View
29
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
Presentasi Kasus Neuro-onkologi
Rabu, 4 Juni 2015 pukul 13.30 WIB
ASPEK DAN TINJAUAN KLINIS NYERI KEPALA PADA
SOL INTRA KRANAL
Penyaji : dr. Ahmad Irwan Rusmana
Pembimbing : Dr. dr. Tiara Aninditha, Sp.S(K)
Narasumber : Prof. dr. Teguh A.S. Ranakusuma, Sp.S(K)
Dr. dr. Tiara Aninditha, Sp.S(K)
Oponen : dr. Andriani Putri Bestari
dr. Prima Heptayana Nainggolan
Komentator : dr. Teuku Reyhan Gamal
Moderator : dr. Andira Larasari
Departemen Neurologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Juni 2015
1
BAB I
PENDAHULUAN
Nyeri kepala dapat merupakan salah satu gejala yang pertama kali muncul pada tumor
otak. Secara keseluruhan hampir 50 – 80% pasien yang didiagnosis sebagai tumor otak
diketahui mengeluhkan adanya sakit kepala.1 Diketahui 30-60% dari keseluruhan Tumor
Otak diketahui mengeluhkan nyeri kepala sebagai gejala awal yang diikuti oleh munculnya
defisit neurologis yang lain. Dan menurut pfund et al dalam penelitiannya menyebutkan 70%
dari keseluruhan tumor otak metastasis mengeluhkan timbulnya nyeri kepala sebagai gejala
awal2
Nyeri kepala sendiri muncul dengan berbagai karakteristik tergantung kepada
berbagai faktor, diantaranya onset, lokasi, kualitas nyeri, kuantitas nyeri dan gejala penyerta
lainnya.1,3,4 Karakteristik klinis yang sangat beragam tersebut menjadi salah satu tantangan
sendiri untuk mengenali dan mendiagnosis adanya suatu tumor otak ataupun kelainan
neurologis lainnya2. Karena tidak jarang beberapa tumor otak muncul hanya dengan gejala
berupa nyeri kepala dengan gejala yang khas. Dilaporkan sebuah kasus, seorang perempuan
usia 38 tahun dengan adanya nyeri kepala sejak 3 bulan sebelum masuk rumah sakit. yang
mengarahkan diagnosis pada suatu lesi desak ruang intrakranial. Temuan dikonfirmasi
dengan MRI Kepala dengan kontras yang menunjukan lesi ekstra-aksial pada parietal kanan
dengan perifokal edema luas dan talamus kanan yang sugestif kearah metastasis.
Dengan tingkat insidensi yang tinggi sebagai penanda awal dari adanya nyeri kepala.
Diharapkan dengan gejala khas tersebut dapat menjadi acuan sebagai penegakan diagnosis
yang cepat dan tepat dalam menentukan langkah diagnostik dan tata laksana selanjutnya.
2
Selain itu penanganan nyeri kepala yang baik dan komprehensif tersebut diharapkan dapat
mempertahankan kualitas hidup pasien kearah yang lebih baik.
3
BAB II
ILUSTRASI KASUS
Seorang wanita bernama Ny. H usia 38 tahun datang dengan keluhan utama nyeri
kepala yang memberat sejak 3 bulan sebelum masuk rumah sakit. Tiga bulan sebelum masuk
Rumah Sakit, pasien mulai mengeluh nyeri kepala semakin memberat, nyeri kepala dirasakan
seperti diikat dan terus menerus. Frekuensi nyeri kepala sampai dua hingga tiga kali
perminggu. Nyeri kepala muncul dan memberat apabila pasien beraktifitas berlebih. Nyeri
kepala dirasakan pada kepala bagian tengah. Pasien berobat ke klinik 24 jam, saat itu pasien
mendapat obat nyeri kepala berupa parasetamol. Nyeri kepala berkurang dengan minum
parasetamol tetapi tidak sampai hilang sama sekali.
Kurang lebih satu bulan sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluh nyeri kepala
semakin memberat. Kualitas nyeri apabila dianalogikan ke dalam VAS (Visual Analog Scale)
bisa mencapai sepuluh. Apabila nyeri kepala muncul, pasien bisa hingga menangis kesakitan.
Nyeri kepala dirasakan mulai timbul pada seluruh bagian kepala. Frekuensi nyeri kepala
menjadi semakin sering dan bisa muncul tiap hari. Nyeri kepala memberat apabila pasien
batuk dan mengedan Kelemahan sisi kiri mulai dirasakan. Pasien mengeluh sulit untuk
mencengkram barang dan menyeret apabila berjalan. Pandangan ganda mulai dirasakan
sehingga pasien mengeluh timbul pusing berputar apabila membuka mata terlalu lama.
Pusing berputar tidak terpengaruh oleh perubahan posisi dan kadang dirasakan seperti
bergoyang seperti ada diatas kapal.
Sejak satu minggu sebelum masuk rumah sakit, nyeri kepala semakin sering dan
memberat. Nyeri dirasakan sepanjang hari disertai dengan muntah, apabila nyeri sedang
berlanngsung. Muntah dikatakan tidak pernah muncul apabila pasien sedang dalam kondisi
4
tidak nyeri. Saat itu VAS dikatakan fluktuatif antara 8 hingga 10. Frekuensi nyeri kepala
dikatakan bisa sampai sepanjang hari. Nyeri kepala apabila sedang kambuh dapat
menyebabkan pasien terbangun dari tidur dan memberat apabila pasien batuk dan mengedan.
Tangan dan kaki kiri Sulit untuk digerakan lagi. Pasien kemudian berobat ke RS Islam
Jakarta dikatakan terdapat tumor otak, pasien kemudian mendapatkan terapi dexametason
3x0.5 mg, parasetamol 3x500mg, fenitoin 3x100 mg, omeprazole 1x20 mg dan laxadine 3x10
cc sebelum pasien kemudian dirujuk ke RSCM.
Pada riwayat penyakit dahulu pasien memiliki riwayat nyeri kepala sejak gadis. Pasien
mengeluh nyeri kepala muncul apabila pasien kelelahan dengan frekuensi 1-2 kali sebulan.
Nyeri kepala dirasakan berdenyut dengan lokasi yang berpindah – pindah. Nyeri kepala
berkurang apabila pasien beristirahat. Pasien kemudian berobat dikatakan terdapat migraine
dan setelah itu pasien diberikan parasetamol. Nyeri kepala berkurang hingga hilang sama
sekali. Dan setelah itu pasien rutin mengkonsumsi parasetamol apabila nyeri kepala muncul.
Riwayat Hipertensi, Diabetes Mellitus, penyakit jantung, penyakit paru, keganasan
ditempat lain, stroke disangkal. Riwayat penyakit keluarga tidak didapatkan riwayat keluhan
serupa atau keganasan. Pasien saat ini sudah menikah dengan 2 orang anak. Pasien sehari-
hari sebagai ibu rumah tangga. Pembiayaan rumah sakit menggunakan Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN).
