80
e-Jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan ISSN: 2302-3600 e-JRTBP ISSN: 2302-3600 DEWAN REDAKSI e-JURNAL REKAYASA DAN TEKNOLOGI BUDIDAYA PERAIRAN Penasehat Dekan Fakultas Pertanian Universitas Lampung Pembantu Dekan I Fakultas Pertanian Universitas Lampung Pembantu Dekan II Fakultas Pertanian Universitas Lampung Pembantu Dekan III Fakultas Pertanian Universitas Lampung Penanggung Jawab Ir. Siti Hudaidah, M.Sc Pimpinan Redaksi Eko Efendi, ST, M.Sc Penyunting Ahli Ketua Yudha T Adiputra, S.Pi, M.Si Anggota Indra Gumay Yudha, S.Pi, M.Si, Ir. Suparmono, MTA, Muh. Mohaimin, S.Pi, M.Si, Wardiyanto, S.Pi, MP, Supono, S.Pi, M.Si, Qadar Hasani, S.Pi, M.Si, Tarsim, S.Pi, M.Si, Henni Wijayanti, S.Pi, M.Si,Berta Putri, S.Si, M.Si, Rara Diantari, S.Pi, M.Sc, Herman Yulianto, S.Pi,M.si, Limin Santoso, S.Pi, M.Si, Agus Setyawan, S.Pi, MP Penyunting Teknis Mahrus Ali, S.Pi, MP Keuangan dan Sirkulasi Esti Harpeni, ST, MAppSc Alamat Redakasi Jurusan Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Lampung Jl. Prof. Dr. Soemantri Brodjonegoro No.1 Bandar Lampung 35145 Email : [email protected]

DEWAN REDAKSI e-JURNAL REKAYASA DAN TEKNOLOGI …

  • Upload
    others

  • View
    2

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

e-Jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan

ISSN: 2302-3600

e-JRTBP ISSN: 2302-3600

DEWAN REDAKSI

e-JURNAL REKAYASA DAN TEKNOLOGI BUDIDAYA PERAIRAN

Penasehat

Dekan Fakultas Pertanian Universitas Lampung

Pembantu Dekan I Fakultas Pertanian Universitas Lampung

Pembantu Dekan II Fakultas Pertanian Universitas Lampung

Pembantu Dekan III Fakultas Pertanian Universitas Lampung

Penanggung Jawab

Ir. Siti Hudaidah, M.Sc

Pimpinan Redaksi Eko Efendi, ST, M.Sc

Penyunting Ahli

Ketua Yudha T Adiputra, S.Pi, M.Si

Anggota

Indra Gumay Yudha, S.Pi, M.Si, Ir. Suparmono, MTA, Muh. Mohaimin, S.Pi,

M.Si, Wardiyanto, S.Pi, MP, Supono, S.Pi, M.Si, Qadar Hasani, S.Pi, M.Si,

Tarsim, S.Pi, M.Si, Henni Wijayanti, S.Pi, M.Si,Berta Putri, S.Si, M.Si, Rara

Diantari, S.Pi, M.Sc, Herman Yulianto, S.Pi,M.si, Limin Santoso, S.Pi, M.Si,

Agus Setyawan, S.Pi, MP

Penyunting Teknis Mahrus Ali, S.Pi, MP

Keuangan dan Sirkulasi Esti Harpeni, ST, MAppSc

Alamat Redakasi

Jurusan Budidaya Perairan

Fakultas Pertanian Universitas Lampung

Jl. Prof. Dr. Soemantri Brodjonegoro No.1 Bandar Lampung 35145

Email : [email protected]

e-Jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan

ISSN: 2302-3600

e-JRTBP ISSN: 2302-3600

PANDUAN UNTUK PENULIS

e-JURNAL REKAYASA DAN TEKNOLOGI BUDIDAYA PERAIRAN

JURUSAN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS LAMPUNG

e-JRTBP menerima naskah dalam bentuk hasil penelitian (artikel ilmiah), catatan

penelitian, dan pemikiran konseptual baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa

Inggris. Naskah hasil penelitian maksimum 12 halaman (suntingan akhir)

termasuk gambar dan tabel. Naskah yang disetujui untuk dimuat akan dibebani

kontribusi biaya sebesar Rp 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah) per

empat halaman pertama, selebihnya ditambah Rp 50.000,- (lima puluh ribu

rupiah) per halaman.

Tata Cara Pengiriman Naskah

Naskah yang dikirim haruslah naskah asli dan harus jelas tujuan, bahan yang

dipergunakan, maupun metode yang diterapkan dan belum pernah dipublikasikan

atau dikirimkan untuk dipublikasikan di mana saja. Naskah diketik dengan

program MS-Word dalam satu spasi dikirim dalam bentuk soft copy dengan

format doc/docx dan pdf .

Naskah diketik dua spasi pada kertas ukuran A4, pias 2 cm dan tipe huruf Times

New Roman berukuran 12 point, diketik 2 kolom kecuali untuk judul dan

abstrak. Setiap halaman naskah diberi nomor halaman secara berurutan. Ilustrasi

naskah (gambar atau tabel) dikelompokkan pada lembaran terpisah di bagian akhir

naskah dan ditunjukkan dengan jelas posisi ilustrasi dalam badan utama naskah.

Setiap naskah harus disertai alamat korespondensi lengkap. .Para peneliti,

akademis maupun mahasiswa dapat mengirimkan naskah ke:

e-Jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan

Jurusan Budidaya Perikanan

Fakultas Pertanian Universitas Lampung

Jl. Soemantri Brojonegoro No. 1 Bandar Lampung

Lampung 35144

E-mail: [email protected] .

Catatan: Editor tidak berkewajiban mengembalikan naskah yang tidak dimuat.

Penyiapan Naskah

Judul naskah hendaknya tidak lebih dari 15 kata dan harus mencerminkan

isi naskah. Nama penulis dicantumkan di bawah judul. Jabatan, nama, dan

alamat instansi penulis ditulis sebagai catatan kaki di bawah halaman

pertama.

e-Jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan

ISSN: 2302-3600

e-JRTBP ISSN: 2302-3600

Abstrak merupakan ringkasan penelitian dan tidak lebih dari 250 kata,

disajikan dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Kata kunci

maksimum 5 kata dan diletakkan pada bagian abstrak.

Pendahuluan secara ringkas menguraikan masalah-masalah, tujuan dan

pentingnya penelitian. Jangan menggunakan subbab.

Bahan dan Metode harus secara jelas dan ringkas menguraikan penelitian

dengan rincian secukupnya sehingga memungkinkan peneliti lain untuk

mengulangi percobaan yang terkait.

Hasil disajikan secara jelas tanpa detail yang tidak perlu. Hasil tidak boleh

disajikan sekaligus dalam tabel dan gambar.

Tabel disajikan dalam Bahasa Indonesia dan Inggris, dengan judul di

bagian atas tabel dan keterangan. Data dalam tabel diketik menggunakan

program MS-Excel.

Gambar, skema, diagram alir, dan potret diberi nomor urut dengan angka

Arab. Judul dan keterangan gambar diletakkan di bawah gambar dan

disajikan dalam Bahasa Indonesia dan Inggris.

Kesimpulan disajikan secara ringkas dengan mempertimbangkan judul

naskah, maksud, tujuan, serta hasil penelitian.

Daftar Pustaka disusun berdasarkan abjad tanpa nomor urut dengan urutan

sebagai berikut: nama pengarang (dengan cara penulisan yang baku).

Acuan pustaka yang digunakan maksimal berasal dari acuan yang

diterbitkan dalam 10 tahun terakhir. Daftar lengkap acuan pustaka disusun

menurut abjad, diketik satu spasi, dengan tata cara penulisan seperti

contoh-contoh berikut:

Jurnal

Heinen, J.M., D’Abramo, L.R., Robinette, H.R., and Murphy, M.J. 1989.

Polyculture of two sizes of freshwater prawns (Macrobrachium

rosenbergii) with fingerling channel catfish (Getalurus punctatus). J.

World Aquaculture Soc. 20(3): 72–75.

Buku

Dunhan, R.A. 2004. Aquaculture and Fisheries Biotechnology:

Genetic Approaches. Massachusetts: R.A. Dunhan Press. 34 p.

Bose, A.N., Ghosh, S.N., Yang, C.T., and Mitra, A. 1991. Coastal

Aquaculture Engineering. Oxford & IBH Pub. Co. Prt. Ltd., New

Delhi. 365 p.

Artikel dalam buku

Collins, A. 1977. Process in Acquiring Knowledge. Di dalam: Anderson,

R.C., Spiro, R.J., and Montaque, W.E. (eds.). Schooling and the

Acquisition of Knowledge. Lawrence Erlbaum, Hillsdale, New Jersey. p.

339–363.

e-Jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan

ISSN: 2302-3600

e-JRTBP ISSN: 2302-3600

Artikel dalam Prosiding

Yovi EY, Takimoto Y, Matsubara C. 2007. Promoting Alternative

Physical Load Measurement Method. Di dalam: Proceedings of

Agriculture Ergonomics Development Conference; Kuala Lumpur, 26–29

November 2007. p. 309–314 .

Tesis/Disertasi

Simpson, B.K. 1984. Isolation, Characterization and Some Application of

Trypsin from Greenland Cod (Gadus morhua). PhD Thesis. Memorial

University of New Foundland, St. John’s, New Foundland, Canada. 179 p.

Paten

Muchtadi TR, Penemu; Institut Pertanian Bogor. 9 Mar 1993. Suatu

Proses untuk Mencegah Penurunan Beta Karoten pada Minyak Sawit. ID

0 002 569.

Ucapan terima kasih (jika diperlukan). Ditujukan kepada instansi dan

atau orang yang berjasa besar terhadap penelitian yang dilakukan dan tulis

dalam 1 alinea serta maksimum 50 kata.

e-Jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan

ISSN: 2302-3600

e-JRTBP ISSN: 2302-3600

PERNYATAAN PEMINDAHAN HAK MILIK

Ketika naskah diterima untuk dipublikasikan, Hak Milik dipindahkan ke e-

Jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan. Pemindahan Hak Milik

memindahkkan kepemikikan eksklusifuntuk mereproduksi dan mendistribusikan

naskah, termasuk cetakan lepas, penerjemahan, reproduksi fotografi, mikrofilm,

material elektronik (offline maupun Online) atau bentuk reproduksi lainnya yang

serupa dengan aslinya.

Penulis menjamin bahwa artikel adalah asli dan bahwa penulis memiliki

kekuatan penuh untuk mempublikasikannya. Penulis menandatangani dan

bertanggungjawab untuk melepaskan bahan naskah sebagian atau keseluruhan

dari semua penulis. Jika naskah merupakan bagian dari skripsi mahasiswa, maka

mahasiswa tersebut wajib menandatangani persetujuan bahwa pekerjaannya akan

dipublikasikan.

Judul Naskah

Title of Article

: ……………………………………………………………

……………………………………………………………

……………………………………………………………

……………………………………………………………

……………………………………………………………

Penulis

Author

: 1. .………………………………………………

2. .………………………………………………

3. ………………………………………………

4. ………………………………………………

Tanda Tangan Penulis

Author’s Signature

: 1. ………………………………………………

2. ………………………………………………

3. ………………………………………………

4. ………………………………………………

Tanda Tangan

Mahasiswa

Student’s Signature

:

Tanggal

Date

: ……………………………………………………………

e-Jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan

ISSN: 2302-3600

e-JRTBP ISSN: 2302-3600

e-Jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan Volume II No 2 Februari 2014

ISSN: 2302-3600

DAFTAR ISI

Volume 2 Nomor 2 Februari 2014

Penerapan Teknik Imotilisasi Benih Ikan Nila (Oreochromis niloticus)

Menggunakan Ekstrak Daun Bandotan (Ageratum conyzoides) Pada

Transportasi Basah

Musfirotun Aini, Mahrus Ali dan Berta Putri.......................................…

217 - 226

Pemanfaatan Kompos Kulit Kakao (Theobroma cacao) untuk Budidaya

Daphnia sp.

Arif Wibowo, Henni Wijayanti dan Siti Hudaidah....................................

227 - 232

Substitusi Tepung Onggok Singkong Sebagai Bahan Baku Pakan Pada

Budidaya Nila (Oreochromis niloticus)

Dodi Rahmad Afebrata, Limin Santoso dan Suparmono….………………

233 - 240

Pertumbuhan Diaphanasoma sp. Yang Diberi Pakan Nannochloropsis sp.

Sri Susilowati…………………………………………………………………..

241 - 248

Imunogenisitas Kombinasi Vaksin Inaktif Whole Cell Aeromonas

salmonicida dan Jintan Hitam (Nigella sativa) Pada Ikan Mas (Cyprinus

carpio)

Nur` Ani Okta Trilia, Agus Setyawan, Y.T. Adiputra dan Wardiyanto…

249 - 258

Efek Pelarut Yang Berbeda Terhadap Toksisitas Ekstrak Akar Tuba

(Derris elliptica)

Oktarinaldi Irawan, Eko Efendi dan Mahrus Ali …....……………………..

259 - 266

Pemanfaatan Bioflok Dari Limbah Budidaya Lele Dumbo (Clarias

gariepinus) Sebagai Pakan Nila (Oreochromis niloticus)

Nani Septiani, Henni Wijayanti Maharani dan Supono……………………

267 - 272

Pengaruh Salinitas dan Nitrogen Terhadap Kandungan Protein Total

Nannochloropsis sp.

Nindri Yahrti, Moh. Muhaemin dan Siti Hudaidah………………….….

273 - 278

Penggunaan Tepung Onggok Singkong Yang Difermentasi dengan

Rhizopus sp. sebagai Bahan Baku Pakan Ikan Nila Merah (Oreochromis

niloticus)

Reni Antika, Siti Hudaidah dan Limin Santoso……………..….………..

279 - 284

Identifikasi Parasit pada Ikan Badut (Amphiprion percula) di Balai Besar

Pengembangan Budidaya Laut Lampung

Rina Hesti Utami, Agus Setyawan, Rara Diantari dan Siti Hudaidah…..

285 - 288

e-Jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan Volume II No 2 Februari 2014

ISSN: 2302-3600

DAFTAR ISI

Volume 2 Nomor 1Oktober 2013

Pemanfaatan Pupuk Cair TNF® Untuk Budidaya Nannochloropsis sp

Leonardo Bambang Diwi Dayanto, Rara Diantari dan Siti Hudaidah…

163 - 168

Pengaruh Metil Metsulfuron Terhadap Sel Darah Merah Ikan Patin Siam

(Pangasius hypopthalmus)

Qorie Astria, Henni Wijayanti Maharani dan Berta Putri ….……………

169 - 174

Pengaruh Metil Metsulfuron Terhadap Jaringan Insang Patin Siam

(Pangasius hypopthalmus)

Lisa Novalia , Berta Putri dan Henni Wijayanti Maharani..……………

175 - 178

Substitusi Tepung Ikan Dengan Tepung Daging Dan Tepung Tulang Untuk

Pertumbuhan Lobster Air Tawar (Cherax quadricarinatus)

Yuriska Selviani , Limin Santoso dan Siti Hudaidah ..…………………

179 - 184

Pengaruh Vitamin C Dan E Terhadap Kandungan Asam Lemak Bebas

Telur Ikan Baung (Mystus nemurus)

Sudarmono , Tarsim dan Siti Hudaidah …………...................................

185 - 190

Penggunaan Tepung Daging Dan Tulang Sebagai Alternatif Sumber

Protein Hewani Pada Pakan Ikan Nila Merah (Oreochromis niloticus)

Afat Abdiguna , Limin Santoso , Wardiyanto dan Suparmono ….………

191 - 196

Perubahan Jaringan Organ Ikan Komet (Carrasius auratus) Yang Di

Infeksi Dengan Aeromonas hydrophila

Rahmat Yulianto , Y. T. Adiputra , Wardiyanto dan Agus Setyawan….

197 - 204

Imunogenisitas Heat Killed Vaksin Inaktif Aeromonas salmonicida Pada

Ikan Mas (Cyprinus carpio)

Fredi Wintoko, Agus Setyawan, Siti Hudaidah dan Mahrus Ali….……

205 - 210

Kandungan Protein Total (Crude Protein) Brachionus plicatilis Dengan

Pemberian Pakan Nannochloropsis sp. Pada Kondisi Stress Lingkungan

Mikro (Micro Environmental Stress)

Irza Dewi Sartika , Moh. Mohaemin dan Henni Wijayanti Maharani ...

211 - 216

e-Jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan Volume II No 2 Februari 2014

ISSN: 2302-3600

© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014

PENERAPAN TEKNIK IMOTILISASI BENIH

IKAN NILA (Oreochromis niloticus) MENGGUNAKAN EKSTRAK DAUN

BANDOTAN (Ageratum conyzoides) PADA TRANSPORTASI BASAH

Musfirotun Aini *†, Mahrus Ali‡ dan Berta Putri‡

ABSTRAK

Transportasi benih nila (Oreochromis niloticus) merupakan tahapan penting dalam

keberhasilan pembesaran nila. Pemanfaatan bahan pembius lokal seperti daun

bandotan (Ageratum conyzoides) dilakukan untuk mengantisipasi permasalahan

transportasi basah berupa aktivitas metabolisme benih yang tinggi yang

menyebabkan stres dan sintasan benih menjadi rendah. Penelitian bertujuan untuk

mengetahui konsentrasi ekstrak daun bandotan yang paling baik untuk teknik

imotilisasi dan pengaruhnya terhadap tingkat sintasan benih ikan nila. Penelitian ini

menggunakan rancangan acak lengkap dengan perlakuan A (0 mg/L), B

(1,585 mg/L ekstrak daun bandotan), C (2,512 mg/L ekstrak daun bandotan), dan

D (3,982 mg/L ekstrak daun bandotan), masing-masing perlakuan 6 ulangan.

Parameter yang diamati adalah uji toksisitas, kecepatan pingsan, lama pulih sadar,

tingkat kelangsungan hidup, kecepatan pertumbuhan dan kualitas air (suhu, oksigen

terlarut dan pH). Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi ekstrak daun

bandotan antar perlakuan berbeda nyata (P>0,01) terhadap periode imotilisasi, lama

waktu pulih sadar, sintasan setelah transportasi dan pemeliharaan. Konsentrasi

ekstrak daun bandotan antar perlakuan tidak berbeda nyata (P<0,05) terhadap

kecepatan pertumbuhan harian benih nila. Konsentrasi yang sesuai untuk teknik

imotilisasi sebesar 3,982 mg/L dengan tingkat kelangsungan hidup benih 95,55%.

Kata kunci : daun bandotan, ekstrak, benih nila, imotilisasi, pembesaran

Pendahuluan

Kegiatan budidaya nila (Oreochromis

niloticus) semakin diminati oleh

pembudidaya ikan air tawar sehingga

memberikan kontribusi produksi

komoditas utama perikanan budidaya

* Mahasiswa Jurusan Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Lampung † Email : [email protected] ‡ Dosen Jurusan Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Lampung Alamat: Jl.Sumantri

Brojonegoro Gedong Meneng Bandar Lampung 35145

air tawar terbanyak. PPL-LIPI (2013)

menyebutkan bahwa kontribusi

produksi nila di Indonesia pada tahun

2012 sebesar 37% atau mencapai

684.400 ton. Jumlah kontribusi

produksi ikan nila lebih banyak

dibandingkan komoditas utama lainnya

218 Penerapan Teknik Imotilisasi Benih Ikan Nila

© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014

seperti lele (Clarias sp.) sebesar 22%

(407.700 ton), ikan mas (Cyprinus

carpio) 20% (375.200 ton), patin

(Pangasius sp.) sebesar 16% (300.300

ton), dan gurame (Osphronemus

gouramy) 3,78% (69.500 ton). Hal

inilah yang menjadi salah satu penyebab

semakin meningkatnya permintaan

benih nila sehingga penyediaan benih

ikan harus secara kontinu.

Salah satu tahapan dalam penyediaan

benih adalah kegiatan transportasi

benih, terutama jika lokasi budidaya

berjauhan dengan panti benih. Kegiatan

transportasi benih umumnya dilakukan

dengan kepadatan yang tinggi untuk

menghemat biaya. Namun dalam

aplikasinya, kepadatan ikan yang tinggi

mengakibatkan benih ikan menjadi stres

dan lebih rentan mengalami kematian.

Hal tersebut dikarenakan kepadatan

yang tinggi menyebabkan aktivitas

metabolisme ikan meningkat dan

konsumsi oksigen menjadi tinggi

sehingga oksigen terlarut menurun.

Selain itu, guncangan di perjalanan

selama transportasi berlangsung juga

menjadi faktor penyebab ikan menjadi

stres.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan

untuk mengantisipasi ikan stres adalah

dengan menekan aktivitas metabolisme

tubuh ikan serta konsumsi oksigen

selama transportasi namun tetap

mempertimbangkan aspek keamanan

dan kesehatan ikan. Selain itu pula

menjaga kondisi ikan agar tetap tenang

akibat guncangan diperjalanan. Upaya

yang dilakukan dikenal dengan

imotilisasi. Menurut Suryaningrum dkk.

(2005), imotilisasi merupakan suatu

kegiatan untuk menurunkan atau

menekan aktivitas metabolisme dan

respirasi biota perairan menggunakan

suhu rendah dan bahan antimetabolit.

Bahan antimetabolik terdiri dari bahan

sintetis dan alami. Penggunaan bahan

alami tidak menyebabkan residu

sebagaimana menurut Chotimah dkk.

(2009), bahwa bahan antimetabolik

alami seperti daun bandotan (Ageratum

conyzoides) tidak terjadi akumulasi

residu di dalam tubuh ikan karena

mudah dikeluarkan kembali. Selain itu

pula, bahan alami mudah diperoleh dan

harga relatif murah. Salah satu bahan

alami yang dapat digunakan sebagai

bahan antimetabolik alami adalah

ekstrak daun bandotan.

Daun tanaman bandotan diketahui

mengandung metabolit sekunder seperti

golongan alkaloid dan aromatik. Salah

satu sifat golongan alkaloid adalah

analgesik seperti flavonoid, saponin,

treonin, dan morfin, sedangkan

golongan aromatik kebanyakan dari

kelompok senyawa fenol yang

memberikan efek relaksasi dan

menimbulkan daya halusinasi seperti

etanol dan polifenol (Kamboj and

Saluja, 2010). Menurut Kardono dan

Artanti (2003), bahwa daun bandotan

bandotan mempunyai efek spasmolitik

dan analgesik serta memberikan

pengaruh relaksasi pada otot polos.

Hasil penelitian oleh Arindra (2007),

menyatakan bahwa daun bandotan

dapat memberikan pengaruh

menenangkan pada ikan mas sehingga

mengurangi ekskresi produk metabolik.

Penelitian dilakukan untuk mengetahui

konsentrasi ekstrak daun bandotan yang

paling baik untuk teknik imotilisasi dan

pengaruhnya terhadap tingkat sintasan

benih ikan nila. Penambahan ekstrak

daun bandotan pada media transportasi

basah diharapkan dapat meminimalisir

stres dan kematian ikan.

Bahan dan Metode

Penelitian dilaksanakan pada April

sampai Oktober 2013 di Laboratorium

Budidaya Perikanan Fakultas Pertanian

Universitas Lampung. Bahan yang

digunakan benih nila ukuran 3-5 cm,

daun bandotan, dan oksigen murni.

Musfirotun Aini, Mahrus Ali dan Berta Putri 219

© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014

Penelitian eksperimen menggunakan

rancangan acak lengkap dengan 6

ulangan terdiri dari 3 perlakuan

konsentrasi (1,585 mg/L, 2,512 mg/L,

3,982 mg/L ekstrak daun bandotan), dan

1 kontrol (0 mg/L).

Tahapan penelitian pendahuluan berupa

persiapan dan seleksi benih yang

diaklimatisasi dan diberok selama 24

jam sebelum digunakan. Selanjutnya

ekstraksi daun bandotan dilakukan

menurut metode Pramono (2002)

menggunakan daun berwarna hijau tua

yang dikeringkan dan dihaluskan lalu

mencampurkan daun bandotan yang

telah halus dengan akuades sebanyak 1

L. Rendemen berupa 37 gram serbuk

ekstrak daun bandotan didapat dari

perbandingan daun bandotan dan

akuades 1:2.

Penentuan selang konsentrasi dilakukan

untuk mendapatkan konsentrasi ambang

atas dan ambang bawah. Pengujian

toksisitas ekstrak dinyatakan dengan

median lethal concentration (LC-50)

dengan melakukan uji toksisitas

menggunakan metode probit.

Penelitian utama berupa kegiatan

imotilisasi benih ikan menggunakan

sistem media air (basah) dengan bahan

antimetabolik ekstrak daun bandotan.

Imotilisasi dilakukan terhadap 15 ekor

benih nila dalam 24 akuarium 30 x 20 x

30 cm dengan air ¾ bagian akuarium,

dan konsentrasi ekstrak daun bandotan

yang sesuai. Selanjutnya diamati efek

dari penggunaan ekstrak daun bandotan

dengan mencatat lama waktu imotilisasi

(kecepatan pingsan) dan mengukur

kualitas airnya. Pengemasan dilakukan

dengan memasukkan benih yang telah

imotil (pingsan) ke dalam kantung

plastik berisi akuades yang diberi

oksigen murni lalu diikat rapat dengan

karet. Kantung plastik yang berisi benih

dimasukkan kedalam styrofoam yang

pada bagian sudut-sudutnya diberi es

batu untuk menjaga suhunya.

Selanjutnya styrofoam ditutup rapat

dengan lakban. Selanjutnya dilakukan

simulasi transportasi selama 6 jam

berdasarkan ukuran benih dan

kepadatan yang digunakan (Ismail dan

Sudrajat, 1992).

Pengamatan waktu pulih sadar

dilakukan pada 24 akuarium 30 x 20 x

30 cm dengan air bersih ¾ bagian

akuarium, lalu diamati lama waktu pulih

sadar dan diukur kualitas airnya serta

dilanjutkan dengan penghitungan

sintasan. Pemeliharaan dilakukan

selama 30 hari agar pertumbuhan benih

ikan dapat terlihat dan untuk

mengetahui apakah adanya pengaruh

ekstrak daun bandotan terhadap

pertumbuhan benih ikan nila dengan

pemberian pakan dua kali sehari.

Parameter yang diamati berupa

toksisitas ekstrak daun bandotan,

kecepatan imotilisasi, waktu pulih

sadar, sintasan, pertumbuhan, dan

kualitas air (suhu, oksigen terlarut dan

pH). Data kemudian dianalisis dengan

analisis sidik ragam ANOVA dan

dilanjutkan uji BNJ (Beda Nyata Jujur)

untuk mengetahui perbedaan antar

perlakuan. Uji BNJ dilakukan karena

koifisien keragaman lebih besar dari

nilai F-ratio 5%.

