.6
tumbuh kembang bayi - balita
4.9 Jumlah puskesmas yang menyelenggarakan pelayanan 199 96.6
KIA di luar gedung
5 Jumlah puskesmas yang menyelenggarakan pelayanan 204 99
Keluarga Berencana
6 Jumlah puskesmas yang menyelenggarakan pelayanan - -
gizi
7 Jumlah puskesmas yang menyelenggarakan pelayanan 204 99
perbaikan gizi
8 Jumlah puskesmas yang menyelenggarakan pelayanan
imunisasi
8.1 Jumlah puskesmas yang menyelenggarakan pelayanan 204 99
imunisasi dasar lengkap pada bayi
8.2 Jumlah puskesmas yang menyelenggarakan pelayanan 203 98.5
imunisasi anak sekolah
8.3 Jumlah puskesmas yang menyelenggarakan pelayanan 203 98.5
imunisasi TT pada WUS/ibu hamil
9 Jumlah puskesmas yang menyelenggarakan pelayanan 204 99
pengobatan
54 Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010
Grafik 28. Jenis Pelayanan Terkait Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) di Puskesmasberdasarkan Kabupaten dan Kota
7. Cakupan Pelayanan KIA dan Imunisasi
Pelayanan KIA dan Imunisasi adalah indikitor – indikator penting yang dipakai dalam
menentukan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM). IPKM diharapkan dapat
menggambarkan kemajuan pembangunan kesehatan di kabupaten/kota.
IPKM sendiri dibentuk oleh kombinasi 4 variabel input (Proporsi Akses Air Bersih, Proporsi
Akses Sanitasi, Rasio Dokter dan Rasio Bidan), 2 variabel process (Proporsi Cuci Tangan,
Proporsi Merokok Tiap Hari), 4 variabel output (Cakupan Persalinan Oleh Nakes, Cakupan
Pemeriksaan Neonatal 1, Cakupan Imunisasi Lengkap, dan Cakupan Penimbangan Balita), 6
variabel effect (Prevalensi Balita Gizi Buruk dan Kurang, Prevalensi Balita Sangat Pendek dan
Pendek, Prevalensi Sangat Kurus dan Kurus, Prevalensi Balita Gemuk), serta 6 variabel im-
pact (Prevalensi Diare, Prevalensi Pneumonia, Prevalensi Hipertensi, Prevalensi Gangguan
Mental, Prevalensi Asma, dan Prevalensi Penyakit Gigi dan Mulut).
Tabel 21. Cakupan Program KIA dan Imunisasi Puskesmas
No Indikator Cakupan
Minimum Maksimum Mean Median
1 Kunjungan antenatal ke-1 (K1 akses) 2 141 91.40 95.00
2 Kunjungan antenatal ke-4 (K-4) 2 112 75.85 80.00
3 Persalinan oleh tenaga kesehatan (Pn) 10 116 74.10 76.50
4 Kunjungan nifas lengkap (KF) 7 119 78.61 83.00
5 Deteksi faktor risiko/komplikasi oleh masyarakat 1 118 25.67 14.00
6 Penanganan komplikasi obstetrik (PK) 1 102 34.80 20.00
7 Kunjungan neonatal Pertama (KN1) 7 149 84.06 87.00
8 Kunjungan Neonatal Lengkap (KNL) 1 136 78.77 84.00
55Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010
Di Provinsi Banten terlihat bahwa rata - rata cakupan K1-nya adalah 91,40%. Untuk rata
– rata cakupan K4 Provinsi Banten sejumlah 75,85%. Dari beberapa indikator cakupan KIA dan
Imunisasi, hanya cakupan pelayanan KB yang relatif rendah, sedangkan cakupan lain meskipun
tidak berada di angka nasional, namun angkanya secara provinsi relatif baik.
Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010
Grafik 29. Cakupan K1 Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010
9 Neonatus dengan komplikasi yang ditangani (NK) 1 200 43.15 37.00
10 Kunjungan bayi (Kby) 11 213 83.82 87.00
11 Pelayanan anak balita (Kbal) 1 257 71.28 73.50
12 Pelayanan KB (PUS Aktif ber KB) 1 259 57.83 61.00
13 TT WUS 1 188 59.98 63.00
14 TT ibu hamil 1 172 76.21 81.5
15 HbO 13 126 72.03 73.00
16 BCG 16 134 89.39 91.00
17 DPT 3 16 129 88.16 90.00
18 Polio 4 15 134 88.05 90.00
19 Campak 15 127 87.77 90.00
20 DT Kelas 1 SD (BIAS) 9 100 90.82 95.50
21 TT Kelas 2 SD (BIAS) 9 100 91.60 96.00
22 TT Kelas 3 SD (BIAS) 9 100 91.18 96.00
23 Campak 35 100 92.46 96.00
56 Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
Berikut adalah Grafik berdasarkan gambaran Cakupan K4 perkabupaten kota di Banten:
Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010
Grafik 30. Cakupan K4 Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010
Berdasarkan grafik di atas, Kabupaten Serang, Kota Serang dan Kabupaten Pandeglang
angkanya lebih rendah dibandingkan dengan angka Provinsi. Angka ini juga jauh di bawah
target SPM. Cakupan kunjungan ibu hamil K4 adalah cakupan ibu hamil yang telah memperoleh
pelayanan antenatal sesuai dengan standar paling sedikit 4 kali di satu wilayah kerja pada
kurun waktu tertentu. Cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan yang memiliki
kompetensi kebidanan adalah ibu bersalin yang mendapat pertolongan persalinan oleh oleh
tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi kebidanan di satu wilayah kerja pada kurun waktu
tertentu. Dengan indikator ini dapat diperkirakan proporsi persalinan yang ditangani oleh tenaga
kesehatan dan ini menggambarkan kemampuan manajemen program KIA dalam pertolongan
persalinan sesuai standar.
Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010
Grafik 31. Cakupan Persalinan Nakes Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010
57Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
Sebagian besar persalinan berjalan normal, namun sekitar 15% diperkirakan akan mengalami
komplikasi. Pencegahan komplikasi kebidanan, identifikasi dini, dan penanganan persalinan dengan
komplikasi yang tepat dan adekuat merupakan hal yang sangat penting dalam mencapai
kelangsungan hidup ibu. Dalam konteks Indonesia dan banyak Negara berkembang lainnya, jalan
pertama adalah dimulai di tingkat masyarakat, dimana ibu pertama kali mencari pelayanan persalinan
terkait dengan prognosis dari keluaran persalinan. Banyak komplikasi kebidanan tidak dapat
diprediksi, akan tetapi dapat dicegah. Pencegahan dan identifikasi dini komplikasi akan mengarah
kepada rujukan yang efektif, menentukan rujukan yang tepat dan tindakan stabilisasi yang diberikan
akan adekuat. Probabilitas kelangsungan ibu tinggi ketika langkah-langkah tersebut disertai dengan
pelayanan kedaruratan kebidanan yang tepat dan berkualitas di rumah sakit
“Persalinan oleh Tenaga Kesehatan” adalah peraturan yang pernah digaungkan oleh
Pemerintah Indonesia untuk menurunkan angka kematian ibu dan neonatal. Demi tercapainya
hal tersebut, Pemerintah mencanangkan Program Penempatan Bidan di Desa yang sampai
saat ini baru 40% desa memiliki Bidan Desa.
Tetapi faktanya angka kematian ibu dan neonatal tidak mengalami penurunan yang
signifikan, disebabkan oleh berbagai faktor seperti luasnya jangkauan wilayah dan banyaknya
populasi yang menjadi tanggung jawab Bidan Desa; masih tingginya persalinan yang terjadi di
rumah masyarakat; masih banyaknya persalinan yang ditolong oleh bukan tenaga kesehatan;
tidak ada fasilitas persalinan yang terstandar di desa; terbatasnya alat dan obat emergency
dasar yang dimiliki oleh Poskesdes, Polindes dan BPS; geografis dan transportasi yang sulit
sehingga akses kepada pelayanan rujukan menjadi kendala tersendiri.
Grafik di atas menunjukkan bahwa cakupan persalinan di Provinsi Banten oleh tenaga
kesehatan yang angkanya 74,1 % belum mencapai target. Cakupan persalinan terendah ada
di Kabupaten Lebak dan Pandeglang, sedangkan cakupan persalinan oleh nakes tertinggi ada
di Kab. Tangerang dan Kota Tangerang Selatan. Persoalan akses di wilayah rural menjadi
salah satu masalah yang mendasar.
Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010
Grafik 32. Cakupan Kunjungan Nifas per Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010
58 Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
Penyebab kematian kasus-kasus kebidanan (maternal) terbanyak adalah perdarahan,
dimana perdarahan pasca persalinan merupakan penyebab terbanyak dari kematian tersebut.
Akan tetapi, sebagian besar dari perdarahan pasca persalinan ini dapat dicegah bila pengelolaan
aktif kala tiga dilakukan dengan baik. Penyebab kematian lain yang tidak kalah penting adalah
preeklampsia dan eklampsia. Akan tetapi, pencegahan terhadap preeklampsia dan eklampsia
tidaklah sederhana. Selain perdarahan pasca persalinan, hal yang perlu dicermati untuk
perbaikan pelayanan kebidanan di Rumah Sakit.
Cakupan Kunjungan Nifas di Banten hanya berada pada angka 78,61%, hal ini belum
dapat dikatakan mencapai target. Beberapa kabupaten angka cakupannya sebetulnya sudah
mencapai 80%, namun ini lebih banyak pada wilayah urban.
Cakupan deteksi faktor risiko dan komplikasi oleh masyarakat adalah cakupan ibu hamil
dengan faktor risiko atau komplikasi yang ditemukan oleh kader atau dukun bayi atau
masyarakat serta dirujuk ke tenaga kesehatan di suatu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu.
Masyarakat disini, bisa keluarga ataupun ibu hamil, bersalin, nifas itu sendiri. Indikator ini
menggambarkan peran serta dan keterlibatan masyarakat dalam mendukung upaya peningkatan
kesehatan ibu hamil, bersalin dan nifas.
Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010
Grafik 33. Cakupan Deteksi Faktor risiko per Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010
Dari Grafik hasil survei GAVI untuk variabel cakupan deteksi risiko di atas, terlihat bahwa
cakupan deteksi risiko di Banten sejumlah 78,6%. Angka ini masih perlu ditingkatkan agar
resiko komplikasi dapat dicegah. Komplikasi kebidanan yang ditangani adalah ibu hamil, ibu
bersalin, dan ibu nifas dengan komplikasi yang mendapatkan pelayanan sesuai standar pada
tingkat pelayanan dasar dan rujukan (Polindes, Puskesmas, Puskesmas PONED, Rumah
Bersalin, RSIA/RSB, RSU, dan RSU PONEK).
59Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010
Grafik 34. Cakupan TT WUS Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010
Berdasarkan Grafik di atas, Kabupaten Pandeglang, Tangerang, Serang dan Lebak
adalah kabupaten yang cakupannya rendah. Untuk Kabupaten pandeglang, Tangerang, dan
Kabupaten Serang, angkanya bahkan jauh dibawah angka cakupan Provinsi.
Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010
Grafik 35. Cakupan TT Bumil per Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010
Berdasarkan Grafik di atas, Kabupaten pandeglang, dan Lebak cakupannya rendah
dan jauh di bawah angka Provinsi Banten. Cakupan TT Bumil Provinsi Banten sebanyak 76,21%.
Kota Serang dan Kota Tangerang Selatan cakupannya diatas 90% dan berada diatas angka
cakupan Provinsi Banten.
60 Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010
Grafik 36. Cakupan HB0 Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010
Berdasarkan Grafik di atas, Kabupaten pandeglang, dan Lebak cakupannya rendah
dan jauh di bawah angka Provinsi Banten. Cakupan TT Bumil Provinsi Banten sebanyak 72,03%.
