Upload
others
View
7
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAHASA JAWA DIALEK BANTEN DALAM KOMUNIKASI INTRAPERSONAL
BANTEN JAVANESE LANGUAGE USED IN INTRAPERSONAL COMMUNICATION
Siti Suharsih
FKIP-Univeristas Sultan Ageng Tirtayasa
Jalan Raya Jakarta km 4, Panancangan,
Cipocok Jaya, Kota Serang, Banten 42124
Ponsel: 081513069008
Pos-el: [email protected]
(Makalah diterima tanggal 21 April 2020—Disetujui tanggal 11 Mei 2020)
Abstrak: Sebagai salah satu sarana mengekspresikan gagasan, komunikasi intrapersonal merujuk
pada komunikasi dengan diri sendiri. Sebagai seorang penutur bahasa ibu, kita terkadang
menggunakan bahasa ibu untuk berbicara dengan diri sendiri, atau mungkin saat berdoa, melalui
komunikasi intrapersonal. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan pilihan bahasa dalam
komunikasi intrapersonal di antara penutur bahasa Jawa dialek Banten dan menjelaskan pengaruh
variabel sosial dalam pilhan berbahasa. Penelitian dilakukan di wilayah Provinsi Banten dengan
jumlah responden 340 penutur bahasa Jawa dialek Banten. Dengan menggunakan pendekatan
sosiolinguistik, data diperoleh melalui sebaran kuesioner. Selanjutnya data dianalisis dengan
membandingkan jawaban responden dan jumlah responden. Hasil analisis menunjukkan bahwa bahasa
Jawa dialek Banten masih digunakan untuk komunikasi intrapersonal, khususnya saat sedang marah.
Sebagai pengaruh variabel sosial dalam pilihan bahasa, responden yang paling banyak memilih
menggunakan bahasa Jawa dialek Banten berusia 51—60 tahun (93,8%), laki-laki (82,82%), tidak
lulus SD (95%) dan ASN (94,7%).
Kata kunci: pilihan bahasa, komunikasi intrapersonal, bahasa Jawa dialek banten.
Abstract: As one of the media to express ideas, intrapersonal communication is considered as the
communiation to the self. As the speaker of a particular mother tongue, we sometimes use the mother
tongue to speak to ourselves, or perhaps to pray, as the forms of intrapersonal communication. The
research is intended to figure out the language choice in intrapersonal communiaction among Banten
Javanese language native speaksers and to describe the influence of social variabel in choosing the
language. The research was conducted in Banten Province, with 340 native speakers of Banten
Javanese language as the respondents. Using sociolinguistics approach, data was carried out by
spreading the questionnaire to the respondents. Then the data were analyzed by comparing
respondent’s response in questionnaire with the total of respondents. The result of analysis showed
that Banten Javanese language is still being used and chosen for having intrapersonal
communication, especially when the respondents got angry. As the effect of social variabel in
choosing language, the respondents who mostly used Banten Javanese language were in the range of
51-60 years old (93.8%), male (82.8%), those who did not pass elementary school (95%), and civil
servant (94.7%).
Keywords: language choice, intrapersonal communication, Banten Javanese language.
Bahasa Jawa Dialek Banten …(Siti Suharsih)
85
PENDAHULUAN
Sebagai alat ekspresi diri, bahasa dapat
menjadi sarana untuk berkomunikasi
dengan diri sendiri, atau dengan kata lain
sebagai bentuk komunikasi intrapersonal.
Komunikasi Interpersonal terjadi pada
dua pihak, yaitu terlibatnya pembicara
sebagai penyampai pesan dan pendengar
sebagai orang yang menerima pesan.
Pada komunikasi intrapersonal, komunikasi
terjadi dengan diri sendiri. Artinya,
seseorang yang melakukan komunikasi
intrapersonal berperan sebagai penyampai
pesan dan penerima pesan
(Syarifa,http://www.staffnew.uny.ac.id di akses
pada 18 April 2020).
Komunikasi Intrapersonal sering
kali dianggap sebagai cara seseorang
menenangkan diri dari tekanan dan
sebagai upaya dalam membangun dan
memelihara konsep diri. Seseorang
melakukan komunikasi intrapersonal
bertujuan untuk dapat meningkatkan
kepercayaan dirinya, selain untuk dapat
merencanakan sesuatu di masa depan.
Komunikasi dengan diri sendiri lebih
banyak dilakukan dengan cara berbicara
dalam hati, sehingga pesan yang
dihasilkan merupakan bentuk ekspresi
diri yang memiliki makna untuk diri
sendiri (http://courses.lumenlearning.com).
Tulisan ini mengkaji tentang
pilihan bahasa penutur bahasa Jawa
dialek Banten saat berkomunikasi dengan
diri sendiri. Pilihan menggunakan bahasa akan
dikaji berdasarkan faktor-faktor yang
memengaruhinya, seperti usia penutur, jenis
kelamin, pendidikan, dan pekerjaan
penutur. Pilihan bahasa yang digunakan
pada saat komunikasi intrapersonal
belum banyak menjadi fokus kajian,
sehingga tulisan ini dapat memberikan
gambaran tentang keberadaan bahasa
daerah sebagai alat komunikasi baik di
dalam masyarakat maupun pada dirinya
sendiri. Beberapa kajian tentang
komunikasi intrapersonal lebih banyak
mengangkat pada perilaku sosial
(Novalia, http://www.jim.unsyiah.ac.id
di akses pada 18 April 2018).
LANDASAN TEORI
Pilihan dan Penggunaan Bahasa
Masyarakat multibahasa memberikan
pilihan kepada anggota masyarakatnya
untuk menggunakan bahasa sesuai
dengan pilihannya. Menurut Fishman
(1972: 44), pilihan-pilihan itu mengacu
pada variasi bahasa yang tersedia di
dalam masyarakat yang multibahasa.
Contoh dari konsep itu dikemukakan
Fishman, misalnya, penutur akan
menggunakan bahasa yang berstatus
tinggi untuk digunakan dalam praktik
tutur di sekolah, pemerintahan, tempat
keagamaan, dan pekerjaan. Pada
kesempatan lain, penutur akan cenderung
menggunakan bahasa yang berstatus
rendah ketika melakukan praktik tutur di
rumah, bersama teman, atau berkomunikasi
dengan tetangga. Dengan demikian, dalam
menggunakan bahasa, penutur harus
mempertimbangkan dan memerhatikan
JURNAL BÉBASAN, Vol. 7, No. 1, Edisi Juni 2020: 84—101
86
tempat, hubungan peran, dan topik pembicaraan
(Spolsky, 2003: 34). Senada dengan
Spolsky, (Holmes, 2001: 21) juga
menyebut beberapa faktor sosial yang
memengaruhi pilihan berbahasa, yaitu
kepada siapa kita berbicara, dalam
konteks apa pembicaraan itu dilakukan,
dan tentang topik apa pembicaraan itu
dilangsungkan. Faktor-faktor sosial itu
bersama-sama akan menciptakan ranah
bahasa.
