View
55
Download
5
Category
Preview:
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Epilepsi merupakan masalah kesehatan yang sering menyebabkan berbagai
masalah medis, sosial, psikososial dan ekonomi. Insiden penyakit ini di seluruh dunia
mencapai 44 kasus per 100 ribu penduduk per tahun, dimana setiap tahun ditemukan
sekitar 125 ribu kasus baru. Di Asia, prevalensi epilepsi per 1000 populasi adalah: 3,5 di
Singapura, 1,7 di Jepang, 2,47 di India, 4,7 di Cina, 9,85 di Pakistan dan 9,0 di Srilangka.
Menurut Sjahrir (2000), jika di Indonesia diperkirakan prevalensi epilepsi per 1000
populasi adalah 5 orang, maka penderita epilepsi mencapai 1 juta orang1. Angka Insiden
paling tinggi pada umur 20 tahun pertama, 75% pasien, epilepsy terjadi sebelum umur 18
th menurun sampai umur 50 tahun dan meningkat lagi pada lansia2.
Di Indonesia, epilepsi dikenal sebagai “ayan” atau “sawan”. Banyak masyarakat
masih mempunyai pandangan yang keliru (stigma) dan beranggapan bahwa epilepsi
bukanlah penyakit tapi karena masuknya roh jahat, kesurupan, guna-guna atau suatu
kutukan. Mereka juga takut memberi pertolongan karena beranggapan epilepsi dapat
menular melalui air liur2.
Stigma dan mitos yang berkembang di masyarakat membuat orang dengan epilepsi
di kucilkan oleh lingkungan, banyak keluarga dari orang dengan epilepsi yang menutup-
nutupi keadaan, sehingga membuat penanganan epilepsi menjadi tidak optimal. Padahal
epilepsi bukan termasuk penyakti menular, bukan penyakit jiwa, bukan penyakit yang
diakibatkan “ilmu klenik” dan bukan penyakit yang tidak bisa disembuhkan. Pengobatan
epilepsi sendiri juga menjadi masalah, disebabkan lamanya pengobatan dan berbagai
aspek lainnya. Prinsip umum pengobatan epilepsi adalah untuk membebaskan penderita
dari kejang dengan tidak menimbulkan efek samping klinis yang nyata dengan tujuan
utama memperbaiki kualitas hidup penderita epilepsi1,2,3.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Kata epilepsi berasal dari bahasa yunani “epilepsia” yang berarti bangkitan.
Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf pusat (SSP) yang dicirikan oleh terjadinya
bangkitan (seizure, fit, attack, spell) yang bersifat spontan (Unprovoked) dan berkala3.
Epilepsi diartikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh adanya bangkitan (seizure)
yang terjadi secara berulang sebagai akibat dari adanya gangguan fungsi otak secara
intermitten yang disebabkan oleh lepas muatan listrik abnormal dan berlebihan pada
neuron – neuron secara paroksimal, yang memberi manifestasi berupa gangguan, atau
kehilangan kesadaran, gangguan motorik, sensorik, psikologik, dan sistem otonom, serta
bersifat episodic yang disebabkan oleh beberapa etiologi1. Kejang merupakan manifestasi
klinis lepas muatan listrik yang berlebihan di sel neuron otak yang disebabkan oleh karena
fungsi sel neuron terganggu, akibat gangguan fisiologis, biokimia, anatomi ataupun
gabungan factor-faktor tersebut. Epilepsi didefinisikan sebagai kejang dua kali atau lebih
secara spotan atau karena penyebab ringan.
Gambar : aktivitas elektrik otak
2
2.2. Etiologi
a. Idiopatik (70 %): penyebabnya tidak diketahui, umumnya mempunyai predisposisi
genetik.
b. Simptomatik (30%): disebabkan oleh kelainan/lesi pada SSP, misalnya trauma
kepala, infeksi, kelainan kongenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah
otak, toksik (alcohol, obat), metabolic, kelainan neurodegenerative.
c. Kriptogenik: dianggap sebagai simptomatik tetapi penyebabnya belum diketahui,
misalnya West syndrome dan Lennox Gastaut syndrome.
3
2.3. Klasifikasi
International League Against Epilepsy (ILAE) menetapkan dua klasifikasi
epilepsy yaitu untuk jenis bangkitan epilepsy dan untuk sindrom epilepsy1,5.
1. Klasifikasi ILAE 1989 untuk bangkitan epilepsi :
a. Bangkitan parsial
Bangkitan parsial sederhana (kesadaran baik).
- Motorik
- Sensorik
- Otonom
- Psikis
Bangkitan parsial kompleks (kesadaran terganggu)
- Bangkitan parsial sederhana diikuti dengan gangguan kesadaran.
- Gangguan kesadaran saat awal bangkitan.
Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder
- Parsial sederhana menjadi tonik klonik.
- Parsial kompleks menjadi tonik klonik
- Parsial sederhana menjadi parsial kompleks menjadi tonik klonik.
b. Bangkitan umum.
- Absence (lena)
- Mioklonik
- Klonik
- Tonik
- Tonik-klonik
- Atonik.
c. Tak tergolongkan.
2. Klasifikasi ILAE 1989 untuk sindroma epilepsi :
a. Berkaitan dengan lokasi kelainan
4
Idiopatik (primer)
- Epilepsi anak benigna dengan gelombang paku di sentrotemporal (Rolandik
benigna)
- Epilepsi pada anak dengan paroksismal oksipital
- Primary reading epilepsy“.
Simptomatik (sekunder)
- Lobus temporalis
- Lobus frontalis
- Lobus parietalis
- Lobus oksipitalis
- Kronik progesif parsialis kontinua
Kriptogenik
b. Epilepsi Umum dan berbagai sindrom epilepsi berurutan sesuai dengan
peningktan umur
Idiopatik (primer)
- Kejang neonatus familial benigna
- Kejang neonatus benigna
- Kejang epilepsi mioklonik pada bayi
- Epilepsi absans pada anak
- Epilepsi absans pada remaja
- Epilepsi dengan bangkitan tonik klonik pada saat terjaga.
- Epilepsi tonik klonik dengan bangkitan acak.
Kriptogenik atau simptomatik.
- Sindroma West (Spasmus infantil dan hipsaritmia).
- Sindroma Lennox Gastaut.
