View
69
Download
9
Category
Preview:
Citation preview
Ratu Leak Calonarang Rangda Nateng Girah
Di Kerajaan Kediri pada masa pemerintahan Airlangga yaitu didesa Girah ada sebuah
Perguruan Ilmu Hitam atau Ilmu Pengeleakan yang dipimpin oleh seorang janda yang
bernama Ibu Calonarang (nama julukan dari Dayu Datu). Murid – muridnya semua
perempuan dan diantaranya ada empat murid yang ilmunya sudah tergolong tingkat senior
antara lain: Nyi Larung, Nyi Lenda, Nyi Lendi, Nyi Sedaksa.
Ibu Calonarang juga mempunyai anak kandung seorang putri yang bernama Diah Ratna
Mengali, berparas cantik jelita, tetapi putrinya tidak ada satupun pemuda yang melamarnya.
Karena Diah Ratna Mangali diduga bisa ngelelak, dengan di dasarkan pada hukum
keturunan yaitu kalau Ibunya bisa ngeleak maka anaknyapun mewarisi ilmu leak itu,
begitulah pengaduan dari Nyi Larung yaitu salah satu muridnya yang paling dipercaya oleh
Ibu Calonarang.
Mendengar pengaduan tersebut, tampak nafas Ibu Calonarang mulai meningkat,
pandangan matanya berubah seolah-olah menahan panas hatinya yang membara. Pengaduan
tersebut telah membakar darah Ibu Calonarang dan mendidih, terasa muncrat dan tumpah ke
otak. Penampilannya yang tadinya tenang, dingin dan sejuk, seketika berubah menjadi panas,
gelisah. Kalau diibaratkan Sang Hyang Wisnu berubah menjadi Sang Hyang Brahma, air
berubah menjadi api. Tak kuasa Ibu Calonarang menahan amarahnya. Tak kuat tubuhnya
yang sudah tua tersebut menahan gempuran fitnah yang telah ditebar oleh masyarakat
Kerajaan Kediri.
Ibu Calonarang sangat sedih bercampur berang, sedih karena khawatir putrinya bakal
jadi perawan tua, itu berarti keturunannya akan putus dan tidak bisa pula menggendong cucu,
berang karena putrinya dituduh bisa ngeleak. Amarah Ibu Calonarang membara, kemudian
muncullah niatnya untuk membalas dendam pada rakyat Kediri yang telah menyebar fitnah
terhadap Putrinya. Maka diutuslah Nyi Larung untuk menciptakan gerubug di Kerajaan
Kediri.
Diceritakan Rakyat Kerajaan Kediri di siang harinya yang ramai seperti biasanya.
Masyarakatnya sebagian besar hidup dari bertani di sawah dengan menanam padi dan
palawija. Bagi yang mempunyai waktu luang yang laki-laki biasanya diisi dengan mengelus-
elus ayam aduan, dan bagi yang perempuan digunakan untuk mencari kutu rambut.
Tidak ada terasa hal-hal aneh atau pertanda aneh di siang hari tersebut. Kegiatan
masyarakat berlangsung dari pagi sampai sore, bahkan sampai malam hari. Suasananya
nyaman, tentram, dan damai sangat terasa ketika itu. Setelah tengah malam tiba, semua
masyarakat telah beristirahat tidur. Suasananya menjadi sangat gelap dan sunyi senyap,
ditambah lagi pada hari tersebut adalah hari Kajeng Kliwon. Suatu hari yang dianggap kramat
bagi masyarakat. Masyarakat biasanya pantang pergi sampai larut malam pada hari Kajeng
Kliwon. Karena hari tersebut dianggap sebagai hari yang angker. Sehingga penduduk tidak
ada yang berani keluar sampai larut malam.
Ketika penduduk Rakyat Kediri tertidur lelap di tengah malam, ketika itulah para
murid atau sisya Ibu Calonarang yang sudah menjadi leak datang ke Desa-desa wilayah
pesisir Kerajaan Kediri. Kemudian dengan kedatangan pasukan leak tersebut, tiba-tiba saja
penduduk desa merasakan udara menjadi panas dan gerah. Angin dingin yang tadinya
mendesir sejuk, tiba-tiba hilang dan menjadi panas yang membuat tidur mereka menjadi
gelisah. Para anak-anak yang gelisah, dan terdengar tangis para bayi di tengah malam.
