View
258
Download
8
Category
Preview:
DESCRIPTION
Desa Butuh Energi Alternatif, sekarang!
Citation preview
PAYO-PAYOkabar pertanian dan pembangunan dari warga
KANTONG-KANTONG minyak men-tah dan gas alam di perut bumi menipis. Minyak tanah, solar, bensin atau gas bukan sumber energi terbarukan. Pasti akan habis. Sebuah studi mem-perkirakan cadangan minyak mentah Indonesia tinggal 25 tahun dan gas 75 tahun. Bahan bakar migas akan menjelma benda antik dengan harga se-langit dan kian sulit ditemukan.
Bersamaan de ngan itu jumlah mesin penghisap migas kian tumbuh subur. Pabrik, kendaraan, pengatur suhu ruangan, alat dapur elektronik, komputer untuk menulis tajuk ini—silakan tambah sendiri daftar ini. Semua akan terus menyesaki kota dan mengalir ke desadesa, dalam kecepatan yang sulit dikontrol. Begitu kesetanannya warga kota membeli kendaraan dan saking bebalnya kebijakan transportasi publik. Masyarakat Transportasi Indonesia memperkirakan, jika tidak terjadi perubahan revolusioner, Jakarta akan macet total pada tahun 2014; lima kota besar lainnya (Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, Makassar) akan menyusul antara tahun 20152010.
Hasilnya, seperti terlihat di situs resmi OPEC, sementara konsumsi migas Indonesia terus menanjak, produksi justru menurun; ketika impor harus meningkat, ekspor malah meluncur tu
run. Artinya, Indonesia kian tergantung impor dan harus mengeks por lebih banyak demi mengejar pemasukan migas nasional.
Ya, Indonesia telah terdepak keluar dari keanggotaan OPEC, dan sudah menjadi net importer BBM sejak tahun 2004, sebab mengonsumsi lebih besar daripada produksi dalam negeri. Sejak itu, gejolak harga minyak dunia dengan mudah bisa menggoyang lumbung keuangan negara. Celakanya, ini kerap diterjemahkan pemerintah sebagai alasan mengempiskan subsidi kebutuhan sosial dasar dan menggelembungkan hargaharga barang konsumsi.
Itu baru soal harga. Kita belum bicara soal pelik lain: kemampuan pemerintah mendistribusikan BBM, gas, dan listrik secara merata, berkelanjutan, dan dengan harga terjangkau. Beritaberita di media massa dan hasil penelitian menunjukkan pemerintah sulit diandalkan—yang terlihat justru maraknya penyelewengan wewenang. Di televisi kita kerap menonton antrian orang dan kendaraan di SPBU.
Lantas siapakah yang paling terpukul? Bila mempertimbangkan ongkos distribusi, di manakah barangbarang pabrikan itu dijual paling mahal selain di desa? Mengingat semua pabrik dikontrol dari kota, di manakah barangbarang pabrikan itu pa ling
Edisi II Februari 2012
Desa Butuh Energi Alternatif , Sekarang! NURHADY SIRIMOROK
HALAMAN 2
duluan raib selain di desa?Di sisi lain, warga desa, bahkan ketika tulisan
ini dibuat, kian miskin untuk terus mengakses barang pabrikan maupun migas. Mereka terhimpit kebijakan pangan negara dan perusahaan pangan besar yang berorientasi pasar ekspor—ala Revolusi Hijau (hasil penelitian tentang revolusi yang satu ini banyaknya minta ampun). Belum lagi ancaman baru, Perubahan Iklim.
Penggunaan berlebih da lam jangka panjang bahan bakar fosil (olahan dari minyak mentah seperti bensin, solar dan minyak tanah, serta gas), menurut banyak pakar, telah menyebabkan Perubahan Iklim.
Bagi warga desa, perubahan iklim bisa berakibat fatal. Para ahli memperkirakan bahwa tidak lama lagi—dan sudah terjadi dalam kadar tertentu—kemarau akan semakin panjang, curah hujan kian tinggi, musim hujan memendek, permukaan air laut meninggi, yang akan menggenangi desa dan merusak persediaan air tawar sekaligus lahan produktif. Produksi akan menurun oleh cuaca ekstrim, pengungsian diperkirankan tidak sedikit, beragam penyakit siap melumpuhkan tenaga kerja desa, kehilangan lahan di depan mata, kehilangan harta, jiwa—dan harga akan terus melambung
Memang tidak adil meminta kerja ekstra warga desa di negara berkembang seperti In
BULETIN PAYO-PAYO diterbitkan oleh Sekolah Rakyat Petani (SRP) Payo-Payo bekerjasama den-gan SRP Tompobulu, SRP Soga, dan SRP Bonne-Bonne. Buletin PAYO-PAYO terbit setiap tiga bu-lan atas dukungan dari HYY Helsinki, LPTP Solo, dan Insist Yogyakarta. PEMIMPIN REDAKSI Nurhady Sirimorok; REDAKTUR PELAKSANA Anwar Jimpe Rachman; TIM KERJA PROGRAM Rahadi (Susdec LPTP Solo), Ishak Salim, Karno B Batiran, Hasnulir Nur, Mari-ati Atkah, Akhmad Umrawal (Desa Soga), Najamuddin (Desa Tompobulu), Suriani (Desa Bonne-Bonne), dan Jumadil M Amin. ALAMAT REDAKSI Kantor SRP Payo-Payo, Jalan Poros Maros-Bantimurung, Dusun Sege-Segeri, Desa Minasa Baji, Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, Telepon: 04113881144; email: srppayopayo@yahoo.com
donesia untuk mengadopsi dan membiasakan diri menggunakan energi nonfosil, sebab pengguna terbesar BBM fosil adalah negaranegara kaya. Namun mengingat dampaknya akan paling parah menimpa mereka, mereka harus bersiapsiap.
Warga desa Indonesia juga masih sulit mengandalkan pemerintahnya, setidaknya belum akan membaik dalam waktu dekat. Satu contoh, alternatif biogas telah ditemukan untuk melepaskan diri dari ketergantungan terhadap minyak bumi. Tetapi alternatif ini telah dibajak perusahaan raksasa internasional yang membuka perkebunan dan pabrik besar di negaranegara miskin guna
Masyarakat Transportasi Indone-sia memperkirakan, jika tidak terjadi perubahan revolusioner, Jakarta akan macet total pada tahun 2014; lima kota besar lainnya (Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, Makassar) akan me-nyusul antara tahun 2015-2010.
memproduksi BBM nabati, untuk diekspor. Tahun 2006 Indonesia mengekspor minyak biodiesel sebesar 46.000 ton, dan mengkonsumsi 24.000 ton. Dua tahun kemudian, ekspor melonjak nyaris dua kali lipat menjadi 80.000 ton dan konsumsi dalam negeri menurun menjadi 10.000 ton. Angka ini mempertontonkan dengan jelas
HALAMAN 3
ke mana arah kebijakan biogas nasional sedang bergerak.
Tidak sulit menebak jika warga desa sulit terlibat secara signifikan dalam proses produksi, distribusi apalagi konsumsi biodiesel. Ketikdaseriusan pemerintah juga terlihat pada dua skandal konyol dalam sejarah energi alternatif Indonesia: Desa Mandiri Energi dan Blue Energy. Daftar ini masih bisa kita perpanjang.
ITULAH kabar buruknya. Kabar baiknya, upaya menghadirkan energi alternatif untuk orang desa masih terus berlangsung. Salah satunya, dalam skala kecil tentunya, proyek Kemandirian Pangan dan Energi yang dikerjakan SRP Payo Payo, di tiga desa di Sulawesi Selatan dan Barat, dengan dukungan hibah Senat Mahasiswa Universitas Helsinki, Finlandia (ya, mereka mahasiswa).
BULETIN Payo Payo edisi kali ini mencoba mencatat beberapa aspek kebutuhan energi di desa berikut konteks kebijakannya. Dedi Hermansyah menceritakan apa yang terjadi di Desa Kompang, kabupaten Sinjai, pasca proyek konversi minyak tanah ke gas elpiji. Nurhady Sirimorok meninjau penggunaan kayu bakar di desa yang sama, sembari, antara lain, memperkirakan dampak kebijak an kehutanan terhadapnya.
Tulisantulisan Ishak Salim, Karno Batiran, Imran Gadabu dan Hasnulir (seluruhnya terlibat dalam proyek ini), memaparkan otokritik tentang betapa sulitnya proses memperkenalkan beragam
teknologi penghasil energi alternatif (hampir seluruhnya menemui kegagalan). Menuliskan refleksi tentang apa saja yang membuatnya demikian: rusaknya kemampuan warga desa mengorganisir diri, mitos tekonologi sebagai barang ‘canggih’, watak proyek dan penerjemah annya oleh para fasilitator lapangan, kurangnya dukungan pemerintah, antara lain.
Dalam salah satu tulisannya, Karno Batiran dengan jeli melihat sebuah kesalahpahaman dalam memperkenalkan energi alternatif. Ia menangkap, berkembang anggapan bahwa alternatif bisa segera mengganti yang mainstream. Bahwa instalasi biogas, misalnya, bisa segera menggantikan gas elpiji atau PLN. Keyakinan semacam ini bisa membuat orang cepat kecewa dan segera meninggalkan alternatif baru apapun begitu masalah timbul. Padahal, menyitir Bill McKibben dalam Deep Economy, sementara energi fosil bisa menjadi budak manusia, energi nonfosil lebih mirip kawan, yang meminta perhatian lebih.