- Epilepsi mioklonik astatik
- Epilepsi absans mioklonik
Simptomatik
5
- Etiologi non spesifik
- Ensefalopati mioklonik neonatal
- Sindrom Ohtahara
- Etiologi / sindrom spesifik.
- Malformasi serebral.
- Gangguan Metabolisme.
3. Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum.
Bangkitan umum dan fokal
- Bangkitan neonatal
- Epilepsi mioklonik berat pada bayi
- Sindroma Taissinare
- Sindroma Landau Kleffner
Tanpa gambaran tegas fokal atau umum
4. Sindrom khusus
Epilepsi berkaitan dengan situasi
- Kejang demam
- Berkaitan dengan alkohol
- Berkaitan dengan obat-obatan
- Eklampsi.
- Bangkitan berkaitan dengan pencetus spesifik (reflek epilepsi)
2.3. Patofisiologi
Bangkitan epilepsy dipicu oleh perangsangan sebagian besar neuron secara
berlebihan, spontan dan sinkron sehingga menyebabkan aktivasi fungsi motorik (kejang),
6
sensorik (kesan sensorik), otonom (misal salivasi) atau fungsi kompleks (kognitif,
emosional) secara local atau umum. Kejang epilepsy dapat terjadi secara local, misalnya
di girus presentralis kiri dengan neuron di daerah tersebut yang mengatur kaki kanan
(kejang parsial). Kejang dapat menyebar dari tempat tersebut ke seluruh girus presentralis
(epilepsy jacksonian) contohnya, kram klonik dapat menyebar dari kaki kanan ke seluruh
tubuh bagian kanan tanpa pasien kehilangan kesadarannya. Namun jika kejang menyebar
ke tubuh sisi lainnya, pasien akan kehilangan kesadarannya (kejang parsial dengan
generalisasi sekunder). Kejang umum primer selalu disertai hilangnya kesadaran. Kejang
tertentu (absans) dapat juga hanya menyebabkan kehilangan kesadaran yang terisolasi.
Pada kanal ion yang normal terjadi keseimbangan antara masuknya ion natrium
(natrium influks) dan keluarnya ion kalium (kalium efluks) sehingga terjadi aktivitas
depolarisasi dan repolarisasi yang normal pada sel neuron. Jika terjadi mutasi pada kanal
Na seperti yang terdapat pada generalized epilepsy, maka terjadi natrium influks yang
berlebihan sedangkan kalium efluks tetap seperti semula sehingga terjadi depolarisasi dan
repolarisasi yang berlangsung berkali-kali dan cepat atau terjadi hipereksitasi pada neuron.
Fenomena pemicunya adalah depolarisasi paroksismal pada neuron tunggal
(pergeseran depolarisasi paroksismal) yang disebabkan oleh pengaktifan kanal Ca+2. Ca+2
yang masuk mula-mula akan membuka kanal kation yang tidak spesifik sehingga
menyebabkan depolarisasi yang berlebihan, yang akan terhenti oleh pembukaan kanal K+
dan Cl- yang diaktivasi oleh Ca+2. Kejang epilepsy terjadi jika jumlah neuron yang
terangsang terdapat dalam jumlah yang cukup. Penyebab atau factor yang memudahkan
terjadinya epilepsy seperti kelainan genetic, malformasi otak, trauma otak, tumor,
perdarahan atau abses. Kejang juga dapat dipicu atau dipermudah oleh keracunan (missal
alcohol), inflamasi, demam, pembengkakan sel, hipoglikemia, hipomagnesemia,
hipoklasemia, kurang tidur, iskemia atau hipoksia dan perangsangan berulang (missal
kilatan cahaya). Hiperventilasi dapat menyebabkan hipoksia serebri melalui
vasokonstriksi serebri dan hipokapnia dank arena itu memudahkann terjadinya kejang.
Perangsangan neuron atau penyebaran rangsangan ke neuron di sekitarnya ditingkatkan
oleh sejumlah mekanisme seluler yaitu dendrite sel pyramidal mengandung kanal Ca+2
7
bergerbang voltase yang akan membuka pada saat depolarisasi sehingga meningkatkan
depoplarisasi. Pada lesi neuron akan lebih banyak kanal Ca+2 yang diekspresikan. Kanal
Ca+2 dihambat oleh Mg+2, sedangkan hipomagnesemia akan meningkatkan aktivitas kanal
ini. Peningkatan konsentrasi K+ ekstrasel akan mengurangi efluks K+ melalui kanal K+. hal
ini berarti K+ memiliki efek depolarisasi, dank arena itu pada waktu yang bersamaan
meningkatkan pengaktifan kanal Ca+2.
Dendrite sel pyramidal juga didepolarisasi oleh glutamate dari sinaps eksitatorik.
Glutamate bekerja pada kanal kation yang tidak permeable terhadap CA+2 (kanal AMPA)
dan pada kanal yang permeable terhadap CA+2 (kanal NMDA). Kanal NMDA normalnya
dihambat oleh Mg+2 akan tetapi depolarisasi yang dipicu oleh pengaktifan kanal AMPA
menghilangkan penghambatan Mg+2 (kerjasama dari kedua kanal). Jadi defisiensi Mg+2
dan depolarisasi memudahkan pengaktifan kanal NMDA.
Potensial membrane neuron normalnya dipertahankan oleh kanal K+ dengan
syarat gradient K+ yang melewati membrane sel harus adekuat. Gradient ini dihasilkan
oleh Na+/K+-ATPase. Kekurangan energy akan menghambat Na+/K+-ATPase sehingga
memudahkan depolarisasi sel.
Depolarisasi normalnya dikurangi oleh neuron inhibitorik yang mengatifkan
kanal K+ dana atau Cl- diantaranya melalui GABA yang dihasilkan oleh glutamate
dekarboksilase, yaitu enzim yang membutuhkan piridoksin (vitamin B6) sebagai kofaktor.
Defisensi vitamin B6 atau berkurangnya afinitas enzim terhadap vitamin B6 (kelainan
genetic) memudahkan terjadinya epilepsy. Hiperpolarisai neuron thalamus dapat
meningkatkan kesiapan kanal Ca+2 tipe T untuk diaktifkan sehingga memudahkan
serangan absans.