Hasil dan Pembahasan

Toksisitas Daun Bandotan

Ekstrak daun bandotan yang termasuk

dalam kategori toksik (Tabel 1) untuk

benih nila terdapat dalam ekstrak

dengan konsentrasi 6,311 mg/L yang

menyebabkan kematian hingga 51,1%,

dan konsentrasi 10,002 mg/L yang

menyebabkan kematian hingga 100%

dalam waktu 24 jam. Hasil perhitungan

median lethal concentration (LC-50)

pada waktu selang 24 jam didapatkan

konsentrasi yang menyebabkan

kematian benih ikan nila hingga 50%

220 Penerapan Teknik Imotilisasi Benih Ikan Nila

© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014

adalah 5,297 mg/L. Sehingga penelitian

selanjutnya berupa konsentrasi dibawah

sub lethal yaitu 1,585 mg/L, 2,512

mg/L, dan 3,982 mg/L.

Bahan-bahan antimetabolik alami yang

digunakan untuk imotilisasi atau

pemingsanan ikan salah satunya yaitu

ekstrak daun bandotan dengan jumlah

konsentrasi tertentu tidak menyebabkan

residu bagi tubuh ikan. Hal ini sesuai

dengan pernyataan Chotimah dkk.

(2009), bahwa penggunaan daun

bandotan dengan jumlah tertentu untuk

imotilisasi benih ikan mas selama

transportasi berguna untuk mengurangi

stres dan menekan laju metabolisme

ikan, namun tidak menyebabkan

terjadinya akumulasi residu dalam

tubuh ikan karena mudah dikeluarkan

kembali.

Penggunaan bahan antimetabolik

dengan jumlah terlalu banyak menurut

Anastasia (2009) dapat menyebabkan

residu yang merusak beberapa organ

(insang, syaraf, ginjal, dan otak), stres

berkepanjangan, cenderung menjadi

racun, dan mengakibatkan kematian

pada ikan.

Tabel 1. Persentase Mortalitas Benih Ikan Nila Pada Uji Pendahuluan

Ulangan Konsentrasi Ekstrak Daun Bandotan (mg/L)

0 1,585 2,512 3,982 6,311 10,002

1 0 0 0 7 13 30

2 0 0 0 9 14 30

3 0 0 0 6 19 30

Jumlah 0 0 0 7,33 15,33 30

Mortalitas (%) 0 0 0 24,43 51,10 100

Kecepatan Pingsan

Hasil uji kecepatan pingsan (Gambar 1)

diperoleh dari perlakuan dengan waktu

tercepat sampai terlama sebagai berikut:

3,982 mg/L (23,06 menit), 2,512 mg/L

(28,06 menit), dan 1,585 mg/L (31,59

menit). Perlakuan 0 mg/L (kontrol)

tidak diberikan ekstrak daun bandotan

sehingga ikan tidak dipingsankan.

Berdasarkan hasil uji statistik pada

selang kepercayaan 99% menunjukkan

bahwa perlakuan 0 mg/L (kontrol)

memberikan pengaruh yang berbeda

nyata terhadap perlakuan 1,585 mg/L,

2,512 mg/L, dan 3,982 mg/L. Hasil

penelitian yang didapatkan

menunjukkan bahwa waktu tercepat

dalam imotilisasi terjadi pada

konsentrasi tertinggi yaitu 3,982 mg/L

dengan waktu selama 23,06 ± 5,87

menit. Periode imotilisasi yang didapat

tidak berbeda jauh dengan penggunaan

bahan-bahan antimetabolik alami

lainnya yang masih belum termasuk

dalam kategori bahan anestesi ideal

karena tidak mampu memingsankan

ikan dalam waktu 3 menit. Pernyataan

tersebut sesuai dengan Fauziah (2006),

waktu pemingsanan ikan mas dengan

minyak cengkeh 20 tetes didapatkan

waktu 8 menit 19 detik. Selain itu

penelitian yang dilakukan Pramono

(2002), menggunakan ekstrak Caulerpa

sertularoides dengan konsentrasi 22,8%

dan 35,1% dapat memingsankan ikan

hingga 100% dalam waktu 30 menit.

Daun tanaman bandotan berpotensi

sebagai bahan antimetabolik alami

dikarenakan mengandung metabolit

sekunder. Menurut Kamboj and Saluja

(2010), daun bandotan memiliki

senyawa organik dari golongan alkaloid

dan aromatik yang bersifat analgesik

dan dapat menimbulkan daya halusinasi

serta relaksasi.

Kualitas air sebelum ditambahkan

Musfirotun Aini, Mahrus Ali dan Berta Putri 221

© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014

ekstrak daun bandotan masih berada

dalam ambang layak untuk

kelangsungan hidup benih ikan nila,

sedangkan kualitas air media untuk

imotilisasi yang ditambahkan ekstrak

daun bandotan mengalami penurunan

pada suhu dan oksigen terlarut saat

imotilisasi (Tabel 2.). Penurunan suhu

hingga 24ºC diduga karena pada saat

dilakukan imotilisasi cuaca sedang

dingin (hujan) dan juga kandungan

golongan senyawa alkohol (C2H6O)

dalam daun bandotan yang

menyebabkan suhu media perlakuan

menjadi dingin. Penurunan oksigen

terlarut (DO) disebabkan benih nila

menjelang pingsan mengalami

peningkatan konsumsi oksigen sehingga

oksigen berkurang.

Tabel 2. Parameter Kualitas Air Sebelum dan Sesudah Penambahan Ekstrak Daun

Bandotan

Parameter

Konsentrasi (mg/L) Optimal*

0 1,585 2,512 3,982

SB ST SB ST SB ST SB ST

Suhu (°C) 27 27 27 24 26 24 27 24 25-30

pH 7,3 7,3 7,4 6,5 7,5 6,6 7,3 6,4 5-11

DO(mg/L) 5,4 5,6 5,5 4,6 5,5 4,5 5,7 4,7 >5 Keterangan:

* Sumber : Rukmana, 1997

SB: Kualitas air sebelum penambahan ekstrak daun bandotan ST: Kualitas air setelah penambahan ekstrak daun bandotan

Gambar 1. Lama waktu imotilisasi benih nila (Oreochromis niloticus)

menggunakan berbagai konsentrasi ektrak daun bandotan (Ageratum

conyzoides).

Lama Waktu Pulih Sadar

Berdasarkan hasil pengamatan waktu

pulih sadar benih ikan nila didapatkan

kecenderungan semakin banyak

konsentrasi yang diberikan maka waktu

pulih sadar yang dicapai semakin lama.

Hal tersebut sesuai dengan pernyataan

Tahe (2008), bahwa semakin tinggi

konsentrasi bahan anestesi yang

diberikan pada ikan maka waktu pulih

sadar semakin lama.

Hasil penelitian menunjukkan adanya

pengaruh penambahan ekstrak daun

bandotan terhadap waktu pulih sadar

benih ikan. Waktu pulih sadar terlama

sampai tercepat sebagai berikut: 3,982

mg/L (12,26 menit), 2,512 mg/L (8,53

menit), dan 1,585 mg/L (6,59 menit).

222 Penerapan Teknik Imotilisasi Benih Ikan Nila

© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014

Perlakuan 0 mg/L ikan tidak

dipingsankan (tetap sadar). Berdasarkan

hasil uji statistik pada selang

kepercayaan 99% menunjukkan bahwa

perlakuan 0 mg/L (kontrol) memberikan

pengaruh yang berbeda nyata terhadap

perlakuan 1,585 mg/L, 2,512 mg/L, dan

3,982 mg/L.

Lama pulih sadar benih ikan nila

menggunakan ekstrak daun bandotan

dalam penelitian ini termasuk kategori

berhasil namun belum ideal karena

hanya mampu menyadarkan dalam

waktu 10 menit atau <10 menit tetapi

belum belum mampu mencapai ± 5

menit. Hal ini sesuai dengan Pramono

(2002), bahwa kepulihan ikan sampai

gerakan renangnya normal

membutuhkan waktu 10 menit atau <10

menit dan tidak ditemukan adanya

kematian ikan selama 15 menit setelah

pembongkaran bila pada konsentrasi

yang efektif.

Pengamatan parameter kualitas air pada

pulih sadar masih dalam kisaran yang

optimal untuk kelangsungan hidup

benih ikan nila. Kualitas air yang

optimal sangat mendukung proses

pemulihan sadar sehingga waktu pulih

sadar benih ikan nila semakin cepat

(Tabel 3.)

Gambar 2. Lama Waktu Pulih Sadar Benih Ikan Nila (Oreochromis niloticus)

Tabel 3. Parameter Kualitas Air Pulih Sadar

Parameter Konsentrasi (mg/L) Optimal*

0 1,585 2,512 3,982

Suhu (°C) 27 27 26 27 25-30

pH 7,3 7,4 7,5 7,3 5-11

DO (mg/L) 5,4 5,5 5,5 5,7 >5 * Sumber : Rukmana, 1997

Survival Rate Uji Simulasi Transportasi

Hasil penelitian menunjukkan survival

rate (Gambar 3) yang tertinggi sampai

terendah secara berturut-turut adalah

3,982 mg/L (95,55%), 2,512 mg/L

(90%), 1,585 mg/L (66,67%), dan 0

mg/L (17,77%). Berdasarkan hasil uji

statistik pada selang kepercayaan 99%

menunjukkan bahwa perlakuan 0 mg/L

(kontrol) memberikan pengaruh yang

berbeda nyata terhadap perlakuan 1,585

mg/L, 2,512 mg/L, dan 3,982 mg/L.

Survival rate tertinggi terdapat pada

perlakuan 3,982 mg/L. Konsentrasi

ekstrak daun bandotan yang tinggi dapat

mempertahankan kelangsungan hidup

benih ikan nila, dapat menurunkan laju

metabolisme dan konsumsi oksigen

sehingga mampu mencegah tingkat

kematian benih ikan nila selama

Musfirotun Aini, Mahrus Ali dan Berta Putri 223

© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014

transportasi. Hal ini sesuai dengan

pernyataan Arindra (2007), bahwa

khasiat daun bandotan sebagai bahan

antimetabolik alami terhadap ikan mas

memberikan pengaruh menenangkan

sehingga mengurangi ekskresi produk

metabolik kedalam air. Selain itu suhu

pada styrofoam untuk simulasi

transportasi 15°C dengan menggunakan

es batu dimaksudkan untuk menjaga

kondisi ikan agar tetap tenang dan

mempertahankan bahan aktif dari

ekstrak daun bandotan sehingga lebih

lama pengaruhnya terhadap ikan. Suhu

tersebut telah berhasil menghantarkan

benih ikan nila melewati fase panik

sehingga benih ikan selama transportasi

tetap dalam keadaan tenang.

Konsentrasi 0 mg/L (kontrol)

menunjukkan adanya benih ikan nila

yang masih bertahan hidup dengan

survival rate sebesar 17,77%. Benih

ikan nila yang masih bertahan diduga

dikarenakan sebelum dilakukan

simulasi transportasi ikan mengalami

pemberokan. Pemberokan dapat

menyebabkan metabolisme ikan tidak

terlalu tinggi sehingga ikan masih

memiliki energi yang cukup untuk

melakukan aktivitas normal setelah

transportasi. Hal tersebut sesuai dengan

pernyataan Fujaya (2004), bahwa

adanya pemberokan sebelum

transportasi menyebabkan penurunan

kerja dari otot polos sehingga

mempengaruhi sistem pencernaan.

Gambar 3. Survival Rate Simulasi Transportasi

Kecepatan Pertumbuhan Harian

Hasil pengamatan selama pemeliharaan

benih nila (Gambar 4) menunjukkan

kecepatan pertumbuhan ikan yang

tertinggi sampai terendah secara

berturut-turut adalah sebagai berikut:

1,585 mg/L (0,25 gram/hari), 3,982

mg/L (0,23 gram/hari), 2,512 mg/L

(0,21 gram/hari), dan 0 mg/L (0,07

gram/hari).

Berdasarkan hasil uji statistik pada

selang kepercayaan 95% menunjukkan

bahwa konsentrasi ekstrak daun

bandotan tidak memberikan pengaruh

yang berbeda nyata terhadap

pertumbuhan benih nila. Pemeliharaan

benih ikan nila dilakukan untuk

mengetahui apakah adanya pengaruh

ekstrak daun bandotan terhadap

pertumbuhan benih nila. Berdasarkan

pengamatan, perlakuan ekstrak daun

bandotan tidak berpengaruh terhadap

pertumbuhan benih nila, hal ini ditandai

dengan kondisi benih nila pada setiap

perlakuan masih mengalami

pertambahan berat tubuh.

Perlakuan 0 mg/L menunjukkan

kecepatan pertumbuhan sebesar 0,07

gram/hari yang merupakan nilai

terendah. Hal ini dikarenakan jumlah

benih ikan yang terdapat pada perlakuan

0 mg/L banyak yang mengalami

kematian setelah dilakukan transportasi

yaitu dengan jumlah benih yang masih

224 Penerapan Teknik Imotilisasi Benih Ikan Nila

© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014

hidup berjumlah 3 ekor, sehingga nilai

rata-rata pertambahan berat sangat

rendah dibanding pada perlakuan yang

lainnya. Perlakuan konsentrasi 2,512

mg/L menunjukkan kecepatan

pertumbuhan 0,21±0,18 gram/hari.

Kecepatan tersebut lebih rendah

dibandingkan dengan perlakuan ekstrak

daun bandotan lainnya, namun lebih

tinggi jika dibandingkan dengan

kontrol. Pertumbuhan benih nila pada

perlakuan 3,982 mg/L didapatkan

kecepatan pertumbuhan sebesar

0,23±0,18 gram/hari. Kecepatan

pertumbuhan benih nila tertinggi

didapatkan pada perlakuan konsentrasi

1,585 mg/L sebesar 0,25±0,2 gram/hari.

Perlakuan dengan konsentrasi yang

tinggi yaitu 2,512 mg/L dan 3,982 mg/L

dengan kecepatan pertumbuhan relatif

lebih rendah dari perlakuan 1,585 mg/L

diduga karena kualitas air pemeliharaan

menjadi kurang baik. Keadaan tersebut

mengakibatkan benih ikan nila cukup

mengalami kesulitan untuk beradaptasi

dengan media pemeliharaan sehingga

nafsu makan benih ikan nila menjadi

berkurang.

Rendahnya nafsu makan benih nila

menyebabkan pakan yang dimakan oleh

ikan sangat sedikit sehingga energi yang

digunakan untuk pertumbuhan menjadi

sangat sedikit. Hal tersebut sesuai

dengan pernyataan Fujaya (2004),

bahwa dari sejumlah makanan yang

dimakan oleh ikan, hanya 10% saja

yang digunakan untuk ikan tumbuh atau

menambah berat tubuh, sedangkan

lainnya digunakan untuk tenaga atau

menjadi feses. Sisa makanan dan pakan

yang tidak dimakan akan menjadikan

media pemeliharaan keruh dan

penurunan kualitas air meskipun telah

dilakukan penyiponan setiap hari

sehingga menghambat pertumbuhan

benih ikan nila.

Pengamatan kualitas air selama

pemeliharaan masih dalam kisaran yang

optimal untuk pertumbuhan ikan nila.

Suhu yang didapatkan selama

pemeliharaan sebesar 27 – 28ºC. pH

selama pemeliharaan didapatkan

sebesar 7,4 – 7,6 dan oksigen terlarut

yang didapatkan selama pemeliharaan

sebesar 6,2 – 6,3 mg/L. Kualitas air

sangat berpengaruh terhadap kecepatan

pertumbuhan harian. Selain itu suhu air

pada masing-masing perlakuan selama

penelitian tidak berbeda sehingga

respon ikan terhadap pakan yang

diberikan cenderung tidak mengalami

perbedaan

.

Gambar 4. Kecepatan Pertumbuhan Harian

Musfirotun Aini, Mahrus Ali dan Berta Putri 225

© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014

Daftar Pustaka

Anastasia, RD. 2009. Kualitas Sperma

Pasca Pengangkutan dari Induk Ikan

Mas Koki (Carassius auratus) yang

Dianestesi dengan Minyak Biji Pala.

Skripsi. Jurusan Budidaya Perairan.

Fakultas Pertanian. Universitas

Lampung. Lampung.

Arindra, D. 2007. Penggunaan Daun

Bandotan (Ageratum conyzoides)

sebagai Bahan Antimetabolik Alami

untuk Menekan Konsumsi Oksigen

Ikan Mas (Cyprinus carpio) selama

Transportasi. Skripsi. Fakultas

Kedokteran Hewan. Universitas

Airlangga. Surabaya. 39 hal.

Chotimah, D.N. W.Tjahjaningsih. L.

Sulmartini. T.V. Widiyatno dan J.

Triastuti. 2009. Respon Daya Cerna

dan Respirasi Benih Ikan Mas

(Cyprinus carpio) Pasca

Transportasi dengan Menggunakan

Daun Bandotan (Ageratum

conyzoides) sebagai Bahan

Antimetabolik. Jurnal Ilmiah

Perikanan dan Kelautan 1:79-86.

Fauziah, N.R. 2006. Pemingsanan Ikan

Mas (Cyprinus carpio)

Menggunakan Ekstrak Tembakau,

Ekstrak Mengkudu dan Ekstrak

Cengkeh. Jurnal Penelitian. Institut

Pertanian Bogor 9:2-3.

Fujaya, Y. 2004. Fisiologi Ikan. Dasar

Pengembangan Teknik Perikanan.

Rineka Cipta. Jakarta. Hal. 114-115;

124.

Ismail A dan A. Sudrajat. 1992.

Budidaya Ikan Bandeng (Chanos-

chanos ) Sistem Penggelondongan

dan Pembesaran di Tambak. Penebar

Swadaya: Jakarta. 83 hal.

Kamboj, A dan A. K. Saluja. 2010.

Ageratum conyzoides L. : A Review

on its Phytochemical and

Pharmacological Profile.

International Journal of Green

Pharmacy: 59-68.

Kardono, L. dan Artanti, N. 2003.

Selected Indonesian Medical Plants

Monographs and Description.

Garsindo. Jakarta. hal. 42-44.

Pramono, V. 2002. Penggunaan Ekstrak

Caulerpa racemosa sebagai Bahan

Pembius pada Pra Transportasi Ikan

Nila (Oreochromis niloticus) Hidup.

Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu

Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

50 hal.

Pusat Penelitian Limnologi LIPI. 2013.

Statistik Menakar Target Ikan Air

Tawar Tahun 2013. Dikutip dari

http://www.djpb.kkp.go.id/berita.ph

p?id=847. Diakses pada 17

Desember 2013 pada pukul 10.53

WIB.

Rukmana, R. 1997. Ikan Nila Budidaya

Prospek Agribisnis. Kanisius.

Yogyakarta.

Suryaningrum TD, Utomo BSD,

Wibowo S. 2005. Teknologi

Penanganan dan Transportasi

Krustasea Hidup. Badan Riset

Kelautan dan Perikanan. Slipi.

Jakarta.

Tahe, S. 2008. Penggunaan

Phenoxyethanol, Suhu Dingin dan

Kombinasi Suhu Dingin dan

Phenoxyethanol dalam Pembiusan

Bandeng Umpan. Jurnal Media

Akuakultur 3: 7-9.

226 Penerapan Teknik Imotilisasi Benih Ikan Nila

© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014

e-Jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan Volume II No 2 Februari 2014

ISSN: 2302-3600

© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014

PEMANFAATAN KOMPOS KULIT KAKAO (Theobroma cacao)

UNTUK BUDIDAYA Daphnia sp.

Arif Wibowo*†, Henni Wijayanti‡ dan Siti Hudaidah‡

ABSTRAK

Pemanfaatan Daphnia sp. sebagai pakan alami dalam pembenihan ikan air tawar

berasal dari kultur alamiah. Ketersediaan pakan alami ini tidak mencukupi untuk

memenuhi kebutuhan pembenihan ikan yang semakin meningkat. Budidaya

Daphnia sp. dilakukan untuk menjaga ketersediaan jumlah untuk kebutuhan panti

benih. Pakan alami ini dapat dibudidayakan dengan memanfaatkan kompos kulit

buah kakao (Theobroma cacao) sebagai sumber nutrisi. Penelitian bertujuan untuk

mengetahui efektifitas penambahan jumlah kompos kulit buah kakao pada

peningkatan populasi Daphnia sp. Penelitian dilakukan dengan menggunakan

rancangan acak lengkap dengan perlakuan penambahan kompos kulit buah kakao

sebanyak 3, 6, 9 dan 12 gr/l. Akuarium berukuran 27 x 15 x 12 cm yang berisi induk

Daphnia sp. sebanyak 20 ekor setiap perlakuan. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa penambahan kompos kulit buah kakao sebanyak 6 gr/l memberikan

pengaruh nyata terhadap pertumbuhan populasi Daphnia sp. Parameter kualitas air

meliputi oksigen terlarut, pH dan amonia selama penelitian masih dalam kisaran

yang bisa ditoleransi oleh Daphnia sp.

Kata kunci: kompos, kakao, Daphnia sp., populasi, pakan alami

Pendahuluan

Pakan alami memegang peranan

penting pada pembenihan, karena

berperan sebagai pakan awal larva.

Pakan alami harus memiliki ukuran

yang sesuai dengan bukaan mulut larva,

mudah dicerna dan memiliki kandungan

gizi yang cukup tinggi untuk

mendukung pertumbuhan larva.

Daphnia sp. merupakan zooplankton

yang sering digunakan sebagai pakan

alami pada pembenihan ikan air tawar.

* Mahasiswa Jurusan Budidaya Perairan Universitas Lampung † Email: [email protected] ‡ Dosen Jurusan Budidaya Perairan Universitas Lampung.

Alamat: Jl.Prof.S.Brodjonegoro No.1 Gedong Meneng Bandar Lampung 35145

Kandungan nutrisi Daphnia sp. yang

cukup tinggi meliputi protein 42,65%,

lemak 8%, kadar air 94,78%, serat kasar

2,58% dan abu 4% sangat baik untuk

mendukung pertumbuhan larva ikan

(Darmanto, 2000).

Penggunaan Daphnia sp. dalam

pembenihan ikan biasanya berasal dari

tangkapan di alam sehingga

ketersediaanya fluktuatif. Budidaya

Daphnia sp. merupakan salah satu

upaya untuk mencukupi kebutuhan

228 Pemanfaatan Kompos Kulit Kakao

© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014

pakan alami selama pembenihan.

Daphnia sp. merupakan salah satu jenis

zooplankton yang hidupnya

berkelompok dan sering ditemukan di

perairan yang banyak mengandung

bahan organik atau sisa - sisa

pembusukan tanaman, seperti sawah,

rawa, selokan, dan perairaan yang

tenang (Ninuk, 2011).

Faktor kimia yang berpengaruh

terhadap kelangsungan hidup Daphnia

sp. di perairan antara lain adalah suhu,

oksigen terlarut, pH dan amonia.

Daphnia sp. dapat hidup dengan baik

pada suhu berkisar antara 22°C - 32°C,

pH berkisar antara 6 - 8, oksigen terlarut

> 3,5 ppm, dan dapat bertahan hidup

pada kandungan amonia antara 0,35

ppm – 0,61 ppm (Kusumaryanto, 2001).

Kakao (Theobroma cacao) merupakan

tanaman yang memiliki nilai ekonomi

tinggi. Bijinya dapat diproses menjadi

cokelat, sedangkan kulit buah kakao

difermentasi sehingga dihasilkan

kompos kulit buah kakao dan bisa

dimanfaatkan sebagai pupuk organik.

Dalam budidaya Daphnia

sp.penambahan kompos kulit buah

kakao berfungsi sebagai sumber nutrien

untuk menunjang pertumbuhan

(Purwakusuma, 2007).

Bahan dan Metode

Penelitian ini dilakukan di

Laboratorium Budidaya Perikanan,

Fakultas Pertanian, Universitas

Lampung. Penelitian dilakukan dengan

membandingkan penambahan kompos

kulit buah kakao sebanyak 3, 6, 9 dan 12

gr/l dalam media budidaya Daphnia

sp..

Daphnia sp. dipelihara dalam akuarium

ukuran 27 x 15 x 12 cm. Masing-

masing akuarium dilengkapi dengan

perangkat aerasi. Inokulasi Daphnia sp.

dilakukan pada hari ke-empat sebanyak

20 ekor/l. Parameter yang diukur

adalah: populasi fitoplanktondan

Daphnia sp yang dihitung setiap hari,

parameter kualitas air meliputi suhu,

oksigen terlarut, derajat keasaman (pH),

amonia. Parameter yang diuji dalam

penelitian ini adalah pola pertumbuhan

fitoplankton dan kepadatan populasi

Daphnia sp. selama pemeliharaan.

Pengaruh penambahan jumlah kompos

kulit buah kakao dianalisis dengan

membandingkan antar pelakuan. Data

kualitas air dianalisis secara deskriptif,

yaitu dengan pengamatan pada

pengukuran kualitas air.

Hasil dan Pembahasan

Pertumbuhan populasi Daphnia sp.

selama budidaya dengan penambahan

kompos kulit buah kakao 3, 6, 9 dan 12

gram/liter masing-masing mencapai

puncaknya pada hari ke-8 rata-rata

sebanyak 1988 individu/l, pada hari ke-

9 dengan jumlah rata-rata 5790

individu/l, pada hari ke-8 dengan

jumlah rata-rata 3293 individu /l, dan

pada hari ke-8 dengan rata-rata 2812

individu /l (Gambar 1).

Pertumbuhan populasi Daphnia sp. dari

setiap perlakuan membentuk kurva

sigmoid yang terdiri dari fase adaptasi,

fase eksponensial, fase stationer dan

fase kematian.Pertumbuhan populasi

Daphnia sp. dimulai pada pemeliharaan

hari ke 2 (Gambar 1). Fase adaptasi

terjadi pada hari pertama sampai hari

ke-4 budidaya, ditandai dengan

peningkatan populasi yang rendah dan

fase ini merupakan penyesuaian

organism budidaya terhadap lingkungan

media budidaya. Fase eksponensial

terjadi mulai hari ke-4 sampai

mendekati hari ke-8 (penambahan 3,9,

dan 12 gr/l kompos kulit buah kakao)

dan mendekati hari ke-9 pada

penambahan kompos kulit buah kakao

Arif Wibowo, Henni Wijayanti dan Siti Hudaidah 229

© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014

sebanyak 6 gr/l, pada fase ini

peningkatan populasi sangat cepat

karena diduga organisme yang

dibudidayakan beradaptasi dengan

lingkungan budidaya dan bereproduksi

(Zahidah, 2007).

