View
17
Download
5
Category
Preview:
DESCRIPTION
Desentralisasi
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pelaksanaan otonomi daerah yang telah digulirkan oleh pemerintah
sejak tahun 2001 membawa perubahan dalam pelaksanaan pemerintahan di
daerah. Salah satu perubahan itu adalah pemberian wewenang yang lebih luas
dalam penyelenggaraan beberapa bidang pemerintahan. Seiring dengan
bertambah luasnya kewenangan ini, maka aparat birokrasi pemerintahan di
daerah dapat mengelola dan menyelenggarakan pelayanan publik dengan lebih
baik sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Desentralisasi berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah diartikan sebagai penyerahan kewenangan
pemerintah oleh pemerintah kepada daerah otonom dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Sementara otonomi daerah adalah hak,
wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Pemerintahan daerah
menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya yang
merupakan limpahan pemerintah pusat kepada daerah. Meskipun demikian,
urusan pemerintahan tertentu seperti politik luar negeri, pertahanan, keamanan,
moneter dan fiskal nasional masih diatur pemerintah pusat.
Filosofi dari otonomi daerah adalah (1) eksistensi pemerintah daerah
adalah untuk menciptakan kesejahteraan secara demokratis; (2) setiap
kewenangan yang diserahkan ke daerah harus mampu menciptakan
kesejahteraan dan demokratis; (3) kesejahteraan dicapai melalui pelayanan
publik; (4) pelayanan publik dapat bersifat pelayanan dasar maupun bersifat
pengembangan sektor unggulan.
Sedangkan tujuan desentralisasi, yaitu (1) tujuan politik, untuk
menciptakan suprastruktur dan infrastruktur politik yang demokratik berbasis
pada kedaulatan rakyat. Diwujudkan dalam bentuk pemilihan kepala daerah,
dan legislatif secara langsung oleh rakyat; (2) tujuan administrasi, agar
pemerintahan daerah yang dipimpin oleh kepala daerah dan bermitra dengan
DPRD dapat menjalankan fungsinya untuk memaksimalkan nilai 4E yakni
efektivitas, efisiensi, equity (kesetaraan), dan ekonomi; (3) tujuan sosial
ekonomi, mewujudkan pendayagunaan modal sosial, modal intelektual dan
modal finansial masyarakat agar tercipta kesejahteraan masyarakat secara luas
(Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan, 2000).
Dengan otonomi daerah diharapkan pemberian pelayanan kepada
masyarakat akan dapat terwujud secara efektif dan efisien. Namun, hingga
sekarang kualitas pelayanan publik masih diwarnai oleh pelayanan yang sulit
untuk diakses, prosedur yang berbelit-belit ketika harus mengurus suatu
perijinan tertentu. Padahal desentralisasi merupakan alat mencapai tujuan
pemberian pelayanan publik yang lebih baik dan menciptakan proses
pengambilan keputusan yang lebih demokratis.
Kemudian, terdapat kecenderungan di berbagai instansi pemerintah
pusat yang enggan menyerahkan kewenangan yang lebih besar kepada daerah
otonom, akibatnya pelayanan publik menjadi tidak efektif, efisien dan
ekonomis, dan tidak menutup kemungkinan unit-unit pelayanan cenderung
tidak memiliki responsibilitas, responsivitas, dan tidak representatif sesuai
dengan tuntutan masyarakat, sebagai contoh pelayanan bidang pendidikan,
kesehatan, transportasi, fasilitas sosial, dan berbagai pelayanan di bidang jasa
yang dikelola pemerintah daerah belum memuaskan masyarakat, kalah
bersaing dengan pelayanan yang dikelola oleh pihak swasta.
Kejadian-kejadian tersebut lebih disebabkan karena paradigma
pemerintahan yang masih belum mengalami perubahan mendasar. Paradigma
lama tersebut ditandai dengan perilaku aparatur negara di lingkungan birokrasi
yang masih menempatkan dirinya untuk dilayani bukannya untuk melayani.
