View
260
Download
7
Category
Preview:
Citation preview
EFEK KOMPOS LIMBAH BAGLOG JAMUR TIRAM PUTIH (Pleurotus
ostreatus Jacquin) TERHADAP SIFAT FISIK TANAH SERTA
PERTUMBUHAN BIBIT MARKISA KUNING (Passiflora edulis var. Flavicarpa
Degner)
DEDE SULAEMAN
A14070049
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN
DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PETANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
ABSTRAK
DEDE SULAEMAN. Efek Kompos Limbah Baglog Jamur Tiram Putih
(Pleurotus ostreatus Jacquin) Terhadap Sifat Fisik Tanah Serta Pertumbuhan
Bibit Markisa Kuning (Passiflora edulis var. Flavicarpa Degner). Dibimbing oleh
Oteng Haridjaja dan Rahayu Widyastuti.
Selama ini sebagian besar masyarakat atau industri masih memandang limbah
baglog jamur sebagai barang sisa yang tidak berguna. Penelitian ini bertujuan untuk
memanfaatkan limbah baglog jamur tiram putih dengan dijadikan kompos dan
mengetahui kualitasnya, serta mempelajari pengaruhnya terhadap sifat fisik tanah dan
pertumbuhan bibit markisa kuning.
Penelitian ini dilaksanakan pada akhir bulan Januari sampai Agustus 2011.
Pembuatan kompos dilakukan di Desa Munjul, Kec. Megamendung, Kab. Bogor. Uji
kualitas kompos dan pengaruh kompos terhadap sifat fisik tanah dilakukan di
Laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan IPB. Penanaman bibit
markisa dilakukan di greenhouse University Farm IPB. Penelitian ini dilaksanakan
dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial yang selanjutnya dilakukan uji
statistik ANOVA dan uji lanjut Duncan pada taraf 5% serta pengujian dalam bentuk
persamaan regresi. Dilakukan pula uji statistik t-student untuk membandingkan
metode Alhricks dan pF 2,54.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar parameter kualitas
kompos telah memenuhi SNI. Kompos dengan waktu pengomposan 60 hari memiliki
kualitas terbaik. Waktu pengomposan dan dosis kompos serta interaksi keduanya
berpengaruh sangat nyata terhadap sifat fisik tanah (bobot isi, permeabilitas,
kemampuan memegang air pada keadaan kapasitas lapang metode Alhricks dan pF
2,54). Nilai kadar air yang dihasilkan metode Alhricks dan pF 2,54 berbeda nyata.
Waktu pengomposan dan dosis kompos serta interaksi keduanya tidak berpengaruh
nyata terhadap pertumbuhan bibit markisa kuning.
Kata Kunci: kompos, limbah baglog, markisa kuning, sifat fisik tanah
ABSTRACT
DEDE SULAEMAN. Effect of Compost Made From Waste of White
Oyster Mushrooms (Pleurotus ostreatus Jacquin) Baglog on The Physical
Properties of Soil and The Growth of Yellow Passion Fruit Seedling (Passiflora
edulis var. Flavicarpa Degner). Supervised by Oteng Haridjaja and Rahayu
Widyastuti.
Most of people or industry still consider the waste of mushrooms baglog as a
useless material. This study aims to utilize the waste of white oyster mushrooms
baglog with composting and to study their quality, and studying its effect on the
physical properties of soil and the growth of yellow passion fruit seedling.
The research was carried out on January to August 2011. The composting
process was done in the village of Munjul, district of Megamendung, Bogor. The
quality test of compost and its effects on the physical properties of soil was conducted
in the Laboratory of the Department of Soil Science and Land Resources. The
planting of passion fruit seedling was done in the greenhouse of University Farm IPB.
The research was carried out with the Completely Randomized Design (CRD)
factorial and followed by the statistical test performed with ANOVA and the
Duncan’s test at the 5% level and a test in the form of regression equations. The t-
student statistical test was also used to compare the Alhricks and pF 2,54 methods.
The results showed that most of the parameters have a compliance with SNI
of compost quality. Compost with composting time of 60 days has the best quality.
The composting time and the compost dosage and the interactions of both have very
significant effect on the physical properties of soil (bulk density, permeability, and
water holding capacity at field capacity used Alhricks and pF 2,54 methods). The
value of water content resulted from Ahlrichs and pF 2,54 methods was significantly
different. The composting time and the compost dosage and the interactions of both
do not have significant affect to the growth of yellow passion fruit seedling.
Keywords: compost, physical properties of soil, waste baglog, yellow passion fruit
ii
EFEK KOMPOS LIMBAH BAGLOG JAMUR TIRAM PUTIH (Pleurotus
ostreatus Jacquin) TERHADAP SIFAT FISIK TANAH SERTA
PERTUMBUHAN BIBIT MARKISA KUNING (Passiflora edulis var. Flavicarpa
Degner)
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor
DEDE SULAEMAN
(A14070049)
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN
DEPARTEMAN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PETANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
i
Judul Penelitian : EFEK KOMPOS LIMBAH BAGLOG JAMUR TIRAM PUTIH
(Pleurotus ostreatus Jacquin) TERHDADAP SIFAT FISIK
TANAH SERTA PERTUMBUHAN BIBIT MARKISA
KUNING (Passiflora edulis var. Flavicarpa Degner)
Nama : Dede Sulaeman
NRP : A14070049
Menyetujui,
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Dr. Ir. Oteng Haridjaja, MSc. Dr. Rahayu Widyastuti, MSc.
NIP. 19490106 1974031 002 NIP. 19610607 1990022 001
Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan
Tanggal Lulus :
Dr. Ir. Syaiful Anwar, MSc.
NIP. 19621113 1987031 003
ii
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Dede Sulaeman yang merupakan putera ketujuh dari
tujuh bersaudara dari pasangan Bapak Daim dan Ibu Sa'diyah. Penulis dilahirkan
pada tanggal 21 April 1990 dan tumbuh berkembang di sebuah desa yang mayoritas
penduduknya sebagai petani yaitu Desa Kedung Krisik Utara, Kota Cirebon.
Penulis menyelesaikan pendidikan dasarnya di SDN Kedung Krisik Kota
Cirebon pada tahun 2001. Kemudian melanjutkan ke sekolah menengah di SMPN 9
Kota Cirebon dan lulus pada tahun 2004. Penulis melanjutkan sekolah ke SMAN 9
Kota Cirebon dan lulus pada tahun 2007. Pada tahun yang sama penulis diterima
sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB
(USMI).
Selama masa kuliah, penulis pernah aktif di kepengurusan HMIT (Himpunan
Mahasiswa Ilmu Tanah) tahun kepengurusan 2009-2010 pada divisi Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Berawal dari situ, penulis aktif dalam kegiatan mengenai
pengomposan dan menjadi ketua kelompok mahasiswa Laskar Hijau, suatu kelompok
mahasiswa yang bergerak di bidang lingkungan hidup khususnya pengomposan.
Memasuki semester lima, penulis sempat menjadi asisten praktikum mata kuliah
Agrogeologi (TSL 202). Selebihnya penulis aktif di kepengurusan Majelis Tal'lim Al
Furqon (Forum Kajian Islam Mahasiswa IPB).
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhaanahu wa ta'aala atas
rahmat dan kasih sayang-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi
yang berjudul “Efek Kompos Limbah Baglog Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus
Jacquin) Terhadap Sifat Fisik Tanah Serta Pertumbuhan Bibit Markisa Kuning
(Passiflora edulis var. Flavicarpa Degner)”.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai Agustus 2011. Tujuan
penelitian ini adalah memanfaatkan limbah baglog dengan dijadikan kompos dan
mempelajari kualitasnya, serta mempelajari pengaruhnya terhadap sifat fisik tanah
dan pertumbuhan bibit markisa kuning. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa
Waktu pengomposan dan dosis kompos serta interaksi keduanya berpengaruh sangat
nyata terhadap sifat fisik tanah (bobot isi, permeabilitas, kemampuan memegang air
pada keadaan kapasitas lapang metode Alhricks dan pF 2,54), namun tidak
berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan bibit markisa kuning.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini dapat diselesaikan dengan bantuan
banyak pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada Dr. Ir.
Oteng Haridjaja, M.Sc dan Dr. Rahayu Widyastuti, M.Sc atas bimbingan, pengarahan,
dan saran yang telah diberikan kepada penulis; keluarga tercinta atas do’a dan
dukungannya; PT. Surya Miranti Mandiri yang telah memfasilitasi penelitian ini; Staf
Laboratorium Konservasi Tanah dan Air; Staf Laboratorium Kimia dan Kesuburan
Tanah; kawan-kawan Wisma Al-Furqon dan At-Tauhid; serta seluruh sahabat
Soilscaper 44 yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis berharap agar hasil penelitian ini berguna bagi dunia ilmu tanah dan
bidang-bidang lain yang terkait dengan penelitian ini.
Bogor, Oktober 2011
Penulis
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ........................................................................................ vi
Teks ..................................................................................................... vi
Lampiran ............................................................................................. vii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................. ix
Teks ..................................................................................................... ix
Lampiran ............................................................................................. x
PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
Latar Belakang .................................................................................... 1
Tujuan ................................................................................................. 2
Manfaat Penelitian .............................................................................. 2
Hipotesis Penelitian ............................................................................. 2
TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 3
Jamur Tiram Putih ............................................................................... 3
Media Tanam Jamur ......................................................................... 3 Limbah Baglog ................................................................................ 5
Pengomposan ...................................................................................... 6
Kompos ............................................................................................ 6 Bahan Baku Kompos ....................................................................... 6 Karakteristik Kompos ...................................................................... 7
Sifat Fisik Tanah ................................................................................. 11
Bobot Isi Tanah ................................................................................ 11 Permeabilitas .................................................................................... 12 Kemampuan Memegang Air (Water Holding Capacity) ................. 12
Karakteristik Tanaman Markisa .......................................................... 13
BAHAN DAN METODE ........................................................................... 14
Tempat dan Waktu Penelitian .............................................................. 14
Alat dan Bahan .................................................................................... 14
Alat .................................................................................................. 14 Bahan ............................................................................................... 14
Metode Penelitian ............................................................................... 16
Pengambilan Contoh Tanah ............................................................. 16 Pembuatan Kompos ......................................................................... 16 Penyemaian dan Pembibitan Markisa .............................................. 18
v
Analisis Kimia Kompos ................................................................... 19 Analisis Tanah Setelah Perlakuan .................................................... 19
Analisis Data ....................................................................................... 21
HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................... 24
Analisis Awal Tanah ............................................................................ 24
Analisis Awal Limbah Baglog Jamur Tiram Putih .............................. 25
Pengomposan Limbah Baglog Jamur Tiram Putih ............................. 26
Kandungan C-org (%), N-total (%), dan Rasio C/N ........................ 26 Suhu ................................................................................................. 28 Tingkat Kemasaman (pH) ................................................................ 30 Penurunan Volume Bahan Kompos ................................................. 30 Kapasitas Tukar Kation .................................................................... 31 Warna Kompos ................................................................................ 32 Hasil Analisis Kompos Setelah Panen dan Setelah Masa Penyimpanan 33
Pengaruh Kompos Limbah Baglog Jamur Tiram Putih Terhadap Sifat Fisik Tanah .......................................................................................... 38
Bobot Isi ........................................................................................... 39 Permeabilitas .................................................................................... 42 Kemampuan Menahan Air (Water Holding Capacity) .................... 45 Perbandingan Metode Alhricks dan Metode pF 2,54 ...................... 52
Pengaruh Kompos Limbah Baglog Jamur Tiram Putih Terhadap pH Tanah 54
Pengaruh Kompos Limbah Baglog Jamur Tiram Putih Terhadap Pertumbuhan Bibit Markisa Kuning (Passiflora edulis var.Flavicarpa Degner) ................................................................................................ 58
Penambahan Tinggi Tanaman .......................................................... 59 Jumlah Daun Sejati .......................................................................... 59 Biomassa Tanaman .......................................................................... 60
KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 61
Kesimpulan ......................................................................................... 61
Saran .................................................................................................... 61
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 62
LAMPIRAN ................................................................................................ 67
vi
DAFTAR TABEL
Teks
Nomor Halaman
1. Rata-rata komposisi kimia kayu ........................................................... 4
2. Metode analisis dan alat yang digunakan dalam penelitian ................. 15
3. Hasil analisis fisik dan kimia tanah latosol Megamendung ................. 24
4. Kandungan unsur hara, rasio C/N, dan Kapasitas Tukar Kation (KTK)
limbah baglog jamur tiram putih ......................................................... 25
5. Kandungan C-org (%), N-total, dan rasio C/N kompos dengan
perlakuan waktu pengomposan 30, 45, dan 60 hari ............................. 26
6. Tingkat kemasaman (pH) kompos dengan perlakuan waktu
pengomposan 30, 45, dan 60 hari ........................................................ 30
7. Penurunan volume kompos pada perlakuan waktu pengomposan 30,
45, dan 60 hari ...................................................................................... 31
8. Kapasitas tukar kation kompos pada perlakuan waktu pengomposan
30, 45, dan 60 hari ................................................................................ 31
9. Warna kompos 30, 45, dan 60 hari pada keadaan kering udara dan
kapasitas lapang 32
10. Hasil analisis kimia dan fisik kompos pada perlakuan waktu
pengomposan 30 hari ........................................................................... 34
11. Hasil analisis kimia dan fisik kompos pada perlakuan waktu
pengomposan 45 hari ........................................................................... 35
12. Hasil analisis kimia dan fisk kompos pada perlakuan waktu
pengomposan 60 hari ........................................................................... 36
13. Pengaruh jenis dan dosis kompos serta interaksi keduanya tehadap
sifat fisik tanah ..................................................................................... 38
14. Perbandingan nilai kadar air metode Alhricks dan metode pF 2,54 .... 53
15. Pengaruh jenis dan dosis kompos serta interaksi keduanya tehadap
pH tanah ............................................................................................... 55
vii
Lampiran
1. Hasil pengamatan kandungan C-org, N-total, C/N rasio, Kadar abu,
dan bahan organik kompos pada kompos 30, 45, dan 60 hari. ............ 67
2. Hasil pengamatan kadar air kompos dengan perlakuan waktu
pengomposan 30, 45, dan 60 hari. ....................................................... 67
3. Hasil pengamatan suhu kompos pada perlakuan waktu pengomposan
30 hari .................................................................................................. 68
4. Hasil pengamatan suhu kompos pada perlakuan waktu pengomposan
45 hari .................................................................................................. 68
5. Hasil pengamatan suhu kompos pada perlakuan waktu pengomposan
60 hari .................................................................................................. 70
6. Hasil pengamatan penurunan volume kompos pada perlakuan waktu
pengomposan 30, 45, dan 60 hari ........................................................ 71
7. Rekapitulasi sidik ragam pengaruh jenis dan dosis kompos serta
interaksi keduanya terhadap bobot isi standar (g/cm3) ........................ 71
8. Rekapitulasi sidik ragam pengaruh jenis dan dosis kompos serta
interaksi keduanya terhadap KAKL metode Alhricks (%) .................. 72
9. Rekapitulasisidik ragam pengaruh jenis dan dosis kompos serta
interaksi keduanya terhadap KAKL metode pF 2,54 (%) .................... 72
10. Rekapitulasi sidik ragam pengaruh jenis dan dosis kompos serta
interaksi keduanya terhadap permeabilitas tanah (cm3/jam) ................ 72
11. Rekapitulasi sidik ragam pengaruh jenis dan dosis kompos serta
interaksi keduanya terhadap pH tanah ................................................. 72
12. Perbedaan metode Alhricks dan pF 2,54 dalam menentukan kadar air
kemampuan memegang air tanah pada keadaan kapasitas lapang ....... 73
13. Analisis sidik ragam pengaruh jenis dan dosis kompos serta interaksi
keduanya terhadap penambahan tinggi tanaman (cm) ......................... 74
14. Analisis sidik ragam pengaruh jenis dan dosis kompos serta interaksi
keduanya terhadap jumlah daun sejati ................................................. 74
viii
15. Analisis sidik ragam pengaruh jenis dan dosis kompos serta interaksi
keduanya terhadap biomassa bibit markisa (gram) .............................. 75
16. Hasil pengamatan pengaruh jenis dan dosis komposlimbah baglog
jamur tiram putih terhadap sifat fisik tanah ......................................... 75
17. Hasil pengamatan pengaruh jenis dan dosis kompos limbah baglog
jamur tiram putih serta interaksi keduanya terhadap penambahan
tinggi (cm) ............................................................................................ 77
18. Hasil pengamatan pengaruh jenis dan dosis kompos limbah baglog
jamur tiram putih terhadap bobot biomassa tanaman (gram) .............. 78
19. Kriteria penilaian hasil analisis tanah unsur mikro DTPA Balai
Penelitian Tanah 2005 .......................................................................... 79
20. Kriteria penilaian hasil analisis tanah Balai Penelitian Tanah 2005 .... 80
21. Kriteria penilaian hasil analisis tanah unsur makro dan mikro morgan
Balai Penelitian Tanah 2005 ................................................................. 80
22. Kriteria penilaian hasil analisis pH tanah Balai Penelitian Tanah
2005 ...................................................................................................... 80
23. Standar Kualitas Kompos (SNI 19-7030-2004) tentang spesifikasi
kompos dari sampah organik domestik Balai Penelitian Tanah 2005 .. 81
DAFTAR GAMBAR
Teks
Nomor Halaman 1. Baglog tua (a) dan baglog terkontaminasi (b) ...................................... 6
2. Hubungan antara waktu pengomposan dan suhu kompos 30 hari ....... 28
3. Hubungan antara waktu pengomposan dan suhu kompos 45 hari ....... 29
4. Hubungan antara waktu pengomposan dan suhu kompos 60 hari ....... 30
5. Hubungan antara dosis kompos 30 hari dan bobot isi (g/cm3) ............ 39
6. Hubungan antara dosis kompos 45 hari dan bobot isi (g/cm3) ............ 40
7. Hubungan antara dosis kompos 60 hari dan bobot isi (g/cm3) ............ 41
8. Hubungan antara dosis kompos 30 hari dan permeabilitas tanah
(cm/jam) ............................................................................................... 43
9. Hubungan antara dosis kompos 45 hari dan permeabilitas tanah
(cm/jam) ............................................................................................... 44
10. Hubungan antara dosis kompos 60 hari dan permeabilitas tanah
(cm/jam) ............................................................................................... 45
11. Hubungan antara dosis kompos 30 hari dan KAKL metode Alhricks
(%) ........................................................................................................ 46
12. Hubungan antara dosis kompos 45 hari dan KAKL metode Alhricks
(%) ........................................................................................................ 47
13. Hubungan antara dosis kompos 60 hari dan KAKL metode Alhricks
(%) ........................................................................................................ 48
14. Hubungan antara dosis kompos 30 hari dan KAKL metode pF 2,54
(%) ........................................................................................................ 50
15. Hubungan antara dosis kompos 45 hari dan KAKL metode pF 2,54
(%) ........................................................................................................ 51
16. Hubungan antara dosis kompos 60 hari dan KAKL metode pF 2,54
(%) ........................................................................................................ 52
17. Hubungan antara penambahan dosis kompos 30 hari dengan pH tanah 56
x
18. Hubungan antara penambahan dosis kompos 45 hari dengan pH tanah 57
19. Hubungan antara penambahan dosis kompos 60 hari dengan pH tanah 58
Lampiran
1. Desain tata letak perlakuan penelitian .................................................. 82
2. Mengumpulkan bahan kompos............................................................... 82
3. Melembabkan bahan kompos.................................................................. 83
4. Menumpuk bahan kompos...................................................................... 82
5. Menutup kotak kompos ........................................................................ 83
6. Membalik kompos................................................................................... 82
7. Mengukur suhu .................................................................................... 83
8. Benih markisa hasil ekstraksi ..................................................................... 83
9. Penyemaian benih markisa ................................................................... 84
10. Umur bibit 0 MST.................................................................................. 83
11. Desain tata letak penelitian .................................................................. 84
12. Umur bibit 6 MST ................................................................................ 84
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Seiring dengan tumbuhnya usaha budidaya jamur di Indonesia, maka limbah
yang dihasilkan berupa baglog atau media tanam jamur juga semakin meningkat.
Sebuah baglog memiliki berat 1,2 kg dengan masa produksi selama tiga sampai
empat bulan. PT Surya Miranti Mandiri memiliki usaha budidaya jamur dengan
kapasitas 10.000 baglog. Hal ini berarti perusahaan tersebut dapat menghasilkan
limbah baglog sekitar 12 ton dalam empat bulan (3 ton/bulan).
Selama ini sebagian besar masyarakat atau industri masih memandang limbah
tersebut sebagai barang sisa yang tidak berguna, bukan sebagai sumber daya yang
dapat dimanfaatkan. Untuk menanggulangi permasalahan mengenai limbah tersebut,
maka limbah-limbah yang dihasilkan harus dikelola secara baik dengan menggunakan
teknologi yang tepat. Namun, masih banyak yang mengelola limbah dengan
pendekatan akhir yaitu dengan membuang langsung limbah ke lingkungan.
Paradigma pengelolaan limbah yang bertumpu pada pendekatan akhir sudah
saatnya ditinggalkan dan diganti dengan paradigma baru pengelolaan limbah.
Paradigma baru memandang limbah sebagai sumber daya yang mempunyai nilai
ekonomi dan dapat dimanfaatkan, misalnya untuk energi, kompos, pupuk ataupun
untuk bahan baku industri.
Pengelolaan limbah seharusnya dilakukan dengan pendekatan yang
komprehensif dari hulu, sejak sebelum dihasilkan suatu produk yang berpotensi
menjadi limbah, sampai ke hilir, yaitu pada fase produk sudah digunakan sehingga
menjadi limbah, yang kemudian dikembalikan ke media lingkungan secara aman.
Baglog jamur merupakan salah satu limbah yang berpotensi menimbulkan
permasalahan lingkungan di sekitar kita. Salah satu cara memanfaatkan limbah ini
adalah dengan cara mengomposkannya dan dijadikan sebagai pupuk organik yang
dapat bermanfaat bagi tanah dan tanaman.
2
Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mempelajari pengaruh waktu pengomposan terhadap kualitas kompos yang
dihasilkan.
2. Mempelajari pengaruh waktu pengomposan dan dosis kompos terhadap sifat fisik
tanah serta pertumbuhan bibit markisa kuning.
Manfaat Penelitian
Dengan diketahuinya manfaat kompos berbahan dasar limbah baglog jamur
terhadap sifat fisik tanah dan pembibitan tanaman markisa, maka diharapkan hal
tersebut dapat memberikan manfaat bagi masyarakat pada umumnya dan petani jamur
pada khususnya, serta lingkungan. Manfaat yang dapat diperoleh masyarakat pada
umumnya dan petani jamur pada khususnya, yaitu diperolehnya informasi mengenai
pemanfaatan limbah ini yang dapat dilakukan secara mandiri serta mendapatkan
alternatif pemanfaatan limbah baglog jamur. Manfaat bagi lingkungan, dengan
dimanfaatkannya limbah hasil usaha budidaya jamur berupa baglog, maka
pencemaran lingkungan akibat limbah ini dapat diatasi sehingga tercipta lingkungan
yang bersih dan indah.
Hipotesis Penelitian
1. Semakin lama waktu pengomposan maka kualitas kompos yang dihasilkan akan
semakin baik.
2. Semakin lama waktu pengomposan dan semakin banyak dosis yang diberikan
pada tanah maka sifat fisik tanah dan pertumbuhan bibit markisa kuning akan
semakin baik.
TINJAUAN PUSTAKA
Jamur Tiram Putih
Jamur terdiri dari bermacam-macam jenis, ada yang merugikan dan ada yang
menguntungkan bagi kehidupan manusia. Jamur yang merugikan antara lain karena
bersifat patogen yaitu dapat menyebabkan penyakit pada manusia, hewan maupun
tumbuhan. Diantara jamur yang menguntungkan manusia misalnya : penicillium yang
menghasilkan antibiotik penisilin, jamur-jamur yang berperan dalam proses
fermentasi makanan seperti kecap, tempe, tape, tauco dan lain-lain. Bahkan banyak
jenis jamur yang dapat dikonsumsi (dimakan) antara lain jamur kuping, jamur tiram,
jamur shiitake, jamur agaricus (campignon) dan jamur merang.
