View
59
Download
11
Category
Preview:
Citation preview
EKONOMI ISLAM
MAKALAHDisusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Agama
Disusun oleh :
AYU NURPITRIANI (141411005)
CITHA AMELIA (141411006)
SEPTI INTAN SOLICHAH (1414110)
PROGRAM STUDI D-III TEKNIK KIMIA
DEPARTEMEN TEKNIK KIMIA
POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
2014
1
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji dan syukur kepada Allah SWT atas rahmat dan hidayah serta
karunia-Nya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Ekonomi Islam”
untuk memenuhi salah satu tugas dari mata kuliah Pendidikan Agama Islam dengan Dosen
Pembimbing Dr. Waway Qodratullah.
Dalam menyusun makalah ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak, untuk itu,
penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah terlibat dalam penyusunan
makalah ini.
Penulis berusaha untuk menyelesaikan makalah ini dengan sebaik-baiknya. Namun,
penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun sangat penulis harapkan untuk perbaikan di masa yang akan datang.
Bandung, Maret 2015
Penulis
2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ekonomi islam adalah pengetahuan dan aplikasi dari perintah dan pengaturan
syariah untuk menghindari ketidakadilan dalam perolehan dan pembagian sumber daya
material agar memberikan kepuasan kepada manusia sehingga memungkinkan manusia
melaksanakan tanggung jawabnya kepada Allah SWT dan masyarakat. Ilmu ekonomi
islam merupakan suatu kajian yang senantiasa memperhatikan rambu-rambu metodologi
ilmiah. Sistem ekonomi islam merupakan salah satu aspek dalam sistem nilai islam bagi
seorang muslim.
Kegiatan ekonomi dalam pandangan islam merupakan tuntutan kehidupan. Di
samping itu juga merupakan anjuran yang memiliki dimensi ibadah,.hal ini dapat di
buktikan dengan ungkapan, “Sesungguhnya kami telah menempatkan kamu sekalian di
muka bumi ini dan kami adakan bagimu di muka bumi itu (sumber) penghidupan. Amat
sedikitlah kamu bersyukur.” (QS.Al-A’raf;10). Pada kesempatan lain dikatakan, “Dialah
yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalan lah (mencari rezeki
kehidupanlah) di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezekinya. Hanya
kepada-Nya lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (QS. Al-Mulk: 15). Untuk itulah
Allah berfirman, “Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan.”(QS. An-Naba’:11).
Tujuan dari sebuah sistem ekonomi pada prinsipnya di tentukan oleh pandangan
masyarakat pendukungnya tentang dunia, jika manusia berpandangan bahwa alam
semesta ini terjadi dengan sendirinya, maka mereka tidak akan bertanggung jawab
atasnya kepada siapapun, dan mereka akan bebas hidup sesukanya. Tujuan hidup mereka
hanya untuk mencapai kepuasan maksimum, dengan mengabaikan hal itu di peroleh dan
bagaimana hal itu berpengaruh pada orang lain atau alam sekitar.
Ekonomi merupakan bagian dari kehidupan dan tidak bisa dipisahkan dari
kehidupan. Tetapi ekonomi bukanlah fondasi bangunan nya dan bukan tujuan risalah
islam (Qardhawi,1997:33). Fondasi (asas) dalam islam, sebagaimana telah disebutkan,
adalah akidah. Akidah ini merupakan dasar keseluruhan tatanan kehidupan dalam islam,
tarmasuk tatanan ekonomi. Ekonomi islam adalah ekonomi yang berlandaskan akidah
3
Ketuhanan Yang Maha Esa (tauhid). Akidah yang diturunkan Allah SWT dengan sengaja
kepada Rasul-Nya untuk umat islam.
Tujuan ekonomi, membantu manusia untuk menyembah Tuhannya yang telah
memberi rizki, dan untuk menyelamatkan manusia dari kemiskinan yang bisa
mengkafirkan dan kelaparan yang bisa mendatangkan dosa. Oleh karena itu, rumusan
sistem islam berbeda sama sekali dari sistem-sistem yang lain nya. Sebagai sistem
ekonomi, ia memiliki akar dalam syari’ah yang menjadi sumber pandangan dunia,
sekaligus tujuan dan strategi nya (Zainul Bahar, 1999; Qardhawi, 1997:72).
Oleh karena itu, semua aktifitas ekonomi, seperti produksi, distribusi, konsumsi,
perdagangan, tidak lepas dari titik tolak ketuhanan dan bertujuan akhir kepada Tuhan.
Kalau seorang muslim bekerja di bidang produksi, maka pekerjaan itu dilakukan tidak
lain karena ingin memenuhi perintah Allah (Q. S al-mulk (67):15). Ketika menanam,
membajak, atau melakukan pekerjaan lain nya, seorang muslim merasa bahwa ia bekerja
dalam rangka beribadah kepada Allah. Makin tekun ia bekerja, makin takwa ia kepada
Allah. Bertambah rapi pekerjaan nya, bertambah dekat kepada Allah, tertanam dalam hati
nya bahwa semua itu adalah rizki dari Allah, maka patutlah bersyukur (Q.S al baqoroh (2)
: 172)
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang yang telah dijelaskan, dapat dibuat perumusan
masalah sebagai berikut.
1. Apa saja landasan ekonomi dalam Islam?
2. Apa saja bentuk tata niaga yang ada dalam Islam?
3. Apa hukum utang piutang, riba dan asuransi?
4. Apa saja etika bisnis di dalam Islam?
5. Apa saja kewajiban pengusaha dan pegawai?
4
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan laporan ilmiah ini adalah sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui landasan ekonomi apa saja yang terdapat di dalam Islam dan aspek
ekonomi dalam Islam dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari- hari.
2. Untuk mengetahui macam- macam tata niaga dalam Islam.
3. Untuk mengetahui hukum riba, utang piutang dan asuransi
4. Untuk mengetahui etika bisnis dalam Islam.
5. Untuk mengetahui kewajiban sebagai pengusaha dan pegawai
1.4 Manfaat Penulisan
Adapun manfaat-manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan laporan ilmiah ini
adalah sebagai berikut.
1. Penulis
Penulis dapat menambah pengetahuan mengenai landasan ekonomi dalam islam,
aspek ekonomi islam, tata niaga dalam islam, utang piutang, asuransi, riba, etika
bisnis, kewajiban pengusaha, serta kewajiban pegawai.
2. Pembaca
Pembaca dapat menambah referensi tentang ekonomi di dalam islam.
1.5 Metode Penulisan
Dalam penyusunan makalah ini, penulis menggunakan metode studi pustaka
dengan mengambil referensi-referensi dari berbagai rujukan yaitu internet.
5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Landasan Ekonomi dalam Islam
1. Landasan Akidah
Dalam sistem ekonomi islam kedudukan manusia sebagai makhluk Allah yang
berfungsi mengemban amanat Allah untuk memakmurkan kehidupan di bumi dan kelak di
kemudian hari akan dimintai pertanggungjawaban atas amanat Allah tersebut. Sementara
itu, sebagai pengemban amanat manusia dibekali kemampuan untuk menguasai,
mengolah, dan memanfaatkan potensi alam.
Al Quran surat Al Baqarah ayat 30: “ingatlah ketika Tuhanmu berfirman pada
malaikat, sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”.
Begitu juga dalam surat Lukman ayat 20 : “tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya
Allah telah menunjukkan untukmu apa yang ada dilangit dan apa yang ada di bumi dan
menyempurnakan untukmu nikmat lahir dan batin”.
Didalam Al Quran banyak ayat ayat yang memerintahkan agar manusia bekerja
dan berusaha mencari anugrah Allah untuk kepentingan hidupnya. Misalnya dalam Al
Quran surat Al Jum’ah ayat 10 ; “Apabila sudah ditunaikan sholat maka beterbaranlah
kamu dimuka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah dengan sebanyak
banyaknya”.
Bekerja mencari nafkah dan memanfaatkan potensi alam untuk mencukupi
kebutuhan hidup menurut pandangan Islam bukan merupakan tujuan, tetapi merupakan
sarana yang harus ditempuh, yang menjadi tujuan adalah mencari keridlaan Allah dengan
cara berbuat kebajikan, bersyukur atas nikmatNya.
Hubungan ekonomi Islam dengan aqidah Islam tampak jelas dalam banyak hal,
seperti pandangan Islam terhadap alam semesta yang ditundukkan (disediakan) untuk
kepentingaan manusia. Hubungan ekonomi Islam dengan aqidah dan syari’ah tersebut
memungkinkan aktifitas ekonomi dalam islam menjadi ibadah.
6
Dalam sistem ekonomi Islam kedudukan manusia sebagai makhluk Allah yang
berfungsi mengemban amanat Allah untuk memakmurkan kehidupan di bumi dan kelak di
kemudian hari akan dimintai pertanggungjawaban atas amanat Allah tersebut. Sementara
itu, sebagai pengemban amanat manusia dibekali kemampuan untuk menguasai,
mengolah, dan memanfaatkan potensi alam Al-Qur’an surat al-Baqarah: 30.
2. Landasan Moral
Al Quran dan hadist Nabi memberikan landasan yang terkait dengan akhlak atau
moral dalam ekonomi sebagai berikut:
1) Islam mewajibkan kaum muslimin untuk berusaha mencari kecukupan nafkah hidup
untuk dirinya, keluarga, dan mereka yang menjadi tanggung jawabnya dengan
kekuatan sendiri dan tidak menggantungkan kepada pertolongan orang lain. Islam
mengajarkan pada manusia bahwa makanan seseorang yang terbaik adalah dari jeri
payahnya sendiri. Islam juga mengajarkan bahwa orang yang memberi lebih baik dari
orang yang meminta atau menerima.
2) Islam mendorong manusia untuk memberikan jasa kepada masyarakat. Hadist riwayat
Ahmad, Bukhori, muslim dan Turmudzi mengatakan bahwa muslim yang menanam
tanaman, kemudian sebagian dimakan manusia, binatang merayap atau burung,
semuanya itu dipandang sebagai sedekah.
