View
237
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
CRITICAL POLICY ANALYSIS PERATURAN DAERAH
NOMOR 12 TAHUN 2007 TENTANG PENYANDANG MASALAH
KESEJAHTERAAN SOSIAL DALAM PENANGANAN ANAK JALANAN
STUDI KASUS KABUPATEN TANGERANG
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Ilmu Sosial Pada Konsentrasi Kebijakan Publik
Program Studi Ilmu Administrasi Negara
Oleh :
Faizah Noor
6661130405
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
SERANG, 2017
ABSTRAK
Faizah Noor. NIM. 6661130405. SKRIPSI. Program Studi ilmu Administrasi
Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sultan Ageng
Tirtayasa. Critical Policy Analysis Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2007
tentang Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial dalam Penanganan Anak
Jalanan Study Kasus : Kabupaten Tangerang. Pembimbing I : Riswanda,
Ph.D dan Pembimbing II : Ima Maesaroh, M.Si
Anak-anak seharus diberi penghidupan layak dan jangan sampai putus sekolah,
penghidupan yang layak dalam hal pendidikan, kesehatan, tempat hidup dan juga
kesejahteraan yang harus anak dapatkan. Pemerintah Kabupaten Tangerang
mempunyai peraturan untuk memenuhi kesejahteraan anak tersebut yakni dalam
Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2007 tentang Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial. Peraturan Daerah ini menyebutkan bahwa anak jalanan
merupakan bagian dari Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial, yakni dalam
pasal 9 point 3 “Anak Jalanan yaitu anak yang berusia 5 sampai dengan dibawah
18 tahun dan belum pernah menikah yang menghabiskan sebagian besar waktunya
untuk mencari nafkah dan atau berkeliaran di jalanan atau di tempat-tempat
umum”. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui bagaimana penanganan
anak jalanan di Kabupaten Tangerang. Masalah yang terdapat dalam penelitian ini
adalah tidak terstukrurnya penanganan anak jalanan dengan baik dan jelas, belum
optimalnya koordinasi dan kerjasama antar Organisasi Perangkat Daerah yang
terkait, tidak adanya panti khusus pembinaan atau penanganan untuk anak jalanan,
masih banyaknya kekurangan di dalam Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2007
seperti belum adanya petunjuk dan teknis. Penelitian ini menggunakan metode
kualitatif pendekatan eksploratif. Kesimpulan dari penelitian ini bahwa
penanganan anak jalanan di Kabupaten Tangerang belum optimal. Saran yang
peneliti ajukan adalah harus membuat program yang terstruktur dan terarah, harus
dan kerjasama yang dilakukan antar Organisasi Perangkat Daerah seperti
mengadakan rapat kerja, Pemerintah pusat harus membangun panti khusus anak
jalanan minimal di Provinsi Banten, harus adanya perubahan Peraturan Daerah
nomor 12 tahun 2007 seperti adanya petunjuk dan teknis.
Kata Kunci : Penanganan, Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial.
ABSTRACT
Faizah Noor. NIM. 6661130405. Thesis. Public Administration Departement,
Faculty of Social Science and Political Science, Sultan Ageng Tirtayasa
University. Critical Policy Analysis of Regional Regulation Number 12 Year
2007 regarding to Social Welfare Problems in Handling of Street Children Case
Study : Tangerang Regency. Counselor I: Riswanda, Ph. D and Counselor II:
Ima Maesaroh, M.Si.
Children should be given a decent livelihood and let them to do not drop out of
the school, decent live in terms of education, health, living place and welfare that
children should get. The Government of Tangerang Regency has a regulation to
fulfill the children welfare which is contained in the Local Regulation Number 12
Year 2007 regarding to Social Welfare Problems. This Regional Regulation states
that street children are part of the Social Welfare Problem, namely in article 9
point 3 "Street Children, are the children with the age of 5 to under 18 years old
and have never married, who spend most of his time to earn a living and or
wander in street or in public places ".The purpose of this reseacrh is to know how
the handling of street children on Tangerang Regency. Problem statement on this
research is the lack structured of handling street children with good and clear
handling, not yet optimal coordination and cooperation among organizations of
related Regional Apparatus, the absence of special coaching or handling institute
for street children, there are still many deficiencies in Regional Regulation
Number 12 Year 2007 such as the absence of technical guidance.This research
uses qualitative method with explorative approach. The results of this research
shows that street children handling on Tangerang Regency has not been optimal.
Researcher suggests that the government have to make structured and targeted
program, have to cooperate well with the related Regional Apparatus such as the
doing work agreement, Central Government must build a special intitution for
street children in Banten Province, there should be a change of Regional
Regulation number 12 in 2007 such as guidance and technical things.
Keywords :, Handling, Social Walfare Problem
i
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatu,
Alhamdulillah Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahu
Wata”ala yang telah menganugrahi limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada
seluruh umat di bumi, Shalawat serta salam tercurahkan kepada Nabi Besar
Muhammad Shallahu’alaihi Wassalam sehingga penulis dapat menyelesaikan
proposal penelitian skripsi ini yang berjudul “Critical Policy Analysis Peraturan
Daerah Nomor 12 Tahun 2007 Tentang Penyandang Masalah Kesejahteraan
Sosial dalam Penanganan Anak Jalanan Studi Kasus Kabupaten
Tangerang”.
Proposal penelitian skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat tugas akhir
Studi Strata Satu (S1) untuk mendapat gelar kesarjanaan pada Konsentrasi
Kebijakan Publik Jurusan Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
Penulis menyadari dalam penyusunan proposal skripsi ini tentunya banyak
dukungan dari semua pihak baik moril maupun materil. Oleh sebab itu, maka pada
kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Sholeh Hidayat, M.Pd., Rektor Universitas Sultan
Ageng Tirtayasa.
2. Bapak DR. Agus Sjafari, M.Si., Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
ii
3. Ibu Rahmawati, S.Sos., M.Si., Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
4. Bapak Iman Mukhroman, S.Sos, M.Si., Wakil Dekan II Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
5. Bapak Kandung Sapto Nugroho, S.Sos, M.Si., Wakil Dekan III
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng
Tirtayasa
6. Ibu Listyaningsih, M.Si., Ketua Jurusan Ilmu Administrasi Negara
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng
Tirtayasa.
7. Bapak Riswanda, Ph.D Sekretaris Jurusan Ilmu Administrasi Negara
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng
Tirtayasa, sekaligus sebagai Dosen Pembimbing Skripsi I yang telah
memberikan bimbingan dan arahan dalam mengembangkan pemikiran
kepada penulis dalam menyelesaikan proposal penelitian ini.
8. Ibu Ima Maesaroh, M.Si sebagai Dosen Pembimbing II yang selalu
menyempatkan waktunya untuk membimbing, mengarahkan, dan
memberikan masukan terhadap penelitian penulis.
9. Bapak Dr. Abdul Apip, sebagai Dosen Pembimbing Akademik yang
telah mengarahkan dan memberi dukungan agar terus stabil dan
meningkatkan kualitas maupun kuantitas semasa perkuliahan di setiap
semester.
iii
10. Kepada seluruh Dosen dan Staff Jurusan Ilmu Administrasi Negara
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng
Tirtayasa yang tidak bisa Saya sebutkan satu persatu, yang telah
membekali ilmu selama perkuliahan dan membantu dalam
memberikan informasi selama proses perkuliahan.
11. Terimakasih banyak untuk Papah, Mamah maafkan zazah belum bisa
membahagiakan, untuk Bang Empi, Bang Oi, Ka Tatun, Dilah, yang
selalu memberikan semangat dan mengingatkan tidak boleh pesimis,
kepada belahan jiwa ku Fuji, Aulia, Wilda, Mila. Terimakasih kalian
yang sudah memberikan dukungan yang sangat amat berarti baik
secara moril maupun materil yang tidak akan tergantikan.
12. Kepada Dinas Sosial, Ibu Lili, dan Bapak Endang. Kepada Satuan
Polisi Pamong Praja yang sudah mengijinkan penulis untuk melakukan
penelitian dan sangat bersedia untuk dijadikan informan.
13. Kepada para sahabat yang dari Sekolah Dasar yang tempat berbagi
setiap suka dan duka, serta memberikan semangat dan motivasi, Firqha
Andjani, Fenni Pratiwi, dan Nelly Eviana.
14. Kepada para sahabat seperjuanganku yang menjadi partner dalam
memperoleh Gelar S1 yang selalu ada disaat suka maupun duka,
tempat dimana mengeluh, dan tempat diskusi apapun itu, yaitu Hanny
Minati , Mila Octafia, Yunita Rizky, Apriadalista Nurul Pertiwi, dan
Wulan Resti Fauziah.
iv
15. Kepada teman-temen seperjuangan Angkatan 2013, khususnya kelas A
Administrasi Negara yang telah menjadi sumber kebahagiaan dan
selalu ada disaat duka selama menjalani perkuliahan yaitu Devi, Linda,
Dila, Adis, Asep, Delki, Winda, Lailliyah, Resty, Abha, Soli, Jumhari,
Satrio, Rifki, Kartiwa, Fardan, serta teman-teman lainnya.
16. Kepada geng Critical, yang selalu memberikan semangat dan tempat
berdiskusi segala ketidaktahuan dan pengetahuan kita.
17. Serta semua pihak yang terlibat dalam membantu penulis untuk
memberikan arahan, bimbingan, semangat, dan doa yang tidak dapat
disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa sebagai manusia yang tak luput dari
kesempurnaan yang tentunya memiliki keterbatasan yang terdapat kekurangan
dalam penyusunannya. Oleh sebab itu, penulis meminta maaf apabila ada
kesalahan dan kekurangan dalam proposal penelitian ini. Penulis mengharapkan
segala masukan baik kritik maupun saran dari pembaca yang dapat membangun
demi penyempurnaan skripsi ini.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatu,
Serang, Maret 2017
Penulis
Faizah Noor
v
“Jangan menunggu; tidak akan pernah ada waktu yang tepat. Mulailah di
mana pun Anda berada, dan bekerja dengan alat apa pun yang Anda
miliki. Peralatan yang lebih baik akan ditemukan ketika Anda
melangkah.” – Napoleon Hill
”Lisan orang yang berakal berada di belakang hatinya. Jika ia hendak berkata, ia berpikir. Jika itu baik baginya maka ia berbicara, tapi jika tidak, ia diam.
Sedangkan hati orang bodoh berada di belakang lisannya, jika ia ingin bicara, ia bicara, tak peduli pembicaraannya itu bermanfaat atau madharat baginya.”
(Hasan Al Bashri)
PERSEMBAHAN: “Skripsi ini buat mamah, papah, bang empi, bang oi, kaka, dilong, dan ke empat mutiaraku, terimakasih atas semua dukungan nya. Semoga kita semua bahagia dunia akhirat. Aamiin Allahuma Aamiin”
v
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL
ABSTRAK
ABSTRACT
LEMBAR PERSETUJUAN
LEMBAR ORISINALITAS
KATA PENGANTAR ................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................. v
DAFTAR GRAFIK ....................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... x
DAFTAR TABEL .......................................................................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah ....................................................... 1
1.2 Identifikasi Masalah ............................................................. 15
1.3 Batasan Masalah ................................................................... 16
1.4 Rumusan Masalah ................................................................ 16
1.5 Tujuan Penelitian .................................................................. 17
1.6 Manfaat Penulisan ................................................................. 17
1.6.1 Manfaat Praktis .......................................................... 17
vi
1.6.2 Manfaat Teoritis ........................................................ 17
1.7 Sistematika Penulisan ........................................................... 18
BAB II DESKRIPSI TEORI, KERANGKA BERFIKIR DAN
ASUMSI DASAR PENELITIAN
2.1 Deskripsi Teori ..................................................................... 23
2.1.1. Pengertian Kebijakan ............................................... 24
2.1.2. Pengertian Kebijakan Publik ..................................... 26
2.1.3. Critical System Thinking ......................................... 29
2.1.4. Pengertian Anak Jalanan .......................................... 39
2.2 Penelitian Terdahulu ............................................................ 45
2.3 Kerangka Berfikir Penelitian ................................................ 47
2.4 Asumsi Dasar ....................................................................... 50
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian ................................................................. 51
3.2 Fokus Penelitian .................................................................... 52
3.3 Lokasi Penelitian ................................................................. 53
3.4 Fenomena yang diamati ....................................................... 54
3.4.1 Definisi Konsep .......................................................... 54
3.4.1 Definisi Operasional ................................................... 55
3.5 Instrumen Penelitian ............................................................ 577
vii
3.6 Informan Penelitian .............................................................. 59
3.7 Teknik Pengumpulan dan Analisis Data ............................... 61
3.8 Uji Keabsahan Data ............................................................. 71
3.9 Jadwal Penelitian ................................................................. 74
BAB IV HASIL PENELITIAN
4.1 Deskripsi Objek Penelitian ..................................................... 75
4.1.1 Gambaran Umum Kabupaten Tangerang ............................ 75
4.1.2 Gambaran Umum Dinas Sosial Kabupaten Tangerang ....... 77
4.2 Deskripsi Informan Penelitian ................................................ 79
4.3 Critical Policy Analysis Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun
2007 tentang Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial
(PMKS) Kabupaten Tangerang ............................................. 81
4.4 Deskripsi Data ........................................................................ 91
4.5 Analisa Data Penelitian .......................................................... 92
4.5.1 Sources of motivation (Sumber Motivasi) .......................... 92
4.5.1.1 Stakeholder (Pihak Yang Terlibat) ................................... 93
4.5.1.2 Purpose (Tujuan) .............................................................. 98
4.5.1.3 Measure of improvement (Ukuran Perbaikan) ................. 101
4.5.2 Sources of power (Sumber Kekuatan) ................................. 107
4.5.2.1. Decision-maker (Pembuat Keputusan) ............................ 107
4.5.2.2 Resources (Sumber Daya) ................................................ 113
4.5.2.3 Decision environment (Keputusan Lingkungan) ............ 114
viii
4.5.3 Sources of Knowledge (Sumber Pengetahuan) .................... 117
4.5.3.1 Professional (Tenaga Ahli) ............................................... 117
4.5.3.2 Expertise (Keahlian) ......................................................... 120
4.5.3.3 Guarantee (Jaminan) ........................................................ 123
4.5.4 Sources of legitimation (Sumber Pengesahan) .................... 123
4.5.4.1 Witness ............................................................................. 124
4.5.4.2 Emancipation ................................................................... 129
4.5.4.3 Word View ........................................................................ 130
4.6 Pembahasan ............................................................................ 136
4.6.1 Sources of motivation (Sumber motivasi) ........................... 137
4.6.2 Sources of power (Sumber kekuatan) .................................. 144
4.6.3 Sources of Knowledge (Sumber Pengetahuan ..................... 147
4.6.4 Sources of Legitimation (Sumber Pengesahan) ................... 148
BAB IV PENUTUP
5.1 Kesimpulan ............................................................................. 165
5.2 Saran ....................................................................................... 168
DAFTAR PUSAKA
LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
ix
DAFTAR GRAFIK
Halaman
Grafik 1.1 Pertumbuhan Anak Jalanan di Provinsi Banten ............................. 5
Grafik 1.2 Jumlah Anak Jalanan Kabupaten Tangerang Tahun 2013 – Tahun
2016 .............................................................................................. 9
Grafik 1.1 Perkiraan Jumlah Anak Jalanan di Indonesia ............................... 6
Grafik 1.2 Pertumbuhan Anak Jalanan di Banten .......................................... 35
x
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 The Eternal Triangle of Boundary Judgments ............................ 33
Gambar 2.2 Kerangka Berfikir ........................................................................ 50
Gambar 3.1 Analisis Data Miles dan Huberman ............................................ 71
Gambar 4.1 Struktur Organisasi Dinas Sosial Kabupaten Tangerang ............ 80
Gambar 4.2 Kerangka Berfikir Boundary Judgments ..................................... 128
xi
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1.1 Laju Pertumbuhan Penduduk berdasarkan Provinsi Indonesia ....... 5
Tabel 1.2 Jumlah Anak Jalanan Berdasarkan Kabupaten/Kota Provinsi
Banten Tahun 2015 – 2016 .......................................................... 7
Tabel 1.3 Program Prioritas Dinas Sosial Kabupaten Tangerang Tahun 2016 11
Tabel 2.1 Boundary Categories .................................................................... 34
Tabel 2.2 Panduan Pertanyaan Kritis ........................................................... 36
Tabel 3.1 Informan Penelitian ...................................................................... 61
Tabel 3.2 Pedoman Wawancara ................................................................... 66
Tabel 3.3 Jadwal Penelitian .......................................................................... 74
Tabel 4.1 Daftar Informan Penelitian ........................................................... 84
Tabel 4.2 Sasaran Kebijakan Dinas Sosial Bagi Penyandang Masalah
Kesejahteran Sosial ...................................................................... 131
Tabel 4.3 Program Prioritas Dinas Sosial Kabupaten Tangerang terhadap
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial ................................. 133
Tabel 4.4 Data Anak Jalanan Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi
Banten Tahun 2017 ..................................................................... 134
Tabel 4.5 Temuan Lapangan ....................................................................... 143
Tabel 4.6 Temuan Lapangan Sebetulnya dan Seharusnya ........................... 153
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Surat Izin Penelitian
Lampiran 2 Member Check
Lampiran 3 Dokumentasi Penelitian
Lampiran 4 Catatan Bimbingan
Lampiran 5 Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2007 Tentang Penyandang
Masalah Kesejahteraan Kabupaten Tangerang
Lampiran 6 Daftar Riwayat Hidup
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Negara Indonesia merupakan salah satu negara berkembang, sebagai
negara berkembang Indonesia masih dalam taraf pembangunan berkelanjutan dari
semua aspek, aspek ekonomi, aspek sosial, aspek budaya, untuk mencapai tujuan
Negara yang telah tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu
melindungi segenap bangsa Indonesia, dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Namun untuk mencapai tujuan Negara banyak permasalahan yang harus diatasi,
diantaranya yakni masalah sosial. Masalah sosial memang menjadi perhatian
khusus bagi pemerintah untuk menjadikan warga negara lebih sejahtera secara
mental maupun fisik, dan memberikan hak-hak yang memang semestinya
didapatkan oleh seluruh kalangan umur, tidak terkecuali yakni anak-anak.
Dalam perjalanan hidupnya menuju kedewasaan, anak mendapatkan
banyak tantangan, baik dalam bentuk fisik, mental, maupun sosial, oleh karena
itu, anak perlu mendapatkan perlindungan. Pada dasarnya anak adalah amanah
dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan
martabat sebagai manusia seutuhnya. Anak merupakan tunas sumber potensi dan
generasi muda penerus perjuangan cita-cita bangsa dimasa yang akan datang, oleh
karena itu sebagai pemerintah haruslah memberikan penghidupan yang layak
untuk menunjuang kebutuhannya.
2
Anak-anak seharus diberi penghidupan layak dan jangan sampai putus
sekolah, penghidupan yang layak dalam hal pendidikan, kesehatan, tempat hidup
dan lainnya yang harus anak dapatkan. Kenyataannya, 50% dari anak-anak yang
lulus Sekolah Dasar diteliti ironisnya tidak dapat melanjutkan ke tingkat sekolah
menengah. Indonesia termasuk dalam salah satu tingkat kemiskinan tertinggi di
Asia – 70% anak-anak yang tinggal di daerah pedesaan berhadapan dengan resiko
bertumbuh dalam kemiskinan. Harus dipastikan semua anak mendapatkan awal
kehidupan yang terbaik. Walaupun kedua orangtua bekerja keras untuk
memberikan kesempatan bagi anak-anaknya, mereka tetap mengalami kelaparan
dan berhenti bersekolah untuk membantu keluarganya. Kemiskinan merupakan
salah satu penyebab mengapa orangtua menempatkan anak mereka di lembaga
penitipan anak. Lembaga-lembaga tersebut bertujuan untuk merawat anak-anak
yang rentan, yatim piatu dan anak-anak yang dibuang. Namun sebagian besar
berasal dari keluarga miskin dengan harapan menempatkan mereka di lembaga
untuk memberikan masa depan yang lebih baik karena pendidikan mereka
terjamin (SaveTheChildrenIndonesia (2015), 9 November 2016).
Pemerintah sudah berkeharusan mengadakan program-program dan
melakukan upaya agar menempatkan anak untuk mendapatkan masa depan yang
lebih cerah. Menurut Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan
Undang-undang Nomor 23 Tentang Perlindungan Anak disebutkan dalam Pasal 1
point 2 adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi Anak dan hak-
haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal
sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan
3
dari kekerasan dan diskriminasi. Hal ini harus didapat oleh seluruh anak, termasuk
anak jalanan.
Bahwa anak jalanan adalah komunitas dimana seluruh anggotanya berusia
dibawah umur, tidak terikat dengan keluarga tertentu dan hidup dan tumbuh di
jalanan. Soedijar (1989) juga memberikan definisi :
“bahwa anak jalanan adalah berusia diantara tujuh hingga lima belas
tahun yang mana mereka memilih untuk mencari penghasilan di jalanan,
yang tidak jarang menimbulkan konflik ketenangan, ketentraman dan
kenyamanan orang lain di sekitarnya, serta tidak jarang membahayakan
dirinya sendiri.”
Pada tahun 2014 kala itu Menteri Sosial Republik Indonesia Salim Segaf
Al-Jufri mengakui jumlah anak terlantar di Indonesia mencapai 5,4 juta orang.
Ironisnya baru sekitar 200.000 anak terlantar yang ditangani oleh pemerintah.
Namun Kementerian Sosial mencanangkan sebuah gerakan, akhir tahun 2014 ini
Indonesia bebas dari anak jalanan. Angka anak jalanan terus meningkat dari tahun
ke tahun hingga mencapai 5,4 juta orang. Meski demikian, Kementerian Sosial
Republik Indonesia menegaskan bahwa akhir tahun 2014 ini Indonesia akan bebas
dari masalah anak jalanan. Hal ini karena sejak tahun 2011 Kementerian Sosial
Republik Indonesia telah melakukan penanganan sekitar 80 persen anak jalanan.
Artinya saat ini masih tersisa 20 persen lagi anak jalanan yang belum tertangani.
Untuk menuntaskan anak terlantar ini diperlukan dana yang bersumber dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Selain itu diharapkan
Provinsi, Kabupaten dan Kota di seluruh Indonesia dapat mengalokasikan dana
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk menangani masalah
4
anak terlantar.(Tribunnews (2013). 2014 : Indonesia Bebas dari Anak Jalanan?,
10 Nov 2016)
Sama halnya seperti Menteri Sosial Republik Indonesia sebelumnya,
Salim Segaf Al-Jufri pada tahun 2013. Tahun 2016 Menteri Sosial Republik
Indonesia yakni Khofifah Parawansa, kembali mendeklarasikan bahwa tahun
2017 Indonesia akan bebas anak jalanan seperti halnya dikutip dari suatu media
bahwa akhir 2017 Indonesia ditargetkan akan bebas anak jalanan dengan jumlah
anak jalanan pada tahun 2016 . (Tribunnews (2016). Mensos Targetkan 2017
Indonesia Bebas Anak Jalanan. 11 November 2016).
Jumlah anak jalanan diperkirakan semakin meningkat, bahwa anak jalanan
di Indonesia mengalami peningkatan jumlah anak jalanan terus meningkat. Saat
ini tercatat di Kementerian Sosial (Kemensos) mencapai sekitar 4,1 juta jiwa.
Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa menyebutkan jumlah anak jalanan
meningkat 100% dibandingkan dengan tahun 2015. Semua itu ditampung di 6
Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA) di seluruh Indonesia, belum lagi
ditambah dengan jumlah anak jalanan yang tersebar di jalan dan belum terkena
penanganan. (JawaPos (2016). Jumlah Anak Jalanan Meningkat Jadi 4,1 Juta. 11
Nov 2016).
Latar belakang peneliti memilih Provinsi Banten dikarenakan Provinsi
Banten merupakan provinsi yang berdekatan dan menjadi penyokong Ibukota
Indonesia yakni Jakarta, serta Provinsi Banten merupakan provinsi yang
mempunyai pelabuhan Merak, dimana pelabuhan yang menjadi penyeberangan
5
antara pulau Jawa dan Sumatera, yang dijadikan pusat transit yang setiap
mengalami pertumbuhan penduduk yang signifikan. Dari data terakhir yakni
berikut adalah data laju pertumbuhan. Berdasarkan dari Badan Pusat Statistik
(2017) dalam Laju Pertumbuhan Penduduk 2010-2015 bahwa Indonesia
mempunyai 9 (sembilan) laju pertumbuhan penduduk tertinggi, yakni Aceh 2,03,
Sulawesi Tenggara 2,18, Maluku Utara 2,18, Kalimantan Tengan 2,36, Riau 2,62,
Papua 2,63, Kalimantan Timur 2,64, Banten 2,78, dan Kepulauan Riau 3,11.
Hanya Provinsi Banten wilayah yang berada di pulau jawa dan Provinsi yang
berdekatan dengan Ibukota Indonesia yang memiliki laju pertumbuhan penduduk
cukup tinggi yakni pada posisi ke 8 (delapan) di wilayah Indonesia yakni dengan
angka 2,78. Berikut merupakan drafik pertumbuhan anak jalanan di Provinsi
Banten tahun 2011-2014 :
Grafik 1.1 Pertumbuhan Anak Jalanan di Provinsi Banten
(Sumber : Dinas Sosial Provinsi Banten 2016)
Berdasarkan gambar grafik di atas, selama tahun 2011 sampai tahun 2014,
jumlah anak jalanan di Banten data menunjukan bahwa pertumbuhan secara
0
200
400
600
800
1.000
1.200
1.400
1.600
1.800
2011 2012 2013 2014
Laki-laki
Perempuan
Total
6
fluktuatif. Pada tahun 2011, jumlah anak jalanan cukup tinggi yaitu di atas 1.628
orang dengan jumlah anak perempuan 348 dan anak laki-laki sebanyak 1296.
Pada tahun 2012, jumlah anak jalanan menurun cukup drastis hampir setengahnya
dari keadaan tahun 2011 yaitu menjadi 873 orang dengan jumlah anak perempuan
sebanyak 217 dan anak laki-laki 674. Jumlah anak jalanan tahun 2013 mengalami
peningkatan yakni jumlah anak perempuan sebanyak 170 dan anak laki-laki 797
dengan total anak jalanan berjumlah 1.076 orang, kemudian berkurang lagi
menjadi 889 orang pada tahun 2014.
Kabupaten Tangerang merupakan daerah yang stategis dijadikannya pusat
transit dan urbanisasi, selain itu Kabupaten Tangerang merupakan sektor industri
dan manufaktur. Kabupaten Tangerang memiliki 29 Kecamatan. Dari data Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil bahwa pada tahun 2016 jumlah penduduk
Kabupaten Tangerang berjumlah 3.249.328 jiwa yang terdiri dari 1.679.163 laki
laki dan 1.570.165 perempuan. Hal ini tidak menimbulkan dampak yang positif
terdapat pula dampak positifnya artinya hal ini juga akan menimbulkan masalah,
bagi individu yang tidak mampu bersaing maka akan menjadi kendala dalam
kesejahteraan hidupnya, masalah yang timbul yakni kemiskinan, pengangguran,
kriminalitas dan lainnya, serta menjadikan individu yang tidak mampu bersaing
akan menimbulkan masalah sosial seperti, adanya gelandangan, pengemis, serta
anak jalanan. Dibawah ini merupakan tabel jumlah anak jalanan berdasarkan
Kabupaten/Kota Provinsi Banten :
7
Tabel 1.2 Jumlah Anak Jalanan Berdasarkan Kabupaten/Kota Provinsi
Banten Tahun 2015 - 2016
No. Kabupaten/Kota
Ketelantaran
Anak Jalanan
Tahun 2015 Tahun 2016
(L) (P) Jumlah (L) (P) Jumlah
1
Kabupaten
Pandeglang 173 128 301 0 0 0
2
Kabupaten
Lebak 64 81 145 68 16 84
3
Kabupaten
Tangerang 387 278 585 75 17 92
4
Kabupaten
Serang 55 45 100 109 23 132
5 Kota Tangerang 86 93 179 42 7 49
6 Kota Cilegon 4 5 9 14 1 15
7 Kota Serang 65 30 95 151 30 181
8
Kota Tangerang
Selatan 221 198 419 0 3 3
Jumlah 975 858 1833 459 97 556
(Sumber : Dinas Sosial Provinsi Banten, 2017)
Berdasarkan data jumlah anak jalanan Kabupaten/Kota Provinsi Banten,
pada tahun 2015 jumlah anak jalanan sebanyak 1.833 anak, tahun 2016 berjumlah
556 anak, dan berdasarkan laporan akhir pada bulan Juli bahwa jumlah anak
jalanan sebanyak 361. Meskipun data menunjukan penurunan jumlah dari tahun
2015-2017 namun tidak dapat dipastikan jumlah anak jalanan akan terus menurun,
dikarenakan anak jalanan sendiri yang berpindah-pindah tempat
(nomaden).(sumber : Observasi Awal. Arini. Supervisor Satuan Bakti Pekerja
Sosial Provinsi Banten, 14 April 2017).
Data pada tabel 1.2 menunjukan bahwa Kabupaten Tangerang merupakan
daerah yang memiliki jumlah angka yang paling tinggi, yakni pada tahun 2015
8
585 anak, tahun 2016 sebanyak 92 anak. Pada tabel di atas menunjukan pada
tahun 2016 Kabupaten Tangerang merupakan jumlah ketiga tertinggi yakni yang
pertama Kota Serang sebanyak 181 jiwa, Kabupaten Serang 132, dan Kabupaten
Tangerang sebanyak 92 jiwa.
Pemerintah Kabupaten Tangerang telah membuat peraturan yang
bertujuan untuk menangani masalah ini yakni dalam Peraturan Daerah Kabupaten
Tangerang Nomor 12 tahun 2007 tentang Perlindungan Sosial Bagi Penyandang
Masalah Kesejahteraan Sosial yang dinyatakan dalam pasal 2 dalam point 1
bahwa Peraturan Daerah tentang perlindungan sosial bagi penyandang masalah
kesejahteraan sosial dimaksudkan untuk dijadikan pedoman dalam upaya
memberikan perlindungan dan jaminan sosial dengan menjunjung tinggi Hak
Asasi Manusia dan dalam point 2 yaitu perlindungan sosial adalah upaya
Pemerintah dan atau Masyarakat sebagai wujud jaminan, pemeliharaan dan
peninggkatan kesejahteraan sosial bagi warga negara sesuai harkat dan martabat
manusia, yang meliputi :
a. Hak untuk hidup dan berkembang dengan layak.
b. Hak untuk mendapat keamanan dan ketertiban.
c. Hak untuk melaksanakan aktivitas dalam kehidupan.
d. Hak memperoleh jaminan kesehatan.
e. Hak memperoleh jaminan pendidikan.
Kemudian tercamtum pula di pasal 9 yang berbunyi, termasuk Kelompok
Keterlantaran, yaitu: yang terdapat di point 3 : “Anak Jalanan yaitu anak yang
berusia 5 sampai dengan dibawah 18 tahun dan belum pernah menikah yang
menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mencari nafkah dan atau
9
berkeliaran di jalanan atau di tempat-tempat umum”. Berikut merupakan jumlah
anak jalanan di Kabupaten Tangerang :
Grafik 1.2 Jumlah Anak Jalanan Kabupaten Tangerang
Tahun 2013 – Tahun 2016
(Sumber : Dinas Sosial Kabupaten Tangerang 2016)
Berdasarkan gambar grafik 1.2, menjelaskan bahwa pada tahun 2013 dengan
jumlah 350 anak, tahun 2014 sebanyak 131 anak, tahun 2015 sebanyak 585 anak
dan pada tahun 2016 berjumlah 92 anak. Data ini menunjukkan ketidakstabilan
data. Peningkatan Anak Jalanan ini bertolak belakang atau tidak sesuai dalam
yang terdapat di Pasal 4 Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2007 yaitu :
1. Perlindungan Sosial dapat dilakukan berupa tindakan-tindakan yang
bersifat pencegahan (preventif), penyelematan (persuasif), pemeliharaan
(refresif), dan pemulihan (rehabilitatif) terhadap para penyandang masalah
kesejahteraan sosial.
2. Perlindungan Sosial dalam upaya Pencegahan (preventif) yaitu tindakan
yang ditujukan untuk mencegah timbul dan meluasnya populasi dan
penyebaran Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial.
0
100
200
300
400
500
600
20132014
20152016
10
3. Perlindungan Sosial dalam pemahaman Penyelamatan (persuasif) yaitu
tindakan yang ditujukan dalam melakukan penanggulangan secara
langsung terhadap Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial.
4. Perlindungan Sosial dalam pemahaman Pemeliharaan (refresif) yaitu
tindakan yang ditujukan untuk mengurangi dan membatasi
berkembangnya dan atau meluasnya penyebaran Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial.
5. Perlindungan Sosial dalam pemahaman Penyembuhan (rehablititatif) yaitu
tindakan yang ditujukan untuk menyembuhkan, memulihkan dan
mengembalikan keberfungsian fisik, psikis, mental, dan sosial Penyandang
Masalah Kesejahteraan Sosial, sehingga mereka mampu melaksanakan
fungsi sosialnya secara normal dalam masyarakat.
Pertama, belum terstrukturnya penanganan anak jalanan secara rinci dan jelas.
Program yang diberikan oleh Dinas Sosial Kabupaten Tangerang kepada program
anak yakni hanya baru melalui Anak Terlantar. Dalam Peraturan Daerah Nomor
12 Tahun 2007 tentang Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial Kabupaten
Tangerang, dalam pasal 9 anak terlantar dan anak jalanan secara penanganan dan
pengertian dipisahkan yakni : Pasal 9 (point 2) anak terlantar adalah anak yang
berusia 5 (lima) sampai dengan dibawah 18 (delapan belas) tahun dan belum
pernah menikah yang karena sebab tertentu karena beberapa kemungkinan
(miskin atau tidak mampu), salah seorang atau kedua orang taunya sakit, salah
seorang atau kedua orang tuanya meninggal dunia, sehingga terganggunya
kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan baik jasmani, rohani, dan
sosial. Sedangkan pasal 9 (point 3) menjelaskan bahwa anak jalanan adalah anak
yang berusia 5 (lima) sampai dengan dibawah 18 (delapan belas) tahun dan belum
pernah menikah yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mencari
nafkah dan atau berkeliaran di jalanan dan di tempat-tempat umum.
Menurut Observasi awal yang dilakukan peneliti bahwa Dinas Sosial,
belum melakukan upaya yang maksimal untuk penanganan anak jalanan di
11
kabupaten tangerang ini, karena banyak kendala, yang baru dilakukan oleh Dinas
Sosial yakni bekerjasama dengan panti-panti swasta, dan hanya baru penanganan
atau bantuan kepada anak terlantar. Anak terlantar yang ditangani oleh Dinas
Sosial juga adalah anak terlantar yang sudah ada di dalam panti yang dititipkan
oleh keluarga mereka.(Observasi awal. 20 September 2016).
Program atau bantuan kepada anak jalanan belum dilakukan dan belum
terstruktur dengan baik dan jelas, baik mengenai anggaran maupun program yang
dilakukan, hal ini juga dikatakan oleh Bapak Sobari Pengurus Yayasan Hikmah
Syahadah. Yayasan Hikmah Syahadah adalah merupakan salah satu panti yang
bekerjasama dengan Dinas Sosial mengenai penanganan anak terlantar. Yang
berperan sebagai pengurus anak-anak terlantar, yang bekerja sama dengan Dinas
Sosial Kabupaten Tangerang, Dinas Sosial juga sering melakukan kegiatan untuk
melatih anak-anak terlantar. Namun belum ada anak jalanan yang dititipkan oleh
Dinas Sosial untuk dilakukan pembinaan atau pemulihan. (Observasi awal. 2
November 2016).
Tabel 1.3 Program Prioritas Dinas Sosial Kabupaten Tangerang
Tahun 2016
No. Program Prioritas
1 Pemberdayaan Fakir Miskin, Keluarga Adat Terpencil dan PMKS lainnya
2 Pelayanan dan rehabilitasi sosial
3 Pembinaan anak terlantar
4 Pembinaan Panti Asuhan dan jompo
5 Pembinaan eks penyandang penyakit sosial
6 Pemberdayaan kelembagaan kesejahteraan sosial
12
(Sumber : Dinas Sosial Kabupaten Tangerang 2016)
Berdasarkan tabel di atas membuktikan bahwa belum ada program dari
dinas sosial untuk menjadi anak jalanan sebagai sasaran program prioritas, maka
dari itu program untuk anak jalanan tidak jelas dan tidak terarah.
Kedua, Belum optimalnya koordinasi dan kerjasama antar (OPD)
Organisasi Perangkat Daerah yang terkait. Oleh karena itu yakni penanganan dan
pembinanaan anak jalanan di kabupaten tangerang belum optimal, baik yang
dilakukan oleh Dinas Kesejahteraan Sosial maupun yang dilakukan oleh instansi
terkait lainnya, hal ini juga disebabkan kurangnya kerjasama dan koordinasi antar
dinas pemerintah maupun nonpemerintah. Hal ini dipertegas dengan wawancara
yang peneliti lakukan dengan Kepala Seksi Pelayanan Sosial Anak dan Lansia,
Dinas Sosial pada pra penelitian anak jalanan adalah masalah Penyandang
Masalah Kesejahteraan Sosial yang paling sulit ditangani, Dinas Sosial mengakui
dalam melakukan penanganan anak jalanan inikami belum optimal, masih lemah
terkait dengan data dan dengan program yang kami berikan. Karena kurangnya
koordinasi antar dinas, seperti Satuan Polisi Pamong Praja, Organisasi swasta lain
serta dinas lainnya, terlebih lagi dengan jumlah anak jalanan yang setiap tahunnya
yang terus bertambah, dan juga anak jalanan yang berpindah-pindah (nomaden).