Jamur tiram putih merupakan salah satu jamur kayu yang sekarang telah
banyak dibudidayakan orang. Media tanam atau substratnya yang sudah umum
digunakan adalah gergajian kayu alba (sengon), tetapi sembarang gergajian kayu
sebetulnya dapat digunakan, tentunya kayu yang tidak beracun, kemudian di campur
dengan bahan-bahan yang lain dengan perbandingan tertentu (Anonima, 2011).
Media Tanam Jamur
Limbah industri penggergajian kayu dengan potensi 7,8 juta m3 per tahun
belum banyak dimanfaatkan (Roliadi dan Pasaribu, 2011). Limbah serbuk gergaji
dapat dimafaatkan menjadi berbagai olahan limbah yang sangat bermanfaat. Serbuk
kayu yang dihasilkan dari limbah penggergajian kayu dapat dimanfaatkan menjadi
briket arang, arang aktif, komposit kayu plastik (Setyawati, 2003), pot organik
sebagai pengganti polybag (Cahyono, 2000), sebagai media tanam jamur (Sariyono,
2000) dan bentuk-bentuk lainnya, misalnya untuk energi, kompos, pupuk ataupun
untuk bahan baku industri.
Susunan kimia serbuk gergaji berbeda menurut jenis kayunya, berikut ini
merupakan rata-rata komposisi kimia kayu :
4
Tabel 1. Rata-rata komposisi kimia kayu
Komponen Kandungan (% berat kering) Karbon (C) 45-50
Hidrogen (H) 6,0-6,5 Oksigen (O) 38-42 Nitrogen (N) 0,1-0,5
Sulfur (S) 0,05 Sumber : Anonimb (2011) Penyakit dan hama sering timbul pada baglog (media tanam jamur) dan jamur
karena kurangnya ketelitian dan kehati-hatian dalam melakukan penanganan
produksi, salah satunya proses pemeliharaan. Hal tersebut menimbulkan pekerjaan
baru karena penyakit dan hama yang menyerang harus segera ditangani. Hama dan
penyakit seperti spora jamur pengkontaminasi, bakteri pengganggu, ataupun virus
dapat menyebar dengan mudah melalui aliran udara. Bahkan hama serangga dapat
menyebar dengan cara terbang melawan aliran udara. Demikian pula dengan air,
tanah, manusia, dan bibit dapat membawa sumber penyakit yang sama seperti udara.
Penyakit pada jamur tiram biasanya disebabkan oleh fungi, kapang, bakteri
ataupun virus. Jamur tiram atau baglog yang terserang penyakit biasanya ditandai
dengan timbulnya noda-noda berwarna, berlendir, atau kerusakan fisik tubuh buah
jamur tiram sehingga tidak dapat dipanen. Secara umum, timbulnya penyakit pada
jamur ini disebabkan karena kurang sterilnya proses produksi mulai dari pembibitan
hingga inkubasi.
Beberapa jenis penyakit yang umum terdapat pada jamur tiram diantaranya :
1. Trichoderma spp.
Trichoderma dapat menyebar melalui udara atau terbawa oleh pekerja. Ciri-
ciri kontaminasi yang disebabkan oleh jamur ini adalah timbulnya bintik-bintik atau
noda hijau pada media baglog jamur tiram sehingga pertumbuhan miselium jamur
tiram menjadi terhambat. Trichoderma biasanya banyak terdapat pada media log
jamur yang telah mati atau pada permukaan tanah. Cara mengatasi masalah ini adalah
dengan segera membuang media log jamur tiram yang telah terkontaminasi,
5
sedangkan pencegahannya dapat dilakukan dengan melakukan sterilisasi/desinfektasi
tenaga kerja dan peralatan yang digunakan untuk perawatan kumbung.
2. Mucor spp.
Kontaminasi Mucor ditandai dengan timbulnya noda hitam pada permukaan
media baglog. Kontaminasi ini menyebabkan adanya persaingan pertumbuhan Mucor
dengan miselium jamur tiram. Pencegahan dapat dilakukan dengan mengurangi
jumlah susunan baglog jamur dan mengatur atau menurunkan suhu ruangan dengan
membuka dan mengatur sirkulasi udara.
3. Neurospora spp.
Neurospora dapat menghambat pertumbuhan miselium dan tubuh buah.
Neurospora menimbulkan tepung “orange” pada permukaan kapas penyumbat
baglog. Pencegahan dilakukan dengan melakukan sterilisasi media baglog dengan
sempurna dan mengurangi jumlah susunan baglog jamur tiram.
4. Penicillium spp.
Kontaminasi Penicillium ditandai dengan tumbuhnya miselium berwarna
coklat atau merah tua. Pencegahan dapat dilakukan dengan cara menjaga kebersihan
ruang inkubasi, sedangkan untuk mengatasi agar serangan Penicillium tidak
menyebar adalah dengan membuang media baglog yang terkontaminasi (Sritopo,
1999).
Limbah Baglog
Baglog merupakan istilah lain dari media tanam jamur. Terdapat dua macam
baglog yang berpotensi menjadi limbah bagi lingkungan, yaitu baglog tua dan baglog
terkontaminasi. Baglog tua berasal dari baglog yang sudah tidak produktif lagi atau
sudah tidak menghasilkan jamur. Baglog tua biasanya baglog yang telah berumur
lebih dari tiga bulan. Baglog terkontaminasi disebabkan karena sebelum baglog
ditumbuhi jamur, baglog mengalami masa inkubasi, yaitu masa penumbuhan
mycellium hingga baglog full grown. Pada masa inkubasi terdapat baglog yang
terkontaminasi atau gagal tumbuh. Baglog yang terkontaminasi dikeluarkan dari
bedeng dan menjadi limbah (Maonah, 2010).
6
Gambar 1. Baglog tua (a) dan baglog terkontaminasi (b)
Pengomposan
Kompos
Kompos adalah hasil pembusukan sisa-sisa tanaman yang disebabkan oleh
aktivitas mikrob pengurai (Novizan, 2007). Pengomposan didefinisikan sebagai
proses biokimiawi yang melibatkan mikrob sebagai agnesia (perantara) yang
merombak bahan organik menjadi bahan yang mirip dengan humus. Hasil
perombakan tersebut disebut kompos. Kompos memiliki keunggulan-keunggulan lain
yang tidak dapat digantikan oleh pupuk kimiawi, yaitu kompos mampu:
a. Mengurangi kepadatan tanah, sehingga memudahkan perkembangan akar dan
kemampuannya dalam penyerapan hara.
b. Meningkatkan kemampuan tanah dalam mengikat air, sehingga tanah dapat
menyimpan air lebih lama dan mencegah terjadinya kekeringan pada tanah.
c. Menahan erosi tanah, sehingga mengurangi pencucian hara.
d. Menciptakan kondisi yang sesuai untuk pertumbuhan jasad penghuni tanah
seperti cacing dan mikrob tanah yang sangat berguna bagi kesuburan tanah
(Aminah, Soedarsono, dan Sastro, 2003).
Bahan Baku Kompos
Bahan dasar pupuk organik, baik dalam bentuk kompos maupun pupuk
kandang dapat berasal dari limbah pertanian, seperti: jerami dan sekam padi, kulit
a b
7
kacang tanah, ampas tebu, belotong, batang jagung, dan bahan hijauan lainnya;
sedangkan kotoran ternak yang banyak dimanfaatkan adalah kotoran sapi, kerbau,
kambing, ayam, dan itik. Dengan berkembangnya permukiman, perkotaan, dan
industri, maka bahan dasar kompos semakin beraneka ragam. Bahan yang banyak
dimanfaatkan diantaranya adalah limbah cair, sampah kota dan sampah permukiman
(Sutantoa, 2002).
Limbah media tanam jamur (baglog) yang dihasilkan dari industri budidaya
jamur dapat dimanfaatkan menjadi bahan baku pembuatan kompos. Pemanfaatan
limbah baglog jamur tiram diantaranya untuk didaurulang lagi sebagai media baglog,
dibuat pupuk kompos, dan digunakan sebagai bahan bakar dalam proses steamer
baglog (Anonima, 2010).
Karakteristik Kompos
Rasio C/N. Setiap bahan organik mengandung unsur C (karbon) dan N
(nitrogen) dengan perbandingan (komposisi) yang berbeda-beda antara bahan yang
satu dengan yang lainnya. Perbandingan unsur C dan N dalam suatu bahan
dinyatakan dengan rasio C/N. Kompos matang biasanya dilihat dari hasil uji rasio
C/N (Isroia, 2008). Suatu bahan yang mengandung unsur C tinggi maka nilai C/N
rasionya akan tinggi, sebaliknya bahan yang mengandung unsur N yang tinggi nilai
C/N rasionya akan rendah. Nilai rasio C/N tersebut akan berpengaruh terhadap proses
pengomposan. Semakin tinggi rasio C/N suatu bahan maka semakin lambat untuk
diubah menjadi kompos; sebaliknya bahan dengan rasio C/N rendah akan
mempercepat proses pengomposan, tetapi apabila nilai rasio C/N terlalu rendah maka
proses pengomposan akan menghasilkan produk sampingan yaitu gas amoniak yang
berbau busuk.
Idealnya bahan-bahan yang akan dikomposkan bernilai rasio C/N 30:1. Pada
nilai tersebut diperlukan lebih kurang satu bulan untuk mengubah bahan menjadi
kompos. Namun demikian, di alam tidaklah begitu mudah memperoleh bahan yang
memiliki rasio C/N 30:1. Untuk memperoleh bahan-bahan dengan rasio C/N
mendekati angka tersebut, disarankan mencampur beberapa bahan. Bahan-bahan
8
yang mengandung C tinggi dicampur dengan bahan-bahan yang mengandung N
tinggi sehingga diperoleh campuran bahan yang nilai C/N rasionya mendekati 30:1.
Dengan demikian diharapkan proses pengomposan dapat berlangsung lebih cepat.
Sebagai contoh, untuk mempercepat pengomposan dedaunan dapat ditambahkan
kotoran hewan atau pupuk urea ke dalam campuran (Aminah et al., 2003).
Bahan kompos, seperti sekam, jerami padi, batang jagung, dan serbuk gergaji,
memiliki C/N rasio antara 50-100. Daun segar memiliki rasio C/N sekitar 10-20.
Proses pembuatan kompos akan menurunkan rasio C/N hingga menjadi 12-15.
Tahapan proses pembuatan kompos sebagai berikut:
Kondisi kelembaban dan bahan dasar kompos menentukan rasio C/N dan nilai
pupuk kompos. Hasil akhir pupuk kompos harus mengandung antara 30-60% bahan
organik. Pengujian kimiawi termasuk pengukuran C, N dan rasio C/N merupakan
indikator kematangan kompos. Apabila rasio C/N kompos 20 atau lebih kecil berarti
kompos tersebut siap digunakan. Akan tetapi, rasio C/N bahan kompos yang baik
dapat berkisar antara 5 dan 20 (Sutantob, 2002). Jika rasio C/N telah mencapai angka
12-20 berarti unsur hara yang terikat pada humus telah dilepaskan melalui proses
mineralisasi sehingga dapat digunakan oleh tanaman (Novizan, 2007).
Bahan organik tidak dapat digunakan secara langsung oleh tanaman karena
rasio C/N bahan tersebut tidak sesuai dengan rasio C/N tanah. Penggunaan bahan
organik segar (belum mengalami proses dekomposisi) dengan nilai C/N>25 yang
dicampur/dibenam di dalam tanah akan mengalami proses penguraian secara aerob
(pemberian bahan organik di lahan kering) atau anaerob (pemberian bahan organik di
lahan sawah) lebih dahulu. Hal ini menyebabkan ketersediaan N, P, dan K tanah
menurun, karena diserap dan digunakan oleh mikroba dekomposer untuk aktivitas
peruraian bahan organik. Akibatnya terjadi persaingan antara tanaman dengan mikrob
dekomposer dalam pengambilan unsur N, P, dan K. Selain terjadi persaingan dalam
pengambilan hara, proses peruraian aerob juga menghasilkan energi/suhu sehingga
suhu tanah meningkat. Kedua hal tersebut dapat menyebabkan tanaman kekurangan
hara (pertumbuhan tanaman terhambat) atau bahkan tanaman mati, oleh karena itu
penggunaan bahan organik yang mempunyai kadar C tinggi tetapi kadar N, P, dan K
9
rendah, sebaiknya sebelum digunakan diproses lebih dahulu sampai bahan organik
tersebut menjadi kompos. Pada bahan organik yang telah terdekomposisi (menjadi
kompos) telah terjadi proses mineralisasi unsur hara dan terbentuk humus yang
sangat bermanfaat bagi kesuburan dan kesehatan tanah (Sutantoa, 2002).
Ukuran Bahan yang Dikomposkan. Semakin kecil ukuran bahan organik
yang dikomposkan maka proses pengomposan akan berlangsung lebih cepat, sebab
semakin kecil ukuran bahan maka semakin luas pula permukaan yang dapat dirombak
oleh mikroba pengurai. Oleh sebab itu, untuk menyiasati agar proses pengomposan
berlangsung lebih cepat maka sebaiknya bahan dicacah menjadi potongan-potongan
kecil.
Aerasi. Proses pengomposan dapat berlangsung dalam suasana aerob dan
anaerob. Dalam aktivitasnya merombak bahan organik pada suasana aerob, mikrob
aerobik memerlukan oksigen, sedangkan mikrob anaerobik tidak memerlukan
oksigen. Proses pengomposan yang berlangsung tanpa oksigen (anaerob), biasanya
akan menimbulkan bau busuk yang disebabkan terlepasnya gas-gas seperti amonia.
Selain itu waktunya pun lebih lama.
Untuk memberikan cukup aerasi dalam proses pengomposan dapat dilakukan
dengan cara menyediakan celah-celah kosong di bagian bawah tumpukan bahan
untuk memudahkan sirkulasi udara. Cara lainnya adalah dengan membalik tumpukan
secara berkala, setiap seminggu sekali sampai kompos terbentuk.
Kelembaban. Keadaan lingkungan yang lembab sangat diperlukan dalam
aktivitas mikrob pengurai, sehingga mengatur kelembaban perlu dilakukan dalam
pembuatan kompos. Bahan yang kering akan menghentikan aktivitas mikrob yang
akan menghambat proses dekomposisi. Bahan yang terlalu basah akan menghambat
aerasi yang pada akhirnya juga akan menghambat proses penguraian oleh mikrob.
Kelembaban optimal yang disarankan adalah 40-60%. Jika bahan terlalu kering, air
perlu ditambahkan, tetapi jika ternyata bahan-bahan yang dikompos banyak
10
mengandung air, maka perlu diupayakan drainase yaitu dengan cara menempatkan
bahan pada dasar yang miring.
Karena mikrob hanya dapat menyerap hara tanaman dalam bentuk larutan,
maka kelembaban yang sesuai diperlukan selama proses dekomposisi berlangsung.
Kelembaban paling sedikit 25-30% berat kering bahan. Di bawah kadar air 20%,
proses dekomposisi praktis berhenti.
Kandungan air limbah organik bervariasi antara 30 dan 75%. Makin banyak
yang didekomposisi maka bahan menjadi padat. Ruang pori diisi air dan penghawaan
menjadi menurun sehingga terjadi kekahatan oksigen. Kandungan air yang optimum
paling sedikit 50-60%. Jumlah air maksimum yang diperbolehkan tergantung pada air
yang dikandung bahan dasar dan besarnya air yang dapat diserap tanpa menyebabkan
terjadinya perubahan struktur. Di wilayah tropika dan sub tropika perhatian yang
lebih besar harus diberikan untuk meningkatkan kandungan air secara optimal selama
proses dekomposisi berlangsung.
Dalam kondisi yang lembab, maka kelembaban meningkat sangat tinggi
karena aliran air rembesan, proses kondensasi dan genangan yang terjadi akibat
lapisan tanah yang mampat dan bersifat impermeabel di bawah timbunan kompos.
Kondisi anaerob ditunjukkan terjadinya proses peruraian yang menimbulkan bau.
Komposisi substratum mempengaruhi kandungan air timbunan kompos.
Penambahan bahan yang kasar dan kering dalam jumlah banyak dan disertai
pembalikan kompos selama proses dekomposisi berlangsung akan memperbaiki
pertukaran gas dan menekan kandungan air. Apabila fraksi tertentu harus dikeringkan
di bawah terik matahari, cara ini akan menyebakan kehilangan hara tertentu.
(Sutantoa, 2002).
Suhu. Proses dekomposisi bahan organik menghasilkan panas sebagai akibat
dari terjadinya metabolisme pada mikrob pengurai. Pada awal pengomposan suhu
tumpukan bahan akan berada pada kisaran 320C dan akan terus naik sampai 600C
bahkan 780C. Tinggi rendahnya suhu tergantung dari bahan yang dikomposkan.
Bahan dengan rasio C/N tinggi akan sulit mencapai suhu tinggi, sebaliknya bahan-
bahan dengan rasio C/N rendah akan cepat mencapai suhu tinggi. Semakin tinggi
11
suhu yang bisa dicapai akan semakin cepat pula proses pengomposan.
Kecenderungan tersebut digunakan untuk menyiasati agar proses pengomposan dapat
berlangsung lebih cepat yaitu dengan cara menutup bahan yang dikomposkan dengan
terpal sehingga panas yang dihasilkan tidak keluar tetapi bertahan di dalam. Dalam
suhu yang stabil mikrob pengurai akan bekerja dengan lebih cepat. Pengomposan
akan berlangsung efisien jika dapat mencapai suhu sekurang-kurangnya 600C.
Proses pembuatan kompos dapat berlangsung dari enam bulan sampai dua
tahun, namun dengan melakukan pengelolaan terhadap lima faktor tersebut di atas,
kompos dapat disiapkan dalam satu bulan, bahkan dua minggu untuk kompos dari
bahan sampah pasar. Ciri-ciri keberhasilan pembuatan kompos adalah selama proses
pengomposan tidak menimbulkan bau busuk dan kompos yang dihasilkan berwarna
cokelat kehitaman seperti warna tanah (humus) yang lembab (Aminah et al., 2003)
Sifat Fisik Tanah
Bobot Isi Tanah
Bobot is tanah merupakan salah satu sifat fisik tanah yang paling sering
ditentukan, karena keterkaitannya yang erat dengan kemudahan penetrasi akar di
dalam tanah, drainase dan aerasi tanah, serta sifat fisik tanah lainnya. Seperti sifat
tanah yang lainnya, bobot isi mempunyai variabilitas spasial (ruang) dan temporal
(waktu). Nilai bobot isi bervariasi antara satu tanah dengan tanah yang lain
disebabkan oleh variasi kandungan bahan organik, tekstur tanah, kedalaman
perakaran, struktur tanah, jenis fauna, dan lain-lain. Nilai bobot isi sangat dipengaruhi
oleh pengelolaan yang dilakukan terhadap tanah. Nilai bobot isi terendah biasanya
didapatkan di permukaan tanah sesudah pengolahan tanah.
Pada tanah yang mudah mengembang dan mengkerut, bobot isi berubah-ubah
seiring berubahnya kadar air tanah. Oleh sebab itu, untuk tanah yang mengembang
dan mengkerut, nilai bobot isi perlu disertai dengan data kadar air. Tanah dengan
bahan organik yang tinggi mempunyai bobot isi yang relatif rendah. Tanah dengan
ruang pori total tinggi, seperti tanah liat, cenderung mempunyai bobot isi lebih
12
rendah. Sebaliknya, tanah dengan tekstur kasar, walaupun ukuran porinya lebih besar,
namun total ruang porinya lebih kecil, mempunyai bobot isi yang lebih tinggi.
Komposisi mineral tanah, seperti dominannya mineral dengan berat jenis partikel
tinggi di dalam tanah, menyebabkan bobot isi tanah menjadi lebih tinggi pula
(Grossman dan Reinsch, 2002 dalam Kurnia, Agus, Adimihardja, dan Dariah, 2006).
Permeabilitas
Pergerakan air di dalam tanah merupakan aspek penting dalam hubungannya
dengan bidang pertanian. Beberapa proses penting, seperti masuknya air ke dalam
tanah, pergerakan air ke zona perakaran, keluarnya air lebih (excess eater) atau
drainase, aliran permukaan dan evaporasi, sangat dipengaruhi oleh kemampuan tanah
untuk melewatkan air (Kurnia et al., 2006). Parameter atau ukuran yang dapat
menggambarkan kemampuan tanah dalam melewatkan air disebut sebagai
konduktivitas hidrolik (hydraulic conductivity) (Klute dan Dirksen, 1986 dalam
Kurnia et al., 2006). Secara kuantitatif permeabilitas tanah diartikan sebagai
kecepatan bergeraknya suatu cairan pada suatu media berpori dalam keadaan jenuh.
Dalam hal ini sebagai cairan adalah air, dan sebagai media berpori adalah tanah.
Kemampuan Memegang Air (Water Holding Capacity)
Tidak semua tanah mempunyai kemampuan memegang air yang sama.
Kemampuan memegang air setiap jenis tanah ditentukan oleh agregasi tanah, yang
sangat tergantung pada tekstur dan kandungan bahan organik dalam tanah. Untuk
tanah-tanah bertekstur kasar (pasir) mempunyai kemampuan memegang air yang
lebih rendah dibandingkan dengan tanah yang bertekstur halus (liat). Demikian juga,
untuk tanah-tanah dengan kandungan bahan organik yang rendah, kemampuan
memegang airnya lebih rendah dibandingkan dengan tanah yang mempunyai
kandungan bahan organik tinggi. Agar tanah tetap mempunyai kemampuan
memegang air yang tinggi diperlukan suatu bahan yang dapat meningkatkan agregasi
tanah, yang berfungsi sebagai comenting agent, yang disebut bahan pembenah tanah
atau soil conditioner. Soil conditioner dapat berupa bahan kimia (buatan) seperti PVA
13
(poly vinyl acid) atau yang bersifat alami yang berupa bahan organik seperti pupuk
kandang atau kompos (Kurnia et al., 2006).
Karakteristik Tanaman Markisa
Markisa tergolong ke dalam tanaman genus Passiflora sp., berasal dari daerah
tropis dan sub tropis di Amerika. Di Indonesia terdapat dua jenis markisa, yaitu
markisa ungu (Passiflora edulis Sims) yang tumbuh di dataran tinggi, dan markisa
kuning (Passiflora edulis var. Flavicarpa Degner) yang tumbuh di dataran rendah.
Sementara itu, ada pula varian markisa yang tumbuh di daerah Sumatera Barat yang
disebut sebagai markisa manis (Passiflora edulis forma flavicarpa) (Anonimb, 2010).
Tanaman markisa biasanya tumbuh dari biji. Untuk memperoleh bibit yang
baik dari biji, diperlukan buah yang matang di pohon dengan ciri-ciri kulit buah
berwarna keungu-unguan atau kira-kira 75 % ungu (jenis Passiflora edulis Sims),
berwarna kekuning-kuningan atau kira-kira 60 % kuning untuk jenis Passiflora edulis
var. Flavicarva Degner. Buah tersebut dipetik langsung dari pohon kemudian
disimpan selama satu atau dua minggu sampai buah berkeriput dan matang sempurna
sebelum bijinya dikeluarkan. Bila biji segera disemaikan, maka akan berkecambah
Selama 2-3 minggu. Bila lendir yang melekat pada biji dibersihkan dan disimpan
akan menurunkan daya kecambah (Anonimc, 2010).
