View
219
Download
2
Category
Preview:
DESCRIPTION
ini adalah laporan resmi praktikum teknologi hasil laut bab chitin chitosan FTP UNIKA SOEGIJAPRANATA
Citation preview
Acara II
CHITIN & CHITOSAN
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM
TEKNOLOGI HASIL LAUT
Disusun oleh:
Nama: Natanael Hogan S.
NIM: 13.70.0080
Kelompok: B5
JURUSAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA
SEMARANG
2015
1. MATERI DAN METODE
1.1. Materi
1.1.1. Alat
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah oven, blender, ayakan, peralatan
gelas.
1.1.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah limbah udang, HCl 0,75N; 1N; dan
1,25 N, NaOH 3,5%, NaOH 40%, 50%, dan 60%.
1.2. Metode
1.2.1. Demineralisasi
1
Limbah udang dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan, lalu dicuci dengna air panas 2 kali, dan dikeringkan kembali.
Limbah udang kemudian dihancurkan hingga menjadi serbuk dan diayak dengan ayakan 40-60 mesh.
HCl ditambahkan dengan perbandingan 10:1. Kelompok B1 dan B2 menggunakan HCl 0,75N, B3 dan B4 HCl 1N, dan B5 HCl 1,25N
Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam.
2
1.2.2. Deproteinasi
Lalu dicuci sampai pH netral.
Kemudian dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam
Hasil demineralisasi dicampur dengan NaOH dengan perbandingan 6:1
Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam.
3
1.2.3. Deasetilasi
Kemudian disaring dan didinginkan
Lalu dicuci sampai pH netral.
Kemudian dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam
Chitin yang didapat kemudian ditambahkan NaOH 40% untuk kelompok B1 dan B2, NaOH 50% untuk kelompok B3 dan B4, dan NaOH 60% untuk kelompok B5
4
Lalu dicuci sampai pH netral.
Kemudian dikeringkan pada suhu 70oC selama 24 jam
Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam
5
6
2. HASIL PENGAMATAN
Tabel hasil pengamatan Chitin dan Chitosan dapat dilihat pada tabel dibawah
Tabel 1. Hasil Pengamatan Chitin Chitosan
Kelompok PerlakuanRendemen KitinI (%)
Rendemen Kitin II (%)
Rendemen Kitosan (%)
B1HCl 0,75N + NaOH 40% +
NaOH 3,5%30,00 34,88 25,00
B2HCl 0,75N + NaOH 40% +
NaOH 3,5%36,00 29,40 -
B3HCl 1N + NaOH 50% + NaOH
3,5%31,82 50,00 50,00
B4HCl 1N + NaOH 50% + NaOH
3,5%28,00 22,22 19,23
B5HCl 1,25N + NaOH 60% +
NaOH 3,5%28,57 20,00 -
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa rendemen kitin I menghasilkan nilai yang
berbeda-beda untuk setiap perlakuan dan nilai tertinggi adalah pada kelompok B2 yaitu 36%
dan yang paling rendah adalah B4 dengan nilai 28%. Rendemen kitin II juga beragam dengan
nilai tertinggi adalah B3 dengan nilai 50% dan kelompok B5 dengan nilai terrendah yaitu
20%. Untuk rendemen kitosan yang didapatkan paling tinggi adalah kelompok B3 dengan
didapatkannya nilai rendemen 50% dan paling rendah adalah kelompok B4 karena
didapatkan hasil 19,23%. Untuk kelompok B2 dan B5 tidak didapatkan data rendemen
kitosan.
3. PEMBAHASAN
Kitin merupakan aminopolisakarida structural dan dapat ditemukan di dinding sel yeast,
fungi serta berbagai macam invertebrate terutama arthropoda (Kaya, 2014). Wieczorek
(2014) memperkuat teori sebelumnya dengan menyatakan bahwa kitin merupakan
komponen structural dari berbagai macam unikariot dan eukariot seperti fungi, protista,
algae, dan arthropoda dimana crustacea termasuk di dalam golongan tersebut. Dikatakan
oleh Zainoha (2012) bahwa sangat banyak limbah yang dihasilkan dari industry
seafood. Oleh karena itu, limbah tersebut bisa diolah menjadi kitin. Kitin yang diperoleh
dapat diolah lebih lanjut lagi dan diubah menjadi kitosan. Menurut Peter (1995), kitin
dapat diperoleh dari eksoskeleton artropoda contohnya crustaceae contohnya udang,
kepiting.