Padahal pemerintah seharusnya melayani bukan dilayani. Seharusnya era
demokratisasi dan desentralisasi saat ini, seluruh perangkat birokrasi, perlu
menyadari bahwa pelayanan berarti pula semangat pengabdian yang
mengutamakan efisiensi dan keberhasilan bangsa dalam membangun.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada penulisan ini adalah :
1. Bagaimana dinamika dan problematika pelayanan publik di era otonomi
daerah dan desentralisasi?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan ini yaitu untuk memberi gambaran singkat terkait
pelayanan publik di era otonomi daerah dan desentralisasi
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Isu Desentralisasi dan Otonomi Daerah adalah isu yang paling aktual
setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Daya tarik tersebut
tidak hanya karena desentralisasi adalah lawan sentralisasi, tetapi lebih dititik
beratkan pada kebijakan pemerintah orde baru yang sangat sentralistik. Konsep
desentralisasi memiliki dua pengertian yaitu desentralisasi politik dan
desentralisasi administratif. Desentralisasi politik diartikan sebagai penyerahan
kewenangan yang melahirkan daerah-daerah otonom, sedangkan desentralisasi
administratif merupakan penyerahan kewenangan pelaksanaan implementasi
program yang melahirkan wilayah-wilayah administratif, atau dengan kata lain
pendelegasian sebagian wewenang untuk melaksanakan program terhadap tingkat
yang lebih bawah. (Ichlasul Amal; 1990,8).
Ada beberapa pengertian desentralisasi. Leemans, misalnya, membedakan
dua macam desentralisasi: representative local government dan field
administration (Leemnas, 1970) Maddick mendefinisikan desentralisasi sebagai
proses dekonsentrasi dan devolusi (Maddick,1983).
Kebutuhan terhadap desentralisasi menurut Cheema and Rondinelli (1983)
didorong oleh beberapa faktor, yaitu :
(1) Kegagalan atau kurang efektifnya perencanaan yang terpusat dan pengawasan
sentral dalam pembangunan;
(2) Lahirnya teori-teori pembangunan yang lebih berorientasi kepada kebutuhan
manusia;
(3) Semakin kompleksnya permasalahan masyarakat yang tidak mungkin lagi
dikelola secara terpusat.
Lebih lanjut Ryass Rasyid mengatakan tentang desentralisasi bahwa “negara
yang sentralistik cenderung tidak mampu menjawab secara cepat dan tepat semua
kebutuhan berbagai kelompok masyarakat dan daerah”. Paradigma pemerintahan
dewasa ini berubah dengan pesat dan ada 5 (lima) pokok perubahan itu, yaitu:
(1) Sentralisasi dan desentralisasi perencanaan pembangunan;
(2) Pemerintahan besar ke pemerintahan kecil (Big Government ke Small
Government);
(3) Peningkatan Tax ke Penuntutan Tax;
(4) Privatisasi pelayanan (service), dan
(5) Social capital ke individual capital. (Rasyid; 1997,8)
Pandangan tersebut adalah langkah antisipasi menyikapi perubahan
(globalisasi dan demokratisasi) yang melanda kawasan dunia. Maka terhadap
kekuatan tersebut bagi negara yang berbentuk kesatuan maupun federal
jawabannya adalah “Desentralisasi”. Setiap makhluk hidup memerlukan otonomi,
demikian juga kelompok termasuk Negara dan daerah memerlukan otonomi. Jadi
otonomi adalah Suatu kesatuan social dinamakan otonomi manakala terdapat
suatu kesatuan tertentu, yang bebas bertindak atau memilih untuk bertindak, atau
tidak melakukan jika menyukai untuk melakukannya (Susilo;2000,8).
Selanjutnya Tri Ratnawati mengklasifikasikan 4 (empat) tujuan utama
desentralisasi, yaitu; (1) Bidang Ekonomi; dalam rangka mengurangi cost dan
menjamin pelayanan public lebih tepat sasaran; (2) Bidang Politik; dalam upaya
mengembangkan grassroots democracy dan mengurangi penyalahgunaan
kekuasaan oleh pusat serta diharapkan mencegah disintegrasi nasional; (3) Bidang
administrasi; dalam rangka red tape birokrasi dan pengambilan keputusan
menjadi lebih efektif; (4) Bidang Sosial Budaya; mengembangkan kebhinekaan
dan budaya lokal (Jurnal Otonomi Daerah;2002,2).