Jenis markisa yang umum ada dikembangkan di Indonesia ada tiga, yaitu
markisa ungu, markisa kuning serta markisa manis. Ketiga jenis markisa ini hidup di
dataran yang berbeda, markisa ungu biasanya tumbuh di daerah dataran tinggi,
markisa kuning tumbuh di dataran rendah sementara markisa manis khusus tumbuh di
daerah Sumatra Barat. Budidaya markisa tidak susah namun karena markisa
merupakan jenis tanaman subtropis sehingga untuk hasil maksimal disarankan untuk
ditanam pada daerah dengan ketinggian 800-1500 meter diatas permukaan laut
dengan suhu sekitar 20-30 derajat celcius. Kemudahan lainnya karena markisa tidak
bermasalah dengan jenis tanah apapun asalkan unsur hara serta bahan organiknya
cukup. Satu hal lagi, seperti halnya tumbuhan yang lain, markisa akan tumbuh
dengan baik dengan mendapatkan air yang cukup (Anonimc, 2011).
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini terdiri dari tiga tahap pelaksanaan, yaitu: 1.) pembuatan
kompos, 2.) uji kualitas kompos, dan 3.) uji kompos pada sifat fisik tanah serta
pertumbuhan bibit markisa. Pembuatan kompos dilaksanakan di PT. Surya Miranti
Mandiri yang beralamat di Desa Sukaresmi, Kampung Munjul, Kecamatan
Megamendung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Sementara itu, uji kualitas kompos
dilaksanakan di Laboratorium Kimia dan Kesuburan, sedangkan uji kompos terhadap
sifat fisik tanah dilaksanakan di Laboratorium Fisika dan Konservasi Tanah,
Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor. Uji kompos pada tanaman markisa dilaksanakan di Rumah Kaca
Kebun Percobaan Cikabayan, University Farm, Institut Pertanian Bogor. Penelitian
ini berlangsung mulai tanggal 28 Januari 2011 sampai dengan 23 Agustus 2011.
Alat dan Bahan
Alat
Peralatan yang digunakan di lapangan untuk membuat kompos diantaranya
adalah bambu, paku, dan palu untuk membuat kotak kompos, cangkul, ember,
termometer, plastik hitam sebagai penutup kotak kompos, karung, serta papan.
Sementara itu, peralatan yang digunakan untuk pembibitan markisa diantaranya
adalah tray (bak penyemaian), gelas piala 50 ml, dan polybag. Detail perlatan yang
digunakan dalam penelitian ini tersaji pada Tabel 2.
Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam proses pengomposan adalah limbah
baglog jamur tiram yang terkontaminasi, pupuk kandang, air, urea, SP-18, dan
larutan gula. Bahan-bahan yang digunakan untuk pembibitan markisa diantaranya
adalah bibit markisa yang sebelumnya telah disemai selama satu bulan, tanah, dan
pupuk kompos limbah baglog jamur dengan dosis yang telah ditentukan.
15
Tabel 2. Metode analisis dan alat yang digunakan dalam penelitian
Parameter Metode Alat Analisis awal tanah
N-total Kjeldahl neraca analitik, diggestion apparatus, labu kjeldahl, buret, erlenmeyer 100 ml
P-tersedia Bray neraca analitik, tabung reaksi, pipet 5 ml, kertas saring, botol kocok 50 ml, mesin pengocok, spectrofotometer
K, Na, Ca, Mg, Fe, Cu, Mn, dan Zn dapat dipertukarkan NH4OAc pH 7 neraca analitik, labu ukur 1L, labu ukur 100 ml,
sentrifuse, kertas saring, AAS, dan flamefotometer C-organik Walkley &
Black neraca analitik, pipet 10 ml, erlenmeyer 250 ml, pipet tetes, dan buret
KTK NH4OAc pH 7 neraca analitik, gelas piala 50 ml, erlenmeyer 50 ml, sentrifuse, mesin pengocok, dan unit destilator
KB Rumus -
pH H2O 1:1 necaca analitik, botol kocok, mesin pengocok, pH meter
Tekstur Pipet neraca analitik, gelas piala 1 L, bak penangas, pipet tetes, ayakan 50 µ, tabung sedimaen
Kadar air Gravimetri cawan, timbangan, oven
Analisiskimia dan fisik limbah baglog dan kompos
N-total Kjeldahl neraca analitik, diggestion apparatus, labu kjeldahl, buret, erlenmeyer 100 ml
C-organik Pengabuan 700oC cawan porselen, eksikator, neraca, tanur/furnace
Total P, K, Na, Ca, Mg, Fe, Al, Mn, Cu, Zn Pengabuan basah
neraca analitik, labu Kjeldahl 50 ml, tabung dan blok digestor Kjeldahl therm, labu takar 50 ml, pipet 1 ml, AAS, flamefotometer, spectrofotometer
pH H2O 1:1 botol kocok 100 ml, mesin kocok, pH meter
KTK NH4OAc pH 7 neraca analitik, gelas piala 50 ml, erlenmeyer 50 ml, sentrifuse, unit destilator
Kadar air Gravimetri cawan, timbangan, oven, eksikator
Pengaruh kompos terhadap sifat fisik tanah
Bobot isi Pengetukan 50 kali cawan, timbangan, oven
Permeabilitas Constat head method Permeameter
Kemampuan memegang air
Alhricks gelas piala 500 ml, pipa gelas, kain kasa, plastik, karet gelang
pF 2,54 cawan, timbangan, oven, pressure dan membrane plate apparatus
Pengaruh kompos terhadap pertumbuhan bibit markisa Tinggi tanaman
Penggaris, timbangan Jumlah daun sejati Bobot biomassa tanaman
16
Metode Penelitian
Penelitian ini dibagi menjadi dua tahap berdasarkan tempat pelaksanaan, yaitu
tahap penelitian di lapangan dan analisis kimia dan fisika di laboratorium. Tahap
penelitian di lapangan diawali dengan pembuatan kompos dan penyemaian benih
markisa kuning. Setelah kompos selesai dibuat dan benih markisa telah tumbuh
menjadi bibit, kemudian dilakukan uji kompos pada bibit markisa di rumah kaca.
Untuk tahap penelitian di laboratorium dilakukan uji kualitas kompos dan
pengaruh kompos terhadap sifat fisik tanah yaitu bobot isi, water holding capacity,
dan permeabilitas tanah.
Pengambilan Contoh Tanah
Tanah yang digunakan dalam percobaan ini adalah tanah latosol
Megamendung yang berada di sekitar lokasi pembuatan kompos. Contoh tanah
diambil secara komposit. Setelah itu, tanah dikeringudarakan selama kurang lebih
satu minggu. Kemudian tanah ditumbuk dan diayak dengan ayakan 2 mm.
Pembuatan Kompos
Metode yang digunakan dalam pembuatan kompos adalah metode aerobik.
pengomposan yang cepat akan terjadi dalam kondisi cukup oksigen (Isroib, 2008).
Oleh karena itu, pada proses ini perlu dilakukan aerasi karena membutuhkan pasokan
udara dari luar dengan cara membalik timbunan kompos. Jika pengomposan
dilakukan di dalam kotak, aerasi dilakukan sambil mebalik-balik bahan baku (Djaja,
2008).
Dalam pembuatan kompos, digunakan tiga buah kotak bambu berukuran 1m3
sebagai tempat pengomposan untuk perlakuan kompos 30, 45, dan 60 hari. Pupuk
kandang dan limbah baglog jamur ditumpuk secara berlapis. Ketebalan setiap lapisan
sekitar 15 cm. Perbandingan dosis pupuk kandang dan limbah baglog jamur adalah
1:10 (v/v). Pupuk kandang yang digunakan adalah kotoran kambing. Kotoran
kambing memiliki kandungan unsur hara nitrogen, fosfor, dan kalium, masing-masing
sebesar 0,6 %; 0,3%, dan 0,17 % (Lingga, 1991 dalam Yuliarti, 2009). Sebelum
17
ditumpuk, limbah baglog diberi air sampai bahan tersebut lembab. Pada setiap
lapisan ditaburkan pupuk urea dan SP-18, serta larutan gula. Penambahan gula
ataupun urea pada bahan kompos yang berfungsi sebagai starter untuk menstimulir
perkembangan mikroba perombak yang dimaksudkan untuk mempercepat proses
pengomposan; FAO merekomendasikan penambahan unsur hara seperti N apabila
rasio C/N substrat kompos lebih besar dari 40:1 (Husen dan Irawan, 2010). Jumlah
pupuk urea, SP-18 dan gula yang ditambahkan masing-masing sebanyak 0,5 kg.
Setelah kotak terisi penuh dengan bahan kompos, kemudian kotak kompos ditutup
dengan menggunakan plastik hitam.
Proses pembalikan kompos dilakukan selama seminggu sekali atau jika suhu
kompos sudah mencapai 600C. Menurut Isroib (2008) suhu yang lebih tinggi dari
600C akan membunuh sebagian mikroba dan hanya mikroba thermofilik saja yang
akan tetap bertahan hidup. Aktivitas mikroba memerlukan aliran udara yang lancar.
Menurut Sutantob (2002) proses pengomposan yang baik dan berjalan cepat
memerlukan aerasi yang lancar. Membalik kompos bertujuan untuk memperlancar
sirkulasi udara dan mempercepat proses perombakan bahan organik. Sebelum
membalik timbunan bahan kompos, dilakukan pengukuran temperatur kompos. Titik
yang diukur berada tepat di tengah timbunan dan keempat sisi timbunan kompos.
Temperatur diukur dengan menggunakan termometer. Caranya, termometer
dibenamkan ke dalam timbunan dan dibiarkan sampai suhu stabil atau didiamkan
selama kurang lebih lima menit. Selanjutnya melihat ukuran skala ketinggian suhu
yang berada di termometer. Teknik membaca termometer yang benar adalah mata
harus sejajar dengan tanda penunjuk di termometer (Djaja, 2008).
Untuk menjaga kelembaban kompos, disiramkan air secukupnya setiap proses
pembalikan kompos. Penambahan air ini tergantung dari keadaaan bahan. Jika sudah
mencukupi maka tidak ditambahkan air. Indikator yang digunakan untuk menentukan
penambahan air ini dengan cara mengepal bahan kompos. Jika setelah dikepal lalu
dilepaskan kepalannya bahan kompos membentuk agregat, maka kadar air sudah
mencukupi dan tidak perlu ditambahkan air. Kelembaban rendah ditandai dengan
tidak adanya bagian bahan baku kompos yang melekat di telapak tangan. Proses
pembuatan kompos dihentikan setelah kompos mencapai umur yang telah ditentukan,
18
yaitu 30, 45, dan 60 hari. Selain itu, dilakukan penyimpanan kompos selama dua
bulan. Apabila kompos sudah jadi, sebaiknya disimpan sampai 1 atau 2 bulan untuk
mengurangi unsur beracun, walaupun penyimpanan ini akan menyebabkan terjadinya
sedikit kehilangan unsur yang diperlukan seperti Nitrogen (Kardin, 2005).
Beberapa parameter yang diamati dalam proses pengomposan diantaranya
adalah C/N rasio, suhu (0C), tingkat kemasaman (pH) kompos, Kapasitas Tukar
Kation (KTK) (me/100g), penurunan volume kompos (% volume), dan warna
kompos. Pengamatan C/N rasio dilakukan sesudah proses pengomposan selesai (saat
panen) dan setelah masa penyimpanan selama dua bulan, begitu juga dengan
parameter tingkat kemasaman (pH) kompos dan Kapasitas Tukar Kation (KTK)
(me/100g); sedangkan pengamatan parameter suhu (0C) dilakukan setiap hari selama
proses pengomposan berlangsung. Pengamatan parameter penurunan volume kompos
dan warna kompos dilakukan sesudah proses pengomposan selesai.
Penyemaian dan Pembibitan Markisa
Penyemaian benih markisa dilakukan pada bak-bak penyemaian (tray).
Tempat penyemaian berada di tempat yang memiliki naungan untuk melindungi bibit
dari sinar matahari dan hujan yang berlebihan. Penyemaian ini dilakukan selama satu
bulan. Media penyemaian berupa campuran kompos dan tanah sesuai dengan
perlakuan yang diujicobakan.
Pada umur delapan minggu setelah semai, bibit disapih atau dipindahkan ke
kantong plastik hitam (polybag) berdiameter 15 cm. Namun, karena pertumbuhan
bibit markisa yang tidak seragam maka pemindahan (transplanting) bibit markisa
tidak dapat dilakukan bersama media semainya. Pemindahan (transplanting) bibit
markisa dilakukan tanpa media semai dan tingkat keseragaman ditentukan dengan
memilih bibit markisa yang memiliki satu daun sejati. Pada setiap polybag ditanam
satu bibit. Polybag tersebut berisikan media tanam berupa tanah dan kompos dengan
perbandingan yang telah ditentukan (Gambar Lampiran 1).
19
Parameter pertumbuhan bibit markisa yang diukur diantaranya adalah
penambahan tinggi tanaman, jumlah daun, dan bobot biomassa tanaman. Pengukuran
dilakuakan setiap dua minggu sekali dan pada akhir pengamatan.
Analisis Kimia Kompos
Analisis kimia kompos yang diamati meliputi unsur hara makro dan mikro
kompos yaitu : Unsur hara N, P, K, Na, Ca, Mg, Fe, Mn, Cu, dan Zn. Analisis kimia
ini dilakukan setelah proses pengomposan (setelah panen) dan setelah masa
penyimpanan selama dua bulan. Analisis kimia dan metode yang digunakan tersaji
pada Tabel 2.
Analisis Tanah Setelah Perlakuan
Bobot Isi. Bobot isi ditetapkan dengan cara mengetuk campuran bahan tanah
dan kompos dengan lima puluh kali ketukan untuk mendapatkan volume setelah
diketuk. Metode tersebut merupakan modifikasi metode 1,000 knocks method (de
Boodt dan Vandevelde, 1970 dalam Kurnia et al., 2006). Untuk mendapatkan nilai
berat kering mutlak, sebelumnya campuran bahan tanah dan kompos tersebut
ditimbang terlebih dahulu dan ditentukan kadar airnya. Bobot isi dapat diketahui
dengan rumus:
BI (g/cm3) =
BI: bobot isi; Ms: berat kering mutlak; Vt: volume total
Permeabilitas. Penetapan permeabilitas dilakukan dalam keadaan jenuh
dengan menggunakan metode tinggi air konstan/constan head method (Klute dan
Dirksen, 1986 dalam Kurnia et al., 2006) dan didasarkan pada hukum Darcy.
Campuran bahan tanah dan kompos ditimbang dan dimasukkan ke dalam ring sample
sesuai dengan bobot isi yang telah didapatkan, lalu dipasang pada set permeabilitas.
Kemudian direndam pada bak perendam sampai setinggi ± 3 cm dari dasar bak dan
dibiarkan selama ± 24 jam. Keesokan harinya, air dari kran dialirkan ke alat. Jika air
20
dialirkan pada pukul 09 pagi maka pengukuran volume air yang pertama dilakukan
pada pukul 15-16 dan dilanjutkan pada pukul 16-17. Pengukuran selanjutnya
dilakukan pada pukul 09 pada hari kedua, ketiga, dan keempat. Permeabilitas
dihitung dengan persaamaan berikut:
K= x x
Keterangan:
K = permeabilitas (cm/jam)
Q = banyaknya air yang mengalir setiap pengukuran (ml)
T = waktu pengukuran (jam)
L = tebal contoh tanah (cm)
H = tinggi permukaan air dari permukaan contoh tanah (cm)
A = luas permukaan contoh tanah (cm2)
Kadar Air Kapasitas Lapang. Untuk penentuan kadar air tanah pada
keadaan kapasitas lapang, digunakan metode Alhricks dan pF 2,54. Tahapan
pekerjaan dengan metode Alhricks sebagai berikut: gelas piala 500 ml diisi dengan
pasir kuarsa setinggi ± 2 cm, agar tanah tidak turun saat diketuk maka di atas pasir
kuarsa diletakkan kain kasa. Setelah itu sebuah pipa gelas diletakkan tegak lurus
dengan permukaan pasir. Selanjutnya gelas piala diisi dengan campuran bahan tanah
dan kompos dengan permukaan bahan sekitar 3,5 cm dari tepi atas gelas. Untuk
mencapai bobot isi standar, gelas piala diketuk dengan lima puluh kali ketukan. Tanah
bagian atas dibasahi dengan cara disemprot menggunakan sprayer sampai kedalaman
± 5 cm sehingga air tidak sampai membasahi pasir. Gelas piala ditutup dan disimpan
selama ± 24 jam. Setelah ± 24 jam, contoh tanah diambil dari gelas piala sedalam ±
2,5 cm dari permukaan. Setelah itu ditentukan kadar airnya. Pengamatan dilakukan
selama tiga hari dengan cara yang sama, karena dalam tiga hari kadar air sudah
terlihat konstan. Kapasitas lapang adalah kandungan air di dalam tanah, biasanya
dicapai 2 atau 3 hari sejak terjadi pembasahan atau hujan, dan setelah proses drainase
berhenti (Kurnia, et al., 2006). Setelah mendapatkan data kadar air pada tiga hari
pengamatan, kemudian dibuat suatu kurva polynomial sehingga diketahui
21
persamaannya. Kadar air kapasitas lapang diketahui dengan menentukan titik belok
dari persamaan kurva tersebut.
Sementara itu, penetapan kadar air kapasitas lapang dengan metode pF 2,54
dilakukan dengan langkah kerja sebagai berikut: campuran bahan tanah dan kompos
ditimbang dan dimasukkan ke dalam ring sample sesuai dengan bobot isi yang telah
didapatkan. Kemudian dijenuhkan selama ± 24 jam. Masukkan bahan tersebut ke
dalam pressure plate apparatus dan tekanan diatur sebesar 1/3 atm. Setelah dua atau
tiga hari (sampai tetesan air terhenti), angkat dan timbang bahan untuk ditentukan
kadar airnya.
Penetapan kadar air pada keadaan kapasitas lapang dilakukan berdasarkan
bobot tanah kering oven 1050C (gravimetrik) dengan menggunakan rumus:
% Kadar air tanah = × 100% ; dimana :
bobot air= bobot cawan berisi tanah lembab – bobot cawan berisi tanah kering1050C
bobot tanah kering 1050C = bobot cawan berisi tanah kering 1050C – bobot cawan.
Analisis Data
Penelitian ini dilaksanakan dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial,
yang terdiri dari dua faktor yaitu waktu pengomposan (K) dan dosis kompos (D).
Waktu pengomposan terdiri dari tiga taraf, yaitu :
K1: 30 hari
K2: 45 hari
K3: 60 hari
Dosis pupuk kompos limbah baglog terdiri dari lima taraf, yaitu :
D1: Pupuk kompos limbah baglog jamur dengan dosis 5 % dari volume total
D2: Pupuk kompos limbah baglog jamur dengan dosis 10 % dari volume total
D3: Pupuk kompos limbah baglog jamur dengan dosis 15 % dari volume total
D4: Pupuk kompos limbah baglog jamur dengan dosis 20 % dari volume total
D5: Pupuk kompos limbah baglog jamur dengan dosis 25 % dari volume total
22
Dengan kombinasi masing-masing taraf tersebut, diperoleh 15 kombinasi
perlakuan, setiap kombinasi perlakuan diulang 3 kali, sehingga diperoleh 45 pot
perlakuan dan 3 pot kontrol; sehingga jumlah seluruhnya 48 pot. Desain tata letak
perlakuan dapat dilihat di Gambar Lampiran 1. Model linier untuk percobaan
faktorial yang terdiri dari 2 faktor (faktor K dan faktor D) dengan menggunakan
rancangan dasar RAL pada penelitian ini yaitu :
Yijk = μ + αi + βj + (αβ)ij + εijk
i= 1-5; j = 1-3; k= 1-3
Yijk : pengamatan pada ulangan ke-k yang mendapat perlakuan faktor waktu
pengomposan (K) taraf ke-i dan faktor dosis kompos (D) taraf ke-j
μ : rataan umum
αi : pengaruh faktor waktu pengomposan (K) taraf ke-i
βj : pengaruh faktor dosis kompos (D) taraf ke-j
(αβ)ij : pengaruh interaksi faktor waktu pengomposan (K) taraf ke-i dan faktor dosis
kompos (D) taraf ke-j
εijk : komponen galat oleh faktor waktu pengomposan (K) taraf ke-i dan faktor
dosis kompos (D) taraf ke-j dan ulangan ke-k.
Keuntungan dari percobaan faktorial yaitu mampu mendeteksi respon dari
taraf masing-masing faktor (pengaruh utama) serta interaksi antar dua faktor (Mattjik
dan Sumertajaya, 2006).
Analisis statistika yang diterapkan pada percobaan faktorial ini adalah analisis
ragam (ANOVA). Anova mampu menguji interaksi tetapi tidak mampu menentukan
pola genotip atau lingkungan untuk meningkatkan interaksi. Oleh karena itu, untuk
mengetahui perlakuan mana yang memberikan perbedaan terbaik dilakukan uji jarak
berganda Duncan.
Statistik uji t-student dan ANOVA digunakan sebagai statistik uji untuk
perbandingan dua atau lebih kelompok data. Perbedaan penggunaan statistik uji t-
student dan ANOVA adalah jumlah kelompok yang akan dibandingkan. Bila hanya
ada dua kelompok data yang akan dibandingkan, maka digunakan uji t-student;
23
sebaliknya jika lebih dari dua kelompok sampel data maka digunakan analisis
varians. Oleh karena itu, dalam membandingkan metode Alhricks dan metode pF
2,54 digunakan statistik uji t-student pada taraf 5%. Rumus yang digunakan yaitu:
t-student =
dengan Sp =
Keterangan:
x1, x2 = rata-rata pengamatan 1 dan 2
= ragam contoh 1 dan 2
n1, n2 = jumlah pengamatan 1 dan 2
Sp = simpangan baku gabungan
Nilai berbeda nyata apabila thitung > ttabel dan tidak berbeda nyata apabila thitung<
ttabel, ttabel diperoleh dari nilai sebaran t pada taraf 5% dan derajat bebas (n1+n2-2)
(Walpole, 1990).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Awal Tanah
Hasil analisis tanah awal menunjukkan bahwa tanah latosol Megamendung
mempunyai tekstur liat dengan kandungan pasir, debu, dan liat masing-masing
sebesar 19, 34, dan 47% . Kandungan nitrogen tanah tergolong sedang yaitu sebesar
0,21%. Kandungan phospor (P2O5) tanah tergolong sangat tinggi dengan kandungan
sebesar 63 ppm. Kandungan basa-basa tanah berupa K sebesar 1,8 me/100 g (sangat
tinggi); Na sebesar 0,2 me/100 g (rendah); Ca sebesar 9 me/100 g (tinggi), dan Mg
sebesar 3,2 me/100 g (tinggi). Tanah tersebut tergolong tanah masam dengan pH 5,5.
Kandungan C-organik tergolong sedang (2,1%). Rasio C/N tanah tergolong tinggi
yaitu sebesar 20. Kapasitas Tukar Kation (KTK) tanah tergolong tinggi sebesar 33
me/100 gram, serta kejenuhan basa yang tergolong sedang yaitu sebesar 43 %.
Tabel 3. Hasil analisis fisik dan kimia tanah latosol Megamendung
Parameter Satuan Nilai Kategori Unsur hara N % 0,21 Sedang P2O5 ppm 63 Sangat tinggi K me/100 g 1,8 Sangat tinggi Na me/100 g 0,2 Rendah Ca me/100 g 9 Tinggi Mg me/100 g 3,2 Tinggi C/N - 20 Tinggi C-org % 2,1 Sedang pH - 5,5 Masam KTK me/100 g 33 Tinggi KB % 43 Sedang Tekstur Pasir % 19
Liat Debu % 34 Liat % 47 Keterangan: Pengkelasan berdasarkan kriteria Balai Penelitian Tanah (2005)
25
Analisis Awal Limbah Baglog Jamur Tiram Putih
Limbah yang dihasilkan oleh usaha budidaya jamur diantaranya adalah limbah
baglog terkontaminasi dan limbah baglog tua yang sudah habis masa produksinya
selama 3-4 bulan. Hasil analisis awal kandungan unsur hara limbah baglog
terkontaminasi dan limbah baglog tua menunjukkan bahwa limbah baglog
terkontaminasi memiliki kandungan unsur hara yang relatif lebih tinggi dibandingkan
limbah baglog tua. Hal ini dikarenakan unsur hara yang terkandung dalam limbah
baglog tua sebagian besar telah dimanfaatkan oleh jamur yang tumbuh di atasnya.