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 110/60 mmHg, nadi 80 kali per
menit, nafas 20 kali per menit, suhu 36oC. Hasil pemeriksaan fisik untuk status generalis,
dalam batas normal. Untuk pemeriksaan status neurologis didapatkan pasien compos mentis
dengan GCS E4M6V5, pupil bulat isokor diameter 3 mm/3 mm, refleks cahaya langsung dan
tak langsung positif bilateral.Tanda rangsang meningeal dan dari pemeriksaan nervus
cranialis didapatkan hasil Parese nervus VI Bilateral, Paresis N.VII sinistra sentral. Pada
pemeriksaan motorik didapatkan hemiparesis sinistra dengan kekuatan sisi kanan 5 untuk
5
semua segmen dan sisi kiri 1 untuk semua segmen. Refleks fisiologis baik dan refleks
patologis Babinsky negatif bilateral. Sensori dan otonom baik, funduskopi didapatkan papil
bulat, batas kabur, hiperemis, aa:vv 1:3, tidak tampak perdarahan dan eksudat, kesan
papiledema okuli dekstra dan sinistra.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan kesan leukositosis disertai disertai adanya
peningkatan nilai dari tumor marker Ca-15-3, Ca-199, CEA, dan cyfra. Dengan nilai
terlampir pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1.Hasil Laboratorium (RSCM, 14 April 2015)
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Hb 15.6 12-14 PT 9.8/11.2
Hematokrit 45.3 37-43 APTT 25.0/30.9
Leukosit 16.300 5000-10000 pH 7.467 7,35-7,45
Trombosit 422.000 150000-400000 pCO2 28.0 35-45
Ureum 24.0 0-49 paO2 101.9 75-100
Creatinin 0.64 0,6-1,2 Saturasi 97.7 95-98
Natrium 140 132-147 HCO3 20.5
Kalium 4.6 3,3-5,4 Fibrinogen 289
Klorida 101 94-111 D-Dimer 0.2 <0.3
SGPT 17 <27 Ca-15-3 26.3 <25.0
SGOT 37 <27 Ca 199 107.6 <27.0
GDS 134 <200 CEA 29.4 <0.46
Cyfra 8.2 <3.3
6
Pasien dilakukan pemeriksaan MRI Kepala dengan kontras pada tanggal 11 April 2015
di RS Islam Jakarta dengan hasil tampak lesi isodens pada T1 dilobus parietal kanan ukuran
3x3 cm disertai perifokal edema luas, dan lesi hipodens di thalamus kanan, pada T2 lesi
menjadi hiperintens. Pada pemberian kontras lesi enhacement. ventrikel III dan lateral
terdesak, tampak deviasi midline kekiri. Dengan kesimpulan Tumor cerebri lobus parietal
kanan dengan perifokal edema luas yang mendesak ventrikel III dan lateral kanan, disertai
adanya metastase di talamus kanan. ( gambar 2.1 )
Gambar 2.1.MRI Kepala dengan Kontras (11 April 2015 di RS Islam Jakarta) – (A) dan (B)
Axial T1 tanpa dan dengan kontras, (C) Axial T2 dengan kontras, (D) Axial FLAIR, (E) dan
(F) Sagital T1 tanpa dan dengan kontras, (G) Koronal T1 dengan kontras
7
Pasien dilakukan pemeriksaan MSCT Scan Thorax di RSCM pada tanggal 17 April
2015 didapatkan kesimpulan massa paru kanan mengenai segmen 7,9,10 paru kanan suspek
maligna, Tidak tampak pembesaran kelenjar limfe mediastinum dan hillus, Multipel lesi
hipodens kecil di lobus kanan hepar dd/kista, metastasis
Gambar 2.2. MSCT Scan Thorax dengan kontras ( RSCM 17 April 2015 )– (A) dan (B)
Axial tanpa dan dengan kontras, (C) Koronal T1 dengan kontras
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, pasien
didiagnosis dengan nyeri kepala sekunder, parese nervus VI bilateral, paresis N.VII sinistra
sentral, hemiparesis sinistra e.c lesi desak ruang intrakranial ekstra-aksial pada lobus parietal
kanan dan intra axial pada talamus kanan et causa suspek metastasis. Lesi desak ruang
intrakranial intra-aksial et causa suspek metastasis. Massa paru kanan et causa suspek
malignancy. Diagnosis klinis pada pasien ini adalah nyeri kepala sekunder, hemiparesis
8
sinistra, parese nervus VI bilateral, paresis N.VII sinistra sentral, papiloedema ODS.
Diagnosis topis pada daerah lobus parietal kanan. Diagnosis etiologis lesi desak ruang dan
diagnosis patologis ialah neoplasma.
Selama pengobatan di RSCM pasien mendapatkan terapi berupa IVFD NaCl 0.9% per
12 jam, Omeprazole 2x40 mg i.v, Fenitoin 3x100 mg i.v tapering off, Dexamethason dosis
awal loading 10 mg diikuti 4x10mg tapering off tiap 5 hari, laxadine 3x5 mg,dan untuk
mengatasi nyeri kepala pasien diberikan terapi berupa Ketorolac 3x30 mg, yang pada hari ke
5 pengobatan diganti dengan paracetamol 3x1000 mg i.v.
Nyeri kepala pasien mulai berkurang setelah pemberian terapi, tetapi tidak sampai
hilang sama sekali. Saat itu pasien mengatakan VAS 5 apabila nyeri kepala sedang muncul.
Nyeri dirasakan seperti diikat dan muntah dirasakan mulai berkurang. Kelemahahan pada alat
gerak sebelah kiri dirasakan mulai membaik pasien mulai mengatakan bisa menggerakan
tangan dan kakinya. Kelemahan pandangan dobel yang diikuti pusing berputar masih
dirasakan pasien.. Pada pemeriksaan status neurologis didapatkan pasien compos mentis
dengan GCS E4M6V5, pupil bulat isokor diameter 3 mm/3 mm, refleks cahaya langsung dan
tak langsung positif bilateral.Tanda rangsang meningeal dan dari pemeriksaan nervus
cranialis masih didapatkan Parese nervus VI Bilateral, Paresis N.VII sinistra sentral. Pada
pemeriksaan motorik didapatkan hemiparesis sinistra dengan kekuatan sisi kanan 5 untuk
semua segmen dan sisi kiri 3 untuk semua segmen. Refleks fisiologis baik dan refleks
patologis Babinsky negatif bilateral. Sensori dan otonom baik.
Pada Neuro-Onkologi meeting yang dilakukan pada tanggal 16 April 2015, disetujui
bahawa lesi berupa massa ekstra aksial parietal kanan, dengan lesi edema serebri cukup luas
yang diikuti adanya lesi menyangat kontras intraaksial di basal ganglia kanan yang sugestif
metastasis. Sehingga oleh TS Bedah saraf pasien direncanakan untuk kraniotomi dekompresi
untuk massa intracranial ekstraaksial, yang dilanjutkan biopsy untuk didapatkan hasil
9
pemeriksaan histopatologi dan imunohistokimia apabila diperlukan. Untuk massa yang
ditalamus akan dilakukan tindakan RadioTherapy apabila sudah didapatkan hasil Sitologi.
