View
2
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
e-Jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan
ISSN: 2302-3600
e-JRTBP ISSN: 2302-3600
DEWAN REDAKSI
e-JURNAL REKAYASA DAN TEKNOLOGI BUDIDAYA PERAIRAN
Penasehat
Dekan Fakultas Pertanian Universitas Lampung
Pembantu Dekan I Fakultas Pertanian Universitas Lampung
Pembantu Dekan II Fakultas Pertanian Universitas Lampung
Pembantu Dekan III Fakultas Pertanian Universitas Lampung
Penanggung Jawab
Ir. Siti Hudaidah, M.Sc
Pimpinan Redaksi Eko Efendi, ST, M.Sc
Penyunting Ahli
Ketua Yudha T Adiputra, S.Pi, M.Si
Anggota
Indra Gumay Yudha, S.Pi, M.Si, Ir. Suparmono, MTA, Muh. Mohaimin, S.Pi,
M.Si, Wardiyanto, S.Pi, MP, Supono, S.Pi, M.Si, Qadar Hasani, S.Pi, M.Si,
Tarsim, S.Pi, M.Si, Henni Wijayanti, S.Pi, M.Si,Berta Putri, S.Si, M.Si, Rara
Diantari, S.Pi, M.Sc, Herman Yulianto, S.Pi,M.si, Limin Santoso, S.Pi, M.Si,
Agus Setyawan, S.Pi, MP
Penyunting Teknis Mahrus Ali, S.Pi, MP
Keuangan dan Sirkulasi Esti Harpeni, ST, MAppSc
Alamat Redakasi
Jurusan Budidaya Perairan
Fakultas Pertanian Universitas Lampung
Jl. Prof. Dr. Soemantri Brodjonegoro No.1 Bandar Lampung 35145
Email : jrtbp@yahoo.com
e-Jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan
ISSN: 2302-3600
e-JRTBP ISSN: 2302-3600
PANDUAN UNTUK PENULIS
e-JURNAL REKAYASA DAN TEKNOLOGI BUDIDAYA PERAIRAN
JURUSAN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
e-JRTBP menerima naskah dalam bentuk hasil penelitian (artikel ilmiah), catatan
penelitian, dan pemikiran konseptual baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa
Inggris. Naskah hasil penelitian maksimum 12 halaman (suntingan akhir)
termasuk gambar dan tabel. Naskah yang disetujui untuk dimuat akan dibebani
kontribusi biaya sebesar Rp 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah) per
empat halaman pertama, selebihnya ditambah Rp 50.000,- (lima puluh ribu
rupiah) per halaman.
Tata Cara Pengiriman Naskah
Naskah yang dikirim haruslah naskah asli dan harus jelas tujuan, bahan yang
dipergunakan, maupun metode yang diterapkan dan belum pernah dipublikasikan
atau dikirimkan untuk dipublikasikan di mana saja. Naskah diketik dengan
program MS-Word dalam satu spasi dikirim dalam bentuk soft copy dengan
format doc/docx dan pdf .
Naskah diketik dua spasi pada kertas ukuran A4, pias 2 cm dan tipe huruf Times
New Roman berukuran 12 point, diketik 2 kolom kecuali untuk judul dan
abstrak. Setiap halaman naskah diberi nomor halaman secara berurutan. Ilustrasi
naskah (gambar atau tabel) dikelompokkan pada lembaran terpisah di bagian akhir
naskah dan ditunjukkan dengan jelas posisi ilustrasi dalam badan utama naskah.
Setiap naskah harus disertai alamat korespondensi lengkap. .Para peneliti,
akademis maupun mahasiswa dapat mengirimkan naskah ke:
e-Jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan
Jurusan Budidaya Perikanan
Fakultas Pertanian Universitas Lampung
Jl. Soemantri Brojonegoro No. 1 Bandar Lampung
Lampung 35144
E-mail: jrtbp@yahoo.com .
Catatan: Editor tidak berkewajiban mengembalikan naskah yang tidak dimuat.
Penyiapan Naskah
Judul naskah hendaknya tidak lebih dari 15 kata dan harus mencerminkan
isi naskah. Nama penulis dicantumkan di bawah judul. Jabatan, nama, dan
alamat instansi penulis ditulis sebagai catatan kaki di bawah halaman
pertama.
e-Jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan
ISSN: 2302-3600
e-JRTBP ISSN: 2302-3600
Abstrak merupakan ringkasan penelitian dan tidak lebih dari 250 kata,
disajikan dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Kata kunci
maksimum 5 kata dan diletakkan pada bagian abstrak.
Pendahuluan secara ringkas menguraikan masalah-masalah, tujuan dan
pentingnya penelitian. Jangan menggunakan subbab.
Bahan dan Metode harus secara jelas dan ringkas menguraikan penelitian
dengan rincian secukupnya sehingga memungkinkan peneliti lain untuk
mengulangi percobaan yang terkait.
Hasil disajikan secara jelas tanpa detail yang tidak perlu. Hasil tidak boleh
disajikan sekaligus dalam tabel dan gambar.
Tabel disajikan dalam Bahasa Indonesia dan Inggris, dengan judul di
bagian atas tabel dan keterangan. Data dalam tabel diketik menggunakan
program MS-Excel.
Gambar, skema, diagram alir, dan potret diberi nomor urut dengan angka
Arab. Judul dan keterangan gambar diletakkan di bawah gambar dan
disajikan dalam Bahasa Indonesia dan Inggris.
Kesimpulan disajikan secara ringkas dengan mempertimbangkan judul
naskah, maksud, tujuan, serta hasil penelitian.
Daftar Pustaka disusun berdasarkan abjad tanpa nomor urut dengan urutan
sebagai berikut: nama pengarang (dengan cara penulisan yang baku).
Acuan pustaka yang digunakan maksimal berasal dari acuan yang
diterbitkan dalam 10 tahun terakhir. Daftar lengkap acuan pustaka disusun
menurut abjad, diketik satu spasi, dengan tata cara penulisan seperti
contoh-contoh berikut:
Jurnal
Heinen, J.M., D’Abramo, L.R., Robinette, H.R., and Murphy, M.J. 1989.
Polyculture of two sizes of freshwater prawns (Macrobrachium
rosenbergii) with fingerling channel catfish (Getalurus punctatus). J.
World Aquaculture Soc. 20(3): 72–75.
Buku
Dunhan, R.A. 2004. Aquaculture and Fisheries Biotechnology:
Genetic Approaches. Massachusetts: R.A. Dunhan Press. 34 p.
Bose, A.N., Ghosh, S.N., Yang, C.T., and Mitra, A. 1991. Coastal
Aquaculture Engineering. Oxford & IBH Pub. Co. Prt. Ltd., New
Delhi. 365 p.
Artikel dalam buku
Collins, A. 1977. Process in Acquiring Knowledge. Di dalam: Anderson,
R.C., Spiro, R.J., and Montaque, W.E. (eds.). Schooling and the
Acquisition of Knowledge. Lawrence Erlbaum, Hillsdale, New Jersey. p.
339–363.
e-Jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan
ISSN: 2302-3600
e-JRTBP ISSN: 2302-3600
Artikel dalam Prosiding
Yovi EY, Takimoto Y, Matsubara C. 2007. Promoting Alternative
Physical Load Measurement Method. Di dalam: Proceedings of
Agriculture Ergonomics Development Conference; Kuala Lumpur, 26–29
November 2007. p. 309–314 .
Tesis/Disertasi
Simpson, B.K. 1984. Isolation, Characterization and Some Application of
Trypsin from Greenland Cod (Gadus morhua). PhD Thesis. Memorial
University of New Foundland, St. John’s, New Foundland, Canada. 179 p.
Paten
Muchtadi TR, Penemu; Institut Pertanian Bogor. 9 Mar 1993. Suatu
Proses untuk Mencegah Penurunan Beta Karoten pada Minyak Sawit. ID
0 002 569.
Ucapan terima kasih (jika diperlukan). Ditujukan kepada instansi dan
atau orang yang berjasa besar terhadap penelitian yang dilakukan dan tulis
dalam 1 alinea serta maksimum 50 kata.
e-Jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan
ISSN: 2302-3600
e-JRTBP ISSN: 2302-3600
PERNYATAAN PEMINDAHAN HAK MILIK
Ketika naskah diterima untuk dipublikasikan, Hak Milik dipindahkan ke e-
Jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan. Pemindahan Hak Milik
memindahkkan kepemikikan eksklusifuntuk mereproduksi dan mendistribusikan
naskah, termasuk cetakan lepas, penerjemahan, reproduksi fotografi, mikrofilm,
material elektronik (offline maupun Online) atau bentuk reproduksi lainnya yang
serupa dengan aslinya.
Penulis menjamin bahwa artikel adalah asli dan bahwa penulis memiliki
kekuatan penuh untuk mempublikasikannya. Penulis menandatangani dan
bertanggungjawab untuk melepaskan bahan naskah sebagian atau keseluruhan
dari semua penulis. Jika naskah merupakan bagian dari skripsi mahasiswa, maka
mahasiswa tersebut wajib menandatangani persetujuan bahwa pekerjaannya akan
dipublikasikan.
Judul Naskah
Title of Article
: ……………………………………………………………
……………………………………………………………
……………………………………………………………
……………………………………………………………
……………………………………………………………
Penulis
Author
: 1. .………………………………………………
2. .………………………………………………
3. ………………………………………………
4. ………………………………………………
Tanda Tangan Penulis
Author’s Signature
: 1. ………………………………………………
2. ………………………………………………
3. ………………………………………………
4. ………………………………………………
Tanda Tangan
Mahasiswa
Student’s Signature
:
Tanggal
Date
: ……………………………………………………………
e-Jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan Volume II No 2 Februari 2014
ISSN: 2302-3600
DAFTAR ISI
Volume 2 Nomor 2 Februari 2014
Penerapan Teknik Imotilisasi Benih Ikan Nila (Oreochromis niloticus)
Menggunakan Ekstrak Daun Bandotan (Ageratum conyzoides) Pada
Transportasi Basah
Musfirotun Aini, Mahrus Ali dan Berta Putri.......................................…
217 - 226
Pemanfaatan Kompos Kulit Kakao (Theobroma cacao) untuk Budidaya
Daphnia sp.
Arif Wibowo, Henni Wijayanti dan Siti Hudaidah....................................
227 - 232
Substitusi Tepung Onggok Singkong Sebagai Bahan Baku Pakan Pada
Budidaya Nila (Oreochromis niloticus)
Dodi Rahmad Afebrata, Limin Santoso dan Suparmono….………………
233 - 240
Pertumbuhan Diaphanasoma sp. Yang Diberi Pakan Nannochloropsis sp.
Sri Susilowati…………………………………………………………………..
241 - 248
Imunogenisitas Kombinasi Vaksin Inaktif Whole Cell Aeromonas
salmonicida dan Jintan Hitam (Nigella sativa) Pada Ikan Mas (Cyprinus
carpio)
Nur` Ani Okta Trilia, Agus Setyawan, Y.T. Adiputra dan Wardiyanto…
249 - 258
Efek Pelarut Yang Berbeda Terhadap Toksisitas Ekstrak Akar Tuba
(Derris elliptica)
Oktarinaldi Irawan, Eko Efendi dan Mahrus Ali …....……………………..
259 - 266
Pemanfaatan Bioflok Dari Limbah Budidaya Lele Dumbo (Clarias
gariepinus) Sebagai Pakan Nila (Oreochromis niloticus)
Nani Septiani, Henni Wijayanti Maharani dan Supono……………………
267 - 272
Pengaruh Salinitas dan Nitrogen Terhadap Kandungan Protein Total
Nannochloropsis sp.
Nindri Yahrti, Moh. Muhaemin dan Siti Hudaidah………………….….
273 - 278
Penggunaan Tepung Onggok Singkong Yang Difermentasi dengan
Rhizopus sp. sebagai Bahan Baku Pakan Ikan Nila Merah (Oreochromis
niloticus)
Reni Antika, Siti Hudaidah dan Limin Santoso……………..….………..
279 - 284
Identifikasi Parasit pada Ikan Badut (Amphiprion percula) di Balai Besar
Pengembangan Budidaya Laut Lampung
Rina Hesti Utami, Agus Setyawan, Rara Diantari dan Siti Hudaidah…..
285 - 288
e-Jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan Volume II No 2 Februari 2014
ISSN: 2302-3600
DAFTAR ISI
Volume 2 Nomor 1Oktober 2013
Pemanfaatan Pupuk Cair TNF® Untuk Budidaya Nannochloropsis sp
Leonardo Bambang Diwi Dayanto, Rara Diantari dan Siti Hudaidah…
163 - 168
Pengaruh Metil Metsulfuron Terhadap Sel Darah Merah Ikan Patin Siam
(Pangasius hypopthalmus)
Qorie Astria, Henni Wijayanti Maharani dan Berta Putri ….……………
169 - 174
Pengaruh Metil Metsulfuron Terhadap Jaringan Insang Patin Siam
(Pangasius hypopthalmus)
Lisa Novalia , Berta Putri dan Henni Wijayanti Maharani..……………
175 - 178
Substitusi Tepung Ikan Dengan Tepung Daging Dan Tepung Tulang Untuk
Pertumbuhan Lobster Air Tawar (Cherax quadricarinatus)
Yuriska Selviani , Limin Santoso dan Siti Hudaidah ..…………………
179 - 184
Pengaruh Vitamin C Dan E Terhadap Kandungan Asam Lemak Bebas
Telur Ikan Baung (Mystus nemurus)
Sudarmono , Tarsim dan Siti Hudaidah …………...................................
185 - 190
Penggunaan Tepung Daging Dan Tulang Sebagai Alternatif Sumber
Protein Hewani Pada Pakan Ikan Nila Merah (Oreochromis niloticus)
Afat Abdiguna , Limin Santoso , Wardiyanto dan Suparmono ….………
191 - 196
Perubahan Jaringan Organ Ikan Komet (Carrasius auratus) Yang Di
Infeksi Dengan Aeromonas hydrophila
Rahmat Yulianto , Y. T. Adiputra , Wardiyanto dan Agus Setyawan….
197 - 204
Imunogenisitas Heat Killed Vaksin Inaktif Aeromonas salmonicida Pada
Ikan Mas (Cyprinus carpio)
Fredi Wintoko, Agus Setyawan, Siti Hudaidah dan Mahrus Ali….……
205 - 210
Kandungan Protein Total (Crude Protein) Brachionus plicatilis Dengan
Pemberian Pakan Nannochloropsis sp. Pada Kondisi Stress Lingkungan
Mikro (Micro Environmental Stress)
Irza Dewi Sartika , Moh. Mohaemin dan Henni Wijayanti Maharani ...
211 - 216
e-Jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan Volume II No 2 Februari 2014
ISSN: 2302-3600
© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014
PENERAPAN TEKNIK IMOTILISASI BENIH
IKAN NILA (Oreochromis niloticus) MENGGUNAKAN EKSTRAK DAUN
BANDOTAN (Ageratum conyzoides) PADA TRANSPORTASI BASAH
Musfirotun Aini *†, Mahrus Ali‡ dan Berta Putri‡
ABSTRAK
Transportasi benih nila (Oreochromis niloticus) merupakan tahapan penting dalam
keberhasilan pembesaran nila. Pemanfaatan bahan pembius lokal seperti daun
bandotan (Ageratum conyzoides) dilakukan untuk mengantisipasi permasalahan
transportasi basah berupa aktivitas metabolisme benih yang tinggi yang
menyebabkan stres dan sintasan benih menjadi rendah. Penelitian bertujuan untuk
mengetahui konsentrasi ekstrak daun bandotan yang paling baik untuk teknik
imotilisasi dan pengaruhnya terhadap tingkat sintasan benih ikan nila. Penelitian ini
menggunakan rancangan acak lengkap dengan perlakuan A (0 mg/L), B
(1,585 mg/L ekstrak daun bandotan), C (2,512 mg/L ekstrak daun bandotan), dan
D (3,982 mg/L ekstrak daun bandotan), masing-masing perlakuan 6 ulangan.
Parameter yang diamati adalah uji toksisitas, kecepatan pingsan, lama pulih sadar,
tingkat kelangsungan hidup, kecepatan pertumbuhan dan kualitas air (suhu, oksigen
terlarut dan pH). Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi ekstrak daun
bandotan antar perlakuan berbeda nyata (P>0,01) terhadap periode imotilisasi, lama
waktu pulih sadar, sintasan setelah transportasi dan pemeliharaan. Konsentrasi
ekstrak daun bandotan antar perlakuan tidak berbeda nyata (P<0,05) terhadap
kecepatan pertumbuhan harian benih nila. Konsentrasi yang sesuai untuk teknik
imotilisasi sebesar 3,982 mg/L dengan tingkat kelangsungan hidup benih 95,55%.
Kata kunci : daun bandotan, ekstrak, benih nila, imotilisasi, pembesaran
Pendahuluan
Kegiatan budidaya nila (Oreochromis
niloticus) semakin diminati oleh
pembudidaya ikan air tawar sehingga
memberikan kontribusi produksi
komoditas utama perikanan budidaya
* Mahasiswa Jurusan Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Lampung † Email : musfirotun.aini@yahoo.com ‡ Dosen Jurusan Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Lampung Alamat: Jl.Sumantri
Brojonegoro Gedong Meneng Bandar Lampung 35145
air tawar terbanyak. PPL-LIPI (2013)
menyebutkan bahwa kontribusi
produksi nila di Indonesia pada tahun
2012 sebesar 37% atau mencapai
684.400 ton. Jumlah kontribusi
produksi ikan nila lebih banyak
dibandingkan komoditas utama lainnya
218 Penerapan Teknik Imotilisasi Benih Ikan Nila
© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014
seperti lele (Clarias sp.) sebesar 22%
(407.700 ton), ikan mas (Cyprinus
carpio) 20% (375.200 ton), patin
(Pangasius sp.) sebesar 16% (300.300
ton), dan gurame (Osphronemus
gouramy) 3,78% (69.500 ton). Hal
inilah yang menjadi salah satu penyebab
semakin meningkatnya permintaan
benih nila sehingga penyediaan benih
ikan harus secara kontinu.
Salah satu tahapan dalam penyediaan
benih adalah kegiatan transportasi
benih, terutama jika lokasi budidaya
berjauhan dengan panti benih. Kegiatan
transportasi benih umumnya dilakukan
dengan kepadatan yang tinggi untuk
menghemat biaya. Namun dalam
aplikasinya, kepadatan ikan yang tinggi
mengakibatkan benih ikan menjadi stres
dan lebih rentan mengalami kematian.
Hal tersebut dikarenakan kepadatan
yang tinggi menyebabkan aktivitas
metabolisme ikan meningkat dan
konsumsi oksigen menjadi tinggi
sehingga oksigen terlarut menurun.
Selain itu, guncangan di perjalanan
selama transportasi berlangsung juga
menjadi faktor penyebab ikan menjadi
stres.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan
untuk mengantisipasi ikan stres adalah
dengan menekan aktivitas metabolisme
tubuh ikan serta konsumsi oksigen
selama transportasi namun tetap
mempertimbangkan aspek keamanan
dan kesehatan ikan. Selain itu pula
menjaga kondisi ikan agar tetap tenang
akibat guncangan diperjalanan. Upaya
yang dilakukan dikenal dengan
imotilisasi. Menurut Suryaningrum dkk.
(2005), imotilisasi merupakan suatu
kegiatan untuk menurunkan atau
menekan aktivitas metabolisme dan
respirasi biota perairan menggunakan
suhu rendah dan bahan antimetabolit.
Bahan antimetabolik terdiri dari bahan
sintetis dan alami. Penggunaan bahan
alami tidak menyebabkan residu
sebagaimana menurut Chotimah dkk.
(2009), bahwa bahan antimetabolik
alami seperti daun bandotan (Ageratum
conyzoides) tidak terjadi akumulasi
residu di dalam tubuh ikan karena
mudah dikeluarkan kembali. Selain itu
pula, bahan alami mudah diperoleh dan
harga relatif murah. Salah satu bahan
alami yang dapat digunakan sebagai
bahan antimetabolik alami adalah
ekstrak daun bandotan.
Daun tanaman bandotan diketahui
mengandung metabolit sekunder seperti
golongan alkaloid dan aromatik. Salah
satu sifat golongan alkaloid adalah
analgesik seperti flavonoid, saponin,
treonin, dan morfin, sedangkan
golongan aromatik kebanyakan dari
kelompok senyawa fenol yang
memberikan efek relaksasi dan
menimbulkan daya halusinasi seperti
etanol dan polifenol (Kamboj and
Saluja, 2010). Menurut Kardono dan
Artanti (2003), bahwa daun bandotan
bandotan mempunyai efek spasmolitik
dan analgesik serta memberikan
pengaruh relaksasi pada otot polos.
Hasil penelitian oleh Arindra (2007),
menyatakan bahwa daun bandotan
dapat memberikan pengaruh
menenangkan pada ikan mas sehingga
mengurangi ekskresi produk metabolik.
Penelitian dilakukan untuk mengetahui
konsentrasi ekstrak daun bandotan yang
paling baik untuk teknik imotilisasi dan
pengaruhnya terhadap tingkat sintasan
benih ikan nila. Penambahan ekstrak
daun bandotan pada media transportasi
basah diharapkan dapat meminimalisir
stres dan kematian ikan.
Bahan dan Metode
Penelitian dilaksanakan pada April
sampai Oktober 2013 di Laboratorium
Budidaya Perikanan Fakultas Pertanian
Universitas Lampung. Bahan yang
digunakan benih nila ukuran 3-5 cm,
daun bandotan, dan oksigen murni.
Musfirotun Aini, Mahrus Ali dan Berta Putri 219
© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014
Penelitian eksperimen menggunakan
rancangan acak lengkap dengan 6
ulangan terdiri dari 3 perlakuan
konsentrasi (1,585 mg/L, 2,512 mg/L,
3,982 mg/L ekstrak daun bandotan), dan
1 kontrol (0 mg/L).
Tahapan penelitian pendahuluan berupa
persiapan dan seleksi benih yang
diaklimatisasi dan diberok selama 24
jam sebelum digunakan. Selanjutnya
ekstraksi daun bandotan dilakukan
menurut metode Pramono (2002)
menggunakan daun berwarna hijau tua
yang dikeringkan dan dihaluskan lalu
mencampurkan daun bandotan yang
telah halus dengan akuades sebanyak 1
L. Rendemen berupa 37 gram serbuk
ekstrak daun bandotan didapat dari
perbandingan daun bandotan dan
akuades 1:2.
Penentuan selang konsentrasi dilakukan
untuk mendapatkan konsentrasi ambang
atas dan ambang bawah. Pengujian
toksisitas ekstrak dinyatakan dengan
median lethal concentration (LC-50)
dengan melakukan uji toksisitas
menggunakan metode probit.
Penelitian utama berupa kegiatan
imotilisasi benih ikan menggunakan
sistem media air (basah) dengan bahan
antimetabolik ekstrak daun bandotan.
Imotilisasi dilakukan terhadap 15 ekor
benih nila dalam 24 akuarium 30 x 20 x
30 cm dengan air ¾ bagian akuarium,
dan konsentrasi ekstrak daun bandotan
yang sesuai. Selanjutnya diamati efek
dari penggunaan ekstrak daun bandotan
dengan mencatat lama waktu imotilisasi
(kecepatan pingsan) dan mengukur
kualitas airnya. Pengemasan dilakukan
dengan memasukkan benih yang telah
imotil (pingsan) ke dalam kantung
plastik berisi akuades yang diberi
oksigen murni lalu diikat rapat dengan
karet. Kantung plastik yang berisi benih
dimasukkan kedalam styrofoam yang
pada bagian sudut-sudutnya diberi es
batu untuk menjaga suhunya.
Selanjutnya styrofoam ditutup rapat
dengan lakban. Selanjutnya dilakukan
simulasi transportasi selama 6 jam
berdasarkan ukuran benih dan
kepadatan yang digunakan (Ismail dan
Sudrajat, 1992).
Pengamatan waktu pulih sadar
dilakukan pada 24 akuarium 30 x 20 x
30 cm dengan air bersih ¾ bagian
akuarium, lalu diamati lama waktu pulih
sadar dan diukur kualitas airnya serta
dilanjutkan dengan penghitungan
sintasan. Pemeliharaan dilakukan
selama 30 hari agar pertumbuhan benih
ikan dapat terlihat dan untuk
mengetahui apakah adanya pengaruh
ekstrak daun bandotan terhadap
pertumbuhan benih ikan nila dengan
pemberian pakan dua kali sehari.
Parameter yang diamati berupa
toksisitas ekstrak daun bandotan,
kecepatan imotilisasi, waktu pulih
sadar, sintasan, pertumbuhan, dan
kualitas air (suhu, oksigen terlarut dan
pH). Data kemudian dianalisis dengan
analisis sidik ragam ANOVA dan
dilanjutkan uji BNJ (Beda Nyata Jujur)
untuk mengetahui perbedaan antar
perlakuan. Uji BNJ dilakukan karena
koifisien keragaman lebih besar dari
nilai F-ratio 5%.
Hasil dan Pembahasan
Toksisitas Daun Bandotan
Ekstrak daun bandotan yang termasuk
dalam kategori toksik (Tabel 1) untuk
benih nila terdapat dalam ekstrak
dengan konsentrasi 6,311 mg/L yang
menyebabkan kematian hingga 51,1%,
dan konsentrasi 10,002 mg/L yang
menyebabkan kematian hingga 100%
dalam waktu 24 jam. Hasil perhitungan
median lethal concentration (LC-50)
pada waktu selang 24 jam didapatkan
konsentrasi yang menyebabkan
kematian benih ikan nila hingga 50%
220 Penerapan Teknik Imotilisasi Benih Ikan Nila
© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014
adalah 5,297 mg/L. Sehingga penelitian
selanjutnya berupa konsentrasi dibawah
sub lethal yaitu 1,585 mg/L, 2,512
mg/L, dan 3,982 mg/L.
Bahan-bahan antimetabolik alami yang
digunakan untuk imotilisasi atau
pemingsanan ikan salah satunya yaitu
ekstrak daun bandotan dengan jumlah
konsentrasi tertentu tidak menyebabkan
residu bagi tubuh ikan. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Chotimah dkk.