(Grosjen, 1982: 136) mengelaborasi-
kan partisipan sebagai keahlian berbahasa,
pilihan bahasa yang dianggap lebih baik,
status sosial ekonomi, usia, jenis
kelamin, pendidikan, pekerjaan, latar
belakang etnis, relasi kekeluargaan,
keintiman, sikap bahasa, dan kekuatan
luar yang menekan. Situasi dan seting
dijelaskan sebagai lokasi/latar, kehadiran
pembicara monolingual, tingkat
formalitas, dan tingkat keintiman. Topik
pembicaraan dijelaskan oleh Ervin-Trip
sebagai topik-topik tentang pekerjaan,
olah raga, peristiwa aktual, dsb.
Ranah (domain) adalah konstruksi
sosial yang diturunkan dari simpulan dan
analisis secara saksama terhadap situasi-
situasi yang sudah disepakati (Fishman,
1972: 43). Dalam perkataan lain, ranah
adalah tempat penggunaan bahasa atau
aktivitas kebahasaan yang ada di dalam
tempat tersebut. Rumah, misalnya,
merujuk pada satu tempat yang
menunjukkan adanya hubungan peran
untuk setiap anggota keluarga.
Hubungan peran yang terlibat di dalam
keluarga adalah ibu, ayah, anak, nenek,
kakek, bayi, dan kerabat yang lainnya.
Hubungan peran ini akan dipengaruhi
oleh topik dalam aktivitas anggota
keluarga, misalnya topik tentang
keluarga, makanan, atau urusan rumah
tangga. Dengan demikian, untuk setiap
topik dalam aktivitas keluarga
dimungkinkan anggota keluarga
menggunakan bahasa yang berbeda satu
sama lainnya.
Fishman mengidentifikasi beberapa
ranah (domain) penggunaan bahasa
seseorang dalam konteks masyarakat
multibahasa. Ranah tersebut adalah ranah
kekeluargaan, ranah pertemanan, ranah
keagamaan, ranah pendidikan, dan ranah
pekerjaan (Fishman, 1972: 46—47).
Komunikasi Intrapersonal
Beberapa jenis komunikasi yang
digunakan sebagai ekspresi diri bisa
dengan berkomunikasi dengan orang lain
ataupun berkomunikasi dengan diri
sendiri. Dari aspek psikologi sosial,
komunikasi intrapersonal merupakan
rangkaian proses pengolahan informasi
dengan tahapan sensasi, persepsi,
memori, dan berpikir (Rakhmat, 2009:
49—50). Proses sensasi terjadi karena
adanya stimuli yang diserap oleh
pancaindera. Setelah proses sensasi,
selanjutnya menjadi persepsi. Persepsi
merupakan satu pengalaman tentang
objek, peristiwa, atau hubungan-
hubungan yang diperoleh dengan
menafsirkan pesan. Dalam proses
Bahasa Jawa Dialek Banten …(Siti Suharsih)
87
persepsi, hal yang sangat memengaruhi
adalah peran dari memori. Mekanisme
tahapan dalam memori melalui tiga
proses, yaitu perekaman, penyimpanan,
dan pemanggilan. Tahapan terakhir
adalah berpikir, yaitu pelibatan semua
proses, mulai dari sensasi, berpikir, dan
memori.
Komunikasi intrapersonal merujuk
pada penggunaan bahasa dan pikiran
yang terjadi di dalam diri komunikator
sendiri. Dalam hal ini komunikator
sebagai pengirim pesan, penerima pesan,
dan yang memberikan feedback sendiri
(Syarifa, http://www.staffnew.uny.ac.id di akses
pada 18 April 2020). Menurut Syarifa,
komunikasi intrapersonal lebih banyak
digunakan saat berdoa, bersyukur,
intropeksi diri, dan berkhayal. Emiliano
dalam tulisannya yang berjudul
“Komunikasi Intrapersonal” di situs
http://www.academia.edu yang di
akses pada tanggal 17 April 2020
menambahkan bahwa bentuk-bentuk
komunikasi intrapersonal ditunjukkan
saat melamun/merenung, bermimpi,
berbicara sendiri atau membaca tulisan
dengan suara keras, menulis
(mengarang), menafsirkan, dan
komunikasi antarorgan tubuh.
Bahasa Jawa Dialek Banten
Sumber referensi yang dapat dijadikan
rujukan tentang bahasa Jawa dialek
Banten tidak terlalu banyak. Dari hasil
penelusuran, ditemukan beberapa
sumber yang membahas bahasa Jawa
dialek Banten. Dua di antaranya adalah
buku yang ditulis oleh Iskandarwassid,
dkk (1985) yang berjudul „Struktur
Bahasa Jawa Dialek Banten’ dan
„Kamus Dialek Jawa Banten’ yang
ditulis oleh Munadi Patmadiwiria di
tahun 1977. Baik Iskandarwassid dan
Patmadiwiria, kedua sumber ini lebih
berbentuk kamus. Pada kamus yang
ditulis oleh Patmadiwiria, bahasa Jawa
dialek Banten memiliki 26 fonem yang
terbagi atas 20 konsonan dan 6 vokal.
Pada tulisan Iskandarwassid, fonem
bahasa Jawa dialek Banten dibagi
menjadi 24 fonem yang terbagi menjadi
16 konsonan dan 8 vokal.
Berdasarkan pemakaiannya, bahasa
Jawa dialek Banten mengenal dua ragam,
yaitu ragam bebasan dan ragam
pergaulan (Chudari, 2013: 2). Ragam
bebasan lebih banyak digunakan untuk
komunikasi formal dengan tujuan untuk
menghormati yang lebih tua atau yang
dituakan; dan ragam pergaulan lebih
banyak digunakan untuk komuikasi
nonformal atau dengan partisipan yang
tingkat usianya sama.
METODE PENELITIAN
Ancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan
sosiolinguistik. Sebagai sebuah metodologi
penelitian, kajian sosiolinguistik dapat
dilakukan dengan menggunakan pendekatan
kuantitatif ataupun kualitatif (Holmes,
2014: 2).
JURNAL BÉBASAN, Vol. 7, No. 1, Edisi Juni 2020: 84—101
88
Populasi dan Lokasi Penelitian
Populasi penelitian ini adalah semua
penutur bahasa Jawa dialek Banten di
wilayah Provinsi Banten. Penutur bahasa
Jawa dialek Banten merupakan mereka
yang tinggal di wilayah Provinsi Banten
yang terbagi ke dalam beberapa
kecamatan di tiap kabupaten/kota di
Provinsi Banten. Dengan pertimbangan
jangkauan daerah, hanya sepuluh titik
lokasi penelitian. Sepuluh lokasi tersebut
adalah Desa Sukajaya, Desa Barengkok,
Desa Tegal Ratu, Desa Kasunyatan,
Desa Tanjung Manis, Desa Tonjong,
Desa Pasilihan, Desa Cangkore, Desa
Gombong, dan Desa Bojen.