Pertumbuhan dan peningkatan populasi

Daphnia sp. tertinggi padapenambahan

kompos kulit kakao 6 gr/l media

memiliki jumlah rata-rata 5790

individu/l dan terendah pada

penambahan 3 gr/l media dengan

jumlah rata-rata 1988 individu/liter

(Gambar 1). Pertumbuhan populasi

Daphnia sp. dari fase awal sampai fase

puncak disebabkan oleh kandungan

nutrien yang berasal dari kompos kulit

buah kakao yang terdapat didalam

media budidaya dimanfaatkan oleh

fitoplankton untuk pertumbuhan.

Semakin meningkatnya populasi

fitoplankton yang ada dalam media

budidaya maka ketersediaan pakan bagi

Daphnia sp. mencukupi sehingga

pertumbuhan populasi Daphnia sp. juga

meningkat. Sedangkan pada fase akhir

budidaya Daphnia sp. mengalami

penurunan jumlah populasi, hal ini

diduga disebabkan oleh jumlah nutrien

yang terkandung didalam kompos kulit

buah kakao telah berkurang karena telah

dimanfaatkan oleh fitoplankton (Round,

1973). Semakin tinggi populasi

fitoplankton yang ada dalam media

budidaya maka ketersediaan pakan bagi

Daphnia sp. semakin melimpah

sehingga mencukupi kebutuhan energi

untuk pertumbuhan Daphnia sp. yang

ditandai dengan peningkatan populasi.

Gambar 1. Pertumbuhan rata-rata populasi Daphnia sp. selama budidaya

0

1000

2000

3000

4000

5000

6000

7000

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17

Po

pula

si D

ap

hn

iasp

ind

/l

Hari ke-

3gr/liter

6gr/liter

9gr/liter

12gr/liter

230 Pemanfaatan Kompos Kulit Kakao

© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014

Daphnia sp.

Beberapa genus fitoplankton yang

ditemukan dalam media budidaya

Daphnia sp antara lain: Synedra,

Volvox, Zygnema, Aphanocapsa,

Protococcus, dan Mycrospora.

Kepadatan fitoplankton mempunyai

pola yang sama dengan populasi

Daphnia sp., yaitu terjadi peningkatan,

mencapai puncak dan terjadi penurunan

(Gambar 1; Gambar 2). Peningkatan

kepadatan fitoplankton diduga

disebabkan kandungan nutrien yang

terkandung dalam kompos kulit buah

kakao memenuhi kebutuhan nutrien

fitoplankton untuk pertumbuhannya

sampai waktu tertentu. Pertumbuhan

Daphnia sp. dipengaruhi oleh beberapa

faktor antara lain kondisi fisik perairan,

jenis dan konsentrasi pakan. Jika ketiga

faktor tersebut dipenuhi, maka laju

pertumbuhan Daphnia sp. Akan

berlangsung baik dan menghasilkan

populasi yang tinggi 5790 individu/l

(Ninuk, 2011).

Pemanenan Daphnia sp. disarankan

dilakukan mulai hari ke -8 budidaya.

Parameter kualitas air yang meliputi

suhu 220C - 320 C, pH 6 - 8, oksigen

terlarut > 3,5 ppm dan kandungan

amonia antara 0,35 ppm - 0,61 ppm.

Selama budidaya Daphnia sp. berada

pada kisaran optimal, sehingga tidak

berpengaruh pada pertumbuhan

Daphnia sp.

Gambar 2. Kepadatan rata-rata populasi fitoplankton selama budidaya

0

10000

20000

30000

40000

50000

60000

70000

80000

90000

100000

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17

Kep

adat

an F

ito

pla

nkto

n (

ind

/l)

Hari ke-

3gr/liter

6gr/liter

9gr/liter

12gr/liter

Arif Wibowo, Henni Wijayanti dan Siti Hudaidah 231

© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014

Penurunan populasi Daphnia sp.

(setelah puncak populasi tercapai) pada

semua perlakuan diduga karena

penurunan fitoplankton sebagai pakan

Daphnia sp., juga terjadi peningkatan

amonia dalam media budidaya yang

berasal dari peningkatan metabolisme

fitoplankton dan Daphnia sp. Apabila

kepadatan Daphnia sp. tinggi maka

aktivitas metabolisme meningkat,

mengakibatkan kandungan amonia

meningkat, sehingga media budidaya

tidak optimal untuk pertumbuhan

Daphnia sp (Sarida, 2007). Kandungan

amonia yang tinggi bersifat mematikan

bagi Daphnia sp. (Purwakusuma, 2007).

Suhu merupakan faktor abiotik yang

mempengaruhi peningkatan dan

penurunan aktivitas organisme seperti

reproduksi, pertumbuhan dan

kematian.Kisaran suhu tersebut

merupakan kisaran suhu optimal bagi

pertumbuhan dan perkembangan

Daphnia sp.(Radini, 2006).

Kesimpulan

Pemanfaatan kompos kulit buah kakao

sebagai sumber nutrien sebanyak 6 gr/l

media dalam budidaya Daphnia sp.

menghasilkan peningkatan populasi.

Puncak populasi Daphnia sp. dicapai

pada hari ke- 9 sebanyak 5790

individu/l. Pemanfaatan Daphnia sp.

sebagai pakan alami larva dapat dipanen

mulai hari ke -8 budidaya.

Daftar Pustaka

Darmanto. 2000. Budidaya pakan

alami. Badan Penelitian dan

Pengembangan Pertanian, Instalasi

penelitian dan pengkajian, Teknologi

Pertanian, Jakarta.

Kusumaryanto, H. 2001. Pengaruh

Jumlah Inokulasi Awal Terhadap

Pertumbuhan Populasi, Biomassa

dan Pembentukkan Epipium

Daphnia sp. Skripsi. Fakultas

Perikanan. Institut Pertanian Bogor.

Ninuk. 2011. Dinamika Fitoplankton.

Indonesian Aquaculture. Tequisa

Indonesia.

Jakarta.

Permana, A.Y. 2002. Populasi

Chlorella sp. Dalam Kultur Dengan

Konsentrasi Sumber Nutrien

Kascing (Lumbriscus rubellus) yang

Berbeda. Fakultas MIPA. UNDIP.

Semarang.

Purwakusuma, W. Daphnia. Diedit

Tahun 2007. Diakses pada 1

Desember 2012. http://www.o-

fish/PakanIkan?Daphnia.1php

Radini. D, 2006. Optimasi Suhu, pH

Serta Jenis Pakan Pada Kultur

Daphnia sp. Sekolah Ilmu dan

Teknologi Hayati. Bandung.

Round, F. E. 1973. The Biology of

Algae. London: Edward Arnold. 278

pp.

Sarida, M. 2007. Pengaruh Konsentrasi

Ragi Yang Berbeda Terhadap

Pertumbuhan Populasi Daphnia sp.

Seminar Hasil Penelitian dan

Pengabdian Kepada Mayarakat.

Universitas Lampung, Bandar

Lampung.

Zahidah. 2007. Pertumbuhan Populasi

Daphnia sp. Yang diberi Pupuk

Limbah Budidaya Karamba Karing

Apung (KJA) di Waduk Cirata yang

telah difermentasi EM4. Fakultas

Perikanan dan Ilmu Kelautan.

Universitas Padjadjaran. Bandung.

232 Pemanfaatan Kompos Kulit Kakao

© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014

e-Jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan Volume II No 2 Februari 2014

ISSN: 2302-3600

© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014

SUBSTITUSI TEPUNG ONGGOK SINGKONG SEBAGAI BAHAN BAKU

PAKAN PADA BUDIDAYA NILA (Oreochromis niloticus)

Dodi Rahmad Afebrata*, Limin Santoso† ‡dan Suparmono†

ABSTRAK

Faktor penting dalam budidaya nila (Oreochromis niloticus) adalah ketersediaan

pakan dalam jumlah yang memadai. Namun kebutuhan tepung sebagai bahan baku

pakan ikan sebagian besar belum terpenuhi dari produksi didalam negeri.

Dibutuhkan bahan pakan alternatif untuk mengatasi kebutuhan bahan baku pakan

ikan. Provinsi Lampung adalah produsen singkong sebagai bahan baku tepung

tapioka. Limbah tepung tapioka berupa onggok singkong belum dimanfaatkan

sebagai bahan pakan untuk budidaya ikan. Penelitian dilakukan untuk mengetahui

persentase substitusi tepung onggok singkong dalam pakan nila. Rancangan acak

lengkap dengan 6 perlakuan antara lain 0% tanpa onggok, 5% onggok, 10%

onggok, 15% onggok, 20% onggok, dan 25% onggok. Analisis sidik ragam

(ANOVA) digunakan untuk membedakan persentase substitusi terbaik berdasarkan

pertambahan berat mutlak, laju pertumbuhan harian, kelangsungan hidup, dan

kualitas air. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan onggok singkong

dengan proporsi 5% memberikan kandungan nutrisi dan laju pertumbuhan terbaik

(12,45 gram). Kandungan nutrisi dan laju pertumbuhan yang dihasilkan adalah

protein (31,51%), lemak (12,83%), abu (11,86%), serat kasar (20,14%), (23,66%),

dan kadar air (10,22%).

Kata kunci : onggok singkong, substitusi, pertumbuhan, nila,nutrisi

Pendahuluan

Nila (Oreochromis niloticus)

merupakan jenis ikan yang mempunyai

nilai ekonomis tinggi dan merupakan

komoditas penting dalam bisnis ikan air

tawar di dunia. Beberapa hal yang

mendukung pentingnya budidaya nila

yaitu : resistensi terhadap penyakit dan

toleransi terhadap salinitas sehingga

* Mahasiswa Jurusan Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Unila † Dosen Jurusan Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Unila

Alamat korespondensi: Jl.Prof.Sumantri Brodjonegoro No.1 Gedong Meneng Bandar Lampung

35145. ‡ Email : [email protected]

tumbuh pada perairan payau dengan

salinitas 0 – 25 ppt. Produksi nila di

Indonesia meningkat secara signifikan

dari tahun ke tahun. Pada tahun 2010

produksi nila 469.173 ton, pada tahun

2011 meningkat menjadi 639.300 ton,

dan pada tahun 2012 mencapai 850.000

ton (KKP, 2013). Nila memiliki sifat

omnivora yang cenderung herbivora

234 Substitusi Tepung Onggok Singkong Sebagai Bahan Baku Pakan

© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014

sehingga lebih mudah beradaptasi

dengan jenis pakan yang dicampur

dengan sumber bahan nabati seperti:

bungkil kedelai, tepung jagung, tepung

biji kapuk, dan onggok singkong.

Peningkatan produksi ikan nila

membutuhan pakan yang semakin

meningkat. Pengembangan usaha

budidaya ikan nila saat ini masih

terdapat beberapa masalah di lapangan.

Salah satu permasalahan yang dihadapi

dalam kegiatan budidaya ikan nila yaitu

ketersediaan pakan yang terbatas, baik

jumlah maupun kualitasnya. Kebutuhan

nutrisi nila terpenuhi dengan bahan

baku pakan seperti tepung ikan, tepung

kedelai, tepung jagung, dan bahan

lainnya yang masih impor. Menurut

Suprayudi (2010), syarat yang harus

dipenuhi sebagai bahan baku pakan

adalah mengandung nutrien yang

dibutuhkan ikan untuk pertumbuhan,

diutamakan dari sumber nabati, tidak

berkompetisi dengan kebutuhan pangan

manusia, berbasis limbah, jumlah

tersedia melimpah.

Pengurangan ketergantungan terhadap

bahan baku pakan dari impor

memerlukan bahan baku pakan

pengganti atau substitusi dengan

memanfaatkan bahan baku lokal yang

banyak tersedia sebagai bahan baku

pakan ikan, diantaranya adalah tepung

onggok singkong yang merupakan

limbah pertanian. Produksi singkong di

Lampung tercatat mencapai 8,3 juta ton

yang diolah sebagai keperluan pangan

dan industri (BPS, 2012). Onggok

singkong untuk pakan ternak memiliki

kadar protein kasar dan tingginya serat

kasar, namun memiliki kadar

karbohidrat yang cukup tinggi

(Mahyuddin, 2008). Pati yang tertinggal

menyebabkan onggok memiliki

kandungan karbohidrat yang cukup

tinggi yaitu 50 - 70%, sehingga

dimanfaatkan sebagai media tumbuh

mikroba (Fitriliyani, 2010). Oleh karena

itu untuk menciptakan pakan berkualitas

diperlukan adanya penelitian yang

mempelajari tentang substitusi tepung

onggok singkong dengan proporsi

berbeda sebagai bahan baku pakan nila.

Bahan dan Metode Rancangan penelitian yang digunakan

adalah Rancangan Acak Lengkap

(RAL) dengan enam perlakuan dan tiga

ulangan. Pada penelitian ini dilakukan

penggunaan tepung onggok singkong

dengan proporsi yang berbeda.

Presentase penambahan onggok yang

dilakukan yaitu 0%, 5%, 10%, 15%,

20% dan 25%. Adapun perlakuan yang

digunakan adalah sebagai berikut :

Perlakuan A : Pakan buatan tanpa

onggok (kontrol)

Perlakuan B : Pakan buatan dengan

proporsi onggok 5%.

Perlakuan C : Pakan buatan dengan

proporsi onggok 10%.

Perlakuan D : Pakan buatan dengan

proporsi onggok 15%.

Perlakuan E : Pakan buatan dengan

proporsi onggok 20%.

Perlakuan F : Pakan buatan dengan

proporsi onggok 25%.

Perbedaan perlakuan diuji dengan uji F

pada taraf kepercayaan 95% (Steel and

Torrie, 1991). Pada proses pembuatan

pakan buatan, formulasi pakan

ditentukan berdasarkan bahan baku

pakan dan hasil analisis proksimat

bahan dasar pakan (Tabel 1). Proksimat

pakan perlakuan diuji di Laboratorium

Uji Balai Riset Perikanan Budidaya Air

Tawar Sempur Bogor. Pakan yang

digunakan berupa pakan buatan yang

dibuat dari bahan baku tepung onggok

singkong, tepung ikan, tepung kedelai,

tepung jagung, premix/vitamin, minyak

ikan, dan tepung terigu. Pemberian

Dodi Rahmad Afebrata, Limin Santoso dan Suparmono 235

© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014

pakan terhadap benih ikan nila dengan

ukuran 2 - 3 cm dipelihara selama 50

hari dalam akuarium berukuran 50 x 30

x 40 cm sebanyak 18 buah.

Tabel 1.Formulasi pakan yang digunakan sebagai pakan perlakuan

No Bahan Baku Perlakuan (%)

A B C D E F

1

2

3

4

5

6

7

Tepung Ikan 35 35 35 35 35 35

Tepung Kedelai 30 30 30 30 30 30

Tepung Jagung 25 20 15 10 5 0

Tepung Onggok 0 5 10 15 20 25

Vitamin/Premix 2 2 2 2 2 2

Minyak Ikan 3 3 3 3 3 3

Tepung Terigu 5 5 5 5 5 5

Total 100 100 100 100 100 100

Frekuensi diberikan tiga kali sehari pada

pukul 08.30 ; 12.30 ; 16.30 WIB dengan

Feeding Rate (FR) 5% pada tiap

ulangan dan perlakuan.

Parameter penelitian yang diamati

meliputi uji fisik pakan (water stability),

uji kimia pakan (proksimat), dan uji

biologi seperti tingkat kelangsungan

hidup (SR), pertambahan berat mutlak,

laju pertumbuhan harian dan kualitas

air.

Kelangsungan hidup dihitung

berdasarkan rasio jumlah ikan hidup

pada akhir pemeliharaan dan jumlah

ikan yang ditebar awal pemeliharaan

dengan menggunakan rumus Effendi

(2004) :

𝑆𝑅 = (𝑁𝑡

𝑁𝑜) 𝑥 100%

Keterangan :

SR = Tingkat kelangsungan hidup ikan

Nt = Jumlah ikan akhir pemeliharaan

No = Jumlah ikan awal penebaran

Pertumbuhan benih ikan nila meliputi

pengukuran bobot tubuh ikan nila.

Proses pengukuran dilakukan dengan

timbangan analitik selama sepuluh hari

sekali. Berdasarkan data tersebut

dilakukan penghitungan pertambahan

bobot mutlak dan laju pertumbuhan

harian dengan rumus Effendi (2004)

sebagai berikut :

𝑊𝑚 = 𝑊𝑡 − 𝑊𝑜 Keterangan rumus pertumbuhan berat

mutlak :

Wm = Pertambahan bobot (g)

Wt = Bobot rata-rata akhir (g)

Wo = Bobot rata-rata awal (g)

𝑾𝒎 =𝑾𝒕 − 𝑾𝒐

𝒕

Keterangan rumus laju pertumbuhan

harian :

Wm = Pertambahan bobot (g)

Wt = Bobot rata-rata akhir (g)

Wo = Bobot rata-rata awal (g)

T = Jumlah ikan

Pengukuran kualitas air meliputi :

Pengukuran suhu media air dilakukan

menggunakan alat termometer dengan

standar pengukuran suhu budidaya nila

berkisar antara 25 – 30oC. Pengukuran

oksigen terlarut dalam media

pemeliharaan nila menggunakan DO

meter dengan standar oksigen terlarut

budidaya nila > 3 mg/l. Pengukuran pH

dalam media pemeliharaan nila

dilakukan menggunakan alat pH meter

dengan standar pH budidaya nila 6,5 -

8,5.

236 Substitusi Tepung Onggok Singkong Sebagai Bahan Baku Pakan

© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014

Hasil dan Pembahasan

Pengujian stabilitas pakan dalam air

(water stability) memperlihatkan

kualitas pelet tenggelam yang dibuat

mempunyai tekstur yang cukup baik

terbukti dengan tingkat kehancuran

pakan yang rendah. Adapun waktu daya

tahan pakan buatan dalam air dari waktu

terlama sampai tercepat secara berturut-

turut adalah sebagai berikut: pakan F (5

jam:00 menit), pakan D (4 jam:30

menit), pakan C (4 jam:00 menit), pakan

A (3 jam:30 menit), pakan E (3 jam:00

menit), dan pakan B (2 jam:30 menit).

Menurut Hariadi dkk. (2005), kestabilan

pakan dalam air dipengaruhi oleh jenis

perekat (binder) yang digunakan. Dari

perlakuan uji fisik pakan maka akan

terlihat perbedaan kandungan nutrisi

pada pakan uji yang digunakan.

Kandungan protein pada pakan uji F

menurun akibat meningkatnya

penggunaan tepung onggok. Hal ini

dikarenakan jumlah tepung onggok

yang digunakan pada pakan uji F lebih

besar dibandingkan pakan uji yang lain.

Fungsi protein antara lain untuk

memperbaiki jaringan yang rusak dan

sebagai sumber energi (Mudjiman,

2004). Berdasarkan hasil uji proksimat,

kandungan lemak pada pakan uji C yaitu

14,03% dan kualitasnya dianggap

kurang baik. Hal ini sependapat menurut

Furuichi (1988), menyatakan bahwa

kadar lemak dalam pakan buatan

sebaiknya kurang dari 13%. Hasil uji

kandungan serat kasar pada pakan uji D,

E, dan F cukup tinggi. Hal ini

dipengaruhi oleh bahan baku tepung

onggok yang memiliki kandungan serat

kasar 8,92%. Kandungan serat kasar

yang tinggi pada pakan akan sulit

dicerna oleh ikan. Ditinjau dari

kandungan serat kasarnya, pakan uji ini

baik digunakan untuk menentukan

seberapa besar kecernaan pakan untuk

ikan. Menurut Pascual (2009), serat

kasar merupakan komponen karbohidrat

yang bersifat tidak dapat dicerna dan

tidak larut dalam air.

Karbohidrat dalam pakan ikan terdapat

dalam bentuk serat kasar dan bahan

ekstrak tanpa nitrogen (Watanabe,

1988). Pada uji yang telah dilakukan,

didapatkan bahan ekstrak tanpa nitrogen

tertinggi terdapat pada pakan E dengan

persentase 25,17% dan terendah

terdapat pada pakan F dengan

persentase rata-rata 17,35%. Bahan

ekstrak tanpa nitrogen (BETN)

merupakan senyawa organik yang

termasuk dalam karbohidrat mudah

larut.

Tabel 2. Hasil analisis proksimat pakan untuk penelitian

Parameter Pakan A Pakan B Pakan

C Pakan D Pakan E

Pakan

F

Protein (%)

Lemak (%)

Abu (%)

Serat Kasar (%)

Kadar Air (%)

BETN (%)

30,70

9,08

12,65

18,07

7,99

21,51

31,51

12,83

11,86

20,14

10,22

23,66

31,45

14,03

11,98

21,12

8,10

21,42

31,10

12,03

11,34

25,71

8,41

19,82

29,99

11,63

11,03

22,18

11,72

25,17

27,15

10,78

10,98

24,19

9,55

17,35

Dodi Rahmad Afebrata, Limin Santoso dan Suparmono 237

© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014

Kelangsungan hidup merupakan jumlah

prosentase ikan yang dapat hidup

sampai akhir penelitian dibandingkan

dengan jumlah ikan saat penebaran pada

masing-masing perlakuan. Hasil

analisis ragam pada selang kepercayaan

95% menunjukkan bahwa penggunaan

onggok singkong tidak memberikan

pengaruh nyata terhadap kelangsungan

hidup nila. Tingkat kelangsungan hidup

nila rata-rata mencapai 97,3% (Gambar

1). Hal ini dikarenakan ikan dapat

beradaptasi dengan baik dengan

lingkungan dan kualitas air pada semua

perlakuan masih dalam kisaran

optimum sehingga ikan dapat tumbuh

dengan baik. Kelangsungan hidup ikan

ditentukan beberapa faktor, diantaranya

kualitas air meliputi suhu, oksigen

terlarut dan tingkat keasaman (pH),

serta rasio antara jumlah pakan dengan

kepadatan.

Gambar 1. Kelangsungan hidup pada budidaya nila (Oreochromis niloticus) selama

penelitian persentase penambahan tepung onggok singkong yang

berbeda selama pemeliharaan. Penggunaan tepung onggok singkong

sebanyak 5% dapat memberikan nilai tertinggi 95% kelangsungan

hidup ikan nila dibandingkan penambahan tepung onggok singkong

dengan presentase tinggi.

Pertumbuhan mutlak nila yang tertinggi

adalah pada pakan B 12,45 g dan

terendah pada pakan F 8,85 g (Gambar

2). Hasil analisis ragam pada selang

kepercayaan 95% menunjukkan bahwa

penggunaan tepung onggok sebagai

sumber karbohidrat memberikan

pengaruh nyata terhadap pertumbuhan

berat mutlak ikan nila. Menurut Hariadi

dkk. (2005), karbohidrat merupakan

salah satu nutrisi sebagai sumber energi

yang mudah didapat dalam bahan pakan

buatan yang jumlahnya relatif tinggi

terutama dalam biji-bijian. Pengaruh

karbohidrat terhadap pertumbuhan

dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu

kadar karbohidrat dalam pakan,

kecernaan karbohidrat itu sendiri,

tingkat pakan yang masuk, kondisi

lingkungan dan spesies. Berdasarkan

data pertumbuhan berat ikan nila

membuktikan bahwa pakan yang

diberikan mengandung nutrien yang

memenuhi kebutuhan nutrisi ikan.

75%

80%

85%

90%

95%

A B C D E F

90%

95%

90%88%

86%83%

Tin

gkat

Kel

angsu

ngan

Hid

up

(%

)

Kelangsungan Hidup

238 Substitusi Tepung Onggok Singkong Sebagai Bahan Baku Pakan

© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014

Menurut Effendi (2004), salah satu

faktor yang mempengaruhi

pertumbuhan benih ikan nila agar

optimal adalah terpenuhinya kebutuhan

pakan baik dari segi jumlah dan

kualitas, pemberian pakan sebanyak 5%

dari bobot biomassa dapat memberikan

pertumbuhan yang baik bagi benih ikan

nila.

Laju pertumbuhan harian adalah laju

untuk mengetahui penambahan bobot

pada ikan nila dalam kurun waktu per

hari. Hal ini untuk mengetahui

penambahan bobot satuan gram per ekor

yang dicerna dalam satu hari. Semakin

tinggi nilai laju pertumbuhan harian,

maka pertumbuhan ikan tersebut

semakin baik. Laju pertumbuhan harian

ikan nila selama penelitian dari yang

tertinggi sampai terendah berturut-turut

adalah sebagai berikut: pakan B (15,10

g), pakan A (14,53 g), pakan C (13,60

g), pakan D (12,80 g), pakan E (12,35

g), dan pakan F (11,50 g).

Gambar 2. Peningkatan pertumbuhan berat mutlak budidaya nila (Oreochromis

niloticus) dengan peresentase penambahan tepung onggok singkong

yang berbeda selama pemeliharaan. Penggunaan tepung onggok

singkong sebanyak 5% dapat memberikan nilai tertinggi pada berat

mutlak ikan nila dibandingkan penambahan tepung onggok

singkong dengan presentase tinggi.

Hasil analisis ragam pada selang

kepercayaan 95% menunjukkan bahwa

penggunaan tepung onggok singkong

memberikan pengaruh nyata terhadap

laju pertumbuhan harian pada ikan nila.

Laju pertumbuhan harian tertinggi pada

pakan B 0,65 g/hari dan terendah pada

pakan E 0,52 g/hari (Gambar 3). Hal ini

dikarenakan nila dapat memanfaatkan

pakan uji B lebih baik dibandingkan

dengan pakan uji A, C, D, E, dan F.

Sesuai dengan hasil uji proksimat

pakan, pakan uji B menunjukkan hasil

yang terbaik. Pertumbuhan terjadi

karena ikan memanfaatkan pakan,

sehingga nutrien dalam pakan

dimanfaatkan oleh ikan untuk tumbuh

dan mengkonversi menjadi energi

(Zonneveld dkk., 2010)

a ab b c c

0

2

4

6

8

10

12

14

16

A B C D E F

Per

tum

buhan

Ber

at M

utl

ak (

g/e

ko

r)

Pertumbuhan Berat Mutlak

Onggok 0%

Onggok 5%

Onggok 10%

Onggok 15%

Onggok 20%

Onggok 25%

Dodi Rahmad Afebrata, Limin Santoso dan Suparmono 239

© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014

Gambar 3. Peningkatan laju pertumbuhan harian nila (Oreochromis niloticus)

selama budidaya dengan presentase penambahan tepung onggok

singkong yang berbeda selama pemeliharaan. Proporsi tepung onggok

singkong sebanyak 5% menunjuk perbedaan nyata terhadap laju

pertumbuhan nila dibandingkan perlakuan lainnya.