(2009), bahwa penggunaan daun
bandotan dengan jumlah tertentu untuk
imotilisasi benih ikan mas selama
transportasi berguna untuk mengurangi
stres dan menekan laju metabolisme
ikan, namun tidak menyebabkan
terjadinya akumulasi residu dalam
tubuh ikan karena mudah dikeluarkan
kembali.
Penggunaan bahan antimetabolik
dengan jumlah terlalu banyak menurut
Anastasia (2009) dapat menyebabkan
residu yang merusak beberapa organ
(insang, syaraf, ginjal, dan otak), stres
berkepanjangan, cenderung menjadi
racun, dan mengakibatkan kematian
pada ikan.
Tabel 1. Persentase Mortalitas Benih Ikan Nila Pada Uji Pendahuluan
Ulangan Konsentrasi Ekstrak Daun Bandotan (mg/L)
0 1,585 2,512 3,982 6,311 10,002
1 0 0 0 7 13 30
2 0 0 0 9 14 30
3 0 0 0 6 19 30
Jumlah 0 0 0 7,33 15,33 30
Mortalitas (%) 0 0 0 24,43 51,10 100
Kecepatan Pingsan
Hasil uji kecepatan pingsan (Gambar 1)
diperoleh dari perlakuan dengan waktu
tercepat sampai terlama sebagai berikut:
3,982 mg/L (23,06 menit), 2,512 mg/L
(28,06 menit), dan 1,585 mg/L (31,59
menit). Perlakuan 0 mg/L (kontrol)
tidak diberikan ekstrak daun bandotan
sehingga ikan tidak dipingsankan.
Berdasarkan hasil uji statistik pada
selang kepercayaan 99% menunjukkan
bahwa perlakuan 0 mg/L (kontrol)
memberikan pengaruh yang berbeda
nyata terhadap perlakuan 1,585 mg/L,
2,512 mg/L, dan 3,982 mg/L. Hasil
penelitian yang didapatkan
menunjukkan bahwa waktu tercepat
dalam imotilisasi terjadi pada
konsentrasi tertinggi yaitu 3,982 mg/L
dengan waktu selama 23,06 ± 5,87
menit. Periode imotilisasi yang didapat
tidak berbeda jauh dengan penggunaan
bahan-bahan antimetabolik alami
lainnya yang masih belum termasuk
dalam kategori bahan anestesi ideal
karena tidak mampu memingsankan
ikan dalam waktu 3 menit. Pernyataan
tersebut sesuai dengan Fauziah (2006),
waktu pemingsanan ikan mas dengan
minyak cengkeh 20 tetes didapatkan
waktu 8 menit 19 detik. Selain itu
penelitian yang dilakukan Pramono
(2002), menggunakan ekstrak Caulerpa
sertularoides dengan konsentrasi 22,8%
dan 35,1% dapat memingsankan ikan
hingga 100% dalam waktu 30 menit.
Daun tanaman bandotan berpotensi
sebagai bahan antimetabolik alami
dikarenakan mengandung metabolit
sekunder. Menurut Kamboj and Saluja
(2010), daun bandotan memiliki
senyawa organik dari golongan alkaloid
dan aromatik yang bersifat analgesik
dan dapat menimbulkan daya halusinasi
serta relaksasi.
Kualitas air sebelum ditambahkan
Musfirotun Aini, Mahrus Ali dan Berta Putri 221
© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014
ekstrak daun bandotan masih berada
dalam ambang layak untuk
kelangsungan hidup benih ikan nila,
sedangkan kualitas air media untuk
imotilisasi yang ditambahkan ekstrak
daun bandotan mengalami penurunan
pada suhu dan oksigen terlarut saat
imotilisasi (Tabel 2.). Penurunan suhu
hingga 24ºC diduga karena pada saat
dilakukan imotilisasi cuaca sedang
dingin (hujan) dan juga kandungan
golongan senyawa alkohol (C2H6O)
dalam daun bandotan yang
menyebabkan suhu media perlakuan
menjadi dingin. Penurunan oksigen
terlarut (DO) disebabkan benih nila
menjelang pingsan mengalami
peningkatan konsumsi oksigen sehingga
oksigen berkurang.
Tabel 2. Parameter Kualitas Air Sebelum dan Sesudah Penambahan Ekstrak Daun
Bandotan
Parameter
Konsentrasi (mg/L) Optimal*
0 1,585 2,512 3,982
SB ST SB ST SB ST SB ST
Suhu (°C) 27 27 27 24 26 24 27 24 25-30
pH 7,3 7,3 7,4 6,5 7,5 6,6 7,3 6,4 5-11
DO(mg/L) 5,4 5,6 5,5 4,6 5,5 4,5 5,7 4,7 >5 Keterangan:
* Sumber : Rukmana, 1997
SB: Kualitas air sebelum penambahan ekstrak daun bandotan ST: Kualitas air setelah penambahan ekstrak daun bandotan
Gambar 1. Lama waktu imotilisasi benih nila (Oreochromis niloticus)
menggunakan berbagai konsentrasi ektrak daun bandotan (Ageratum
conyzoides).
Lama Waktu Pulih Sadar
Berdasarkan hasil pengamatan waktu
pulih sadar benih ikan nila didapatkan
kecenderungan semakin banyak
konsentrasi yang diberikan maka waktu
pulih sadar yang dicapai semakin lama.
Hal tersebut sesuai dengan pernyataan
Tahe (2008), bahwa semakin tinggi
konsentrasi bahan anestesi yang
diberikan pada ikan maka waktu pulih
sadar semakin lama.
Hasil penelitian menunjukkan adanya
pengaruh penambahan ekstrak daun
bandotan terhadap waktu pulih sadar
benih ikan. Waktu pulih sadar terlama
sampai tercepat sebagai berikut: 3,982
mg/L (12,26 menit), 2,512 mg/L (8,53
menit), dan 1,585 mg/L (6,59 menit).
222 Penerapan Teknik Imotilisasi Benih Ikan Nila
© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014
Perlakuan 0 mg/L ikan tidak
dipingsankan (tetap sadar). Berdasarkan
hasil uji statistik pada selang
kepercayaan 99% menunjukkan bahwa
perlakuan 0 mg/L (kontrol) memberikan
pengaruh yang berbeda nyata terhadap
perlakuan 1,585 mg/L, 2,512 mg/L, dan
3,982 mg/L.
Lama pulih sadar benih ikan nila
menggunakan ekstrak daun bandotan
dalam penelitian ini termasuk kategori
berhasil namun belum ideal karena
hanya mampu menyadarkan dalam
waktu 10 menit atau <10 menit tetapi
belum belum mampu mencapai ± 5
menit. Hal ini sesuai dengan Pramono
(2002), bahwa kepulihan ikan sampai
gerakan renangnya normal
membutuhkan waktu 10 menit atau <10
menit dan tidak ditemukan adanya
kematian ikan selama 15 menit setelah
pembongkaran bila pada konsentrasi
yang efektif.
Pengamatan parameter kualitas air pada
pulih sadar masih dalam kisaran yang
optimal untuk kelangsungan hidup
benih ikan nila. Kualitas air yang
optimal sangat mendukung proses
pemulihan sadar sehingga waktu pulih
sadar benih ikan nila semakin cepat
(Tabel 3.)
Gambar 2. Lama Waktu Pulih Sadar Benih Ikan Nila (Oreochromis niloticus)
Tabel 3. Parameter Kualitas Air Pulih Sadar
Parameter Konsentrasi (mg/L) Optimal*
0 1,585 2,512 3,982
Suhu (°C) 27 27 26 27 25-30
pH 7,3 7,4 7,5 7,3 5-11
DO (mg/L) 5,4 5,5 5,5 5,7 >5 * Sumber : Rukmana, 1997
Survival Rate Uji Simulasi Transportasi
Hasil penelitian menunjukkan survival
rate (Gambar 3) yang tertinggi sampai
terendah secara berturut-turut adalah
3,982 mg/L (95,55%), 2,512 mg/L
(90%), 1,585 mg/L (66,67%), dan 0
mg/L (17,77%). Berdasarkan hasil uji
statistik pada selang kepercayaan 99%
menunjukkan bahwa perlakuan 0 mg/L
(kontrol) memberikan pengaruh yang
berbeda nyata terhadap perlakuan 1,585
mg/L, 2,512 mg/L, dan 3,982 mg/L.
Survival rate tertinggi terdapat pada
perlakuan 3,982 mg/L. Konsentrasi
ekstrak daun bandotan yang tinggi dapat
mempertahankan kelangsungan hidup
benih ikan nila, dapat menurunkan laju
metabolisme dan konsumsi oksigen
sehingga mampu mencegah tingkat
kematian benih ikan nila selama
Musfirotun Aini, Mahrus Ali dan Berta Putri 223
© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014
transportasi. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Arindra (2007), bahwa
khasiat daun bandotan sebagai bahan
antimetabolik alami terhadap ikan mas
memberikan pengaruh menenangkan
sehingga mengurangi ekskresi produk
metabolik kedalam air. Selain itu suhu
pada styrofoam untuk simulasi
transportasi 15°C dengan menggunakan
es batu dimaksudkan untuk menjaga
kondisi ikan agar tetap tenang dan
mempertahankan bahan aktif dari
ekstrak daun bandotan sehingga lebih
lama pengaruhnya terhadap ikan. Suhu
tersebut telah berhasil menghantarkan
benih ikan nila melewati fase panik
sehingga benih ikan selama transportasi
tetap dalam keadaan tenang.
Konsentrasi 0 mg/L (kontrol)
menunjukkan adanya benih ikan nila
yang masih bertahan hidup dengan
survival rate sebesar 17,77%. Benih
ikan nila yang masih bertahan diduga
dikarenakan sebelum dilakukan
simulasi transportasi ikan mengalami
pemberokan. Pemberokan dapat
menyebabkan metabolisme ikan tidak
terlalu tinggi sehingga ikan masih
memiliki energi yang cukup untuk
melakukan aktivitas normal setelah
transportasi. Hal tersebut sesuai dengan
pernyataan Fujaya (2004), bahwa
adanya pemberokan sebelum
transportasi menyebabkan penurunan
kerja dari otot polos sehingga
mempengaruhi sistem pencernaan.
Gambar 3. Survival Rate Simulasi Transportasi
Kecepatan Pertumbuhan Harian
Hasil pengamatan selama pemeliharaan
benih nila (Gambar 4) menunjukkan
kecepatan pertumbuhan ikan yang
tertinggi sampai terendah secara
berturut-turut adalah sebagai berikut:
1,585 mg/L (0,25 gram/hari), 3,982
mg/L (0,23 gram/hari), 2,512 mg/L
(0,21 gram/hari), dan 0 mg/L (0,07
gram/hari).
Berdasarkan hasil uji statistik pada
selang kepercayaan 95% menunjukkan
bahwa konsentrasi ekstrak daun
bandotan tidak memberikan pengaruh
yang berbeda nyata terhadap
pertumbuhan benih nila. Pemeliharaan
benih ikan nila dilakukan untuk
mengetahui apakah adanya pengaruh
ekstrak daun bandotan terhadap
pertumbuhan benih nila. Berdasarkan
pengamatan, perlakuan ekstrak daun
bandotan tidak berpengaruh terhadap
pertumbuhan benih nila, hal ini ditandai
dengan kondisi benih nila pada setiap
perlakuan masih mengalami
pertambahan berat tubuh.
Perlakuan 0 mg/L menunjukkan
kecepatan pertumbuhan sebesar 0,07
gram/hari yang merupakan nilai
terendah. Hal ini dikarenakan jumlah
benih ikan yang terdapat pada perlakuan
0 mg/L banyak yang mengalami
kematian setelah dilakukan transportasi
yaitu dengan jumlah benih yang masih
224 Penerapan Teknik Imotilisasi Benih Ikan Nila
© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014
hidup berjumlah 3 ekor, sehingga nilai
rata-rata pertambahan berat sangat
rendah dibanding pada perlakuan yang
lainnya. Perlakuan konsentrasi 2,512
mg/L menunjukkan kecepatan
pertumbuhan 0,21±0,18 gram/hari.
Kecepatan tersebut lebih rendah
dibandingkan dengan perlakuan ekstrak
daun bandotan lainnya, namun lebih
tinggi jika dibandingkan dengan
kontrol. Pertumbuhan benih nila pada
perlakuan 3,982 mg/L didapatkan
kecepatan pertumbuhan sebesar
0,23±0,18 gram/hari. Kecepatan
pertumbuhan benih nila tertinggi
didapatkan pada perlakuan konsentrasi
1,585 mg/L sebesar 0,25±0,2 gram/hari.
Perlakuan dengan konsentrasi yang
tinggi yaitu 2,512 mg/L dan 3,982 mg/L
dengan kecepatan pertumbuhan relatif
lebih rendah dari perlakuan 1,585 mg/L
diduga karena kualitas air pemeliharaan
menjadi kurang baik. Keadaan tersebut
mengakibatkan benih ikan nila cukup
mengalami kesulitan untuk beradaptasi
dengan media pemeliharaan sehingga
nafsu makan benih ikan nila menjadi
berkurang.
Rendahnya nafsu makan benih nila
menyebabkan pakan yang dimakan oleh
ikan sangat sedikit sehingga energi yang
digunakan untuk pertumbuhan menjadi
sangat sedikit. Hal tersebut sesuai
dengan pernyataan Fujaya (2004),
bahwa dari sejumlah makanan yang
dimakan oleh ikan, hanya 10% saja
yang digunakan untuk ikan tumbuh atau
menambah berat tubuh, sedangkan
lainnya digunakan untuk tenaga atau
menjadi feses. Sisa makanan dan pakan
yang tidak dimakan akan menjadikan
media pemeliharaan keruh dan
penurunan kualitas air meskipun telah
dilakukan penyiponan setiap hari
sehingga menghambat pertumbuhan
benih ikan nila.
Pengamatan kualitas air selama
pemeliharaan masih dalam kisaran yang
optimal untuk pertumbuhan ikan nila.
Suhu yang didapatkan selama
pemeliharaan sebesar 27 – 28ºC. pH
selama pemeliharaan didapatkan
sebesar 7,4 – 7,6 dan oksigen terlarut
yang didapatkan selama pemeliharaan
sebesar 6,2 – 6,3 mg/L. Kualitas air
sangat berpengaruh terhadap kecepatan
pertumbuhan harian. Selain itu suhu air
pada masing-masing perlakuan selama
penelitian tidak berbeda sehingga
respon ikan terhadap pakan yang
diberikan cenderung tidak mengalami
perbedaan
.
Gambar 4. Kecepatan Pertumbuhan Harian
Musfirotun Aini, Mahrus Ali dan Berta Putri 225
© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014
Daftar Pustaka
Anastasia, RD. 2009. Kualitas Sperma
Pasca Pengangkutan dari Induk Ikan
Mas Koki (Carassius auratus) yang
Dianestesi dengan Minyak Biji Pala.
Skripsi. Jurusan Budidaya Perairan.
Fakultas Pertanian. Universitas
Lampung. Lampung.
Arindra, D. 2007. Penggunaan Daun
Bandotan (Ageratum conyzoides)
sebagai Bahan Antimetabolik Alami
untuk Menekan Konsumsi Oksigen
Ikan Mas (Cyprinus carpio) selama
Transportasi. Skripsi. Fakultas
Kedokteran Hewan. Universitas
Airlangga. Surabaya. 39 hal.
Chotimah, D.N. W.Tjahjaningsih. L.
Sulmartini. T.V. Widiyatno dan J.
Triastuti. 2009. Respon Daya Cerna
dan Respirasi Benih Ikan Mas
(Cyprinus carpio) Pasca
Transportasi dengan Menggunakan
Daun Bandotan (Ageratum
conyzoides) sebagai Bahan
Antimetabolik. Jurnal Ilmiah
Perikanan dan Kelautan 1:79-86.
Fauziah, N.R. 2006. Pemingsanan Ikan
Mas (Cyprinus carpio)
Menggunakan Ekstrak Tembakau,
Ekstrak Mengkudu dan Ekstrak
Cengkeh. Jurnal Penelitian. Institut
Pertanian Bogor 9:2-3.
Fujaya, Y. 2004. Fisiologi Ikan. Dasar
Pengembangan Teknik Perikanan.
Rineka Cipta. Jakarta. Hal. 114-115;
124.
Ismail A dan A. Sudrajat. 1992.
Budidaya Ikan Bandeng (Chanos-
chanos ) Sistem Penggelondongan
dan Pembesaran di Tambak. Penebar
Swadaya: Jakarta. 83 hal.
Kamboj, A dan A. K. Saluja. 2010.
Ageratum conyzoides L. : A Review
on its Phytochemical and
Pharmacological Profile.
International Journal of Green
Pharmacy: 59-68.
Kardono, L. dan Artanti, N. 2003.
Selected Indonesian Medical Plants
Monographs and Description.
Garsindo. Jakarta. hal. 42-44.
Pramono, V. 2002. Penggunaan Ekstrak
Caulerpa racemosa sebagai Bahan
Pembius pada Pra Transportasi Ikan
Nila (Oreochromis niloticus) Hidup.
Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
50 hal.
Pusat Penelitian Limnologi LIPI. 2013.
Statistik Menakar Target Ikan Air
Tawar Tahun 2013. Dikutip dari
http://www.djpb.kkp.go.id/berita.ph
p?id=847. Diakses pada 17
Desember 2013 pada pukul 10.53
WIB.
Rukmana, R. 1997. Ikan Nila Budidaya
Prospek Agribisnis. Kanisius.
Yogyakarta.
Suryaningrum TD, Utomo BSD,
Wibowo S. 2005. Teknologi
Penanganan dan Transportasi
Krustasea Hidup. Badan Riset
Kelautan dan Perikanan. Slipi.
Jakarta.
Tahe, S. 2008. Penggunaan
Phenoxyethanol, Suhu Dingin dan
Kombinasi Suhu Dingin dan
Phenoxyethanol dalam Pembiusan
Bandeng Umpan. Jurnal Media
Akuakultur 3: 7-9.
e-Jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan Volume II No 2 Februari 2014
ISSN: 2302-3600
© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014
PEMANFAATAN KOMPOS KULIT KAKAO (Theobroma cacao)
UNTUK BUDIDAYA Daphnia sp.
Arif Wibowo*†, Henni Wijayanti‡ dan Siti Hudaidah‡
ABSTRAK
Pemanfaatan Daphnia sp. sebagai pakan alami dalam pembenihan ikan air tawar
berasal dari kultur alamiah. Ketersediaan pakan alami ini tidak mencukupi untuk
memenuhi kebutuhan pembenihan ikan yang semakin meningkat. Budidaya
Daphnia sp. dilakukan untuk menjaga ketersediaan jumlah untuk kebutuhan panti
benih. Pakan alami ini dapat dibudidayakan dengan memanfaatkan kompos kulit
buah kakao (Theobroma cacao) sebagai sumber nutrisi. Penelitian bertujuan untuk
mengetahui efektifitas penambahan jumlah kompos kulit buah kakao pada
peningkatan populasi Daphnia sp. Penelitian dilakukan dengan menggunakan
rancangan acak lengkap dengan perlakuan penambahan kompos kulit buah kakao
sebanyak 3, 6, 9 dan 12 gr/l. Akuarium berukuran 27 x 15 x 12 cm yang berisi induk
Daphnia sp. sebanyak 20 ekor setiap perlakuan. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa penambahan kompos kulit buah kakao sebanyak 6 gr/l memberikan
pengaruh nyata terhadap pertumbuhan populasi Daphnia sp. Parameter kualitas air
meliputi oksigen terlarut, pH dan amonia selama penelitian masih dalam kisaran
yang bisa ditoleransi oleh Daphnia sp.
Kata kunci: kompos, kakao, Daphnia sp., populasi, pakan alami
Pendahuluan
Pakan alami memegang peranan
penting pada pembenihan, karena
berperan sebagai pakan awal larva.
Pakan alami harus memiliki ukuran
yang sesuai dengan bukaan mulut larva,
mudah dicerna dan memiliki kandungan
gizi yang cukup tinggi untuk
mendukung pertumbuhan larva.
Daphnia sp. merupakan zooplankton
yang sering digunakan sebagai pakan
alami pada pembenihan ikan air tawar.
* Mahasiswa Jurusan Budidaya Perairan Universitas Lampung † Email: ArifWibowo83@gmail.com ‡ Dosen Jurusan Budidaya Perairan Universitas Lampung.
Alamat: Jl.Prof.S.Brodjonegoro No.1 Gedong Meneng Bandar Lampung 35145
Kandungan nutrisi Daphnia sp. yang
cukup tinggi meliputi protein 42,65%,
lemak 8%, kadar air 94,78%, serat kasar
2,58% dan abu 4% sangat baik untuk
mendukung pertumbuhan larva ikan
(Darmanto, 2000).
Penggunaan Daphnia sp. dalam
pembenihan ikan biasanya berasal dari
tangkapan di alam sehingga
ketersediaanya fluktuatif. Budidaya
Daphnia sp. merupakan salah satu
upaya untuk mencukupi kebutuhan
228 Pemanfaatan Kompos Kulit Kakao
© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014
pakan alami selama pembenihan.
Daphnia sp. merupakan salah satu jenis
zooplankton yang hidupnya
berkelompok dan sering ditemukan di
perairan yang banyak mengandung
bahan organik atau sisa - sisa
pembusukan tanaman, seperti sawah,
rawa, selokan, dan perairaan yang
tenang (Ninuk, 2011).
Faktor kimia yang berpengaruh
terhadap kelangsungan hidup Daphnia
sp. di perairan antara lain adalah suhu,
oksigen terlarut, pH dan amonia.
Daphnia sp. dapat hidup dengan baik
pada suhu berkisar antara 22°C - 32°C,
pH berkisar antara 6 - 8, oksigen terlarut
> 3,5 ppm, dan dapat bertahan hidup
pada kandungan amonia antara 0,35
ppm – 0,61 ppm (Kusumaryanto, 2001).
Kakao (Theobroma cacao) merupakan
tanaman yang memiliki nilai ekonomi
tinggi. Bijinya dapat diproses menjadi
cokelat, sedangkan kulit buah kakao
difermentasi sehingga dihasilkan
kompos kulit buah kakao dan bisa
dimanfaatkan sebagai pupuk organik.
Dalam budidaya Daphnia
sp.penambahan kompos kulit buah
kakao berfungsi sebagai sumber nutrien
untuk menunjang pertumbuhan
(Purwakusuma, 2007).
Bahan dan Metode
Penelitian ini dilakukan di
Laboratorium Budidaya Perikanan,
Fakultas Pertanian, Universitas
Lampung. Penelitian dilakukan dengan
membandingkan penambahan kompos
kulit buah kakao sebanyak 3, 6, 9 dan 12
gr/l dalam media budidaya Daphnia
sp..
Daphnia sp. dipelihara dalam akuarium
ukuran 27 x 15 x 12 cm. Masing-
masing akuarium dilengkapi dengan
perangkat aerasi. Inokulasi Daphnia sp.
dilakukan pada hari ke-empat sebanyak
20 ekor/l. Parameter yang diukur
adalah: populasi fitoplanktondan
Daphnia sp yang dihitung setiap hari,
parameter kualitas air meliputi suhu,
oksigen terlarut, derajat keasaman (pH),
amonia. Parameter yang diuji dalam
penelitian ini adalah pola pertumbuhan
fitoplankton dan kepadatan populasi
Daphnia sp. selama pemeliharaan.
Pengaruh penambahan jumlah kompos
kulit buah kakao dianalisis dengan
membandingkan antar pelakuan. Data
kualitas air dianalisis secara deskriptif,
yaitu dengan pengamatan pada
pengukuran kualitas air.
Hasil dan Pembahasan
Pertumbuhan populasi Daphnia sp.
selama budidaya dengan penambahan
kompos kulit buah kakao 3, 6, 9 dan 12
gram/liter masing-masing mencapai
puncaknya pada hari ke-8 rata-rata
sebanyak 1988 individu/l, pada hari ke-
9 dengan jumlah rata-rata 5790
individu/l, pada hari ke-8 dengan
jumlah rata-rata 3293 individu /l, dan
pada hari ke-8 dengan rata-rata 2812
individu /l (Gambar 1).
Pertumbuhan populasi Daphnia sp. dari
setiap perlakuan membentuk kurva
sigmoid yang terdiri dari fase adaptasi,
fase eksponensial, fase stationer dan
fase kematian.Pertumbuhan populasi
Daphnia sp. dimulai pada pemeliharaan
hari ke 2 (Gambar 1). Fase adaptasi
terjadi pada hari pertama sampai hari
ke-4 budidaya, ditandai dengan
peningkatan populasi yang rendah dan
fase ini merupakan penyesuaian
organism budidaya terhadap lingkungan
media budidaya. Fase eksponensial
terjadi mulai hari ke-4 sampai
mendekati hari ke-8 (penambahan 3,9,
dan 12 gr/l kompos kulit buah kakao)
dan mendekati hari ke-9 pada
penambahan kompos kulit buah kakao
Arif Wibowo, Henni Wijayanti dan Siti Hudaidah 229
© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014
sebanyak 6 gr/l, pada fase ini
peningkatan populasi sangat cepat
karena diduga organisme yang
dibudidayakan beradaptasi dengan
lingkungan budidaya dan bereproduksi
(Zahidah, 2007).
Pertumbuhan dan peningkatan populasi
Daphnia sp. tertinggi padapenambahan
kompos kulit kakao 6 gr/l media
memiliki jumlah rata-rata 5790
individu/l dan terendah pada
penambahan 3 gr/l media dengan
jumlah rata-rata 1988 individu/liter
(Gambar 1). Pertumbuhan populasi
Daphnia sp. dari fase awal sampai fase
puncak disebabkan oleh kandungan
nutrien yang berasal dari kompos kulit
buah kakao yang terdapat didalam
media budidaya dimanfaatkan oleh
fitoplankton untuk pertumbuhan.