3) Hasil dari rizki yang kita peroleh harus disyukuri, hal ini dinyatakan dalam surat Al
Baqarah ayat 172; “ hai orang orang yang beriman makanlah diantara rizki yang baik
baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah jika engkau benar
benar hanya beribadah kepadanya”.
3. Landasan Yuridis
Landasan yuridis Islam dalam bidang ekonomi meliputi Al Quran, Hadist dan
Ijtihad (ra”yu). Al Quran dalam bidang ekonomi memberikan pedoman yang bersifat
garis besar seperti pedoman untuk memperoleh rizki dengan jalan berniaga, melarang
melakukan riba, menghambur hamburkan harta, memakan harta milik orang lain, perintah
bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup, dan sebagainya.
Sunnah Rasul memberikan penjelasan rinciannya seperti bagaimana cara berniaga yang
halal dan yang haram, menerangkan bentuk bentuk riba yang dilarang, bentuk bentuk
pemborosan dan sebagainya.
7
Ijtihad mengembangkan penerapan pedoman-pedoman Al Quran dan sunnah
Rasul dalam berbagai aspek perekonomian yang belum pernah disinggung secara jelas
oleh Al Quran dan hadist sesuai dengan perkembangan zaman, misalnya masalah bunga
bank, asuransi, koperasi, dan sebagainya.
Ketika Nabi akan mengutus Mu’adz ke Yaman, Beliau bertanya sebelum Muadz
berangkat: “Bagaimana kamu akan memutuskan, jika kepadamu dihadapkan suatu
masalah?”. Muadz menjawab “saya akan memutuskan dengan ketentuan Al Quran”. Nabi
bertanya lagi , “Jika kamu tidak mendapatkanya dalam Al Quran?”. Muadz menjawab
“saya akan memutuskan dengan sunnah Rasulnya”. Nabi bertanya lebih lanjut, “Jika
dalam sunnah Rasulnya juga tidak kamu jumpai?” Muadz menjawab “saya akan berijtihad
dengan pikiranku, saya tidak akan membiarkan suatu masalah tidak berkeputusan.
Mendengar jawaban Muadz, Nabi mengatakan: “Alhamdulillah yang telah memberikan
taufik kepada utusan rasulnya dengan sesuatu yang melegakan utusan Allah”. (H. R.
Muadz).
B. Aspek Ekonomi Islam
Ekonomi Islam dalam beberapa aspek dikatakan mirip dengan sistem pengaturan
ekonomi campuran. Tapi aspek tambahannya adalah pada mekanisme sistemnya yang
melibatkan peran pelaku ekonomi termasuk negara. Di lain pihak, secara filosofis pada
tataran para pelaku ekonomi secara individual dilandasi oleh pertanggungjawabannya
kepada Allah secara vertikal selain secara sosial dan horizontal.
Islam mengambil suatu kaidah terbaik antara kedua pandangan yang ekstrim
(kapitalis dan komunis) dan mencoba untuk membentuk keseimbangan di antara
keduanya. Sumber pedoman ekonomi Islam adalah al-Qur'an dan Sunnah Rasul. Sedang
hal-hal yang tidak secara jelas diatur dalam kedua sumber ajaran Islam tersebut diperoleh
ketentuannya dengan jalan ijtihad.
Sistem ekonomi Islam mempunyai perbedaan yang mendasar dengan sistem
ekonomi yang lain, dimana dalam sistem ekonomi Islam terdapat nilai moral dan nilai
ibadah dalam setiap kegiatannya.
Prinsip ekonomi Islam adalah:
- Kebebasan individu.
8
- Hak terhadap harta.
- Kesamaan sosial.
- Keselamatan sosial.
- Larangan menumpuk kekayaan.
- Larangan terhadap institusi anti-sosial.
- Kebajikan individu dalam masyarakat.
Dasar-dasar Ekonomi Islam:
- Keseimbangan antara dunia akherat, jasmani dan rokhani, perorangan dan masyarakat
keseimbangan dan kelestarian.
- Pengakuan hak milik perorangan.
- Larangan menimbun harta.
- Kewajiban zakat.
- Diperbolehkannya perniagaan dan larangan riba.
- Tidak adanya pembatasan suku, keturunan dalam bekerjasama.
C. Tata Niaga dalam Islam
Jual beli ialah persetujuan saling mengikat antara penjual yakni pihak yang
menyerahkan atau menjual barang dengan pembeli sebagai pihak yang membayar atau
membeli barang yang dijual.. Jual beli sebagai sarana tolong-menolong sesama manusia,
di dalam Islam mempunyai dasar hukum dari Al-Qur’an dan Hadist.
a. Rukun dan Syarat Jual Beli
Dalam Islam terdapat rukun syarat-syarat yang harus terpenuhi agar jual belinya sah
menurut syara’ (hukum Islam). Adapun rukun jual beli dan syarat-syaratnya yaitu:
1) Orang yang melaksanakan akad jual beli (penjual dan pembeli)
Syarat-syarat yang harus dimiliki oleh penjual dan pembeli adalah:
a) Berakal, jual belinya orang gila atau rusak akalnya dianggap tidak sah.
b) Balig, jual belinya anak kecil yang belum balig tidak sah, akan tetapi jika anak
itu sudah mamayyiz (mampu membedakan baik buruk), dibolehkan melakukan
jual beli terhadap barang-barang yang harganya murah, seperti permen, kue,
dan kerupuk.
9
c) Berhak menggunakan hartanya. Orang yang tidak berhak menggunakan
(membelanjakan) hartanya karena tuna grahita tidak sah jual belinya, harta
milik orang tuna grahita diurus oleh walinya yang balig dan berakal sehat serta
jujur.
2) Sigat atau ucapan ijab dan kabul
Ulama fikih sepakat bahwa unsur utama dalam jual beli adalah kerelaan antara
penjual dan pembeli. Karena kerelaan itu berada dalam hati, maka harus diwujudkan
melalui ucapan ijab (dari pihak penjual) dan Kabul (dari pihak pembeli).
3) Barang yang diperjualbelikan
Barang yang diperjualbelikan harus memenuhi syarat-syarat yang diharuskan,
yaitu antara lain:
a) Barang yang diperjualbelikan sesuatu yang halal.
b) Barang itu ada manfaatnya. Tidak boleh menjual sesuatu yang tidak ada
manfaatnya.
c) Barang itu benar-benar ada di tempat atau tidak ada tetapi sudah tersedia di
tempat lain, misalnya di gudang dan penjual bersedia mengambilnya bila
transaksi jual beli berlangsung.
d) Barang itu merupakan milik si penjual atau dibawah kekuasaannya. Rasulullah
SAW bersabda: Tidak sah jual beli, kecuali pada suatu yang dimiliki (H.R Abu
Daud dan At-Tirmidzi).
e) Barang itu hendaklah diketahui oleh pihak penjual dan pembeli dengan jelas
baik zatnya, bentuknya dan kadarnya, maupun sifat-sifatnya. Sesuatu yang
belum diketahui zat, bentuk, dan kadarnya dianggap tidak sah
b. Nilai tukar barang yang dijual
Syarat-syarat bagi nilai tukar barang yang dijual adalah:
1) Harga jual yang disepakati penjual dan pembeli harus jelas jumlahnya.
1) Nilai tukar barang itu dapat diserahkan pada waktu transaksi jual beli, walaupun
secara hukum, misalnya pembayaran dengan menggunakan cek atau kartu kredit.
Jika harga barang dibayar dengan cara utang atau kredit, waktu pembayarannya
harus jelas.
10
2) Apabila jual beli dilakukan secara barter atau Al-Muqayadah, maka nilai tukarnya
tidak boleh dengan barang haram misalnya dengan babi dan khamar.
c. Macam-macam Jual Beli
Jual beli dapat dilihat dari beberapa sudut pandang, antara lain tinjau dari segi
sah atau tidak sah dan terlarang atau tidak terlarang.
1) Jual beli yang sah dan tidak terlarang yaitu jual beli yang terpenuhi rukun-rukun dan
syarat-syaratnya.
2) Jual beli yang terlarang dan tidak sah (batil) yaitu jual beli yang salah satu atau
seluruh rukunnya tidak terpenuhi atau jual beli itu pada dasar dan sifatnya tidak
disyariatkan (disesuaikan dengan ajaran Islam). Contoh jual beli jenis ini seperti:
a) Jual beli sesuatu yang termasuk najis, seperti bangkai dan daging babi.
b) Jual beli air mani hewan ternak, seperti kambing. Kalau menjual air mani hewan
jantan milik penjual kepada pemilik hewan betina dilarang, tetapi meminjamkan
hewan jantannya untuk dikawinkan dengan hewan betina milik orang lain
dibolehkan bahkan dianjurkan. Rasulullah SAW bersabda yang artinya,
“Barangsiapa mengawinkan hewan jantan dengan betina, lalu mendapatkan anak,
baginya ganjaran sebanyak tujuh puluh hewan.” (H.R Ibnu Hibban)
c) Jual beli anak hewan yang masih berada dalam perut induknya (belum lahir).
Hadist dari Ibnu Umar menyebutkan: “Bahwa Rasulullah SAW telah melarang
menjual anak (hewan) yang masih berada dalam perut induknya.” (H.R Bukhari
dan Muslim)
d) Jual beli yang mengandung unsur kecurangan dan penipuan, misalnya mengurangi
timbangan dan memalsukan kualitas barang yang dijual.
3) Jual beli yang sah tetapi terlarang (fasid). Ada beberapa contoh jual beli yang
hukumnya sah, tidak membatalkan akad jual beli, tetapi dilarang oleh Islam karena
sebab-sebab lain misalnya:
a) Merugikan si penjual, si pembeli, dan orang lain.
b) Mempersulit peredaran barang.
c) Merugikan kepentingan umum.
11
4) Najsyi yaitu menawar sesuatu barang dengan maksud hanya untuk mempengaruhi
orang lain agar mau membeli barang yang ditawarnya, sedangkan orang yang
menawar barang tersebut adalah teman si penjual.