Sedangkan daerah urban seperti Kota Serang, Cilegon, Tangerang dan Kota Tangerang Selatan
cakupannya berada diatas angka cakupan Provinsi Banten.
Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010
Grafik 37. Cakupan BCG Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010
Berdasarkan Grafik di atas terlihat bahwa tidak seluruh kabupaten di Banten telah
memenuhi standar UCI untuk imunisasi HB0. Kabupaten Lebak dan Kabupaten Pandeglang
juga menjadi kabupaten dengan cakupan paling rendah.
61Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
Sebaran cakupan BCG Provinsi Banten berdasarkan hasil pemetaan yang telah
dilakukan, titik-titik yang berwarna merah menunjukkan bahwa cakupan BCG pada daerah
tersebut telah mencapai 99%, sehingga berdasarkan hasil berikut dapat diketahui bahwa
sebagian besar di kabupaten/kota di Provinsi Banten target cakupan imunisasi BCG belum
mencapai standar.
Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010
Gambar 5. Peta Cakupan DPT 3 Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010
Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010
Grafik 38. Cakupan DPT3 Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010
Berdasarkan Grafik di atas, Kabupaten Pandeglang dan Lebak adalah kabupaten yang
cakupannya rendah. Untuk Kabupaten/kota yang lain, cakupannya angkanya diatas angka
62 Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
cakupan Provinsi. Angka cakupan Provinsi Banten sendiri adalah 88,16%, adapun hasil
pemetaan yang telah dilakukan dapat diketahui sebaran cakupan imunisasi tersebut.
Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010
Gambar 6. Cakupan Polio 4 Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010
Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010
Grafik 39. Cakupan Polio 4 Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010
Berdasarkan Grafik di atas, Kabupaten Serang, Kota Serang, Kota Tangerang, Kota
Tangsel adalah kabupaten yang cakupannya diatas 90%. Untuk kabupaten Lebak dan kabupaten
Pandeglang angka cakupan dibawah angka cakupan Provinsi.
63Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010
Gambar 7. Cakupan Campak Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010
Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010
Grafik 40. Cakupan Campak Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010
Cakupan imunisasi campak Banten adalah 87,77%. Kabupaten Lebak dan Pandeglang
memiliki proporsi yang paling rendah (78.68% dan 80.18%) dibandingkan dengan kabupaten/
kota yang lain .
64 Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010
Gambar 8. Cakupan BIAS Kelas 1 SD BerdasarkanKabupaten/Kota di Provinsi Banten,2010
Bulan Imunisasi Anak sekolah atau yang dikenal dengan istilah BIAS adalah suatu pro-
gram pelayanan imunisasi dengan sasaran seluruh siswa SD/MI kelas 1,2 dan 3 termasuk pula
institusi lain setara SD. BIAS dilakukan pada bulan November setiap tahunnya. Jenis imunisasi
yang diberikan adalah imunisasi DT dan Campak untuk kelas 1 serta imunisasi TT untuk kelas
2 dan 3 dengan dosis masing-masing 0,5 cc.
Berdasarkan hasil pemetaan yang telah dilakukan, imunisasi campak sudah dilakukan
di semua daerah.
Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010
Grafik 41. Cakupan BIAS Kelas 1 SD Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten,2010
65Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
Untuk imunisasi DT kelas 1 SD (BIAS 1 SD), cakupan imunisasi kota Tangerang lebih
rendah dibandingkan angka Provinsi Banten begitu pula dengan kabupaten Tangerang.
Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010
Grafik 42. Cakupan BIAS Kelas 2 SD per Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010
Berdasarkan grafik diatas, cakupan imunisasi TT kelas 2 SD (BIAS) menunjukkan bahwa
cakupan kabupaten dan kota Tangerang lebih rendah dibandingkan dengan angka Provinsi
Banten dan kabupaten/kota lainnya yang ada di Provinsi Banten.
Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010
Grafik 43. Cakupan Bias Kelas 3 SD Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten,2010
Data untuk cakupan imunisasi TT BIAS kelas 3 SD menunjukkan hasil tidak jauh berbeda
dengan hasil cakupan imunisasi TT kelas 2 SD, yaitu bahwa proporsi cakupan imunisasi
kabupaten/kota lebih rendah dibandingkan dengan cakupan imunisasi kabupaten/kota lainnya.
66 Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010
Grafik 44. Cakupan Bias Campak per Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010
Berdasarkan grafik diatas, rata-rata cakupan BIAS Provinsi Banten diatas 90%, kecuali
untuk kota Tangerang dan Tangerang Selatan (73.38% dan 88.4%).
8. Lingkungan Geografis
Aksesibilitas masyarakat terhadap pelayanan kesehatan, dapat dilihat antara lain dari
jarak dan waktu tempuh dari rumah ke sarana kesehatan. Secara nasional, akses masyarakat
dalam mencapai sarana pelayanan kesehatan cukup baik, yaitu 94% masyarakat dapat
mengakses sarana kesehatan kurang dari 5 kilometer (km) dan 97,3% dapat mencapai sarana
kesehatan kurang dari 60 menit. Sebanyak 47,6% masyarakat bertempat tinggal kurang dari 1
km, sebanyak 46,4% masyarakat bertempat tinggal antara 1-5 km, dan sebanyak 6,0% yang
bertempat tinggal lebih dari 5 km dari sarana pelayanan kesehatan.
Riskesdas (2007) menunjukkan bahwa sebanyak 67,2% masyarakat memerlukan waktu
tempuh kurang dari 15 menit, sebanyak 23,6 antara 16 – 30 menit, sebanyak 9,3% memerlukan
waktu tempuh lebih dari 30 menit. Walaupun secara nasional angkanya seperti ini, namun
distribusinya tetap tidak merata. Terlebih bahwa aksesibiltas yang tinggi belum menjamin
pelayanan yang baik, jika tidak diikuti dengan kualitas sarana yang memadai. Misalnya pelayanan
yang lengkap untuk penanganan komplikasi kelahiran merupakan bagian dari pelayanan obstetri
esensial yang disebut dengan pelayanan obstetri emergensi yang terdiri dari Pelayanan Obstetrik
dan Neonatal Emergensi Dasar (PONED) dan Pelayanan Obstetrik dan Neonatal Emergensi
Komprehensif (PONEK).