Semakin meningkatnya populasi
fitoplankton yang ada dalam media
budidaya maka ketersediaan pakan bagi
Daphnia sp. mencukupi sehingga
pertumbuhan populasi Daphnia sp. juga
meningkat. Sedangkan pada fase akhir
budidaya Daphnia sp. mengalami
penurunan jumlah populasi, hal ini
diduga disebabkan oleh jumlah nutrien
yang terkandung didalam kompos kulit
buah kakao telah berkurang karena telah
dimanfaatkan oleh fitoplankton (Round,
1973). Semakin tinggi populasi
fitoplankton yang ada dalam media
budidaya maka ketersediaan pakan bagi
Daphnia sp. semakin melimpah
sehingga mencukupi kebutuhan energi
untuk pertumbuhan Daphnia sp. yang
ditandai dengan peningkatan populasi.
Gambar 1. Pertumbuhan rata-rata populasi Daphnia sp. selama budidaya
0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
7000
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Po
pula
si D
ap
hn
iasp
ind
/l
Hari ke-
3gr/liter
6gr/liter
9gr/liter
12gr/liter
230 Pemanfaatan Kompos Kulit Kakao
© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014
Daphnia sp.
Beberapa genus fitoplankton yang
ditemukan dalam media budidaya
Daphnia sp antara lain: Synedra,
Volvox, Zygnema, Aphanocapsa,
Protococcus, dan Mycrospora.
Kepadatan fitoplankton mempunyai
pola yang sama dengan populasi
Daphnia sp., yaitu terjadi peningkatan,
mencapai puncak dan terjadi penurunan
(Gambar 1; Gambar 2). Peningkatan
kepadatan fitoplankton diduga
disebabkan kandungan nutrien yang
terkandung dalam kompos kulit buah
kakao memenuhi kebutuhan nutrien
fitoplankton untuk pertumbuhannya
sampai waktu tertentu. Pertumbuhan
Daphnia sp. dipengaruhi oleh beberapa
faktor antara lain kondisi fisik perairan,
jenis dan konsentrasi pakan. Jika ketiga
faktor tersebut dipenuhi, maka laju
pertumbuhan Daphnia sp. Akan
berlangsung baik dan menghasilkan
populasi yang tinggi 5790 individu/l
(Ninuk, 2011).
Pemanenan Daphnia sp. disarankan
dilakukan mulai hari ke -8 budidaya.
Parameter kualitas air yang meliputi
suhu 220C - 320 C, pH 6 - 8, oksigen
terlarut > 3,5 ppm dan kandungan
amonia antara 0,35 ppm - 0,61 ppm.
Selama budidaya Daphnia sp. berada
pada kisaran optimal, sehingga tidak
berpengaruh pada pertumbuhan
Daphnia sp.
Gambar 2. Kepadatan rata-rata populasi fitoplankton selama budidaya
0
10000
20000
30000
40000
50000
60000
70000
80000
90000
100000
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Kep
adat
an F
ito
pla
nkto
n (
ind
/l)
Hari ke-
3gr/liter
6gr/liter
9gr/liter
12gr/liter
Arif Wibowo, Henni Wijayanti dan Siti Hudaidah 231
© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014
Penurunan populasi Daphnia sp.
(setelah puncak populasi tercapai) pada
semua perlakuan diduga karena
penurunan fitoplankton sebagai pakan
Daphnia sp., juga terjadi peningkatan
amonia dalam media budidaya yang
berasal dari peningkatan metabolisme
fitoplankton dan Daphnia sp. Apabila
kepadatan Daphnia sp. tinggi maka
aktivitas metabolisme meningkat,
mengakibatkan kandungan amonia
meningkat, sehingga media budidaya
tidak optimal untuk pertumbuhan
Daphnia sp (Sarida, 2007). Kandungan
amonia yang tinggi bersifat mematikan
bagi Daphnia sp. (Purwakusuma, 2007).
Suhu merupakan faktor abiotik yang
mempengaruhi peningkatan dan
penurunan aktivitas organisme seperti
reproduksi, pertumbuhan dan
kematian.Kisaran suhu tersebut
merupakan kisaran suhu optimal bagi
pertumbuhan dan perkembangan
Daphnia sp.(Radini, 2006).
Kesimpulan
Pemanfaatan kompos kulit buah kakao
sebagai sumber nutrien sebanyak 6 gr/l
media dalam budidaya Daphnia sp.
menghasilkan peningkatan populasi.
Puncak populasi Daphnia sp. dicapai
pada hari ke- 9 sebanyak 5790
individu/l. Pemanfaatan Daphnia sp.
sebagai pakan alami larva dapat dipanen
mulai hari ke -8 budidaya.
Daftar Pustaka
Darmanto. 2000. Budidaya pakan
alami. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Instalasi
penelitian dan pengkajian, Teknologi
Pertanian, Jakarta.
Kusumaryanto, H. 2001. Pengaruh
Jumlah Inokulasi Awal Terhadap
Pertumbuhan Populasi, Biomassa
dan Pembentukkan Epipium
Daphnia sp. Skripsi. Fakultas
Perikanan. Institut Pertanian Bogor.
Ninuk. 2011. Dinamika Fitoplankton.
Indonesian Aquaculture. Tequisa
Indonesia.
Jakarta.
Permana, A.Y. 2002. Populasi
Chlorella sp. Dalam Kultur Dengan
Konsentrasi Sumber Nutrien
Kascing (Lumbriscus rubellus) yang
Berbeda. Fakultas MIPA. UNDIP.
Semarang.
Purwakusuma, W. Daphnia. Diedit
Tahun 2007. Diakses pada 1
Desember 2012. http://www.o-
fish/PakanIkan?Daphnia.1php
Radini. D, 2006. Optimasi Suhu, pH
Serta Jenis Pakan Pada Kultur
Daphnia sp. Sekolah Ilmu dan
Teknologi Hayati. Bandung.
Round, F. E. 1973. The Biology of
Algae. London: Edward Arnold. 278
pp.
Sarida, M. 2007. Pengaruh Konsentrasi
Ragi Yang Berbeda Terhadap
Pertumbuhan Populasi Daphnia sp.
Seminar Hasil Penelitian dan
Pengabdian Kepada Mayarakat.
Universitas Lampung, Bandar
Lampung.
Zahidah. 2007. Pertumbuhan Populasi
Daphnia sp. Yang diberi Pupuk
Limbah Budidaya Karamba Karing
Apung (KJA) di Waduk Cirata yang
telah difermentasi EM4. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Universitas Padjadjaran. Bandung.
e-Jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan Volume II No 2 Februari 2014
ISSN: 2302-3600
© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014
SUBSTITUSI TEPUNG ONGGOK SINGKONG SEBAGAI BAHAN BAKU
PAKAN PADA BUDIDAYA NILA (Oreochromis niloticus)
Dodi Rahmad Afebrata*, Limin Santoso† ‡dan Suparmono†
ABSTRAK
Faktor penting dalam budidaya nila (Oreochromis niloticus) adalah ketersediaan
pakan dalam jumlah yang memadai. Namun kebutuhan tepung sebagai bahan baku
pakan ikan sebagian besar belum terpenuhi dari produksi didalam negeri.
Dibutuhkan bahan pakan alternatif untuk mengatasi kebutuhan bahan baku pakan
ikan. Provinsi Lampung adalah produsen singkong sebagai bahan baku tepung
tapioka. Limbah tepung tapioka berupa onggok singkong belum dimanfaatkan
sebagai bahan pakan untuk budidaya ikan. Penelitian dilakukan untuk mengetahui
persentase substitusi tepung onggok singkong dalam pakan nila. Rancangan acak
lengkap dengan 6 perlakuan antara lain 0% tanpa onggok, 5% onggok, 10%
onggok, 15% onggok, 20% onggok, dan 25% onggok. Analisis sidik ragam
(ANOVA) digunakan untuk membedakan persentase substitusi terbaik berdasarkan
pertambahan berat mutlak, laju pertumbuhan harian, kelangsungan hidup, dan
kualitas air. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan onggok singkong
dengan proporsi 5% memberikan kandungan nutrisi dan laju pertumbuhan terbaik
(12,45 gram). Kandungan nutrisi dan laju pertumbuhan yang dihasilkan adalah
protein (31,51%), lemak (12,83%), abu (11,86%), serat kasar (20,14%), (23,66%),
dan kadar air (10,22%).
Kata kunci : onggok singkong, substitusi, pertumbuhan, nila,nutrisi
Pendahuluan
Nila (Oreochromis niloticus)
merupakan jenis ikan yang mempunyai
nilai ekonomis tinggi dan merupakan
komoditas penting dalam bisnis ikan air
tawar di dunia. Beberapa hal yang
mendukung pentingnya budidaya nila
yaitu : resistensi terhadap penyakit dan
toleransi terhadap salinitas sehingga
* Mahasiswa Jurusan Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Unila † Dosen Jurusan Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Unila
Alamat korespondensi: Jl.Prof.Sumantri Brodjonegoro No.1 Gedong Meneng Bandar Lampung
35145. ‡ Email : limin.santoso@fp.unila.ac.id
tumbuh pada perairan payau dengan
salinitas 0 – 25 ppt. Produksi nila di
Indonesia meningkat secara signifikan
dari tahun ke tahun. Pada tahun 2010
produksi nila 469.173 ton, pada tahun
2011 meningkat menjadi 639.300 ton,
dan pada tahun 2012 mencapai 850.000
ton (KKP, 2013). Nila memiliki sifat
omnivora yang cenderung herbivora
234 Substitusi Tepung Onggok Singkong Sebagai Bahan Baku Pakan
© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014
sehingga lebih mudah beradaptasi
dengan jenis pakan yang dicampur
dengan sumber bahan nabati seperti:
bungkil kedelai, tepung jagung, tepung
biji kapuk, dan onggok singkong.
Peningkatan produksi ikan nila
membutuhan pakan yang semakin
meningkat. Pengembangan usaha
budidaya ikan nila saat ini masih
terdapat beberapa masalah di lapangan.
Salah satu permasalahan yang dihadapi
dalam kegiatan budidaya ikan nila yaitu
ketersediaan pakan yang terbatas, baik
jumlah maupun kualitasnya. Kebutuhan
nutrisi nila terpenuhi dengan bahan
baku pakan seperti tepung ikan, tepung
kedelai, tepung jagung, dan bahan
lainnya yang masih impor. Menurut
Suprayudi (2010), syarat yang harus
dipenuhi sebagai bahan baku pakan
adalah mengandung nutrien yang
dibutuhkan ikan untuk pertumbuhan,
diutamakan dari sumber nabati, tidak
berkompetisi dengan kebutuhan pangan
manusia, berbasis limbah, jumlah
tersedia melimpah.
Pengurangan ketergantungan terhadap
bahan baku pakan dari impor
memerlukan bahan baku pakan
pengganti atau substitusi dengan
memanfaatkan bahan baku lokal yang
banyak tersedia sebagai bahan baku
pakan ikan, diantaranya adalah tepung
onggok singkong yang merupakan
limbah pertanian. Produksi singkong di
Lampung tercatat mencapai 8,3 juta ton
yang diolah sebagai keperluan pangan
dan industri (BPS, 2012). Onggok
singkong untuk pakan ternak memiliki
kadar protein kasar dan tingginya serat
kasar, namun memiliki kadar
karbohidrat yang cukup tinggi
(Mahyuddin, 2008). Pati yang tertinggal
menyebabkan onggok memiliki
kandungan karbohidrat yang cukup
tinggi yaitu 50 - 70%, sehingga
dimanfaatkan sebagai media tumbuh
mikroba (Fitriliyani, 2010). Oleh karena
itu untuk menciptakan pakan berkualitas
diperlukan adanya penelitian yang
mempelajari tentang substitusi tepung
onggok singkong dengan proporsi
berbeda sebagai bahan baku pakan nila.
Bahan dan Metode Rancangan penelitian yang digunakan
adalah Rancangan Acak Lengkap
(RAL) dengan enam perlakuan dan tiga
ulangan. Pada penelitian ini dilakukan
penggunaan tepung onggok singkong
dengan proporsi yang berbeda.
Presentase penambahan onggok yang
dilakukan yaitu 0%, 5%, 10%, 15%,
20% dan 25%. Adapun perlakuan yang
digunakan adalah sebagai berikut :
Perlakuan A : Pakan buatan tanpa
onggok (kontrol)
Perlakuan B : Pakan buatan dengan
proporsi onggok 5%.
Perlakuan C : Pakan buatan dengan
proporsi onggok 10%.
Perlakuan D : Pakan buatan dengan
proporsi onggok 15%.
Perlakuan E : Pakan buatan dengan
proporsi onggok 20%.
Perlakuan F : Pakan buatan dengan
proporsi onggok 25%.
Perbedaan perlakuan diuji dengan uji F
pada taraf kepercayaan 95% (Steel and
Torrie, 1991). Pada proses pembuatan
pakan buatan, formulasi pakan
ditentukan berdasarkan bahan baku
pakan dan hasil analisis proksimat
bahan dasar pakan (Tabel 1). Proksimat
pakan perlakuan diuji di Laboratorium
Uji Balai Riset Perikanan Budidaya Air
Tawar Sempur Bogor. Pakan yang
digunakan berupa pakan buatan yang
dibuat dari bahan baku tepung onggok
singkong, tepung ikan, tepung kedelai,
tepung jagung, premix/vitamin, minyak
ikan, dan tepung terigu. Pemberian
Dodi Rahmad Afebrata, Limin Santoso dan Suparmono 235
© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014
pakan terhadap benih ikan nila dengan
ukuran 2 - 3 cm dipelihara selama 50
hari dalam akuarium berukuran 50 x 30
x 40 cm sebanyak 18 buah.
Tabel 1.Formulasi pakan yang digunakan sebagai pakan perlakuan
No Bahan Baku Perlakuan (%)
A B C D E F
1
2
3
4
5
6
7
Tepung Ikan 35 35 35 35 35 35
Tepung Kedelai 30 30 30 30 30 30
Tepung Jagung 25 20 15 10 5 0
Tepung Onggok 0 5 10 15 20 25
Vitamin/Premix 2 2 2 2 2 2
Minyak Ikan 3 3 3 3 3 3
Tepung Terigu 5 5 5 5 5 5
Total 100 100 100 100 100 100
Frekuensi diberikan tiga kali sehari pada
pukul 08.30 ; 12.30 ; 16.30 WIB dengan
Feeding Rate (FR) 5% pada tiap
ulangan dan perlakuan.
Parameter penelitian yang diamati
meliputi uji fisik pakan (water stability),
uji kimia pakan (proksimat), dan uji
biologi seperti tingkat kelangsungan
hidup (SR), pertambahan berat mutlak,
laju pertumbuhan harian dan kualitas
air.
Kelangsungan hidup dihitung
berdasarkan rasio jumlah ikan hidup
pada akhir pemeliharaan dan jumlah
ikan yang ditebar awal pemeliharaan
dengan menggunakan rumus Effendi
(2004) :
𝑆𝑅 = (𝑁𝑡
𝑁𝑜) 𝑥 100%
Keterangan :
SR = Tingkat kelangsungan hidup ikan
Nt = Jumlah ikan akhir pemeliharaan
No = Jumlah ikan awal penebaran
Pertumbuhan benih ikan nila meliputi
pengukuran bobot tubuh ikan nila.
Proses pengukuran dilakukan dengan
timbangan analitik selama sepuluh hari
sekali. Berdasarkan data tersebut
dilakukan penghitungan pertambahan
bobot mutlak dan laju pertumbuhan
harian dengan rumus Effendi (2004)
sebagai berikut :
𝑊𝑚 = 𝑊𝑡 − 𝑊𝑜 Keterangan rumus pertumbuhan berat
mutlak :
Wm = Pertambahan bobot (g)
Wt = Bobot rata-rata akhir (g)
Wo = Bobot rata-rata awal (g)
𝑾𝒎 =𝑾𝒕 − 𝑾𝒐
𝒕
Keterangan rumus laju pertumbuhan
harian :
Wm = Pertambahan bobot (g)
Wt = Bobot rata-rata akhir (g)
Wo = Bobot rata-rata awal (g)
T = Jumlah ikan
Pengukuran kualitas air meliputi :
Pengukuran suhu media air dilakukan
menggunakan alat termometer dengan
standar pengukuran suhu budidaya nila
berkisar antara 25 – 30oC. Pengukuran
oksigen terlarut dalam media
pemeliharaan nila menggunakan DO
meter dengan standar oksigen terlarut
budidaya nila > 3 mg/l. Pengukuran pH
dalam media pemeliharaan nila
dilakukan menggunakan alat pH meter
dengan standar pH budidaya nila 6,5 -
8,5.
236 Substitusi Tepung Onggok Singkong Sebagai Bahan Baku Pakan
© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014
Hasil dan Pembahasan
Pengujian stabilitas pakan dalam air
(water stability) memperlihatkan
kualitas pelet tenggelam yang dibuat
mempunyai tekstur yang cukup baik
terbukti dengan tingkat kehancuran
pakan yang rendah. Adapun waktu daya
tahan pakan buatan dalam air dari waktu
terlama sampai tercepat secara berturut-
turut adalah sebagai berikut: pakan F (5
jam:00 menit), pakan D (4 jam:30
menit), pakan C (4 jam:00 menit), pakan
A (3 jam:30 menit), pakan E (3 jam:00
menit), dan pakan B (2 jam:30 menit).
Menurut Hariadi dkk. (2005), kestabilan
pakan dalam air dipengaruhi oleh jenis
perekat (binder) yang digunakan. Dari
perlakuan uji fisik pakan maka akan
terlihat perbedaan kandungan nutrisi
pada pakan uji yang digunakan.
Kandungan protein pada pakan uji F
menurun akibat meningkatnya
penggunaan tepung onggok. Hal ini
dikarenakan jumlah tepung onggok
yang digunakan pada pakan uji F lebih
besar dibandingkan pakan uji yang lain.
Fungsi protein antara lain untuk
memperbaiki jaringan yang rusak dan
sebagai sumber energi (Mudjiman,
2004). Berdasarkan hasil uji proksimat,
kandungan lemak pada pakan uji C yaitu
14,03% dan kualitasnya dianggap
kurang baik. Hal ini sependapat menurut
Furuichi (1988), menyatakan bahwa
kadar lemak dalam pakan buatan
sebaiknya kurang dari 13%. Hasil uji
kandungan serat kasar pada pakan uji D,
E, dan F cukup tinggi. Hal ini
dipengaruhi oleh bahan baku tepung
onggok yang memiliki kandungan serat
kasar 8,92%. Kandungan serat kasar
yang tinggi pada pakan akan sulit
dicerna oleh ikan. Ditinjau dari
kandungan serat kasarnya, pakan uji ini
baik digunakan untuk menentukan
seberapa besar kecernaan pakan untuk
ikan. Menurut Pascual (2009), serat
kasar merupakan komponen karbohidrat
yang bersifat tidak dapat dicerna dan
tidak larut dalam air.
Karbohidrat dalam pakan ikan terdapat
dalam bentuk serat kasar dan bahan
ekstrak tanpa nitrogen (Watanabe,
1988). Pada uji yang telah dilakukan,
didapatkan bahan ekstrak tanpa nitrogen
tertinggi terdapat pada pakan E dengan
persentase 25,17% dan terendah
terdapat pada pakan F dengan
persentase rata-rata 17,35%. Bahan
ekstrak tanpa nitrogen (BETN)
merupakan senyawa organik yang
termasuk dalam karbohidrat mudah
larut.
Tabel 2. Hasil analisis proksimat pakan untuk penelitian
Parameter Pakan A Pakan B Pakan
C Pakan D Pakan E
Pakan
F
Protein (%)
Lemak (%)
Abu (%)
Serat Kasar (%)
Kadar Air (%)
BETN (%)
30,70
9,08
12,65
18,07
7,99
21,51
31,51
12,83
11,86
20,14
10,22
23,66
31,45
14,03
11,98
21,12
8,10
21,42
31,10
12,03
11,34
25,71
8,41
19,82
29,99
11,63
11,03
22,18
11,72
25,17
27,15
10,78
10,98
24,19
9,55
17,35
Dodi Rahmad Afebrata, Limin Santoso dan Suparmono 237
© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014
Kelangsungan hidup merupakan jumlah
prosentase ikan yang dapat hidup
sampai akhir penelitian dibandingkan
dengan jumlah ikan saat penebaran pada
masing-masing perlakuan. Hasil
analisis ragam pada selang kepercayaan
95% menunjukkan bahwa penggunaan
onggok singkong tidak memberikan
pengaruh nyata terhadap kelangsungan
hidup nila. Tingkat kelangsungan hidup
nila rata-rata mencapai 97,3% (Gambar
1). Hal ini dikarenakan ikan dapat
beradaptasi dengan baik dengan
lingkungan dan kualitas air pada semua
perlakuan masih dalam kisaran
optimum sehingga ikan dapat tumbuh
dengan baik. Kelangsungan hidup ikan
ditentukan beberapa faktor, diantaranya
kualitas air meliputi suhu, oksigen
terlarut dan tingkat keasaman (pH),
serta rasio antara jumlah pakan dengan
kepadatan.
Gambar 1. Kelangsungan hidup pada budidaya nila (Oreochromis niloticus) selama
penelitian persentase penambahan tepung onggok singkong yang
berbeda selama pemeliharaan. Penggunaan tepung onggok singkong
sebanyak 5% dapat memberikan nilai tertinggi 95% kelangsungan
hidup ikan nila dibandingkan penambahan tepung onggok singkong
dengan presentase tinggi.
Pertumbuhan mutlak nila yang tertinggi
adalah pada pakan B 12,45 g dan
terendah pada pakan F 8,85 g (Gambar
2). Hasil analisis ragam pada selang
kepercayaan 95% menunjukkan bahwa
penggunaan tepung onggok sebagai
sumber karbohidrat memberikan
pengaruh nyata terhadap pertumbuhan
berat mutlak ikan nila. Menurut Hariadi
dkk. (2005), karbohidrat merupakan
salah satu nutrisi sebagai sumber energi
yang mudah didapat dalam bahan pakan
buatan yang jumlahnya relatif tinggi
terutama dalam biji-bijian. Pengaruh
karbohidrat terhadap pertumbuhan
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu
kadar karbohidrat dalam pakan,
kecernaan karbohidrat itu sendiri,
tingkat pakan yang masuk, kondisi
lingkungan dan spesies. Berdasarkan
data pertumbuhan berat ikan nila
membuktikan bahwa pakan yang
diberikan mengandung nutrien yang
memenuhi kebutuhan nutrisi ikan.
75%
80%
85%
90%
95%
A B C D E F
90%
95%
90%88%
86%83%
Tin
gkat
Kel
angsu
ngan
Hid
up
(%
)
Kelangsungan Hidup
238 Substitusi Tepung Onggok Singkong Sebagai Bahan Baku Pakan
© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014
Menurut Effendi (2004), salah satu
faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan benih ikan nila agar
optimal adalah terpenuhinya kebutuhan
pakan baik dari segi jumlah dan
kualitas, pemberian pakan sebanyak 5%
dari bobot biomassa dapat memberikan
pertumbuhan yang baik bagi benih ikan
nila.
Laju pertumbuhan harian adalah laju
untuk mengetahui penambahan bobot
pada ikan nila dalam kurun waktu per
hari. Hal ini untuk mengetahui
penambahan bobot satuan gram per ekor
yang dicerna dalam satu hari. Semakin
tinggi nilai laju pertumbuhan harian,
maka pertumbuhan ikan tersebut
semakin baik. Laju pertumbuhan harian
ikan nila selama penelitian dari yang
tertinggi sampai terendah berturut-turut
adalah sebagai berikut: pakan B (15,10
g), pakan A (14,53 g), pakan C (13,60
g), pakan D (12,80 g), pakan E (12,35
g), dan pakan F (11,50 g).
Gambar 2. Peningkatan pertumbuhan berat mutlak budidaya nila (Oreochromis
niloticus) dengan peresentase penambahan tepung onggok singkong
yang berbeda selama pemeliharaan. Penggunaan tepung onggok
singkong sebanyak 5% dapat memberikan nilai tertinggi pada berat
mutlak ikan nila dibandingkan penambahan tepung onggok
singkong dengan presentase tinggi.
Hasil analisis ragam pada selang
kepercayaan 95% menunjukkan bahwa
penggunaan tepung onggok singkong
memberikan pengaruh nyata terhadap
laju pertumbuhan harian pada ikan nila.
Laju pertumbuhan harian tertinggi pada
pakan B 0,65 g/hari dan terendah pada
pakan E 0,52 g/hari (Gambar 3). Hal ini
dikarenakan nila dapat memanfaatkan
pakan uji B lebih baik dibandingkan
dengan pakan uji A, C, D, E, dan F.
Sesuai dengan hasil uji proksimat
pakan, pakan uji B menunjukkan hasil
yang terbaik. Pertumbuhan terjadi
karena ikan memanfaatkan pakan,
sehingga nutrien dalam pakan
dimanfaatkan oleh ikan untuk tumbuh
dan mengkonversi menjadi energi
(Zonneveld dkk., 2010)
a ab b c c
0
2
4
6
8
10
12
14
16
A B C D E F
Per
tum
buhan
Ber
at M
utl
ak (
g/e
ko
r)
Pertumbuhan Berat Mutlak
Onggok 0%
Onggok 5%
Onggok 10%
Onggok 15%
Onggok 20%
Onggok 25%
Dodi Rahmad Afebrata, Limin Santoso dan Suparmono 239
© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014
Gambar 3. Peningkatan laju pertumbuhan harian nila (Oreochromis niloticus)
selama budidaya dengan presentase penambahan tepung onggok
singkong yang berbeda selama pemeliharaan. Proporsi tepung onggok
singkong sebanyak 5% menunjuk perbedaan nyata terhadap laju
pertumbuhan nila dibandingkan perlakuan lainnya.
Kualitas air berupa oksigen terlarut pada
perlakuan penelitian memiliki nilai
kisaran antara 5,15 - 7,8 ppm, suhu air
antara 24- 29,5oC dan pH kisaran 5,0 -
7,7. Menurut Boyd (1990),
Nilai oksigen di dalam pengelolaan
kesehatan ikan sangat penting karena
kondisi yang kurang optimal untuk
pertumbuhan dan perkembangan dapat
mengakibatkan ikan stress
sehingga mudah terserang penyakit.