Lolongan anjing saling bersahutan seketika. Demikian pula suara goak atau burung gagak
terdengar di tengah malam. Ketika itu sudah terasa ada yang aneh dan ganjil saat itu.
Ditambah lagi dengan adanya bunyi kodok darat yang ramai, padahal ketika itu adalah musim
kering. Demikian pula tokek pun ribut saling bersahutan seakan-akan memberitahukan
sesuatu kepada penduduk desa. Mendengar dan mengalami suatu yang ganjil tersebut,
masyarakat menjadi ketakutan, dan tidak ada yang berani keluar.
Ketika malam itu, ada seorang masyarakat memberanikan diri untuk mengintip dari
balik jendela rumahnya. Untuk mengetahui situasi di luar rumah. Namun apa yang
dilihatnya? Sangat terkejut orang tersebut menyaksikan kejadian di luar. Orang tersebut,
karena saking takutnya, segera ia masuk ke dalam rumah dan mengunci pintunya rapat-rapat,
serta segera memohon kehadapan Hyang Maha Kuasa agar diberikan perlindungan.
Kemudian orang tersebut mengalami sakit ngeeb atau ketakutan yang berlebihan dan tidak
mau bicara.
Para murid atau sisya Ibu Calonarang yang berjumlah tiga puluh empat orang
ditambah dengan empat orang muridnya yang sudah senior yaitu Nyi Larung, Nyi Lenda, Nyi
Lendi, dan Nyi Sedaksa, semua sudah berada di desa pesisir. Semua leak tersebut
menjalankan tugas seperti apa yang diperintahkan oleh gurunya yakni Ibu Calonarang.
Diceritakan keesokan harinya penduduk desa bangun pagi-pagi. Masyarakat desa
menjadi panik. Karena mendadak sebagian penduduk mengalami muntah dan mencret.
Bahkan pagi itu, ada beberapa yang telah meninggal. Beberapa lagi belum ada yang sempat
diberi obat, tiba-tiba sudah meninggal. Demikian semakin panik masyarakat di desa. Segera
saja yang meninggal dikuburkan di setra atau tempat pemakaman mayat, namun ketika
pulang dari setra, tiba-tiba saja yang tadinya ikut mengubur menjadi sakit dan meninggal.
Demikian seterusnya. Penduduk desa dihantui oleh bahaya maut. Seolah-olah kematian ada
di depan hidung mereka. Sungguh mengerikan pemandangan di desa-desa wilayah pesisir
Kerajaan Kediri ketika itu. Kerajaan Kediri gempar, sehari-hari orang mengusung mayat
kekuburan dalam selisih waktu yang sangat singkat.
Menghadapi situasi demikian beberapa penduduk dan prajuru desa mencoba untuk
menanyakan kepada para balian atau dukun untuk minta pertolongan. Para balian pun
didatangkan ke desa-desa yang kena bencana wabah gerubug. Ternyata mereka juga tidak
dapat berbuat banyak menghadapi penyakit gerubug yang dialami penduduk desa. Bahkan, si
balian atau dukun yang didatangkan tersebut mengalami mutah berak dan meninggal.
Setelah berberapa hari mengalami kepanikan, kebingungan dan ketakutan, akhirnya
para prajuru desa atau Pengurus Desa, para penglingsir atau tetua, dan para pemangku,
mengadakan pertemuan di salah satu Balai Banjar di Desa Girah. Mereka berencana
memohon kehadapan Raja Airlangga agar beliau berkenan untuk datang ke desa-dewa
wilayah pesisir Kerajaan Kediri meninjau rakyatnya yang sedang ditimpa musibah penyakit
atau gerubug.