Selain itu, ketergantungan terhadap BBM fosil sudah menjelma gaya hidup, budaya. Makan waktu lama untuk mengubahnya. Dan mengingat keniscayaan habisnya minyak dan gas bumi, warga desa perlu dibiasakan sejak sekarang, agar bila saatnya tiba, mereka sudah siap. Karena itu, dan karena mereka paling rentan dikorbankan ketika BBM fosil semakin mahal dan langka, desa butuh energi alternatif, sekarang juga.[]
Keyakinan energi alternatif bisa segera mengganti gas elpiji atau PLN bisa membuat orang cepat ke-cewa dan segera meninggalkan al-ternatif baru jenis apapun begitu masalah timbul. Padahal, menyitir Bill McKibben dalam Deep Economy, sementara energi fosil bisa menjadi budak manusia, energi non-fosil le-bih mirip ‘kawan’, yang meminta perhatian lebih.
HALAMAN 4
Sketsa Belanja Energi: Satu Desa, Nyaris Satu Milyar HASNULIR NUR
AWAL 2009, warga Desa Soga, Kabupaten Soppeng, Sulsel, bingung melihat biji jarak yang telah mereka ke-ringkan. Permintaan tak kunjung datang. Bila peda-gang akhirnya datang, biji jarak langsung dilego tanpa tawar-menawar, meski hanya dihargai seribu rupiah per kilogram kering. Dari pada tidak dapat apa-apa.
Beberapa warga yang kecewa dengan harga, segera menebang pohon jaraknya. Warga yang belum menanam malah membengkalaikan bibit jarak hasil pembagian.
lima belas menit.Diskusi berlangsung selama praktik uji coba. “Ada
mi gunanya itu biji jarak”, ungkap Pak Desa. “Dari pada dijual, lebih baik dipakai masak”, lanjut Saka, salah seorang warga yang barubaru menjual biji jaraknya seharga seribu per kilogram. Demikian tanggapan sebagian peserta.
Namun ada ganjalan cukup penting. Bagi mereka, sistem pengisiannya agak ribet. Biji jarak biasanya telah habis terbakar sebelum masakan matang. Jika itu terjadi, wadah memasak yang masih panas itu
Kayu bakar yang banyak ditemui di rumah warga.
Program Jarak Nasional yang dimulai setahun sebelumnya telah gagal.
Bagi Sekolah Rakyat Petani (SRP) Payo Payo, kegagalan ini adalah peluang. Peluang menginisiasi pengorganisasian. Alasan untuk mengumpulkan warga berdiskusi telah ditemukan. Ujicoba kompor jarak pun direncanakan. Kebetulan kompor jarak rancangan Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan (LPTP) yang berbasis di Solo, telah tersedia di sekretariat Payo payo.
Jumat, 20 Maret 2009, bertempat di sekretariat Karang Taruna, Ujicoba Kompor Jarak dihelat. Bentuknya seperti kompor minyak tanah umumnya, karena memang hasil modifikasi dari jenis ini. Biji jarak dalam kompor menyala bagus. Api yang ditimbulkan membiru dan merata. Tidak meninggalkan bekas hitam di panci. Satu gelas bekas minuman mineral biji jarak sanggup mendidihkan air dua liter dalam jangka kurang dari
harus diangkat untuk melakukan pengisian tambahan.
“Itu soal kebiasaan, kalau warga sudah sering melakukan, warga akan menguasai soal takaran,” tanggap Kepala Desa atas koreksian tersebut. “Atau bisa jadi malah menemukan model lain yang lebih efektif ”, tambah Gusti, fasilitator uji coba dari SRP Payo Payo.
Dua tahun sudah berlalu sejak uji coba kompor jarak itu. Hasilnya, 15 kompor yang dibagikan belum juga terpakai.
Mengapa demikian? Meski warga Soga sudah mengenal beberapa jenis bahan bakar untuk memasak, seperti minyak tanah dan gas, namun memasak dengan kayu bakar tetap mereka pertahankan.
Jika Anda berkunjung ke Desa Soga, Anda akan sering menjumpai tumpukan kayu bakar yang membentuk dinding di kolong rumah warga. Tumpukan itu mengisi ruang antar tiang.
HALAMAN 5
“Ipaccappu’ memeng tassipallawangeng lirie tas-siulengnge”. Demikian jawab seorang perempuan Soga. Saat itu, sambil menunjuk ke tumpukan kayu bakar yang memenuhi satu kolom (bukan kolong) membentuk dinding, saya bertanya, “Berapa lama satu dinding ini dihabiskan?” Jawaban berbahasa Bugis itu kirakira berarti: satu kolom itu dihabiskan dalam sebulan.
Informasi ini mendorong saya untuk mengkalkulasi secara sederhana. Ratarata jarak antar tiang rumah panggung warga Soga berkisar 2 meter dengan tinggi sekitar 2,5 meter. Sementara panjang potongan kayu ratarata 50 cm. Dari ukuranukuran tersebut ditemukan volume ruang 2.5 m³. Jika volume ruang kosong di selasela kayu itu diasumsikan sekitar 0.5 m³, maka volume kayu bakar yang mengisi ruang antar tiang itu adalah 2 m³. Jika satu pohon kayu memiliki volume ratarata 4 m³, maka volume kayu bakar yang tersusun menyerupai dinding itu setara dengan setengah pohon. Jika setiap rumah tangga menghabiskan ratarata satu dinding—sama dengan 2 m³ atau setengah pohon—setiap bulan, maka dalam setahun setiap rumah tangga menghabiskan 6 pohon. Dengan jumlah 433 rumah tangga di desa Soga, warga membutuhkan sekitar 2.598 pohon per tahun.
Jika jarak tanam setiap pohon adalah 4 meter, maka satu hektar lahan dapat dipenuhi sekitar 625 pohon. Butuh 4.1 hektar untuk menampung 2.598 pohon. Untungnya, mereka tak harus menebang pohon sebanyak itu atau menyediakan lahan seluas itu.
Bagunan tempat tinggal mereka, sebagaimana umumnya masyarakat Sulawesi Selatan, berbahan utama kayu. Dari 433 rumah di Desa Soga, hanya dua rumah yang tak berbahan utama kayu. Untuk membangun tempat tinggal, dan mengganti bahan rumah yang sudah rusak, tentu mereka butuh persediaan kayu.
Permintaan inilah yang mendorong warga menanam pohon. Lalu, dari pohonpohon inilah warga mengambil kayu bakar. Dari rantingranting yang jatuh, atau sisa dahan dan ranting dari pohon yang ditebang untuk keperluan papan. Nyaris tak pernah warga Soga sengaja menebang pohon untuk kayu bakar. Selain itu, mayoritas mereka adalah petani kakao. Pemangkasan berkala pohon kakao turut memberi andil pasokan
berkala.Singkatnya, mereka juga tak perlu membeli kayu
bakar. Kalau pun terpaksa harus membeli, warga tak perlu khawatir dengan pasang surut harga. Kayu bakar belum tersentuh politik.
Padahal, bila pemakaian kayu bakar dinilai de ngan rupiah, berdasarkan wawancara lima belas rumah tangga, ditemukan angka ratarata Rp 45.000 tiap rumah tangga per bulan, atau Rp 540.000 dalam setahun. Jika dikalikan dengan jumlah rumah tangga seluruh desa, hasilnya Rp 233.820.000.
Namun kisah kayu bakar beda dengan sumber enegi lain.
Nilai belanja energi Desa Soga untuk bensin saja, bisa di atas setengah milyar per tahun. Setiap rumah tangga yang memiliki kendaraan motor membelanjakan ratarata Rp 139.000 per bulan, atau Rp 1.668.000 per tahun. Jika diasumsikan, berdasarkan persentase responden, 80% dari 433 rumah tangga memiliki motor (346 rumah tangga), maka per tahun sedesa Soga, belanja bensin menghabiskan Rp 577.128.000.
Urutan belanja energi selanjutnya adalah gas elpiji. Setiap rumah tangga pengguna membelanjakan ratarata Rp 38.000 per bulan atau Rp. 456.000 per tahun. Jika diasumsikan, berdasarkan persentase responden, 60% dari 433 rumah tangga menggunakan gas elpiji, jumlah rumah tangga pengguna gas elpiji adalah 259. Bila angka ini dikalikan jumlah belanja gas rumah tangga, maka dalam setahun sedesa Soga menghabiskan Rp 118.104.000 untuk gas elpiji.
Sedang belanja minyak tanah, untungnya, menjadi nyaris nihil. Sejak program konversi ke gas elpiji, harga minyak tanah membumbung hingga Rp9000/liter dan aksesnya semakin sulit, warga pun kian sangat jarang menggunakannya. Sebelumnya warga membelanjakan ratarata Rp. 38.000/bulan.
Sehingga untuk bensin dan gas saja, Desa Soga mungkin membelanjakan nyaris Rp700 juta. Ini belum termasuk listrik, yang mengharuskan tiap rumah tangga membelanjakan rerata Rp 22.267/bulan.
Demikianlah, bagi Desa Soga, ujicoba kompor jarak sudah gagal, dan nyaris 1 miliyar rupiah per tahun masih harus dibelanjakan warga untuk energi—untuk bensin, gas dan listrik.
Jalan panjang menuju kemandirian energi, tampaknya juga masih terjal.[]
HALAMAN 6
MEI 2007, Wakil Presiden Yusuf Kalla didamp-ingi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro, secara resmi me-luncurkan Program konversi minyak tanah ke LPG (selanjutnya ‘elpiji’, sebutan lazimnya). Novem-ber 2009, elpiji mulai masuk ke Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan. Disebar ke semua desa, termasuk Desa Kompang, Kecamatan Sinjai Tengah. Sejak saat itu, tabung gas elpiji 3 kilogram bermukim di dapur nyaris semua warga Desa Kompang.
Anshar, Kepala Desa Kompang, mengatakan, tak ada kendala berarti dalam penyalurannya ke warga. Semua berjalan lancar. Meski begitu, beberapa bulan setelah penyaluran, tetap saja ada warga yang tidak menggunakannya, tergeletak begitu saja di dapurnya. Bahkan, menurut pengakuan
hampir satu bulan sekali isi. “Ada rumah lain yang pemakaiannya 15 hari,” tuturnya. Dulu Anti menggunakan kompor minyak tanah.