Pada suhu rendah, ikan kehilangan
nafsu makan dan menjadi lebih rentan
terhadap penyakit, sebaliknya jika suhu
tinggi ikan akan mengalami stress
pernapasan dan bahkan dapat
menyebabkan kerusakan insang
permanen. Suhu air yang optimal untuk
pertumbuhan ikan nila berkisar antara
28°C sampai 32°C.
Kesimpulan
Substitusi tepung onggok singkong
sebagai bahan baku pakan dengan
proporsi 5% dapat memberikan
pengaruh terhadap pertumbuhan berat
mutlak, laju pertumbuhan harian,
kelangsungan hidup, dan efisiensi pakan
yang optimal pada budidaya ikan nila.
Daftar Pustaka
Badan Pusat Statistik. 2012. Produksi
Tanaman Ubi Kayu Seluruh
Provinsi. Diakses pada tanggal 5
Maret 2013.
Boyd, C.E., 1990. Water Quality in
Ponds for Aquaculture. Birmingham
Publishing. Birmingham, Alabama
Effendi. 2004. Biologi Perikanan.
Yayasan Pustaka Nusatama.
Yogyakarta.157 Hal.
Fitriliyani, L. 2010. Evaluasi nilai
nutrisi onggok singkong terhidrolisis
dengan ekstrak enzim cairan remen
domba (Ovis aries) terhadap
kinerja pertumbuhan ikan nila (Oreo
chromis niloticus). Jurnal
Akuakultur Indonesia 9: 30-37.
0
2
4
6
8
10
12
14
16
D0 D10 D20 D30 D40 D50
Per
tum
bu
han
har
ian
(g/e
ko
r)
Masa Perlakuan Selama 10 Hari ke
a. 0 % onggok
b. 5 % onggok
c. 10 % onggok
d. 15 % onggok
e. 20 % onggok
f. 25 % onggok
240 Substitusi Tepung Onggok Singkong Sebagai Bahan Baku Pakan
© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014
Furuichi, M. 1988. Dietary Activity of
Carbohydrates. In Fish nutrition and
mariculture. Wantanabe (Ed).
Departement of Aquatic Biosciences
Tokyo University of Fisheriess.
Tokyo.pp. 1-77.
Hariadi, B., A. Haryono, U. Susilo.
2005. Evalusai efisiensi pakan dan
efisiensi protein pada ikan nila
(Oreochromis niloticus) yang diberi
pakan dengan kadar karbohidrat dan
energi yang berbeda. Jurnal Ichtyos
4: 88-92.
Kementerian Kelautan dan Perikanan.
2013. Data Informasi Peningkatan
Budidaya Ikan Nila di Indonesia.
Akses dari www.kkp.go.id tanggal
20 Februari 2013.
Mahyuddin, 2008. Mengolah Limbah
Singkong Menjadi Pakan Ternak
bergizi.
Sumber:http://peluangusaha.kontan.
co.id/v2/read/1298616362/59930/M
engolah-limbah-singkong-menjadi-
pakan-ternak-bergizi
Mudjiman, A. 2004. Pakan Ikan.
Penebar Swadaya. Jakarta. 192 hal
Pascual, S. 2009. Nutrition and feeding
of fish. Van nostrand Reinhold, p.11-
91, New York.
Steel, R.G.D dan J.H. Torrie. 1991.
Prinsip dan Prosedur statistika.
Gramedia pustaka Utama. Jakarta
Suprayudi,T. 2010. Ikhtisar
Ruminologi. Departemen Ilmu dan
Makanan Ternak Fakultas
Peternakan Institut Pertanian Bogor,
Bogor
Wanatanabe, A. 1988. Protein
enrichment of cassava solid waste by
ssf. Trends in food biotechology.
Proceedings World Congress of
Food Science and Technology.
pp.25-28.
Zonneveld, N., E.A. Huisman dan J.H.
Boom. 2010. Prinsip-prinsip
budidaya ikan. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.
e-Jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan Volume II No 2 Februari 2014
ISSN: 2302-3600
© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014
PERTUMBUHAN Diaphanasoma sp. YANG DIBERI PAKAN
Nannochloropsis sp.
Sri Susilowati12
ABSTRAK
Pakan alami yang berkualitas dan dalam jumlah yang cukup dibutuhkan dalam
pembenihan ikan dan udang agar survival rate larva ikan dan udang tinggi.
Diaphanosoma merupakan salah satu zooplankton yang digunakan sebagai pakan
alami larva ikan dan udang. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui
pertumbuhan Diaphanosoma yang diberi pakan Nannochloropsis. Penelitian
dilaksanakan pada bulan April - Mei 2013 di Laboratorium Zooplankton, Balai
Besar Pengembangan Budidaya Laut (BBPBL) Lampung. Perlakuan berupa
pemberian Nannochloropsis sebagai pakan Diaphanosoma, dilakukan setiap pagi
hari secara ad libitum. Penghitungan kepadatan Diaphanosoma diukur setiap 24
jam sekali. Hasil penelitian menunjukan bahwa terjadi lima fase hidup dalam
penelitian, yaitu fase lag, fase eksponensial, fase stasioner, fase decline dan fase
kematian. Kepadatan rata-rata Diaphanosoma tertinggi dicapai pada fase stasioner
yang terjadi pada hari ke-9, dengan kepadatan 2150 ind/l. Pada fase tersebut
Diaphanosoma dapat dipanen untuk dikultur ulang dan atau dijadikan sebagai
pakan alami larva ikan atau udang. Parameter kualitas air selama kultur masih
dalam kisaran normal.
Kata kunci: Diaphanosoma, Nannochloropsis, pakan alami, kepadatan rata-rata.
Pendahuluan
Pakan merupakan salah satu faktor
utama penunjang keberhasilan
budidaya. Pakan harus mengandung
protein, lemak, karbohidrat, mineral dan
vitamin yang berfungsi sebagai
penunjang pertumbuhan, ketahanan
tubuh, dan kebutuhan energi. Pakan
ikan terbagi menjadi dua macam, yaitu
pakan buatan dan pakan alami. Pakan
alami berasal dari organisme hidup baik
1 Mahasiswa Jurusan Budidaya Perairan Universitas Lampung, Jl.Prof.S.Brodjonegoro No.1
Gedong Meneng Bandar Lampung 35145 2 Email : susilowati125@gmail.com
tumbuhan (fitoplankton) ataupun hewan
(zooplankton) dalam bentuk dan
kondisinya seperti di alam yang dapat
dikonsumsi oleh ikan (Suminto, 2005).
Pakan alami yang diberikan pada larva
ikan terdiri dari fitoplankton dan
zooplankton. Salah satu zooplankton
yang digunakan sebagai pakan larva
adalah Diaphanosoma. Keutamaan
Diaphanosoma antara lain mudah
dikultur, tidak merusak kondisi air
242 Pertumbuhan Diaphanasoma sp
© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014
media pembenihan, dan pertumbuhan
yang singkat sehingga memungkinkan
untuk diproduksi secara massal (Ari
dkk., 2002).
Kelimpahan zooplankton sangat
ditentukan oleh adanya fitoplankton,
yang merupakan makanan bagi
zooplankton (Davis, 1955). Salah satu
fitoplankton yang diberikan sebagai
pakan Diaphanosoma sp adalah
Nannochloropsis sp, yang mengandung
vitamin B12, Eicosa Pentaenoic Acid
(EPA) 30,5%, total kandungan omega 3
HUFA 42,7% serta protein 57,02%.
Vitamin B12 sangat penting untuk
populasi rotifer dan Diaphanosoma sp
(Fulks and Main, 1991).
Bahan dan Metode
Penelitian dilaksanakan pada bulan
April-Mei 2013 bertempat di Balai
Besar Pengembangan Budidaya Laut
(BBPBL) Hanura-Lampung. Biota uji
yang digunakan adalah Diaphanosoma
dan Nannochloropsis. Kultur
Nannochloropsis dilakukan dalam
toples pada volume media 2 l dengan
bibit awal 5x106 sel/ml, kemudian diberi
pupuk Conwy sebanyak 1.5 ml/l serta
diberi aerasi. Kultur mikroalga ini
dilakukan dalam ruangan bersuhu
dingin (25oC) dan diberi cahaya dengan
menggunakan lampu TL 38 w. Setelah
kelimpahan maksimum dicapai,
mikroalga ini siap untuk dijadikan
pakan dalam kultur Diaphanosoma.
Kultur Diaphanosoma dilakukan pada
skala laboratorium dengan 3 perlakuan
menggunakan toples volume 2 l dengan
media air laut, salinitas 25 ppt, pH 8,0
dan suhu 25oC. Bibit yang digunakan
berasal dari Laboratorium zooplankton
BBPBL, dengan kepadatan awal 100
ind/l (BBL, 2002).
Pengamatan Diaphanosoma dilakukan
sampai kepadatan populasinya berada
pada fase kematian. Jumlah populasi
Diaphanosoma dihitung dengan
persamaan menurut Javellana and
Escritor (1981), yaitu:
Jumlah Diaphanosoma (ind/ml) =
Sedangkan kelimpahan
Nannochloropsis dihitung
menggunakan Haemocytometer yang
diamati dibawah mikroskop dengan
perbesaran 400 kali. Untuk memperoleh
nilai kelimpahan Nannochloropsis,
digunakan rumus yang dikembangkan
oleh BBPBL yaitu:
∑𝐾𝑛
𝑛
𝑛
𝑖=1
𝑥 25. 104 sel/ml
Kn = jumlah Nannochloropsis
dalam kotak hitungan ke 1 s/d 5
n = jumlah kotak hitungan
Parameter yang diamati adalah
pertumbuhan Diaphanosoma dan
parameter fisika (suhu, salinitas), dan
parameter kimia (pH, oksigen terlarut).
Pertumbuhan Diaphanosoma dapat
dilakukan dengan menentukan
pertumbuhan relatif dan doubling time.
Pertumbuhan relatif Diaphanosoma sp
dapat dihitung dengan menggunakan
rumus sebagai berikut:
Pertumbuhan relatif Diaphanosoma sp
(%) =
dimana:
Nt= Kepadatan rata-rata Diaphanosoma
pada hari ke-t (ind/l)
No=Kepadatan rata-rata Diaphanosoma
pada awal tebar (ind/l)
t = umur kultur Diaphanosoma (hari)
Nt – No x 100%
No
Jumlah Diaphanosoma yang terhitung (ind)
Jumlah volume sampling (ml)
Sri Susilowati 243
© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014
Tujuan penentuan doubling time yaitu
untuk mengetahui waktu yang
dibutuhkan oleh Diaphanosoma untuk
menggandakan biomassanya menjadi
dua kali lipat dari biomassa awal.
Penentuan doubling time pada
Diaphanosoma digunakan rumus
sebagai berikut menurut Ajah (2010).
r = [ ln (Nt) – ln (No)]/t ; td =
0,6931/r
dimana:
td = Time doubling (waktu
penggandaan) pada populasi
dalam sehari (kali/hari)
r = Nilai intrisik kenaikan populasi
Diaphanosoma
ln = Logaritma dengan basis (bilangan
pokok) e.
Nt = Kepadatan Diaphanosoma pada
hari ke-t (ind/l)
No = Kepadatan Diaphanosoma pada
awal tebar (ind/l)
t = Umur kultur Diaphanosoma (hari)
Hasil dan Pembahasan
Kepadatan Nannochloropsis pada hari
pertama yaitu 5 x 106 sel /ml. Hari
partama merupakan fase adaptasi bagi
Nannochloropsis terhadap media kultur
(Gambar 1). Nannochloropsis
mengalami peningkatan kepadatan pada
hari kedua menjadi 9 x 106 sel/ml.
Nannochloropsis aktif berkembang biak
hingga hari ke-4 kepadatan
Nannochloropsis semakin meningkat
hinga mencapai 15 x 106 sel/ml
(Gambar 2). Setelah umur kultur
mencapai 4 hari Nannochloropsis
dipanen untuk dikultur ulang dan
diberikan sebagai pakan pada
Diaphanosoma sp.
Hasil penghitungan kepadatan
Diaphanosoma diduga ada lima fase
hidup Diaphanosoma yang terjadi
selama kultur, yaitu fase lag, fase
eksponensial, fase stasioner, fase
decline, dan fase kematian. Fase-fase
tersebut dapat digambarkan kepadatan
individu Diaphanosoma yang diamati
selama 12 hari pengamatan. Fase lag
ditandai dengan rendahnya peningkatan
kepadatan individu. Fase eksponensial
terjadi saat Diaphanosoma mengalami
kecepatan pertumbuhan yang begitu
pesat. Fase stationer, ditandai dengan
seimbangnya laju pertumbuhan dengan
laju kematian. Fase decline terjadi
ketika penurunan pertambahan populasi
persatuan waktu bila dibandingkan
dengan fase eksponensial. Fase
kematian ditandai dengan menurunnya
kepadatan individu secara drastis.
Kepadatan rata-rata Diaphanosoma
tertinggi terjadi pada hari ke-9 yaitu
2150 ind/l. Sedangkan kepadatan rata-
rata Diaphanosoma pada fase akhir
kematian yaitu 666 ind/l terjadi pada
hari ke-12 (Gambar 2).
244 Pertumbuhan Diaphanasoma sp
© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014
Gambar 1. Kepadatan Nannochloropsis sp. selama kultur
Gambar 2. Kepadatan rata-rata Diaphanosoma sp. selama kultur yang diberi
pakan Nannochloropsis sp.
Fase adaptasi dimulai sesaat setelah
penebaran Diaphanosoma yang ditandai
dengan tetapnya jumlah populasi. Fase
lag diduga terjadi pada hari pertama
hingga kedua dengan kepadatan rata-
rata 150 ind/l. Pada fase lag,
peningkatan populasi Diaphanosoma
sangat rendah, karena Diaphanosoma
masih dalam proses adaptasi secara
fisiologis terhadap media kultur
sehingga metabolisme untuk tumbuh
lamban. Pertumbuhan relatif
Diaphanosoma pada hari pertama
hingga hari kedua sebesar 0%, yang
berarti belum ada peningkatan
kepadatan Diaphanosoma.
Fase eksponensial diduga terjadi mulai
hari ke-3 hingga hari ke-7 menurut
penghitungan pertumbuhan relatif
Diaphanosoma, ditandai dengan
pesatnya laju pertumbuhan. Kepadatan
rata-rata Diaphanosoma pada fase
eksponensial yaitu 1916 ind/l. Menurut
Suantika (2009), fase eksponensial
terjadi ketika nutrien, pH dan intensitas
cahaya pada medium masih dapat
memenuhi kebutuhan fisiologis
mikrooganisme sehingga dalam fase ini
mikroorganisme masih memiliki
kemampuan bereproduksi hingga
kepadatannya masih bertambah.
Diaphanosoma aktif berkembang biak
02468
10121416
1 2 3 4
Kep
ad
ata
n (
x
10
6se
l/m
l)
Umur Kultur (hari)
0
500
1000
1500
2000
2500
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Kep
ad
ata
n (
ind
/l)
Umur kultur (hari)
Fase LagFase Lag
Sri Susilowati 245
© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014
pada fase eksponensial. Ciri
metabolisme selama fase eksponensial
adalah tingginya aktivitas yang berguna
untuk pembentukan protein dan
komponen-komponen penyusun plasma
sel yang dibutuhkan dalam
pertumbuhan (Fogg, 1975).
Setelah fase eksponensial kemudian
terjadi fase stasioner, ditandai dengan
seimbangnya laju pertumbuhan dengan
laju kematian. Disebut juga fase statis
karena pertambahan kepadatan populasi
seimbang dengan laju kematian
sehingga sepertinya tidak ada lagi
adanya pertumbuhan populasi.
Berdasarkan pengamatan, fase stasioner
terjadi pada umur kultur hari ke-7
hingga hari ke-9. Pada umur kultur
tersebut Diaphanosoma mengalami
puncak kepadatan hingga umur kultur
ke-9 hari. Pada umur kultur ke-10 hari
dan selanjutnya Diaphanosoma
mengalami penurunan kepadatan
populasi.
Setelah fase stasioner kemudian terjadi
fase decline, disebut juga fase istirahat
atau fase penurunan laju pertumbuhan.
Hasil penghitungan pertumbuhan relatif
Diaphanosoma menunjukkan fase
decline diduga terjadi mulai hari ke-9
hingga hari ke-10. Kepadatan rata-rata
Diaphanosoma pada puncak yaitu 2150
ind/l. Pada fase ini Diaphanosma dapat
dipanen untuk dijadikan sebagai pakan
alami larva ikan dan atau udang. Fase
decline diduga terjadi karena persaingan
pakan alami di dalam media kultur.
Menurut Partawisastra (1996), selama
energi yang dibutuhkan untuk
mempertahankan sel masih diperoleh
dengan respirasi bahan simpanan dan
protein, mikroorganisme masih mampu
mempertahankan hidup untuk masa
yang panjang.
Fase terakhir setelah fase decline adalah
fase kematian yang diduga terjadi
setelah hari ke-10 hingga hari ke-12.
Fase kematian ditandai dengan
kepadatan populasi yang terus
berkurang, hal ini dikarenakan populasi
kematian lebih tinggi dari populasi
pertumbuhan. Kepadatan rata-ata
Diaphanosoma pada akhir fase
kematian yaitu 666 ind/l (Gambar 2).
Penelitian serupa juga dilakukan pada
BBL (2002), Diaphanosoma yang
diberikan pakan Nannochloropsis sp
memiliki kepadatan lebih tinggi
dibandingkan Diaphanosoma yang
diberi pakan Tetraselmis sp dan
Dunaliella sp. Kepadatan dicapai pada
hari ke-5 dengan jumlah populasi 754
ind/l. Diaphanosoma yang diberi pakan
Nannochloropsis sp memiliki life span
yang lebih lama dibandingkan
Diaphanosoma yang diberi pakan
Tetraselmis sp, Chaetoceros sp, dan
Isocrysis sp yaitu umur kultur mencapai
17 hari. Studi lain yang menyatakan
Diaphanosoma yang diberi pakan
Tetraselmis sp dengan padat tebar 3 x
104 sel/ml mencapai puncak pada hari
ke-9, dan pada hari tersebut
Diaphanosoma dapat dipanen (Rasyid,
2006).
Pertumbuhan Diaphanosoma selama
penelitian mengalami lima fase, yaitu
fase lag, fase eksponensial, fase
stasioner, fase decline dan fase
kematian. Selama kultur,
Diaphanosoma mengalami doubling
time, yaitu waktu yang diperlukan
Diaphanosoma untuk mencapai
kepadatan dua kali lipat dari kepadatan
sebelumnya. Pada saat pertumbuhan,
rata-rata setiap kultur doubling time
Diaphanosoma terjadi setiap 1,91
kali/hari, atau sama dengan setiap 12,5
jam sekali. Menurut Gardner et al.
(1991), pertumbuhan dan
perkembangan berlangsung secara
terus-menerus tergantung pada hasil
246 Pertumbuhan Diaphanasoma sp
© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014
asimilasi, hormon dan substansi
pertumbuhan serta lingkungan yang
mendukung.
Faktor pendukung lingkungan yang
mempengaruhi pertumbuhan di dalam
media pemeliharaan antaralain salinitas,
pH dan oksigen terlarut (Djarijah,
1995). Hasil pengamatan salinitas, suhu,
pH, dan oksigen terlarut menunjukkan
kondisi media kultur yang relatif stabil
dan dapat ditolerir oleh Diaphanosoma
sp. Nilai kualitas air yang didapat sesuai
kisaran optimum untuk Diaphanosoma,
yaitu 20-35 ppt untuk salinitas
(Nyabakken, 1992), 7 – 9 untuk pH
(Effendi, 2003), 5,45 - 7,00 ppm untuk
oksigen terlarut (Sanusi, 2004). Begitu
pula nilai suhu masih berada dalam
kisaran optimum untuk pertumbuhan.
Isnansetyo dan Kurniastuti (1995),
menyatakan suhu yang sesuai dengan
fitoplankton berkisar antara 25 - 30oC,
sedangkan yang sesuai untuk
pertumbuhan zooplankton berkisar
antara 15 - 30oC. Pengamatan kualitas
air selama penelitian dilakukan pada
awal, tengah, dan akhir penelitian
(Tabel 1).
Tabel 1. Kualitas media kultur Diaphanosoma sp. selama pemeliharaan
Parameter Hari ke-0 Hari ke-7 Hari ke-11 Nilai Optimum
Salinitas (ppt) 28 28 28 25-35*
Suhu (°C) 21.7 23.1 18.8 15-30**
pH 8.2 8.1 8.2 7,3-8,7*
DO (ppm) 6.7 6.3 6.9 4,0-6,9*
Keterangan : *BBL, 2002. **Isnansetyo dan Kurniastuti, 1995.
.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat
disimpulkan bahwa terdapat lima fase
pertumbuhan pada Diaphanosoma sp,
yaitu fase lag, fase eksponensial, fase
stasioner, fase decline dan fase
kematian. Pada saat pertumbuhan
Diaphanosoma sp mengalami doubling
time setiap 1,91 kali/hari, atau sama
dengan setiap 12,5 jam sekali.
Daftar Pustaka
Ari Kadek, Winanto T., dan
Anindiastuti. 2002. Kajian
Pendahuluan Penggunaan Pakan
Fermentasi Untuk Kultur Massal
Cyclop sp. DKP Dirjen Perikanan
Budidaya, Balai Budidaya Laut
Lampung.
Ajah, P.O. 2010. Mass Culture of
Rotifera Brachionus
quadridentatus [Herman, 1783])
using three different algal species.
Africa Journal of Food Science.
Vol 4: 80-85 pp.
Balai Budidaya Laut Lampung. 2002.
Diaphanosoma sp. dalam Budidaya
Fitoplankton dan Zooplankton.
Dirjen Perikanan Budidaya
Departemen Perikanan dan
Kelautan. 90 hal.
Davis, C.C. 1955. The Marine and
Freshwater Plankton. Machigan
State University Press. USA. 562p.
Djarijah. A. S. 1995. Pakan Ikan Alami.
Kanisius. Yogyakarta. 12 -13 hal.
Sri Susilowati 247
© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air
bagi Pengelolaan Sumber Daya
dan Lingkungan Perairan.
Kanisius. Yogyakarta. 258 hal.
Fogg, G. E. 1975. Algae Cultur and
Phytoplankton Ecology 2nd Ed.
University of Winconsin Press,
Maddison. 19p.
Fulks, W. dan K. L. Main. 1991. The
design operations of commercial-
scale live feeds production systems.
Rotifers and Microalgae Culture
System. Proceeding of a US - Asia
workshop. Edited by Wendy Fulks
and Kevan L. Main. The Ocean
Institute, Hawaii. 348 pp.
Gardner, F.P., R.B. Pearce, and R. L.
Mitchell. 1991. Fisiologi Tanaman
Budidaya. Universitas Indonesia
Press. Jakarta. 428 hal.
Isnansetyo, A. dan Kurniastuty. 1995.
Teknik kultur fitoplankton dan
zooplankton. Pakan alami untuk
pembenihan organisme laut.
Kanisius. Yogyakarta. 115p.
Javellana, S. and F. Escritor. 1981.
Culture of Algae and Plotting of
Growth Curves. SEADFEC
Aquaculture Department, Natural
Food Project, Tigbauan, Iloila.
Philipines. 78 hal.
Nybakken, J. W. 1988. Biologi Laut
Suatu Pendekatan Ekologi. Jakarta:
Gramedia. 459 hal.
Partawisastra, A. R. 1996. Studi
Pendahuluan tentang Zat Pemacu
Pertumbuhan dari Mikroalga
Chlorella sp. Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan. Institut
Pertanian Bogor. Skripsi. 101 hal.
Rasyid, A.. 2006. Kultur
Diaphanosoma sp. Dengan Pakan
Tetraselmis sp. Yang Berbeda
Kelimpahannya Pada Balai Besar
Pengembangan Budidaya Laut
(BPBL) Lampung. Skripsi. Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam. Universitas Sriwijaya. 23
hal.
Sanusi, H. 2004. Karakteristik Kimia
Dan Kesburuan Perairan Teluk
Pelabuhan Ratu Pada Musim Barat
Dan Timur. Jurnal Ilmu-ilmu
Perairan dan Perikanan Indonesia.
Jilid II, No 2. Departemen Sumber
Daya Perairan, Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan IPB Bogor. 89
hal.
Suantika, G. dan D. Hendrawandi.
2009. Efektivitas Teknik Kultur
Menggunakan Sistem Kultur Statis,
Semi-kontinyu dan Kontinyu
Terhadap Produktivitas dan
Kualitas Kultur Spirulina sp. Jurnal
Matematika dan sains. Vol. 14 : 41-
50 hal.
Suminto. 2005. Budidaya Pakan Alami
Mikroalgae dan Rotifera. Buku
Ajar Mata Kuliah Budidaya Pakan
Alami. DEPDIKNAS, FPIK
Universitas Diponegoro.
Semarang. 72 hal.
e-Jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan Volume II No 2 Februari 2014
ISSN: 2302-3600
© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014
IMUNOGENISITAS KOMBINASI VAKSIN INAKTIF WHOLE CELL
Aeromonas salmonicida DAN JINTAN HITAM (Nigella sativa)
PADA IKAN MAS (Cyprinus carpio)
Nur` Ani Okta Trilia*†, Agus Setyawan‡, Y.T. Adiputra‡ dan Wardiyanto‡
ABSTRAK
Furunculosis dan carp erytrodermatitis merupakan penyakit pada ikan yang
disebabkan oleh bakteri Aeromonas salmonicida. Vaksin inaktif whole cell A.
salmonicida saat ini sedang dikembangkan untuk menanggulangi penyakit tersebut.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui imunogenisitas kombinasi vaksin inaktif
whole cell A. salmonicida dengan imunostimulan dari jintan hitam (Nigella sativa)
pada ikan mas (Cyprinus carpio). Sebanyak 180 ekor ikan mas dimasukkan
kedalam 18 akuarium dengan 6 perlakuan yang berbeda dan diulang sebanyak 3
kali. Perlakuan yang dilakukan terdiri dari kontrol (tanpa vaksin dan jintan hitam),
pemberian jintan hitam 5%, pemberian vaksin, vaksin yang ditambah jintan hitam
1%, vaksin yang ditambah jintan hitam 2.5%, vaksin yang ditambah jintam hitam
5%. Vaksin diberikan dengan cara penyuntikan secara intraperitoneal dengan
kepadatan bakteri 107sel/ikan dan jintan hitam diberikan melalui pakan sebanyak
tiga kali dalam sehari. Pengambilan contoh darah ikan untuk diuji titer antibodi,
total leukosit, dan hematokrit ikan dilakukan saat sebelum vaksinasi, 7 hari setelah
vaksinasi, dan 7 hari setelah booster. Hasil penelitian menunjukkan kombinasi
vaksin inaktif whole cell A. salmonicida yang ditambah jintan hitam 5% mampu
meningkatkan titer antibodi ikan hingga 27 dibandingkan kontrol yang hanya
meningkat hingga 25 dan tanpa jintan hitam yang hanya meningkat hingga 24,
kombinasi ini juga mampu meningkatkan jumlah leukosit pada ikan dengan
rendahnya nilai hematokrit dan mampu mengembalikan kondisi tubuh dalam
keadaan seimbang dalam waktu 7 hari.