Jamur tiram putih tidak mengandung klorofil, sehingga tidak dapat melakukan
fotosintesis untuk menghasilkan makanan sendiri. Oleh karena itu, jamur menyerap
unsur hara dari media tempat tumbuhnya. Zat-zat hara makanan tersebut diserap oleh
spora untuk tumbuh menjadi miselium dan tumbuh menjadi jamur dewasa (Soenanto,
2001 dalam Dewi, 2009 ).
Tabel 4 berikut ini menyajikan hasil analisis awal limbah baglog jamur tiram
putih.
Tabel 4. Kandungan unsur hara, rasio C/N, dan kapasitas tukar kation (KTK) limbah baglog jamur tiram putih
No Parameter Satuan Jenis limbah baglog
Baglog tua Kelas Baglog
Terkontaminasi Kelas
Unsur hara 1 C % 49 Sangat Tinggi 52 Sangat Tinggi 2 N % 0,6 Sedang 0,8 Sedang 3 P % 0,7 Sangat Tinggi 0,8 Sangat Tinggi 4 K % 0,02 Rendah 0,16 Sangat Tinggi 5 Na % 0,003 Sangat Tinggi 0,003 Sangat Tinggi 6 Ca % 1,6 Sangat Tinggi 2 Sangat Tinggi 7 Mg % 0,34 Sangat Tinggi 0,35 Sangat Tinggi 8 Mn ppm 175 Sangat Tinggi 182 Sangat Tinggi 9 Zn ppm 182 Cukup 349 Cukup 10 Fe ppm 1597 Sangat tinggi 1605 Sangat tinggi 11 Cu ppm 14 Cukup 48 Cukup
Rasio C/N 83 Sangat tinggi 66 Sangat tinggi
Kapasitas Tukar Kation
me/100 gram 45 Sangat tinggi 14 Rendah
Keterangan: Pengkelasan berdasarkan kriteria Balai Penelitian Tanah (2005)
26
Dengan mempertimbangkan kandungan unsur hara dari dua jenis limbah
baglog tersebut dan ketersediaan limbah baglog di tempat penelitian, maka dalam
penelitian ini digunakan limbah baglog terkontaminasi sebagai bahan baku utama
dalam pembuatan kompos.
Pengomposan Limbah Baglog Jamur Tiram Putih
Kandungan C-org (%), N-total (%), dan Rasio C/N
Kandungan C-organik kompos pada perlakuan kompos 30, 45, dan 60 hari
semakin menurun seiring bertambahnya waktu pengomposan. Sebaliknya, kandungan
N-total kompos semakin meningkat; sehingga didapatkan C/N rasio kompos yang
semakin menurun dengan semakin lamanya waktu pengomposan.
Tabel 5.Kandungan C-org (%), N-total, dan rasio C/N kompos dengan perlakuan waktu pengomposan 30, 45, dan 60 hari
Waktu pengomposan (hari) C-Org (%) N-total (%) Rasio C/N 30 48,5 1,8 26,8 45 47,7 1,9 25,6 60 45,3 2,2 20,4
Kandungan C-organik kompos 30 hari sebesar 48,5%; sedangkan untuk
kompos 45 dan 60 hari sebesar 47,7 dan 45,3% atau menurun dengan persentase
penurunan sebesar 2 dan 7%. Hasil ini menunjukkan bahwa kandungan C-organik
kompos menurun seiring bertambahnya waktu pengomposan. Hal ini sejalan dengan
hasil penelitian Samosir (2010) yang menunjukkan kadar C-organik kompos sesudah
pengomposan 2 sampai 20 hari secara berurutan adalah 40,4; 34,8; 30,4; 26,0; 19,9;
dan 14,5%. Hal yang sama ditunjukan hasil penelitian Mulyadi (2008), dimana
kandungan C-organik kompos pada minggu ke 0, 2, 4, dan 6 berturut-turut adalah
sebesar 33,5; 31,1; 27,6; dan 25,2%. Penurunan kandungan C-organik ini
dimungkinkan karena karbon digunakan oleh bakteri karena karbon merupakan
sumber energi bagi bakteri untuk merombak bahan organik. Karbon adalah sumber
energi dan merupakan 50 persen dari bagian massa sel mikroba (Kardin, 2005).
27
Selain itu, karbon banyak yang berubah menjadi CO2 dan menguap ke udara
(Sutantoa, 2002).
Kandungan N-total kompos 30 hari sebesar 1,8%; sedangkan kandungan N-
total kompos 45 dan 60 hari masing-masing sebesar 1,9 dan 2,2% atau meningkat
dengan persentase peningkatan sebesar 3 dan 23%. Hasil ini menunjukkan bahwa
kandungan N-total kompos meningkat seiring bertambahnya waktu pengomposan.
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Mulyadi (2008) yang menunjukkan kandungan
nitrogen kompos pada minggu ke 0, 2, 4, dan 6 berturut-turut sebesar 1,4; 1,5; 2,2;
dan 2,4%. Diduga peningkatan kandungan N-total ini berasal dari mikroba yang mati
dan melepaskan unsur hara termasuk nitrogen (Sutantoa, 2002).
Rasio C/N kompos 30 hari sebesar 26,8%; sedangkan rasio C/N kompos 45
dan 60 hari masing-masing sebesar 25,6 dan 20,4% atau menurun dengan persentase
penurunan sebesar 5 dan 24%. Hasil ini menunjukkan bahwa rasio C/N kompos
menurun seiring dengan bertambahnya waktu pengomposan. Hal ini sejalan dengan
hasil penelitian Husen dan Irawan (2010) dimana setelah 2 minggu waktu
pengomposan, rasio C/N kompos berubah dari 32 menjadi <25; sedangkan setelah
minggu keempat dan kelima masa inkubasi rasio C/N menjadi 10-16. Begitu pula
hasil penelitian Iqbal, Shafiq, Ahmed, dan Ahmed (2010) yang menunjukkan rasio
C/N kompos pada hari ke 7, 28, 49, 70, dan 91 berturut-turut sebesar 26,2; 18,1; 15,3;
14; dan 13,9. Perubahan rasio C/N merupakan akibat dekomposisi dan stabilisasi
bahan organik saat pengomposan karena mikroorganisme menggunakan karbon
sebagai sumber energi dan nitrogen sebagai pembentuk struktur selnya. Menurut
Sutantoa (2002) setelah perombakan selesai, mikroorganisme pengurai akan mati.
Konsekuensinya unsur hara penyusun tubuh mikroorganisme akan dilepaskan. Pada
tahap ini, rasio C/N menjadi lebih rendah karena banyak karbon yang berubah
menjadi CO2 dan menguap ke udara. Namun, bertolak belakang dengan karbon,
kandungan nitrogennya justru melimpah.
28
Suhu
Suhu awal pengomposan berkisar antara 24-27oC. Suhu kompos mengalami
peningkatan yang cukup cepat pada minggu pertama dan minggu kedua proses
pengomposan berlangsung. Pada awal pengomposan suhu tumpukkan bahan akan
berada pada kisaran 320C dan akan terus naik sampai 60oC bahkan 78oC (Aminah et
al., 2005). Menurut Sinukaban (2007) peningkatan temperatur tersebut karena pada
minggu ke-satu makanan mikroba dari bahan organik cukup banyak, sehingga
pertumbuhan dan aktivitas mikroba perombak sangat intensif. Perombakan bahan
organik yang intensif ini diiringi dengan pelepasan panas yang besar, sehingga
temperatur timbunan meningkat. Kemudian aktivitas mikrob menurun diiringi dengan
penurunan temperatur timbunan sampai pada akhir proses pengomposan. Hal ini
dapat dilihat dari grafik fluktuasi suhu kompos 30, 45, dan 60 hari. Dari Gambar 1, 2,
dan 3 dapat diketahui bahwa pada awal pengomposan suhu dapat mencapai 60oC
sebelum pembalikan, sedangkan pada akhir pengomposan suhu berada di bawah 60oC
sebelum pembalikan kompos. Pembalikan kompos ditandai dengan menurunnya
suhu. Penelitian dari Robinzon, Kimmel, dan Avnimelech (2000) dalam Yenie (2008)
menyatakan bahwa penurunan suhu sebanyak 5oC disebabkan proses pembalikan.
Hasil pengamatan suhu kompos dapat dilihat di Lampiran 5, 6, dan 7.
Pengomposan dalam penelitian kali ini dapat dikatakan efisien karena suhu
pada saat pengomposan dapat mencapai 60oC. Pengomposan akan berlangsung
efisien jika dapat mencapai suhu sekurang-kurangnya 60oC (Aminah et al., 2005).
Gambar 2. Hubungan antara waktu pengomposan dan suhu kompos 30 hari
0
10
20
30
40
50
60
70
0 5 10 15 20 25 30
Suhu
(o C)
Waktu pengomposan (hari)
29
Hubungan antara waktu pengomposan dan suhu kompos 30 hari dapat dilihat
pada Gambar 1. Dari gambar tersebut dapat diketahui bahwa menjelang akhir
pengomposan suhu tidak dapat mencapai 60oC sebelum pembalikan kompos; namun
pada saat panen, suhu kompos masih di atas 50oC. Hal yang sama terjadi pada proses
pengomposan kompos 45 hari (Gambar 2). Hasil ini sejalan dengan penelitian
Arofatullah (2010) yang menunjukkan bahwa pada saat pemanenan, tumpukan
kompos yang dihasilkan masih memiliki temperatur yang cukup tinggi (49°C).
Tingginya temperatur pada tumpukan kompos menunjukkan bahwa proses
pengomposan pada kompos 30 hari dan 45 hari belum sepenuhnya selesai pada saat
dilakukan pemanenan.
Gambar 3. Hubungan antara waktu pengomposan dan suhu kompos 45 hari
Pada kompos 60 hari, suhu kompos pada akhir pengomposan tidak dapat
mencapai 50oC. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian (Yenie, 2008) yang
menunjukkan bahwa suhu kompos menurun mulai hari ke-45, dimana suhu kompos
pada hari ke-45 sebesar 56oC; sedangkan suhu kompos pada hari ke-75 sebesar 38oC.
Hal ini menunjukkan proses dekomposisi sudah berjalan dengan baik dan aktivitas
mikroorganisme sudah mulai menurun. Hubungan antara waktu pengomposan dan
suhu kompos 60 hari dapat dilihat pada Gambar 3.
0
10
20
30
40
50
60
70
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45
Suhu
(oC)
Waktu pengomposan (hari)
30
Gambar 4. Hubungan antara waktu pengomposan dan suhu kompos 60 hari
Tingkat Kemasaman (pH)
Tingkat kemasaman (pH) kompos pada kompos 30, 45, da 60 hari masing-
masing sebesar 7,3; 7,2; dan 6,9 atau berada pada kisaran netral. Hal ini sejalan
dengan hasil penelitian Rizaldi (2008) yang menunjukkan bahwa pH kompos akan
mendekati netral menjelang kompos matang; dimana pH kompos pada hari ke-28, 34,
dan 40 berturut-turut adalah 6,5; 6,8; dan 6,9. Menjelang akhir proses pengomposan,
kation-kation seperti K+, Ca2+, dan Mg2+ yang dilepas sedikit, sedangkan asam-asam
organik yang terbentuk cukup banyak, sehingga pH relatif konstan (Sinukaban,
2007). Kemasaman (pH) kompos yang sudah matang biasanya mendekati netral
(Isroib, 2008).
Tabel 6. Tingkat kemasaman (pH) kompos dengan perlakuan waktu pengomposan 30, 45, dan 60 hari
Waktu pengomposan (hari) Tingkat kemasaman (pH) kompos 30 7,3 45 7,2 60 6,9
Penurunan Volume Bahan Kompos
Sejalan dengan proses penguraian bahan organik menjadi kompos,
maka terjadi penurunan volume kompos. Dari Tabel 7, dapat dilihat bahwa semakin
lama waktu pengomposan maka penurunan volume kompos semakin besar.
0
10
20
30
40
50
60
0 10 20 30 40 50 60
Suhu
(oC)
Waktu pengomposan (hari)
31
Tabel 7. Penurunan volume kompos pada perlakuan waktu pengomposan 30, 45, dan 60 hari
Penurunan volume kompos untuk kompos 30 hari sebesar 30%; sedangkan
untuk kompos 45 dan 60 hari masing-masing sebesar 32 dan 38% atau meningkat
dengan persentase peningkatan sebesar 5 dan 25%. Hasil penelitian Seno (2010)
menunjukkan penurunan berat bahan kompos pada beberapa perlakuan sebesar 25,
30, dan 28%; sedangkan hasil penelitian Mulyadi (2008) menunjukkan bahwa
pengomposan berbahan dasar jerami padi menghasilkan 54% volume awal. Sutantoa
(2002) menyatakan bahwa semakin banyak yang didekomposisi maka bahan menjadi
padat. Hal ini mengakibatkan volume kompos menurun. Selama proses dekomopsisi
awal, terjadi kehilangan masa kompos sebesar 35-45% berat basah dan 50% berat
volume (Sutantoa, 2002). Sedangkan menurut Djaja (2008) Volume bahan menyusut
menjadi sepertiga dari awal.
Kapasitas Tukar Kation
Kompos juga mengandung humus (bunga tanah) yag sangat dibutuhkan untuk
peningkatan hara makro dan mikro dan sangat dibutuhkan tanaman. Misel humus
mempunyai kapasitas tukar kation (KTK) yang lebih besar daripada misel lempung
(3-10 kali) sehingga penyediaan hara makro dan mikromineral lebih lama. Kapasitas
tukar kation (KTK) asam-asam organik dari kompos lebih tinggi dibandingkan
mineral liat.
Tabel 8.Kapasitas tukar kation kompos pada perlakuan waktu pengomposan 30, 45, dan 60 hari
Waktu Pengomposan (hari) KTK (me/100 g) 30 61 45 70 60 78
Waktu pengomposan (hari) Penurunan Volume (%) 30 30 45 32 60 38
32
Dari Tabel 8 dapat diketahui bahwa kapasitas tukar kation kompos 30 hari
sebesar 61 me/100 gram; sedangkan untuk kompos 45 dan 60 hari masing-masing
sebesar 70 dan 78 me/100 gram atau meningkat dengan persentase peningkatan 15
dan 17%. Hasil ini menunjukkan bahwa semakin lama waktu pengomposan maka
kapasitas tukar kation kompos semakin besar. Hal ini diduga karena semakin lama
waktu pengomposan, maka humus yang terbentuk semakin banyak. Hasil penelitian
Husen dan Irawan (2010) menunjukkan kapasitas tukar kation kompos setelah panen
berkisar antara 80,4-153,6 me/100 gram. Mardani (2005) menyatakan bahwa kompos
akan menghasilkan koloid organik yang bermuatan negatif yaitu dari substansi humus
yang mengandung gugus karboksil dan fenol dan mempunyai KTK yang tinggi.
Menurut Gobat, Aragno, dan Matthey (1998) dalam Suhartini (2003) melalui humik
dalam kompos kapasitas tukar kation juga meningkat. Nilai KTK kompos di atas 60
me/100 gram juga dapat dipakai sebagai indikator kematangan kompos (Harada dan
Inoku, 1980 dalam Husen dan Irawan, 2010).
Warna Kompos
Terdapat beberapa ciri kompos yang telah matang, salah satu indikator yang
sangat mudah diamati adalah warna kompos. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
semakin lama waktu pengomposan, maka warna kompos menjadi lebih gelap. Hal ini
sejalan dengan hasil penelitian Anif, Rahayu, dan Faatih (2007) yang menunjukkan
bahwa warna kompos berubah dari coklat pada minggu ke-0 menjadi hitam
kecoklatan pada minggu ke-8. Proses dekomposisi aerob ditunjukkan terjadinya
perubahan warna menjadi kehitaman (Sutantob, 2002). Warna kompos pada keadaan
kering udara dan kapasitas lapang tersaji pada Tabel 9 berikut ini:
Tabel 9. Warna kompos 30, 45, dan 60 hari pada keadaan kering udara dan
kapasitas lapang
Waktu pengomposan (hari) Kering udara Kapasitas lapang Kategori Warna Kategori Warna
30 7,5 YR 4/3 Coklat 7,5 YR 2,5/1 Coklat sangat gelap 45 7,5 YR 4/2 Coklat 7,5 YR 2,5/2 Coklat sangat gelap 60 7,5 YR 3/2 Coklat gelap 7,5 YR 2,5/3 Hitam
33
Warna dinyatakan dalam tiga satuan, yaitu kilap (hue), nilai (value), dan
kroma (chroma). Kilap berhubungan erat dengan panjang gelombang cahaya, nilai
berhubungan dengan kebersihan warna, dan kroma yang kadang-kadang disebut
kejenuhan yaitu kemurnian relatif dari spektrum penetapan warna. Semakin rendah
value maka semakin gelap; sedangkan chroma yang semakin tinggi maka semakin
bersih.
Kilap (hue) semua jenis kompos sama, yaitu 7,5 YR; baik dalam keadaan
kering udara maupun kapasitas lapang; sedangkan value dan chroma sedikit berbeda.
Pada kompos kering udara, value kompos 30, 45, dan 60 hari masing-masing adalah
4, 4, dan 3; sedangkan chroma bagi masing-masing kompos tersebut adalah 3, 2, dan
2. Nilai (value) kompos pada keadaan kapasitas lapang pada semua jenis kompos
sama, yaitu 2,5; sedangkan chroma bagi kompos 30, 45, dan 60 hari berturut-turut
adalah 1, 2, dan 3. Dapat disimpulkan bahwa kompos 60 hari memiliki warna paling
gelap baik pada keadaan kering udara maupun kapasitas lapang. Hal ini diduga
karena pada kompos 60 hari terbentuk humus yang lebih banyak. Substansi humus
merupakan senyawa amorf dengan berat molekul tinggi, warna coklat sampai hitam
(Wahyunto, Ritung, Suparto, dan Subagjo, 2004); sehingga dapat diketahui bahwa
kompos 60 hari lebih matang dan kualitasnya lebih baik daripada kompos yang
lainnya. Warna kompos yang sudah matang adalah coklat kehitam-hitaman (Isroib,
2008). Kompos berkualitas baik ciri-cirinya adalah berwarna cokelat gelap hingga
hitam (Djaja, 2008).
Hasil Analisis Kompos Setelah Panen dan Setelah Masa Penyimpanan
Pada kompos 30 hari Terdapat beberapa parameter kualitas kompos yang
kandungannya menurun setelah masa penyimpanan selama dua bulan, diantaranya
adalah kandungan C, N, Mn, dan Fe, serta kadar air dan pH kompos; sementara itu
kandungan P, K, Ca, Mg, Zn, dan Cu, dan rasio C/N, serta KTK meningkat setelah
penyimpanan selama dua bulan. Terdapat satu unsur yang relatif tetap yaitu Na.
34
Namun, jika dilihat dari kesesuaian kandungan kompos 30 hari dengan
Standar Nasional Indonesia (SNI) 19-7030-2004 tentang spesifikasi kompos dari
sampah organik domestik, maka kesesuaiannya setelah masa penyimpanan selama
dua bulan tidak banyak berubah. Hanya parameter kadar air dan pH kompos yang
berubah kesesuaiannya. Kadar air kompos setelah panen tidak sesuai dengan SNI,
namun setelah masa penyimpanan selama dua bulan menjadi sesuai dengan SNI;
sedangkan pH kompos setelah panen sesuai dengan SNI, namun setelah masa
penyimpanan selama dua bulan menjadi tidak sesuai dengan SNI.
Tabel 10.Hasil analisis kimia dan fisik kompos pada perlakuan waktu pengomposan 30 hari
Parameter Satuan Pengamatan kompos Peningkatan/penurunan
(%) Setelah panen Keterangan Setelah
penyimpanan Keterangan
Unsur hara C % 48,5 S 41,9 S -14 N % 1,8 S 1,3 S -26 P % 0,2 S 2,1 S +1129 K % 0,004 TS 0,01 TS +150 Na % 0,001 TS 0,001 TS 0 Ca % 0,5 S 1,9 S +296 Mg % 0,2 S 0,3 S +43 Mn ppm 0,01 S 0,008 S -27 Zn ppm 28,3 S 51,5 S +82 Fe ppm 888 S 475 S -47 Cu ppm 0,5 S 11 S +2213 Rasio C/N - 27 TS 36 TS +36 KTK me/100 gram 61 B 81,2 B +33 Kadar air % b/b 331 TS 30 S -91 pH - 7,3 S 6,7 TS -8
Keterangan: Simbol S: sesuai SNI; TS: tidak sesuai SNI; B: belum ditetapkan dalam SNI; + meningkat, - menurun
Pada kompos 45 hari, parameter kualitas kompos yang kandungannya
cenderung menurun setelah masa penyimpanan selama dua bulan diantaranya adalah
kandungan C, N, K, Na, Mn, Zn dan Fe. Selain itu, kadar air dan pH kompos pun
menurun setelah penyimpanan selama dua bulan; sementara itu kandungan P dan Cu,
serta Kapasitas Tukar Kation (KTK) dan rasio C/N meningkat setelah penyimpanan
selama dua bulan. Terdapat dua unsur yang relatif tetap yaitu Na dan Mg.
35
Sama halnya dengan kompos 30 hari, kesesuaian kandungan kompos 45 hari
dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) tidak banyak berubah setelah masa
penyimpanan selama dua bulan. Hanya parameter pH kompos yang berubah
kesesuaiannya, dimana pH kompos setelah panen sesuai dengan SNI, namun setelah
masa penyimpanan selama dua bulan menjadi tidak sesuai dengan SNI. Hasil analisis
fisik dan kimia kompos 45 hari serta kesesuaiannya denga SNI 19-7030-2004 tentang
spesifikasi kompos dari sampah organik domestik tersaji pada Tabel 11.
Tabel 11. Hasil analisis kimia dan fisik kompos pada perlakuan waktu pengomposan 45 hari
Parameter Satuan Pengamatan kompos Peningkatan/
penurunan (%)
Setelah panen Keterangan Setelah
penyimpanan Keterangan
Unsur hara C % 47,7 S 42,1 S -12 N % 1,9 S 1,8 S -4 P % 0,14 S 0,47 S +236 K % 0,006 TS 0,005 TS -17 Na % 0,0005 TS 0,0005 TS 0 Ca % 0,4 S 0,25 S -29 Mg % 0,2 S 0,18 S 0 Mn ppm 0,009 S 0,008 S -11 Zn ppm 64 S 42,22 S -34 Fe ppm 1222 S 773,23 S -37 Cu ppm 0,93 S 8,34 S +800
Rasio C/N - 25,6 TS 27,5 TS +7 KTK me/100 gram 70,5 B 86,5 B +23
Kadar air % b/b 358 TS 75 TS -79 pH 7,2 S 6,7 TS -7
Keterangan: Simbol S: sesuai SNI; TS: tidak sesuai SNI; B: belum ditetapkan dalam SNI; + meningkat, - menurun
Pada kompos 60 hari terdapat beberapa parameter kualitas kompos yang
kandungannya menurun setelah masa penyimpanan selama dua bulan, diantaranya
adalah kandungan C dan N serta kadar air dan pH kompos; sementara itu kandungan
P, K, Na, Ca, Mg, Mn, Zn, Fe, Cu, rasio C/N, serta KTK meningkat setelah
penyimpanan selama dua bulan.
Jika dilihat dari kesesuaian kandungan kompos 60 hari dengan Standar
Nasional Indonesia (SNI), maka kesesuaian parameter kulitas kompos yang diamati
36
tidak banyak berubah setelah masa penyimpanan selama dua bulan. Hanya parameter
pH kompos yang berubah kesesuaiannya, dimana pH kompos setelah panen sesuai
dengan SNI, namun setelah masa penyimpanan selama dua bulan menjadi tidak
sesuai dengan SNI. Hasil analisis fisik dan kimia kompos 30 hari serta kesesuaiannya
denga SNI 19-7030-2004 tentang spesifikasi kompos dari sampah organik domestik
tersaji pada Tabel 12.
