View
219
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
EVALUASI DRUG THERAPY PROBLEMS PADA PENGOBATAN KASUS TIFOID DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT PANTI RINI
KALASAN SLEMAN PERIODE JULI 2007-JUNI 2008
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Farmasi
Oleh:
Lusia Lero Maya Sari 058114109
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA 2009
i
EVALUASI DRUG THERAPY PROBLEMS PADA PENGOBATAN KASUS TIFOID DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT PANTI RINI
KALASAN SLEMAN PERIODE JULI 2007-JUNI 2008
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Farmasi
Oleh:
Lusia Lero Maya Sari NIM: 058114109
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA 2009
ii
Persetujuan Skripsi
EVALUASI DRUG THERAPY PROBLEMS PADA PENGOBATAN KASUS TIFOID DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT PANTI RINI
KALASAN SLEMAN PERIODE JULI 2007-JUNI 2008
Oleh :
Lusia Lero Maya Sari NIM: 058114109
Skripsi ini telah disetujui oleh:
Pembimbing I,
Pembimbing II,
iii
iv
v
Tuhan, Engkau yang buatku kuat lewati semua Engkau pertolonganku, tempat harapanku Tuhan, kupercaya janji-Mu dalam hidupku
Kau beri kemenangan Tuhan, Kau selalu setia didalam hidupku
Kau berharga bagiku, Kaulah jaminanku dalam hidupku (Maria Shandi)
Kupersembahkan skripsi ini bagi:
Tritunggal Mahakudus
Bapa dan Mama tercinta; Kakak-kakakku tersayang
Sahabat-sahabat yang kukasihi; Komunitas Sant’ Egidio
Almamaterku
vi
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan pada Tuhan Yang Maha Esa, karena
hanya dengan rahmat dan kasih karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan
skripsi yang berjudul “Evaluasi Drug Therapy Problems Pada Pengobatan Kasus
Tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Kalasan Sleman Periode
Juli 2007-Juni 2008” ini dengan baik.
Penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu syarat
memperoleh gelar sarjana farmasi pada program studi Ilmu Farmasi, Jurusan Farmasi,
Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini bukanlah sesuatu hal yang
mudah, banyak pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan sehingga penulis
mampu menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan lancar. Oleh karena itu, penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Maria Wisnu Donowati, M.Si., Apt. selaku dosen pembimbing pertama, yang
telah setia membimbing penulis serta banyak memberikan saran, dan dukungan
dalam proses penyusunan skripsi.
2. dr.Fenty, M.Kes., Sp.PK. selaku dosen pembimbing kedua, yang telah setia
membimbing penulis serta banyak memberikan saran, dan dukungan dalam
proses penyusunan skripsi.
3. Rita Suhadi, M.Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi dan dosen penguji yang
telah memberikan saran dan masukan yang berharga dalam proses penyusunan
skripsi ini.
vii
4. Drs. Mulyono, Apt. selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan
masukan yang berharga dalam proses penyusunan skripsi ini.
5. Direktur Rumah Sakit Panti Rini Kalasan Sleman yang telah memberikan ijin
bagi penulis untuk melakukan penelitian di Rumah Sakit Panti Rini.
6. Kepala dan staf Instalasi Rekam Medik Rumah Sakit Panti Rini Kalasan Sleman
dan para perawat atas bantuan yang diberikan selama penulis melakukan
pengambilan data penelitian.
7. Ayahanda Alexander Bati dan Ibunda Xaveriana Maru tercinta yang telah
membesarkan dan mendidik penulis, selalu memberikan kasih sayang, perhatian,
pengorbanan serta doa yang tulus sepanjang hidup penulis.
8. Saudara dan saudari penulis yang tercinta, Kak Chris, Kak Selvi dan keluarga,
Kak Manzhie, Kak Stevin, Kak Vera dan keluarga, buat semua dukungan,
perhatian, kasih sayang dan doa yang tulus bagi penulis, tanpa kalian semua hidup
penulis terasa tidak berwarna, karena kalian guru hidup terbaik yang penulis
miliki. Penulis sangat bersyukur akan ini semua. Terimakasih kak.
9. Cory selaku teman seperjuangan penulis dalam menghadapi segala tantangan
hidup, terimakasih buat doa, perhatian, dukungan dan persahabatan kita.
10. Bon-bon, Jesmon, Weli, Sisca, Tara, Melda, Fani, Sarah, Flora, yang setia
memberi dukungan, perhatian, pengorbanan untuk mengantarkan dan
meminjamkan penulis buku serta memberikan semangat di kala penulis merasa
patah semangat dan putus asa. Terimakasih teman.
viii
11. Teman-teman kelas B 2005, kelompok praktikum D 2005, dan FKK 2005 selaku
teman-teman seperjuangan di Fakultas Farmasi, terimakasih buat perhatian dan
persahabatan kita selama ini. Perpisahan bukan akhir segalanya. Reuni masih
menanti.
12. Semua teman Kost Canna yang masih bertahan hingga saat ini, Ivon, Widya, Lia,
Mba Nana, Mba Nur, Mba Tinul, Fani dan mereka yang telah pergi Mba Marta
dan Mba Uthe selaku teman penulis, yang setia memberi bantuan di kala penulis
kesulitan, dan yang bisa memberi kegembiraan dalam melewati hari-hari yang
menjemukkan di kost.
13. Keluarga besar Komunitas Sant’ Egidio khususnya di Yogyakarta, selaku sahabat
dan saudara-saudari dari penulis, yang telah mengajarkan makna hidup yang
sebenarnya. Kita semua satu Bapa, tapi beda ayah. Tuhan tahu apa yang kita buat
dan Dia setia menyertai kita. Terimakasih buat semua pengalaman hidup yang
sangat berwarna, layaknya Pelangi.
14. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.
Akhirnya, penulis menyadari bahwa tidak ada yang sempurna di dunia ini.
Keterbatasan pikiran, waktu, dan tenaga membuat penulisan skripsi ini tidak
sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun
agar skripsi ini lebih baik lagi. Akhir kata, semoga skripsi ini bermanfaat untuk
menambah ilmu pengetahuan.
Penulis
ix
x
INTISARI
Tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan oleh bakteri Gram-negatif Salmonella typhi, yang merupakan masalah kesehatan yang penting di berbagai negara yang sedang berkembang dengan angka mortalitasnya >10%. Hal ini terjadi karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan pengobatan. Gejala-gejalanya adalah demam, nyeri kepala, malaise, anoreksia, nausea, mialgia, nyeri perut dan radang tenggorokan.
Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi Drug Therapy Problems (DTPs) pada pengobatan Pasien Tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini dengan melihat profil kasus tifoid berdasarkan distribusi umur dan jenis kelamin; pola pengobatan kasus tifoid yang meliputi kelas terapi, golongan dan jenis obat, mengevaluasi DTPs melalui penelusuran pustaka dengan menggunakan metode Subjective-Objective-Assessment-Rekomendasi dan menggolongkan outcome kasus tifoid. Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental dengan rancangan deskriptif evaluatif yang bersifat retrospektif, dengan menggunakan bahan penelitian yaitu lembar rekam medik kasus tifoid.
Jumlah kasus yang diteliti adalah 45 kasus. Kasus terbanyak adalah kelompok dewasa (17 - <65 tahun) sebanyak 40 kasus (89%), dan jenis kelamin terbanyak perempuan sebanyak 24 kasus (53%). Kelas terapi terbanyak adalah obat antiiinfeksi golongan antibakteri (Tiamfenikol) dan obat gizi dan darah (100%). Jenis DTPs yang terjadi, yaitu: dosis terlalu rendah sebanyak 10 kasus dan potensial interaksi obat sebanyak 28 kasus. Outcome kasus tifoid yaitu sembuh 9 kasus (20%), membaik 34 kasus (76%), dan belum sembuh 2 kasus (4%).
Kata Kunci : Drug Therapy Problems, tifoid
xi
ABSTRACT
Typhoid is an acute systemic infection disease that caused by bacteria gram-negative, Salmonella typhi, which is an important health problem in many developed countries and the mortality is more than 10%. Those things are caused by the lateness of diagnostic, cure and treatment. It’s symptoms are fever, headache, malaise, anorexia, nausea, myalgia, stomach pain and throat inflammation.
The purpose of this research is to evaluate Drug Therapy Problems (DTPs) at the treatment of typhoid patients at instalation ward at Panti Rini Hospital by observation on typhoid case profile based on age distribution and sex, pattern of typhoid treatment case include therapy class, groups and kind of drugs, evaluate DTPs through library research by using Subjective-Objective-Assesment and Recommendation method and classify the outcome of those typhoid case. This research is a non experimental one with descriptive and evaluative design and retrospectifly characterized, by using medical record of typhoid cases as research materials.
This reseach included 45 cases, most of the case came from adults group (17 - <65 years) that are about 40 cases (89%), and the most sex are women about 24 cases (53%). Most of the therapy class are antiinfection drugs, antibacterial groups (Tiamfenikol) and nutrient and blood drugs.
The kind of DTPs that happenned are 10 cases of too low dosage and 28 cases of potential interaction drugs. The outcome of typhoid case are recovered 9 cases (20%), getting better 34 cases (76%) and not yet recovered 2 cases (4%).
Key words : Drug Therapy Problems, typhoid
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL…………………..…………………..………………. ……..
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING…………………………… ……..
HALAMAN PENGESAHAN…...……………..…………………………………
HALAMAN PERSEMBAHAN………………..……………………..…………..
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI..................................
PRAKATA………………..……………………..…… …………………………...
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………………..………………….. ……..
INTISARI………………..……………………..………………………….. ……..
ABSTRACT………………..……………………..…… …………………………...
DAFTAR ISI………………..……………………..……………………….. ……..
DAFTAR TABEL………………..……………………..…………………............
DAFTAR GAMBAR………………..……………………..……………………...
DAFTAR LAMPIRAN………………..……………………..……………………
BAB I. PENDAHULUAN………….……………………………………………..
A. Latar Belakang…………………………………………………………….
1. Perumusan masalah……………………………………………………
2. Keaslian penelitian…………………………………………………….
3. Manfaat penelitian…………………………………………………….
B. Tujuan Penelitian………………………………………………………….
1. Tujuan umum………………………………………………………….
ii
iii
iv
v
vi vii
x
xi
xii
xiii
xvii
xxii
xxiii
1
1
3
3
4
4
4
xiii
2. Tujuan khusus…………………………………………………………
BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA…………………………………….............
A. Tifoid……………………………….……………………………………...
1. Definisi………………………………………………………………...
2. Etiologi………………………………………………………………...
3. Patogenesis………………..…………………………………………...
4. Jalur masuknya bakteri ke dalam tubuh……………….……………....
5. Peran Endotoksin……………………………………………………...
6. Respon Imunologik...…………………………………………………
7. Manifestasi Klinik………………………...…………………………...
8. Diagnosis………………………………………………………………
9. Pencegahan……………………………………………………………
B. Penatalaksanaan Terapi Tifoid…………………………………………….
1. Tatalaksana secara umum……………………………………………..
2. Terapi Antimikrobial………………………………………………….
C. Drug Therapy Problems…………………………………………………..
D. Keterangan Empiris……………………………………………………….
BAB III. METODE PENELITIAN…………………………………..…………...
A. Jenis dan Rancangan Penelitian……………………………………….......
B. Definisi Operasional………………………………………………………
C. Subjek Penelitian………………………………………………………….
5 6
6
6
7
7 8
9
9
10
12
14 15 15 16 22 24 25 25 26 27
xiv
D. Bahan Penelitian…………………………………………………………..
E. Lokasi Penelitian…………………………………………………………..
F. Tata Cara Penelitian……………………………………………………….
1. Tahap perencanaan…….………………………………………………
2. Tahap pengumpulan data…………………………………...……........
3. Tahap penyelesaian data………………………………………………
G. Tata Cara Analisis Hasil…………………………………………………..
H. Kesulitan Penelitian……………………………………………………….
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN…………………………………………
A. Profil Kasus Penderita Tifoid……………………………………………...
1. Berdasarkan distribusi umur…………………………………………..
2. Berdasarkan jenis kelamin………………….…………………………
B. Pola Pengobatan Kasus Penderita Tifoid………………………….………
1. Kelas Terapi Obat…………..…………………………………………
2. Golongan dan Jenis Obat………………………………………….......
a. Obat Antiinfeksi………………………………………………...…
b. Obat yang bekerja pada sistem neuromuskular…………………...
c. Obat yang bekerja pada sistem saluran pencernaan……………….
d. Obat yang bekerja pada sistem saluran pernapasan……………….
e. Obat yang bekerja pada sistem kardiovaskuler…….……………...
f. Obat gizi dan darah……………………………………………......
27 28 28 28 28 29 30 32 33 34 34 35 36 36 38 38 40 41 43 44 45
xv
g. Obat Hormonal…………………………………………………….
h. Obat lain-lain……………………………………………………...