Metode Pengumpulan Data
Metode yang digunakan untuk
mengumpulkan data penelitian ini adalah
metode survei. Metode survei
bermanfaat untuk menggali data dari
populasi yang besar dengan teknik
pengumpulan data melalui instrumen
kuesioner tertulis (Gunarwan, 2002;
Schilling, 2013). Dengan demikian,
peneliti memilih menggunakan teknik
langsung (bersemuka) dengan jenis face-
to-face surveys atau structured personal
interview yang dilakukan kepada penutur
bahasa Jawa dialek Banten yang berada
di Provinsi Banten.
Daftar tanyaan dalam kuesioner
yang didistribusikan pada responden
terbagi atas dua bagian. Bagian pertama
adalah data responden, seperti nama
jelas, usia, pendidikan dan pekerjaan
responden. Untuk rentang usia dibagi
menjadi lima, yaitu usia 17—20, 21—
30, 31—40, 41—50, dan 51—60 tahun.
Pembagian rentang usia mempertimbangkan
fase psikologis yang dikemukakan oleh
(Hurlock, 1981: 21) dan beberapa hasil
penelitian yang menggunakan variable
usia dalam penelitian bahasa. Usia 17
merupakan masa remaja di mana
responden ada dalam fase mencari
identitas diri yang berbeda dari orang tua
mereka. Rentang usia 21 tahun dan
seterusnya berada pada fase dewasa yang
dianggap lebih konservatif dalam
memelihara identitas mereka (Eckert,
2003: 39). Jenis kelamin responden
terbagi menjadi laki-laki dan perempuan,
dan untuk pendidikan responden terbagi
atas responden yang tidak lulus SD, lulus
SD, lulus SMP, lulus SMA, dan lulus
diploma/sarjana. Variabel pekerjaan
dibagi menjadi enam jenis pekerjaan,
yaitu pelajar, ASN, Ibu Rumah Tangga
(IRT), buruh, pedagang, dan pekerjaan
lainnya. Data responden ini difungsikan
juga sebagai variabel sosial yang
menyertai responden. Bagian kedua
adalah aktivitas responden saat
melakukan komunikasi intrapersonal.
Aktivitas tersebut adalah marah, berdoa,
mengomentari berita di koran, dan
mengomentari berita di TV.
Metode Analisis Data
Untuk mendapatkan data pilihan bahasa
yang digunakan pada saat penutur
melakukan komunikasi intrapersonal,
Bahasa Jawa Dialek Banten …(Siti Suharsih)
89
peneliti membandingkan jumlah
jawaban bahasa Jawa dialek Banten (∑N
BJDB) dengan seluruh jawaban yang
masuk (∑N) dikalikan 100%.
Pilihan menggunakan BJDB = ∑N BJDB X 100%
∑N
Atau, secara sederhana, penghitungan
dapat dilakukan dengan cara
menjumlahkan seluruh jawaban BJDB
dalam % dibagi dengan jumlah variabel
seperti tampak dalam formula berikut ini:
Pilihan menggunakan BJDB (%) = ∑% BJDB
N
Setelah dilakukan penghitungan,
selanjutnya dilakukan pembahasan untuk
dapat diperoleh pemaknaan terhadap data
temuan.
Daftar Tanyaan
Daftar tanyaan dalam penelitian ini
merupakan bentuk modifikasi dari
beberapa penelitian tentang pemakaian
bahasa. Daftar tanyaan menggunakan
bentuk closed question dengan
memberikan pilihan jawaban kepada
responden. Daftar tanyaan terdiri atas
dua bagian. Bagian pertama memuat
identitas responden yang merupakan
variabel sosial, yaitu usia, jenis kelamin,
pendidikan, dan pekerjaan. Bagian kedua
berisi tanyaan tentang pilihan bahasa saat
melakukan komunikasi intrapersonal.
Komunikasi intrapersonal dibatasi hanya
pada saat responden sedang marah,
berdoa dalam hati, mengomentari berita
di koran, dan mengomentari berita di
TV.
PEMBAHASAN
Bagian ini menggambarkan hasil analisis
berdasarkan sebaran kuesioner kepada
340 responden. Hasil analisis akan
disajikan dalam dua bagian, yaitu tentang
pilihan bahasa responden saat melakukan
komunikasi intrapersonal dan hasil
analisis pilihan bahasa responden
berdasarkan variabel sosial.
Penjelasan mengenai pilihan
bahasa saat melakukan komunikasi
intrapersonal merupakan hasil analisis
jawaban kuesioner dari total responden
yang berjumlah 340 responden. Hasil
analisis meyajikan kecenderungan
bahasa yang paling banyak dipilih saat
berdoa, marah, memberikan komentar
terhadap berita di koran, dan
memberikan komentar terhadap berita di
TV. Pada bagian pilihan bahasa yang
dijabarkan berdasarkan variabel sosial,
pembahasan mengacu pada persentase
responden yang memilih menggunakan
bahasa Jawa dialek Banten pada saat
melakukan komunikasi intrapersonal
berdasarkan usia, jenis kelamin,
pendidikan, dan pekerjaan responden.
Pilihan Bahasa Responden Saat
Komunikasi Intrapersonal
Bagian ini menunjukkan tingkat
intensitas pemakaian bahasa Jawa dialek
JURNAL BÉBASAN, Vol. 7, No. 1, Edisi Juni 2020: 84—101
90
Banten pada saat responden marah,
berdoa dalam hati, memberikan
komentar terhadap pemberitaan di surat
kabar dan di TV secara keseluruhan.
Untuk menemukan tingkat intensitas
penggunaan bahasa Jawa dialek Banten
berdasarkan aktivitas responden dengan
dirinya sendiri, beberapa pilihan bahasa
diberikan selain bahasa Jawa dialek
Banten, yaitu bahasa Jawa dialek Banten,
bahasa Indonesia, bahasa campuran
(bahasa Jawa dengan bahasa Indonesia),
dan bahasa daerah lainnya, yaitu bahasa
Sunda. Hasil sebaran kuesioner kepada
340 responden menunjukkan variasi
pilihan bahasa yang berbeda-beda.
(Tabel 1).
Tabel 1.
