View
14
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
i
TINJAUAN PUSTAKA
DIAGNOSIS DAN PATOFISIOLOGI
GANGGUAN DEPRESI MAYOR
OLEH :
dr. Anak Ayu Sri Wahyuni, SpKJ
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS-I
DEPARTEMEN PSIKIATRI FK UNUD / RSUP SANGLAH
DENPASAR
2018
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat-
Nya sehingga dapat menyelesaikan karya tulis dengan topik ” DIAGNOSIS DAN
PATOFISIOLOGI GANGGUAN DEPRESI MAYOR”.
Penyusunan karya tulis ini mendapat bantuan dari berbagai pihak dan berbagai
sumber yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu, untuk itu disampaikan ucapan terima
kasih.
Harapan kami semoga karya tulis ini dapat menambah pengetahuan dan sebagai
bahan pendidikan terbaru dalam bidang Kedokteran Jiwa di FK-UNUD Denpasar. Karya
tulis ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun demi
penyempurnaan karya tulis ini sangat diharapkan.
Akhir kata semoga karya tulis ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan
dunia pendidikan dan pengetahuan Ilmu Kedokteran Jiwa.
Denpasar, 23 Mei 2018
Penulis
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................................ i
KATA PENGANTAR ......................................................................................................... ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................................... iv
DAFTAR TABEL ................................................................................................................ v
DAFTAR SINGKATAN .................................................................................................... vi
BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang .............................................................................................................. 1
1.2. Batasan Masalah ........................................................................................................... 3
1.3. Tujuan dan Manfaat ...................................................................................................... 3
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................ 4
2.1. Definisi .......................................................................................................................... 4
2.2. Epidemiologi ................................................................................................................. 7
2.3. Etiologi…………………….......................................................................................... 9
2.4. Diagnosis ……………………………………………................................................. 10
2.5. Patofisiologi……………………................................................................................. 17
BAB III. RINGKASAN.. ................................................................................................... 31
DAFTAR PUSTAKA
iv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 : Algoritma diagnosis dari gangguan mood
Gambar 2 : Model sederhana etiologi gangguan mood
Gambar 3 : Dimensi Gejala Episode Depresi mayor
Gambar 4 : Gejala depresi dan sirkuit di otak
Gambar 5 : Ringkasan pengobatan lini pertama untuk depresi
v
DAFTAR TABEL
Tabel 1 : Epidemiologi Gangguan Mood
Tabel 2 : Karakterisasi Gangguan Depresi Mayor menurut ICD-10 dan DSM-5
Tabel 3 : Manifestasi awal dari beberapa penyakit medis
vi
DAFTAR SINGKATAN
APA : American Psychiatric Association
DSM-5 : Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, 5th
Edition
MDD : Major Depression Disorder
DD : Dysthymic Disorder
MDE : Major Depression Episode
GBD : Global Burden of Disease
WHO : World Health Organization
WMH : World Mental Health
NESARC : The National Epidemiologic Survey on Alcohol and Related Conditions
NCS-A : The National Comorbidity Survey-Adolescent Supplement
TRAILS : The Tracking Adolescents’ Individual Lives Survey
MAOI : Mono Amine Oxidase Inhibitors
ICD-10 : International Classification of Disease and Related Health Problems, 10th
revised
GDM : Gangguan Depresi Mayor
ECT : Electro Convulsive Therapy
TCA : Tricyclic Antidepressants
CSF : Cerebro Spinal Fluid
EEG : Electro Encephalo Graphy
SSP : Susunan Saraf Pusat
PFC : Pre Fontal Cortex
BDNF : Brain-Derived Neurotropic Factor
HPA : Hypothalamic Pituitary Adrenal
HPT : Hypothalamic Pituitary Thyroid
CRF : Corticotropin Releasing Factor
5HT : 5-Hydroxy Tryptamine
PTSD : Post Traumatic Stress Disorder
TSH : Thyroid Stimulating Hormone
TRH : Thyrotropin Releasing Hormone
CBT : Cognitive and Behavioral Therapy
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Gangguan mood (yaitu gangguan depresi mayor (MDD)) dan gangguan bipolar
(BD)) adalah sindrom yang sangat lazim. Prevalensi global MDD diperkirakan sekitar 4-5%,
sedangkan BD mempengaruhi sekitar 1,5% populasi. Kedua kondisi ini seringkali mengarah
pada perjalanan yang kronis dan tak henti-hentinya, yang menggarisbawahi dampak utama
pada morbiditas. Gangguan mood adalah penyebab utama tahun-tahun yang hidup dengan
disabilitas dan tahun hidup yang disesuaikan dengan kecacatan , menyoroti MDD dan BD
sebagai prioritas kesehatan masyarakat.Gangguan afektif, gangguan mental yang ditandai
dengan perubahan dramatis atau suasana hati yang ekstrim. Gangguan afektif mungkin
termasuk suasana hati yang meninggi (tinggi, luas, atau mudah marah dengan hiperaktif,
tekanan bicara, dan harga diri yang meningkat) atau depresi (mood sedih dengan
ketidaktertarikan hidup, gangguan tidur, agitasi, dan perasaan tidak berharga atau rasa
bersalah), dan sering kombinasi dari keduanya. Orang dengan gangguan afektif mungkin atau
mungkin tidak memiliki gejala psikotik seperti delusi, halusinasi, atau kehilangan kontak
dengan realitas.Gangguan afektif, juga sering disebut sebagai gangguan mood adalah
sekelompok penyakit psikiatri di mana gangguan suasana hati dianggap fitur utama yang
mendasarinya. Gangguan mood dapat berupa suasana hati yang tinggi, seperti yang terjadi
pada mania atau hipomania, atau suasana hati yang berkurang (depresi) seperti yang terjadi
pada episode depresi mayor.(Ellenbroek, 2016)(Mansur, 2015)
Secara umum, dua jenis gangguan afektif utama dapat dibedakan: (1) Depresi besar
gangguan (MDD), terutama ditandai oleh suasana hati rendah (perasaan sedih dan putus asa);
(2) gangguan bipolar (BP), ditandai dengan episode depresif dan periode mania atau
2
hypomania. Selain itu, gangguan kecemasan, ditandai dengan perasaan gugup, kecemasan,
dan rasa takut biasanya juga termasuk dalam kategori gangguan afektif. Gangguan
kecemasan adalah kategori gangguan yang sangat luas yang mencakup sejumlah subtipe yang
berbeda, termasuk fobia sosial, gangguan panik, gangguan kompulsif obsesif, dan stres pasca
trauma gangguan (PTSD). Mengingat ini sejumlah besar berbagai jenis gangguan afektif dan
banyak tumpang tindih dalam gejala dan patologi di antara mereka, kami memutuskan untuk
membatasi diskusi kami dalam bab ini untuk gangguan depresi mayor (MDD). Depresi
adalah gejala yang lebih umum, dan banyak pasien tidak pernah mengembangkan fase manik
yang sejati, meskipun mereka mungkin mengalami periode singkat optimisme yang
berlebihan dan euforia ringan saat pulih dari depresi. Manifestasi mania yang paling ekstrim
adalah kekerasan terhadap orang lain, sedangkan depresi adalah bunuh diri.(Ellenbroek,
2016)
Gangguan depresi dengan percobaan bunuh diri merupakan suatu keadaan gangguan
depresi berat yang perlu cepat ditangani agar pasien tidak mengulanginya dan terjadi tindakan
bunuh diri (complete suicide) sehingga bisa mengurangi mortalitas.Orang yang mengalami
gangguan depresi dengan percobaan bunuh diri, adalah orang yang mengalami suatu keadaan
stres didalam diri yang tidak mampu menerima kondisi lingkungan eksterna mereka dan
memiliki mekanisme pembelaan ego yang tidak matang sehingga mereka melakukan hal
tersebut.
Gangguan depresi mayor adalah salah satu gangguan depresi yang menyebabkan
morbiditas dan mortalitas yang signifikan pada individu di semua usia dan ras. Global
Burden of Disease (GBD) of theWorld Health Organitation (WHO) telah menunjukkan
terjadinya masalah yang sama di seluruh dunia bahwa gangguan depresi mayor,
meningkatkan risiko terjadinyapercobaan bunuh diri yang jika tidak ditangani dengan benar
akan menyebabkan tindakan bunuh diri (complete suicide) yang memakan banyak korban
3
jiwa yang sia-sia. Orang yang sudah melakukan percobaan bunuh diri, akan berisiko 100 kali
lipat lebih besar untuk terjadinya tindakan bunuh diri jika dibandingkan dengan pupolasi
normal (Marwick, 2013). Sekitar setengah hingga dua pertiga dari semua kasus bunuh diri
adalah oleh orang-orang yang menderitagangguan mood; mencegah bunuh diri di antara
mereka yang menderita karenanya menjadi hal yang pentingpencegahan bunuh diri.