Secara biologis, kitin mudah terdegradasi dan tidak dapat larut dalam air ataupun asam
anorganik dan tidak beracun. Untuk melarutkan kitin dapat menggunakan larutan litium
klorida serta dimetil asetamida. Kitin memiliki struktur kimia 2-asetamida-2-dioksi- β-
D-Glukosa dan ikatannya adalah β-glikosidik (1,4) (Muzzarelli, 1985). Rumus molekul
dari monomer kitin adalah C8H12NO5 dengan kadar C 47%, H 6%, N 7%, dan O 40%
(Bastaman, 1989).
Kitosan adalah kitin yang sebagian atau seluruhnya telah mengalami deasetilasi. Kitin
menjadi kitosan ketika derajat N-asetilasi ada pada dibawah 50%, kitin menjadi larut
pada larutan asam (pH dibawah 6). Kitin dan kitosan digunakan secara komersial karena
tingginya kadar nitrogen (6,89%) serta kemampuannya seperti tidak beracun, dan
kemampuan adsorpsi serta biodegradable (Kumirska, 2010). Kitosan adalah biopolymer
D-glukosamin yang bisa didapat dengan cara deasetilasi kitin menggunakan zat alkali
yang kuat (Hirano, 1989). Marganov (2003) berpendapat bahwa nilai ekonomis dari
kitosan tinggi karena mempunyai efek untuk mengawetkan secara alami. Kitosan dapat
digunakan sebagai agen penggumpal saat menangani limbah yang mengandung protein.
Sifat dari kitosan adalah tidak dapat larut air serta basa kuat dan Asam Sulfat. Beberapa
bahan seperti H3PO4, HCl, dan HNO3 dapat sedikit melarutkan kitosan. Saat terkena zat
7
8
organic seperti lemak dan protein, kitosan akan berinteraksi dengan zat tersebut. Hal ini
adalah pertimbangan pada penggunaan kitosan pada produk pangan serta industry lain
seperti kesehatan dan farmasi. Untuk proses deasetilasi kitin, digunakan basa
berkonsentrasi tinggi (Darmawan et al, 2007).
Pada praktikum ini yang terdapat 3 tahap praktikum yaitu demineralisasi, deproteinasi,
dan deasetilasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Kumirska (2010) yang menyatakan
bahwa setelah proses demineralisasi dilakukan deproteinasi. Tahap pertama yang
dilakukan adalah demineralisasi. Proses demineralisasi adalah proses untuk
penghilangan garam-garam anorganik serta mineral yang ada dalam kitin contohnya
kalsium karbonat (Alamsyah et al, 2007). Pada proses demineralisasi, mineral akan
bereaksi dengan HCl yang larut air lalu dihilangkan (Darmawan et al, 2007).
Metode yang pertama kali dilakukan ini berdasar teori Macklin (2008) yang
menyatakan bahwa tahap pertama adalah pencucian dengan air mengalir, dikeringkan,
lalu dicuci lagi dengan air panas sebanyak 2 kali lalu dikeringkan setelah itu
dihancurkan dan dihasilkan serbuk atau bubuk. Setelahnya ditambahkan larutan HCl
dengan perbandingan 10:1. Karenanya, pada praktikum ini pertama-tama dilakukan
persiapan bahan dimana dilakukan pencucian limbah udang dengan air mengalir lalu
dikeringkan. Selanjutnya bahan dicuci dengan air panas 2 kali lalu dikeringkan.
Moeljanto (1992) berpendapat bahwa limbah dicuci dengan air mengalir agar kotoran-
kotoran pada kulit udang hilang. Pencucian dengan air panas memiliki fungsi agar
mikroorganisme pada limbah tersebut mati. Pengeringan limbah dilakukan untuk
menurunkan kadar air dalam limbah udang sehingga pertumbuhan mikroorganisme
dapat tertekan. Selain itu penghancuran akan mendegradasi protein dalam limbah yang
secara fisik berikatan dengan kitin (Peter, 1995).
Bahan tersebut lalu dihancurkan menjadi serbuk dan diayak dengan ayakan 40-60 mesh.