Pilihan bahasa responden berdasarkan saat
berkomunikasi dengan diri sendiri
No
Aktivitas saat
berkomunikasi dengan diri
sendiri
Jumlah responden dengan pilihan
bahasanya
BJDB B.IND Campur Bhs.
lain
Tdk
menjawab
1 Sedang marah 272 19 49 - -
2 Berdoa dalam hati 261 48 27 4 -
3 Mengomentari berita di
Koran 173 80 57 1 29
4 Mengomentari berita di
TV 174 73 89 - 4
Tabel 1 menunjukkan bahwa dari empat
aktivitas yang dilakukan oleh responden
dengan dirinya sendiri, responden lebih
memilih menggunakan bahasa Jawa
dialek Banten dibandingkan dengan
Bahasa Indonesia, bahasa campuran
(bahasa Jawa dialek Banten dengan
bahasa Indonesia), dan bahasa daerah
lainnya. Pilihan menggunakan bahasa
Jawa dialek Banten paling banyak
digunakan pada saat responden dalam
situasi marah dan pada saat responden
berdoa dalam hati. Pada situasi di mana
responden memberikan komentar untuk
berita di koran dan TV, pilihan bahasa
tetap ada pada bahasa Jawa dialek
Banten meskipun tidak sebanyak saat
responden dalam situasi marah dan
berdoa dalam hati. Tingginya penggunaan
bahasa Jawa dialek Banten pada saat
berdoa dalam hati dan marah dapat
ditunjukkan melalui grafik 1 di bawah
ini.
Grafik 1 Penggunaan Bahasa Jawa Dialek Banten
saat marah dan berdoa dalam hati
Grafik 1 menunjukkan bahwa saat
sedang marah dan berdoa, responden
lebih memilih menggunakan bahasa
Jawa dialek Banten daripada bahasa
Indonesia, bahasa campur dan bahasa
daerah lainnya. Penggunaan bahasa Jawa
dialek Banten yang cukup tinggi
mengindikasikan bahwa pada aktivitas
tidak sadar dorongan untuk
menggunakan bahasa daerah lebih tinggi
dibandingkan dengan bahasa lain. Pada
saat responden marah, respon terhadap
lawan bicara atau kondisi yang
membuatnya marah memicu alam bawah
sadar berperilaku seperti yang
dikehendaki dan cenderung tidak
mengindahkan lingkungan.
Selain menggunakan bahasa
Jawa dialek Banten, grafik 1
Bahasa Jawa Dialek Banten …(Siti Suharsih)
91
menunjukkan data adanya pencampuran
dua bahasa yaitu bahasa Indonesia dan
bahasa Jawa dialek Banten pada saat
responden sedang marah. Data pada
grafik menunjukkan sekitar 14,41%
responden mencampurkan bahasa Jawa
dialek Banten dengan bahasa Indonesia
saat sedang marah dengan lawan bicara.
Hal ini mengindikasikan lawan bicara
responden bukan berasal dari kelompok
penutur bahasa Jawa Dialek Banten.
Selain mencampurkan bahasa Indonesia
dan bahasa Jawa dialek Banten, 5,58%
responden memilih menggunakan bahasa
Indonesia pada saat marah.
Grafik 1 juga menunjukkan
tingginya frekuensi penggunaan bahasa
Jawa dialek Banten saat responden
berdoa dalam hati. Pilihan menggunakan
bahasa Jawa dialek Banten pada saat
berdoa dalam hati dimungkinkan karena
nilai historis bahasa Jawa dialek Banten
masa lalu, yaitu digunakannya bahasa
Jawa dialek Banten sebagai saluran
penyebaran agama Islam di Banten.
Kondisi yang berlangsung terus menerus
ini memengaruhi alam bawah sadar
responden untuk memilih menggunakan
bahasa Jawa dialek Banten.
Pilihan bahasa yang kedua
setelah bahasa Jawa dialek Banten pada
saat berdoa dalam hati adalah Bahasa
Indonesia dengan jumlah responden
yang memilih menggunakannya
sebanyak 48 responden.
Kecenderungan responden
melakukan campur bahasa sebagai
strategi komunikasi memperlihatkan
adanya penggunaan alih kode. Alih kode
dapat terjadi karena adanya sentuh
bahasa antara dua atau lebih bahasa yang
latar belakang linguistiknya berbeda dan
bahasa-bahasa tersebut digunakan dalam
satu komunitas atau kelompok bahasa
(Fishman, 1966; Coulmas, 2006).
Sebagai konsekuensi penggunaan
beberapa bahasa, (Coulmas, 2006: 113)
menyebut alih kode sebagai a
controllable strategy, differing from both
ordinary borrowing of individual lexical
items and unavoidable interference.
Dari data yang tersaji dalam tabel
1 sebelumnya ditemukan sejumlah
responden yang tidak memberikan
pilihan bahasa pada saat ditanya bahasa
apa yang dipilih saat mengomentari
berita di koran dan berita di TV. Pada
situasi sedang menonton TV ada empat
responden yang tidak memberikan
pilihan bahasa mereka. Keempat
responden yang tidak memberikan
pilihan saat mengomentari berita di TV
lebih karena responden tidak menyukai
program acara berita. Demikian juga
pada saat sedang membaca koran,
ditemukan 29 responden tidak
memberikan pilihan bahasa apapun.
Dari pembahasan tentang pilihan
bahasa pada aktivitas responden dengan
dirinya sendiri di dalam rumah dapat
disimpulkan bahwa penggunaan bahasa
Jawa dialek Banten banyak dilakukan
pada saat responden sedang marah, dan
saat berdoa dalam hati.
JURNAL BÉBASAN, Vol. 7, No. 1, Edisi Juni 2020: 84—101
92
Pilihan Bahasa dalam Komunikasi
Intrapesonal Berdasarkan Variabel
Sosial
Setelah dilakukan proses analisis
terhadap jawaban responden, berikut
disajikan hasil temuan pilihan bahasa
yang dibedakan ke dalam empat variabel
sosial, yaitu usia, jenis kelamin,
pendidikan, dan pekerjaan.
Pilihan Bahasa Berdasarkan Usia
Responden
Sebagai sebuah variabel sosial, usia
mampu memengaruhi perilaku berbahasa
sesuai dengan tahapan kehidupan
manusia. Dibandingkan dengan hal
lainnya, usia diasosiasikan dengan
struktur peranan di dalam rumah atau
dalam kelompok sosial dengan tugas,
otoritas, status dan dengan atribut pada
kompetensi yang berbeda. Hal senada
diungkapkan oleh Coulmas, “Speech,
too, is one of the characteristic which
reveals age-grading and is expected to
differerntiate one age cohort from
another” (2006:54). Berkenan dengan
tahapan hidup manusia, Coulmas
(2006:55) membagi usia menjadi 4
tahapan: tahap anak-anak, remaja,
dewasa, dan tua.