Kualitas air berupa oksigen terlarut pada

perlakuan penelitian memiliki nilai

kisaran antara 5,15 - 7,8 ppm, suhu air

antara 24- 29,5oC dan pH kisaran 5,0 -

7,7. Menurut Boyd (1990),

Nilai oksigen di dalam pengelolaan

kesehatan ikan sangat penting karena

kondisi yang kurang optimal untuk

pertumbuhan dan perkembangan dapat

mengakibatkan ikan stress

sehingga mudah terserang penyakit.

Pada suhu rendah, ikan kehilangan

nafsu makan dan menjadi lebih rentan

terhadap penyakit, sebaliknya jika suhu

tinggi ikan akan mengalami stress

pernapasan dan bahkan dapat

menyebabkan kerusakan insang

permanen. Suhu air yang optimal untuk

pertumbuhan ikan nila berkisar antara

28°C sampai 32°C.

Kesimpulan

Substitusi tepung onggok singkong

sebagai bahan baku pakan dengan

proporsi 5% dapat memberikan

pengaruh terhadap pertumbuhan berat

mutlak, laju pertumbuhan harian,

kelangsungan hidup, dan efisiensi pakan

yang optimal pada budidaya ikan nila.

Daftar Pustaka

Badan Pusat Statistik. 2012. Produksi

Tanaman Ubi Kayu Seluruh

Provinsi. Diakses pada tanggal 5

Maret 2013.

Boyd, C.E., 1990. Water Quality in

Ponds for Aquaculture. Birmingham

Publishing. Birmingham, Alabama

Effendi. 2004. Biologi Perikanan.

Yayasan Pustaka Nusatama.

Yogyakarta.157 Hal.

Fitriliyani, L. 2010. Evaluasi nilai

nutrisi onggok singkong terhidrolisis

dengan ekstrak enzim cairan remen

domba (Ovis aries) terhadap

kinerja pertumbuhan ikan nila (Oreo

chromis niloticus). Jurnal

Akuakultur Indonesia 9: 30-37.

0

2

4

6

8

10

12

14

16

D0 D10 D20 D30 D40 D50

Per

tum

bu

han

har

ian

(g/e

ko

r)

Masa Perlakuan Selama 10 Hari ke

a. 0 % onggok

b. 5 % onggok

c. 10 % onggok

d. 15 % onggok

e. 20 % onggok

f. 25 % onggok

240 Substitusi Tepung Onggok Singkong Sebagai Bahan Baku Pakan

© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014

Furuichi, M. 1988. Dietary Activity of

Carbohydrates. In Fish nutrition and

mariculture. Wantanabe (Ed).

Departement of Aquatic Biosciences

Tokyo University of Fisheriess.

Tokyo.pp. 1-77.

Hariadi, B., A. Haryono, U. Susilo.

2005. Evalusai efisiensi pakan dan

efisiensi protein pada ikan nila

(Oreochromis niloticus) yang diberi

pakan dengan kadar karbohidrat dan

energi yang berbeda. Jurnal Ichtyos

4: 88-92.

Kementerian Kelautan dan Perikanan.

2013. Data Informasi Peningkatan

Budidaya Ikan Nila di Indonesia.

Akses dari www.kkp.go.id tanggal

20 Februari 2013.

Mahyuddin, 2008. Mengolah Limbah

Singkong Menjadi Pakan Ternak

bergizi.

Sumber:http://peluangusaha.kontan.

co.id/v2/read/1298616362/59930/M

engolah-limbah-singkong-menjadi-

pakan-ternak-bergizi

Mudjiman, A. 2004. Pakan Ikan.

Penebar Swadaya. Jakarta. 192 hal

Pascual, S. 2009. Nutrition and feeding

of fish. Van nostrand Reinhold, p.11-

91, New York.

Steel, R.G.D dan J.H. Torrie. 1991.

Prinsip dan Prosedur statistika.

Gramedia pustaka Utama. Jakarta

Suprayudi,T. 2010. Ikhtisar

Ruminologi. Departemen Ilmu dan

Makanan Ternak Fakultas

Peternakan Institut Pertanian Bogor,

Bogor

Wanatanabe, A. 1988. Protein

enrichment of cassava solid waste by

ssf. Trends in food biotechology.

Proceedings World Congress of

Food Science and Technology.

pp.25-28.

Zonneveld, N., E.A. Huisman dan J.H.

Boom. 2010. Prinsip-prinsip

budidaya ikan. Gramedia Pustaka

Utama, Jakarta.

e-Jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan Volume II No 2 Februari 2014

ISSN: 2302-3600

© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014

PERTUMBUHAN Diaphanasoma sp. YANG DIBERI PAKAN

Nannochloropsis sp.

Sri Susilowati12

ABSTRAK

Pakan alami yang berkualitas dan dalam jumlah yang cukup dibutuhkan dalam

pembenihan ikan dan udang agar survival rate larva ikan dan udang tinggi.

Diaphanosoma merupakan salah satu zooplankton yang digunakan sebagai pakan

alami larva ikan dan udang. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui

pertumbuhan Diaphanosoma yang diberi pakan Nannochloropsis. Penelitian

dilaksanakan pada bulan April - Mei 2013 di Laboratorium Zooplankton, Balai

Besar Pengembangan Budidaya Laut (BBPBL) Lampung. Perlakuan berupa

pemberian Nannochloropsis sebagai pakan Diaphanosoma, dilakukan setiap pagi

hari secara ad libitum. Penghitungan kepadatan Diaphanosoma diukur setiap 24

jam sekali. Hasil penelitian menunjukan bahwa terjadi lima fase hidup dalam

penelitian, yaitu fase lag, fase eksponensial, fase stasioner, fase decline dan fase

kematian. Kepadatan rata-rata Diaphanosoma tertinggi dicapai pada fase stasioner

yang terjadi pada hari ke-9, dengan kepadatan 2150 ind/l. Pada fase tersebut

Diaphanosoma dapat dipanen untuk dikultur ulang dan atau dijadikan sebagai

pakan alami larva ikan atau udang. Parameter kualitas air selama kultur masih

dalam kisaran normal.

Kata kunci: Diaphanosoma, Nannochloropsis, pakan alami, kepadatan rata-rata.

Pendahuluan

Pakan merupakan salah satu faktor

utama penunjang keberhasilan

budidaya. Pakan harus mengandung

protein, lemak, karbohidrat, mineral dan

vitamin yang berfungsi sebagai

penunjang pertumbuhan, ketahanan

tubuh, dan kebutuhan energi. Pakan

ikan terbagi menjadi dua macam, yaitu

pakan buatan dan pakan alami. Pakan

alami berasal dari organisme hidup baik

1 Mahasiswa Jurusan Budidaya Perairan Universitas Lampung, Jl.Prof.S.Brodjonegoro No.1

Gedong Meneng Bandar Lampung 35145 2 Email : [email protected]

tumbuhan (fitoplankton) ataupun hewan

(zooplankton) dalam bentuk dan

kondisinya seperti di alam yang dapat

dikonsumsi oleh ikan (Suminto, 2005).

Pakan alami yang diberikan pada larva

ikan terdiri dari fitoplankton dan

zooplankton. Salah satu zooplankton

yang digunakan sebagai pakan larva

adalah Diaphanosoma. Keutamaan

Diaphanosoma antara lain mudah

dikultur, tidak merusak kondisi air

242 Pertumbuhan Diaphanasoma sp

© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014

media pembenihan, dan pertumbuhan

yang singkat sehingga memungkinkan

untuk diproduksi secara massal (Ari

dkk., 2002).

Kelimpahan zooplankton sangat

ditentukan oleh adanya fitoplankton,

yang merupakan makanan bagi

zooplankton (Davis, 1955). Salah satu

fitoplankton yang diberikan sebagai

pakan Diaphanosoma sp adalah

Nannochloropsis sp, yang mengandung

vitamin B12, Eicosa Pentaenoic Acid

(EPA) 30,5%, total kandungan omega 3

HUFA 42,7% serta protein 57,02%.

Vitamin B12 sangat penting untuk

populasi rotifer dan Diaphanosoma sp

(Fulks and Main, 1991).

Bahan dan Metode

Penelitian dilaksanakan pada bulan

April-Mei 2013 bertempat di Balai

Besar Pengembangan Budidaya Laut

(BBPBL) Hanura-Lampung. Biota uji

yang digunakan adalah Diaphanosoma

dan Nannochloropsis. Kultur

Nannochloropsis dilakukan dalam

toples pada volume media 2 l dengan

bibit awal 5x106 sel/ml, kemudian diberi

pupuk Conwy sebanyak 1.5 ml/l serta

diberi aerasi. Kultur mikroalga ini

dilakukan dalam ruangan bersuhu

dingin (25oC) dan diberi cahaya dengan

menggunakan lampu TL 38 w. Setelah

kelimpahan maksimum dicapai,

mikroalga ini siap untuk dijadikan

pakan dalam kultur Diaphanosoma.

Kultur Diaphanosoma dilakukan pada

skala laboratorium dengan 3 perlakuan

menggunakan toples volume 2 l dengan

media air laut, salinitas 25 ppt, pH 8,0

dan suhu 25oC. Bibit yang digunakan

berasal dari Laboratorium zooplankton

BBPBL, dengan kepadatan awal 100

ind/l (BBL, 2002).

Pengamatan Diaphanosoma dilakukan

sampai kepadatan populasinya berada

pada fase kematian. Jumlah populasi

Diaphanosoma dihitung dengan

persamaan menurut Javellana and

Escritor (1981), yaitu:

Jumlah Diaphanosoma (ind/ml) =

Sedangkan kelimpahan

Nannochloropsis dihitung

menggunakan Haemocytometer yang

diamati dibawah mikroskop dengan

perbesaran 400 kali. Untuk memperoleh

nilai kelimpahan Nannochloropsis,

digunakan rumus yang dikembangkan

oleh BBPBL yaitu:

∑𝐾𝑛

𝑛

𝑛

𝑖=1

𝑥 25. 104 sel/ml

Kn = jumlah Nannochloropsis

dalam kotak hitungan ke 1 s/d 5

n = jumlah kotak hitungan

Parameter yang diamati adalah

pertumbuhan Diaphanosoma dan

parameter fisika (suhu, salinitas), dan

parameter kimia (pH, oksigen terlarut).

Pertumbuhan Diaphanosoma dapat

dilakukan dengan menentukan

pertumbuhan relatif dan doubling time.

Pertumbuhan relatif Diaphanosoma sp

dapat dihitung dengan menggunakan

rumus sebagai berikut:

Pertumbuhan relatif Diaphanosoma sp

(%) =

dimana:

Nt= Kepadatan rata-rata Diaphanosoma

pada hari ke-t (ind/l)

No=Kepadatan rata-rata Diaphanosoma

pada awal tebar (ind/l)

t = umur kultur Diaphanosoma (hari)

Nt – No x 100%

No

Jumlah Diaphanosoma yang terhitung (ind)

Jumlah volume sampling (ml)

Sri Susilowati 243

© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014

Tujuan penentuan doubling time yaitu

untuk mengetahui waktu yang

dibutuhkan oleh Diaphanosoma untuk

menggandakan biomassanya menjadi

dua kali lipat dari biomassa awal.

Penentuan doubling time pada

Diaphanosoma digunakan rumus

sebagai berikut menurut Ajah (2010).

r = [ ln (Nt) – ln (No)]/t ; td =

0,6931/r

dimana:

td = Time doubling (waktu

penggandaan) pada populasi

dalam sehari (kali/hari)

r = Nilai intrisik kenaikan populasi

Diaphanosoma

ln = Logaritma dengan basis (bilangan

pokok) e.

Nt = Kepadatan Diaphanosoma pada

hari ke-t (ind/l)

No = Kepadatan Diaphanosoma pada

awal tebar (ind/l)

t = Umur kultur Diaphanosoma (hari)

Hasil dan Pembahasan

Kepadatan Nannochloropsis pada hari

pertama yaitu 5 x 106 sel /ml. Hari

partama merupakan fase adaptasi bagi

Nannochloropsis terhadap media kultur

(Gambar 1). Nannochloropsis

mengalami peningkatan kepadatan pada

hari kedua menjadi 9 x 106 sel/ml.

Nannochloropsis aktif berkembang biak

hingga hari ke-4 kepadatan

Nannochloropsis semakin meningkat

hinga mencapai 15 x 106 sel/ml

(Gambar 2). Setelah umur kultur

mencapai 4 hari Nannochloropsis

dipanen untuk dikultur ulang dan

diberikan sebagai pakan pada

Diaphanosoma sp.

Hasil penghitungan kepadatan

Diaphanosoma diduga ada lima fase

hidup Diaphanosoma yang terjadi

selama kultur, yaitu fase lag, fase

eksponensial, fase stasioner, fase

decline, dan fase kematian. Fase-fase

tersebut dapat digambarkan kepadatan

individu Diaphanosoma yang diamati

selama 12 hari pengamatan. Fase lag

ditandai dengan rendahnya peningkatan

kepadatan individu. Fase eksponensial

terjadi saat Diaphanosoma mengalami

kecepatan pertumbuhan yang begitu

pesat. Fase stationer, ditandai dengan

seimbangnya laju pertumbuhan dengan

laju kematian. Fase decline terjadi

ketika penurunan pertambahan populasi

persatuan waktu bila dibandingkan

dengan fase eksponensial. Fase

kematian ditandai dengan menurunnya

kepadatan individu secara drastis.

Kepadatan rata-rata Diaphanosoma

tertinggi terjadi pada hari ke-9 yaitu

2150 ind/l. Sedangkan kepadatan rata-

rata Diaphanosoma pada fase akhir

kematian yaitu 666 ind/l terjadi pada

hari ke-12 (Gambar 2).

244 Pertumbuhan Diaphanasoma sp

© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014

Gambar 1. Kepadatan Nannochloropsis sp. selama kultur

Gambar 2. Kepadatan rata-rata Diaphanosoma sp. selama kultur yang diberi

pakan Nannochloropsis sp.

Fase adaptasi dimulai sesaat setelah

penebaran Diaphanosoma yang ditandai

dengan tetapnya jumlah populasi. Fase

lag diduga terjadi pada hari pertama

hingga kedua dengan kepadatan rata-

rata 150 ind/l. Pada fase lag,

peningkatan populasi Diaphanosoma

sangat rendah, karena Diaphanosoma

masih dalam proses adaptasi secara

fisiologis terhadap media kultur

sehingga metabolisme untuk tumbuh

lamban. Pertumbuhan relatif

Diaphanosoma pada hari pertama

hingga hari kedua sebesar 0%, yang

berarti belum ada peningkatan

kepadatan Diaphanosoma.

Fase eksponensial diduga terjadi mulai

hari ke-3 hingga hari ke-7 menurut

penghitungan pertumbuhan relatif

Diaphanosoma, ditandai dengan

pesatnya laju pertumbuhan. Kepadatan

rata-rata Diaphanosoma pada fase

eksponensial yaitu 1916 ind/l. Menurut

Suantika (2009), fase eksponensial

terjadi ketika nutrien, pH dan intensitas

cahaya pada medium masih dapat

memenuhi kebutuhan fisiologis

mikrooganisme sehingga dalam fase ini

mikroorganisme masih memiliki

kemampuan bereproduksi hingga

kepadatannya masih bertambah.

Diaphanosoma aktif berkembang biak

02468

10121416

1 2 3 4

Kep

ad

ata

n (

x

10

6se

l/m

l)

Umur Kultur (hari)

0

500

1000

1500

2000

2500

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Kep

ad

ata

n (

ind

/l)

Umur kultur (hari)

Fase LagFase Lag

Sri Susilowati 245

© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014

pada fase eksponensial. Ciri

metabolisme selama fase eksponensial

adalah tingginya aktivitas yang berguna

untuk pembentukan protein dan

komponen-komponen penyusun plasma

sel yang dibutuhkan dalam

pertumbuhan (Fogg, 1975).

Setelah fase eksponensial kemudian

terjadi fase stasioner, ditandai dengan

seimbangnya laju pertumbuhan dengan

laju kematian. Disebut juga fase statis

karena pertambahan kepadatan populasi

seimbang dengan laju kematian

sehingga sepertinya tidak ada lagi

adanya pertumbuhan populasi.

Berdasarkan pengamatan, fase stasioner

terjadi pada umur kultur hari ke-7

hingga hari ke-9. Pada umur kultur

tersebut Diaphanosoma mengalami

puncak kepadatan hingga umur kultur

ke-9 hari. Pada umur kultur ke-10 hari

dan selanjutnya Diaphanosoma

mengalami penurunan kepadatan

populasi.

Setelah fase stasioner kemudian terjadi

fase decline, disebut juga fase istirahat

atau fase penurunan laju pertumbuhan.

Hasil penghitungan pertumbuhan relatif

Diaphanosoma menunjukkan fase

decline diduga terjadi mulai hari ke-9

hingga hari ke-10. Kepadatan rata-rata

Diaphanosoma pada puncak yaitu 2150

ind/l. Pada fase ini Diaphanosma dapat

dipanen untuk dijadikan sebagai pakan

alami larva ikan dan atau udang. Fase

decline diduga terjadi karena persaingan

pakan alami di dalam media kultur.

Menurut Partawisastra (1996), selama

energi yang dibutuhkan untuk

mempertahankan sel masih diperoleh

dengan respirasi bahan simpanan dan

protein, mikroorganisme masih mampu

mempertahankan hidup untuk masa

yang panjang.

Fase terakhir setelah fase decline adalah

fase kematian yang diduga terjadi

setelah hari ke-10 hingga hari ke-12.

Fase kematian ditandai dengan

kepadatan populasi yang terus

berkurang, hal ini dikarenakan populasi

kematian lebih tinggi dari populasi

pertumbuhan. Kepadatan rata-ata

Diaphanosoma pada akhir fase

kematian yaitu 666 ind/l (Gambar 2).

Penelitian serupa juga dilakukan pada

BBL (2002), Diaphanosoma yang

diberikan pakan Nannochloropsis sp

memiliki kepadatan lebih tinggi

dibandingkan Diaphanosoma yang

diberi pakan Tetraselmis sp dan

Dunaliella sp. Kepadatan dicapai pada

hari ke-5 dengan jumlah populasi 754

ind/l. Diaphanosoma yang diberi pakan

Nannochloropsis sp memiliki life span

yang lebih lama dibandingkan

Diaphanosoma yang diberi pakan

Tetraselmis sp, Chaetoceros sp, dan

Isocrysis sp yaitu umur kultur mencapai

17 hari. Studi lain yang menyatakan

Diaphanosoma yang diberi pakan

Tetraselmis sp dengan padat tebar 3 x

104 sel/ml mencapai puncak pada hari

ke-9, dan pada hari tersebut

Diaphanosoma dapat dipanen (Rasyid,

2006).

Pertumbuhan Diaphanosoma selama

penelitian mengalami lima fase, yaitu

fase lag, fase eksponensial, fase

stasioner, fase decline dan fase

kematian. Selama kultur,

Diaphanosoma mengalami doubling

time, yaitu waktu yang diperlukan

Diaphanosoma untuk mencapai

kepadatan dua kali lipat dari kepadatan

sebelumnya. Pada saat pertumbuhan,

rata-rata setiap kultur doubling time

Diaphanosoma terjadi setiap 1,91

kali/hari, atau sama dengan setiap 12,5

jam sekali. Menurut Gardner et al.

(1991), pertumbuhan dan

perkembangan berlangsung secara

terus-menerus tergantung pada hasil

246 Pertumbuhan Diaphanasoma sp

© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014

asimilasi, hormon dan substansi

pertumbuhan serta lingkungan yang

mendukung.

Faktor pendukung lingkungan yang

mempengaruhi pertumbuhan di dalam

media pemeliharaan antaralain salinitas,

pH dan oksigen terlarut (Djarijah,

1995). Hasil pengamatan salinitas, suhu,

pH, dan oksigen terlarut menunjukkan

kondisi media kultur yang relatif stabil

dan dapat ditolerir oleh Diaphanosoma

sp. Nilai kualitas air yang didapat sesuai

kisaran optimum untuk Diaphanosoma,

yaitu 20-35 ppt untuk salinitas

(Nyabakken, 1992), 7 – 9 untuk pH

(Effendi, 2003), 5,45 - 7,00 ppm untuk

oksigen terlarut (Sanusi, 2004). Begitu

pula nilai suhu masih berada dalam

kisaran optimum untuk pertumbuhan.

Isnansetyo dan Kurniastuti (1995),

menyatakan suhu yang sesuai dengan

fitoplankton berkisar antara 25 - 30oC,

sedangkan yang sesuai untuk

pertumbuhan zooplankton berkisar

antara 15 - 30oC. Pengamatan kualitas

air selama penelitian dilakukan pada

awal, tengah, dan akhir penelitian

(Tabel 1).

Tabel 1. Kualitas media kultur Diaphanosoma sp. selama pemeliharaan

Parameter Hari ke-0 Hari ke-7 Hari ke-11 Nilai Optimum

Salinitas (ppt) 28 28 28 25-35*

Suhu (°C) 21.7 23.1 18.8 15-30**

pH 8.2 8.1 8.2 7,3-8,7*

DO (ppm) 6.7 6.3 6.9 4,0-6,9*

Keterangan : *BBL, 2002. **Isnansetyo dan Kurniastuti, 1995.

.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat

disimpulkan bahwa terdapat lima fase

pertumbuhan pada Diaphanosoma sp,

yaitu fase lag, fase eksponensial, fase

stasioner, fase decline dan fase

kematian. Pada saat pertumbuhan

Diaphanosoma sp mengalami doubling

time setiap 1,91 kali/hari, atau sama

dengan setiap 12,5 jam sekali.

Daftar Pustaka

Ari Kadek, Winanto T., dan

Anindiastuti. 2002. Kajian

Pendahuluan Penggunaan Pakan

Fermentasi Untuk Kultur Massal

Cyclop sp. DKP Dirjen Perikanan

Budidaya, Balai Budidaya Laut

Lampung.

Ajah, P.O. 2010. Mass Culture of

Rotifera Brachionus

quadridentatus [Herman, 1783])

using three different algal species.

Africa Journal of Food Science.

Vol 4: 80-85 pp.

Balai Budidaya Laut Lampung. 2002.

Diaphanosoma sp. dalam Budidaya

Fitoplankton dan Zooplankton.

Dirjen Perikanan Budidaya

Departemen Perikanan dan

Kelautan. 90 hal.

Davis, C.C. 1955. The Marine and

Freshwater Plankton. Machigan

State University Press. USA. 562p.

Djarijah. A. S. 1995. Pakan Ikan Alami.

Kanisius. Yogyakarta. 12 -13 hal.

Sri Susilowati 247

© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air

bagi Pengelolaan Sumber Daya

dan Lingkungan Perairan.

Kanisius. Yogyakarta. 258 hal.

Fogg, G. E. 1975. Algae Cultur and

Phytoplankton Ecology 2nd Ed.

University of Winconsin Press,

Maddison. 19p.

Fulks, W. dan K. L. Main. 1991. The

design operations of commercial-

scale live feeds production systems.

Rotifers and Microalgae Culture

System. Proceeding of a US - Asia

workshop. Edited by Wendy Fulks

and Kevan L. Main. The Ocean

Institute, Hawaii. 348 pp.

Gardner, F.P., R.B. Pearce, and R. L.

Mitchell. 1991. Fisiologi Tanaman

Budidaya. Universitas Indonesia

Press. Jakarta. 428 hal.

Isnansetyo, A. dan Kurniastuty. 1995.

Teknik kultur fitoplankton dan

zooplankton. Pakan alami untuk

pembenihan organisme laut.

Kanisius. Yogyakarta. 115p.

Javellana, S. and F. Escritor. 1981.

Culture of Algae and Plotting of

Growth Curves. SEADFEC

Aquaculture Department, Natural

Food Project, Tigbauan, Iloila.

Philipines. 78 hal.

Nybakken, J. W. 1988. Biologi Laut

Suatu Pendekatan Ekologi. Jakarta:

Gramedia. 459 hal.

Partawisastra, A. R. 1996. Studi

Pendahuluan tentang Zat Pemacu

Pertumbuhan dari Mikroalga

Chlorella sp. Fakultas Perikanan

dan Ilmu Kelautan. Institut

Pertanian Bogor. Skripsi. 101 hal.

Rasyid, A.. 2006. Kultur

Diaphanosoma sp. Dengan Pakan

Tetraselmis sp. Yang Berbeda

Kelimpahannya Pada Balai Besar

Pengembangan Budidaya Laut

(BPBL) Lampung. Skripsi. Fakultas

Matematika dan Ilmu Pengetahuan

Alam. Universitas Sriwijaya. 23

hal.

Sanusi, H. 2004. Karakteristik Kimia

Dan Kesburuan Perairan Teluk

Pelabuhan Ratu Pada Musim Barat

Dan Timur. Jurnal Ilmu-ilmu

Perairan dan Perikanan Indonesia.

Jilid II, No 2. Departemen Sumber

Daya Perairan, Fakultas Perikanan

dan Ilmu Kelautan IPB Bogor. 89

hal.

Suantika, G. dan D. Hendrawandi.

2009. Efektivitas Teknik Kultur

Menggunakan Sistem Kultur Statis,

Semi-kontinyu dan Kontinyu

Terhadap Produktivitas dan

Kualitas Kultur Spirulina sp. Jurnal

Matematika dan sains. Vol. 14 : 41-

50 hal.

Suminto. 2005. Budidaya Pakan Alami

Mikroalgae dan Rotifera. Buku

Ajar Mata Kuliah Budidaya Pakan

Alami. DEPDIKNAS, FPIK

Universitas Diponegoro.

Semarang. 72 hal.