Serupa dengan kasus Anti, Syamsuddin, warga Dusun Bonto, setiap hari menggunakan gas untuk masak air dan sayur. Untuk masak nasi, keluarga Syamsuddin menggunakan kayu bakar. Ia mulai menggunakan kompor gas sejak pertama kali dibagikan pemerintah desa. Ia mengambilnya langsung dari Kantor Desa Kompang. Di sana pula ia belajar menggunakan kompor gas melalui petugas yang diutus pemerintah kabupaten.
Bila Kompor Gas Masuk Desa DEDY HERMANSYAH
Misalnya Anti. Ibu rumah tangga desa Kompang ini mengatakan, ia menggunakan gas untuk halhal praktis: masak air, menggoreng, dan bakar kue. Hal itu dikarenakan api gas yang rata. Kompor gas membantu menghemat waktu masak. Sementara untuk memasak nasi dan sayur, ia menggunakan kayu bakar. “Tidak pakai gas untuk menghemat,” katanya.
Anti mulai menggunakan gas sejak awal pembagian, tahun 2009. Setelah sekitar tiga bulan pemakaian, tabung gas tetangganya meledak. Ia pun berhenti mengoperasikan kompor gas, baru menggunakan kembali saat slang kulit diganti dengan slang besi. Wana, adik perempuan Anti mengaku, sampai sekarang, masih takut menyalakan kompor gas.
Ratarata Anti menggunakan gas elpiji selama
seorang warga, ada yang mengambil jatah lalu menjualnya tak lama kemudian.
Tabung gas sebagai ‘penghuni’ baru di dapur, menemani ‘penghuni’ lama: kayu bakar dan kompor minyak tanah, memiliki pengaruh terhadap kerja warga di area dapur. Ada yang mengatakan kehadiran gas sangat membantu, khususnya untuk alasanalasan praktis seperti menjerang air dan bakar penganan. Meski begitu, ada juga yang mengatakan tak terlalu berpengaruh, dan tetap menggunakan kayu bakar sebagai alternatif energi.
BAGI sebagian be-sar warga di desa-desa, kehadiran kompor dan tabung gas tidak benar-benar menggantikan ka-yu bakar. Kompor berba-han bakar gas alam ini hanya mengganti kebe-radaan kompor minyak tanah.
HALAMAN 7
Syamsuddin mengaku tak pernah ada pengalaman buruk dengan kompor gas. Tidak se perti seorang tetangganya, sebagaimana dituturkannya, yang mengambil jatah pembagian lalu diberikan cumacuma kepada orang lain, alasannya takut menggunakan kompor gas.
BAGI sebagian besar warga desa, kehadiran kompor gas tidak benarbenar menggantikan kayu bakar. Sejauh informasi dari beberapa warga, kehadiran kompor gas hanya mengganti keberadaan kompor minyak tanah. Anti dan Syamsuddin, dua warga Desa Kompang, juga tak lagi memfungsikan kompor minyak tanah mereka. Memang ada yang hanya menggunakan kompor gas, tetapi biasanya mereka berprofesi sebagai pembuat kue, penjual bakso, dan semacamnya. Bagi warga yang berprofesi sebagai petani, kompor gas tidak benarbenar mengganti posisi kayu bakar.
Alasan pemerintah pusat memberlakukan kebijakan konversi ini adalah karena harga minyak dunia meningkat, sehingga subsidi minyak tanah meningkat. Kebijakan ini ditaksir akan menghemat APBN hingga Rp17,5 trilyun. Selain itu, pihak pemerintah mengatakan gas alam di Indonesia melimpah dan dinilai lebih ramah lingkungan dari minyak tanah.
Pemerintah juga mengatakan, dibandingkan penggunaan minyak tanah, akan lebih hemat jika memakai gas. Hal ini diamini oleh Anti. Sebagaimana dikatakan sebelumnya, Anti menggunakan gas nyaris satu bulan. Ia membeli gas seharga Rp 16.000 per tabung, dan menghabiskan minyak tanah sekitar 5 liter pada masa pemakaian yang sama—satu bulan. Harga minyak tanah Rp 8000, kali 5 liter, sama dengan Rp 40.000. Perbedaan harga keduanya cukup mencolok.
TETAPI jika dikaitkan dengan sumber energi biomassa (terbarukan) yang tersedia melimpah di Desa Kompang, kebijakan tabung gas ini menarik untuk diperbandingkan. Lahan kebun desa Kompang diisi pohon cokelat, cengkih, pala, pinus, dan lainlain. Petani desa Kompang memanfaatkan kayu atau rantingnya untuk dibuat kayu bakar.
Orangtua Anti yang memiliki usaha pembuatan gula merah, membutuhkan kayu bakar yang banyak dalam proses memasak. Jika mengguna
kan kompor gas, prosesnya akan makan waktu lebih lama, dan akan menghabiskan ongkos produksi lebih banyak. Sementara ketersediaan kayu bakar yang berlimpah di kebun, sayang jika tidak dimanfaatkan.
Jenis kayu bakar yang digunakan di rumah Anti adalah kayu bunga, kayu jati, rantingranting kakao, langsat, cengkeh, kayu pete’. “Kayu paling banyak ketersediaannya di kebun. Kayu bakar tidak mungkin langka,” tegasnya. Satu ikat yang dibawa dari kebun bisa mencapai 2030 potong kayu. Ada juga yang berupa kayu besar, sesampai di rumah baru dibelah. Jarak dari rumah ke kebun untuk mengambil kayu bakar setengah kilometer, setengah jam berjalan kaki.
Syamsuddin juga seperti Anti, memanfaatkan kayu bakar di kebun untuk memasak. “Saya kalau pulang dari kebun, jarang tidak bawa kayu bakar. Hampir setiap hari saya bawa,” katanya. Kayu bakar yang dibawa pulang dari kebun biasanya adalah kayu pohon lamtoro dan kakao.
Ada yang menarik dari penuturan Anti dan Syamsuddin. Mereka berdua mengaku ada perbedaan besar terhadap aroma dan rasa masakan antara menggunakan kompor gas dengan kayu bakar untuk memasaknya. Mereka berdua senada, masakan akan lebih enak jika menggunakan kayu bakar. “Apalagi kalau memasak daging, lebih enak jika menggunakan kayu bakar,” jelas Anti. “Tidak bisa kalah rasa masakan jika dimasak pakai kayu bakar dibanding kompor gas,” jelas Pak Syam.
Anti memiliki dua tempat memasak di dapurnya. Ia menggunakan istilah ‘taring’ untuk lubang masak. Sehari semalam, jika ditotalkan penggunaan kayu di kedua ‘taring’, Anti menghabiskan sekitar 20 kayu.
Lalu siapa yang diuntungkan dari hadirnya kompor gas ini? Merujuk pada pernyataan Syamsuddin dan Anti, orang yang meningkat ekonominya, jarang ke kebun dan tak bisa lagi ambil kayu bakar biasanya akan lebih sering menggunakan gas. Maka, sulit untuk tidak mengatakan bahwa pegawai kantoran (seperti pegawai pemerintah desa), sangat dibantu oleh hadirnya tabung gas. Sementara bagi warga bermata pencaharian petani, yang nyaris setiap hari ke sawah atau kebun, masih tetap mengandalkan kayu bakar sebagai sumber energi untuk memasak.[]
HALAMAN 8
BILA SEBAGIAN besar warga desa masih menyalakan kayu bakar untuk memasak, setelah sekian puluh tahun akrab dengan minyak tanah, setelah tabung gas elpiji menghias dapur mereka, setelah hutan semakin sulit mereka akses, tentu alasan mereka tak sepele.
Hingga kini sebagian dari warga Desa Kompang dan Gantarang, dua desa di pegunungan barat Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan, menggunakan kombinasi kayu bakar dan gas elpiji, utamanya dengan tabung gas 3 kg.
Tahun 2009 tabungtabung gas dan kompornya dibagikan ke di desa Kompang dan Gantarang. Nyaris semua rumah tangga mendapatkan pembagian gratis tersebut. Di Kompang, hanya ada belasan keluarga yang tidak mendapatkannya, “Karena tidak punya KTP dan Kartu Keluarga, syarat menerima pembagian.”
Harga gas elpiji 3 kg saat ini berkisar 16.000 hingga18.000 rupiah, bisa dipakai ratarata dua minggu. Sebagian warga menganggap harga ini tidak murah. Namun mereka bukan masyarakat yang menutup diri dari teknologi baru. Mereka tidak menyurukkan kompor gas pembagian ke sudut dapur yang paling terabaikan—bahkan segelintir warga menggunakan gas elpiji 17 kg dan mengeluarkan ratarata 50 ribu rupiah sebulan. Tapi mereka menggunakannya secara selektif.
Biasanya mereka menyalakan kompor gas untuk masakan berdurasi singkat seperti menggoreng telur. Atau memasak masakan yang mesti siap dalam waktu singkat, seperti menjerang air untuk teh atau kopi bagi tamu yang datang. Untuk masakan yang butuh waktu memasak lebih panjang, warga menggunakan kayu bakar.
Sebelum kedatangan tabung dan kompor gas pembagian, warga memang telah lama menggabungkan pemakaian kayu bakar dengan bahan bakar lain, minyak tanah. Sehingga konversi minyak tanah ke gas, orang sudah terbiasa dengan kombinasi kayu bakar dan bahan bakar lain. Kini minyak tanah
kan kayu bakar. Bahkan setelah pembagian mengalir secara gratis ke Kompang dan Gantarang, hanya segelintir keluarga yang tidak menggunakan kayu bakar samasekali. Sebaliknya, masih cukup banyak warga yang hanya menggunakan kayu bakar untuk memasak, yang di antara mereka telah menjual kompor gas dan tabung pembagian mereka. Sebagian lagi hanya menggunakan gas pada waktuwaktu tertentu, dan mengistirahatkan pembagian mereka cukup lama.