Menurut standar internasional, untuk mampu menangani persalinan komplikasi,
setidaknya terdapat 1 fasilitas PONEK dan 4 fasilitas PONED untuk setiap 500.000 penduduk.
67Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
Untuk mencapai manfaat yang maksimal bagi penduduk, pelayanan ini seyogyanya tersedia
24 jam sehari, 7 hari dalam seminggu. Di Indonesia, ditetapkan bahwa dalam setiap kabupaten/
kota, paling sedikit terdapat 4 Puskesmas Perawatan yang mampu melakukan PONED
(selanjutnya disebut Puskesmas PONED) dan seluruh rumah sakit harus mampu melakukan
PONEK (selanjutnya disebut RS PONEK) selama 24 jam penuh dalam sehari.
Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010
Grafik 45. Tipe Puskesmas Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010
Data Provinsi Banten menunjukkan bahwa Puskesmas perawatan yang seharusnya
tersedia terutama untuk wilayah rural/kabupaten dengan akses sulit justru memperlihatkan
hasil sebaliknya. Proporsi puskesmas dengan perawatan di Kabupaten Lebak dan Kabupaten
masih belum sesuai dengan kondisi dan akses diwilayah tersebut. Kota Tangerang dan kota –
kota lainnnya meskipun jumlah puskesmas sedikit namun aksesnya tidak terlalu sulit dan
banyak tersedia fasilitas swasta dan rumah sakit.
Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010
Grafik 46. Kategori letak puskesmas se-Banten, 2010
68 Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
Grafik di atas menunjukkan bahwa Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak
memiliki banyak puskesmas di daerah terpencil. Jumlah di Pandeglang kurang lebih 25% dan
di Lebak 15 %. Kedua kabupaten ini penyumbang signifikan di angka Provinsi Banten yang
memiliki 8,7% puskesmas terpencil. Berdasarkan hasil pemetaan dapat dilihat sebaran letak
puskesmas sebagai berikut :
Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010
Gambar 9. Sebaran Puskesmas berdasarkan Kriteria Terpencil-Biasa, dan Perawatan-non perawatan di Banten, 2010
Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010
Grafik 47. Kondisi Fisik Puskesmas Berdasarkan Kabupaten/Kota di Banten, 2010
69Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
Dari Grafik di atas dapat dilihat bahwa hampir di semua kabupaten ada yang rusak.
Yang menarik bahwa meskipun Kota Tangerang Selatan berada di daerah urban, namun terdapat
banyak puskesmas yang kondisinya kurang baik atau rusak.
Aksesibilitas puskesmas ke desa terjauh sebagian besar menggunakan alat transportasi
sepeda motor (87,4%), dengan waktu tempuh dari mulai 10 menit sampai dengan 5 jam
perjalanan. Dan secara keseluruhan waktu yang ditempuh dari puskesmas ke desa terjauh
diprovinsi Banten rata – rata memiliki waktu tempuh 52,35 menit. Untuk jarak tempuh puskesmas
ke desa terjauh memiliki jarak 2 km sampai dengan 100 km, sedangkan jarak tempuh secara
keseluruhan memiliki jarak tempuh rata – rata 11,69 km. Dari sini bisa dilihat bahwa lamanya
waktu tempuh dan jarak yang harus ditempuh dari puskesmas menuju desa terjauh bisa menjadi
faktor penghambat masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan.
Tabel 22. Alat Transportasi Yang Digunakan Dari Puskesmas Ke Desa Terjauh
No Jumlah Persentase
1 Jalan kaki 4 1.9
2 Sepeda 4 1.9
3 Sepeda motor 180 87.4
4 Kendaraan roda 4 15 7.3
5 Perahu 2 1
6 Lainnya 1 0.5
Tabel 23. Akses ke Pelayanan Kesehatan (Puskesmas)
Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010
Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010
Hasil pemetaan yang telah dilakukan menunjukkan sebaran waktu tempuh ke pelayanan
kesehatan.
No Minimum Maksimum Mean Median
1 Waktu tempuh dari
puskesmas ke desa 10 menit 5 jam 52.35 menit 30 menit
terjauh
2 Jarak tempuh dari
puskesmas ke desa 2 km 100 km 11.69 km 10 km
terjauh
3 Biaya transport dari
puskesmas ke desa Rp 0,00 Rp 350.000,00 Rp 33.470,87 Rp 20.000,00
terjauh (PP)
70 Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010
Gambar 10. Peta Waktu Tempuh ke Puskesmas di Provinsi Banten
Akses menjadi permasalahan yang sangat krusial di wilayah Banten. Waktu tempuh
dari puskesmas ke desa/kelurahan terjauh dalam wilayah puskesmas rata-ratanya hampir satu
jam. Bahkan ada wilayah yang harus di tempuh selama 5 jam. Radius jarak Puskesmas ke
desa terjauh juga ada yang mencapai 100 km.Dari segi biaya, ongkos transportasi ke ke desa/
kelurahan terjauh sejumlah Rp. 300.000,-. Kondisi geografi banten yang terdiri dari pegunungan,
hutan dan sungai menjadi kendala tersendiri bagi petugas kesehatan. Berikut adalah buffer
puskesmas ke wilayah sekitarnya berdasarkan kabupaten/kota.