Pada tanggal 18 April 2015, pasien dilakukan tindakan kraniotomi dekompresi,
jaringan tumor kemudian dikirim ke bagian patologi anatomi untuk dilakukan pemeriksaan
sitologi. Pada evaluasi 2 hari setelah operasi, pasien mengatakan nyeri kepala sudah tidak
dirasakan. Pasien mengatakan VAS saat itu sudah 1-2. Pandangan ganda sudah tidak
dirasakan lagi. Pasien juga mengatakan kelemahan pada tubuh sebelah kiri sudah jauh
berkurang. Pasien sudah bisa mencengkram barang dengan baik. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan tekanan darah 100/70 mmHg, nadi 70 kali per menit, nafas 16 kali per menit, suhu
36oC. Status generalis, dalam batas normal. Untuk pemeriksaan status neurologis didapatkan
pasien compos mentis dengan GCS E4M6V5, pupil bulat isokor diameter 3 mm/3 mm, refleks
cahaya langsung dan tak langsung positif bilateral.Tanda rangsang meningeal dan dari
pemeriksaan nervus cranialis didapatkan hasil Paresis N.VII sinistra sentral ( slight ). Pada
pemeriksaan motorik didapatkan hemiparesis sinistra dengan kekuatan sisi kanan 5 untuk
semua segmen dan sisi kiri 4+ untuk semua segmen. Refleks fisiologis normal pada keempat
ekstrimitas dan refleks patologis Babinsky negatif bilateral. Sensori dan otonom baik,
funduskopi didapatkan papil bulat, batas tegas, warna jingga, aa:vv 2:3, tidak tampak
perdarahan dan eksudat, kesan normofundus okuli dekstra dan sinistra.
Pasien kemudian dilakukan pemeriksaan CT-Scan brain dengan kontras ulang untuk
evaluasi hasil operasi pada tanggal 19 April 2015 dan didapatkan hasil dibandingkan MRI
kepala dengan kontras 11 April 2015, saat ini tidak tampak jelas massa tumor di lobus
parietal kanan yang terlihat pada MRI sebelumnya dengan kesan perbaikan, perifokal edema
luas di lobus frontoparietoocipital kanan relatif status quo, lesi dengan ring enhancement di
thalamus kanan relatif status quo dengan differensial diagnosis metastasis, herniasi di
10
subfalcine sejauh 1.3 cm ke kiri, relatif status quo dan diskontinuitas os parietal kanan
disertai subgaleal hematom disekitarnya.
Gambar 2.3. MSCT Scan Brain dengan kontras ( RSCM 19 April 2015 )– (A) dan (B) Axial
tanpa dan dengan kontras, (C) Koronal dengan kontras (D) Sagital dengan kontras
Hasil pemeriksaan histopatologi jaringan otak didapatkan hasil keping – keping
jaringan massa tumor ganas yang membentuk struktur glandular, trabekular, dan kribiform,
umumnya berisi musin kebiruan, sel tumor berinti pleimorfik, hiperkromatik, sebagian berinti
vesikuler, kromatin kasar dengan anak inti. Sitoplasma banyak eosinofilik, sebagian banyak
berisi musin mendesak inti sel ke tepi memberikan gambaran menyerupai cincin/ signet ring
cell. Mitosis ditemukan. Tampak sedikit parenkim otak sembab. Sehingga ditarik kesimpulan
histologik menunjukan anak sebar adenocarsinoma berdiferensiasi baik.
11
Gambar 2.4. Histopatologi Jaringan Otak dengan pewarnaan HE ( RSCM 22 April 2015 )–
(A) pembesaran 4X dan (B) Dan (C) pembesaran 10X (D) pembesaran 40x
Pasien kemudian disarankan dilakukan radioterapi untuk mengatasi lesi intrakranial
intraaksial pada talamus kanan. Prognosis pada pasien untuk ad vitam adalah dubia,ad
functionam ialah dubia ad bonam, dan ad sanationam dubia ad malam.
12
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Epidemiologi nyeri kepala
Insiden nyeri kepala pada pasien dengan tumor otak sangat bervariasi, mulai dari 36%
hingga 80% yang bergantung pada lokasi (Tabel 3.1) dan tipe tumor (Tabel 3.2). Nyeri
kepala dapat menjadi gejala awal yang didapatkan pada pasien dengan tumor otak, yaitu pada
sebanyak 30-60% kasus atau muncul pada sepanjang perjalanan penyakitnya pada 60-70%
kasus1.
Tabel 3.1.Frekuensi Nyeri Kepala pada Tumor Otak Berdasarkan Lokasi1
Tabel 3.2.Frekuensi Nyeri Kepala pada Tumor Otak Berdasarkan Tipe Tumor1
Berdasarkan studi prospektif yang dilakukan oleh Forsyth dan Posner, nyeri kepala
didapatkan pada 48% pasien dengan tumor otak, baik tumor primer maupun sekunder. Nyeri
kepala tampak lebih sering dikeluhkan pada pasien dengan tumor di area infratentorial
dibandingkan dengan tumor supratentorial1,2.
13
Nyeri kepala juga merupakan keluhan yang banyak ditemukan pada pasien dengan
keganasan sistemik, yakni sebanyak 15,4% kasus. Nyeri kepala dapat disebabkan oleh faktor
struktural maupun non-struktural. Pada penyebab struktural, dihubungkan dengan adanya
metastasis (39%), antara lain metastasis parenkimal dan leptomening (21%), metastasis basis
kranii (9%), perdarahan intrakranial (6%), metastasis servikal atas (2%). Penyebab non-
struktural sebanyak 61% meliputi demam (38%), migrain (13%), nyeri kepala tipe tegang
(4%), efek samping terapi (3%), dan nyeri kepala pascatindakan lumbal pungsi (2%). Angka
kejadian nyeri kepala pada metastasis sistem saraf pusat sendiri mencapai 50% kasus, dengan
metastasis leptomening menyebabkan nyeri kepala pada sebanyak 30-75% pasien1,4,5.
Patofisiologi nyeri kepala pada tumor otak
Nyeri kepala secara umum dibagi dua berdasarkan penyebabnya, yaitu nyeri kepala
primer dan nyeri kepala sekunder. Nyeri kepala primer merupakan nyeri kepala yang tidak
disebabkan oleh adanya penyakit yang mendasarinya atau adanya masalah struktural. Nyeri
kepala yang termasuk dalam klasifikasi ini contohnya adalah adalah nyeri kepala migrain,
nyeri kepala tipe tegang (tension type headache), dan nyeri kepala klaster6,7,8.
Nyeri kepala sekunder adalah nyeri kepala yang disebabkan oleh adanya suatu proses
penyakit yang mendasari3,9. Berikut ini adalah tanda-tanda yang dapat menandakan suatu
nyeri kepala sekunder (1) Nyeri kepala yang persisten serta mencapai mencapai intensitas
maksimal dalam beberapa detik atau menit setelah timbulnya nyeri pertama; (2) nyeri kepala
yang dirasakan pertama kali dan tidak adanya nyeri kepala serupa di masa lalu; (3) nyeri
kepala yang disertai dengan adanya infeksi konkomitan yang dapat menjadi sumber atau
fokus infeksi; (4) nyeri kepala yang disertai perubahan perilaku, penurunan kesadaran, atau
kejang; (5) nyeri kepala yang dirasakan memberat dengan aktifitas; (6) nyeri kepala onset
baru atau nyeri kepala yang semakin memberat pada pasien di atas umur 50 tahun; (7) nyeri
14
kepala pada penderita HIV atau pasien immunocompromised; (8) nyeri kepala yang disertai
dengan gangguan penglihatan. Pada pemeriksaan fisik, adanya defisit fokal neurologis,
penurunan kesadaran, meningismus, dan papiledema disertai dengan adanya riwayat nyeri
kepala seperti di atas memerlukan perhatian lebih lanjut untuk diinvestigasi lebih
mendalam.3,9
Saat ini terdapat beberapa teori yang menerangkan bagaimana terjadinya nyeri kepala
pada tumor otak, diantaranya :
a. Traction Hypothesis1,2,3,4,10
Nyeri kepala pada tumor otak berhubungan dengan adanya traksi dan pergeseran
struktur peka nyeri di intrakranial, seperti pembuluh darah, nervus kranialis, dan
duramater. Oleh karena itu, keluhan ini sangat terkait dengan durasi penyakit, laju
pertumbuhan tumor, mekanisme kompensasi otak, dan lokasi tumor. Tumor low grade
di area supratentorial lebih banyak menyebabkan kejang dibandingkan nyeri kepala,
yang mungkin dapat dijelaskan oleh adanya adaptasi struktur peka nyeri terhadap
pertumbuhan tumor. Glioma maligna yang tumbuh dengan cepat akan menyebabkan
nyeri kepala pada lebih dari 50% pasien yang kembali dikaitkan dengan durasi yang
singkat yang dimiliki oleh otak untuk beradaptasi. Tumor yang menyebabkan obstruksi
aliran cairan serebrospinal (CSS) seperti tumor infratentorial juga sering kali
menimbulkan nyeri kepala.