Memahami faktor-faktor yang mendasari risiko bunuh diri diperlukan untuk
rasionalkeputusan pencegahan.(Isometsa, 2014)(Marwick & al, 2013)
1.2. Batasan Masalah
Tinjauan pustaka ini membahas gambaran umum mengenai Gangguan Depresi
Mayor, meliputi diagnosis dan patofisiologi.
1.3. Tujuan dan Manfaat
Tujuan penulisan tinjauan pustaka ini adalah untuk mendeskripsikan secara umum
mengenai diagnosis dan patofisiologi Gangguan Depresi Mayor. Diharapkan dengan
mengetahui gambaran umum diagnosis dan patofisiologi Gangguan Depresi Mayor dapat
membantu mengenali secara dini adanya Gangguan Depresi Mayor serta mampu memberikan
penanganan yang optimal dan dapat menurunkan risiko bunuh diri bagi pasien dengan
kondisi ini.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Defenisi
Gangguan mood atau ‗gangguan afektif‘ adalah istilah yang sekarang banyak
diterapkan pada berbagai kondisi umum di mana gejala yang paling menonjol adalah
peningkatan atau depresi suasana hati. Bentuk paling ekstrim dari kegembiraan (mania) atau
depresi (melankolis) telah diakui sejak tulisan Hippocrates atau sebelumnya, dan
menghasilkan morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Namun, batas antara penyakit dan
pengalaman normal terus diperdebatkan, dan depresi sering diredakan karena gejalanya
dianggap dapat dijelaskan mengingat situasi individu. Gangguan mood sering disebut
gangguan afektif, karena afek adalah tampilan eksternal dari suasana hati, emosi yang
dirasakan secara internal. Depresi dan mania sering dilihat sebagai ujung berlawanan dari
spektrum afektif atau mood. Secara klasik, mania dan depresi adalah "kutub" terpisah,
sehingga menghasilkan istilah depresi unipolar (yaitu, pasien yang hanya mengalami kutub
bawah atau tertekan) dan bipolar (yaitu, pasien yang pada waktu yang berbeda mengalami
baik kutub manik atau kutub bawah/tertekan.Kondisi afektif utama termasuk gangguan
depresi mayor (MDD) dan gangguan bipolar (BD) berhubungan dengan kecacatan yang
signifikan dan gangguan psikososial selama perjalanan hidup. Mereka sering tidak cukup
dikenal atau didiagnosis karena kompleksitas dan heterogenitas presentasi klinis mereka.
Heterogenitas ini kemungkinan terkait dengan keberadaan kerentanan genetik bersama serta
interaksi faktor fisik dan psikososial di seluruh rentang kehidupan.(Johnstone,
2010)(Friedman, 2014)(Stahl, 2013)
Depresi dan mania bahkan dapat terjadi bersamaan, yang disebut keadaan mood
campuran. Mania juga dapat terjadi dalam derajat yang lebih rendah, yang dikenal sebagai
5
hypomania, atau beralih begitu cepat antara mania dan depresi yang disebut siklus cepat.
Gangguan suasana hati dapat divisualisasikan secara bermanfaat tidak hanya untuk
membedakan gangguan suasana hati yang berbeda satu sama lain, tetapi juga untuk
meringkas jalannya penyakit untuk masing-masing pasien dengan menunjukkan mereka
dipetakan ke bagan suasana hati. Dengan demikian, suasana hati berkisar dari hipomania
hingga mania di bagian atas, hingga euthymia (atau mood normal) di tengah, hingga distimia
dan depresi di bagian bawah. (Stahl, 2013)(Friedman, 2014)(Serafini, 2017)
Gambar 1. Algoritma diagnosis dari gangguan mood(Marwick K. , 2013)
Gangguan mood yang paling umum dan mudah diakui adalah gangguan depresi
mayor, dengan episode tunggal atau berulang. Distimia adalah bentuk depresi yang kurang
6
berat tetapi bertahan lama.Gangguan depresi terdiri dari sekelompok penyakit heterogen yang
dicirikan oleh berbagai tingkat labilitas afektif dan terkait perubahan kognitif, neurovegetatif,
dan psikomotor. Depresi saat ini merupakan kondisi medis yang paling mematikan keempat
di dunia dan diprediksi menjadi yang kedua setelah penyakit jantung iskemik berkaitan
dengan kecacatan pada tahun 2020.(Stahl, 2013)(Friedman, 2014)(Serafini, 2017)
Gangguan depresi dalam spektrum luas yang ditandai dengan adanya suasana hati
yang sedih, kosong, atau mudah tersinggung dan berbagai perubahan somatik dan kognitif
lainnya. Menurut American Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, edisi ke-
5 (DSM-5), gangguan suasana hati adalah fitur utama gangguan mood. Mereka lebih lanjut
dibagi menjadi gangguan depresi mayor (MDD), gangguan disregulasi suasana hati
mengganggu (untuk anak-anak berusia hingga 18 tahun), gangguan depresi persisten
(dysthymia; DD), gangguan dysphoric pramenstruasi, gangguan depresi yang diinduksi oleh
zat, gangguan depresif karena lain kondisi medis, serta kategori gangguan depresi lainnya dan
tidak spesifik untuk kasus subsindromal yang tidak memenuhi kriteria untuk MDD atau DD.
MDD ditandai dengan satu atau lebih episode depresi mayor (MDE) - periode terpisah di
mana seorang individu mengalami perubahan yang jelas dalam mempengaruhi, kognisi, dan
fungsi neurovegetatif ke tingkat moderat selama 2 minggu atau lebih dengan penurunan dari
level fungsi mereka sebelumnya.(Friedman, 2014)
Gangguan depresi mayor adalah salah satu gangguan depresi yang menyebabkan
morbiditas dan mortalitas yang signifikan pada individu di semua usia dan ras. Global
Burden of Disease (GBD) of theWorld Health Organitation (WHO) telah menunjukkan
terjadinya masalah yang sama di seluruh dunia bahwa gangguan depresi mayor,
meningkatkan risiko terjadinyapercobaan bunuh diri yang jika tidak ditangani dengan benar
akan menyebabkan tindakan bunuh diri (complete suicide) yang memakan banyak korban
jiwa yang sia-sia. Orang yang sudah melakukan percobaan bunuh diri, akan berisiko 100 kali
7
lipat lebih besar untuk terjadinya tindakan bunuh diri jika dibandingkan dengan pupolasi
normal.(Marwick K. , 2013)
2.2. Epidemiologi
Survei World Mental Health (WMH) juga memberikan kumpulan data terbesar
tentang prevalensi gangguan depresi mayor. Tingkat prevalensi seumur hidup dan 12 bulan
diperkirakan di 18 negara, dibagi menurut pendapatan tinggi dan menengah ke bawah.