8
Gambar : Patofisiologi epilepsy
2.4. Gambaran Klinis
a.Bangkitan parsial
Sederhana
Dijumpai kesadaran utuh,
terdapat gangguan motorik (gerakan abnormal unilateral),
gangguan sensorik (merasa, menghidu, mendengar abnormal),
gangguan system autonom (takipnu, bradikardi), dan
gangguan psikis (disfagia, gangguan daya ingat)
9
Kompleks
Bangkitan fokal disertan gangguan kesadaran
Sering diikuti automatism yang stereotipik seperti mengunyah, menelan,
tertawa dan kegiatan motorik lain tanpa tujuan yang jelas.
Dijumpai rangsangan berupa musik, cahaya berkedip dan rangsang lainnya
Kepala mungkin berpaling ke arah tubuh yang kejang (adversif).
10
b. Bangkitan umum
Epilepsi Tipe Lena (Absence Epilepsi/petit mal)
Gangguan kesadaran secara mendadak (absence), berlangsung beberapa
detik
Selama bangkitan kegiatan motorik terhenti dan pasien diam tanpa reaksi
Mata memandang jauh ke depan
Pemulihan kesadaran segera terjadi tanpa perasaan bingung
Setelahnya pasien melanjutkan aktivitas semula tanpa perasaan bingung
Epilepsi Lena Tidak Khas (Absence Epilepsi Atipikal)
Gejala hampir sama dengan tipe lena yang khas
Penurunan kesadaran tidak dalam
Epilepsi atonik
Terjadi ptosis, kepala menunduk, dan penderita jatuh ke lantai (drop
attack)
Tidak berhubungan dengan hilangnya kesadaran
Bangkitan berlangsung selama 10-60 detik.
11
Epilepsi mioklonik
Bangkitan bersifat mendadak, singkat, berupa kedutaan otot, atau
sekelompok otot
Sentakan sinkron dan bilateral pada leher, bahu, lengan atas, tubuh dan
tungkai atas yang menyebabkan gerakan tidak normal di kedua sisi tubuh
pada saat yang sama.
Sentakan mendadak berlangsung 1-2 detik
Epilepsi tonik
Bersifat bilateral secara mendadak pada tubuh, lengan atau tungkai.
Bangkitan berlangsung kurang dari 20 detik
Muncul lebih sering pada saat penderita tidur
12
Epilepsi tonik – klonik (grand mal)
Dapat didahului prodormal seperti jeritan, sentakan, mioklonik
Pasien kehilangan kesadaran, kaku (fase tonik) selama 10-30 detik,
diikuti gerakan kejang kelojotan pada kedua lengan dan tungkai (fase
klonik) selama 30-60 detik, dapat disertai mulut berbusa
Selesai bangkitan pasien jadi lemas (fase flaksid) dan tampak bingung
Pasien sering tidur setelah bangkitan
13
2.5. Diagnosis Epilepsi7,8
Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan klinik
dikombinasikan dengan hasil pemeriksaan EEG dan radiologis.
a. Anamnesis
Riwayat Penyakit Sekarang
1. Kapan pasien mengalami serangan kejang yang pertama kali selama ini? Usia
serangan dapat memberi gambaran klasifikasi dan penyebab kejang. Serangan
kejang yang dimulai pada neonatus biasanya penyebab sekunder gangguan pada
masa perinatal, kelainan metabolik dan malformasi kongenital. Serangan kejang
umum cenderung muncul pada usia anak-anak dan remaja. Pada usia sekitar 70
tahunan muncul serangan kejang biasanya ada kemungkinan mempunyai kelainan
patologis di otak seperti stroke atau tumor otak dan sebagainya.
2. Apakah pasien mengalami semacam peringatan atau perasaan tidak enak pada
waktu serangan atau sebelum serangan kejang terjadi? Gejala peringatan yang
dirasakan pasien menjelang serangan kejang muncul disebut dengan “aura”
dimana suatu “aura” itu bila muncul sebelum serangan kejang parsial sederhana
berarti ada fokus di otak. Sebagian “ aura” dapat membantu dimana letak lokasi
serangan kejang di otak. Pasien dengan epilepsi lobus temporalis dilaporkan
adanya “déjà vu” dan atau ada sensasi yang tidak enak di lambung, gringgingen
yang mungkin merupakan epilepsi lobus parietalis. Dan gangguan penglihatan
sementara mungkin dialami oleh pasien dengan epilepsi lobus oksipitalis. Pada
serangan kejang umum bisa tidak didahului dengan “aura” hal ini disebabkan
terdapat gangguan pada kedua hemisfer , tetapi jika “aura” dilaporkan oleh pasien
sebelum serangan kejang umum, sebaiknya dicari sumber fokus yang patologis.
3. Apa yang terjadi selama serangan kejang berlangsung? Bila pasien bukan dengan
serangan kejang sederhana yang kesadaran masih baik tentu pasien tidak dapat
menjawab pertanyaan ini, oleh karena itu wawancara dilakukan dengan saksi mata
14
yang mengetahui serangan kejang berlangsung. Apakah ada deviasi mata dan
kepala kesatu sisi? Apakah pada awal serangan kejang terdapat gejala aktivitas
motorik yang dimulai dari satu sisi tubuh? Apakah pasien dapat berbicara selama
serangan kejang berlangsung? Apakah mata berkedip berlebihan pada serangan
kejang terjadi? Apakah ada gerakan “automatism” pada satu sisi ? Apakah ada
sikap tertentu pada anggota gerak tubuh? Apakah lidah tergigit? Apakah pasien
mengompol ? Serangan kejang yang berasal dari lobus frontalis mungkin dapat
menyebabkan kepala dan mata deviasi kearah kontralateral lesi. Serangan kejang
yang berasal dari lobus temporalis sering tampak gerakan mengecapkan bibir dan
atau gerakan mengunyah. Pada serangan kejang dari lobus oksipitalis dapat
menimbulkan gerakan mata berkedip yang berlebihan dan gangguan penglihatan.
Lidah tergigit dan inkontinens urin kebanyakan dijumpai dengan serangan kejang
umum meskipun dapat dijumpai pada serangan kejang parsial kompleks.