5) Monopoli, yaitu menimbun barang agar orang lain tidak membeli, walaupun dengan
melampaui harga pasaran. Rasulullah SAW melarang jual beli seperti ini,karena akan
merugikan kepentingan umum.
D. Utang Piutang
a. Pengertian Utang Piutang
Di dalam fiqih Islam, hutang piutang atau pinjam meminjam telah dikenal dengan istilah Al-Qardh. Makna Al-Qardh secara etimologi (bahasa) ialah Al-Qath’u yang berarti memotong. Diartikan demikian karena orang yang memberikan utang memotong sebagian dari hartanya untuk diberikan kepada yang menerima utang.
Sedangkan secara terminologis (istilah syar’i), makna Al-Qardh ialah menyerahkan harta (uang) sebagai bentuk kasih sayang kepada siapa saja yang akan memanfaatkannya dan akan dikembalikan berdasarkan kesepakatan yang telah disepakati. Meberikan utang merupakan kebajikan yang membawa kemudahan kepada muslim yang mengalami kesulitan dan membantunya dalam memenuhi kebutuhan.
Dasar dari al-Qur’an adalah firman allah swt:
ة� �ر� �ي �ث �ض�ع�اف�ا ك �ه� أ ق�ه� ل �ض�اع� �ا ف�ي ن ض�اح�س� �ق�ر�ض� الله� ق�ر� م�ن� ذ�ا ال ذ�ي يArtinya:“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada allah pinjaman yang baik (menafkahkan harta di jalan allah), maka allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.” (Q.S Al-Baqarah :245)
b. Hukum Utang Piutang
Hukum qardh (hutang piutang) mengikuti hukum taklifi: terkadang boleh, terkadang makruh, terkadang wajib, dan terkadang haram. Semua itu sesuai dengan cara mempraktekannya karena hukum wasilah itu mengikuti hukum tujuan.- Jika orang yang berhutang adalah orang yang mempunyai kebutuhan sangat
mendesak, sedangkan orang yang dihutangi orang kaya, maka orang yang kaya itu wajib memberinya hutang.
- Jika pemberi hutang mengetahui bahwa penghutang akan menggunakan uangnya untuk berbuat maksiat atau perbuatan yang makruh, maka hukum memberi hutang juga haram atau makruh sesuai dengan kondisinya.
- Jika seorang yang berhutang bukan karena adanya kebutuhan yang mendesak, tetapi untuk menambah modal perdagangannya karena berambisi mendapat keuntungan yang besar, maka hukum memberi hutang kepadanya adalah mubah.
12
Seseorang boleh berhutang jika dirinya yakin dapat membayar, seperti jika ia mempunyai harta yang dapat diharapkan dan mempunyai niat menggunakannya untuk membayar hutangnya. Jika hal ini tidak ada pada diri penghutang. Maka ia tidak boleh berhutang. Seseorang wajib berhutang jika dalam kondisi terpaksa dalam rangka menghindarkan diri dari bahaya, seperti untuk membeli makanan agar dirinya tertolong dari kelaparan.
Rasulullah SAW bersabda :
: ضا قر مسلما ض يقر مسلم من ما ل قا سلم و عليه لله ا صلي لنبي ا ان مسعود بن ا عنة مر قتها كصد ن كا ال ا تين جه مر ما ابن رواه
Dari Ibnu Mas’ud ra, sesungguhnya Nabi SAW telah besabda
“Seorang muslim yang memberi pinjaman kepada seorang muslim dua kali, seolah-olah dia telah bersedekah kepadanya satu kali“.(HR. Ibnu Majah)
c. Rukun dan Syarat Al-Qardh
1. Muqridh (yang memberikan pinjaman).
2. Muqtaridh (peminjam).
3. Qardh (barang yang dipinjamkan)
4. Ijab qabul
Sedangkan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam akad qardh adalah:
1. Orang yang melakukan akad harus baligh, dan berakal.
2. Qardh harus berupa harta yang menurut syara’ boleh digunakan/dikonsumsi.
3. Ijab qabul harus dilakukan dengan jelas.
d. Adab-adab Islam Tentang Qardh
1. Qardh harus dituliskan dan dipersaksikan
Firman Allah SWT: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh)
13
seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli ; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian) maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah ; Allah mengajarmu ; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (QS. Al-Baqarah: 282)
Berkaitan dengan ayat ini, Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “ini merupakan petunjuk dari-Nya untuk para hamba-Nya yang mukmin. Jika mereka bermu’amalah dengan transaksi non tunai, hendaklah ditulis, agar lebih terjaga jumlahnya dan waktunya dan lebih menguatkan saksi. Dan di ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengingatkan salah satu ayat: “Hal itu lebih adil di sisi Allah dan memperkuat persaksian dan agar tidak mendatangkan keraguan”.
2. Pemberi hutang atau pinjaman tidak boleh mengambil keuntungan atau manfaat dari orang yang berhutang
Kaidah fiqih berbunyi: “Setiap hutang yang membawa keuntungan, maka hukumnya riba”. Hal ini terjadi jika salah satunya mensyaratkan atau menjanjikan penambahan. Dengan kata lain, bahwa pinjaman yang berbunga atau mendatangkan manfaat apapun adalah haram berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijma’ para ulama. Keharaman itu meliputi segala macam bunga atau manfaat yang dijadikan syarat oleh orang yang memberikan pinjaman kepada si peminjam. Karena tujuan dari pemberi pinjaman adalah mengasihi si peminjam dan menolongnya. Tujuannya bukan mencari kompensasi atau keuntungan. Dengan dasar itu, berarti pinjaman berbunga yang diterapkan oleh bank-bank maupun rentenir di masa sekarang ini jelas-jelas merupakan riba yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. sehingga bisa terkena ancaman keras baik di dunia maupun di akhirat dari Allah SWT.
3. Melunasi hutang dengan cara yang baik
Hal ini sebagaimana hadis Nabi SAW: Dari Abu Hurairah R.A, ia berkata: “Nabi SAW mempunyai hutang kepada seseorang, (yaitu) seekor unta dengan usia tertentu. Orang itupun datang menagihnya. (Maka) beliaupun berkata, “Berikan kepadanya” kemudian mereka mencari yang seusia dengan untanya, akan tetapi mereka tidak menemukan kecuali yang lebih berumur dari untanya. Nabi (pun) berkata: “Berikan kepadanya”, Dia pun menjawab, “Engkau telah menunaikannya dengan lebih. Semoga Allah SWT membalas dengan setimpal”. Maka Nabi SAW bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik dalam pengembalian (hutang)”. (HR. Bukhari, II/843, bab Husnul Qadha’ no. 2263.) Termasuk cara yang baik dalam melunasi hutang adalah melunasinya
14
tepat pada waktu pelunasan yang telah ditentukan dan disepakati oleh kedua belah pihak (pemberi dan penerima hutang), melunasi hutang di rumah atau tempat tinggal pemberi hutang, dan semisalnya.
4. Berhutang dengan niat baik dan akan melunasinya
Jika seseorang berhutang dengan tujuan buruk, maka dia telah berbuat zhalim dan dosa. Diantara tujuan buruk tersebut seperti: a). Berhutang untuk menutupi hutang yang tidak terbayar b). Berhutang untuk sekedar bersenang-senang c). Berhutang dengan niat meminta. Karena biasanya jika meminta tidak diberi, maka digunakan istilah hutang agar mau memberi. d). Berhutang dengan niat tidak akan melunasinya.
5. Berupaya untuk berhutang dari orang sholih yang memiliki profesi dan penghasilan yang halal.
Sehingga dengan meminjam harta atau uang dari orang sholih dapat menenangkan jiwa dan menjauhkannnya dari hal-hal yang kotor dan haram. Sehingga harta pinjaman tersebut ketika kita gunakan untuk suatu hajat menjadi berkah dan mendatangkan ridho Allah. Sedangkan orang yang jahat atau buruk tidak dapat menjamin penghasilannya bersih dan bebas dari hal-hal yang haram.
6. Jika terjadi keterlambatan karena kesulitan keuangan, hendaklah orang yang berhutang memberitahukan kepada orang yang memberikan pinjaman.
7. Menggunakan uang pinjaman dengan sebaik mungkin
Menyadari, bahwa pinjaman merupakan amanah yang harus dia kembalikan.
8. Bersegera melunasi hutang
9. Memberikan Penangguhan waktu kepada orang yang sedang kesulitan dalam melunasi hutangnya setelah jatuh tempo.
e. Hikmah disyariatkan Al-Qardh
Hikmah disyariatkannya Al-Qardh dapat dilihat dari dua sisi, sisi pertama dari orang yang berhutang (muqtaridh) yaitu membantu mereka yang membutuhkan, dan sisi kedua adalah dari orang yang yang memberi hutang (muqridh) yaitu dapat menumbuhkan jiwa ingin menolong orang lain, menghaluskan perasaan sehingga ia peka terhadap kesulitan yang dialami oleh orang lain.
15
E. Asuransi
Sesuai dengan prinsip Islam yang menghindari bentuk-bentuk bunga, dalam akad
asuransi tidak ada riba di dalamnya. Asuransi merupakan produk ekonomi Islam yang
tergolong baru dalam khazanah hukum Islam. Berbagai perbedaan pendapat muncul di
kalangan umat Islam terkait apakah akad asuransi ini dibenarkan dalam islam atau tidak.
1. Pengertian Asuransi
Di dalam bahasa Arab asuransi dikenal dengan istilah : at Takaful, atau at
Tadhamun yang berarti : saling menanggung. Asuransi ini disebut juga dengan
istilah at-Ta’min, berasal dari kata amina, yang berarti aman, tentram, dan tenang.
Lawannya adalah al-khouf, yang berarti takut dan khawatir. ( al Fayumi, al Misbah al
Munir, hlm : 21 ) Dinamakan at Ta’min, karena orang yang melakukan transaksi ini
(khususnya para peserta ) telah merasa aman dan tidak terlalu takut terhadap bahaya
yang akan menimpanya dengan adanya transaksi ini.