Tabel 12. Hasil analisis kimia dan fisk kompos pada perlakuan waktu pengomposan 60 hari
Parameter Satuan Pengamatan Peningkatan/
penurunan (%)
Setelah panen Keterangan Setelah
penyimpanan Keterangan
Unsur hara C % 45,3 S 40,6 S -10 N % 2,2 S 2,18 S -2 P % 0,05 S 1,18 S +2260 K % 0,008 TS 0,02 TS +150 Na % 0,0005 TS 0,005 TS +900 Ca % 0,3 S 1,6 S +368 Mg % 0,2 S 0,3 S +57 Mn ppm 0,006 S 0,02 S +233 Zn ppm 36 S 65 S +81 Fe ppm 1313 S 1634 S +25 Cu ppm 0,9 S 15,5 S +1684
Rasio C/N - 20,4 TS 22,6 TS +10 KTK me/100 gram 77,8 B 89,9 B +16
Kadar air % b/b 406 TS 74 T -82 pH 6,9 S 6,4 TS -7
Keterangan: Simbol S: sesuai SNI; TS: tidak sesuai SNI; B: belum ditetapkan dalam SNI; + meningkat, - menurun
Unsur hara yang kandungannya cenderung menurun setelah masa
penyimpanan, seperti C dan N pada semua jenis kompos; dimungkinkan karena
selama masa penyimpanan dekomposisi bahan organik masih terus berlangsung, baik
pada kompos 30, 45, maupun 60 hari. Dari sekian banyak unsur yang diperlukan oleh
mikroorganisme yang medekomposisi bahan organik, karbon dan nitrogen adalah
unsur yang paling penting dan menjadi faktor pembatas (disamping phospat) (Kardin,
2005). Selain itu, menurunnya kandungan beberapa unsur diduga dikarenakan proses
pencucian (leaching), dimana kadar air kompos setelah masa penyimpanan menurun
secara signifikan. Kadar air setelah panen pada kompos 30, 45, dan 60 hari masing-
37
masing sebesar 331; 358; dan 406 %; sedangkan setelah masa penyimpanan masing-
masing sebesar 30; 75; dan 73%. Berkurangnya kadar air ini tentunya membawa hara
yang larut. Peristiwa perkolasi juga dapat menyebabkan hilangnya unsur hara karena
akan mengalami proses pencucian (leaching), seperti yang dialami oleh unsur hara
makro nitrogen dan kalium (Kamandani, 2006). Hal ini disebabkan karena nitrogen
bersifat labil sehingga mudah tercuci atau menguap (Ashari, 2006), sedangkan
menurut Lehman et al. (2003) dalam Kamandani (2006) hal ini berhubungan sangat
erat dengan sangat mudah larutnya N, terutama dalam bentuk nitrat.
Unsur hara yang kandungannya meningkat setelah masa penyimpanan pada
semua jenis kompos diperkirakan berasal dari mikroorganisme yang mati dan
melepaskan unsur hara yang terkandung di dalamnya. Menurut Sutantoa (2002)
setelah perombakan selesai, mikroorganisme pengurai akan mati. Konsekuensinya
unsur hara penyusun tubuh mikroorganisme akan dilepaskan.
Dari Tabel 10, 11, dan 12, dapat diketahui bahwa setelah panen kompos
terdapat beberapa parameter kompos yang sudah memenuhi SNI, diantaranya
kandungan C, N, P, Ca, Mg, Mn, Zn, dan pH kompos untuk kompos 30, 45, maupun
60 hari. Adapun parameter yang belum memenuhi SNI diantaranya kandungan K, Na,
rasio C/N serta kadar air bagi semua jenis kompos.
Dengan mempertimbangkan sebagian besar parameter kompos 60 hari yang
nilainya lebih besar atau lebih mendekati SNI, seperti kandungan karbon, nitrogen,
rasio C/N, kalium, magnesium, dan kapasitas tukar kation maka dapat disimpulkan
bahwa kompos 60 hari lebih baik kualitasnya jika dibandingkan dengan kompos 30
hari maupun 45 hari. Hal ini diakarenakan tingkat kematangan kompos 60 hari lebih
baik jika dibandingkan dengan kompos lainnya.
Masa penyimpanan kompos dapat mempengaruhi sifat fisik dan kimia
kompos. Terdapat beberapa parameter yang meningkat kandungannya dan terdapat
pula yang menurun. Secara kualitas yang mengacu kepada SNI 19-7030-2004, masa
peyimpanan kompos tidak terlalu mempengaruhi kesesuaian kompos dengan SNI.
Menurt Kardin (2005) secara umum kompos yang disimpan dahulu lebih baik.
38
Pengaruh Kompos Limbah Baglog Jamur Tiram Putih Terhadap Sifat Fisik Tanah
Faktor waktu pengomposan dan dosis kompos serta interaksi keduanya
berpengaruh sangat nyata terhadap sifat fisik tanah (bobot isi, permeabilitas, dan
kadar air kapasitas lapang dengan menggunakan metode Alhricks maupun pF 2,54).
Hasil analisis ragam dapat dilihat pada Tabel Lampiran 7, 8, 9, dan 10.
Hasil uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) dapat dihat pada Tabel 13 di
bawah ini.
Tabel 13. Pengaruh jenis dan dosis kompos serta interaksi keduanya tehadap sifat fisik tanah
Faktor Perlakuan Peubah
Bobot isi (g/cm3)
Permeabilitas (cm/jam)
KAKL Alhricks (%)
KAKL pF 2,54(%)
Interaksi
Kontrol 0,94 a 7,47 i 44,81 i 36,49 g K1D1 0,89 c 24,02 cdef 50,38 g 41,84 f K1D2 0,85 g 25,92 cde 50,58 fg 44,47 de K1D3 0,83 h 29,71 c 50,98 fg 46,46 cd K1D4 0,78 k 29,57 c 53,72 cd 48,46 bc K1D5 0,74 m 57,95 a 56,07 b 49,76 b K2D1 0,89 c 15,38 gh 50,97 fg 43,75 ef K2D2 0,87 e 13,11 hi 50,31 g 45,08 de K2D3 0,85 g 23,61 cdef 51,40 f 54,59 a K2D4 0,80 i 18,57 fgh 53,44 d 48,54 bc K2D5 0,78 k 43,12 b 55,36 b 49,80 b K3D1 0,91 b 18,91 efgh 47,24 h 43,59 ef K3D2 0,88 d 18,23 fgh 50,09 g 44,94 de K3D3 0,86 f 24,92 cdef 52,53 e 53,23 a K3D4 0,79 j 21,23 defg 54,37 c 53,39 a K3D5 0,77 l 26,39 cd 60,60 a 49,11 b
Waktu pengomposan
Kontrol 0,94 a 7,47 b 44,81 b 36,49 b K1 0,82 c 33,43 a 52,35 a 46,20 a K2 0,84 b 22,76 a 52,30 a 48,35 a K3 0,84 b 21,93 a 52,97 a 48,85 a
Dosis
Kontrol 0,94 a 7,47 d 44,81 f 36,49 e D1 0,90 b 19,43 c 49,53 e 43,06 d D2 0,87 c 19,09 c 50,33 d 44,83 c D3 0,85 d 26,08 b 51,64 c 51,43 a D4 0,79 e 23,12 bc 53,84 b 50,13 ab D5 0,76 f 42,49 a 57,34 a 49,56 b
Keterangan: angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%. Simbol K1, K2, dan K3 berturut-turut merupakan kompos dengan waktu pengomposan 30, 45, dan 60 hari; sedangkan D1, D2, D3, D4, dan D5 berturut-turut merupakan dosis kompos 5, 10, 15, 20, da 25% (v/v).
39
Bobot Isi
Dari hasil analisis sidik ragam (Tabel Lampiran 7), dapat diketahui bahwa
faktor waktu pengomposan dan dosis kompos serta interaksi keduanya berpengaruh
sangat nyata terhadap bobot isi tanah dengan peluang nyata <0,0001 (<<α = 0,01).
Kompos mampu mengurangi kepadatan tanah sehingga memudahkan perkembangan
akar dan kemampuannya dalam penyerapan hara (Aminah, et al., 2003). Dari Tabel
13 di atas dapat diketahui bahwa perlakuan kontrol atau tanah tanpa pemberian
kompos memiliki bobot isi yang paling tinggi jika dibandingkan dengan perlakuan
yang diberikan kompos. Tanah dengan bahan organik yang tinggi mempunyai berat
volume yang relatif rendah (Grossman dan Reinsch, 2002 dalam Kurnia et al., 2006).
Sementara itu, perlakuan kompos 30 hari dengan dosis 25% dari volume total
memiliki bobot isi yang paling rendah yaitu sebesar 0,741 g/cm3. Hal ini dikarenakan
kompos dengan waktu pengomposan selama 30 hari memiliki partikel lebih kasar jika
dibandingkan dengan partikel kompos 45 dan 60 hari karena dekomposisi kompos
yang belum sempurna. Partikel kompos yang kasar menyebabkan tanah mempunyai
banyak pori makro sehingga volume pori bertambah besar dan bobot isi menurun.
Bahan organik merupakan bahan yang sarang (porous) dan selalu meningkatkan total
porositas; bahan yang sebagian terdekomposisi mempunyai total porositas tinggi
(Sutanto, 2005).
.
Gambar 5. Hubungan antara dosis kompos 30 hari dan bobot isi (g/cm3)
y = -0,007x + 0,946R² = 0,965
0,5
0,6
0,7
0,8
0,9
1,0
0 5 10 15 20 25
Bobo
t isi
(g/c
m3 )
Dosis kompos (% volume)
40
Hasil analisis korelasi dosis kompos 30 hari yang ditambahkan terhadap bobot
isi tanah menunjukkan bahwa tingkat hubungan linier antara kedua peubah tersebut
terlihat sangat erat. Dari Gambar 5 dapat diketahui bahwa titik-titik pengamatan
cenderung membentuk pola garis lurus. Nilai koefisien korelasi dan koefisien
determinasi sebesar 0,983 dan 0,965. Hal ini memeperkuat kesimpulan bahwa
hubungan antara penambahan dosis kompos 30 hari dan bobot isi tanah membentuk
persamaan linier. Nilai korelasi peubah dosis kompos 30 hari yang ditambahkan dan
bobot isi tanah bertanda negatif; sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan
linier yang nyata antara dosis kompos 30 hari yang ditambahkan dengan bobot isi
tanah, dimana semakin banyak dosis kompos 30 hari yang ditambahkan diikuti oleh
penurunan nilai bobot isi tanah. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Suryani (2007)
yang menunjukkan bahwa aplikasi bahan organik menurunkan bobot isi tanah dan
mengurangi pemadatan tanah.
Hubungan penambahan dosis kompos 45 hari dan bobot isi tanah dapat dilihat
pada Gambar 6.
Gambar 6. Hubungan antara dosis kompos 45 hari dan bobot isi (g/cm3)
Hasil analisis korelasi dosis kompos 45 hari yang ditambahkan terhadap bobot
isi tanah menunjukkan bahwa tingkat hubungan linier antara kedua peubah tersebut
terlihat sangat erat. Dari Gambar 6 dapat dilihat bahwa titik-titik pengamatan
cenderung membentuk pola garis lurus. Nilai koefisien korelasi sebesar 0,991;
sedangkan koefisien determinasinya sebesar 0,982; sehingga dapat disimpulkan
bahwa hubungan antara penambahan dosis kompos 45 hari dan bobot isi tanah
y = -0,006x + 0,937R² = 0,982
0,5
0,6
0,7
0,8
0,9
1,0
0 5 10 15 20 25
Bobo
t isi
(g/c
m3 )
Dosis kompos (% volume)
41
membentuk persamaan linier. Nilai korelasi peubah dosis kompos 45 hari yang
ditambahkan dan bobot isi tanah bertanda negatif; sehingga dapat disimpulkan bahwa
ada hubungan linier yang nyata antara dosis kompos 45 hari yang ditambahkan
dengan bobot isi tanah, dimana semakin banyak dosis kompos 45 hari yang
ditambahkan diikuti oleh penurunan nilai bobot isi tanah. Hal ini sejalan dengan hasil
penelitian Agustina (2007) yang menunjukkan bahwa pemberian dosis kompos
berpengaruh sangat nyata terhadap bobot isi tanah yang nilainya semakin rendah
dengan semakin tingginya dosis kompos.
Gambar 7. Hubungan antara dosis kompos 60 hari dan bobot isi (g/cm3)
Hasil analisis korelasi dosis kompos 60 hari yang ditambahkan terhadap bobot
isi tanah menunjukkan bahwa tingkat hubungan linier antara kedua peubah tersebut
terlihat sangat erat. Dari Gambar 7 dapat diketahui bahwa titik-titik pengamatan
cenderung membentuk pola garis lurus. Nilai koefisien korelasi sebesar 0,995;
sedangkan koefisien determinasinya sebesar 0,990; sehingga dapat disimpulkan
bahwa hubungan antara penambahan dosis kompos 60 hari dan bobot isi tanah
membentuk persamaan linier. Nilai korelasi peubah dosis kompos 60 hari yang
ditambahkan dan bobot isi tanah bertanda negatif; sehingga dapat diketahui bahwa
ada hubungan linier yang nyata antara dosis kompos 60 hari yang ditambahkan
dengan bobot isi tanah, dimana semakin banyak dosis kompos 60 hari yang
ditambahkan diikuti oleh penurunan nilai bobot isi tanah. Hal ini sejalan dengan hasil
penelitian Kalantari, Hatami, Ardalan, Alikhani, dan Shorafa (2009) yang
menunjukkan bahwa dengan penambahan dosis kompos sebesar 0, 1, 3, 6, dan 9%,
y = -0,007x + 0,937R² = 0,990
0,5
0,6
0,7
0,8
0,9
1,0
0 5 10 15 20 25
Bobo
t isi
(g/c
m3 )
Dosis kompos (% volume)
42
bobot isi tanah menurun seiring peningkatan pemberian dosis kompos. Hal ini
dikarenakan total porositas meningkat dengan ditambahkannya kompos ke dalam
tanah. Begitu pula hasil penelitian Mardani (2005) yang menunjukkan bahwa dosis
kompos secara nyata berpengaruh terhadap bobot isi tanah, dimana semakin banyak
dosis kompos yang diberikan maka bobot isi semakin menurun.
Permeabilitas
Hasil analisis sidik ragam (Tabel Lampiran 8) menunjukkan bahwa faktor
waktu pengomposan dan dosis kompos serta interaksi keduanya berpengaruh sangat
nyata terhadap permeabilitas tanah. Peluang nyata bagi faktor waktu pengomposan
dan dosis kompos <0,0001 dan peluang nyata interaksi kedua faktor sebesar 0,0001
(<<α = 0.01). Karena sifatnya yang juga porous, bahan organik tersebut mudah
meneruskan air (drainase) atau air infiltrasi (Ashari, 2006).
Dari Tabel 17 dapat diketahui bahwa perlakuan kontrol memiliki nilai
permeabilitas yang paling kecil yaitu sebesar 7,47 cm/jam. Jika dilihat dari klasifikasi
permeabilitas tanah menurut Uhland dan O’Neil termasuk ke dalam kategori agak
cepat, sedangkan perlakuan kompos 30 hari dengan dosis 25% memiliki nilai
perembilitas yang paling tinggi yaitu 57,95 cm/jam (sangat cepat). Hal ini
dikarenakan ruang pori pada bahan tanah yang dicampur kompos 30 hari lebih besar
sebagai akibat dari partikel kompos yang masih kasar karena belum sempurnanya
dekomposisi kompos. Menurut Kurnia et al. (2007) ukuran pori dan adanya
hubungan antar pori-pori tersebut sangat menentukan apakah tanah mempunyai
permeabilitas rendah atau tinggi. Air dapat mengalir dengan mudah di dalam tanah
yang mempunyai pori-pori besar dan mempunyai hubungan antar pori yang baik.
Pori-pori yang kecil dengan hubungan antar pori yang seragam akan mempunyai
permeabilitas lebih rendah, sebab air akan mengalir melalui tanah lebih lambat.
43
Gambar 8. Hubungan antara dosis kompos 30 hari dan permeabilitas tanah (cm/jam)
Hasil analisis korelasi dosis kompos 30 hari yang ditambahkan terhadap
permeabilitas tanah menunjukkan bahwa tingkat hubungan linier antara kedua peubah
tersebut terlihat cukup erat. Dari Gambar 8 dapat dilihat bahwa titik-titik pengamatan
cenderung membentuk pola garis lurus. Nilai koefisien korelasi sebesar 0,883;
sedangkan koefisien determinasinya sebesar 0,779; sehingga dapat diketahui bahwa
hubungan antara penambahan dosis kompos 30 hari dan permeabilitas tanah
membentuk persamaan linier. Nilai korelasi peubah dosis kompos 30 hari yang
ditambahkan dan permeabilitas tanah bertanda positif; sehingga dapat diketahui
bahwa ada hubungan linier yang nyata antara dosis kompos 30 hari yang
ditambahkan dengan permeabilitas tanah, dimana semakin banyak dosis kompos 30
hari yang ditambahkan diikuti oleh peningkatan nilai permeabilitas tanah. Hal ini
sejalan dengan hasil penelitian Mardani (2005) yang menunjukkan bahwa pemberian
kompos ke dalam tanah berpengaruh nyata meningkatkan permeabilitas tanah.
Menurutnya hal ini disebabkan oleh adanya perubahan struktur tanah yaitu
terbentuknya agregat dari pori tanah, agregat yang stabil akan dapat menjaga
keutuhan bentuk pori yang telah terbentuk. Dengan demikian akan terhindar dari
penyumbatan pori dan bentuk pori akan tetap kontinyu. Kesinambungan bentuk pori
dalam tanah terutama pori drainase akan meningkatkan gerakan air di dalam tanah,
sehingga permeabilitasnya meningkat.
y = 1,559x + 9,613R² = 0,779
0
10
20
30
40
50
60
70
0 5 10 15 20 25
Perm
eabi
litas
(cm
/jam
)
Dosis kompos (%volume)
44
Gambar 9. Hubungan antara dosis kompos 45 hari dan permeabilitas tanah (cm/jam)
Hasil analisis korelasi dosis kompos 45 hari yang ditambahkan terhadap
permeabilitas tanah menunjukkan bahwa tingkat hubungan linier antara kedua peubah
tersebut terlihat cukup erat. Dari Gambar 9 dapat diketahui bahwa titik-titik
pengamatan cenderung membentuk pola garis lurus. Nilai koefisien korelasi sebesar
0,791; sedangkan koefisien determinasinya sebesar 0,626. Hal ini memeperkuat
kesimpulan bahwa hubungan antara penambahan dosis kompos 45 hari dan
permeabilitas tanah membentuk persamaan linier. Nilai korelasi peubah dosis kompos
45 hari yang ditambahkan dan permeabilitas tanah bertanda positif; sehingga dapat
disimpulkan bahwa ada hubungan linier yang nyata antara dosis kompos 45 hari yang
ditambahkan dengan permeabilitas tanah, dimana semakin banyak dosis kompos 45
hari yang ditambahkan diikuti oleh peningkatan nilai permeabilitas tanah. Hal ini
sejalan dengan hasil penelitian Lubis (1992) yang menunjukkan bahwa dengan
ditambahkannya bahan organik ke dalam tanah dengan dosis 0, 15, 30, dan, 45
ton/ha, permeabilitas tanah meningkat seiring dengan peningkatan dosis bahan
organik yang diberikan. Hal ini disebabkan peran bahan orgaik terhadap tingkat
agregasi tanah. Bahan organik akan menciptakan struktur tanah yang mantap akibat
adanya agregasi tanah yang baik, sehingga cenderung meningkatkan pori drainase
cepat.
y = 1,133x + 6,041R² = 0,626
0
10
20
30
40
50
60
0 5 10 15 20 25
Perm
eabi
litas
(cm
/jam
)
Dosis kompos (% volume)
45
Gambar 10. Hubungan antara dosis kompos 60 hari dan permeabilitas tanah (cm/jam) Hasil analisis korelasi dosis kompos 60 hari yang ditambahkan terhadap
permeabilitas tanah menunjukkan bahwa tingkat hubungan linier antara kedua peubah
tersebut terlihat cukup erat. Dari Gambar 10 dapat diketahui bahwa titik-titik
pengamatan cenderung membentuk pola garis lurus. Nilai koefisien korelasi dan
koefisien determinasi sebesar 0,841 dan 0,708; sehingga dapat disimpulkan bahwa
hubungan antara penambahan dosis kompos 60 hari dan permeabilitas tanah
membentuk persamaan linier. Nilai korelasi peubah dosis kompos 60 hari yang
ditambahkan dan permeabilitas tanah bertanda positif; sehingga dapat diketahui
bahwa ada hubungan linier yang nyata antara dosis kompos 60 hari yang
ditambahkan dengan permeabilitas tanah, dimana semakin banyak dosis kompos 60
hari yang ditambahkan diikuti oleh peningkatan nilai permeabilitas tanah. Hal ini
sejalan dengan hasil penelitian (Sastrodihardjo, 1990) yang menunjukkan bahwa
dengan meningkatnya kadar bahan organik yang diberikan akan semakin
meningkatkan permeabilitas tanah.
Kemampuan Menahan Air (Water Holding Capacity)
Metode Alhricks. Faktor waktu pengomposan dan dosis kompos serta
interaksi keduanya berpengaruh sangat nyata terhadap kemampuan tanah memegang
air pada keadaan kapasitas lapang dengan menggunakan metode Alhricks. Hal ini
dapat dilihat dari hasil analisis sidik ragam (Tabel Lampiran 9) yang menunjukkan
y = 0,618x + 11,78R² = 0,708
0
5
10
15
20
25
30
0 5 10 15 20 25
Perm
eabi
litas
(cm
/jam
)
Dosis kompos (% volume)
46
peluang nyata bagi faktor waktu pengomposan, dosis kompos, dan interaksi antara
kedua faktor <0,0001 (<<α = 0,01). Bahan organik meningkatkan kandungan air pada
kapasitas lapang (Suhartini, 2003). Menurut Ashari (2006) bahan organik berfungsi
seperti spon yang dapat menghisap air sebanyak mungkin sesuai dengan volumenya.
Dengan ditambahkannya kompos ke dalam tanah, maka kemampuan
memegang air tanah dapat ditingkatkan, sehingga tanah tidak cepat meloloskan air
baik sebagai air drainase maupun air perkolasi. Selain itu, air juga tidak mudah
terevaporasi karena terlindungi dan atau terikat oleh bahan kompos. Dengan demikian
kadar air dalam tanah dapat dipertahankan pada kondisi yang optimal dalam jangka
yang lebih lama. Kapasitas retensi air dan ketersediaannya bagi tanaman meningkat
demikian pula stabilitas struktur (Gobat et al., 1998 dalam Suhartini, 2003).
Perlakuan kompos 60 hari dengan dosis 25% memiliki kandungan air pada
keadaan kapasitas lapang paling tinggi yaitu sebesar 61%. Hal ini dikarenakan
partikel kompos sudah cukup halus sehingga pori kapiler untuk memegang air lebih
banyak. Menurut Sutanto (2005) jika partikel besar lebih banyak, total pori sedikit,
tetapi banyak memiliki pori berukuran besar. Sebaliknya, jika partikel halus lebih
banyak total pori banyak dengan pori mikro banyak.