Sesuai dengan tahapan usia
dalam kehidupan manusia, untuk
penelitian ini kelompok usia responden
dibedakan dalam lima kelompok, yaitu
kelompok usia 17—20 tahun, kelompok
usia 21—30 tahun, kelompok usia 31—
40 tahun, kelompok usia 41—50 tahun,
dan kelompok usia 51—60 tahun.
Merujuk pada tahapan usia yang
dikemukakan oleh Coulmas, maka
pengelompokkan usia pada penelitian ini
dimulai dari masa remaja yang diwakili
oleh kelompok usia 17—20, masa
dewasa, yang diwakili oleh kelompok
dewasa muda (21—30), dewasa tengah
(31—40) dan dewasa akhir (41—50).
Fase tua dalam kehidupan responden
diwakili dengan kelompok usia 51—60
tahun. Bagian ini menjabarkan penggunaan
bahasa Jawa Dialek Banten dalam
kelompok usia responden. Pilihan bahasa
Jawa dialek Banten akan dilihat dari
aktivitas responden dengan dirinya
sendiri dan pada saat berkomunikasi
dengan kawan bicara di dalam rumah.
Penggunaan bahasa Jawa dialek
Banten berdasarkan komunikasi
intrapersonal terangkum dalam grafik 2
berikut ini. Grafik ini menunjukkan
perbedaan jumlah responden yang
menggunakan bahasa Jawa dialek
Banten dalam setiap subkelompok.
Perbedaan jumlah responden di setiap
subkelompok usia mendukung pendapat
Coulmas sebelumnya bahwa setiap
tahapan hidup manusia memberikan
pengaruh dalam perilaku berbahasa.
Grafik 2 Jumlah Responden Berdasarkan Usia
yang Menggunakan Bahasa Jawa Dialek
Bahasa Jawa Dialek Banten …(Siti Suharsih)
93
Banten saat Marah, Berdoa, Mengomentari
Berita di Koran dan TV.
Kelompok usia 17—20 tahun merupakan
kelompok usia minimum yang menjadi
kriteria dalam penelitian ini. Rentang
usia 17—20 tahun dianggap sebagai fase
transisi dari masa remaja menuju masa
dewasa muda. Pada masa transisi,
kelompok ini lebih labil dalam
penggunaan bahasa karena pilihan
berbahasa dipengaruhi oleh sosial
budaya lingkungan mereka. Dari jumlah
keseluruhan responden di kelompok ini
pilihan menggunakan bahasa Jawa dilaek
Banten paling banyak saat berdoa dalam
hati. Ada 35 responden yang
menggunakan bahasa Jawa dialek
Banten saat berdoa dan hanya 18 orang
memilih menggunakan bahasa Jawa
dialek Banten saat mengomentari berita
di koran. Aktivitas berbahasa ini
menunjukkan perilaku yang berbeda
dalam menggunakan bahasa Jawa dialek
Banten. Dengan kata lain kelompok ini
menggunakan bahasa Jawa dialek
Banten hanya pada saat berdoa dalam
hati, sedangkan saat mengomentari berita
di koran, responden memilih
menggunakan bahasa lainnya.
Kelompok usia 21—30
mempunyai jumlah responden terbesar
dibandingkan dengan kelompok usia
lainnya. Dari empat peristiwa bahasa,
pilihan menggunakan bahasa Jawa dialek
Banten banyak dilakukan oleh responden
pada saat marah, yaitu sebanyak 67
responden. Pilihan menggunakan bahasa
Jawa dialek Banten berikutnya adalah
ketika responden berdoa dalam hati. Dua
aktivitas lainnya, yaitu pada saat
memberi komentar terhadap pemberitaan
di koran dan TV, jumlah responden tidak
sebanyak saat marah dan berdoa dalam
hati.
Sama halnya dengan kelompok
usia 20—31 tahun, pada kelompok usia
31—40 tahun pilihan menggunakan
bahasa Jawa dialek Banten paling
banyak saat marah, yaitu sebanyak 65
responden. Pada saat sedang marah,
jumlah responden hanya terpaut satu
responden dari jumlah responden pada
saat berdoa dalam hati. Urutan jumlah
responden selanjutnya yang
menggunakan bahasa Jawa dialek
Banten adalah pada saat memberikan
komentar terhadap pemberitaan di koran
dan TV. Dibandingkan dengan
kelompok usia lainnya, pilihan
menggunakan bahasa Jawa dialek
Banten pada saat memberikan komentar
perihal berita di koran dan TV paling
banyak dilakukan oleh kelompok usia
ini.
Usia dewasa akhir yang diwakili
oleh kelompok usia 41—50 tahun
menunjukkan penurunan penggunaan
bahasa Jawa dialek Banten dibandingkan
kelompok usia 31—40 tahun. Penurunan
pemakaian pada kelompok usia ini
terjadi pada saat responden berdoa dalam
hati dan mengomentari berita di TV.
Grafik kembali naik pada saat responden
memberikan komentar terhadap berita di
JURNAL BÉBASAN, Vol. 7, No. 1, Edisi Juni 2020: 84—101
94
koran. Jumlah responden yang
menggunakan bahasa Jawa dialek
Banten pada saat mengomentari berita di
koran sedikit lebih banyak dari
responden yang mengomentari berita di
koran pada kelompok usia 31—40.
Memasuki usia dewasa akhir,
yaitu usia 41—50 tahun, kecenderungan
memilih menggunakan bahasa Jawa
dialek Banten menunjukkan penurunan
pada beberapa aktivitas, kecuali pada
saat sedang marah. Grafik 2
menunjukkan jumlah responden yang
memilih menggunakan bahasa Jawa
dialek Banten pada saat marah sebanyak
63 responden. Penggunaan bahasa Jawa
dialek Banten paling sedikit dipilih pada
saat memberikan komentar terhadap
pemberitaan di TV.
Pada kelompok responden yang
berusia 51—60 ditemukan beberapa
kendala fisik, yaitu mulai berkurangnya
kemampuan mata untuk membaca dan
telinga untuk mendengar meski alat ucap
masih lancar digunakan. Berkurangnya
kemampuan fisik memengaruhi aktivitas
kebahasaan responden. Grafik 2
menunjukkan bahwa di usia ini pilihan
menggunakan bahasa Jawa dialek
Banten paling banyak digunakan saat
responden sedang marah. Pada aktivitas
yang lain, yaitu berdoa dalam hati,
memberikan komentar terhadap
pemberitaan di TV dan koran terlihat
menurun.
Agar dinamika penggunaan
bahasa di setiap subkelompok terlihat
jelas, maka jumlah responden yang
memilih menggunakan bahasa Jawa
dialek Banten dibagi dengan jumlah
responden keseluruhan dalam setiap
kelompok. Hasilnya menunjukkan
kecenderunagn yang berbeda dari data
yang tersedia di grafik 2 sebelumnya.