Devas (1997) menafsirkan terhadap desentralisasi ternyata sangat beragam,
dan pendekatan terhadap desentralisasipun sangat bervaiasi dari negara yang satu
ke negara yang lain. Tetapi, secara umum definisi dan ruang lingkup desentralisasi
selama ini banyak diacu adalah pendapat Rondinelli dan Bank Dunia (1999),
bahw desentralisasi adalah transfer kewenangan dan tanggung jawab fungsi-
fungsi pemerintahan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, lembaga
semi pemerintah, maupun kepada swasta.
2.2 Pelayanan Publik
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia dinyatakan bahwa “pelayanan”
adalah suatu usaha untuk membantu menyiapkan (mengurus) apa yang diperlukan
orang lain. Sedangkan pengertian service dalam Oxford (2000) didefinisikan
sebagai “a system that provides something that the public needs, organized by the
the government or a private company”. Menyimak pengertian tersebut, maka
pelayanan berfungsi sebagai sebuah sistem yang menyediakan apa yang
dibutuhkan oleh masyarakat.
Sementara istilah publik, yang berasal dari bahasa Inggris (public),
terdapat beberapa pengertian, yang memiliki variasi arti dalam bahasa Indonesia,
yaitu umum, masyarakat, dan negara. Public dalam pengertian umum atau
masyarakat dapat kita temukan dalam istilah public offering (penawaran umum),
public ownership (milik umum) dan public utility (perusahaan umum). Sedangkan
dalam pengertian “negara” salah satunya adalah public authorities (otoritas
negara), public building (bangunan negara), public revenue (penerimaaan negara).
Dalam hal ini, pelayanan publik merujukkan istilah publik lebih dekat pada
pengertian masyarakat atau umum. Namun demikian pengertian publik yang
melekat pada pelayanan publik tidak sepenuhnya sama dan sebangun dengan
pengertian masyarakat.
Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor
63/Kep/M.PAN/7/2003, memberikan pengertian pelayanan publik yaitu segala
kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik
sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan
ketentuan perundang-undangan. Selanjutnya dalam Oxford (2000) dijelaskan
pengertian public service sebagai a service such as transport or health care that a
government or an official organization provides fofrl people in general in a
particular society.
Pelayanan publik bisa dibedakan ke dalam tiga jenis : (1) menyediakan
sarana and prasarana sosial ekonomi, contoh pembangunan dan pemeliharaan
jalan, jembatan, saluran irigasi, bangunan sekolah, pasar dan sebagainya.
Sebagian besar masyarakat merasakan bahwa mereka menerima pelayanan ini
secara gratis, padahal mereka sudah membayarnya dengan membayar pajak; (2)
pelayanan dasar, contoh kesehatan dasar di puskesmas; (3) pelayanan administrasi
yang sifatnya mengatur saja, contoh pemberian KTP.
Pada prinsipnya pelayanan publik berbeda dengan pelayanan swasta.
Namun demikian terdapat persamaan diantara keduanya, yaitu :
a. Keduanya berusaha memenhi harapan pelanggan, dan mendapatkan
kepercayaannya;
b. Kepercayaan pelanggan adalah jaminan atas kelangsungan hidup organisasi.
Sementara karakteristik khusus dari pelayanan publik yang membedakan
dari pelayanan swasta adalah :
a. Sebagian besar layanan pemerintah berupa jasa, dan barang tak nyata.