(Observasi awal. 20 September 2016)
Hal yang serupa maknanya dengan yang dikatakan oleh Petugas Satuan
Polisi Pamong Praja Kabupaten Tangerang Bapak Agus Setiawan. Bahwa Satuan
9 Penyuluhan dan Penanggulangan Korban Bencana Alam
8 Program peningkatan kesadaran akan nilai-nilai keagamaan dan kepahlawanan
9 Program Pemakaman
13
Polisi Pamong Praja Kabupaten Tangerang hanya merazia disekitar pusat
pemerintahan Kabupaten Tangerang saja, dikarenakan banyaknya aduan dari para
staf pusat pemerintahan dan para pimpinan. Satpol PP hanya melakukan
penanganan di Tempat Kejadian Perkara (TKP) atau tempat anak jalanan terjaring
razia. Tindakan yang dilakukan Satpol PP berupa larangan secara tegas bahwa
anak jalanan tidak boleh melakukan kegiatannya seperti mengamen di jalan pusat
pemerintahan Kabupaten Tangerang, petugas Satpol PP hanya memberikan
teguran dan memberikan sanksi ringan berupa push up, para anak jalanan yang
terjaring razia juga diminta untuk melakukan pengisian Berkas Acara
Pemeriksaan (BAP) di tempat, dan setelah itu anak jalanan dilepaskan tidak
terjadi penindakan lebih lanjut. Berkas Acara Pemeriksaan (BAP) tersebut
bertujuan untuk data bagi Satpol PP sendiri guna penindakan selanjutnya jika
anak jalanan tersebut kembali terjaring razia, akan dipanggil kedua orang tuanya.
Selama ini belum ada pelaporan dari Satpol PP kepada Dinas Sosial terkait jumlah
anak jalanan yang terjaring maupun kerjasama dari kedua instansi untuk
melakukan penangkapan atau penanganan terhadap anak jalanan. Hal ini juga
dipertegas oleh pernyataan dari Lili Amalia pada observasi awal yakni Dinas
Sosial belum melakukan kerjasama dengan satpol pp terkait dengan menertiban
anak jalanan.(Observasi Awal. 20 September 2016)
Ketiga, Permasalahan anak jalanan ini juga terjadi di Kabupaten
Tangerang dan tentunya merupakan tanggung jawab bagi pemerintah berdasarkan
Undang-Undang dan Peraturan Daerah yang ada. Namun Peraturan Daerah
tersebut sudah ada sejak tahun 2007 tentang Penyandang Masalah Kesejahteraan
14
Sosial, namun sampai sekarang dirasa kurang optimalnya kerja dari pemerintah
dikarenakan belum adanya panti khusus untuk pembinaan anak jalanan.
Dikutip dari Kabar 6 : demi menekan tingginya angka anak jalanan (anjal)
di Kabupaten Tangerang, Dinas Sosial (Dinsos) Kabupaten Tangerang berencana
menyediakan rumak singgah untuk anak jalanan Kepala Bidang Rehabilitasi
Sosial pada Dinas Sosial Kabupaten Tangerang, Endang Waryo mengatakan,
persoalan anak jalanan menjadi perhatian serius pihaknya, terlebih melihat angka
anak jalanan (anjal) yang tiap tahunnya meningkat. Makanya Dinas Sosial
berencana menyediakan rumah singgah. Sekaligus memberdayakan kreatifitas
yang mereka miliki ke arah positif dan memberikan anak jalanan pendidikan yang
seharusnya mereka dapatkan. (Sumber : Kabar6. Dinsos Kabupaten Tangerang
Siapkan Rumah Singgah Untuk Anjal. Diakses Tanggal 18 September 2016)
Namun sampai saat ini rumah singgah khusus anak untuk anak jalanan
belum terealisasi. Belum adanya panti atau rumah singgah khusus anak jalanan,
terkait beberapa kendala. Yang pertama belum adanya anggaran, kedua anak
jalanan sulit untuk dibina ataupun ditangani. Dinas sosial baru melakukan
pendataan dan bila memungkinkan baru melakukan program atau kegiatan untuk
anak jalanan yang waktunya tidak dapat dipastikan kapan. (Observasi awal. 20
September 2016)
Keempat, masih banyaknya kekurangan di dalam Peraturan Daerah Nomor
12 Tahun 2007 tentang Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial. Seperti belum
adanya petunjuk pelaksana dan teknis, dan stakeholder mana saja yang
15
bertanggung jawab dalam penanganannya. Hal ini diperkuat oleh pernyataan oleh
Lili Amaliyah Kepala Seksi Kesejahteraan Anak dan Lansia, bahwa dalam
peraturan daerah ini belum ada petunjuk pelaksana dan teknis, serta tidak adanya
SOP (Standar Operasional Prosedur), belum adanya Petunjuk Pelaksana dan
Teknis, serta belum adanya Peraturan bupati sebagai bentuk terusan dari tata cara
pelaksanaan peraturan daerah terkait. Serta sejak tahun 2007 sampai tahun 2016
belum adanya Petunjuk Pelaksana dan Petunjuk Teknis untuk
mengimplementasikan Peraturan Daerah tentang Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial (PMKS).
Berdasarkan paparan yang telah peneliti jabarkan, maka dari itu peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian ini, yang berkenaan dengan judul penelitian
yakni “Critical Policy Analysis Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2007
tentang Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial Kabupaten Tangerang
(Studi Kasus : Anak Jalanan)”
1.2 Identifkasi Masalah
1. Tidak terstukrurnya penanganan anak jalanan dengan baik dan jelas.
2. Belum optimalnya koordinasi dan kerjasama antar (OPD) Organisasi
Perangkat Daerah yang terkait.
3. Tidak adanya panti khusus pembinaan atau penanganan untuk anak
jalanan.
4. Masih banyaknya kekurangan di dalam Peraturan Daerah Nomor 12
Tahun 2007 tentang Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial. Seperti
16
belum adanya Peraturan Bupati sebagai bentuk Tata Cara Pelaksanaan
Lanjutan.
1.3 Batasan Masalah
Bahwa dalam penelitian ini peneliti akan membatasi ruang lingkup
permasalahan penelitian yakni yang berkaitan atau fokus kepada dengan
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial Dalam Penanganan Anak Jalanan di
Kabupaten Tangerang yang memfokuskan penelitian kepada Anak Jalanan.
1.4 Rumusan Masalah
Berdasarkan fokus penelitian sebelumnya yang telah peneliti tetapkan,
maka penelitian dapat merumuskan masalah adalah Bagaimana Peraturan Daerah
Nomor 12 Tahun 2007 tentang Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial dalam
Penanganan Anak Jalanan di Kabupaten Tangerang?
1.5 Tujuan Penelitian
Bahwa peneliti mempunyai tujuan dalam penelitian ini yakni yang ingin
dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui secara kritis Peraturan
Daerah Nomor 12 Tahun 2007 tentang Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial
dalam Penanganan Anak Jalanan di Kabupaten Tangerang.
1.6 Manfaat Penelitian
1.6.1 Manfaat Teoritis
a. Menambah pengetahuan dibidang sosial melalui penelitian yang
dilaksanakan, sehingga diharapkan akan memberi kontribusi pemikiran
17
khususnya bagi Ilmu Administrasi Negara Universitas Sultan Ageng
Tirtayasa
b. Sebagai bahan pemahaman, pembelajaran, serta penelitian terdahulu
bagi peneliti maupun mahasiswa lain untuk melakukan penelitian yang
lebih mendalam dimasa yang akan datang.
1.6.2 Manfaat Praktis
a. Bagi Pemerintah
Diharapkan penelitian ini dapat memberikan masukan dan saran guna
mengambil langkah selanjutnya untuk kebijakan yang tepat untuk
menyelesaikan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial yaitu Anak
Jalanan di Kabupaten Tangerang.
b. Bagi Anak Jalanan
Peneliti mengharapkan anak jalanan mendapatkan Haknya selayaknya
hak anak seperti yang diundang-undangkan.
c. Bagi Peneliti
Memberikan pengetahuan, wawasan, dan pemahaman yang lebih bagi
peneliti dan memberikan kesempatan untuk mengaplikasikan ilmu dan
teori yang sudah dipelajari selama ini.
d. Bagi Masyarakat
Peneliti mengharapkan peneliti memberikan informasi yang lebih
tentang penelitian ini dan masyarakat dapat memahami bahwa
masyarakat bertanggungjawab juga dalam Penanganan Anak Jalanan
di Kabupaten Tangerang.
18
1.7 Sistematika Penulisan
Sistematika Penulisan yang dilakukan peneliti dalam penelitian ini adalah
sebagai betikut :
BAB I PENDAHULUAN
Terdiri atas Latar Belakang, Identifikasi Masalah, Batasan Masalah,
Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, dan Manfaat Penelitian.
1.1 Latar Belakang
Menjelaskan hal-hal yang menjadi ketertarikan peneliti mengenai objek
yang diteliti yang tentunya akan relevan dengan judul skripsi yang
diajukan, bermula dari lingkup yang umum, sampai mengkhususkan
kepada permasalahan terjadi, hal ini digambarkan dari penelitian awal
yang peneliti lakukan.
1.2 Identifikasi Masalah
Mendeteksi fenomena atau aspek yang menjadi permasalahan yang
berkaitan dengan tema atau judul penelitian maupun variabel yang akan
diteliti.
1.3 Batasan Masalah
Menetapkan masalah yang paling penting atau berkaitan dengan fokus
penelitian agar masalah yang diteliti tidak menjadi bias. Batasan masalah
biasanya berupa atau dalam bentuk pernyataan.
19
1.4 Perumusan Masalah
Perumusan masalah yakni mendefinisikan masalah yang telah ditetapkan
peneliti dalam bentuk pertanyaan dan akan dijawab oleh hasil penelitian.
1.5 Tujuan Penelitian
Tujuan Penelitian untuk menjawab rumusan penelitian maka dari itu harus
sejalan dengan rumusan masalah. Tujuan penelitian untuk mengungkapkan
sasaran yang hendak dicapai dalam penelitian.
1.6 Manfaat Penelitian
Dalam Manfaat Penelitian terdapat dua sudut pandang, yakni manfaat
teoritis dan manfaat praktis.
1.7 Sistematika Penulisan
Sistematika Penulisan adalah susunan atau urutan penulisan skripsi secara
menyeluruh yang terdiri atas BAB I PENDAHULUAN, BAB II
DESKRIPSI TEORI DAN ASUMSI DASAR, BAB III METODELOGI
PENELIAN, BAB IV HASIL PENELITIAN, BAB V PENUTUP
BAB II DESKRIPSI TEORI DAN ASUMSI DASAR
2.1 Deskripsi Teori
Mengkaji teori-teori dan konsep-konsep yang relevan yang berkaitan
dengan fokus penelitian secara rapi dan teratur sebagaimana semestinya.
Yang nantinya teori dan konsep tersebut akan dipilih yang paling sesuai
untuk dijadikan sebagai alat analisa.
2.2 Penelitian Terdahulu
20
Penelitian terdahulu merupakan kajian ilmiah berupa skripsi, tesis, jurnal
ilmiah, maupun desertasi yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya.
2.3 Kerangka Berfikir
Kerangka berfikir merupakan gambaran alur pemikiran peneliti sebagai
keberlanjutan dari kajian teori, yang dibuat dalam bentuk skema untuk
mempermudah pembaca untuk memahaminya.
2.4 Asumsi Dasar
Merupakan jawaban sementara berdasarkan atas temuan pada saat pra
penelitian dengan kajian teori pada penelitian yang digunakan sebagai
dasar argumentasi.
BAB III Metodelogi Penelitian
4.1 Metode Penelitian
Menjelaskan metode yang akan digunakan peneliti dalam penelitiannya
4.2 Instrumen Penelitian
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan penelitian kualitatif, maka
dalam penelitian kualitatif peneliti sendiri yang menjadi instrumen
penelitian.
4.3 Informan Penelitian
Dalam melakukan penelitian dan penggalian data dilapangan, peneliti
membutuhkan narasumber diwawancari. Penentuan informan penelitian
dapat dilakukan dengan teknik purposive atau dengan teknik snowball
sampling.
4.4 Teknik Pengumpulan Data
21
Menjelaskan teknik yang digunakan untuk wawancara secara mendalam
mendalam, dengan observasi secara berpartisipasi atau tidak berpartisipasi,
dokumen maupun pustaka.
4.5 Teknik Analisis Data
Pada Teknik Analisis Data teknik pengolahan data ke dalam bentuk yang
lebih sederhana agar mudah dipahami pembaca, dapat menggunakan kode
dan berdasarkan kategorisasi data, sehingga dapat dijadikan sebagai akhir
penelitian.
4.6 Uji keabsahan Data
Uji Keabsahan data diperlukan dalam sebuah penelitian. Uji keabsahan
data dapat dilakukan dengan triangulasi, member check, atau dengan cara
lainnya.
4.7 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian merupakan tempat atau locus penelitian dilakukan,
penelitian ini dilakukan di Kabupaten Tangerang Provinsi Banten.
4.8 Jadwal Penelitian
Menggambarkan tentang tahapan waktu yang dilakukan dalam penelitian.
BAB IV HASIL PENELITIAN
1.1 Deskripsi Objek Penelitian
Menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan objek penelitian dengan jelas,
seperti lokasi penelitian dilakukan, struktur organisasi yang berkaitan
dengan populasi, serta hal lainnya yang berkenaan dengan objek
penelitian.
22
1.2 Hasil Penelitian
Menggambarkan hasil penelitian yang telah dilakukan peneliti, yang telah
diolah dari data mentah dengan menggunakan teknik analisis data yang
telah ditentukan.
1.3 Pembahasan
Melakukan pembahasan lebih lanjut dan mendalam yang bersumber dari
hasil analisis data dan wawancara secara mendalam
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Memberikan kesimpulan terhadap hasil akhir penelitian yang telah
dilakukan secara singkat dan Jelas
5.2 Saran
Memberikan rekomendasi dari hasil penelitian terhadap sumbangan
pemikiran, terhadap kebijakan secara teoritis maupun praktis.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
23
BAB II
DESKRIPSI TEORI, KERANGKA BERFIKIR
DAN ASUMSI DASAR PENELITIAN
2.1 Deskripsi Teori
Menurut Silalahi (2010 : 90) bahwa definisi deskripsi teori adalah satu set
atau seperangkat konstruk (variabel) yang saling berhubungan, definisi dan
proposisi yang menyajikan suatu pandangan sistematis tentang fenomena dengan
merinci hubungan-hubungan diantara variabel dengan tujuan menjelaskan dan
memprediksi gejala itu. Selain itu deskripsi teori merupakan suatu rangkaian yang
mengungkapkan suatu fenomena atau realitas tertentu yang dirangkum menjadi
suatu konsep gagasan, pandangan, sikap dan cara-cara yang pada dasarnya
merungaikan nilai-nilai serta maksud dan tujuan tertentu yang teraktualisasi dalam
proses hubungan situasional, hubungan kondisional, atau hubungan fungsional
diantara hal-hal yang terekam dari fenomena atau realtitas tertentu. Dalam
deskripsi teori, peneliti akan melakukan kajian teori yang relevan dengan
permasalahan dalam penelitian, kemudian peneliti akan menyusun secara teratur,
yang akan digunakan untuk asumsi penelitian.
Dengan demikian menurut penjelasan di atas dapat disimpulkan oleh
peneliti, bahwa deskripsi teori merupakan serangkaian penyajian gagasan yang
digunakan untuk penelitian, yang bertujuan untuk dapat menjawab suatu
permasalahan yang terjadi.
24
2.1.1 Pengertian Kebijakan
Pada penelitian ini yakni yang berjudul Critical Policy Analysis Peraturan
Daerah Nomor 12 Tahun 2007 Tentang Penyandang Masalah Kesejahteraan
Sosial Kabupaten Tangerang yang berfokus pada Anak Jalanan, sudah dapat
dipastikan bahwa peraturan tersebut merupakan output dari sebuah kebijakan,
maka agar dapat dipahami secara mendalam sebaiknya peneliti memaparkan
beberapa pengertian dari kebijakan menurut beberapa ahli, sebagai berikut :
Menurut Ealau dan Prewit (dalam Suharto (2010:7)), kebijakan adalah
sebuah ketetapan yang berlaku yang diciririkan oleh perilaku yang konsisten dan
berulang, baik dari yang membuatnya maupun yang mentaatinya (yang terkena
kebijakan itu).
Menurut Jones (dalam Winarno (2007:17) istilah kebijakan (policy term)
digunakan dalam prakter sehari-hari akan tetapi digunakan untuk menggantikan
kegiatan atau keputusan yang sangat berbeda. Istilah ini sering dipertukarkan
dengan tujuan (goals), keputusan (decission), standar, proposal, dan grand design.
Titmuss (Dalam Suharto (2010:7)) mendefinisikan kebijakan sebagai
prinsip-prinsip yang mengatur tindakan yang diarahkan kepada tujuan-tujuan
tertentu.
“Kebijakan senantiasa berorientasi kepada masalah (problem-problem)
dan berorientasi kepada (action-oriented). Dengan demikian dapat
dinyatakan bahwa kebijakan adalah suatu ketetapan yang memuat prinsip-
prinsip untuk mengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat secara
terencana dan konsisten dalam mencapai tujuan tertentu”
25
Sedangkan Suharto (2010:7) mencoba mendefinisikan kebijakan lainnya
diungkapkan, yang menjelaskan bahwa :
“Kebijakan (policy) adalah sebuah instrumen pemerintah, bukan saja
dalam arti government yang hanya menyangkut aparatur negara,
melainkan pula governance yang menyentuh pengelolaan sumber daya
publik. Kebijakan pada intinya merupakan keputusan-keputusan atau
pilihan-pilihan tindakan yang secara langsung mengatur pengelolaan dan
pendistribusian sumber daya alam, finansial dan manusia demi
kepentingan publik, yakni rakyat banyak, penduduk, masyarakat atau
warga negara”
Bahwa kebijakan merupakan alat yang digunakan pemerintah untuk
kepentingan masyarakat banyak. Definisi kebijakan dikemukakan oleh Lasswell
(dalam Agustino (2012):
“Kata kebijakan (policy) pada umumnya dipakai untuk menunjukan
pilihan terpenting yang diambil baik dalam kehidupan organisasi atau
privat. Kebijakan bebas dari konotasi yang dicakup dalam kata politis
(political) yang sering kali diyakini mengandung makna keberpihakan dan
korupsi”.
Kebijakan bukan hanya digunakan oleh seluruh aspek kehidupan yang
pada dasarnya kata “kebijakan” merupakan suatu tindakan yang terhindar arti dari
pemikiran yang negatif.
Penggunaan istilah “kebijakan” dalam pengertian modern menurut
Hogwood dan Gunn (dalam Parsons 2008: 15) adalah:
a. sebagai label untuk sebuah bidang aktivitas
b. sebagai ekspresi tujuan umum atau aktivitas negara yang diharapkan
c. sebagai proposal spesifik
d. sebagai keputusan pemerintah
e. sebagai otorisasi formal
26
f. sebagai sebuah program
g. sebagai output
h. sebagai “hasil” (outcome)
i. sebagai teori atau model
j. sebagai sebuah proses.
Dari beberapa definisi kebijakan menurut beberapa ahli diatas, maka
peneliti dapat menyimpulkan bahwa kebijakan adalah rangkaian konsep pokok
yang menjadi garis besar atau suatu tindakan yang diputuskan baik yang
dilakukan oleh organisasi privat (swasta) maupun non-privat (pemerintah), untuk
melaksanaan suatu pekerjaan yang mengandung program untuk mencapai tujuan,
dan harus dipatuhi.
2.1.2 Pengertian Kebijakan Publik
Definisi mengenai kebijakan publik ditawarkan oleh Friedrich (dalam
Agustino (2008:7)) yakni :
“Serangkaian tindakan atau kegiatan yang diusulkan oleh seseorang,
sekelompok, atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dimana
terdapat hambatan-hambatan (kesulitan-kesulitan dan kemungkinan-
kemungkinan (kesempatan-kesempatan) dimana kebijakan tersebut
diusulkan agar berguna dalam mengatasinya untuk mencapai tujuan yang
dimaksud”.
Menurut Heidenheimer et.al (dalam Parsons 2008: xi) menyatakan bahwa
kebijakan publik merupakan studi tentang “bagaimana, mengapa, dan apa efek
dari tindakan aktif (action) dan pasif (inaction) pemerintah”. Menurut Dye (dalam
Wibawa (2011:2) kebijakan publik merupakan “whatever government choose to
do or not to do” yakni (apapun yang dipilih pemerintah untuk dilakukan atau
tidak dilakukan).
27
Dari pengertian diatas bahwa kebijakan publik merupakan latar belakang
keputusan atau kebijakan tersebut dipilih oleh pemerintah, baik pemerintah
melakukan suatu tindakan mengeluarkan (output) suatu produk kebijakan,
ataupun pemerintah tidak melakukan suatu tindakan (pasif).
Karakteristik khusus dari kebijakan publik telah dirumuskan oleh Easton
(dalam Agustino (2012) :
“Sebagai otoritas dalam sistem politik yaitu : para senior, kepala tinggi,
eksekutif, legislatif, para hakim, administrator, penasehat, para raja, dan
sebagainya. Bahwa mereka-mereka yang berotoritas dalam sistem politik
dalam rangka memformulasikan kebijakan itu adalah orang-orang yang
terlibat dalam urusan sistem politik sehari-hari dan mempunyai tanggung
jawab dalam suatu masalah tertentu dimana pada satu titik mereka diminya
untuk mengambil keputusan dikemudian hari kelak diterima serta
mengikat sebagian besar anggota masyarakat selama waktu tertentu”.
Sedangkan menurut Lemieux (dalam Wahab (2012:15) memberikan
penjelasan bahwa kebijakan publik merupakan produk aktivitas-aktivitas yang
dimaksudkan untuk memecahkan masalah-masalah publik yang terjadi di
lingkungan tertentu yang dilakukan oleh aktor-aktor politik yang hubungannya
terstruktur.
Menurut Anderson (dalam Wasliman 2015: 35) menyatakan bahwa,
“Public policies are those policies developed by government bodies and
officials”. (Kebijakan publik adalah kebijakan-kebijakan yang dikembangkan oleh
badan dan pejabat pemerintah). Konsep kebijakan publik menurut Anderson
(dalam Winarno 2007: 20) memiliki beberapa implikasi yaitu sebagai berikut:
28
1. Kebijakan publik selalu mempunyai tujuan tertentu atau mempunyai
tndakan-tindakan yang berorientasi pada tujuan, bukan perilaku yang
serampangan.
2. Kebijakan publik merupakan arah atau pola tindakan yang dilakukan oleh
pemerintah, bukan keputusan tersendiri.
3. Kebijakan publik merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh
pemerintah jadi bukan merupakan apa yang masih dimaksudkan untuk
dilakukan.
4. Kebijakan publik diambil bisa bersifat positif dalam arti merupakan
tindakan pemerintah mengenai segala sesuatu masalah tertentu, atau
bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan-keputusan pemerintah
untuk tidak melakukan sesuatu.
5. Kebijakan pemerintah setidak-tidaknya dalam arti positif didarkan pada
peraturan perundang-undangan yang bersifat mengikat dan memaksa.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan, bahwa kebijakan publik adalah
kegiatan yang dilakukan pemerintah sebagai pembuat kebijakan yang memiliki
tujuan yang baik demi mensejahterakan warganya yang dikeluarkannya sebuah
kebijakan atau keputusan, yang sifatnya mengikat dan memaksa, di mana tindakan
yang dipilih pemerintah adalah untuk memecahkan masalah publik.
Dalam Suharto (2012) ada beberapa konsep kunci untuk lebih memahami
berbagai definisi dalam kebijakan publik :
1. Tindakan pemerintah yang berwenang. Kebijakan publik adalah suatu
tindakan yang dibuat dan diimplementasikan oleh badan pemerintah
yang memiliki kewenangan hukum , politisi, dan finansial, untuk
melakukannya.
2. Sebuah reaksi terhadap kebutuhan dan masalah dunia nyata. Kebijakan
publik berupaya memberikan solusi atas permasalahan dan kebutuhan
yang berkembang di masyarakat.
3. Seperangkat tindakan yang berorientasi pada tujuan. Dalam hal
kebijakan publik biasanya bukanlah keputusan yang tunggal melainkan
terdapat keputusan-keputusan atau pilihan lain pada tindakan atau
stratergi yang telah disiapkan untuk mencapai pada orientasi tujuan
tertentu demi kepentingan publik.
4. Sebuah keputusan untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan
sesuatu. Segala hal yang berhubungan dengan kebijakan publik pada
umumnya merupakan tindakan untuk memecahkan masalah sosial.
Akan tetapi, kebijakan publik pula yang telah dirumuskan mampu
29
menjawab masalah sosial yang terjadi melalui kerangka kebijakan
yang sudah ada sehingga tidak memerlukan tindakan lagi.
5. Sebuah justifikasi yang dibuat oleh seseorang atau beberapa orang
aktor. Kebijakan publik berisi sebuah langkah atau rencana tindakan
yang telah dirumuskan melalui sebuah justifikasi atau pernyataan,
bukan sebuah maksud yang belum dirumuskan.
Dengan demikian dari beberapa definisi tersebut, peneliti dapat simpulkan
bahwa kebijakan publik merupakan suatu tindakan yang ambil oleh pemerintah
yang mempunyai otoritas dari beberapa alternatif-alternatif tertentu, yang
dirumuskan dari proses formulasi lalu di implementasikan dan akan di evaluasi.
Ruang lingkup yang dalam studi kebijakan publik memiliki makna dalam arti
yang luas, mencakup berbagai sektor sepeti ekonomi, budaya, sosial, politik,
hukum dan sebagainya. Yang berupa Peraturan Presiden, Peraturan Pemerintah,
Peraturan Menteri, Peraturan Gubernur, termasuk Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota. Kebijakan publik ini bertujuan untuk memecahkan masalah
publik, yang berbentuk tertulis atau resmi oleh seluruh masyarakat tidak
terkecuali atau sifatnya memaksa.
2.1.3 Pengertian Critical System Thinking
Untuk dapat menjawab dan memahami permasalahan pada sebuah
kebijakan secara komprehensif yang dilihat dari berbagai sudut pandang atau
kacamata yakni yang berkaitan dengan aspek kebijakan tersebut, maka peneliti
menggunakan pendekatan critical system thinking. Melalui critical system
thinking maka akan menghasilkan suatu penelitian kebijakan yang baik dan
relevan dan tentunya memberikan jawaban terhadap permasalahan kebijakan yang
ada.
30
Menurut Ulrich (dalam Riswanda 2016: a,b) menyatakan bahwa critical
system thinking adalah:
“sebuah paradigma alternatif penggalian, pemahaman, pengolahan dan
penafsiran data penelitian menggunakan rangka pikir „critical heuristics‟.
Di mana critical system thinking sebagai sebuah proses berdialektika,
berdiskusi, serta melakukan refleksi pada pencarian „meanings‟ alternatif
diantara kemajemukan, dan sisi lainnya antara asumsi, nilai, dan sudut
pandang dalam konteks penelitian kualitatif. Dengan sinergi penyajiannya
pada kontruksi argument penelitian. Untuk kemudian dijadikan dasar
membangun argument penelitian dan mendesain kerangka teoritis di
dalamnya. Rangka pikir tersebut dapat digunakan di semua fase kajian
kebijakan-formulasi, implementasi, dan evaluasi”.
Bahwa critical system thinking digunakan untuk meningkatkan suatu
pemahaman yang lebih terhadap permasalahan kebijakan melalui rangka berfikir
dan paradigma, yang diharapkan mampu untuk berfikir secara kritis terhadap
makna atau nilai yang terjadi dalam penelitian kualitatif, dan akan dijadikan
sebagai dasar untuk memberikan argumentasi agar dapat lebih tajam dalam
mengupas berbagai aspek yang berkaitan dengan penelitian kebijakan. Kemudian
berfikir secara kritis juga dalam hal ini dapat membantu peneliti untuk dapat
memberikan relevansi antara fakta dan nilai yang terkandung dalam suatu
penelitian kebijakan yang dilakukan, yang dapat dilihat dari formulasi,
implementasi atau evaluasi kebijakan.
Tujuan Critical system thinking menurut Ulrich (dalam Riswanda 2016)
adalah :
“Tujuannya adalah pertama, untuk meningkatkan „kritis‟ (reflektif)
kompetensi tidak hanya terlatih professional dalam pengambilan
keputusan, melainkan juga orang-orang biasa. Kedua, praktik reflektif
tidak dapat dijamin dengan cara teori saja, tetapi memerlukan dukungan
„heuristik‟ dalam bentuk pertanyaan dan argumentasi yang membuat
perbedaan dalam praktik. Ketiga, berpikir kritis dapat memberikan kita
31
dengan titik awal yang berguna untuk memahami persyaratan metodologis
pendekatan semacam itu untuk praktik reflektif”.
Tujuan lain dari critical system thinking ini adalah „voice of the voiceless‟.
Maksud „voice‟ menurut Riswanda (2016: 5) adalah para individu atau pihak
tertentu dalam masyarakat yang selama ini terpinggirkan atau tidak mendapatkan
tempat dalam proses pembuatan kebijakan.
Selama ini dalam pengambilan kebijakan (formulasi), implementasi, dan
evaluasi masyarakat tidak dilibatkan untuk memberikan „voice‟ (suara) mereka
terhadap suatu permasalahan kebijakan. Diharapkan dengan adanya „voice of the
voiceless‟ maka ada tempat untuk melihat kebijakan dengan cara yang lain, seperti
unsur budaya, sosial, ekonomi, persepsi masyarakat lokal, dan cara pandang yang
berbeda masyarakat yang sesuai dengan latar belakangnya saat menyikapi
permasalahan sosial tertentu.
Dalam Riswanda (2016) menyatakan bahwa:
“Melalui „narrative dialogue‟ atau „percakapan naratif‟ dapat
menunjukkan nilai-nilai sosial kemasyarakatan bercampur dan berbaur
yang dapat memperlihatkan asumsi dari suara individu yang terpinggirkan
yang dapat membentuk konstruksi sebuah kebijakan. Kutipan percakapan
tersebut merupakan refleksi kritis untuk menemukan akar masalah
kebijakan melalui nilai-nilai, dan emosi pengalaman hidup secara
kompleks. Sehingga penelitian kualitatif dapat diperkaya dengan nuansa
atau atmosfir dari percakapan naratif dengan narasumber dengan
menggunakan „kacamata persepsi‟ atau dari sudut pandang narasumber
yang mewakili suara individu”.
Jadi, dalam penelitian critical systems thinking peneliti menggunakan
wawancara secara mendalam “indept interview” secara naratif yang bertujuan
untuk dapat mengetahui makna dari respon informan dengan „kacamata‟ (sudut
pandang) yang berbeda terhadap suatu fenomena dari sebuah kebijakan dimana
32
respon tersebut bisa memberikan pandangan kepada peneliti mengenai penyebab
permasalahan kebijakan yang terjadi, serta memberikan gambaran dari emosi,
pengalaman hidup, dan pandangan individu, ini dapat memberikan pemahaman
kepada peneliti fakta yang terjadi di lapangan.
Critical system thinking ini menjelaskan bahwa cara berpikir kritis dengan
rangka pikir menggunakan segitiga abadi (the eternal triangle of boundary
judgments). Dengan mengidentifikasi permasalahan yang terjadi pada proses
kebijakan, maka dapat membantu dengan menegaskan relevansi beberapa fakta
dan nilai yang dibedakan dari lensa atau kacamata orang yang latar belakangnya
berbeda.
Dengan mengajukan penjelasan dari suatu permasalahan kebijakan secara
akurat, serta mengedapankan sebuah resolusi kebijakan yang berasal dari
pemahaman fakta dan nilai dengan cara systemic triangulation diharapkan dapat
memberikan suatu hasil penelitian kebijakan yang akurat dan relevan. Berupa
sebuah resolusi kebijakan yang komprehensif yang mencerminkan keberagaman
aspek serta sudut pandang yang dipakai dalam memahami suatu fenomena
penelitian (Riswanda, 2016). Berikut adalah gambar segitiga abadi (the eternal
triangle of boundary judgments):
33
Gambar 2.1
The Eternal Triangle of Boundary Judgments
Sumber: Ulrich (dalam Riswanda 2016: 3)
Menurut Riswanda (2016: 3) :
“menyatakan bahwa boundary judgments memberikan pesan pada peneliti
bahwa prinsip dasar metodologi penelitian dengan pendekatan kualitatif
merupakan refleksi dari konsep boundary judgments. Pemahaman sistem
digunakan sebagai acuan rangka pikir dari sudut pandang seseorang yang
membentuk kontuksi dasar dari kebijakan.
Menurut Ulrich (dalam Riswanda 2016: 3) menyatakan bahwa
“pada penelitian dengan menggunakan „the eternal triangle‟ maka peneliti
berpikir kritis dengan mengaitkan dan memilah mana „facts‟ (realitas
fenomena) dan mana „values‟ (norma, nilai), sehingga ketiganya tidak
dapat dipahami secara terpisah yang pada akhirnya dapat menentukan
bagaimana hasil penelitian dengan memetakan relevansi, keterhubungan,
saling keterkaitan ataupun sebaliknya diantara kedua hal tersebut.”
Bahwa dengan „the eternal triangle‟ fakta fact‟) dan nilai („values‟) yang
realitas yang terjadi dilapangan tidak dapat terpisah karena saling berhubungan,
untuk melihat fakta dan nilai yang terjadi dilapangan, maka peneliti harus
menentukan informan dengan kacamata atau latar belakang peneliti yang berbeda,
yang diharapkan akan menjadikan resolusi bagi kebijakan yang menjadi masalah.
Boundary Judgments
“SISTEM”
“FAKTA-FAKTA” “NILAI-NILAI”
Observasi Evaluasi
34
Untuk setiap masalah batas dasar, Critical System Thinking memberikan
tiga kategori:
1. Masing-masing kelompok mengacu pada jenis utama dari stakeholder,
yaitu orang yang bersangkutan dengan situasi baik karena mereka
terpegaruh.
2. Mengacu pada jenis utama perhatian kita kaitkan dengan pemangku
kepentingan yang bersangkutan.
3. Mengacu pada jenis utama dari kesulitan yang mungkin timbul
sehubungan dengan kekhawatiran yang bersangkutan.
Berikut adalah rangka penelitian untuk memetakan siapa yang terlibat
dalam pengambilan keputusan, dan siapa yang terkena dampak akhir dari produk
keputusan kebijakan :
Tabel 2.1
Boundary Categories
Batas Kategori Batas Persoalan
1. Stakeholder
2. Purpose Sources of motivation
3. Measure of improvement Sistem referensi
(sistem perhatian)
4. Decision-maker yang menentukan
5. Resources Sources of power Yang terlibat pengamatan (* fakta *)
6. Decision environment dan evaluasi (* nilai *)
dianggap relevan ketika
7. Professional datang untuk menilai
8. Expertise Sources of knowledge manfaat atau cacat dari
9. Guarantee proposisi
10. Witness
11. Emancipation Sources of legitimation Yang terpengaruh
12. World view
Sumber:Ulrich (dalam Riswanda 2016: 9).
Dalam tabel „Boundary Categories‟ terdapat empat dimensi yang menjadi
fokus dalam kajian kebijakan publik. Dimensi tersebut adalah sources of
35
motivation (sumber motivasi), sources of power (sumber kekuatan), sources of
knowledge (sumber pengetahuan), dan sources of legitimation (sumber
pengesahan).
Menurut Riswanda (2016: 9-10) keempat dimensi ini :
“membentuk „policy circle‟ yaitu lini garis lingkaran dari kebijakan publik
yang terdiri dari formulasi, analisis, implementasi, dan evaluasi. Critically
boundary questions menyediakan dua belas panduan pertanyaan kritis
yang dapat dijadikan sebagai arahan bagi peneliti kebijakan dalam
melakukan pendalaman pada penelitian. Dengan melibatkan kedua
selektivitas empiris dan normatif yaitu apa yang sebetulnya (fakta aktual di
lapangan) dengan apa yang seharusnya terjadi pada tataran ideal.
Dari „Boundary Categories‟ sanalah peneliti dapat melihat perbedaan nilai
dari sudut pandang pemerintah maupun non pemerintah (melihat kacamata dari
latar belakang informan yang berbeda), sehingga dapat memaparkan realita yang
terjadi dari adanya suatu kebijakan, seperti siapa yang terlibat, siapa yang terkena
dampak, idealnya seperti apa, hasilnya bagaimana, dan apa tujuan yang hendak
dicapai dari kebijakan tersebut..