Prevalensi seumur hidup memperkirakan rata-rata 11,1 (kisaran 8,0 hingga 18,4) di negara-
negara berpenghasilan rendah dan 14,6 (kisaran 6,6 hingga 21,0) di negara-negara
berpenghasilan tinggi, sedangkan tingkat prevalensi 12 bulan rata-rata 5,5 tinggi (kisaran 2,2
hingga 8,3) dan 5,9 (kisaran 3,8). ke 10.4) di negara-negara berpenghasilan rendah. Perkiraan
prevalensi yang lebih baru dari studi The National Epidemiologic Survey on Alcohol and
Related Conditions (NESARC) adalah 13,2 untuk seumur hidup dan 5,3 untuk depresi mayor
12 bulan. Kumpulan temuan ini menunjukkan bahwa epidemiologi deskriptif gangguan mood
meskipun ada berbagai perkiraan, tingkat rata-rata baik depresi seumur hidup dan 12 bulan
cukup konsisten di seluruh penelitian yang menggunakan metodologi yang
sebanding.(Sadock, 2017)
Beberapa penelitian cross-sectional dan prospektif juga melaporkan tingkat gangguan
depresi mayor pada remaja. Tingkat seumur hidup gangguan depresi utama dalam rentang
masa kanak-kanak dari sekitar 0,6 hingga 4,8 persen dengan median 2,2 persen. Hasil
penelitian The National Comorbidity Survey-Adolescent supplement (NCS-A) pada remaja di
Amerika Serikat menghasilkan prevalensi depresi mayor seumur hidup dan 12 bulan masing-
masing sebesar 11,0 dan 7,5 persen. Keduanya The Tracking Adolescents’ Individual Lives
Survey(TRAILS) di Belanda juga menandai gangguan depresi utama dengan tingkat
keparahan berdasarkan kerusakan. Seperti yang diharapkan tingkat seumur hidup dalam
8
penelitian ini secara substansial lebih rendah daripada gangguan depresi mayor tidak berat
dengan masing-masing seumur hidup dan tingkat 12 bulan 3,0 dan 2,3 persen. Dalam NCS-
A, prevalensi gangguan depresi mayor meningkat secara signifikan di seluruh remaja, dengan
peningkatan yang sangat mencolok di antara wanita daripada di antara pria. Sebagian besar
kasus gangguan depresi utama dikaitkan dengan komorbiditas psikiatri dan gangguan peran
berat, dan minoritas substansial melaporkan bunuh diri. Perawatan dalam beberapa bentuk
diterima oleh mayoritas remaja dengan depresi mayor sesuai DSM-IV periode 12 bulan (60,4
persen), tetapi hanya sebagian kecil yang menerima perawatan yang khusus gangguan
mental.(Sadock, 2017)
Demikian juga, banyak individu di masyarakat mungkin menunjukkan beberapa
(beberapa atau lebih) gejala depresi yang tidak mencapai tingkat keparahan atau ambang
durasi untuk gangguan suasana perasaan tertentu dalam sistem DSM-5 tetapi, bagaimanapun
juga memiliki morbiditas dan disfungsi yang besar. Meskipun ambang gangguan ini mungkin
bentuk yang kurang parah dari gangguan depresi mayor atau bipolar, mereka juga dapat
menyebabkan penderitaan dan disabilitas yang besar.(Sadock, 2017).
Tabel 1. Epidemiologi Gangguan Mood (Marwick K. , 2013)
2.3 Etiologi
Depresi adalah gangguan multifaktorial, dengan berbagai faktor risiko berinteraksi
dari berbagai aspek raut wajah pasien. Genetika, pola asuh awal dan kepribadian dapat
9
meningkatkan kerentanan terhadap depresi, dengan episode yang timbul tergantung pada
tingkat stres akut dan kronis yang dialami.(Marwick K. , 2013)
Gambar 2. Model sederhana etiologi gangguan mood. (Marwick K. , 2013)
Teori dualistik yang memisahkan pikiran dan otak digantikan dengan model yang
lebih terintegrasi yang mempertimbangkan pengaruh biologis, psikologis, dan sosial yang
menghasilkan depresi. Pemahaman Kandel tentang interaksi pikiran-otak menyediakan model
untuk memahami sifat dan kemungkinan penyebab depresi, khususnya:
• semua proses mental berasal dari otak;
• gen dan produk proteinnya menentukan koneksi dan fungsi neuronal;
• pengalaman hidup memengaruhi ekspresi gen dan faktor psikososialumpan balik ke otak;
• mengubah ekspresi gen yang menghasilkan perubahan neuronalkoneksi berkontribusi
untuk menjaga kelainan perilaku;
• psikoterapi menghasilkan perubahan perilaku jangka panjang dengan mengubahekspresi
gen.(Friedman, 2014)
Oleh karena itu, baik faktor genetik dan lingkungan terlibat dalam etiologi dan
pengobatan depresi. Kemajuan terbaru dalam studi tentang dasar genetik depresi telah
menghasilkan temuan yang menarik, seperti polimorfisme fungsional dari gen transporter
serotonin, yang dapat digunakan untuk memprediksi respon serotonin reuptake inhibitor
10
(SSRI) selektif dalam konteks stres kehidupan. Dengan demikian, depresi dapat dipahami
sebagai konsekuensi dari stres kehidupan yang berinteraksi dengan kerentanan genetik dan
kepribadian yang diwariskan yang menghasilkan disfungsi psikologis.(Friedman, 2014)
2.4. Diagnosis
Depresi ditandai dengan gejala yang umumnya terbagi dalam dua kategori: psikologis,
dan somatik (atau fisik). Yang pertama dicirikan oleh kesedihan yang terus-menerus, yang
disebut "dysphoria," dan keadaan yang terus-menerus kekurangan kenikmatan atau
kesenangan biasa dalam kegiatan yang sebelumnya menyenangkan, disebut "anhedonia."
Awalnya dikembangkan di Inggris dan sedang diselidiki di Universitas Columbia di New
York City, depresi atipikal mengacu pada kelelahan yang ditumpangkan pada sejarah
kecemasan dan fobia somatik, bersama dengan tanda vegetatif terbalik (suasana yang lebih
buruk di malam hari, insomnia, kecenderungan untuk tidur nyenyak dan makan berlebihan).
Pengalaman menunjukkan bahwa tanda vegetatif terbalik lainnya meningkatkan minat dan /
atau hasrat seksual, meskipun tetap tidak terdeskripsikan dalam literatur ini. Tidur terganggu
pada paruh pertama malam pada banyak orang dengan gangguan depresi atipikal, dan
iritabilitas, hipersomnolen, dan kelelahan siang hari. Temperamen pasien-pasien ini dicirikan
oleh sifat-sifat yang sensitif. MAOI dan antidepresan serotonergik tampaknya menunjukkan
beberapa spesifisitas untuk pasien seperti itu, yang merupakan alasan utama bahwa depresi
atipikal dianggap serius.(Sadock, 2017)(Friedman, 2014)
11
Gambar 3. Dimensi Gejala Episode Depresi mayor(Stahl, 2013)(APA, 2013)
ICD-10 telah menetapkan pedoman diagnostik tertentu untuk mendiagnosis episode
depresif. Durasi minimum episode adalah 2 minggu dan setidaknya dua dari tiga gejala
depresi, kehilangan minat atau kesenangan dan peningkatan kelelahan harus ada. Episode
depresif dapatdinilai ringan, sedang atau berat tergantung pada jumlah dan keparahan gejala.
Episode depresi yang terjadi dengan halusinasi, delusi, atau pingsan depresif selalu
dikodekan sebagai 'parah dengan fitur psikotik.Episode biasanya mulai selama periode
prodromal berminggu-minggu sampai berbulan-bulan. Pada DSM-5 diagnosis gangguan
depresi utama membutuhkan salah satu dari berikut: (1) suasana hati disforik atau (2)
penurunan minat dalam kegiatan biasa. Gejala seperti itu harus dipertahankan setidaknya
selama 2 minggu, dan tidak dapat dijelaskan dengan proses lain yang diketahui menyebabkan
gejala depresi, seperti berkabung normal, kondisi fisik tertentu yang umumnya terkait dengan
depresi, atau gangguan mental lainnya. Ini bisa menjadi satu episode atau, umumnya,
berulang, atau keduanya. Berdasarkan DSM-5, Gangguan depresi meliputi disruptive mood
dysregulation, gangguan depresi mayor, gangguan depresi persisten (distimia), premenstual
dysphoric disorder, substance/ medication-induce depressive disorder, gangguan depresi yang
12
berhubungan dengan kondisi medis lainnya, gangguan depresi yang tidak spesifik, dan
gangguan depresi yang tidak tergolongkan. Tidak seperti DSM-IV, pada DSM-5, gangguan
depresi sudah dipisahkan dengan gangguan afektif bipolar. Gangguan utama pada penyakit
ini adalah penampakan sedih saat ini, kosong, atau mood yang iritabel, diikuti dengan
perubahan somatik dan kognitif secara signifikan mempengaruhi fungsi sehari-hari
seseorang. Macam-macam gangguan depresi pada DSM-5 ini kemudian dibedakan
berdasarkan durasinya, waktu atau etiologinyaKriteria Depresi menurut Diagnostic And
Statistical Manual OfMental Disorder, Fifth Edition(DSM-5),yang menggunakan istilah
Major Depressive Disorder (MDD) atau selanjutnya disebut Gangguan Depresi Mayor
(GDM) yaitu harus memenuhi kriteria :
A. Lima atau lebih dari gejala dibawah ini yang sudah ada bersama-sama selama 2 minggu
dan memperlihatkan perubahan fungsi dari sebelumnya; minimal terdapat 1 gejala dari
(1) mood yang depresi atau (2) hilangnya minat.
Catatan : Jangan memasukkan gejala yang merupakan bagian dari gangguan kondisi
medis lainnya.