C. Evaluasi Drug Therapy Problems (DTPs)………………………….……..
1. Dosis terlalu rendah…………………………………………………...
2. Interaksi obat…………………………………………………………..
D. Outcome Kasus Penderita Tifoid………………………………………….
E. Rangkuman Pembahasan………………………………………………….
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN…………………………………... …….
A. Kesimpulan………………………………………………………………..
B. Saran………………………………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………… ……..
LAMPIRAN……………………………………………………………………….
BIOGRAFI PENULIS……………………………………………………... ……..
46 47 48 49 50 55 56 59 59 60 61 63 111
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel I Rekomendasi Terapi Antibiotik............................................... 17 Tabel II Kategori dan Penyebab Umum Drug Therapy Problems........ 23 Tabel III Distribusi Kelas Terapi Obat pada kasus penyakit tifoid di
Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini periode Juli 2007-Juni 2008.........................................................................
37
Tabel IV Golongan dan Jenis Obat Antiinfeksi yang Diterima Kasus Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini periode Juli 2007-Juni 2008............................................
38
Tabel V Golongan dan Jenis Obat yang bekerja pada sistem neuromuskular yang Diterima Kasus Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini periode Juli 2007-Juni 2008.........................................................................
40
Tabel VI Golongan dan Jenis Obat yang bekerja pada sistem saluran pencernaan yang Diterima Kasus Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini periode Juli 2007-Juni 2008..........................................................................................
41
Tabel VII Golongan dan Jenis Obat yang bekerja pada sistem saluran pernapasan yang Diterima Kasus Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini periode Juli 2007-Juni 2008..........................................................................................
43
Tabel VIII Golongan dan Jenis Obat yang bekerja pada sistem kardiovaskular yang Diterima Kasus Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini periode Juli 2007-Juni 2008.........................................................................
44
Tabel IX Golongan dan Jenis Obat Gizi dan darah yang Diterima Kasus Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini periode Juli 2007-Juni 2008....................................
45
Tabel X Golongan dan Jenis Obat Hormonal yang Diterima Kasus Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini periode Juli 2007-Juni 2008.............................................
46
Tabel XI Golongan dan Jenis Obat lain-lain yang Diterima Kasus Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini periode Juli 2007-Juni 2008.............................................
47
Tabel XII Kasus DTPs Dosis Terlalu rendah pada Kasus Tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Kalasan Sleman Periode Juli 2007-Juni 2008........................................
49
Tabel XIII Kasus DTPs Interaksi obat pada Kasus Tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Kalasan Sleman Periode Juli 2007-Juni 2008..................................................................
50
xvii
Tabel XIV Kajian DTPs Kasus 1 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007.........................................................................
65
Tabel XV Kajian DTPs Kasus 2 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ........................................................................
66
Tabel XVI Kajian DTPs Kasus 3 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ........................................................................
67
Tabel XVII Kajian DTPs Kasus 4 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ........................................................................
68
Tabel XVIII Kajian DTPs Kasus 5 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ........................................................................
69
Tabel XIX Kajian DTPs Kasus 6 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ........................................................................
70
Tabel XX Kajian DTPs Kasus 7 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ........................................................................
71
Tabel XXI Kajian DTPs Kasus 8 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ........................................................................
72
Tabel XXII Kajian DTPs Kasus 9 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ........................................................................
73
Tabel XXIII Kajian DTPs Kasus 10 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ........................................................................
74
Tabel XXIV Kajian DTPs Kasus 11 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ........................................................................
75
Tabel XXV Kajian DTPs Kasus 12 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ........................................................................
76
Tabel XXVI Kajian DTPs Kasus 13 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ........................................................................
77
Tabel XXVII Kajian DTPs Kasus 14 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ........................................................................
78
xviii
Tabel XXVIII Kajian DTPs Kasus 15 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007.........................................................................
79
Tabel XXIX Kajian DTPs Kasus 16 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ........................................................................
80
Tabel XXX Kajian DTPs Kasus 17 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ........................................................................
81
Tabel XXXI Kajian DTPs Kasus 18 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ........................................................................
82
Tabel XXXII Kajian DTPs Kasus 19 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ........................................................................
83
Tabel XXXIII Kajian DTPs Kasus 20 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ........................................................................
84
Tabel XXXIV Kajian DTPs Kasus 21 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ........................................................................
85
Tabel XXXV Kajian DTPs Kasus 22 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ........................................................................
86
Tabel XXXVI Kajian DTPs Kasus 23 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ........................................................................
87
Tabel XXXVII Kajian DTPs Kasus 24 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ........................................................................
88
Tabel XXXVIII Kajian DTPs Kasus 25 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ........................................................................
89
Tabel XXXIX Kajian DTPs Kasus 26 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ........................................................................
90
Tabel XL Kajian DTPs Kasus 27 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ........................................................................
91
Tabel XLI Kajian DTPs Kasus 28 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ........................................................................
92
xix
Tabel XLII Kajian DTPs Kasus 29 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007.........................................................................
93
Tabel XLIII Kajian DTPs Kasus 30 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ........................................................................
94
Tabel XLIV Kajian DTPs Kasus 31 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ........................................................................
95
Tabel XLV Kajian DTPs Kasus 32 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ........................................................................
96
Tabel XLVI Kajian DTPs Kasus 33 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ........................................................................
97
Tabel XLVII Kajian DTPs Kasus 34 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ........................................................................
98
Tabel XLVIII Kajian DTPs Kasus 35 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ........................................................................
99
Tabel XLIX Kajian DTPs Kasus 36 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ........................................................................
100
Tabel L Kajian DTPs Kasus 37 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ........................................................................
101
Tabel LI Kajian DTPs Kasus 38 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ........................................................................
102
Tabel LII Kajian DTPs Kasus 39 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 .........................................................
103
Tabel LIII Kajian DTPs Kasus 40 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ........................................................................
104
Tabel LIV Kajian DTPs Kasus 41 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ........................................................................
105
Tabel LV Kajian DTPs Kasus 42 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ........................................................................
106
xx
Tabel LVI Kajian DTPs Kasus 43 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ........................................................................
107
Tabel LVII Kajian DTPs Kasus 44 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ........................................................................
108
Tabel LVIII Kajian DTPs Kasus 45 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ........................................................................
109
xxi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Persentase Kasus Penderita Tifoid di Instalasi Rawat Inap
Rumah Sakit Panti Rini Periode Juli 2007-Juni 2008 berdasarkan Distribusi Umur...................................................
35
Gambar 2 Persentase Kasus Penderita Tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Periode Juli 2007-Juni 2008 berdasarkan Jenis Kelamin.......................................................