Misalnya perijinan, sertifikat dan lain sebagainya.
b. Selalu terkait dengan jenis pelayanan-pelayanan yang lain, dan membentuk
sebuah jalinan sistem pelayanan yang berskala regional atau bahkan nasional.
c. Pelanggan internal cukup menonjol, sebagai akibat dari tatanan organisasi
pemerintah yang cenderung birokratis. Dalam dunia pelayanan berlaku prinsip
utamakan pelanggan eksternal lebih dari pelanggan internal. Namun situasi
nyata dalam hal hubungan antar lembaga pemerintahan sering memojokan
petugas pelayanan agar mendahulukan pelanggan internal.
d. Efisiensi dan efektivitas pelayanan akan meningkat seiring dengan
peningkatan mutu pelayanan.
e. Masyarakat secara keseluruhan diperlakukan sebagai pelanggan tak langsung
yang sangat berpengaruh kepada upaya-upaya pengembangan pelayanan.
f. Tujuan akhir dari pelayanan publik adalah terciptanya tatanan kehidupan
masyarakat yang berdaya untuk mengurus persoalannya masing-masing.
Nurcholis (2005:180) secara rinci membagi fungsi pelayanan publik ke dalam
bidang-bidang sebagai berikut :
a. Pendidikan;
b. Kesehatan;
c. Keagamaan;
d. Lingkungan: tata kota, kebersihan, sampah, penerangan;
e. Rekreasi : taman, teater, musium;
f. Sosial;
g. Perumahan;
h. Pemakaman;
i. Registrasi penduduk ;
j. Air minum;
k. Legalitas (hukum) seperti KTP, paspor, dll.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Pelayanan Publik di Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Di era desentralisasi dan otonomi daerah saat ini, seharusnya pelayanan
publik menjadi lebih responsif terhadap kepentingan publik, dimana paradigma
pelayanan publik beralih dari pelayanan yang sifatnya sentralistik ke pelayanan
yang lebih memberikan fokus pada pengelolaan yang berorientasi kepuasan
pelanggan (customer driven government) dengan ciri-ciri:
1. Lebih memfokuskan diri pada fungsi pengaturan melalui berbagai kebijakan
yang memfasilitasi berkembangnya kondisi kondusif bagi kegiatan pelayanan
kepada masyarakat;
2. Lebih memfokuskan diri pada pemberdayaan masyarakat sehingga masyarakat
mempunyai rasa memiliki yang tinggi terhadap fasilitas-fasilitas pelayanan
yang telah dibangun bersama;
3. Menerapkan sistem kompetensi dalam hal penyediaan pelayanan publik
tertentu sehungga masyarakat memperoleh pelayanan yang berkualitas;
4. Terfokus pada pencapaian visi, misi, tujuan dan sasaran yang berorientasi
pada hasil (outcomes) sesuai dengan masukan yang digunakan;
5. Lebih mengutamakan apa yang diinginkan oleh masyarakat;
6. Memberi akses kepada masyarakat dan resfonsif terhadap pendapat dari
masyarakat tentang pelayanan yang diterimanya;
7. Lebih mengutamakan antisipasi terhadap permasalahan pelayanan;
8. Lebih mengutamakan desentralisasi dalam pelaksanaan pelayanan; dan
9. Menerapkan sistem pasar dalam memberikan pelayanan
Pada dasarnya pemerintah telah melakukan berbagai upaya agar
menghasilkan pelayanan yang lebih cepat, tepat, manusiawi, murah, tidak
diskriminatif, dan transparan. Namun, upaya-upaya yang telah ditempuh oleh
pemerintah nampaknya belum optimal. Salah satu indikator yang dapat dilihat
dari fenomena ini adalah pada fungsi pelayanan publik yang banyak dikenal
dengan sifat birokratis dan banyak mendapat keluhan dari masyarakat karena
masih belum memperhatikan kepentingan masyarakat penggunanya.
Kemudian, pengelola pelayanan publik cenderung lebih bersifat direktif
yang hanya memperhatikan atau mengutamakan kepentingan pimpinan atau
organisasinya saja. Masyarakat sebagai pengguna seperti tidak memiliki
kemampuan apapun untuk berkreasi, suka tidak suka, mau tidak mau, mereka
harus tunduk kepada pengelolanya. Seharusnya, pelayanan publik dikelola dengan
paradigma yang bersifat supportif dimana lebih memfokuskan diri kepada
kepentingan masyarakatnya, pengelola pelayanan harus mampu bersikap menjadi
pelayan yang sadar untuk melayani dan bukan dilayani.