Serbuk yang sudah diayak ini lalu dicampur dengan HCl (10:1) yang berbeda-beda tiap
kelompok. Pada kelompok 1 dan 2 digunakan HCl 0,75 N, kelompok 3 dan 4
menggunakan HCl 1 N dan untuk kelompok 5 menggunakan HCl 1,25N. Menurut
Bastaman (1989), HCl ditambahkan agar komponen mineral dapat larut karena
9
komponen-komponen mineral dapat larut dengan menggunakan asam encer seperti
asam klorida maupun asam laktat.
Setelah diberi HCl, larutan dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam sambil diaduk lalu
dicuci sampai pH netral dan dikeringkan dalam oven suhu 80oC. Pemanasan ini sesuai
dengan pendapat Astawan & Astawan (1988) yang menyatakan bahwa pemanasan akan
membantu senyawa mineral terikan dengan larutan HCl dan pengadukan yang
dilakukan bertujuan agar pemanasan dapat terjadi lebih merata sehingga proses
pengikatan juga akan semakin cepat. Residu yang didapatkan lalu dicuci hingga pH
netral dengan tujuan agar sisa-sisa senyawa mineral yang berikatan dengan HCl dapat
dilarutkan (Bastaman, 1989). Pengeringan dengan oven ini bertujuan agar kadar air
residu dapat berkurang (Muzzarelly & Peter, 1997). Hasil dari demineralisasi ini disebut
rendemen kitin I
Setelah proses demineralisasi, dilakukan deproteinasi. Deproteinasi memiliki tujuan
untuk menghilangkan atau melarutkan protein yang ada pada substrat semaksimal
mungkin (Lehninger, 1975). Ditambahkan oleh Purwaningsih (1975) bahwa kadar
protein pada udang cukup tinggi yaitu sekitar 30% sehingga dilakukan proses untuk
menghilangkan protein yang disebut deproteinasi pada limbah udang.
Yang pertama kali dilakukan pada proses deproteinasi adalah dengan menyiapkan
rendemen kitin I hasil demineralisasi. Bahan ini lalu dicampur dengan NaOH dengan
perbandingan 6:1 (NaOH:berat bahan). Menurut Kumirska et al (2010), untuk
deproteinasi dapat dilakukan NaOH ataupun KOH namun pada praktikum ini digunakan
NaOH. Penggunaan ini berhubungan dengan teori Puvvada et al (2012) yang
menyatakan bahwa saat direndam protein dalam kulit udang akan terdekomposisi
menjadi asam amino yang menyebabkan zat ini dapat larut air saat pencucian. Setelah
diberi NaOH, dilakukan pemanasan pada suhu 90oC selama 1 jam. Hal ini berhubungan
dengan pendapat Moeljanto (1992) yang berpendapat bahwa protein akan terdenaturasi
pada pemanasan suhu 90oC. Setelah dipanaskan, larutan disaring dan didinginkan
dengan tujuan agar padatan menjadi terpisah dengan larutan. Pada saat deproteinasi,
dilakukan kembali pencucian hingga pH netral. Pencucian ini seperti yang sudah
10
dibahas sebelumnya bertujuan agar protein dapat larut (Puvvada et al., 2012). Langkah
terakhir dari deproteinasi adalah pengeringan dalam oven suhu 80oC selama 24 jam
untuk mengurangi kadar air dan hasil dari produk ini adalah kitin.
Metode terakhir yang dilakukan adalah deasetilasi. Deasetilasi merupakan perubahan
kitin menjadi kitosan dengan penambahan larutan basa yang konsentrasinya tinggi
(Darmawan et al., 2007). Berdasarkan teori diatas maka yang pertama kali dilakukan
adalah memberi NaOH 40% (kelompok 1 dan 2), NaOH 50% (kelompok 3 dan 4), dan
NaOH 60% (kelompok 5) dengan perbandingan 20:1. NaOH disini digunakan karena
NaOH merupakan basa dan konsentrasinya tinggi. Saat ditambahkan dilakukan
pengadukan selama 1 jam lalu didiamkan selama 30 menit. Pendiaman ini menurut
Puvvada et al (2012) adalah agar polimer dari kitosan lebih mengendap dan pengadukan
dilakukan agar homogen. Setelah itu larutan dipanaskan pada suhu 90oC selama 60
menit. Pemanasan bertujuan untuk melepaskan gugus asetil menjadi terlepas dari
molekul kitin. Tahap terakhir yang dilakukan adalah pemanasan dengan oven pada suhu
70oC selama 24 jam agar kadar air berkurang dan hasil akhir dari proses ini adalah
kitosan.