9. Kejadian Luar Biasa
Lingkungan ini meliputi aksesibilitas puskesmas dan kejadian luar biasa yang terjadi
dan dapat dicegah dengan imunisasi dipuskesmas dalam satu tahun terakhir. Diwilayah provinsi
Banten, kejadian luar biasa yang paling banyak terjadi adalah campak dengan persentase
88,3%, seperti yang terlihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 24. Kejadian Luar Biasa Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (KLBPD3I) di Puskesmas dalam 1 tahun Terakhir
No Penyakit Jumlah Persentase
1 Campak 265 88,3%
2 Difteri 2 0.67%
3 Pertusis 0 0%
4 Tetanus 2 0.67%
5 Hepatitis B 4 1.3%
6 Polio Non AFP 28 9.3%
Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010
71Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
Dalam kurun waktu satu tahun terakhir juga pernah terjadi KLB difteri, tetanus, hepatitis
B, dan polio/Non AFP (Acute Flaccid Paralysis). Adapun kasus yang terbanyak adalah campak
(1,9%). KLB pertusis tidak pernah terjadi dalam waktu 1 tahun terakhir.
C. Issue Managemen Rumah Sakit dan Dinas Kesehatan
Berbagai isu terkait dengan Rumah sakit sudah lama diketahui. Pengelolaan unit usaha
rumah sakit memiliki keunikan tersendiri karena selain sebagai unit bisnis , usaha rumah sakit
juga nemiliki misi sosial, disamping pengelolaan rumah sakit juga sangat tergantung pada
status kepemilikan rumah sakit. Jika tidak disikapi dengan hati – hati maka peran dan misi
sebuah rumah sakit bisa berubah.
Jumlah rumah sakit juga terus meningkat walaupun dalam pertumbuhan yang relatif
lambat dibandingkan dengan peningkatan jumlah penduduk. Pada 2005, terdapat 452 rumah
sakit pemerintah (Kementerian Kesehatan dan Pemda) dengan 59.000 tempat tidur. Di sektor
swasta jumlah rumah sakit dan tempat tidur meningkat lebih cepat dibanding milik pemerintah.
Pada tahun 1990 terdapat 352 rumah sakit swasta dengan 31.000 tempat tidur, kemudian
meningkat menjadi 626 rumah sakit dengan 52.300 tempat tidur pada tahun 2005.
Pada 2006, seluruh rumah sakit di Indonesia berjumlah 1.292 unit dengan jumlah tempat
tidur sebanyak 138.451 unit. Dari jumlah rumah sakit tersebut, sebanyak 49,4% adalah milik
swasta, dengan jumlah tempat tidur sebanyak 37,2% dari total tempat tidur yang ada se Indone-
sia. Hal ini terjadi karena pada umumnya kapasitas RS swasta lebih kecil (rata-rata mempunyai
99 tempat tidur) dibandingkan dengan kapasitas RS pemerintah (rata-rata mempunyai 146 tempat
tidur).
Rasio tempat tidur rumah sakit terhadap penduduk secara nasional pada tahun 2006
adalah 1 tempat tidur per 1.590 penduduk. Sasaran pada 2010 adalah satu tempat tidur untuk
1.333 penduduk (Rencana Strategis Kementerian Kesehatan 2005-2009). Jika dibandingkan
dengan negara lain, rasio jumlah tempat tidur per jumlah penduduk di Indonesia juga masih
kecil. Pada 2001, rasio jumlah tempat tidur per 100.000 penduduk adalah 330, sedangkan di
Indonesia rasio dimaksud baru mencapai 63,8 (Kosen, 2008). Dengan terjadinya transisi
demografi dan transisi epidemiologi, ke depan jumlah tempat tidur yang diperlukan akan semakin
tinggi.
Berdasarkan mapping yang dilakukan, berikut adalah gambaran distribusi Rumah sakit
dan puskesmas di wilayah Banten.
72 Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010
Gambar 11. Peta Sebaran Puskesmas dan RS di Provinsi Banten
Gambar diatas menunjukkan bahwa setiap kabupaten/kota di Provinsi Banten memiliki
satu Rumah Sakit Daerah kecuali untuk kabupaten Lebak memiliki dua buah rumah sakit,
sedangkan untuk kabupaten Tangerang rumah sakit daerah yang digunakan sama dengan
kota Tangerang yaitu Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Tangerang.
Tabel 25. Karakteristik Rumah Sakit
No Jenis Pelayanan Jumlah Persentase
1 Tipe Rumah Sakit
1.1 Jumlah RS Kelas A - -
1.2 Jumlah RS Kelas B 2 57.1%
1.3 Jumlah RS Kelas C 3 42.9%
1.4 Jumlah RS Kelas D - -
2 Kondisi Fisik Gedung RS
2.1 Baik 5 71.4%
2.2 Rusak Ringan - -
2.3 Rusak Sedang 1 14.3%
2.4 Rusak Berat 1 14.3%
2.5 Sedang dalam Perbaikan - -
3 Jumlah RS yang memiliki fasilitas telepon 7 100%
4 Jumlah RS yang memiliki fasilitas faksimile 6 85.7%
5 Jumlah RS yang memiliki fasilitas komputer 7 100%
Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010
73Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
Tabel 26. Karakteristik Rumah Sakit
No Indikator Cakupan
Minimum Maksimum Mean Median
1 Luas gedung rumah sakit 400 m2 38.000 m2 14162.29 m2 11608 m2
2 Jumlah ambulans 1 7 4.29 4
3 Tahun perbakan terakhir 2001 2010 9tahun 2009
Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010
Dari data yang didapat, hanya berkisar 70% Rumah sakit di Provinsi Banten kondisinya
baik, sisanya dalam kondisi rusak sedang dan berat. Kondisi geografi dan akses yang sulit
membutuhkan solusi terkait dengan penyediaan rumah sakit yang optimal. Dalam hal peralatan,
hanya 15% rumah sakit yang tidak memiliki faksimili.Untuk sarana transportasi, jumlah rata-
rata setiap rumah sakit sudah memiliki empat ambulans.