Warga seperti ini, yang hanya menggunakan kayu bakar dan tidak menggunakan gas elpiji secara teratur atau tidak sama sekali, punya beberapa alasan. Dua alas an dominan adalah mahalnya gas elpiji dan masih berlimpahnya kayu bakar.
Pertama, biaya mahal untuk membeli kompor, tabung dan selang gas, serta terutama gasnya sendiri. Seorang Ibu menyatakan, ia mengisi gas elpijinya hanya saat musim panen cengkeh dan coklat—ketika uang tersedia. Harga gas tabung 3 kg memang ‘murah’, tetapi masih sulit untuk mengeluarkan uang sebanyak itu dengan sekali transaksi.
Tentu ini pilihan paling realistis, mengingat
Mengapa Desa Pertahankan Kayu Bakar? NURHADY SIRIMOROK
masih dijual dalam jumlah kecil,. Untuk memasak, minyak tanah nyaris tinggal sejarah. Harganya yang hampir sama dengan bensin premium, 9000 rupiah per liter, membuatnya hanya digunakan untuk lampu tempel ketika mati lampu—yang masih sering terjadi.
GAS elpiji yang mampu mendepak minyak tanah, ternyata belum cukup kokoh untuk menyingkir
Tumpukan persediaan kayu bakar warga desa.
HALAMAN 9
tanam an cengkih mereka, begitu pula desadesa tetangga mereka, tahun ini tidak berbuah samasekali; dan produktifitas kakao mereka sudah lama melorot—kecenderungan yang bisa jadi masih akan berlanjut bila anomali cuaca ternyata berubah menjadi permanen.
Kedua, kayu bakar masih melimpah. Mereka bisa mendapatkannya dari rantingranting kayu di kebun, pekarangan dan, sebagian, di dalam hutan, “dari pohonpohon yang tumbang, atau cabang dan ranting pohon yang patah,” atau “rantingranting dan batang kakao yang sudah mati dan kering,” kata warga. Umumnya mereka mengambil kayu bakar
ka—aktivitas yang kerap melibatkan perempuan.Sedangkan untuk penyulut api, biasanya mereka
menggunakkan daun kelapa kering atau batang bambu yang ditemukan di manamana.
Pendeknya, kayu bakar masih dirasakan melimpah dalam desa, sehingga tidak pernah membeli kayu bakar.
Alasanalasan lain, yang berhubungan dengan kebiasaan warga setempat, juga sulit disepelekan. Karena terbiasa dengan tungku, misalnya, mereka merasa lebih nyaman menggunakannya dan menganggap masakan tertentu lebih lezat dimasak dengan tungku ketimbang kompor gas. Bagi sedikit warga yang menyimpan tembakau, tungku berfungsi juga untuk mengasapi tembakau, untuk menjaga tingkat kelembaban dan citarasa. Dan seterusnya.
TETAPI dalam jangka panjang beberapa isu tengah mengancam. Produktifitas kakao terus menurun dalam sepuluh tahun terakhir, dan orang mulai berpikir untuk meremajakan atau menggantinya dengan komoditas perennial lain seperti pala, primadona baru yang sedang banyak digeluti warga. Jika ini terjadi maka pasokan kayu bakar bisa berkurang drastis, tentu seusai melewati boom kayu bakar kakao yang tak lagi menguntungkan.
Aturan Kementerian Kehutanan yang pelaksanaannya kian agresif di lapangan membuat kawasan yang boleh diakses warga semakin terbatas. Aturan ini, kata seorang warga, membuat “hutan yang merambah lahan warga, bukan warga yang merambah hutan.”
Bila ini terus berlanjut, ditambah ekstensifikasi yang terdorong oleh guncangan menurunnya produktifitas cengkeh dan kakao, maka lahan yang tersisa akan dibabat untuk tanaman komoditas lain. Lahan untuk kayu bakar lazim seperti hilalang dan ikkajeng akan berubah menjadi kebun.
Belum lagi pasokan gas, yang selain pasti akan habis juga sedikit banyak tergantung pada pasar migas dunia—dan jangan lupa, kemampuan dan kemauan pemerintah menanggung beban subsidi gas elpiji.
Dalam konteks ini, energi terbarukan seperti kayu bakar butuh perbaikan teknologi, agar penggunaannya bisa dihemat, memberi waktu bagi alam untuk membesarkan batang, cabang dan ranting, untuk kita.[]
Aturan Kementerian Kehutanan yang pelaksanaannya di lapangan kian agresif membuat kawasan yang boleh diakses warga semakin ter-batas. Aturan ini, kata seorang war-ga, membuat “hutan yang meram-bah lahan warga, bukan warga yang merambah hutan.”
dari lahan sendiri, atau bila tidak punya lahan mereka meminta kepada pemilik lahan lain.
Jenisjenis kayu bakar yang sering digunakan sebagai kayu bakar adalah: pertama, kayu hilalang atau bilalang, pohon yang cukup besar, bisa mencapai tinggi sekitar sepuluh meter. Bisanya kayu ini sengaja ditanam untuk persiapan kayu bakar, meski banyak juga yang tumbuh sendiri. Karena persediaannya masih cukup banyak, maka kayu pohon ini kerap menjadi pilihan utama untuk kayu bakar.
Kedua, kayu Ikkajeng, kayu ini berupa pohon yang cukup besar, sering ditebang ketika warga membutuhkan kayu bakar dalam jumlah besar, misalnya saat hajatan. Karena semakin sulit menemukannya, pohon ini tidak menjadi pilihan utama memasak seharihari di dapur.
Ketiga, dahan kakao, juga tersedia diseluruh dapur yang menggunakan kayu bakar. Kayu ini tersedia cukup banyak, karena memang merupakan ‘hasil sampingan’ ketika warga menyiangi dahandahan pohon kakao mere
HALAMAN 10
“MUSTAHIL, mana bisa kotoran-kotoran sapi itu bisa jadi gas!”
Selama program berlangsung, proses pembuatan instalasi biogas lebih sering mengundang cibiran, seperti kalimat di atas. Banyak orang enggan terlibat pekerjaan membuat perangkat pengolahan limbah kotoran untuk menghasilkan gas. Untungnya, walaupun masih diliputi keraguan, segelintir orang tetap bersedia melibatkan diri.
Salah seorang tokoh agama di Kelurahan Massanra, Polewali Mandar, Sulawesi Barat, meragukan kehalalan menggunakan kotoran sapi untuk mengolah bahan mentah menjadi makanan. “Itu diragukan kehalalannya untuk dimakan” katanya. Ia menyandarkan penilaiannya bahwa kotoran manusia ataupun hewan adalah sesuatu yang mengandung najis.
Najamuddin menuturkan, “bahkan orangorang terdekat saya, termasuk mertua saya, serumah dengan saya, dan keluarga saya tidak percaya dengan pemanfaatan tahi sapi untuk jadi
EMPAT tahun terakhir Sekolah Rakyat Petani PayoPayo mengusahakan pemanfaatan gas metana dari kotoran manusia dan sapi. Limbah kotoran tersebut diendapkan dalam tabung yang dibuat khusus untuk menghasilkan gas metana yang dapat menjadi bahan bakar atau energi listrik.
Dengan memanfaatkan limbah kotoran manusia dari sekitar 73 penghuni panti asuhan, panti asuhan di Kelurahan Massanra, Polewali Mandar, Sulawesi Barat dapat mengurangi pengeluaran untuk pembelian gas kemasan tabung. Empat keluarga di Lappara, Desa Tompobulu, Pangkep, Sulawesi Selatan, juga kini menikmati gas metana dari limbah kotoran sapi milik mereka. Dalam 2 tahun terakhir mereka tidak lagi membeli gas kemasan tabung 3 kg, seperti kebiasaan mereka sebelumnya. Mereka juga dapat mengurangi penggunaan kayu bakar.
Demikian pula dengan 4 keluarga, di Lamporo, Desa Tompobulu, Pangkep. Setahun ini (2011), mereka sudah menikmati aliran listrik dari limbah kotoran sapi. Meski instalasi ini hanya bisa
Kotoran Sapi Bisa Jadi Api IMRAN GADABU
gas”. Samsuddin, petani dan tokoh masyarakat di Desa Kompang, Kecamatan Sinjai Tengah, punya kisah serupa. Pada proses perencanaan dan persiapan pembuatan instalasi biogas plastik di dusunnya, Ia bekerja ekstra mengajak tetangganya bersamasama memanfaatkan kotoran sapi menjadi bahan bakar. “kupappalluipai nakutappa”, nanti setelah menggunakannya memasak baru saya percaya.
menerangi seisi rumah dan sebagian wilayah kampung selama 2 jam setiap malam.
Tiga contoh di atas merupakan model pemanfaatan teknologi biogas yang terbilang membutuhkan sumber daya yang besar. Intalasinya pun tidak sederhana, bila dibanding biogas plastik.
Biogas plastik lebih banyak diujicobakan, selain karena biayanya lebih murah, proses pembuatannya juga lebih mudah. Tapi itu tidak menjamin
Kotoran sapi yang berpotensi besar menghidupkan kompor dan listrik di desa-desa untuk menghindari ketergantungan terhadap bahan bakar minyak yang makin mahal.
HALAMAN 11
penggunaan dan keberlanjutannya. Dari 7 instalasi biogas plastik yang telah dibuat, hampir tidak ada lagi termanfaatkan.
BERAGAM soal menghadang pemanfaatan instalasi biogas, utamanya biogas plastik. Pada dasarnya hampir semua masyarakat yang memanfaatkan instalasi biogas plastik menganggap pekerjaannya merepotkan dan kesulitan melakukan perawatan.