1. Mood depresi sepanjang hari, hampir setiap hari, yang ditunjukkan oleh baik laporan
subyektif (misalnya perasaan sedih, kosong, tidak ada harapan) atau observasi orang
lain (misalnya terlihat menangis). (Catatan : pada anak-anak dan remaja, bisa mood
yang iritabel).
2. Secara nyata terdapat penurunan minat atas seluruh rasa senang, aktifitas harian,
hampir setiap hari (yang ditandai oleh perasaan subyektif atau objektif).
3. Kehilangan atau peningkatan berat badan yang nyata tanpa usaha khusus (contoh :
perubahan 5% atau lebih berat badan dalam 1 bulan terakhir), atau penurunan dan
peningkatan nafsu makan yang hampir terjadi setiap hari. (catatan : Pada anak-anak,
perhatikan kegagalan mencapai berat badan yang diharapkan).
13
4. Sulit tidur atau tidur berlebih hampir setiap hari.
5. Agitasi atau retardasi psikomotor hampir setiap hari (teramati oleh orang lain, bukan
semata-mata perasaan gelisah atau perlambatan yang subyektif).
6. Kelelahan atau kehilangan energi hampir setiap hari.
7. Perasaan tidak berguna atau rasa bersalah yang mencolok (bisa bersifat waham)
hampir setiap hari (bukan semata-mata menyalahkan diri atau rasa bersalah karena
menderita sakit).
8. Penurunan kemampuan untuk berpikir atau konsentrasi, atau penuh keragu-raguan
hampir setiap hari (baik sebagai hal yang dirasakan secara subyektif atau teramati
oleh orang lain).
9. Pikiran berulang tentang kematian (bukan sekedar takut mati), pikiran berulang
tentang ide bunuh diri dengan atau tanpa rencana yang jelas, atau ada usaha bunuh
diri atau rencana bunuh diri yang jelas.
B. Gejala-gejala ini secara klinis nyata menyebabkan distress atau hendaya dalam fungsi
sosial, pekerjaan, atau area penting kehidupannya.
C. Episodenya tidak terkait dengan efek fisiologis zat atau kondisi medis lainnya.
Catatan : Kriteria A-C menggambarkan episode depresi.
Respon kehilangan yang bermakna (misalnya berduka, masalah financial, lolos dari
bencana, penyakit berat atau disabilitas) termasuk perasaan sedih yang berat, pemikiran
tentang kehilangan, sulit tidur, kehilangan nafsu makan, dan penurunan berat badan
seperti yang terdapat di kriteri A, mungkin menyerupai depresi. Walaupun gejala-gejala
tersebut mungkin dapat dipahami atau dipertimbangkan sebagai respon normal terhadap
kehilangan yang bermakna, harus secara hati-hati tetap dipertimbangkan. Keputusan ini
tidak dapat dipungkiri membutuhkan pelatihan keterampilan klinis berdasarkan riwayat
hidup individu dan norma budaya dalam menentukan distress akibat kehilangan.
14
D. Keberadaan episode depresi tidak dapat dijelaskan pada gangguan skizoafektif,
skizofrenia, skizofreniform, gangguan waham, atau spektrum skizofrenia lainnya yang
tidak spesifik.
E. Tidak pernah dijumpai episode manik atau hipomanik. (APA, 2013)(Sadock,
2017)(Marwick K. , 2013)(Friedman, 2014)
15
Tabel 2. Karakterisasi Gangguan Depresi Mayor menurut ICD-10 dan DSM-5
(Friedman, 2014)(Friedman, 2014)(APA, 2013)
Gejala depresi sering dijumpai pada orang yang sakit secara medis. Namun, hanya
sejumlah pasien yang menderita gangguan depresi mayor menurut kriteria DSM, yaitu,
perasaan depresi yang terkait dengan kehilangan minat atau kesenangan, perubahan nafsu
16
makan, gangguan tidur, retardasi psikomotor atau agitasi, kelelahan, perasaan tidak berharga
dan rasa bersalah. , dan pikiran untuk bunuh diri. Penyakit fisik dapat memainkan peran
penyebab dengan menginduksi kerusakan otak struktural (misalnya stroke) atau mengubah
mekanisme neurotransmiter (misalnya sindrom Cushing). Dalam beberapa kasus, peristiwa
kehidupan yang penuh stres dapat menjadi faktor yang berkontribusi terhadap timbulnya
penyakit yang bermanifestasi dengan depresi (misalnya hipertiroidisme).(Cosci, Fiammetta;,
2015)
Tabel 3. Manifestasi awal dari penyakit medis. (Cosci, Fiammetta;, 2015)
2.5. Patofisiologi
2.5.1. Teori Biologi
Telah dipikirkan selama berabad-abad bahwa setidaknya beberapa bentuk depresi
disebabkan oleh atau dipelihara oleh gangguan fungsi otak, dan sejak tahun 1960-an, telah
17
dimungkinkan untuk mempelajari proses neurobiologis tertentu yang terkait dengan etiologi
dan patogenesis gangguan mood. Beberapa penelitian telah menginformasikan penelitian di
bidang ini. Pertama, heritabilitas gangguan suasana perasaan telah menyarankan bahwa
dasar-dasar neurobiologi depresi mungkin terkait dengan gen tertentu. Kedua, pemahaman
yang lebih rinci tentang neurobiologi respons stres telah menginformasikan model stres-
diatesis interaktif dari kerentanan. Ketiga, penemuan generasi pertama penatalaksanaan
"somatik" (yaitu, ECT dan antidepresan TCA dan MAOI) pada tahun 1940-an dan 1950-an
menunjukkan target neurobiologis yang berpotensi reversibel untuk intervensi. Metodologi
untuk mempelajari neurobiologi gangguan suasana perasaan telah berkembang lebih canggih,
penelitian yang menggunakan indikator tidak langsung dari fungsi otak, seperti kadar
metabolit monoamine atau kortisolurin, plasma, atau CSF, sebagian besar telah digantikan
oleh penelitian yang dipandu secara translasi dari transkrip gen dan proteomik. Demikian
juga, pengukuran kasar fungsi regional otak , seperti rekaman potensi yang ditimbulkan atau
pola aktivitas electroencephalographic (EEG) saat bangun dan tidur, sebagian besar telah
memberikan cara untuk strategi neuroimaging yang memungkinkan aktivitas daerah atau
sirkuit saraf tertentu untuk diperiksa saat istirahat dan selama tantangan provokatif.(Sadock,
2017)
Perubahan dalam aktivitas saraf dan dalam efisiensi pemrosesan informasi dalam
masing-masing dari sebelas daerah otak yang ditunjukkan di sini dapat menyebabkan gejala
episode depresi besar. Fungsionalitas di setiap wilayah otak secara hipotesis dikaitkan dengan
konstelasi gejala yang berbeda. PFC, korteks prefrontal; BF, otak depan basal; S, striatum;
NA, nucleus accumbens; T, talamus; Hy, hipotalamus; A, amygdala; H, hippocampus; NT,
pusat neurotransmitter batang otak; SC, sumsum tulang belakang; C, serebelum.(Stahl,
2013)(Sadock, 2017)
18
Gambar 4. Gejala depresi dan sirkuit di otak.(Stahl, 2013)(Sadock, 2017)
Tanda-tanda, gejala, dan pengalaman subjektif yang terkait dengan depresi telah lama
terkait disfungsi proses sistem saraf pusat dasar (SSP). Sehubungan dengan fungsi kortikal,
depresi melibatkan beberapa gangguan pemrosesan informasi. Kebanyakan orang yang
depresi secara otomatis menafsirkan pengalaman dari perspektif negatif, dan aksesnya ke
memori negatif. Keadaan depresi yang lebih parah, kognisi dan keterampilan pemecahan
masalah semakin lengkapi dengan konsentrasi yang buruk dan menurunnya kemampuan
untuk menggunakan pemikiran abstrak. Sebuah monolog virtual pikiran dan gambar negatif
tampaknya berjalan dengan autopilot, dan, tidak seperti keadaan normal kesedihan, ventilasi
ke orang kepercayaan memiliki sedikit efek yang menguntungkan. Pada kasus yang lebih
ekstrim, delusi atau halusinasi, atau keduanya, benar-benar mendistorsi pengujian realitas.
Perubahan neurokognitif ini menunjukkan disfungsi yang melibatkan hipokampus,
korteksprefrontal(PFC), amigdala dan struktur limbik lainnya.
