Dialek Regional

Preview:

DESCRIPTION

dialek

Citation preview

Dialek regional

Dialek (bahasa Yunani: διάλεκτος, dialektos), adalah varian dari sebuah bahasa menurut

pemakai. Berbeda dengan ragam bahasa yaitu varian dari sebuah bahasa menurut pemakaian.

Variasi ini berbeda satu sama lain, tetapi masih banyak menunjukkan kemiripan sehingga belum

pantas disebut bahasa yang berbeda.

Biasanya pemerian dialek adalah berdasarkan geografi, namun bisa berdasarkan faktor lain,

misalkan faktor sosial.

Sebuah dialek dibedakan berdasarkan kosa kata, tata bahasa, dan pengucapan (fonologi,

termasuk prosodi). Jika pembedaannya hanya berdasarkan pengucapan, maka istilah yang tepat

ialah aksen dan bukan dialek.

Jenis dialek[sunting | sunting sumber]

Berdasarkan pemakaian bahasa, dialek dibedakan menjadi berikut[1]:

Dialek regional: varian bahasa yang dipakai di daerah tertentu. Misalnya, bahasa

Indonesia dialek Ambon, dialek Jakarta, atau dialek Medan.

Dialek sosial: dialek yang dipakai oleh kelompok sosial tertentu atau yang menandai strata

sosial tertentu. Misalnya, dialek remaja.

Dialek temporal, yaitu dialek yang dipakai pada kurun waktu tertentu. Misalnya, dialek

Melayu zaman Sriwijaya dan dialek Melayu zaman Abdullah.

Idiolek , keseluruhan ciri bahasa seseorang yang khas pribadi dalam lafal, tata bahasa, atau

pilihan dan kekayaan kata.

Dialek Regional

oleh

Arkhelaus Wisnu, Diar Luthfi Khairina, Wulan Sari

 

Bahasa sebagai alat komunikasi manusia memiliki hubungan yang erat dengan wilayah

atau region. Kretzschmar (2011) membagi pengertian wilayah menjadi dua: sejumlah

area yang luar biasa secara fisik dan sifatnya, kondisi yang menunjukkan adanya

kesadaran diri dalam setiap orang yang tinggal di tempat tertentu. Jadi, pengertian

wilayah di sini tidak terbatas pada suatu area yang dibatasi oleh batas administrasi dan

geografi, melainkan suatu ruang dan waktu di mana pendudukanya berlaku atau

berinteraksi dalam suatu tempat dan secara fisik memiliki hubungan dalam interaksi

tersebut. Interaksi tersebut tidak hanya dengan sesama penduduknya, tetapi juga

lingkungannya sehingga terbentuk area budaya. Suatu tempat tanpa manusia, tidak

dapat menjadi area budaya jika hanya memiliki ciri-ciri fisik yang khusus, tetapi tidak ada

interaksi dengan lingkungan alamnya. Apabila kesadaran berinteraksi dan membentuk

lingkungan terbentuk dengan sendirinya, dinamakan area budaya asli.  Sementara itu,

jika dibentuk secara sengaja karena faktor politik atau kebutuhan bisnis disebut area

budaya sintetik atau buatan, misalnya Chicago Land yang terkenal keindahan alamnya,

dibuat khusus untuk wisata dengan tujuan promosi kebudayaan.

Zelinsky dalam Kretzschmar (Meshtrie, 2011) membagi wilayah kebudayaan Amerika

menjadi dua bagian, yaitu “older set” yang ia sebut sebagai wilayah tradisional dan

“voluntary region” yang ia sebut wilayah sukarela. Wilayah tradisional terbentuk dengan

sendirinya, stabil, dan dalam waktu lama sehingga lahirnya seseorang secara otomatis

menempatkannya pada suatu kasta, kelas, kependudukan, dan norma sosial tertentu.

Sementara itu, voluntary region atau wilayah sukarela sezaman dengan proses

modernisasi yang berlangsung di Utara Barat Eropa, ketika seseorang tidak memiliki

batas dalam dimensi ruang maupun waktu dan bebas perantara. Ruang tradisional dan

alokasi sosial layaknya lotre yang tergantikan secara berangsur-angsur oleh gaya hidup,

tujuan, relung sosial, dan tempat tinggal yang terseleksi dengan sendirinya. Wilayah

sukarela terbentuk secara spontan di sekitar wilayah penting, seperti kantor atau markas

militer, universitas, atau pantai. Dalam hal ini, Zelinsky memberi contoh kasus voluntary

region pada wilayah kota militer seperti San Diego, Colorado, Spring, dan Columbus. Fort

Benning sebagai negara bagian yang merupakan wilayah militer menguasi Columbus

yang merupakan kota besar dengan industri perbankan dan asuransi besar. Bisnis dan

pemasaran di sana berusaha menarik tentara Fort Benning. Columbus juga dijadikan

tempat tinggal atau beristirahat para tentara yang bekerja di Fort Benning. Jadi,

dalam voluntary region, individu yang bebas, dapat bergabung dan berpartisipasi dalam

suatu wilayah yang diinginkannya. Contoh lainnya adalah kota pelajar sebagai wilayah

pendidikan, di Indonesia misalnya Depok, sebagai wilayah pelajar karena di sana

terdapat beberapa perguruan tinggi, sementara itu, partisipannya dari berbagai wilayah,

baik yang menetap di sana, maupun yang berasal dari Jabodetabek sebagai penglaju

setiap harinya.