4. Apakah yang terjadi segera sesudah serangan kejang berlangsung? Periode
sesudah serangan kejang berlangsung adalah dikenal dengan istilah “post ictal
period ” Sesudah mengalami serangan kejang umum tonik klonik pasien lalu
tertidur. Periode disorientasi dan kesadaran yang menurun terhadap sekelilingnya
biasanya sesudah mengalami serangan kejang parsial kompleks. Hemiparese atau
hemiplegi sesudah serangan kejang disebut “Todd’s Paralysis“ yang
menggambarkan adanya fokus patologis di otak. Afasia dengan tidak disertai
gangguan kesadaran menggambarkan gangguan berbahasa di hemisfer dominan.
Pada “Absens“ khas tidak ada gangguan disorientasi setelah serangan kejang.
5. Kapan kejang berlangsung selama siklus 24 jam sehari? Serangan kejang tonik
klonik dan mioklonik banyak dijumpai biasanya pada waktu terjaga dan pagi hari.
Serangan kejang lobus temporalis dapat terjadi setiap waktu, sedangkan serangan
kejang lobus frontalis biasanya muncul pada waktu malam hari.
6. Apakah ada faktor pencetus ? Serangan kejang dapat dicetuskan oleh karena
kurang tidur, cahaya yang berkedip,menstruasi, faktor makan dan minum yang
tidak teratur, konsumsi alkohol, ketidakpatuhan minum obat, stress emosional,
15
panas, kelelahan fisik dan mental, suara suara tertentu, “drug abuse”, “ reading &
eating epilepsy”. Dengan mengetahui faktor pencetus ini dalam konseling dengan
pasien maupun keluarganya dapat membantu dalam mencegah serangan kejang.
7. Bagaimana frekwensi serangan kejang ? Informasi ini dapat membantu untuk
mengetahui bagaimana respon pengobatan bila sudah mendapat obat obat anti
kejang .
8. Apakah ada periode bebas kejang sejak awal serangan kejang ? Pertanyaan ini
mencoba untuk mencari apakah sebelumnya pasien sudah mendapat obat anti
kejang atau belum dan dapat menentukan apakah obat tersebut yang sedang
digunakan spesifik bermanfaat ?
9. Apakah ada jenis serangan kejang lebih dari satu macam? Dengan menanyakan
tentang berbagai jenis serangan kejang dan menggambarkan setiap jenis serangan
kejang secara lengkap.
10. Apakah pasien mengalami luka ditubuh sehubungan dengan serangan kejang?
Pertanyaan ini penting mengingat pasien yang mengalami luka ditubuh akibat
serangan kejang ada yang diawali dengan “aura“ tetapi tidak ada cukup waktu
untuk mencegah supaya tidak menimbulkan luka ditubuh akibat serangan kejang
atau mungkin ada “aura“ , sehingga dalam hal ini informasi tersebut dapat
dipersiapkan upaya upaya untuk mengurangi bahaya terjadinya luka.
11. Apakah sebelumnya pasien pernah datang ke unit gawat darurat? Dengan
mengetahui gambaran pasien yang pernah datang ke unit gawat darurat dapat
mengidentifikasi derajat beratnya serangan kejang itu terjadi yang mungkin
disebabkan oleh karena kurangnya perawatan pasien, ketidakpatuhan minum obat,
ada perubahan minum obat dan penyakit lain yang menyertai.
16
Riwayat medik dahulu.
Dengan mengetahui riwayat medik yang dahulu dapat memberikan informasi yang
berguna dalam menentukan etiologinya. Lokasi yang berkaitan dengan serangan kejang
dan pengetahuan tentang lesi yang mendasari dapat membantu untuk pengobatan
selanjutnya.
1. Apakah pasien lahir normal dengan kehamilan genap bulan maupun proses
persalinannya?
2. Apakah pasien setelah lahir mengalami asfiksia atau “respiratory distress”?
3. Apakah tumbuh kembangnya normal sesuai usia?
4. Apakah ada riwayat kejang demam? Risiko terjadinya epilepsi sesudah serangan
kejang demam sederhana sekitar 2 % dan serangan kejang demam kompleks 13
%.
5. Apakah ada riwayat infeksi susunan saraf pusat seperti meningitis, ensefalitis? atau
penyakit infeksi lainnya seperti sepsis, pneumonia yang disertai serangan kejang.
Dibeberapa negara ada yang diketahui didapat adanya cysticercosis.
6. Apakah ada riwayat trauma kepala seperti fraktur depresi kepala, perdarahan intra
serebral, kesadaran menurun dan amnesia yang lama?
7. Apakah ada riwayat tumor otak?
8. Apakah ada riwayat stroke?
17
Riwayat sosial.
Ada beberapa aspek sosial yang langsung dapat mempengaruhi pasien epilepsi dan ini
penting sebagai bagian dari riwayat penyakit dahulu dan sekaligus untuk bahan evaluasi.
1. Apa latar belakang pendidikan pasien? Tingkat pendidikan pasien epilepsi
mungkin dapat menggambarkan bagaimana sebaiknya pasien tersebut dikelola
dengan baik. Dan juga dapat membantu mengetahui tingkat dukungan masyarakat
terhadap pasien dan bagaimana potensi pendidikan kepada pasien tentang cara
menghadapi penyakit yang dialaminya itu.
2. Apakah pasien bekerja? Dan apa jenis pekerjaannya? Pasien epilepsi yang seragan
kejangnya terkendali dengan baik dapat hidup secara normal dan produktif.
Kebanyakan pasien dapat bekerja paruh waktu atau penuh waktu. Tetapi bila
serangan kejangnya tidak terkendali dengan baik untuk memperoleh dan
menjalankan pekerjaan adalah merupakan suatu tantangan tersendiri. Pasien
sebaiknya dianjurkan memilih bekerja dikantoran, sebagai kasir atau tugas - tugas
yang tidak begitu berisiko, tetapi bagi pasien yang bekerja di bagian konstruksi,
mekanik dan pekerjaan yang mengandung risiko tinggi diperlukan penyuluhan
yang jelas untuk memodifikasikan pekerjaan itu agar supaya tidak membahayakan
dirinya.
3. Apakah pasien mengemudikan kendaraan bermotor? Pasien dengan epilepsi yang
serangan kejangnya tidak terkontrol serta ada gangguan kesadaran sebaiknya tidak
mengemudikan kendaraan bermotor. Hal ini bisa membahayakan dirinya maupun
masyarakat lainnya. Dibeberapa negara mempunyai peraturan sendiri tentang
pasien epilepsi yang mengemudikan kendaraan bermotor.