Gambar 11. Hubungan antara dosis kompos 30 hari dan KAKL metode Alhricks (%) Hasil analisis korelasi dosis kompos 30 hari yang ditambahkan terhadap kadar
air tanah menunjukkan bahwa tingkat hubungan linier antara kedua peubah tersebut
terlihat erat. Dari Gambar 11 dapat dilihat bahwa titik-titik pengamatan cenderung
y = 0,381x + 46,32R² = 0,866
40
45
50
55
60
65
0 5 10 15 20 25 30
Kada
r ai
r (%
)
Dosis kompos (% volume)
47
membentuk pola garis lurus. Nilai koefisien korelasi dan koefisien determinasi
sebesar 0,931 dan 0,866; sehingga dapat diketahui bahwa hubungan antara
penambahan dosis kompos 30 hari dan kadar air tanah pada keadaan kapasitas lapang
membentuk persamaan linier. Nilai korelasi peubah dosis kompos 30 hari yang
ditambahkan dan kadar air tanah bertanda positif; sehingga dapat disimpulkan bahwa
ada hubungan linier yang nyata antara dosis kompos 30 hari yang ditambahkan
dengan kadar air tanah, dimana semakin banyak dosis kompos 30 hari yang
ditambahkan diikuti oleh peningkatan nilai kadar air tanah. Hal ini sejalan dengan
hasil penelitian Setiawan (1993) yang menunjukkan bahwa peningkatan dosis
kompos berpengaruh nyata meningkatkan kadar air kapasitas lapang.
Gambar 12. Hubungan antara dosis kompos 45 hari dan KAKL metode Alhricks (%)
Hasil analisis korelasi dosis kompos 45 hari yang ditambahkan terhadap kadar
air tanah menunjukkan bahwa tingkat hubungan linier antara kedua peubah tersebut
terlihat erat. Dari Gambar 12 dapat dilihat bahwa titik-titik pengamatan cenderung
membentuk pola garis lurus. Nilai koefisien korelasi sebesar 0,910; sedangkan
koefisien determinasinya sebesar 0,828. Hal ini memeperkuat kesimpulan bahwa
hubungan antara penambahan dosis kompos 45 hari dan kadar air tanah pada keadaan
kapasitas lapang membentuk persamaan linier. Nilai korelasi peubah dosis kompos 45
hari yang ditambahkan dan kadar air tanah bertanda positif; sehingga dapat
disimpulkan bahwa ada hubungan linier yang nyata antara dosis kompos 45 hari yang
ditambahkan dengan kadar air tanah, dimana semakin banyak dosis kompos 45 hari
y = 0,349x + 46,67R² = 0,828
40
45
50
55
60
65
0 5 10 15 20 25
Kada
r ai
r (%
)
Dosis kompos (% volume)
48
yang ditambahkan diikuti oleh peningkatan nilai kadar air tanah. Hal ini sejalan
dengan hasil penelitian Kalantari et al. (2009) yang menunjukkan bahwa dengan
pemberian dosis kompos sebesar 0, 1, 3, 6, dan 9%, kemampuan tanah dalam
memegang air meningkat secara signifikan seiring dengan penambahan dosis
kompos.
Gambar 13. Hubungan antara dosis kompos 60 hari dan KAKL metode Alhricks (%)
Hasil analisis korelasi dosis kompos 60 hari yang ditambahkan terhadap kadar
air tanah menunjukkan bahwa tingkat hubungan linier antara kedua peubah tersebut
terlihat erat. Dari Gambar 13 dapat diketahui bahwa titik-titik pengamatan cenderung
membentuk pola garis lurus. Nilai koefisien korelasi dan koefisien determinasi untuk
kompos 60 hari sebesar 0,976 dan 0,953; sehingga dapat disimpulkan bahwa
hubungan antara penambahan dosis kompos 60 hari dan kadar air tanah pada
keadaan kapasitas lapang membentuk persamaan linier. Nilai korelasi peubah dosis
kompos 60 hari yang ditambahkan dan kadar air tanah bertanda positif; sehingga
dapat diketahui bahwa ada hubungan linier yang nyata antara dosis kompos 60 hari
yang ditambahkan dengan kadar air tanah, dimana semakin banyak dosis kompos 60
hari yang ditambahkan diikuti oleh peningkatan nilai kadar air tanah. Hal ini sejalan
dengan hasil penelitian Lubis (1992) yang menunjukkan bahwa pemberian kompos
dengan dosis 0, 15, 30, dan 45 ton/ha, nilai kadar air meningkat seiring dengan
peningkatan dosis kompos yang diberikan. Menurutnya hal ini disebabkan karena
y = 0,587x + 44,26R² = 0,953
40
45
50
55
60
65
0 5 10 15 20 25
Kada
r ai
r (%
)
Dosis kompos (% volume)
49
bahan organik merupakan senyawa hidrofilik (suka memegang air) sehingga
mempunyai kemampuan yang cukup untuk memegang air.
Metode pF 2,54. Sama halnya dengan metode Alhricks, hasil analisis sidik
ragam (Tabel Lampiran 10) menunjukkan bahwa faktor waktu pengomposan dan
dosis kompos serta interaksi keduanya berpengaruh sangat nyata terhadap
kemampuan tanah memegang air pada keadaan kapasitas lapang. Peluang nyata bagi
faktor waktu pengomposan, dosis kompos, dan interaksi antara kedua faktor sebesar
<0,0001 (<<α = 0,01). Tanah yang bercampur dengan bahan organik seperti kompos
mempunyai pori-pori dengan daya rekat yang lebih baik sehingga mampu mengikat
serta menahan ketersediaan air di dalam tanah (Yuwono, 2007).
Tanah mempunyai pori-pori, yaitu suatu bagian yang tidak terisi bahan padat.
Bagian yang tidak terisi ini akan diisi oleh air dan udara. Pori-pori dibedakan menjadi
dua, yaitu pori-pori halus dan pori-pori kasar. Pori-pori kasar berisi air gravitasi atau
udara. Pori-pori kasar ini sulit menahan air di dalam tanah sehingga air hanya
merembes masuk dan lewat begitu saja (Yuwono, 2007).
Perlakuan kompos 45 hari dengan dosis 15% memiliki kemampuan
memegang air paling baik yaitu sebesar 55%. Hal ini dimungkinkan terjadi
penyumbatan pada pori kapiler, sehingga ketika contoh tanah ditekan dengan tekanan
1/3 bar tidak seluruhnya air bergerak ke bawah. Hal ini mengakibatkan nilai kadar air
yang terbaca lebih tinggi. Perlakuan kontrol pada metode Alhricks maupun pF 2,54
memiliki kadar air paling kecil jika dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini
menunjukkan bahan organik dapat meningkatkan kemampuan memegang air tanah.
Bahan atau pupuk organik dapat berperan sebagai “pengikat” butiran primer menjadi
butir sekunder tanah dalam pembentukan agregat yang mantap. Keadaan ini besar
pengaruhnya pada porositas, penyimpanan dan penyediaan air, aerasi tanah, dan suhu
tanah (Simanungkalit, Suriadikarta, Saraswati, Setyorini, dan Hartatik, 2006).
Hasil analisis korelasi dosis kompos 30 hari yang ditambahkan terhadap kadar
air tanah menunjukkan bahwa tingkat hubungan linier antara kedua peubah tersebut
terlihat erat. Dari Gambar 14 dapat dilihat bahwa titik-titik pengamatan cenderung
membentuk pola garis lurus.
50
Gambar 14. Hubungan antara dosis kompos 30 hari dan KAKL metode pF 2,54 (%)
Nilai koefisien korelasi sebesar 0,910; sedangkan koefisien determinasinya
sebesar 0,685. Hal ini memeperkuat kesimpulan bahwa hubungan antara penambahan
dosis kompos 30 hari dan kadar air tanah pada keadaan kapasitas lapang membentuk
persamaan linier. Nilai korelasi peubah dosis kompos 30 hari yang ditambahkan dan
kadar air tanah bertanda positif; sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan
linier yang nyata antara dosis kompos 30 hari yang ditambahkan dengan kadar air
tanah, dimana semakin banyak dosis kompos 30 hari yang diberikan diikuti oleh
peningkatan nilai kadar air tanah. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian
(Sastrodihardjo, 1990) yang menunjukkan bahwa pengaruh pemberian bahan organik
dengan dosis yang berbeda berpengaruh nyata terhadap kadar air tanah pada keadaan
kapasitas lapang (pF 2,54); dimana kadar air tanah cenderung meningkat seiring
meningkatnya dosis bahan organik yang diberikan.
Hasil analisis korelasi dosis kompos 45 hari yang ditambahkan terhadap kadar
air tanah menunjukkan bahwa tingkat hubungan linier antara kedua peubah tersebut
terlihat cukup erat. Dari Gambar 15 dapat diketahui bahwa titik-titik pengamatan
cenderung membentuk pola garis lurus. Nilai koefisien korelasi dan koefisien
determinasi sebesar 0,782 dan 0,611; sehingga dapat diketahui bahwa hubungan
antara penambahan dosis kompos 45 hari dan kadar air tanah pada keadaan kapasitas
lapang membentuk persamaan linier. Nilai korelasi peubah dosis kompos 45 hari
yang ditambahkan dan kadar air tanah bertanda positif; sehingga dapat diketahui
bahwa ada hubungan linier yang nyata antara dosis kompos 45 hari yang
y = 0,575x + 39,59R² = 0,685
30
35
40
45
50
55
0 5 10 15 20 25 30
Kada
r ai
r (%
)
Dosis kompos (% volume)
51
ditambahkan dengan kadar air tanah, dimana semakin banyak dosis kompos 45 hari
yang ditambahkan diikuti oleh peningkatan nilai kadar air tanah. Hal ini sejalan
dengan hasil penelitian Valarini, Curaqueo, Seguel, Manzano, Rubio, Cornejo, dan
Borie (2009) yang menunjukkan bahwa walaupun tidak menghasilkan perbedaan
yang signifikan, namun kemampuan tanah memegang air cenderung meningkat
setelah perlakuan pemberian dosis kompos sebesar 0, 8, dan 20 ton/ha.
Gambar 15. Hubungan antara dosis kompos 45 hari dan KAKL metode pF 2,54 (%)
Hasil analisis korelasi dosis kompos 60 hari yang ditambahkan terhadap kadar
air tanah menunjukkan bahwa tingkat hubungan linier antara kedua peubah tersebut
terlihat erat. Dari Gambar 16 dapat dilihat bahwa titik-titik pengamatan cenderung
membentuk pola garis lurus. Nilai koefisien korelasi sebesar 0,828; sedangkan
koefisien determinasinya sebesar 0,827; sehingga dapat diketahui bahwa hubungan
antara penambahan dosis kompos 60 hari dan kadar air tanah pada keadaan kapasitas
lapang membentuk persamaan linier. Nilai korelasi peubah dosis kompos 60 hari
yang ditambahkan dan kadar air tanah bertanda positif; sehingga dapat disimpulkan
bahwa ada hubungan linier yang nyata antara dosis kompos 60 hari yang
ditambahkan dengan kadar air tanah, dimana semakin banyak dosis kompos 60 hari
yang ditambahkan diikuti oleh peningkatan nilai kadar air tanah. Hal ini sejalan
dengan hasil penelitian Maftuhah (2009) yang menunjukkan bahwa pemberian
kompos dapat meningkatkan kadar air kapasitas lapang tanah.
y = 0,516x + 39,91R² = 0,611
30
35
40
45
50
55
0 5 10 15 20 25 30
Kada
r ai
r (%
)
Dosis kompos (% volume)
52
Gambar 16. Hubungan antara dosis kompos 60 hari dan KAKL metode pF 2,54 (%)
Perbandingan Metode Alhricks dan Metode pF 2,54
Kadar air pada keadaan kapasitas lapang ditetapkan dengan menggunakan dua
metode, yaitu metode Alhricks dan pF 2,54. Hasil analisis statistik uji t-student pada
taraf 5% menyatakan bahwa nilai kadar air yang dihasilkan oleh kedua metode
tersebut sangat berbeda nyata, kecuali pada perlakuan kompos 60 hari dengan dosis
15 dan 20% (Tabel Lampiran 12). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Baskoro dan
Tarigan (2007). Menurut mereka perbedaan tersebut disebabkan oleh beberapa hal,
diantaranya adalah pengukuran kadar air kapasitas lapang dengan metode Pressure
plate dilakukan dengan menggunakan contoh tanah yang diberi tekanan setara pF
2,54 (1/3 Bar). Pemberian tekanan 1/3 bar ini sebenarnya hanya merupakan
pendekatan (arbitrer). Selain itu, contoh tanah yang digunakan pada penetapan kadar
air kapasitas lapang dengan metode Pressure Plate hanya setebal kurang lebih 1 cm.
Air yang ada pada contoh tanah tersebut lebih mudah hilang dibandingkan dengan air
dalam tanah dengan kolom yang tebal seperti pada metode Alhricks. Pengukuran
dengan metode Pressure Plate mengabaikan karakteristik profil tanah secara
keseluruhan yang tentunya akan menyebabkan proses pelepasan air cenderung lebih
mudah, sehingga kadar air yang dihasilkan oleh metode pF 2,54 cenderung lebih kecil
jika dibandingkan dengan metode Alhricks. Masih menurut Baskoro dan Tarigan
y = 0,504x + 38,27R² = 0,827
30
35
40
45
50
55
0 5 10 15 20 25
Kada
r ai
r (%
)
Dosis kompos (% volume)
53
(2007) perbedaan nilai kadar air ini juga dikarenakan membrane plate apparatus
diduga sudah tidak berfungsi secara maksimal lagi.
Tabel 14 berikut ini menyajikan perbandingan nilai kadar air yang dihasilkan
dengan menggunakan metode Alhricks dan pF 2,54 setelah dilakukan uji statistik t-
student pada taraf kepercayaan 5%.
Tabel 14. Perbandingan nilai kadar air metode Alhricks dan metode pF 2,54
Perlakuan Metode Alhricks pF 2,54
Kontrol 44.81 a 36.49 b K1D1 50,38 a 41,84 b K1D2 50,58 a 44,47 b K1D3 50,98 a 46,46 b K1D4 53,72 a 48,46 b K1D5 56,07 a 49,76 b K2D1 50,97 a 43,75 b K2D2 50,31 a 45,08 b K2D3 51,40 a 54,59 b K2D4 53,44 a 48,54 b K2D5 55,36 a 49,80 b K3D1 47,24 a 43,59 b K3D2 50,09 a 44,94 b K3D3 51,39 a 52,11 a K3D4 54,37 a 53,39 a K3D5 60,60 a 49,11 b
Keterangan: angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji t-student pada taraf 5%. Simbol K1, K2, dan K3 berturut-turut merupakan kompos dengan waktu pengomposan 30, 45, dan 60 hari; sedangkan D1, D2, D3, D4, dan D5 berturut-turut merupakan dosis kompos 5, 10, 15, 20, da 25% (v/v).
Dari Tabel 14 dapat diketahui bahwa nilai kadar air yang dihasilkan oleh
kedua metode tersebut sangat berbeda nyata, kecuali pada perlakuan kompos 60 hari
dengan dosis 15 dan 20%. Hal ini diduga karena terjadi penyumbatan pori kapiler
pada pengukuran kadar air dengan menggunakan metode pF 2,54; sehingga pori tidak
kontinyu, akibatnya saat contoh tanah ditekan dengan tekanan 1/3 bar di dalam
pressure plate apparatus air tidak sepenuhya bergerak ke bawah yang menyebabkan
kandungan air yang terukur lebih besar hingga nilainya hampir sama dengan nilai
kadar air yang dihasilkan dengan menggunakan metode Alhricks. Hal inilah yang
menyebabkan nilai kadar air pada perlakuan kompos 60 hari dengan dosis 15 dan
54
20% yang dihasilkan dengan menggunakan metode Alhricks dan pF 2,54 tidak
berbeda nyata.
Kapasitas lapang adalah kandungan air di dalam tanah setelah proses drainase
berhenti. Jumlah air yang melebihi kapasitas lapang akan turun ke lapisan tanah lebih
dalam karena gaya gravitasi. Dengan kata lain kapasitas lapang suatu tanah adalah
jumlah maksimum air yang dapat disimpan dalam tanah pada zona tidak jenuh
melawan gaya gravitasi (Kurnia et al., 2007). Berlandaskan pada pengertian kapasitas
lapang tersebut, maka metode Alhricks akan menghasilkan kadar air pada keadaan
kapasitas lapang yang lebih mendekati kondisi yang sebenarnya.
Pengaruh Kompos Limbah Baglog Jamur Tiram Putih Terhadap pH Tanah
Faktor waktu pengomposan dan dosis kompos serta interaksi keduanya
berpengaruh sangat nyata terhadap pH tanah. Hasil analisis ragam dapat dilihat pada
Tabel Lampiran 11. Tingkat kemasaman (pH) tanah latosol Megamendung sebesar
5,5 atau tergolong masam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan kompos
limbah baglog jamur tiram putih dapat meningkatkan pH tanah. Menurut Yuwono
(2007) Pemberian kompos ternyata membantu meningkatkan pH tanah. Peningkatan
pH tanah ini diduga disebabkan adanya efek asam-asam organik dalam mengikat ion
Al dan meningkatkan KTK tanah; semakin besar takaran kompos yang diberikan
pada tanah maka berpeluang semakin besar asam organik yang akan disumbangkan
kepada tanah. Asam-asam organik tersebut dapat mengkhelat ion Al sehingga
menghambat hidrolisis Al yang akan menghasilkan ion H+, akibatnya pH tanah
meningkat. Selain itu, peningkatan kandungan bahan organik tanah juga dapat
meningkatkan KTK tanah sehingga ion H+ dalam larutan tanah dapat berkurang
(Anwar, Sabiham, Sumawinata, Sapei dan Alihamsyah, 2006).
Tabel 15 menunjukkan bahwa semakin banyak dosis kompos yang diberikan
maka pH tanah akan semakin meningkat. Hal ini sejalan dengan penelitian Suryani
(2007). Peningkatan pH ini karena kompos meningkatkan kation yang terikat,
terutama hidrogen di dalam tanah. Kadar hidrogen dan aluminium yang dapat
dipertukarkan dalam tanah (Hdd dan Aldd) berubah dengan adanya aplikasi kompos.
55
Kemampuan bahan organik untuk mengurangi jumlah Al yang dapat dipertukarkan
ini juga menyebabkan terjadinya kenaikan pH.
Hasil uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) dapat dihat pada Tabel 15 di
bawah ini.
Tabel 15. Pengaruh jenis dan dosis kompos serta interaksi keduanya tehadap pH tanah
Keterangan: angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%. Simbol K1, K2, dan K3 berturut-turut merupakan kompos dengan waktu pengomposan 30, 45, dan 60 hari; sedangkan D1, D2, D3, D4, dan D5 berturut-turut merupakan dosis kompos 5, 10, 15, 20, da 25% (v/v)
Hasil analisis korelasi dosis kompos 30 hari yang ditambahkan terhadap kadar
air tanah menunjukkan bahwa tingkat hubungan linier antara kedua peubah tersebut
terlihat erat. Dari Gambar 17 dapat dilihat bahwa titik-titik pengamatan cenderung
membentuk pola garis lurus. Nilai koefisien korelasi dan koefisien determinasi untuk
Faktor Perlakuan pH
Interaksi
Kontrol 5,5 i K1D1 5,8 h K1D2 5,6 i K1D3 6,4d e K1D4 6,6 ab K1D5 6,7 a K2D1 6,0 g K2D2 6,2 f K2D3 6,4 e K2D4 6,6 abc K2D5 6,5 bcd K3D1 5,8 h K3D2 6,0 g K3D3 6,4 cde K3D4 6,2 f K3D5 6,6 bc
Waktu pengomposan (hari)
Kontrol 5,5 b K1 6,2 a K2 6,3 a K3 6,2 a
Dosis (% volume)
Kontrol 5,5 d D1 5,9 c D2 5,9 c D3 6,4 b D4 6,5 b D5 6,6 a
56
kompos 30 hari sebesar 0,923 dan 0,852; sehingga dapat diketahui bahwa hubungan
antara penambahan dosis kompos 30 hari dan pH tanah membentuk persamaan linier.
Nilai korelasi peubah dosis kompos 30 hari yang ditambahkan dan pH tanah bertanda
positif; sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan linier yang nyata antara
dosis kompos yang ditambahkan dengan pH tanah, dimana semakin banyak dosis
kompos yang ditambahkan diikuti oleh peningkatan nilai pH tanah. Hal ini sejalan
dengan hasil penelitian Sudirja, Solihin, dan Rosniawaty (2005) yang menunjukkan
bahwa setiap kenaikan dosis kompos berpengaruh nyata terhadap peningkatan pH
tanah dan mendekati pH 7 (netral).
Gambar 17. Hubungan antara penambahan dosis kompos 30 hari dengan pH tanah
Hasil analisis korelasi dosis kompos 45 hari yang ditambahkan terhadap pH
tanah menunjukkan bahwa tingkat hubungan linier antara kedua peubah tersebut
terlihat erat. Dari Gambar 18 dapat diketahui bahwa titik-titik pengamatan cenderung
membentuk pola garis lurus. Nilai koefisien korelasi sebesar 0,904; sedangkan
koefisien determinasinya sebesar 0,816. Hal ini memeperkuat kesimpulan bahwa
hubungan antara penambahan dosis kompos 45 hari dan pH tanah membentuk
persamaan linier. Nilai korelasi peubah dosis kompos 45 hari yang ditambahkan dan
pH tanah bertanda positif; sehingga dapat diketahui bahwa ada hubungan linier yang
nyata antara dosis kompos yang ditambahkan dengan pH tanah, dimana semakin
banyak dosis kompos yang ditambahkan diikuti oleh peningkatan nilai pH tanah. Hal
y = 0,055x + 5,404R² = 0,852
5
6
7
0 5 10 15 20 25
pH
Dosis kompos (% volume)
57
ini sejalan dengan hasil penelitian Mulyani, Trinurani, dan Sandrawati (2007) yang
menunjukkan bahwa pemberian kompos pada tanah dengan dosis 0; 7,2; 15; dan 22,5
ton/ha mampu meningkatkan pH tanah; dimana pH tanah pada masing-masing dosis
tersebut sebesar 6,10; 6,18; 6,42; dan 6,72.
Gambar 18. Hubungan antara penambahan dosis kompos 45 hari dengan pH tanah
Hasil analisis korelasi dosis kompos 60 hari yang ditambahkan terhadap pH
tanah menunjukkan bahwa tingkat hubungan linier antara kedua peubah tersebut
terlihat cukup erat. Dari Gambar 19 dapat dilihat bahwa titik-titik pengamatan
cenderung membentuk pola garis lurus. Nilai koefisien korelasi sebesar 0,924;
sedangkan koefisien determinasinya sebesar 0,853; sehingga dapat diketahui bahwa
hubungan antara penambahan dosis kompos 60 hari dan pH tanah membentuk
persamaan linier. Nilai korelasi peubah dosis kompos 60 hari yang ditambahkan dan
pH tanah bertanda positif; sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan linier
yang nyata antara dosis kompos yang ditambahkan dengan pH tanah, dimana semakin
banyak dosis kompos yang diberikan diikuti oleh peningkatan nilai pH tanah. Hal ini
sejalan dengan hasil penelitian Helton (2004) yang manunjukkan bahwa pH tanah
semakin meningkat sampai mendekati kondisi netral seiring meningkatnya dosis
kompos yang diberikan.
y = 0,040x + 5,68R² = 0,816
5
6
7
0 5 10 15 20 25
pH
Dosis kompos (% volume)
58
Gambar 19. Hubungan antara penambahan dosis kompos 60 hari dengan pH tanah
Pengaruh Kompos Limbah Baglog Jamur Tiram Putih Terhadap Pertumbuhan Bibit Markisa Kuning (Passiflora edulis var. Flavicarpa Degner)
Hasil analisis sidik ragam pengaruh waktu pengomposan dan dosis kompos
serta interaksi keduanya terhadap pertumbuhan bibit markisa kuning (penambahan
tinggi tanaman, jumlah daun sejati, dan biomassa tanaman) tidak berbeda nyata
(Lampiran 13, 14, dan 15). Dari Tabel 3 dapat diketahui bahwa hasil analisis awal
tanah latosol Megamendung menunjukkan kandungan N-total tanah sebesar 0,21%
atau tergolong sedang; sedangkan kandungan P2O5 tergolong sangat tinggi yaitu
sebesar 63 ppm. Kandungan K sebesar 1,8 me/100 g (sangat tinggi); Na sebesar 0,2
me/100 g (rendah); Ca sebesar 9 me/100 g (tinggi), dan Mg sebesar 3,2 me/100 g
(tinggi), serta kandungan C-organik tergolong sedang (2,1%). Diduga kandungan
unsur hara tersebut sudah cukup mampu untuk memenuhi kebutuhan tanaman untuk
pertumbuhan vegetatifnya, baik penambahan tinggi tanaman, jumlah daun sejati
ataupun biomassa tanaman secara keseluruhan; sehingga pengaruh waktu
pengomposan dan dosis kompos serta interaksi keduanya tidak berbeda nyata
terhadap penambahan tinggi tanaman, jumlah daun sejati, dan biomassa tanaman. Hal
ini diperkuat dengan nilai Kapasitas Tukar Kation (KTK) tanah yang tergolong tinggi
yaitu sebesar 33 me/100 gram. Kapasitas Tukar Kation (KTK) adalah kemampuan
atau kapasitas koloid tanah untuk memegang kation. Semakin tinggi KTK di dalam
y = 0,040x + 5,590R² = 0,853
5
6
7
0 5 10 15 20 25
pH
Dosis kompos (% volume)
59
tanah maka semakin meningkat pula daya serap akar tanaman terhadap unsur hara
tersedia dan pada akhirnya akan meningkatkan suplai hara dari akar ke seluruh bagian
tanaman. Menurut Nugroho (2006) semakin tinggi KTK tanah, semakin subur tanah
tersebut.