Parenkim otak tidak memiliki serabut saraf nyeri sehingga tidak menimbulkan
sensasi nyeri.Oleh karena itu, nyeri kepala pada pasien dengan tumor otak disebabkan
oleh stimulasi pada struktur peka nyeri intrakranial, baik secara langsung maupun tidak
langsung.Struktur peka nyeri meliputi arteri serebral pada basal otak, arteri dura, sinus
15
venosus, selaput dura pada basal otak, nervus trigeminus, glosofaringeal, vagus, dan
servikal atas. (Gambar 3.1)
Gambar 3.1.Struktur Peka Nyeri Intrakranial11
Seiring dengan pertumbuhan ukuran tumor maka akan menimbulkan tekanan
pada struktur-struktur tersebut, sehingga muncul rasa nyeri. Pada tumor yang tumbuh
lambat, nyeri kepala lebih jarang timbul karena struktur peka nyeri telah beradaptasi
secara perlahan terhadap peningkatan tekanan tersebut. Hal ini melibatkan struktur
inhibitor nyeri dan terdapat peranan mekanisme opioid dan non-opioid yang belum
sepenuhnya dapat dipahami.
Gambar 3.2 : Mekanisme hipotesis traksi dalam menimbulkan nyeri kepala2
16
Gambar 3.2. Jaras Struktur peka nyeri intrakranial9
b. Kompresi Nervus Cranialis ataupun Nervus Cervicalis1,2
Kompresi langsung pada saraf intra cranial (misalnya pada nervus trigeminal) dan
radikx cervical (C1 dan C2) merupakan salah satu penyebab nyeri kepala pada tumor
otak. Nyeri paroxystic akan mulai terasa saat aferen sensorik diregangkan atau
dikompresi, seperti dalam kasus neuralgia trigeminal. Pada kompresi saraf cervical,
nyeri kepala biasanya disertai oleh nyeri otot dan adanya “myofacial trigger points”,
yang diperburuk oleh gerakan leher, tekanan eksternal pada cervical bagian atas atau
regio occipital pada sisi lesi.
Apabila tumor berada dekat cervicomedullary junction, sehingga menimbulkan
penekanan pada nervus occipitalis, penekanan intra medular yang luas atau perdarahan
setinggi Vertebra Cervical C1, dapat menimbulkan gejala berupa “mimic occipital
17
neuralgia” (kondisi yang ditandai oleh rasa nyeri kronis di leher bagian atas, belakang
kepala, dan di belakang mata).
Nyeri yang terlokalisasi di belakang kepala sampai atau di belakang mata,
memiliki kesamaan karakteristik dengan nyeri kepala cervikogenik yang disebabkan
oleh “muscle spasm” sehingga penting untuk mendifferensiasi antara nyeri kepala
cervicogenik atau nyeri kepala akibat brain tumor. Gejala dari nyeri kepala
cervikogenik sendiri meliputi (1) nyeri dimulai dari regio occipital dan kemudian secara
progresif menjalar hingga keatas kepala (2) nyeri dapat terstimulasi oleh adanya
gerakan kepala dan leher (3) ditandai dengan adanya kelemahan di region suboccipital
c. Sensitisasi Perifer2,12,13
Pada tekanan intra cranial yang menimbulkan iritasi berkepanjangan pada
struktur peka nyeri dapat menimbulkan dilepaskannya neuropeptide proinflamasi pada
lokasi yang teriritasi, sehingga menyebabkan terjadinya edema vaskuler akibat
peningkatan permeabililitas vaskuler dan menimbulkan konsekuensi berupa infiltrasi
dari sel-sel imun.
Reaksi antridomik ini sendiri dikenal sebagai inflamasi neurogenik, sebuah
fenomena yang diketahui disebabkan dilepaskannya substansi P dan “calcitonin gene
related peptide”(CGRP), yang diduga sebagai dasar dari timbulnya nyeri kepala
refrakter. Substansi P dan CGRP memfasilitasi ekstravasasi dari plasma protein,
meningkatkan permeabilitas vaskuler, dan degranulasi dari sel mast, yang masing-
masing berkontribusi pada sensitisasi perifer dari serat nosiseptif.
Jika hal ini berlangsung lama. Inflamasi neurogenik dapat menyebabkan
timbulnya perubahan struktural duramater yang akan menyebabkan nyeri kepala
bertahan hingga tekanan intracranial berkurang. Walaupun proses inflamasi neurogenik
18
memerankan peran penting dalam menyebabkan nyeri kepala idiopatik, hingga saat ini
belum jelas persentase patofisiologi nyeri kepala tipe ini.
Gambar 3.3 : mekanisme dari Sensitisasi perifer13
d. Sensitisasi Sentral2
Selama beberapa dekade terakhir, patofisiologi nyeri kepala pada tumor otak
telah difokuskan pada terjadinya iritasi struktur peka nyeri intra kranial sehingga akhir
–akhir ini mulai dikembangka adanya teori lain yaitu adanya sensitisasi sentral pada
neurons trigeminovaskular orde ke dua dan respon dari gangguan pada proses modulasi
pada “mesensefalic medulotary neurons”. Kedua proses tersebut saat ini dianggap
sebagai penyebab dari progresiitas dan pemeliharaan nyeri kepala yang
berkepanjangan. Iritasi yang berkepanjangan dari struktur intracranial dapat
menimbulkan sensitisasi pada neuron convergent trigeminal. Yang kemudian akan
menginduksi 1) Pengurangan ambang untuk aktivasi nosiseptor, (2) Peningkatan respon
oleh stimulasi aferen , dan (3) pembesaran bidang reseptif perifer.
19
Gambar 3.4. Gambaran keempat teori penyebab nyeri kepala
Berdasarkan onsetnya nyeri kepala sendiri diklasifikasikan kedalam 4 pola yang
berbeda. Yaitu1 :
a. Acute Headache ( kurang dari 1 bulan )
Biasanya berat dan muncul tanpa ada gejala nyeri kepala sebelumnya.