Pada data grafik 3 berikut ini,
terlihat bahwa kelompok usia dewasa
hingga tua menunjukkan pola yang stabil
dalam menggunakan bahasa Jawa dialek
Banten pada saat responden beraktivitas
dengan dirinya sendiri. Kestabilan pola
penggunaan bahasa Jawa dialek Banten
yang diperlihatkan oleh kelompok
dewasa dan tua menunjukkan kesetiaan
menggunakan bahasa Jawa dialek
Banten.
Grafik 3. Persentase Responden Berdasarkan
Usia yang Menggunakan Bahasa Jawa Dialek
Banten saat Marah, Berdoa, Mengomentari
Berita di Koran dan TV.
Dibandingkan dengan grafik 2, grafik 3
menyajikan jumlah responden dalam
persentase di setiap subkelompok. Dari
hasil perhitungan yang tersaji pada grafik
3, secara keselurahan, dua aktivitas
tertinggi yang menggunakan bahasa
Jawa dialek Banten adalah pada saat
responden marah dan berdoa dalam hati.
Pada grafik 3 juga terlihat ada
kecenderungan penggunaan bahasa Jawa
dialek Banten yang relatif stabil pada
Bahasa Jawa Dialek Banten …(Siti Suharsih)
95
beberapa aktivitas dari subkelompok usia
31—40 tahun sampai pada subkelompok
usia 51—60, kecuali pada saat responden
memberikan komentarnya terhadap
berita di koran dan di TV. Pada
subkelompok usia 21—30, di mana pada
grafik sebelumnya merupakan jumlah
terbesar dari subkelompok lainnya,
menunjukkan jumlah yang lebih sedikit
dari kelompok subvariabel 31—40.
Aktivitas dengan jumlah persentase
responden paling rendah ada di
subkelompok usia 51-60 tahun, yaitu saat
responden memberikan komentar
terhadap pemberitaan di TV.
Pilihan Bahasa Berdasarkan Jenis
Kelamin Responden
Grafik 4. Jumlah Responden Berdasarkan
Jenis Kelamin yang Menggunakan Bahasa
Jawa Dialek Banten saat Marah, Berdoa,
Mengomentari Berita di Koran dan TV.
Grafik 4 menunjukkan bahwa perempuan
mendominasi penggunaan bahasa Jawa
dialek Banten di ranah keluarga pada
komunikasi intrapersonal. Perbedaan
terbesar antara responden laki-laki dan
perempuan ditemukan pada saat
memberikan komentar berita di televisi
dan koran. Jumlah responden perempuan
yang menggunakan bahasa Jawa dialek
Banten saat mengomentari berita di
koran dan TV 96 responden sedangkan
responden laki-laki yang menggunakan
bahasa Jawa dialek Banten pada saat
mengomentari berita di TV dan koran
berjumlah 76 responden. Meskipun
berbeda jumlah dalam penggunaan
bahasa pada saat mengomentari berita
TV dan koran, kedua jenis kelamin ini
sama-sama memilih bahasa Jawa dialek
Banten pada saat sedang marah dan pada
saat berdoa dalam hati.
Meskipun secara umum terlihat
perempuan mendominasi pilihan
menggunakan bahasa Jawa dialek
Banten saat berkomunikasi intrapersonal,
dapat dikatakan bahwa untuk persentase
penggunaan bahasa Jawa dialek Banten
antara laki-laki dan perempuan
menunjukkan bahwa laki-laki cenderung
menggunakan lebih banyak daripada
perempuan. Berdasarkan hasil
penghitungan jumlah pilihan bahasa saat
marah misalnya, diperoleh laki-laki
menggunakan 82,82% bahasa Jawa
dialek Banten dibandingkan dengan
perempuan dengan persentase 77,9%.
Aktivitas responden saat marah ini
merupakan aktivitas yang paling banyak
dilakukan oleh kedua jenis kelamin
tersebut.
Pilihan Bahasa Berdasarkan
Pendidikan Responden
Beberapa hasil penelitian tentang
penggunaan bahasa menunjukkan bahwa
pendidikan adalah salah satu faktor yang
memengaruhi pilihan bahasa penutur
(Fasold, 1984:180). Sekolah diposisikan
sebagai ranah formal sehingga bahasa
daerah tidak digunakan sebagai bahasa
JURNAL BÉBASAN, Vol. 7, No. 1, Edisi Juni 2020: 84—101
96
pengantar dalam aktivitas belajar mengajar.
Sebaliknya penggunaan bahasa Indonesia
menjadi satu-satunya alat komunikasi
yang berlaku dalam konteks di ranah
formal. Dengan demikian dapat diasumsikan
bahwa apabila seorang penutur menghabiskan
sedikit waktu di sekolah, maka semakin
sedikit juga intensitas penggunaan
bahasa Indonesia.
Berdasarkan hasil sebaran kuesioner
pada 340 responden, ditemukan kecenderungan
pilihan bahasa responden yang
dipengaruhi oleh tingkat pendidikan pada
saat berkomunikasi intrapersonal.
Kecenderungan menggunakan bahasa
Jawa dialek Banten ditunjukkan dengan
jumlah responden dalam setiap tingkat
pendidikan yang disajikan dalam grafik
berikut.
Grafik 5. Jumlah Responden Berdasarkan Pendidikan
yang Menggunakan Bahasa Jawa Dialek Banten saat
Marah, Berdoa, Mengomentari Berita di Koran dan
TV.
Apabila dibandingkan dengan jumlah
responden dalam kelompok pendidikan,
maka hasil perhitungan disajikan pada
grafik 6 berikut.
Grafik 6. Persentase Responden Berdasarkan
Pendidikan yang Menggunakan Bahasa Jawa
Dialek Banten saat Marah, Berdoa,
Mengomentari Berita di Koran dan TV.
Dari grafik persentase penggunaan
bahasa Jawa dialek Banten di atas,
bahasa Jawa dialek Banten lebih banyak
digunakan oleh kelompok responden
dengan pendidikan tidak lulus SD.
Angka ini diperoleh dengan
membandingkan jumlah responden yang
memilih menggunakan bahasa Jawa
dialek Banten dalam kelompok
pendidikan tidak lulus SD dengan total
responden yang berada di kelompok
yang sama. Hasil perhitungan tersebut
menunjukkan 95% responden dengan
pendidikan tidak lulus SD menggunakan
bahasa Jawa dialek Banten saat sedang
marah. Demikian juga diperoleh
kecenderungan yang sama saat
responden mengirimkan pesan melalui
SMS kepada teman, mengomentari
berita di TV dan berita di koran.
Sebaliknya pada kelompok
responden lulus SMA, persentase
penggunaan bahasa Jawa dialek Banten
tidak sebanding dengan jumlah
responden yang menggunakan bahasa
Jawa dialek Banten di kelompok yang
sama. Hanya pada saat berdoa dalam hati
84.5% responden pada kelompok ini
menggunakan bahasa Jawa dialek
Banten.