Di sebuah perkampungan Desa Panaikang, Kecamatan Sinjai Timur, Sinjai, pada pertegahan 2009, SRP Payo Payo bersama beberapa orang mengujicobakan pemanfaatan kotoran sapi untuk bahan bakar alternatif. Salah satu kelompok keluarga memanfaatkannya. Tapi ini tidak bertahan lama. Selang beberapa pekan, pemakaiannya terhenti, terbengkalai dan akhirnya rusak. Kepala keluarga tempat biogas plastik diujicobakan mengakui, mereka kesulitan melakukan pemeliharaan. Memasuki musim kemarau mereka kesulitan air yang dibutuhkan untuk memasukkan kotoran sapi ke instalasi.
Setelah sempat menghasilkan gas, instalasi yang diujicobakan di Dusun Bonto, Desa Kompang, Sinjai, tinggal menjadi barang rongsokan. Usaha Samsuddin meyakinkan masyarakat di sekitarnya pun terhenti.Cerita menarik datang dari Najamuddin. Walaupun ia juga berhadapan dengan musim kemarau setiap tahun, ia mengaku tak kesulitan memenuhi kebutuhan air untuk instalasi biogasnya. Tapi ia harus berhadapan dengan ganguan lain. Kutukutu dari dalam tanah muncul di dasar tabung gas, mengganggu lapisan plastiknya hingga mengalami kebocoran. Setelah berhasil menambalnya, masalah kebocoran muncul lagi. Seekor kucing mencakar lapisan plastik tabung penampung biogasnya. Mungkin karena kesal, dan keadaan itu berlanjut hingga sekarang, kerjai instalasi biogasnya terhenti.
Meski juga harus terhenti, Samsu dan Suleha pemakai Biogas plastik di Dusun Bulu Bulu, Desa Tompobulu, mengaku tidak mengalami kendala seperti yang terjadi di tempat lain. Samsu harus rela melihat instalasi biogasnya tak beroperasi setelah sapinya mati. Sementara Suleha harus menggulung plastik biogasnya sete
lah ia harus menjual sapinya, dan belum membeli sapi lagi hingga sekarang.
KETIKA berkomentar soal kondisi terakhir ujicoba biogas di berbagai tempat, Najamuddin menyimpulkan, “barang mati itu.” Ia adalah salah seorang yang selama ini paling giat mengajak dan mengajari orang untuk memanfaatkan limbah ternak sapi. Ia ingin bilang, pemanfaatan instalasi biogas sangat sulit diterapkan.
Berbeda dengan Suleha, yang berperan sama dengan Najamuddin, masih menaruh harap terhadap instalasi biogas, khususnya yang plastik. “Tidak terlalu bermasalah ji kalau yang biogas digester, hanya perlu keseriusan dan komitmen pengguna untuk memberi perhatian pada perawatan dan pemeliharaan,” tutur Suleha.
Suleha berpendapat, ke depan sebaiknya instalasi dibuat dengan lebih memudahkan penggunanya. Misalnya, dibuatkan saluran khusus untuk memasukkan kotoran sapi ke tempat penampungan, seperti pada instalasi biogas kubah. Sehingga, “kita tidak perlu lagi repot mengumpulkan tai sapi di ember kemudian diaduk dengan air, terus dimasukkan ke penampungan secara manual. Kita hanya perlu menyiram kotorankotoran sapi di saluran pemasukan ke tempat penampungan.”
Cerita tai sapi yang bisa diubah jadi api memang diselimuti gambaran kegagalan. Tapi bisa diduga teknologi ini pada dasarnya dapat diterima kebanyakan orang. Untuk itu, para pengusungnya perlu memikirkan kebiasaankebiasaan dan kondisi riil di sekitar tempat uji coba. Kebiasaan meliarkan sapi, misalnya, menjadi tantangan besar dalam pemanfaatan limbah kotoran sapi. Mengubah kebiasaan itu menjadi pengandangan sapi akan sangat tergantung pada ketersediaan pakan hijauan.
Selain itu, mereka harus paham bahwa pemanfaatan limbah kotoran sapi, khusus untuk biogas plastik, sebaiknya ditempatkan sebagai bahan bakar alternatif, pendukung bahan bakar utama. Alternatif ini masih sulit menggantikan bahan bakar gas tabung, setidaknya dalam jangka pendek. Kemungkinan lebih besar ada pada biogas digester kubah yang lebih memungkinkan untuk beralih dari pemakaian gas kemasan tabung.
“Asalkan proses pengolahan dan perawatannya maksimal.”[]
HALAMAN 12
Bagaimana Instalasi Biogas Bekerja? IMRAN GADABU
DUA jenis instalasi biogas kerap diujicobakan dalam program kemandirian pangan dan energi yang diker-jakan Sekolah Rakyat Petani (SRP) Payo Payo.
Pertama, instalasi biogas dengan digester, ruang kedap udara berbentuk kubah, berbahan batu bata bercampur semen. Kubah digester ini berkapasitas 9 kubik, dibangun di dalam lubang seukurannya, dan kemudian akan tertutup tanah. Kubah itu berfungsi sebagai penampung limbah sekaligus penampung gas yang dihasilkannya. Instalasi ini disebut ‘Biogas Permanen’, yang dapat dimanfaatkan menghasilkan panas api maupun listrik.
Dibandingkan instalasi biogas permanen, proses pembuatan biogas plastik relatif lebih murah dan mudah. Tapi kapasitas biogas plastik tidak sebanding dengan biogas permanen. Biogas plastik, untuk pemakaian maksimal, hanya sanggup menyalakan 1 kompor. Sementara untuk menghasilkan listrik, instalasi jenis ini tidak memungkinkan.
Biogas plastik inilah yang banyak diujicobakan dalam proyek yang digagas SRP Payo Payo. Di beberapa desa di pedalaman Sulawesi Selatan dan Barat, instalasi biogas plastik telah terpasang, dan warga telah memanfaatkannya.
Untuk membangun instalasi biogas kubah, dikenal juga sebagai biogas permanen, paling
Untuk memudahkan asupan bahan baku, saluran pemasukan limbah ke dalam kubah penampung biasanya dibangun bersamaan dengan instalasi utama biogas. Dari kandang sapi atau tempat pembuangan, limbah akan didorong ke dalam menampung dengan bantuan air.
Kedua, instalasi biogas yang menggunakan bahan plastik. Instalasi biogas ini menggunakan bahan plastik berongga. Plastik berongga dengan panjang sekitar 4 meter sebanyak 2 buah dihubungkan dengan pipa yang ukurannya bervariasi. Salah satu plastik berongga tersebut berfungsi sebagai penampung material kotoran dan satunya lagi berfungsi sebagai tabung penampung gas sebelum dialirkan ke kompor gas. Selanjutnya instalasi jenis ini disebut ‘Biogas Plastik’.
tidak membutuhkan biaya sekitar 13 juta. Itu belum menghitung biaya pekerja. SRP Payo Payo biasanya bekerja sama dengan warga setempat yang menyumbangkan tenaga. Sedangkan biogas plastik membutuhkan biaya sekitar 300 ribu.
Kedua model instalasi tersebut, kecuali untuk pemanfaatan kotoran manusia, mengharuskan pengandangan sapi. Untuk mendapatkan hasil maksimal dari buangan hewan, sapisapi harus dikandangkan agar kotorannya dengan mudah dikumpukan dan dimasukkan ke dalam kubah penampungan. Akan sangat merepotkan, apalagi bagi yang tak terbiasa beternak sapi, mengumpulkan kotoran dari sapi yang diliarkan. Plus, berdasarkan hitungan teknis, kandungan metana kotoran sapi yang tak dikandangkan tidak termanfaatkan dengan baik.
HALAMAN 13
SECARA umum proses kerja Instalasi Biogas adalah sebagai berikut:
Dari kandang sapi, kotorankotoran sapi dimasukkan ke kubah penampungan. Untuk biogas permanen, kotoran sapi dimasukkan dengan bantuan siraman air, melalui saluran dari kandang sapi menuju lubang pemasukan (inlet). Sedang bagi instalasi biogas plastik, dari kandang sapi, kotoran sapi harus dikumpulkan menggunakan wadah seperti ember atau baskom untuk dimasukkan secara manual ke dalam penampungan melalui lubang pemasukan.
Seluruh kotoran sapi masuk ke dalam digester, ruang penghasil dan penampung gas dari kotoran sapi. material kotoran sapi kemudian akan mengendap di dalam lubang penampungan. Da lam beberapa hari kandungan gas pada kotoran sapi akan mengambang di dalam tabung penampung
tabung penampungan, material padat kotoran sapi kemudian akan terdorong ke luar ruang penampung. Material padat tersebut akan keluar melalui saluran pembuangan (outlet).
Untuk biogas pembangkit listrik, biasanya dua kubah dilengkapi dengan tabung plastik berukuran sepuluh meter. Kubah pertama, biodigester, yang dipenuhi bakteri anaerop dari kotoran sapi yang mengurai tahi dan menghasilkan gas metan—yang kemudian dialirkan ke tabung plastik penampung gas. Sementara kubah kedua adalah pembuangan ampas tahi yang sudah tak mengandung gas. Bila ampas dalam bunker ini semakin banyak maka akan terdorong keluar dan menjadi bahan baku pupuk organik padat dan cair.
Prinsip kerja biogas plastik tidak berbeda. Tabung utama penampung kotoran untuk memi
an. Dengan bantuan bakteri di dalam kotoran sapi, material padat akan terpisah dan gas kemudian mengambang. Bakteri anaerop pada kotoran sapi berkembang biak secara cepat, karena mereka baru bisa melakukannya dalam kondisi tanpa oksigen dan suhu yang lebih hangat. Mereka membelah diri dan memakan kotoran sapi, mengurai senyawa atau unsurunsurnya sehingga menghasilkan gas methan (CH4).