Keesokan harinya para prajuru desa beserta rombongan berangkat menuju Istana
Kediri. Setelah memberikan penghormatan kehadapan Sang Prabu, rombongan tersebut
kemudian menjelaskan segala sesuatu maksud dan tujuannya mengahap ke Istana. Dijelaskan
pula secara panjang lebar mengenai masalah yang sedang melanda desa-desa pesisir wilayah
Kerajaan Kediri. Mereka kemudian memohon agar Sang Prabu berkenan untuk meninjau ke
desa-desa.
Diceritakan Prabu Airlangga Raja Kediri. Sepeninggalan rombongan Desa Girah,
maka beliau sendirian duduk termenung di bale penangkilan. Kemudian secara tak disangka-
sangka datang Ki Patih Madri menghadap Sang Prabu ke Istana. Ia adalah seorang tabeng
dada atau pengawal Istana. Ki Patih Madri berperawakan tinggi besar, pintar ilmu silat atau
bela diri, dan menguasai beberapa ilmu kanuragan.
Raja Airlangga kemudian membuat keputusan untuk menggempur Calonarang
Rangda Nateng Girah, dan mempercayakan kepada Ki Patih Madri sebagai pimpinan
penyerangan.
Ki Patih Madri gugur dalam peperangan melawan Nyi Larung dan para jawara Kediri
banyak yang tewas.
Dengan kalahnya Patih Madri melawan Nyi Larung murid Calonarang, maka Raja
Kediri sangat panik sehingga Raja Kediri memanggil seorang Bagawanta (Rohaniawan
Kerajaan) yaitu Pendeta Kerajaan Kediri yang bernama Empu Bharadah yang ditugaskan
oleh Raja untuk mengatasi gerubug (wabah) sebagai ulah onar si Ratu Leak Calonarang.
Empu Bharadah lalu mengatur siasat dengan cara Empu Bahula putra Empu Bharadah
di tugaskan untuk mengawini Diah Ratna Mengali agar berhasil mencuri rahasia ilmu
pengeleakan milik Janda sakti itu.
Empu Bahula berhasil mencuri buku tersebut berupa lontar yang bertuliskan aksara
Bali yang menguraikan tentang teknik – teknik pengeleakan. Setelah Ibu Calonarang
mengetahui bahwa dirinya telah diperdaya oleh Empu Bharadah dengan memanfaatkan
putranya Empu Bahula untuk pura–pura kawin dengan putrinya sehingga berhasil mencuri
buku ilmu pengeleakan milik Calonarang.
Ibu Calonarang sangat marah dan menantang Empu Bharadah untuk perang tanding
pada malam hari di Setra Ganda Mayu yaitu sebuah kuburan yang arealnya sangat luas yang
ada di Kerajaan Kediri.
Empu Bharadah tidak sedikitpun gentar melihat kawanan leak tersebut, bahkan
semangat untuk bertempur semakin membara. Sambil juga Empu Bharadah mengucap
mantra sakti Pasupati. Dilengkapi pula dengan sarana sesikepan, sesabukan, rerajahan kain,
dan pripian tembaga wasa atau lempengan tembaga. Sangat ampuh mantra sakti Pasupati
tersebut. Empu Bharadah membawa pusaka sakti berupa sebuah keris yang bernama Kris
Jaga Satru.
Pertarunganpun terjadi dengan sangat seram dan dahsyat antara penguasa ilmu hitam
yaitu Calonarang dibantu para sisya atau murid-muridnya dengan penguasa ilmu putih yaitu
Empu Bharadah dibantu Pasukan Balayuda Kediri, di Setra Ganda Mayun.
Pertempuran berlangsung sangat lama sehingga sampai pagi, dan karena ilmu hitam
mempunyai kekuatan hanya pada malam hari saja, maka setelah siang hari Ibu Calonarang
akhirnya tidak kuat melawan Empu Bharadah. Ibu Calonarang pun akhirnya meninggal
dalam pertempuran itu.
Dengan meninggalnya Ibu Calonarang maka bencana gerubug (wabah) yang melanda
Kerajaan Kediri bisa teratasi. Calonarang Rangda Nateng Girah yang mewariskan Ilmu
Pengeleakan Aji Wegig sampai sekarang masih berkembang di Bali, karena masih ada
generasi penerusnya sebagai pewaris pelestarian budaya di Bali.
Recommended