Kata kunci : A. salmonicida, vaksin inaktif, jintan hitam, imunostimulan, ikan mas
Pendahuluan
Ikan air tawar yang umum dikonsumsi
dan dibudidayakan di Indonesia yaitu
* Mahasiswa Jurusan Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Lampung † Email : Moeslimaniee@yahoo.com ‡ Dosen Jurusan Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Lampung Jl. Prof. Soemantri
Bojonegoro Gedong Meneng No.1 Bandar Lampung 35145
ikan mas (Cyprinus carpio). Ikan mas
dikenal sebagai komoditas yang
berprospek cerah, karena memiliki
250 Imunogenisitas Kombinasi Vaksin Inaktif
© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014
harga jual yang tinggi, selain itu ikan
mas juga memiliki pertumbuhan yang
relatif cepat, fekunditas dan sintasan
yang tinggi, dapat diproduksi secara
massal serta memiliki peluang
pengembangan skala industri (Cahyono,
2002).
A. salmonicida merupakan bakteri
penyebab penyakit furunculosis. Akibat
dari serangan bakteri Aeromonas sp.
yang diantaranya adalah A. salmonicida
di Indonesia pada akhir tahun 1980
terjadi kematian ikan mas sebanyak 125
ribu ekor di daerah budidaya di Jawa
Barat. Kejadian tersebut menyebabkan
penurunan produksi dan kerugian
berkisar 4 milyar rupiah (Anonim,
2007).
Hingga kini, metode yang banyak
digunakan untuk menanggulangi
penyakit pada ikan budidaya adalah
pengobatan dengan zat kimia atau
antibiotik. Penggunaan antibiotik yang
berlebihan dapat menyebabkan bakteri
menjadi resisten.Untuk menghindari hal
tersebut, resisten ketahanan tubuh perlu
dilakukan dengan vaksinasi.
Vaksinasi merupakan suatu upaya untuk
menimbulkan ketahanan tubuh yang
bersifat spesifik melalui pemberian
vaksin. Pengembangan vaksin inaktif
whole cell Aeromonas salmonicida
pada ikan mas telah dilakukan di
Jurusan Budidaya Perairan Unila. Hasil
penelitian menunjukkan vaksin tersebut
memiliki imunogenisitas yang cukup
tinggi pada ikan mas yang ditunjukkan
dengan titer antibodi yang mencapai 27
(Setyawan dkk., 2012).
Namun, penggunaan vaksin saja dalam
meningkatkan kekebalan tubuh ikan
dirasakan kurang maksimal, karena
vaksin hanya meningkatkan ketahanan
humoral dan hanya efektif pada agen
patogen yang spesifik. Maka dari itu,
selain penggunaan vaksin, untuk
menambah kekebalan tubuh ikan secara
maksimal dapat dilakukan dengan
pemberian imunostimulan.
Immunostimulan adalah suatu zat yang
termasuk dalam adjuvant, mempunyai
kemampuan untuk meningkatkan
ketahanan tubuh terhadap infeksi. Salah
satu sumber imunostimulan adalah
jintan hitam (Nigella sativa). Biji dari
jintan hitam telah diuji pada hewan dan
manusia memiliki kemampuan anti
bakteri, anti hipertensi, dan
antihelmintik. El-Kadi and Kandil
(1986) melaporkan bahwa ekstrak jinten
hitam berpengaruh menguatkan fungsi
kekebalan, dimana kadar sel-sel T
pembantu meningkat dibandingkan sel-
sel T penekan dengan perbandingan
rata-rata 72% serta terjadi peningkatan
aktivitas sel-sel pembunuh alami rata-
rata 75%. Aktivitas immunostimulator
ekstrak jinten hitam meliputi
peningkatan jumlah sel darah putih
(leukosit) terutama neutrofil, limfosit
dan monosit serta ketahanan terhadap
infeksi bakteri Aeromonas.
Kemampuan anti bakteri ekstrak jintan
hitam juga dilaporkan oleh (Ali et al.,
2007). Ekstrak jintan hitam merupakan
bahan yang potansial untuk digunakan
sebagai agen imunostimulan pada ikan
lele dumbo yang terinfeksi A.
hydrophila karena terbukti
meningkatkan jumlah sel darah putih
dan diferensial leukosit yang berperan
dalam respon immune nonspesifik.
Kombinasi antara vaksin inaktif A.
salmonicida dan jintan hitam
diharapkan ikan akan memiliki imunitas
atau kekebalan tubuh secara maksimal
terhadap berbagai macam infeksi
patogen khususnya infeksi
A.salmonicida.
Nur` Ani Okta Trilia, Agus Setyawan, Y.T. Adiputra dan Wardiyanto 251
© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014
Bahan dan Metode
Penyediaan bahan
Isolat bakteri A. salmonicida didapatkan
dari Stasiun Karantina Ikan dan
Penjaminan Mutu Hasil Perikanan
Kelas I Panjang, Bandarlampung.
Sedangkan ikan mas sebagai ikan uji
diperoleh dari petani ikan di Kecamatan
Pagelaran, Kabupaten Pringsewu.
Pembuatan vaksin inaktif A.
salmonicida
Pembuatan vaksin inaktif A.
salmonicida dengan cara mengkultur
Isolat bakteri A. salmonicida pada
media cair TSB, lalu diinkubasi selama
24 jam pada suhu ruang. Dilakukan
pengkayaan dengan memindahkan
inokulum A. salmonicida ke media TSA
lalu diinkubasi kembali selama 24 jam
pada suhu ruang. Bakteri A. salmonicida
dipanen kemudian diinaktifasi dengan
penambahan formalin 1% dan
diinkubasi selama 24 jam pada suhu
ruang. Untuk menghilangkan formalin
dalam inokulum Dilakukan pencucian
menggunakan PBS kemudian
disentrifuse dengan kecepatan 4000 rpm
selama 1 jam, untuk memastikan bakteri
sudan inaktif, dilakukan uji viabilitas
pada medium spesifik GSP dan
diinkubasi selama 24 jam pada suhu
ruang hingga bakteri tidak tumbuh lagi
Kepadatan vaksin in-aktif dihitung
dengan spektrofotometer. UV-
spektrofotometer (l=625 nm) dengan
mengacu larutan standar Mc Farland.
Vaksinasi ikan dilakukan dengan tiga
metode suntik (107 cfu/ikan).
Pembuatan pakan yang ditambah
dengan jintan hitam
Pembuatan pakan yang ditambah
dengan jintan hitam dengan cara
menimbang pakan sesuai bobot ikan
dengan FR 2% jintan hitam
dicampurkan merata ke dalam pakan
menggunakan putih telur sebagai
perekat dengan dosis jintan hitam yang
digunakan pada penelitian ini yaitu: 1%
jintan hitam /kg pakan, 2,5% jintan
hitam /kg pakan, dan 5% jintan hitam
/kg pakan. Pakan bercampur jintan
hitam diberikan pada ikan mas setiap
hari selama pemeliharaan dengan
frekuensi pemberian pakan sebanyak 3
kali sehari yaitu pada pukul 08.00,
12.00, dan 16.00. Pakan yang diberikan
sesuai perlakuan pada masing-masing
akuarium.
Vaksinasi
Vaksinasi dilakukan dalam 5 perlakuan
yaitu, kontrol, pemberian vaksin +
jintan hitam 1%, pemberian vaksin +
jintan hitam 2,5%, pemberian vaksin +
jintan hitam 5%, pemberian jintan
hitam 5%, dan pemberian vaksin saja.
Pemberian vaksin dengan metode
suntik (107 cfu/ikan) secara
intrapetional . Tujuh hari setelah
vaksinasi pertama, dilakukan penguatan
(booster) vaksinasi dengan metode dan
dosis yang sama. Selama vaksinasi, ikan
dipelihara dalam akuarium dan diberi
makan menggunakan Feeding Rate 2%
pemberian pakan tiga kali sehari.
Kualitas air selama pemeliharaan dijaga
agar masih dalam kisaran normal untuk
budidaya ikan mas. Pada saat sebelum
vaksinasi, 7 hari sesudah vaksinasi, dan
booster dilakukan uji titer antibodi,
hematokrit, dan total leukosit pada ikan
untuk mengetahui imunogenisitas pada
ikan.
Titer Antibodi
Pengukuran titer antibodi bertujuan
untuk menentukan jumlah antibodi yang
dihasilkan akibat vaksinasi Pengujian
dengan metode aglutinasi mengacu
pada prosedur standar mikroaglutinasi
(Roberson, 1990) dengan sedikit
modifikasi secara lengkap. Serum yang
ada diambil dengan mikropipet secara
hati-hati sehingga tidak tercampur lagi
252 Imunogenisitas Kombinasi Vaksin Inaktif
© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014
dengan sel dara. Serum @ 25 ml
dimasukkan kedalam sumuran 1 dan 2.
PBS @ 25 ml dimasukkan kedalam
sumuran 2 – 12. Sumuran kedua
direpipeting untuk mengencerkan
serum, kemudian dilanjutkan ke
sumuran 3 sampai 11. Ag @ 25 ml
dimasukkan kedalam sumuran 1 – 12.
mikrodiluton plate digoyang –
goyangkan selama 3 menit dengan pola
membentuk angka 8. Hasil titer
diinkubasi dalam refrigerator selama 1
malam. Dilakukan pengamatan reaksi
aglutinasi pada masing – masing sumur.
yang di tandai dengan adanya kabut
wara keruh/putih atau dot yang
menyebar ke seluruh sumuran yang
berarti antibodi telah terbentuk.
Total Leukosit
Perhitungan total leukosit dilakukan
dengan cara bilik hitung
haemocytometer dan kaca penutupnya
dibersihkan dengan etanol, kemudian
dipasang kaca penutup pada
haemocytometer. Sampel darah dihisap
dengan pipet berskala sampai 0,5
dilanjutkan dengan menghisap larutan
turk sampai skala 11 (pengenceran
1:20), kemudian digoyangkan selama 3
menit agar bercampur homogen. Empat
tetesan pertama dibuang, tetesan
berikutnya dimasukan ke dalam
haemocytometer dengan meletakkan
ujung pipet pada bilik hitung tepat batas
kaca penutup dan dibiarkan selama 3
menit agar leukosit mengendap dalam
bilik hitung. Bilik hitung diletakkan di
bawah mikroskop menggunakan
pembesaran lemah. Penghitungan
dilakukan pada 4 kotak besar
haemocytometer.
Hematokrit
Sampel darah dimasukkan kedalam
tabung hematokrit sampai kira-kira 4/5
bagian tabung, ujungnya (bertanda
merah) disumbat dengan kretoseal.
Sentrifusi dengan sentrufuse hematokrit
selama 15 menit dengan kecepatan
3.500 rpm. Pengukuran kadar
hematokrit dilakukan dengan
membandingkan volume padatan sel
darah dengan volume seluruh darah
pada skala hematokrit.
Hasil dan Pembahasan
Pada dasarnya vaksinasi adalah
memasukkan antigen kedalam tubuh
ikan yang sudah dihilangkan
patogenisitasnya untuk merangsang sel-
sel limfosit sehingga menimbulkan
ketahanan humoral (spesifik). Antigen
yang digunakan adalah antigen H, yaitu
melemahkan bakteri A. salmonicida
menggunakan formalin untuk
menghasilkan vaksin inaktif bakteri A .
salmonicida. Sebelum dilakukannya
penelitian ini, telah dilakukan penelitian
oleh Setyawan dkk. (2012) mengenai
vaksin inaktif bakteri A. salmonicida
yang hasilnya mampu meningkatkan
titer antibodi pada ikan mas. Namun,
dalam penelitian tersebut hanya
mengamati respon imun adaptif saja
yang diindikatorkan dengan nilai titer
antibody mencapai 27. Penambahan
immunostimulan jintan hitam dalam
penelitian ini terbukti efektif
meningkatkan respon imun ikan mas,
baik respon imun adaptif dengan titer
antibody 27 maupun respon imun innate
dengan peningkatan total leukosit
5,7x103sel/mm3 dan hematokrit antara
21%-44%.
Titer Antibodi
Hasil rata-rata titer mengalami
peningkatan setiap minggunya, dari
sebelum vaksinasi hingga sesudah
vaksinasi II (booster). Perhitungan
ANOVA pada selang kepercayaan 95%
didapatkan hasil titer sebelum vaksinasi
, vaksinasi I dan vaksinasi II
menunjukkan berbeda nyata (P<0.05)
Nur` Ani Okta Trilia, Agus Setyawan, Y.T. Adiputra dan Wardiyanto 253
© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014
sehingga dilakukan uji lanjut BNT. Uji
lanjut BNT pada saat sebelum vaksinasi
menunjukkan perlakuan A, C, dan D
berbeda nyata terhadap perlakuan B, E,
dan F dan perlakuan B, E, dan F
berbeda nyata dengan perlakuan A, C
dan D. Uji lanjut BNT pada vaksinasi I
menunjukan perlakuan A, E, dan F
berbeda nyata dengan perlakuan B, C,
dan D, perlakuan B berbeda nyata
terhadap semua perlakuan, perlakuan C
dan D berbeda nyata dengan perlakuan
A, B, E, dan F. Uji lanjut BNT pada
vaksinasi II menunjukan perlakaun A,
E, dan F berbeda nyata terhadap
perlakuan B, C, dan D, perlakuan B, C,
dan D berbeda nyata terhadap perlakuan
A, E, dan F (Tabel 1).
Nilai titer antibodi mengalami
peningkatan disetiap minggunya, yaitu
22 hingga 24 untuk perlakuan jintan
hitam saja, 21 hingga 24 untuk perlakuan
vaksin yang ditambah jintan hitam 1%,
20 hingga 25 untuk perlakuan vaksin
saja, dan 21 hingga 25 untuk perlakuan
kontrol, 22 hingga 26 untuk perlakuan
vaksin yang ditambah jintan hitam 2.5%
dan , 22 hingga 27 untuk perlakuan
vaksin yang ditambah jintan hitam 5%
(Gambar 1).
Tabel 1. Titer Antibodi pada Ikan Mas (Cyprinus carpio) ( 2logY )
Perlakuan Rata-rata Titer Antibodi
SV± SD SV I ± SD SV II ± SD
A ( Kontrol) 1.00±0.00a 4.67±1.15a 5.67±1.55a
B ( JH 5%) 2.00±1.00b 2.33±0.58b 4.33±0.58b
C ( Vaksin) 0.00±0.00a 3.67±0.58c 4.67±1.15b
D ( V + JH 1%) 1.00±1.00a 3.33±0.58c 3.67±1.53b
E ( V + JH 2,5%) 2.00±1.00b 4.67±0.58a 6.33±0.58a
F ( V + JH 5%) 2.00±1.00b 5.67±0.70a 7.33±0.58a
Gambar 1. Titer Antibodi Ikan Mas (Cyprinus carpio)
Hematokrit
Hasil analisa ragam (ANOVA) dengan
taraf kepercayaan 95%, perlakuan tidak
menunjukkan perbedaan yang nyata
(P0,05) pada saat sebelum vaksinasi
dan sesudah vaksinasi II. Perbedaan
nyata terlihat pada saat vaksinasi I.
Hasil uji BNT yang didapat
menunjukkan perlakaun A berbeda
nyata terhadap semua perlakuan kecuali
terhadap perlakuan D dan perlakuan B,
C, E, dan F berbeda nyata dengan
0
1
2
3
4
5
6
7
8
A B C D E F
Rat
a-ra
ta T
iter
Anti
bo
di
Perlakuan
Sebelum Vaksinasi
Sesudah Vaksinasi I
Sesudah Vaksinasi II
254 Imunogenisitas Kombinasi Vaksin Inaktif
© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014
perlakuan A dan D (Tabel 2). Nilai
hematokrit terendah terdapat pada
perlakaun A(kontrol) yaitu 21±1 dan
nilai hematokrit tertinggi terdapat pada
perlakuan D ( vaksin + jintan hitam1%)
yaitu 41.00±10.81 (Gambar 2).
Hasil pengamatan menunjukan nilai
hematokrit ikan yang bervariasi. Nilai
hematokrit tertinggi didapatkan
sebelum perlakuan, setelah perlakuan
mengalami penurunan, dan pada
booster meningkat kembali. Namun
nilai hematokrit ikan berada dalam
kisaran nilai normal. Peningkatan nilai
hematokrit menunjukkan peningkatan
sel-sel darah merah, peningkatan faktor-
faktor selular darah ini selanjutnya akan
menjadi efektor bagi peningkatan
respon pertahanan spesifik (antibodi)
yang lebih cepat dalam kuantitas yang
memadai untuk meredakan infeksi A.
salmonicida.
Tabel 2. Hematokrit Pada Ikan Mas (Cyprinus carpio)
Perlakuan Rata-rata Hematokrit (%)
SV± SD SV I ± SD SV II ± SD
A ( Kontrol) 37.67±02.88a 21.00±1.00a 29.67±1.52a
B ( JH 5%) 35.67±03.05a 26.00±4.00b 27.33±3.78a
C ( Vaksin) 32.33±04.04a 26.33±1.52b 29.67±2.08a
D ( V + JH 1%) 41.00±10.81a 23.33±2.51a 30.00±1.73a
E ( V + JH 2,5%) 36.00±04.58a 26.67±2.51b 25.00±1.00a
F ( V + JH 5%) 33.00±09.00a 30.33±3.78b 30.67±3.51a
Gambar 2. Hematokrit Ikan Mas (Cyprinus carpio)
Total Leukosit
Jumlah leukosit ikan sesudah vaksinasi
I mengalami peningkatan dan sesudah
vaksinasi II mengalami penurunan
mendekati keadaan normal. Hasil
analisa ragam (ANOVA) dengan taraf
kepercayaan 95%, perlakuan tidak
menunjukkan perbedaan yang nyata
(P0.05) telihat pada saat sebelum
vaksinasi dan sesudah vaksinasi II.
Perbedaan yang nyata terlihat pada saat
vaksinasi I. Perlakuan A berbeda nyata
terhadap semua perlakuan, perlakuan B
berbeda nyata terhadap semua
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
A B C D E FPer
senta
se R
erat
a N
ilai
Hem
ato
kri
t
Perlakuan
Sebelum Vaksinasi
Sesudah Vaksinasi I
Sesudah Vaksinasi II
Nur` Ani Okta Trilia, Agus Setyawan, Y.T. Adiputra dan Wardiyanto 255
© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014
perlakuan kecuali terhadap perlakuan C,
perlakuan D berbeda nyata terhadap
semua perlakuan, dan perlakuan E dan F
berbeda nyata terhadap perlakuan A, B,
C, dan D (Tabel 3). Nilai leukosit
terendah pada akhir perlakuan
didapatkan pada perlakuan B(Jintan
hitam 5%) yaitu 39. 216 sel/mm3 dan
nilai leukosit tertinggi didapatkan oleh
perlakuan F(vaksin + jintan hitam 5%)
yaitu 51.883 sel/mm3, diikuti perlakuan
E(vaksin + jintan hitam 2.5%) yaitu
50.066 sel/mm3, perlakuan C (vaksin)
yaitu 46.716 sel/mm3, perlakuan D
(vaksin + jintan hitam 1%) yaitu 41.833
sel/mm3 , dan perlakuan A (kontrol)
yaitu 40.166 sel/mm3 (Gambar 3)
Total sel darah putih pada ikan yang
diberi vaksin ditambah jintan hitam
secara umum mengalami peningkatan
yang lebih tinggi dibandingkan kontrol
pada saat vaksinasi I, hal ini berkaitan
dengan fungsi sel darah putih dalam
tubuh yaitu sebagai alat pertahanan dan
sel darah putih mengalami penurunan
pada saat vaksinasi II, hal ini karena sel-
sel dalam tubuh mengalami
homeostatis, yaitu kembali dalam
kondisi seimbang. Leukosit membantu
membersihkan tubuh dari benda asing,
termasuk invasi patogen melalui sistem
imun dan respon lainnya. Ikan yang
kemasukan mikroorganisme akan
menghasilkan banyak leukosit untuk
mensintesa antibodi dan memfagosit
bakteri (Moyle and Cech, 2004).
Kualitas Air
Parameter kualitas air yang diukur
dalam penelitian ini adalah : suhu air,
oksigen terlarut, dan pH air. Secara
terperinci terlihat bahwa kualitas air
disemua perlakuan tidak berbeda nyata,
baik suhu, oksigen
terlarut, dan pH
berada dalam kisaran normal sehingga
tidak berpengaruh nyata terhadap
perlakuan artinya perbedaan hasil
(perubahan parameter imunitas dan
perubahan gejala lainnya) disebabkan
karena perbedaan perlakuan bukan
karena kualitas air yang berbeda (Tabel
4).
Nilai hematokrit, total leukosit, dan titer
antibodi memiliki hubungan satu
dengan lainnya. Pada awal
pemeliharaan sebelum vaksinasi semua
nilai berada pada keadaan standar,
sesudah vaksinasi I nilai hematokrit
menurun, nilai leukosit meningkat, dan
nilai titer antibodi meningkat.
Meningkatnya jumlah leukosit karena
adanya benda asing yang masuk
kedalam tubuh ikan, sehingga bagian
leukosit bekerja untuk membersihkan
benda asing dari tubuh dengan cara
fagositosis. Meningkatnya total leukosit
memicu meningkatnya respon innate
sehingga ikan memiliki kekebalan
tubuh yang baik. Menurunnya nilai
hematokrit manandakan jumlah sel
darah merah dalam tubuh menurun,
menurunnya jumlah sel darah merah
dikarenakan jumlah sel darah putih
dalam darah sedang diproduksi banyak
untuk membersihkan masuknya benda
asing dalam tubuh. Dari gambaran
diatas terdapat korelasi antara jumlah
leukosit dan jumlah eritrosit dalam
tubuh ikan. Meningkatnya nilai titer
antibodi menunjukkan bahwa antibodi
mampu mengeliminasi antigen yang
masuk ke dalam tubuh.
Setelah pemberian vaksinasi II
(booster) jumlah leukosit mengalami
penurunan, nilai hematokrit mengalami
peningkatan dan nilai titer antibodi
meningkat. Meningkatnya nilai
hematokrit dan menurunnya jumlah
leukosit terjadi dimungkinkan karena
sel-sel tubuh akan mengalami
homeostatis. Homeostatis adalah suatu
keadaan komposisi kimia dan fisiokimia
yang konstan pada medium internal
256 Imunogenisitas Kombinasi Vaksin Inaktif
© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014
organisme. Homeostatis merupakan
manifestasi keberadaan sejumlah factor
biologis yang konstan seperti indikasi
kuantitatif, karakteristik suatu
organisme pada kondisi normal.
Termasuk temperature tubuh,
konsentrasi ion dan ratio ion-ion aktif
yang berhubungan dengan biologis dan
sebaliknya ( Hernawati, 2012).
Sedangkan antibodi pada ikan tetap
mengalami peningkatan, hal ini terjadi
karena antibodi bekerja kembali
mengingat antigen yang pernah masuk
kedalam tubuh dan mempersiapkan diri
lebih baik dan efektif dengan masuknya
antigen dalam tubuh.
Tabel 3. Total Leukosit Pada Ikan Mas (Cyprinus carpio)
Perlakuan Rata-rata Total Leukosit ( X 103 sel/mm3)
SV± SD SV I ± SD SV II ± SD
A ( Kontrol) 38±3.9a 40±2.3a 39±8.4a
B ( JH 5%) 37±2.8a 39±2.4b 46±3.1a
C ( Vaksin) 37±5.4a 46±8.4b 50±1.9a
D ( V + JH 1%) 35±7.2a 41±6.3c 44±1.7a
E ( V + JH 2,5%) 41±4.0a 50±1.2d 55±1.9a
F ( V + JH 5%) 40±2.8a 51±3.2d 57±2.8a
Gambar 3. Leukosit Ikan Mas (Cyprinus carpio)
Tabel 4. Data Kisaran Kualitas Air Selama Penelitian
Perlakuan
Pagi Sore
pH Suhu (oC) DO (mg/l) pH Suhu (oC) DO (mg/l)
A 7 26,0 4,90 7,1 27,25 4,25
B 7 25,8 5,15 7,1 26,20 5,00
C 7 25,5 5,20 7,2 26,10 4,65
D 7 25,2 4,58 7,1 26,25 4,85
E 7 25,6 4,90 7,2 26,10 5,05
F 7 26,2 5,25 7,1 26,30 4,20
0
10000
20000
30000
40000
50000
60000
70000
A B C D E F
Per
sen
tase
rera
ta n
ila
i le
uk
osi
t
Perlakuan
Sebelum Vaksinasi
Sesudah Vaksinasi I
Sesudah Vaksinasi II
Nur` Ani Okta Trilia, Agus Setyawan, Y.T. Adiputra dan Wardiyanto 257
© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014
Kesimpulan
Hasil yang diperoleh selama
penelitian, pemberian kombinasi
vaksin whole cell A. salmonicida dan
immonostimulan jintan hitam dengan
kadar 2.5% - 5% yang dicampurkan
dalam pakan mampu meningkatkan
imonogenisitas ikan mas.
Daftar Pustaka
Ali, O., Basbulbul, G. and Aydin T.
2007. Antimitotic and antibacterial
effects of the Nigella sativa L.
Seed. Caryologia. 60 : 270-272.