2. Dasar Hukum Asuransi
Di kalangan ummat Islam ada anggapan bahwa asuransi itu tidak Islami. Orang
yang melakukan asuransi sama halnya dengan orang yang mengingkari rahmat Allah.
Allah-lah yang menentukan segala-segalanya dan memberikan rezeki kepada makhluk-
Nya, sebagaimana firman Allah SWT, yang artinya:
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun dibumi mealinkan Allah-lah yang
memberi rezekinya.” (Q. S. Hud: 6)
“……dan siapa (pula) yang memberikan rezeki kepadamu dari langit dan bumi?
Apakah di samping Allah ada Tuhan (yang lain)?……” (Q. S. An-Naml: 64)
“Dan kami telah menjadikan untukmu dibumi keperluan-keprluan hidup, dan
(kami menciptakan pula) makhluk-makhluk yang kamu sekali-kali bukan
pemberi rezeki kepadanya.” (Q. S. Al-Hijr: 20)
Dari ketiga ayat tersebut dapat dipahami bahwa Allah sebenarnya telah menyiapkan
segala-galanya untuk keperluan semua makhluk-Nya, termasuk manusia sebagai
khalifah di muka bumi. Allah telah menyiapkan bahan mentah, bukan bahan matang.
Manusia masih perlu mengolahnya, mencarinya dan mengikhtiarkannya.
Melibatkan diri ke dalam asuransi ini, adalah merupakan salah satu ikhtiar untuk
mengahadapi masa depan dan masa tua. Namun karena masalah asuransi ini tidak
16
dijelaskan secara tegas dalam nash, maka masalahnya dipandang sebagai masalah
ijtihadi, yaitu masalah yang mungkin masih diperdebatkan dan tentunya perbedaan
pendapat sukar dihindari.
Ada beberapa pandangan atau pendapat mengenai asuransi ditinjau dari fiqh Islam.
Yang paling mengemuka perbedaan tersebut terbagi tiga, yaitu:
I. Asuransi itu haram dalam segala macam bentuknya, temasuk asuransi jiwa
Pendapat ini dikemukakan oleh Sayyid Sabiq, Abdullah al-Qalqii (mufti Yordania),
Yusuf Qardhawi dan Muhammad Bakhil al-Muth‘i (mufti Mesir”). Alasan-alasan yang
mereka kemukakan ialah:
Asuransi sama dengan judi
Asuransi mengandung ungur-unsur tidak pasti.
Asuransi mengandung unsur riba/renten.
Asurnsi mengandung unsur pemerasan, karena pemegang polis, apabila tidak
bisa melanjutkan pembayaran preminya, akan hilang premi yang sudah dibayar
atau di kurangi.
Premi-premi yang sudah dibayar akan diputar dalam praktek-praktek riba.
Asuransi termasuk jual beli atau tukar menukar mata uang tidak tunai.
Hidup dan mati manusia dijadikan objek bisnis, dan sama halnya dengan
mendahului takdir Allah.
II. Asuransi konvensional diperbolehkan
Pendapat kedau ini dikemukakan oleh Abd. Wahab Khalaf, Mustafa Akhmad Zarqa (guru besar Hukum Islam pada fakultas Syari‘ah Universitas Syria), Muhammad Yusuf Musa (guru besar Hukum Isalm pada Universitas Cairo Mesir), dan Abd. Rakhman Isa (pengarang kitab al-Muamallha al-Haditsah wa Ahkamuha). Mereka beralasan:
Tidak ada nash (al-Qur‘an dan Sunnah) yang melarang asuransi. Ada kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak.
Saling menguntungkan kedua belah pihak.
Asuransi dapat menanggulangi kepentingan umum, sebab premi-premi yang terkumpul dapat di investasikan untuk proyek-proyek yang produktif dan pembangunan.
Asuransi termasuk akad mudhrabah (bagi hasil)
17
Asuransi termasuk koperasi (Syirkah Ta‘awuniyah).
Asuransi di analogikan (qiyaskan) dengan sistem pensiun seperti taspen.
III. Asuransi yang bersifat sosial di perbolehkan dan yang bersifat komersial diharamkan
Pendapat ketiga ini dianut antara lain oleh Muhammad Abdu Zahrah (guru besar Hukum Islam pada Universitas Cairo). Alasan kelompok ketiga ini sama dengan kelompok pertama dalam asuransi yang bersifat komersial (haram) dan sama pula dengan alasan kelompok kedua, dalam asuransi yang bersifat sosial (boleh).Alasan golongan yang mengatakan asuransi syubhat adalah karena tidak ada dalil yang tegas haram atau tidak haramnya asuransi itu.
3. Macam-macam Asuransi
Para ahli berbeda pendapat di dalam menyebutkan jenis-jenis asuransi, karena masing-masing melihat dari aspek tertentu. Oleh karenanya, dalam tulisan ini akan disebutkan jenis-jenis asuransi ditinjau dari berbagai aspek, baik dari aspek peserta, pertanggungan, maupun dari aspek sistem yang digunakan :
I. Asuransi ditinjau dari aspek peserta
1. Asuransi Pribadi ( Ta’min Fardi ) : yaitu asuransi yang dilakukan oleh seseorang untuk menjamin dari bahaya tertentu. Asuransi ini mencakup hampir seluruh bentuk asuransi, selain asuransi sosial
2. Asuransi Sosial ( Ta’min Ijtima’i ) , yaitu asuransi ( jaminan ) yang diberikan kepada komunitas tertentu, seperti pegawai negri sipil ( PNS ), anggota ABRI, orang-orang yang sudah pensiun, orang-orang yang tidak mampu dan lain-lainnya. Asuransi ini biasanya diselenggarakan oleh pemerintah dan bersifat mengikat.
II. Asuransi ditinjau dari sistem yang digunakan.
Asuransi ditinjau dari sistem yang digunakan, maka menjadi :
1. Asuransi Konvensional
Ciri-ciri Asuransi konvensional Ada beberapa ciri yang dimiliki asuransi konvensional, diantaranya adalah:
-Akad asuransi konvensianal adalah akad mulzim (perjanjian yang wajib dilaksanakan) bagi kedua balah pihak, pihak penanggung dan pihak tertanggung. Kedua kewajiban ini adalah keawajiban tertanggung menbayar primi-premi asuransi dan kewajiban penanggung membayar uang asuransi jika terjadi perietiwa yang diasuransikan.
- Akad asuransi ini adalah akad mu’awadhah, yaitu akad yang didalamnya kedua orang yang berakad dapat mengambil pengganti dari apa yang telah diberikannya.
18
- Akad asuransi ini adalah akad gharar karena masing-masing dari kedua belah pihak penanggung dan tertanggung pada eaktu melangsungkan akad tidak mengetahui jumlah yang ia berikan dan jumlah yang dia ambil.
-Akad asuransi ini adalah akad idz’an (penundukan) pihak yang kuat adalah perusahan asuransi karena dialah yang menentukan syarat-syarat yang tidak dimiliki tertanggung,
2. Asuransi Syariah
adalah suatu pengaturan pengelolaan risiko yang memenuhi ketentuan Syariah, tolong menolongsecara mutual yang melibatkan peserta dan operator.
F. Akad asuransi syari’ah adalah bersifat tabarru’, sumbangan yang diberikan tidak boleh ditarik kembali. Atau jika tidak tabarru’, maka andil yang dibayarkan akan berupa tabungan yang akan diterima jika terjadi peristiwa, atau akan diambil jika akad berhenti sesuai dengan kesepakatan, dengan tidak kurang dan tidak lebih. Atau jika lebih maka kelebihan itu adalah kentungan hasil mudhorobah bukan riba.
G. Akad asuransi ini bukan akad mulzim (perjanjian yang wajib dilaksanakan) bagi kedua belah pihak. Karena pihak anggota ketika memberikan sumbangan tidak bertujuan untuk mendapat imbalan, dan kalau ada imbalan, sesungguhnya imbalan tersebut didapat melalui izin yang diberikan oleh jama’ah (seluruh peserta asuransi atau pengurus yang ditunjuk bersama).
H. Dalam asuransi syari’ah tidak ada pihak yang lebih kuat karena semua keputusan dan aturan-aturan diambil menurut izin jama’ah seperti dalam asuransi takaful.
I. Akad asuransi syari’ah bersih dari gharar dan riba.
J. Asuransi syariah bernuansa kekeluargaan yang kental.
Kesimpulannya, bahwa asuransi kerjasama (jaminan bersama/jaminan social) adalah sejumlah uang tertentu yang dikumpulkan dan disumbangkan oleh sekelompok orang untuk kepentingan syar’i, seperti ; membantu kaum fakir, anak-anak yatim, pembangunan masjid dan kebaikan-kebaikan lainnya.Lain dari itu, Hai’ah Kibaril Ulama juga telah mengeluarkan keputusan tentang bolehnya jaminan kerjasama (asuransi kerjasama) yaitu terdiri dari sumbangan-sumbangan donatur dengan maksud membantu orang-orang yang membutuhkan dan tidak kembali kepada anggota (para donatur tersebut), tidak modal pokok dan tidak pula labanya, karena yang diharapkan anggota adalah pahala Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan membantu orang-orang yang membutuhkan bantuan, dan tidak mengharapkan timbal balik duniawi. Hal ini termasuk dalam cakupan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala “Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran” [Al-Ma’idah : 2]
Dari perbandingan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa asuransi konvensional tidak memenuhi standar syar’i yang bisa dijadikan objek muamalah yang syah bagi
19
kaum muslimin. Hal itu dikarenakan banyaknya penyimpangan-penyimpangan syariat yang ada dalam asuransi tersebut.
Oleh karena itu hendaklah kaum muslimin menjauhi dari bermuamalah yang menggunakan model-model asuransi yang menyimpang tersebut, serta menggantinya dengan asuransi yang senafas dengan prinsip-prinsip muamalah yang telah dijelaskan oleh syariat Islam seperti bentuk-bentuk asuransi syariah.
F. Riba
1. Pengertian dan Dasar Hukum Riba
Kata riba (ar riba) menurut bahasa, yaitu tambahn (az ziyadah) atau kelebihan.