Karakteristik depresi berdasarkan biologis lainnya melibatkan penurunan minat dan
hilangnya reaktivitas suasana hati: Aktivitas yang spontan, tujuan yang disutradarai menurun,
dan peristiwa yang seharusnya meningkatkan suasana perasaan memiliki sedikit atau tidak
19
berpengaruh sama sekali. Satu berkorelasi kehilangan minat adalah penurunan arti penting
penguatan. Bahkan fungsi dasar seperti nafsu makandan libido berkurang dalam depresi
berat. Anhedonia dan penurunan titik perilaku nafsu makan untuk disfungsi sirkuit saraf yang
terlibat dalam antisipasi dan penyempurnaan penghargaan, yang melibatkan thalamus,
hipotalamus, nukleus akumbens, anterior cingulate, dan PFC.(Sadock, 2017)(Marwick K. ,
2013)
Tingkat depresi yang lebih berat dan persisten, termasuk yang diklasifikasikan
sebagai gangguan depresi mayor, berhubungan dengan gangguan neurobiologis yang luas,
yang pada gilirannya terkait dengan setidaknya beberapa perbedaan yang diamati dalam
presentasi klinis dan respons terhadap perawatan khusus. Beberapa gangguan lebih baik
dipahami sebagai sifat, yang mungkin diwariskan atau diperoleh, sedangkan yang lain jelas
tergantung pada tingkatan dan dapat dipulihkan dengan pengobatan atau remisi spontan.
Beberapa kelainan yang bergantung pada tingkatan terkait dengan gangguan depresi mayor,
yang terjadi lebih sering pada pasien yang lebih tua dengan gejala yang lebih berat, termasuk
peningkatan tidur faseRapid Eye Movements (REM), pemeliharaan tidur yang buruk,
hiperkortisolisme, gangguan imunitas seluler, penurunan aliran darah otak anterior dan
metabolisme glukosa, dan peningkatan metabolisme glukosa di amigdala. Bersama-sama,
perubahan ini tampaknya mencerminkan efek progresif dari respons jangka pendek adaptif
terhadap stres berkelanjutan. Begitu bermanifestasi dalam bentuk ini, episode depresi berat
atau depresi melankolis cenderung lebih lama, lebih melumpuhkan, lebih mudah kambuh,
dan lebih mungkin mendapat manfaat dari farmakoterapi atau ECT (vis-à-vis nonspesifik atau
intervensi psikoterapi).(Sadock, 2017)(Friedman, 2014)
Hipotesis di neurotropik dari tingkat depresi dinyatakan bahwa depresi dapat
disebabkan oleh turunnya sintesis protein yang terlibat dalam neurogenesis dan plastisitas
sinaptik.Salah satu mekanisme kandidat yang telah diusulkan sebagai tempat kemungkinan
20
cacat dalam transduksi sinyal dari reseptor monoamina dalam depresi adalah gen target untuk
faktor neurotropik yang diturunkan dari otak (BDNF). Biasanya, BDNF menopang
kelangsungan hidup neuron otak, tetapi di bawah tekanan, gen untuk BDNF dapat ditekan.
Stres dapat menurunkan level 5HT dan dapat meningkat secara akut, kemudian secara kronis
berkurang, baik NE dan DA. Perubahan neurotransmiter monoamine bersama dengan jumlah
BDNF yang kurang dapat menyebabkan atrofi dan kemungkinan apoptosis neuron yang
rentan di hippocampus dan area otak lainnya seperti prefrontal cortex. Konsep tentang atrofi
hippocampal yang telah dilaporkan berkaitan dengan stres kronis dan depresi mayor dan
berbagai gangguan kecemasan, terutama PTSD. Untungnya, beberapa kehilangan neuronal
ini bisa reversibel. Yaitu, pemulihan transduksi sinyal transduksi yang berhubungan dengan
monoamine oleh antidepresan dapat meningkatkan BDNF dan faktor trofik lainnya dan
berpotensi mengembalikan sinapsis yang hilang. Di beberapa area otak seperti hippocampus,
tidak hanya dapat sinaps berpotensi dipulihkan, tetapi ada kemungkinan bahwa beberapa
neuron yang hilang bahkan mungkin digantikan oleh neurogenesis.(Stahl, 2013)
Neuron dari daerah hipokampus dan amygdala biasanya menekan aksis hipotalamus-
hipofisis-adrenal, jadi jika stres menyebabkan neuron hippokampus dan amigdala menjadi
atrofi, dengan hilangnya input penghambatan ke hipotalamus, ini dapat menyebabkan untuk
overaktivitas sumbu HPA. Pada depresi, kelainan pada aksis HPA telah lama dilaporkan,
termasuk peningkatan kadar glukokortikoid dan ketidakpekaan sumbu HPA terhadap
penghambatan umpan balik. Beberapa bukti menunjukkan bahwa glukokortikoid pada tingkat
tinggi bahkan bisa menjadi racun bagi neuron dan berkontribusi pada atrofi mereka di bawah
tekanan kronis. Pengobatan antidepresan baru dalam pengujian yang menargetkan reseptor
corticotropin-releasing factor 1 (CRF-1), reseptor vasopresin 1B, dan reseptor
glukokortikoid, dalam upaya untuk menghentikan dan bahkan membalikkan kelainan HPA
ini pada depresi dan stres lainnya. terkait penyakit kejiwaan.(Stahl, 2013).
21
Peningkatan aktivitas HPA adalah ciri respons stres mamalia dan salah satu hubungan
paling jelas antara depresi dan biologi stres kronis. Hiperkortisolemia pada depresi
menunjukkan satu atau lebih gangguan sentral berikut: penurunan tonus 5-HT penghambatan;
peningkatan drive dari NE, ACh, atau CRH; atau penurunan inhibisi umpan balik dari
hippocampus.
Bukti peningkatan aktivitas HPA terlihat pada 20 hingga 40 persen pasien rawat jalan
yang depresi dan 40 hingga 60 persen pasien rawat inap yang depresi. Pasien yang lebih tua,
terutama mereka dengan gangguan depresi yang sangat berulang atau psikotik, adalah yang
paling mungkin untuk menunjukkan peningkatan aktivitas HPA. Meskipun hypercortisolism
adalah salah satu korelasi biologis terbaik dari melankolis atau depresi endogen, hampir tidak
ada kelainan spesifik. Misalnya, periode singkat kelaparan atau beberapa minggu kurang
tidur secara parsial dapat menyebabkan hiperkortisolisme pada orang yang sehat.(Sadock,
2017)
Subkelompok pasien depresi yang lebih besar (20 hingga 30 persen) menunjukkan
respons TSH yang tumpul terhadap tantangan TRH. Jenis respons ini biasanya menunjukkan
hipertiroidisme, namun beberapa pasien depresi memiliki peningkatan hormon tiroid yang
signifikan secara klinis. Respons TSH yang tumpul pada orang eutiroid dapat diakibatkan
oleh penurunan regulasi hipofisis akibat peningkatan TRH ―drive.‖ Karena neuron yang
mengandung TRH telah diidentifikasi dalam berbagai daerah kortikal, kelainan ini mungkin
memiliki asal suprahypothalamic. Peningkatan sekresi TRH sentral, pada gilirannya, dapat
dihasilkan dari respon homeostasis terhadap penurunan neurotransmisi noradrenergik.
Manfaat terapeutik terapi ajuvan dengan 1-triiodothyronine (T3) atau hormon tiroid lainnya
dapat dimediasi oleh peredam respon homeostasis yang gagal ini. Kelainan ini mungkin
paling umum pada individu yang memiliki kemampuan untuk mengubah tiroksin menjadi T3.
Implikasi terapeutik utama dari respons TSH yang tumpul adalah bukti peningkatan risiko
22
kambuh meskipun terapi antidepresan preventif. Dari catatan, tidak seperti tes penekanan
deksametason (DST), respons TSH tumpul terhadap TRH sering tidak menormalkan dengan
pengobatan yang efektif.(Sadock, 2017)
2.5.2. Teori kognitif
Teori belajar telah lama menjadi cabang psikologi perilaku. Aaron Beck, menemukan
bahwa teori psikoanalitik tidak cukup menjelaskan mimpi pasien depresi, mengembangkan
teori depresi berdasarkan mendidik pasien tentang pemikiran negatifnya, atau kognisi. Beck
dan rekannya kemudian berhasil menguji CBT, sebuah perawatan yang dibangun di atas teori
ini, dalam uji klinis. Model kognitif didasarkan pada pengakuan bahwa orang tidak objektif;
sebaliknya, persepsi idiosinkratik individu tentang peristiwa memengaruhi emosi dan
perilakunya. Individu yang depresi merasakan realitas dengan cara tertekan yang subjektif.