Pilihan Bahasa Berdasarkan
Pekerjaan Responden
Variabel sosial lainnya yang
memengaruhi pilihan dan penggunaan
bahasa adalah jenis pekerjaan. Pekerjaan
memaksa seseorang untuk berpindah
Bahasa Jawa Dialek Banten …(Siti Suharsih)
97
tempat ke luar daerahnya baik secara
individu ataupun secara berkelompok.
Perpindahan individu atau kelompok dari
satu daerah ke daerah lainnya membuka
jalan terjadinya kontak bahasa dari
penutur yang berbeda.
Menilik pada jenis pekerjaan
yang ada di Provinsi Banten, variabel
pekerjaan diisi dengan beberapa
pekerjaan yang menjadi mata pencarian
masyarakat Provinsi Banten. Meskipun
mayoritas mata pencaharian masyarakat
Provinsi Banten adalah bercocok tanam,
tapi seiring perubahan status provinsi
baru, maka banyak bidang pekerjaan
lainnya yang menjadi mata pencarian
masyarakat Provinsi Banten. Jenis
pekerjaan yang menjadi subvariabel
dalam penelitian ini adalah pelajar/mahasiswa,
ASN (Aparatur Sipil Negara), IRT (Ibu
Rumah Tangga), buruh
(tani/harian/lepas), pedagang, dan
pekerjaan lainnya.
Kelompok pelajar/mahasiswa
merupakan responden yang berada pada
kelompok usia 17—20 sampai rentang
usia 21—30. Sebagian besar dari mereka
masih bersekolah pada jenjang SMA
atau sedang menempuh pendidikan di
bangku kuliah. Berdasarkan komposisi
responden pada variabel jenis pekerjaan,
diperoleh jumlah responden dalam
kelompok pelajar/mahasiswa sebanyak
38 responden, ASN sebanyak 19
responden, buruh sebanyak 80
responden, IRT sebanyak 89 responden,
pedagang sebanyak 57 responden. Selain
lima jenis pekerjaan yang mengisi
subvariabel dalam penelitian ini, jenis
pekerjaan tambahan (di luar kelima jenis
pekerjaan) disediakan. Untuk jenis
pekerjaan tambahan, diberikan label
“pekerjaan lainnya”
Setelah melakukan penghitungan
dua faktor dengan menggunakan
crosstabulation, diperoleh jumlah
responden yang memilih bahasa Jawa
dialek Banten untuk masing-masing
kelompok jenis pekerjaan.
Grafik 7 Jumlah Responden Berdasarkan
Pekerjaan yang Menggunakan Bahasa Jawa
Dialek Banten saat Marah, Berdoa,
Mengomentari Berita di Koran dan TV.
Dari jumlah responden yang ditunjukkan
pada grafik 7 terlihat jumlah responden
dengan pekerjaan sebagai ibu rumah
tangga merupakan jumlah responden
terbanyak yang menggunakan bahasa
Jawa Banten saat sedang marah, berdoa
dalam hati, mengomentari berita di TV
dan di koran. Jumlah terbanyak
berikutnya adalah responden dengan
jenis pekerjaan sebagai buruh. Kedua
jenis pekerjaan ini mempunyai jumlah
responden sebagai pemilih bahasa Jawa
dialek Banten terbanyak pada saat marah
dan berdoa dalam hati. Jumlah responden
yang menggunakan bahasa Jawa dialek
Banten paling sedikit adalah dengan
jenjang pelajar dan ASN.
JURNAL BÉBASAN, Vol. 7, No. 1, Edisi Juni 2020: 84—101
98
Untuk melihat persentase
penggunaan bahasa Jawa dialek Banten,
penghitungan dilakukan dengan
membandingkan jumlah responden yang
memilih bahasa Jawa dialek Banten
dengan jumlah seluruh responden di tiap-
tiap subvariabel. Dengan memperlihatkan angka
persentase pemakai bahasa Jawa dialek
Banten akan tampak jelas posisi
responden dengan jumlah pemilih yang
terbanyak hingga yang paling sedikit.
Melalui penghitungan dengan persentase
dapat diketahui juga bahwa jumlah
responden yang paling banyak
menggunakan bahasa Jawa dialek
Banten belum tentu berada pada
persentase tertinggi.
Grafik 8. Persentase Responden Berdasarkan
Pekerjaan yang Menggunakan Bahasa Jawa
Dialek Banten saat Marah, Berdoa,
Mengomentari Berita di Koran dan TV.
Dengan merujuk pada grafik 8, jumlah
responden paling sedikit untuk jenis
pekerjaan adalah ASN, yaitu sejumlah 19
responden. Dibandingkan dengan grafik
7, nampak bahwa persentase responden
dengan jenis pekerjaan sebagai ASN
menunjukkan persentase tinggi saat
sedang marah. Hal ini terjadi karena dari
19 jumlah responden yang bekerja
sebagai ASN, 17 di antaranya memilih
menggunakan bahasa Jawa dialek
Banten. Selain ASN, buruh, ibu rumah
tangga dan pedagang menunjukkan
kecenderungan pilihan bahasa Jawa
dialek Banten yang tinggi. Dilihat dari
jumlah persentase penggunanya,
responden dengan pekerjaan sebagai
buruh mencapai 87,5%, pedagang 84%
dan ibu rumah tangga 79,7% responden
yang menggunakan bahasa Jawa dialek
Banten saat sedang marah. Kecenderungan
pengguna bahasa Jawa dialek Banten di
bawah persentase 60, ditemukan pada
responden dengan pekerjaan sebagai
pelajar.
Perbedaan persentase responden
yang memilih menggunakan bahasa
Jawa dialek Banten berdasarkan jenis
pekerjaannya menunjukkan bahwa
pekerjaan dapat memengaruhi seseorang
untuk menggunakan satu bahasa. Dalam
penelitiannya tentang kelas sosial
masyarakat New York, Labov (1996)
menemukan kelompok pekerja kelas
rendah lebih banyak menggunakan
bentuk bahasa nonstandar dibandingkan
dengan pekerja kelas menengah dan
kelas atas.
Berbeda dari Labov, Guy (2013:
166) memandang bahwa kelas sosial
yang dihubungkan dengan penggunaan
bahasa tergantung pada konteks
komunitasnya. Labov melakukan kajian
terhadap komunitas industri di kota New
York, di mana kelas sosial dibedakan
berdasarkan jenis pekerjaan yang
dimilikinya, seperti pekerja urban,
professional, manajer, dan para
Bahasa Jawa Dialek Banten …(Siti Suharsih)
99
pemegang modal. Dalam konteks
masyarakat di negara dunia ketiga,
perkembangan industri tidak secara
langsung membedakan masyarakat
menjadi kelompok-kelompok sosial
karena sektor pertanian masih menjadi
pekerjaan bagi masyarakatnya. Salah
satu implikasi dari besarnya pengaruh
sektor pertanian terhadap perilaku
berbahasa masyarakat adalah
kecenderungan meluasnya bentuk
nonstandar dalam komunitas luas (Guy,
2013: 167).