Riba menurut istilah adalah suatu akad perjanjian yang terjadi dalam tukar-menukar
sesuatu barang yang tidak diketahui sama sekali menurut syarak, atau dalam tukar-
menukar itu disyaratkan menerima salah satu dari dua barang apabila terlambat. Syekh
Muhammad Abduh mendefinisikan, riba adalah penambahan-penambahan yang
diisyaratkan oleh orang yang memiliki harta kepada prang yang meminjam hartanya
atau uangnya karena janji pembayaran oleh peminjam dari waktu yang telah
ditentukan.
Hukum melakukan riba adalah haram menurut Al-Qur’an, sunah dan ijmak
menurut ulama. Keharaman riba terkait dengan sistem bunga dalam jual beli yang
bersifat komersial. Di dalam melakukan transaksi atau jual beli, terdapat keuntungan
atau bunga tinggi melebihi keumuman atau batas kewajaran, sehingga merugikan
pihak-pihak tertentu. Fuad Moch. Fahruddin berpendapat bahwa riba adalah sebuah
transaksi pemerasan.
Dasar hukum pengharaman riba menurut Al-Qur’an, sunah dan ijmak para ulama
adalah sebagai berikut:
1) Al-Qur’an
ب�وا . . . } . . . الر� م� ر� و�ح� ال�ب�ي�ع� الل�ه� ل� ح�أ� و� ب�وا الر� ث�ل� م� ال�ب�ي�ع� ا �ن�م� {275إ
“...Sesumgguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Q.S. Al-Baqarah: 275)
{ �ث�يم� أ �ار ك�ف� ك�ل� ب" ي�ح� ال� الل�ه� و� د�ق�ت� الص� ب�ى ي�ر� و� ب�وا الر� الل�ه� ق� {276ي�م�ح�
20
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai
setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.” (Q.S. Al-
Baqarah: 276)
ل�ع�ل�ك�م� الل�ه� وا وات�ق� ة1 ع�ف� م"ض� ا ع�ف1 أ5ض� ب�وا الر� ك�ل�واال�ت�أ� ن�وا ء�ام� ال�ذ�ي�ن� ا ي"ه�
ي�أ�
ون� } ل�ح� {130ت�ف�
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat
ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan.” (Q.S. Ali Imran: 130)
2) Sunah Rasulullah saw.
: ا�ك�ل� ل�م� و�س� ع�ل�ي�ه� الل�ه� ل�ى ص� الل�ه� و�ل� س� ر� ل�ع�ن� ال� ق� ع�ن�ه� الل�ه� ي� ض� ر� �اب�ر ج� ع�ن�
} عليه : } متفق اء� و� س� ه�م� ال� و�ق� د�ي�ه� اه� و�ش� ك�ات�ب�ه� و� ك�ل�ه� و� ب�او�م� الر�
“Dari Jabir r.a. ia berkata, ‘Rasulullah saw. telah melaknati orang-orang yang
memakan riba, orang yang menjadi wakilnya (orang yang memberi makan hasil
riba), orang yang menuliskan, orang yang menyaksikannya, (dan selanjutnya),
Nabi bersabda, mereka itu semua sama saja’.” (H.R. Muslim)
: : : ، ب�الل�ه� ك� ر� الش� ال� ق� اه�ن� و�م� الل�ه� و�ل� س� ي�ار� ا ال�و� ق� ات� ال�م�وب�ق� ب�ع� الس� ا ت�ن�ب�و� إ�ح�
ال� م� ا�ك�ل� و� ، ب�ا الر� ا�ك�ل� و� ق� ب�ال�ح� ا�ال� الل�ه� م� ر� ح� ال�ت�ي� الن�ف�س� ت�ل� ق� و� ، ر� ح� و�الس�
} عليه } متفق ال�غ�اف�ال�ت� ن�ات� ؤ�م� ال�م� ن�ات� ص� ال�م�ح� د�ف� و�ق� ح�ف� الز� ال�ي�ت�ي�م�
“Jauhilah tujuh hal yang membinasakan”. Para sahabat bertanya,”Apakah tujuh
hal tersebut ya Rasulullah?” Rasulullah saw. bersabda, “Syirik kepada Allah,
sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar,
memakan riba, memakan harta anak yatim, melarikan diri pada saat perang, dan
menuduh berzina wanita yang suci, beriman, dan lupa (lupa dari maksiat).” (H.R.
Bukhari dan Muslim)
3) Ijmak para ulama
Para ulama sepakat bahwa seluruh umat Islam mengutuk dan
mengharamkan riba. Riba adalah salah satu usaha mencari rizeki dengan cara yang
tidak benar dan dibenci Allah swt.. Praktik riba lebih mengutamakan keuntungan
diri sendiri dengan mengorbankan orang lain. Riba akan menyulitkan hidup
21
manusia, terutama mereka yang memerlukan pertolongan, menimbulkan
kesenjangan sosial yang semakin besar antara yang kaya dan miskin, serta dapat
mengurangi rasa kemanusiaan untuk rela membantu. Oleh karena itu Islam
mengharamkan riba.
2. Macam-macam Riba
Para ulama fiqih membagi riba menjadi empat macam, yaitu:
1) Riba Fadl( ل� ص� الف� (ر�ب�ا
Riba fadl adalah tukar-menukar atau jual beli dua buah barang yang sama
jenisnya, namun tidak sama ukurannya yang disyaratkan oleh orang yang
menukatnya. Atau jual beli yang mengandung unsur riba pada barang yang sejenis
dengan adanya tambahan pada salah satu benda tersebut. Sebagai contohnya adalah
tukar-menukar emas dengan emas atau beras dengan beras, dan ada kelebihan yang
disyaratkan oleh orang yang menukarkan. Kelebihan yang disyaratkan itu disebit riba
fadl.
Supaya tuka-menukar seperti ini tidak termasuk riba, maka arus ada tiga syarat
yaitu:
a. Barang yang ditukarkan tersebut harus sama.
b. Timbangan atau takarannya harus sama.
c. Serah terima pada saat itu juga.
2) Riba Nasi’ah( ء�ة ي� الن�س� (ر�ب�ا
Riba nasi’ah yaitu tukar-menukar dua barang yang sejenis yang maupun tidak
sejenis atau jual beli yang pembayarnnya disyaratkan lebih oleh penjual dengan waktu
yang dilambatkan. Menurut ulama Hanafiyah, riba nasi’ah adalah memberikan
kelebihan terhadap pembayaran dari yang ditangguhkan, memberikan kelebihan pada
benda dibanding untung pada benda yang ditakar atau yang ditimbang yang berbeda
jenis atau selain yang ditakarda ditimbang yang sama jenisnya. Maksudnya adalah
menjual barang dengan sejenisnya, tetapi yang satu lebih banyak dengan pembayaran
diakhirkan, seperti menjual saru kilogram dengan satu setengah kilogram beras ayng
dibayarkan setelah dua bulan kemudian. Kelebihan pembayaran yang disyaratkan
inilah yang disebut riba nasi’ah.
22
3) Riba Qardi( ض� ر� الق� (ر�ب�ا
Riba qardi adalah meminjamkan sesuatu dengan syarat ada keuntunga
atau tambahan dari orang yang meminjam. Misalnya Ali meminjam uang kepada
Abbas sebesar Rp. 10.000,00. Kemudian Abbas mengharuskan kepada Ali untuk
mengembalikan uang itu sebesar Rp. 11.000,00. Tambahan Rp. 1.000,00 inilah yang
disebut riba qardi.
4) Riba Yad( الي�د� ب�ا (ر�
Riba yad yaitu berpisah dari tempat akad jual beli sebelum serah terima.
Contohnya, orang yang membeli suatu barang sebelum ia menerima barang tersebut
dari penjual, penjual dan pembeli tersebut telah berpisah sebelum serah terima barang
itu. Jual beli ini dinamakan riba yad. Ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa riba yad
adalah jual beli yang mengakhirkan penyerahan (al-qabdu), yakni bercerai berai
antara dua orang yang berakad sebelum serah terima, seperti menganggap sempurna
jual beli antara gandum dan syair tanpa harus saling menyerahkan dan menerima
ditempat akad.
Ada syarat-syarat agar jual beli tidak menjadi riba, yaitu:
1. Menjual sesuatu yang sejenis ada tiga syarat, yaitu:
a. Serupa timbangan dan banyaknya.
b. Tunai.
c. Timbang terima dalam akad (ijab kabul) sebelum meninggalkan majelis
akad.
2. Menjual sesuatu yang berlainan jenis ada dua syarat, yaitu:
a. Tunai.
b. Timbang terima dalam akad (ijab kabul) sebelum meninggalkan majelis
akad.
d. Bahaya riba
1. Dapat menimbulkan permusuhan antar pribadi dan mengikis habis semangat
kerja sama atau saling tolong-menolong, membenci orang yang mengutamakan
kepentingan diri sendiri, serta yang mengeksploitasi.
23
2. Dapat menimbulkan tumbuh suburnya mental pemboros yang tidak mau bekerja
keras, dan penimbunan harta di salah satu pihak. Islam menghargai kerja sama
sebagai sarana pencarian nafkah.
3. Sifat riba sangat buruk sehingga Islam menyerukan agar manusia suka
mendermakan harta kepada saudaranya dengan baik jika saudaranya membutuhkan
harta.
e. Hikmah Pelarangan Riba
Diharamkan hikmah diharamkannya riba yaitu:
a. Menghindari tipu daya diantara sesama manusia.
b. Melindungi harta sesama muslim agar tidak dimakan dengan batil.
c. Memotifasi orang muslim untuk menginvestasi hartanya pada usaha-usaha yang
bersih dari penipuan, jauh dari apa saja yang dapat menimbulkan kesulitan dan
kemarahan diantara kaum muslimin.
d. Menutup seluruh pintu bagi orang muslim.
e. Menjauhkan orang muslim dari sesuatu yang menyebabkan kebinasaan karena
pemakan riba adalah orang yang zalim dan akibat kezaliman adalah kesusahan.
f. Membuka pintu-pintu kebaikan di depan orang muslim agar ia mancari bekal
untuk akhirat.