Pembahasan yang rumit tentang teori kognitif ada, dan penjelasan kognitif telah diperpanjang
dari asal depresif awal mereka ke berbagai psikopatologi. Brad Alford dan Beck berpendapat
bahwa teori kognitif memberikan paradigma yang komprehensif dan koheren untuk
psikopatologi.
Observasi awal Beck tentang depresi besar memiliki arti-penting dan kesederhanaan
yang patut diulang. Dia mencatat bahwa pasien yang depresi cenderung memiliki pikiran
miring dan negatif tentang :
1) diri mereka sendiri,
2) lingkungan mereka, dan
3) masa depan, suatu klaster yang ia disebut trias kognitif.
Teori kognitif telah mengeksplorasi bentuk serta isi karakteristik berpikir pasien
depresi. Tidak hanya kognisi yang condong ke negatif dan pesimis, tetapi jenis distorsi
tertentu terjadi. Orang yang depresi cenderung terlibat dalam "semua atau tidak sama sekali,"
23
pemikiran dikotomi: Jika segala sesuatu tidak sepenuhnya satu arah, maka mereka harus
menjadi lawan. Individu yang depresi membuat kesimpulan yang tidak berdasarkan akal
sehat (negatif) tentang peristiwa, secara selektif mendeskripsikan detail negatif di luar
konteks, generalisasi berlebihan (menyimpulkan aturan negatif dari satu kejadian),
memperbesar (negatif) dan meminimalkan (yang positif), dan mengambil peristiwa pribadi
yang mungkin tidak secara langsung tentang mereka.
Terapi kognitif, penatalaksanaan yang mengikuti dari pendekatan ini, termasuk
diskusi Socrates dan evaluasi pikiran pasien, menimbang bukti yang mendukung dan
bertentangan dengan pemikiran tersebut. Pasien secara aktif menguji hipotesis berdasarkan
pemikiran otomatis (―Saya akan gagal pada apa pun yang saya lakukan‖) dengan mencoba
berbagai perilaku yang dipilih sebagai pekerjaan rumah. Ketika pasien belajar untuk
mengenali sifat irasional dari pemikiran depresif, dia dapat menantang dan bukan sekadar
memercayainya dan dapat mulai memadamkan pemikiran tersebut, menggantikan pemikiran
irasional otomatis dengan tanggapan rasional. Hasil penelitian berulang kali menunjukkan
bahwa pendekatan ini berkhasiat dalam mengobati gangguan mood dan sindrom kejiwaan
lainnya.(Sadock, 2017), (Friedman, 2014)
Memang, individu yang depresi sering melaporkan pemikiran negatif tentang diri
mereka sendiri: "Saya pecundang," "Semua yang saya lakukan salah," "Saya lemah dan
rusak." Lingkungan tampak bermusuhan dan luar biasa: "Bahkan jika saya merasa mampu—
yang tidak saya lakukan — tidak mungkin saya bisa mengatasi apa yang harus saya lakukan
‖; ―Teman-teman saya akan bereaksi buruk jika saya mencoba berbicara‖; ―Dia akan menolak
saya.‖ Akhirnya, bukan hanya hal-hal yang terlihat suram di masa sekarang, tetapi tidak ada
prospek yang melegakan di masa depan: ―Tidak akan pernah menjadi lebih baik.‖ Ketiga
aspek dari perspektif negatif ini bertemu untuk menyediakan secara meyakinkan, pandangan
dunia yang suram dan putus asa. Pandangan ini membantu menjelaskan mengapa pasien
24
depresi tidak melihat jalan keluar dari kesengsaraan dan memikirkan untuk bunuh diri. Model
kognitif, yang dikembangkan oleh Aaron Beck di University of Pennsylvania, berhipotesis
bahwa berpikir sepanjang garis negatif (misalnya, berpikir bahwa seseorang tidak berdaya,
tidak layak, atau tidak berguna) adalah ciri khas depresi klinis. Akibatnya, depresi
didefinisikan ulang dalam hal trias kognitif, yang menurut pasien menganggap diri mereka
tidak berdaya, menafsirkan sebagian besar peristiwa yang tidak menguntungkan vis-à-vis the
self, dan percaya masa depan menjadi putus asa. Dalam formulasi terbaru dalam psikologi
akademis, kognisi ini dikatakan dicirikan oleh gaya atribusi negatif yang bersifat global,
internal, dan stabil dan yang ada dalam bentuk skema mental laten yang menghasilkan
interpretasi bias dari peristiwa kehidupan. Karena model kognitif didasarkan pada
pengamatan retrospektif dari orang yang sudah depresi, hampir tidak mungkin untuk
membuktikan bahwa atribusi kausal seperti skemata mental negatif mendahului dan, oleh
karena itu, predisposisi untuk depresi klinis; mereka dapat dengan mudah dianggap sebagai
manifestasi subklinis depresi. Kepentingan teoritis dari model kognitif terletak pada jembatan
konseptual yang disediakan antara model depresi egopsikologis dan perilaku. Hal ini juga
menyebabkan sistem psikoterapi baru dan diterima secara luas yang mencoba untuk
mengubah gaya atribusi negatif, untuk meringankan keadaan depresi, dan, akhirnya, untuk
membentengi pasien dari penyimpangan di masa depan menjadi berpikir negatif, putus asa,
dan depresi.(Sadock, 2017).(Friedman, 2014)
2.5.3. Teori interpersonal
Teori interpersonal berasal dari era setelah Perang Dunia II, ketika muncul sebagai
respons sesat terhadap penekanan psikoanalisis yang lebih intrapsikis. Teori psikoanalitik
menekankan pentingnya pengalaman hidup awal, dan banyak terapis pada waktu itu melihat
struktur psikis pasien sebagai dasarnya dibentuk pada akhir masa remaja. Psikiater seperti
25
Adolf Meyer, Harry Stack Sullivan, Erich Fromm, dan Frieda Fromm-Reichmann menantang
teori saat ini dengan menekankan pengaruh dampak nyata dari peristiwa kehidupan saat ini
pada psikopatologi pasien mereka, yang berfokus pada pertemuan lingkungan dan
interpersonal daripada intrapsychic yang mendasarinya. drive dan struktur.
Sullivan menciptakan istilah "interpersonal" sebagai rubrik untuk mempertimbangkan
pengalaman hidup saat ini. Dia meneliti komunikasi di bidang sosial, pandangan yang lebih
"eksternal" daripada psikoanalisis tradisional.
Para peneliti mengembangkan sejumlah data terkait tentang masalah interpersonal
yang terkait dengan depresi. Sebagai contoh, penelitian menunjukkan bahwa dukungan
antarpribadi melindungi seseorang terhadap depresi: Memiliki orang yang dapat dipercaya
untuk berbicara mengurangi risiko mengembangkan episode depresi. Pemicu utama
kehidupan, termasuk kematian orang lain yang signifikan, perjuangan dalam hubungan
penting, dan pergolakan seperti perubahan status perkawinan, perumahan, status pekerjaan,
atau kesehatan fisik telah terbukti meningkatkan risiko episode depresi pada individu yang
rentan. Selain itu, onset episode depresif menyebabkan kerusakan dalam hubungan dan
fungsi sosial.
John Bowlby mendalilkan bahwa orang-orang memiliki dorongan insting yang
evolusioner untuk membentuk ikatan emosional. Bukti binatang sekarang mendukung teori
ini. Komponen dasar dari sifat manusia ini menjamin kelangsungan hidup bayi: Anak-anak
harus memiliki orang tua terdekat atau tersedia untuk makan dan perlindungan. Ketika anak-
anak berkembang, mereka mulai mengeksplorasi lingkungan mereka, secara bertahap
bergerak keluar dari "basis aman" dari sosok lampiran mereka. Gangguan dalam hubungan
pengasuhan awal ini dapat menyebabkan kerentanan gaya lampiran. Misalnya, kehilangan ibu
seseorang di dekade pertama kehidupan telah terbukti menjadi faktor risiko untuk depresi
berikutnya. Anak-anak dengan keterikatan masa kecil yang tidak aman mungkin tidak belajar
26
untuk meminta bantuan dari orang lain. Ketika individu yang rentan menghadapi stressor atau
merasa tidak adanya atau tidak memadainya dukungan interpersonal selama masa stres,
mereka mungkin tidak berdaya untuk merespons secara efektif dan rentan untuk
mengembangkan gejala. Lebih jauh lagi, individu dengan gaya keterikatan yang tidak aman
mungkin mengalami kesulitan dalam mengembangkan hubungan yang nyaman di mana
mereka dapat mengandalkan dukungan pada saat dibutuhkan.(Sadock, 2017),(Friedman,
2014)
2.5.4. Teori Psikoanalitik
Fitur umum untuk banyak teori psikoanalitik depresi termasuk perasaan kerentanan
narsistik yang indah yang berasal dari berbagai sumber, termasuk kehilangan awal atau
pengalaman dengan orang tua dirasakan sebagai traumatis unempathic, frustasi, atau
menolak. Rasa tidak berdaya atau ketidakmampuan dalam kaitannya dengan pengalaman-
pengalaman ini, disertai fantasi kerusakan atau pengebirian, dapat berkontribusi pada
kerentanan ini. Kerusakan yang dihasilkan dalam regulasi self-esteem adalah umum untuk
semua pasien yang depresi, yang rentan terhadap citra diri yang tidak mudah dicintai, rusak,
atau tidak memadai.