1. Sumber Daya Manusia
Tabel 27. Ketenagaan RS Terkait Pelayanan KIA di Rumah Sakit
No Pelatihan Jumlah Persentase
1 Kebidanan Rawat Inap
1.1 Jumlah RS yang memiliki tenaga dokter spesialis di pelayanan 4 57.1%
kebidanan rawat inap
1.2 Jumlah RS yang memiliki tenaga dokter umum di pelayanan 3 42.9%
kebidanan rawat inap
1.3 Jumlah RS yang memiliki tenaga perawat di pelayanan kebidanan 4 57.1%
rawat inap
1.4 Jumlah RS yang memiliki tenaga bidan di pelayanan kebidanan 7 100%
rawat inap
2 Kebidanan Rawat Jalan
2.1 Jumlah RS yang memiliki tenaga dokter spesialis di pelayanan 4 57.1%
kebidanan rawat jalan
2.2 Jumlah RS yang memiliki tenaga dokter umum di pelayanan 4 57.1%
kebidanan rawat jalan
2.3 Jumlah RS yang memiliki tenaga perawat di pelayanan 2 28.57%
kebidanan rawat jalan
2.4 Jumlah RS yang memiliki tenaga bidan di pelayanan 7 100%
kebidanan rawat jalan
3 Anak Rawat Inap
3.1 Jumlah RS yang memiliki tenaga dokter spesialis di pelayanan 5 71.4%
anak rawat inap
74 Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
3.2 Jumlah RS yang memiliki tenaga dokter umum di pelayanan 5 71.4%
anak rawat inap
3.3 Jumlah RS yang memiliki tenaga perawat di pelayanan anak 5 71.4%
rawat inap
3.4 Jumlah RS yang memiliki tenaga bidan di pelayanan anak 3 42.9%
rawat inap
4 Anak Rawat Jalan
4.1 Jumlah RS yang memiliki tenaga dokter spesialis di pelayanan 5 71.4%
anak rawat jalan
4.2 Jumlah RS yang memiliki tenaga dokter umum di pelayanan 6 85.7%
anak rawat jalan
4.3 Jumlah RS yang memiliki tenaga perawat di pelayanan anak 3 42.9%
rawat jalan
4.4 Jumlah RS yang memiliki tenaga bidan di pelayanan anak 3 42.9%
rawat inap
5 Keluarga Berencana (KB)
4.1 Jumlah RS yang memiliki tenaga dokter spesialis di pelayanan KB 2 28.57%
4.2 Jumlah RS yang memiliki tenaga dokter umum di pelayanan KB 4 57.1%
4.3 Jumlah RS yang memiliki tenaga perawat di pelayanan KB 2 28.57%
4.4 Jumlah RS yang memiliki tenaga bidan di pelayanan KB 3 42.9%
Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010
2. Logistik
Sarana rumah sakit dalam hal ini adalah refrigerator dan freezer dapat dilihat dari table
dibawah ini :
Tabel 28. Jumlah RS dengan Kondisi Refrigerator
No Merk Refrigerator Jumlah
Jumlah RS dengan kondisi
refrigerator baik dan tidak baik
Baik/berfungsiTidak
baik/tidakberfungsi
n % n % n %
1 Jumlah RCW 42 EK/EG 1 14.3 1 100 - -
2 Jumlah RCW 50 EK/EG - - - - - -
3 Jumlah MK 204 - - - - - -
4 Jumlah Sansio 1 14.3 1 100 1 1
5 Jumlah Vesfrost - - - - - -
6 Jumlah Decby Unic - - - - - -
75Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
Tabel 29. Sarana Freezer Rumah Sakit
No Merk Refrigerator Jumlah Refrigerator Per Tahun Pengadaan
2004 2005 2006 2007
1 RCW 42 EK/EG - 1 - -
2 RCW 50 EK/EG - - - -
3 MK 204 - - - -
4 Sansio - - 1 -
5 Vesfrost - - - -
6 Decby Unic - - - -
Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010
No Merk Refrigerator Jumlah
Jumlah RS dengan kondisi
refrigerator baik dan tidak baik
Baik/berfungsiTidak
baik/tidakberfungsi
n % n % n %
1 Sanyo 1 14.3 1 100 - -
2 Electrolux FCW 300 1 14.3 1 100 - -
No Merk Refrigerator Jumlah Refrigerator Per Tahun Pengadaan
2004 2005 2006 2007
1 Sanyo - - - 1
2 Electrolux FCW 300 - - - 1
Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010
Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa refrigerator dan freezer yang ada 100% dapat
berfungsi dengan baik.
Dinas Kesehatan dalam era disentralisasi tetap melakukan berbagai upaya agar dapat
meningkatkan kinerja manajemen dijajaran maupun wilayah kerjanyanya. Beberapa kegiatan
tetap dilakukan seperti pelatihan terkait dengan manajemen KIA dan Imunisasi seperti pelatihan
penerapan buku KIA, dan pelatihan AMP dan monitoring serta evaluasi. Namun, ada pula manajer
dari Dinkes yang beranggapan bahwa frekuensi pelatihan yang terlalu sering akan mengganggu
kinerja manajemen.
“Ya sebenarnya misalnya Kementerian Kesehatan mengundang dari daerah, dari kita.
Provinsi mengundang dari kita, kita sendiri menyelenggarakan. Jadi dana pelatihan itu luar
bisa dan itu tidak dirasakan oleh masyarakat. Sebab perilaku petugas begitu pelatihan belum
signifikan berubah”..
76 Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
“Ya jangan banyak-banyak pelatihanlah..jangan. Saya polanya bukan ditarik tapi justru
dilihat dari sini ke sana, ton job. Saya ga terlalu mengizinkan staf saya mengikuti banyak pelatihan
karena banyak waktu yang ditinggalkan. Karena setiap tahun itu staf saya yang KIA itu seminggu
itu kadang-kadang terus-menerus dia pertemuan kesana-kesini. Jadi saya engga terlalu setuju
terlalu banyak pelatihan. Ini minggu ini saja KIA itu ada 4 yang harus dia hadiri. Kapan dia
bekerjanya?! Makanya saya tidak terlalu setuju kecuali yang urgent”
Berbagai rutin tetap dilaksanakan di Dinas Kesehatan dalam rangka evaluasi manajemen
dan kinerja. Kegiatan tersebut dilakukan dalam mingguan maupun bulanan.