G. Etika Bisnis
1. Etika bisnis secara umum
Secara etimologi, etika berasal dari bahasa Yunani ethos yang berarti sikap, cara berpikir,
kebiasaan, adat, akhlak, perasaan dan watak kesusilaan. Istilah etika telah dipakai
Aristoteles, filsuf Yunani, untuk menunjukkan filsafat moral. Jadi etika berarti prinsip,
norma dan standar perilaku yang mengatur individu maupun kelompok yang
membedakan apa yang benar dan apa yang salah. Kohlbeng mengatakan bahwa prinsip-
prinsip etika di dalam bisnis dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok, yaitu, prinsip
manfaat, prinsip hak asasi, dan prinsip keadilan. Sedangkan mengenai istilah “bisnis”
yang dimaksud adalah suatu urusan atau kegiatan dagang, industri atau keuangan yang
dihubungkan dengan produksi atau pertukaran barang atau jasa dengan menempatkan
uang dari para enterpreneur dalam resiko tertentu dengan usaha tertentu dengan motif
24
untuk mendapatkan keuntungan. Bisnis adalah suatu kegiatan di antara manusia yang
menyangkut produksi, menjual dan membeli barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat. Dasar pemikirannya adalah pertukaran timbal balik secara fair di antara
pihak-pihak yang terlibat.
Etika bisnis (business ethic) berusaha untuk melarang perilaku bisnis, manajer perusahaan
dan pekerja yang seharusnya tidak dilakukan. Etika bisnis mempengaruhi bagaimana
perusahaan berhubungan dengan para pekerjanya, bagaimana pekerja berhubungan
dengan perusahaan dan bagaimana perusahaan berhubungan dengan agen atau pelaku
ekonomi lain.
25
2. Etika bisnis secara Islam
Islam menempatkan nilai etika di tempat yang paling tinggi. Pada dasarnya, Islam
diturunkan sebagai kode perilaku moral dan etika bagi kehidupan manusia, seperti yang
disebutkan dalam hadis, “ Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”.
Terminologi paling dekat dengan pengertian etika dalam Islam adalah akhlak. Dalam
Islam, etika (akhlak) sebagai cerminan kepercayaan Islam (iman). Etika Islam memberi
sangsi internal yang kuat serta otoritas pelaksana dalam menjalankan standar etika.
Konsep etika dalam Islam tidak utilitarian dan relatif, akan tetapi mutlak dan abadi. Jadi,
Islam menjadi sumber nilai dan etika dalam segala aspek kehidupan manusia secara
menyeluruh, termasuk dalam dunia bisnis. Al-Qur’an memberi pentunjuk agar dalam
bisnis tercipta hubungan yang harmonis, saling ridha, tidak ada unsur eksploitasi (QS. 4:
29) dan bebas dari kecurigaan atau penipuan, seperti keharusan membuat administrasi
dalam transaksi kredit (QS. 2 : 282). Syed Nawab Haidar Naqvi dalam buku “Etika dan
Ilmu Ekonomi : Suatu Sintesis Islami”, memaparkan empat aksioma etika ekonomi, yaitu,
tauhid, keseimbangan (keadilan), kebebasan dan tanggung jawab.
Mempelajari etika ekonomi menurut Al-Qur’an adalah bahagian normatif dari ilmu
ekonomi, bahagian ilmu positifnya akan lahir apabila telah dilakukan penyelidikan-
penyelidikan empiris mengenai yang sesungguhnya terjadi, sesuai atau tidak sesuai
dengan garis Islam. Ekonomi merupakan bagian dari kehiupan. Namun, ia bukan pondasi
bangunannya dan bukan tujuan risalah Islam. Ekonomi juga bukan lambang peradaban
suatu umat. Ekonomi Islam adalah bertitik tolak dari Tuhan dan memiliki tujuan akhir
pada Tuhan. Tujuan ekonomi ini membantu manusia untuk menyembah Tuhannya yang
telah memberi makan kepada mereka untuk menghilangkan lapar serta mengamankan
mereka dari ketakutan. Juga untuk menyelamatkan manusia dari kemiskinan yang bisa
mengkafirkan dan kelaparan yang bisa mendatangkan dosa. Juga untuk merendahkan
suara orang zalim di atas suara orang-orang beriman.
Manusia muslim, individu maupun kelompok dalam lapangan ekonomi atau bisnis, di satu
sisi diberi kebebasan untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya. Namun di sisi lain, ia
terikat dengan iman dan etika (moral) sehingga ia tidak bebas mutlak dalam
menginvestasikan modalnya atau membelanjakan hartanya. Ia harus melakukan kegiatan
26
usahanya sesuai dengan prinsip-prinsip nilai-nilai kejujuran, keadilan, dan kebenaran,
serta kemanfaatan bagi usahanya. Di samping itu, ia harus mepedomani norma-norma,
kaidah-kaidah yang berlaku dan terdapat dalam sistem hukum Islam secara umum.
3. Ketentuan etika bisnis dalam Islam
1. Unity (Kesatuan)
Merupakan refleksi konsep tauhid yang memadukan seluruh aspek kehidupan baik
ekonomi, sosial, politik budaya menjadi keseluruhan yang homogen, konsisten dan
teratur. Adanya dimensi vertikal (manusia dengan penciptanya) dan horizontal (sesama
manusia). Prakteknya dalam bisnis :
a) Tidak ada diskriminasi baik terhadap pekerja, penjual, pembeli, serta mitra kerja
lainnya (QS. 49:13).
b) Terpaksa atau dipaksa untuk menaati Allah SWT (QS. 6:163)
c) Meninggalkan perbuatan yang tidak beretika dan mendorong setiap individu untuk
bersikap amanah karena kekayaan yang ada merupakan amanah Allah (QS. 18:46)
2. Equilibrium (Keseimbangan)
Keseimbangan, kebersamaan, dan kemoderatan merupakan prinsip etis yang harus
diterapkan dalam aktivitas maupun entitas bisnis (QS. 2:195; QS. 25:67-68, 72-73;
QS.17:35;QS.54:49; QS. 25:67). Prakteknya dalam bisnis :
a) Tidak ada kecurangan dalam takaran dan timbangan
b) Penentuan harga berdasarkan mekanis mepasar yang normal.
“Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca
yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya,” (Q.S. Al-Isra’:
35).
3. Free Will ( Kebebasan Berkehendak)
Kebebasan disini adalah bebas memilih atau bertindak sesuai etika atau sebaliknya, “ Dan
katakanlah (Muhammad) kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, barang siapa yang
menghendaki (beriman) hendaklah ia beriman dan barang siapa menghendaki (kafir)
27
biarlah ia kafir” (QS. 18:29). Jadi, jika seseorang menjadi muslim maka ia harus
menyerahkan kehendaknya kepada Allah. Aplikasinya dalam bisnis :
a) Konsep kebebasan dalam Islam lebih mengarah pada kerja sama, bukan
persaingan apalagi sampai mematikan usaha satu sama lain. Kalaupun ada
persaingan dalam usaha maka, itu berarti persaingan dalam berbuat kebaikan atau
fastabiq al-khairat (berlombalomba dalam kebajikan).
b) Menepati kontrak, baik kontrak kerja sama bisnis maupun kontrak kerja dengan
pekerja. “Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah janji-janji” (QS. 5:1).
4. Responsibility (Tanggung Jawab)
Merupakan bentuk pertanggungjawaban atas setiap tindakan. Prinsip pertanggungjawaban
menurut Sayid Quthb adalah tanggung jawab yang seimbang dalam segala bentuk dan
ruang lingkupnya, antara jiwa dan raga, antara orang dan keluarga, antara individu dan
masyarakat serta antara masyarakat satu dengan masyarakat lainnya. Aplikasinya dalam
bisnis :
a) Upah harus disesuaikan dengan UMR (upah minimum regional).
b) Economic return bagi pemebri pinajam modal harus dihitung berdasarkan
perolehan keuntungan yang tidak dapat dipastikan jumlahnya dan tidak bisa
ditetapkan terlebih dahulu seperti dalam sisitem bunga.
c) Islam melarang semua transaksi alegotoris seperti gharar, system ijon, dan
sebagainya.
5. Benevolence (Kebenaran)
Kebenaran disini juga meliputi kebajikan dan kejujuran. Maksud dari kebenaran adalah
niat, sikap dan perilaku benar dalam melakukan berbagai proses baik itu proses transaksi,
proses memperoleh komoditas, proses pengembangan produk maupun proses perolehan
keuntungan. Aplikasinya dalam bisnis menurut Al-Ghazali :
a) Memberikan zakat dan sedekah.
b) Memberikan kelonggaran waktu pada pihak terutang dan bila perlu mengurangi
bebanutangnya.
c) Menerima pengembalian barang yang telah dibeli.
d) Membayar utang sebelum penagihan datang.
28
e) Adanya sikap kesukarelaan antara kedua belah pihak yang melakukan transaksi, kerja
sama atau perjanjian bisnis.
f) Adanya sikap ramah, toleran, baik dalam menjual, membeli dan menagih utang.
g) Jujur dalam setiap proses transaksi bisnis.
h) Memenuhi perjanjian atau transaksi bisnis
H. Kewajiban Pengusaha
“Kelompok pekerja harus bekerja sama dengan para majikan untuk menciptakan
lingkungan kerja yang saling enguntungkan.” (Lech Walesa, penerima Hadiah Nobel
Perdamaian pada 1983) Kerja adalah aktivitas yang sama tuanya dengan kehadiran manusia
di muka bumi. Manusia bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dari kebutuhanpaling
pokok hingga kebutuhan pelengkap. Mula-mula manusia bergantung kepada kemurahan
Allah Subhanahu wata’ala yang tersedia di alam bebas berupa tumbuh-tumbuhan dengan
buah-buahan dan binatang untuk mencukupi kebutuhan akan makanan. Mereka pun
mengandalkan ketersedian bahan makanan itu di suatu tempat tertentu. Bilamana persediaan
makanan di suatu tempat telah habis, maka mereka pindah ke tempat lain. Mereka berpindah-
pindah dari satu tempat ke tempat lain secara bergerombol untuk memenuhi kebutuhan
makanan mereka dengan mengambil hasil bumi dan dengan berburu binatang. Kemudian
manusia mengembangkan keterampilan untuk memperoleh makanan di tempat tertentu,
sekaligus membuat tempat tinggal untuk menetap di sana.Manakala seseorang tidak cukup
mampu mengerjakan semua pekerjaannya secara mandiri, maka ia mempekerjakan orang
lain untuk melakukan aktivitas tersebut dengan mengupahnya.