Untuk mengupas suatu permasalahan kebijakan dengan menggunakan
critical systems thinking peneliti menggunakan critically boundary questions
yang menyediakan dua belas panduan pertanyaan kritis yang dapat dijadikan
sebagai pedoman bagi peneliti kebijakan dalam melakukan pendalaman pada
penelitian. Dengan melibatkan kedua selektivitas empiris dan normatif yaitu apa
yang sebetulnya (fakta aktual di lapangan) dengan apa yang seharusnya terjadi
pada tataran ideal (Riswanda, 2016).
36
Tabel 2.2
Panduan Pertanyaan Kritis
No. Sebetulnya
(temuan fakta actual di lapangan)
Seharusnya
(pada tataran ideal)
1. Siapa atau pihak mana yang secara
factual menjadi pemangku
kepentingan pada sebuah
permasalahan kebijakan?; Pihak
mana, dalam lingkup permasalahan
tersebut, yang suara kepentingannya
mewakili atau terwakili oleh
kelompok tertentu dalam
masyarakat, termasuk didalamnya
memuat nilai-nilai, tujuan, dan
keinginan per individu maupun
golongan?; Kepentingan pihak
mana yang sebetulnya terlayani/
terfasilitasi/ terwakili/ tercermin
dalam sebuah produk kebijakan?
baik berupa UU, PP, Perda, dan
seterusnya. Pihak mana di
masyarakat, dalam lingku kelompok
target kebijakan yang mungkin tidak
merasakan manfaat dari keputusan/
produk kebijakan tersebut, namun
menanggung dampak eksekusi
ataupun memiliki potensi untuk
menanggung akses dampaknya.
Siapa atau pihak mana yang
seharusnya menjadi pemangku
kepentingan dari kebijakan untuk di
formulasi-kan atau dikaji ulang?;
Siapa atau pihak mana yang
seharusnya secara factual menjadi
pemangku kepentingan pada sebuah
permasalahan kebijakan?; Pihak
mana dalam lingkup permasalahan
tersebut yang suara kepentingannya
mewakili atau terwakili.
2. Apa sebetulnya tujuan dari
rancangan kebijakan terkait
permasalahan publik di mana
kebijaan tersebut berpijak? Hal ini
ditinjau dari konsekuensi factual
dikeluarkannya kebijakan tersebut,
bukan hanya dari pernyataan
tertulis-strategis suatu kebijakan
publik.
Apa yang seharusnya menjadi tujuan
dari keebijakan dengan kata lain apa
yang seharusnya menjadi capaian
tujuan kebijakan untuk menjangkau
kepentingan semua pemangku
kepentingan?
3. Berdasarkan konsekuensi rancangan
kebijakan di atas, apa sebetulnya
yang menjadi tolak ukur
keberhasilan kebijakan?
Apa yang seharusnya menjadi tolak
ukur keberhasilan kebijakan?
37
4.
Siapa atau pihak mana secara
faktual menjadi pembuat kebijakan
dan penentu perubahan ukuran
keberhasilan kebijakan?
Siapa atau pihak mana seharusnya
menjadi pembuat kebijakan? Pihak
mana yang seharusnya memiliki
power perubahan tolak ukur
perbaikan kebijakan?
5. Apa sebetulnya yang menjadi (pra)
kondisi suksesnya formulasi dan
implementasi kebijakan? Apakah
(pra) kondisi ini sepenuhnya
dikontrol oleh pembuat kebijakan?
Seharusnya seberapa besar kontrol
pembuat kebijakan terhadap
sumberdayaa dan (penanganan)
keterbatasan-keterbatasan
penyediannya?
6. Kondisi apa saja yang secara factual
berada di luar kontrol pembuat
kebijakan? Impikasi apa yang
sebetulnya terjadi paada masalah
kebijakan saat pembuat kebijakan
tidak memiliki kontrol pada kondisi
tertentu dalam lingkup
permasalahan kebijakan?
Sumberdaya dan kondisi apa saja
yang seharusnya menjadi bagian
dari pengaturan (pelaksanaan
kebijakan?
7. Siapa atau pihak mana saja yang
sebetulnya dilibatkan sebagai
formulator kebijakan, terkait
permasalahan publik sebagai target
solusi kebijakan tersebut?
Siapa atau pihak mana saja yang
seharusnya dilibatkan sebagai
formulator dalam sistem pembuatan
kebijakan?
8. Siapa atau pihak mana yang
dilibatkan sebagai “pakar” jenis
kepakaran seperti apa dan peran apa
yang diberikan pada para “pakar”
tersebut terkait konteks pembuatan
keputusan kebijakan dan fokus
permasalahan publik berjalan?
Jenis kepakaran seperti apa yang
seharusnya dilibatkan dalam
formulasi kebijakan? Siapa atau
pihak mana saja seharusnya yang
terlibat sebagai “pakar” dan pada
aspek mana saja kepakaran mereka
diletakkan dalam proses pembuatan
keputusan kebijakan?
9. Di mana dan bagaimana sebetulnya
pihak yang dilibatkan dalam sistem
mendapatkan jaminan keberhasilan
perencanaan kebijakan. Hal ini
dapat ditinjau dari kompetensi
teoritis “pakar” yang terlibat,
kesepakatan para “pakar” tersebut
dala validitas data empiris yang
digunakan sebagai dasar
pertimbangan kebijakan, dukugan
politik keterwakilan kelompok
kepentingan terpaut isu kebijakan.
Selanjutnya, tinjuauan penelitian
dapat melihat seberapa jauh
kontribusi kepakaran tersebut
Siapa atau pihak mana yang
seharusnya dilibatkan sebagai
penjamin mutu formulasi kebijakan,
di mana formulator nantinya dapat
mencari tolak ukur kesuksesan dan
perbaikan kebijakan pada tataran
implementasi?
38
memberikan jaminan suksesnya
pelaksanaan kebijakan?
10. Siapa atau pihak mana diantaranya
mereka yang terlibat mewakili suara
those affected? Siapa saja kemudian
diantara pihak terkena dampak yang
justru tidak dilibatkan dalam
pengambilan keputusan kebijakan?
Siapa atau pihak mana diantara
those affected, yang seharusnya
dilibatkan karena mewakili
kemungkinan terkena dampak dari
rancangan atau hasil keputusan
kebijakan?
11. Apakah the affected diberikan
kesempatan untuk menyuarakan dan
menentukan kepentingan mereka
sendiri, terlepas dari pendapat para
“pakar” menyangkut solusi
kebijakan berjalan? Apakah arti
kualitas hidup bagi mereka? Apakah
the affected pada kenyataannya
hanya menjadi “alat” pencapaian
tujuan dari pihak di luar lingkaran
solusi keputusan kebijakan?
Seberapa jauh dan dengan cara apa
seharusnya the affected diberikan
kesempatan untuk lepas dari lingkup
pengaruh the involved dalam
pengambilan keputusan san
eksekusi kebijakan?
12. Apakah sebetulnya world view
terpaut isu kebijakan publik yang
dihadapi? Apakah pandangan ini
merupakan atau menjadi lensa
pandang (sebagian dari) the
involved dan (sebagian dari) the
affected?
Pijakan world view apa yang
seharusnya menjadi nilai tumpuan
sistem pembuatan kebijakan? Nilai
tumpuan ini, pada tatanan ideal,
mewakili nilai-nilai yang dimiliki
oleh the involved dan the affected?
Sumber: Diterjemahkan, diadapsi dan dimodifikasi dari Midgley, G. (2000)
Systemic Intervention: Philosophy, Methodology and Practice. New York: Kluwer
Academic, hal. 141, dalam Riswanda. 2016. Metode Penelitian Kebijakan.
Panduan pertanyaan kritis di atas menggambarkaan pendalaman masalah
kebijakan multi-layered dan multi dimensi melalui explorasi sudut pandang multi-
lenses, yang nantinya akan peneliti kembangkan lagi di pedoman wawancara
sesuai dengan focus penelitian yakni pendalaman akar masalah kebijakan pada
Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2007 tentang Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial dalam Penanganan Anak Jalanan Studi Kasus di Kabupaten
Tangerang yang diharapkan akan menemukan solusi kebijakan berpijak pada
prinsip socially just, mengedepankan critical system thinking and practice.
39
2.1.4 Pengertian Anak Jalanan
Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan
Anak dalam Pasal 1 seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Menurut Soedijar (1989) memberikan definisi, bahwa anak jalanan adalah
berusia diantara tujuh hingga lima belas tahun yang mana mereka memilih untuk
mencari penghasilan di jalanan, yang tidak jarang menimbulkan konflik
ketenangan, ketentraman dan kenyamanan orang lain di sekitarnya, serta tidak
jarang membahayakan dirinya sendiri.
Menurut Peraturan Daerah Kabupaten Tangerang Nomor 12 tahun 2007
tentang PMKS yang tercamtum di pasal 9 yang berbunyi, termasuk Kelompok
Keterlantaran, yaitu: yang terdapat di point 3 : Anak Jalanan yaitu anak yang
berusia 5 sampai dengan dibawah 18 tahun dan belum pernah menikah yang
menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mencari nafkah dan atau
berkeliaran di jalanan atau di tempat-tempat umum.
Menurut Davies (1994 : 69) anak jalanan dapat dikelompokkan menjadi 2
(dua) macam, yaitu :
1. Kategori anak jalanan on the street/road yakni anak-anak yang ada di
jalanan, tetapi hanya sesaat dijalanan, dan meliputi dua kelompok yaitu
kelompok dari luar kota dan dari dalam kota
2. Kategori anak jalanan of the street/road yakni anak-anak yang
memang tumbuh di jalanan, dan sebagian waktunya dijalanan, tidak
40
mempunyai rumah, dan jarang atau tidak pernah kontak dengan
keluarganya.
Ahli lain yakni Bagong Suyanto (2010) menyatakan anak jalanan, anak
gelandangan atau eufemistis yakni sebagai anak mandiri, sesungguhnya mereka
adalah anak-anak yang tersisih, marginal, dari perlakukan kasih sayang karena
kebanyakan dalam usia yang relatif dini sudah harus berhadapan dengan
lingkungan kota yang keras dan tidak bersahabat.
Menurut Bagong Suyanto (2010) terdapat pula perbedaan-perbedaan anak
jalanan, yakni sebagai berikut :
1. Children on the street adalah anak jalanan yang kadang-kadang saja
kembali kepada orang tuanya. Anak jalanan ini pada umunya
menghabiskan sebagian waktunya di luar rumah, tetapi mereka masih
mempunyai hubungan dengan keluarganya. Kategori anak jalanan
children on the street ini kerena mereka masih memiliki orang tua
ataupun keluarga yang setiap waktu dan kapanpun dapat kembali ke
rumah serta mereka masih membutuhkan keluarga. Artinya masih ada
yang memperhatikan segala aktivitas yang dilakukan mereka. Bisa
dikatakan mereka turun ke jalan hanya mengikuti temannya atau
pengaruh dari lingkungan sosial tempat tinggal mereka.
2. Children of the street adalah anak yang benar-benar hidup dan bekerja
di jalan dan terlantar dan telah lari dari keluarga. Anak ini memang
benar-benar tinggal di jalan serta mereka sudah lepas dari orang
41
tuanya. Pada umumnya anak ini disebut anak gelandangan. Anak
jalanan yang dimaksud Clildren of the Street adalah anak yang
menghabiskan seluruh waktunya untuk hidup di jalan dengan
melakukan berbagai aktifitas. Bisa dikatakan dari sejak lahir anak ini
sudah berada di jalan, serta mereka tidak memiliki tempat tinggal yang
menetap atau bisa dikatakan mereka sering berpindah-pindah dari satu
tempat ke tempat yang lainnya untuk berlindung, maka sangat wajar
apabila mereka dijuluki anak gelandangan.
3. Children from families of the street : anak yang dari keluarga yang
sehari-hari hidup di jalan. Kategori anak jalanan ini memang dari
keluarga yang hidupnya di jalan sebagai tempat tinggal mereka.
Artinya mereka sudah tidak asing lagi dengan kehidupan sehari-hari
yang mereka alami. Karena dari kecil hingga besar mereka sudah biasa
mengalami serta menyaksikan kehidupan di jalan yang penuh
penderitaan. Mereka sangat identik dengan suasana lingkungan jalanan
yang panas dan penuh polusi udara.
Bahwa berdasarkan penjelasan di atas, ada beberapa perbedaan atau
kategori anak jalanan, yaitu anak jalanan yang memang kesehariannya hidup
dijalanan dan tidak memiliki tempat tinggal serta keluarga, dan anak jalanan yang
masih memiliki keluarga dan sebagian waktunya dijalanan tetapi hanya untuk
memenuhi kebutuhan sosial maupun ekonominya, dan memang dari keluarga
yang hidupnya di jalan sebagai tempat tinggal mereka, dan menjadikan anak
menjadi anak jalanan.
42
Menurut Susilo Singgih (2005) bahwa anak jalanan tinggal dijalan karena
dicampakkan atau tercampakan dari keluarganya yang tidak mampu menanggung
beban karena kemiskinan dan kehancuran keluarganya. Seringkali anak jalanan
menghadapi resiko pemerasan, kekerasan fisik maupun seksual, kecelakaan lalu
lintas, penyalahgunaan obat, dan kejadian lain yang dapat menjadikan dirinya
merasa terasingkan.
Menurut Sudrajat (1996) ada beberapa ciri-ciri fisik anak jalanan secara
umum, antara lain :
1. Berada di tempat umum yakni seperti di pertokoan, tempat kemacetan lalu
lintas, pasar, selama 3 (tiga) sampai 24 (dua puluh empat) jam dalam
sehari.
2. Berpendidikan rendah, yakni sebagian besar putus sekolah dan hanya
sebagian kecil lulus Sekolah Dasar.
3. Berasal dari keluarga yang tidak mampu (sebagian dari mereka kaum
urbanisasi)
4. Melakukan aktivitas ekonomi, artinya mereka bekerja pada sektor
informal
Menurut Muhsin (2005) menyebutkan ada beberapa model penanganan
anak jalanan antara lain :
a. Program Berbasis Jalanan (Street Based Program)
Merupakan penanganan anak jalanan ditempat anak jalanan itu tinggal,
kemudian para steet educator datang kepada para anak jalanan untuk
43
berdialog, mendampingi mereka bekerja, memahami dan menerima
situasinya, serta menempatkan diri sebagai teman. Teknis pelaksanaan
penanganan model tersebut adalah para anak jalanan dalam durasi waktu
tertentu diberikan materi pendidikan dan keterampilan, di samping itu
anak jalanan juga memperoleh kehangatan hubungan dan perhatian yang
dapat menumbuhkan kepercayaan satu sama lain yang berguna untuk
pencapaian tujuan intervensi. Dalam penanganan ini prinsip pendekatan
yang dipakai adalah “asih, asah, dan asuh”. Model penanganan berbasis
jalanan ini, seorang pekerja sosial (PEKSOS) harus bisa cepat
menyesuaikan diri dengan kondisi kehidupan para anak jalanan. Karena
peran pekerja sosial sebagai pendamping dituntut dapat memberikan rasa
nyaman serta memperoleh kepercayaan dari anak jalanan.
b. Program Berbasis Lembaga (Center Based Program)
Pendekatan dan penanganan anak jalanan di lembaga atau panti. Anak-
anak yang masuk dalam program ini ditampung dan diberikan pelayana di
lembaga atau panti, seperti ketika saat malam hari diberikan makanan dan
perlindungan, serta perlakuan yang hangat dan bersahabat dari pekerja
sosial. Dalam panti atau lembaga anak jalanan disediakan pelayanan
pendidikan, ketrampilan, kebutuhan dasar, kesehatan, kesenian dan
pekerjaan bagi anak jalanan. Dengan adanya pelayanan-pelayanan yang
diberikan panti atau lembaga tersebut diharapkan anak jalanan bisa
mengembangkan segala bakat dan kemampuanyang telah mereka miliki.
44
Sehingga mereka dapat mempunyai skill atau keterampilan untuk bekerja
atau membuka usaha secara mandiri pada saat kembali ke masyarakat
c. Program Berbasis Masyarakat (Community BasedProgram)
Program berbasis masyarakat merupakan model penanganan yang
melibatkan seluruh potensi masyarakat, terutama keluarga atau orang tua
anak jalanan. Pendekatan ini bersifat preventif, yakni dengan cara
mencegah anak agar tidak masuk dan terjerumus dalam kehidupan di
jalan. Keluarga diberikan kegiatan penyuluhan tentang pengasuhan anak
dan upaya untuk meningkatkan tarafhidup, sementara anak-anak mereka
diberi kesempatan memperoleh pendidikan formal maupun informal,
pengisian waktu luang, dankegiatan lain yang bermanfaat. Pendekatan ini
bertujuan untuk meningkatkan kemampuan keluarga dan masyarakat agar
sanggup melindungi, mengasuh dan memenuhi kebutuhan anak-anaknya
secara mandiri.
Berdasarkan penjelasan di atas bahwa terdapai 3 (tiga) model penanganan
anak jalanan yang dapat dilakukan oleh pemerintah maupun non pemerintah.
Yang Pertama Program Berbasis Jalanan (Street Based Program) yakni
penanganan anak jalanan ditempat anak jalanan itu tinggal, kemudian melakukan
pendekatan dan datang kepada para anak jalanan untuk berdialog, mendampingi
mereka bekerja, memahami dan menerima situasinya, serta menempatkan diri
sebagai teman. Kedua, Program Berbasis Masyarakat (Community Based
Program) yaitu pendekatan dan penanganan anak jalanan di lembaga atau panti.
45
Anak-anak yang masuk dalam program ini ditampung dan diberikan pelayanan di
lembaga atau panti, seperti ketika saat malam hari diberikan makanan dan
perlindungan, dan diberikan ketrampilan, kebutuhan dasar, kesehatan, kesenian
dan pekerjaan bagi anak jalanan. Ketiga yaitu program Berbasis Masyarakat
(Community Based Program) penanganan yang melibatkan seluruh potensi
masyarakat, terutama keluarga atau orang tua anak jalanan yang bertujuan
mencegah anak agar tidak masuk dan terjerumus dalam kehidupan di jalan.
Keluarga diberikan kegiatan penyuluhan tentang pengasuhan anak dan upaya
untuk meningkatkan taraf hidup.
2.2 Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu merupakan hasil atau kajian dari penelitian
sebelumnya yang dilakukan oleh peneliti lain, yang dapat diambil dari berbagai
sumber seperti skripsi, tesis, jurnal bahkan desertasi. Adapun penelitian terdahulu
yang peneliti ambil yang berkaitan tentang “Critical Policy Analysis Peraturan
Daerah Nomor 12 Tahun 2007 tentang Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial
Kabupaten Tangerang (Studi Kasus : Anak Jalanan)” yaitu penelitian Skripsi yang
berjudul tentang Evaluasi Penanganan Anak Jalanan di Kota Cilegon yang
dilakukan oleh Yayang Muchamad Widiyatmoko Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, penelitian ini bertujuan untuk
mengevaluasi penanganan anak jalanan pada Dinas Sosial di Kota Cilegon.
Penelitian ini menggunakan teori Evaluasi dari William N. Duun. Hasil
penelitian ini yaitu dalam penanganan anak jalanan yang dilakukan oleh Dinas
46
Sosial di Kota Cilegon terdapat beberapa masalah, pelatihan yang diberi kurang
variatif, pelatihan yang dilakukan untuk anak jalanan dalam waktu yang singkat,
yakni satu minggu dalam setahun, pelatihan yang diberikan hanya setengah dari
jumlah anak jalanan yang ada, pelatihan diberikan kepada anak jalanan adanya
kuota atau batas maksimal orang, sehingga anak-anak jalanan lainnya harus
menunggu giliran, sering terjadi perbedaan persepsi antara pemerintah dan anak
jalanan.
Penelitian kedua dilakukan oleh Dysa Restiani Program Studi
Kesejahteraan Sosial, Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2014 dengan judul penelitian
Strategi Pelayananan Sosial Anak Jalanan Melalui Pendampingan Luar Lembaga,
penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelayanan apa saja yang dilakukan oleh
Social Development Center For Street Children-Bambu apus Jakarta Timur, untuk
mengetahui hasil dan manfaat dalam pelayanan sosial terhadap anak jalanan,
untuk mengetahui dalam membuat program yang diberikan ada faktor
penghambat atau tidak
Hasil yang diberikan dalam penelitian ini adalah program pendampingan
luar lembaga dibentuk untuk membantu anak jalanan di daerah agar bisa
bersekolah kembali, mengajarkan orang tua untuk mengasuh anak dengan benar
agar anak tersebut tidak kembali turun ke jalanan. Faktor pendukung untuk
melakukan program ini seperti motivasi dan kemitraan yang membantu
berjalannya program yang diberikan. Faktor penghambat program ini yakni
47
berkenaan dengan penurunan dana yang diberikan oleh Kementrian Sosial dan
susahnya mendidik anak jalanan agar bersedia mengikuti program yang diberikan.
2.3 Kerangka Pemikiran Penelitian
Kerangka pemikiran merupakan penjelasan alur berpikir peneliti dalam
penelitian dalam menjelaskan permasalahan penelitian. Maka dari itu peneliti
membuat kerangka berpikir sebagai berikut:
Dalam penelitian ini yang menjadi fokus penelitian adalah “Critical Policy
Analysis Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2007 tentang Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial Kabupaten Tangerang (Studi Kasus : Anak Jalana)”. Dengan
demikian, peneliti mendeskripsikan tentang Paraturan Daerah tentang Penyandang
Masalah Kesejahteraan yang mengambil studi kasus tentang Anak Jalanan
tersebut dengan apa yang terjadi sebenarnya di lapangan, dan peneliti
menggambarkan kebenaran yang terjadi di lapangan dengan konsep yang dibuat
oleh pemerintah. Hasil dari dilakukannya hal tersebut adalah masih terdapat
masalah dalam penanganan anak jalanan di Kabupaten Tangerang, serta Hak-hak
anak harus terpenuhi dalam penanganan yang dilakukan oleh pemerintah.
Dari berbagai permasalahan diatas, peneliti mengkajinya dengan Critical
System Thinking yang dirumuskan oleh Gerald Midgley. Teori tersebut
merupakan sebuah paradigma yang dianggap relevan sehingga dapat digunakan
sesuai dengan situasi dan kondisi di mana penelitian dilakukan. Teori tersebut
merupakan sebuah paradigma berpikir dengan melihat masalah dari sudut
pandang yang variatif. Dari sanalah dapat melihat perbedaan nilai dari sudut
pandang pemerintah dan non pemerintah, sehingga dapat memaparkan realita
48
yang terjadi, seperti siapa yang terlibat, siapa yang terkena dampak, idealnya
seperti apa, hasilnya, dan tujuannya.
49
Ulrich (dalam Riswanda 2016:
9). Boundary Categories 4
(empat) dimensi:
1. sources of motivation
(sumber motivasi),
2. sources of power (sumber
kekuatan)
3. sources of knowledge
(sumber pengetahuan)
4. sources of legitimation
(sumber pengesahan).
Gambar 2.3 Kerangka Berfikir
Boundary Judgments
Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2007
tentang Penyandang Masalah Kesejahteraan
Sosial Kabupaten Tangerang (Anak Jalanan)
System (Sistem)
Hasil (Output) yang diharapkan :
1. Tidak terstukrurnya penanganan anak jalanan dengan
baik dan jelas.
2. Optimalnya koordinasi dan kerjasama antar Organisasi
Perangkat Daerah yang terkait.
3. Adanya panti khusus pembinaan atau penanganan
untuk anak jalanan.
4. Dibuatnya Perubahan pada Peratuuran Daerah
Facts (Fakta) Values (Nilai)
1. Tidak terstukrurnya penanganan anak jalanan
dengan baik dan jelas.
2. Belum optimalnya koordinasi dan kerjasama
antar Organisasi Perangkat Daerah yang terkait.
3. Tidak adanya panti khusus pembinaan atau
penanganan untuk anak jalanan.
4. Masih banyaknya kekurangan di dalam Peraturan Daerah ini
Seperti belum adanya Peraturan Bupati sebagai Tata Cara Lanjutan
Pelaksanaan Kebijakan
50
2.3 Asumsi Dasar
Berdasarkan kerangka berpikir di atas bahwa dalam penelitian ini, peneliti
berasumsi bahwa Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2007 tentang Penyandang
Masalah Kesejahteraan Kabupaten Tangerang dalam pasal 9 yang berbunyi,
termasuk Kelompok Keterlantaran, yaitu: yang terdapat di point 3 : Anak Jalanan
yaitu anak yang berusia 5 sampai dengan dibawah 18 tahun dan belum pernah
menikah yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mencari nafkah dan
atau berkeliaran di jalanan atau di tempat-tempat umum dalam memberikan
kesejahteraan yang pemerintah berikan belum optimal yang didasari oleh masalah
yang peneliti jabarkan di latar belakang penelitian ini, maka peneliti mengambil
judul atau fokus penelitian yaitu “Critical Policy Analysis Peraturan Daerah
Nomor 12 Tahun 2007 tentang Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial yang
memfokuskan kepada penanganan anak Jalanan.”
51
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Menurut Bogdan dan Taylor (dalam Moleong 2007 : 4) metode penelitian
deskriptif dengan pendekatan kualitatif merupakan prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari orang-
orang atau perilaku yang diamati. Beberapa pendapat dari ahli lain diantaranya :
Metode penelitian kualitatif menurut Sugiyono (2012) manyatakan bahwa:
“Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan
untuk meneliti kondisi objek yang alamiah dimana penelti berperan
sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara
triangulasi (gabungan) analisis data bersifat induktif, dan hasil
penelitiannya lebih menekankan pada makna generalisasi”
Sedangkan menurut Irawan (2006) yang menyatakan :
“Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang cenderung
bers ifat deskriptif, naturalistik, dan berhubungan dengan “sifat data”
yang murni kualitatif. Temuan dalam penelitian kualitatif bersifat kasustik,
unik, dan tidak dimaksudkan untuk digeneralisasikan ke konteks lain,
instrumen pengumpulan dara dalam metode kualitaif tifak bersifat
terstruktur, terfokus, “riged” dan spesifik, seperti dalam penelitian
kuantitatif, tetapi lebih bersifat longgar, fleksibel, dan dapat berubah
sewaktu-waktu”
Satori dan Komariah (2009:25) menyatakan bahwa metode penelitian
kualitatif adalah suatu pendekatan penelitian yang mengungkapkan situasi sosial
tertentu dengan mendeskripsikan kenyataan secara benar, dibentuk oleh kata-kata
52
berdasarkan teknik pengumpulan dengan analisis data yang relevan yang
diperoleh dari situasi alamiah.
Menurut Denzim dan Lincol (dalam Moleong (2007) : 5) bahwa penelitian
kualitatif adalah penelitian dengan menggunakan latar belakang ilmiah dengan
maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan yang
melibatkan berbagai metode yang ada. Bahwa dengan berbagai definisi penelitian
kualitatif yang ada, bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang
menggunakan wawancara secara mendalam dengan narasumber untuk
menafsirkan atau memahami sikap atau pandangan seseorang terhadap suatu
fenomena untuk digunakan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki
menggambarkan atau melukiskan keadaan obyek penelitian berdasarkan fakta-
fakta yang tampak atau sebagaimana adanya.
3.2 Fokus Penelitian
Fokus penelitian diperoleh dari beberapa pencarian ilmu yang dilakukan
peneliti. Dalam penelitian ini peneliti kulalitatif memfokuskan objek penelitian
untuk mempertajam analisis peneliti. Menurut Spradley (dalam Sugiyono 2012 :
2008) menyatakan bahwa “A focused refer to a single cultural domain or a few
relected domain”. Bahwa fokus merupakan domain tunggal atau beberapa domain
yang terkait dari situasi sosial.
Pada penelitian ini peneliti menentukan fokus berdasarkan situasi sosial
dalam hal ini tentang tingkat kebaruan atau fenomena yang sedang terjadi di
masyarakat. Fenomena yang terjadi di masyarakat dapat memberikan peneliti
53
pengetahuan secara mendalam dan lebih luas tentang objek penelitian. Maka
dalam penelitian ini peneliti akan mengambil fokus penelitian mengenai Critical
Analysis Policy Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2007 tentang Penyandang
Masalah Kesejahteraan Sosial Kabupaten Tangerang (Anak Jalanan).
3.3 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian menjelaskan tentang tempat atau locus penelitian, serta
latar belakang peneliti mengambil tempat peneitian tersebut. Maka penelitian
dengan judul “Critical Policy Analysis Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2007
tentang Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (Anak Jalanan) ini dilakukan
di Kabupaten Tangerang, yakni yang menjadi Unit Pelaksana Teknis atas
peraturan daerah tersebut adalah Dinas Sosial. Peneliti mengambil Locus di
Kabupaten Tangerang dikarenakan masih banyak anak jalanan yang didapati di
Kabupaten Tangerang, dan peneliti menemukan beberapa masalah yakni
diantaranya : tidak terstukrurnya penanganan anak jalanan dengan baik dan jelas,
belum optimalnya koordinasi dan kerjasama antar (OPD) Organisasi Perangkat
Daerah yang terkait, tidak adanya panti khusus pembinaan atau penanganan untuk
anak jalanan, masih banyaknya kekurangan di dalam Peraturan Daerah Nomor 12
Tahun 2007 tentang Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial. Seperti belum
adanya SOP (Standar Operasional Prosedur), dan stakeholder mana saja yang
bertanggung jawab dalam penanganannya.
54
3.4 Fenomena yang diamati
3.4.1 Definisi Konsep
Definisi konseptual merupakan bagian dari definisi-definisi yang berisi
penjelasan dari konsep yang digunakan agar tidak ada perbedaan penafsiran antara
peneliti dan pembaca, sehingga perlu adanya keselarasan pemahaman. Konsep
yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Critical System Thinking (CST)
Menurut Ulrich (dalam Riswanda 2016: a,b) menyatakan bahwa critical system
thinking adalah sebuah paradigma alternatif penggalian, pemahaman,
pengolahan dan penafsiran data penelitian menggunakan rangka pikir „critical
heuristics‟.
2. Anak Jalanan
Peraturan Daerah Kabupaten Tangerang Nomor 12 tahun 2007 tentang PMKS
yang tercamtum di pasal 9 yang berbunyi, termasuk Kelompok Keterlantaran,
yaitu: yang terdapat di point 3 : Anak Jalanan yaitu anak yang berusia 5 sampai
dengan dibawah 18 tahun dan belum pernah menikah yang menghabiskan
sebagian besar waktunya untuk mencari nafkah dan atau berkeliaran di jalanan
atau di tempat-tempat umum.
55
3. Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial adalah Perorangan, Keluarga, dan
Kelompok Masyarakat yang karena sebab-sebab tertentu tidak dapat
melaksanakan seluruh atau sebagian fungsi dan peranan sosialnya, sehingga
tidak dapat terpenuhi kebutuhan dasar, minimum baik rohani, jasmani maupun
sosialnya.
3.4.2 Definisi Operasional
Definisi operasional adalah penjabaran konsep atau objek yang digunakan
penelitian dalam rincian yang terukur berdasarkan indikator penelitian. Dalam
penelitian ini menggunakan Boundary Categories menurut Ulrich (dalam
Riswanda 2016: 9), yaitu:
1. Sources of motivation (Sumber motivasi), adalah suatu sumber yang dalam
situasi dan kondisi penanganan anak jalanan yang dijadikan sebagai
gambaran kekuatan guna tercapainya penanganan anak jalanan yang
maksimal.
a. Stakeholder, pihak yang terlibat dalam penelitian ini adalah seluruh
yang terkait dalam penelitian ini.
b. Purpose (Tujuan), yaitu sasaran yang ingin dicapai dari kebijakan
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial khususnya anak jalanan.
c. Measure of improvement (Ukuran perbaikan), yaitu yang dijadikan
patokan atau standar keberhasilan penanganan anak jalanan.
56
2. Sources of power (Sumber kekuatan), adalah suatu sumber yang menjadi
kelebihan atau kekuatan untuk penanganan anak jalanan guna mencapai
sebuah keberhasilan.
a. Decision-maker (Pengambilan keputusan), yaitu pihak yang
menjadi pembuat kebijakan dalam penanganan anak jalanan dan
pihak yang mengambil keputusan.
b. Resources (Sumber daya), yaitu potensi yang dimiliki Dinas sosial
dalam mengelola penanganan anak jalanan.
c. Decision environment (Keputusan lingkungan), yaitu kondisi yang
berada di luar kontrol lingkup Dinas sosial.
3. Sources of knowledge (Sumber pengetahuan), adalah suatu sumber yang
dijadikan sebagai alat untuk memperoleh pengetahuan tentang penanganan
anak jalanan.
a. Professional (Tenaga ahli), yaitu seseorang yang dianggap sebagai
sumber terpercaya berdasarkan keahlian yang dimiliki dalam
menilai dan memutuskan sesuatu terkait penanganan anak jalanan.
b. Expertise (Keahlian), yaitu kemampuan dalam menangani
penanganan anak jalanan.
c. Guarantee (Jaminan), yaitu pihak yang dilibatkan dan berkontribusi
dalam penanganan anak jalanan.
4. Sources of legitimation (Sumber pengesahan), merupakan legitimasi dari
badan-badan yang menanangani penanganan anak jalanan.
57
a. Witness, yaitu orang yang seharusnya terkena efek atau dampak dari
adanya kebijakan PMKS (Penyandang Masalah Kesejahteraan
Sosial).
b. Emancipation, yaitu orang yang selama ini tidak terlibat dalam
pembuatan kebijakan.
c. World view (Pandangan dunia), yaitu pandangan secara universal
terhadap persoalan anak jalanan. Yakni peneliti melihan pandangan
atau persepsi Save Street Children, Media, dan Tokoh Masyarakat.
3.5 Istrumen Penelitian
Menurut Moleong (2007) pencari tahu alamiah dalam hal ini yakni peneliti
dalam pengumpulan data lebih banyak bergantung pada dirinya sebagai alat
pengumpulan data. Sedangkan menurut Bogdan dan Taylor (dalam Moleong :
2007) menurutnya :
“Sebagai peneliti kualitatif, tugas anda adalah menembus pengertian akal
sehat tentang kebenaran dan kenyataan, apa yang kelihatannya keliru atau
tidak konsisten menurut perspektif dan logika anda, mungkin menurut
subyek anda tidak demikian, dan kendati anda tidak harus sependapat
dengan pandangan subyek terhadap dunia ini, dapat mengetahui,
menerima, dan menyajikan pandangan mereka itu sebagaimana mestinya”
Adapun instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah peneliti itu
sendiri. Oleh karena itu peneliti sebagai instrumen juga harus “divalidasi”
seberapa jauh peneliti siap melakukan penelitian yang selanjutnya terjun ke
lapangan. Maka yang melakukan validasi adalah peneliti sendiri, melalui evaluasi
diri seberapa jauh pemahaman terhadap metode kulalitatif, penguasaan teori dan
58
wawasan terhadap bidang yang diteliti, serta kesiapan dan bekal memasuki
lapangan (dalam Sugiyono, 2012 : 59).
Peneliti mengumpulkan dua jenis data, yakni merupakan data sekunder
dan data sekunder. Peneliti sendiri merupakan key instrument dalam penelitian
kualitatif, dikarenakan peneliti dapat merasakan, mengalami, melihat sendiri
objek atau subjek yang diteliti, selain itu peneliti juga mampu menentukan saat
kapan penyimpulan data telah mencukupi, data telah jenuh dan kapan penelitian
dapat dihentikan dan peneliti juga dapat langsung melakukan pengumpulan data,
melakukan refleksi secara terus-menerus dan secara gradual membangun
pehamanan yang tuntas mengenai suatu hal.
Bahwa pada penelitian ini, peneliti merupakan sebagai instrumen
Participant Non-Observer (Observasi Non-Partisipan). Observasi Non-Partisipan
adalah di mana observer tidak ikut dalam kehidupan orang yang akan diobservasi,
dan secara terpisah berkedudukan selaku pengamat. Dalam penelitian ini jenis
data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah
data yang berupa kata-kata dan tindakan orang-orang yang diamati dari hasil
wawancara dan observasi. Sedangkan data sekunder adalah data yang dijadikan
sebagai data tambahan untuk memperkuat penelitian, seperti dokumen, gambar,
rekaman, dan lain-lai. Adapun alat pendukung dalam penelitian yaitu panduan
wawancara, buku catatan, dan handphone.
59
3.6 Informan Penelitian
Informan penelitian adalah orang yang memberikan informasi yang
diperlukan peneliti selama proses penelitian. Informan ini terbagi menjadi dua
yakni informan kunci (key informan) dan informan sekunder (secondary
informan). Menurut Patton (dalam Denzin 2009 : 209), alasan logis di balik teknik
purposive dalam penelitian kualitatif merupakan prasyarat bahwa informan yang
telah dipilih sebaiknya memiliki informasi yang kaya (rich information), adapun
dalam penentuan informan dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive
yaitu teknik pengambilan data dari informan dengan pertimbangan bahwa orang
yang dijadikan informan penelitian merupakan orang yang mengetahui tentang
obyek penelitian, sehingga memudahkan peneliti untuk mendapatkan data yang
dibutuhkan. Selanjutnya dalam pelaksanaannya peneliti akan menggunakan teknik
Snowball yakni disesuaikan dengan kondisi atau situasi yang terjadi di lapangan.