Pada hasil pengamatan yang didapat bisa dilihat bahwa didapatkan hasil yang berbeda-
beda dari berbagai macam perlakuan. Pada saat mencari rendemen kitin I didapatkan
hasil yang beragam. Pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa data terbesar adalah pada
kelompok B2 dengan hasil 36,00% dengan penambahan HCl 0,75 N dan terkecil adalah
B4 dengan nilai 28,00% dengan penambahn HCl 1 N. Menurut Suptijah (2004), mineral
dapat larut secara sempurna jika asam yang ditambahkan sesuai konsentrasinya.
Puvvada (2012) menambahkan bahwa HCl memiliki fungsi untuk pelarutan senyawa
kalsium dalam bubuk. Jika teori tersebut dihubungkan maka rendemen yang tersisa akan
lebih sedikit. Pada penggunaan HCl 1,25 N kelompok B5 didapatkan hasil yang tidak
begitu berbeda dari penggunaan HCl 1 N kelompok B4 dimana menghasilkan data
28,57% (B5) dan 28,00% (B4). Meskipun begitu pada kelompok B3 yang juga
menggunakan NaOH HCl 1 N didapatkan hasil yang cukup besar (31,82%) sehingga
teori rendemen yang tersisa akan lebih sedikit dengan penambahan HCl lebih banyak
sesuai dengan hasil praktikum. Pada hasil pengamatan rendemen kitin II, didapatkan
11
hasil yang juga berbeda-beda tiap kelompok dari peningkatan/penurunan rendemen.
Hasil terbesar adalah pada kelompok B3 dengan nilai 50% dan paling kecil adalah B5
dengan nilai 20%. Perbedaan ini dapat terjadi karena menurut Kaunas (1984) jika
pengadukan tidak dilakukan secara konsetan maka larutan NaOH tidak dapat bercampur
dengan sempurna sehingga prosesnya akan mengakibatkan hasil yang berbeda-beda.
Pada tabel dapat dilihat bahwa terjadi kenaikan % rendemen pada kelompok B1 dan B3
sedangkan untuk kelompok B2, B4, dan B5 mengalami penurunan. Seharusnya nilai
rendemen dari kitin lebih rendah dibandingkan dibandingkan %rendemen kitin I.
Penyebabnya adalah karena protein yang ada sudah hilang (Puspawati & Simpen,
2010). Hal ini dapat dicegah dengan cara melakukan deproteinasi terlebih dahulu untuk
mencegah kontaminan protein terhadap cairan ekstrak mineral (Angka & Suhartono,
2000).
Hasil pengamatan yang terakhir diamati adalah rendemen kitosan. Pada kelompok B2
dan B5 tidak didapatkan rendemen kitosan. Lain halnya dengan kelompok B1 yang
menghasilkan rendemen 25%, B3 yang menghasilkan rendemen 50%, dan B4 yang
menghasilkan rendemen 19,23%. Dari hasil yang didapatkan bisa dilihat bahwa
penambahan NaOH akan mengurangi %rendemen yang didapatkan dan semakin besar
konsentrasi justru rendemen semakin kecil. Hal ini tidak sesuai dengan teori oleh Angka
& Suhartono (2000) yang menyatakan bahwa konsentrasi NaOH yang tinggi akan
menyebabkan gugus fungsional amino yang berfungsi untuk proses subsititusi gugus
asetil kitin pada larutan semakin aktif. Proses ini akan menyebabkan deasetilasi berjalan
dengan baik dan rendemen kitosan yang dihasilkan tinggi. Meskipun begitu pada
kelompok B4 hasil yang didapatkan sesuai dengan teori karena persentase penurunan
lebih kecil dibandingkan penurunan B1 sehingga sesuai dengan teori yang menyatakan
konsentrasi NaOH yang tinggi akan membentuk rendemen yang tinggi.