Gas methan inilah, yang jumlahnya berkisar 60%
sahkan kandungan gas metana dari kotoran sapi. Setelah terpisah kemudian material padat kotoran sapi akan mengendap sedangkan gasnya akan mengambang. Melalui saluran pipa pada bagian tengah tabung plastik, gas metana akan disalurkan ke penampung gas, tabung plastik lainnya. Gas tersebut akan tersimpan dalam penyimpanan sebelum gas metana disalurkan ke kompor gas. Proses ini akan terus berulang. Material kotoran sapi yang mengendap akan keluar melalui ujung lain (outlet) tabung plastik utama.
Demikian seterusnya, untuk terus menghasilkan gas, limbah kotoran sapi harus dimasukkan ke penampungan limbah secara teratur.[]
dari total gas yang dihasilkan digester, yang kemudian dialirkan sebagai energi panas untuk memasak.
Dari kubah atau tabung penampungan, gas akan disalurkan melalui instalasi pemipaan (menggunakan pipa paralon) ke kompor gas. Kompor gas yang lazim digunakan warga tidak dapat digunakan untuk gas metana, sehingga harus dimodifikasi terlebih dahulu. Dua perangkat tambahan dipasang antara tabung penampungan dengan kompor: perangkat pengu kur tekanan gas di dalam tabung dan kran pengontrol gas yang akan masuk ke kompor.
Sementara itu, karena tekanan gas di dalam
HALAMAN 12
SEORANG ibu heran melihat perilaku Suleha beberapa hari terakhir. Ia mengambil ‘air hijau’ di belakang rumah tetangga dengan ember berukuran 5 liter, berjalan menuju sawah, lalu menuang se-luruh isinya di pintu air—mengalirkan masuk ke sawahnya. Saat itu padinya mulai berbuah.
Suleha tengah mencoba perlakuan berbeda terhadap dua petak sawahnya. Sepetak ia perlakukan dengan racun kimia dan sepetak lainnya ia perlakukan secara organik. ‘Air hijau’ itu adalah slurry atau ampas cair dari kotoran sapi.
Di belakang rumah Misbah, tempat Suleha mengambil slurry, sang tuan rumah sedang menyirami tahi dan urin sapi di kandang sapi miliknya agar mengalir ke sebuah instalasi biogas permanen di samping kandang.
Kotoran sapi ini dimasukkan ke dalam digester, untuk diurai dan menghasilkan gas metan. Gas inilah yang dialirkan untuk memasak oleh Bu Misbah. Bersama tiga ibu lain, mereka memanfaatkan bahan bakar biogas untuk memasak di dapur masingmasing. Mereka tak lagi kerepotan mengumpulkan kayu bakar dan menjaga bara tetap menyala. Panci mereka tak meninggalkan bekasa hitam. Waktu mereka terhemat sekian jam sehari.
Proses pemanfaatan energi alternatif ini telah berlangsung nyaris dua tahun. Bukan hanya Suleha yang memanfaatkan ampas kotoran sapi sebagai pupuk organik. Beberapa tetangganya datang meminta ampas kotoran sapi sisa biogas tersebut. Umumnya mereka mengambil ampas padat untuk pembuatan pupuk kompos.
Namun, Suleha tergolong petani yang suka melakukan uji coba. Slurry atau ampas cair yang ia alirkan ke sawahnya sudah menunjukkan hasil yang baik. Dibanding dengan sawahnya yang masih menerima input kimiawi, sawah organiknya memperlihatkan bulir yang lebih banyak, rasanya lebih enak dan aromanya lebih harum.
SULEHA menceritakan keheranan tetangganya terhadap perilakunya mengambil slurry pada dialog petani di desanya, Tompobulu, Kabpuaten Pangkep, Sulawesi Selatan, 4 Desember lalu. Pertemuan ini berisi dialog pengalaman petani pengguna energi alternatif. Mereka bercerita tentang instalasi biogas, tungku hemat energi, kompor briket, termasuk proyek ambisius pemerintah seperti proyek jarak.
Merayakan Kemandirian Energi di Tompobulu ISHAK SALIM
Suleha tergolong petani yang suka melakukan uji coba. Ampas cair ko-toran sapi (slurry) yang ia alirkan ke sawahnya sudah menunjukkan hasil yang baik. Dibanding dengan sawahn-ya yang masih menerima input kimi-awi, sawah organiknya berbuah bulir yang lebih banyak, rasanya lebih enak, dan aromanya lebih harum.
Dalam temu tani ini, mereka seperti tengah merayakan kemandirian energi.
“Memperlakukan tanah secara organik, membuat tanah menjadi gembur,” Suleha mendekatkan mikrofon di bibirnya, memastikan suaranya terdengar jelas. Slurry yang mengandung nutrisi mengundang makhluk pengurai tanah. “Makhlukmakhluk kecil ini adalah buruh penggembur tanah yang bekerja tanpa butuh gaji,” jelasnya.
Najamuddin, petani Tompobulu juga menyampaikan pengalaman dalam mengelola biogas plastik. Ia kurang lebih menyatakan bahwa, dibandingkan dengan membeli energi dari perusahaan, menghasilkan suplai energi secara mandiri membutuhkan tenaga tambahan.
Ia member contoh: biogas plastik yang dibuatnya sudah tiga kali mengalami kerusakan.
Rusak pertama disebabkan kutu tanah yang menggerogoti plastik. Kerusakan kedua datang dari serangga yang mengigiti plastik penampung gas methan. Kerusakan ketiga, seekor kucing melompat dan mencakar plastik hingga sobek sepanjang 10 sentimeter.
HALAMAN 15
“Biogas plastik ini barang mati,” begitu ia pernah menyimpulkan, mengingat perbaikan terus menerus yang mesti ia lakukan demi menjaga pasokan gas seharihari untuk dapurnya.
PERNYATAAN Najamuddin di atas adalah titik kritis dalam proses membangun kemandirian. Analoginya, bila instalasi milik Perusahaan Listrik Swasta mengalami
ergy di Jeneponto, PT Fajar Futura Energy di Luwu, dan PT Kassa Listrindo di Takalar.
Deretan perusahaan ini berpotensi meneruskan ketergantungan warga akan energi listrik. Sehingga, jika warga desa tak menemukan cara sendiri, lewat serangkaian uji coba, maka instalasi energi alternatif menjadi sulit bertahan. Proses mengembangkan inovasiinovasi baru dengan modal yang seluruhnya dari desa—untuk menjamin keberlanjut annya—menjadi sangat penting dalam konteks ini.
jarak’, pengelolaannya sangat payah. Petani hanya diminta menanam dengan imingiming harga jual tinggi. Pasar raib di masa panen, meninggalkan biji jarak teronggok tanpa harga.
Kegagalan ‘proyek jarak’ sendiri bukan hal asing bagi warga Tompobulu. Mereka bahkan punya guyonan bagi mereka yang tatertarik melibatkan diri dalam proyek: ‘jarra ko sallang’ yang artinya ‘kau akan menyesal’.
USAI diskusi, para peserta mencoba penggunaan tungku hemat energi, yang dapat menghemat kayu bakar hingga lima kali lipat. Mereka juga melihat proses pembuatan arang briket dari sekam padi berikut penggunaannya.
Setelah itu, para peserta berkunjung ke rumah Misbah guna melihat instalasi biogas. Hujan rintikrintik tak menghalangi peserta dari beberapa desa ini berjalan demi melihat bukti.
Di sana mereka melihat bagaimana kotoran sapi mempertontonkan kegunaannya. Misbah mempertunjukkan bagaimana gasnya digunakan dan Suleha memperlihatkan pupuk dari ampas kotoran sapi.[]
kerusak an maka akan datang tim memperbaikinya sesegera mungkin agar pelanggan tak mengeluh. Jika kerusakannya cukup fatal, mereka akan melakukan penelitian untuk memperbaikinya. Tapi ini membutuhkan modal besar karena untuk kepentingan orang sekabupaten atau seprovinsi.
Jadi, bila Najamuddin berhenti melakukan perbaikan maka terhentilah proses membangun kemandirian energi.
Kebutuhan energi memang mesti dan bisa disediakan oleh swasta atau negara. Sayangnya, dua pihak ini cenderung membuat warga tergantung dan kerap tak punya daya melakukan kontrol atas harga maupun kualitas.
Di Sulawesi Selatan, pasokan listrik ditangani oleh PLN dan sekian PLS. Sebut saja PT Makassar Power di Kabupaten Pinrang (60 MW) dan PT Energy Equity di Kabupaten Sengkang (135 MW). Dua perusahaan ini sudah beroperasi. Sisa lainnya yang siap memasok listrik SulSel yang kritis adalah PT Malea di Tana Toraja, PT Sulawesi Mini Hydro di Sinjai, PT Bosowa En
Perihal ini juga disinggung Nurhady Sirimorok (Komunitas Ininnawa) ke tika memaparkan kebijakan energi nasional. Upaya pemerintah dalam mendorong penelitian untuk penggunaan dan pengelolaan energi yang murah bagi rakyat jauh dari memadai. Pemerintah malah mengurangi subsidi bagi warga di saat harga kebutuhan energi terus meningkat. Bila pun ada, semisal ‘proyek
Diskusi petani di Sekolah Rakyat Petani (SRP) Tompobulu.
HALAMAN 16
HANYA sekali membuat takjub warga, sudah itu hampir tak berarti.
Nyaris semua ‘teknologi tepat guna’ energi alternatif pedesaan yang diperkenalkan ha nya tiba di tahap pengenalan atau “instalasi percontohan”. Kompor jarak, tungku hemat energi, instalasi biogas plastik dan permanen untuk memasak dan listrik yang diperkenalkan di BonneBonne (Polewali Mandar), Soga (Soppeng), dan Tompobulu (Pangkep).