Menurut hasil survey yang dilakukan UGM pada tahun 2002, secara
umum stakeholders menilai bahwa kualitas pelayanan publik mengalami
perbaikan setelah diberlakukannya otonomi daerah, namun dilihat dari sisi
efisiensi dan efektifitas, responsivitas, kesamaan perlakuan (tidak diskriminatif)
masih jauh dari yang diharapkan dan masih memiliki berbagai kelemahan.
Berkaitan denga hal-hal tersebut, memang sangat disadari bahwa pelayanan
publik masih memiliki berbagai kelemahan, antara lain (Mohamad, 2003):
1. Kurang responsif. Kondisi ini terjadi pada hampir semua tingkatan unsur
pelayanan, mulai pada tingkatan petugas pelayanan (front liner) sampai
dengan tingkatan penanggung jawab instansi. Respon terhadap berbagai
keluhan, aspirasi, maupun harapan masyarakat seringkali lambat atau bahkan
diabaikan sama sekali.
2. Kurang informatif. Berbagai informasi yang seharusnya disampaikan kepada
masyarakat, lambat atau bahkan tidak sampai kepada masyarakat.
3. Kurang accessible. Berbagai unit pelaksana pelayanan terletak jauh dari
jangkauan masyarakat, sehingga menyulitkan bagi mereka yang memerlukan
pelayanan tersebut.
4. Kurang koordinasi. Berbagai unit pelayanan yang terkait satu sama lain sangat
kurang berkoordinasi. Akibatnya, sering terjadi tumpang tindih ataupun
pertentangan kebijakan antara satu instansi pelayanan dengan instansi
pelayanan lain yang terkait.
5. Birokratis. Pelayanan (khususnya pelayanan perijinan) pada umumnya
dilakukan dengan melalui proses yang terdiri dari berbagai level, sehingga
menyebabkan penyelesaian pelayanan yang terlalu lama. Dalam kaitan dengan
penyelesaian masalah pelayanan, kemungkinan staf pelayanan untuk
menyelesaikan masalah sangat kecil, dan di lain pihak kemungkinan
masyarakat untuk bertemu dengan penanggungjawab pelayanan, dalam rangka
menyelesaikan masalah yang terjadi ketika pelayanan diberikan, juga sangat
sulit. Akibatnya, berbagai masalah pelayanan memerlukan waktu yang lama
untuk diselesaikan.
6. Kurang mau mendengar keluhan/saran/aspirasi masyarakat. Pada umumnya
aparat pelayanan kurang memiliki kemauan untuk mendengar
keluhan/saran/aspirasi dari masyarakat. Akibatnya, pelayanan dilaksanakan
dengan apa adanya, tanpa ada perbaika dari waktu ke waktu.
7. Inefisinesi. Berbagai persyaratan yang diperlukan seringkali tidak relevan
dengan pelayanan yang diberikan.
Sementara itu, dari sisi kelembagaan, kelemahan utama terletak pada
disain organisasi yang tidak dirancang khusus dalam rangka pemberian pelayanan
kepada masyarakat, penuh dengan hirarki yang membuat pelayanan menjadi
berbelit-belit (birokratis), dan tidak terkoordinasi. Kecenderungan untuk
melaksanakan dua fungsi sekaligus, fungsi pengaturan dan fungsi
penyelenggaraan, masih sangat kental dilakukan oleh pemerintah, yang juga
menyebabkan pelayanan publik menjadi tidak efisien (Mohamad, 2003).
Dalam konteks kinerja birokrasi pelayanan publik di Indonesia,
pemerintah melalui Keptusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 81
Tahun 1995 telah memberikan berbagai rambu-rambu pemberian pelayanan
kepada birokrasi publik secara baik. Berbagai prinsip pelayanan, seperti
kesederhanaan, kejelasan, kepastian, keamanan, keterbukaan, efisien, ekonomis,
dan keadilan yang merata merupakan prinsip-prinsip pelayanan yang harus
diakomodasi dalam pemberian pelayanan publik di Indonesia. Prinsip
kesederhanaan misalnya, mempunyai maksud bahwa prosedur atau tata cara
pemberian pelayanan publik harus didesain sedemikian rupa sehingga
penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat menjadi mudah, lancar, cepat,
tidak berbelit-belit, mudah dipahami, dan mudah dilaksanakan.