“Yang pertama kita ada rapat rutin dengan kepala puskesmas itu satu bulan satu kali,
dan dihadiri oleh seluruh bidang. Kalau tadi kan lingkup dinas kesehatan. Kemudian ada juga
kegiatan rutin yaitu rapat mingguan. Rapat mingguan itu mengevaluasi setiap minggu.”
Pelaksanaan monitoring dan evaluasi terhadap beberapa indikator penting dalam KIA,
misalnya cakupan kunjungan pertama ibu hamil, kedua cakupan kunjungan keempat ibu hamil,
berapa cakupan Risti ibu hamil, cakupan persalinan nakes dan cakupan kunjungan neonatus
terus diupayakan oleh Dinas Kesehatan.
“Yang pertama harus menyelesaikan penurunan angka kematian Ibu dan angka kematian
bayi. Melalui peningkatan cakupan, K1-K4. Kemudian KN1-KN3. Kemudian Linakes.”
D. CIVIL SOCIETY ORGANIZATION (CSO)
Pembangunan Kesehatan yang dilaksanakan telah berhasil meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat Indonesia. Namun belum mencapai hasil yang optimal. Peran serta
aktif masyarakat termasuk CSO (Civil Society Organization) sangat diperlukan. Masih banyak
permasalahan kesehatan yang belum dapat diatasi.
Angka kematian ibu, penyakit menular masih menjadi permasalahan kesehatan
masyarakat Indonesia, sementara penyakit tidak menular meningkat ditambah adanya penyakit
baru. Mengingat besarnya masalah kesehatan masyarakat yang dihadapi, maka CSO hendaknya
dapat memberikan kontribusi nyata dalam menyelesaikan masalah kesehatan yang dihadapi
bangsa ini, sesuai potensi setiap CSO. Civil Society Organization (CSO) dapat diartikan sebagai
lembaga swadaya masyarakat dan atau organisasi kemasyarakatan yang memiliki basis
keanggotaan, profesi, keagamaan, sasaran perempuan, kaum muda, tenaga kerja dll.
CSO/LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) merupakan lembaga sukarela yang memberi
bantuan sosial. Menurut Muhasin (2000) peran dan fungsi LSM mengalami perubahan dan
perkembangan. Pada generasi awal memang lebih banyak memberi bantuan dan santuan
sosial. Pada generasi kedua mulai memperkenalkan pengembangan usaha swadaya, lewat
kelompok-kelompok kecil dari masyarakat rentan. Generasi ketiga mulai berinteraksi dengan
pembuat kebijakan dan berperan sebagai konsultan untuk berbagai program yang memerlukan
77Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
dukungan swadaya masyarakat. Sedang generasi keempat adalah menggerakkan keprihatinan
publik dengan melakukan kampanye tentang lingkungan hidup, hak-hak konsumen dan hak-
hak azasi manusia.
Bentuk CSO/LSM
Berdasarkan pengumpulan data yang ada di lapangan, bentuk CSO/ LSM yang ada di
Provinsi Banten umumnya berupa:
1. Bentuk CSO yang berbasis profesi kesehatan: IDI, IAKMI, IDAI, PDGI, IBI, PERSAGI,
POGI, dsb
2. Organisasi-organisasi keagamaan seperti Muhammadiah, Aisiyah, dll.
3. Berbasis anggota seperti PKK dan gerakan pramuka
4. Organisasi kepemudaan seperti Pendekar Banten, Pemuda Pancasila dan lain sebagainya.
5. Organisasi nirlaba yang bergerak dalan pengembangan masyarakat seperti Unicef,
Immpact, Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), USAID,
6. CSO yang focus kegiatan kesehatan seperti GAVI.
7. Lembaga Sosial seperti CSR Perusahaan seperti PT. Multi Bintang dan PLN serta rumah
dunia.
“Oh iya, sama yang klinik swasta, praktek klinik swasta juga ngasih. Jadi kalau tahun-
tahun sebelumnya itu langsung kader yang minta ya kan?! Tahun 2010 kita mau coba
mengumpulkan dana itu dikita, nanti kita bagikan. Kan karena 3 kelurahan ini ga semuanya
punya PP, jadi rencananya mau kita kumpulkan terus kita bagi rata. Ternyata itu agak ricuh,
pusing. Akhirnya baru sebulan dua bulan, ah sudahlah kembalikan aja. Hehehe. Pusing karena di
Poris Gaga banyak klinik dan ada PT Multi Bintang, di Poris Jaya tidak ada, kliniknya sedikit, tidak
ada PT. kadernya, “dok, kok bisa begitu?” katanya gitu. Akhirnya antara kader kan “keenakan
Poris Jaya dong, ga ambil uang tapi tetep ini..”. Akhirnya ya sudahlah kembalikan masing-masing.
Pokonya posyandu miliknya masyarakat, tanggungjawabnya ibu PKK dan yang mau bantu”
Peran Serta CSO/LSM
Secara teori, CSO/ LSM memiliki dua peran penting, yaitu peran makro dan peran mikro.
A. Peranan Makro
Dalam rangka aktualisasi peran sosial CSO/LSM yang dapat dimainkan adalah berusaha
menjaga indepedensi dan mengembangkan kemandirian organisasi meliputi antara lain:
1. Menghidupkan atau melahirkan kembali lembaga-lembaga independen di berbagai
level daerah untuk mengimbangi inkorporasi negara yang selama ini masuk ke-
dalam hampir semua sektor kehidupan masyarakat. Mempersatukan kembali
78 Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
berbagai ide dari msayarakat yang pluralis kedalam suatu wadah yang relatif
terlepas dari kekuatan dan campur tangan pemerintah.
2. Melalui wadah independen yang sudah dibentuk dicoba dikembangkan mekanisme
kerja yang mengarah pada fungsi kontrol terhadap aktivitas pemerintah seperti
yang berkaitan dengan proses penganggaran.
3. Menyebarluaskan berbagai informasi yang menjadi masalah dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara melalaui berbagai cara agar masyarakat menjadi tahu
dan secara suka rela mau terlibat dan berpartisipasi.