248 Pertumbuhan Diaphanasoma sp

© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014

e-Jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan Volume II No 2 Februari 2014

ISSN: 2302-3600

© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014

IMUNOGENISITAS KOMBINASI VAKSIN INAKTIF WHOLE CELL

Aeromonas salmonicida DAN JINTAN HITAM (Nigella sativa)

PADA IKAN MAS (Cyprinus carpio)

Nur` Ani Okta Trilia*†, Agus Setyawan‡, Y.T. Adiputra‡ dan Wardiyanto‡

ABSTRAK

Furunculosis dan carp erytrodermatitis merupakan penyakit pada ikan yang

disebabkan oleh bakteri Aeromonas salmonicida. Vaksin inaktif whole cell A.

salmonicida saat ini sedang dikembangkan untuk menanggulangi penyakit tersebut.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui imunogenisitas kombinasi vaksin inaktif

whole cell A. salmonicida dengan imunostimulan dari jintan hitam (Nigella sativa)

pada ikan mas (Cyprinus carpio). Sebanyak 180 ekor ikan mas dimasukkan

kedalam 18 akuarium dengan 6 perlakuan yang berbeda dan diulang sebanyak 3

kali. Perlakuan yang dilakukan terdiri dari kontrol (tanpa vaksin dan jintan hitam),

pemberian jintan hitam 5%, pemberian vaksin, vaksin yang ditambah jintan hitam

1%, vaksin yang ditambah jintan hitam 2.5%, vaksin yang ditambah jintam hitam

5%. Vaksin diberikan dengan cara penyuntikan secara intraperitoneal dengan

kepadatan bakteri 107sel/ikan dan jintan hitam diberikan melalui pakan sebanyak

tiga kali dalam sehari. Pengambilan contoh darah ikan untuk diuji titer antibodi,

total leukosit, dan hematokrit ikan dilakukan saat sebelum vaksinasi, 7 hari setelah

vaksinasi, dan 7 hari setelah booster. Hasil penelitian menunjukkan kombinasi

vaksin inaktif whole cell A. salmonicida yang ditambah jintan hitam 5% mampu

meningkatkan titer antibodi ikan hingga 27 dibandingkan kontrol yang hanya

meningkat hingga 25 dan tanpa jintan hitam yang hanya meningkat hingga 24,

kombinasi ini juga mampu meningkatkan jumlah leukosit pada ikan dengan

rendahnya nilai hematokrit dan mampu mengembalikan kondisi tubuh dalam

keadaan seimbang dalam waktu 7 hari.

Kata kunci : A. salmonicida, vaksin inaktif, jintan hitam, imunostimulan, ikan mas

Pendahuluan

Ikan air tawar yang umum dikonsumsi

dan dibudidayakan di Indonesia yaitu

* Mahasiswa Jurusan Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Lampung † Email : [email protected] ‡ Dosen Jurusan Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Lampung Jl. Prof. Soemantri

Bojonegoro Gedong Meneng No.1 Bandar Lampung 35145

ikan mas (Cyprinus carpio). Ikan mas

dikenal sebagai komoditas yang

berprospek cerah, karena memiliki

250 Imunogenisitas Kombinasi Vaksin Inaktif

© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014

harga jual yang tinggi, selain itu ikan

mas juga memiliki pertumbuhan yang

relatif cepat, fekunditas dan sintasan

yang tinggi, dapat diproduksi secara

massal serta memiliki peluang

pengembangan skala industri (Cahyono,

2002).

A. salmonicida merupakan bakteri

penyebab penyakit furunculosis. Akibat

dari serangan bakteri Aeromonas sp.

yang diantaranya adalah A. salmonicida

di Indonesia pada akhir tahun 1980

terjadi kematian ikan mas sebanyak 125

ribu ekor di daerah budidaya di Jawa

Barat. Kejadian tersebut menyebabkan

penurunan produksi dan kerugian

berkisar 4 milyar rupiah (Anonim,

2007).

Hingga kini, metode yang banyak

digunakan untuk menanggulangi

penyakit pada ikan budidaya adalah

pengobatan dengan zat kimia atau

antibiotik. Penggunaan antibiotik yang

berlebihan dapat menyebabkan bakteri

menjadi resisten.Untuk menghindari hal

tersebut, resisten ketahanan tubuh perlu

dilakukan dengan vaksinasi.

Vaksinasi merupakan suatu upaya untuk

menimbulkan ketahanan tubuh yang

bersifat spesifik melalui pemberian

vaksin. Pengembangan vaksin inaktif

whole cell Aeromonas salmonicida

pada ikan mas telah dilakukan di

Jurusan Budidaya Perairan Unila. Hasil

penelitian menunjukkan vaksin tersebut

memiliki imunogenisitas yang cukup

tinggi pada ikan mas yang ditunjukkan

dengan titer antibodi yang mencapai 27

(Setyawan dkk., 2012).

Namun, penggunaan vaksin saja dalam

meningkatkan kekebalan tubuh ikan

dirasakan kurang maksimal, karena

vaksin hanya meningkatkan ketahanan

humoral dan hanya efektif pada agen

patogen yang spesifik. Maka dari itu,

selain penggunaan vaksin, untuk

menambah kekebalan tubuh ikan secara

maksimal dapat dilakukan dengan

pemberian imunostimulan.

Immunostimulan adalah suatu zat yang

termasuk dalam adjuvant, mempunyai

kemampuan untuk meningkatkan

ketahanan tubuh terhadap infeksi. Salah

satu sumber imunostimulan adalah

jintan hitam (Nigella sativa). Biji dari

jintan hitam telah diuji pada hewan dan

manusia memiliki kemampuan anti

bakteri, anti hipertensi, dan

antihelmintik. El-Kadi and Kandil

(1986) melaporkan bahwa ekstrak jinten

hitam berpengaruh menguatkan fungsi

kekebalan, dimana kadar sel-sel T

pembantu meningkat dibandingkan sel-

sel T penekan dengan perbandingan

rata-rata 72% serta terjadi peningkatan

aktivitas sel-sel pembunuh alami rata-

rata 75%. Aktivitas immunostimulator

ekstrak jinten hitam meliputi

peningkatan jumlah sel darah putih

(leukosit) terutama neutrofil, limfosit

dan monosit serta ketahanan terhadap

infeksi bakteri Aeromonas.

Kemampuan anti bakteri ekstrak jintan

hitam juga dilaporkan oleh (Ali et al.,

2007). Ekstrak jintan hitam merupakan

bahan yang potansial untuk digunakan

sebagai agen imunostimulan pada ikan

lele dumbo yang terinfeksi A.

hydrophila karena terbukti

meningkatkan jumlah sel darah putih

dan diferensial leukosit yang berperan

dalam respon immune nonspesifik.

Kombinasi antara vaksin inaktif A.

salmonicida dan jintan hitam

diharapkan ikan akan memiliki imunitas

atau kekebalan tubuh secara maksimal

terhadap berbagai macam infeksi

patogen khususnya infeksi

A.salmonicida.

Nur` Ani Okta Trilia, Agus Setyawan, Y.T. Adiputra dan Wardiyanto 251

© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014

Bahan dan Metode

Penyediaan bahan

Isolat bakteri A. salmonicida didapatkan

dari Stasiun Karantina Ikan dan

Penjaminan Mutu Hasil Perikanan

Kelas I Panjang, Bandarlampung.

Sedangkan ikan mas sebagai ikan uji

diperoleh dari petani ikan di Kecamatan

Pagelaran, Kabupaten Pringsewu.

Pembuatan vaksin inaktif A.

salmonicida

Pembuatan vaksin inaktif A.

salmonicida dengan cara mengkultur

Isolat bakteri A. salmonicida pada

media cair TSB, lalu diinkubasi selama

24 jam pada suhu ruang. Dilakukan

pengkayaan dengan memindahkan

inokulum A. salmonicida ke media TSA

lalu diinkubasi kembali selama 24 jam

pada suhu ruang. Bakteri A. salmonicida

dipanen kemudian diinaktifasi dengan

penambahan formalin 1% dan

diinkubasi selama 24 jam pada suhu

ruang. Untuk menghilangkan formalin

dalam inokulum Dilakukan pencucian

menggunakan PBS kemudian

disentrifuse dengan kecepatan 4000 rpm

selama 1 jam, untuk memastikan bakteri

sudan inaktif, dilakukan uji viabilitas

pada medium spesifik GSP dan

diinkubasi selama 24 jam pada suhu

ruang hingga bakteri tidak tumbuh lagi

Kepadatan vaksin in-aktif dihitung

dengan spektrofotometer. UV-

spektrofotometer (l=625 nm) dengan

mengacu larutan standar Mc Farland.

Vaksinasi ikan dilakukan dengan tiga

metode suntik (107 cfu/ikan).

Pembuatan pakan yang ditambah

dengan jintan hitam

Pembuatan pakan yang ditambah

dengan jintan hitam dengan cara

menimbang pakan sesuai bobot ikan

dengan FR 2% jintan hitam

dicampurkan merata ke dalam pakan

menggunakan putih telur sebagai

perekat dengan dosis jintan hitam yang

digunakan pada penelitian ini yaitu: 1%

jintan hitam /kg pakan, 2,5% jintan

hitam /kg pakan, dan 5% jintan hitam

/kg pakan. Pakan bercampur jintan

hitam diberikan pada ikan mas setiap

hari selama pemeliharaan dengan

frekuensi pemberian pakan sebanyak 3

kali sehari yaitu pada pukul 08.00,

12.00, dan 16.00. Pakan yang diberikan

sesuai perlakuan pada masing-masing

akuarium.

Vaksinasi

Vaksinasi dilakukan dalam 5 perlakuan

yaitu, kontrol, pemberian vaksin +

jintan hitam 1%, pemberian vaksin +

jintan hitam 2,5%, pemberian vaksin +

jintan hitam 5%, pemberian jintan

hitam 5%, dan pemberian vaksin saja.

Pemberian vaksin dengan metode

suntik (107 cfu/ikan) secara

intrapetional . Tujuh hari setelah

vaksinasi pertama, dilakukan penguatan

(booster) vaksinasi dengan metode dan

dosis yang sama. Selama vaksinasi, ikan

dipelihara dalam akuarium dan diberi

makan menggunakan Feeding Rate 2%

pemberian pakan tiga kali sehari.

Kualitas air selama pemeliharaan dijaga

agar masih dalam kisaran normal untuk

budidaya ikan mas. Pada saat sebelum

vaksinasi, 7 hari sesudah vaksinasi, dan

booster dilakukan uji titer antibodi,

hematokrit, dan total leukosit pada ikan

untuk mengetahui imunogenisitas pada

ikan.

Titer Antibodi

Pengukuran titer antibodi bertujuan

untuk menentukan jumlah antibodi yang

dihasilkan akibat vaksinasi Pengujian

dengan metode aglutinasi mengacu

pada prosedur standar mikroaglutinasi

(Roberson, 1990) dengan sedikit

modifikasi secara lengkap. Serum yang

ada diambil dengan mikropipet secara

hati-hati sehingga tidak tercampur lagi

252 Imunogenisitas Kombinasi Vaksin Inaktif

© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014

dengan sel dara. Serum @ 25 ml

dimasukkan kedalam sumuran 1 dan 2.

PBS @ 25 ml dimasukkan kedalam

sumuran 2 – 12. Sumuran kedua

direpipeting untuk mengencerkan

serum, kemudian dilanjutkan ke

sumuran 3 sampai 11. Ag @ 25 ml

dimasukkan kedalam sumuran 1 – 12.

mikrodiluton plate digoyang –

goyangkan selama 3 menit dengan pola

membentuk angka 8. Hasil titer

diinkubasi dalam refrigerator selama 1

malam. Dilakukan pengamatan reaksi

aglutinasi pada masing – masing sumur.

yang di tandai dengan adanya kabut

wara keruh/putih atau dot yang

menyebar ke seluruh sumuran yang

berarti antibodi telah terbentuk.

Total Leukosit

Perhitungan total leukosit dilakukan

dengan cara bilik hitung

haemocytometer dan kaca penutupnya

dibersihkan dengan etanol, kemudian

dipasang kaca penutup pada

haemocytometer. Sampel darah dihisap

dengan pipet berskala sampai 0,5

dilanjutkan dengan menghisap larutan

turk sampai skala 11 (pengenceran

1:20), kemudian digoyangkan selama 3

menit agar bercampur homogen. Empat

tetesan pertama dibuang, tetesan

berikutnya dimasukan ke dalam

haemocytometer dengan meletakkan

ujung pipet pada bilik hitung tepat batas

kaca penutup dan dibiarkan selama 3

menit agar leukosit mengendap dalam

bilik hitung. Bilik hitung diletakkan di

bawah mikroskop menggunakan

pembesaran lemah. Penghitungan

dilakukan pada 4 kotak besar

haemocytometer.

Hematokrit

Sampel darah dimasukkan kedalam

tabung hematokrit sampai kira-kira 4/5

bagian tabung, ujungnya (bertanda

merah) disumbat dengan kretoseal.

Sentrifusi dengan sentrufuse hematokrit

selama 15 menit dengan kecepatan

3.500 rpm. Pengukuran kadar

hematokrit dilakukan dengan

membandingkan volume padatan sel

darah dengan volume seluruh darah

pada skala hematokrit.

Hasil dan Pembahasan

Pada dasarnya vaksinasi adalah

memasukkan antigen kedalam tubuh

ikan yang sudah dihilangkan

patogenisitasnya untuk merangsang sel-

sel limfosit sehingga menimbulkan

ketahanan humoral (spesifik). Antigen

yang digunakan adalah antigen H, yaitu

melemahkan bakteri A. salmonicida

menggunakan formalin untuk

menghasilkan vaksin inaktif bakteri A .

salmonicida. Sebelum dilakukannya

penelitian ini, telah dilakukan penelitian

oleh Setyawan dkk. (2012) mengenai

vaksin inaktif bakteri A. salmonicida

yang hasilnya mampu meningkatkan

titer antibodi pada ikan mas. Namun,

dalam penelitian tersebut hanya

mengamati respon imun adaptif saja

yang diindikatorkan dengan nilai titer

antibody mencapai 27. Penambahan

immunostimulan jintan hitam dalam

penelitian ini terbukti efektif

meningkatkan respon imun ikan mas,

baik respon imun adaptif dengan titer

antibody 27 maupun respon imun innate

dengan peningkatan total leukosit

5,7x103sel/mm3 dan hematokrit antara

21%-44%.

Titer Antibodi

Hasil rata-rata titer mengalami

peningkatan setiap minggunya, dari

sebelum vaksinasi hingga sesudah

vaksinasi II (booster). Perhitungan

ANOVA pada selang kepercayaan 95%

didapatkan hasil titer sebelum vaksinasi

, vaksinasi I dan vaksinasi II

menunjukkan berbeda nyata (P<0.05)

Nur` Ani Okta Trilia, Agus Setyawan, Y.T. Adiputra dan Wardiyanto 253

© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014

sehingga dilakukan uji lanjut BNT. Uji

lanjut BNT pada saat sebelum vaksinasi

menunjukkan perlakuan A, C, dan D

berbeda nyata terhadap perlakuan B, E,

dan F dan perlakuan B, E, dan F

berbeda nyata dengan perlakuan A, C

dan D. Uji lanjut BNT pada vaksinasi I

menunjukan perlakuan A, E, dan F

berbeda nyata dengan perlakuan B, C,

dan D, perlakuan B berbeda nyata

terhadap semua perlakuan, perlakuan C

dan D berbeda nyata dengan perlakuan

A, B, E, dan F. Uji lanjut BNT pada

vaksinasi II menunjukan perlakaun A,

E, dan F berbeda nyata terhadap

perlakuan B, C, dan D, perlakuan B, C,

dan D berbeda nyata terhadap perlakuan

A, E, dan F (Tabel 1).

Nilai titer antibodi mengalami

peningkatan disetiap minggunya, yaitu

22 hingga 24 untuk perlakuan jintan

hitam saja, 21 hingga 24 untuk perlakuan

vaksin yang ditambah jintan hitam 1%,

20 hingga 25 untuk perlakuan vaksin

saja, dan 21 hingga 25 untuk perlakuan

kontrol, 22 hingga 26 untuk perlakuan

vaksin yang ditambah jintan hitam 2.5%

dan , 22 hingga 27 untuk perlakuan

vaksin yang ditambah jintan hitam 5%

(Gambar 1).

Tabel 1. Titer Antibodi pada Ikan Mas (Cyprinus carpio) ( 2logY )

Perlakuan Rata-rata Titer Antibodi

SV± SD SV I ± SD SV II ± SD

A ( Kontrol) 1.00±0.00a 4.67±1.15a 5.67±1.55a

B ( JH 5%) 2.00±1.00b 2.33±0.58b 4.33±0.58b

C ( Vaksin) 0.00±0.00a 3.67±0.58c 4.67±1.15b

D ( V + JH 1%) 1.00±1.00a 3.33±0.58c 3.67±1.53b

E ( V + JH 2,5%) 2.00±1.00b 4.67±0.58a 6.33±0.58a

F ( V + JH 5%) 2.00±1.00b 5.67±0.70a 7.33±0.58a

Gambar 1. Titer Antibodi Ikan Mas (Cyprinus carpio)

Hematokrit

Hasil analisa ragam (ANOVA) dengan

taraf kepercayaan 95%, perlakuan tidak

menunjukkan perbedaan yang nyata

(P0,05) pada saat sebelum vaksinasi

dan sesudah vaksinasi II. Perbedaan

nyata terlihat pada saat vaksinasi I.

Hasil uji BNT yang didapat

menunjukkan perlakaun A berbeda

nyata terhadap semua perlakuan kecuali

terhadap perlakuan D dan perlakuan B,

C, E, dan F berbeda nyata dengan

0

1

2

3

4

5

6

7

8

A B C D E F

Rat

a-ra

ta T

iter

Anti

bo

di

Perlakuan

Sebelum Vaksinasi

Sesudah Vaksinasi I

Sesudah Vaksinasi II

254 Imunogenisitas Kombinasi Vaksin Inaktif

© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014

perlakuan A dan D (Tabel 2). Nilai

hematokrit terendah terdapat pada

perlakaun A(kontrol) yaitu 21±1 dan

nilai hematokrit tertinggi terdapat pada

perlakuan D ( vaksin + jintan hitam1%)

yaitu 41.00±10.81 (Gambar 2).

Hasil pengamatan menunjukan nilai

hematokrit ikan yang bervariasi. Nilai

hematokrit tertinggi didapatkan

sebelum perlakuan, setelah perlakuan

mengalami penurunan, dan pada

booster meningkat kembali. Namun

nilai hematokrit ikan berada dalam

kisaran nilai normal. Peningkatan nilai

hematokrit menunjukkan peningkatan

sel-sel darah merah, peningkatan faktor-

faktor selular darah ini selanjutnya akan

menjadi efektor bagi peningkatan

respon pertahanan spesifik (antibodi)

yang lebih cepat dalam kuantitas yang

memadai untuk meredakan infeksi A.

salmonicida.

Tabel 2. Hematokrit Pada Ikan Mas (Cyprinus carpio)

Perlakuan Rata-rata Hematokrit (%)

SV± SD SV I ± SD SV II ± SD

A ( Kontrol) 37.67±02.88a 21.00±1.00a 29.67±1.52a

B ( JH 5%) 35.67±03.05a 26.00±4.00b 27.33±3.78a

C ( Vaksin) 32.33±04.04a 26.33±1.52b 29.67±2.08a

D ( V + JH 1%) 41.00±10.81a 23.33±2.51a 30.00±1.73a

E ( V + JH 2,5%) 36.00±04.58a 26.67±2.51b 25.00±1.00a

F ( V + JH 5%) 33.00±09.00a 30.33±3.78b 30.67±3.51a

Gambar 2. Hematokrit Ikan Mas (Cyprinus carpio)

Total Leukosit

Jumlah leukosit ikan sesudah vaksinasi

I mengalami peningkatan dan sesudah

vaksinasi II mengalami penurunan

mendekati keadaan normal. Hasil

analisa ragam (ANOVA) dengan taraf

kepercayaan 95%, perlakuan tidak

menunjukkan perbedaan yang nyata

(P0.05) telihat pada saat sebelum

vaksinasi dan sesudah vaksinasi II.

Perbedaan yang nyata terlihat pada saat

vaksinasi I. Perlakuan A berbeda nyata

terhadap semua perlakuan, perlakuan B

berbeda nyata terhadap semua

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

A B C D E FPer

senta

se R

erat

a N

ilai

Hem

ato

kri

t

Perlakuan

Sebelum Vaksinasi

Sesudah Vaksinasi I

Sesudah Vaksinasi II

Nur` Ani Okta Trilia, Agus Setyawan, Y.T. Adiputra dan Wardiyanto 255

© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014

perlakuan kecuali terhadap perlakuan C,

perlakuan D berbeda nyata terhadap

semua perlakuan, dan perlakuan E dan F

berbeda nyata terhadap perlakuan A, B,

C, dan D (Tabel 3). Nilai leukosit

terendah pada akhir perlakuan

didapatkan pada perlakuan B(Jintan

hitam 5%) yaitu 39. 216 sel/mm3 dan

nilai leukosit tertinggi didapatkan oleh

perlakuan F(vaksin + jintan hitam 5%)

yaitu 51.883 sel/mm3, diikuti perlakuan

E(vaksin + jintan hitam 2.5%) yaitu

50.066 sel/mm3, perlakuan C (vaksin)

yaitu 46.716 sel/mm3, perlakuan D

(vaksin + jintan hitam 1%) yaitu 41.833

sel/mm3 , dan perlakuan A (kontrol)

yaitu 40.166 sel/mm3 (Gambar 3)

Total sel darah putih pada ikan yang

diberi vaksin ditambah jintan hitam

secara umum mengalami peningkatan

yang lebih tinggi dibandingkan kontrol

pada saat vaksinasi I, hal ini berkaitan

dengan fungsi sel darah putih dalam

tubuh yaitu sebagai alat pertahanan dan

sel darah putih mengalami penurunan

pada saat vaksinasi II, hal ini karena sel-

sel dalam tubuh mengalami

homeostatis, yaitu kembali dalam

kondisi seimbang. Leukosit membantu

membersihkan tubuh dari benda asing,

termasuk invasi patogen melalui sistem

imun dan respon lainnya. Ikan yang

kemasukan mikroorganisme akan

menghasilkan banyak leukosit untuk

mensintesa antibodi dan memfagosit

bakteri (Moyle and Cech, 2004).

Kualitas Air

Parameter kualitas air yang diukur

dalam penelitian ini adalah : suhu air,

oksigen terlarut, dan pH air. Secara

terperinci terlihat bahwa kualitas air

disemua perlakuan tidak berbeda nyata,

baik suhu, oksigen

terlarut, dan pH

berada dalam kisaran normal sehingga

tidak berpengaruh nyata terhadap

perlakuan artinya perbedaan hasil

(perubahan parameter imunitas dan

perubahan gejala lainnya) disebabkan

karena perbedaan perlakuan bukan

karena kualitas air yang berbeda (Tabel

4).

Nilai hematokrit, total leukosit, dan titer

antibodi memiliki hubungan satu

dengan lainnya. Pada awal

pemeliharaan sebelum vaksinasi semua

nilai berada pada keadaan standar,

sesudah vaksinasi I nilai hematokrit

menurun, nilai leukosit meningkat, dan

nilai titer antibodi meningkat.

Meningkatnya jumlah leukosit karena

adanya benda asing yang masuk

kedalam tubuh ikan, sehingga bagian

leukosit bekerja untuk membersihkan

benda asing dari tubuh dengan cara

fagositosis. Meningkatnya total leukosit

memicu meningkatnya respon innate

sehingga ikan memiliki kekebalan

tubuh yang baik. Menurunnya nilai

hematokrit manandakan jumlah sel

darah merah dalam tubuh menurun,

menurunnya jumlah sel darah merah

dikarenakan jumlah sel darah putih

dalam darah sedang diproduksi banyak

untuk membersihkan masuknya benda

asing dalam tubuh. Dari gambaran

diatas terdapat korelasi antara jumlah

leukosit dan jumlah eritrosit dalam

tubuh ikan. Meningkatnya nilai titer

antibodi menunjukkan bahwa antibodi

mampu mengeliminasi antigen yang

masuk ke dalam tubuh.

Setelah pemberian vaksinasi II

(booster) jumlah leukosit mengalami

penurunan, nilai hematokrit mengalami

peningkatan dan nilai titer antibodi

meningkat. Meningkatnya nilai

hematokrit dan menurunnya jumlah

leukosit terjadi dimungkinkan karena

sel-sel tubuh akan mengalami

homeostatis. Homeostatis adalah suatu

keadaan komposisi kimia dan fisiokimia

yang konstan pada medium internal

256 Imunogenisitas Kombinasi Vaksin Inaktif

© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014

organisme. Homeostatis merupakan

manifestasi keberadaan sejumlah factor

biologis yang konstan seperti indikasi

kuantitatif, karakteristik suatu

organisme pada kondisi normal.

Termasuk temperature tubuh,

konsentrasi ion dan ratio ion-ion aktif

yang berhubungan dengan biologis dan

sebaliknya ( Hernawati, 2012).

Sedangkan antibodi pada ikan tetap

mengalami peningkatan, hal ini terjadi

karena antibodi bekerja kembali

mengingat antigen yang pernah masuk

kedalam tubuh dan mempersiapkan diri

lebih baik dan efektif dengan masuknya

antigen dalam tubuh.

Tabel 3. Total Leukosit Pada Ikan Mas (Cyprinus carpio)

Perlakuan Rata-rata Total Leukosit ( X 103 sel/mm3)

SV± SD SV I ± SD SV II ± SD

A ( Kontrol) 38±3.9a 40±2.3a 39±8.4a

B ( JH 5%) 37±2.8a 39±2.4b 46±3.1a

C ( Vaksin) 37±5.4a 46±8.4b 50±1.9a

D ( V + JH 1%) 35±7.2a 41±6.3c 44±1.7a

E ( V + JH 2,5%) 41±4.0a 50±1.2d 55±1.9a

F ( V + JH 5%) 40±2.8a 51±3.2d 57±2.8a

Gambar 3. Leukosit Ikan Mas (Cyprinus carpio)

Tabel 4. Data Kisaran Kualitas Air Selama Penelitian

Perlakuan

Pagi Sore

pH Suhu (oC) DO (mg/l) pH Suhu (oC) DO (mg/l)

A 7 26,0 4,90 7,1 27,25 4,25

B 7 25,8 5,15 7,1 26,20 5,00

C 7 25,5 5,20 7,2 26,10 4,65

D 7 25,2 4,58 7,1 26,25 4,85

E 7 25,6 4,90 7,2 26,10 5,05

F 7 26,2 5,25 7,1 26,30 4,20

0

10000

20000

30000

40000

50000

60000

70000

A B C D E F

Per

sen

tase

rera

ta n

ila

i le

uk

osi

t

Perlakuan

Sebelum Vaksinasi

Sesudah Vaksinasi I

Sesudah Vaksinasi II

Nur` Ani Okta Trilia, Agus Setyawan, Y.T. Adiputra dan Wardiyanto 257

© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014

Kesimpulan

Hasil yang diperoleh selama

penelitian, pemberian kombinasi

vaksin whole cell A. salmonicida dan

immonostimulan jintan hitam dengan

kadar 2.5% - 5% yang dicampurkan

dalam pakan mampu meningkatkan

imonogenisitas ikan mas.