Patofisiologinya sendiri berhubungan dengan adanya traksi akut dari berbagi
jaringan penyokong otak yang disebabkan oleh pertumbuhan sel tumor yang
cepat, peritumoral edema, intratumoral hemorrhage, atau peningkatan tekanan
intracranial. Gejala neurologis bisa tidak terlihat pada 30% pasien.1,2,14
b. Acute reccurent Headache ( 1 - 6 bulan )
Nyeri kepala ini hilang timbul selama periode 6 bulan, dimana hampir sebagian
besar tumor otak (85%) didiagnosis dalam waktu tersebut. Nyeri kepala jenis ini
biasanya menjadi samar dan terdapat respon yang membaik dengan penggunaa
terapi kortikosteroid. Pasien biasanya datang ke dokter bukan disebabkan oleh
derajat keparahannya tetapi lebih disebabkan oleh nyeri kepala yang persisten.
Banyak hal yang menyebabkan acute reccurent headache, dimana biasanya tumor
jinak mendominasi penyebabnya. Beberapa faktor yang dapat memprediksi tumor
otak pada fase ini antara lain adalah: (1) frekuensi nyeri kepala, (2) jenis nyeri
20
kepala, (3) lokasi nyeri kepala, (4) waktu dan durasi nyeri kepala, (5) keparahan
nyeri kepala, (6) terkait tanda-tanda dan gejala-gejala neurologis, dan (7) tidak
ada faktor lain yang mengganggu seperti stres, masalah keluarga, atau depresi.
1,2,14
c. Chronic Progresive Headache
Nyeri kepala jenis ini didefinisikan oleh pasien sebagai nyeri kepala yang secara
konsisten memberat atau terdapat perubahan karakter, intensitas, dan lokasi
selama jeda waktu tersebut. Dalam suatu case series . 76% pasien didiagnosis
sebagai nyeri kepala progresif dan hanya 17% yang didiagnosis sebagai non
progresif. Progresifitas dari nyeri kepala diasosiasikan dengan adanya edema
serebri, midiline shift ataupun adanya hidrosefalus. Pasien dengan riwayat nyeri
kepala sebelumnya juga juga memiliki progresi dan symptom yang memburuk
pada semua kasus. 1,2,14
d. Non Chronic Progresive Headache
Pada jenis nyeri kepala tipe ini tidak terdapat peningkatan atau perburukan gejala
yang berkaitan dengan onset, durasi dan kualitas. Ini tidak biasa pada pasien
tumor menunjukan gejala ini ini keculi pada pasien dengan very-slow-growing
meningioma. Dan kurang dari 10% pasien dengan tumor otak metastasis,
astrositoma atau glioblastoma memiliki gejala nyeri kepala kronik non
rogresif.1,2,14
Edema serebri pada tumor otak15,16
Edema yang berhubungan dengan tumor otak memainkan peran utama dalam
menentukan gejala yang disebabkan oleh tumor otak. Edema tidak hanya menyebabkan efek
massa tambahan, tetapi sering kali memili efek yang melebihi massa disebabkan oleh tumor
itu sendiri dan mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial, juga menyebabkan gangguan
21
neurologis dengan mengganggu homeostasis jaringan dan mengurangi aliran darah lokal.
Semua lesi fokal, termasuk tumor primer dan metastasis, abses, encephalitides, dan
radionecroses, menghasilkan edema vasogenik.
Edema yang berhubungan dengan tumor otak dianggap vasogenik dan dengan demikian
secara patofisiologi mirip dengan edema karena cedera otak atau abses otak. Gangguan utama
adalah pada tingkat mikrovaskulatur tersebut. Secara sederhana, bangunan ketat yang
membentuk BBB melindungi ruang interstitial otak dari ekstravasasi plasma dalam kondisi
normal, karena tidak ada sistem limfatik dalam otak. Pada edema vasogenik, permeabilitas
vaskuler meningkat. Dalam kondisi normal "sink effect" disediakan oleh ventrikel dan cairan
serebrospinal subarachnoid untuk memungkinkan stabilisasi cairan extaseluer. "sink
effect"ini kewalahan di edema vasogenik, menyebabkan akumulasi cairan ekstraseluler.
Metastasis dan tumor otak nonglial menghasilkan faktor angiogenik yang
mempromosikan formasi kapiler dengan kelainan ultrastructural. Dalam tumor otak nonglial,
vesikel pinocytic diamati lebih sering, dan lamina basal yang lebih teratur. Tumor glial juga
kekurangan BBB normal.
Terlepas dari VEGF, faktor-faktor lain yang terlibat dalam pembentukan edema yang
berkaitan dengan tumor otak termasuk metabolit asam arakidonat dan NO. Peningkatan kadar
leukotrien C4 (dihasilkan melalui jalur lipoxygenase) telah ditemukan di GBM dan
berdekatan jaringan otak edema dalam korelasi dengan jumlah edema peritumoral. Dalam
model tikus glioma, mikroglia, yang infiltrat tumor otak, menjadi sumber utama produksi
prostaglandin E2 melalui jalut COX-2. COX-2 dan lipoxygenase diturunkan biologis aktif
mediator lipid dianggap mempromosikan tumorgenesis dan edema otak peritumoral.
NO telah diidentifikasi sebagai mediator spesifik untuk terjadinya vasodilatasi. Konsep
ini melibatkan induksi NOS isoenzim sebagai akibat dari hipoksia tumor. sedangkan edema-
modulasi peran spesifik NO di metastasis otak telah diketahii. Dalam konteks ini, tampak
22
bahwa VEGF diinduksi pembentukan edema dapat terjadi melalui sintesis dan pelepasan NO.
Zat lain vasogenik yang dapat berkontribusi pada patofisiologi edema terkait tumor yang
serotonin, tromboksan, dan platelet-activating factor.
Sitokin disebut diatas diketahui kemudian menimbulkan kerusakan pada endotel yang
membentuk blood brain barrier. Sehingga cairan intravascular dan protein penetrasi ke
jaringan parenkim. Dan seketika setelah konstituen plasma melintasi penghalang, edema
menyebar; ini mungkin cukup cepat dan luas.
Tanda dan gejala nyeri kepala pada tumor otak
Hingga saat ini pola dari nyeri kepala pada pasien dengan tumor otak terdapat berbagai
tipe. Yang sering muncul adalah berupa nyeri kepala tipe tension yang terlihat pada 77%
pasien dengan tumor otak yang seringkali digambarkan seperti ditekan, nyeri tumpul, diikat
atau dengan keluhan mirip seperti nyeri kepala pada sinusitis1,2. Pada suatu case series
ditemukan 78% pasien mengeluhkan nyeri kepala yang intermiten sedangkan pada 22%
mengeluh nyeri kepala remitten atau continuous. Dari keseluruhan pasien tersebut intensitas
dari nyeri sendiri berat 37%, nyeri kepala sedang 46% dan ringan sendiri 17%2,3.
Gejala kedua yang sering terjadi ialah berupa Nyeri kepala tipe “migraine-like”, yang
dilaporkan terjadi pada 9-26% dari pasien. Nyeri kepala tipe ini dilaporkan terjadi pada 9-
26% pasien. Nyeri kepala tipe ini timbul dengan berdenyut, dan secara bertahap semakin
memberat dan disertai dengan adanya mual dan muntah tanpa disertai adanya gejala atau
tanda yang lain. Mual dan muntah sendiri muncul pada 36% pasien pada suatu case series.
Gejala nyeri kepala tipe “migraine-like” sendiri sering terjadi pada jenis tumor
intraventrikular. Gejala yang mirip dengan migraine klasik juga sering muncul pada pasien
dengan tumor otak metastasis dimana metastasis pada lobus parietal ditemukan sebagai
penyebabnya2,3,7,17.