Adapun informan penelitian ini peneliti pilih berdasarkan judul penelitian Critical
Policy Analysis Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2007 tentang Penyandang
Masalah Kesejahteraan Sosial (Study Kasus : Anak jalanan) adalah sebagai
berikut :
60
Tabel 3.1
Informan Penelitian
No. Informan Keterangan Kode Kategori
Informan
1. Kepala Bagian Perundang-
Undangan Sekretariat Daerah
Bagian Hukum
Key Informan I1,1
Pilar
Pemerintah
2. Surpervisor Satuan Bakti
Pekerja Sosial Dinas Sosial
Provinsi Banten
Key Informan I2,1
3. Kepala Seksi Kesejahteraan
Anak dan Lanjut Usia Dinas
Sosial, Kabupaten Tangerang
Key Informan I3,1
4. Kepala Seksi Pengelolaan Data
PMKS dan PSKS Dinas Sosial,
Kabupaten Tangerang
Key Informan I3,2
5. Satuan Bakti Pekerja Sosial,
Kabupaten Tangerang
Key Informan I3,3
6. Kepala Seksi Keamanan dan
Ketertiban Umum Satuan Polisi
Pamong Praja
Key Informan I4,1
7. Komanda Kompi Satuan Polisi
Pamong Praja
Key Informan I4,2
61
8. Pelaksana Tugas Operasi dan
Pengendalian Satuan Polisi
Pamong Praja Kabupaten
Tangerang
Key Informan I.8
9. Kepala Tenaga Kerja Sosial
Kecamatan Kabupaten
Tangerang
Key Informan I5,1
10. Yayasan Hikmah Syaidah Key Informan I6,1
Pilar non-
Pemerintah
11. Anak Jalanan Kabupaten
Tangerang
Key Informan I7,1
I7,2
I7,3
12. Organisasi Save Street Children Second Informan I8,1
13. Media Second Informan I9,1
I9,2
14. Tokoh Masyarakat, Lembaga
Swadaya Masyarakat Gapura
Second Informan I10,1
(Sumber : Peneliti, 2016)
3.7 Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Teknik pengolahan data merupakan langkah yang paling strategis dan
penting dalam penelitian, karena tujuan utama dalam penelitian adalah
menepatkan data. Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data, maka penelitian
tidak akan mendapatkan data yang memenuhi standar terhadap yang sudah
62
ditetapkan (Sugiyono, 2012 : 63). Menurut Bogdan dan Biklen (dalam Irawan,
2006 : 73) analisis data kualitatif adalah :
“Analisis data adalah proses mencari dan mengatur secara sistematis
transkip interview, catatan dilapangan, dan bahan-bahan lain yang anda
dapatkan, yang kesemuanya itu, anda kumpulkan untuk meningkatkan
pemahaman anda (terhadap suatu fenomena) yang membantu anda untuk
mempresentasikan penemuan anda kepsa orang lain”.
Dalam penelitian ini jenis data yang dikumpulkan berupa data primer dan
sekunder. Sebagai data primer dalam penelitian ini berupa kata-kata dan tindakan
atau perilaku orang-orang yang diamati dari hasil wawancara serta observasi yang
dilakukan. Sedangkan data sekunder yang didapatkan berupa dokumen tertulis,
gambar atau foto.
1. Observasi
Observasi dapat dikatakan sebagai teknik pengumpulan data yang paling
utama dalam penelitian kualitatif. Observasi adalah pengamatan terhadap
suatu obyek yang diteliti baik secara langsung ataupun tidak langsung
untuk memperoleh data yang harus dikumpulkan dalam penelitian (Satori
dan Komariah:2009,105). Pengamatan secara langsung yakni peneliti
terjun secara langsung ke lapangan dan melibatkan seluruh pancaindra,
sedangkan pengamatan tidak langsung adalah pengamatan yang
menggunakan alat bantu seperti visual atau audiovisual.
Menurut Soehartono (2004 : 70) bahwa observasi partisipan yakni peneliti
terlibat dengan kegiatan sehari-hari objek atau subjek yang sedang diteliti
atau yang digunakan sebagai sumber penelitian, atau pengamat ikut serta
dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh subjek yang diteliti atau
63
diamati, dan seolah-olah merupakan bagian dari mereka. Sedangkan Black
dan Champion (2005 : 289) menyatakan bahwa dalam observasi
nonpartisipan peranan dalam tingkah laku peneliti dalam kegiatan-
kegiatan yang berkenaan dengan kelompok yang diamati kurang dituntut,
observasi nonpartisipan merupakan suatu prosedur yang dengannya
peneliti mengamati tingkah laku orang lain dalam keadaan alamiah, tetapi
peneliti tidak melakukan partisipasi terhadap kegiatan yang diamati.
Dalam penelitian ini peneliti akan memakai observasi nonpartisipan atau
nonparticipant observation.
2. Wawancara
Metode wawancara dalam penelitian kualitatif yakni dengan sifat
mendalam (in depth interview). Stainback dalam Satori dan Komariah
(2009:130) menjelaskan bahwa dengan wawancara peneliti akan
mengetahui hal-hal yang lebih mendalam tentang partisipan dan
mengintepretasikan situasi dan fenomena yang terjadi, dimana hal ini tidak
bisa ditemukan dalam proses observasi.
Irawan (2006:70) menyatakan bahwa wawancara gabungan antara ilmu
dan seni. Wawancara juga merupakan teknik yang tidak mudah digunakan,
namun apabila dilakukan dengan baik, maka wawancara akan memberikan
peneliti daya yang berguna untuk penelitiannya. Selain itu, dengan
semakin berkembangnya jaman, wawancara dapat dilakukan dengan cara
jarak jauh, dengan menggunakan telepon, internet atau teknologi lainnya.
64
Menurut Moleong (2007 : 190) wawancara tidak terstruktur adalah
wawancara yang bebas dimana peneliti tidak menggunakan pedoman
wawancara yang telah tersusun secara sistematis dan lengkap untuk
pengumpulan datanya. Pedoman wawancara yang hanya digunakan berupa
garis-garis besar permasalahan yang ditanyakan. Wawancara semacam ini
digunakan untuk menentukan informasi yang bukan baku atau informan
tunggal. Responden biasanya atas mereka yang terpilih saja karena atas
sifat-sifatnya yang khas.
Wawancara secara mendalam atau indepth interview adalah data
yang diperoleh yang terdiri dari kutipan langsung dari informan tentang
pengalaman, pendapat, perasaan dan pengetahuan informan penelitian.
Wawancara dilakukan dengan cara mempersiapkan terlebih dahulu
berbagai keperluan yang dibutuhkan yaitu penentuan informan, kriteria
informan dan pedoman wawancara disusun dengan rapih dan dipahami
terlebih dahulu oleh peneliti dan peneliti sebelum melakukan wawancara
melakukan hal-hal sebagai berikut :
a. Menerangkan kegunaan serta tujuan dari penelitian.
b. Menjelaskan alasan informan terpilih untuk diwawancarai.
c. Menjelaskan situasi atau badan yang melaksanakan.
Dalam Penelitian ini pedoman wawancara berpijak pada pemilihan
relevansi „facts‟ dan „values‟ memuat dimensi empiris sekaligus dimensi
normatif muatan sebuah kebijakan. Pemahaman „sistem‟ disini hendaknya
sebagai „sistem‟ acuan rangka pikir pada saat memandang kemajemukan
sudut pandang pembentuk kontruksi dasar dari kebijakan itu sendiri.
65
Tabel 3.2
Pedoman Wawancara
No. Dimensi Teori Indikator Informan
1. Sumber
motivasi
1. Siapa atau pihak mana yang
secara faktual yang
memproduk kebijakan yakni
Perda Nomor 12 Tahun 2007
tentang Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial?
2. Siapa saja yang terlibat dalam
pembuatan kebijakan yakni
Perda Nomor 12 Tahun 2007
tentang Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial?
3. Siapa yang menjadi pelaksana
dari kebijakan yakni Perda
Nomor 12 Tahun 2007 tentang
Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial?
4. Siapa yang mengawasi
penyelenggaraan Perda Nomor
12 Tahun 2007 tentang
Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial?
5. Bagaimana pengawasan yang
dilakukan untuk Perda Nomor
12 Tahun 2007 tentang
Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial?
6. Apa tujuan dan manfaat adanya
kebijakan yakni Perda Nomor
12 Tahun 2007 tentang
Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial?
7. Siapa yang menjadi sasaran
Perda Nomor 12 Tahun 2007
tentang Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial?
8. Siapa yang terkena dampak
dari Perda Nomor 12 Tahun
2007 tentang Penyandang
Masalah Kesejahteraan Sosial?
9. Siapa yang harusnya terlayani
dari adanya kebijakan yakni
Perda Nomor 12 Tahun 2007
1. Bagian
Perundang-
Undangan
Sekretarian
Daerah
2. Dinas Sosial
3. Satuan Polisi
Pamong Praja
66
tentang Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial?
10. Apa yang menjadi kendala
dalam penyelenggaraan Perda
Nomor 12 Tahun 2007 tentang
Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial?
11. Pihak mana yang bertanggung
jawab dalam menangani anak
jalanan?
12. Apakah Perda Penyandang
Masalah Kesejahteraan Sosial
kebijakan pemasyarakatan
sudah memberikan pengaruh
terhadap kesejahteraan anak
jalanan?
13. Apa yang menjadi tolak ukur
keberhasilan Perda Nomor 12
Tahun 2007 tentang
Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial?
14. Apa yang menjadi kendala
dalam penanganan anak
jalanan?
15. Upaya apa saja yang dilakukan
dalam memberikan pembinaan
atau penanganan untuk anak
jalanan?
2. Sumber
kekuatan
16. Siapa yang memiliki power
perubahan tolak ukur Perda
Nomor 12 Tahun 2007 tentang
Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial?
17. Mengapa tidak ada atau tidak
dibuatnya peraturan daerah
khusus untuk penanganan anak
jalanan?
18. Siapa yang berwenang dalam
pengambilan keputusan terkait
penanganan Anak Jalanan?
19. Seperti apa peran Dinas
Kesejahteraan Sosial dalam
memberikan penanganan yang
tepat untuk anak jalanan?
20. Apa saja yang dilakukan dalam
memberikan penanganan atau
1. Dinas Sosial
2. Save street
children
3. Dinas Sosial
Provinsi
4. Yayasan
Hikmah
Syaidah
67
pembinaan kepada anak
jalanan?
21. Pihak mana saja yang
bekerjasama dengan Dinas
Kesejahteraan Sosial dalam
melakukan penanganan
terhadap anak jalanan?
22. Apakah penanganan yang
dilakukan telah diberikan
secara maksimal?
23. Apa saja yang dilakukan Dinas
Kesejahteraan Sosial dalam
mengatasi permasalahan yang
terjadi?
24. Apakah Perda Nomor 12
Tahun 2007 tentang
Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial didukung
oleh sumberdaya yang
memadai?
25. Siapa yang mengawasi
berjalannya Perda Nomor 12
Tahun 2007 tentang
Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial
khususnya tentang anak
jalanan?
26. Apa peran Dinas Sosial
Provinsi dalam mengawasi
penanganan anak jalanan?
27. Bagaimana pengawasan yang
dilakukan?
28. Apa hasil yang diperoleh dari
monev?
3. Sumber
pengetahuan
29. Apakah pihak-pihak yang
dilibatkan dalam pembuatan
dan penegakan memiliki
kemampuan untuk
melaksanakan perda 12 tahun
2007 tentang PMKS?
30. Siapa atau pihak mana yang
dilibatkan sebagai pihak yang
memiliki kemampuan (ahli )
dalam menangani
permasalahan anak jalanan
ini?
1. Tenaga Kerja
Sosial
Kecamatan
2. Dinas Sosial
3. Bagian
Perundang-
Undangan
Sekretarian
Daerah
4. Satuan Bakti
Pekerja Sosial
Kabupaten
68
31. Apa faktor pendukung dan
faktor penghambat dalam
perumusan Perda Nomor 12
Tahun 2007 tentang
Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial?
32. Bagaimana cara penanganan
yang tepat untuk anak jalanan?
33. Apakah Perda Nomor 12
Tahun 2007 tentang
Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial akan
dapat menyelesaikan
permasalahan yang terjadi
yakni penanganan anak
jalanan?
34. Apa solusi yang ditawarkan
dari perumusan Perda Nomor
12 Tahun 2007 tentang
Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial untuk
menangani permasalahan?
35. Apa jaminan keberhasilan
Perda No 12 Tahun 2007
tentang PMKS ini ?
Tangerang
4. Sumber
pengesahan
36. Apakah ada atau tidak wadah
yang digunakan sebagai tempat
untuk menyuarakan pendapat
anak jalanan?
37. Bagaimana latar belakang
kenapa anak jalanan bisa turun
ke jalanan?
38. Apakah saudara mengetahui
perda tentang PMKS dan
bagaimana dampak yang
dirasakan?
39. Apa peran Save Street Children
dalam keikutsertaan untuk
penanganan anak jalanan?
40. Apa peran Saudara dalam
keikutsertaan untuk
penanganan anak jalanan?
41. Seberapa sering pemberitaan
tentang anak jalanan di
beritakan?
42. Apa persepsi Save Street
1. Anak Jalanan
2. Save Street
Children
3. Media
4. Tokoh
Masyarakat
69
Children tentang Penanganan
Anak Jalanan di Kabupaten
Tangerang?
43. Apa persepsi media terkait
penanganan anak jalanan di
Kabupaten Tangerang?
44. Apa peran media dalam
keikutsertaan terkait isu-isu
anak jalanan?
45. Apa harapan saudara kedepan
terkait penanganan anak
jalanan dalam Perda PMKS di
Kabupaten Tangerang?
46. Menurut Saudara penanganan
yang dilakukan pemerintah
sudah maksimal atau belum?
Sumber: Peneliti, 2017.
3. Studi Dokumentasi
Menurut Sugiyono (2008 : 240) bahwa dokumen merupakan catatan
peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa berupa tulisan harian, cerita,
biografi, harian, peraturan kebijakan dan lainnya. Dokumen yang berupa
gambar misalnya foto, gambar hidup, sketsa dan lainnya. Studi
dokumentasi merupakan salah satu sumber data sekunder, yang diperlukan
dalam sebuah penelitian. Jadi, tudi dokumentasi dapat diartikan sebagai
teknik pengumpulan data melalui bahan-bahan tertulis yang diterbitkan
oleh lembaga-lembaga yang menjadi objek penelitian, baik berupa
prosedur, peraturan tertulis, gambar, laporan hasil pekerjaan, serta berupa
foto ataupun dokumen.
4. Studi Pustaka
Studi pustaka merupakan teknik pengumpulan data dengan cara
memperoleh dari, buku, karya ilmiah, media massa, teks book, artikel,
70
jurnal, koran, dan sumber-sumber tertulis lainnya yang dapat menambah
atau mendukung sumber penelitian.
Menurut Bogdan dan Biklen dalam Irawan (2006:73) bahwa analisis data
adalah proses mencari dan mengatur secara sistematis transkip interview, catatan
lapangan, dan bahan-bahan lain yang peneliti dapatkan, yang semuanya peneliti
kumpulkan untuk meningkatkan pemahaman peneliti tentang obyek penelitian dan
membantu peneliti dalam menpresentasikan penemuan pada orang lain.
Untuk menganalisa data kualitatif tersebut, peneliti menggunakan teori
Miles & Huberman (dalam Moleong (2007)) yaitu sebagai berikut:
Gambar 3.1
Analisis Data Miles dan Huberman
1. Data Collection (Pengumpulan data)
Dalam suatu penelitian, langkah pengumpulan data adalah satu tahap yang
sangat menentukan terhadap proses dan hasil penelitian yang akan
dilaksanakan tersebut. Kegiatan pengumpulan data pada prinsipnya
Data Collection Data Display
Data Reduction Conclusion
Drawing/Verifyin
g
71
merupakan kegiatan penggunaan metode dan instrumen yang telah ditentukan
dan diuji validitas dan reliabilitasnya. Secara sederhana, pengumpulan data
diartikan sebagai proses atau kegiatan yang dilakukan peneliti untuk
mengungkap atau menjaring berbagai fenomena, informasi atau kondisi lokasi
penelitian sesuai dengan lingkup penelitian.
2. Data Reduction (Reduksi Data)
Mereduksi berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok,
memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari pola dan temanya. Dengan
demikian data yang sudah direduksi, akan memberikan gambaran yang lebih
jelas, dan memudahkan peneliti untuk melakukan pengumpulan data
selanjutnya, dan mencarinya jika diperlukan.
3. Data Display (Penyajian Data)
Setelah data direduksi, langkah selanjutnya adalah mendisplay data.
Penyajian data dapat dilakukan secara sistematis dan dalam bentuk uraian
singkat, bagan, hubungan antar kategori dan selanjutnya, yang paling sering
digunakan untuk menyajikan data dalam metode kualitatif adalah dengan teks
yang bersifat naratif. Dengan mendisplay data, maka akan memudahkan untuk
memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja selanjutnya berdasarkanapa
yang telah dipahami.
4. Conclusion Drawing/Verivication (Penarikan Kesimpulan)
Menganalisis data kualitatif menurut Miles dan Huberman adalah
penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan yang dikemukakan masih
72
bersifat sementara dan akan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti dan
data-data yang kuat yang mendukung pada tahap-tahap pengumpulan data
selanjutnya. Tetapi apabila kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal
sudah didukung oleh data-data dan bukti-bukti yang valid dan konsisten saat
peneliti kembali ke lapangan mengumpulkan data, maka kesimpulan yang
dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel.
3.8 Uji Keabsahan Data
Pada Uji Keabsahan Data, dalam penelitian ini peneliti menerapkan
metode triangulasi. Metode ini digunakan sebagai alat untuk menguji apakah data
hasil penelitian yang telah dikumpulkan terdapat perbedaan atau tidak, sehingga
dapat diketahui data tersebut dianggap absah atau tidak. Dalam Sugiyono
(2012:173) terdapat tiga teknik triangulasi yakni triangulasi sumber, triangulasi
tekni, dan triangulasi waktu. Berikut adalah tiga teknik tersebut, yaitu:
a. Triangulasi sumber, yaitu dengan mengecek data yang sudah diperoleh
dari berbagai hasil sumber. Data tersebut kemudian dipilah dan dipilih dan
disajikan dalam bentuk tabel matriks. Data dari sumber yang berbeda
dideskripsikan, dikategorisasikan, mana pandangan yang sama, berbeda,
dan mana yang lebih spesifik.
b. Triangulasi teknik, dapat dilakukan dengan melakukan cek data dari
berbagai macam teknik pengumpulan data. Misalnya dengan
menggunakan teknik wawancara mendalam, observasi, dan dokumentasi.
Data dari ketiga teknik tersebut dibandingkan, adakah konsistensi. Jika
berbeda, maka dapat dijadikan catatan dan dilakukan pengecekan
selanjutnya mengapa data bisa berbeda.
c. Triangulasi Waktu : Yaitu dengan mengecek kredibilitas data dengan
waktu yang berbeda, peneliti dapat mengecek konsistensi, kedalaman, dan
ketepatan suatu data.
Penelitian ini menggunakan dua teknik triangulasi pendekatan untuk
menguji keabsahan data dari hasil penelitian di lapangan, yaitu triangulasi sumber.
73
Teknik triangulasi teknik, peneliti melakukan cek data dari berbagai sumber, yaitu
wawancara, observasi, dan studi dokumentasi.
Peneliti juga menggunakan member check dalam menguji keabsahan data.
Member check dilakukan dengan mengecek data yang diperoleh kepada informan
penelitian. Mengecek Ulang (Member Check) adalah data yang peneliti peroleh
harus diakui dan diterima kebenarannya oleh sumber informasi serta harus
dibenarkan oleh informan lainnya. Member Check adalah pengecekan data yang
diperoleh peneliti kepada informan. Tujuannya adalah untuk mengetahui
kesesuaian data yang diberikan oleh pemberi data. Apabila para pemberian data
sudah menyepakati data yang diberikan maka data tersebut valid dan kredibel.
(Satori dan Komariah, 2009:172)
3.9 Jadwal Penelitian
Penelitian ini yakni dengan Judul Critical Policy Analysis Peraturan
Daerah Nomor 12 Tahun 2007 tentang Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial
dalam Penanganan Anak Jalanan di Kabupaten Tangerang. Sedangkan waktu
penelitian ini dilaksanakan sebagai berikut :
74
Tabel 3.3
Jadwal Penelitian
No
.
Tahapan Waktu Penelitian
Penelitian 9 10 11 12
1
2
3
4
5 6
7
8
9 10
2016 2017
1. Pengajuan
Judul
2. Observasi
Awal
3. Pembuatan
Proposal
4. Bimbingan,
perbaikan
Poposal
5. Seminar
Proposal
6. Revisi
Proposal
7. Wawancara
8. Penyusunan
Hasil
Penilitian
9. Sidang
Skripsi
75
BAB IV
HASIL PENELITIAN
4.1 Deskripsi Objek Penelitian
Deskripsi objek penelitian menjelaskan tentang objek penelitian secara
jelas, yakni lokasi penelitian, struktur organisasi, tugas, dan hal-hal lainnya yang
berkaitan dengan penelitian yang dilakukan. Berikut adalah penjelasannya :
4.1.1 Gambaran Umum Locus Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Tangerang, Kabupaten Tangerang
adalah sebuah Kabupaten yang berada di Provinsi Banten, yang ibukotanya adalah
Tigaraksa, yang dipimpin oleh seorang Bupati Ahmad Zaki Iskandar, Kabupaten
Tangerang terletak di sebelah barat Jakarta dengan peta lokasi pada 6º00-6º00
Lintang Selatan dan 106º20-106º43 Bujur Timur.
Kabupaten Tangerang memiliki 29 Kecamatan. Dari data Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil bahwa pada tahun 2016 jumlah penduduk
Kabupaten Tangerang berjumlah 3.249.328 jiwa yang terdiri dari 1.679.163 laki
laki dan 1.570.165 perempuan. Perekonomian Kabupaten Tangerang didominasi
oleh industri pengolahan, perdagangan, hotel dan restoran. Kegiatan industri
merupakan yang paling mencolok di Kabupaten Tangerang ini, karena banyak
pabrik-pabrik, yang menyita lebih dari 50 persen potensi ekonomi daerah
setempat memberi peran yang tidak sedikit terhadap daerah lain, terutama yang
menyangkut distribusi manusia dan barang, dan sektor lainnya, tetapi hal ini juga
76
dapat menimbulkan masalah seperti kemacetan, polusi, adanya gelandangan,
pengemis, serta anak jalanan. Maka dari itu untuk mengatur dan kesejahteraan
Pemerintah Kabupaten Tangerang mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 12
Tahun 2007 tentang Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS)
Kabupaten Tangerang yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup
penyandang masalah kesejahteraan agar hidup secara mandiri.
a. Visi Pemerintah Kabupaten Tangerang
“Masyarakat Kabupaten Tangerang Yang Cerdas, Makmur, Religius dan
Berwawasan Lingkungan”.
b. Misi Pemerintah Kabupaten Tangerang
Peningkatan pemerataan dan akses pelayanan pendidikan untuk
mewujudkan masyarakat yang cerdas
Meningkatkan fasilitas dan pelayanan kesehatan bagi masyarakat
Pengembangan ekonomi daerah yang berbasis industri, usaha mikro kecil
dan menengah untuk meningkatkan daya beli dan kemakmuran
masyarakat.
Penciptaan iklim investasi dan usaha yang kondusif bagi pertumbuhan
ekonomi dan mengurangi pengangguran
Peningkatan nilai-nilai agama dalam penyelenggaraan pemerintahan serta
kehidupan bermasyarakat menuju masyarakat yang religius
77
Peningkatan pembangunan infrastruktur dan pelayanan dasar di setiap desa
yang merujuk pada prinsip pengembangan tata ruang dan lingkungan
pemukiman yang lestari, hijau, indah, nyaman dan sehat.
Mewujudkan birokrasi pemerintahan yang bersih, professional,
berwibawa, amanah, transparan dan bertanggung jawab.
4.1.2 Gambaran Umum Dinas Sosial Kabupaten Tangerang
a. Visi Dinas Sosial Kabupaten Tangerang
“Terwujudnya Perlindungan dan Pelayanan Sosial yang Prima Menuju
Masyarakat Kabupaten Tangerang yang Sejahtera dan Religius”.
b. Misi Dinas Sosial Kabupaten Tangerang
Peningkatan upaya pemberdayaan masyarakat dan kelembagaan sosial dalam
mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Meningkatkan Pembinaan kehidupan beragama, fasilitasi sarana dan
prasarana keagamaan untuk mewujudkan masyarakat yang religius.
Meningkatkan pembinaan, pemeliharaan, pemulihan dan mengembangkan
kesejahteraan sosial masyarakat.
Mewujudkan pelayanan prima di bidang Kesejahteraan Sosial melalui upaya
pencegahan, pengendalian dan mengatasi permasalahan kemiskinan dan
penyakit- penyakit sosial.
78
c. Tujuan Dinas Sosial Kabupaten Tangerang
Meningkatkan nilai-nilai agama dalam penyelenggaraan pemerintahan dan
kehidupan bermasyarakat menuju masyarakat yang religius.
Meningkatkan pelayanan sosial dasar, berdasarkan atas azas adil, terutama
bagi kelompok masyarakat penyandang masalah kesejahteraan sosial, yang
meliputi kelompok masyarakat miskin, tuna wisma, tuna susila, penyandang
cacat, anak serta lanjut usia terlantar dan korban bencana serta dan korban
penyalahgunaan obat terlarang.
Meningkatkan partisipasi sosial kemasyarakatan untuk menangani masalah
sosial melalui peningkatan kapabilitas aparatur, masyarakat, organisasi sosial,
lembaga-lembaga sosial dan kepedulian dunia usaha.
Menurut Peneliti Visi, Misi dan Tujuan Dinas Sosial menjadikan Dinas Sosial
sebagai pelaksana Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2007 tentang Penyandang
Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) di Kabupaten Tangerang. Yang
diharapkan mampu untuk meningkatan Sumber daya manusia, aparatur, pekerja
sosial dan organisasi sosial. Melakukan penataan manajemen pelayanan
kesejahteraan sosial. Meningkatan perlindungan kesejahteraan sosial masyarakat.
Serta mengembangkan sistem kerjasama dalam penanganan kesejahteraan sosial
masyarakat. Keberhasilan kebijakan tersebut dapat dilihat dari beberapa hal
meningkatkan taraf kesejahteraan, kualitas, dan kelangsungan hidup Masyarakat
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS), serta memulihkan fungsi
sosial dalam rangka mencapai kemandirian, meningkatkan kemampuan,
kepedulian dan tanggung jawab.
79
4.2 Deskripsi Informan Penelitian
Deskripsi Informan merupakan bagian untuk menjelaskan informan atau
narasumber orang yang dianggap mengetahui terkait masalah dalam penelitian,
adapun dalam penentuan informan dalam penelitian ini menggunakan teknik
purposive yaitu teknik pengambilan data dari informan dengan pertimbangan
bahwa orang yang dijadikan informan penelitian merupakan orang yang
mengetahui tentang obyek penelitian, dan teknik snowball yakni disesuaikan
dengan kondisi atau situasi yang terjadi di lapangan sehingga memudahkan
peneliti untuk mendapatkan data dan informasi penelitian dan dapat menjawab
rumusan masalah yang ada.
Berdasarkan lokasi penelitian yakni di Kabupaten Tangerang, peneliti
menetapkan informan yakni Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten
Tangerang, Dinas Sosial Kabupaten Tangerang, Dinas Sosial Provinsi Banten,
Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Tangerang, Tenaga Kerja Sosial
Kecamatan (TKSK) Kabupaten Tangerang, Satuan Bakti Pekerja Sosial, Yayasan
Hikmah Syaidah, Anak Jalanan, Save Street Children (SSC), Media yaitu
Tribunnews dan Satelitnews, serta LSM Gapura sebagai Tokoh Masyarakat. Agar
lebih jelas berikut deskripsi informan dalam penelitian ini :
80
Tabel 4.1
Daftar Informan Penelitian
No. Kategori Informan Nama
Informan
Jabatan Kode
Informan
Keterangan
1. Pemerintahan Sekretariat
Daerah Bagian
Hukum
M. Yusuf
Syafrudin
Kepala Bagian
Perundang-
Undangan
I1,1 Key
Informan
Dinas Sosial
Provinsi
Banten
Arini
Rohmah
Surpervisor
Satuan Bakti
Pekerja Sosial
Provinsi
Banten
I2,1 Key
Informan
Dinas Sosial
Kabupaten
Tangerang
Lili
Amaliyah
Kepala Seksi
Kesejahteraan
Anak dan
Lansia
I3,1 Key
Informan
Endang
Ramdani
Kepala Seksi I3,2 Key
Informan
Indri Satuan Bakti
Pekerja Sosial
Kabupaten
Tangerang
I3,3 Key
Informan
Satuan Polisi
Pamong Praja
Kabupaten
Tangerang
M. Sahdan Kepala Seksi
Keamanan dan
Ketertiban
Umum
I4,1 Key
Informan
Muhamad
Yusuf
Komandan
Kompi
I4,2
Key
Informan
Agus
Setiawan
Pelaksana
Tugas Operasi
dan
Pengendalian
I4,3 Key
Informan
Tenaga Kerja
Sosial
Kecamatan
Kabupaten
Tangerang
Ahmad
Aynudin
Kepala Tenaga
Kerja Sosial
Kecamatan
I5,1 Key
Informan
Yayasan
Hikmah
Syaidah
Sobari Petugas I6,1 Key
Informan
2. Non
Pemerintah
Anak Jalanan Indra Anak Jalanan I7,1 Key
Informan
Dedeh Anak Jalanan I7,2 Key
81
Informan
Noval Anak Jalanan I7,3 Key
Informan
Organisasi
Save Sreet
Children
(SSC)
Olivia
Resti
Petugas Aktif I8,1 Secondary
Informan
Media
Tribunnews
dan
Satelitnews
Faris Wartawan
Tribunnews
I9,1 Secondary
Informan
Dedi
Maksudi
Pemimpin
Redaksi
Satelitnews
I9,2 Secondary
Informan
Tokoh
Masyarakat
Agus
Salim
Lembaga
Swadaya
Masyarakat
Gapura
I10,1 Secondary
Informan
(Sumber : Peneliti 2017)
4.3. Critical Policy Analysis Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2007 tentang
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) Kabupaten Tangerang
Peraturan Daerah Nomor 12 tahun 2007 tentang Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial (PMKS) Kabupaten Tangerang diharapkan dapat menjadi
solusi bagi penyandang masalah kesejahteraan, dengan sasaran perorangan,
keluarga dan masyarakat yang merupakan penyandang masalah kesejahteraan
sosial, dengan tujuan yaitu untuk lebih mensejahterakan penyandang
kesejahteraan lebih mandiri, dan dapat hidup lebih baik secara materil maupun
non materil dan dapat meningkatkan taraf hidupnya Namun pada kenyataannya
payung hukum atau aturan dasar penanganan penyandang masalah kesejahteraan
sosial ini yakni Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2007 masih terdapat
kekurangan, serta belum dapat menyelesaikan permasalahan kesejahteraan sosial
di Kabupaten Tangerang.
82
Berdasarkan penelitian dilapangan dan analisis peneliti, bahwa dalam
Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2007 tentang Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial (PMKS) masih terdapat beberapa kekurangan, diantaranya
sebagai berikut :
1. Tidak Dijelaskannya Isi (Beberapa Pasal) Peraturan Daerah Secara Jelas
dan Merinci
Pertama, tidak adanya kejelaskan bentuk penanganan dan pembinaan
secara jelas dan rinci untuk masing-masing penyandang masalah kesejahteraan
sosial sesuai dengan latar belakang atau permasalahan sosial yang mereka alami,
tentunya hal ini diperlukan dikarenakan mereka mempunyai latar belakang
masalah sosial yang berbeda-beda dan tentunya cara penanganan yang
dilakukanpun harus berbeda sesuai dengan kebutuhan mereka. Serta tidak adanya
tolak ukur sejauhmana kebijakan atau program yang diberikan kepada
penyandang masalah kesekajteraan sosial telah berhasil dan peraturan daerah ini
dapat menjadikan penyandang masalah kesejahteraan sosial berkurang serta dapat
meningkatkan taraf kehidupannya.
Kedua yakni tidak dijelaskan siapa yang melaksanakan Peraturan Daerah
Nomor 12 Tahun 2007 tentang Penyandang Masalah Kesejahteraan Program,
serta tidak adanya keterangan tentang tugas masing-masing pelaksana.
83
Gambar 4.1
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini tidak dijelaskan siapa pelaksana, dan tugas
masing-masing pelaksana, dari BAB I Ketentuan Umum sampai terakhir yakni
BAB VI Ketentuan Penutup tidak dijelaskan secara rinci dan gamblang,
sedangkan dalam sebuah peraturan sebagai dasar sebuah program, kejelasan dan
rincian sangat penting, agar peraturan daerah dapat berjalan secara optimal dan
baik. Terlebih lagi dalam Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2007 tidak adanya
Petunjuk Pelaksana dan Petunjuk Teknis. Dalam peraturan daerah ini hanya
ditulis Dinas yakni Dinas Kesejahteraan Sosial Kabupaten Tangerang, dari hasil
penelitian yang dilakukan peneliti bahwa Dinas Sosial merupakan pelaksana
dalam Peraturan daerah ini. Namun tidak dijelaskan hubungan dan bentuk
kerjasama serta keterkaitan Dinas Sosial dalam unsur-unsur di bawah ini :
84
Gambar 4.2
Pasal 1
Berdasarkan hasil penelitian pula bahwa Dinas Sosial hanya melakukan
beberapa kegiatan atau bekerja sama dengan beberapa yayasan, yakni Yayasan
Hikmah Syaidah dan Panti Jayanti yang berfungsi sebagai sarana partisipasi
masyarakat dalam melaksanakan usaha kesejahteraan sosial. Serta Tenaga Kerja
Sosial Kecamatan atau Tenaga Kesejahteraan Sosial Masyarakat yang berada di
29 (dua puluh sembilan) Kecamatan di Kabupaten Tangerang melakukan
pendataan terhadap penyandang masalah kesejahteraan sosial, serta melakukan
investigasi terhadap penyandang masalah kesejahteraan yang akan dikenai
program atau yang seharusnya terkena program/. Dalam unsur diatas yakni
Karang Taruna dan Badan organisasi atau lembaga pemerintah atau swasta belum
ikutserta atau belum optimalnya peran pada masing-masing unsur dalam
melakukan penanganan terhadap penyandang masalah kesejahteraan sosial di
Kabupaten Tangerang.
85
Gambar 4.3
Pasal 5
Ketiga, Pada Pasal 5 yakni pada ayat (1) “Pelayanan dan perlindungan
sosial sebagai bagian tak terpisahkan dari pembangunan daerah Kabupaten
Tangerang adalah juga pembangunan manusia seutuhnya dan masyarakat
seluruhnya sebagai upaya perbaikan tingkat hidup yang berkeadilan sosial.” (2)
Bahwa berdasarkan pemaparan diatas, dalam Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun
2007 tidak dijelaskan bentuk pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah daerah
terkait serta siapa saja pemerintah daerah yang berperan dalam melakukan
pelayanan dan perlindungan sosial. Kemudian bentuk tolak ukur keberhasilan
dalam pelayanan dan perlindungan sosial ini yang dapat dijadikan sebagai bentuk
landasan dalam pembangunan daerah. Dalam Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun
2007 ini tidak dijelaskan pula golongan atau kriteria yang termasuk masyarakat
yang seharusnya diberikan pelayanan dan diberikan perlindungan sosial oleh
pemerintah daerah, hal ini dapat menyebabkan salah sasaran dalam melakukan
pelayanan terhadap masyarakat yang dipilih. Selanjutnya sejauhmana pelayanan
86
dan perlindungan sosial ini dapat dikatakan telah sesuai dengan acuan pada
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009.
Dalam point (2) menyebutkan “Pelayanan dan Perlindungan sosial
dilaksanakan bersama Pemerintah dengan masyarakat.” Tidak dijelaskan
pelayanan seperti apa yang masyarakat lakukan, serta sejauhmana masyarakat
berperan dalam pelayanan dan perlindungan sosial, dan tidak dijelaskan bahwa
masyarakat golongan atau secara universal dalam melakukan pelayanan, tentunya
tidak semua masyarakat dapat dan bersedia melakukan pelayanan dan
perlindungan sosial, tidak sedikit masyarakat yang acuh kepada sesama makhluk
sosial.
Gambar 4.4
Pasal 15
Selanjutnya pada Pasal 15 yakni “Usaha-usaha kesejahteraan sosial bagi
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) dilaksanakan dengan
menggali, memanfaatkan serta mendayagunakan potensi dan Sumber
Kesejahteraan Sosial (PSKS) yang ada di masyarakat, yaitu :1. Tenaga
Kesejahteraan Sosial Masyarakat, 2. Karang Taruna, 3.Panti-panti Sosial, 4.
87
Organisasi Sosial Masyarakat, 5. Organisasi Sosial Wanita, 6.Organiasi Profesi.
Dalam pasal tersebut bahwa tidak dijelaskan bentuk usaha seperti apa dan tugas
yang seharusnya dilakukan bagi Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial
(PMKS), serta landasan dijadikannya 1. Tenaga Kesejahteraan Sosial Masyarakat,
2. Karang Taruna, 3.Panti-panti Sosial, 4. Organisasi Sosial Masyarakat, 5.
Organisasi Sosial Wanita, 6.Organiasi Profesi sebagai Potensi dan Sumber
Kesejahteraan Sosial (PSKS).