Zelinsky juga menambahkan satu tipe wilayah lagi, yaitu wilayah vernakular. Wilayah

vernakular atau persepsi dibentuk dengan sengaja dan hati-hati sebagai kombinasi atau

susunan mental suatu populasi. Wilayah vernakular dibangun sesuai tema yang ingin

diekspresikan, wilayah tersebut dapat dibuat sesuai dengan apa yang diinginkan.

Wilayah vernakular berkaitan dengan wilayah sukarela, tetapi lebih menekankan pada

ekspresi individu dalam menjadikan wilayahnya. Biasanya, wilayah vernakular dibentuk

secara sengaja sehingga memunculkan area budaya sintetis atau buatan. Jadi, wilayah

merupakan suatu konstruksi yang kompleks, karakter fisik dan sifat kebudayaan dari

suatu wilayah selalu berubah, tergantung hubungan dan persepsi masyarakatnya. Dalam

sosilinguistik, wilayah yang merupakan  kombinasi elemen budaya dalam suatu area

dengan kesadaran antarpartisipannya disebut masyarakat tutur atau speech community.

Bahasa merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan budaya wilayahnya, termasuk

wilayah tradisional. Hal tersebut seperti apa yang dikemukakan oleh Pederson dalam

Kretzschmaar (Meshtrie, 2011) bahwa terdapat hubungan antara wilayah dengan ciri-ciri

kebahasaan. Ciri-ciri kebahasaan yang ditemukan dalam wilayah tradisional dibangun

dari budayanya, tidak berdiri sendiri, dan batas-batas dari ciri kebahasaan tersebut tidak

hanya membatasi ciri kebahasaan, tetapi juga budayanya.

Dalam geografi linguistik yang muncul pada abad XIX, untuk mengidentifikasikan

distribusi ciri kebahasaan digunakan suatu garis, yaitu isoglos. Garis tersebut

memisahkan wilayah dengan dialek atau bahasa yang berbeda yang dinyatakan dalam

peta bahasa dan dikaji dalam dialektologi. Dialek regional muncul dalam kajian

sosiolingustik ini juga ditujukan untuk meneliti pola-pola bahasa atau penggunaan

bahasa yang berbeda antara suatu wilayah dengan wilayah lain, atau antara suatu

komunitas atau masyarakat tutur dalam suatu wilayah dengan wilayah lain. Tuturan dari

anggota masyarakat tutur merupakan objek primernya. Anggota masyarakat tutur dapat

dipilh untuk merepresentasikan struktur komunitas dalam suatu wilayah, seperti

tradisional atau modern, wilayah kecil atau wilayah urban sehingga dapat dilihat variasi

bahasanya. Struktur komunitas itu dapat menggambarkan hubungan antarkelompok

yang berbeda di berbagai wilayah, seperti wilayah tradisional, wilayah kecil, dan wilayah

lokal. Berdasarkan hal tersebut, kita dapat melakukan penelitian pola bahasa generasi

tua dengan generasi muda yang mungkin berubah akibat perubahan demografi suatu

wilayah, mendeskripsikan pola bahasa masyarakat urban dengan masyarakat lokal,

masyarakat di zona sekolah atau kampus dengan zona olahraga.  Di Indonesia, kita

dapat meneliti pola bahasa penduduk Cikarang generasi 70-an dengan 90-an yang

merupakan wilayah perindustrian, penelitian penggunaan kata sapaan masyarakat Beji,

Depok dengan masyarakat Cilangkap yang memiliki perbedaan zona. Beji, Depok

merupakan zona kampus UI, sedangkan Cilangkap merupakan zona militer, TNI AL.

Pembicaraan mengenai wilayah dalam sosiolinguistik merupakan hal yang sangat

penting karena wilayah, termasuk wilayah geografi memiliki peran sebagai tempat

membentuk pola bahasa. Kita dapat meneliti bahasa yang begitu multidimensi dengan

mengetahui wilayahnya. Oleh karena itu, di sinilah fungsinya penjelasan mengenai jenis-

jenis wilayah, seperti wilayah tradisional, voluntary atau sukarela, wilayah buatan,

wilayah vernacular atau perceptual yang berperan memunculkan variasi bahasa.