Daftar Pustaka

Ali, O., Basbulbul, G. and Aydin T.

2007. Antimitotic and antibacterial

effects of the Nigella sativa L.

Seed. Caryologia. 60 : 270-272.

Anonim, 2007.Metode Standar

Pemeriksaan HPIK Golongan

Bakteri. Pusat Karantina Ikan. 66

hal.

Cahyono, B. 2002. Budidaya Air

Tawar. Kanisius. Yogyakarta. 10-

14 hal.

El-Kadi A and Kandil O. 1986. Effect

of Nigella sativa (the black seed)

on immunity. Proceeding of the

4th International Conference on

Islamic Medicine, Kuwait.

Bulletin of Islamic Medicine. 4:

344-348

Hernawati. 2012. Mineral dan

Homeostatis. FMIPA UPI.

Bandung. 1-17 hal.

Moyle P.B and Cech Jr J.J. 2004.

Fishes. An Introduction to

Ichthyology. 5th Ed. Prentice Hall.

USA.

Roberson, B.S., 1990. Bacterial

Agglutination. In: Stolen, J.S.,

Fletcher, T.C., Anderson, D.P.,

Roberson, B.S., & Muiswinkel, J.

(Eds.).Techniques in Fish

Immunology. SOS Publications.

Fair Haven. New Jersey. pp.81-86.

Setyawan, A., Hudaidah, S., Zulfikar

Z.R., dan Sumino. 2012.

Imunogenisitas Vaksin Inaktif

Whole cell Aeromonas

salmonicida pada Ikan Mas

(Cyprinus carpio). Aquasains 1:

17-21.

258 Imunogenisitas Kombinasi Vaksin Inaktif

© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014

e-Jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan Volume II No 2 Februari 2014

ISSN: 2302-3600

© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014

EFEK PELARUT YANG BERBEDA TERHADAP TOKSISITAS

EKSTRAK AKAR TUBA (Derris elliptica)

Oktarinaldi Irawan*†, Eko Efendi‡ dan Mahrus Ali‡

ABSTRAK

Akar tuba (Derris elliptica) digunakan sebagai racun pada penangkapan ikan air

tawar. Rotenon sebagai bahan aktif dari akar tuba sangat efektif untuk membunuh

ikan tetapi penelitian tentang toksisitasnya masih sangat terbatas. Tujuan penelitian

ini untuk mengetahui tingkat toksisitas ekstrak akar tuba menggunakan pelarut

etanol, heksan dan akuades dengan menggunakan dua hewan uji yaitu artemia

(Artemia sp.) dan ikan mas (Cyprinus carpio). Penelitian ini menggunakan

rancangan acak lengkap (RAL) dengan 5 tingkat konsentrasi yang berbeda. Jumlah

rendemen hasil ekstraksi pada pelarut etanol, heksan dan akuades berturut-turut 5;

3,6; 2,5%. Hasil penelitian pada artemia menunjukkan bahwa tingkat mortalitas

100% pelarut heksan terjadi pada konsentrasi 63 dan 100 mg/l; etanol 100 mg/l dan

akuades 1000 mg/l. Hasil analisis probit pada artemia menunjukkan nilai LC50

(Lethal Concentration) 24 jam pada heksan, etanol dan akuades berturut-turut

37,03; 46,77; 307,47 mg/l. Hasil penelitian pada ikan mas menunjukkan bahwa

tingkat mortalitas 100% pelarut heksan terjadi pada konsentrasi 3,979; 6,30 dan

9,96 mg/l dan pelarut etanol 9,96 mg/l. Hasil analisis probit pada hewan uji ikan

mas menunjukkan nilai LC50-96 jam heksan dan etanol berturut-turut 3,83 dan 6,85

mg/l. Penelitian ini diharapkan mampu menjadi data awal untuk penggunaan akar

tuba baik untuk meracuni ikan maupun untuk membius ikan.

Kata kunci : rotenon, tuba, ekstraksi, bioassay, probit

Pendahuluan

Tuba (Derris elliptica) banyak

digunakan oleh masyarakat untuk

menangkap ikan, namun tanaman ini

tidak menyebabkan semua ikan mati

dengan adanya penelitian yang memilik

hasil toksisitas yang berbeda. Starr et al.

(2003), mengungkapkan akar tuba

mengandung senyawa aktif rotenon

yang merupakan senyawa beracun yang

dapat membunuh ikan dan hama

tanaman jika digunakan dengan dosis

yang besar (Kardinan, 2000). Beberapa

* Mahasiswa Jurusan Budidaya Perairan Universitas Lampung † Email : [email protected] ‡ Dosen Jurusan Budidaya Perairan Universitas Lampung, Jl.Prof.S.Brodjonegoro No.1 Gedong

Meneng Bandar Lampung 35145

hasil riset mengenai toksisitas ekstrak

akar tuba terhadap ikan diantaranya

pada nila (Oreochromis niloticus)

ukuran benih dengan nilai LC50

(median lethal concentration) sebesar 5

mg/l (Sumera and Conato, 2006), pada

benih lele (Clarias gariepinus) sebesar

15x106mg/l (Olufayo, 2009). LC50

(median lethal concentration) yaitu

konsentrasi yang menyebabkan

kematian 50% dari organisme uji yang

dapat dilihat dalam grafik pada suatu

waktu pengamatan tertentu, misalnya

260 Efek Pelarut Yang Berbeda Terhadap Toksisitas Akar Tuba

© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014

LC50-48 jam, LC50-96 jam sampai

waktu hidup hewan uji (Astuti, 2004 ;

Rossiana, 2006).

Berdasarkan hasil di atas, terdapat

perbedaan tingkat toksisitas dari ekstrak

akar tuba, hal ini juga karena perbedaan

jenis pelarut yang digunakan, sehingga

menyebabkan senyawa yang terlarut

akan berbeda yang dapat berakibat

terhadap perbedaan tingkat toksisitas

pada ikan. Perlu dilakukan uji toksisitas

akar tanaman tuba dengan

menggunakan jenis-jenis pelarut yang

berbeda untuk mengetahui batas LC50

dari akar tuba pada ikan. Penelitian

tentang tosisitas akar tuba dengan

pelarut yang berbeda dan efeknya pada

tingkat toksisitas pada hewan yang

berbeda belum banyak dilakukan

sehingga studi ini menarik untuk

dilakukan. Penelitian ini dilakukan

dengan tujuan untuk mengetahui nilai

LC50-96 jam ekstrak akar tuba dengan

pelarut berbeda terhadap benih ikan mas

(Cyprinus carpio).

Bahan dan Metode

Penelitian dilakukan di Laboraturium

Budidaya Perikanan Universitas

Lampung. Bahan yang digunakan dalam

penelitian adalah akar tuba yang diambil

dari hutan didaerah Tanjung Bintang

Lampung Selatan, akuades, etanol,

heksan, kista artemia dan benih ikan

mas (Cyprinus carpio) yang dibeli dari

daerah Pagelaran. Metode yang

digunakan pada penelitian ini adalah

rancangan acak lengkap (RAL) dengan

5 perlakuan konsentrasi yaitu 0,1; 1; 10;

100; 1000 ppm dan 3 ulangan untuk

setiap pelarut, baik pada uji toksisitas

dan BSLT (brine shrimp lethality test)

menggunakan ikan masdan Artemia. Uji

BSLT bertujuan untuk menentukan

pelarut yang bersifat toksik dan non

toksik sedangkan uji pada ikan mas

bertujuan untuk menentukan nilai LC50.

Penelitian ini memiliki beberapa

tahapan yaitu pembuatan ekstrak

senyawa aktif akar tuba dengan pelarut

berbeda, uji pendahuluan BSLT

menggunakan Artemia dengan

penentuan konsentrasi deret logaritmik,

uji utama Artemia dari hasil uji

pendahuluan, analisis probit pada

hewan uji artemia, uji pendahuluan ikan

mas dengan penentuan konsentrasi deret

logaritmik, uji utama pada ikan dari

hasil uji pendahuluan dan analisis probit

pada hewan uji ikan mas (Yunita dkk.,

2009; Suhirman dkk., 2006; Hendri

dkk., 2010). Parameter yang diuji pada

penelitian ini adalah jumlah rendemen

ekstrak masing-masing pelarut,

konsentrasi pada uji utama, mortalitas

dan LC50 pada hewan uji artemia dan

ikan mas. Perhitungan analisis Probit

mengacu pada Hubert ,1979 (Hendri

dkk., 2010). Nilai LC50 diperoleh dari

hubungan nilai logaritma konsentrasi

bahan toksik uji dan nilai Probit dari

persentase mortalitas hewan uji

merupakan fungsi linear dengan

persamaan :

𝑌 = 𝑎 + 𝑏𝑥 dimana :

Y : Nilai Probit Mortalitas

a : konstanta

b : slope/ kemiringan

X : Logaritma konsentrasi bahan uji

Nilai LC50-24 diperoleh dari anti log m,

dimana m merupakan logaritma

konsentrasi bahan toksik pada Y = 5,

yaitu nilai Probit 50 % hewan uji,

sehingga persamaan regresi menjadi :

𝑀 =5 − 𝑎

𝑏

Oktarinaldi Irawan, Eko Efendi dan Mahrus Ali 261

© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014

Dengan nilai a dan b diperoleh

berdasarkan persamaan sebagai berikut

:

𝑏 =Σ XY –

1n (Σ X ΣY)

ΣX2–1n (Σ X)2

𝑎 =1n

(ΣY – b ΣX)

dimana :

n : banyaknya perlakuan

m : nilai X pada Y = 5

Hasil dan Pembahasan

Nilai rendemen yang menyatakan

bahwa persentase tertinggi berturut-

turut dihasilkan oleh pelarut etanol,

heksan dan akuades (Gambar 1.).

Pelarut lebih cenderung melarutkan

senyawa aktif yang mempunyai

golongan sama, sedangkan untuk

golongan semi polar dapat melarutkan

sebagian atau seluruh senyawa aktif dari

golongan polar dan nonpolar sehingga

jumlah rendemen untuk pelarut ethanol

paling banyak kerena etanol termasuk

golongan semi polar (Keenan dkk.,

1990). Pada rendemen yang diekstrak

oleh pelarut heksan terdapat senyawa

aktif rotenon yang beracun bagi ikan.

Hasil uji BSLT diperoleh nilai ambang

atas dan ambang bawah pelarut etanol

dan heksan mempunyai kisaran

konsentrasi 10–100 mg/l dan pelarut

akuades kisaran konsentrasi 10-1000

mg/l. Tingkat mortalitas pada uji BSLT

tertinggi secara berturut-turut diperoleh

dari bahan berpelarut heksan, etanol dan

akuades (Gambar 2.; Gambar 3.).

Berdasarkan analisis data terdapat

perbedaan nyata antar konsentrasi

terhadap tingkat mortalias yang

digunakan baik pada pelarut etanol,

heksan dan akuades. Pada pelarut

heksan hanya pada konsentrasi 63 dan

100 mg/l yang tidak berbeda nyata dan

pada pelarut akuades hanya pada

konsentrasi 25 dan 63 mg/l yang tidak

berbeda nyata. Mortalitas 100% pada

pelarut heksan terjadi pada konsentrasi

63 dan 100 mg/l, pada pelarut etanol

terjadi pada konsentrasi 100 mg/l, dan

pada pelarut akuades pada konsentrasi

1000 mg/l. Tingginya tingkat mortalitas

pada pelarut heksan karena pada pelarut

ini melarutkan senyawa aktif rotenon

yang beracun, sedangkan pada pelarut

akuades tidak toksik karena tidak dapat

melarutkan senyawa rotenon (WHO,

1992).

LC50-24 jam pada (BSLT) berturut-turut

adalah untuk pelarut heksan sebesar

37,03 mg/l, etanol sebesar 46,77 mg/l

dan akuades sebesar 307,47 mg/l.

Senyawa aktif yang dilarutkan dengan

pelarut heksan paling toksik karena zat

aktif yang diekstrak adalah rotenon

yang termasuk senyawa flavanoid yang

sangat beracun terhadap golongan

serangga dan ikan (Kardinan, 2000;

Maini and Rejesus, 1993; Starr et al.,

2003). Senyawa aktif yang dilarutkan

dengan etanol tidak terlalu toksik

dibandingkan dengan ekstrak dari

pelarut heksan karena senyawa dari

golongan alkohol banyak digunakan

sebagai bahan pembius dan juga bahan

pembuatan minuman beralkohol.

Senyawa aktif yang dilarutkan dengan

akuades tidak toksik karena pelarut

aquades termasuk golongan senyawa

polar tidak dapat melarutkan senyawa

rotenon (WHO, 1992). Berdasarkan

hasil diatas dapat diketahui bahwa

senyawa aktif ekstrak akar tuba yang

dilarutkan dengan pelarut heksan dan

etanol bersifat toksik untuk ikan

sedangkan pelarut akuades tidak toksik

untuk ikan.

262 Efek Pelarut Yang Berbeda Terhadap Toksisitas Akar Tuba

© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014

Gambar 1. Jumlah rendemen hasil ekstraksi akar tuba (Derris elliptica)

Gambar 2. Tingkat mortalitas (%) pada uji BSLT menggunakan pelarut etanol dan

heksan.

Gambar 3. Tingkat mortalitas (%) pada uji BSLT menggunakan pelarut akuades.

3,59 ± 0,31

5,04 ± 0,71

2,73 ± 0,36

0.00

1.00

2.00

3.00

4.00

5.00

6.00

Hexan Ethanol Akuades

Jum

lah r

endem

en (

%)

Jenis Pelarut

0.64

21.1529.92

42.09

89.36

0.64

31

49.8

89.36 89.36

0

20

40

60

80

100

120

15.85 25.12 39.82 63.11 100.03

Tin

gkat

mo

rtal

itas

(%

)

Konsentrasi (ppm)

Etanol heksan

a a

bb c

cd

d e d

0,64 ± 0 0,64 ± 0

21,34 ± 2,51

35,25 ± 1,77

89,36 ± 0

0

20

40

60

80

100

120

25.12 63.10 158.50 398.13 1000

Tin

gkat

mo

rtal

itas

(%

)

Konsentrasi (ppm)

a a

bc

d

Oktarinaldi Irawan, Eko Efendi dan Mahrus Ali 263

© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014

Gambar 4. Hubungan antara log [K] dengan probit mortalitas pada uji BSLT.

Hubungan antara Log [K] dan probit

mortalitas yang paling tinggi terdapat

pada pelarut akuades dengan R2 = 0,914

diikuti dengan heksan dan etanol.

Artinya, setiap terjadi perubahan nilai

variabel bebas X (Log [K]), maka akan

diikuti oleh perubahan variabel tak

bebas Y (probit mortalitas) sebesar

8,671 (Gambar 4.).

Uji pada ikan mas hanya menggunakan

pelarut etanol dan heksan dikarenakan

pada pelarut akuades tidak bersifat

toksik dan saat uji pendahuluan pada

ikan pada konsentrasi 100 mg/l ikan

masih dapat bertahan hidup. Suatu

senyawa aktif dikatakan toksik bila

LC50-nya dibawah 30 mg/l (Juniarti

dkk., 2009). Hasil uji pendahuluan

untuk ikan, bahan pelarut etanol dan

heksan rentang konsentrasi sama yaitu

1–10 mg/l.

Gambar 5. Tingkat mortalitas (%) uji pada ikan mas (Cyprinus carpio)

Berdasarkan analisis data pada pelarut

etanol hanya pada konsentrasi 9,96 mg/l

yang berbeda nyata sedangkan pada

pelarut heksan berbeda nyata pada

konsentrasi 2,51 dengan 3,98 mg/l.

Mortalitas 100% pelarut heksan terjadi

y (A) = 5,50x - 8,67

R² = 0,91

y (E) = 9,21x - 10,38

R² = 0,88

y (H) = 10,88x - 12,02

R² = 0,91

-2

0

2

4

6

8

10

12

0 1 2 3 4

Pro

bit

mort

alit

as

Log Konsentrasi

akuades

etanol

heksan

0,91 0,91 0,91 0,91

89,09

0,91 091

89,09 89,09 89,09

0

20

40

60

80

100

120

1.59 2.51 3.98 6.30 9.96

Tin

gkat

mo

rtal

itas

(%

)

Konsentrasi (ppm)

etanol

heksanaa a a a a

b b b b

264 Efek Pelarut Yang Berbeda Terhadap Toksisitas Akar Tuba

© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014

pada konsentrasi 3,98; 6,30 dan 9,96,

dan pelarut etanol pada konsentrasi 9,96

ppm. Tingginya tingkat mortalitas

pelarut heksan dikarenakan senyawa

aktif yang diekstrak adalah rotenone

(Gambar 5.).

Nilai LC50-96 jam pada pelarut heksan

dan etanol sebesar 3,83 dan 6,85 mg/l.

Tingginya tingkat toksisitas pada

pelarut heksan dikarenakan zat aktif

yang diekstrak adalah rotenon. WHO

(1992), memperoleh hasil LC50-96 jam

ekstrak akar tuba yang dilarutkan

dengan kloroform adalah sekitar 0,02-

0.2 mg/l untuk ikan dan manusia sebesar

143 mg/kg. Pada penelitian ini pelarut

etanol hanya konsentrasi paling tinggi

yang menyebabkan semua ikan mati,

namum pada konsentrasi 6,30 ppm

terlihat ada pengaruh bahan uji pada

ikan, tapi beberapa saat kemudian ikan

kembali pulih dikarenakan DO yang

tinggi dan adanya aerasi yang

mengurangi tingkat toksik bahan uji

(Hinson, 2000).

Gambar 6. Hubungan antara Log [K] dan probit mortalitas uji pada ikan mas

(Cyprinus carpio).

Hubungan antara Log [K] dan probit

mortalitas yang paling tinggi terdapat

pada pelarut heksan dengan R2 = 0,75.

Artinya, setiap terjadi perubahan nilai

variabel bebas X (Log [K]), maka akan

diikuti oleh perubahan variabel tak

bebas Y (probit mortalitas) sebesar

2,615 (Gambar 6.).

Kesimpulan

Ekstrak dari akar tuba yang dilarutkan

dengan pelarut etanol, heksan dan

akuades memiliki tingkat toksisitas

yang berbeda. Pelarut heksan memiliki

tingkat toksisitas paling tinggi dengan

nilai LC50-96 jam sebesar 3,83 mg/l dan

nilai LC50-96 jam pelarut etanol 6,85

mg/l. Pelarut akuades dinyatakan tidak

toksik karena pada konsentrasi paling

tinggi ikan masih bertahan hidup.

Daftar Pustaka

Astuti, D. 2004. Uji Toksisitas Limbah

Cair MSG (Mono Sodium Glutamat)

Terhadap Ikan Nila (Tilapia nilotica)

di Palur Karanganyar. Infokes 8 : 1-

10.

Hendri, M,. Gusti, G dan Jetun, T. 2010.

Konsentrasi Letal (LC50-48 jam)

y (E) = 8,72x - 3,49

R² = 0,5y (H) = 13,07x - 2,62

R² = 0,75

-4

-2

0

2

4

6

8

10

12

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2

Pro

bit

mort

alit

as

Log Konsentrasi

etanol

heksan

Oktarinaldi Irawan, Eko Efendi dan Mahrus Ali 265

© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014

Logam Tembaga (Cu) dan Logam

Kadmium (Cd) Terhadap Tingkat

Mortalitas Juwana Kuda Laut

(Hippocampus spp). Jurnal

Penelitian Sains 13 : 26 - 30.

Hinson, D. 2000. Rotenone

Characterization and Toxicity in

Aquatic System. Principles of

Enviromental Toxicology. Idaho. 1 -

13

Juniarti, Delvi, O dan Yuhernita. 2009.

Kandungan Senyawa Kimia, Uji

Toksisitas (Brine Shrimp Lethality

Test) dan Antioksidan (1,1-diphenyl-

2-pikrilhydrazyl) dari Ekstrak Daun

Saga (Abrus precatorius L.). Makara

Sains 13 : 50 - 54.

Kardinan. 2000. Pestisida Nabati:

Ramuan dan Aplikasi, Penebar

Swadaya, Jakarta. Hal 3 - 64.

Keenan, C. W., Donald, C. K dan Jesse,

H. W. 1990. Kimia Untuk

Universitas Jilid 1 Edisi Keenam.

Penerjemah: A. H. Pudjaatmaka.

Erlanggga. Jakarta. Hal 374 - 375

Maini, P. N and Rejesus, B. M. 1993.

Moluscicidal Activity of Derris

eliptica (Fam. Leguminosea).

Phillipine Journal of Science, 122 :

61 -75

Olufayo, M. 2009. Haematological

Characteristhic of Clarias gariepinus

(Burchell 1822) Juveniles Exposed

to Derris elliptica Root Powder.

Department of Fisheries and

Wildlife, Federal University of

Technology Akure, Ondo State,

Nigeria. 9. 3 : 920 – 933

Rossiana, N. 2006. Uji Toksisitas

Limbah Cair Tahu Sumedang

Terhadap Reproduksi Daphnia

carinata King. Laporan Penelitian.

Universitas Padjajaran. Hal 7

Starr, F., Kim, S and Llyod, L. 2003.

Derris elliptica. United States

Geological Survey--Biological

Resources Division Haleakala Field

Station, Maui. Hawai'i. 1 - 3

Suhirman, S., Hernani dan Cheppy, S.

2006. Uji Toksisitas Ekstrak

Lempuyang Gajah (Zingiber

zerumbet) terhadap Larva Udang

(Artemia salina Leach). Bul. Littro

17 : 30 - 38

Sumera, F.C and Conato M.T.. 2006.

Use of Derris trifoliata

(Leguminosae) Root Extracts for

Fishpond Management. Asian

Fisheries Society, Manila,

Philippines. Asian Fisheries Science

19 : 75 - 89

World Health Organization. 1992.

Rotenone Health and Safety Guide.

IPCS International Programme on

Chemical Safety. Health and Safety

Guide No. 73. Geneva. 1 - 10

Yunita, E. A., Nanik, H. S dan Jafron,

W. H. 2009. Pengaruh Ekstrak Daun

Teklan (Eupatorium riparium)

terhadap Mortalitas dan

Perkembangan Larva Aedes aegypti.

Bioma 11 : 11-17.

266 Efek Pelarut Yang Berbeda Terhadap Toksisitas Akar Tuba

© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014

e-Jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan Volume II No 2 Februari 2014

ISSN: 2302-3600

© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014

PEMANFAATAN BIOFLOK DARI LIMBAH BUDIDAYA

LELE DUMBO (Clarias gariepinus) SEBAGAI

PAKAN NILA (Oreochromis niloticus)

Nani Septiani*†, Henni Wijayanti Maharani‡ dan Supono‡

ABSTRAK

Lele dumbo (Clarias gariepinus) merupakan jenis ikan air tawar yang mudah

dibudidayakan secara intensif. Limbah dari budidaya lele dumbo dapat berdampak

pada penurunan kualitas air tetapi dapat digunakan sebagai sumber media tumbuh

organisme yang bermanfaat sebagai pakan alami ikan. Teknologi bioflok

merupakan salah satu alternatif dalam efisiensi pakan dan penyangga kualitas air

dalam akuakultur yang diadaptasi dari teknik pengolahan limbah domestik secara

konvensional. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji penambahan bioflok sebagai

pakan alami dari limbah budidaya lele dumbo terhadap pertumbuhan dan

kelangsungan hidup nila (Oreochromis niloticus). Rancangan penelitian yang

digunakan adalah rancangan acak lengkap, dengan empat perlakuan (penambahan

bioflok sebanyak 0, 5, 10 dan 15 ml/l) dan tiga kali ulangan. Penelitian dilakukan

dengan menggunakan benih nila berukuran 2-3 cm yang dipelihara dengan

akuarium berukuran 40 x 30 x 30 cm. Parameter dalam penelitian meliputi suhu,

pH, amonia, laju pertumbuhan harian dan kelangsungan hidup. Hasil penelitian

menunjukan penambahan bioflok tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan dan

tingkat kelangsungan hidup nila. Kisaran laju pertumbuhan nila 0,21- 0,24 g/hari

dan tingkat kelangsungan hidup nila 57-88%. Hasil pengukuran parameter kualitas

air untuk suhu pagi berkisar 26– 27oC sedangkan pada sore hari berkisar 27- 28oC,

pH relatif stabil pada kisaran 6, sedangkan kandungan amonia terjadi peningkatan

pada akhir penelitian pada setiap perlakuan.

Kata kunci : limbah budidaya ikan, bioflok, pertumbuhan, rasio C/N, kualitas air

* Mahasiswa Jurusan Budidaya Perairan Universitas Lampung, Jl. Soemantri Brojonegoro Gedong

Meneng No. 1 Bandar Lampung 35145 † Email: [email protected] ‡ Dosen Jurusan Budidaya Perairan Universitas Lampung

268 Pemanfaatan Bioflok Dari Limbah Budidaya Lele Dumbo

© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014

Pendahuluan

Salah satu permasalahan dalam

budidaya intensif adalah air buangan

budidaya yang berdampak pada

penurunan kualitas perairan di

lingkungan sekitar lokasi budidaya,

karena akumulasi bahan organik dari

sisa pakan maupun feses (Darmawan,

2010). Air buangan budidaya lele

dumbo banyak memiliki kandungan N

dan NH3 (amonia) sebagai hasil

perombakan protein dan asam amino

dari sisa pakan dan feses.

Teknologi bioflok merupakan salah satu

alternatif mengatasi masalah kualitas air

dalam akuakultur yang diadaptasi dari

teknik pengolahan limbah domestik

secara konvensional (Ekasari, 2008).

Bioflok merupakan atau activated

sludge (lumpur aktif) yang diadopsi dari

proses pengolahan biologis air limbah

(biological wastewater treatment), yaitu

pemanfaatan bakteri pembentuk flok

(flocs forming bacteria) untuk

pengolahan limbah dengan

meningkatkan C/N. Salah satu bakteri

yang dapat membentuk bioflok adalah

genera Bacillus (Aiyushirota, 2009).