2. Belum adanya Peraturan Bupati tentang Tata Cara Pelaksanaan
Dalam sebuah peraturan akan lebih baik jika sebuah peraturan tersebut
telah dijelaskan secara rinci dalam memaparkan suatu aturan dan tata cara
penanganan yang bisa dijadikan pedoman bagi pihak terkait sebagai pelaksana
kebijakan pembahasan mengenai suatu aturan pada suatu kebijakan haruslah
mendalam dan merinci serta fokus membahas suatu topik permasalahan yang
hendak diselesaikan, namun jika belum jelas akan dijelaskan dalam bentuk
peraturan lain sebagai bentuk terusan kebijakan agar kebijakan dapat berjalan
dengan optimal dan dapat menjadi salah satu solusi untuk menyelesaikan
permasalahan yang ada dalam pelaksanaan. Berdasarkan pada Peraturan Daerah
Nomor 12 Tahun 2007 tentang Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial
(PMKS) di Kabupaten Tangerang terdapat beberapa pasal dalam tata cara
pelaksanaan yang seharusnya dijelaskan dalam Peraturan Bupati.
88
Gambar 4.6
Berdasarkan gambar di atas bahwa dinyatakan tata cara pelaksanaan
sebagai keterangan dan penjelasan lebih lanjut terhadap peraturan daerah diatur
dalam Peraturan Bupati, namun hasil lapangan yang peneliti temukan bahwa
sampai saat ini belum adanya Peraturan Bupati sebagai bentuk lanjutan tata
cara pelaksanaan dan penjelasan lain dalam mengimplementasikan peraturan
daerah ini padahal Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2007 tentang
Penyandang Masalah Kesejahteraan (PMKS) di Kabupaten Tangerang ini telah
disahkan dan diimplementasikan sejak tahun 2007. Menurut peneliti, sekitar 10
(sepuluh) tahun Peraturan Bupati tidak dibuat, dan belum adanya perubahan
terhadap peraturan daerah terkait, dan dalam implementasinya Dinas Sosial
sekarang ini hanya dapat melakukan atau memprioritaskan 9 (sembilan)
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS), Peraturan Daerah Nomor
12 tahun 2007 belum cukup dijadikan sebagai landasan dalam melakukan
pelaksanaan secara optimal serta masih membutuhkan Peraturan Bupati agar
lebih jelas dan rinci.
89
3. Tidak adanya Bentuk Pengawasan serta Evaluasi terhadap Penyandang
Masalah Kesejahteraan Sosial yang telah mendapatkan Program dan
Pengawasan dan Evaluasi terhadap Pelaksana Program
Sebuah Peraturan Daerah sudah seharusnya diadakan Pengawasan dalam
implementasinya serta Evaluasi agar meminimalisir kesalahan dalam
pelaksanaannya. Dalam Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2007 tentang
Penyandang Masalah Kesejahteraan (PMKS) di Kabupaten Tangerang, tidak
terdapat bentuk pengawasan, siapa yang mengawasi, serta bentuk evaluasi
terhadap penyandang masalah kesejahteraan yang telah mendapatkan program.
Aturan tersebut diperlukan agar dapat diberikannya sanksi terhadap
penyandang masalah kesejahteraan yang tidak melakukan atau memanfaatkan
program dengan baik, serta program dapat segera diberikan kepada
penyandang masalah kesejahteraan yang lain yang lebih membutuhkan atau
lebih berhak menerima bantuan program. Evaluasi juga diperlukan serta bentuk
evaluasi dengan tujuan agar evaluasi ini dapat dijadikan sebagai input terhadap
kebijakan atau program yang akan datang agar lebih baik.
Pengawasan terhadap Pelaksana Peraturan Daerah juga sangat penting,
yang merupakan bentuk pengendalian dalam penyelenggaraaan program agar
seluruh intrumen pelaksana dapat melakukan tanggung jawab sesuai dengan
prosedur agar berjalan secara efektif, dengan pengawasan menilai hasil laporan
dan data sebagai bentuk gambaran atas kegiatan yang sebenarnya berlangsung
atau tidak. Serta program atau peraturan daerah yang telah dilaksanakan
berjalan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan atau tidak. Selanjutnya
90
dilakukannya evaluasi terhadap pelaksana Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun
2007 tentang Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial ini dapat mengetahui
kritik tentang tujuan dan sasaran apakan telah sesuai dengan keadaan fenomena
yang terjadi, agar alternatif-alternatif kebijakan yang dihasilkan dapat
mengurangi tingkat kegagalan peraturan daerah.
4.4 Deskripsi Data
Deskripsi data adalah merupakan uraian mengenai data yang didapatkan
dari hasil penelitian berlangsung. Untuk mendapatkan data penelitian ini
mendapatkan hasil penelitian dengan menggunakan metode kualitatif sehingga
data yang didapatkan bersifat kualitatif eksploratif. Penelitian ini menggunakan
teori Critical System Thinking menurut Ulrich (dalam Riswanda 2016: a,b)
menyatakan bahwa critical system thinking adalah sebuah paradigma alternatif
penggalian, pemahaman, pengolahan dan penafsiran data penelitian menggunakan
rangka pikir „critical heuristics‟, yang memfokuskan pada 4 (empat) aspek yaitu
Sources of motivation (Sumber motivasi), Sources of power (Sumber kekuatan),
Sources of knowledge (Sumber pengetahuan), Sources of legitimation (Sumber
pengesahan). Teori ini adalah sebuah paradigma berfikir dengan melihat sudut
pandang dari informan yang berbeda latar belakang (pemerintah dan non-
pemerintah), dan menggunakan teknik lain dalam mendapatkan data seperti
mencari jurnal, media cetak maupun elektronik, dan lainnya. Sehingga
mendapatkan data yang lebih kompleks. Peneliti memaparkan data dan informasi
secara kritis yang akhirnya akan menghasilkan penelitian yang bersifat naratif.
Critical System Thinking dapat memaparkan fakta (fact) dan nilai (norm) yang
91
selama ini tersembunyi atau belum tersentuh kenyataannya, yaitu apa tujuan
sesungguhnya yang ingin dicapai, bagaimana keadaan yang terjadi dan apa yang
seharusnya terjadi.
Seperti penelitian kualitatif lainnya, penelitian ini menggunakan teknik
pengumpulan data yakni dengan cara wawancara, observasi, studi dokumentasi
dan studi pustaka, selanjutnya peneliti melakukan beberapa cara selama penelitian
ini berlangsung untuk mempermudah dalam memperoleh informasi dan data,
dimulai dari pengumpulan data mentah dengan bantuan catatan lapangan, kamera
dan alat perekam, lalu transkip data merupakan kegiatan mengubah hasil
wawancara berupa rekaman menjadi bentuk tertulis seperti adanya tanpa pendapat
peneliti
Berdasarkan bab yang telah di paparkan sebelumnya, untuk menganalisa
data kualitatif peneliti menggunakan model interaktif yang dikembangkan oleh
Miles dan Hubermen, yaitu Data Collection (Pengumpulan data), Data Reduction
(Reduksi Data), Data Display (Penyajian Data), dan Conclusion
Drawing/Verivication (Penarikan Kesimpulan). Selanjutnya untuk mempermudah
menganalisa peneliti melakukan pembuatan koding yang akhirnya penarikan
kesimpulan atas data yang telah didapatkan, penarikan kesimpulan ini diambil jika
data atau informasi yang dihasilkan telah bersifat jenuh yang artinya telah terjadi
pengulangan dari data dan informasi tersebut dari beberapa informan . Berikut
merupakan kode-kode yang terdapat dalam analisis data penelitian ini yaitu:
1. Kode I : item informan
92
2. Kode Q (Question) : item pertanyaan
3. Kode A (Answer) : item jawaban
Setelah itu, temuan pada tahap analisis sebelumnya untuk menguji
keabsahan data peneliti menggunakan metode triangulasi sumber dan triangulasi
teknik dengan cara mengecek data kepada sumber yang sama namun dengan tekik
yang berbeda, langkah terakhir yaitu member check melakukan pengecekan ulang
kembali atas data yang telah didapat.
4.5 Analisa Data Penelitian
Penelitian yang berjudul Critical Policy Analysis Peraturan Daerah Nomor
12 Tahun 2007 tentang Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) dalam
Penanganan Anak Jalanan Studi Kasus di Kabupaten Tangerang menggunakan
teori Critical System Thinking menurut Ulrich (dalam Riswanda 2016: a,b)
menyatakan bahwa critical system thinking adalah sebuah paradigma alternatif
penggalian, pemahaman, pengolahan dan penafsiran data penelitian menggunakan
rangka pikir „critical heuristics‟, yang memfokuskan pada 4 (empat) aspek yaitu
Sources of motivation (Sumber motivasi), Sources of power (Sumber kekuatan),
Sources of knowledge (Sumber pengetahuan), Sources of legitimation (Sumber
pengesahan).
4.4.1 Sources of motivation (Sumber Motivasi)
Sources of motivation (Sumber motivasi), adalah suatu sumber yang dalam
situasi dan kondisi penanganan anak jalanan yang dijadikan sebagai gambaran
kekuatan guna tercapainya tujuan penanganan anak jalanan yang maksimal dalam
93
Peraturan Daerah yang ada. Sumber motivasi merupakan tahapan atau latar
belakang dari dibuatnya sebuah kebijakan yang menjelaskan stakeholder pihak
mana yang terlibat dari sebuah kebijakan dalam pembuatan dan implementasinya,
purpose yakni tujuan dibuatnya kebijakan, dan measure of improvement adalah
ukuran perbaikan atau tolak ukur seberapa jauh keberhasilan dari kebijakan
tersebut. Dalam penelitian ini Sources of motivation (Sumber motivasi) dijelaskan
sebagai kontruksi dasar kebijakan dalam peraturan daerah untuk mengetahui
penanganan anak jalanan di Kabupaten Tangerang.
4.5.1.1 Stakeholder (Pihak Yang Terlibat)
Stakeholder adalah pihak yang terlibat dalam sebuah kebijakan, yakni
pihak mana yang secara faktual memproduksi kebijakan, siapa yang menjadi
pelaksana sebuah kebijakan, apa yang sebenarnya menjadi sasaran kebijakan dan
hal-hal lainnya. Dalam pembuatan peraturan daerah yang menjadi fokus penelitian
melibatkan stakeholder untuk memberikan solusi dan menjawab permasalahan
yang ada yaitu memberikat input terhadap penangananan anak jalanan. Berikut
adalah pernyataan dari informan 1.1 :
“Tentunya adalah lembaga legislatif saat itu, seperti DPRD dan disahkan
kepada daerah, yang tidak melibatkan atau tidak ada campur tangan dan
masukan dari penyandang masalah kesejahteraan maupun lembaga
swadaya masyarakat yang bergerak di kesejahteraan manusia, dan tidak
melibatkan dinas sosial, dinas sosial hanya sebagai pelaksana
kebijakan,.”(wawancara dengan informan 1.1).
Berdasarkan wawancara dengan informan 1.1 di atas dapat diketahui
bahwa pihak yang memproduksi Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2007 tentang
94
PMKS adalah DPRD yang tidak melibatkan penyandang masalah kesejahteraan
maupun dinas sosial hal yang sama juga diungkapkan oleh informan 3.1 :
“kita dinas sosial tidak mampu untuk memproduksi kebijakan karena
sudah ada kewenangannya masing-masing, perda PMKS ini juga kami
tidak ajukan karena memakan banyak waktu, kita hanya menerima tugas
atas apa yang telah dibuat sama pemerintah daerah.”(wawancara dengan
informan 1.3 )
Dijelaskan dari pernyataan informan di atas bahwa secara jelas yang
membuat kebijakan tentang Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial adalah
DPRD, tidak ada campur tangan dari Dinas Sosial maupun input dari Penyandang
Masalah Kesejahteraan Sosial.
“Peraturan daerah ya DPRD yang buat, tidak ada lagi yang bisa buat
kecuali ada usulan trus disahin sama kepala daerah, waktu itu adalah
H.Ismet Iskandar.”(wawancara dengan informan 1.1)
Berdasarkan jawaban dari ketiga informan di atas dapat disimpulkan
bahwa pihak yang secara faktual memproduksi kebijakan adalah pemerintah
daerah setempat yakni Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten
Tangerang dan disahkan oleh Kepala Daerah Kabupaten Tangerang pada masa
jabatan tahun tersebut.
Setelah dibuat dan disahkan menjadi peraturan daerah, peraturan daerah
tersebut akan diimplementasikan dan diterapkan secara universal. Stakeholder
yang menjadi implementor dalam peraturan daerah ini yaitu menurut informan
3.1:
95
“kami dinas sosial yang menjalankan yang mengoperasikan peraturan
daerah tersebut, ada 26 PMKS dalam peraturan daerah nomor 12 tahun
2007, kami yang melaksanakannya,”(wawancara dengan informan 3.1)
Hal demikian juga disampaikan oleh informan 3.2:
“Kita sebagai OPD (Organisasi Perangkat Daerah) sekaligus sebagai UPT
(Unit Pelaksana Teknis) terhadap perda PMKS. Selain kami tidak ada lagi
yang melaksanakan, palingan satpol pp melakukan penertiban-
penertiban.”(wawancara dengan informan 3.2)
Berdasarkan pemaparan dari informan di atas bahwa yang melaksanakan
dari Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2007 adalah Dinas Sosial. Selanjutnya
yang bukan menjadi pelaksana Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2007
melainkan Peraturan Daerah tentang Ketertiban dan Keamanan :
“Kalau Satpol PP tidak melaksanakan perda nomor 12 tahun 2007 tetapi
kita sebagai UPT dari perda ketertiban dan keamanan, yang tugasnya
menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat, diantaranya pedagang kaki
lima, PSK, dan juga anak jalanan jika meresahkan masyarakat. Mereka
semua kita bawa ke kantor untuk dilakukan pendataan yakni nulis BAP,
BAP itu Berkas Acara Pemeriksaan, jika mereka terjaring lagi kita akan
panggil orangtuanya, lalu kita serahkan dan buat surat
perjanjian.”(wawancara dengan informan 4.2)
Berdasarkan keterangan di atas bahwa Satuan Polisi Pamong Praja ikut
menertibkan anak jalanan namun tidak berlandaskan hukum Peraturan Daerah
Nomor 12 tahun 2007 tetapi berlandaskan kepada Peraturan Daerah tentang
Ketertiban dan Keamanan Masyarakat karena anak jalanan di nilai mengganggu
kenyamanan dan ketertiban masyarakat. Informan 4.3 juga memaparkan hal yang
serupa :
“Kita melakukan penertiban anak jalanan, bukan hanya anjal, tetapi
bangunan yang tidak memiliki ijin, pedagang kaki lima, dan juga bahkan
anak sekolah yang tawuran maupun bolos sekolah kami tertibkan, karena
mereka semua dianggap mengganggu kenyamanan dan ketertiban umum,
setelah itu kami data di BAP (Berita Acara Pemeriksaan) yang nantinya
96
kami buat laporan, kami merazia mereka itu tidak ada jadwal khusus dan
disekitaran pusat pemerintahan saja, kenapa kita dipusat pemerintahan
saja, karena di masing-masingkecamatan sudah ada satpol ppnya masing-
masing, terkecuali kalau urgent, misal pengamanan dadap, nah itu kita
seluruh satpol pp kabupaten tangerang gabung. Dalam setahun kegiatan
patroli dilakukan sebanyak 250 kali, dan setiap bulan tim operasi
pengendalian dan penertiban akan melakukan patroli sebanyak 21 kali,
kalu kami merazia apa saya yang mengganggu kenyamanan kita amankan,
jadi tidak ada jadwal hari ini merazia anak jalanan atau yang lainnya.”
(wawancara dengan informan 4.3)
Bahwa Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL PP) juga menertibkan anak
jalanan, namun tidak mempunyai jadwal secara khusus, yaitu sesuai dengan
situasi dan kondisi saat dilapangan, jadi jika saat melakukan razia terdapat anak
jalanan, maka satpol pp melakukan razia dan penertiban, SATPOL PP melakukan
Kabupaten Tangerang melakukan razia kepada anak jalanan hanya di pusat
pemerintahan daerah Kabupaten Tangerang yakni Tigaraksa, karena mereka
menganggap jika anak jalanan yang di kecamatan lain sudah ada SATPOL PP di
masing-masing kecamatan dan anak jalanan merupakan tangggung jawab dinas
sosial.
Dijelaskan dari wawancara di atas dijelaskan bahwa dinas sosial
merupakan unsur pelaksana dari peraturan daerah nomor 12 tahun 2007 tentang
penyandang masalah kesejahteraan sosial, satuan polisi pamong praja juga
menertibkan anak jalanan, namun tidak berdasarkan peraturan daerah tentang
PMKS, yaitu peraturan daerah tentang ketertiban dan keamanan masyarakat.
Peraturan daerah harus dilakukan pengawasan agar sesuai dengan tujuan
awal dan diharapkan tidak adanya kesalahan yang dilakukan. Pengawan
seharusnya dilakukan oleh instansi-instansi terkait agar kebijakan yang
97
diimplementasikan berjalan dengan baik. Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2007
tentang Penyandang Masalah Kesejahteraan ini diawasi oleh Kepala Dinas Sosial,
melalui bukti pelaporan atau kegiatan yang dilakukan. Hal ini dipaparkan oleh
informan berikut.
“pengawasan yang dilakukan oleh kepala dinas masing-masing, dalam hal
ini yakni tentang PMKS yang melaksanakannya yaitu dinas sosial, jadi
yang melakukan pengawasan yakni kepala dinas sosial, kalau kami tidak
melakukan pengawasan, dan juga seharusnya masyarakat merupakan
pengawas yang real dalam implementasi kebijakan tersebut.”(wawancara
dengan informan 1.1)
Hal serupa juga dijelaskan oleh informan 3.1 :
“untuk PMKS kita itu diawasi sama Sosial Provinsi dan juga diawasi sama
Kepala Dinas, Dinas Sosial itu sendiri”(wawancara dengan informan 3.1)
Dari wawancara 2 (dua) diatas dapat disimpulkan bahwa yang melakukan
pengawasan adalah Kepala Dinas Sosial Kabupaten Tangerang dan diawasi juga
oleh Dinas Sosial Provinsi Banten.
Jadi berdasarkan penjelasan dari semua informan di atas, dapat
disimpulkan bahwa yang memproduksi Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2007
tentang Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial Kabupaten Tangerang yakni
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Tangerang pada tahun 2007 dan
disahkan oleh Kepala Daerah yang pada saat itu menjabat yakni H. Ismet
Iskandar. Dinas Sosial Kabupaten Tangerang merupakan UPT (Unit Pelaksana
Teknis) dari peraturan daerah ini, Satuan Polisi Pamong Praja juga merupakan
Unit penertiban, namun tidak berlandaskan peraturan daerah tentang PMKS
(Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial) melainkan Peraturan Daerah tentang
Ketertiban dan Keamanan Masyarakat. Pengawasan yang dilakukan oleh Kepala
98
Dinas Sosial yang berbentuk Laporan saja dan tidak diawasi oleh badan legislatif
lainnya.
4.5.1.2 Purpose (Tujuan)
Dalam sebuah kebijakan atau peraturan daerah tujuan merupakan salah
satu bagian yang penting, pada saat dibuatnya kebijakan ada maksud dan tujuan
yang hendak dicapai, yaitu sebagai sasaran sebuah kebijakan dibuat. Pemerintah
mengeluarkan alternatif-alternatif tertentu yang dibuat dalam produk kebijakan
atau peraturan daerah yang bertujuan untuk menyelesaikan permasalahan yang
ada dan untuk mensejahterakan rakyat, demi penghidupan yang lebih baik. Maka
tujuan dalam Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2007 tentang Penyandang
Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) Kabupaten tangerang adalah :
“tentu saja dibuatnya kebijakan PMKS ini betujuan untuk lebih
menyejahterakan rakyat, yaitu penyandang masalah kesejahteraan sosial,
diharapkan kita sebagai pemerintah dapat menyelesaikan permasalahan
kesejahteraan seperti kemiskinan, rehabilitasi dan lainnya. Dan dengan
adanya perda ini kami harap masyarakat lebih mandiri”(wawancara
dengan informan 1.1)
Peneliti mendapat penjelasan yakni tujuan dibuatnya Peraturan daerah
Nomor 12 Tahun 2007 yakni betujuan untuk meningkatkan kehidupan masyarakat
Kabupaten Tangerang lebih sejahtera melalui program-program yang ada. Adanya
tujuan dari sebuah kebijakan sudah pasti memiliki sasaran yang hendak dicapai
agar kebijakan terarah dan jelas, siapa saja target yang menjadi objek kebiajakan
Penjelasan mengenai sasaran peraturan ini yaitu digambarkan oleh Kepala Seksi
Kesejahteraan Anak dan Lansia, Lili Amalia :
99
“Sasaran Kebijakan dari perda PMKS ini yaitu tentunya orang-orang yang
benar membutuhkan kesejahteraan yang lebih baik, atau dikatakan
hidupnya terpuruk. Dalam pasal 7 perda PMKS disebutkan bahwa yang
menjadi sasaran yakni perorangan, keluarga, dan masyarakat yang
memang penyandang masalah kesejahteraan sosial, potensi dan sumber
kesejahteraan yang mendukung, lembaga sosial dan organisasi sosial yang
berada dalam masyarakat, yaitu seperti kelompok kemiskinan,
ketelantaran ketunaan, penyimpangan sosial, disabilitas, diskriminasi, dan
lainnya yang menjadi sasarannya”.(wawancara dengan informan 3.1)
Hal yang senada juga disampaikan oleh Informan 3.2 :
“sasaran yang semua masyarakat yaitu baik itu orang, keluarga, kelompok
atau lainnya yang menjadi bagian dari penyandang masalah kesejahteraan
sosial”.(wawancara dengan informan 3.2 )
Berdasarkan dengan keterangan informan diatas bahwa sasaran Peraturan
Daerah Nomor 12 Tahun 2007 yakni terkandung dalam pasal 7 yaitu perorangan,
keluarga maupun masyarakat yang menjadi panyandang masalah kesejahteraan
sosial.
Pemerintah merupakan aparatur negara yakni sudah seharusnya
pemerintah melayani masyarakat dengan baik, maka yang terlayani dengan perda
ini adalah :
“yang terlayani harusnya semua masyarakat yang menjadi kriteria
penyandang masalah kesejahteraan sosial tidak terkecuali, kami dinas
sosial mempunyai harapan terhadap sasaran-sasaran PMKS, namun
program yang baru terstuktur hanya 9 PMKS diantaranya pemberdayaan
fakir miskin, keluarga adat terpencil, pelayanan dan rehabilitasi social,
pembinaan anak terlantar, pembinaan eks penyandang penyakit social,
penyuluhan dan penanggulangan korban bencana alam dan lainnya. Kami
berharap setiap tahunnya akan terus bertambah sesuai dengan anggarannya
masing-masing.”(wawancara dengan 3.2)
Bahwa berdasarkan dengan keterengan informan di atas memaparkan yang
menjadi fokus pelayanan yakni seluruh penyandang masalah kesejahteraan sosial,
100
namun yang baru terstuktur dan menjadi fokus baru hanya 9 (sembilan) PMKS
dari 26 (dua puluh enak) PMKS.
Dari sebuah kebijakan akan menimbulkan dampak yakni dampak positif
maupun dampak negatif. Maka pengaruh atau dampak tersebut akan dirasakan
kepada masyarakat yang terkena program :
“seharusnya dirasakan oleh seluruh penyandang masalah kesejahteraan,
misal jika penyandang kesejahteraan kita berikan program PKH, itu
diharapkan bisa lebih mnyejahterakan keluarga tersebut”.(wawancara
dengan 3.1)
Dampak dari peraturan daerah Nomor 12 tahun 2007 menurut Informan
3.1 yakni dirasakan oleh seluruh penyandang masalah kesejahteraan sosial yang
sudah dikenai program.
Berdasarkan keterangan dan penjelasan dari semua informan di atas, dapat
ditarik kesimpulan bahwa tujuan dari dibuatnya Peraturan Daerah Nomor 12
tahun 2007 tentang Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) di
Kabupaten Tangerang yakni bertujuan meningkatkan kualitas hidup masyarakat
yang mengalami masalah kesejahteraan, diharapkan masyarakat dapat taraf
hidupnya melalui program-program yang ada yang sudah dibentuk atau dibuat
oleh dinas sosial. Sasaran dari peraturan daerah ini adalah seluruh masyarakat
yang mengalami masalah kesejahteraan sosial, yakni yang terkandung dalam pasal
7 dalam peraturan daerah penyandang masalah kesejahteraan sosial adalah
perorangan, keluarga, dan masyarakat Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial
(PMKS), potensi dan kesejahteraan sosial yang mendukung, lembaga sosial dan
organisasi sosial dalam masyarakat yang terdiri dari kelompok kemiskinan,
101
kelompok ketelantaran, kelompok ketunaan dan penyimpangan sosial, kelompok
kecacatan, kelompok bencana alam, kelompok masalah psokologis, korban tidak
kekerasan dan kelompok adat terpencil. Yang baru terlayani dan terkena dampak
serta menjadi fokus yakni hanya baru 9 (sembilan) penyandang masalah
kesejahteraan sosial dari 26 PMKS yang ada.
4.5.1.3 Measure of improvement (Ukuran Perbaikan)
Ukuran perbaikan adalah suatu tolak ukur keberhasilan atau perubahan ke
arah yang lebih baiknya suatu kebijakan, tolak ukur atau ukuran perbaikan ini
dilihat dari pencapaian target atau tujuan yang hendak dicapai. Yang dapat dilihat
dari point-point tertentu untuk menentukan bagaimana dan seperti apa ukuran
perbaikan dalam suatu peraturan daerah. Dalam peraturan daerah yang menjadi
fokus penelitian, dapat dilihat apakah program sudah berjalan dengan ukuran-
ukuran yang diharapkan atau belum berjalannya program dengan sempurna.
Dalam peraturan daerah ini ada tolak ukur tersendiri yakni yang menjadi
patokannya ukuran keberhasilan.
“tolak ukur dari perda PMKS ini adalah ya jika seluruh peyandang
kesejahteraan dapat merasakan dampak positif dari program, dan
seluruhnya mereka dapat hidup mandiri, serta peningkatan jumlah sasaran
program dan seluruhnya bisa tercapai” (wawancara dengan informan 3.2)
Dari wawancara diatas menjelaskan bahwa dalam ukuran perbaikan dalam
peturan daerah ini adalah seluruh penyandang masalah kesejahteraan sosial
merasakan dampak positif. Hal yang serupa dikatakan oleh Lili Amalia :
102
“perda ini karena ini perda tentang penyandang masalah kesejahteraan
sosial dapat dikatakan berhasil kalau seluruh penyandang kesejahteraan
sosial sudah tersentuh oleh program yang kami buat, atau semuanya yaitu
26 PMKS menjadi prioritas kami, dan tentunya mereka sudah dapat
dikatan mandiri secara mental maupun kehidupan”(wawancara dengan
informan 3.1)
Berdasarkan keterangan diatas, menunjukan bahwa ukuran perbaikan atau
tingkat keberhasilan Peraturan Daerah nomor 12 tahun 2007 yakni jika seluruh
penyandang masalah kesejahteraan sosial sebanyak 26 (dua puluh enam) menjadi
fokus atau menjadi prioritas program dinas sosial, dan juga mereka dapat hidup
mandiri atau lebih baik secara mental maupun kehidupan.
Dalam penyelenggaraan peraturan daerah nomor 12 tahun 2007 ini adanya
terkait kendala dalam penyelenggaraannya, hal ini disampaikan oleh informan 3.1
yaitu Lili Amalia :
“Kendala yang dialami kami dalam permasalahan penyandang masalah
kesejahteraan sosial yakni tidak adanya SOP (Standar Operasional
Prosedur) dalam perda ini”(wawancara dengan informan 3.1)
Hal yang serupa juga dijelaskan oleh informan 3.2 :
“Perda PMKS ini belum ada SOP, jadi kita susah untuk menjalankan
seluruhnya, kendala lain yakni terkait juga dengan anggaran, anggaran kita
belum memadai untuk menangani seluruh PMKS”(wawancara dengan
informan 3.2)
Bahwa berdasarkan dengan pernyataan diatas kendala yang dihadapi yakni
terkait dengan Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2007 yakni tidak adanya SOP
(Standar Operasional Prosedur) dan tidak adanya anggaran yang memadai.
Hal lain disampaikan oleh informan Indri, Satuan Bakti pekerja sosial,
yang mengungkapkan :
103
“Waktu itu pernah dilakukan rapat koordinasi oleh bupati oleh seluruh
dinas terkait mengenai Perda nomor 12 tahun 2007 ini, semua dinas cepat
bergerak atau bersemangat dalam melakukan penanganan terhadap seluruh
penyandang masalah kesejahteraan sosial, tetapi lambat laut setelah
beberapa hari rapat selesai semangat mereka redup dan akan saling
melempar tanggung jawab atas penangannya, dan juga termasuk dinas
sosial, mereka menganggap anak jalanan susah dikendalikan, padahal anak
jalanan itu mempunyai kreatifitas jika di asah dan dibina dengan baik,
didalam dinas sendiri saja sudah ada kendalanya.”(wawancara dengan
informan 3.3).
Bahwa berdasarkan dengan pernyataan diatas kendala dalam pelaksanakan
Peraturan Daerah tentang PMKS ini dimulai dari dinas sendiri, bahwa jika
digerakan dan diatur secara rapih dan terarah mengenai kebijakan dan juga
program dan ditegaskan kepala aparatur negara yang menjadi implementor
Peraturan Daerah ini dapat berjalan dengan baik.
Berdasarkan dengan keterangan tersebut, bahwa peneliti mencoba
menanyakan siapa yang menjadi penanggung jawab atas peraturan daearah ini :
“sebenernya kalau perda PMKS ya kami sebagai dinas sosial yang menjadi
penanggung jawab atas perda, karena kami sebagai UPT (Unit Pelaksana
teknis).”(wawancara dengan Informan 3.3)
Hal yang berbeda diungkapkan oleh Informan 3.1 namun berbeda makna :
“Dinas sosial tidak bisa menangani permasalahan anak jalanan ini seorang
ini, apa lagi hanya saya saja, harus adanya kerja sama antar dinas, yakni
dinas pendidikan, dinas kesehatan, satpol pp dan dinas-dinas lainnya. Jadi
hal ini adalah tanggung jawab bersama dan tidak bisa menyerahkan
permasalahan anak jalanan hanya kepada dinas sosial”(wawancara dengan
informan 3.1)
Bahwa yang menjadi penanggung jawab atas peraturan daerah ini adalah
dinas sosial, karena dinas sosial merupakan pelaksana, namun Dinas sosial tidak
dapat menangani anak jalanan sendirian, harus multi yakni artinya dilakukan oleh
seluruh yang terkait, yaitu dinas-dinas lainnya.
104
Anak jalanan merupakan anak yang sudah terbiasa hidup dijalanan, karena
sebagian besar waktunya dalam 24 (dua puluh empat) jam dihabiskan dijalanan.
Maka ada beberapa hal yang menjadi kendala dalam penanganan anak jalanan di
Kabupaten Tangerang :
“Dinas Sosial kesulitan mendata atau melakukan upaya tersebut karena
anak jalanan yang nomaden tidak menetap di satu lokasi, mereka sering
berpindah-pindah dalam melakukan kegiatan mereka seperti mengamen
atau lainnya, sehingga sulit untuk melakukan pendataan. Anak jalanan
juga terkesan anti pemerintah, mereka sulit didekati, jika ingin didekati
saja mereka sudah kabur, memang pada dasarnya anak jalanan itu sulit
diatur.”(wawancara dengan informan 3.2)
Berdasarkan dengan fakta atas keterangan diatas yaitu menjeladkan
kendala yang dihadapi dalam penanganan anak jalanan yakni karena keberadaan
anak jalanan yang nomaden yang tidak menetap di satu lokasi. Hal demikian juga
disampaikan oleh informan 4.1 :
“kendala ngadepin anjal yaitu karena mereka sering berpindah-pindah,
sekarang misalkan mereka ditempat A, kita razia ditempat A, besoknya
pindah ke tempat B, tapi tidak menutup kemungkinan mereka akan
kembali lagi ke tempat A karena lebih ramai”(wawancara dengan
informan 4.1)
Hal lain disampaikan oleh perspektif 4.2 :
“Kendalanya kalau kita merazia anak jalanan, gepeng, waria, wanita tuna
susila, kita tidak boleh kasar dan semena-mena karena itu melanggar Hak
Asasi Manusia mereka, terkecuali mereka melawan, mau tidak mau kita
mengambil tindakan.”(wawancara dengan informan 4.2)
Yakni berdasarkan dengan keterangan informan dari di atas yakni oleh
kedua satuan polisi pamong praja, terkait kendala dalam penanganan anak jalanan
adalah sulitnya merazia karena anak jalanan yang perpindah-pindah tempat, serta
105
satuan polisi pamong praja tidak bisa merazia secara kasar, karena itu akan
melanggar Hak Asasi Manusia.
Kendala yang dihadapi oleh TKSK (Tenaga Kerja Sosial Kecamatan)
yakni sulitnya mendata anak jalanan dikarenakan mereka yang berpindah-pindah
dan mereka sulit untuk didekati :
“hal yang menjadi kendala itu pertama mereka itu sulit untuk didekati,
jangankan untuk diajak ngobrol mereka itu asing dengan kita, kalau
anggota kami melakukan pendataan pakai baju resmi, misal baju dinas.
Mereka langsung kabur, kayanya di pikiran mereka kita itu musuh. Terus
sulitnya mendata mereka karena mereka pindah-pindah. Kadang mereka di
tempat misal dipasar cikupa, belum tentu mereka dipasar cikupa lagi, bisa
saja mereka ke tempat c. Sedangkan itu membuat double
data.”(wawancara dengan Informan 5.1)
Berdasarkan penjelasan di atas bahwa karena anak jalanan yang sering
berpindah-pindah menjadikan data anak jalanan ini menjadi rangkap, artinya anak
jalanan yang sudah didata di tempat A yang berpindah ke tempat B, dan didata
kembali oleh TKSK (Tenaga Kerja Sosial Kecamatan) Kabupaten Tangerang.
Kendala lain disampaikan oleh kedua Satuan Bakti Pekerja Sosial yakni
Indri Satuan Bakti Pekerja Sosial Kabupaten Tangerang dan Arini yaitu Satuan
Bakti Pekerja Sosial Provinsi Banten :
“Kendala utama dalam penanganan anak jalanan yakni tidak adanya panti
khusus anak jalanan, anak jalanan sudah sulit untuk diatur seharusnya kita
mempunyai panti khusus untuk membina mereka (anak jalanan), yang kita
punya hanya sekarang hanya yayasan, tetapi itu bukan milik pemerintah
milik perorangan”(wawancara dengan Informan 3.3)
Keterangan serupa juga disampaikan oleh Arini yaitu Satuan Bakti Pekerja
Sosial Provinsi Banten :
106
“Provinsi banten belum mempunyai panti khusus untuk membina anak
jalanan, memang seharusnya pemerintah pusat membuatkan panti khusus
minimal pantinya ada di Provinsi Banten, selama ini jika memang anak
jalanan harus dikirim atau mendapatkan rehabilitasi sosial akan di kirim ke
PSBK (Panti Sosial Bina Karya) yang adanya di Bekasi Timur. Itupun
belum efektif, karena seluruh dipulau jawa mengirimnya
kesitu.”(wawancara dengan informan 2.1)
Kendala lain dalam penanganan anak jalanan yakni belum adanya panti
khusus baik di Kabupaten Tangerang maupun di Provinsi Banten, untuk
menangani dan membina anak jalanan. Jika memang anak jalanan harus dikirim
dan mendapat rehabilitasi yakni akan dikirim ke PSBK (Panti Sosial Bina Karya)
di Bekasi Timur.
Pemerintah harus melakukan upaya dalam pembinaan dan penanganan
anak jalanan, berikut adalah pemaparannya :
“Jujur saya katakan, bahwa belum ada program prioritas di Kabupaten
yang dilakukan oleh dinas sosial untuk melakukan penanganan anak
jalanan, kami hanya melakukan upaya yakni pendataan, dan jika ada event
tertentu kami melakukan pembinaan, tetapi ini tidak terstruktur, artinya
tidak ada acara setiap tahunnya untuk penanganan dan pembinaan, hanya
sesekali saja.”(wawancara dengan informan 3.1)
Bahwa belum adanya program secara terstruktur dan terencana dalam
pembinaan dan penanganan anak jalanan.
“dinas sosial hanya memfokuskan kepada 9 PMKS, tetapi anak jalanan
belum termasuk dalam pembinaannya, hanya kadang-kadang jika kita
melakukan kegiatan buat anak terlantar di yayasan kita mengundang
beberapa orang diantara mereka, seperti nyablon, buat gantungan kunci,
dulu batu akik.” (wawancara dengan informan 3.3)
Seperti sesuai dengan keterangan informan 3.1 bahwa pembinaan dan
penanganan yang dilakukan dinas sosial hanya sesekali yaitu pada saat melakukan
program untuk anak terlantar dan dinas sosial mengundang beberapa orang
107
diantara anak jalanan, dan mereka melakukan kegiatan seperti menyablon dan
juga membuat gantungan kunci. Endang Ramdhani juga menyampaikan :
“untuk anak jalanan kita hanya sebatas pendataan untuk saat
ini.”(wawancara dengan informan 3.2).