36
Gambar 3 Persentase Kejadian DTPs pada Pengobatan Tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Periode Juli 2007-Juni 2008.........................................................................
48
Gambar 4 Persentase Kasus Penderita Tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Periode Juli 2007-Juni 2008 berdasarkan Outcome...............................................................
55
xxii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I ABBREVIATIONS………………………….........................…64
Lampiran II Kajian DTPs 45 kasus.........................................................65-109
Lampiran III Surat Keterangan Penelitian di Rumah Sakit Panti Rini
Kalasan Sleman.........................................................................110
xxiii
BAB I
PENGANTAR
A. Latar Belakang
Tifoid atau demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut
yang disebabkan oleh Salmonella typhi (S. typhi). Penyakit ini masih merupakan
masalah kesehatan yang penting di berbagai negara yang sedang berkembang.
Besarnya angka pasti kasus tifoid di dunia ini sangat sukar ditentukan, sebab penyakit
ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang luas. Diperkirakan angka
kejadian dari 150/100.000/tahun di Amerika Selatan dan 900/100.000/tahun di Asia.
Umur penderita yang terkena di Indonesia (daerah endemis) dilaporkan antara 3-19
tahun mencapai 91% kasus demam tifoid dan kultur darah positif demam tifoid
adalah 1026 dari 100.000 kasus per tahun (Soedarmo, Gama, Hadinegoro, Satari,
2008).
Di negara maju, angka mortalitas < 1% sedangkan di negara berkembang,
angka mortalitasnya >10%, umumnya karena keterlambatan diagnosis, perawatan,
dan pengobatan. Di Indonesia, rata-rata kejadian demam tifoid dari 900.000 kasus
pertahun lebih dari 20.000 kasus meninggal dunia (Anonim, 2003a). Munculnya
komplikasi, seperti perforasi gastrointestinal atau pendarahan hebat, meningitis,
endokarditis, dan pneumonia, mengakibatkan morbiditas dan mortalitas tinggi
(Soedarmo et al., 2008).
1
2
Pengobatan demam tifoid dapat dilakukan dengan terapi suportif maupun
terapi antimikrobial. Terapi suportif penting dalam manajemen penyakit demam
tifoid seperti hidrasi oral maupun intravena, penggunaan obat antipiretik, dan
pemberian nutrisi, sedangkan terapi antimikrobial merupakan petunjuk terapetik
untuk pengobatan demam tifoid untuk semua kelompok umur. Dalam hal ini harus
ditekankan, bagaimanapun strategi terapi untuk anak dibawah remaja, seperti
pemilihan antibiotik, penyesuaian dosis dan durasi terapi, boleh jadi berbeda dari
dewasa (Anonim, 2003b).
Ketepatan terapi dalam pengobatan pasien tifoid mendorong dilakukannya
evaluasi terkait penggunaan obat salah satunya dengan melakukan evaluasi DTPs
untuk melihat adanya suatu permasalahan atau kejadian yang tidak diharapkan atau
yang kemungkinan akan dialami pasien selama proses terapi akibat penggunaan obat,
sehingga mengganggu tujuan terapi yang diinginkan (Cipolle, Strand, dan Morley,
2004).
Rumah Sakit Umum Pratama Panti Rini adalah salah satu rumah sakit
swasta yang terletak di Jalan Solo Km.12,5 Tirtomartani, Kalasan Sleman Yogyakarta
55571 yang merupakan cabang dari Rumah Sakit Panti Rapih, yang sebelumnya
bernama Rumah Bersalin dan Balai Pengobatan yang diresmikan menjadi suatu
Rumah Sakit pada tanggal 10 Juni 1993, dengan tujuan untuk meningkatkan
pelayanan kesehatan seluruh warga masyarakat khususnya warga yang berekonomi
lemah yang tinggal di pedesaan kawasan Yogyakarta Timur dan Jawa Tengah bagian
barat Daya (Anonim, 2008a).
3
Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Panti Rini karena penyakit tifoid
termasuk dalam 15 penyakit terbesar yang terjadi di Rumah Sakit Panti Rini, selain
itu belum pernah dilakukan penelitian seperti ini sebelumnya.
1. Perumusan Masalah
Masalah yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah :
a. Seperti apakah profil kasus penderita tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah
Sakit Panti Rini Kalasan Sleman periode Juli 2007-Juni 2008 berdasarkan
distribusi umur dan jenis kelamin?
b. Seperti apakah pola pengobatan kasus penderita tifoid yang meliputi kelas
terapi, golongan dan jenis obat di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti
Rini Kalasan Sleman periode Juli 2007-Juni 2008?
c. Apakah ada DTPs yang meliputi: terapi obat tanpa indikasi, perlu
tambahan terapi obat, obat yang tidak efektif, dosis terlalu rendah, adverse
drug reaction, dosis terlalu tinggi?
d. Seperti apakah outcome kasus tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit
Panti Rini Kalasan Sleman periode Juli 2007-Juni 2008?
2. Keaslian Penelitian
Berdasarkan kajian yang telah dilakukan, evaluasi DTPs pada pengobatan
pasien tifoid di instalasi rawat inap Rumah Sakit Panti Rini Kalasan Sleman periode
bulan Juli 2007 - Juni 2008 belum pernah dilakukan. Penelitian mengenai tifoid yang
pernah dilakukan adalah Kajian Penggunaan Obat Demam Tifoid bagi Pasien Anak di
Rumah Sakit Panti Rapih Periode Januari 2000-Desember 2001 (Triana,2003) dan
4
Evaluasi Penggunaan Obat Pada Pasien Demam Tifoid di Instalasi Rawat Inap RSUP
Dr. Sardjito Yogyakarta Periode Tahun 2004 (Restiarti, 2005). Perbedaan dengan
penelitian ini yaitu dilakukan evaluasi DTPs terhadap pengobatan pasien tifoid di
instalasi rawat inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta bulan Juli 2007-Juni 2008.
3. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Dapat menjadi referensi untuk mendeskripsikan DTPs yang terjadi pada
pengobatan pasien tifoid di Rumah Sakit Panti Rini Kalasan Sleman.
b. Manfaat Praktis
Dapat memberi informasi serta masukan bagi praktek kefarmasian di
Rumah Sakit Panti Rini Kalasan Sleman dalam meningkatkan kualitas
pengobatan pasien tifoid.
B. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Tujuan umum penelitian ini adalah mengevaluasi DTPs pada
pengobatan pasien tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini
Kalasan Sleman.