Penambahan Tinggi Tanaman
Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 13) menunjukkan bahwa faktor waktu
pengomposan dan dosis kompos serta interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata
terhadap penambahan tinggi tanaman markisa, baik pada minggu kedua, keempat,
dan keenam setelah transplanting. Tanaman markisa merupakan tanaman merambat,
apabila telah mencapai fase perambatan tanaman, pertumbuhanya jauh lebih cepat
dibandingkan dengan pertumbuhan pada fase sebelumnya. Menurut Prosea (1992)
perkecambahan markisa terjadi 2-4 minggu setelah semai; pertumbuhan pada fase
perkecambahan sangat lambat. Dalam 5-7 minggu setelah transplanting, tanaman
akan memiliki lebih dari empat cabang; setelah itu pertumbuhan pada fase
perambatan sangat cepat. Penambahan tinggi tanaman markisa dapat dilihat pada
Tabel Lampiran 17.
Jumlah Daun Sejati
Pengaruh faktor waktu pengomposan dan dosis kompos serta interaksi
keduanya terhadap jumlah daun sejati tidak berpengaruh nyata, baik pada minggu
kedua, keempat, maupun keenam setelah transplanting. Hal ini dapat dilihat dari hasil
analisis sidik ragam (Lampiran 14). Pertumbuhan jumlah daun yang cukup seragam
setiap minggunya (Tabel Lampiran 18) menyebabkan jumlah daun sejati antar
perlakuan tidak jauh berbeda menyebabkan faktor waktu pengomposan dan dosis
kompos serta interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata. Dimungkinkan
pertumbuhan tidak terfokus pada daun, Lakitan (1996) dalam Kusumaningrum,
Hastuti, dan Haryanti (2007) menyatakan bahwa pertumbuhan tidak berlangsung
secara seragam pada seluruh bagian tanaman; pertumbuhan dimungkinkan terfokus
pada jaringan meristem batang.
60
Biomassa Tanaman
Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 15) menunjukkan bahwa faktor waktu
pengomposan dan dosis kompos serta interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata
terhadap biomassa tanaman. Pertumbuhan vegetatif tanaman yang relatif seragam
pada semua perlakuan (Tabel Lampiran 19) menyebabkan faktor waktu pengomposan
dan dosis kompos serta interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap
biomassa tanaman.
Jika dilihat dari karakteristik tanaman, markisa merupakan tanaman tahunan
(Ashari, 2006), sehingga kurang peka terhadap penambahan kompos pada media
tanamanya. Selain itu karena markisa tidak bermasalah dengan jenis tanah apapun
asalkan unsur hara serta bahan organiknya cukup (Anonimc, 2011). Markisa dapat
beradaptasi pada selang jenis tanah yang lebar, walaupun sangat rentan terhadap
drainase yang jelek dan kekurangan air (Nakasone dan Paull, 1999).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa permeabilitas tanah pada semua
perlakuan tidak ada yang masuk dalam kategori buruk atau sangat lambat, dimana
permeabilitas paling kecil dimiliki oleh perlakuan kontrol yang masuk dalam kategori
agak cepat. Kemampuan memegang air pada keadaan kapasitas lapang semua
perlakuan di atas 44% (metode Alhricks), sehingga dapat dikatakan kemampuan
tanah dalam memegang air cukup baik pada semua perlakuan; sehingga tanamanpun
dapat terpenuhi kebutuhan airnya. Kisaran pH media tanam berkisar antara 5,5-6,7.
Kisaran pH yang baik bagi markisa adalah 5,5-6,8 (Nakasone dan Paull, 1999). Hal-
hal tersebut mengakibatkan pertumbuhan tanaman markisa cendrung sama pada
semua perlakuan, sehingga faktor waktu pengomposan, dosis kompos, dan interaksi
antara keduanya tidak berbeda nyata.
Pada penelitian ini hanya menggunakan pupuk kompos atau tidak digunakan
pupuk kimia sebagai pupuk dasar. Penambahan pupuk kompos ini belum mampu
meningkatkan pertumbuhan tanaman markisa. Menururt (Yuwono, 2007) alasan
utama pemberian kompos pada tanah lebih bertujuan untuk memperbaiki kondisi fisik
tanah daripada untuk menyediakan unsur hara, walaupun unsur hara dalam kompos
sudah ada dalam jumlah sedikit.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Limbah baglog terkontaminasi memiliki kandungan hara yang lebih tinggi
dibandingkan dengan limbah baglog yang sudah habis masa produksinya. Kualitas
kompos yang dihasilkan dengan bahan baku utama limbah baglog terkontaminasi
memiliki kualitas yang cukup baik karena sebagian besar parameter memenuhi
Standar Nasional Indonesia (SNI 19-7030-2004). Kompos dengan waktu
pengomposan 60 hari memiliki kualitas terbaik. Penyimpanan kompos selama dua
bulan berpengaruh terhadap sifat fisik dan kimia kompos, namun tidak terlalu
berpengaruh terhadap kualitas kompos menurut SNI 19-7030-2004.
Waktu pengomposan dan dosis kompos, serta interaksi keduanya berpengaruh
sangat nyata terhadap sifat fisik tanah (bobot isi, permeabilitas, dan kemampuan
menahan air) akan tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan bibit
markisa kuning. Hal ini dikarenakan tanaman markisa merupakan tanaman yang
toleran terhadap penambahan kompos pada media tanamnya.
Saran
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kompos limbah baglog jamur tiram
putih memiliki kualitas yang cukup baik secara fisik ataupun kimia. Oleh karena itu,
pembuangan limbah ini secara langsung ke lingkungan harus segera ditinggalkan; dan
pemanfaatannya harus digalakan oleh para petani jamur khususnya dan masyarakat
pada umumnya. Pengukuran kadar air kapasitas lapang sebaiknya menggunakan
metode Alhricks. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui kelayakan
alat pressure plate apparatus dalam mengukur kadar air pada keadaan kapasitas
lapang ataupun pada keadaan lainnya. Untuk lebih mengetahui pengaruh kompos
limbah baglog jamur tiram putih terhadap pertumbuhan berbagai jenis tanaman
sebaiknya penelitian ini dilanjutkan dalam skala lapang.
DAFTAR PUSTAKA
Agustina, C. 2007. Pengaruh Pemberian Kompos Terhadap Beberapa Sifat Fisik Entisol Serta Pertumbuhan Tanaman Jagung (Zea mays L) [Skripsi]. Malang: Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya.
Aminah, S., G. B. Soedarsono, dan Y. Sastro. 2005. Teknologi Pengomposan. Jakarta:
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jakarta. Anonima. 2010. Pemanfaatan Limbah Baglog Jamur Tiram. www.blogtopsites.com. [12 Oktober 2010] b. 2010.Markisa. www.wikipedia.org/wiki/Markisa. [18 November 2010] c. 2010. Teknologi Produksi Markisa. www.sulsel.litbang.deptan.go.id
a. 2011. Jamur Tiram.
. [18 November 2010]
www.jayamakmurcirebon.blogspot.com. [1 Desember 2011]
b. 2011. Chemical Composition of Wood. www.paperonweb.com/wood. [29 November 2011] c. 2011. Budidaya Markisa. www.tanaman.org/tag/buah-markisa
Arofatullah, N. A. 2010. Pengomposan Tandan Kosong Kelapa Sawit.
. [29 November 2011] Anif, S., T. Rahayu, M. Faatih. 2007. Pemanfaatan Limbah Tomat Sebagai Pengganti
EM-4 Pada Proses Pengomposan Sampah Organik. Surakarta: Jurusan Pendidikan Biologi FKIP Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Anwar, K., S. Sabiham, B. Sumawinata, A. Sapei dan T. Alihamsyah. 2006. Effect of Straw Compost on Soil Quality, Soluble Fe2+ and SO42- and Rice Production of Sulfid Acid Soil (in Indonesian). Journal of Soil and Climate (24): 29-39
www.bangunindonesia.com. [19 Oktober 2011] Ashari, S. 2006. Hortikultura: Aspek Budidaya. Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia Press. Baskoro, D. P. T. dan S. D. Tarigan. 2007. Karakteristik Kelembaban Tanah Pada
Beberapa Jenis Tanah. Jurnal Tanah dan Lingkungan Vol. 9 (2): 77-81.
63
Cahyono, E. D. 2000. Pemanfaatan Limbah Gergaji Kayu untuk Pot Organik Sebagai Pengganti Polybag. www.gdl.itb.ac.id
Isroia. 2008. Cara Sederhana Menguji Kualitas Kompos.
. [23 November 2011] Dewi, I. K. 2009. Efektivitas Pemberian Blotong Kering Terhadap Pertumbuhan
Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) Pada Media Serbuk Kayu [Skripsi]. Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyyah Surakarta.
Djaja, W. 2008. Langkah Jitu Membuat Kompos dari Kotoran Ternak dan Sampah.
Jakarta : AgroMedia Pustaka. Helton, T. J. 2004. Effect of Composted Dairy Manure on Soil Chemical Properties
and Forage Yield and Nutritive Value of Coastal Bermudagrass [Cynodon dactylon (L.) Pers.] [Tesis]. Texas: Texas A&M University.
Husen, E. dan Irawan. 2010. Efektivitas dan Efisiensi Mikroba Dekomposer
Komersial dan Lokal dalam Pembuatan Kompos Jerami [Prosiding]. Bogor: Balittanah Departemen Pertanian Indonesia.
www.isroi.wordpress.com
[21 September 2011] b. 2008. Kompos. www.isroi.org. [21 September 2011] Iqbal M. K., T. Shafiq, S. Ahmed, dan K. Ahmed. 2010. Effect on Carbon Nitrogen
Ratio Ammonia Nitrogen In Food Waste Composting Using Different Techniques. Lahore: PCSIR Laboratories Complex Lahore Pakistan.
Kalantari, S., S. Hatami, M. M. Ardalan, H. A. Alikhani, dan M. Shorafa. 2009. The
Effect of Compost and Vermicompost of Yard Leaf Manure on Growth of Corn. Tehran: Soil Science Department Faculty of Soil and Water Tehran University.
Kamandani, D. 2006. Pencucian Hara Pupuk Majemuk Lepas Terkendali (PMLT)
PMF Briket dan Pupuk Tunggal Konvensional Pada Inceptisol Darmaga Serta Pengaruhnya Terhadap Produksi Cabai (Capsicrrnz aiznrrurn. L) [Skripsi]. Bogor: Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Institut Pertaian Bogor.
Kardin, D. 2005. Teknologi Kompos. www.diperta.jabarprov.go.id. [20 September
2011] Kurnia, U., F. Agus, A. Adimihardja, A. Dariah. 2006. Sifat Fisik Tanah dan Metode
Anlisisnya. Jakarta: Balai Besar Litbang Sumberdaya lahan Pertanian Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian.
64
Kusumaningrum, I., R. B. Hastuti, S. Haryanti. 2007. Pengaruh Perasan Sargassum
crassifolium dengan Konsentrasi yang Berbeda Terhadap Pertumbuhan Tanaman Kedelai. Semarang: Laboratorium Biologi Struktur dan Fungsi Tumbuhan Jurusan Biologi FMIPA UNDIP.
Lubis, A. L. 1992. Pengaruh Pemberian Kapur dan Kompos Sampah Kota Terhadap
Sifat Fisik dan Kimia Tanah Pertumbuhan Serta Produksi Kedelai (Glycine max (L.) Merr.) Pada Tanah Alfisol Dari Sagaranten Kabupaten Sukabumi [Skripsi]. Bogor: Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Maftuhah, I. 2008. Pengaruh Bahan Pembenah Tanah Terhadap Sifat Fisik Tanah
Latosol [Skripsi]. Bogor: Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Institut Pertaian Bogor.
Maonah, S. 2010. Penanganan Limbah Perusahaan. www.sitimaonah.wordpress .com. [13 Desember 2010] Mardani, D. Y. 2005. Pemanfaatan Limbah Industri Gula Untuk meningkatkan
Produksi Kedelai (Glycine max) Pada Tanah Mediteran (Typic Hapludalf) Di Kulon Progo Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Fakultas Pertanian Institut Pertanian (INTAN) Yogyakarta
Mattjik, A. A. dan I. M. Sumertajaya. 2006. Peracangan Percobaan dengan Aplikasi
SAS dan MINITAB. Bogor: IPB Press. Mulyadi, A. 2008. Karakteristik Kompos Dari Bahan Tanaman Kaliandra Jerami dan
Sampah Sayuran [Skripsi]. Bogor: Departemen Ilmu Tanah dan Suberdaya Lahan Institut Pertanian Bogor.
Mulyani, O., S. E. Trinurani, A. Sandrawati. 2007. Pengaruh Kompos Sampah Kota
dan Pupuk Kandang Ayam Terhadap Beberapa Sifat Kimia Tanah dan Hasil Tanaman Jagung Manis (Zea Mays Saccharata) Pada Fluventic Eutrudepts Asal Jatinangor Kabupaten Sumedang. Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran.
Naksone, H. Y. dan R. E. Paull. 1998. Crop Production Science In Horticulture:
Tropical Fruit. Wallingford: Central for Agriculture and Bioscience International.
Novizan, 2007. Petunjuk Pempukan yang Efektif. Jakarta: AgroMedia Pustaka. Nugroho, A. W. 2006. Karakteristik Tanah Pada Sebaran Ulin di Sumatera Dalam
Mendukung Konservasi [Prosiding]. Palembang: Balai Litbang Hutan Tanaman Palembang.
65
Prosea, 1992. Plant Resource of South East Asia 2 Edible Fruits and Nuts. Bogor :
Prosea Foundation Rizaldi, R. 2008. Pengelolaan Sampah Secara Terpadu di Perumaha Dayu Permai
Yogyakarta [skripsi]. Yogyakarta: Jurusan Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Universitas Islam Indonesia.
Roliadi, H. dan R. A. Pasaribu 2011. Uji Coba Mesin Serpih Mudah Dipindahkan
Untuk Produksi Serpih Dari Limbah Industri penggergajian Kayu. http://www.forda-mof.org. [1 Desember 2011]
Samosir, R. D. 2010. Studi Pengaruh Waktu Pengomposan Terhadap Kandungan
Karbon dan Nitrogen di Dalam Kompos Hidrilla [Tesis]. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Sariyono. 2000. Manfaat Serbuk Gergaji. www.indomedia.com. [18 November 2010] Sastrodihardjo, S. 1990. Pengaruh Pemberian Bahan Organik dan Polimer Alam Serta
Sintetik Terhadap Beberapa Sifat Fisik dan Kimia Tanah Tailing Tambang 25 Wilasi Pangkalpinang Unit Penambangan Timah Bangka (UPTB) [Skripsi]. Bogor: Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Seno, A. 2010. An Integrated Solution Model For Developing The Excellent
Performance of Oil Palm Production In The Global Bussines Enviroment. Jurnal Penelitian Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian Agrobisnis Perkebunan Vol. 1 (1) : 3 – 9.
Setiawan, A. 1993. Pengaruh Peningkatan Dosis Bahan Organik Terhadap
Ketersediaan Air Maksimum Pada Tanah Pleudult Tipik Parung dan Pertumbuhan Tanaman Bunga (Helianthus annuus) [Skripsi]. Bogor: Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Setyawati, 2003. Komposit Serbuk Kayu Plastik Daur ulang: Teknologi Alternatif
Pemanfaatan Limbah kayu dan Plastik. www.tumoutou.net. [18 November2010]
Simanungkalit, R. D. M., D. A. Suriadikarta, R. Saraswati, D. Setyorini, dan W.
Hartatik. 2006. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Bogor: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian.
Sinukaban, N. 2007. Konservasi Tanah dan Air: Kunci Pembangunan Berkelanjutan.
Jakarta: Direktorat Jenderal RLPS Departemen Kehutanan. Sritopo. 1999. Budidaya Jamur Tiram Putih. www.scribd.com. [22 November 2011]
66
Sudirja, R., M. A. Solihin, S. Rosniawaty. 2005. Pengaruh Kompos Kulit Buah Kakao dan Kascing Terhadap Perbaikan Beberapa Sifat Kimia Fluventic Eutrudepts. Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran.
Suryani, A. 2007. Perbaikan Tanah Media Tanam Jeruk Dengan Berbagai Bahan
Organik Dalam Bentuk Kompos [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Sutanto, R a. 2002. Penerapan Pertanian Organik. Yogyakarta: Penerbit Kanisus. b. 2002. Pertanian Organik: Menuju Pertanian Alternatif dan Berkelanjutan.
Yogyakarta: Penerbit Kanisius. . 2005. Dasar-Dasar Ilmu Tanah: Konsep dan Kenyataan. Yogyakarta:
Kanisius. Suhartini, 2003. Pengomposan Limbah Organik Pertanian Untuk Menghasilkan
Pupuk Organik yang Sehat dan Ramah Lingkungan [Makalah]. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Yenie, E. 2008. Kelembaban Bahan dan Suhu Kompos Sebagai Parameter yang
Mempengaruhi Proses Pengomposan Pada Unit Pengomposan Rumbai. Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 7 (2): 58-61.
Yuliarti, N. 2009. 1001 Cara Menghasilkan Pupuk Organik. Yogyakarta: ANDI Yuwono, D. 2007. Kompos: Dengan Cara Aerob Maupun Anaerob untuk
Menghasilkan Kompos Berkualitas. Jakarta: Penebar Swadaya. Valarini, P. J., G. Curaqueo, A. Seguel, K. Manzano, R. Rubio, P. Cornejo, and F.
Borie. 2009. Effect of Compost Aplication on Some Properties of a Volcanic Soil From Central South Chile. Chilean Journal of Agricultural Research 69 (3): 416-425.
Wahyunto, S. Ritung, Suparto, dan H. Subagjo. 2005. Sebaran Gambut dan
Kandungan Karbon di Sumatera dan Kalimantan 2004. Bogor: Wetlands International-Indonesian Programme.
Walpole, R.E. 1993. Pengantar Statistika. Edisi ke-3. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.
LAMPIRAN
Tabel Lampiran 1. Hasil pengamatan kandungan C-org, N-total, C/N rasio, Kadar abu, dan bahan organik kompos pada kompos 30, 45, dan 60 hari.
Waktu pengomposan (hari)
Minggu ke-
C-Org (%)
N-Total (%)
C/N Rasio
Kadar Abu(%)
Bahan organik (%)
60 1 51,87 0,89 58,45 10,58 89,42
3 49,33 1,20 41,04 14,96 85,04
5 47,73 1,51 31,70 17,72 82,28
7 46,25 2,06 22,49 20,27 79,73
8 45,33 2,22 20,42 21,85 78,15 45 1 52,90 1,03 51,38 8,80 91,20
3 50,69 1,05 48,24 12,61 87,39
5 49,49 1,34 37,05 14,67 85,33
6 47,70 1,86 25,63 17,76 82,24 30 1 52,29 0,84 62,30 9,85 90,15
3 50,10 0,99 50,65 13,62 86,38
4 48,53 1,81 26,83 16,34 83,66
Tabel Lampiran 2. Hasil pengamatan kadar air kompos dengan perlakuan waktu pengomposan 30, 45, dan 60 hari.