Variasi bahasa muncul dalam banyak cara. Salah satu karakteristik variasi tertentu

adalah penutur bahasa tertentu terkadang berbicara dengan dialek yang berbeda dari

bahasa tersebut. Misalnya, kata anak kecil pada bahasa Betawi disebut bocah. Namun,

pada bahasa Betawi Ora atau pinggiran anak kecil perempuan disebut wadon dan anak

kecil laki-laki disebut lanang. Hal tersebut menunjukkan adanya pengaruh bahasa Jawa

dalam bahasa Betawi tersebut. Variasi bahasa Betawi seperti ini dapat dilihat dalam

penelitian Rahayu (1988) berjudul Pemetaan Dialek Betawi Ora di Kecamatan Ciledug.

Pemetaan dialek secara regional (diakronis atau linguistik historis) merupakan bagian

mapan dari studi tentang bagaimana bahasa berubah dari waktu ke waktu. Contohnya

adalah bahasa Latin menjadi bahasa Perancis di Perancis, bahasa Spanyol di Spanyol,

bahasa Itali di Italia, dan sebagainya.

Perubahan bahasa dan variasi bahasa sangat dipengaruhi oleh waktu dan jarak. Dimensi

waktu dan jarak. Dalam dimensi waktu terdapat faktor-faktor sosial dan budaya yang

dapat mempengaruhi suatu bahasa. Misalnya, bahasa Melayu. Bahasa Melayu pada

masa kolonial dan sekarang tentu berbeda. Perubahan tersebut dipengaruhi situasi

sosial, politik, dan budaya yang berlangsung dari masa Kolonial sampai sekarang. Contoh

perubahan yang dipengaruhi jarak adalah bahasa Melayu di Semenanjung Malaka dan

bahasa Melayu di pesisir utara Jawa. Secara sosial, kedua bahasa tersebut berkerabat

karena merupakan bahasa perhubungan tetapi secara jarak kedua bahasa tersebut

terpisahkan oleh lautan yang luas. Bahasa Melayu di Malaka akan berubah menjadi

dialek Malaka dan bahasa Melayu di Jawa berubah menjadi dialek Melayu Jawa. Namun,

keduanya merupakan variasi bahasa dari bahasa Melayu.

Dalam penelitian dialek, digunakan isoglos sebagai alat bantu. Isoglos adalah garis yang

menunjukkan batas-batas geografis dari distribusi fitur linguistik tertentu. Renish Fan

merupakan salah satu isoglos terkenal di Eropa, yaitu bahasa Jerman rendah ke utara

dari Jerman tinggi ke selatan. Dalam membandingkan keduanya, Wardhaugh (2006)

memberikan contoh penggunaan konsonan [p, t, k]. Pada bahasa Jerman rendah,

konsonan [p, t, k] diletupkan, sedangkan pada Jerman tinggi (standard modern Jerman)

menjadi frikatif [f, x, s].

 

Kata Jerman rendah Jerman tinggi

‘make’ [makvn] [maxvn]

‘that’ [dat] [das]

‘village’ [dorp] [dorf]

‘I’ [ik] [ix]

 

Melalui garis isoglos pulalah didapatkan daerah-daerah yang disebut focal area, yaitu

daerah yang menjadi fokus dalam persebaran bahasa, relic area, yaitu wilayah yang

menunjukkan karakteristik yang tidak terpengaruh oleh perubahan yang menyebar dari

satu atau lebih daerah sekitarnya, misalnya bahasa Jawa yang ada di wilayah Lampung

yang muncul karena transmigrasi, dan transition area, yaitu wilayah abu-abu yang

perubahan bahasanya selalu tarik-menarik antara wilayah tetangganya, seperti bahasa

di Cirebon yang terpengaruh bahasa Sunda dan Jawa

DIALEK

A. Pengertian Dialek

Dialek biasa dikaitkan dengan semacam bentuk isolek yang substandar dan berstatus rendah. Konotasi negatif yang diberikan pada istilah dialek itu berkaitan dengan sudut pandang sosiolinguistis yang memperhitungkan penilaian penutur tentang keragaman isolek serta pemilihan sosial yang berkaitan dengan bahasa dan kelakuan berbahasa. Istilah tersebut sering dipertentangkan dengan istilah bahasa, yang merujuk pada isolek yang telah dibakukan dan menjadi sumber rujukan penilaian isolek lain yang setingkat dengannya, tetapi belum dibakukan. Dengan kata lain, dialek merupakan penilaian hasil perbandingan dengan salah satu isolek lainnya yang dianggap lebih unggul.