Perbaikan kinerja birokrasi dalam memberikan pelayanan publik menjadi
isu yang semakin penting untuk segera mendapatkan perhatian dari semua pihak.
Birokrasi yang memiliki kinerja buruk dalam memberikan pelayanan kepada
publik akan sangat memengaruhi kinerja pemerintah dan masyarakat secara
keseluruhan dalam rangka meningkatkan daya saing suatu negara pada era global.
Tuntutan kesiapan birokrasi pelayanan di Indonesia untuk dapat menghadapi era
global sampai saat ini masih menjadi tanda tanya bagi banyak kalangan.
Karakteristik pelayanan pemerintah yang sebagian besar bersifat monopoli
sehingga tidak menghadapi permasalahan persaingan pasar menjadikan lemahnya
perhatian pengelola pelayanan publik akan penyediaan pelayanan yang
berkualitas. Lebih buruk lagi kondisi ini menjadikan sebagian pengelola
pelayanan memanfaatkan untuk mengambil keuntungan pribadi, dan cenderung
mempersulit prosedur pelayanannya. Akibat permasalahan tersebut, citra buruk
pada pengelolaan pelayanan publik masih melekat sampai saat ini sehingga tidak
ada kepercayaan masyarakat pada pengelola pelayanan. Kenyataan ini merupakan
tantangan yang harus sefera diatasu pada era persaingan bebas saat ini.
Profesionalitas dalam pengelolaan pelayanan publik dan pengembalian
kepercayaan masyarakat harus di segera diwujudkan.
Selain itu, terdapat lima gap yang perlu diperhatikan dalam setiap
pelayanan publik, (Pasrasuraman, 1985) yaitu:
1. Kesenjangan antara jasa yang dipersepsikan oleh manajemen dengan jasa yang
diharapkan oleh konsumen. Hal ini terjadi disebabkan karena kurang
dilakukannya survey akan kebutuhan pasar atau kurang dimanfaatkannya hasil
penelitian secara tepat serta kurang terjadinya interaksi antara penyedia
pelayanan dan pelanggan. Penyebab lainnya adalah kurang terjadinya
komunikasi antara pihak manajemen dengan petugas penyedia pelayanan
(customer contact personel), padahal dari merekalah paling banyak diperoleh
informasi tentang hal-hal yang menjadi harapan pelanggan. Terakhir adalah
faktor klasik dari terlalu banyaknya jenjang birokrasi dalam unit pelayanan
juga merupakan salahsatu faktor munculnya kesenjangan ini.
2. Kesenjangan antara persepsi manajemen dengan spesifikasi kualitas
pelayanan. Kesenjangan ini terjadi ketika komitmen manajemen kurang dalam
mewujudkan kualitas pelayanan, serta kurang tepatnya persepsi manajemen
terhadap kualitas pelayanan, serta kurang tepatnya persepsi manajemen
terhadap kualitas pelayanan yang diinginkan pelanggan, demikian pula dengan
tidak adanya standarisasi dalam penyediaan pelayanan, dan tidak adanya
penetapan tujuan yang jelas dalam penyediaan pelayanan.
3. Kesenjangan antara spesifikasi kualitas pelayanan dengan penyampaian
pelayanan. Kesenjangan ini terjadi karena muncul konflik peran dalam diri
pegawai dalam hal keinginan untuk memenuhi harapan pelanggan dengan
keinginan untuk memenuhi harapan pimpinan. Selain itu juga adalah teknologi
yang tidak sesuai dalam mendukung pelayanan, tidak ada evaluasi dan
penghargaan, serta kurang kerjasama internal.