4.5.2 Sources of power (Sumber Kekuatan)
Dalam dimensi ini, Sources of power atau Sumber Kekuatan yang
dimaksud adalah suatu sumber yang menjadi kelebihan suatu kebijakan untuk
mencapai keberhasilan dari suatu kebijakan. Jadi Sumber kekuatan dijelaskan
sebagai adanya Peraturan Daerah Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial
(PMKS) yang memuat, keputusan, sumber daya dan keputusan lingkungan.
4.4.2.1. Decision-maker (Pembuat Keputusan)
Dalam hal ini yakni pembuat keputusan, keputusan atau tindakan diambil
dari beberapa pertimbangan yang telah dipetakan. Dalam suatu organisasi
pembuat keputusan atau mengambil langkah atas tindakan selanjutnya merupakan
hal yang penting, karena akan memberikan pengaruh terhadap semua aspek.
Membuat sebuah keputusan diharapkan mampu menyelesaikan permasalahan
yang ada dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dengan demikian dalam
penelitian ini dijelaskan pihak yang menjadi pembuat keputusan dalam
penanganan anak jalanan :
“yang membuat kebijakan dalam penanganan anak jalanan yaitu Bapak
kepala.”(wawancara dengan Informan 3.1)
Hal yang serupa juga dinyatakan oleh Informan 3.2 :
108
“sebenernya program itu yang buat kita dinas sosial dengan melakukan
raker, kita melihat potensi mana yang seharusnya kita selesaikan terlebih
dahulu dan bisa dengan cepat selesainya, jadi kita tentukan bareng-bareng
bersama Bapak Kepala dan staf terkait lainnya.:(wawancara dengan
Informan 3.2)
Bahwa berdasarkan dengan keterangan Informan di atas yang membuat
kebijakan atas penanganan terhadap penyandang masalah kesejahteraan sosial
serta dalam kebijakan dalam penanganan anak jalanan dilakukan oleh Dinas
Sosial melalui rapat kerja yang dilakukan oleh Kepala Dinas Sosial dan disertai
oleh seluruh staf terkait, serta pembuat kebijakan atas penanganan ini yakni
dilakukan oleh Kepala Dinas Sosial Kabupaten Tangerang. Dalam sebuah
kebijakan harus adanya tolak ukur atau ukuran untuk dijadikan acuan. Menurut
informan 3.4 tolak ukur perubahan yakni jika semua sasaran PMKS telah terkenai
program atau menjadi program prioritas.
“perubahan tolak ukur tentang PMKS itu jika semua sasaran PMKS telah
terkenai program dan telah mendapatkan semua kebtuhan hidupnya dan dapat
meningkatkan taraf kehidupannya.” (wawancara dengan informan 3.4)
Peraturan atau kebijakan diharapkan mampu menyelesaikan permasalahan
sosial secara fokus. Seperti penanganan anak jalanan harus ditangani secara
serius, namun menurut Informan yang ada pembuatan peraturan khusus
penanganan anak jalanan tidak diperlukan :
“Kami belum buat, karena menurut kami tidak perlu dipisah antara PMKS
dan anak jalanan, karena anak jalanan sendiri bagian PMKS juga. kita
yakin tanpa perda baru kita bisa menyelesaikan permasalahan anak jalanan
di kabupaten tangerang.” (wawancara dengan Informan1.1)
Berdasarkan penjelasan di atas, sekarang ini peraturan daerah untuk
penanganan anak jalanan tidak perlu dibuat, dikarenakan anak jalanan merupakan
109
bagian dari Penyandang Masalah Kesejahteraan sosial sendiri. Pemerintah juga
yakin bahwa dengan tidak dibuatnya peraturan daerah tentang anak jalanan, anak
jalanan dapat diatasi di kabupaten tangerang.
“Kami dinas sosial belum bisa ngajuin peraturan daerah khusus buat anjal,,
soalnya waktu dan biaya juga yang panjang, kan sudah ada kewenangan
dan tugas nya masing-masing.” (wawancara dengan Informan 3.1)
Berdasarkan penjelasan diatas dapat dikatakan bahwa dinas sosial belum
mampu mengusulkan peraturan daerah khusu penanganan anak jalanan, karena
ada pihak lain atau stakeholder lain yang sudah berkewenangan membuat
peraturan tersebut. Dalam suatu kebijakan, ada pihak yang berwenang dalam
pengambilan keputusan terkait penanganan anak jalanan :
“Program yang kita buat berdasarkan program yang diberikan oleh pusat
maupun provinsi, dan juga program sendiri yang kita buat atas dasar
peraturan daerah. Dalam pengambilan keputusan terkait penanganan anak
jalanan yakni dilakukan oleh kita, yakni kita mengadakan raker dulu, abis
itu diputuskan oleh kepala Dinas Sosial.” (wawancara dengan Informan
3.4).
Dalam sebuah kebijakan peran pihak yang menjadi pelaksana sangat
diperlukan guna menjadikan suatu kebijakan tersebut dapat berhasil. Peran
tersebut dapat terlihat dari pelaksanaan kebijakan, yakni kebijakan tersebut
banyak menimbulkan masalah, atau masalah tersebut dapat teratasi. Optimalnya
sebuah peran dan keseriusan implementor sangat diperlukan. Dalam penelitian ini
peran implementor yakni Dinas Sosial dapat dikatakan belum optimal :
“selama saya menjadi saktipeksos di Kabupaten Tangerang ini, saya rasa
belum melakukan kegiatan atau program secara khusus untuk anak
jalanan, hanya saja jika kita melakukan program untuk anak terlantar,
maka beberapa orang anak jalanan kita akan undang, kegiatan yang kita
lakukan menyablon, atau membuat gantungan kunci.”(wawancara dengan
Informan 3.3)
110
Hal ini ini juga dijelaskan oleh Informan 3.1 :
“kalau program khusus, belum ada. Artinya kita membuat program atau
kegiatan yang memang kami peruntukan untuk anak jalanan itu memang
belum. Terkadang jika kita melakukan kegiatan di panti, kami
mengundang mereka, palingan satu sampai 10 orang, itupun kalau
ada.”(wawancara dengan Informan 3.1)
Bahwa berdasarkan dengan penjelasan 2 (dua) informan di atas
menyebutkan bahwa Dinas Sosial belum melakukan upaya yang maksimal dalam
penanganan dan pembinaan terhadap anak jalanan, yang dilakukan pemerintah
hanya mengundang beberapa anak jalanan, untuk menghadiri dan ikut serta dalam
program atau kegiatan yang sebenarnya diperuntukan oleh anak terlantar yang ada
di panti. Hal lain dinyatakan oleh Tenaga Kerja Sosial Kecamatan (TKSK) :
“Belum optimal, sekarang kami hanya melakukan pendataan dan setelah
itu kita laporkan kepada Dinas Sosial Kabupaten. Di setiap kecamatan
terdapat 1 TKSK, hanya saja yang aktif dan menjadi anggota hanya 10, itu
menjadikan kita kurang optimal, dalam pendataan saja saya menyadari
belum maksimal, karena kurangnya juga tenaga ahli.”(wawancara dengan
Informan 5.1)
Bahwa yang peran dilakukan Tenaga Kerja Sosial Kecamatan belum
optimal, dikarenakan sekarang ini hanya melakukan kegiatan berupa pendataan
terhadap anak jalanan. Belum optimalnya kinerja ini dikarenakan kurangnya
tenaga ahli dalam pendataan, yakni terdapat 1 (satu) TSKS di setiap kecamatan di
Kabupaten Tangerang, tetapi hanya 10 yang aktif. Jadi dapat dikatakan peran
terhadap penanganan yang dilakukan pemerintah belum optimal .
Penanganan anak jalanan harus dilakukan secara serius dan secara
strategis, jadi pemerintah harus memastikan kebijakan yang tepat dan berguna
yang menjadikan penanganan anak jalanan ini berhasil. Jadi menurut Yayasan
111
Hikmah Syaidah mencoba memberikan cara agar menjadikan anak jalanan dapat
dibina dan tidak lagi turun ke jalanan :
“Sebenernya kalau di panti ada anak jalanan, sama seperti anak anak di
panti kita, tidak ada perbedaan. Pertama kita berikan ilmu agama dulu, kita
kuatin agamanya kita didik akhlak mereka, kita suruh shalat, ngaji, kalau
tidak bisa ngaji kita ajarin, renungan malam, terus jika salah kita berikan
hukuman, tapi yang tidak bikin mereka jadi malah tidak betah. Selanjutnya
kita ajarin belajar misal baca tulis, yang penting mereka punya bekal
pengetahuan, trus kita latih misal bengkel, batu akik, bikin tas dari
bungkus kopi kalo yang perempuan.”(wawancara dengan Informan 6.1)
Berdasarkan dengan penjelasan Informan di atas bahwa terdapat beberapa
cara untuk dilakukan pembinaan dan penanganan anak jalanan, yakni didasari
dengan spiritual, yang dibina secara religi. Selanjutnya akan diberi keterampilan,
seperti membuat batu akik, dan juga membuat tas dari bahan bekas sebagai daur
ulang.
Dalam implementasi pada sebuah kebijakan, adanya keterkaitan beberapa
organisasi untuk mendukung berjalannya program. Kerjasama dilakukan untuk
mempermudah pemerintah untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan.
Semakin baiknya dan semakin banyaknya keterkaitan organisasi dalam suatu
kebijakan, maka semakin berhasil pula kebijakan tersebut. Dalam penanganan
anak jalanan ini Dinas Sosial juga melakukan beberapa kerjasama dengan
instantsi :
“kami kerjasama dengan beberapa instansi, pertama yaitu yayasan hikmah
syaidah yang ada di desa kedondong dan juga sama panti jayanti itu untuk
eks narkoba dan PSK.”(wawancara dengan Informan 3.2).
Hal demikian juga disampaikan oleh Informan 6.1 :
112
“ya Dinas Sosial sering kerjasama dengan kami, kalau Dinas Sosial
melakukan program untuk anak terlantar, anak-anak kami sering selalu
dijadikan target sasaran.”(wawancara dengan Informan 6.1)
Untuk merehabilitasi dan melakukan pembina penyandang masalah
kesejahteraan yakni dinas sosial melakukan kerjasama dengen beberapa panti
yaitu panti yang berada di Jayanti, yakni panti eks narkoba dan juga eks pekerja
seks komersial, yang kedua yakni Yayasan Hikmah Syaidah yaitu panti anak
terlantar dan panti untuk ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa). Dinas sosial
belum melakukan kerjasama yang optimal kepada dinas lain dalam penanganan
anak jalanan, yakni seperti belum pernah berkoordinasi kepada satuan polisi
pamong praja dalam melakukan penertiban anak jalanan.
Maka dapat disimpulkan penanganan yang dilakukan pemerintah yakni
Dinas Sosial terhadap masalah kesejahteraan termasuk dalam penanganan anak
jalanan dapat dikatakatan belum maksimal :
“kami mengakui bahwa dalam melakukan penanganan terhadap anak
jalanan belum maksimal.”(wawancara dengan Informan 3.2)
Hal tersebut juga dikatakan oleh Indri :
“belum maksimal.”(wawancara dengan Informan 6.1)
Kepala Seksi Kesejahteraan Anak dan Lansia juga memberikan jawaban :
“belum maksimal, penanganan dan penyelesaian kita dikatakan sudah
maksimal apabila seluruh masalah kesejahteraan telah kita tangani dan
mereka hidup mandiri.”(wawancara dengan Informan 3.1)
Menurut intansi pemerintah sendiri yakni yang menjadi implementor dalam
peraturan daerah Nomor 12 Tahun 2007 tentang Penyandang Masalah
113
Kesejahteraan Sosial menjawab bahwa penanganan atau upaya yang dilakukan
belum maksimal, kinerja dapat dikatakan maksimal ketika seluruh masalah
kesejahteraan dapat terselesaikan.
4.5.2.2 Resources (Sumber Daya)
Sumber daya sangat diperlukan dalam sebuah kebijakan, karena jika
sebuah kebijakan di dukung dengan sumber daya yang ada, maka kebijakan
tersebut dalam berjalan secara baik dan dapat meminimalisir kegagalan dalam
implementasi kebijakan tersebut. Sumber daya yang dimaksud yakni manusia
sebagai implementor atau pelaksana, anggaran, sarana dan prasarana. Jika terdapat
kekurangan dalam sebuah kebijakan maka akan berdampak pada keberhasilan
kebijakan. Maka suatu kebijakan harus didukung oleh seluruh sumber daya yang
ada. Tentunya dalam penanganan anak jalanan yang terdapat dalam Peraturan
Daerah Nomor 12 Tahun 2007 tenang Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial
sumber daya juga hal yang penting, namun pada kenyataannya sumber daya yang
ada belum maksimal.
“Sumber daya untuk keberhasilan perda masih banyak ya kekurangan,
anggaran yang diberikan pun kurang, pegawai maupun orang yang ikut
terlibat juga belum cukup untuk penanganan anak jalan, apa lagi anak
jalanan yang berpindah-pindah dan sulit diatur, kita belum bisa
menanganinya.”(wawancara dengan Informan 3.3)
Berdasarkan keterangan diatas bahwa sumber daya masih menjadi
masalah dalam penanganan anak jalanan di Kabupaten Tangerang. Anggaran yang
diberikan belum mampu memenuhi dalam penanganan anak jalanan, dan sumber
114
daya manusia yang ada belum mencukupinya dengan lagi anak jalanan yang
berpindah-pindah.
“kalo ngomongin sumber daya masih banyak kekurangannya, pertama kita
tidak ada panti khusus, rumah singgah juga tidak ada, anggaran yang
diberikan pemerintah masih kurang untuk penanganan seluruh PMKS
apalagi anak jalanan.”(wawancara dengan 3.2)
Bahwa salah satu kekurangan dalam sumber daya ini berkaitan dengan
sarana dan prasarana, yakni belum adanya panti khusus ataupun rumah singgah
untuk anak jalanan, serta anggaran yang diberikan pun belum memadai. Hal
tersebut juga disampaikan oleh Surpervisor Satuan Bakti Pekerja Sosial Provinsi
Banten :
“ya sayangnya kita belum ada panti khusus anak jalanan, kalau kita mau
ngirim anak jalanan kita baru ngirim ke bekasi timur ke PSBK Panti Sosial
Bina Karya, tetapi itu juga belum efektif” (wawancara dengan Informan
2.1)
Jadi sumber daya yang ada belum dapat memenuhi kebutuhan, anggaran
yang belum tercukupi, masih kurangnya sumber daya manusia, dan belum adanya
saran dan prasarana yang seharunya ada, yakni panti khusus anak jalanan di
Kabupaten Tangerang maupun di Provinsi Banten. Hal ini memngaruhi dalam
penyelesaian Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial terutama dalam
penanganan anak jalanan di Kabupaten Tangerang.
4.5.2.3 Decision environment (Keputusan Lingkungan)
Keputusan lingkungan atau Decision environment dalam kebijakan publik
dapat memengaruhi dalam pengambilan keputusan, sebab dari lingkunganlah para
115
aktor dapat membuat alternatif-alternatif kebijakan lain untuk dijadikan bahan
kebijakan yang akan datang. Bahwa dalam penelitian ini dalam keputusan
lingkungan juga memberikan pengaruh kepada kebijakan yakni peraturan daerah
Nomor 12 Tahun 2007 tentang Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial dalam
penanganan anak jalanan , yaitu :
“kalau berdasarkan dengan dengan kepurtusan terhadap fenomena yang
terjadi dilapangan kita belum yah, maksudnya keputusan itu dibuat kan
efeknya ke arah yang positif, tetapi jika nantinya ke arah yang lebih
negatif kan bisa berdampak juga bagi semuanya, misal kalau kita
menemukan anak jalanan di jalan, kita tidak bisa langsung membuat
keputusan langsung tangkep dan bina, semuanya harus didasari dengan
program yang sudah dibuat.”(wawancara dengan Informan 3.2)
Berdasarkan dengan keterangan di atas dalam membuat keputusan
berdasarkan dengan fenomena di lingkungan pemerintah belum melakukan upaya
yang maksimal, yang artinya pemerintah belum melakukan keputusan
berdasarkan apa yang terjadi dilapangan. Keputusan terhadap fenomena
dilingkungan juga sama halnya dengan Informan 1.1 :
“kita tidak bisa melakukan keputusan terhadap lingkungan secara
langsung, harus sesuai dengan proseudur yang ada, kan masalahnya juga
belum urgent, jadi masih bisa dipakai peraturan sebelumnya.” (wawancara
dengan Informan 1.1)
Setiap kebijakan sangat diperlukan pengawasan untuk meminimalisir
kesalahan yang terjadi dan agar dapat mengetahui apakah peraturan daerah
tersebut dapat berjalan dengan baik atau tidak, serta untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkan. Hal ini sama dengan penyelenggaraan kebijakan tentang
kesejahteraan sosial :
116
“pengawasan terhadap program tentang PMKS yang pastinya diawasi oleh
kepala dinas sosial, berupa laporan program, rapat kerja, badan terkait lainnya
juga seperti Dinas Sosial Provinsi. Kalau Dinas Sosial Provinsi kita setiap tiga
bulan sekali atau enam bulan sekali kita monev.”(wawancara dengan informan
3.1)
Berdasarkan Informan 3.1 dapat diketahui bahwa yang menjadi pengawas
atas kebijakan tentang kesejahteraan yakni dilakukan oleh Kepala Dinas
Sosial dan instansi lain yakni Dinas Sosial Provinsi melalui monitoring dan
evaluasi. Hal ini juga disampaikan oleh Informan 2.1 :
“kita melakukan pengawasan tentunya, kita melakukan monev, dan juga
bukti pelaporan program, terus bukti pelaporan pendataan Dinas Sosial
Kabupaten/Kota.”(wawancara dengan Informan 2.1)
Peran yang dimiliki oleh Dinas Sosial Provinsi yakni menyampaikan
program, membuat pelatihan, serta meneruskan program yang telah disampaikan
oleh Kementrian :
“peran kita sebagai pengawas, penerus penyampaian program, kita juga
yang membuat pelatihan terhadap pegawai dinas sosial maupun
saktipeksos dengan kerjasama sama Kemensos, dan juga ya itu kita
melakukan monev. Terkadang juga kita melakukan kunjungan terhadap
data yang telah terkena program. Kalau apa tujuan monev, kita dapat
mengetahui kinerja dinas sosial Kabupaten/Kota dan juga menjadi
pertimbangan kebijakan yang akan datang”(wawancara dengan Informan
2.1)
Jadi, berdasarkan penjelasan di atas bahwa ada beberapa peran yang
dilakukan oleh dinas sosial, yakni Dinas Sosial Provinsi berperan sebagai penerus
penyampaian program yang diberikan Kementerian Sosial yang diteruskan kepada
Dinas Sosial yang berada di Kabupaten/Kota di Provinsi Banten serta memberikan
pelatihan kepada anggota Dinas Sosial tersebut. Kemudian Dinas Sosial Provinsi
juga melakukan monitoring dan evaluasi terhadap program-program yang ada dan
117
melalui data hasil laporan, monitoring dilakukan setiap tiga bulan sekali.
Pengawasan yang dilakukan sesekali Dinas Sosial provinsi banten mengunjungi
penyandang masalah kesejahteraan yang sudah ada dalam data. Hasil yang
diperoleh dari monitoring dan evaluasi ini berguna untuk kebijakan yang akan
datang, dan untuk mengetahui apa yang menjadi kendala dalam implementasi
program, dan mengetahui bagaimanan kinerja dinas sosial lainnya.
4.5.3 Sources of Knowledge (Sumber Pengetahuan)
Sumber pengetahuan yakni Sources of Knowledge terdiri atas Professional
(Tenaga Ahli), Expertise (Keahlian) dan Guarantee (Jaminan). Sudah seharusnya
sebuah kebijakan dibuat atas dasar pertimbingan-pertimbingan dan pengetahuan-
pengetahuan dari pakar yang mengerti tentang kebijakan yang akan dibuat.
Sehingga kebijakan dapat berjalan dengan baik karena telah diketahui bagaimana
mestinya oleh, dan dapat meminimalisir kesalahan yang ada karena kebijakan
yang dihasilkan adalah kebijakan yang berkualitas.
4.5.3.1 Professional (Tenaga Ahli)
Tenaga ahli atau Professional adalah seseorang atau sekelompok orang
yang dianggap sebagai sumber terpercaya berdasarkan keahlian dan pengetahuan
yang dimiliki dalam menilai atau mengetauhi cara penyelesaian permasalahan
anak jalanan secara baik. Serta tenaga ahli merupakan pihak yang berperan dalam
pelaksana kebijakan :
“Satuan bakti pekerja sosial adalah perorangan yang diberikan perintah
sama kementrian untuk melakukan penanganan atau membantu
118
pemerintah daerah terkait penanganan terhadap penyandang masalah
sosial, ya kami tentunya mengetahui bagaimana cara penanganan yang
tepat sesuai dengan buku saku.” (wawancara dengan Informan 3.3).
Hal lain diungkapkan oleh pelaksana progam yakni Dinas Sosial :
“sebenernya ya kita sesuai dengan perda dan program yang kita buat, kita
melaksanakannya sesuai dengan aturan tidak bisa sembarangan, kita
sebagai pelaksana tentunya kita tau cara penanganan yang tepat, namun
kita itu terbatas dengan sarana, dan sumberdaya.” (wawancara dengan
Informan 3.2)
Berdasarkan dengan hasil lapangan berdasarkan wawancara di atas di atas
bahwa Satuan Bakti Pekerja Sosial dan Dinas Sosial merupakan unsur yang
mengetahui cara penanganan terhadap penyandang masalah kesejahteraan sosial
termasuk dalam penanganan anak jalanan, yang didasari oleh peratuan daerah
yakni Peraturan Daerah Nomor 12 tahun 2007 tentang Penyang Masalah
Kesejahteraan Sosial, serta buku saku yang dimiliki oleh satuan bakti pekerja
sosial yang diberikan dari Kementrian Sosial Republik Indonesia.
Menurut informan 1.1 terkait dengan peran dalam merumuskan peraturan daerah
nomor 12 tahun 2007 diantaranya :
“Ya memang kita sebagai pemerintah sangat berperan membuat kebijakan
tentang penyadang masalah kesejahteraan sosial, sudah menjadi
kewenangan dan tugas kami untuk memproduksi kebijakan dan kami juga
bekerjasama dengan DPRD”(wawancara dengan Informan 1.1)
Bahwa yang memproduksi kebijakan atas peraturan daerah Nomor 12
Tahun 2007 adalah Dewan Perwakilan Rakyat dan Bagian Perundang-Undangan
Sekretariat Daerah.
“tergantung apa dulu yang kita buat, terkadang kita melibatkan akademisi
dan Organisasi terkait program, tetapi untuk PMKS ini kami tidak
melibatkannya.”(wawancara dengan Informan 1.1)
119
Hal demikian juga disampaikan oleh Informan 3.1 :
“Kami Dinas Sosial tidak diikut sertakan dalam input peraturan daerah
ini.”(wawancara dengan Informan 3.1)
Dinas Sosial tidak diikutsertakan dalam pembuatan peraturan daerah
Nomor 12 Tahun 2007 ini, yang merumuskan peraturan daerah ini adalah pihak
yang berwenang yakni Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan juga Bagian
Perundang-Undangan.
4.5.3.2 Expertise (Keahlian)
Keahlian atau Expertise yaitu merupakan seseorang atau pihak yang
mempunyai kemampuan dalam menangani Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun
2007 tentang Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial yang bertujuan untuk
mengatasi permasalahan yang terjadi. Seperti yang disampaikan oleh Satuan Bakti
Pekerja Sosial Kabupaten Tangerang :
“Penanganan anak jalanan ini sebenarnya susah susah gampang, waktu
saya di Yogyakarta saya sangat akrab dengan anak jalanan, karena
memang didukung oleh pemerintahnya, terus kita bisa lihat anak
kolong langit di Tangerang, mereka sudah maju, dan dapat dibilang
mereka sedikit demi sedikit dapat menangani anak jalanan. menurut
saya penanganan yang tepat itu dimulai dari masyarakat itu sendiri,
misalkan suatu masyarakat atau lembaga masyarakat atau suatu
organisasi yang peduli terhadap keberadaan anak jalanan, mereka bisa
membuat atau kerja sama untuk membuat rumah singgah. Rumah
singgah disini masih mempersilahkan anak jalanan mengamen dan
melakukan aktivitas mereka seperti biasanya tetapi anak jalanan
diberikan misal pelatihan, atau skill lain yang nantinya bisa menjadi
bekal mereka ketika mereka memutuskan untuk tidak ke jalanan lagi,
mereka bisa diajarkan musik, atau kegiatan lain yang anak jalanan itu
sukai. Baru dimulai dari situ kita dapat bekerjasama dengan
pemerintah, kita bisa buka ruang ke pemerintah, misal minta bantuan
dana, atau hal lainnya yang bisa mendukung kegiatan kita. Kalau kita
mengandalkan pemerintah saja ya memang anak jalanan tanggung
jawab pemerintah, tetapi jika kita mengandalkan pemerintah saja,
120
permasalahan anak jalanan akan sulit diatasi, bahkan akan sangat
lambat.” (wawancara dengan Informan 3.3)
Menurut Indri Satuan Bakti pekerja sosial, Kabupaten Tangerang di atas,
penangan anak jalanan yang tepat harus didasari oleh masyarakat sekitar, yakni
lembaga masyarakat atau organisasi lain yang menaungi tentang anak saling
bekerja sama untuk membuat rumah singah untuk anak jalanan, rumah singgah
yang tidak membatasi anak jalanan untuk melakukan aktifitas mereka sehari-hari
tetapi justru memberikan kemampuan atau keterampilan kepada mereka secara
lebih. Menurut informan 3.3 di atas, bahwa jika masyarakat mengandalkan
pemerintah, maka penanganan anak jalanan akan berlangsung secara lambat.
Terkait dengan penanganan anak jalanan yang belum dilakukan secara maksimal
beberapa pendapat memberikan penjelasan terkait dengan solusi yang ditawarkan:
“solusi ya, menurut saya harus adanya keseriusan dari pemerintah, misal
pemerintah memang benar-benar menyadari bahwa anak jalanan ini
memang urgent, pemerintah buat program-program yang dijadikan strategi
untuk penanganan anak jalanan ini.”(wawancara dengan Informan 5.1)
Berdasarkan wawancara di atas yaitu pemerintah harus mempunyai
keseriusan dalam penanganan anak jalanan, serta membuat langkah atau program
yang strategis guna penanganan anak jalanan.
“saran saya solusinya adalah harus benar-benar dituntaskannya anak
jalanan ini, dibuatnya perubahan atas peraturan daerah, kalau perlu
membuat perda khusus anjal biar fokus, dibuatnya SOP , kemudian
ditambahnya sumber daya di semua aspek seperti anggaran maupun
sumber daya manusia.”(wawancara dengan Informan 3.3)
Bahwa keterangan informan di atas, adanya perubahan atas peraturan
daerah yang bertujuan untuk menjadi pembaharuan, dan lebih memfokuskan
pemerintah untuk penanganan penyandang masalah kesejahteraan sosial, terutama
121
dalam penanganan anak jalanan. Seperti dibuatnya SOP (Standar Operasional
Prosedur) serta sumber daya yang menjadi penyokong dan pendukung
keberhasilan program harus ditambah, seperti anggaran maupun sumber daya
manusia. Dalam penelitian ini bahwa terdapat beberapa hambatan dalam
penyelesaian penanganan penyandang masalah kesejahteraan sosial, yakni yang
berasal dari masyarakat yang terkena program sendiri :
“terkadang orang-orang yang sudah kita berikan program itu juga
dijadikan ajimumpung sama mereka, program yang kita berikan itu
disalahgunakan, misal PKH (Program Keluarga Harapan) mereka kadang
memakai bantuan yang kita kasih ke hal-hal yang tidak
seharusnya.”(wawancara dengan Informan 3.1)
Menurut Indorman diatas faktor penghambat juga berasal dari penyandang
masalah kesejahteraan sosial sendiri, misal jika dalam Program Keluarga Harapan
(PKH) terkadang situasi ini dimanfaatkan oleh keluarga yang ada karena mereka
menganggap sebagai ajimumpung.
“Kadang kita sudah berikan bantuan kepada eks PSK, kita berikan
pelatihan misal salon, kita kasih peralatan salon, tetapi itu tidak bertahan
lama, kadang mereka jual peralatannya. “(wawancara dengan Informan
3.2)
Berdasarkan keterangan di atas bahwa penyandang masalah kesejahteraan
sosial menyalahgunakan bantuan yang telah diberikan pemerintah, sebagai contoh
eks Pekerja Seks Komersial yang telah diberikan pelatihan untuk keterampilan
mereka seperti salon, dan telah diberikan bantuan berupa peralatan salon, namun
hal ini tidak berlangsung lama, mereka menjual peralatan-peralatan tersebut.
Penanganan yang diberikan dalam menjawab semua permasalahan yang
terjadi yakni dijelaskan oleh Satuan Bakti Pekerja Sosial :
122
“untuk meminimalisir hal-hal yang menjadi permasalahan, kami
melakukan sidak, misalkan sesudah diberikan pelatihan dan bantuan
kepada mereka, dengan data yang ada kita menemui tanpa melakukan
pemberitahuan terlebih dahulu, kita melakukan ini agar kita juga
mengetahui apakah pelatihan yang kita berikan memberi dampak atau
tidak kepada mereka.”(wawancara dengan Informan 3.3)
Berdasarkan dengan penjelasan di atas, untuk mencegah penyalahgunaan
tersebut, dan meminimalisir kegagalan program, Dinas Sosial melakukan
pengecekan terhadap penyandang masalah kesejahteraan sosial yang telah
diberikan program bantuan dan pelatihan, serta agar dapat diketahui program yang
diberikan berhasil dan memberi dampak kepada mereka.
4.5.3.3 Guarantee (Jaminan)
Guarantee atau Jaminan yang dimaksud pada penelitian ini jaminan yakni
yang diberikan oleh pihak yang dilibatkan dan berkontribusi dalam pelaksanaan
Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2007 Tentang Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial yang berkaitan dengan langkah yang akan dilakukan untuk
diberikan kepada penyandang masalah kesejahteraan sosial. Untuk mengetahui
jaminan apa yang bisa diberikan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam penanganan
penyandang masalah kesejahteraan khususnya dalam penanganan anak jalanan di
Kabupaten Tangerang peneliti menayakan kepada beberapa Informan yaitu
dengan Informan 3.1 :
“jaminan yang kita berikan saya rasa kita belum bisa menjamin
keberhasilan program atau peraturan daerah ini yah, kan sudah saya
jelaskan kita hanya baru memprioritaskan 9 PMKS, saya sebagai pribadi
belum bisa menjaminkan penanganan secara maksimal.” (wawancara
dengan Informan 3.1)
123
Bahwa berdasarkan dengan keterangan informan di atas sebagai pribadi
yakni Kepala Seksi Kesejahteraan Anak dan Lanjut Usia Dinas Sosial, Kabupaten
Tangerang belum dapan menjaminkan sesuatu dalam bentuk penanganan secara
maksimal yang akan diberikan kepada penyandang masalah kesejahteraan
dikarenakan Dinas Sosial sendiri hanya baru dapat memprioritaskan 9 (sembilan)
penyandang masalah kesejahteraan sosial untuk diberikan program. Berdasarkan
dengan keterangan informan 5.1 yaitu :
“Kalau saya bilang dalam dalam peraturan daerah ini dan dalam
pelaksanaannya belum bisa dijamin dalam penyandang masalah
kesejahteraan, belum adanya jaminan keberhasilan program yang
diberikan oleh pemerintah. Dikarenakan dalam penanganan anak jalanan,
maka belum adanya kejelasan program yang diberikan pemerintah, dalam
penanganan terhadap masalah kesejahteraan, sumber daya yang ada belum
memadai.”(wawancara dengan Informan 5.1)
Dalam pemaparan diatas dalam Peraturan Daerah yakni Peraturan Daerah
Nomor 12 Tahun 2007 tentang Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial dalam
pelaksanaannya belum dapat dijamin, dikarenakan dalam penanganan anak
jalanan belum adanya kejelasan program serta dalam penanganan penyandang
masalah kesejahteraan lainnya masih terdapat beberapa kendala, yakni salah
satunya belum terdapatnya sumber daya yang memadai.
4.5.4 Sources of legitimation (Sumber Pengesahan)
Sumber Pengesahan atau Sources of legitimation yakni legitimasi atau
pengesahan dari orang-orang yang mempunyai kewenangan yang menjadi bagian
atau yang menangani penanganan anak jalanan tetapi non pemerintah. Legitimasi
bertujuan untuk melihat „kacamata‟ atau sudut pandang dari latar belakang yang
124
berbeda. Sources of legitimation diantaranya yakni witness, emancipation, word
view. Maka dari berbagai sudut pandang diharapkan mampu memberikan
informasi yang berbeda untuk penelitian ini, dan menjadi input bagi pemerintah
bagi kebijakan selanjutnya.
4.5.4.1 Witness
Witness dalam penelitian ini adalah saksi atau orang yang seharusnya
terkena efek atau dampak adanya peraturan daerah nomor 12 tahun 2007,
sehubungan dengan konteks fokus penelitian ini yaitu penanganan anak jalanan,
maka peneliti mencoba apa saja yang seharusnya ada dalam penanganan anak
jalanan, yaitu yang diperlukan yakni wadah atau tempat untuk menampung
aspirasi, keluhan dan juga pengaduan. Berikut adalah penjelasan yang
diungkapkan oleh informan 7.2 :
“kalau wadah untuk pengaduan belum ada, paling kita curhat sesama
anak-anak aja, ”(wawancara dengan informan 7.2)
Dikatakan oleh informan 7.2 bahwa belum adanya tempat atau pengaduan
seperti yang diharapkan, keterangan yang demikian juga disampakan oleh Noval,
yakni I7,3 :
“tidak ada”(wawancara dengan informan 7.3)
Hal yang serupa juga dikatakan oleh informan 7.1 :
“tidak ada sih, tidak ada yang namanya tempat pengaduan, kita ga ada
komunitasnya, kita ngamen ya ngamen sendiri buat kita sendiri buat
keluarga, saya pernah ke anak kolong langit di tangerang, cuma di daerah
kita belum ada, boro-boro dari pemerintah.”(wawancara dengan informan
7.1)
125
Berdasarkan penjelasan di atas dari ketiga anak jalanan yaitu tidak ada
tempat pengaduan atau wadah untuk menampung aspirasi atau keluhan anak
jalanan di Kabupaten Tangerang.
“kita Save Street Children belum mampu menjangkau anak-anak di
Kabupaten Tangerang, karena banyaknya hal seperti dana, sumber daya
manusia, dan hal lainnya, jadi kami belum bisa membuka wadah
pengaduan atau keluh kesah anak jalanan di Kabupaten tangerang.”
(wawancara dengan Informan 8.1)
Pemerintah juga belum mempunyai wadah pengaduan untuk anak jalanan
seperti yang dikatakan oleh I3,1 :
“Dinsos belum mempunyai wadah aspirasi.”(wawancara dengan Informan
3.1 pada tanggal )
Bahwa dari gambaran informan-informan di atas belum dan tidak adanya
wadah aspirasi untuk keluh kesah atau tempat untuk menyarakan pendapat yang
disediakan oleh pemerintah maupun non pemerintah, para anak jalanan hanya
menyampaikan keluh kesah mereka kesesama anak jalanan.
Anak jalanan mempunyai latar belakang yang berbeda-beda alasan mereka
turun ke jalan yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mencari nafkah
dan atau berkeliaran di jalanan atau di tempat-tempat umum. Seperti yang
diutarakan oleh Indra Informan 7.1 :
“Saya punya adik 2, yang satu kelas 6, satu lagi baru 1 tahun, saya tidak
ingin mereka seperti saya, saya ingin mereka sekolah tinggi, biar bisa
banggain kedua orang tua saya. Mangkanya saya sebagai anak tertua, saya
rasa itu udah jadi tanggung jawab saya buat nyari nafkah. Bapak saya kuli
bangunan, itupun kalo ada yang manggil atau nyuruh betulin rumah, kalo
tidak bapak saya jual makanan seperti gorengan, yang penghasilannya
tidak seberapa, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dalam
keluarga, ibu saya tidak kerja di rumah saja mengasuh adik. Saya ngamen
atas dasar kemauan saya sendiri, selain saya nambah temen, saya juga bisa
126
dapet penghasilan. Orang tua saya mengetahui kalau saya mengamen,
namun tidak memperbolehkan dan tidak juga melarang, namanya orang
tua mana ada sih yang menginginkan anaknya putus sekolah dan malah
ngamen, saya juga suka sedih kalau diomongin sama tetangga-tetangga
belum lagi kalau saya ngamen suka diomelin, saya tidak berani ngelawan
soalnya takut diaduin sama polisi.”(wawancara dengan informan 7.1)
Berdasarkan keterangan dari informan diatas latar belakang anak jalanan
turun ke jalan karena keterbatasan ekonomi, karena terpuruknya ekonomi yang
mengharuskan anak mencari nafkah ke jalanan, dan orang tuanya pun mengetahui
bahwa anaknya mencari nafkah di jalanan.