Kerja adalah ibadah. Orang yang memberikan peluang kerja niscaya mendapat pahala
berlipat ganda. Mensyukuri anugerah kemampuan berusaha dapat dilakukan dengan
mengajarkan keterampilan dan meningkatkan kemampuan karyaannya. Hal itu menambah
pahala untuk dirinya. Salim, orang terkaya di planet bumi saat ini, melebihi Bill Gates,
menyatakan, “Pebisnis itu lebih baik berbuat kebaikan dengan menciptakan lapangan kerja
dan kekayaan melalui investasi, bukan bertindak seperti Santa Claus. Kekayaan itu harus
dilihat sebagai tanggung jawab, bukan keistimewaan. Tanggung jawab itu untuk
menciptakan kekayaan yang lebih baik lagi. Ini seperti memelihara anggrek, kita harus
memberikan hasilnya kepada orang lain, tetapi bukan pohonnya.
29
Pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam
bentuk lain. Pengusaha adalah orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang
menjalankan suatu perusahaan milik sendiri; orang perseorangan, persekutuan, atau badan
hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya; orang
perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili
perusahaan yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.Perusahaan adalah setiap bentuk
usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau
milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja
dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Hubungan pekerja dengan pengusaha adalah kerjasama saling menguntungkan dan
saling ketergantungan. Tidak mungkin pengusaha bertindak sendiri tanpa bersama pekerja,
dan tidak mungkin pekerja bekerja tanpa kehadiran pengusaha. Kewajiban pengusaha dan
majikan kepada karyawan atau pekerja antara lain memberi upah yang layak, menyediakan
tempat kerja, memberikan kenyamanan, jaminan keselamatan dan keamanan, meningkatkan
kecakapan dan keterampilan pekerja, mengembangkan kepribadian pekerja, membantu
karyawan untuk sukses dan memberi penghargaan atas prestasi serta tunjangan sosial dan
pesangon.
a. Memberikan upah
Kosakata dalam Al-Qur’an yang mengandung makna upah adalah ajr, dari akar kata
ajara-ya‘jur-ajr-ujrah, yang artinya imbalan perbuataan/ kerja, apa yang kembali dari
imbalan kerja, duniawi maupun ukhrawi, atas dasar kontrak atau perjanjian dan selalu
digunakan dalam arti positif, yakni bermanfaat, seperti tertera dalam Al-Quran berikut ini,
“Jika kamu berpaling dari peringatanku, aku tidak meminta upah sedikit pun dari kamu.
Upahku hanyalah dari Allah belaka, dan aku disuruh supaya menjadi golongan orang yang
berserah diri kepada- Nya”. (Yunus [10]: 72)
Ayat di atas menegaskan bahwa para Nabi Allah bekerja suka rela tanpa mengharapkan
dan meminta upah sedikit pun kepada umatnya. Upahnya hanyalah dari Allah subhanahu
wata’ala belaka. Dan dia berkata, “Hai kaumku, aku tidak meminta harta benda kepada
kamu sebagai upah bagi seruanku. Upahku hanyalah dari Allah, dan aku sekali-kali tidak
akan mengusir orang-orang yang telah beriman. Sungguh mereka akan bertemu dengan
Tuhannya; aku memandangmu kaum yang tidak mengetahui”. (Hud [11]: 29)
30
Para Rasul berdakwah sepenuh hati tanpa mengharapkan imbalan harta benda apa pun
sebagai upah seruannya. Allah lah yang memberikan upah kepadanya. Dan Kami
anugerahkan kepada Ibrahim, Ishak dan Ya’qub, dan Kami jadikan kenabian dan Al-Kitab
pada keturunannya, dan Kami berikan kepadanya balasannya di dunia; dan sesungguhnya
dia di kan perbuatan buruk menimbulkan respons negative dari sesama.
"Cepat-cepatlah dalam berlomba mendapatkan ampunan dari Tuhanmu dan surga
seluas langit dan bumi, disediakan bagi orang bertakwa. Mereka yang menafkahkan
hartanya di waktu lapang atau dalam kesempitan; dapat menahan amarah dan dapat
memaafkan orang. Allah mencintai orang yang berbuat baik. Dan mereka yang bila
melakukan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri segera mengingat Allah dan
memohon ampunan atas segala dosanya; dan siapa yang dapat mengampuni dosa selain
Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan dosa demikian padahal mereka tahu.
Balasan bagi mereka ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang di dalamnya
mengalir sungai-sungai, tempat mereka tinggal selamanya dan itulah pahala terbaik bagi
orang yang beramal". (Q.S. Ali Imran : 133-136)
Allah Subhanahu wata’ala menjanjikan balasan surga bagi orangorang yang suka
membelanjakan hartanya untuk keperluan di jalan Allah, orang-orang yang menahan
amarah dan orang-orang yang suka memaaf kan pihak lain serta orang-orang yang suka
melakukan introspeksi diri.
Tidak sepatutnya penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badwi yang berdiam di
sekitar mereka tidak turut menyertai Rasulullah berperang, dan tidak patut bagi mereka
lebih mencintai diri mereka daripada mencintai rasul. Yang demikian itu karena mereka
tidak mengalami kehausan, kepayahan dan kelaparan pada jalan Allah, dan tidak (pula)
menginjakkan kaki di tempat yang membangkitkan amarah orangorang kafir, dan tidak
menimpakan sesuatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskan bagi mereka suatu amal
shalih. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat baik. (At-
Taubah [9]: 120)
Allah Subhanahu wata’ala menjanjikan imbalan tak terhingga bagi mereka yang berbuat
baik dan menanggung penderitaan dalam berjihad di jalan Alah sampai hari kiamat.8
Sistem upah dan pengupahan untuk sebuah pekerjaan juga telah dikenal pada masa Nabi
Musa ‘alaihissalam. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
31
"Dan bila ia sampai di sebuah mata air di Madyan, didapatinya ada sekelompok orang
sedang mengambil air untuk ternak, dan di belakang mereka ada dua orang perempuan
sedang memagari ternak itu. Musa berkata, “Ada apa dengan kamu berdua?” Mereka
menjawab, “Kami tak dapat memberi minum ternak kami sebelum gembala-gembala itu
selesai, sedang ayah kami sudah tua sekali.” Maka Musa memberi minum untuk ternak itu
kedua mereka, kemudian ia pun kembali ke tempat semula berteduh, dan berdoa,
“Tuhanku! Sungguh aku memerlukan anugerah yang Engkau turunkan kepadaku!”
Kemudian salah seorang dari kedua gadis itu datang kembali kepadanya, berjalan tersipu-
sipu sambil berkata, “Ayahku mengundang kau untuk dapat membalas jasamu karena
telah memberi minum ternak kami”. Maka setelah Musa berkunjung kepadanya dan
menceritakan kisah pengalamannya, Syu’- aib berkata, “Janganlah takut; kau telah lepas
dari kaum yang zalim.” Salah seorang dari kedua gadis itu berkata, “Ayah! ambillah ia
sebagai pekerja upahan; sebenarnya yang terbaik dalam mengupah orang ialah yang kuat
dan jujur.” Ia berkata, “Aku bermaksud menikahkan kaudengan salah seorang puteriku
ini, dengan ketentuan kau bekerja padakuselama delapan tahun; tapi kalau kau
sempurnakan sampai sepuluh tahun, maka itu suatu kebaikan dari pihakmu. Aku tidak
bermaksud menyusahkan kau; insya Allah akan kaulihat bahwa aku termasuk orang yang
shalih.” Musa berkata, “Demikianlah perjanjian antara kita berdua; yang mana saja
antara kedua waktu yang ditentukan itu akan kulaksanakan; aku tidak akan menyalahi
janji; atas apa yang kita ucapkan Allah juga Yang menjadi Saksi.” (Q.S. Al-Qashash : 23-
28).
b. Tidak boleh mempraktekkan diskriminasi
Islam tidak mengenal sistem kelas atau kasta di masyarakat, begitu juga berlaku dalam
memandang dunia ketenagakerjaan. Dalam sistem perbudakan, seorang pekerja atau budak
dipandang sebagai kelas kedua di bawah majikannya. Hal ini dilawan oleh Islam karena
ajaran Islam menjamin setiap orang yang bekerja memiliki hak yang setara dengan orang
lain, termasuk atasan atau pimpinannya. Bahkan hingga hal-hal kecil dan sepele, Islam
mengajarkan umatnya agar selalu menghargai orang yang bekerja.
Misalnya dalam hal pemanggilan atau penyebutan, Islam melarang manusia memanggil
pekerjanya dengan panggilan yang tidak baik atau merendahkan. Sebaliknya, Islam
32
menganjurkan pemanggilan kepada orang yang bekerja dengan kata-kata yang baik seperti
“Wahai pemudaku” untuk laki-laki atau “Wahai pemudiku” untuk perempuan.
Dalam sejarahnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memiliki budak dan
pembantu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperlakukan para budak dan
pembantunya dengan adil dan penuh penghormatan. Beliau pernah mempunyai pembantu
seorang Yahudi yang melayani keperluan beliau, namun beliau tidak pernah memaksakan
agama kepadanya. Isteri beliau, Aisyah Radhiyallahu anha, juga memiliki pembantu yang
bernama Barirah yang diperlakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
isterinya dengan lemah lembut dan tanpa kekerasan.