5
2. Tujuan khusus
a. Mengetahui profil kasus penderita tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah
Sakit Panti Rini Kalasan Sleman periode Juli 2007-Juni 2008 berdasarkan
distribusi umur dan jenis kelamin.
b. Mengetahui pola pengobatan kasus penderita tifoid yang meliputi kelas
terapi, golongan dan jenis obat di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti
Rini Kalasan Sleman periode Juli 2007-Juni 2008.
c. Mengevaluasi DTPs yang meliputi: terapi obat tanpa indikasi, perlu
tambahan terapi obat, obat yang tidak efektif, dosis terlalu rendah, adverse
drug reaction, dosis terlalu tinggi.
d. Mengetahui outcome kasus tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti
Rini Kalasan Sleman periode Juli 2007-Juni 2008.
BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA
A. Tifoid
1. Definisi
Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang
disebabkan oleh Salmonella typhi (S. typhi). Penyakit ini ditandai dengan panas
berkepanjangan, disebabkan adanya bakteremia dan invasi bakteri sekaligus
berkembang biak ke dalam sel fagosit mononuklear dari organ hati, limpa, kelenjar
limfe usus dan Peyer’s patch (Soedarmo et al., 2008). Plak Peyer atau Peyer’s
patch merupakan bercak kecil berbentuk oval yang menonjol pada folikel limfoid
mukosa usus halus yang berkumpul menjadi satu (Kumala, Komala, Santoso,
Sulaiman dan Rienita, 1998).
Beberapa terminologi lain yang erat kaitannya adalah demam paratifoid dan
demam enterik. Demam paratifoid secara patologik maupun klinis adalah sama
dengan demam tifoid namun biasanya lebih ringan, penyakit ini disebabkan oleh
spesies Salmonella enteriditis sedangkan demam enterik dipakai baik pada demam
tifoid maupun demam paratifoid. Demam paratifoid yang disebabkan oleh Salmonella
enteriditis terdiri dari 3 bioserotipe yaitu bioserotipe paratyphi A, paratyphi B (S.
Schotsmuelleri) dan paratyphi C (S. Hirschfeldii) (Soedarmo et al., 2008).
6
7
1. Etiologi
Salmonella typhi sama dengan Salmonela yang lain yang adalah bakteri
Gram-negatif, berbentuk batang, mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak
membentuk spora, fakultatif anaerob (bisa menyesuaikan diri pada keadaan tertentu
yang tidak membutuhkan oksigen). Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari
oligosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein dan envelope antigen
(K) yang terdiri dari polisakarida. Mempunyai makromolekular lipopolisakarida
kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel dan dinamakan endotoksin.
Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid yang berkaitan dengan resistensi
terhadap multipel antibiotik (Soedarmo et al., 2008).
2. Patogenesis
Patogenesis demam tifoid melibatkan empat proses kompleks mengikuti
ingesti organisme yaitu: (1) penempelan dan invasi sel-sel M Peyer’s patch, (2)
bakteri bertahan hidup dan bermultiplikasi di makrofag Peyer’s patch, nodus
limfatikus mesenterikus, dan organ-organ ekstra intestinal sistem retikuloendotelial
(3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah, dan (4) produksi enterotoksin yang
meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan menyebabkan keluarnya
elektrolit dan air ke dalam lumen intestinal (Soedarmo et al., 2008).
Periode inkubasi, gejala, dan keparahan penyakit bergantung pada jumlah
dari organisme. Bahan yang diperlukan dalam inokulasi untuk infeksi diperkirakan
kurang dari 1000 organisme, dan tingkat infeksi ini rendah pada pasien dengan
aklorhidia (pH lambung > 4). Jika organisme melewati barrier asam lambung, invasi
8
mukosal akan dimulai. Setelah penetrasi, terjadi translokasi mikroorganisme pada
folikel limfoid usus dan mesenterik nodus limfa dan juga pada sel-sel
retikuloendotelial dari hati dan limfa, oleh karena itu kemampuan organisme untuk
selamat dan berkembangbiak dalam sel-sel fagositik mononuklear dari folikel
limfoid, hati dan limfa memainkan suatu alur instrumental dalam patogenesis. Ketika
jumlah kritik organisme tercapai, maka bakteri akan dilepaskan dalam aliran darah
dan gejala demam enterik akan ditunjukkan (DiPiro, 2005).
3. Jalur Masuknya Bakteri ke Dalam Tubuh
Bakteri Salmonella typhi bersama makanan/minuman masuk ke dalam tubuh
melalui mulut. Pada saat melewati lambung dengan suasana asam (pH < 2) banyak
bakteri yang mati. Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus. Di usus
halus, bakteri melekat pada sel-sel mukosa dan kemudian menginvasi mukosa dan
menembus dinding usus, tepatnya di ileum dan yeyenum. Sel-sel M, sel epitel khusus
yang melapisi Peyer’s patch, merupakan tempat internalisasi Salmonella typhi.
Bakteri mencapai folikel limfe usus halus, mengikuti aliran ke kelenjar limfe
mesenterika bahkan ada yang melewati sirkulasi sistemik sampai ke jaringan RES di
organ hati dan limpa. S. typhi mengalami multiplikasi di dalam sel fagosit
mononuklear di dalam folikel limfe, kelenjar limfe mesenterika, hati dan limfe.
Setelah melalui periode waktu tertentu (periode inkubasi), yang lamanya
ditentukan oleh jumlah dan virulensi kuman serta respons imun pejamu maka S. typhi
akan ke luar dari habitatnya dan melalui duktus torasikus masuk ke dalam sirkulasi
sistemik. Dengan cara ini organisme dapat mencapai organ manapun, akan tetapi
9
tempat yang disukai oleh S. typhi adalah hati, limpa, sumsum tulang, kandung
empedu dan Peyer’s patch dari ileum terminal. Invasi kandung empedu dapat terjadi
baik secara langsung dari darah atau penyebaran retrograde dari empedu. Ekskresi
organisme di empedu dapat menginvasi ulang dinding usus atau dikeluarkan melalui
tinja (Soedarmo et al., 2008).
4. Peran Endotoksin
Peran endotoksin dalam patogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut
terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui
pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin dari Salmonella typhi menstimulasi
makrofag di dalam hati, limpa, folikel limfoma usus halus dan kelenjar limfe
mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat-zat lain. Produk dari makrofag inilah
yang dapat menimbulkan nekrosis sel, sistem vaskular yang tidak stabil, demam,
depresi sumsum tulang, kelainan pada darah dan juga menstimulasi sistem
imunologik (Soedarmo et al., 2008).