Anonim, 2007.Metode Standar
Pemeriksaan HPIK Golongan
Bakteri. Pusat Karantina Ikan. 66
hal.
Cahyono, B. 2002. Budidaya Air
Tawar. Kanisius. Yogyakarta. 10-
14 hal.
El-Kadi A and Kandil O. 1986. Effect
of Nigella sativa (the black seed)
on immunity. Proceeding of the
4th International Conference on
Islamic Medicine, Kuwait.
Bulletin of Islamic Medicine. 4:
344-348
Hernawati. 2012. Mineral dan
Homeostatis. FMIPA UPI.
Bandung. 1-17 hal.
Moyle P.B and Cech Jr J.J. 2004.
Fishes. An Introduction to
Ichthyology. 5th Ed. Prentice Hall.
USA.
Roberson, B.S., 1990. Bacterial
Agglutination. In: Stolen, J.S.,
Fletcher, T.C., Anderson, D.P.,
Roberson, B.S., & Muiswinkel, J.
(Eds.).Techniques in Fish
Immunology. SOS Publications.
Fair Haven. New Jersey. pp.81-86.
Setyawan, A., Hudaidah, S., Zulfikar
Z.R., dan Sumino. 2012.
Imunogenisitas Vaksin Inaktif
Whole cell Aeromonas
salmonicida pada Ikan Mas
(Cyprinus carpio). Aquasains 1:
17-21.
e-Jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan Volume II No 2 Februari 2014
ISSN: 2302-3600
© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014
EFEK PELARUT YANG BERBEDA TERHADAP TOKSISITAS
EKSTRAK AKAR TUBA (Derris elliptica)
Oktarinaldi Irawan*†, Eko Efendi‡ dan Mahrus Ali‡
ABSTRAK
Akar tuba (Derris elliptica) digunakan sebagai racun pada penangkapan ikan air
tawar. Rotenon sebagai bahan aktif dari akar tuba sangat efektif untuk membunuh
ikan tetapi penelitian tentang toksisitasnya masih sangat terbatas. Tujuan penelitian
ini untuk mengetahui tingkat toksisitas ekstrak akar tuba menggunakan pelarut
etanol, heksan dan akuades dengan menggunakan dua hewan uji yaitu artemia
(Artemia sp.) dan ikan mas (Cyprinus carpio). Penelitian ini menggunakan
rancangan acak lengkap (RAL) dengan 5 tingkat konsentrasi yang berbeda. Jumlah
rendemen hasil ekstraksi pada pelarut etanol, heksan dan akuades berturut-turut 5;
3,6; 2,5%. Hasil penelitian pada artemia menunjukkan bahwa tingkat mortalitas
100% pelarut heksan terjadi pada konsentrasi 63 dan 100 mg/l; etanol 100 mg/l dan
akuades 1000 mg/l. Hasil analisis probit pada artemia menunjukkan nilai LC50
(Lethal Concentration) 24 jam pada heksan, etanol dan akuades berturut-turut
37,03; 46,77; 307,47 mg/l. Hasil penelitian pada ikan mas menunjukkan bahwa
tingkat mortalitas 100% pelarut heksan terjadi pada konsentrasi 3,979; 6,30 dan
9,96 mg/l dan pelarut etanol 9,96 mg/l. Hasil analisis probit pada hewan uji ikan
mas menunjukkan nilai LC50-96 jam heksan dan etanol berturut-turut 3,83 dan 6,85
mg/l. Penelitian ini diharapkan mampu menjadi data awal untuk penggunaan akar
tuba baik untuk meracuni ikan maupun untuk membius ikan.
Kata kunci : rotenon, tuba, ekstraksi, bioassay, probit
Pendahuluan
Tuba (Derris elliptica) banyak
digunakan oleh masyarakat untuk
menangkap ikan, namun tanaman ini
tidak menyebabkan semua ikan mati
dengan adanya penelitian yang memilik
hasil toksisitas yang berbeda. Starr et al.
(2003), mengungkapkan akar tuba
mengandung senyawa aktif rotenon
yang merupakan senyawa beracun yang
dapat membunuh ikan dan hama
tanaman jika digunakan dengan dosis
yang besar (Kardinan, 2000). Beberapa
* Mahasiswa Jurusan Budidaya Perairan Universitas Lampung † Email : Oktarinaldi_irawan@yahoo.com ‡ Dosen Jurusan Budidaya Perairan Universitas Lampung, Jl.Prof.S.Brodjonegoro No.1 Gedong
Meneng Bandar Lampung 35145
hasil riset mengenai toksisitas ekstrak
akar tuba terhadap ikan diantaranya
pada nila (Oreochromis niloticus)
ukuran benih dengan nilai LC50
(median lethal concentration) sebesar 5
mg/l (Sumera and Conato, 2006), pada
benih lele (Clarias gariepinus) sebesar
15x106mg/l (Olufayo, 2009). LC50
(median lethal concentration) yaitu
konsentrasi yang menyebabkan
kematian 50% dari organisme uji yang
dapat dilihat dalam grafik pada suatu
waktu pengamatan tertentu, misalnya
260 Efek Pelarut Yang Berbeda Terhadap Toksisitas Akar Tuba
© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014
LC50-48 jam, LC50-96 jam sampai
waktu hidup hewan uji (Astuti, 2004 ;
Rossiana, 2006).
Berdasarkan hasil di atas, terdapat
perbedaan tingkat toksisitas dari ekstrak
akar tuba, hal ini juga karena perbedaan
jenis pelarut yang digunakan, sehingga
menyebabkan senyawa yang terlarut
akan berbeda yang dapat berakibat
terhadap perbedaan tingkat toksisitas
pada ikan. Perlu dilakukan uji toksisitas
akar tanaman tuba dengan
menggunakan jenis-jenis pelarut yang
berbeda untuk mengetahui batas LC50
dari akar tuba pada ikan. Penelitian
tentang tosisitas akar tuba dengan
pelarut yang berbeda dan efeknya pada
tingkat toksisitas pada hewan yang
berbeda belum banyak dilakukan
sehingga studi ini menarik untuk
dilakukan. Penelitian ini dilakukan
dengan tujuan untuk mengetahui nilai
LC50-96 jam ekstrak akar tuba dengan
pelarut berbeda terhadap benih ikan mas
(Cyprinus carpio).
Bahan dan Metode
Penelitian dilakukan di Laboraturium
Budidaya Perikanan Universitas
Lampung. Bahan yang digunakan dalam
penelitian adalah akar tuba yang diambil
dari hutan didaerah Tanjung Bintang
Lampung Selatan, akuades, etanol,
heksan, kista artemia dan benih ikan
mas (Cyprinus carpio) yang dibeli dari
daerah Pagelaran. Metode yang
digunakan pada penelitian ini adalah
rancangan acak lengkap (RAL) dengan
5 perlakuan konsentrasi yaitu 0,1; 1; 10;
100; 1000 ppm dan 3 ulangan untuk
setiap pelarut, baik pada uji toksisitas
dan BSLT (brine shrimp lethality test)
menggunakan ikan masdan Artemia. Uji
BSLT bertujuan untuk menentukan
pelarut yang bersifat toksik dan non
toksik sedangkan uji pada ikan mas
bertujuan untuk menentukan nilai LC50.
Penelitian ini memiliki beberapa
tahapan yaitu pembuatan ekstrak
senyawa aktif akar tuba dengan pelarut
berbeda, uji pendahuluan BSLT
menggunakan Artemia dengan
penentuan konsentrasi deret logaritmik,
uji utama Artemia dari hasil uji
pendahuluan, analisis probit pada
hewan uji artemia, uji pendahuluan ikan
mas dengan penentuan konsentrasi deret
logaritmik, uji utama pada ikan dari
hasil uji pendahuluan dan analisis probit
pada hewan uji ikan mas (Yunita dkk.,
2009; Suhirman dkk., 2006; Hendri
dkk., 2010). Parameter yang diuji pada
penelitian ini adalah jumlah rendemen
ekstrak masing-masing pelarut,
konsentrasi pada uji utama, mortalitas
dan LC50 pada hewan uji artemia dan
ikan mas. Perhitungan analisis Probit
mengacu pada Hubert ,1979 (Hendri
dkk., 2010). Nilai LC50 diperoleh dari
hubungan nilai logaritma konsentrasi
bahan toksik uji dan nilai Probit dari
persentase mortalitas hewan uji
merupakan fungsi linear dengan
persamaan :
𝑌 = 𝑎 + 𝑏𝑥 dimana :
Y : Nilai Probit Mortalitas
a : konstanta
b : slope/ kemiringan
X : Logaritma konsentrasi bahan uji
Nilai LC50-24 diperoleh dari anti log m,
dimana m merupakan logaritma
konsentrasi bahan toksik pada Y = 5,
yaitu nilai Probit 50 % hewan uji,
sehingga persamaan regresi menjadi :
𝑀 =5 − 𝑎
𝑏
Oktarinaldi Irawan, Eko Efendi dan Mahrus Ali 261
© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014
Dengan nilai a dan b diperoleh
berdasarkan persamaan sebagai berikut
:
𝑏 =Σ XY –
1n (Σ X ΣY)
ΣX2–1n (Σ X)2
𝑎 =1n
(ΣY – b ΣX)
dimana :
n : banyaknya perlakuan
m : nilai X pada Y = 5
Hasil dan Pembahasan
Nilai rendemen yang menyatakan
bahwa persentase tertinggi berturut-
turut dihasilkan oleh pelarut etanol,
heksan dan akuades (Gambar 1.).
Pelarut lebih cenderung melarutkan
senyawa aktif yang mempunyai
golongan sama, sedangkan untuk
golongan semi polar dapat melarutkan
sebagian atau seluruh senyawa aktif dari
golongan polar dan nonpolar sehingga
jumlah rendemen untuk pelarut ethanol
paling banyak kerena etanol termasuk
golongan semi polar (Keenan dkk.,
1990). Pada rendemen yang diekstrak
oleh pelarut heksan terdapat senyawa
aktif rotenon yang beracun bagi ikan.
Hasil uji BSLT diperoleh nilai ambang
atas dan ambang bawah pelarut etanol
dan heksan mempunyai kisaran
konsentrasi 10–100 mg/l dan pelarut
akuades kisaran konsentrasi 10-1000
mg/l. Tingkat mortalitas pada uji BSLT
tertinggi secara berturut-turut diperoleh
dari bahan berpelarut heksan, etanol dan
akuades (Gambar 2.; Gambar 3.).
Berdasarkan analisis data terdapat
perbedaan nyata antar konsentrasi
terhadap tingkat mortalias yang
digunakan baik pada pelarut etanol,
heksan dan akuades. Pada pelarut
heksan hanya pada konsentrasi 63 dan
100 mg/l yang tidak berbeda nyata dan
pada pelarut akuades hanya pada
konsentrasi 25 dan 63 mg/l yang tidak
berbeda nyata. Mortalitas 100% pada
pelarut heksan terjadi pada konsentrasi
63 dan 100 mg/l, pada pelarut etanol
terjadi pada konsentrasi 100 mg/l, dan
pada pelarut akuades pada konsentrasi
1000 mg/l. Tingginya tingkat mortalitas
pada pelarut heksan karena pada pelarut
ini melarutkan senyawa aktif rotenon
yang beracun, sedangkan pada pelarut
akuades tidak toksik karena tidak dapat
melarutkan senyawa rotenon (WHO,
1992).
LC50-24 jam pada (BSLT) berturut-turut
adalah untuk pelarut heksan sebesar
37,03 mg/l, etanol sebesar 46,77 mg/l
dan akuades sebesar 307,47 mg/l.
Senyawa aktif yang dilarutkan dengan
pelarut heksan paling toksik karena zat
aktif yang diekstrak adalah rotenon
yang termasuk senyawa flavanoid yang
sangat beracun terhadap golongan
serangga dan ikan (Kardinan, 2000;
Maini and Rejesus, 1993; Starr et al.,
2003). Senyawa aktif yang dilarutkan
dengan etanol tidak terlalu toksik
dibandingkan dengan ekstrak dari
pelarut heksan karena senyawa dari
golongan alkohol banyak digunakan
sebagai bahan pembius dan juga bahan
pembuatan minuman beralkohol.
Senyawa aktif yang dilarutkan dengan
akuades tidak toksik karena pelarut
aquades termasuk golongan senyawa
polar tidak dapat melarutkan senyawa
rotenon (WHO, 1992). Berdasarkan
hasil diatas dapat diketahui bahwa
senyawa aktif ekstrak akar tuba yang
dilarutkan dengan pelarut heksan dan
etanol bersifat toksik untuk ikan
sedangkan pelarut akuades tidak toksik
untuk ikan.
262 Efek Pelarut Yang Berbeda Terhadap Toksisitas Akar Tuba
© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014
Gambar 1. Jumlah rendemen hasil ekstraksi akar tuba (Derris elliptica)
Gambar 2. Tingkat mortalitas (%) pada uji BSLT menggunakan pelarut etanol dan
heksan.
Gambar 3. Tingkat mortalitas (%) pada uji BSLT menggunakan pelarut akuades.
3,59 ± 0,31
5,04 ± 0,71
2,73 ± 0,36
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
Hexan Ethanol Akuades
Jum
lah r
endem
en (
%)
Jenis Pelarut
0.64
21.1529.92
42.09
89.36
0.64
31
49.8
89.36 89.36
0
20
40
60
80
100
120
15.85 25.12 39.82 63.11 100.03
Tin
gkat
mo
rtal
itas
(%
)
Konsentrasi (ppm)
Etanol heksan
a a
bb c
cd
d e d
0,64 ± 0 0,64 ± 0
21,34 ± 2,51
35,25 ± 1,77
89,36 ± 0
0
20
40
60
80
100
120
25.12 63.10 158.50 398.13 1000
Tin
gkat
mo
rtal
itas
(%
)
Konsentrasi (ppm)
a a
bc
d
Oktarinaldi Irawan, Eko Efendi dan Mahrus Ali 263
© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014
Gambar 4. Hubungan antara log [K] dengan probit mortalitas pada uji BSLT.
Hubungan antara Log [K] dan probit
mortalitas yang paling tinggi terdapat
pada pelarut akuades dengan R2 = 0,914
diikuti dengan heksan dan etanol.
Artinya, setiap terjadi perubahan nilai
variabel bebas X (Log [K]), maka akan
diikuti oleh perubahan variabel tak
bebas Y (probit mortalitas) sebesar
8,671 (Gambar 4.).
Uji pada ikan mas hanya menggunakan
pelarut etanol dan heksan dikarenakan
pada pelarut akuades tidak bersifat
toksik dan saat uji pendahuluan pada
ikan pada konsentrasi 100 mg/l ikan
masih dapat bertahan hidup. Suatu
senyawa aktif dikatakan toksik bila
LC50-nya dibawah 30 mg/l (Juniarti
dkk., 2009). Hasil uji pendahuluan
untuk ikan, bahan pelarut etanol dan
heksan rentang konsentrasi sama yaitu
1–10 mg/l.
Gambar 5. Tingkat mortalitas (%) uji pada ikan mas (Cyprinus carpio)
Berdasarkan analisis data pada pelarut
etanol hanya pada konsentrasi 9,96 mg/l
yang berbeda nyata sedangkan pada
pelarut heksan berbeda nyata pada
konsentrasi 2,51 dengan 3,98 mg/l.
Mortalitas 100% pelarut heksan terjadi
y (A) = 5,50x - 8,67
R² = 0,91
y (E) = 9,21x - 10,38
R² = 0,88
y (H) = 10,88x - 12,02
R² = 0,91
-2
0
2
4
6
8
10
12
0 1 2 3 4
Pro
bit
mort
alit
as
Log Konsentrasi
akuades
etanol
heksan
0,91 0,91 0,91 0,91
89,09
0,91 091
89,09 89,09 89,09
0
20
40
60
80
100
120
1.59 2.51 3.98 6.30 9.96
Tin
gkat
mo
rtal
itas
(%
)
Konsentrasi (ppm)
etanol
heksanaa a a a a
b b b b
264 Efek Pelarut Yang Berbeda Terhadap Toksisitas Akar Tuba
© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014
pada konsentrasi 3,98; 6,30 dan 9,96,
dan pelarut etanol pada konsentrasi 9,96
ppm. Tingginya tingkat mortalitas
pelarut heksan dikarenakan senyawa
aktif yang diekstrak adalah rotenone
(Gambar 5.).
Nilai LC50-96 jam pada pelarut heksan
dan etanol sebesar 3,83 dan 6,85 mg/l.
Tingginya tingkat toksisitas pada
pelarut heksan dikarenakan zat aktif
yang diekstrak adalah rotenon. WHO
(1992), memperoleh hasil LC50-96 jam
ekstrak akar tuba yang dilarutkan
dengan kloroform adalah sekitar 0,02-
0.2 mg/l untuk ikan dan manusia sebesar
143 mg/kg. Pada penelitian ini pelarut
etanol hanya konsentrasi paling tinggi
yang menyebabkan semua ikan mati,
namum pada konsentrasi 6,30 ppm
terlihat ada pengaruh bahan uji pada
ikan, tapi beberapa saat kemudian ikan
kembali pulih dikarenakan DO yang
tinggi dan adanya aerasi yang
mengurangi tingkat toksik bahan uji
(Hinson, 2000).
Gambar 6. Hubungan antara Log [K] dan probit mortalitas uji pada ikan mas
(Cyprinus carpio).
Hubungan antara Log [K] dan probit
mortalitas yang paling tinggi terdapat
pada pelarut heksan dengan R2 = 0,75.
Artinya, setiap terjadi perubahan nilai
variabel bebas X (Log [K]), maka akan
diikuti oleh perubahan variabel tak
bebas Y (probit mortalitas) sebesar
2,615 (Gambar 6.).
Kesimpulan
Ekstrak dari akar tuba yang dilarutkan
dengan pelarut etanol, heksan dan
akuades memiliki tingkat toksisitas
yang berbeda. Pelarut heksan memiliki
tingkat toksisitas paling tinggi dengan
nilai LC50-96 jam sebesar 3,83 mg/l dan
nilai LC50-96 jam pelarut etanol 6,85
mg/l. Pelarut akuades dinyatakan tidak
toksik karena pada konsentrasi paling
tinggi ikan masih bertahan hidup.
Daftar Pustaka
Astuti, D. 2004. Uji Toksisitas Limbah
Cair MSG (Mono Sodium Glutamat)
Terhadap Ikan Nila (Tilapia nilotica)
di Palur Karanganyar. Infokes 8 : 1-
10.
Hendri, M,. Gusti, G dan Jetun, T. 2010.
Konsentrasi Letal (LC50-48 jam)
y (E) = 8,72x - 3,49
R² = 0,5y (H) = 13,07x - 2,62
R² = 0,75
-4
-2
0
2
4
6
8
10
12
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2
Pro
bit
mort
alit
as
Log Konsentrasi
etanol
heksan
Oktarinaldi Irawan, Eko Efendi dan Mahrus Ali 265
© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014
Logam Tembaga (Cu) dan Logam
Kadmium (Cd) Terhadap Tingkat
Mortalitas Juwana Kuda Laut
(Hippocampus spp). Jurnal
Penelitian Sains 13 : 26 - 30.
Hinson, D. 2000. Rotenone
Characterization and Toxicity in
Aquatic System. Principles of
Enviromental Toxicology. Idaho. 1 -
13
Juniarti, Delvi, O dan Yuhernita. 2009.
Kandungan Senyawa Kimia, Uji
Toksisitas (Brine Shrimp Lethality
Test) dan Antioksidan (1,1-diphenyl-
2-pikrilhydrazyl) dari Ekstrak Daun
Saga (Abrus precatorius L.). Makara
Sains 13 : 50 - 54.
Kardinan. 2000. Pestisida Nabati:
Ramuan dan Aplikasi, Penebar
Swadaya, Jakarta. Hal 3 - 64.
Keenan, C. W., Donald, C. K dan Jesse,
H. W. 1990. Kimia Untuk
Universitas Jilid 1 Edisi Keenam.
Penerjemah: A. H. Pudjaatmaka.
Erlanggga. Jakarta. Hal 374 - 375
Maini, P. N and Rejesus, B. M. 1993.
Moluscicidal Activity of Derris
eliptica (Fam. Leguminosea).
Phillipine Journal of Science, 122 :
61 -75
Olufayo, M. 2009. Haematological
Characteristhic of Clarias gariepinus
(Burchell 1822) Juveniles Exposed
to Derris elliptica Root Powder.
Department of Fisheries and
Wildlife, Federal University of
Technology Akure, Ondo State,
Nigeria. 9. 3 : 920 – 933
Rossiana, N. 2006. Uji Toksisitas
Limbah Cair Tahu Sumedang
Terhadap Reproduksi Daphnia
carinata King. Laporan Penelitian.
Universitas Padjajaran. Hal 7
Starr, F., Kim, S and Llyod, L. 2003.
Derris elliptica. United States
Geological Survey--Biological
Resources Division Haleakala Field
Station, Maui. Hawai'i. 1 - 3
Suhirman, S., Hernani dan Cheppy, S.
2006. Uji Toksisitas Ekstrak
Lempuyang Gajah (Zingiber
zerumbet) terhadap Larva Udang
(Artemia salina Leach). Bul. Littro
17 : 30 - 38
Sumera, F.C and Conato M.T.. 2006.
Use of Derris trifoliata
(Leguminosae) Root Extracts for
Fishpond Management. Asian
Fisheries Society, Manila,
Philippines. Asian Fisheries Science
19 : 75 - 89
World Health Organization. 1992.
Rotenone Health and Safety Guide.
IPCS International Programme on
Chemical Safety. Health and Safety
Guide No. 73. Geneva. 1 - 10
Yunita, E. A., Nanik, H. S dan Jafron,
W. H. 2009. Pengaruh Ekstrak Daun
Teklan (Eupatorium riparium)
terhadap Mortalitas dan
Perkembangan Larva Aedes aegypti.
Bioma 11 : 11-17.
e-Jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan Volume II No 2 Februari 2014
ISSN: 2302-3600
© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014
PEMANFAATAN BIOFLOK DARI LIMBAH BUDIDAYA
LELE DUMBO (Clarias gariepinus) SEBAGAI
PAKAN NILA (Oreochromis niloticus)
Nani Septiani*†, Henni Wijayanti Maharani‡ dan Supono‡
ABSTRAK
Lele dumbo (Clarias gariepinus) merupakan jenis ikan air tawar yang mudah
dibudidayakan secara intensif. Limbah dari budidaya lele dumbo dapat berdampak
pada penurunan kualitas air tetapi dapat digunakan sebagai sumber media tumbuh
organisme yang bermanfaat sebagai pakan alami ikan. Teknologi bioflok
merupakan salah satu alternatif dalam efisiensi pakan dan penyangga kualitas air
dalam akuakultur yang diadaptasi dari teknik pengolahan limbah domestik secara
konvensional. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji penambahan bioflok sebagai
pakan alami dari limbah budidaya lele dumbo terhadap pertumbuhan dan
kelangsungan hidup nila (Oreochromis niloticus). Rancangan penelitian yang
digunakan adalah rancangan acak lengkap, dengan empat perlakuan (penambahan
bioflok sebanyak 0, 5, 10 dan 15 ml/l) dan tiga kali ulangan. Penelitian dilakukan
dengan menggunakan benih nila berukuran 2-3 cm yang dipelihara dengan
akuarium berukuran 40 x 30 x 30 cm. Parameter dalam penelitian meliputi suhu,
pH, amonia, laju pertumbuhan harian dan kelangsungan hidup. Hasil penelitian
menunjukan penambahan bioflok tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan dan
tingkat kelangsungan hidup nila. Kisaran laju pertumbuhan nila 0,21- 0,24 g/hari
dan tingkat kelangsungan hidup nila 57-88%. Hasil pengukuran parameter kualitas
air untuk suhu pagi berkisar 26– 27oC sedangkan pada sore hari berkisar 27- 28oC,
pH relatif stabil pada kisaran 6, sedangkan kandungan amonia terjadi peningkatan
pada akhir penelitian pada setiap perlakuan.
Kata kunci : limbah budidaya ikan, bioflok, pertumbuhan, rasio C/N, kualitas air
* Mahasiswa Jurusan Budidaya Perairan Universitas Lampung, Jl. Soemantri Brojonegoro Gedong
Meneng No. 1 Bandar Lampung 35145 † Email: septianinani89@gmail.com ‡ Dosen Jurusan Budidaya Perairan Universitas Lampung
268 Pemanfaatan Bioflok Dari Limbah Budidaya Lele Dumbo
© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014
Pendahuluan
Salah satu permasalahan dalam
budidaya intensif adalah air buangan
budidaya yang berdampak pada
penurunan kualitas perairan di
lingkungan sekitar lokasi budidaya,
karena akumulasi bahan organik dari
sisa pakan maupun feses (Darmawan,
2010). Air buangan budidaya lele
dumbo banyak memiliki kandungan N
dan NH3 (amonia) sebagai hasil
perombakan protein dan asam amino
dari sisa pakan dan feses.
Teknologi bioflok merupakan salah satu
alternatif mengatasi masalah kualitas air
dalam akuakultur yang diadaptasi dari
teknik pengolahan limbah domestik
secara konvensional (Ekasari, 2008).
Bioflok merupakan atau activated
sludge (lumpur aktif) yang diadopsi dari
proses pengolahan biologis air limbah
(biological wastewater treatment), yaitu
pemanfaatan bakteri pembentuk flok
(flocs forming bacteria) untuk
pengolahan limbah dengan
meningkatkan C/N. Salah satu bakteri
yang dapat membentuk bioflok adalah
genera Bacillus (Aiyushirota, 2009).
Kadar protein bioflok berkisar antara
37-38%, sehingga berpotensi sebagai
sumber pakan alami dan pakan alternatif
bagi ikan (Purnomo, 2012). Salah satu
ikan yang dapat memanfaatkan bioflok
adalah nila (Oreochromis niloticus),
karena dihabitat aslinya dapat
memanfaatkan plankton dan perifiton
(Ghufran, 2010). Tujuan dari penelitian
ini adalah mengkaji pengaruh
penambahan bioflok dari air buangan
budidaya lele dumbo terhadap
pertumbuhan dan tingkat kelangsungan
hidup nila.