Tidak mempraktekan diskriminasi di antara pegawai juga memnunjukkan bahwa
pemimpin tersebut merupakan pemimpin yang adil dan termasuk 7 orang yang akan
dilindungi Allah SWT di hari kiamat nanti sesuai hadis Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam, "Tujuh orang yang Allah lindungi dalam naungan ArsyNya pada hari kiamat yang
tidak ada perlindungan selain perlindungannya yaitu: pemimpin yang adil ....". (HR. Muslim)
c. Tidak boleh memberhentikan pegawai dengan sewenang-wenang
Hal yang bisa dijadikan alasan bagi pemberhentian pegawai ada bermacam-macam, bisa
penyebabnya internal (restrukturisasi, otomatisasi, merger dengan perusahaan lain) atau
alasan ekternal (konyungtur, resesi ekonomi) dan kesalahan pegawai. Cara menangani
masalah ini bisa menunjukkan mutu etis seorang majikan karena itu majikan hanya boleh
memberhentikan pegawai karena alasan yang tepat, harus berpegang pada prosedur yang
semestinya, dan juga harus membatasi akibat negatif bagi pegawai sampai seminimal
mungkin.
I. Kewajiban Pegawai
a. Kuat dan terpercaya
"Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai
orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang
kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya".
Berkatalah dia (Syu'aib): "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan
salah satu dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan
tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun itu adalah (suatu lebaikan) dari kamu,
33
maka aku tidak hendak memberati kamu. dan kamu insya Allah akan mendapatiku
termasuk orang-orang yang baik". (Al-Qashash [28]:26-27)
Dari ayat diatas kita melihat dua hal penting. Pertama, bahwa ada perjanjian kerja
antara Musa sebagai pekerja dan Nabi Syu'aib sebagai majikan/pemilik perusahaan.
Perjanjian itu harus seimbang, sama-sama menguntungkan dan menyenangkan,
tidakberat sebelah. Allah berfirman, "Dia (Musa) berkata: Ïtulah (perjanjian) antara aku
dan kamu. mana saja dari kedua waktu yang ditentukan itu aku sempurnakan, maka
tidak ada tuntutan tambahan atas diriku (lagi). dan Allah adalah saksi atas apa yang
kita ucapkan". (al-Qashash [28]:28).
Kedua bahwa persyaratan seorang pekerja adalah Al-Qowiyyul Amin", yakni kuat
fisiknya, tenaganya, pikirannya, semangatnya, kemauannya dan kreatifitasnya. Adalah
integritas pribadi yang menuntut adanya sifat amanah sehingga tidakmerasa bahwa apa
yang ada dalam genggamannya merupakan milik pribadi, tetapi milik pemberi amanat,
yang harus dipelihara dan bila diminta kembali, maka harus dengan suka rela
mengembalikannya.
Sifat amanah, kepercayaan, lurus dan setia mutlak harus dimiliki oleh siapapun
termasuk para pekerja. Dalam Al-Qurán dan Hadist Nabi saw amanah ini diterangkan
sangat erat hubungannya dengan keimanan seseorang. Seperti firman Allah swt, "Dan
orang-orang yang memelihara amanahnya". (QS. Al-Mukminun[21]:8). Rasulullah
saw bersabda, "Tidaklah sempurna keimanan seseorang tanpa ia mempunyai sifat
amanah dan tidak sempurna agama seseorang yang tidak menepati janji". )HR.
Ahmad). Dan salah satu daritanda-tanda kemunafikan adalah ketiadaan amanah,
sebagaimana sabda Nabi saw, "Tanda-tanda munafik itu ada tiga, apabila ia berkata
suka dusta, apabila berjanji suka mungkir, dan bila dipercaya suka khianat". (HR.
Muttafaqun Álaih)
b. Semangat bekerja
"Maka apabila kamu telah selesai dari suatu urusan, kerjakanlah dengan sungguh-
sungguh (urusan) yang lain. Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu
berharap". )Al-Insyirah[94]:7-8).
Ayat ini membimbing kita agar senantiasa bersikap dinamis, bekerja keras tanpa
lelah. Bila telah berakhir suatu pekerjaan, maka harus memulai lagi dengan pekerjaan
34
yang lain. Umar bin Khattab berkata, Äku benci melihat kalian tidak melakukan
aktifitas yang menyangkut kehidupan dunia, tidak pula untuk kehidupan akhirat".
c. Skill and knowledge (keahlian dan pengetahuan)
Setiap pekerja wajib mengetahui dan memahami dasar-dasar ilmu dan profesi yang
digelutinya, harus paham tentang tugas-tugas dan terampil mengerjakannya. Jangan
mudah puas dengan apa yang sudah dimiliki. Sebagaimana kata Umar, berkaitan
dengan dunia perdagangan, "Tidak memasuki pasar kita kecuali orang yang paham".
Maksudnya, seorang pedagang wajib mengetahui hukum-hukum asasi yang berkaitan
dengan perdagangan.
Hal ini bisa kita lihat dalam riwayat Nabi Yusuf a.s., ketika beliau akan diangkat
oleh pengusaha Mesir untuk menjadi bendahara negeri tersebut, dikatakan, "Dan raja
berkata: "Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang yang rapat
kepadaku". Maka tatkala raja bercakap-cakap dengan dia, dia berkata: "Sesungguhnya
kamu mulai hari ini menjadi orang yang berkedudukan tinggi lagi dipercayai pada sisi
kami". Berkata Yusuf: "Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya
aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan" (QS. Yusuf [12]:54-55).
Hal ini disabdakan oleh Rasulullah saw., Äpabila suatu urusan diserahkan kepada
orang yang bukan ahlinya (tidak memiliki skill and knowledge), maka tunggulah
kehancurannya". (Al-Bukhari).
d. Muklhish
Yakni senantiasa ikhlas karena Allah semata dalam menunaikan tugas dan
kewajibannya. Berhati bersih, jauh dari penyakit hati yang akan merusak amalnya,
seperti riya dan sombong. Secara umum Rasulullah saw menyatakan, "Allah tidak akan
menerima suatu perbuatan, melainkan yang dikerjakan dengan ikhlas dan hanya
berharap ridha-Nya". (HR. an-Nasai).
e. Memiliki rasa "Sense of Participation”
Yakni rasa ikut berpartisipasi dan saling membantu dalam tugas dan dalam
memajukan perusahaan. Firman Allah, "Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan
perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang
lain..." (QS. at-Taubah [9]:71).
35
Selain itu, dapat pula ditambahkan "Sense of Brotherhood" yakni "rasa
persaudaraan" antar pekerja. Firman-Nya, "Orang-orang beriman itu sesungguhnya
bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu
dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat". (QS. al-Hujurat [49]:10).
Untuk terwujudnya rasa persaudaraan itu hendaklah menjauhi hal-hal berikut:
1. Tidak merendahkan pekerjaan orang lain
Firman Allah, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-
laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik
dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan
lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik". (QS. al-Hujurat [49]:11).
2. Jauhi saling mencurigai dan gosip
Firman-Nya, "Hai orang-orang yang beriman jauhilah kebanyakan purba-sangka
(kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-
cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah
seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati?
Maka tentulan kamu mersa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang". (QS. al-
Hujurat[49]:12).
Derajat seseorang di dunia dan di akhirat ditentukan oleh kerjanya. Firman-Nya
"Dan bagi masing-masing mereka derajat menurut apa yang mereka kerjakan dan
agar Allah mencukupkan bagi mereka (balasan) pekerjaan-pekerjaan mereka
sedang mereka tiada dirugikan". (QS. al-Ajqaf [46]:19).
36
BAB III
SIMPULAN DAN SARAN
4.1 Simpulan
Ekonomi Islam didefinisikan sebagai cabang ilmu yang membantu merealisasikan
kesejahteraan manusia melalui alokasi dan distribusi sumber daya yang langka, yang sejalan
dengan ajaran islam, tanpa membatasi kebebasan individu ataupun menciptakan
ketidakseimbangan makro dan ekonomi logis.
Prinsip-prinsip kegiatan Ekonomi Islam adalah sebagai berikut:
1. Kekuasaan milik tertinggi adalah milik Allah dan Allah adalah pemilik yang absolute atas semua
yang ada
2. Manusia merupakan pemimpin (khalifa) Allah di bumi tapi bukan pemilik yang sebenarnya.
3. Semua yang didapatkan dan dimiliki oleh manusia adalah karna seizin Allah,
4. Kekayaan tidak boleh ditumpuk terus atau ditimbun.
5. Kekayaan harus diputar.
6. Eksploitasi ekonomi dalam segala bentuknya harus dihilangkan.
7. Menjauhkan segala praktik riba
4.2 Saran
Saran yang dapat disampaikan, Ekonomi Islam merupakan racikan resep ekonomi yang
digali dari Al-Qur’an dan Hadits. Sebagai seorang muslim, kita tidak boleh meragukan
kandungan ajaran Al-Qur’an. Namun, kita perlu merumuskan praktik-praktik ekonomi yang
sesuai dengan kebutuhan masyarakat tetapi tidak menyalahi prinsip-prinsip yang terkandung
dalam Al-Qur’an dan melakukan segala kegiatan eknomi sesuai dengan syariat Islam yang
terkandung dalam Al- Qur’an dan As- Sunnah.
37
DAFTAR PUSTAKA
Dahwal, Sirman. ETIKA BISNIS MENURUT HUKUM ISLAM (Suatu Kajian Normatif). [online].http://repository.unib.ac.id/483/1/1JUDUL%20ETIKA%20BISNIS%20DALAM%20ISLAM.pdf. 8 Maret 2015.
Hasan, Ahmad. PARADIGMA EKONOMI ISLAM. [online]. www.fshuinsgd.ac.id/2012/03/23/paradigma-ekonomi-islam-oleh-ahmad-hasan-ridwan. 8 Maret 2015
Idah. MAKALAH ISLAM DITINJAU DARI BERBAGAI ASPEK. [online]. https://idahceris.files.wordpress.cpm/2011/12/makalah-islam-ditinjau-dari-berbagai-aspek-pdf. 8 Maret 2015
2014. ARTIKEL EKONOMI ISLAM. [online]. smalldorantl.newsvine.com/_news/2014/06/23/2445489-artikel-ekonomi-islam. 8 Maret 2015.
38
Recommended