5. Respon Imunologik
Pada demam tifoid terjadi respons imun humoral maupun selular baik di
tingkat lokal (gastrointestinal) maupun sistemik. Akan tetapi bagaimana mekanisme
imunologik ini dalam menimbulkan kekebalan maupun eliminasi terhadap S. typhi
tidak diketahui dengan pasti. Diperkirakan bahwa imunitas seluler lebih berperan.
Penurunan jumlah limfosit T ditemukan pada pasien sakit berat dengan demam tifoid.
Karier memperlihatkan gangguan reaktivitas seluler terhadap antigen Salmonella
serotipe typhi pada uji hambatan migrasi leukosit. Pada karier, sejumlah besar basil
10
virulen melewati usus tiap hatinya dan dikeluarkan dalam tinja, tanpa memasuki
epitel pejamu (Soedarmo et al., 2008)
6. Manifestasi Klinik
Masa inkubasi dapat berlangsung 10-14 hari. Gejala klinis demam tifoid
sangat bervariasi, dari gejala klinis ringan dan tidak memerlukan perawatan khusus
sampai dengan berat sehingga harus di rawat. Variasi gejala ini disebabkan faktor
galur Salmonela, status nutrisi dan imunologik pejamu serta lama sakit dirumahnya.
Semua pasien demam tifoid selalu menderita demam pada awal penyakit.
Pada era pemakaian antibiotik belum seperti saat ini, penampilan demam pada kasus
demam tifoid mempunyai istilah khusus yaitu step-ladder temperature chart (grafik
tahap kenaikan suhu) yang ditandai dengan demam yang dating tiba-tiba, kemudian
naik secara bertahap tiap harinya dan mencapai titik tertinggi pada akhir minggu
pertama, setelah itu demam akan bertahan tinggi dan pada minggu ke-4 demam turun
perlahan secara lisis, kecuali apabila terjadi fokus infeksi seperti kolesistitis, abses
jaringan lunak maka demam akan menetap. Banyak yang melaporkan demam lebih
tinggi saat sore dan malam hari dibandingkan pagi harinya. Pada saat demam tinggi,
pada kasus demam tifoid dapat disertai gejala sistem saraf pusat, seperti kesadaran
berkabut (delirium) atau penurunan kesadaran (obtundasi) mulai apati (tanpa perasaan
atau emosi) sampai koma (Soedarmo et al., 2008).
Gejala sistemik lain yang menyertai timbulnya demam adalah nyeri kepala,
malaise, anoreksia, nausea, mialgia, nyeri perut dan radang tenggorokan (Soedarmo
et al., 2008). Onset gejala berlangsung sedikit demi sedikit. Gejala-gejala nonspesifik
11
yang umum terjadi adalah demam, headache, malaise, anoreksia dan myalgia.
Demam bisa mencapai 104˚F (40˚C). Gejala lain yang ditemukan perasaan dingin
disertai badan menggigil, nausea (rasa tidak nyaman pada lambung dan perut),
muntah, batuk, kelelahan, dan sakit tenggorokan. Gejala-gejala akan turun secara
perlahan dalam 4 minggu (DiPiro, 2005).
Pada kasus klinis yang berat, pada saat demam tinggi akan tampak sakit
berat. Bahkan dapat dijumpai penderita demam tifoid yang datang dengan syok
hipovolemik sebagai akibat kurang masukan cairan dan makanan. Gejala
gastrointestinal pada kasus demam tifoid sangat bervariasi. Pemeriksaan fisik sangat
penting dilakukan. Pasien dapat mengeluh diare, obstipasi dan pada sebagian pasien
lidah tampak kotor dengan putih ditengah sedang tepi dan ujungnya kemerahan.
Kadang pula dijumpai rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah
dengan ukuran 1-5 mm, yang dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas dan
punggung pada orang kulit putih. Sering pula bronkitis, dan bradikardia yang sering
terjadi pada orang dewasa dan relatif jarang dijumpai pada anak-anak (Soedarmo et
al., 2008).
Hepatomegali (pembesaran hati), splenomegali (pembesaran limpa) atau
anemia normokromik kadang juga ditemukan. Leukopenia merefleksikan penurunan
relatif leukosit polimorfonuklear. Jumlah sel darah putih berada dalam rentang dari
1.200-20.000 sel/mm3. Satu dari tiga pasien menunjukan peningkatan jumlah enzim-
enzim hati dan alkalin fosfatase dalam serum (DiPiro, 2005).
12
7. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis berupa demam, gangguan
gastrointestinal dan mungkin disertai perubahan atau gangguan kesadaran, dengan
kriteria ini maka seorang klinisi dapat membuat diagnosis tersangka demam tifoid.
Diagnosis pasti ditegakkan melalui isolasi Salmonella typhi dari darah. Pada dua
minggu pertama sakit, kemungkinan mengisolasi S. typhi dari dalam darah pasien
lebih besar dari pada minggu berikutnya. Biakan yang dilakukan pada urin dan feses,
kemungkinan keberhasilan lebih kecil. Biakan spesimen yang berasal dari aspirasi
sumsum tulang mempunyai sensitivitas tertinggi, hasil positif didapat pada 90%
kasus. Akan tetapi prosedur ini sangat invasif, sehingga tidak dipakai dalam praktek
sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan biakan spesimen empedu yang
diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik (Soedarmo et al.,
2008).
Uji serologi Widal suatu metode serologik yang memeriksa antibodi
aglutinasi terhadap antigen somatik (O) dan flagela (H) yang banyak dipakai untuk
membuat diagnosis demam tifoid. Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin
≥ 1/40 dengan memakai uji Widal slide agglutination (prosedur pemeriksaan
membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal positif 96%. Artinya apabila
hasil tes positif, 96% kasus benar sakit demam tifoid, akan tetapi apabila negatif tidak
menyingkirkan dugaan tersebut. Pusat penelitian kesehatan menyepakati, apabila titer
O aglutinin sekali periksa ≥ 1/200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali
maka diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan dengan
13
paska imunisasi atau infeksi masa lampau, sedang Vi agglutinin dipakai pada deteksi
pembawa kuman (karier) S. typhi (Soedarmo et al., 2008).
Banyak peneliti mengemukakan bahwa uji serologik Widal kurang dapat
dipercaya sebab dapat timbul positif palsu pada daerah endemis, dan sebaliknya dapat
timbul negatif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif
(Soedarmo et al., 2008).