Serangkaian percobaan dan pengenalan teknologi tepat guna pedesaan tersebut dilakukan SRP Payo Payo, lengkap dengan penjelasan tujuan dan jenis energi yang hendak ‘digantikan’. Kompor jarak pengganti kompor mi nyak tanah konvensional, tungku hemat energi pengganti tungku konvensional demi menghemat kayu bakar, biogas (plastik dan permanen) pengganti gas elpiji, serta biogas listrik untuk mengganti bensin atau solar untuk generator penghasil daya listrik.
Gagasan dasarnya, untuk membangun sistem kemandirian atau kedaulatan energi serta mendukung kemandirian petani/warga desa dalam bertani. Bahan baku untuk bahan bakar ditambang dari sapi (kotoran sapi) yang hampir selalu ada di desa. Buangannya yang selama ini dianggap tidak berguna, slurry, juga bermanfaat sebagai pupuk untuk pertanian.
Biogas PermanenDigester biogas permanen berukuran sembilan meter kubik dibangun di tiga desa. Digester seukuran ini dirancang untuk menyediakan gas memasak, masingmasing direncakan melayani tiga rumah tangga. Digester biogas pertama dibangun tahun 2009 di Soga dan digunakan oleh dua keluarga—tapi hanya untuk beberapa waktu setelah dibangun dan kini sama sekali tak dimanfaatkan. Sebabnya, sediaan kotoran sapi tidak ada, rumah tangga tempat digester dibangun tak terbiasa mengandangkan sapi untuk itu.
Biogas PlastikInstalasi biogas plastik jauh lebih sederhana, mudah dan murah. Instalasi biogas permanen
mungkin bisa sampai 2030 juta rupiah, sementara biogas plastik hanya sekitar100 ribu rupiah. Kalau rusak jauh lebih mudah memperbaikinya dan dengan mudah dapat diganti, dibandingkan biogas permanen.
Biogas ListrikDigester pembangkit listrik berukuran 18 meter kubik dibangun pada Januari 2011 di kampung Lamporo, Tompobulu. Di Lamporo tidak ada listrik PLN, sehingga generator dan lampu minyak tanah menjadi sumber penerangan di rumahrumah warga—di sana ada 16 rumah.
Listrik dari biogas awalnya dialirkan ke 13 rumah tangga, sampai 12 jam setiap hari, plus mensuplai lampu jalan. Namun saat ini tersisa 6 rumah yang mendapatkan listrik, sisanya diputus, hanya dua sampai tiga jam setiap malam, dan lampu jalan cuma sesekali menyala.
Alasannya, rumahrumah lain, yang alirannya terpaksa diputuskan, tidak membawa sapisapinya untuk dikandangkan di instalasi digester—salah satu kesepakatan mereka.
Tungku Hemat Kayu Bakar Setelah memperlihatkan manfaat tungku ini, sembari mengajarkan cara membuatnya, warga desa diharapkan akan berminat turut membuat dan memakainya. Tapi sampai saat ini, tungkutungku yang ada semuanya buatan program, untuk percontohan. Belum ada satu pun warga yang berinisiatif membuatnya sendiri. Setelah tiga tahun program kemandirian pangan dan energi berjalan, SRP Payo Payo hanya berhasil membuat 1 tungku di Desa Tompobulu dan 2 di Desa Soga. Di Bonnebonne 20 tungku berhasil dibuat, tapi semuanya bikinan program.
Kompor JarakKompor berbahan bakar biji buah jarak tidak diminati sama sekali. Tidak ada warga yang tertarik di desa mana pun, baik di tiga desa program maupun di desadesa lain tempat kompor jarak diperkenalkan. Alasannya, tidak praktis, terutama bagi yang terbiasa dengan kompor minyak tanah.[]
Sekali Takjub, Sesudah Itu Padam KARNO B BATIRAN
HALAMAN 17
MANNANG tak tampak pagi itu ketika saya hen-dak menemuinya. Ia tengah berburu babi, salah satu perusak utama tanamannya.
Rumah Mannang, pengelola instalasi biogas listrik di Lamporo, bersebelahan dengan instalasi biogas listrik yang dibangun setahun lalu. Saya berharap bisa menemuinya dan menanyakan keadaan instalasi biogas tersebut.
Di awal pendiriannya pada Desember 2010, warga calon pengguna duduk berdiskusi. Mereka membuat beberapa kesepakatan. Fasilitatornya dari SRP Payo Payo. Bila mereka mau mengelolanya secara berkelompok maka anggaran pembangunan instalasi siap dicairkan.
Kesepakatan terbangun di sebuah mesjid usai salat Jum’at, nyaris setahun lalu. Pembangunan instalasi pun berlangsung. Seorang ahli dari LPTP Solo didatangkan dan beberapa petani dari desa turut membangun sambil belajar.
Singkatnya, instalasi biogas terbangun, lengkap dengan kandang bagi 14 ekor sapi yang siap menyuplai kotoran sapi setiap hari.
KINI di samping rumah Mannang tabung plastik penampung gas terlihat kempis. Ukuran tabung ini 18 meter kubik. Teorinya, energi gas metan yang dihasilkannya sanggup menggerakkan generator yang dapat mengalirkan listrik ke 14 rumah selama 4 – 6 jam sehari.
Kabarnya, sudah dua minggu mengalami kebocoran. Letak kebocorannya tak terdeteksi, meski sudah beberapa kali Mannang memeriksanya. Ia menduga penyebab kebocoran adalah belalang yang menyukai aroma gas dalam tabung.
Rupanya, kebocoran ini bukan yang pertama. Tapi sebelumnya Mannang bisa menemukan letaknya, dengan mencium seluruh permukaan tabung plastik sepanjang 10 meter. Bila menemukan, ia menambal kebocoran dengan lakban hitam. Setelah itu, gas methan tertampung lagi.
Ada banyak tambalan terakhir kali saya melihatnya. Namun Mannang tak berdaya ketika suatu malam angin kencang menyapu
tenda terpal hingga robek di sanasini. Tabung plastik pun rusak.
Kebocoran hanya satu soal dari sekian masalah yang sedang dihadapi Mannang.
Pagi itu, hanya seekor sapi di kandang. Sapi yang masih muda. Seharusnya ada 14 ekor. Kesepakatan warga tak selalu berbuah tindakan. Jumlah sapi yang dikadangkan tak pernah mencapai jumlah itu. Orangorang dengan budaya membiarkan sapinya lepas liar mencari rumput sulit berubah kebiasaan. Belum lagi soal keamanan sapi dan pakan yang mesti tersedia, minimal dua karung rumput gajah sehari.
Mannang nyaris putus asa. Melihat kurangnya suplai kotoran sapi, mereka membuat kesepakatan baru. Esoknya, ember demi ember datang menuangkan kotoran sapi. Tapi, tetap lebih banyak yang abai. Pasokan tahi sapi tak pernah memenuhi target. Padahal, untuk membuat aliran listrik stabil, pasokan gas mesti memenuhi standar selama empat bulan—yang hingga kini belum pernah terpenuhi.
Bangunan biogas mudah dibangun. Harapan pengorganisasian pengguna yang sulit terbangun.
Melihat pengabaian yang terus berlanjut, Mannang dan dua tetangga terdekatnya, Johan dan Iwan, belum kehabisan akal. Mereka menghadapi dua masalah utama: keamanan sapi dan pakan sapi. Mereka mengatasi dengan memasang pagar kawat duri, menghabiskan 10 gulung dan biaya 250 ribu rupiah per gulung—sumbangan Johan. Mereka juga menanam rumput gajah dalam area di sekitar kandang.
Tapi jumlah sapi tak juga bertambah.Mereka belum menyerah. Karena pasokan
listrik terbatas, para pengelola sepakat menurunkan biaya pemakaian yang mesti dibayar pengguna. Dari lima belas ribu menjadi lima ribu per bulan. Tapi tetap saja tak berubah.
Satu per satu, pengguna abai pada listrik, lampu jalan, dan lampu di rumah sendiri. Mereka mulai tak membayar iuran yang disepakati. Bagi mereka yang punya mesin genset tak begitu merasakan hilangnya listrik di rumah mereka.
Peliknya Merawat Nyala Kerjasama ISHAK SALIM
HALAMAN 18
Ini soal pelik dalam pengorganisasian penerima manfaat—merawat kerja kolektif rutin.
DUA malam lalu, ketika melintas, lampulampu menerangi ruas jalan di sekitar rumah Mannang, Johan dan Iwan. Demikian pula rumahrumah mereka. Mengapa energi listrik bisa dialirkan saat pasokan gas tak tersedia?
Saya belum tahu, Mannang belum pulang.Tapi saya melihat sebuah tabung gas elpiji
ukuran 3 kg di dekat generator. Mungkin pemantik api, mungkin juga pengganti gas methan yang diharapkan keluar dari tabung biodigester. Secara teknis hal itu bisa ditempuh, dengan biaya yang lebih besar tentunya.
Dalam galau saya coba menengok dua kubah yang menjadi bagian utama instalasi ini.
Tapi, penutup kubah pembuangan itu terbuka. Air hujan nyaris memenuhinya dan banyak jentik nyamuk. Padahal keduanya dapat mengurangi kualitas slurry (ampas cair). Dan bila kubah pembuangan nyaris dipenuhi air hujan, maka biodigester akan kelebihan air.
Ampas tahi sapi di dalamnya pun terbilang sedikit untuk durasi beroperasinya mesin—delapan bulan.
Rupanya, alih pengetahuan dari penggagas biogas ini tak seluruhnya mengendap di kepala Mannang dan kawankawannya. Cara kerja bakteri, komposisi kimiawi dalam biodigester, dan bagaimana peralihan energi gas ke listrik, tak sepenuhnya dipahami.
KETIKA akhirnya saya bertemu Mannang, ia
bilang tabung gas plastiknya tak mengembang karena kurangnya pasokan kotoran sapi. Tapi kali ini soalnya bukan kekuarangan sapi—tiga keluarga bertetangga telah bersepakat mengandangkan sapi. Penyebabnya adalah air. Sepanjang musim kemarau tahun ini, air di kampung Lamporo sangat sulit. Untuk keperluan air bersih saja tidak memadai, apalagi untuk mengalirkan tahi sapi ke tabung biodigester.