Bahan dan Metode
Bahan yang digunakan adalah nila
berukuran panjang total 2-3 cm dengan
berat total 1-1,5 gr, gula pasir sebagai
sumber karbon dan air buangan
budidaya lele dumbo. Sedangkan
peralatan yang digunakan terdiri dari
akuarium ukuran 40 x 30 x 35 cm
termometer, DO meter, pH meter dan
timbangan digital.
Rancangan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah rancangan acak
lengkap dengan pemberian jumlah
bioflok yang berbeda ( 0, 5, 10 dan 15
ml/l) sebagai perlakuan dan tiga kali
ulangan. Pembuatan bioflok dilakukan
dengan memasukkan 25 liter air
buangan budidaya lele dumbo ke dalam
akuarium ukuran 60 x 40 x40 cm,
kemudian ditambahkan gula pasir
sebanyak 5,36 g untuk setiap liter air
buangan lele dumbo hingga C/N
menjadi 15 kemudian diaerasi kuat,
penambahan gula pasir dilakukan setiap
5 hari. Setiap akuarium diisi 15 ekor
benih ikan nila dan ditambahkan bioflok
sesuai perlakuan dan dipelihara selama
40 hari. Pengukuran kepadatan bioflok
setiap 3 hari, jika kepadatan bioflok
meningkat dari jumlah yang ditentukan
maka dilakukan pengenceran mengikuti
rumus sebagai berikut:
Y = xVM
AD
Keterangan :
Y = Volume bioflok yang diinginkan
(liter)
D = Kepadatan bioflok yang
diinginkan (ml/l)
A = Kepadatan bioflok dalam wadah
pemeliharan (ml/l)
Nani Septiani, Henni Wijayanti Maharani dan Supono 269
© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014
M = Kepadatan bioflok dalam media
produksi bioflok (ml/l)
V = Volume wadah pemeliharaan
larva (liter)
Benih inila diberi pakan sebanyak 3
kali/hari pada pukul 09.00, 13.00 dan
16.00 dengan feeding rate 5%.
enyiponan dan penggantian sebanyak
30 % dilakukan pada kontrol jika media
pemeliharaan terlihat mulai kotor.
Parameter kualitas air yang diukur
meliputi amonia, suhu dan pH yang
dilakukan pada awal dan akhir
penelitian. Pengukuran pertumbuhan
dan kelansungan hidup dilakukan setiap
sepuluh hari. Data dianalisa dengan
analisis sidik ragam (ANOVA) pada
selang kepercayaan 95%. Uji lanjut
Duncan dilakukan jika terdapat
perbedaan antar perlakuan.
Hasil dan Pembahasan Suhu media pemeliharaan pada pagi
berkisar 26- 27oC sedangkan pada sore
hari berkisar 27-280C, pH relatif stabil
pada kisaran 6, sedangkan kandungan
amonia terjadi peningkatan pada akhir
penelitian pada setiap perlakuan (Tabel
1).
Tabel 1. Kualitas air pada saat penelitian
Parameter Perlakuan Kisaran Optimal*
A B C D
Suhu (oC) 26-28 26-28 26-28 26-28 25-33
pH 6 6 6 6 7-8
NH3(mg/l)
Awal Akhir Awal Akhir Awal Akhir Awal Akhir
0,19 0,65 0,19 0,83 0,09 1,11 0,09 0,93 0 -0,08 *Dirjen Perikanan (1991)
Hasil pengamatan pertumbuhan mutlak
berdasarkan berat rata-rata nila selama
penelitian dari yang tertinggi sampai
terendah adalah: 9,5 ; 8,8 dan 8,5 gr.
Hasil analisis ragam dengan uji F
(α=0,05) pada selang kepercayaan 95%
menunjukan bahwa penambahan
bioflok tidak memberikan pengaruh
yang berbeda nyata terhadap
pertumbuhan mutlak nila (Gambar 1).
Laju pertumbuhan benih ikan nila hitam
selama penelitian dari yang tertinggi
sampai terendah adalah sebagai berikut:
0,24; 0,22; dan 0,21 g/hari ( Gambar 2).
Hasil penelitian laju pertumbuhan
selama 40 hari menunjukan bahwa nila
pada penambahan 0 ml bioflok dan 5
ml bioflok mengalami peningkatan
pada hari ke 10 hingga hari ke 20.
Namun, pada hari ke 30 hingga hari ke
40 laju pertumbuhan tidak mengalami
peningkatan atau tetap. Sedangkan
untuk laju pertumbuhan nila pada
penambahan 10 ml bioflok dan 15 ml
bioflok terjadi peningkatan pada hari ke
10 hingga hari ke 20, tetapi nila tersebut
mengalami penurunan laju
pertumbuhan harian pada hari ke 30
hingga hari ke 40 (Gambar 3). Hasil
analisis sidik ragam dengan uji F
(α=0,05) pada selang kepercayaan 95%
menunjukan bahwa penambahan
bioflok tidak memberikan pengaruh
yang berbeda nyata terhadap laju
pertumbuhan harian nila. Hasil
pengamatan menunjukan tingkat
270 Pemanfaatan Bioflok Dari Limbah Budidaya Lele Dumbo
© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014
kelangsungan hidup nila terendah yaitu
57% dengan penambahan bioflok
sebesar 10 ml. Sedangkan tingkat
kelangsungan hidup nila tertinggi yaitu
88 % dengan penambahan bioflok
sebesar 5 ml (Gambar 4). Kematian ikan
pada setiap perlakuan mulai terjadi hari
ke-11 setelah ikan ditebar. Dari hasil
analisis ragam dengan uji F (α=0,05)
pada selang kepercayaan 95%
menunjukan bahwa penambahan
bioflok tidak memberikan pengaruh
yang berbeda nyata terhadap
kelangsungan hidup nila.
Gambar 1. Pertumbuhan mutlak nila (Oreochromis niloticus) selama penelitian. Huruf superscript yang sama menunjukkan tidak beda nyata.
Gambar 2. Laju pertumbuhan harian nila (Oreochromis niloticus) selama
penelitian. Huruf superscript yang sama menunjukkan tidak beda nyata.
8,8±1,7
9,5±1,5
8,8±1,88,5±1,6
7.5
8
8.5
9
9.5
10
A B C D
Pertu
mb
uh
an
Mu
tla
k (
g)
Penambahan bioflok (ml/l)
A = kontrol
B = 5 ml/l
C = 10 ml/l
D = 15 ml/la a a a
0,22±0,04
0,24±0,04
0,22±0,05
0,21±0,04
0.18
0.19
0.2
0.21
0.22
0.23
0.24
0.25
A B C D
La
ju P
ertu
mb
uh
an
Ha
ria
n
(g/h
ari
)
Penambahan bioflok (ml/l)
A = kontrol
B = 5 ml/l
C = 10 ml/lD = 15 ml/l
a a a a
Nani Septiani, Henni Wijayanti Maharani dan Supono 271
© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014
Gambar 3. Laju pertumbuhan nila (Oreochromis niloticus) selama penelitian.
Gambar 4. Kelangsungan hidup nila (Oreochromis niloticus) selama penelitian.
Huruf superscript yang sama menunjukkan tidak beda nyata.
0
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
0.3
0 10 20 30 40La
ju P
ertu
mb
uh
an
Ha
ria
n (
g/h
ari
)
Hari pemeliharaan ke-
A(kontrol)
B(Bioflok 5 ml)
C(Bioflok 10
ml)
84±10,18
88±13,88
57±20,37
86±13,34
0.00
20.00
40.00
60.00
80.00
100.00
120.00
A B C DKea
ng
sun
ga
n H
idu
p (
%)
Penambahan bioflok (ml/l)
A= kontrol
B = 5 ml/l
C = 10 ml/l
D = 15 ml/la a a a
272 Pemanfaatan Bioflok Dari Limbah Budidaya Lele Dumbo
© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014
Daftar Pustaka Aiyushirota. 2009. Konsep Budidaya
Udang Sistem Bakteri Heterotrof
dengan Bioflocs. Dikutif dari
www.aiyushirota.com diakses pada
9 februari 2013.
Darmawan, W. P. J. 2010. Pemanfatan
Air Buangan Lele Dumbo Sebagai
Media Budidaya Daphnia sp.
Skripsi.Universitas Lampung.
Bandar Lampung. 56 Hal.
Direktorat Jenderal Perikanan.1991.
Petunjuk Teknis Budidaya Ikan
Nila. Bekerja sama dengan IDRC
(International Development
Resarch Centre) Canada .
Ekasari. J. 2008. Bio-Flocs Technology:
The Effect Of Different Carbon
Source, Salinity And The Addition
of Probiotics on The Primary
Nutritional Value Of The Bio-
Flocs. Faculty of Bioscience
Engineering. Ghent University.
Food and Agricultural Organization.
2007. The State of World Fisheries.
Ghufran. 2010. Panduan Lengkap
Memelihara Ikan Air Tawar Di
Kolam Terpal. Ed. 1. Lily
Publisher. Yogyakarta. Hal 8-15.
Halver, J.E. 2002. Fish Nutrition. 3rd Ed.
Chapter 2: The Vitamins. Edited by
J.E. Halver and R.W. Hardy.
Academic Press. San Diego. 62-
143 p.
Purnomo, P.D. 2012. Pengaruh
Penambahan Karbohidrat pada
Media Pemeliharaan Terhadap
Produksi Budidaya Intensif Nila
(Oreochromis niloticus). Skripsi.
Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Universitas Diponegoro.
Halaman 161-179.
e-Jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan Volume II No 2 Februari 2014
ISSN: 2302-3600
© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014
PENGARUH SALINITAS DAN NITROGEN TERHADAP
KANDUNGAN PROTEIN TOTAL Nannochloropsis sp.
Nindri Yarti*†, Moh. Muhaemin‡ dan Siti Hudaidah‡
ABSTRAK
Nannochloropsis sp. merupakan pakan alami yang memiliki protein yang cukup
tinggi. Perubahan salinitas dan kurangnya jumlah nitrogen selama kultur dapat
mempengaruhi pertumbuhan Nannochloropsis sp. Penelitian bertujuan untuk
mengetahui pengaruh perubahan salinitas dan nitrogen selama kultur terhadap
kandungan protein total Nannochloropsis sp. Penelitian dilakukan pada Oktober-
November 2012 di Laboratorium Fitoplankton BBPBL Lampung. Perlakuan
selama penelitian adalah kultur Nannochlorpsis sp. dengan salinitas 30-34 ppt dan
NaNO3 100 gram/L (A); salinitas 30-34 ppt dan NaNO3 50 gram (B); salinitas 35-
38 ppt dan NaNO3 100 gram/L (C); dan salinitas 35-38 ppt dan NaNO3 50 gram/L
(D) dengan kepadatan awal 11 x 106 sel/ml. Hasil penelitian menunjukkan
perlakuan dengan salinitas 35-38 ppt dan NaNO3 100 gram/L menghasilkan
kandungan protein total tertinggi. Kandungan protein total meningkat dengan
bertambahnya jumlah Nannochloropsis sp.
Kata kunci: Nannochloropsis, protein, salinitas, nitrogen, manipulasi lingkungan
Pendahuluan
Benih ikan dalam budidaya
membutuhkan pakan alami pada tahap
awal kehidupannya . Pakan alami
dengan kualitas nutrisi yang baik seperti
protein, dibutuhkan untuk pertumbuhan
bagi benih. Pemenuhan kebutuhan
benih ikan akan nutrisi tinggi salah
satunya dengan mikroalga, seperti
Nannochloropsis sp. yang biasa
digunakan sebagai pakan alami bagi
larva ikan dan juga berperan sebagai
pakan bagi zooplankton seperti
Brachionus plicatilis .
* Mahasiswa Jurusan Budidaya Perairan Universitas Lampung † Email : nindri_yarti@ymail.com ‡ Dosen Jurusan Budidaya Perairan Universitas Lampung Jl. Soemantri Brojonegoro Gedong
Meneng No. 1 Bandar Lampung 35145
Pertumbuhan Nannochloropsis sp.
dipengaruhi oleh lingkungan seperti
suhu, pH, salinitas, juga kandungan
nitrogen yang ada di media kultur
(Gunawan, 2012). Kisaran salinitas
optimum yang dimiliki
Nannochloropsis sp. sebesar 33-35 ppt
(Sari, 2011). Perubahan salinitas dan
CO2 pada tahap kedua dapat
meningkatkan kepadatan dan mengubah
kandungan lipid.
Nannochloropsis sp. membutuhkan
nitrogen sebagai makronutrien untuk
pertumbuhannya. Yanuaris dkk. (2012)
menyatakan bahwa ketersediaan unsur
274 Pengaruh Salinitas dan Nitrogen Terhadap Kandungan Protein Total
© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014
nitrogen mempengaruhi pertumbuhan
Nannochloropsis sp. Pemenuhan
sumber hara (N, P, dan K) yang
mencukupi kebutuhan dapat
mempengaruhi kepadatan
Nannochloropsis sp.
Pemberian perubahan lingkungan yang
meliputi salinitas, suhu, fotoperiode,
intensitas cahaya, dan nutrient dapat
mempengaruhi biokimia mikroalga
(Widianingsih dkk., 2011). Penelitian
Muhaemin (2011) menyatakan bahwa
kombinasi antara peningkatan salinitas
dan penurunan nitrogen mampu
menghasilkan lipid yang tinggi sebesar
31,45%. Berdasarkan hasil tersebut,
maka perlu dilakukan penelitian untuk
mengetahui pengaruh salinitas dan
nitrogen terhadap kandungan protein
total Nannochloropsis sp.
Bahan dan Metode
Nannochloropsis sp. yang digunakan
dalam penelitian dari kultur di
Laboratorium Fitoplankton Balai Besar
Pengembangan Budidaya Laut
Lampung. Penelitian dilakukan pada
Oktober sampai November 2012.
Nannochloropsis sp. dikultur pada
wadah dengan volume 3 L yang
dilengkapi selang aerasi. Pengamatan
dilakukan menggunakan alat pipet tetes,
mikroskop, haemocytometer, dan
handcounter. Nannochloropsis sp.
dikultur dengan kepadatan awal 11 x
106 sel/ml dan pemberian pupuk
Conwy. Pupuk Conwy yang digunakan
mengandung NaEDTA 45 gram,
FeCL36H2O 1,3 gram, H2BO3 33,6
gram, NaHPO4 20 gram, Vitamin 1 ml,
Trace metal 1 ml, dan aquadest 1 liter
dengan NaNO3 100 gram/L untuk
pupuk pertama dan kandungan NaNO3
50 gram/L pada pupuk kedua (BBPBL,
2013).
Penelitian dilakukan dengan 4
perlakuan dan 3 ulangan yaitu perlakuan
A (kultur Nannochloropsis sp. pada
salinitas 30-34 ppt dan NaNO3 100
gram/L), perlakuan B (kultur
Nannochloropsis sp. pada salinitas 30-
34 ppt dan NaNO3 50 gram/L),
perlakuan C (kultur Nannochloropsis
sp. pada salinitas 35-38 ppt dan NaNO3
100 gram/L), dan perlakuan D (kultur
Nannochloropsis sp. pada salinitas 35-
38 ppt dan NaNO3 50 gram/L).
Pengamatan kepadatan dilakukan 6 jam
sekali untuk melihat perkembangan
pertumbuhan Nannochloropsis sp.
Pemanenan Nannochloropsis sp. untuk
analisa protein total dilakukan pada saat
akhir fase eksponensial mendekati awal
stasioner. Analisa protein total
dilakukan dengan metode Gunning.
Perhitungan prosentase berat kering
protein total sebagai berikut
(Widianingsih dkk., 2012):
% N = ( ml NaOH blanko – ml NaOH contoh ) X N NaOH X 14,008
gr. Contoh X 10
% Protein = % N X Faktor Konversi
Kepadatan dan kandungan protein total
dianalisis dengan uji Chi-square (χ2).
Uji Chi-square digunakan untuk
mengetahui antara dua sifat ada
ketergantungan ataukah tidak ada
ketergantungan (bebas) satu sama lain,
berdasarkan frekuensi yang ada
(Gaspersz, 1991).
Hasil dan Pembahasan
Perubahan salinitas dan nitrogen pada
media kultur selama pemeliharaan
mengakibatkan perubahan kepadatan.
Nindri Yahrti, Moh. Muhaemin dan Siti Hudaidah 275
© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014
Perlakuan A, sumber nitrogen diberikan
sesuai dengan formulasi Conwy dan
salinitas pada media sesuai dengan
kondisi normal kultur. Berdasarkan uji
chi-square, kepadatan perlakuan B
berbeda nyata dengan ketiga perlakuan
lainnya. Perbedaan nyata dari uji chi-
square tersebut dapat dilihat dari
kepadatan perlakuan B yang memiliki
nilai terendah dari semua perlakuan
(Gambar 1). Jumlah nitrogen perlakuan
B yang rendah mengakibatkan
penurunan kepadatan Ketersediaan
nitrogen mempengaruhi pertumbuhan
Nannochloropsis sp., karena nitrogen
yang merupakan sumber makro nutrien
bagi pertumbuhannya (Yanuaris, 2012).
Gambar 1. Kepadatan Nannochloropsis sp. pada awal kultur dan akhir kultur
perlakuan (α = 0,05).
Nannochloropsis sp. yang dikultur
dengan salinitas berbeda dan jumlah
nitrogen berbeda mengalami perubahan
kepadatan dengan pola yang hampir
sama. Setiap perlakuan mengalami fase
lag pada jam antara ke 0 sampai ke 12.
Fase lag ditandai dengan peningkatan
kepadatan yang tidak signifikan.
Peningkatan kepadatan dua kali lipat
terjadi dalam waktu 24 jam. Fase
eksponensial yang ditandai dengan
perubahan kepadatan signifikan
(Kartikasari, 2010). fase eksponensial
perlakuan A dan C berkisar antara pada
jam kultur ke 12 sampai ke 84,
sedangkan fase eksponensial perlakuan
B dan D pada jam ke 12 sampai ke 90.
Fase stasioner merupakan fase
kepadatan puncak yang ditandai dengan
laju pertumbuhan sel stabil (Kartikasari,
2010). Kandungan nutrisi pada fase
stasioner masih dapat digunakan untuk
memenuhi pertumbuhan (Safitri dkk.,
2013), karena adanya keseimbangan
antara nutrisi dengan jumlah sel di
media kultur (Rusyani, 2001). Hasil
penelitian menunjukkan fase stasioner
perlakuan A dan C dimulai pada jam
kultur ke 90. Fase stasioner perlakuan B
dan D pada jam kultur ke 84 dan mulai
mengalami penurunan kepadatan
dikarenakan nutrien di media semakin
berkurang sehingga tidak dapat
memenuhi pertumbuhan
Nannichlororpsis sp. (Asriyana dan
Yuliana, 2012). (Gambar 2). Persentase
peningkatan kepadatan tertinggi terjadi
pada perlakuan C sebesar 75,72%
(Tabel 1).
A B C D
Awal Kultur 123 110 110 118
Akhir Kultur 457 389 456 448
a a a a
b
c
b b
0
100
200
300
400
500
Kep
adat
an (
10
5se
l/m
l)
Perlakuan
276 Pengaruh Salinitas dan Nitrogen Terhadap Kandungan Protein Total
© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014
Gambar 2.Kurva pertumbuhan Nannochloropsis sp. pada tiap perlakuan.
Tabel 1. Persentase peningkatan kepadatan Nannochloropsis sp. pada tiap
perlakuan dibandingkan antara kondisi awal dan akhir kultur.
Perlakuan Peningkatan Kepadatan (%)
A 72,99%
B 71,64%
C 75,72 %
D 73,74 %
Protein total Nannochloropsis sp.
tertinggi dihasilkan pada perlakuan C
sebesar 0,84%. Peningkatan
kandungaan protein total tertinggi
akibat peningkatan salinitas terjadi pada
kondisi nitrogen normal (Gambar 3).
Menurut Asriyana dan Yuliana (2012)
perubahan salinitas mempengaruhi laju
fotosintesis. Perlakuan A dan C (NaNO3
100 gram/L) memiliki selisih terbesar
sebesar 0,13% dibandingkan perlakuan
B dan D (NaNO3 50 gram/L) (Tabel 2).
0
100
200
300
400
500
600
0 12 24 36 48 60 72 84 96 108
Kep
adat
an (
10
5se
l/m
l)
Jam Ke-
Perlakuan A Perlakuan B Perlakuan C Perlakuan D
Nindri Yahrti, Moh. Muhaemin dan Siti Hudaidah 277
© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014
Gambar 3. Kandungan protein totalNannochloropsis sp. pada tiap perlakuan (α =
0,05). dan asal perolehan selisih nilai peningkatan dan penurunan
(resultan) salinitas dan nitrogen.
Jumlah nitrogen diduga mempengaruhi
kandungan protein total, karena
nitrogen merupakan unsur penting
dalam pembentukan protein (Jati dkk.,
2012). Salinitas, pH, zat hara (termasuk
nitrogen, fosfor), suhu, sumber karbon
dan cahaya berpengaruh pada
pertumbuhan fitoplankton, sehingga
kultur mikroalga pada kondisi
lingkungan dan tempat yang berbeda
dapat menghasilkan perbedaan protein
(Sutomo, 2005). Kualitas air selama
penelitian berlangsung dalam kondisi
optimal, sehingga tidak mempengaruhi
kepadatan Nannochloropsis sp. (Tabel
3).
Tabel 2.Kandungan protein total Nannochloropsis sp. dan perhitungan selisih nilai
peningkatan (resultan) salinitas dan nitrogen.
N100 N50 Selisih ∆
S30 - 34 0.71 % 0.67 % (-) 0.04 %
S35 - 38 0.84 % 0.64 % (-) 0.2 %
Selisih ∆ (+) 0.13 % (-) 0.03 %
∆S,N1 ∆S,N2
Keterangan: Tanda (+) dan (-) menunjukkan peningkatan dan penurunan pada perbandingan kandungan protein total
Nannochloropsis sp. antar perlakuan (lihat Gambar 3)
Tabel 3.Kisaran parameter kualitas air selama penelitian dibandingkan dengan
referensi.
Parameter Oksigen terlarut (ppm) pH Suhu (oC)
Penelitian 5,62 – 6,40 7,56 – 7,70 24,1 – 25,7
Kisaran Optimal >3
(Effendi, 2003)
7-8,4
(Effendi, 2003)
20 – 25
(Budiman, 2009)
a a a a
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1
A B C D
Kan
dungan
Pro
tein
To
tal
(%)
Perlakuan
∆S,N1 ∆N,S1∆N,S2
∆S,N2
0.71 + 0.008 0.67 + 0.012 0.84 + 0.021 0.64 + 0.034
∆N,S1
∆N,S2
278 Pengaruh Salinitas dan Nitrogen Terhadap Kandungan Protein Total
© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat
disimpulkan bahwa peningkatan
salinitas dengan nitrogen normal
menghasilkan kandungan protein total
meningkat.
Daftar Pustaka
Asriyana, dan Yuliana. 2012.
Produktivitas Perairan. Bumi
Aksara. Jakarta. Hal. 125.
BBPL. 2013. Standar Opersional
Pelaksanaan Kultur Fitoplankton.
Lampung.
Budiman. 2009. Penentuan Intensitas
Cahaya Optimum Pada Pertumbuhan
dan Kadar Lipid Mikroalga
Nannochloropsis sp. Tesis. Proram
Magister Kimia. Fakultas
Matematikan dan Ilmu Pengetahuan
Alam. Institut Teknologi Sepuluh
Nopember. Surabaya.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air.
Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Hal.
66-156.
Gaspersz, V. 1991. Metode
Perancangan Percobaan. Bandung.
Armico.
Gunawan. 2012. Pengaruh Perbedaan
pH pada Pertumbuhan Mikroalga
Klas Chlorophyta. Jurnal
Bioscientiae 9: 62 – 65.
Jati, F., Johanes H., dan Vivi E.H. 2012.
Pengaruh Penggunaan Dua Jenis
Media Kultur yang Berbeda
Terhadap Pola Pertumbuhan,
Kandungan Protein dan Asam
Lemak Omega 3 EPA (Chaetoceros
gracilis). Jurnal of Aquaculture
Management and Technology 1: 221
-235.
Kartikasari, D. 2010. Pengaruh
Penggunaan Media Yang Berbeda
Terhadap Kemampuan Penyerapan
Logam Berat Pb Pada
Nannochloropsis sp. Skripsi.
Fakultas Pertanian Universitas
Lampung. Lampung.
Muhaemin, M. 2011. Lipid Production
of Nannochloropsys under
Environmental Stress. Jurnal
Penelitian Sains 14: 61-62.
Rusyani, E. 2001. Pengaruh dosis zeolit
yang berbeda terhadap pertumbuhan
Isochrysis galbana klon Tahiti skala
laboratorium dalam media
komersial. Skripsi. IPB. Bogor. 53
hal.
Sutomo. 2005. Kultur Tiga Jenis
Mikroalga (Tetraselmis sp.,
Chlorella sp.dan Chaetoceros
gracilis) dan Pengaruh Kepadatan
Awal Terhadap Pertumbuhan C.
gracilis di Laboratorium. Oseanologi
dan Limnologi 37 : 43-58.
Ismi, S. dan Y. M. Asih. 2010. Efisiensi
Penggunaan Plankton Untuk
Pembenihan Kerapu Bebek
(Cromileptes altivelis) Pada Hatcheri
Skala Rumah Tangga. Balai Besar
Riset Perikanan Budidaya Laut.
Prosiding Forum Inovasi Teknologi
Akuakultur. p.869-875.
Widianingsih, R. Hartati, H. Endarwati,
E. Yudiati, dan V. R. Iriani. 2011.
Pengaruh Pengurangan Konsentrasi
Fosfat dan Nitrat Terhadap
Kandungan Lipid Total
Nannochloropsis sp. Jurnal Kelautan
16 : 24-29.