B. Peranan Mikro
1. Memfasilitasi kelompok-kelompok masyarakat miskin dan lemah dalam
mengembangkan kemampuan, memecahkan masalah dan mengelola sumber daya
di sekelilingnya untuk menuju kemandirian.
2. Pusat kajian dan advokasi kebijakan
3. Pusat informasi bagi masyarakat
4. Menjadi pendamping dan pendukung pemberdayaan msayarakat
5. Menjadi pusat pendidikan dan pelatihan untuk masyarakat
6. Menjadi mitra pemerintah Memberikan pelayanan kepada masyarakat
7. Sebagai konsultan
8. Perpanjangan Pemerintah (melakukan tugas Pemerintah yang diborongkan)
9. Sebagai pendamping kelompok swadaya masyarakat (KSM)
10. Pelaku advokasi
11. Pelaku kontrol sosial
Dukungan CSO/LSM mempunyai dampak yang cukup signifikan terhadap program KIA
dan imunisasi. Misalnya peran perusahaan dalam memberikan bantuan untuk pelayanan dan
kontribusi mobilisasi masyarakat. Masyarakat setempat diharapkan untuk lebih aktif dalam
berbagai kegiatan kesehatan termasuk posyandu dan promosi kesehatan.
Ada wilayah – wilayah yang medapatkan dukungan dari CSO dalam bidang kesehatan
khususnya KIA dan imunisasi. Dukungan ini oleh beberapa informan dianggap berkontribusi
meskipun tidak signifikan. Berikut beberapa petikan wawancara dengan informan mengenai
CSO dan dampak bantuannya.
“kalo imunisasi ada ..ada forum komunikasinya, biasanya dari aisyiyah, pramuka, bahkan
IBI, PPNI juga..) ya..dari organisasi profesi. Kita ada CSO, baru – baru ini mereka kita
undang..kalo mereka sendiri, saya harus gini-gini..kayaknya jarang..memang, aaah jarang lah!
.. menurut saya mah..hanya diatas kertas saja..kecuali di pusat mungkin ya..kalo ini..kalo di
tingkat daerah mah..mereka bergerak atas inisiatif kita..biasanya mah..yang saya lihat..ya..”.
“Ya, tapi saya pikir mungkin kalau dilihat dari kecamatan sich LSM yang mendukung,
soalnya kemarin waktu crash program campak ada yang ngomong kapala puskesmas...pak
79Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
mau hadir gak dikecamatan ini....emang ada apa...kebetulan ada LSM ini yang mau..bergerak
katanya gitu...malahan ada dukungan dari Alfa Mart, Indo Mart...”
“Biasanya mereka memberikan satu lokasi yang sudah di tata kemudian mereka juga
membrikan souvenir buat anak2 kecil yang ditimbang.... Kalau secara MOU tidak ada....!!”
Kemudian dukungan LSM mempunyai dampak tidak pak yang cukup signifikan terhadap
program.
“Ya,...kelihatan peningkatan cakupannya akan nampak walaupun ada peningkatan sedikit.
Tapi biasanya beda bila dibandingkan tidak ada dukungan...”
80 Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
81Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan:
1. Cakupan pelayanan kesehatan dalam berbagai program di Banten masih banyak
yang belum memenuhi standar, terutama angka cakupan persalinan oleh nakes
dan cakupan imunisasi campak yang menjadi indicator MDGs.
2. Rendahnya cakupan bukan hanya semata persoalan logistic dan tenaga, namun
juga dipengaruhi oleh akses yang sulit.
3. Kecenderungan rendahnya cakupan beberapa indikator ada di wilayah kabupaten
terutama Kabupaten Lebak, Pandeglang dan Serang.
4. Penempatan bidan desa mesti di sertai dengan bekal kompetensi yang cukup,
jika tidak, maka peningkatan jumlah bidan desa tidak akan berbanding terbalik
dengan AKI yang menjadi target MDGs.
5. Peran CSO sangat diperlukan dalam peningkatan kesehatan masyarakat, namun
kontribusi CSO yang ada di Banten belum merata di semua wilayah kabupaten
kota.
6. Aksesibilitas ke Pelayanan kesehatan terutama pelayanan kesehatan dasar menjadi
persoalan yang mendasar terutama di wilayah Banten Selatan (Kabupaten
Pandeglang dan Lebak).
7. Sumber anggaran KIA sangat tinggi variasinya antar kabupaten kota. Angkanya
cenderung rendah di kabupaten dan tinggi di kota.
8. Masyarakat yang tinggal didaerah sulit cenderung melakukan mekanisme solusi
melalui peran sendiri seperti pembentukan kelompok donor darah dan lain
sebagainya.
9. Pendataan dan analisa secara sederhana cenderung rendah di kabupaten wilayah
selatan dan tinggi di kota yang dekat dengan ibu kota.
10. Pembenahan prasarana dan tenaga perlu diiringi dengan perbaikan manajemen
dan tenaga.
B. SARAN:
1. Perlu dipikirkan satu terobosan kebijakan untuk mengatasi persoalan di wilayah
rural seperti Banten Selatan.
2. Mendorong peningkatan peran serta masyarakat juga harus disertai dengan
peningkatan manajemen dan kinerja perangkat pemerintahan di tingkat desa.
3. Pelatihan manajemen yang ada harus di iringi dengan monitoring dan evaluasi
yang bekesinambungan.
82 Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
4. Peningkatan kompetensi tenaga kesehatan terutama skill bidan yang akan
ditempatkan di desa.
5. Perlu peningkatan dukungan keuangan di daerah untuk program imunisasi dan
KIA.
83Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
DAFTAR PUSTAKA
Kabupaten Banten Dalam Angka 2009, Badan Pusat Statistik, Banten, 2009
Laporan Riset Kesehatan Dasar tahun 2007, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Republik Indonesia, Jakarta, 2008
Profil Dinas Kesehatan Provinsi Banten 2009, Dinas Kesehatan Provinsi Banten, Serang, 2009
84 Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten
Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI
Recommended