4. Kesenjangan antara komunikasi eksternal kepada pelanggan dengan proses
penyampaian pelayanan. Penyebab kesenjangan ini adalah tidak adanya
komunikasi horizontal dalam organisasi, dan
5. Kesenjangan antara pelayanan yang diharapkan pelanggan (Expected Service)
dengan pelayanan yang dirasakan oleh pelanggan (Percieved service).
Kesenjangan ini menunjukan dan menggambarkan ukuran dari tingkat
kepuasan masyarakat terhadap kinerja organisasi pelayanan. Berbeda dengan
kesenjangan sebelumnya, kesenjangan ini menitikberatkan pada sisi
pelanggan.
Dengan melihat masih buruknya kinerja pelayanan publik di negara kita
ini, kiranya harus dicarikan jalan keluar yang terbaik antara lain dengan
memperhatikan gap-gap/kesenjangan-kesenjangan tersebut di atas sehingga
permasalahan-permasalahan tersebut di atas dapat diminimalisir, sehingga ke
depan, kinerja pelayanan publik diharapkan dapat memenuhi keinginan
masyarakat yaitu terciptanya pelayanan publik yang prima..
3.2 Paradigma Baru Pelayanan Publik
Sebagai bahan perbandingan perilaku birokrat yang tidak baik dan tidak
benar di negara-negara barat, khususnya di Amerika Serikat, Osborne dan Geebler
menyarankan reformasi dengan mengemukakan 10 prinsip fundamental
reinventing government dalam melakukan pembaharuan manajemen
pemerintahan:
1. Catalitic Government : Steering Rather Than Rowing. Bukan hanya
memfokuskan kepada pelayanan masyarakat, tetapi juga pada mengkatalisasi
semua sektor pemerintah, tetapi juga pada mengkatalisasi semua sektor
pemerintah, swasta dan lembaga swadaya kedalam tindakan untuk
memecahkan masalah masyarakat. Pemerintah katalisis memisahkan fungsi
pengarah dengan fungsi pelaksana, kemudian menggunakan berbagai
cara/metode agar organisasi publik mencapai tujuan, efisiensi, efektifitas,
persamaa, pertanggungjawaban dan fleksibilitas.
2. Community Own Govermen : Empowering Rather Than Serving. Masyarakat
diberdayakan, wewenang kontrol dialihkan kepada masyarakat yang menjadi
pemilik pemerintah. Dengan adanya kontrol dari masyarakat para pejabat akan
memiliki komitmen yang lebih baik, lebih peduli dan lebih kreatif dalam
memecahkan masalah.
3. Competitive Government : Injecting Competiton Into Service Delivery.
Memasyarakatkan persaingan diantara para penyampai jasa atau pelayanan
untuk bersaing berdasarkan kinerja dan harga. Kompetisi adalah kekuatan
fundamental untuk memaksa badan pemerintah melakukan perbaikan.
4. Mission Driven Government : Transforming Rule Driven Organization.
Pemerintah digerakkan oleh misi, bukan hanya oleh ketentuan dan peraturan.
Manajemen pemerintah berorientasi misi melakukan deregulasi internal,
menghapus banyak peraturan internal dan menyederhanakan sistem
administrasi seperti anggaran keuangan, kepegawaian dan pengadaan.
Diisyaratkan semua unit kerja mendapatkan misi yang jelas dan setiap manajer
diberi kebebasan untuk menemukan cara terbaik mewujudkan misi tersebut
dalam batas-batas legal.
5. Result Oriented Government : Funding Outcomes Not Input. Pemerintah yang
berorientasi pada hasil mengubah fokus kepada input yaitu kepatuhan pada
peraturan dan membelanjakan uang sesuai ketetapan anggaran dan aturan
formal keuangan menjadi berfokus kepada akuntabilitas output/hasil. Kinerja
badan publik diukur, menetapkan target dan memberi imbalan kepada unit
kerja yang mencapai atau melebihi target.
6. Costumer Driven Government : Meeting The Need of The Customer, Not The
Bureaucracy. Melakukan survey pelanggan, menentukan standar pelayanan.