Yanuaris, L, M., Rahayu K. dan
Kismiyati. 2012. Pengaruh
Fermentasi Actinobacillus sp. Pada
Kotoran Sapi Sebagai Pupuk
Terhadap Pertumbuhan
Nannochloropsis sp. Jurnal Ilmiah
Perikanan dan Kelautan 4: 21-26.
e-Jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan Volume II No 2 Februari 2014
ISSN: 2302-3600
© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014
PENGGUNAAN TEPUNG ONGGOK SINGKONG YANG
DIFERMENTASI DENGAN Rhizopus sp. SEBAGAI BAHAN BAKU
PAKAN
IKAN NILA MERAH (Oreochromis niloticus)
Reni Antika*†, Siti Hudaidah‡ dan Limin Santoso
ABSTRAK
Onggok singkong merupakan hasil samping pengolahan tepung tapioka dan
berpotensi menjadi bahan baku alternatif pakan ikan. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh penggunaan tepung onggok singkong yang difermentasi
sebagai bahan baku pakan ikan terhadap pertumbuhan nila merah (Oreochromis
niloticus). Metode percobaan menggunakan rancangan acak lengkap dengan 5
perlakuan berupa penggunaan tepung onggok singkong yang difermentasi Rhizopus
sp. dalam berbagai jumlah dan setiap perlakuan diulang 3 kali. Pakan A (tanpa
tepung onggol/kontrol), pakan B (tepung onggok fermentasi (TOF) 10%), pakan
C (TOF 15%), pakan D (TOF 20%) dan pakan E (tepung onggok tanpa fermentasi
20%). Pakan diujikan pada nila merah dengan bobot 4,0±0,7 gram, yang dipelihara
dalam bak beton berukuran 150 x 150 x 50 cm dengan kepadatan 50 ekor/bak. Ikan
dipelihara selama 50 hari dengan feeding rate 3% dan diberikan 3 kali setiap hari.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pakan C (TOF 15%) memberikan hasil yang
terbaik untuk pertumbuhan nila merah. Pertumbuhan mutlak sebesar 13,7±0,4
gram, tingkat kelangsungan hidup mencapai 95,33%. Kualitas air pada tiap
perlakuan berada dalam kondisi optimum untuk budidaya ikan.
Kata kunci: tepung onggok singkong, fermentasi, Rhizopus sp., nila merah
Pendahuluan Ketersediaan pakan yang cukup,
berkualitas, dan berkesinambungan
sangat menentukan keberhasilan
kegiatan budidaya ikan (KKP, 2011).
* Mahasiswa Jurusan Budidaya Perairan Universitas lampung † Email : antikareni28@yahoo.co.id ‡ Dosen Jurusan Budidaya Perairan Universitas lampung, Jl. Soemantri Brojonegoro Gedong
Meneng No. 1 Bandar Lampung 35145
Kebutuhan pakan ikan meningkat
seiring bertambahnya kegiatan
budidaya ikan serta meningkatnya
teknologi budidaya (Mudjiman, 2004).
Untuk memenuhi kebutuhan nutrien
ikan dibutuhkan bahan pakan yang
dapat meningkatkan metabolisme pada
280 Penggunaan Tepung Onggok Singkong Yang Difermentasi
© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014
ikan. Bahan baku pakan yang sangat
lazim digunakan sebagai penyusun
nutrisi pakan komersil seperti tepung
ikan, tepung kedelai, jagung, minyak
ikan, mineral dan vitamin masih
didatangkan dari luar negeri. Harga
bahan baku pakan impor tersebut cukup
mahal sehingga menyebabkan harga
pakan ikan menjadi tinggi (Kemendag,
2013).
Onggok singkong merupakan hasil
sampingan dari pengolahan singkong
menjadi tapioka. Onggok singkong
dapat menjadi bahan baku lokal
pengganti jagung dengan harga yang
lebih murah serta dapat disediakan
dalam jumlah yang besar dan
berkesinambungan. Fermentasi perlu
dilakukan pada onggok singkong untuk
menyederhanakan struktur karbohidrat
sehingga lebih mudah dicerna oleh
ikan. Penggunaan tepung onggok
singkong sebagai pengganti tepung
jagung dalam kegiatan budidaya
diharapkan dapat menurunkan harga
pakan serta menekan biaya produksi
(Sayed, 1999).
Bahan dan Metode Penelitian dilaksanakan pada Mei – Juni
2013 di Balai Benih Ikan (BBI) Natar,
Kabupaten Lampung Selatan.
Penelitian menggunakan bak beton
berukuran 150 x 150 x 50 cm sebanyak
15 buah. Ikan uji nila merah
(Oreochromis niloticus) berukuran 5,0
± 2,0 cm dengan berat 4 ± 0,7 gram,
dipelihara dengan padat tebar 50
ekor/bak. Rancangan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah rancangan
acak lengkap (RAL), yang terdiri dari
lima perlakuan, tiga ulangan dan
feeding rate sebanyak 3%. Perlakuan
dalam penelitian ini adalah
penambahan berbagai proporsi onggok
yang difermentasi dalam pakan uji (0%;
10%; 15%; 20% dan 20% onggok tanpa
fermentasi) (Tabel 1.).
Tepung onggok singkong berasal dari
CV. Sinar Abadi Daya, Lampung
Tengah. Ragi tempe komersil didapat
dari pasar tradisional. Metode dan
prosedur fermentasi yang digunakan
telah dimodifikasi (Ningsih, 2010).
Analisa proksimat pakan dilakukan di
Balai Penelitian dan Pengembangan
Budidaya Air Tawar Sempur Bogor
(BPPBAT) (Tabel 2.). Parameter yang
diukur adalah pertumbuhan dan
sintasan ikan uji (Effendi, 2003).
Pengambilan contoh berat tubuh
dilakukan setiap sepuluh hari. Analisa
sidik ragam (ANOVA) digunakan
untuk mengetahui pengaruh perlakuan
terhadap pertumbuhan berat mutlak nila
merah dan dilanjutkan dengan uji
Duncan (Steel and Torrie, 1991).
Sedangkan parameter kualitas air yang
diukur yaitu pH, suhu, dan oksigen
terlarut (DO). Dilakukan penyiponan
sisa pakan dan kotoran dalam bak untuk
mempertahankan kualitas air
pemeliharaan tetap optimal.
Reni Antika, Siti Hudaidah dan Limin Santoso 281
© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014
Tabel 1.Formulasi pakan yang digunakan sebagai pakan perlakuan.
Bahan Pakan (%) Perlakuan
A B C D E
Tepung ikan 30 30 30 30 30
Tepung kedelai 30 30 30 30 30
Tepung jagung 20 10 5 - -
Tepung onggok fermentasi - 10 15 20 -
Tepung onggok non fermentasi - - - - 20
Tepung terigu 10 10 10 10 10
Minyak ikan 3 3 3 3 3
Minyak jagung 2 2 2 2 2
Premix 5 5 5 5 5
Tabel 2.Hasil uji proksimat pada pakan perlakuan Parameter (%) Pakan Perlakuan
A B C D E
Kadar air 3,98 7,66 6,23 8,34 6,51
Protein 28,52 28,96 27,41 29,51 28,96
Lemak 12,58 11,82 12,03 15,58 13,47
Kadar abu 11,41 11,29 11,9 12,04 11,96
Serat kasar 21,09 19,72 11,66 24,27 18,92
Karbohidrat 26,40 28,21 37,00 18,50 26,69
Hasil dan Pembahasan Fermentasi tepung onggok singkong
dengan kapang Rhizopus sp.
mengakibatkan peningkatan nutrien
berupa protein dan lemak (Tabel 3),
karena selama fermentasi terjadi
perkembangbiakkan mikroorganisme
(Rhizopus sp), produksi enzim-enzim
mikrobial yang bisa mengubah senyawa
pada media menjadi produk-produk
fermentasi, metabolit mikrobial, dan
perubahan senyawa substrat fermentasi.
Peningkatan protein dari 1,23%
menjadi 8,06% diduga karena adanya
kontribusi penambahan biomas
Rhizopus sp. sebagai fermenter dan urea
yang berperan sebagai sumber nitrogen
bagi pertumbuhan biomas Rhizopus sp.
Fermentasi juga meningkatkan
kandungan serat kasar dalam onggok
(Tabel 3), peningkatan bahan ini berasal
dari peningkatan jumlah hifa dari
biomas Rhizopus sp.
282 Penggunaan Tepung Onggok Singkong Yang Difermentasi
© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014
Tabel 3. Hasil analisa proksimat tepung onggok sebelum dan sesudah fermentasi
dengan Rhizopus sp
Parameter (%) Sebelum difermentasi Sesudah difermentasi
Kadar air 8,27 4,13
Protein 1,28 8,06
Lemak 0,55 0,74
Kadar abu 2,01 2,89
Serat kasar 8,92 29,11
Karbohidrat 87,24 59,20
Peningkatan berat nila merah selama 50
hari pemeliharaan menunjukkan bahwa
pakan yang diberikan mengandung
cukup energi dan memenuhi kebutuhan
ikan untuk tumbuh (Sugianto, 2007).
Hasil analisis sidik ragam (α=0,05)
menunjukkan bahwa penggunaan
tepung onggok sebagai sumber
karbohidrat memberikan pengaruh
nyata terhadap pertumbuhan berat
mutlak nila merah (Gambar 1.). Dengan
kebutuhan nutrisi yang tercukupi, maka
kebutuhan energi untuk kegiatan
metabolisme nila merah juga terpenuhi.
Gambar 1. Pertumbuhan berat mutlak nila merah (Oreochromis niloticus).
Pakan dengan proporsi 20% tepung
onggok tanpa fermentasi menghasilkan
berat mutlak terendah pada ikan nila
merah. Sedangkan berat mutlak
tertinggi didapat pada pakan dengan
proporsi 15% tepung onggok yang
difermentasi. Penambahan tepung
onggok singkong yang difermentasi
dalam proporsi yang berbeda dalam
pakan tidak berpengaruh terhadap
kelangsungan hidup benih ikan nila
merah (Gambar 2.).
Reni Antika, Siti Hudaidah dan Limin Santoso 283
© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014
Gambar 2.Kelangsungan hidup nila merah (Oreochromis niloticus).
Kualitas air selama pemeliharaan dalam
kisaran optimal untuk budidaya ikan
(Tabel 4). Oksigen terlarut dalam media
dipengaruhi oleh laju respirasi ikan dan
suhu lingkungan. Saat suhu meningkat,
laju metabolisme ikan meningkat
sehingga menyebabkan respirasi ikan
meningkat dan kadar oksigen di dalam
air akan menurun secara drastis.
Kandungan oksigen terlarut pada semua
perlakuan berkisar 5,3-7,5 mg/L. Suhu
air pemeliharaan masing-masing
perlakuan berada dalam kisaran 25-
29°C. Pada kisaran ini ikan nila masih
dapat tumbuh dengan baik. Boyd
(1990) menjelaskan bahwa ikan-ikan
tropis dan subtropis tidak akan dapat
tumbuh dengan baik ketika temperatur
turun di bawah 26 atau 28oC. Perubahan
suhu melebihi 3-4°C akan
menyebabkan terjadinya perubahan
metabolisme yang mengakibatkan
kejutan suhu. Hal tersebut dapat
menyebabkan peningkatan toksisitas
kontaminan yang terlarut dan
menurunkan oksigen terlarut serta
menimbulkan kematian pada ikan
(Effendie, 2003).
Tabel 4.Kualitas air selama pemeliharaan nila merah (Oreochromis niloticus).
Parameter Perlakuan Kisaran Optimal
A B C D E
- DO (mg/l) 3,13-4,5 3,16-4,29 3,11-4,35 3,0-4,23 3,16-4,8 >3 mg/la
- pH 7 7 7 7 7 25-30oCa
- Suhu (°C) 25-26 25-27 26-27 25-27 26-27 6,5-9b
Keterangan sumber : a. Khairuman dan Amri (2003)
b. Zakaria (2003)
91,3 + 5,0
93,3 + 2,392 + 4
95,3 + 1,1
89,3 + 3,0
84
86
88
90
92
94
96
98
A B C D E
Kel
angs
un
gan
Hid
up
(%
)
Perlakuan
A. T. ONGGOK FERMENTASI (0%)B. T. ONGGOK FERMENTASI (10%)C. T. ONGGOK FERMENTASI (15%)D. T. ONGGOK FERMENTASI (20%)E. T. ONGGOK NONFERMENTASI(20%)
284 Penggunaan Tepung Onggok Singkong Yang Difermentasi
© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014
Kesimpulan Fermentasi berpengaruh terhadap
kandungan nutrien tepung onggok
singkong (peningkatan kandungan
serat kasar dan protein). Penambahan
tepung onggok singkong yang
difermentasi dalam pakan sebesar 15%
memberikan pertumbuhan mutlak
paling tinggi pada nila merah.
Daftar Pustaka
Boyd, C.E., 1990. Water Quality in
Ponds for Aquaculture.
Birmingham Publishing.
Birmingham, Alabama.
Effendi, M. I. 2003. Biologi Perikanan.
Yayasan Pustaka Nusatama.
Yogyakarta. 157 Hal.
Kantor Kementerian Perdagangan.
2013. Data impor jagung. Dikutip
dari http://www.itpc.or.jp. Diakses
pada 28 September 2013
Kementerian Kelautan dan Perikanan.
2011. Data Informasi Peningkatan
Budidaya Ikan Nila Di Indonesia.
Sumber : www.KKP.go.id (20
Februari 2013)
Khairuman dan Amri, K. 2003.
Membuat Pakan Ikan Konsumsi.
Agro Media Pustaka. Jakarta.
Mudjiman, A. 2004. Pakan Ikan.
Penebar Swadaya. Jakarta. 192 hal
Ningsih, D.R. 2010. Pemanfaatan
onggok singkong (Manihot
esculenta) sebagai bahan baku
pakan ikan patin siam (Pangasius
hypothalmus). Skripsi. Fakultas
Pertanian. Universitas Lampung.
Lampung.
Sayed, A. 1999. Onggok bahan baku
pakan ternak.
Sumber:http://peluangusaha.
kontan.co.id/v2/read/1298616362/5
9930/Mengolah-limbah-singkong-
menjadi- pakan-ternak-bergizi
Steel, R.G.D dan J.H. Torrie. 1991.
Prinsip dan Prosedur Statistika.
Gramedia pustaka Utama. Jakarta. Sugianto, G. 2007. Pengaruh Tingkat
Pemberian Manggot Terhadap
Pertumbuhan dan Efesiensi
Pemberian Pakan Benih Ikan
Gurame (Osphronemus gouramy).
Skripsi. Departemen Budidaya
Perairan. Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan. IPB. Bogor.
Zakaria, M.W. 2003. Pengaruh Suhu
Media Yang Berbeda Terhadap
Kelangsungan Hidup dan Laju
Pertumbuhan Benih Ikan Nilem
(Osteochilus hasselti, C.V.) Hingga
Umur 35 Hari. Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian
Bogor.
e-Jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan
Volume II No 2 Februari 2014
ISSN: 2302-3600
© e-JRTBP Volume 3 No 1 Oktober 2014
Komunikasi Ringkas
IDENTIFIKASI PARASIT PADA IKAN BADUT (Amphiprion percula)
DI BALAI BESAR PENGEMBANGAN BUDIDAYA LAUT LAMPUNG
Rina Hesti Utami*†, Agus Setyawan‡, Rara Diantari‡ dan Siti Hudaidah‡
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi parasit yang menginfeksi pada ikan
badut (Amphiprion percula) serta korelasinya dengan lokasi budidaya. Penelitian
ini dilakukan pada Februari sampai April 2013 di Balai Besar Pengembangan
Budidaya Laut (BBPBL) Lampung. Penelitian menggunakan metode eksploratif
dengan mengisolasi parasit yang menginfeksi ikan badut (3-5 cm) yang
dibudidayakan di tiga lokasi budidaya yaitu indoor, semi outdoor dan outdoor.
Parasit yang disolasi diidentifikasi kemudian dibandingkan satu lokasi budidaya
dengan lokasi lainnya. Hasil penelitian ditemukan tiga jenis ektoparasit yang
menginfeksi ikan badut golongan nematoda, Trichodina dan trematoda. Prevalensi
parasit dan intensitas parasit tertinggi terdapat pada ketiga lokasi yaitu parasit
Trichodina.
Kata kunci : Amphiprion percula, ektoparasit, intensitas, prevalensi, Trichodina
Pendahuluan
Ikan hias makin banyak diminati oleh
masyarakat sehingga permintaannya
semakin meningkat baik di pasar lokal
maupun internasional. Berdasarkan data
Pusat Data, Statistik dan Informasi
Sekretariat Jenderal Kementerian
Kelautan dan Perikanan, volume ekspor
ikan hias dari tahun 2007-2011
mengalami peningkatan sebesar 0,26%
(KKP, 2012).
* Mahasiswa Jurusan Budidaya Perairan Universitas lampung † Email : Rinahesti71@ymail.com ‡ Dosen Jurusan Budidaya Perairan Universitas lampung, Jl. Soemantri Brojonegoro Gedong
Meneng No. 1 Bandar Lampung 35145
Budidaya ikan badut sudah dilakukan
sejak tahun 2009 oleh Balai Besar
Pengembangan Budidaya Laut
(BBPBL) Lampung. Namun, akhir-
akhir ini sering terjadi kematian pada
budidaya ikan badut (Amphiprion
percula). Penyebab kematian pada ikan
badut tersebut hingga saat ini belum
diketahui. Kematian pada ikan badut
diduga disebabkan adanya penyakit
infeksi. Parasit merupakan salah satu
penyakit infeksi yang menyebabkan
kematian pada budidaya ikan-ikan laut.
286 Identifikasi Parasit pada Ikan Badut
© e-JRTBP Volume 3 No 1 Oktober 2014
Identifikasi parasit merupakan salah
satu upaya dalam mengetahui penyebab
kematian pada ikan badut. Hal ini perlu
dilakukan karena berkaitan dengan
metode penanggulangan penyakit yang
harus dilakukan untuk meminimalisasi
terjadinya kematian pada ikan badut.
Tujuan dari penelitian ini adalah
mengidentifikasi parasit yang
menginfeksi pada ikan badut serta
korelasinya dengan lokasi budidaya.
Penelitian dilakukan pada Februari
sampai dengan April 2013 di Balai
Besar Pengembangan Budidaya Laut
(BBPBL) Lampung. Penelitian ini
menggunakan metode eksploratif
dengan mengisolasi parasit dari organ
luar dan dalam yang menginfeksi ikan
badut (3-5 cm) yang dibudidayakan di
tiga lokasi budidaya yaitu indoor (IN),
semi outdoor (SM) dan outdoor (OT).
Sampel ikan badut yang digunakan
dipilih secara acak dari semua lokasi
sebanyak 6 ekor/minggu/lokasi selama
enam minggu. Pemeriksaan parasit
meliputi organ luar dan dalam. Metode
pemeriksaan parasit pada organ luar
dilakukan dengan metode kerokan kulit
(Kabata, 1985) dan mount insang
mengacu pada Santoso (2008). Metode
pemeriksaan organ dalam untuk
identifikasi parasit mengacu pada
(Akbar, 2011). Selanjutnya dilakukan
identifikasi parasit berdasarkan
morfologi parasit yang terdapat dalam
Marine Flora and Fauna of the Eastern
United States Platyhelminthes:
Monogenea (Hendrix, 1994), Parasites
and of Fish Cultured in the Tropics
(Kabata, 1985), Parasitic Worms of
Fish (Williams and Jones, 1994). Hasil
diidentifikasi parasit kemudian
dibandingkan antar lokasi budidaya
dengan didukung data kualitas air (pH,
oksigen terlarut, suhu, salinitas, NH3,
dan NO2). Data hasil penelitian akan
disajikan dalam bentuk tabel, dan
dianalisis secara deskriptif.
Hasil dan Pembahasan
Parasit yang menginfeksi ikan badut
nematoda, Trichodina dan trematoda
merupakan jenis ektoparasit
berdasarkan Anshary (2008). Infeksi
dan intensitas parasit tertinggi yaitu
parasit Trichodina. Parasit Trichodina
ditemukan pada semua lokasi budidaya.
Benih parasit Trichodina diduga sudah
masuk ke wadah budidaya pada minggu
awal pengamatan, namun baru
menginfeksi ikan pada minggu ke-2.
Suhu diduga memiliki peranan terhadap
perkembangbiakan parasit ini. Suhu
pada lokasi IN dan SM lebih stabil
dibandingkan suhu pada OT. Semua
sampel ikan yang terinfeksi Trichodina
memiliki gejala tubuh mengeluarkan
mukus berlebih namun tidak ada yang
mengalami luka pada bagian epidermis
kulitnya.
Tabel 1. Data jenis dan jumlah parasit
berdasarkan lokasi
budidaya pada sampel ikan
badut (Amphiprion
percula).
N
o
Jenis
Parasit
Jumlah parasit (individu)
Indo
or
Semi
outdoor
Outdo
or
1 Nematoda 4 7 6
2
Trichodin
a 514 127 86
3
Trematod
a 3 4 1
Trichodina sp. juga ditemukan pada
lokasi budidaya yang berada diluar
(OT). Kemunculan parasit Trichodina
sp. dikaitkan dengan kandungan
nutrien. Tidak adanya filter ulang pada
budidaya outdoor mendukung
masuknya bahan organik yang berakibat
Rina Hesti Utami, Agus Setyawan, Rara Diantari dan Siti Hudaidah 287
© e-JRTBP Volume 3 No 1 Oktober 2014
pada kandungan nitit (NO2) di lokasi
outdoor lebih tinggi. Pada minggu ke-4
sampai ke-6 kisaran kandungan nitrit
pada lokasi outdoor lebih tinggi yaitu
0,444 mg/l (0,029-0,473 mg/l),
dibandingkan pada lokasi indoor
sebesar 0,37 mg/l (0,031-0,401 mg/l)
dan semi outdoor sebesar 0,033 mg/l
(0,163-0,196 mg/l).
Kandungan nitrit yang tinggi
berdampak secara tidak langsung
terhadap infeksi nematoda. Secara
umum siklus hidup nematoda
membutuhkan inang perantara untuk
menyelesaikan siklus hidupnya
(Williams and Jones, 1994). Anshary
(2008), anthropoda dapat menjadi inang
perantara parasit nematoda. Menurut
Williams and Jones (1994), nematoda
memiliki empat tingkatan larva dalam
hidupnya. Nematoda yang menginfeksi
ikan badut diduga sudah memasuki
stadia infektif. Hasil pengamatan, ikan
yang terinfeksi nematoda belum
menimbulkan dampak serius pada
kesehatan ikan karena jumlah parasit
masih rendah.
Prevalensi parasit tertinggi yaitu parasit
Trichodina disebabkan kemampuan
reproduksinya yang dapat berlangsung
secara cepat yaitu dengan pembelahan
biner dan konjugasi (Davis, 1947).
Trichodina mempunyai penyebaran
yang luas (Riko dkk., 2012).
Penyebaran Trichodina dapat terjadi
melalui kontak langsung antar ikan dan
air yang terkontaminasi (Irianto, 2005).
Tabel 2. Kualitas air selama penelitian
Parameter
Lokasi Budidaya
Baku
Mutu Indoor Semi outdoor Outdoor
Kisaran
Rata-
rata Kisaran
Rata-
rata Kisaran
Rata-
rata
Suhu (OC) 27,5^-32^^ 30,14 28-31,2^^ 30,10 27^-32^^ 30 28-30*
pH 7,9-8,13 8,00 7,90-8,15 8,02 7,95-8,22 8,07 7-8,5*
Salinitas (psu) 31-32 31,80 31-32 31,80 31-32 31,80 30-34
DO (mg/l) 4,29-5,35 4,77 4,09-5,56 4,97 5,21-6,03 5,65 >4
NH3 (mg/l) 0,005-0,029 0,021 0,013-0,019 0,015 0,013-0,026 0,018 0,3*
NO2 (mg/l) 0,003-0,401^^ 0,115 0,020-0,220^^ 0,140 0,009-0,473^^ 0,128 0,05** Keterangan : * Berdasarkan Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.51 Th. 2004
** Pengendalian Pencemaran Lingkungan Laut PP No. 24 Th. 1991
^ Kurang dari baku mutu ; ^^ Lebih dari baku mutu
Daftar Pustaka
Akbar, J. 2011. Identifikasi Parasit Pada
Ikan Betok (Anabas testudieus).
Bioscientiae. 8(2): 36-45
Anshary, H. 2008. Modul Pembelajaran
Berbasis Student Center Learning
(SCL) Mata kuliah Parasitologi
Ikan. Lembaga Kajian dan
Pengembangan Pendidikan (LKPP)
Makasar. 126 pp.
Davis, H. S. 1947. Studies of The
Protozoan Parasites of Fresh –
Waterfishes. Fishery Bulletin 41
Volume 51. United States
Goverment Printing Office .
Washington. 61 Pp.
Hendrix S.S. 1994. Marine Flora and
Fauna of the Eastern United States
288 Identifikasi Parasit pada Ikan Badut
© e-JRTBP Volume 3 No 1 Oktober 2014
Platyhelminthes: Monogenea. U.S.
Department of Commerce Seattle,
Washington. 112 pp.
Irianto, A. 2005. Patologi Ikan
Teleostei. Gadjah Mada University
Press. Jogyakarta.
Kabata, Z. 1985. Parasites and
Diseases of Fish Cultured in the
Tropics. Taylor and Francis, London
and Philadelphia. 303 pp.
Kementerian Kelautan dan Perikanan.
2012. Statistik Ekspor Hasil
Perikanan 2011. Buku I. Pusat Data,
Statistik dan Informasi Sekretariat
Jenderal Kementerian Kelautan dan
Perikanan. 509 pp.
Riko, Y. A., Rosidah, dan T. Herawati.
2012. Intensitas dan Prevalensi
Ektoparasit pada Ikan Bandeng
(Chanos chanos) dalam Keramba
Jaring Apung (KJA) di Waduk Cirata
Kabupaten Cianjur Jawa Barat.
Jurnal Perikanan dan Kelautan.
3(4). 11 pp.
Santoso, L. 2008. Identifikasi Parasit
Pada Ikan Kerapu Macan
(Epinephelus fuscoguttatus) dalam
Keramba Jaring Apung (KJA) di
Teluk Lampung. Jurnal Penelitian
Perikanan. 11:1-7.
Williams, H. and Jones, A. 1994.
Parasitic Worms of Fish. Taylor and
Francis Ltd, London. 593 pp.
Recommended