Pasien depresi merasa bahwa mereka gagal memenuhi ambisi mereka atau nilai moral
mereka dalam ego ideal, mekanisme intrapsik yang memicu rasa bersalah dalam depresi.
Banyak psikoanalis yang berhipotesis bahwa agresi yang diakibatkannya terhadap orangtua
yang frustasi, atau terhadap diri sendiri sebagai rusak, berkontribusi secara meyakinkan
terhadap kecenderungan terhadap depresi. Pada pasien yang depresi, agresi sebagian besar
diarahkan sendiri. Rasa bersalah (sadar atau tidak sadar) atau rasa malu secara teoretis
dihasilkan dari perasaan gagal yang dirasakan pasien, dengan perasaan diri yang berkurang.
Kesulitan dalam pengaturan harga diri berkontribusi pada representasi diri menjadi "buruk"
27
atau memalukan di luar kendali, memperparah masalah asli dalam lingkaran setan.(Sadock,
2017)(Friedman, 2014)
Respon terhadap kehilangan / Kemarahan ke Dalam
Pemahaman psikoanalitik klasik tentang depresi dinyatakan oleh Karl Abraham, Freud,
dan Sandor Rado dan menekankan reaksi pasien yang depresi terhadap kehilangan objek,
dalam kenyataan atau dalam fantasi. Dalam formulasi-formulasi ini, respons yang sangat
besar terhadap kehilangan diyakini terjadi sebagian karena kerugian saat ini memicu
kerugian sebelumnya, kehilangan masa kanak-kanak, juga baik dari alam fantasi atau
realitas. Para penulis ini mencatat hubungan objek ambivalen atau bermusuhan pasien
yang lemah, bersama dengan lampiran objek yang ditandai oleh ketergantungan
berlebihan, ditandai dengan penekanan pada kebutuhan kepuasan dalam hubungan
emosional. Depresi besar hanya terjadi setelah ikatan ke objek hancur. Dalam Mourning
and Melancholia, Freud menyoroti cara di mana pasien depresi secara irasional
menyerang diri mereka sendiri. Dalam formulasinya, ini terjadi karena aspek objek
ambivalen menjadi terinternalisasi, atau dimasukkan, ke dalam rasa diri pasien, dan
permusuhan yang diarahkan ke objek justru diarahkan pada diri. Keadaan ini berfungsi
untuk mempertahankan hubungan dengan orang lain (objek) dalam kenyataan.
Merasa bersalah (Guilt)
Melanie Klein mendalilkan bahwa pasien yang depresi takut bahwa mereka tidak dapat
melindungi "yang lain" yang diidealkan, atau yang baik, yang diinternalisasi dari
kerusakan, impuls yang penuh kemarahan. Meskipun menekankan sisi yang berbeda dari
depresi mayor, pandangan ini bertepatan dengan fokus Freud pada penghancuran ikatan
objek pada depresi mayor. Akibatnya, karakteristik pasien depresi yaitu rasa bersalah,
penghambatan, dan berkembangnya superego yang menghukum. Namun, tidak semua
depresi ditandai oleh rasa bersalah yang berlebihan, dan deskripsi Klein hanya berlaku
28
untuk subset pasien ini. Klein juga menyoroti bahaya bahwa pasien yang depresi
memprediksikan ―kemenangan‖ atas orang tua atau saudara kandung melalui kesuksesan
hidup apa pun: Keberhasilan dialami sebagai penghinaan yang agresif terhadap orang
yang dicintai atau sebagai perusakan kepada orang lain. Klein berteori bahwa idealisasi
dan devaluasi adalah "pertahanan manik" melawan rasa bersalah dan rasa kehilangan
yang dialami dalam depresi.
Penurunan dalam Regulasi Self-Esteem
Ciri umum pasien dengan depresi berat adalah hilangnya harga diri. Namun kehilangan
harga diri dapat terjadi tanpa adanya depresi. Edward Bibring tidak setuju dengan
formulasi Klein yang menekankan pentingnya superego hukuman dan berpendapat
bahwa konflik tentang agresi dan kehilangan objek adalah penentu sekunder dalam
depresi. Dia memandang depresi sebagai akibat dari perasaan tidak berdaya, gangguan
harga diri, dan kemarahan yang diarahkan sendiri yang dipicu oleh kegagalan untuk
hidup sesuai dengan aspirasi narsistik dari setiap fase perkembangan.Brenner
menyatakan bahwa fantasi-fantasi ini disertai dengan agresi reaktif terhadap orang-orang
yang disalahkan atas pengaruh menyakitkan, dengan konsekuensi rasa bersalah.Banyak
psikoanalis kontemporer memperkuat model-model ini dalam pemahaman mereka
tentang depresi, sementara mengakui pentingnya regulasi harga diri yang lemah. Edith
Jacobson menekankan pengembangan representasi diri dan objek pada pasien depresi.
Dia mencatat kekecewaan pasien depresi dengan angka orang tua, yang mengakibatkan
devaluasi dan degradasi citra mereka dan representasi diri, terutama ketika pemisahan
yang matang belum tercapai.
Kekurangan dari Caregiver Awal
Psikoanalis telah memberikan pribadi, wajah intrapsikik ke pengamatan epidemiologi
terkenal tentang hubungan antara depresi orangtua (terutama ibu) dan depresi berikutnya
29
pada anak-anak. Hans Kohut menggambarkan depresi terkait dengan pengalaman
kekosongan mendalam pada pasien yang orang tuanya tidak dapat berempati dengan
pengalaman afektif awal mereka. Begitulah yang terjadi, karena banyak orang tua dari
pasien yang depresi itu sendiri mengalami depresi. Pasien-pasien ini mendambakan
hubungan kompensasi (hubungan "selfobject", pengalaman mirroring, dan hubungan
idealisasi), membuat mereka rentan terhadap kekecewaan, karena hubungan nyata tidak
dapat memenuhi fantasi kompensasi ini.(Sadock, 2017)(Friedman, 2014)
Gambar 5. Ringkasan pengobatan lini pertama untuk depresi (NICE Guidelines
2009).(Marwick K. , 2013)
Gangguan depresi mayor biasanya merupakan gangguan episode depresi berulang
daripada satu episode. Beberapa pilihan pengobatan tersedia untuk menangani pasien dengan
gangguan depresi mayor dan daftar perawatan terus berkembang.
Depresi adalah self-limiting, dan tanpa pengobatan episode depresi pertama umumnya
akan membaik dalam waktu 6 bulan sampai 1 tahun. Namun, jalannya depresi sering kronis
dan kambuh dan sekitar 80% pasien mengalami episode depresi lebih lanjut, dengan risiko
episode masa depan meningkat dengan setiap kekambuhan. Depresi adalah salah satu faktor
risiko paling penting pada kejadian bunuh diri; tingkat bunuh diri lebih dari 20 kali lebih
30
besar pada pasien dengan depresi dibandingkan dengan mereka pada populasi
umum.(Sadock, 2017),(Marwick K. , 2013).
31
BAB III
RINGKASAN
Gangguan mood atau ‗gangguan afektif‘ adalah istilah yang sekarang banyak
diterapkan pada berbagai kondisi umum di mana gejala yang paling menonjol adalah
peningkatan atau depresi suasana hati.Gangguan mood sering disebut gangguan afektif,
karena afek adalah tampilan eksternal dari suasana hati, emosi yang dirasakan secara internal.