Menurut Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (1983), istilah dialek berasal dari bahasa Yunani yaitu dialektos. Pada mulanya dipergunakan dalam hubungannya dengan keadaan bahasa. Di Yunani terdapat perbedaan-perbedaan kecil di dalam bahasa yang dipergunakan pendukungnya masing-masing, tetapi hal tersebut tidak sampai menyebabkan mereka merasa mempunyai bahasa yang berbeda. Perbedaan tersebut tidak mencegah mereka untuk secara keseluruhan merasa memiliki satu bahasa yang sama. Oleh karena itu, ciri utama dialek adalah perbedaan dalam kesatuan dan kesatuan dalam perbedaan (Meillet, 1967: 69-70).

Menurut Weijnen, dkk yang dikutip oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (1983) dialek adalah sistem kebahasaan yang dipergunakan oleh suatu masyarakat untuk membedakan dari masyarakat lain.

Jadi, dialek adalah variasi bahasa yang digunakan oleh sekelompok penutur dalam daerah tertentu untuk membedakan antara masyarakat satu daerah dengan daerah lain.

B. Ciri-ciri Dialek

Menurut Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (1983), ada 2 ciri yang dimiliki dialek:

Dialek ialah seperangkat bentuk ujaran setempat yang berbeda-beda, yang memiliki ciri-ciri umum dan masing-masing lebih mirip sesamanya dibandingkan dengan bentuk ujaran lain dari bahasa yang sama.

Dialek tidak harus mengambil semua bentuk ujaran dari bahasa (Meillet 1967: 69). Dengan meminjam kata-kata Claude Fauchet, dialek ialah mots de leur terroir yang berarti dialek adalah kata-kata diatas tanahnya (Chaurand, 1972: 149), yang di dalam perkembangannya kemudian menunjuk kepada suatu bahasa daerah yang layak dipergunakan dalam karya sastra daerah yang bersangkutan.

C. Macam-macam Dialek

Dialek Regional, biasanya digunakan di satu daerah saja untuk menentukan kekhasan daerah tersebut, dan bahasanya hanya bisa dimengerti oleh masyarakat daerah tersebut.

Dialek Sosial, sering disebut juga dengan sosiolek. Dialek ini biasanya digunakan yang berhubungan dengan sosial saja, seperti status, golongan dan kelas sosial penuturnya. Dialek ini juga berkaitan dengan pendidikan, usia, pekerjaan dan tingkat kebangsawanan, serta menyangkut semua masalah pribadi para penuturnya.

Dialek Temporal, sering disebut juga sebagai kronolek. Dialek ini berkaitan dengan perbedaan waktu, atau biasa digunakan oleh sekelompok orang dalam kurun waktu tertentu dan bila sudah berganti masa maka dialek itu sudah tidak ada lagi. Hal ini bisa dilihat dari ejaan, cara penulisan dan pengucapannya.

D. Contoh-contoh Dialek

1. Dialek Regional

a. Bahasa Jawa dialek Sunda

b. Bahasa Jawa dialek Banyumasan

c. Bahasa Melayu dialek Ambon

2. Dialek Sosial/ Sosiolek

a. Akrolek: variasi sosial yang dianggap lebih tinggi daripada variasi sosial lainnya. Contoh: Bahasa Bagongan, dialek Jakarta.

b. Basilek: variasi sosial yang dianggap kurang bergengsi. Contoh: bahasa jawa krama desa.

c. Kolokial: variasi sosial yang digunakan dalam percakapan sehari-hari, bukan bahasa tulis. Contoh: 'dok' pada kata dokter.

d. Vulgar: variasi sosial yang ciri-cirinya tampak pemakaian bahasa oleh mereka yang kurang terpelajar. Contoh: bahasa eropa di Zaman Romawi.

e. Slang: variasi sosial yang bersifat khusus dan rahasia. Bersifat temporal, kelompok dan rahasia.

f. Jargon: variasi bahasa yang digunakan secara terbatas oleh sekelompok sosial tertentu. Ungkapan yang dipakai sering kali tidak dipahami masyarakat umum. Contoh: ragam bahasa montir.

g. Argot: variasi bahasa yang digunakan secara terbatas pada profesi tertentu dan bersifat rahasia. Istilah yang dipakai umumnya untuk kejahatan. Ada yang berpendapat argot terdiri atas jargon dan slang.

h. Cant: variasi sosial tertentu yang bernada memelas, dibuat merengek-rengek, penuh kepura-puraan. Contoh: ragam bahasa pengemis

3. Dialek Temporal

Dialek tahun 1970an, dialek pada masa Pak Soeharto.

E. Penyebab Perbedaan Dialek

1. Perbedaan asal daerah, perbedaan ini terjadi karena letak dan terdapat berbagai macam suku yang menimbulkan berbagai bahasa daerah.

2. Perbedaan status sosial, munculnya perbedaan ini dikarenakan adanya perbedaan strata atau tingkatan sosial yang terjadi di lingkungan sosial masyarakat untuk membedakan tingkatan sosial yang ada.