4. Apakah pasien menggunakan kontrasepsi oral? Apakah pasien merencanakan
kehamilan pada waktu yang akan datang? Pasien epilepsi wanita sebaiknya diberi
penyuluhan terlebih dahulu tentang efek teratogenik obat-obat anti epilepsi,
demikian juga beberapa obat anti epilepsi dapat menurun efeknya bila pasien juga
menggunakan kontrasepsi oral seperti fenitoin, karbamasepin dan fenobarbital.
18
Dan bagi pasien yang sedang hamil diperlukan obat tambahan seperti asam folat
untuk mengurangi risiko terjadinya “ neural tube defects“ pada bayinya.
5. Apakah pasien peminum alkohol? Alkohol merupakan faktor risiko terjadinya
serangan kejang umum, sebaiknya tidak dianjurkan minum-minuman alkohol.
Selain berinteraksi dengan obat-obat anti epilepsi tetapi dapat juga menimbulkan
ekstraserbasi serangan kejang khususnya sesudah minum alkohol .
Riwayat keluarga.
Mengetahui riwayat keluarga adalah penting untuk menentukan apakah ada sindrom
epilepsi yang spesifik atau kelainan neurologi yang ada kaitannya dengan faktor genetik
dimana manifestasinya adalah serangan kejang. Sebagai contoh “Juvenile myoclonic
epilepsy (JME)“,“ familial neonatal convulsion“,“ benign rolandic epilepsy“ dan sindrom
serangan kejang umum tonik klonik disertai kejang demam plus.
Riwayat allergi.
Bila pasien sebelumnya sudah minum obat-obatan seperti antiepilepsi, perlu dibedakan
apakah ini suatu efek samping dari gastrointestinal atau efek reaksi hipersensitif. Bila
terdapat semacam ”rash“ perlu dibedakan apakah ini terbatas karena efek fotosensitif yang
disebabkan eksposur dari sinar matahari atau karena efek hipersensitif yang sifatnya lebih
luas.
Riwayat pengobatan.
Bila pasien sebelumnya sudah minum obat-obatan antiepilepsi, perlu ditanyakan
bagaimana kemanjuran obat tersebut, berapa kali diminum sehari dan berapa lama sudah
diminum selama ini, berapa dosisnya, ada atau tidak efek sampingnya.
19
Riwayat Pemeriksaan penunjang lain.
Perlu ditanyakan juga kemungkinan apa pasien sudah dilakukan pemeriksaan penunjang
seperti elektroensefalografi atau CT Scan kepala atau MRI.
b. Pemeriksaan fisik dan neurologi.
Pemeriksaan fisik harus menapis sebab-sebab terjadinya serangan kejang dengan
menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada pasien yang berusia
lebih tua sebaiknya dilakukan auskultasi didaerah leher untuk mendeteksi adanya penyakit
vaskular. pemeriksaan kardiovaskular sebaiknya dilakukan pada pertama kali serangan
kejang itu muncul oleh karena banyak kejadian yang mirip dengan serangan kejang tetapi
penyebabnya kardiovaskular seperti sinkop kardiovaskular. Pemeriksaan kulit juga untuk
mendeteksi apakah ada sindrom neurokutaneus seperti “ café au lait spots “ dan “ iris
hamartoma” pada neurofibromatosis, “ Ash leaf spots” , “shahgreen patches” , “
subungual fibromas” , “ adenoma sebaceum” pada tuberosclerosis, “ port - wine stain “ (
capilarry hemangioma) pada sturge-weber syndrome. Juga perlu dilihat apakah ada bekas
gigitan dilidah yang bisa terjadi pada waktu serangan kejang berlangsung atau apakah ada
bekas luka lecet yang disebabkan pasien jatuh akibat serangan kejang, kemudian apakah
ada hiperplasi ginggiva yang dapat terlihat oleh karena pemberian obat fenitoin dan
apakah ada “dupytrens contractures” yang dapat terlihat oleh karena pemberian
fenobarbital jangka lama.
Pemeriksaan neurologi meliputi status mental, “gait“ , koordinasi, saraf kranialis,
fungsi motorik dan sensorik, serta refleks tendon. Adanya defisit neurologi seperti
hemiparese ,distonia, disfasia, gangguan lapangan pandang, papiledema mungkin dapat
menunjukkan adanya lateralisasi atau lesi struktur di area otak yang terbatas. Adanya
nystagmus, diplopia atau ataksia mungkin oleh karena efek toksis dari obat anti epilepsi
seperti karbamasepin, fenitoin, lamotrigin. Dilatasi pupil mungkin terjadi pada waktu
serangan kejang terjadi.” Dysmorphism “ dan gangguan belajar mungkin ada kelainan
20
kromosom dan gambaran progresif seperti demensia, mioklonus yang makin memberat
dapat diperkirakan adanya kelainan neurodegeneratif. Unilateral automatism bisa
menunjukkan adanya kelainan fokus di lobus temporalis ipsilateral sedangkan adanya
distonia bisa menggambarkan kelainan fokus kontralateral dilobus temporalis.
c. Pemeriksaan laboratorium.
Hiponatremia , hipoglikemia, hipomagnesia, uremia dan hepatik ensefalopati dapat
mencetuskan timbulnya serangan kejang. Pemeriksaan serum elektrolit bersama dengan
glukose, kalsium, magnesium, “ Blood Urea Nitrogen” , kreatinin dan test fungsi hepar
mungkin dapat memberikan petunjuk yang sangat berguna. Pemeriksaan toksikologi
serum dan urin juga sebaiknya dilakukan bila dicurigai adanya “ drug abuse” .
Pemeriksaan cairan otak dapat mengungkapkan adanya radang pada otak atau selaputnya,
toksoplasmosis susunan saraf sentral, leukemia yang menyerang otak, metastasis tumor
ganas, adanya perdarahan otak atau perdarahan subarachnoid.
d. Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG).
Pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan adalah pemeriksaan
elektroensefalografi (EEG). Pemeriksaan EEG rutin sebaiknya dilakukan perekaman pada
wktu sadar dalam keadaan istirahat, pada waktu tidur, dengan stimulasi fotik dan
hiperventilasi. Pemeriksaam EEG ini adalah pemeriksaan laboratorium yang penting
untuk membantu diagnosis epilepsi dengan beberapa alasan sebagai berikut:
1. Pemeriksaan ini merupakan alat diagnostik utama untuk mengevaluasi pasien
dengan serangan kejang yang jelas atau yang meragukan. Hasil pemeriksaan EEG
akan membantu dalam membuat diagnosis, mebgklarifikasikan jenis serangan
kejang yang benar dan mengenali sindrom epilepsi.
2. Dikombinasikan dengan hasil pemeriksaan fisik dan neurologi, pola epileptiform
pada EEG (spikes and sharp waves) sangat mendukung diagnosis epilepsi. Adanya
21
gambaran EEG yang spesifik seperti “3-Hz spike-wave complexes“ adalah
karakteristik kearah sindrom epilepsi yang spesifik.
3. Lokalisasi dan lateralisasi fokus epileptogenik pada rekaman EEG dapat
menjelaskan manifestasi klinis daripada“aura“ maupun jenis serangan kejang.
Pada pasien yang akan dilakukan operasi, pemeriksaan EEG ini selalu dilakukan
dengan cermat.
Sebaliknya harus diketahui pula bahwa terdapat beberapa alasan keterbatasan
dalam menilai hasil pemeriksaan EEG ini yaitu :
1. Pada pemeriksaan EEG tunggal pada pertama kali pasien dengan kemungkinan
epilepsi didapat sekitar 29-50 % adanya gelombang epileptiform, apabila
dilakukan pemeriksaan ulang maka persentasinya meningkat menjadi 59-92 %.
Sejumlah kecil pasien epilepsi tetap memperlihatkan hasil EEG yang normal,
sehingga dalam hal ini hasil wawancara dan pemeriksaan klinis adalah penting
sekali.
2. Gambaran EEG yang abnormal interiktal bisa saja tidak menunjukkan adanya
epilepsi sebab hal demikian dapat terjadi pada sebagian kecil orang-orang normal
oleh karena itu hasil pemeriksaan EEG saja tidak dapat digunakan untuk
menetapkan atau meniadakan diagnosis epilepsi.
3. Suatu fokus epileptogenik yang terlokalisasi pada pemeriksaan EEG mungkin saja
dapat berubah menjadi multifokus atau menyebar secara difus pada pasien epilepsi
anak.
4. Pada EEG ada dua jenis kelainan utama yaitu aktivitas yang lambat dan
epileptiform, bila pada pemeriksaan EEG dijumpai baik gambaran epileptiform
difus maupun yang fokus kadang-kadang dapat membingungkan untuk
menentukan klasisfikasi serangan kejang kedalam serangan kejang parsial atau
serangan kejang umum.
22
Gambar : Gambaran Electroencephalography
e. Pemeriksaan Video-EEG
Pemeriksaan ini dilakukan bila ada keraguan untuk memastikan diagnosis epilepsi
atau serangan kejang yang bukan oleh karena epilepsi atau bila pada pemeriksaan rutin
EEG hasilnya negatif tetapi serangan kejang masih saja terjadi, atau juga perlu dikerjakan
bila pasien epilepsi dipertimbangkan akan dilakukan terapi pembedahan. Biasanya
pemeriksaan video-EEG ini berhasil membedakan apakah serangan kejang oleh karena
epilepsi atau bukan dan biasanya selama perekaman dilakukan secara terus-menerus
dalam waktu 72 jam, sekitar 50-70% dari hasil rekaman dapat menunjukkan gambaran
serangan kejang epilepsi.
23
f. Pemeriksaan Radiologi
CT Scan (Computed Tomography Scan) kepala dan MRI (Magnetic Resonance
Imaging) kepala adalah untuk melihat apakah ada atau tidaknya kelainan struktural diotak.
Indikasi CT Scan kepala adalah:
- Semua kasus serangan kejang yang pertama kali dengan dugaan ada kelainan
struktural di otak.
- Perubahan serangan kejang.
- Ada defisit neurologis fokal.
- Serangan kejang parsial.
- Serangan kejang yang pertama diatas usia 25 tahun.
- Untuk persiapan operasi epilepsi.
CT Scan kepala ini dilakukan bila pada MRI ada kontra indikasi namun demikian
pemeriksaan MRI kepala ini merupakan prosedur pencitraan otak pilihan untuk epilepsi
dengan sensitivitas tinggi dan lebih spesifik dibanding dengan CT Scan. Oleh karena
dapat mendeteksi lesi kecil diotak, sklerosis hipokampus, disgenesis kortikal, tumor dan
hemangioma kavernosa, maupun epilepsi refrakter yang sangat mungkin dilakukan terapi
pembedahan. Pemeriksaan MRI kepala ini biasanya meliputi:T1 dan T2 weighted“ dengan
minimal dua irisan yaitu irisan axial, irisan coronal dan irisan sagital.
g. Pemeriksaan Neuropsikologi
Pemeriksaan ini mungkin dilakukan terhadap pasien epilepsi dengan pertimbangan
akan dilakukan terapi pembedahan. Pemeriksaan ini khususnya memperhatikan apakah
ada tidaknya penurunan fungsi kognitif, demikian juga dengan pertimbangan bila ternyata
diagnosisnya ada dugaan serangan kejang yang bukan epilepsi.
24
2.6. Tatalaksana
Tujuan pokok terapi epilepsi ialah membebaskan penderita dari bangkitan
epilepsi, tanpa mengganggu fungsi normal susunan saraf pusat agar penderita dapat
menjalani kehidupannya tanpa gangguan. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan
beberapa upaya, antara lain menghentikan bangkitan, mengurangi frekuensi bangkitan,
mencegah timbulnya efek samping, menurunkan angka kesakitan dan kematian, mencegah
timbulnya efek sampan OAE1. Prinsip terapi epilepsy :
1. Pemilihan obat disesuaikan dengan keadaan klinis, efek samping, interaksi antar- obat
anti epilepsy (OAE) dan harga obat. OAE mulai diberikan bila diagnosis epilepsy
telah dipastikan (confirmed) atau bila terjadi dua kali bangkitan dalam selang waktu
yang tidak lama (maksimal satu tahun), setelah pasien dan atau keluarganya menerima
penjelasan tentang tujan pengobatan dan kemungkinan efek samping OAE yang akan
timbul1,5.