23
Tanda dan gejala dari nyeri kepala bisa bermacam-macam, berikut ditampilkan gejala
dan tanda dari nyeri kepala yang diakibatkan oleh tumor otak yang disertai perbandingannya
dengan beberapa tumor otak tipe lain.
Migraine Tension Type Cluster Tumor Otak
Nyeri kepala bisa
terjadi kapan saja dari 4-72
jam
Nyeri kepala bisa
terjadi kapan saja dengan
durasi dari 30 menit hingga
7 hari
Frekuensi bisa 1-8
kali perhari dengan durasi
15 hingga 180 menit
Nyeri kepala
biasanya intermiten dan
biasanya berkurang dengan
preparat analgetik ringan
Unilateral dan
pulsatile (berdenyut)
Bilateral dan seperti
tertekan atau terikat (non
pulsatile)
Diasosiasikan
dengan nyeri kepala berat
pada region orbital dan
supraorbital dan atau nyeri
pada regio temporal
Dapat unilateral
ataupun bilateral tergantung
lokasi tumor dan meningkat
dengan stimulus yang
meningkatkan tekanan intra
kranial dan bisanya
frekuensi menjadi semakin
sering
Nyeri kepala bisa
ringan atau berat dan
bergantung pada aktivitas
sehari hari
Nyeri dari ringan
hingga berat dan tidak
terpengaruh oleh aktivitas
sehari hari
Serangannya hebat
sehingga menimbulkan
agitasi pada pasien
Biasanya ringan
hingga sedang dan dapat
memberat dengan cepat
pada tumor yang tumbuh
dengan cepat
Biasanya disertai
dengan timbulnya foto
ataupun fonofobia dan mal
dan muntah. Dan adanya
aura reversible.
Jarang disertai
adanya fotofobia ataupun
fonofobia. Dan nyeri kepala
tidak disertai mual dan
muntah
Diikuti dengan
gejala pada mata yaitu
timbulnya mata merah
akibat adanya injeksi
konjungtiva, lakrimasi,
hidung mampet, rhinorrhea,
keringat berlebih pada dahi
dan wajah, miosis, ptosis
dan edema pada kelopak
mata.
Biasaya timbul
aibat akibat pencetus klasik
dimana memperberat pada
pagi hari dan dan bisasanya
pasien mengalami nyeri
kepala memberat apabila
batuk dan mengedan, yang
disebabkan oleh
peningkatan tekanan intra
kranial dan atau lokasi
tumor pada struktur midline
24
otak.
Tidak dapat
dijelaskan penyebabnya.
Tidak dapat
dijelaskan penyebabnya.
Tidak disertai
adanya gejala
gastrointestinal dan tidak
diasosiasikan dengan
adanya trigger point
( seperti pada trigeminal
neuralgia)
Biasanya diikuti
dengan defisit neurologis
lain yang mengacu pada
pertumbuhan massa tumor
pada parenkim otak.
Tabel 4.1. Perbedaan antara migraine, tension Type headache, cluster dan nyeri kepala
pada tumor otak7,8,12,17
Manajemen dan tatalaksana nyeri kepala pada tumor otak
Saat nyeri timbul dapat diberikan, secara umum beberapa obat dapat diberikan sebagai
terapi awal untuk menghentikan atau mengurangi sakit yang dirasakan saat serangan muncul.
Penghilang sakit yang sering digunakan adalah:acetaminophen dan NSAID seperti aspirin,
ibuprofen, naproxen, dan ketoprofen1.
Acetaminophen efektif untuk sakit kepala sedang sampai berat dalam dosis tinggi. Efek
samping acetaminophen lebih jarang ditemukan, tetapi penggunaan dalam dosis besar untuk
waktu yang lama bisa menyebabkan kerusakan hati yang berat16.
Mekanisme kerja NSAID terbagi menjadi 2 yaitu non selektif dalam menghambat
COX-2 seperti Refecoxib dan celecoxib, ataupun tidak spesifik dan biasanya terjadi hampir
pada semua NSAID. Efek samping yang ditemukan antara lain mual, diare atau konstipasi,
sakit perut, perdarahan dan ulkus. Pengobatan kombinasi antara acetaminophen atau aspirin
dengan kafein atau obat sedative biasa digunakan bersamaan. Cara ini lebih efektif untuk
menghilangkan sakitnya, tetapi jangan digunakan lebih dari 2 hari2,18.
25
Gambar 2. Mekanisme kerja NSAID18
Selain itu penanganan penyebab nyeri sendiri, yaitu edema serebri juga perlu
diperhatikan. Saat ini terapi edema untuk tumor otak masih menggunakan kortikosteroid.
Yang diketahui telah menurunkan tingkat mortalitas dan morbiditas perioperatif. Preparat
terpilih saat ini ialah dexamethasone yang mengacu pada efek mineralokortikoid yang rendah
dibandingkan kortikosteroid yang lain. Untuk penggunaan jangka panjang, efek positif dari
dexamethasone sendiri bertolak belakang dengan efek samping merusak seperti
imunosupresi, peningkatan berat badan, masalah pencernaan, osteoporosis, miopati,
peningkatan resiko DVT dan emboli pulmonum15,16.
Mekanisme kerja kortikosteroid sendiri belum jelas hingga saat ini. Walaupun banyak
data yang menyebutkan bahwa dexamethasone diketahui menurunkan ekspresi dari VEGF
dengan mengganggu kerja VEGF pada target endothelial reseptor. Pada kultur sel
endothelial, VEGF telah menunjukan peningkatan ion Ca2+ intraselular yang diasosiasikan
dengan peningkatan pembentukan sitoskeletal dan dexamethasone diketahui bekerja untuk
menghambat proses influk ini. Selanjutnya pada pembuluh darah perifer, peningkatan
permeabilitas vascular terlihat setelah injeksi intradermal dari VEGF dihambat setelah
pemberian dexamethasone sistemik yang bekerja pada reseptor glukokortukoid15,16.
26
Di eropa barat, neuroonkologis mencoa untuk mengobati edema serebri akibat tumor
otak dan efek samping berupa keterganungan dari dexamethasone dengan pemberian
boswellic acids, sebuah agen fitoterapetik yang dipercaya menghambat formasi edema dan
bahkan pertumbuhan jaringan tumor15,16.
27
BAB IV
PEMBAHASAN KASUS
Pasien merupakan seorang wanita berusia 38 tahun, datang dengan keluhan nyeri
kepala yang memberat sejak tiga bulan sebelum masuk rumah sakit. Pasien mulai mengeluh
nyeri kepala semakin memberat, kualitas seperti diikat pada kepala bagian tengah atas,
dengan frekuensi nyeri kepala dua hingga tiga kali seminggu. Nyeri kepala muncul dan
memberat apabila pasien beraktifitas berlebih. Sebulan sebelum masuk rumah sakit, nyeri
kepala semakin memberat, saat itu VAS mencapai sepuluh dan pasien tidak bisa beraktivitas.