Waktu pengomposan Minggu ke- Kadar air (% b/b)
60 hari
1 359,73 2 315,16 3 280,08 4 328,51 5 344,02 6 363,80 7 385,10 8 406,00
45 hari
1 322,67 2 326,72 3 322,86 4 327,31 5 341,87 6 358,01
30 hari
1 326,43 2 328,63 3 322,22 4 330,59
68
Tabel Lampiran 3. Hasil pengamatan suhu kompos pada perlakuan waktu pengomposan 30 hari
Hari Ke- Suhu (0C) T1 T2 T3 T4 T5
0 26 24 24 24 26 1 40 39 43 43 42 2 41 51 50 50 49 3 49 51 53 52 50 4 52 56 57 55 57 5 51 59 56 59 58 6 38 37 39 36 34 7 44 48 48 49 49 8 49 55 55 55 58 9 55 60 62 61 61
10 37 41 39 39 37 11 50 52 53 52 54 12 53 59 58 59 59 13 37 36 38 36 35 14 46 48 49 45 47 15 51 45 56 50 45 16 53 58 58 56 57 17 38 35 37 35 35 18 43 50 48 44 48 19 48 58 53 54 57 20 54 57 55 58 58 21 57 59 58 58 59 22 56 59 58 55 54 23 59 58 60 59 55 24 38 38 35 36 37 25 46 46 46 45 43 26 50 51 52 51 50 27 55 53 56 54 52 28 56 56 55 55 54 29 55 53 55 54 52 30 59 55 53 50 53
Tabel Lampiran 4. Hasil pengamatan suhu kompos pada perlakuan waktu
pengomposan 45 hari
Hari Ke- Suhu (0C) T1 T2 T3 T4 T5
0 25 24 25 24 24 1 40 50 48 50 49 2 44 53 50 53 50 3 48 54 53 54 53 4 52 54 54 56 56 5 54 55 55 58 58
69
Lanjutan Tabel Lampiran 4. Hasil pengamatan suhu kompos pada perlakuan waktu pengomposan45 hari
Hari Ke- Suhu (0C) T1 T2 T3 T4 T5
6 32 32 33 31 30 7 34 40 40 40 41 8 49 51 46 51 53 9 46 55 52 55 54
10 49 58 54 58 56 11 52 58 54 59 57 12 37 37 37 37 37 13 42 49 47 48 45 14 48 52 50 53 48 15 52 55 54 55 56 16 55 56 55 52 49 17 53 59 58 58 52 18 54 59 55 58 52 19 36 36 36 36 34 20 47 42 44 43 38 21 52 46 47 41 38 22 54 45 51 46 41 23 55 50 55 45 42 24 57 55 55 48 57 25 57 55 58 50 51 26 38 37 38 37 37 27 48 46 48 45 48 28 49 56 57 57 54 29 57 58 58 58 56 30 58 55 58 57 58 31 61 58 57 51 59 32 36 35 38 35 35 33 47 44 45 47 45 34 46 50 53 48 52 35 51 55 55 55 54 36 54 56 54 52 56 37 55 57 57 55 55 38 56 57 54 53 52 39 37 36 37 36 35 40 45 45 44 43 43 41 50 51 50 46 44 42 55 53 55 50 47 43 54 55 54 54 47 44 56 55 55 50 48 45 56 57 54 56 51
70
Tabel Lampiran 5. Hasil pengamatan suhu kompos pada perlakuan waktu pengomposan 60 hari
Hari Ke- Suhu (0C) T1 T2 T3 T4 T5
0 25 26 24 25 27 1 31 36 36 37 37 2 38 46 44 49 49 3 45 52 49 54 53 4 50 54 54 55 57 5 56 58 57 59 58 6 57 58 59 57 58 7 34 33 33 34 34 8 42 48 47 49 48 9 49 54 54 53 55
10 51 54 55 55 56 11 57 58 58 59 58 12 34 33 34 33 33 13 39 46 47 46 47 14 44 54 54 53 54 15 49 56 58 56 56 16 52 59 59 58 58 17 54 58 59 59 59 18 32 31 31 30 30 19 38 36 36 37 38 20 47 42 45 45 47 21 50 45 45 51 48 22 51 48 50 55 54 23 53 52 54 56 54 24 55 55 56 57 55 25 52 54 56 56 56 26 53 51 55 56 54 27 53 56 57 56 57 28 54 54 57 55 58 29 52 54 56 56 56 30 56 54 53 58 57 31 37 31 32 35 32 32 44 40 44 39 43 33 45 45 44 48 45 34 45 51 47 52 45 35 51 51 52 52 50 36 52 53 53 54 52 37 52 55 55 55 56 38 56 53 53 53 53 39 38 40 36 37 38 40 47 45 48 47 48
71
Lanjutan Tabel Lampiran 5. Hasil pengamatan suhu kompos pada perlakuan waktu pengomposan 60 hari
Hari Ke- Suhu (0C) T1 T2 T3 T4 T5
41 47 48 52 49 50 42 50 50 54 50 54 43 56 52 54 56 55 44 54 55 52 54 54 45 53 54 57 51 54 46 55 53 49 55 50 47 38 39 37 36 35 48 44 40 44 43 43 49 48 47 49 45 47 50 48 46 47 48 50 51 52 49 49 49 53 52 50 46 47 50 49 53 51 48 48 49 50 54 37 36 33 36 35 55 43 41 42 41 42 56 46 41 44 43 47 57 55 44 46 46 48 58 51 47 47 43 48 59 50 47 42 46 45 60 50 48 42 46 46
Tabel Lampiran 6. Hasil pengamatan penurunan volume kompos pada
perlakuan waktu pengomposan 30, 45, dan 60 hari
Minggu Ke- Penurunan Volume (%) Kompos 30 hari Kompos 45 hari Kompos 60 hari
1 12,0 13,0 11,0 2 6,5 3,5 7,0 3 8,0 4,5 1,0 4 3,5 6,0 8,0 5 3,0 7,0 6 1,5 2,0 7 1,5 8 0,0
Total 30,0 31,5 37,5
Tabel Lampiran 7. Rekapitulasi sidik ragam pengaruh jenis dan dosis kompos serta interaksi keduanya terhadap bobot isi standar (g/cm3)
Sumber keragaman
Derajat bebas Jumlah kuadrat Kuadrat
tengah F-hitung Pr>F Koefisien keragaman
Jenis kompos 3 0,0390 0,0130 3996,43 <,0001** Dosis 4 0,1148 0,0287 8812,13 <,0001** 0,2150 Interaksi 8 0,0014 0,0002 55,44 <,0001** Galat 24 0,0001 0,0000
Keterangan: **sangat nyata
72
Tabel Lampiran 8. Rekapitulasi sidik ragam pengaruh jenis dan dosis kompos serta interaksi keduanya terhadap KAKL metode Alhricks (%)
Sumber keragaman
Derajat bebas
Jumlah kuadrat Kuadrat tengah F-hitung Pr>F Koefisien
keragaman Jenis kompos 3 171,8479 57,2826 265,05 <,0001**
0,8931 Dosis 4 355,8519 88,9630 411,63 <,0001** Interaksi 8 74,0527 9,2566 42,83 <,0001** Galat 24 5,1869 0,2161 Keterangan: **sangat nyata
Tabel Lampiran 9. Rekapitulasisidik ragam pengaruh jenis dan dosis kompos
serta interaksi keduanya terhadap KAKL metode pF 2,54 (%)
Sumber keragaman
Derajat bebas
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah F-hitung Pr>F Koefisien
keragaman Jenis kompos 3 419,8293 139,9431 73,47 <,0001**
2,9305 Dosis 4 476,5107 119,1277 62,54 <,0001** Interaksi 8 110,4856 13,8107 7,25 <,0001** Galat 24 45,7128 1,9047
Keterangan: **sangat nyata
Tabel Lampiran 10. Rekapitulasi sidik ragam pengaruh jenis dan dosis kompos serta interaksi keduanya terhadap permeabilitas tanah (cm3/jam)
Sumber keragaman
Derajat bebas
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah F-hitung Pr>F Koefisien
keragaman Jenis kompos 3 2204,7623 734,9208 45,79 <,0001**
16,1011 Dosis 4 3339,7886 834,9472 52,03 <,0001** Interaksi 8 883,7252 110,4656 6,88 0,0001** Galat 24 385,1713 16,0488
Keterangan: **sangat nyata
Tabel Lampiran 11. Rekapitulasi sidik ragam pengaruh jenis dan dosis kompos serta interaksi keduanya terhadap pH tanah
Sumber keragaman
Derajat bebas
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah F-hitung Pr>F Koefisien
keragaman Jenis kompos 3 1,8989 0,6330 96,63 <,0001**
1,304 Dosis 4 3,9638 0,9910 151,28 <,0001** Interaksi 8 0,9524 0,1190 18,17 <,0001**
Galat 24 0,1572 0,0066 Keterangan: **sangat nyata
73
Tabel Lampiran 12. Perbedaan metode Alhricks dan pF 2,54 dalam menentukan kadar air kemampuan memegang air tanah pada keadaan kapasitas lapang
Perlakuan Keragaman Derajat Bebas t-hitung Pr>ItI
Kontrol Sama 4 19,01 <0,0001** Tidak sama 2,16 19,01 0,0019
K1D1 Sama 4 3,04 0,0384* Tidak sama 2,02 3,04 0,0922
K1D2 Sama 4 19,00 <0,0001** Tidak sama 3,93 19,00 <0,0001
K1D3 Sama 4 8,43 0,0011** Tidak sama 2,57 8,43 0,0061
K1D4 Sama 4 36,05 <0,0001** Tidak sama 3,11 36,05 <0,0001
K1D5 Sama 4 14,37 0,0001** Tidak sama 2,1 14,37 0,0040
K2D1 Sama 4 15,91 <0,0001** Tidak sama 2,08 15,91 0,0033
K2D2 Sama 4 18,87 <0,0001** Tidak sama 2,08 18,87 0,0023
K2D3 Sama 4 7,74 0,0015** Tidak sama 3 7,74 0,0045
K2D4 Sama 4 17,53 <0,0001** Tidak sama 3,45 17,53 0,0002
K2D5 Sama 4 19,45 <0,0001** Tidak sama 2,65 19,45 0,0006
K3D1 Sama 4 11,25 0,0004** Tidak sama 2,99 11,25 0,0015
K3D2 Sama 4 7,33 0,0018** Tidak sama 3,87 7,33 0,0021
K3D3 Sama 4 1,89 0,1319 tn Tidak sama 4 1,89 0,1319
K3D4 Sama 4 2,10 0,1035 tn Tidak sama 2,38 2,10 0,1499
K3D5 Sama 4 24,40 <0,0001** Tidak sama 3,03 24,40 0,0001
Keterangan: **sangat nyata; *nyata; tn: tidak nyata
74
Tabel Lampiran 13.Analisis sidik ragam pengaruh jenis dan dosis kompos serta interaksi keduanya terhadap penambahan tinggi tanaman (cm)
HST Sumber keragaman
Derajat bebas
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
F-hitung Pr>f Koefisien
keragaman
2
Jenis kompos 3 3,3605 1,1202 4,04 0,0185*
17,3834 Dosis 4 2,3658 0,5914 2,13 0,1078tn Interaksi 8 5,1996 0,6499 2,34 0,0509tn Galat 24 6,6547 0,2773
4
Jenis kompos 3 10,3542 3,4514 1,17 0,3423tn
30,9958 Dosis 4 25,2495 6,3124 2,14 0,1080tn Interaksi 8 39,5401 1,1925 0,40 0,9063tn Galat 23 67,7779 2,9469
6
Jenis kompos 3 6,8973 2,2991 0,31 0,8174n
50,6668 Dosis 4 13,9845 3,4961 0,47 0,7554tn Interaksi 8 69,2441 8,6555 1,17 0,3619tn Galat 21 155,5364 7,3997 Keterangan: **sangat nyata; tn: tidak nyata; MST: minggu setelah transplanting
Tabel Lampiran 14. Analisis sidik ragam pengaruh jenis dan dosis kompos serta interaksi keduanya terhadap jumlah daun sejati
HST Sumber keragaman
Derajat bebas
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
F-hitung Pr>f Koefisien
keragaman
2
Jenis kompos 3 2,5333 0,8444 3,10 0,0456*
14,9071 Dosis 4 0,5333 0,1333 0,49 0,7432tn Interaksi 8 2,9333 0,3667 1,35 0,2689tn Galat 24 6,5333 0,2722
4
Jenis kompos 3 4,0239 0,1341 0,13 0,9439tn
18,2486 Dosis 4 15,4838 3,8722 3,63 0,0196* Interaksi 8 2,1777 0,2722 0,26 0,9742tn Galat 23 24,5333 24,5333
6
Jenis kompos 3 4,9359 2,4679 1,50 0,4492tn
16,2434 Dosis 4 16,2413 4,0603 2,59 0,0623tn Interaksi 8 7,2777 0,9097 0,58 0,7828tn Galat 23 36,0000 1,5652 Keterangan:*nyata; **sangat nyata; tn: tidak nyata; MST: minggu setelah transplanting
75
Tabel Lampiran 15. Analisis sidik ragam pengaruh jenis dan dosis kompos serta interaksi keduanya terhadap biomassa bibit markisa (gram)
Sumber keragaman
Derajat bebas
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
F-hitung Pr>f Koefisien
keragaman Jenis kompos 3 1,8692 0,6231 0,63 0,6052tn
36,6747 Dosis 4 5,6888 1,4222 1,43 0,2558tn Interaksi 8 9,4499 1,1812 1,19 0,3484tn Galat 22 22,8735 0,9945 Keterangan: **sangat nyata; tn: tidak nyata; MST: minggu setelah transplanting
Tabel Lampiran 16. Hasil pengamatan pengaruh jenis dan dosis komposlimbah baglog jamur tiram putih terhadap sifat fisik tanah
Perlakuan Ulangan Peubah
Bobot isi standar (g/cm3)
Permeabilitas (cm/jam)
KAKL Alhricks (%)
KAKL pF 2,54 (%)
Kontrol 1 0,943 8,176 45,620 36,369 2 0,943 7,636 44,671 36,440 3 0,943 6,590 44,152 36,651
K1D1 1 0,895 22,173 49,989 43,171 2 0,895 23,406 50,567 45,884 3 0,891 26,469 50,577 36,457
K1D2 1 0,849 26,175 50,100 44,577 2 0,851 24,278 50,776 44,778 3 0,849 27,298 50,865 44,066
K1D3 1 0,830 32,421 50,987 46,226 2 0,829 25,185 51,844 46,304 3 0,830 31,528 50,108 46,836
K1D4 1 0,777 29,732 53,850 48,377 2 0,777 30,737 53,703 48,289 3 0,777 28,242 53,608 48,709
K1D5 1 0,744 59,409 56,807 49,797 2 0,735 61,249 56,091 49,632 3 0,744 53,201 55,305 49,857
76
Lanjutan Tabel lampiran 16. Hasil pengamatan pengaruh jenis dan dosis kompos limbah baglog jamur tiram putih terhadap sifat fisik tanah
K2D1 1 0,893 15,904 50,849 43,316 2 0,894 14,804 51,035 43,284 3 0,894 15,420 51,038 44,649
K2D2 1 0,874 15,219 50,686 45,008 2 0,874 14,544 49,774 45,100 3 0,871 9,564 50,461 45,137
K2D3 1 0,850 30,201 51,256 54,935 2 0,849 20,532 51,174 54,985 3 0,847 20,109 51,778 53,862
K2D4 1 0,797 19,924 53,639 48,899 2 0,799 17,316 53,544 48,615 3 0,795 18,466 53,139 48,100
K2D5 1 0,775 40,296 55,888 49,899 2 0,775 56,034 55,144 49,920 3 0,775 33,030 55,052 49,586
K3D1 1 0,907 16,344 47,034 43,957 2 0,906 18,579 47,148 43,025 3 0,908 21,791 47,525 43,797
Perlakuan Ulangan Peubah
Bobot isi standar (g/cm3)
Permeabilitas (cm/jam)
KAKL Alhricks (%)
KAKL pF 2,54 (%)
K3D2 1 0,881 18,246 49,991 44,417 2 0,880 19,169 49,371 44,389 3 0,878 17,272 50,917 46,023
K3D3 1 0,861 25,827 52,050 53,409 2 0,861 24,856 52,577 53,575 3 0,861 24,072 52,964 52,719
K3D4 1 0,788 23,019 54,529 53,822 2 0,787 20,639 54,480 53,851 3 0,787 20,029 54,097 52,505
K3D5 1 0,770 26,309 60,040 49,013 2 0,770 24,795 60,340 49,523 3 0,770 28,070 61,413 48,780
77
Tabel Lampiran 17. Pengruh faktor waktu pengomposan dan dosis kompos serta interaksi keduanya terhadap penambahan tinggi tanaman (cm)
Faktor Perlakuan Minggu Setelah Transplanting (MST)
2 4 6
Interaksi
Kontrol 3,2 5,8 5,7 K1D1 3,2 5,6 5,3 K1D2 2,5 5,9 5,3 K1D3 3,6 3,2 6,4 K1D4 1,9 5,3 3,4 K1D5 2,4 5,0 5,9 K2D1 2,8 5,0 5,8 K2D2 3,3 6,6 9,3 K2D3 2,9 6,0 4,1 K2D4 3,2 4,5 6,3 K2D5 3,0 3,7 5,5 K3D1 3,2 5,4 4,5 K3D2 3,2 6,1 4,2 K3D3 3,8 6,7 5,4 K3D4 3,6 6,6 6,0 K3D5 2,9 5,9 10,8
Waktu Pengomposan
Kontrol 3,20 5,83 5,73 K1 2,67 4,92 5,25 K2 3,02 5,15 6,25 K3 3,35 6,10 5,82
Dosis
Kontrol 3,20 5,83 5,73 D1 3,06 5,31 5,19 D2 3,00 5,79 6,29 D3 3,42 6,21 5,28 D4 2,87 4,53 5,14 D5 2,74 4,94 7,16
Keterangan: angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%. Simbol K1, K2, dan K3 berturut-turut merupakan kompos dengan waktu pengomposan 30, 45, dan 60 hari; sedangkan D1, D2, D3, D4, dan D5 berturut-turut merupakan dosis kompos 5, 10, 15, 20, da 25% (v/v).
78
Tabel Lampiran 18. Pengruh faktor waktu pengomposan dan dosis kompos serta interaksi keduanya terhadap jumlah daun sejati
Faktor Perlakuan Minggu Setelah Transplanting (MST)
2 4 6
Interaksi
Kontrol 3,0 6,0 7,3 K1D1 3,3 5,7 8,3 K1D2 3,3 5,7 7,7 K1D3 3,7 6,3 8,7 K1D4 3,0 4,3 6,3 K1D5 3,3 5,3 7,7 K2D1 3,3 6,3 7,7 K2D2 4,0 6,0 8,0 K2D3 3,0 5,7 8,3 K2D4 3,7 5,0 7,7 K2D5 3,3 5,3 8,0 K3D1 4,0 6,3 8,0 K3D2 3,7 6,0 7,7 K3D3 4,0 6,3 8,0 K3D4 4,0 6,5 8,0 K3D5 3,3 6,0 7,7
Waktu Pengomposan
Kontrol 3,0 5,7 7,3 K1 3,3 5,5 7,7 K2 3,5 5,7 7,9 K3 3,8 6,2 7,9
Dosis
Kontrol 3,0 5,7 7,3 D1 3,6 6,2 8,0 D2 3,7 5,9 7,8 D3 3,6 6,1 8,3 D4 3,6 5,1 7,3 D5 3,3 5,6 7,5
Keterangan: angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%. Simbol K1, K2, dan K3 berturut-turut merupakan kompos dengan waktu pengomposan 30, 45, dan 60 hari; sedangkan D1, D2, D3, D4, dan D5 berturut-turut merupakan dosis kompos 5, 10, 15, 20, da 25% (v/v).
79
Tabel Lampiran 19. Pengruh faktor waktu pengomposan dan dosis kompos serta interaksi keduanya terhadap jumlah daun sejati
Faktor Perlakuan Biomassa Tanaman (g)
Interaksi
Kontrol 2,67 K1D1 2,69 K1D2 2,16 K1D3 3,70 K1D4 1,06 K1D5 2,59 K2D1 2,48 K2D2 3,30 K2D3 2,81 K2D4 2,37 K2D5 2,31 K3D1 2,68 K3D2 2,47 K3D3 2,98 K3D4 3,98 K3D5 4,04
Waktu Pengomposan
Kontrol 2,67 K1 2,44 K2 2,68 K3 3,18
Dosis
Kontrol 2,67 D1 2,61 D2 2,64 D3 3,16 D4 2,28 D5 3,07
Keterangan: angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%. Simbol K1, K2, dan K3 berturut-turut merupakan kompos dengan waktu pengomposan 30, 45, dan 60 hari; sedangkan D1, D2, D3, D4, dan D5 berturut-turut merupakan dosis kompos 5, 10, 15, 20, da 25% (v/v).
Tabel Lampiran 20. Kriteria penilaian hasil analisis tanah unsur mikro DTPA Balai Penelitian Tanah 2005
Unsur Mikro DTPA Satuan Nilai Defisiensi Marginal Cukup
Zn ppm 0,5 0,5-1,0 1,0 Fe ppm 2,5 2,5-4,5 4,5 Mn ppm 1,0 - 1,0 Cu ppm 0,2 - 0,2
80
Tabel Lampiran 21. Kriteria penilaian hasil analisis tanah Balai Penelitian Tanah 2005
Tabel Lampiran 22. Kriteria penilaian hasil analisis tanah unsur makro dan mikro morgan Balai Penelitian Tanah 2005
Unsur makro dan mikro Morgan Satuan Nilai
Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi Ca ppm 71 107 143 286 572 Mg ppm 2 4 6 23 60 K ppm 8 12 21 36 58
Mn ppm 1 1 3 9 23 Al ppm 1 3 8 21 40 Fe ppm 1 3 5 19 53 P ppm 1 2 3 9 13
NH4 ppm 2 2 3 8 21 NO3 ppm 1 2 4 10 20 SO4 ppm 20 40 100 250 400 Cl ppm 30 50 100 325 600
Tabel Lampiran 23. Kriteria penilaian hasil analisis pH tanah Balai Penelitian Tanah 2005
pH H2O Sangat masam Masam Agak masam Netral Agak alkalis Alkalis <4,5 4,5-5,5 5,5-6,5 6,6-7,5 7,6-8,5 >8,5
Parameter tanah Satuan Nilai Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi
C % <1 1-2 2-3 3-5 >5 N % <0,1 0,1-0,2 0,21-0,5 0,51-0,75 >0,75 C/N <5 5-10 11-15 16-25 > 25 P2O5 HCl 25% mg 100g-1 <15 15-20 21-40 41-60 >60 P2O5 Bray ppm P <4 5-7 8-10 11-15 >15 P2O5 Olsen ppm P <5 5-10 11-15 16-20 >20 K2O HCl 25% mg 100g-1 <10 10-20 21-40 41-60 >60 KTK/CEC me 100 g tanah-1 <5 5-16 17-24 25-40 >40 Susunan kation Ca me 100 g tanah-1 <2 2-5 6-10 11-20 >20 Mg me 100 g tanah-1 <0,3 0,4-1 1,1-2,0 2,1-8,0 >8 K me 100 g tanah-1 <0,1 0,1-0,3 0,4-0,5 0,6-1,0 >1 Na me 100 g tanah-1 <0,1 0,1-0,3 0,4-0,7 0,8-1,0 >1 Kejenuhan Basa % <20 20-40 41-60 61-80 >80 Kejenuhan Alumunium % <5 5-10 1-20 20-40 >40 Cadangan mineral % <5 5-10 11-20 20-40 >40 Salinitas/DHL dS m-1 <1 1-2 2-3 3-4 >4 Persentase natrium dapat ditukar/ESP (%)
% <2 2-3 5-10 10-15 >15
81
Tabel Lampiran 24. Standar Kualitas Kompos (SNI 19-7030-2004) tentang spesifikasi kompos dari sampah organik domestik Balai Penelitian Tanah 2005
No Parameter Satuan Minimal Maksimal 1 Kadar air % oC 50,0 2 Temperatur oC suhu air tanah 3 Warna kehitaman 4 Bau berbau tanah 5 Ukuran partikel mm 0,6 25,0 6 Kemampuan ikat air % 58,0 7 pH 6,8 7,5 8 Bahan asing % * 1,5
Unsur makro 9 Bahan organic % 27,0 58,0 10 Nitrogen % 0,4 11 Karbon % 9,8 32,0 12 Phosfor (P2O5) % 0,1 13 C/N rasio 10,0 20,0 14 Kalium (K2O) % 0,2 Unsur mikro
15 Arsen mg kg-1 * 13,0 16 Cadmium (Cd) mg kg-1 * 3,0 17 Cobal (Co) mg kg-1 * 34,0 18 Chromium (Cr) mg kg-1 * 210,0 19 Tembaga (Cu) mg kg-1 * 100,0 20 Mercuri (Hg) mg kg-1 0,8 21 Nikel (Ni) mg kg-1 * 62,0 22 Timbal (Pb) mg kg-1 * 150,0 23 Selenium (Se) mg kg-1 * 2,0 24 Seng (Zn) mg kg-1 * 500,0
Unsur lain 25 Calsium % * 25,5 26 Magnesium (Mg) % * 0,6 27 Besi (Fe) % * 2,0 28 Aluminium (Al) % * 2,2 29 Mangan (Mn) % * 0,1
Bakteri 30 Fecal coli MPN gr-1 1000,0 31 Salmonella sp, MPN 4 gr-1 3,0
Keterangan: *nilainya lebih besar dari minimumatau lebih kecil dari maksimum
82
Gambar Lampiran 1. Desain tata letak perlakuan penelitian; K1, K2, dan K3: waktu pengomposan 30, 45, dan 60 hari; D1, D2, D3, D4, dan D5: dosis kompos 5, 10, 15, 20, da 25% (v/v).
K1D12 K2D52 K3D21 K3D32 K3D43 K3D13
K2D13 Kontrol1 K1D41 K1D33 K1D53 K2D21
K3D42 K2D31 K2D33 K3D23 K2D23 K1D52
K1D32 K1D31 Kontrol2 K3D51 K1D13 K2D21
K1D11 K3D52 K1D51 K2D42 K2D12 K1D23
K2D32 K3D31 K3D12 Kontrol3 K2D53 K3D22
K3D33 K3D41 K1D42 K2D43 K1D21 K2D51
K3D53 K1D43 K2D11 K3D11 K2D41 K1D22
83
Proses Pengomposan
Gambar Lampiran 2. Mengumpulkan Gambar Lampiran 3. Melembabkan bahan kompos bahan kompos
Gambar Lampiran 4. Menumpuk Gambar Lampiran 5. Menutup kotak bahan kompos kompos
Gambar Lampiran 6.Membalik Gambar Lampiran 7. Mengukur suhu Kompos kompos
84
Penyemaian dan Pembibitan Markisa Kuning
Gambar Lampiran 8. Benih markisa Gambar Lampiran 9. Penyemaian hasil ekstraksi benih markisa
Gambar Lampiran 10. Umur bibit 0 MST Gambar Lampiran 11. Desain tata letak Penelitian
Gambar Lampiran 12. Umur bibit 6 MST
K1D4 Kontrol K3D5
Recommended