2.Strategi pengobatan dimulai dengan monoterapi OAE lini pertama sesuai dosis
kemudian ditingkatkan dosisnya hingga bangkitan teratasi atau diperoleh hasil yang
optimal dan konsentrasi plasma OAE pada kadar yang maksimal. Jika bangkitan
masih tidak teratasi maka perlu ditambahkan OAE kedua, bila OAE telah mencapai
kadar terapi maka OAE pertama diturunkan bertahap (tappering off). Penambahan
obat ketiga baru dilakukan bila telah ternukti bangkitan tidak dapat diatasi dengan
penggunaan dosis maksimal kedua OAE pertama.
3. Edukasi. Beritahukan pada keluarga dan pasien bahwa penggunaan OAE jangka lama
tidak akan menimbulkan perlambatan mental permanen (meskipun penyebab dasar
kejang dapat menimbulkan demikian) dan pencegahan kejang untuk 1-2 tahun dapat
menurunkan kemungkinan bangkitan berulang. Perubahan obat atau dosis harus
sepengetahuan dokter.
4. Follow up. Pasien diperiksa secara berkala dan awasi adanya toksisitas OAE.
Pemeriksaan darah dan uji fungsi hati harus dilakukan secara periodic pada beberapa
OAE. Penting juga dilakukan evaluasi ulang ulang fungsi neurologis secara rutin.
25
5. Penanganan jangka panjang. Teruskan pengobatan OAE sampai pasien bebas
bangkitan sekurang-kurangnya 1-2 tahun.
Tabel Pemilihan OAE berdasarkan jenis bangkitan epilepsy
JENISOAE LINI PERTAMA
OAE LINI KEDUA
OAE LAIN YANG DAPAT
DIPERTIMBANGKAN
OAE YANG SEBAIKNYA DIHINDARI
Bangkitan umum tonik klonik
Sodium valproatLamotrigineTopiramate
carbamazepine
ClobazamLevetiracetamoxcarbazepine
ClonazepamPhenobarbital
Phenytoinacetazolamid
Bangkitan lena Sodium valproatLamotrigine
ClobazamTopiramate
CarbamazepineOxcarbazepine
Bangkitan mioklonik Sodium valproatLamotrigine
ClobazamTopiramate
LevetiracetamLamotriginepiracetam
CarbamazepineGabapentin
Oxcarbazepine
Bangkitan tonik Sodium valproatLamotrigine
Clobazam Levetiracetam
Topiramate
PhenobarbitalPhenytoin
CarbamazepineOxcarbazepine
Bangkitan atonik Sodium valproatLamotrigine
ClobazamLevetiracetam
Topiramate
PhenobarbitalAsetazolamid
CarbamazepineOxacrabzepine
Phenytoin
Bangkitan fokal dengan atau tanpa umum sekunder
CarbamazepinOxcarbazepine
Sodium valproatTopiramate lamotrigine
ClobazamGabapentin
LevetiracetamPhenytointiagabine
ClonazepamPhenobarbitalacetazolamide
OBAT DOSIS AWAL
(mg/hari)
DOSIS MAINTENANCE
FREKUENSI WAKTU PARUH
PLASMA
WAKTU TERCAPAINY
A STEADY
26
(jam)STATE (hari)
carbamazepine 400-600 400-1600 2-3x 15-35 2-7
Phenytoin 200-300 200-400 1-2 x 10-80 3-15
Sodium valproat 500-1000 500-2500 2-3 x 12-18 2-4
Phenobarbital 50-100 50-200 1 x 50-170
Clonazepam 1 4 1 atau 2 x 20-60 2-10
Clobazam 10 10-30 2-3 x 10-30 2-6
Oxcarbazepine 600-900 600-3000 2-3x 8-15
Levetiracetam 1000-2000 1000-3000 2 x 6-8 2
Topiramate 100 100-400 2 x 20-30 2-5
Gabapentin 900-1800 900-3600 2-3 x 5-7 2
Lamotrigine 50-100 20-200 1-2 x 15-35 2-6
Tabel. Efek samping obat anti epilepsy
OBAT EFEK SAMPING
Carbamazepine Diplopia, dizziness, nyeri kepala, mual, mengantuk, neutropenia, hiponatremia, ruam morbliform, SJS, hepatotoksik, teratogenik
Phenytoin Nistagmus, ataksia, mual, muntah, hipertrofi gusi, depresi, mengantuk, anemia megaloblastik, SJS, hepatotoksik, teratogenik.
Sodium valproat Tremor, berat badan bertambah, dyspepsia, mual, muntah, kebotakan, teratogenik
Phenobarbital Kelelahan, depresi, insomnia, irritability
Clonazepam Kelelahan, sedasi, mengantuk, dizziness, agresi, hiperkinesia, ruam, tombositopenia
Levetiracetam Somnolen, asthenia, ataksia, penurunan ringan jumlah sel darah merah, Hb dan Ht.