Kadar protein bioflok berkisar antara

37-38%, sehingga berpotensi sebagai

sumber pakan alami dan pakan alternatif

bagi ikan (Purnomo, 2012). Salah satu

ikan yang dapat memanfaatkan bioflok

adalah nila (Oreochromis niloticus),

karena dihabitat aslinya dapat

memanfaatkan plankton dan perifiton

(Ghufran, 2010). Tujuan dari penelitian

ini adalah mengkaji pengaruh

penambahan bioflok dari air buangan

budidaya lele dumbo terhadap

pertumbuhan dan tingkat kelangsungan

hidup nila.

Bahan dan Metode

Bahan yang digunakan adalah nila

berukuran panjang total 2-3 cm dengan

berat total 1-1,5 gr, gula pasir sebagai

sumber karbon dan air buangan

budidaya lele dumbo. Sedangkan

peralatan yang digunakan terdiri dari

akuarium ukuran 40 x 30 x 35 cm

termometer, DO meter, pH meter dan

timbangan digital.

Rancangan yang digunakan dalam

penelitian ini adalah rancangan acak

lengkap dengan pemberian jumlah

bioflok yang berbeda ( 0, 5, 10 dan 15

ml/l) sebagai perlakuan dan tiga kali

ulangan. Pembuatan bioflok dilakukan

dengan memasukkan 25 liter air

buangan budidaya lele dumbo ke dalam

akuarium ukuran 60 x 40 x40 cm,

kemudian ditambahkan gula pasir

sebanyak 5,36 g untuk setiap liter air

buangan lele dumbo hingga C/N

menjadi 15 kemudian diaerasi kuat,

penambahan gula pasir dilakukan setiap

5 hari. Setiap akuarium diisi 15 ekor

benih ikan nila dan ditambahkan bioflok

sesuai perlakuan dan dipelihara selama

40 hari. Pengukuran kepadatan bioflok

setiap 3 hari, jika kepadatan bioflok

meningkat dari jumlah yang ditentukan

maka dilakukan pengenceran mengikuti

rumus sebagai berikut:

Y = xVM

AD

Keterangan :

Y = Volume bioflok yang diinginkan

(liter)

D = Kepadatan bioflok yang

diinginkan (ml/l)

A = Kepadatan bioflok dalam wadah

pemeliharan (ml/l)

Nani Septiani, Henni Wijayanti Maharani dan Supono 269

© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014

M = Kepadatan bioflok dalam media

produksi bioflok (ml/l)

V = Volume wadah pemeliharaan

larva (liter)

Benih inila diberi pakan sebanyak 3

kali/hari pada pukul 09.00, 13.00 dan

16.00 dengan feeding rate 5%.

enyiponan dan penggantian sebanyak

30 % dilakukan pada kontrol jika media

pemeliharaan terlihat mulai kotor.

Parameter kualitas air yang diukur

meliputi amonia, suhu dan pH yang

dilakukan pada awal dan akhir

penelitian. Pengukuran pertumbuhan

dan kelansungan hidup dilakukan setiap

sepuluh hari. Data dianalisa dengan

analisis sidik ragam (ANOVA) pada

selang kepercayaan 95%. Uji lanjut

Duncan dilakukan jika terdapat

perbedaan antar perlakuan.

Hasil dan Pembahasan Suhu media pemeliharaan pada pagi

berkisar 26- 27oC sedangkan pada sore

hari berkisar 27-280C, pH relatif stabil

pada kisaran 6, sedangkan kandungan

amonia terjadi peningkatan pada akhir

penelitian pada setiap perlakuan (Tabel

1).

Tabel 1. Kualitas air pada saat penelitian

Parameter Perlakuan Kisaran Optimal*

A B C D

Suhu (oC) 26-28 26-28 26-28 26-28 25-33

pH 6 6 6 6 7-8

NH3(mg/l)

Awal Akhir Awal Akhir Awal Akhir Awal Akhir

0,19 0,65 0,19 0,83 0,09 1,11 0,09 0,93 0 -0,08 *Dirjen Perikanan (1991)

Hasil pengamatan pertumbuhan mutlak

berdasarkan berat rata-rata nila selama

penelitian dari yang tertinggi sampai

terendah adalah: 9,5 ; 8,8 dan 8,5 gr.

Hasil analisis ragam dengan uji F

(α=0,05) pada selang kepercayaan 95%

menunjukan bahwa penambahan

bioflok tidak memberikan pengaruh

yang berbeda nyata terhadap

pertumbuhan mutlak nila (Gambar 1).

Laju pertumbuhan benih ikan nila hitam

selama penelitian dari yang tertinggi

sampai terendah adalah sebagai berikut:

0,24; 0,22; dan 0,21 g/hari ( Gambar 2).

Hasil penelitian laju pertumbuhan

selama 40 hari menunjukan bahwa nila

pada penambahan 0 ml bioflok dan 5

ml bioflok mengalami peningkatan

pada hari ke 10 hingga hari ke 20.

Namun, pada hari ke 30 hingga hari ke

40 laju pertumbuhan tidak mengalami

peningkatan atau tetap. Sedangkan

untuk laju pertumbuhan nila pada

penambahan 10 ml bioflok dan 15 ml

bioflok terjadi peningkatan pada hari ke

10 hingga hari ke 20, tetapi nila tersebut

mengalami penurunan laju

pertumbuhan harian pada hari ke 30

hingga hari ke 40 (Gambar 3). Hasil

analisis sidik ragam dengan uji F

(α=0,05) pada selang kepercayaan 95%

menunjukan bahwa penambahan

bioflok tidak memberikan pengaruh

yang berbeda nyata terhadap laju

pertumbuhan harian nila. Hasil

pengamatan menunjukan tingkat

270 Pemanfaatan Bioflok Dari Limbah Budidaya Lele Dumbo

© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014

kelangsungan hidup nila terendah yaitu

57% dengan penambahan bioflok

sebesar 10 ml. Sedangkan tingkat

kelangsungan hidup nila tertinggi yaitu

88 % dengan penambahan bioflok

sebesar 5 ml (Gambar 4). Kematian ikan

pada setiap perlakuan mulai terjadi hari

ke-11 setelah ikan ditebar. Dari hasil

analisis ragam dengan uji F (α=0,05)

pada selang kepercayaan 95%

menunjukan bahwa penambahan

bioflok tidak memberikan pengaruh

yang berbeda nyata terhadap

kelangsungan hidup nila.

Gambar 1. Pertumbuhan mutlak nila (Oreochromis niloticus) selama penelitian. Huruf superscript yang sama menunjukkan tidak beda nyata.

Gambar 2. Laju pertumbuhan harian nila (Oreochromis niloticus) selama

penelitian. Huruf superscript yang sama menunjukkan tidak beda nyata.

8,8±1,7

9,5±1,5

8,8±1,88,5±1,6

7.5

8

8.5

9

9.5

10

A B C D

Pertu

mb

uh

an

Mu

tla

k (

g)

Penambahan bioflok (ml/l)

A = kontrol

B = 5 ml/l

C = 10 ml/l

D = 15 ml/la a a a

0,22±0,04

0,24±0,04

0,22±0,05

0,21±0,04

0.18

0.19

0.2

0.21

0.22

0.23

0.24

0.25

A B C D

La

ju P

ertu

mb

uh

an

Ha

ria

n

(g/h

ari

)

Penambahan bioflok (ml/l)

A = kontrol

B = 5 ml/l

C = 10 ml/lD = 15 ml/l

a a a a

Nani Septiani, Henni Wijayanti Maharani dan Supono 271

© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014

Gambar 3. Laju pertumbuhan nila (Oreochromis niloticus) selama penelitian.

Gambar 4. Kelangsungan hidup nila (Oreochromis niloticus) selama penelitian.

Huruf superscript yang sama menunjukkan tidak beda nyata.

0

0.05

0.1

0.15

0.2

0.25

0.3

0 10 20 30 40La

ju P

ertu

mb

uh

an

Ha

ria

n (

g/h

ari

)

Hari pemeliharaan ke-

A(kontrol)

B(Bioflok 5 ml)

C(Bioflok 10

ml)

84±10,18

88±13,88

57±20,37

86±13,34

0.00

20.00

40.00

60.00

80.00

100.00

120.00

A B C DKea

ng

sun

ga

n H

idu

p (

%)

Penambahan bioflok (ml/l)

A= kontrol

B = 5 ml/l

C = 10 ml/l

D = 15 ml/la a a a

272 Pemanfaatan Bioflok Dari Limbah Budidaya Lele Dumbo

© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014

Daftar Pustaka Aiyushirota. 2009. Konsep Budidaya

Udang Sistem Bakteri Heterotrof

dengan Bioflocs. Dikutif dari

www.aiyushirota.com diakses pada

9 februari 2013.

Darmawan, W. P. J. 2010. Pemanfatan

Air Buangan Lele Dumbo Sebagai

Media Budidaya Daphnia sp.

Skripsi.Universitas Lampung.

Bandar Lampung. 56 Hal.

Direktorat Jenderal Perikanan.1991.

Petunjuk Teknis Budidaya Ikan

Nila. Bekerja sama dengan IDRC

(International Development

Resarch Centre) Canada .

Ekasari. J. 2008. Bio-Flocs Technology:

The Effect Of Different Carbon

Source, Salinity And The Addition

of Probiotics on The Primary

Nutritional Value Of The Bio-

Flocs. Faculty of Bioscience

Engineering. Ghent University.

Food and Agricultural Organization.

2007. The State of World Fisheries.

Ghufran. 2010. Panduan Lengkap

Memelihara Ikan Air Tawar Di

Kolam Terpal. Ed. 1. Lily

Publisher. Yogyakarta. Hal 8-15.

Halver, J.E. 2002. Fish Nutrition. 3rd Ed.

Chapter 2: The Vitamins. Edited by

J.E. Halver and R.W. Hardy.

Academic Press. San Diego. 62-

143 p.

Purnomo, P.D. 2012. Pengaruh

Penambahan Karbohidrat pada

Media Pemeliharaan Terhadap

Produksi Budidaya Intensif Nila

(Oreochromis niloticus). Skripsi.

Fakultas Perikanan dan Ilmu

Kelautan, Universitas Diponegoro.

Halaman 161-179.

e-Jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan Volume II No 2 Februari 2014

ISSN: 2302-3600

© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014

PENGARUH SALINITAS DAN NITROGEN TERHADAP

KANDUNGAN PROTEIN TOTAL Nannochloropsis sp.

Nindri Yarti*†, Moh. Muhaemin‡ dan Siti Hudaidah‡

ABSTRAK

Nannochloropsis sp. merupakan pakan alami yang memiliki protein yang cukup

tinggi. Perubahan salinitas dan kurangnya jumlah nitrogen selama kultur dapat

mempengaruhi pertumbuhan Nannochloropsis sp. Penelitian bertujuan untuk

mengetahui pengaruh perubahan salinitas dan nitrogen selama kultur terhadap

kandungan protein total Nannochloropsis sp. Penelitian dilakukan pada Oktober-

November 2012 di Laboratorium Fitoplankton BBPBL Lampung. Perlakuan

selama penelitian adalah kultur Nannochlorpsis sp. dengan salinitas 30-34 ppt dan

NaNO3 100 gram/L (A); salinitas 30-34 ppt dan NaNO3 50 gram (B); salinitas 35-

38 ppt dan NaNO3 100 gram/L (C); dan salinitas 35-38 ppt dan NaNO3 50 gram/L

(D) dengan kepadatan awal 11 x 106 sel/ml. Hasil penelitian menunjukkan

perlakuan dengan salinitas 35-38 ppt dan NaNO3 100 gram/L menghasilkan

kandungan protein total tertinggi. Kandungan protein total meningkat dengan

bertambahnya jumlah Nannochloropsis sp.

Kata kunci: Nannochloropsis, protein, salinitas, nitrogen, manipulasi lingkungan

Pendahuluan

Benih ikan dalam budidaya

membutuhkan pakan alami pada tahap

awal kehidupannya . Pakan alami

dengan kualitas nutrisi yang baik seperti

protein, dibutuhkan untuk pertumbuhan

bagi benih. Pemenuhan kebutuhan

benih ikan akan nutrisi tinggi salah

satunya dengan mikroalga, seperti

Nannochloropsis sp. yang biasa

digunakan sebagai pakan alami bagi

larva ikan dan juga berperan sebagai

pakan bagi zooplankton seperti

Brachionus plicatilis .

* Mahasiswa Jurusan Budidaya Perairan Universitas Lampung † Email : [email protected] ‡ Dosen Jurusan Budidaya Perairan Universitas Lampung Jl. Soemantri Brojonegoro Gedong

Meneng No. 1 Bandar Lampung 35145

Pertumbuhan Nannochloropsis sp.

dipengaruhi oleh lingkungan seperti

suhu, pH, salinitas, juga kandungan

nitrogen yang ada di media kultur

(Gunawan, 2012). Kisaran salinitas

optimum yang dimiliki

Nannochloropsis sp. sebesar 33-35 ppt

(Sari, 2011). Perubahan salinitas dan

CO2 pada tahap kedua dapat

meningkatkan kepadatan dan mengubah

kandungan lipid.

Nannochloropsis sp. membutuhkan

nitrogen sebagai makronutrien untuk

pertumbuhannya. Yanuaris dkk. (2012)

menyatakan bahwa ketersediaan unsur

274 Pengaruh Salinitas dan Nitrogen Terhadap Kandungan Protein Total

© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014

nitrogen mempengaruhi pertumbuhan

Nannochloropsis sp. Pemenuhan

sumber hara (N, P, dan K) yang

mencukupi kebutuhan dapat

mempengaruhi kepadatan

Nannochloropsis sp.

Pemberian perubahan lingkungan yang

meliputi salinitas, suhu, fotoperiode,

intensitas cahaya, dan nutrient dapat

mempengaruhi biokimia mikroalga

(Widianingsih dkk., 2011). Penelitian

Muhaemin (2011) menyatakan bahwa

kombinasi antara peningkatan salinitas

dan penurunan nitrogen mampu

menghasilkan lipid yang tinggi sebesar

31,45%. Berdasarkan hasil tersebut,

maka perlu dilakukan penelitian untuk

mengetahui pengaruh salinitas dan

nitrogen terhadap kandungan protein

total Nannochloropsis sp.

Bahan dan Metode

Nannochloropsis sp. yang digunakan

dalam penelitian dari kultur di

Laboratorium Fitoplankton Balai Besar

Pengembangan Budidaya Laut

Lampung. Penelitian dilakukan pada

Oktober sampai November 2012.

Nannochloropsis sp. dikultur pada

wadah dengan volume 3 L yang

dilengkapi selang aerasi. Pengamatan

dilakukan menggunakan alat pipet tetes,

mikroskop, haemocytometer, dan

handcounter. Nannochloropsis sp.

dikultur dengan kepadatan awal 11 x

106 sel/ml dan pemberian pupuk

Conwy. Pupuk Conwy yang digunakan

mengandung NaEDTA 45 gram,

FeCL36H2O 1,3 gram, H2BO3 33,6

gram, NaHPO4 20 gram, Vitamin 1 ml,

Trace metal 1 ml, dan aquadest 1 liter

dengan NaNO3 100 gram/L untuk

pupuk pertama dan kandungan NaNO3

50 gram/L pada pupuk kedua (BBPBL,

2013).

Penelitian dilakukan dengan 4

perlakuan dan 3 ulangan yaitu perlakuan

A (kultur Nannochloropsis sp. pada

salinitas 30-34 ppt dan NaNO3 100

gram/L), perlakuan B (kultur

Nannochloropsis sp. pada salinitas 30-

34 ppt dan NaNO3 50 gram/L),

perlakuan C (kultur Nannochloropsis

sp. pada salinitas 35-38 ppt dan NaNO3

100 gram/L), dan perlakuan D (kultur

Nannochloropsis sp. pada salinitas 35-

38 ppt dan NaNO3 50 gram/L).

Pengamatan kepadatan dilakukan 6 jam

sekali untuk melihat perkembangan

pertumbuhan Nannochloropsis sp.

Pemanenan Nannochloropsis sp. untuk

analisa protein total dilakukan pada saat

akhir fase eksponensial mendekati awal

stasioner. Analisa protein total

dilakukan dengan metode Gunning.

Perhitungan prosentase berat kering

protein total sebagai berikut

(Widianingsih dkk., 2012):

% N = ( ml NaOH blanko – ml NaOH contoh ) X N NaOH X 14,008

gr. Contoh X 10

% Protein = % N X Faktor Konversi

Kepadatan dan kandungan protein total

dianalisis dengan uji Chi-square (χ2).

Uji Chi-square digunakan untuk

mengetahui antara dua sifat ada

ketergantungan ataukah tidak ada

ketergantungan (bebas) satu sama lain,

berdasarkan frekuensi yang ada

(Gaspersz, 1991).

Hasil dan Pembahasan

Perubahan salinitas dan nitrogen pada

media kultur selama pemeliharaan

mengakibatkan perubahan kepadatan.

Nindri Yahrti, Moh. Muhaemin dan Siti Hudaidah 275

© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014

Perlakuan A, sumber nitrogen diberikan

sesuai dengan formulasi Conwy dan

salinitas pada media sesuai dengan

kondisi normal kultur. Berdasarkan uji

chi-square, kepadatan perlakuan B

berbeda nyata dengan ketiga perlakuan

lainnya. Perbedaan nyata dari uji chi-

square tersebut dapat dilihat dari

kepadatan perlakuan B yang memiliki

nilai terendah dari semua perlakuan

(Gambar 1). Jumlah nitrogen perlakuan

B yang rendah mengakibatkan

penurunan kepadatan Ketersediaan

nitrogen mempengaruhi pertumbuhan

Nannochloropsis sp., karena nitrogen

yang merupakan sumber makro nutrien

bagi pertumbuhannya (Yanuaris, 2012).

Gambar 1. Kepadatan Nannochloropsis sp. pada awal kultur dan akhir kultur

perlakuan (α = 0,05).

Nannochloropsis sp. yang dikultur

dengan salinitas berbeda dan jumlah

nitrogen berbeda mengalami perubahan

kepadatan dengan pola yang hampir

sama. Setiap perlakuan mengalami fase

lag pada jam antara ke 0 sampai ke 12.

Fase lag ditandai dengan peningkatan

kepadatan yang tidak signifikan.

Peningkatan kepadatan dua kali lipat

terjadi dalam waktu 24 jam. Fase

eksponensial yang ditandai dengan

perubahan kepadatan signifikan

(Kartikasari, 2010). fase eksponensial

perlakuan A dan C berkisar antara pada

jam kultur ke 12 sampai ke 84,

sedangkan fase eksponensial perlakuan

B dan D pada jam ke 12 sampai ke 90.

Fase stasioner merupakan fase

kepadatan puncak yang ditandai dengan

laju pertumbuhan sel stabil (Kartikasari,

2010). Kandungan nutrisi pada fase

stasioner masih dapat digunakan untuk

memenuhi pertumbuhan (Safitri dkk.,

2013), karena adanya keseimbangan

antara nutrisi dengan jumlah sel di

media kultur (Rusyani, 2001). Hasil

penelitian menunjukkan fase stasioner

perlakuan A dan C dimulai pada jam

kultur ke 90. Fase stasioner perlakuan B

dan D pada jam kultur ke 84 dan mulai

mengalami penurunan kepadatan

dikarenakan nutrien di media semakin

berkurang sehingga tidak dapat

memenuhi pertumbuhan

Nannichlororpsis sp. (Asriyana dan

Yuliana, 2012). (Gambar 2). Persentase

peningkatan kepadatan tertinggi terjadi

pada perlakuan C sebesar 75,72%

(Tabel 1).

A B C D

Awal Kultur 123 110 110 118

Akhir Kultur 457 389 456 448

a a a a

b

c

b b

0

100

200

300

400

500

Kep

adat

an (

10

5se

l/m

l)

Perlakuan

276 Pengaruh Salinitas dan Nitrogen Terhadap Kandungan Protein Total

© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014

Gambar 2.Kurva pertumbuhan Nannochloropsis sp. pada tiap perlakuan.

Tabel 1. Persentase peningkatan kepadatan Nannochloropsis sp. pada tiap

perlakuan dibandingkan antara kondisi awal dan akhir kultur.

Perlakuan Peningkatan Kepadatan (%)

A 72,99%

B 71,64%

C 75,72 %

D 73,74 %

Protein total Nannochloropsis sp.

tertinggi dihasilkan pada perlakuan C

sebesar 0,84%. Peningkatan

kandungaan protein total tertinggi

akibat peningkatan salinitas terjadi pada

kondisi nitrogen normal (Gambar 3).

Menurut Asriyana dan Yuliana (2012)

perubahan salinitas mempengaruhi laju

fotosintesis. Perlakuan A dan C (NaNO3

100 gram/L) memiliki selisih terbesar

sebesar 0,13% dibandingkan perlakuan

B dan D (NaNO3 50 gram/L) (Tabel 2).

0

100

200

300

400

500

600

0 12 24 36 48 60 72 84 96 108

Kep

adat

an (

10

5se

l/m

l)

Jam Ke-

Perlakuan A Perlakuan B Perlakuan C Perlakuan D

Nindri Yahrti, Moh. Muhaemin dan Siti Hudaidah 277

© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014

Gambar 3. Kandungan protein totalNannochloropsis sp. pada tiap perlakuan (α =

0,05). dan asal perolehan selisih nilai peningkatan dan penurunan

(resultan) salinitas dan nitrogen.

Jumlah nitrogen diduga mempengaruhi

kandungan protein total, karena

nitrogen merupakan unsur penting

dalam pembentukan protein (Jati dkk.,

2012). Salinitas, pH, zat hara (termasuk

nitrogen, fosfor), suhu, sumber karbon

dan cahaya berpengaruh pada

pertumbuhan fitoplankton, sehingga

kultur mikroalga pada kondisi

lingkungan dan tempat yang berbeda

dapat menghasilkan perbedaan protein

(Sutomo, 2005). Kualitas air selama

penelitian berlangsung dalam kondisi

optimal, sehingga tidak mempengaruhi

kepadatan Nannochloropsis sp. (Tabel

3).

Tabel 2.Kandungan protein total Nannochloropsis sp. dan perhitungan selisih nilai

peningkatan (resultan) salinitas dan nitrogen.

N100 N50 Selisih ∆

S30 - 34 0.71 % 0.67 % (-) 0.04 %

S35 - 38 0.84 % 0.64 % (-) 0.2 %

Selisih ∆ (+) 0.13 % (-) 0.03 %

∆S,N1 ∆S,N2

Keterangan: Tanda (+) dan (-) menunjukkan peningkatan dan penurunan pada perbandingan kandungan protein total

Nannochloropsis sp. antar perlakuan (lihat Gambar 3)

Tabel 3.Kisaran parameter kualitas air selama penelitian dibandingkan dengan

referensi.

Parameter Oksigen terlarut (ppm) pH Suhu (oC)

Penelitian 5,62 – 6,40 7,56 – 7,70 24,1 – 25,7

Kisaran Optimal >3

(Effendi, 2003)

7-8,4

(Effendi, 2003)

20 – 25

(Budiman, 2009)

a a a a

0

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0.7

0.8

0.9

1

A B C D

Kan

dungan

Pro

tein

To

tal

(%)

Perlakuan

∆S,N1 ∆N,S1∆N,S2

∆S,N2

0.71 + 0.008 0.67 + 0.012 0.84 + 0.021 0.64 + 0.034

∆N,S1

∆N,S2

278 Pengaruh Salinitas dan Nitrogen Terhadap Kandungan Protein Total

© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat

disimpulkan bahwa peningkatan

salinitas dengan nitrogen normal

menghasilkan kandungan protein total

meningkat.

Daftar Pustaka

Asriyana, dan Yuliana. 2012.

Produktivitas Perairan. Bumi

Aksara. Jakarta. Hal. 125.

BBPL. 2013. Standar Opersional

Pelaksanaan Kultur Fitoplankton.

Lampung.

Budiman. 2009. Penentuan Intensitas

Cahaya Optimum Pada Pertumbuhan

dan Kadar Lipid Mikroalga

Nannochloropsis sp. Tesis. Proram

Magister Kimia. Fakultas

Matematikan dan Ilmu Pengetahuan

Alam. Institut Teknologi Sepuluh

Nopember. Surabaya.

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air.

Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Hal.

66-156.

Gaspersz, V. 1991. Metode

Perancangan Percobaan. Bandung.

Armico.

Gunawan. 2012. Pengaruh Perbedaan

pH pada Pertumbuhan Mikroalga

Klas Chlorophyta. Jurnal

Bioscientiae 9: 62 – 65.

Jati, F., Johanes H., dan Vivi E.H. 2012.

Pengaruh Penggunaan Dua Jenis

Media Kultur yang Berbeda

Terhadap Pola Pertumbuhan,

Kandungan Protein dan Asam

Lemak Omega 3 EPA (Chaetoceros

gracilis). Jurnal of Aquaculture

Management and Technology 1: 221

-235.

Kartikasari, D. 2010. Pengaruh

Penggunaan Media Yang Berbeda

Terhadap Kemampuan Penyerapan

Logam Berat Pb Pada

Nannochloropsis sp. Skripsi.

Fakultas Pertanian Universitas

Lampung. Lampung.

Muhaemin, M. 2011. Lipid Production

of Nannochloropsys under

Environmental Stress. Jurnal

Penelitian Sains 14: 61-62.

Rusyani, E. 2001. Pengaruh dosis zeolit

yang berbeda terhadap pertumbuhan

Isochrysis galbana klon Tahiti skala

laboratorium dalam media

komersial. Skripsi. IPB. Bogor. 53

hal.

Sutomo. 2005. Kultur Tiga Jenis

Mikroalga (Tetraselmis sp.,

Chlorella sp.dan Chaetoceros

gracilis) dan Pengaruh Kepadatan

Awal Terhadap Pertumbuhan C.

gracilis di Laboratorium. Oseanologi

dan Limnologi 37 : 43-58.

Ismi, S. dan Y. M. Asih. 2010. Efisiensi

Penggunaan Plankton Untuk

Pembenihan Kerapu Bebek

(Cromileptes altivelis) Pada Hatcheri

Skala Rumah Tangga. Balai Besar

Riset Perikanan Budidaya Laut.

Prosiding Forum Inovasi Teknologi

Akuakultur. p.869-875.

Widianingsih, R. Hartati, H. Endarwati,

E. Yudiati, dan V. R. Iriani. 2011.

Pengaruh Pengurangan Konsentrasi

Fosfat dan Nitrat Terhadap

Kandungan Lipid Total

Nannochloropsis sp. Jurnal Kelautan

16 : 24-29.