Berdasarkan pembahasan
terhadap pilihan bahasa seluruh
responden saat melakukan komunikasi
intrapersonal (sedang marah, sedang
berdoa, mengomentari berita di koran,
dan mengomentari berita di TV)
menunjukkan kecenderungan
penggunaan bahasa Jawa dialek Banten
sebagai bahasa yang paling banyak
digunakan. Pilihan bahasa responden
sebagai penutur bahasa Jawa dialek
Banten menunjukkan bahwa 272
responden atau 80% dari total responden
memilih menggunakan bahasa Jawa
dialek Banten saat marah. Pilihan untuk
menggunakan bahasa Jawa dialek
Banten paling sedikit adalah saat
mengomentari berita di koran, yaitu
sebanyak 173 responden atau 50,8% dari
jumlah keseluruhan responden
Variabel sosial memberikan
pengaruh terhadap pilihan menggunakan
bahasa Jawa dialek Banten saat
berkomunikasi intrapersonal. Dari
varibel usia, responden dengan rentang
usia 51—60 tahun mendominasi 93,8%
penggunaan bahasa Jawa dialek Banten
saat berkomunikasi intrapersonal
dibandingkan dengan rentang usia
lainnya. Pada variabel jenis kelamin,
laki-laki mengungguli pemerolehan
persentase penggunaan bahasa Jawa
dialek Banten saat berkomunikasi
intrapersonal, yaitu sebesar 82,82%.
Untuk variabel pendidikan, diperoleh
hasil persentase tertinggi pada responden
yang tidak lulus SD, yaitu sebesar 95%.
Pada variabel pekerjaan, responden
dengan profesi aparatur sipil negara
(ASN) menggunakan bahasa Jawa dialek
Banten paling banyak dibandingkan
dengan jenis profesi lainnya, yaitu
94,7%.
PENUTUP
Bahasa Jawa dialek Banten sebagai salah
satu bahasa daerah yang digunakan oleh
masyarakat Banten dipilih oleh
mayoritas penuturnya sebagai sebuah
bentuk ekspresi diri, seperti pada saat
sedang marah, berdoa dalam hati,
mengomentari berita di koran, dan
mengomentari berita di TV. Penggunaan
bahasa Jawa dialek Banten dalam
komunikasi intrapersonal menunjukkan
bahwa bahasa daerah memiliki ruang
untuk mengekspresikan perasaan dan
gagasan penuturnya tanpa rasa takut dan
tertekan.
JURNAL BÉBASAN, Vol. 7, No. 1, Edisi Juni 2020: 84—101
100
Penggunaan bahasa Jawa dialek
Banten sebagai wujud dari ekspresi diri
dalam komunikasi intrapersonal
menunjukkan bahwa bahasa ini kuat
tertanam dalam diri penuturnya. Hal ini
menunjukkan kesetiaan menggunakan
bahasa Jawa dialek Banten tidak hanya
sebatas alat komunikasi dalam komunitas
penutur bahasa Jawa dialek Banten.
DAFTAR PUSTAKA
Chudari, A. Mudjahid. (2003). Kamus
Bebasan/Undak-Usuk Bahasa
Jawa Banten, Serang: Dinas
Budaya dan Pariwisata Provinsi
Banten.
Coulmas, Florian. (2006).
Sociolinguistics. The Study of
Speaker’s Choice. New York:
Cambridge University Press.
Eckert, Penelope. (2000). “Age as a
Sociolingusitic Variable” ed.
Florian Coulmas. The Handbook
of Sociolingusitics. Oxford:
Blackwell Publishers. 151-167
Emiliano, Emilda. Komunikasi
Intrapersonal.
www.academia.edu. Diunduh
tanggal 17 April 2020.
Fasold, Ralph W. (1984). The
Sociolinguistics of Society.
Oxford: Basil Blackwell
Publisher Ltd.
Fishman, Joshua A. (1972) The
Sociology of Language. An
Interdisciplinary Social Science
Approach to Language In Society.
Massachusetts: Newbury House.
Fishman, Joshua A. (1966). Language
Loyalty in The United States.
Paris: Mouton The Hague.
Grosjean, Francois. (1982). Life with Two
Languages. USA: President and
Fellow of Hardvard College.
Gunarwan, Asim. (2002). Pedoman
Penelitian Bahasa. Jakarta: Pusat
Bahasa Departemen Nasional
Jakarta.
Guy, Gregory R. “Language, Social
Class, and Status” ed.Rajend
Mesthrie The Cambridge
Handbook of Sociolinguistics.
Cambridge: Cambridge
University Press, 2013. 159-185
Holmes, Janet. (2001). An Introduction to
Sociolinguistics. 2nd
edition.
Essex: Pearson Education
Limited.
___________. (2013). An Introduction
to Sociolinguistics. 4th edition.
New York: Routledge.
Hudson, R.A. (1985). Sociolinguistics.
Sydney: Cambridge University
Press.
Hurlock, Elizabeth. (1980). Psikologi
Perkembangan: Suatu
Pendekatan Sepanjang Rentag
Kehidupan ed. Ridwan
Simanjuntak. Jakarta: Erlangga.
http://lumenlearning.com. Intrapesonal
Communication. Diunduh pada
tanggal 17 April 2020.
Iskandarwassid, dkk. (1985). Struktur
Bahasa Jawa Dialek Banten,
Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa,
Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Bahasa Jawa Dialek Banten …(Siti Suharsih)
101
Patmadiwiria, Munadi. (1961). “Bahasa
Djawa Banten”. Skripsi: FIB
Universitas Indonesia.
Patmadiwiria, Munadi. (1977). Kamus
Dialek Jawa Banten-Indonesia,
Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa,
Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Rakhmat, Jalaludin. (2007). Psikologi
Komunikasi. Bandung: Remadja
Rosdakarya.
Schilling, Natalie. (2011). Language,
Gender and Sexuality.
Cambridge: Cambridge
University Press.
Schleef, Erik. Written Surveys and
Questionnaires in
Sociolinguistics. ed. Janet Holmes
dan Kirk Hazen. West Sussex:
John Wiley & Son, Inc., 2014.
42-57.
Spolsky, Bernard. (2001).
Sociolinguistics. Hongkong:
Oxford University Press.
Syarifa, Rr. Chusnu. Komunikasi
Intrapersonal.
www.staffnew.uny.ac.id.
Diunduh pada tanggal 18 April
2020.