Gabapentin Somnolen, kelelahan, ataksia, dizziness, gangguan saluran cerna
Lamotrigine Ruam, dizziness, tremor, ataksia, diplopia, nyeri kepala, gangguan saluran cerna
Clobazam Sedasi, dizziness, irritability, depresi, dysinhibition
Oxcarbazepine Dizziness, diplopia, ataksia, nyeri kepala, kelemahan, ruam, hiponatermia
Topiramate Gangguan kognitif, tremor,dizziness, ataksia, nyeri kepala, kelelahan, gangguan saluran cerna, batu ginjal
Tabel. Hubungan antara mekanisme epileptogenik dan mekanisme kerja OAE
27
Table . Dosis Obat Anti Epilepsi untuk Dewasa
MEKANISME TERJADINYA EPILEPSY
MEKANISME KERJA OAE
GABA Penurunan GABA di dalam microgyric cortex
Penurunan ikatan reseptor benzodiasepin di dalam nucleus talamus medial (epilepsi lobus temporal mesial)
Penurunan kepadatan reseptor benzodiazepin pada daerah CA1 (hippocampal sclerosis)
Penurunan level GABA dan aktivitas GAD (epileptic foci)
Auto antibody GAD (stiff man syndrome)
Meningkatkan fungsi GABA pool (vigabatrin, tiagabine)
Menambah inhibisi GABA-ergik ( benzodiazepine)
Efek agonis GABA (phenobarbital) (lebih lemah) kemampuan GABA- ergic
(Phenobarbital, gabapentin, topiramate, valproat zionizamid)
Glutamat Upregulasi dari hipocampal inotropic glutamate receptor (epilepsy lobus temporal)
Anti –gluR3 antibodies (Rasmussen encephalitis)
peningkatan level glutamat plasma (absent seizure)
inhibisi pelepasan glutamat (lamotrigine)blokade glisine pada reseptor NMDA
(felbamate)
Na mutaasi pada voltage gate Na channel (epilepsy with febrile seizure)
menurunkan voltage gate Na seketika (carbamazepine, felbamate, lamotrigine, oxcarbazepine , phenitoin valproid acid, topiramate, zonisamide)
K mutasi pada Voltage- Gated K channel (benign familial neonatal convultion)
penurunan Ach- mediated Ca flux
mengurangi T-type Ca secara cepat (ethosuzimide, valproat)
Ca Peningkatan exitabilitas membran Menurunkan exitability membran
6. Penghentian pengobatan. Dilakukan secara bertahap. Jika penghentian pengobatan
tiba-tiba, pasien harus dalam pengawasan ketat karena dapat mencetuskan bangkitan
atau bahkan status epileptikus. Jika bangkitan timbul selama atau sesudah penghentian
28
spengobatan, OAE harus diberikan lagi sekurang-kurangnya 1-2 tahun. Syarat umum
untuk menghentikan pemberian OAE :
a. Penghentian OAE dapat didiskusikan denga pasien atau keluarganya setelah bebas
dari bangkitan selama minimal 2 tahun.
b. Gambaran EEG normal
c. Dilakukan secara bertahap, pada umumnya 25% dari dosis semula setiap bulan
dalam jangka waktu 3-6 bulan.
d. Penghentian dimulai dari satu OAE yang bukan utama.
Kekambuhan setelah penghentian OAE akan lebih besar kemungkinannya pada
keadaan sebagai berikut :
a. Usia tua
b. Epilepsy simptomatik
c. Gambaran EEG abnormal
d. Semakin lama adanya bangkitan sebelum dapat dikendalikan
e. Penggunaan OAE lebih dari Satu
f. masih mendapatkan satu atau lebih bangkitan setelah memulai terapi
g. Mendapat terapi 10 tahun atau lebih
Kemungkinan kambuh lebih kecil pada pasien yang telah bebas dari bangkitan selama
3-5 tahun atau lebih dari 5 tahun. Bila bangkitan timbul kembali maka gunakan dosis
efektif terakhir (sebelum pengurangan dosis OAE) kemudian dievaluasi kembali.
Sedangkan kegagalan terapi dapat terjadi akibat beberapa factor berikut :
1. Klasifikasi tidak tepat
2. Gagal menemukan etiologi
29
3. OAE tidak sesuai
4. Tidak menghindari faktor pencetus
5. Tidak teratur minum obat
6. Epilepsi sukar diatasi (intractable epilepsy) misalnya spasme infantil
2.10. Prognosis
Secara keseluruhan, risiko untuk terjadinya bangkitan ulang sesudah bangkitan
pertama bervariasi antara 27 – 80 %. Lebih kurang 75% dari penderita yang mengalami
30
bangkitan kedua atau ketiga mengalami bangkitan berikutnya dalam 5 tahun mendatang.
Pasien epilepsy yg berobat teratur, 1/3 nya akan bebas dari serangan paling sedikit 2 th &
bisa lebih dari 5 th sesudah serangan terakhir obat dihentikan. ±30% pasien tidak
mengalami remisi meskipun minum obat dengan teratur. Prognosis pasien dengan
epilepsy tergantung pada beberapa factor seperti :
a. kekerapan kejang
b. ada/tidak defisit neurologis/mental
c. jenis & lama kejang
d. umur onset (>2-3 thn lebih baik)
BAB III
KESIMPULAN
31
3.1 Kesimpulan
1. Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf pusat (SSP) yang dicirikan oleh
terjadinya bangkitan (seizure, fit, attack, spell) yang bersifat spontan (unprovoked)
dan berkala.
2. Bangkitan epilepsi terjadi bila proses eksitasi di dalam otak lebih dominan daripada
proses inhibisi.
3. Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan klinik
dikombinasikan dengan hasil pemeriksaan EEG dan radiologis.
4. Tujuan pokok terapi epilepsi ialah membebaskan penderita dari bangkitan epilepsi,
tanpa mengganggu fungsi normal susunan saraf pusat agar penderita dapat
menjalani kehidupannya tanpa gangguan.
DAFTAR PUSTAKA
32
1. Kelompok studi epilepsy Perhimpunan dokter spesialis saraf Indonesia. Pedoman
tatalaksana epilepsy. Edisi ke-2. Jakarta: PERDOSSI;2007. Hal 1-31
2. Frida M. Pengaruh pemakaian obat antiepilepsi jangka panjang terhadap densitas
tulang dan kadar alkali fosfatase pada penderita epilepsi yang berobat di poliklinik
saraf Rs. Dr. M. Djamil padang. Padang. 2009.
3. Harsono. Epilepsi. Edisi ke-2. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press; 2007. Hal
78-205.
4. Ginsberg L. Epilepsi dalam Lecture notes neurologi. Jakarta: Erlangga;2007. Hal 79-
87.
5. Dewanto G, Suwono W, Turana Y dan Riyanto B. Panduan praktis diagnosis dan tata
laksana penyakit saraf. Jakarta: EGC ; 2009. Hal 73-101.
6. Silbernagl S dan Lang F. Epilepsi dalam Teks dan atlas berwarna patofisiologi.
Jakarta:EGC;2007. Hal 338-9.
7. Sunaryo U. Diagnosis epilepsy. Probolinggo: Bagian Neurologi FK UWK Surabaya
RSUD DR.Moh.Saleh. 2006.
8. Mardjono M dan Sidharta P. Neurologi klinis dasar. Jakarta: Dian Rakyat; 2008. Hal
439-50.
33
Recommended