Yanuaris, L, M., Rahayu K. dan

Kismiyati. 2012. Pengaruh

Fermentasi Actinobacillus sp. Pada

Kotoran Sapi Sebagai Pupuk

Terhadap Pertumbuhan

Nannochloropsis sp. Jurnal Ilmiah

Perikanan dan Kelautan 4: 21-26.

e-Jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan Volume II No 2 Februari 2014

ISSN: 2302-3600

© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014

PENGGUNAAN TEPUNG ONGGOK SINGKONG YANG

DIFERMENTASI DENGAN Rhizopus sp. SEBAGAI BAHAN BAKU

PAKAN

IKAN NILA MERAH (Oreochromis niloticus)

Reni Antika*†, Siti Hudaidah‡ dan Limin Santoso

ABSTRAK

Onggok singkong merupakan hasil samping pengolahan tepung tapioka dan

berpotensi menjadi bahan baku alternatif pakan ikan. Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui pengaruh penggunaan tepung onggok singkong yang difermentasi

sebagai bahan baku pakan ikan terhadap pertumbuhan nila merah (Oreochromis

niloticus). Metode percobaan menggunakan rancangan acak lengkap dengan 5

perlakuan berupa penggunaan tepung onggok singkong yang difermentasi Rhizopus

sp. dalam berbagai jumlah dan setiap perlakuan diulang 3 kali. Pakan A (tanpa

tepung onggol/kontrol), pakan B (tepung onggok fermentasi (TOF) 10%), pakan

C (TOF 15%), pakan D (TOF 20%) dan pakan E (tepung onggok tanpa fermentasi

20%). Pakan diujikan pada nila merah dengan bobot 4,0±0,7 gram, yang dipelihara

dalam bak beton berukuran 150 x 150 x 50 cm dengan kepadatan 50 ekor/bak. Ikan

dipelihara selama 50 hari dengan feeding rate 3% dan diberikan 3 kali setiap hari.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pakan C (TOF 15%) memberikan hasil yang

terbaik untuk pertumbuhan nila merah. Pertumbuhan mutlak sebesar 13,7±0,4

gram, tingkat kelangsungan hidup mencapai 95,33%. Kualitas air pada tiap

perlakuan berada dalam kondisi optimum untuk budidaya ikan.

Kata kunci: tepung onggok singkong, fermentasi, Rhizopus sp., nila merah

Pendahuluan Ketersediaan pakan yang cukup,

berkualitas, dan berkesinambungan

sangat menentukan keberhasilan

kegiatan budidaya ikan (KKP, 2011).

* Mahasiswa Jurusan Budidaya Perairan Universitas lampung † Email : [email protected] ‡ Dosen Jurusan Budidaya Perairan Universitas lampung, Jl. Soemantri Brojonegoro Gedong

Meneng No. 1 Bandar Lampung 35145

Kebutuhan pakan ikan meningkat

seiring bertambahnya kegiatan

budidaya ikan serta meningkatnya

teknologi budidaya (Mudjiman, 2004).

Untuk memenuhi kebutuhan nutrien

ikan dibutuhkan bahan pakan yang

dapat meningkatkan metabolisme pada

280 Penggunaan Tepung Onggok Singkong Yang Difermentasi

© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014

ikan. Bahan baku pakan yang sangat

lazim digunakan sebagai penyusun

nutrisi pakan komersil seperti tepung

ikan, tepung kedelai, jagung, minyak

ikan, mineral dan vitamin masih

didatangkan dari luar negeri. Harga

bahan baku pakan impor tersebut cukup

mahal sehingga menyebabkan harga

pakan ikan menjadi tinggi (Kemendag,

2013).

Onggok singkong merupakan hasil

sampingan dari pengolahan singkong

menjadi tapioka. Onggok singkong

dapat menjadi bahan baku lokal

pengganti jagung dengan harga yang

lebih murah serta dapat disediakan

dalam jumlah yang besar dan

berkesinambungan. Fermentasi perlu

dilakukan pada onggok singkong untuk

menyederhanakan struktur karbohidrat

sehingga lebih mudah dicerna oleh

ikan. Penggunaan tepung onggok

singkong sebagai pengganti tepung

jagung dalam kegiatan budidaya

diharapkan dapat menurunkan harga

pakan serta menekan biaya produksi

(Sayed, 1999).

Bahan dan Metode Penelitian dilaksanakan pada Mei – Juni

2013 di Balai Benih Ikan (BBI) Natar,

Kabupaten Lampung Selatan.

Penelitian menggunakan bak beton

berukuran 150 x 150 x 50 cm sebanyak

15 buah. Ikan uji nila merah

(Oreochromis niloticus) berukuran 5,0

± 2,0 cm dengan berat 4 ± 0,7 gram,

dipelihara dengan padat tebar 50

ekor/bak. Rancangan yang digunakan

dalam penelitian ini adalah rancangan

acak lengkap (RAL), yang terdiri dari

lima perlakuan, tiga ulangan dan

feeding rate sebanyak 3%. Perlakuan

dalam penelitian ini adalah

penambahan berbagai proporsi onggok

yang difermentasi dalam pakan uji (0%;

10%; 15%; 20% dan 20% onggok tanpa

fermentasi) (Tabel 1.).

Tepung onggok singkong berasal dari

CV. Sinar Abadi Daya, Lampung

Tengah. Ragi tempe komersil didapat

dari pasar tradisional. Metode dan

prosedur fermentasi yang digunakan

telah dimodifikasi (Ningsih, 2010).

Analisa proksimat pakan dilakukan di

Balai Penelitian dan Pengembangan

Budidaya Air Tawar Sempur Bogor

(BPPBAT) (Tabel 2.). Parameter yang

diukur adalah pertumbuhan dan

sintasan ikan uji (Effendi, 2003).

Pengambilan contoh berat tubuh

dilakukan setiap sepuluh hari. Analisa

sidik ragam (ANOVA) digunakan

untuk mengetahui pengaruh perlakuan

terhadap pertumbuhan berat mutlak nila

merah dan dilanjutkan dengan uji

Duncan (Steel and Torrie, 1991).

Sedangkan parameter kualitas air yang

diukur yaitu pH, suhu, dan oksigen

terlarut (DO). Dilakukan penyiponan

sisa pakan dan kotoran dalam bak untuk

mempertahankan kualitas air

pemeliharaan tetap optimal.

Reni Antika, Siti Hudaidah dan Limin Santoso 281

© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014

Tabel 1.Formulasi pakan yang digunakan sebagai pakan perlakuan.

Bahan Pakan (%) Perlakuan

A B C D E

Tepung ikan 30 30 30 30 30

Tepung kedelai 30 30 30 30 30

Tepung jagung 20 10 5 - -

Tepung onggok fermentasi - 10 15 20 -

Tepung onggok non fermentasi - - - - 20

Tepung terigu 10 10 10 10 10

Minyak ikan 3 3 3 3 3

Minyak jagung 2 2 2 2 2

Premix 5 5 5 5 5

Tabel 2.Hasil uji proksimat pada pakan perlakuan Parameter (%) Pakan Perlakuan

A B C D E

Kadar air 3,98 7,66 6,23 8,34 6,51

Protein 28,52 28,96 27,41 29,51 28,96

Lemak 12,58 11,82 12,03 15,58 13,47

Kadar abu 11,41 11,29 11,9 12,04 11,96

Serat kasar 21,09 19,72 11,66 24,27 18,92

Karbohidrat 26,40 28,21 37,00 18,50 26,69

Hasil dan Pembahasan Fermentasi tepung onggok singkong

dengan kapang Rhizopus sp.

mengakibatkan peningkatan nutrien

berupa protein dan lemak (Tabel 3),

karena selama fermentasi terjadi

perkembangbiakkan mikroorganisme

(Rhizopus sp), produksi enzim-enzim

mikrobial yang bisa mengubah senyawa

pada media menjadi produk-produk

fermentasi, metabolit mikrobial, dan

perubahan senyawa substrat fermentasi.

Peningkatan protein dari 1,23%

menjadi 8,06% diduga karena adanya

kontribusi penambahan biomas

Rhizopus sp. sebagai fermenter dan urea

yang berperan sebagai sumber nitrogen

bagi pertumbuhan biomas Rhizopus sp.

Fermentasi juga meningkatkan

kandungan serat kasar dalam onggok

(Tabel 3), peningkatan bahan ini berasal

dari peningkatan jumlah hifa dari

biomas Rhizopus sp.

282 Penggunaan Tepung Onggok Singkong Yang Difermentasi

© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014

Tabel 3. Hasil analisa proksimat tepung onggok sebelum dan sesudah fermentasi

dengan Rhizopus sp

Parameter (%) Sebelum difermentasi Sesudah difermentasi

Kadar air 8,27 4,13

Protein 1,28 8,06

Lemak 0,55 0,74

Kadar abu 2,01 2,89

Serat kasar 8,92 29,11

Karbohidrat 87,24 59,20

Peningkatan berat nila merah selama 50

hari pemeliharaan menunjukkan bahwa

pakan yang diberikan mengandung

cukup energi dan memenuhi kebutuhan

ikan untuk tumbuh (Sugianto, 2007).

Hasil analisis sidik ragam (α=0,05)

menunjukkan bahwa penggunaan

tepung onggok sebagai sumber

karbohidrat memberikan pengaruh

nyata terhadap pertumbuhan berat

mutlak nila merah (Gambar 1.). Dengan

kebutuhan nutrisi yang tercukupi, maka

kebutuhan energi untuk kegiatan

metabolisme nila merah juga terpenuhi.

Gambar 1. Pertumbuhan berat mutlak nila merah (Oreochromis niloticus).

Pakan dengan proporsi 20% tepung

onggok tanpa fermentasi menghasilkan

berat mutlak terendah pada ikan nila

merah. Sedangkan berat mutlak

tertinggi didapat pada pakan dengan

proporsi 15% tepung onggok yang

difermentasi. Penambahan tepung

onggok singkong yang difermentasi

dalam proporsi yang berbeda dalam

pakan tidak berpengaruh terhadap

kelangsungan hidup benih ikan nila

merah (Gambar 2.).

Reni Antika, Siti Hudaidah dan Limin Santoso 283

© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014

Gambar 2.Kelangsungan hidup nila merah (Oreochromis niloticus).

Kualitas air selama pemeliharaan dalam

kisaran optimal untuk budidaya ikan

(Tabel 4). Oksigen terlarut dalam media

dipengaruhi oleh laju respirasi ikan dan

suhu lingkungan. Saat suhu meningkat,

laju metabolisme ikan meningkat

sehingga menyebabkan respirasi ikan

meningkat dan kadar oksigen di dalam

air akan menurun secara drastis.

Kandungan oksigen terlarut pada semua

perlakuan berkisar 5,3-7,5 mg/L. Suhu

air pemeliharaan masing-masing

perlakuan berada dalam kisaran 25-

29°C. Pada kisaran ini ikan nila masih

dapat tumbuh dengan baik. Boyd

(1990) menjelaskan bahwa ikan-ikan

tropis dan subtropis tidak akan dapat

tumbuh dengan baik ketika temperatur

turun di bawah 26 atau 28oC. Perubahan

suhu melebihi 3-4°C akan

menyebabkan terjadinya perubahan

metabolisme yang mengakibatkan

kejutan suhu. Hal tersebut dapat

menyebabkan peningkatan toksisitas

kontaminan yang terlarut dan

menurunkan oksigen terlarut serta

menimbulkan kematian pada ikan

(Effendie, 2003).

Tabel 4.Kualitas air selama pemeliharaan nila merah (Oreochromis niloticus).

Parameter Perlakuan Kisaran Optimal

A B C D E

- DO (mg/l) 3,13-4,5 3,16-4,29 3,11-4,35 3,0-4,23 3,16-4,8 >3 mg/la

- pH 7 7 7 7 7 25-30oCa

- Suhu (°C) 25-26 25-27 26-27 25-27 26-27 6,5-9b

Keterangan sumber : a. Khairuman dan Amri (2003)

b. Zakaria (2003)

91,3 + 5,0

93,3 + 2,392 + 4

95,3 + 1,1

89,3 + 3,0

84

86

88

90

92

94

96

98

A B C D E

Kel

angs

un

gan

Hid

up

(%

)

Perlakuan

A. T. ONGGOK FERMENTASI (0%)B. T. ONGGOK FERMENTASI (10%)C. T. ONGGOK FERMENTASI (15%)D. T. ONGGOK FERMENTASI (20%)E. T. ONGGOK NONFERMENTASI(20%)

284 Penggunaan Tepung Onggok Singkong Yang Difermentasi

© e-JRTBP Volume 2 No 2 Februari 2014

Kesimpulan Fermentasi berpengaruh terhadap

kandungan nutrien tepung onggok

singkong (peningkatan kandungan

serat kasar dan protein). Penambahan

tepung onggok singkong yang

difermentasi dalam pakan sebesar 15%

memberikan pertumbuhan mutlak

paling tinggi pada nila merah.

Daftar Pustaka

Boyd, C.E., 1990. Water Quality in

Ponds for Aquaculture.

Birmingham Publishing.

Birmingham, Alabama.

Effendi, M. I. 2003. Biologi Perikanan.

Yayasan Pustaka Nusatama.

Yogyakarta. 157 Hal.

Kantor Kementerian Perdagangan.

2013. Data impor jagung. Dikutip

dari http://www.itpc.or.jp. Diakses

pada 28 September 2013

Kementerian Kelautan dan Perikanan.

2011. Data Informasi Peningkatan

Budidaya Ikan Nila Di Indonesia.

Sumber : www.KKP.go.id (20

Februari 2013)

Khairuman dan Amri, K. 2003.

Membuat Pakan Ikan Konsumsi.

Agro Media Pustaka. Jakarta.

Mudjiman, A. 2004. Pakan Ikan.

Penebar Swadaya. Jakarta. 192 hal

Ningsih, D.R. 2010. Pemanfaatan

onggok singkong (Manihot

esculenta) sebagai bahan baku

pakan ikan patin siam (Pangasius

hypothalmus). Skripsi. Fakultas

Pertanian. Universitas Lampung.

Lampung.

Sayed, A. 1999. Onggok bahan baku

pakan ternak.

Sumber:http://peluangusaha.

kontan.co.id/v2/read/1298616362/5

9930/Mengolah-limbah-singkong-

menjadi- pakan-ternak-bergizi

Steel, R.G.D dan J.H. Torrie. 1991.

Prinsip dan Prosedur Statistika.

Gramedia pustaka Utama. Jakarta. Sugianto, G. 2007. Pengaruh Tingkat

Pemberian Manggot Terhadap

Pertumbuhan dan Efesiensi

Pemberian Pakan Benih Ikan

Gurame (Osphronemus gouramy).

Skripsi. Departemen Budidaya

Perairan. Fakultas Perikanan dan

Ilmu Kelautan. IPB. Bogor.

Zakaria, M.W. 2003. Pengaruh Suhu

Media Yang Berbeda Terhadap

Kelangsungan Hidup dan Laju

Pertumbuhan Benih Ikan Nilem

(Osteochilus hasselti, C.V.) Hingga

Umur 35 Hari. Fakultas Perikanan

dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian

Bogor.

e-Jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan

Volume II No 2 Februari 2014

ISSN: 2302-3600

© e-JRTBP Volume 3 No 1 Oktober 2014

Komunikasi Ringkas

IDENTIFIKASI PARASIT PADA IKAN BADUT (Amphiprion percula)

DI BALAI BESAR PENGEMBANGAN BUDIDAYA LAUT LAMPUNG

Rina Hesti Utami*†, Agus Setyawan‡, Rara Diantari‡ dan Siti Hudaidah‡

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi parasit yang menginfeksi pada ikan

badut (Amphiprion percula) serta korelasinya dengan lokasi budidaya. Penelitian

ini dilakukan pada Februari sampai April 2013 di Balai Besar Pengembangan

Budidaya Laut (BBPBL) Lampung. Penelitian menggunakan metode eksploratif

dengan mengisolasi parasit yang menginfeksi ikan badut (3-5 cm) yang

dibudidayakan di tiga lokasi budidaya yaitu indoor, semi outdoor dan outdoor.

Parasit yang disolasi diidentifikasi kemudian dibandingkan satu lokasi budidaya

dengan lokasi lainnya. Hasil penelitian ditemukan tiga jenis ektoparasit yang

menginfeksi ikan badut golongan nematoda, Trichodina dan trematoda. Prevalensi

parasit dan intensitas parasit tertinggi terdapat pada ketiga lokasi yaitu parasit

Trichodina.

Kata kunci : Amphiprion percula, ektoparasit, intensitas, prevalensi, Trichodina

Pendahuluan

Ikan hias makin banyak diminati oleh

masyarakat sehingga permintaannya

semakin meningkat baik di pasar lokal

maupun internasional. Berdasarkan data

Pusat Data, Statistik dan Informasi

Sekretariat Jenderal Kementerian

Kelautan dan Perikanan, volume ekspor

ikan hias dari tahun 2007-2011

mengalami peningkatan sebesar 0,26%

(KKP, 2012).

* Mahasiswa Jurusan Budidaya Perairan Universitas lampung † Email : [email protected] ‡ Dosen Jurusan Budidaya Perairan Universitas lampung, Jl. Soemantri Brojonegoro Gedong

Meneng No. 1 Bandar Lampung 35145

Budidaya ikan badut sudah dilakukan

sejak tahun 2009 oleh Balai Besar

Pengembangan Budidaya Laut

(BBPBL) Lampung. Namun, akhir-

akhir ini sering terjadi kematian pada

budidaya ikan badut (Amphiprion

percula). Penyebab kematian pada ikan

badut tersebut hingga saat ini belum

diketahui. Kematian pada ikan badut

diduga disebabkan adanya penyakit

infeksi. Parasit merupakan salah satu

penyakit infeksi yang menyebabkan

kematian pada budidaya ikan-ikan laut.

286 Identifikasi Parasit pada Ikan Badut

© e-JRTBP Volume 3 No 1 Oktober 2014

Identifikasi parasit merupakan salah

satu upaya dalam mengetahui penyebab

kematian pada ikan badut. Hal ini perlu

dilakukan karena berkaitan dengan

metode penanggulangan penyakit yang

harus dilakukan untuk meminimalisasi

terjadinya kematian pada ikan badut.

Tujuan dari penelitian ini adalah

mengidentifikasi parasit yang

menginfeksi pada ikan badut serta

korelasinya dengan lokasi budidaya.

Penelitian dilakukan pada Februari

sampai dengan April 2013 di Balai

Besar Pengembangan Budidaya Laut

(BBPBL) Lampung. Penelitian ini

menggunakan metode eksploratif

dengan mengisolasi parasit dari organ

luar dan dalam yang menginfeksi ikan

badut (3-5 cm) yang dibudidayakan di

tiga lokasi budidaya yaitu indoor (IN),

semi outdoor (SM) dan outdoor (OT).

Sampel ikan badut yang digunakan

dipilih secara acak dari semua lokasi

sebanyak 6 ekor/minggu/lokasi selama

enam minggu. Pemeriksaan parasit

meliputi organ luar dan dalam. Metode

pemeriksaan parasit pada organ luar

dilakukan dengan metode kerokan kulit

(Kabata, 1985) dan mount insang

mengacu pada Santoso (2008). Metode

pemeriksaan organ dalam untuk

identifikasi parasit mengacu pada

(Akbar, 2011). Selanjutnya dilakukan

identifikasi parasit berdasarkan

morfologi parasit yang terdapat dalam

Marine Flora and Fauna of the Eastern

United States Platyhelminthes:

Monogenea (Hendrix, 1994), Parasites

and of Fish Cultured in the Tropics

(Kabata, 1985), Parasitic Worms of

Fish (Williams and Jones, 1994). Hasil

diidentifikasi parasit kemudian

dibandingkan antar lokasi budidaya

dengan didukung data kualitas air (pH,

oksigen terlarut, suhu, salinitas, NH3,

dan NO2). Data hasil penelitian akan

disajikan dalam bentuk tabel, dan

dianalisis secara deskriptif.

Hasil dan Pembahasan

Parasit yang menginfeksi ikan badut

nematoda, Trichodina dan trematoda

merupakan jenis ektoparasit

berdasarkan Anshary (2008). Infeksi

dan intensitas parasit tertinggi yaitu

parasit Trichodina. Parasit Trichodina

ditemukan pada semua lokasi budidaya.

Benih parasit Trichodina diduga sudah

masuk ke wadah budidaya pada minggu

awal pengamatan, namun baru

menginfeksi ikan pada minggu ke-2.

Suhu diduga memiliki peranan terhadap

perkembangbiakan parasit ini. Suhu

pada lokasi IN dan SM lebih stabil

dibandingkan suhu pada OT. Semua

sampel ikan yang terinfeksi Trichodina

memiliki gejala tubuh mengeluarkan

mukus berlebih namun tidak ada yang

mengalami luka pada bagian epidermis

kulitnya.

Tabel 1. Data jenis dan jumlah parasit

berdasarkan lokasi

budidaya pada sampel ikan

badut (Amphiprion

percula).

N

o

Jenis

Parasit

Jumlah parasit (individu)

Indo

or

Semi

outdoor

Outdo

or

1 Nematoda 4 7 6

2

Trichodin

a 514 127 86

3

Trematod

a 3 4 1

Trichodina sp. juga ditemukan pada

lokasi budidaya yang berada diluar

(OT). Kemunculan parasit Trichodina

sp. dikaitkan dengan kandungan

nutrien. Tidak adanya filter ulang pada

budidaya outdoor mendukung

masuknya bahan organik yang berakibat

Rina Hesti Utami, Agus Setyawan, Rara Diantari dan Siti Hudaidah 287

© e-JRTBP Volume 3 No 1 Oktober 2014

pada kandungan nitit (NO2) di lokasi

outdoor lebih tinggi. Pada minggu ke-4

sampai ke-6 kisaran kandungan nitrit

pada lokasi outdoor lebih tinggi yaitu

0,444 mg/l (0,029-0,473 mg/l),

dibandingkan pada lokasi indoor

sebesar 0,37 mg/l (0,031-0,401 mg/l)

dan semi outdoor sebesar 0,033 mg/l

(0,163-0,196 mg/l).

Kandungan nitrit yang tinggi

berdampak secara tidak langsung

terhadap infeksi nematoda. Secara

umum siklus hidup nematoda

membutuhkan inang perantara untuk

menyelesaikan siklus hidupnya

(Williams and Jones, 1994). Anshary

(2008), anthropoda dapat menjadi inang

perantara parasit nematoda. Menurut

Williams and Jones (1994), nematoda

memiliki empat tingkatan larva dalam

hidupnya. Nematoda yang menginfeksi

ikan badut diduga sudah memasuki

stadia infektif. Hasil pengamatan, ikan

yang terinfeksi nematoda belum

menimbulkan dampak serius pada

kesehatan ikan karena jumlah parasit

masih rendah.

Prevalensi parasit tertinggi yaitu parasit

Trichodina disebabkan kemampuan

reproduksinya yang dapat berlangsung

secara cepat yaitu dengan pembelahan

biner dan konjugasi (Davis, 1947).

Trichodina mempunyai penyebaran

yang luas (Riko dkk., 2012).

Penyebaran Trichodina dapat terjadi

melalui kontak langsung antar ikan dan

air yang terkontaminasi (Irianto, 2005).

Tabel 2. Kualitas air selama penelitian

Parameter

Lokasi Budidaya

Baku

Mutu Indoor Semi outdoor Outdoor

Kisaran

Rata-

rata Kisaran

Rata-

rata Kisaran

Rata-

rata

Suhu (OC) 27,5^-32^^ 30,14 28-31,2^^ 30,10 27^-32^^ 30 28-30*

pH 7,9-8,13 8,00 7,90-8,15 8,02 7,95-8,22 8,07 7-8,5*

Salinitas (psu) 31-32 31,80 31-32 31,80 31-32 31,80 30-34

DO (mg/l) 4,29-5,35 4,77 4,09-5,56 4,97 5,21-6,03 5,65 >4

NH3 (mg/l) 0,005-0,029 0,021 0,013-0,019 0,015 0,013-0,026 0,018 0,3*

NO2 (mg/l) 0,003-0,401^^ 0,115 0,020-0,220^^ 0,140 0,009-0,473^^ 0,128 0,05** Keterangan : * Berdasarkan Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.51 Th. 2004

** Pengendalian Pencemaran Lingkungan Laut PP No. 24 Th. 1991

^ Kurang dari baku mutu ; ^^ Lebih dari baku mutu

Daftar Pustaka

Akbar, J. 2011. Identifikasi Parasit Pada

Ikan Betok (Anabas testudieus).

Bioscientiae. 8(2): 36-45

Anshary, H. 2008. Modul Pembelajaran

Berbasis Student Center Learning

(SCL) Mata kuliah Parasitologi

Ikan. Lembaga Kajian dan

Pengembangan Pendidikan (LKPP)

Makasar. 126 pp.

Davis, H. S. 1947. Studies of The

Protozoan Parasites of Fresh –

Waterfishes. Fishery Bulletin 41

Volume 51. United States

Goverment Printing Office .

Washington. 61 Pp.

Hendrix S.S. 1994. Marine Flora and

Fauna of the Eastern United States

288 Identifikasi Parasit pada Ikan Badut

© e-JRTBP Volume 3 No 1 Oktober 2014

Platyhelminthes: Monogenea. U.S.

Department of Commerce Seattle,

Washington. 112 pp.

Irianto, A. 2005. Patologi Ikan

Teleostei. Gadjah Mada University

Press. Jogyakarta.

Kabata, Z. 1985. Parasites and

Diseases of Fish Cultured in the

Tropics. Taylor and Francis, London

and Philadelphia. 303 pp.

Kementerian Kelautan dan Perikanan.

2012. Statistik Ekspor Hasil

Perikanan 2011. Buku I. Pusat Data,

Statistik dan Informasi Sekretariat

Jenderal Kementerian Kelautan dan

Perikanan. 509 pp.

Riko, Y. A., Rosidah, dan T. Herawati.

2012. Intensitas dan Prevalensi

Ektoparasit pada Ikan Bandeng

(Chanos chanos) dalam Keramba

Jaring Apung (KJA) di Waduk Cirata

Kabupaten Cianjur Jawa Barat.

Jurnal Perikanan dan Kelautan.

3(4). 11 pp.

Santoso, L. 2008. Identifikasi Parasit

Pada Ikan Kerapu Macan

(Epinephelus fuscoguttatus) dalam

Keramba Jaring Apung (KJA) di

Teluk Lampung. Jurnal Penelitian

Perikanan. 11:1-7.

Williams, H. and Jones, A. 1994.

Parasitic Worms of Fish. Taylor and

Francis Ltd, London. 593 pp.