Uji serologik Widal memiliki moderate sensitifitas dan spesifisitas. Hasil
negatif yang ditimbulkan bisa dikarenakan penggunaan terapi antibiotik sebelumnya.
Di sisi lain, ikatan antara antigen O dan H dari S. typhi dengan serotipe Salmonela
lainnya dan adanya reaksi silang epitop dengan Enterobacteriacae yang dapat
menyebabkan hasil positif palsu. Uji ini masih digunakan, mengingat metode
diagnostik lain sangat mahal (Anonim, 2003a).
Akhir-akhir ini banyak dimunculkan beberapa jenis pemeriksaan untuk
mendeteksi antibodi S. typhi dalam serum, antigen terhadap S. typhi dalam darah,
serum dan urin bahkan DNA S. typhi dalam darah dan feses. Polymerase chain
reaction telah digunakan untuk memperbanyak gen Salmonella serotipe typhi secara
spesifik pada darah pasien dan hasil dapat diperoleh hanya dalam beberapa jam.
Metode ini spesifik dan lebih sensitif dibandingkan dengan biakan darah, walaupun
laporan-laporan pendahuluan menunjukkan hasil yang baik namun sampai sekarang
tidak salah satupun dipakai secara luas (Soedarmo et al., 2008).
Tes diagnostik baru yang sedang berkembang yang dengan cepat, mudah
dan dapat dipercaya dibandingkan tes Widal dan slide-aglutinasi untuk demam tifoid
14
adalah tes IDL Tubex®, yang dapat mendeteksi antibodi IgM O9 dalam beberapa
menit. IDL Tubex® mempunyai sensitivitas dan spesifisitas >95% mendeteksi S.
typhi. Sensitivitas ditunjukkan dengan pemisahan partikel yang terwarnai secara
cepat didalam larutan dan spesifisitas ditunjukkan dengan pendeteksian antibodi
hanya dari satu antigen tunggal S. typhi. Antigen O9 spesifik, karena hanya
ditemukan dalam serogrup salmonella D tapi tidak pada organisme lainnya. Antigen
O9 mampu menstimulasi sel B tanpa bantuan sel T dan konsekuensinya respon anti-
O9 berlangsung dengan cepat. Selain itu juga terdapat tes Typhidot® yang mampu
mendeteksi antibodi spesifik IgM dan IgG yang melawan antigen S. typhi (Anonim,
2003a).
8. Pencegahan
Secara umum, untuk memperkecil kemungkinan tercemar Salmonella typhi,
maka setiap individu harus memperlihatkan kualitas makanan dan minuman yang
mereka konsumsi. S. typhi di dalam air akan mati apabila dipanasi setinggi 57˚C
untuk beberapa menit atau dengan proses iodinasi/klorinasi.
Untuk makanan, pemanasan sampai suhu 57˚C beberapa menit secara
merata juga dapat mematikan kuman S. typhi. Penurunan endemisitas suatu negara /
daerah tergantung pada baik buruknya pengadaan sarana air dan pengaturan
pembuangan sampah serta tingkat kesadaran individu terhadap higiene pribadi. Pada
anak, imunisasi aktif dapat membantu menekan angka kejadian demam tifoid
(Soedarmo et al., 2008).
15
B. Penatalaksanaan Terapi Tifoid
1. Tatalaksana secara umum
Dalam menyeleksi terapi antimikrobial didasarkan pada beberapa faktor
yaitu sebagai berikut :
a. Menentukan dengan jelas cara penyebaran infeksi yang dapat menyebabkan
beberapa tingkatan penyakit (misalnya keparahan penyakit, penyakit autoimun).
b. Identifikasi bagian yang terinfeksi.
c. Secara langsung tanda dan gejala oleh dokter menjadi sumber yang penting.
Karena beberapa patogen yang diketahui berhubungan dengan bagian yang
terinfeksi, dengan terapi dapat secara langsung melawan organisme tersebut.
d. Tambahan tes laboratorium, meliputi bakteri gram positif atau negatif (bintik
gram), serologi, dan tes kepekaan antimikrobial, secara umum mengidentifikasi
patogen utama.
e. Meskipun beberapa antimikrobial secara potensial dapat dipertimbangkan,
spektrum aktifitasnya, kemanjuran secara klinik, profil efek samping, disposisi
farmakokinetik dan pertimbangan harga akhirnya merupakan pedoman untuk
pemilihan terapi.
f. Setiap agen obat yang dipilih, dosisnya harus didasarkan pada berat badan pasien,
bagian yang terinfeksi, rute eliminasi dan faktor-faktor lainnya (Kimble et al.,
2005).
Terapi suportif penting didalam tatalaksana demam tifoid, seperti hidrasi
oral atau intravena, penggunaan obat antipiretik, dan pemenuhan kebutuhan nutrisi
16
dan transfusi darah jika diperlukan. Lebih dari 90% pasien dapat diobati di rumah
dengan antibiotika oral, perawatan yang terpercaya, dan tindakan lanjutan pengobatan
untuk komplikasi atau kegagalan respon terapi. Bagaimanapun, pasien yang muntah
terus menerus, diare berat dan distensi abdominal membutuhkan perawatan di rumah
sakit dan terapi antibiotik secara parenteral (Anonim,2003a).
Untuk beberapa kasus berat harus dirawat di rumah sakit agar pemenuhan
cairan, elektrolit serta nutrisi disamping observasi kemungkinan timbul komplikasi
dapat dilakukan dengan seksama (Soedarmo et al., 2008).
2. Terapi Antimikrobial
Kemanjuran, ketersediaan dan harga adalah kriteria penting dalam
menyeleksi antibiotika lini pertama yang digunakan di negara-negara berkembang.
Perlu ditekankan bahwa strategi terapi untuk anak, seperti pemilihan antibiotik,
pengaturan dosis dan durasi terapi boleh jadi berbeda dengan dewasa (Anonim,
2003a).
Demam enterik yang disebabkan oleh serotipe typhi disebut demam tifoid,
namun bila disebabkan oleh serotipe lainnya, ini diartikan sebagai demam paratifoid.
Berikut adalah rekomendasi terapi antibiotik untuk demam enterik (tifoid maupun
paratifoid) menurut DiPiro (2005).