Dalam industry, kitin dapat digunakan untuk berbagai macam produk. Jothi & Nachiyar
(2013) berpendapat bahwa kitin dapat digunakan untuk berbagai macam produk seperti
pada kertas, tekstil, serta tambahan pada produk pangan. Menurut Hidayat (2007),
penggunaan kitin dan kitosan adalah menjadi pengawet dan penstabil warna pada
produk pangan. Selain itu kitin juga dapat memberi flavor, membentuk tekstur,
12
menjernihkan minuman, bertindak sebagai emulsifier, dan juga tambahan dalam
suplemen. Ditambahkan oleh Handayani (2004) bahwa sari buah tomat dapat diberi
kitin dan kitosan sebagai koagulan.
13
4. KESIMPULAN
Kitin merupakan polisakarida yang dapat ditemukan di invertebrata seperti
crustaceae.
Kitin mudah terdegradasi dan tidak larut air.
Kitin memiliki rumus molekul C8H12O5.
Kitin bisa diperoleh dari limbah udang, kepiting
Kitosan merupakan kitin yang telah mengalami deasetilasi.
Kitosan digunakan secara komersial karena nilai ekonomisnya yang tinggi dan
dapat digunakan sebagai pengawet alami.
Kitosan tidak larut air dan basa kuat serta asam sulfat.
Untuk mendapatkan kitin dapat dilakukan proses demineralisasi dan
deproteinasi, sedangkan untuk mendapatkan kitosan digunakan deasetilasi kitin.
Demineralisasi adalah proses penghilangan garam-garam anorganik dan mineral
dalam kitin seperti kalsium karbonat.
Pencucian limbah dengan air mengalir dilakukan agar kotoran-kotoran hilang.
Pencucian dengan air panas dilakukan agar mikroorganisme mati.
Pengeringan dilakukan agar kadar air berkurang sehingga pertumbuhan
mikroorganisme terhambat sehingga menambah umur simpan.
HCl akan melarutkan mineral pada limbah.
Deproteinasi adalah proses untuk menghilangkan protein semaksimal mungkin.
Pada deproteinasi digunakan NaOH 3,5%.
Saat direndam NaOH protein akan terdekomposisi menjadi asam amino dan
larut saat pencucian.
Pemanasan saat deproteinasi bertujuan untuk denaturasi protein.
Hasil dari deproteinasi adalah kitin.
Deasetilasi adalah proses pengubahan kitin menjadi kitosan dengan cara
menambahkan larutan basa konsentrasi tinggi.
Penambahan HCl konsentrasi tinggi pada demineralisasiakan menyebabkan
rendemen semakin sedikit.
Deproteinasi dapat dilakukan terlebih dulu untuk mencegah kontaminan protein.
14
Konsentrasi NaOH yang tinggi pada deasetilasi akan menyebabkan hasil
rendemen kitosan lebih banyak.
Kitin dan kitosan dapat digunakan sebagai pengawet, selain itu pada industry
kertas, tekstil, serta sebagai bahan tambahan pangan, memberi flavor,
membentuk tekstur, menjernihkan minuman.
Semarang, 2 Oktober 2015
Praktikan Asisten Dosen
Natanael Hogan S. Tjan, Ivana Chandra
13.70.0080
5. DAFTAR PUSTAKA
Alamsyah, R., et al.. (2007). Pengolahan Khitosan Larut dalam Air dari Kulit Udang
sebagai Bahan Baku Industri
Angka SL, Suhartono TS. 2000. Bioteknologi Hasil Laut. Bogor: Pusat Kajian Sumber
Daya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. hlm 49-56.
Astawan, M. & M. W. Astawan. (1988). Teknologi Pengolahan Pangan Hewani Tepat
Guna. Akademika Pressindo. Bogor. AVI Publishing Co., Inc., Connecticut
Bastaman S. (1989). Studies on degradation and extraction pf chitin and chitosan from
Prawn shells. Dept Mechanical Manufacturing, Aeronautical and Chemical
Engineering. Queen’s Univ. Belfast
Darmawan, E., Sri Mulyaningsih., & Feris Firdaus. (2007). Karakteristik Khitosan yang
Dihasilkan dari Limbah Kulit Udang dan Daya Hambatnya Terhadap Pertumbuhan
Candida Albicans
Handayani, T. (2004). Pengaruh habitat Hidup Udang dan Urutan Proses Ekstraksi
terhadap Kualitas Chitin dan Chitosan Kulit Udang serta Pemanfaatannya sebagai
Bahan Koagulasi pada Sari Buah Tomat. Undergraduate Thesis dari JIP TUMM /
2004-06-28
Hirano. (1989). Production and Aplication on Chitin and Chitosan in Japan from
crustacean by-products: Biological and physicochemical properties. African Journal
of Biotechnology Vol. 10 (4), pp. 640-647.