Hal yang serupa juga disampaikan oleh Informan 7.2 yaitu :
“saya kadang ngamen, kadang juga jualan gorengan kalau tidak koran, tapi
paling sering ngamen, soalnya saya butuh uang, orang tua tinggal ibu
soalnya bapak sudah meninggal, ibu jadi tukang cuci saya punya adik satu
umurnya 4 tahun, gaji ibu tidak cukup buat makan dan keperluan sehari-
hari, sekolah katanya gratis tapi masih banyak keperluan lain, kaya beli
buku, beli seragam, terus ada lagi renang, ke GOR (Gedung olahraga) dan
lainnya, itu aja udah pakai uang, saya kasian sama ibu saya, saya mutusin
buat berhenti sekolah. Tapi saya niat kalau nanti ada rejeki saya mau
ngelanjutin sekolah, kan ngambil paket bisa katanya, saya ngamen biasaya
dari jam 7, 1, dan jam 4 sampai jam 7 malam, soalnya itu jam-jamnya
macet.”(wawancara dengan informan 7.2)
Dari hasil wawancara di atas menunjukan alasan informan 7.2 menjadi
anak jalanan dilatarbelakangi keterpurukan ekonomi, informan tersebut putus
sekolah karena masih banyaknya kebutuhan diluar uang SPP sekolah yang
mengaharuskan informan tersebut membayar, jadi informan memutuskan untuk
berhenti sekolah.
“Saya hoby menyanyi, saya coba-coba nyanyi ikut temen ngamen di jalan,
setelah beberapa lama saya nyaman, dapat uang juga pulang ke rumah,
yaudah saya terusin aja ngamen setiap pulang sekolah, abis itu kelamaan
saya males sekolah, makin lama pelajaran semakin susah, saya mulai
127
bolos-bolos sekolah, orang tua saya di panggil ke sekolah, saya diberikan
peringatan suruh masuk, saya tetep saja mau ngamen, akhirnya saya
memutuskan untuk berhenti sekolah dan fokus ke ngamen, orang tua tau
tapi tidak ngomong apa-apa”(wawancara dengan informan 7.3)
Penjelasan yang berbeda disampaikan oleh Informan 7.3 di atas bahwa
anak jalanan tersebut turun ke jalan bukan didasari oleh kebutuhan ekonomi,
namun memang dari anak tersebut malas sekolah dan ingin kebebasan, kurangnya
perhatian dari orang tua juga menjadi faktornya, karena orang tua informan tidak
melakukan upaya saat anaknya tidak melanjutkan sekolah dan malah menjadi
anak jalanan.
Jadi berdasarkan semua keterangan dari informan di atas, dapat diambil
kesimpulan bahwa sebagian besar keterbatasan faktor ekonomi yang
melatarbelakangi anak turun ke jalanan, tetapi bukan hanya faktor ekonomi faktor
coba-coba atau faktor lingkungan juga memengaruhi anak turun ke jalan. Hal
yang juga menarik yakni dari semua informan di atas, orang tua atau keluarga
mengetahui anak menjadi anak jalanan, atau sering berkeliaran ke jalan, dan orang
tua tidak melakukan upaya yang maksimal untuk mendidik dan membina anak.
Bahkan ketiga informan diatas tidak bersekolah atau putus sekolah, karena
mereka mengganggap tidak bisa membagi waktu antara mengamen atau bekerja
dan bersekolah.
Peraturan daerah nomor 12 tahun 2007 telah sah sejak tahun tersebut,
namun pada kenyataannya masih banyak yang belum mengetahui tentang adanya
peraturan daerah tersebut, dan tidak mengetahui bahwa anak jalanan merupakan
hal menjadi bagian dari penanganan peraturan daerah, dampak yang dirasakan
128
juga belum tercapai oleh anak jalanan sendiri. Seperti hal yang disampaikan oleh
informan berikut :
“tidak tahu bahwa ada perda yang ngatur kita (anak jalanan).” (wawancara
dengan informan 7.3)
Hal yang serupa juga disampaikan oleh informan 7.2 :
“tidak, saya taunya sama satpol pp tidak boleh ngamen di lampu merah
pemda, jadi tidak ada dampaknya.”(wawancara dengan informan 7.2)
Bahwa berdasarkan keterangan informan diatas tidak diketahuinya
peraturan daerah tentang penyandang masalah ksejahteraan sosial, dan informan
7.2 mengatakan hanya mengetahui bahwa tidak boleh mengamen di lampu merah
pusat pemerintahan daerah.
“tidak tahu, saya pengennya kalaupun diberikan pembinaan sama dinas
sosial, saya ingin dibina secara serius, setelah itu diberikan modal agar
saya bisa membuka usaha, jadi dampaknya bisa bantu keluarga saya, kalau
sekarang belum ada dampak apa-apa”(wawancara dengan informan 7.1)
Informan diatas juga tidak mengetahui peraturan daerah tentang PMKS,
belum ada dampak dari Peraturan Daerah nomor 12 tahun 2007 ini, jika memang
ada, informan ingin dibina secara serius dan diberikan modal usaha. Hal yang
berbeda juga disampaikan oleh Agus Salim tokoh masyarakat LSM Gapura :
“saya sudah tahu tentang perda ini, cuma dalam penanganan anak jalanan,
saya kira belum ada usaha yang maksimal yang dilakukan pemerintah, jadi
saya yakin belum ada dampak yang dirasakan oleh anak jalanan, palingan
hanya penertiban.”(wawancara dengan informan 10.1)
Jadi dapat disimpulakan bahwa sebagian besar terutama anak jalanan
belum mengetahui tentang Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2007 tentang
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS), hanya Informan 10.1 sebagai
tokoh masyarakat yakni dari LSM Gapura yang mengetahui perda tersebut.
129
Dampak positif yang diharapkan juga belum didapat oleh seluruh anak jalanan
yang diwawancarai, jika memang anak jalanan menjadi penanganan dalam
peraturan daerah, anak jalanan ingin dibina secara serius dan mendapatkan modal
usaha.
4.5.4.2 Emancipation
Emansipasi adalah usaha atau peran yang dilakukan orang-orang terkait
untuk mendapatkan hak atau upaya untuk penanganan anak jalanan, yaitu dalam
hal ini yaitu peran atau upaya apa yang dilakukan oleh Save Street Children,
Media, dan juga Tokoh masyarakat.
“Save Street Children belum melakukan upaya yang maksimal dengan
keberadaan anak jalanan ini, kita hanya baru sekedar pengajaran dan juga
bakti sosial, hal ini dikarenakan banyak faktor, yakni anggaran, waktu, dan
juga pengajar yang masih banyaknya adalah mahasiswa, kita belum bisa
menjangkau daerah kabupaten tangerang, karena kita yang berada di
pondok ranji juga hanya baru sekitaran daerah tangsel saja, kita juga
belum bekerja sama dengan pemerintah, karena untuk menjangkau
pemerintah susah.” (wawancara dengan informan 8.1)
Berdasarkan gambaran melalui informan di atas, bahwa Save Street
Children belum berperan maksimal, tentunya hanya baru sebatas pengajaran dan
juga bakti sosial, karena keterbatasan anggaran, waktu dan sumber daya yang ada.
Organisasi yang menaungi anak jalanan ini juga belum menyentuh kabupaten
tangerang, dan belum adanya kerjasama antara Save Street Children dan
pemerintah.
“kita hanya baru sekedar memberikan bakti sosial kepada anak jalanan,
waktu itu kita bagi-bagi baju-baju bekas, kita tidak bisa melangkahi
pemerintah yang sudah menjadi kewenangannnya.”(wawancara dengan
10.1)
130
Dari media peneliti mendapat penjelasan sebagai berikut :
“kita tidak punya jadwal tersendiri mengenai pemberitaan tentang anak
jalanan, palingan hanya kalau ada penertiban besar-besaran baru kita liput
dan beritakan.”(wawancara dengan informan 9.)
Hal yang serupa juga dikatakan oleh Dedi Maksudi, Pemimpin Redaksi
Satelitnews :
“Susah sih kalau pemberitaan tentang anak jalanan, biasanya wartawan
kami setiap harinya mencari berita, nah anak jalanan itu susah kita
beritakan, pertama karena memang tidak adanya program dari pemerintah,
kalau ada program besar baru kita beritakan, terus anak jalanan susah kita
dekati, jadi kalau kita mau buat berita tentang anak jalanan, sumber intinya
susah.”(wawancara dengan informan 9.2)
Jadi berdasarkan keterangan dari informan-informan diatas dapat ditarik
kesimpulan, sebagai non pemerintah bahwa belum adanya peran, usaha maupun
upaya yang maksimal dalam penanganan anak jalanan. Hal yang dilakukan hanya
sebagai bakti sosial, dan juga belum adanya kerjasama dengan pemerintah.
Pemberitaan media juga tidak sering, hanya jika ada kegiatan-kegiatan besar
tertentu yang dilakukan suatu lembaga atau instansi pemerintah dikarenakan anak
jalanan sulit untuk didekati.
4.5.4.3 Word View
Pandangan dunia atau Word View adalah pandangan secara umum dari
informan-informan yang sudah ditetapkan terhadap penanganan anak jalanan di
Kabupaten Tangerang. Dari berbagai sudut pandang yang ada yang tidak
ditemukan dari sudut pandang pemerintah. Dalam hal ini Save Street Children
memberikan persepsinya terkait penanganan anak jalanan :
131
“menurut saya sebagai humas Save Street Children anak jalanan harusnya
dirangkul oleh semua golongan, masyarakat secara universal maupun
pemerintah, karena dari banyaknya faktor, mereka adalah korban dari
ketidakberdayaan, baik ekonomi maupun dari lingkungan keluarga,
kasihan mereka harusnya kita sayangi, jika mereka normal mereka juga
ingin kehidupan yang layak, yang tidak mengamen, panas-panasan,
mereka juga ingin sekolah dan bermain seperti anak-anak seusia
mereka.”(wawancara dengan informan 8.1)
Menurut Informan diatas bahwa anak jalanan seharusnya dirangkul oleh
golongan tidak terkecuali, karena anak jalanan merupakan korban dari ketidak
berdayaan ekonomi maupun dari keluarga.
“anak jalanan merupakan kunci dari suatu negara, kalau tidak ada lagi
anak jalanan di Indonesia, saya dapat katakan bahwa Indonesia negara
maju. Karena dengan tidak adanya anak jalanan, berarti sudah tidak
adanya rakyat miskin.”(wawancara dengan informan 9.1)
Berdasarkan keterangan dari Faris, Informan 9.1 diatas bahwa anak
jalanan merupakan kunci bagi negara Indonesia, jika sudah tidak ada lagi anak
jalanan di Indonesia, maka dapat diakatakan Indonesia adalah negara maju, karena
kemiskinan sudah tidak ada. Persepsi lain dipaparkan oleh informan 9.2 :
“anak jalanan itu merupakan tunas bangsa, jika mereka sekrang sudah
hidup keras dijalanan, maka bagaimana pandangan mereka nanti. Ada dua
kemungkinan, yang pertama menjadiin mereka mandiri dan kuat
mengahadapi kehidupan, dan juga dapat ngejadiin mereka itu susah diatur,
karena kehidupan mereka yang bebas, jadi harus cepat
ditangani.”(wawancara dengan informan 9.2)
Bahwa berdasarkan keterangan diatas, dikarenakan anak jalanan sebagian
besar kehidupan sehari-harinya berada di jalanan, ada dua kemungkinan yang
terjadi, pertama menjadikan mereka mandiri dan kuat mengahadapi kehidupan,
dan kedua membuat anak jalanan sulit diatur, karena kehidupan mereka yang
bebas.
132
“ya kadang kasian dengan anak jalanan, masih kecil belum cukup umur
kadang mereka sudah kerja cari uang panas-panasan pula, tetapi kadang
saya juga mikir, kalau mereka misal mengamen dikasih uang, mereka
nanti kebiasaan.”(wawancara dengan informan 10.1)
Berdasarkan pemaparan oleh informan 10.1 diatas, persepsi informan
mengenai anak jalanan, terkadang anak jalanan harus dikasihani karena mereka
belum cukup umur untuk mencari uang, tetapi terkadang jika diberi uang, mereka
bisa menjadi terbiasa dan malas untuk bekerja yang lebih baik dan malas untuk
bersekolah, karena telah mendapat penghasilan.
Sebagai masyarakat tentunya memiliki harapan yang ditujukan kepada
pemerintah agar permasalahan penanganan anak jalanan di Kabupaten Tangerang
bisa berjalan lebih baik. Seperti yang diungkapkan Olivia Resti, Humas Save
Street Chidren :
“harapan saya pemerintah melakukan penanganan dengan serius, karena
mereka (anak jalanan) merupakan penerus bangsa, mereka juga memiliki
hak untuk diberi penghidupan yang layak, cari cara penanganan yang tepat
dari semua aspek agar anak jalanan tidak kembali lagi ke jalanan. ”
(wawancara dengan informan 8.1)
Hal yang serupa diungkapkan oleh Informan 10.1 yaitu Agus Salim :
“ya pemerintah yang memang stakeholder harus serius dalam penanganan
anak jalanan ini, karena jika tidak, saya yakin makin banyaknya anak-anak
yang menjadi anak jalanan, karena perpindahan penduduk misal pada saat
lebaran, karena ketidaksiapan keluarga menyebabkan anak-anak terlantar
secara psikis maupun ekonomi”(wawancara dengan informan 10.1)
Dari penjelasan kedua informan di atas mereka berharap pemerintah serius
dalam penanganan anak jalanan, melalui program-program yang ada. Jika tidak
cepat ditangani, diyakini keberadaan anak jalanan akan terus bertambah,
133
berhubungan dengan jumlah penduduk yang meningkat, anak jalanan adalah
penerus bangsa yang harus mendapatkan penghidupan yang layak.
“saya tau anak jalanan itu nomaden, yakni berpindah-pindah dan sulit
diatur jadi harus ada strategi jitu yang tepat yang dilakukan pemerintah
untuk penanganannya, pemerintah bisa mengadopsi cara-cara alternatif
yang negara lain miliki dalam penanganan anak jalanan”(wawancara
dengan informan 9.1)
Dikatakan bahwa pemerintah harus mempunyai strategi yang tepat, agar
mampu melakukan penanganan terhadap anak jalanan yang sulit untuk ditangani.
“harapan saya ya biar indonesia bebas anak jalanan seperti yang
dicanangkan oleh ibu Menteri Khofifah.”(wawancara dengan informan
9.2)
Bahwa harapan dari informan 9.2 yakni Dedi Maksudi yaitu Indonesia
bebas anak jalanan seperti yang dicanangkan oleh Menteri Sosial.
Sebagai non-pemerintah dan dari sudut pandang latar belakang yang
berbeda, memberikan tanggapan sudah maksimalkah upaya yang dilakukan
pemerintah dalam penanganan anak jalanan di Kabupaten Tangerang. Berikut
adalah tanggapannya :
“dilihat dari masih banyaknya anak jalanan, pemerintah dapat dikatakan
belum maksimal dalam penangan anak jalanan.”(wawancara dengan
informan 10.1)
Hal yang serupa diungkapkan oleh informan 9.1 :
“tentunya belum maksimal.”(wawancara dengan informan 9.1)
Berdasarkan keterangan informan diatas dikatakan bahwa penanganana
anak jalanan di Kabupaten Tangerang yang dilakukan pemerintah yakni belum
maksimal.
134
“pemerintah belum maksimal untuk nanganin anak jalanan, pemerintah
harus lebih bekerja keras lagi.”(wawancara dengan informan 8.1)
Dari media Satelitnews, yakni Dedi Maksudi sebagai Pemimpin Redaksi
menyampaikan :
“upaya yang dilakukan pemerintah belum maksimal, pemerintah harusnya
memberikan terobosan baru, media sebagai social control akan terus
melihat bagaimana perkembangan penanganan anak jalanan yang
ada.”(wawancara dengan informan 9.2)
Jadi dapat disimpulkan dari jawaban semua informan diatas, bahwa
penanganan yang dilakukan pemerintah terhadap anak jalanan belum maksimal,
dikarenakan masih banyaknya jumlah anak jalanan, pemerintah diharapkan
bekerja secara maksimal, dan media sebagai kontrol sosial akan terus melihat
perkembangan anak jalanan ini
Dari beberapa jawaban atas deskripsi data yang telah peneliti sampaikan di
atas, ada beberapa jawaban atau pernyataan yang menarik yang menjadikan nilai-
nilai yang menjadikan warna dalam penelitian, ini bertentangan dengan nilai-nilai
sosial yang ada. Sebagai penelitian kualitatif peneliti berusaha memahami narasi
dari responden dari sudut pandang yang berbeda.
“kalau program khusus, belum ada. Artinya kita membuat program atau
kegiatan yang memang kami peruntukan untuk anak jalanan itu memang
belum. Terkadang jika kita melakukan kegiatan di panti, kami
mengundang mereka, palingan satu sampai 10 orang, itupun kalau
ada.”(wawancara dengan Dinas Sosial)
Bahwa hal ini menunjukan sejak disahkannya peraturan daerah ini pada
tahun 2007 belum ada penanganan anak jalanan yang dilakukan secara optimal,
bahkan dapat diakatakan anak jalanan belum tersentuh program. Yang dilakukan
hanya mengundang beberapa dari anak jalanan untuk ikut serta dalam program
135
yang diberikan khusus kepada anak terlantar. Program yang diberikanpun hanya
berlangsung singkat, yaitu selama satu sampai dua hari saja.
136
Ulrich (dalam Riswanda
2016: 9). Boundary
Categories 4 (empat)
dimensi: 1. sources of motivation
(sumber motivasi),
2. sources of power (sumber
kekuatan)
3. sources of knowledge
(sumber pengetahuan)
4. sources of legitimation
(sumber pengesahan).
4.6 Pembahasan
Gambar 4.1
Boundary Judgments
Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2007
tentang Penyandang Masalah Kesejahteraan
Sosial Kabupaten Tangerang (Anak Jalanan)
System (Sistem)
Hasil (Output) yang diharapkan :
1. Tidak terstukrurnya penanganan anak jalanan dengan
baik dan jelas.
2. Optimalnya koordinasi dan kerjasama antar Organisasi
Perangkat Daerah yang terkait.
3. Adanya panti khusus pembinaan atau penanganan
untuk anak jalanan.
4. Dibuatnya Perubahan pada Peratuuran Daerah
Facts (Fakta) Values (Nilai)
1. Tidak terstukrurnya penanganan anak jalanan
dengan baik dan jelas.
2. Belum optimalnya koordinasi dan kerjasama
antar Organisasi Perangkat Daerah yang terkait.
3. Tidak adanya panti khusus pembinaan atau
penanganan untuk anak jalanan.
4. Masih banyaknya kekurangan di dalam Peraturan Daerah ini
Seperti belum adanya Peraturan Bupati sebagai Tata Cara Lanjutan
Pelaksanaan Kebijakan
137
Berdasarkan dengan kerangka berfikir pada gambar 4.2 di atas pada
penelitian ini dengan judul Critical Policy Analysis Peraturan Daerah Nomor 12
Tahun 2007 tentang Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) dalam
Penanganan Anak Jalanan di Kabupaten Tangerang. Maka peneliti akan
menuangkan hasil penelitian ke dalam pembahasan. Pembahasan hasil penelitian
adalah isi dari hasil analisis data dab fakta yang peneliti dapatkan atau temukan
dilapangan dan selanjutnya akan disesuaikan dengan teori yang peneliti gunakan
dalam penelitian. Peneliti akan memaparkan hasil penelitian yang didapat selama
penelitian berlangsung secara naratif. Berikut adalah paparannya :
4.6.1 Sources of motivation (Sumber motivasi)
Dalam penelitian ini merupakan hal dasar dalam peraturan daerah tentang
penyandang masalah kesejahteraan sosial dalam penanganan anak jalanan, yakni
pihak mana yang secara faktual memproduksi kebijakan, siapa saja yang terlibat,
implementor, dan bagaimana cara pengawasan dan siapa yang mengawasi
kebijakan. Dalam sebuah kebijakan tentunya memiliki tujuan dan manfaat adanya
kebijakan, sasaran, dampak, siapa yang harusnya terlayani. Dalam sebuah
kebijakan adanya tolak ukur perbaikan dan kendala penyelenggaraan Perda
Nomor 12 Tahun 2007 tentang Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial, pihak
yang bertanggung jawab dalam menangani anak jalanan dan apa yang menjadi
kendala dalam penanganan anak jalanan serta upaya apa yang dilakukan
pemerintah dalam menanganinya.
138
Dari hasil lapangan, peneliti menemukan beberapa fakta yaitu „fact‟ antara
lain : Pertama yaitu di Sumber motivasi terdapat Stakeholder atau pihak-pihak
yang terlibat dalam membuat peraturan daerah yang enjadi fokus penelitian
yakni Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2007 yaitu Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Pada saat itu yang merumuskan perda, yakni Peraturan Daerah
Kabupaten Tangerang Nomor 12 tahun 2007 tentang PMKS yang tercamtum di
pasal 9 yang berbunyi, termasuk Kelompok Keterlantaran, yaitu: yang terdapat
di point 3 : Anak Jalanan yaitu anak yang berusia 5 sampai dengan dibawah 18
tahun dan belum pernah menikah yang menghabiskan sebagian besar waktunya
untuk mencari nafkah dan atau berkeliaran di jalanan atau di tempat-tempat
umum, dan disahkan oleh Kepala Daerah pada saat itu oleh Bupati H. Ismet
Iskandar. Karena DPRD merupakan instansi yang berwenang dalam
memproduksi sebuah kebijakan. Selanjutnya yakni pihak yang terlibat dalam
pembuatan kebijakan, bahwa pada saat itu tidak ada campur tangan dari pihak
luar, yakni seperti Dinas Sosial, Dinas sosial tidak diikut sertakan dalam
perumusan peraturan ini. Unsur pelaksana teknis atau UPT dari kebijakan ini
adalah Dinas Sosial sebagai pelaksana dari peraturan daerah ini. Satuan Polisi
Pamong Praja juga sebagai unsur pelaksana, namun bukan atau tidak
berlandaskan Peraturan Daerah tentang Penyandang Masalah Kesejahteraan
Sosial, tetapi berlandaskan Peraturan daerah tentang Ketertiban dan
Ketentraman Umum masyarakat, karena dianggap anak jalanan menganggu
kenyamanan masyarakat.
139
Kedua, pengawasan terhadap peraturan ini dilakukan oleh Kepala Dinas
Sosial melalui bukti pelaporan kegiatan, dan juga dilakukan oleh Dinas Sosial
Provinsi Banten melalui monitoring dan evaluasi yang dilakukan 3 (tiga) bulan
sekali, serta bukti pelaporan terkait data yang diserahkan Dinas Sosial
Kabupaten Tangerang. Masyarakat juga merupakan pengawas yang real,
artinya masyarakat juga harus mengawasi berjaannya perda apakah sudah
sesuai dengan yang sudah seharusnya.
Ketiga, tujuan dibuatnya peraturan daerah ini yaitu untuk lebih
mensejahterakan penyandang kesejahteraan lebih mandiri, dan dapat hidup lebih
baik secara materil maupun non materil.
Keempat, terkandung dalam sasaran Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun
2007 yakni terkandung dalam pasal Dalam pasal 7 perda PMKS disebutkan
bahwa yang menjadi sasaran yakni perorangan, keluarga, dan masyarakat yang
memang penyandang masalah kesejahteraan sosial, potensi dan sumber
kesejahteraan yang mendukung, lembaga sosial dan organisasi sosial yang berada
dalam masyarakat, yaitu seperti kelompok kemiskinan, ketelantaran ketunaan,
penyimpangan sosial, disabilitas, diskriminasi, dan dan komunitas adat terpencil.
Berikut adalah sasaran Dinas Sosial Bagi Penyandang Masalah Kesejahteraan
Sosial :
140
Tabel 4.2
Sasaran Kebijakan Dinas Sosial Bagi Penyandang Masalah
Kesejahteran Sosial
NO. PENYANDANG MASALAH KESEJAHTERAAN
SOSIAL
1. FAKIR MISKIN 2. PEREMPUAN RAWAN SOSIAL EKONOMI 3. KELUARGA BERMASALAH SOSIAL PSIKOLOGIS
4. KOMUNITAS ADAT TERPENCIL 5. ANAK BALITA TERLANTAR 6. ANAK TERLANTAR 7. ANAK YANG MEMERLUKAN PERLINDUNGAN
KHUSUS
8. ANAK BERHADAPAN DENGAN HUKUM , 9. ANAK JALANAN ,
10. ANAK DENGAN KEDISABILITASAN (ADK) 11. ANAK YANG MENJADI KORBAN TINDAK
KEKERASAN ATAU DIPERLAKUKAN SALAH
12. LANJUT USIA TERLANTAR 13. GELANDANGAN 14. PENGEMIS
15. PEMULUNG
16. BEKAS WARGA BINAAN LEMBAGA
PEMASYARAKATAN
18. KORBAN PENYALAHGUNAAN NAPZA
19. TUNA SUSILA
20. ORANG DENGAN HIV/AIDS (ODHA)
21. KELOMPOK MINORITAS
22. PENYANDANG DISABILITAS
23. KORBAN TINDAK KEKERASAN
24. PEKERJA MIGRAN BERMASALAH SOSIAL
25. KORBAN BENCANA ALAM
26. KORBAN BENCANA SOSIAL
(Sumber : Dinas Sosial Kabupaten Tangerang 2017)
141
Berdasarkan data pada tabel di atas bahwa sasaran Penyandang Masalah
Ksejahteraan Sosial Kabupaten Tangerang yang terdapat dalam Peraturan Daerah
Nomor 12 Tahun 2007 yaitu 26 sasaran.
Kelima, dampak dengan adanya peraturan daerah ini yaitu otomatis
mereka yang sudah terkena program dari Dinas Sosial. Mereka akan mendapatkan
dampak postif maupun manfaat terhadap program yang telah dijalankan.
Pemerintah sebagai pelayanan dan perlindungan sosial bagian yang tidak
terpisahkan dari pembangunan daerah serta sebagai pembangunan manusia dan
juga masyarakat sebagai upaya perbaikan tingkat hidup yang berkeadilan sosial,
yakni yang terlayani dengan adanya peraturan daerah ini adalah orang-orang yang
sebagai penyandang masalah kesejahteraan sosial.
Ukuran Perbaikan dari Peraturan daerah ini, jika seluruh Penyandang
Masalah Kesejahteraan Sosial telah mendapatkan penanganan yang tepat dari
pemerintah, dan masyarakat terutama penyandang masalah kesejahteraan dapat
meningkatkan taraf hidupnya. Serta sasaran penanganan masalah kesejahteraan
dapat meningkat setiap tahunnya. Berikut adalah program prioritas Dinas Sosial :
Tabel 4.3
Program Prioritas Dinas Sosial Kabupaten Tangerang terhadap Penyandang
Masalah Kesejahteraan Sosial
No. Program Prioritas
1. Pemberdayaan fakir miskin, keluarga adat terpencil.
2. Pelayanan dan rehabilitasi social.
142
3. Pembinaan anak terlantar
4. Pembinaan Panti Asuhan dan jompo
5. Pembinaan eks penyandang penyakit social
6. Pemberdayaan kelembagaan kesejahteraan social
7. Penyuluhan dan Penanggulangan Korban Bencana
Alam
8. Program peningkatan kesadaran akan nilai-nilai
keagamaan dan kepahlawanan
9. Program Pemakaman
Berdasarkan Tabel 4.3 di atas menunjukan bahwa program yang diberikan
terhadap penyandang masalah kesejahteraan belum tersentuh semuanya, sejak
disahkan dan diimplementasikan dari tahun 2007 namun baru 9 (sembilan) PMKS
yang baru terkena program atau menjadi prioritas. Hal ini menunjukan bahwa
ukuran perbaikan dari peraturan daerah ini belum berjalan secara optimal. Ukuran
perbaikan lain dalam penanganan anak jalanan ini yakni berkurangnya jumlah
anak jalanan, dan dari data di atas anak jalanan belum menjadi prioritas. Dari data
dibawah ini juga menunjukan jumlah anak jalanan yang belum bisa terkendali,
artinya masih cukup tinggi.
Tabel 4.4
Data Anak Jalanan Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten
Tahun 2017
No. Kabupaten/Kota
Ketelantaran
Anak Jalanan
Tahun 2017
(L) (P) Jumlah
1
Kabupaten
Pandeglang 19 2 21
2
Kabupaten
Lebak 10 10 20
3
Kabupaten
Tangerang 96 45 141
4
Kabupaten
Serang 63 54 117
143
5 Kota Tangerang 23 8 31
6 Kota Cilegon 0 2 2
7 Kota Serang 15 13 28
8
Kota Tangerang
Selatan 0 1 1
Jumlah 226 135 361
(Sumber : Dinas Sosial Provinsi Banten, 2017)
Berdasarkan hasil dari data 4.4 yakni jumlah anak jalanan berdasarkan
Kabupaten/Kota di Provinsi Banten menunjukan pada tahun 2017 Kabupaten
Tangerang merupakan yang paling tinggi dibandingkan Kabupaten dan Kota
lainnya. Yakni dengan jumlah laki-laki 96 orang dan perempuan sebanyak 45
orang yang keseluruhan berjumlah 141 orang. Hal ini membuktikan bahwa
penanganan anak jalanan di Kabupaten Tangerang belum berhasil.
Keenam, berdasarkan peraturan yang ada bahwa yang menjadi
penanggung jawab atas peraturan daerah dan penanganan anak jalanan ini adalah
Dinas Sosial, karena dinas sosial merupakan unsur pelaksana dan sekaligus
menjadi penanggungjawab perda.
Ketujuh, adanya kendala yang dihadapi baik dalam peraturan daerah
maupun dalam penanganan anak jalanan yaitu dalam peraturan daerah belum
adanya SOP (Standar Operasional Prosedur) jadi dalam membuat program yang
ada, belum ada standar tersendiri apakah program sudah dikatakan berhasil atau
belum, belum adanya program khusus tentang penanganan anak jalanan.
Selanjutnya kendala yang terjadi yakni dari OPD (Organisasi Perangkat Daerah
sendiri, kurangnya koordinasi yang dilakukan, sebagai contoh Satuan Polisi
Pamong Praja merazia dan menertibkan anak jalanan bukti pelaporannya tidak
144
dilaporkan kepada dinas sosial. Dinas sosial tidak dapat menangani anak jalanan
secara sendirian, harus multi penanganan, artinya dilakukan oleh seluruh Dinas
terkait, yakni Dinas Sosial, Satuan Polisi Pamong Praja, Dinas Pendidikan dan
dinas lainnya termasuk masyarakat. Harus melakukan kerjasama agar penanganan
anak jalanan berjalan secara optimal. Kendala lain dalam penanganan anak
jalanan yakni sulitnya mendata dan melakukan pembinaan kepada anak jalanan
karena mereka nomaden yakni berpindah-pindah tempat dan mereka sulit untuk
diatur karena kehidupan mereka yang bebas. Kemudian yang menjadi kendala
adalah belum adanya panti khusus pembinaan anak jalanan baik di Kabupaten
Tangerang maupun di Provinsi Banten, anak jalanan yang memang harus
membutuhkan pembinaan atau rehabilitasi akan dikirim ke PSBK yakni Panti
Sosial Bina Karya yang berada di Bekasi Timur.
4.6.2 Sources of power (Sumber kekuatan)
Sumber kekuatan mengungkapkan tentang adanya kekuatan dari adanya
peraturan, yakni dalam peraturan daerah tentang Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial dalam penanganan anak jalanan di Kabupaten Tangerang.
Dari hasil peneliti dapatkan dalam penelitian di lapangan bahwa sumber kekuatan
dalam penelitian ini dikatakan belum maksimal. Pertama, bahwa peraturan daerah
ini yakni kekuatan tolak ukur yakni seluruh penyandang masalah kesejahteraan
sosial telah mendapatkan yakni pemerintah telah berhasil mengupayakan dan
mengimplementasikan program dan kegiatan yang ditujukan untuk mewujudkan,
membina, memelihara, memulihkan dan mengembangkan kesejahteraan sosial
dalam rangka mewujudkan pola hidup yang mandiri.
145
Kedua, belum adanya peraturan daerah khusus penanganan anak jalanan di
Kabupaten Tangerang, dikarenakan belum ada usulan dari pihak-pihak tertentu.
Dinas sosial tidak bisa mengajukan tentang peraturan daerah baru terkait
penanganann anak jalanan, karena akan memakan waktu dan biaya yang tidak
sedikit. Jika ada peraturan daerah khusus penanganan anak jalanan, maka
penanganan terhadap anak jalanan dapat berjalan lebih optimal. Kemudian yang
berwenang dalam mengambil keputusan tentang anak jalanan adalah dinas sosial,
seharusnya dinas sosial membuat program yang ditujukan kepada anak jalanan.
Ketiga, dinas sosial belum melakukan upaya yang maksimal, dan belum
mengoptimalkan program yang ada kepada anak jalanan, artinya peran yang
dilakukan oleh dinas sosial dalam penanganan anak jalanan belum berjalan
dengan baik. Yang dilakukan pemerintah yakni dinas sosial hanya melakukan
pelatihan atau program khusus kepada kategori anak, yakni anak terlantar yang
sudah berada di panti dan mengundang beberapa anak jalanan untuk melakukan
pelatihan selama sehari sampai dua hari seperti menyablon, membuat gantungan
kunci dan lainnya. Upaya yang dilakukan dalam penanganan anak jalanan saat ini
di Kabupaten Tangerang hanya baru sebatas pendataan yang dilakukan oleh
TKSK (Tenaga Kerja Sosial Kecamatan) dan dilaporkan kepada Dinas Sosial.
Keempat, dengan melakukan program yang didasari oleh Peraturan
Daerah Nomor 12 Tahun 2007 dan untuk penanganan anak jalanan di Kabupaten
Tangerang, dinas sosial bekerjasama dengan berbagai pihak. Yakni panti yang
berada di Jayanti, yakni panti eks narkoba dan juga eks pekerja seks komersial,
yang kedua yakni Yayasan Hikmah Syaidah yaitu panti anak terlantar dan panti
146
untuk ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa). Dinas sosial belum melakukan
kerjasama yang optimal kepada dinas lain dalam penanganan anak jalanan, yakni
seperti belum pernah berkoordinasi kepada satuan polisi pamong praja dalam
melakukan penertiban anak jalanan.
Kelima, penanganan anak jalanan harus didukung dengan sumberdaya,
bahkan sumberdaya yang ada belum memadai untuk penanganan anak jalanan,
yakni dalam hal anggaran, maupun sumber daya manusia yang ada. Anggaran
yang ada belum mencukupi untuk memenuhi kebutuhan seluruh PMKS dan juga
untuk penanganan anak jalanan, dalam hal sumber daya manusia juga masih
kekurangan, yakni yang paling penting yakni terkait dengan sarana dan prasarana
yakni di Kabupaten Tangerang maupun di Provinsi Banten belum ada panti
khusus untuk anak jalanan.
Keenam, dalam hal ini Dinas Sosial Provinsi berperan sebagai penerus
penyampaian program yang diberikan oleh pemerintah pusat yaitu Kementerian
Sosial yang diteruskan kepada Dinas Sosial yang berada di Kabupaten/Kota di
Provinsi Banten serta memberikan pelatihan kepada Dinas Sosial
Kabupaten/Kota. Dinas Sosial Provinsi juga melakukan monitoring dan evaluasi
terhadap program-program yang ada. Monitoring dilakukan setiap tiga bulan
sekali, dan evaluasi dilakukan berbentuk laporan yang diberikan oleh Dinas Sosial
Kabupaten/Kota. Pengawasan yang dilakukan sesekali Dinas Sosial provinsi
banten mengunjungi penyandang masalah kesejahteraan yang sudah ada dalam
data yang berada di Kabupaten/Kota. Hasil yang diperoleh dari monitoring dan
evaluasi ini berguna untuk kebijakan yang akan datang, dan untuk mengetahui apa
147
yang menjadi kendala dalam implementasi program, dan mengetahui bagaimanan
kinerja dinas sosial lainnya.
Ketujuh, yakni jika terdapat anak jalanan di Yayasan Hikmah Syaidah
akan diperlalkukan sama dengan anak terlantar yakni diberikan ilmu agama serta
perbaikan akhlak anak jalanan, seperti shalat, mengaji, Kemudian diberikan
pengajaran seperti membaca dan menulis. Serta diberikan pelatihan seperti
perbengkelan, membuat batu akik dan lainnya.
4.6.3 Sources of Knowledge (Sumber Pengetahuan)
Sumber pengetahuan merupakan orang-orang dianggap mengetahui
program atau kebijakan yang ada yakni yang terdiri dari Professional (Tenaga
Ahli), Expertise (Keahlian), Guarantee (Jaminan) Pertama, bahwa sumber
pengetahuan sangat penting disertakan dalam pembuatan kebijakan agar kebijakan
yang diproduksi dapat berkualitas dan dapat meminimalisir kesalahan pada saat,
formulasi, implementasi, dan evaluasi program. Dalam peraturan ini sumber
pengetahuan tidak diikutsertakan dalam perumusan atau pada tahap formulasi.
Hanya stakeholder terkait saja yang memproduksi kebijakan.