Dengan masukan dari para pelanggan, melakukan redesign organisasi untuk
menyampaikan pelayanan paling baik kepada para pelanggan.
7. Enterprising Government : Earning Rather Than Spending. Dalam
menjalankan manajemen bukan hanya menghabiskan uang anggaran tetapi
juga memfokuskan energi kepada menghasilkan uang. Meminta kepada
masyarakat yang dilayani untuk membayar, menuntut return of invesment,
juga memanfaatkan sistem insentif yang berlaku.
8. Anticipatory Government : prevention rather than cure. Pemerintah antisipatif
adalah pemerintah yang berpikir ke depan. Mencegah timbulnya masalah
daripada memberikan pelayanan untuk mengatasi masalah, manajemen
pemerintah menggunakan perencanaan yang strategis, pemberian isi masa
depan dan berbagai metode lain untuk melihat masa depan.
9. Decentralized Government : From Hirarchy to Participation and team work.
Mendelegasikan wewenang dan melaksanakan manajemen partisipatif,
mendorong pelaksana untuk lebih berani membuat keputusan sendiri.
10. Market oriented government : Leveraging change through the market.
Manajemen pemerintahan konvensional memecahkan masalah melalui
mekanisme administratif, seperti melakukan kontrol, memberi perintah,
menyampaikan pelayanan dengan menggunakan peraturan, manajemen
pemerintah berorientasi pasar sering memanfaatkan struktur pasar swasta
untuk memecahkan masalah, seperti menciptakan insentif uang para pembayar
pajak dini.
Mengakhiri penjelasan 10 prinsip tersebut, Osborne dan Geebler
mengemukakan putting it all together. Sepuluh prinsip yang dikemukakan diatas
adalah peta dalam melakukan perubahan dalam segala bidang. Sepuluh prinsip
tersebut adalah kerangka baru, cara berpikir baru, paradigma baru yang
mengintegrasikan pasar dengan sektor publik untuk melakukan perubahan
fundamental dalam pemerintahan.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Di era demokratisasi dan desentralisasi saat ini, seluruh perangkat
birokrasi perlu menyadari bahwa pelayanan berarti pula semangat pengabdian
yang mengutamakan efisiensi dan keberhasilan bangsa dalam membangun yang
dimanifestasikan antara lain dalam perilaku “melayani, bukan dilayani”,
“mendorong bukan menghambat”, “mempermudah bukan mempersulit”.
Pemerintah harus merubah paradigma lamanya dari yang dilayani menjadi
pelayanan dan pengabdi masyarakat.
Peningkatan kualitas pelayanan publik yang dilakukan di daerah-daerah
seyogyanya dapat diwujudkan melalui terbentuknya komitmen moral yang tinggi
dari seluruh aparatur daerah dan dukungan stakeholders lainnya. Kuatnya
komitmen kepemimpinan khususnya para kepala daerah dengan didukung oleh
staf atau tim internal yang berfungsi sebagai pemikir dan mitra dialog kepala
daerah, secara signifikan akan mampu mengoptimalisasi terwujudnya peningkatan
kualitas pelayanan publik di daerahnya.
Sumber daya yang ada merupakan daya dukung yang signifikan demi
lancarnya pelayanan yang berkualitas. SDM yang terampil memiliki wawasan
serta sisi kemanusiaan yang kuat misalnya emphaty adalah faktor utama dari
sumber daya yang harus dimiliki terlebih dahulu. Guna menjalankan organisasi
memerlukan daya dukung keuangan dan teknologi maju terutama di bidang ICT
dan tampilan sidik seperti gedung yang feasible dapat mempengaruhi citra
kuatnya komitmen pemerintah dalam memberikan pelayanan yang berkualitas
kepada masyarakat.
Melibatkan masyarakat untuk secara aktif mengawasi, mengevaluasi dan
memberi masukan akan menumbuhkan suasana hubungan antara warga dengan
pemberi pelayanan terbina secara harmonis di mana sikap birokrasi menjadi lebih
terbuka, jujur, transparan, serta tidak diskriminatif.
Recommended