Muntah mulai dirasakan dan muncul bersamaan dengan nyeri kepala. Pandangan ganda mulai
muncul, yang diikuti dengan pusing berputar dan kelemahan pada tubuh sisi kiri. Seminggu
sebelum masuk rumah sakit, Nyeri kepala semakin sering dan kelemahan pada tungkai kiri
memberat sehingga sulit untuk digerakan. Pasien diketahui memiliki riwayat nyeri kepala
sebelumnya yang dikeluhkan sejak gadis ( dua puluh tahun yang lalu ), nyeri kepala
berdenyut dengan lokasi yang berpindah-pindah, kualitas nyeri sedang dan berkurang dengan
pemberian obat warung.
Nyeri kepala pada tumor otak memiliki angka insidensi 15.4% dan yang disebabkan
oleh metastasis 39%. Nyeri kepala sebagai gejala awal dari tumor otak didapatkan pada 30-
60% kasus, sedangkan nyeri kepala dapat muncul sepanjang perjalanan penyakitnya
didapatkan pada 60 hingga 70% kasus. Berdasarkan studi prospektif yang dilakukan oleh
Forsyth dan Posner, nyeri kepala didapatkan pada 48% pasien dengan tumor otak, baik tumor
primer maupun sekunder1,2,3. Seperti halnya pada pasien dalam kasus ini, yang tidak
mengeluhkan gejala atau tanda yang mengindikasikan lesi intrakranial sebelum muncul gejala
nyeri kepala.
28
Berdasarkan onsetnya, nyeri kepala pada keganasan dibagi menjadi empat bagian yaitu
nyeri kepala akut apabila kurang dari satu bulan, nyeri kepala akut rekurent apabila
berlangsung antara satu sampai enam bulan dan kronik apabila terjadi lebih dari enam jam.
Nyeri kepala kronik berdasarkan progresifitasnya dibagi menjadi dua macam yaitu kronik
progresif dan non kronik progresif1. Dalam suatu case series diketahui 76% pasien
didiagnosis sebagai nyeri kepala kronik progresif dan hanya 17% yang didiagnosis nyeri
kepala kronik non progresif. Pada pasien ini nyeri kepala yang semakin lama semakin
memberat sejak tiga bulan sebelum masuk rumah sakit dan ditandai dengan adanya
peningkatan kualitas dan kuantitas nyeri yang konsisten memberat selama tiga bulan terakhir.
Pada pasien ini didapatkan nyeri kepala sejak tiga bulan sebelum masuk rumah sakit.
Nyeri kepala mulai timbul dan terdapat salah satu kekhasan dari nyeri kepala sekunder yaitu
pasien dapat melokalisir dimana nyeri kepala berasal. Hal ini berarti diasumsikan terdapat
suatu massa yang mulai menstimulasi salah satu reseptor peka nyeri di intra kranial2,3,5.
Penyebab stimulasi salah satunya adalah aktivitas yang berlebih dari pasien. Sehingga
memacu peningkatan cardiac output dan suplai darah ke otak meningkat dan akhirnya
meningkatkan tekanan intra kranial sehingga menimbulkan nyeri. Selain itu dicurigai adanya
traksi fokal pada lokasi tumor sendiri berperan dalam menimbulkan nyeri kepala.2
Pasien mengeluh nyeri kepala semakin memberat sejak satu bulan sebelum masuk
rumah sakit. Karakteristik nyeri terdapat perubahan dengan lokasi nyeri kepala pada seluruh
bagian kepala yang diikuti muntah apabila nyeri kepala sedang muncul. Pada pasien
didapatkan timbulnya defisit neurologis baru. Pada pasien ini dicurigai terdapat proses
angiogenesis pada jaringan tumor otak yang menyebabkan adanya peningkatan permeabilitas
vaskular sehingga menyebabkan edema serebri. Dengan adanya edema serebri yang semakin
meluas pada akhirnya akan meningkatkan tekanan intra kranial dan menyebabkan nyeri
kepala2,15. Oleh karena itu, kita harus waspada dengan mulai munculnya tanda-tanda
29
peningkatan tekanan intra kranial sebagai “Red Flag” dari komplikasi yang lebih serius,
contohnya herniasi yang bisa berujung kepada kematian.2 Hal ini juga diperberat dengan
defisit neurologis baru yaitu kelemahan tubuh sebelah kiri yang disinyalir disebabkan
semakin meluasnya edema pada otak.
Dari sini kita juga perlu waspda karena nyeri kepala sendiri memiliki gejala dan tanda
yang beraneka ragam yang menunjukan suatu topis yang jelas apabila benar dalam menggali
anamnesisnya6,7,8,9. Pada kasus pasien ini diketahui terdapat riwayat nyeri kepala sejak gadis.
Sejak tiga bulan sebelum masuk rumah sakit mulai terdapat perubahan karakteristik yang
diakibatkan oleh massa tumor. Sebelum tiga bulan sebelum masuk rumah sakit, nyeri kepala
disebabkan oleh nyeri kepala primer dan setelah tiga bulan sebelum masuk rumah sakit
disimpulkan bahwa penyebabnya adalah suatu nyeri kepala sekunder yang disinyalir
disebabkan SOL Intrakranial yang diduga terletak ekstra aksial atau intraksial tipe “high
grade” yang untuk kepastiannya perlu dikonfirmasi dengan imaging.
Pasien ini berdasarkan diagnosis topis dan imagingnya, nyeri kepala dicurigai
disebabkan oleh lesi ekstra aksial pada intrakranial. Karena sesuai dengan sifat nyerinya,
topis dari tumor sendiri memegang peranan penting untuk terjadinya nyeri kepala. Dimana
lesi intra aksial biasanya bersifat infiltrasi ke jaringan otak sekitarnya, sedangkan ekstra
aksial akan mengkompresi jaringan otak.
Pada pasien ini didapatkan kedua lesi yaitu ekstra aksial dan intra aksial, dikarenakan
ukuran massa ekstra aksial didapatkan paling besar dan paling menimbulkan defek neurologi,
yang apabila kita bandingkan dengan gejala klinis didapatkan gejala yang sesuai dengan topis
massa ekstraaksial tersebut, yaitu nyeri kepala dan adanya hemiparesis sinistra, sehingga
dicurigai penyebab nyeri kepala pasien ini adalah massa yang berlokasi ekstraaksial tersebut.
Sedangkan untuk massa intraaxial, saat ini tidak ditemukan adanya defisit neurologis yang
nyata.
30
Gambar 4.1.Gambaran imajing MRI Kepala potongan Sagital dengan T1 dengan kontras
dibandingkan dengan gambaran struktur peka nyeri pada otak11
Semua gejala yang timbul pada pasien dikonfirmasi dengan membandingkan letak lesi
berdasarkan keluhan pasien dengan lokasi lesi intra kranial yang ditunjukan melalui
pemeriksaan MRI kepala dengan kontras. Dan temuan yang bisa didapat yang dapat
menunjukan bahwa lesi tersebut memang suatu lesi ekstra aksial adalah ditemukannya celah
likuor serebrospinal (CSF cleft), pergeseran pembuluh darah subarakhnoid, pergeseran dan
31
ekspansi ruang arakhnoid, dan reaksi pada tulang seperti hiperostosis (penebalan tulang)4,11,13.
Pada kasus ini juga didapatkan penyangatan homogen pada lesi pasca pemberian kontras.
Gambaran tersebut karena massa ekstra aksial tidak berasal dari jaringan otak dan terdapat
kerusakan pada “blood brain barrier” sehingga zat kontras dapat menimbulkan penyangatan
secara merata atau homogen.