Jothi & Nachiyar. (2013). Identification and Isolation of Chitin and Chitosan from
Cuttle Bone of Sepia prashadi Winckworth, 1936. Global Journal of Biotechnology
& Biochemistry 8(2):33-39.
Kaunas. (1984). Meat, Poultry, and Seafood Technology. Neyes Data Coorporation,
USA.
Kaya et al. (2014). Bat Guano as New and Attractive Chitin and Chitosan Source.
Frontiers in Zoology 2014, 11:59.
Kumirska et al. (2010). Application of Spectroscopic Methods for Structural Analysis
of Chitin and Chitosan. Marine Drug 2010, 8.
15
16
Lehninger, A.L. (1975). Biochemistry. 2nd Ed. Worth Publisher Inc., New York
Macklin, B. (2008). Limbah Cangkang Udang Menjadi Kitosan.
Marganov. (2003).Potensi Limbah Udang sebagai Penyerap Logam Berat (Timbal,
Kadmium, dan Tembaga) di Perairan.
Moeljanto. (1992). Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Muzzarelli, & M. G. Peter . (1997). Chitin Handbook. European Chitin Society. Italy.
Muzzarelli, R. A. A. (1985). Chitin in the Polysaccharides vol. 3, pp. 147, Aspinall (ed)
Academic press Inc., Orlando, San Diego.
Peter, M. G. (1995). Application and Environmental Aspects of Chitin and Chitosan.
Journal of Pure and Appl. Chem. Marcel Dekker, Inc., Germany. Hlm. 629-639.
Purwaningsih. (1994). Teknologi Pembekuan Udang. PT Penebar Swadaya. Bogor.
Puspawati, N.M & I N. Simpen. (2010). Optimasi Deasetilasi Khitin Dari Kulit Udang
dan Cangkang Kepiting Limbah Restoran Seafood Menjadi Khitosan Melalui
Variasi Variasi Konsentrasi NaOH. Jurnal Kimia 4 (1),: 79-90.
Puvvada, Yateendra Shanmukha, Saikishore Vankayalapati, & Sudheshnababu
Sukhavasi. (2012). Extraction of Chitin from Chitosan from Exoskeleton of Shrimp
for Application in The Pharmaceutical industry. International Current
Pharmaceutical Journal 1(9): 258-263.
Wieczorek et al. (2014). Microbial Responses to Chitin and Chitosan in Oxic and
Anoxic Agricultural Soil Slurries. Biogeosciences, 11, 3339-3352.
Zakaria et al. (2012). Effect of Degree of Deacetylation of Chitosan on Thermal
Stability and Compatibility of Chitosan-Polyamide Blend. Bioresources 7 (4),
5568-5580.
6. LAMPIRAN
6.1. Perhitungan
6.1.1. Kelompok B1
6.1.1.1. Rendemen Kitin I
6.1.1.2. Rendemen Kitin II
6.1.1.3. Rendemen Kitosan
6.1.2. Kelompok B2
6.1.2.1. Rendemen Kitin I
6.1.2.2. Rendemen Kitin II
17
18
6.1.2.3. Rendemen Kitosan
6.1.3. Kelompok B3
6.1.3.1. Rendemen Kitin I
6.1.3.2. Rendemen Kitin II
6.1.3.3. Rendemen Kitosan
6.1.4. Kelompok B4
6.1.4.1. Rendemen Kitin I
19
6.1.4.2. Rendemen Kitin II
6.1.4.3. Rendemen Kitosan
6.1.5. Kelompok B5
6.1.5.1. Rendemen Kitin I
6.1.5.2. Rendemen Kitin II
6.1.5.3. Rendemen Kitosan
20
6.2. Laporan Sementara
6.3. Diagram Alir
6.4. Abstrak Jurnal
Recommended