Kedua, faktor pendukung dan faktot penghambat harus dijelaskan atau
dipaparkan dalam peraturan daerah ini. Yakni faktor pendukung peraturan daerah
ini yakni dan faktor penghambat yakni anggaran, manusia atau penyandang
masalah kesejahteraan sosial sendiri, misal jika dalam Program Keluarga Harapan
(PKH) terkadang situasi ini dimanfaatkan oleh keluarga yang ada karena mereka
menganggap sebagai ajimumpung.
148
Ketiga, solusi yang ditawarkan oleh harus dituntaskannya penanganan ini,
yakni dibuatkannya adanya keseriusan pemerintah dalam membuat startegi
panganan, serta melakukan perubahan atas peraturan daerah yang terkait,
dibuatnya SOP (Standar Operasional Prosedur) agar mengetahui sejauh mana
kebijakan dapat berhasil. Dibuatnya program yang teratur dan terarah yang
menyangkut semua aspek yakni anggaran maupun sumber daya manusia, dan
dibuatkannya panti khusus untuk membina anak jalanan.
Keempat, penangan anak jalanan yang tepat harus didasari oleh
masyarakat sekitar, yakni lembaga masyarakat atau organisasi lain yang menaungi
tentang anak saling bekerja sama untuk membuat rumah singah untuk anak
jalanan, rumah singgah yang tidak membatasi anak jalanan untuk melakukan
aktifitas mereka sehari-hari tetapi justru memberikan kemampuan atau
keterampilan kepada mereka secara lebih, serta bahwa jika masyarakat
mengandalkan pemerintah saja, maka penanganan anak jalanan akan berlangsung
secara lambat.
4.6.4 Sources of Legitimation (Sumber Pengesahan)
Sumber Pengesahan merupakan „kacamata‟ atau persepsi dari sudut
pandang yang berbeda yakni non pemerintah. Sumber pengesahan terdiri dari
Witness, Emancipation, dan Word View. Yakni organisasi yang menaungi anak
jalanan non pemerintah yaitu Save Street Children, Media yakni Media
Tribunnews dan Satelitnews, dan juga dari tokoh masyarakat yakni Lemabaga
Swadaya Masyarakat Gapura.
149
Pertama, belum adanya wadah atau tempat menampung aspirasi atau keluh
kesah, keinginan dan harapan anak jalanan yang dilakukan pemerintah maupun
non pemerintah, anak jalanan sekarang ini hanya baru menyampaikan
permasalahan hidupnya hanya disekitar anak-anak jalanan itu sendiri.
Kedua, latar belakang anak jalanan pada umumnya adalah dikarenakan
faktor keterbatasan ekonomi, karena mereka mau tidak mau harus membantu
kehidupan keuarganya dengan cara bekerja agar bisa memenuhi kehidupan
mereka sehari-hari. Selain latar belakang ekonomi yaitu terbiasanya karena faktor
lingkungan yang menjadikan anak menjadi anak jalanan. Sebagian besar anak
jalanan memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolah dan karena mereka tidak
bisa membagi waktu antara sekolah dan bekerja. Fakta menarik dari latar
belakang anak jalanan ini adalah mereka mengamen ataupun bekerja dan
menghabiskan sebagian waktunya di jalanan yaitu diketahui oleh orang tua
mereka masing-masing.
Ketiga, peraturan daerah nomor 12 tahun 2007 belum banyak diketahui
oleh anak jalanan, mereka tidak mengetahui bahwa ada peraturan daerah yang
mengatur kesejahteraan mereka, harapan mereka jika memang ada peraturan,
yakni pemerintah membina secara serius agar mereka mempunyai keahlian, dan
mereka diberikan modal untuk membuka usaha.
Keempat, sebagai non pemerintah media maupun lembaga yang menaungi
anak jalanan, yakni Media Tribunnews dan Satelitnews serta Save Street Children
belum berberan secara signifikan. Dalam pemberitaan yakni yang dilakukan oleh
150
kedua media tersebut, belum adanya pemberitaan tentang secara berkelanjutan,
media hanya memberitakan jika ada program besar yang dilakukan pemerintah.
Selanjutnya media secagai “social control” yakni kontrol sosial, memdia terus
memantau tentang perkembangan penanganan anak jalanan. Save Street Children
juga belum melakukan upaya yang maksimal, yakni belum adanya kerjasama
dengan pemerintah atau dengan lembaga lain, Save Street Children hanya baru
melakukan pengajaran dan bakti sosial kepada anak jalanan dan yang paling
krusial adalah belum adanya Save Street Children di Kabupaten Tangerang. Peran
yang juga belum melihat sigfikan yakni belum dilakukan oleh tokoh masyarakat
sekitar, lembaga swadaya masyarakat hanya baru melakukan bakti sosial, dan
menganggap tidak boleh melangkahi pemerintah sebagai pemegang kewenangan.
Kelima, persepsi dari pandangan non pemerintah ini menyebutkan bahwa
sebaiknya anak jalanan harus cepat terselesaikan, jika tidak akan terus bertambah
karena banyaknya urbanisasi dan tingkat pertumbuhan penduduk yang semakin
meningkat. Anak jalanan merupakan penerus bangsa, mereka harus dilindungi dan
diberikan kesejahteraan, karena mereka merupakan korban dari ketidakberdayaan
keluarga terutama secara ekonomi.
Keenam, penanganan yang dilakukan pemerintah terhadap penanganan
anak jalanan di Kabupaten Tangerang diungkapkan belum maksimal, dikarenakan
masih banyknya anak jalanan di Indonesia. Yang dicanangkan Meneteri Khofifah
yakni Indonesia bebas anak jalanan pada tahun 2017 dirasa belum mampu atau
belum berhasil. Pemerintah diharapkan mampu menangani permaslaah ini dengan
151
serius dan harus mempunyai strategi yang baik agar dapat menangani anak
jalanan secara maksimal dan keseluruhan.
Tabel 4.5
Temuan Lapangan
Boundary Categoried, Ulrich (dalam Riswanda 2016:9)
Dimensi Temuan Lapangan
Sources of motivation (Sumber motivasi 1. Pihak yang memproduksi Peraturan
Daerah Nomor 12 Tahun 2007 tentang
Penyandang Masalah Kesejahteraan
dalam penanganan anak jalanan di
Kabupaten Tangerang, yakni belum
dilakukan oleh Dewan Perkalian
Rakyat Daerah pada saat itu dan
disahkan oleh Kepala Daerah.
2. Pihak yang terlibat pada saat
perumusan kebijakan yakni hanyalah
instansi yang terkait pada saat itu
yakni DPRD, tidak melibatkan
akademisi maupun pihak luar lainnya.
3. Pihak yang terlibat dalam pelaksana
peraturan ini adalah Dinas Sosial, dan
152
Satuan Polisi Pamong Prajam namun
SATPOL PP tidak berlandaskan
Peraturan daerah tentang PMKS,
melainkan peraturan daerah tentang
ketertiban dan keamanan masyarakat.
4. Pihak yang mengawasi peraturan
daerah ini seharusnya oleh masyarakat
real, dan program-program yang
terlaksana diawasi oleh kepala dinas
sosial berbentuk pelaporan hasil
kegiatan dan oleh dinas sosial provinsi
yang berbentuk monitoring dan
evaluasi serta dalam bentuk pelaporan
data.
5. Tujuan dan manfaat adanya peraturan
ini adalah meningkatkan taraf hidup
masyarakat terutama penyandang
masalah kesejahteraan sosial, serta
masyarakat dapat memanfaatkan
program agar hidup lebih mandiri.
6. Sasaran peraturan daerah nomor 12
tahun 2007 ini yaitu seluruh
Penyandang Masalah kesejahteraan
153
sosial yakni ada 26 PMKS, baik
perorangan, maupun kelompok, yakni
kelompok kemiskinan, ketunaan,
ketelantaran, kelompok adat terpencil,
kelompok penyimpangan sosial,
korban bencana alam dan lainnya.
7. Yang terkena dampak dengan adanya
peraturan ini yakni tentunya dampak
positif, dengan adanya peraturan
daerah ini yakni masyarakat yang
sudah tersentuh atau sudah terkena
program kesejahteraan.
8. Pihak yang terlayani adalah seluruh
masyarakat penyandang masalah
kesejahteraan sosial.
9. Kendala dalam penyelenggaraan
peraturan daerah yang menjadi fokus
penelitian adalah belum adanya SOP
(Standar Operasional Prosedur)
sehingga tidak mengetahui sejauh
mana kebijakan dikatakan berhasil,
dan tidak optimalnya fungsi
koordinasi antar OPD (Organisasi
154
Perangkat Daerah) yang ada, dan
seharusnya penanganan anak jalanan
dilakukan secara multi artinya tidak
bisa dilakukan oleh satu Dinas. serta
belum adanya panti khusus
pembinaan anak jalanan
10. Pihak yang tertanggung jawab yakni
Dinas Sosial karena Dinas Sosial
merupakan Unit Pelaksana Teknis
(UPT).
11. Yang menjadi tolak ukur
keberhasilan program yakni
meningkatnya keberhasilaan atau
sasaran penyandang masalah
kesejahteraan, sekarang ini belum
dapat dikatakan berhasil karena
sekarang baru 9 PMKS yang menjadi
prioritas utama.
12. Dinas sosial belum melakukan upaya
yang maksimal hanya sebatas
pendataan anak jalanan dan
mengundang anak jalanan ke program
yang diperuntuk untuk anak terlantar
155
13. Kendala yang dihadapi dalam
penanganan anak jalanan yakni anak
jalanan yang berpindah-pindah tempat
dan sulit diatur karena kehidupan
mereka bebas.
Sources of Power (Sumber Kekuatan) 1. Pihak yang menjadi kekuatan tolak
ukur keberhasilan peraturan derah ini
yakni seluruh PMKS merasakan
program yang dibuat oleh pemerintah
dan dapat meningkatkan kualitas hidup
mereka.
2. Dinas sosial tidak mampu
mengajukan peraturan daerah khusus
pananganan anak jalanan karena
keterbatasan waktu dan biaya.
3. Peran yang dilakukan pemerintah
kabupaten tangerang yakni dinas sosial
belum optimal, penanganan
permasalahan yang terjadi juga belum
melakukan peran yang signifikan, yang
dilakukan hanya baru sekedar mendata
dan mengundang beberapa anak jalanan
untuk mengikuti program yang
156
diperuntukan untuk anak jalanan.
4. Pihak yang baru bekerjasama dengan
dinas sosial yakni panti yang berada di
Jayanti, yakni panti eks narkoba dan
juga eks pekerja seks komersial, yang
kedua yakni Yayasan Hikmah Syaidah
yaitu panti anak terlantar dan panti
untuk ODGJ (Orang Dengan Gangguan
Jiwa).
5. Dinas Sosial Provinsi berperan
sebagai penerus program yang
diberikan oleh pemerintah pusat yang
diteruskan kepada Dinas Sosial yang
berada di Kabupaten/Kota di Provinsi
Banten. Dinas Sosial Provinsi juga
melakukan monitoring dan evaluasi
terhadap program-program yang ada.
Monitoring dilakukan setiap tiga bulan
sekali, dan evaluasi dilakukan
berbentuk laporan yang diberikan oleh
Dinas Sosial Kabupaten/Kota.
Pengawasan yang dilakukan sesekali
Dinas Sosial provinsi banten
157
mengunjungi penyandang masalah
kesejahteraan yang sudah ada dalam
data yang berada di Kabupaten/Kota.
Hasil yang diperoleh dari monitoring
dan evaluasi ini berguna untuk
kebijakan yang akan datang, dan untuk
mengetahui apa yang menjadi kendala
dalam implementasi program, dan
mengetahui bagaimanan kinerja dinas
sosial lainnya.
Sources of Knowledge (Sumber
Pengetahuan)
1. Dalam peraturan ini sumber
pengetahuan tidak diikutsertakan
dalam perumusan atau pada tahap
formulasi. Hanya stakeholder terkait
saja yang memproduksi kebijakan.
2. Faktor pendukung dan faktot
penghambat harus dijelaskan atau
dipaparkan dalam peraturan daerah
ini. Yakni faktor pendukung
peraturan daerah ini yakni adanya
sasaran yang dicapai yaitu cukup
banyaknya penyandang masalah
158
kesejahteraan sosial dan faktor
penghambat yakni anggaran,
manusia atau penyandang masalah
kesejahteraan sosial sendiri, misal
jika dalam Program Keluarga
Harapan (PKH) terkadang situasi ini
dimanfaatkan oleh keluarga yang
ada karena mereka menganggap
sebagai ajimumpung.
3. solusi yang ditawarkan oleh harus
dituntaskannya penanganan ini,
yakni dibuatkannya perubahan atas
peraturan daerah yang terkait,
dibuatnya SOP (Standar Operasional
Prosedur) agar mengetahui sejauh
mana kebijakan dapat berhasil.
Dibuatnya program yang teratur dan
terarah yang menyangkut semua
aspek yakni anggaran maupun
sumber daya manusia, dan
dibuatkannya panti khusus untuk
membina anak jalanan.
Sources of Legitimation (Sumber 1. Belum ada wadah untuk menampung
159
Pengesahan suara atau keluhkesah serta keinginan
anak jalanan.
2. Latar belakang anak jalanan faktor
utamza yaitu keterbatasan ekonomi dan
selanjutnya yaitu faktor lingkungan
sekitar keluarga dan teman.
3. Anak jalananyang seharusnya
terkena program tidak mengetahui
tentang peraturan daerah tentang PMKS
yang mengatur kesejahteraan mereka,
dan mereka tidak merasakan dampat
apapun dengan adanya peraturan daerah
ini.
4. Belum adanya peran yang secara
maksimal dari non pemerintah,
pemberitaan yang dilakukan hanya
sekedar jika ada program besar mengenai
penanganan anak jalanan, dan yang di
lakukan Save Street Children baru
melakukan pengajaran dan bakti sosial
5. Persepsi non pemerintah mengenai
permasalahan anak jalanan ini yaitu anak
jalanan merupakan korban ketidak
160
berdayaan ekonomi keluarga, dan anak
jalanan harus secepatnya ditangani
sebelum semakin bertambahnya jumlah
anak jalanan yang semakin meningkat.
6. Harapan dari sumber pengesahan,
yakni mereka menginginkan Indonesia
bebas dari anak jalanan, serta anak-anak
tersebut mendapatkan penghidupan yang
layak secara materil maupun non materil.
Pemerintah harus serius dan benar-benar
bekerja keras terhadap penanganan anak
jalanan ini.
161
Tabel 4.6
Temuan Lapangan
Sebetulnya dan Seharusnya
Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2007 tentang Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial dalam Penanganan Anak Jalanan
No. Sebetulnya Seharusnya
1. Pelaksana maupun akademisi tidak terlibat
dalam perumusan kebijakan
Pelaksana maupun
akademisi terlibat dalam
perumusan kebijakan
2. Tidak ada koordinasi antara Dinas Sosial dan
Satuan Polisi Pamong Praja dalam
melakukan penertiban
koordinasi antara Dinas
Sosial dan Satuan Polisi
Pamong Praja dalam
melakukan penertiban
berjalan dengan baik
3. Program prioritas Dinas Sosial hanya 9
(sembilan) belum termasuk anak jalanan
Seluruh penyandang
masalah kesejahteraan
yakni sebanyak 26 (dua
puluh enam) menjadi
prioritas kebijakan
4. Belum adanya panti khusus pembinaan anak
jalanan di Kabupaten Tangerang maupun di
Provinsi Banten
Tersedianya panti khusus
pembinaan anak jalanan
minimal di Provinsi Banten
5. Tidak adanya rumah singgah untuk anak
jalanan
Minimal terdapatnya rumah
singgah untuk anak jalanan
6. Tidak adanya SOP (Standar Operasional
Prosedur)
Adanya SOP (Standar
Operasional Prosedur) agar
dapat berjalan dengan baik
7. Anak jalanan belum merasakan dampak
tentang penyelesaian penyandang masalah
kesejahteraan
Kesulitan masalah anak
jalanan dapat teratasi dan
merasakan dampak
positifnya
8. Belum adanya Lembaga swasta yang
bergerak menaungi anak
Adanya lembaga yang
menaungi permasalah anak
9. Pemerintah belum melakukan upaya yang
maksimal dalam penanganan anak jalanan
yang dapat di contoh dari kebijakan daerah
lain yang telah berhasil melakukan
penanganan anak jalanan
Pemerintah telah melakukan
upaya yang maksimal, dapat
dicontoh dari daerah lain
melalui model penanganan
anak jalanan
Sumber : Peneliti, 2017.
162
No. Sebetulnya
(temuan fakta actual di lapangan)
Seharusnya
(pada tataran ideal)
1. Pihak yang memproduksi peraturan
daerah ini hanyalah pemerintah
yang berwenang, dan disahkan oleh
Kepala Daerah.
Pihak yang seharusnya terlibat
dalam pembuatan kebijakan
seharusnya unsur pelaksana yakni
Dinas Sosial, Akademisi, maupun
dan Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial itu sendiri.
2. Tujuan peraturan daerah tenyang
penyandang masalah kesejahteraan
ini adalahmemberikan perlindungan
serta kesejahteraan bagi penyandang
masalah kesejahteraan, menjadikan
masyarakat mandiri memenuhi
kebutuhan hidupnya dan dapat
meningkatkan taraf kehidupannya
Memberikan perlindungan serta
kesejahteraan bagi penyandang
masalah kesejahteraan, menjadikan
masyarakat mandiri memenuhi
kebutuhan hidupnya dan dapat
meningkatkan taraf kehidupannya
3. Hal yang menjadi tolak ukur
keberhasilan program yaitu semua
penyandang masalah kesejahteraan
adalah seluruh penyandang masalah
kesejahteraan sosial telah terkenai
atau mendapatkan program
kesejahteraan
Yang menjadi tolak ukur
keberhasilan program yaitu semua
penyandang masalah kesejahteraan
semua aspek yakni sumber daya
yang ada harus lengkap atau cukup,
program yang diberikan pemerintah
menyeluruh kepada seluruh kategori
penyandang masalah kesejahteraan,
program berjalan dengan baik. Serta
memberikan dampak positif bagi
masyarakat.
4.
Sasaran utama dan menjadi program
prioritas pemerintah dalam hal ini
yakni Dinas Sosial hanya 9
(sembilan) Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial
Dalam hal ini yang seharusnya
menjadi sasaran dan menjadi
program prioritas 26 (dua puluh
enam) Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial
5. Yang terkena layanan atau yang
baru terlayani hanyalah penyandang
masalah kesejahteraan yang terkena
program
Seluruh penyandang kesejahteraan
merasa terlayani atas program yang
diberikan pemerintah.
6. Anggaran yang dimiliki belum
mampu untuk memenuhi seluruh
penyelesaian penyandang masalah
kesejahteran. Dalam hal sumber
Sumber daya yang harus terpenuhi
yaitu anggaran, sumber daya
manusia seperti tenaga ahli, dan
juga sarana dan prasarana.
163
daya manusia, juga kurang, yakni
tenaga ahli seperti Satuan Bakti
Pekerja Sosial, Tenaga Kerja Sosial
Masyarakat dan lainnya.
7. Dinas Sosial merupakan unsur
pelaksana atas Peraturan Daerah
Nomor 12 Tahun 2007
Pelaksana atas kebijakan ini adalah
seluruh OPD (Organisasi Perangkat
Daerah) yang terkait dan
berfungsinya koordinasi dengan baik
yakni dilakukan penertiban oleh
Satuan Polisi Pamong Praja dan
dibina oleh Dinas Sosial.
8. Pihak yang bertanggung jawab atas
peraturan daerah dalam
penyelesaian atau penanganan
terhadap penanganan anak jalanan
ini adalah Dinas Sosial
Pihak yang bertanggung jawab atas
penanganan terhadap penanganan
anak jalanan ini adalah Dinas Sosial,
masyarakat umum, dan juga
organisasi yang menaungi atau
melindungi anak
9. Dinas Sosial belum melakukan
upata yang maksimal, hanya
melakukan program terhadap anak
terlantar dan mengundang beberapa
anak jalanan untuk ikutserta dalam
kegiatan tersebut selama satu atau
dua hari. Kemudian hanya
melakukan pendataan atas laporan
Tenaga Kerja Sosial Kecamatan
Upaya yang dilakukan pemerintah
telah optimal, yakni program yang
diberikan secara terarah dan
terstruktur serta mendapat anggaran
untuk penanganan anak jalanan,
melakukan pembinaan dan
memberikan keterampilan kepada
anak jalanan.
10. Pihak yang berwenang mengambil
keputusan atas penanganan anak
jalanan yakni Kepala Dinas Sosial
Pihak yang berwenang mengambil
keputusan atas penanganan anak
jalanan yakni Kepala Dinas Sosial
11. Tidak terdapat rumah singgah atau
panti khusus anak jalanan dan tidak
terdapatnya wadah atau
penampungan untuk „voice‟ bagi
mereka
Terdapatnya rumah singgah atau
panti khusus anak jalanan, agar
dapat dibina secara fokus, dan
terdapatnya wadah atau
penampungan bagi mereka (anak
jalanan), seperti aspirasi,
keluhkesah, atau pengaduan
terhadap kriminalitas yang mereka
dapatkan dijalanan.
12. Tidak ada pemberitaan rutin, hanya
sesekali dilakukan pemberitaan
Media merupakan unsur yang
penting karena mempublikasikan
164
tentang anak jalanan oleh Media,
dan Organisasi yang menaungi anak
jalanan belum menjangkau
Kabupaten Tangerang.
dan menjadi sorotan bagi publik.
Media terus memantau terhadap isu
krusial termasuk anak jalanan dan
memberikan penayangan yang rutin.
Organisasi yang menaungi anak
jalanan menjangkau ke daerah yang
lebih luas termasuk daerah
Kabupaten Tangerang.
(Sumber : Peneliti, 2017)
165
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil temuan dilapangan dan hasil penelitian yang sudah
peneliti paparkan sebelumnya, maka kesimpulan akhir skripsi dengan judul
Critical Policy Analysis Peraturan Daerah Nomor 12 tahun 2007 tentang
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) dalam penanganan anak
jalanan di Kabupaten Tangerang, bahwa penanganan belum berjalan secara
optimal, dikarenakan masih banyak masalah yan timbul dan belum dapat
terselesaikan dengan baik. Mengenai Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2007
tentang Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) di Kabupaten
Tangerang, berdasarkan analisis peneliti masih terdapat beberapa kekurangan
dalam peraturan daerah yang tertulis tersebut, yaitu diantaranya ; belum adanya
petunjuk pelaksana dan teknis dalam peraturan daerah ini, tidak adanya kejelasan
secara rinci dan jelas pelaksana peraturan daerah ini, serta belum adanya rincian
secara jelas tugas masing-masing pelaksana, tidak dijelaskannya bentuk pelayanan
yang harus dilakukan oleh masing-masing pelaksana serta bentuk sanksi jika
menyalahi aturan, tidak dijelaskannya penanganan yang baik atau yang sesuai
untuk masing-masing penyandang masalah kesejahteraan sosial serta tolak ukur
atau ukuran keberhasilan untuk penanganan masing-masing penyandang masalah
kesejahteraan sosial untuk dikatakan bahwa penanganan yang dilakukan oleh
pelaksana telah dikatakan berhasil dan bentuk keberhasilan program untuk
166
penyandang masalah sosial, tidak dijelaskan bentuk evaluasi terhadap penyandang
masalah sosial dan waktu yang evaluasi. Berdasarkan analisis peneliti dan hasil
penelitian di lapangan, di dalam peraturan daerah hal-hal yang belum dijelaskan
seperti bentuk bantuan sosial, upaya pemulihan dan lainnya ditulis akan dijelaskan
pada Peraturan Bupati, namun sampai saat ini belum ada peraturan Bupati yang
mengatur keberlanjutan peraturan daerah ini.
Hal lain yang peneliti simpulkan dengan menggunakan Boundary
Categories menurut Ulrich (dalam Riswanda :2016), yaitu dengan melakukan
kebijakan publik berpijak pada 4 (empat) dimensi, yakni ; Sources of Motivation
(Sumber Motivasi), Sources of Power (Sumber Kekuatan), Sources of Knowledge
(Sumber Pengetahuan), dan Sources of Legitimation (Sumber Pengesahan).
1. Sources of motivation (Sumber motivasi) yang terdiri dari Stakeholder,
Purpose, dan Measure of improvement. Dapat disimpulkan bahwa dalam
yang memproduksi kebijakan yakni Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan
disahkan oleh Kepala Daerah pada Saat itu dengan tujuan dibuatnya
peraturan daerah ini yaitu untuk lebih mensejahterakan penyandang
kesejahteraan lebih mandiri, dan dapat hidup lebih baik secara materil
maupun non materil dan dapat meningkatkan taraf hidupnya. Serta ukuran
perbaikan keberhasilan yakni seluruh Penyandang Masalah Kesejahteraan
Sosial telah mendapatkan penanganan yang tepat dari pemerintah, dan
masyarakat terutama penyandang masalah kesejahteraan dapat
167
meningkatkan taraf hidupnya. Serta sasaran penanganan masalah
kesejahteraan dapat meningkat setiap tahunnya.
2. Sources of power (Sumber kekuatan) yang terdiri dari Decision-maker,
Resorces, Decision environment. Bahwa dalam Decision-maker atau yang
mengambil keputusan dalam penanganan anak jalanan yakni Kepala Dinas
Sosial, Resorces atau sumber daya dalam peraturan daerah ini khusunya
dalam penanganan anak jalanan, masih banyak kekurangan atau kendala,
yaitu belum adanya anggaran untuk menopang program secara
keseluruhan, serta sumberdaya manusia belum mencukupi untuk
penanganan anak jalanan maupun dalam penyelesaian untuk penyandang
masalah kesejahteraan sosial lainnya, dan belum adanya panti khusus
untuk penanganan dan pembinaan anak jalanan di Kabupaten Tangerang
maupun di Provinsi Banten. Serta dalam Decision environment (keputusan
lingkungan) bahwa yang dilakukan pelaksana dalam melakukan
penanganan belum maksimal, artinya pembuat keputusan belum
melakukan upaya terhadap fenomena yang terjadi dilingkungan sekitar.
3. Sources of knowledge (Sumber pengetahuan), dalam hal ini sumber
pengetahuan terdiri atas Professional, Expertise, dan Guarantee. Dalam
Professional yakni tenaga ahli yakni dilakukan oleh Satuan Bakti Pekerja
Sosial, (Saktipeksos), dilakukan pendataan oleh Tenaga Kerja Sosial
Kecamatan, Dinas Sosial, dan Yayasan Hikmah Syaidah, bahwa dalam
melakukan penanganan dapat dilakukan oleh pelaksana, namun belum
optimal. Selanjutnya bahwa jaminan dalam program ini yaitu terdapatnya
168
beberapa cara yang dapat dilakukan oleh pelaksana program, dan
disinyalir dapat menyelesaikan masalah kesejahteraan dan dalam
penanganan anak jalanan. Belum adanya jaminan dalam peraturan daerah
ini dan dalam pelaksanaannya, belum adanya jaminan keberhasilan
program yang diberikan oleh pemerintah. Dikarenakan dalam penanganan
anak jalanan, maka belum adanya kejelasan program yang diberikan
pemerintah, dalam penanganan terhadap masalah kesejahteraan, sumber
daya yang ada belum memadai.
4. Sources of legitimation (Sumber pengesahan), yang terdiri dari Witness,
Emancipation, serta Word View. Bahwa dalam peraturan daerah ini
seharusnya anak jalanan terkena dampak, namun anak jalanan tidak
merasakan dampak positif terhadap kesejahteraan mereka, dan mereka
tidak melakukan dampak negatif pula, hanya beberapa diantara mereka
terkena razia Satuan Polisi Pamong Praja. Selanjutnya terhadap
permasalahan anak jalanan ini seharusnya pemerintah melakukan stategi
yang sesuai agar penanganana anak jalanan dapat dilakukan dengan serius
oleh pemerintah terkait. Selanjutnya pandangan terhadap penanganan anak
jalanan ini belum dilakukan secara maksimal oleh pemerintah,
dikarenakan masih banyaknya terdapat anak jalanan di Kabupaten
Tangerang dan dapat dikatakan kehidupan mereka belum sejahtera.
5.2 Saran
Berdasarkan dari hasil kesimpulan pemaparan di atas, peneliti memberikan
saran untuk menjadi masukan dan pertimbangan untuk kebijakan selanjutnya
169
dalam Penanganan Anak Jalanan di Kabupaten Tangerang, adapun saran-saran
yang peneliti ajukan adalah sebagai berikut :
1. Dinas Sosial Kabupaten Tangerang harus membuat program yang
terstruktur dan terarah mengenai program apa yang harus dilakukan,
waktu, anggaran, sumberdaya manusia atau tenaga ahli dan lainnya,
untuk melakukan penanganan serta melakukan pembinaan kepada
anak jalanan. Penanganan yang dilakukan bisa melalui beberapa cara
yakni yang di pusatkan di “jalan”, dimana anak jalanan tersebut biasa
melakukan kegiatannya, tetapi pemerintah melakukan pendekatan.
Yang kedua, penanganan anak jalanan di fokuskan pada pemberian
bantuan sosial atau pemberdayaan keluarga dan memberikan
pengertian kepada keluarga untuk mencegah anaknya untuk tidak
kembali ke jalanan.
2. Harus dan kerjasama yang dilakukan adanya koordinasi oleh Dinas
Sosial dan Satuan Polisi Pamong Praja serta Organisasi Perangkat
Daerah (OPD) lain, melakukan rapat kerja cara penanganan dan
merazia secara tepat tanpa kekerasan, melaporkan data jumlah dan
latar belakang, dan melakukan monitoring dan evaluasi.
3. Pemerintah pusat harus membangun panti khusus untuk anak jalanan,
agar pembinaan yang dilakukan bisa secara maksimal. Minimal
Provinsi Banten mempunyai panti khusus anak jalanan. Agar
pembinaan dapat lebih terarah, panti harus layak tersedianya sarana
170
dan prasarana yang baik agar jika anak jalanan keluar dari panti
tersebut, mereka mempunyai keterampilan dan tidak kembali ke jalan.
4. Pemerintah harus melakukan perubahan terhadap Peraturan Daerah
Nomor 12 Tahun 2007 tentang Penyandang Masalah Kesejahteraan
Sosial, dengan melibatkan akademisi, dinas sosial karena dinas sosial
merupakan pelaksana dari kebijakan, dan juga penyandang masalah
kesejahteraan, agar dapat diketahui cara penanganan yang tepat untuk
menjawab permasalahan yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
A, Soedijar,. 1989. Pofil Anak Jalanan di DKI. Jakarta : Media Informatika
Agustino, Leo. 2008. Dasar-dasar Kebijakan Publik. Bandung : Alfabeta
Agustino, Leo. 2012. Dasar-dasar Kebijakan Publik. Bandung : Alfabeta
Black A dan Champion, J Dean. 2005. Metode & Masalah Penelitian Sosial. PT.
Refika Aditama
Davies, Peter. 1994. Hak-hak Asasi Manusia. Jakarta : Yayasan Obor
Denzin, K Norman & Yoanna, S, Lincoln. 2009. Handbook of Qualitative
Research. Yogyakarta. Pustaka Belajar
Irawan, Prasetya. 2006. Penelitian Kualitatif & Kuantitatif untuk Ilmu-ilmu
Sosial. Jakarta : DIA Fisip UI
Muhsin, Kalida. 2005. Sahabatku Anak Jalanan. Yogyakarta : Arief Press
Moleong, Lexy J. 2007. Metodelogi Penelitian Kualitiatif. Bandung : PT. Remaja
Rosdakarya.
Parsons, Wayne. Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan,
terj. Santoso, Tri Wibowo Budi (Jakarta, 2008).
Riswanda. 2016. Metode Penelitian Kebijakan (Publik): Critical Systemic
Discourse dalam Analisis Penelitian Kualitatif Kontemporer,
Handbook Metodologi Penelitian Kualitatif, CPMS Universitas
Parahyangan- Asosiasi Peneliti Kualitatif Indonesia (APKI).
Satori, Djam’an dan Komariah, Aan. 2009. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung
: Alfabeta
Silalahi, Ulber. 2010. Metode Penelitian Sosial. Bandung : Refika Aditama
Singgih, Susilo. 2005. Sumbangan Penghasilan Kerja Anak Jalanan Terhadap
Ekonomi Keluarga di Kota Surabaya, Malang & Mojokerto. Malang :
Letlitum
Soehartono, Irawan. 2004. Metode Penelitian Sosial. Bandung : PT. Remaja
Rosdakarya
Sudrajat, Tata. 1996. Anak Jalanan & Masalah Sehari-hari Sampai Ke
Bijaksanaan. Bandung : Yayasan Akatiga
Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif dan R&D. Bandung : Alfabeta
Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : Alfabeta
Suharto, Edi. 2010. Analisis Kebijakan Publik. Bandung : Alfabeta
Suharto, Edi. 2012. Analisis Kebijakan Publik. Bandung : Alfabeta
Suharto, Edi. 2012. Kebijakan Sosial Sebagai Publik . Bandung : Alfabeta
Suyanto, Bagong. 2010. Masalah Sosial Anak. Jakarta : Kencana
Wahab, Solihin Abdul. 2012. Analisis Kebijakan : Dari Formulasi ke Penyusunan
Model-Model Implementasi Kebijakan Publik. Jakarta: Bumi Aksara
Wasliman, lim. 2015. Kebijakan Pendidikan Dari Filosofi Ke Implementasi.
Bandung : Pustaka Setia.
Wibawa, Samodra. 2011. Politik Perumusan Kebijakan Publik. Yogyakarta :
Graha Ilmu
Winarno, B. 2007. Kebijakan Publik Teori dan Proses. Yogyakarta : Media
Persada
Dokumen:
Badan Pusat Statistik. 2015. Laju Pertumbuhan Penduduk Indonesia.
Badan Pusat Statistik Provinsi Banten. 2014. Profil Anak Provinsi Banten 2014.
Peraturan Daerah Kabupaten Tangerang Nomor 12 tahun 2007 tentang
Perlindungan Sosial Bagi Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2000 Tentang
Perlindungan Anak
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000 tentang Perlindungan Anak
Sumber :
Restiani, Dysa. 2014. Strategi Pelayananan Sosial Anak Jalanan Melalui
Pendampingan Luar Lembaga. Program Studi Kesejahteraan Sosial,
Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/26194/1/DYSA
%20RESTIANI-FDK.pdf. Tanggal Akses 2 Februari 2017
Widiyatmoko, Yayang Muchamad. 2012. Skripsi Evaluasi Penanganan Anak
Jalanan di Kota Cilegon. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Jawa Pos. 2016. Jumlah Anak Jalanan meningkat jadi 4,1 juta.
http://www.jawapos.com/read/2016/03/29/22330/jumlah-anak-jalanan-
meningkat-jadi-41-juta/1. Tanggal Akses 11 November 20116
Kabar 6. 2015. Dinsos Tangerang Siapkan Rumah Singgah Untuk Anjal.
www.kabar6.com/tangerang/kabupaten/11597-dinsos-tangerang-
siapkan-rumah-singgah-anjal/. Tanggal Akses 18 September 2016
Save The Children Indonesia. Anak Indonesia . http://www.savethechildren.or.id/.
Tanggal Akses 9 September 2016.
Tribunews. 2013 .Mensos Targetkan 2014 Indonesia Bebas Anak Jalanan.
http://www.tribunnews.com/nasional/2013/12/24/mensos-targetkan-
2014-
indonesia-bebas-anak-jalanan. Tanggal Akses 9 Desember 2016
Prakoso, Amriyono. 6 Oktober 2016 . Mensos targetkan 2017 Indonesia bebas
anak jalanan. http://www.tribunnews.com/nasional/2016/11/27/mensos-
targetkan-2017-indonesia-bebas-anak-jalanan . Tanggal Akses 11
November 2016
(Gambar Kegiatan Yayasan Hikmah Syaidah)
(Satuan Polisi Pamong Praja Menginterogasi Anak Jalanan)
(Satuan Polisi Pamong Praja melakukan Penegasan)
(Wawancara dengan Pengurus Yayasan Hikmah Syaidah)
(Tempat Belajar membuat Batu Akik, dan Bengkel, Yayasan Hikmah Syahadah)
(Setelah diwawancarai Indra melanjutkan
aktivitasnya)
(Wawancara dengan Informan Ibu Lili Amalia)
(Selesai Wawancara dengan Informan Bapak Endang Ramdhani)
(Wawancara dengan Ketua Tenaga Kerja Kesejahteraan Sosial)
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
1. Nama Lengkap : Faizah Noor
2. Jenis Kelamin : Perempuan
3. Agama : Islam
4. Status : Belum Menikah
5. Alamat Rumah : Kp. Bubulak Mekar Barti Rt :002
Rw:03, Kelurahan Mekar Bakti,
Kecamatan Panongan, Kabupaten
Tangerang, Provinsi Banten
6. E-mail : faizahnoor90@yahoo.com
7. Nama Ayah : Sofyan Noor
8. Nama Ibu : Darawati
9. Riwayat Pendidikan : - SD : SDN 4 Cikupa (2001-2007)
- SMP : SMPN 2 Cikupa (2007-2010
- SMA : SMAN 3 Kabupaten
Tangerang (2010-2013)
- Perguruan Tinggi : Fisip UNTIRTA
Ilmu Administrasi Negara (2013-2017)
Recommended