Rentetan soal ini membatasi pasokan listrik. Hanya bisa enam rumah dalam waktu dua jam sehari. Dan sebagian besar dari 22 bola lampu jalan juga telah dilepas.
Tak mudah, memang, melepaskan ketergantungan kepada penyedia listrik berbayar. PLN atau PLS tentu bisa menyediakan dan warga tinggal membayar. Bila kedua penyedia ini belum masuk ke desa, maka ada paketpaket energi berbasis teknologi canggih seperti mesin genset berbahan bakar bensin. Lebih mahal, tapi tak perlu repot.
Untunglah, Mannang dan Johan masih menjaga api semangat mereka dengan sabar. Kini musim hujan telah datang. Air akan kembali melimpah. Itu berarti produksi gas bisa dimaksimalkan. Sebelum pamit, Mannang menyampaikan harapan kepada saya. “Tenda permanen di kandang harus segera dipasang untuk menjaga sapi dari deras air hujan dan plastik biogas terpaan angin Barat.”
Saya tak bisa berjanji. Tapi, peluang mungkin bisa datang dari pemerintah desa, jika kepala desa Tompobulu mengalokasikan dana ADD untuk kampung Lamporo. []
HALAMAN 19
SEKADAR mengenalkan teknologi “tepat guna” ke desa tentu tidak cukup. Beragam kerumitan siap menghadang.
Semua teknologi energi alternatif yang sudah diperkenalkan dalam program Sekolah Rakyat Petani (SRP) Payo Payo—biogas, kompor jarak, tungku hemat energi—agaknya belum cukup memicu warga desa untuk mengadopsinya. Penggunaannya pun tak kunjung meluas di lebih banyak rumah tangga. Semua hanya sampai pada instalasi percontohan buatan program.
Awalnya teknologiteknologi energi alternatif tersebut—kecuali kompor jarak yang memang tidak diminati—mengundang keheranan dan kekaguman, terutama biogas. Warga desa takjub, kotoran sapi bisa menyalakan api. Tapi hanya sampai di situ. Tujuan membangun kesadaran pentingnya pemanfaatan sumbersumber energi terbarukan, apalagi kemandirian energi, belum tercapai.
Beberapa dugaan bisa kita ajukan sebagai kombinasi penyebab munculnya “kegagalankegagalan” di atas. Pertama, soal konteks lokal. Biogas menghadapi masalah serupa di tiga desa, yaitu warga merasakan sulit mengandangkan sapi. Mereka tampaknya lebih nyaman menggembalakan sapi di hutan atau diliarkan di tempattempat di mana rumput tersedia. Kebiasaan mengandangkan ternak belum tumbuh, sementara mengandangkan sapi adalah syarat utama untuk memanfaatkan biogas.
Warga desa Sulawesi Selatan umumnya masih menganggap pengandangan sebagai pekerjaan ekstra—harus mengambil rumput untuk pakan sapi. Jadi untuk memperkenalkan biogas, isu kebiasaan beternak ini yang perlu dipikirkan terlebih dahulu.
Mengenai tungku hemat kayu bakar. Keluhan warga, tungku tersebut tidak cocok untuk jenis rumah panggung karena berat (terbuat dari semen dan bata), sehingga mungkin perlu diubahsesuaikan. Usulan warga adalah mencoba mengganti bahannya dengan yang lebih ringan,
sehingga cocok untuk dapur di atas rumah panggung, mungkin dengan tanah liat atau bahan lain yang lebih ringan.
Jadi diperlukan penyesuaian di sanasini yang mempertimbangkan faktor budaya, untuk mencocokkannya dengan konteks di Sulawesi Selatan. Tidak begitu saja diambil dari Jawa lalu diterapkan (semua teknologiteknologi tersebut diimpor dari Jawa melalui Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan Solo, salah satu anggota jaringan INSIST).
Kedua, proses pengorganisasian warga. Seperti yang terjadi di Lamporo, ternyata proses persiapan warga, pengorganisasian, perlu dituntaskan terlebih dahulu. Harus diakui bahwa kesepakatankesepakatan yang dicapai di Lamporo terkait pembangunan dan pengoperasian biogas listrik mungkin bukan merupakan konsensuskonsensus yang dibangun antar warga, atau benarbenar diterima oleh seluruh warga, sehingga sebagian warga lalai dengan kesepakatankesepakatan tersebut. Instalasi biogas dibangun terburuburu, tanpa melalui rangkaian pembicaraan antar warga; hanya ditentukan bahwa biogas listrik harus terbangun saat itu juga sebelum melewati proses pengorganisasian warga yang memadai.
Energi Alternatif, Pelengkap Belum Pengganti KARNO B. BATIRAN
Kasus serupa terjadi pada biogas di desa Soga. Tempat pembangunan instalasi biogas ditentukan tanpa pengkajian yang memadai. Misalnya apakah rumah tangga tempat instalasi dibangun sudah tepat—punya tradisi keluarga sebagai peternak, letaknya lumayan strategis sebagai tempat belajar, warga di sekitarnya bersedia mendukung.
Setelah dibangun pun proses mengorganisir warga tidak berlanjut, fasilitas itu malah “ditinggalkan” begitu saja. Walhasil, biogas yang terbangun tidak menjadi tempat atau sarana belajar penggunaan energi alternatif, seperti tujuan ideal program.
Ketiga, soal inisiatif dan kebutuhan. Teknolo
Ada harapan berlebih terhadap ener-gi alternatif menjadi pengganti energi fosil. Padahal setidaknya saat ini, baru bisa sampai pada taraf melengkapi penggunaan energi fosil.
HALAMAN 20
tersebut belum begitu dibutuhkan. Tompobulu masih dalam kawasan hutan, BonneBonne dikelilingi ribuan pohon kelapa, Soga dipenuhi rantingranting pohon kakao mati, membuat warga belum merasa perlu mengadopsi tungku hemat kayu bakar atau kompor jarak.
Program pemerintah membagibagikan gas elpiji 3 kg semakin memudahkan warga desa menggunakan kompor gas elpiji, jauh lebih terjangkau dari sebelumnya. Daripada bersusah payah dengan teknologi energi alternatif, yang mengharuskan perubahan kebiasaan, serta dalam kadar tertentu menambah beban pekerjaan, lebih baik menggunakan kompor dan tabung gas elpiji. Jauh lebih gampang dan praktis. Tinggal tukar tabung, sambung lalu klik, nyala.
Keempat, melihat lebih dalam, tampaknya ada harapan berlebih terhadap energi alternatif, bahwa energi alternatif benarbenar bisa langsung menggantikan penggunaan energi fosil. Padahal kenyataannya energi alternatif, setidaknya saat ini, baru bisa sampai pada taraf melengkapi, belum bisa benarbenar menggantikan penggunaan energi fosil.
Soalnya, harapan berlebih cenderung mudah menimbulkan kekecewaan. Sehingga saat muncul hambatan, besar maupun kecil, warga cenderung dengan mudah kembali berpaling menggunakan energi fosil, yang memang jauh lebih siappakai dan praktis—dan mereka jauh lebih terbiasa dengan itu.
KURANGNYA perhatian terhadap dugaandugaan di atas—terutama di pihak fasilitator desa SRP Payo Payo, membuat promosi teknologiteknologi alternatif bisa dikatakan masih jauh dari berhasil. Apalagi jika menilik kembali tujuan besar melepaskan ketergantun
gan warga desa dari energi fosil.Teknologiteknologi yang dibawa ke desadesa
tidak selalu tepat, seperti pada kasus kompor jarak. Digester biogas permanen, walau sebagian masih berfungsi, tetapi tidak dapat dengan mudah diadopsi oleh warga desa lain (pertimbangan biaya dan kerumitan konstruksinya, serta kerepotan dengan pekerjaan tambahan yang timbul). Sementara biogas plastik masih sangat rentan rusak.
Biogas memang bisa menghemat pengeluaran energi rumah tangga, mengurangi kerepotan menjagai kompor yang menggunakan tungku kayu bakar, serta mengurangi pengeluaran pupuk. Tapi rupanya, semua keuntungan itu belum cukup untuk membujuk warga mengadopsinya secara luas dan/atau berkelanjutan.
Meski demikian, tampaknya masih ada harapan.Di tiga desa, semua rumah tangga di mana instalasi dibangun mengaku senang. “Kami senang dengan biogas dan hanya terjadi beberapa masalah kecil dengan instalasi,” kata mereka.
Selain itu, sudah lumayan banyak warga di tiga desa tersebut memiliki keterampilan membuat biogas, baik permanen apalagi plastik. Ini mungkin menjadi bagian program yang berhasil, dan memang salah satu tujuan program adalah mentransfer pengetahuan dan keterampilan teknologi energi alternatif ke warga desa.
Beberapa warga lain juga telah menyatakan ketertarikan terhadap biogas. Jadi kemungkinan biogas dapat menyebar luas belum pupus. Masih ada harapan.
Memang butuh kerja lebih keras untuk memperkenalkan lebih luas teknologiteknologi tersebut, sembari membenahi kelemahankelemahan yang menjadi penyebab tidak tercapainya tujuan yang diharapkan. Agar biogas tidak lagi, sekali menyalakan api, sudah itu mati. Semoga! [].
giteknologi tersebut dibawa dari luar, apalagi melalui proses memadai untuk membuatnya dianggap relevan dan perlu bagi warga. Ini menjadi salah satu sebab kurangnya inisiatif untuk mengadopsi paketpaket teknologi energi alternatif tersebut.
Faktor lain, semisal masih melimpahnya kayu bakar, membuat warga desa menganggap teknologi
Recommended