Massa ekstra aksial yang sering ditemukan adalah meningioma, tetapi karena
ditemukan adanya lesi lain pada thalamus kanan dengan karakter yang hampir sama. Dugaan
tersebut juga diperkuat dengan adanya gambaran malignansi pada paru – paru, sehingga perlu
dicurigai adanya metastasis yang berasal dari massa paru. Dimana insidensi terjadinya
metastasis ke otak dari keganasan paru diketahui merupakan paling banyak terjadi, 50% pada
pria dan 31.6% pada wanita. Sehingga dicurigai meningkatnya insidensi tumor otak salah
satunya diduga akibat meningkatnya insiden tumor paru1,2,3.
Setelah diagnosis lesi intrakranial ditegakkan ke arah suatu metastasis terkait keganasan
paru, maka tindakan selanjutnya yang akan dilakukan adalah pengangkatan massa ekstra
aksial tersebut yang ditujukan untuk dekompresi dan biopsi jaringan untuk menentukan
tindakan lebih lanjut untuk lesi ditempat lain, yaitu pada thalamus kanan ( intraaxial ). Selain
itu indikasi untuk dilakukan kraniotomi pun telah tercapai. Salah satunya adalah “operable”,
keperluan biopsi dan penegakan diagnosis lebih lanjut serta diharapkan dapat memperbaiki
fungsional pasien.
Pada saat dimulai perawatan hingga kraniotomi, pasien ditatalaksana dengan
kortikosteroid berupa dexamethasone loading 10 mg intravena yang diikuti dengan dosis
rumatan 4x5 mg intravena, yang diturunkan secara perlahan. Ketika diikuti perjalanan
penyakitnya perhari, didapatkan nyeri kepala berkurang. Hal ini diduga disebabkan
berkurangnya edema serebri sehingga tekanan intra kranial mulai turun dan kualitas nyeri
kepalapun berkurang15,16,18. Pasien sendiri diketahui masih mengeluhkan adanya nyeri kepala,
32
yang disebabkan massa tumor masih ada walaupun edema serebri sudah teratasi sehingga
nyeri kepala akibat adanya traksi fokal dan sensitisasi sentral masih dirasakan.
Setelah dilakukan operasi, nyeri kepala terdapat perbaikan dari VAS 10 hingga VAS 1-
2 yang dirasakan pada daerah operasi. Kelemahan pada tubuh sebelah kiri setelah dievaluasi
semakin membaik dari 3 menjadi 4+. Begitu juga dengan paresis nervus cranialis yang lain
mulai membaik, yang ditandai hilangnya padangan ganda sehingga nyeri berputar sudah tidak
dirasakan lagi. Hal ini disebabkan karena masalah utama berupa tumor otaknya sudah diatasi.
Jaringan tumor tersebut kemudian dilakuka pemeriksaan histopatologis dan didapatkan
hasil anak sebar adenocarsinoma berdiferensiasi baik, sehingga diperlukan pemeriksaan
imunohistokimia untuk mencari lebih lanjut primer pada penyakit tersebut. Hasil
pemeriksaan histopatologis tersebut dapat menjadi acuan untuk dimulainya tindakan
radioterapi untuk lesi intracranial intraaksial pada thalamus kanan.
Berdasarkan hasil pemeriksaan histopatologis tersebut didapatkan hasil lesi metastasis.
Lesi metastasis sendiri memiliki karakteristik ganas dan bertumbuh dengan cepat. Lesi
dengan karakteristik ganas tersebut juga diketahui memacu edema serebri difus. Dengan
adanya lesi yang cukup besar dan edema yang bertumbuh dengan cepat sehingga
menimbulkan nyeri kepala yang progresif1,2,4,15,18.
33
BAB V
KESIMPULAN
Nyeri kepala merupakan salah satu penanda awal terjadinya tumor otak (30-60%),
sehingga penting untuk mewaspadai apabila ditemukan nyeri kepala yang berlangsung
progresif.1,2 Hal ini dimaksudkan agar diagnosis dapat segera ditegakan, dan dapat
direncanakan langkah selanjutnya dalam menatalaksana pasien. Diagnosis dan tata laksana
yang cepat dan tepat memiliki peran penting untuk mencegah nyeri kepala, perberatan defisit
neurologis, dan memperbaiki kualitas hidup pasien.
Dilaporlan sebuah kasus seorang perempuan berusia 38 tahun yang datang dengak
keluhan kepala sejak 3 bulan yang lalu yang berlangsung secara progresif diikuti adanya
defisit neurologis lain berupa kelemahan pada kedua tungkai dan adanya pandangan kabur
yang mengarah adanya pada suatu lesi desak ruang di kortikal. Temuan dikonfirmasi
dengean MRI Kontras yang menunjukan lesi ekstra-aksial pada lobus parietal kanan dan
thalamus kanan yang sugestif kearah metastasis dimana setelah dilakukan pengangkatan
tumor didapatkan perbaikan yang signifikan pada nyeri kepala hingga hilang sama sekali.
34
DAFTAR PUSTAKA
1. Schiff D, Wen PY. (eds.) Cancer neurology in clinical practice. New Jersey: Humana
Press Inc; 2003.
2. Goffaux P, et all. Brain Tumor Headaches: From Bedside to Bench. Quebec :
Congress of Neurological Surgeon : 2009
3. Nelson S, et all. Headaches in Brain Tumor Patients: Primary or Secondary?.
Boston: American Headache Society : 2014
4. Wong ET, et all. Clinical presentation and diagnosis of brain tumors. California :
Neurological Update : 2011
5. Ansell P, et all. Brain Tumor Signs and Symptoms: Analysis of Primary Health Care
Records From the UKCCS. York : UK Childhood Cancer Study : 2009
6. Evans RW. Diagnostic testig for migraine and other primary headache. Houston :
Neuro Clin 27. 2009
7. Steinner TJ et all. Lifting The Burden: The Global Campaign to Reduce the Burden of
Headache Worldwide. London : European Headache Federation ; 2007
8. Friedman BW. Headache Emergencies : Diagnosis and Management. New York :
Neurol Clin 30 : 2012.
9. Edmeads J. Emergency management of headache. Headache Journal. New York :
1988;28(10):675-9.
10. Kurth T, Headache, migraine and risk of brain tumors in women: prospective cohort
study. Bordeaux : The Journal of Headache and Pain; 2015
11. Leal T, et all. Leptomeningeal metastasis: challenges in diagnosis and treatment.
Curr Cancer Ther Rev 2011; 7(4):319-27.
12. Hirata K, et all. Differential Diagnosis of Chronic Headache. Tokyo : JMAJ. 2004
13. Posti J.P et all. Presenting symptoms of glioma in adults. Turku : Acta Neurol Scand.
2015
14. Weisberg LA et all. Esential of Clinical Neurology: Headache and Facial pain.
London : 2002
15. Stummer W et all. Mechanisms of Tumor-related Brain Edema. California :
Neurosurgical Focus : 2007
35
16. Heiss JD et all. Mechanism of Dexamethasone Suppression of Brain Tumor–
associated Vascular Permeability in Rats. Maryland : The Journal of Clinical
Investigation : 1996
17. Kamson DO, et all. Multimodality Neuroimaging In Migraine And Brain Tumors.
Pecs : University of Pécs, School of Medicine : 2009
18. Katzung BG, Basic and Clinical Pharmacology twelfth edition. California :
McGrawHills Medical : 2012
36
Recommended