Secara umum, dua jenis gangguan afektif utama dapat dibedakan: (1) Depresi besar gangguan
(MDD), terutama ditandai oleh suasana hati rendah (perasaan sedih dan putus asa); (2)
gangguan bipolar (BP), ditandai dengan episode depresif dan periode mania atau
hipomania.Gangguan depresi secara umum ditandai dengan adanya suasana hati yang sedih,
kosong, atau mudah tersinggung dan berbagai perubahan somatik dan kognitif
lainnya.Depresi saat ini merupakan kondisi medis yang paling mematikan keempat di dunia
dan diprediksi menjadi yang kedua setelah penyakit jantung iskemik.
Depresi adalah gangguan dengan penyebab multifaktorial, genetika, pola asuh awal
dan kepribadian dapat meningkatkan kerentanan terhadap depresi, dengan episode yang
timbul tergantung pada tingkat stres akut dan kronis yang dialami. Depresi ditandai dengan
gejala yang umumnya terbagi dalam dua kategori: psikologis, dan somatik (atau fisik).
Pada depresi atipikal, didapati sulit memulai tidur iritabilitas, hipersomnolen, dan
kelelahan di siang hari. ICD-10 telah menetapkan pedoman diagnostik tertentu untuk
mendiagnosis episode depresif. Durasi minimum episode adalah 2 minggu dan setidaknya
dua dari tiga gejala depresi, kehilangan minat atau kesenangan dan peningkatan kelelahan
harus ada. Episode depresif dapat dinilai ringan, sedang atau berat tergantung pada jumlah
dan keparahan gejala. Pada DSM-5 diagnosis gangguan depresi utama membutuhkan salah
satu dari berikut: (1) suasana hati disforik atau (2) penurunan minat dalam kegiatan biasa.
32
Gejala seperti itu harus dipertahankan setidaknya selama 2 minggu, dan tidak dapat
dijelaskan dengan proses lain yang diketahui menyebabkan gejala depresi, seperti berkabung
normal, kondisi fisik tertentu yang umumnya terkait dengan depresi, atau gangguan mental
lainnya. Ini bisa menjadi satu episode atau, umumnya, berulang, atau keduanya. Berdasarkan
DSM-5, Gangguan depresi meliputi disruptive mood dysregulation, gangguan depresi mayor,
gangguan depresi persisten (distimia), premenstual dysphoric disorder, substance/
medication-induce depressive disorder, gangguan depresi yang berhubungan dengan kondisi
medis lainnya, gangguan depresi yang tidak spesifik, dan gangguan depresi yang tidak
tergolongkan.Gejala depresi sering dijumpai pada orang yang sakit secara medis. Dalam
beberapa kasus, peristiwa kehidupan yang penuh stres dapat menjadi faktor yang
berkontribusi terhadap timbulnya penyakit yang bermanifestasi dengan depresi (misalnya
hipertiroidisme).
Patogenesis gangguan mood terkait dengan proses neurobiologis tertentu,dasar-dasar
neurobiologi depresi mungkin terkait dengan gen tertentu. Penelitian yang menggunakan
indikator tidak langsung dari fungsi otak, seperti kadar metabolit monoamine atau
kortisolurin, plasma, atau CSF, dan juga dikembangkan penelitian tentang translasi dari
transkrip gen dan proteomik.Hipotesis di neurotropik dari tingkat depresi dinyatakan bahwa
depresi dapat disebabkan oleh turunnya sintesis protein yang terlibat dalam neurogenesis dan
plastisitas sinaptik.kemungkinan cacat dalam transduksi sinyal dari reseptor monoamina
dalam depresi adalah gen target untuk faktor neurotropik yang diturunkan dari otak
(BDNF).Stres dapat menurunkan level 5HT dan dapat meningkat secara akut, kemudian
secara kronis berkurang, baik NE dan DA. Perubahan neurotransmiter monoamine bersama
dengan jumlah BDNF yang kurang dapat menyebabkan atrofi dan kemungkinan apoptosis
neuron yang rentan di hippocampus dan area otak lainnya seperti prefrontal korteks. Konsep
33
tentang atrofi hippocampal yang telah dilaporkan berkaitan dengan stres kronis dan depresi
mayor.
Teori kognitif telah mengeksplorasi bentuk serta isi karakteristik berpikir pasien
depresi. Tidak hanya kognisi yang condong ke negatif dan pesimis, tetapi jenis distorsi
tertentu terjadi.Terapi kognitif, penatalaksanaan yang mengikuti dari pendekatan ini,
termasuk diskusi Socrates dan evaluasi pikiran pasien, menimbang bukti yang mendukung
dan bertentangan dengan pemikiran tersebut.
Para peneliti mengembangkan sejumlah data terkait tentang masalah interpersonal
yang terkait dengan depresi. Sebagai contoh, penelitian menunjukkan bahwa dukungan
antarpribadi melindungi seseorang terhadap depresi. Pemicu utama depresi dalam kehidupan,
termasuk kematian orang yang sangat berarti, masalah perkawinan, ekonomi, atau kesehatan
fisik telah terbukti meningkatkan risiko episode depresi pada individu yang rentan. Selain itu,
onset episode depresif menyebabkan kerusakan dalam hubungan dan fungsi sosial.Teori
psikoanalitik menekankan pentingnya pengalaman hidup awal dan masa remaja, respon
terhadap kehilangan / kemarahan ke dalam, merasa bersalah (Guilt), penurunan Self-Esteem,
Depresi adalah self-limiting, dan tanpa pengobatan episode depresi pertama umumnya
akan membaik dalam waktu 6 bulan sampai 1 tahun. Namun, jalannya depresi sering kronis
dan kambuh dan sekitar 80% pasien mengalami episode depresi lebih lanjut, dengan risiko
episode masa depan meningkat dengan setiap kekambuhan. Depresi adalah salah satu faktor
risiko paling penting pada kejadian bunuh diri; tingkat bunuh diri lebih dari 20 kali lebih
besar pada pasien dengan depresi dibandingkan dengan mereka pada populasi
umum.Gangguan depresi mayor biasanya merupakan gangguan episode depresi berulang
daripada satu episode. Beberapa pilihan pengobatan tersedia untuk menangani pasien dengan
gangguan depresi mayor dan daftar perawatan terus berkembang.
34
DAFTAR PUSTAKA
Friedman, Edward S.; Anderson, Ian M, 2014. Handbook of Depression, second Edition.
London : Springer Healthcare, a part of Springer Science+Business Media.pp:1-29
Ellenbroek, Bart; Youn, Jiun, 2016. Affective Disorders in Gene-Environment Interactions in
Psychiatry, Nature, Nurture, Neuroscience. London : Elsevier Inc. pp:173-183
Isometsa, Erkki. 2014. Suicidal Behaviour in Mood Disorders-Who, When, and Why?
CanJPsychiatry. 59(3). pp:120–130
Marwick,K; Birrel,M., 2013. The Mood (Affective) Disorders in Crash Course Psychiatry,
4th
Edition. Edinburgh : Elsevier Ltd. Pp:133-137
Stahl, Stephen M.; Muntner, Nancy, 2013. Mood Disorders in Stahl‘s Essential
Psychopharmacology, Neuroscientific Basis and Practical Application, 4th
edition.
New York : Cambridge University Press. Pp:237-282
Sadock, Benjamin J.; Sadock, Virginia A.; et al, 2017. Mood Disorders in Comprehensive
Textbook of Psychiatry, Volume I/II, 10th
edition. Philadelphia : Wolters Kluwer. pp:
4099-4403
APA, 2013. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, 5th
edition. Washington
DC : American Psychiatric Association. pp: 160-161
B.Mansur, Rodrigo; Brietzke, Elisa; McIntyre, Roger S., 2015. ―Is there Metabolic-Mood
Syndrome? A review of the Relationship between obesity and mood disorders.
Neuroscience and Biobehavioral Reviews. J.neubiorev.12.017. pp:5
35
Cosci, Fiammeta; Fava, Giovanni A.; Sonino, Nicoletta, 2014. Mood and Anxiety Disorders
as Early Manifestations of Medical Illness : A Systematic review. Psychotherapy and
Psychosomatics article. 84:22–29
Johnstone, Eve C; Owens, David Cunningham; et al, 2010. Mood Disorders in Companion to
Psychiatric Studies, 8th
Edition. Edinburgh : Elsevier Ltd. Pp:427-449
Serafini, Gianluca; Gonda, Xenia, et al, 2017. Possible predictors of Age at illness onset and
illness duration in a cohort study comparing younger adults and older major affective
patients. Journals of Affective Disorders (225). pp:691–701
Recommended