17
Tabel I. Rekomendasi Terapi Antibiotik
Bakteri patogen Agen lini pertama Agen alternatif Salmonela Demam enterik Siprofloksasin 500 mg secara
oral dua kali sehari selama 3-14 hari (ofloksasin dan pefloksasin memiliki kemanjuran yang sama)
Azitromisin 1000 mg secara oral sehari, diikuti 500 mg sehari selama 5 hari; atau sefiksim, sefotaksim, dan sefurok-sim; atau kloramfenikol 500 mg empat kali sehari secara oral atau IV selama 14 hari
a. Flurokuinolon
Fluorokuinolon merupakan golongan kuinolon terbaru yang memiliki cincin
piperazin yang berdekatan dengan substituen 6-fluoro yang mampu meningkatkan
aktivitas melawan bakteri gram negatif. Fluorokuinolon bekerja dengan menghambat
DNA girase sehingga menghambat lepasnya untai-untai DNA yang terbuka pada
proses superkoil (Neal, 2005).
Fluorokuinolon penetrasi mencapai jaringan, membunuh Salmonella typhi
pada tingkat stasioner intraseluler didalam monosit/makrofag dan mencapai
konsentrasi zat aktif yang lebih tinggi dalam kantung empedu daripada obat-obat
lainnya. Fluorokuinolon menghasilkan respon terapetik yang cepat, seperti
menghilangkan demam dan gejala-gejala dalam 3-5 hari, dan rendahnya laju karier
setelah pengobatan (Anonim,2003a).
Fluorokuinolon secara luas dianggap optimal untuk mengobati demam tifoid
pada dewasa. Golongan ini relatif murah, ditoleransi dengan baik dan lebih cepat dan
terpercaya efektif daripada obat-obat lini pertama, seperti kloramfenikol, ampisilin,
amoksisilin dan trimetoprim-sulfametoksazol. Kebanyakan isolat masih sensitif.
18
Bagaimanapun kelompok organisme dalam spesies (strains) yang multi drug resistant
(MDR), menurunkan pemilihan antibiotik di banyak daerah. Ada dua kategori
resisten obat yaitu: resisten terhadap antibiotik seperti kloramfenikol, ampisilin dan
trimetoprim-sulfametoksazol (MDR strains) dan resisten terhadap obat-obat
fluorokuinolon. Beberapa daerah di Asia juga melaporkan adanya isolat yang resisten
terhadap sefalosporin generasi ketiga.
Keberadaan fluorokuinolon (ofloksasin, siprofloksasin, fleroksasin,
perfloksasin, pefloksasin) sangat aktif dan kemanjurannya juga sama (kecuali
norfloksasin yang bioavailabilitas oral tidak adekuat dan tidak digunakan pada
demam tifoid). Siprofloksasin, ofloksasin, perfloksasin, dan fleroksasin secara umum
efektif, selain itu siprofloksasin, ofloksasin dan perfloksassin juga tersedia untuk
penggunaan intravena (Anonim,2003a).
b. Kloramfenikol
Kloramfenikol masih merupakan lini pertama pada pengobatan penderita
demam tifoid. Kloramfenikol memiliki aktifitas antimikrobial yang luas, menghambat
bakteri aerob dan anaerob gram positif dan gram negatif, juga bersifat bakteriostatik
terhadap Enterobacteriaceae sedangkan Salmonella typhi termasuk dalam famili ini.
Kloramfenikol bekerja dengan cara menghambat aktivitas peptidil transferase dari
subunit ribosom 50S yang berperan dalam sintesis protein bakteri (Brody, et al.,
1994).
Dosis yang dianjurkan untuk dewasa adalah 500 mg yang diberikan empat
kali dalam sehari selama 10-14 hari atau sampai 5-7 hari setelah demam turun.
19
Kelemahan penggunaan kloramfenikol adalah tingginya angka kejang, waktu
pengobatan yang lama (10-14 hari) dan frekuensi penemuan tingkat karier pada
dewasa (Anonim,2003a). Di Indonesia beredar pula dengan nama Tiamfenikol
(Anonim, 2000).
c. Penisilin
Golongan penisilin bekerja dengan mekanisme aksi menghambat sintesis
atau merusak dinding sel bakteri. Dalam terapi demam tifoid, jenis obat ampisilin dan
amoksisilin (sering disebut golongan aminopenisilin) juga digunakan, karena aktif
melawan bakteri gram positif dan bakteri gram negatif termasuk spesies Salmonella
(Brody, et al., 1994).
Dosisnya 50-100 mg/kgBB/hari secara oral, intramuskular, atau intravena
yang terbagi dalam tiga atau empat dosis. Ampisilin memberikan respons perbaikan
klinis yang kurang apabila dibandingkan Kloramfenikol (Anonim,2003a). Dosis
amoksisilin untuk dewasa diberikan 250-500 mg setiap 8 jam atau 500-875 mg dua
kali sehari. Dosis ampisilin dewasa peroral yaitu 250-500 mg tiap 6 jam (Lacy, et al.,
2006).
d. Trimetoprim-sulfametoksazol
Kombinasi Trimetoprim-sulfametoksazol merupakan obat yang efektif
melawan infeksi saluran kemih, pernapasan dan gastrointestinal, namun juga
merupakan terapi efektif dalam melawan infeksi Salmonella sistemik (tifoid).
Trimetoprim bekerja dengan menghambat enzim dihidrofolat reduktase yang
berperan dalam sintesis asam nukleat bakteri. Bersama sulfametoksasol menghasilkan
20
aksi yang sinergistik dan meningkatkan aktifitas melawan bakteri tertentu (Brody, et
al., 1994).
Trimetoprim-sulfametoksazol (TMP-SMZ) digunakan secara oral atau
intravena pada dewasa dengan dosis 160 mg TMP ditambah 800 mg SMZ dua kali
sehari atau pada anak-anak 4 mg TMP/kg dan 20 mg SMZ/kg selama 14 hari
(Anonim,2003a).
e. Sefalosporin
Sefalosporin terdiri dari empat generasi atau turunan sebagai berikut:
(i) Sefalosporin generasi satu
Aktif melawan bakteri gram positif dan beberapa bakteri gram negatif.
Termasuk di dalamnya adalah obat sefalotin, sefazolin, sefadroksil,
sefaleksin, sefprozil, sefradin dan lorakarbef.
(ii) Sefalosporin generasi kedua
Aktif melawan bakteri gram positif namun lebih banyak gram negatif.
Termasuk didalamnya adalah obat sefamandol, sefuroksim, sefonisid,
sefoksitin, dan sefotetan.
(iii) Sefalosporin generasi ketiga
Aktif melawan bakteri gram negatif tapi kurang melawan bakteri gram
positif. Termasuk didalamnya adalah obat sefotaksim, seftriakson, sefiksim,
seftrisoksim, sefoperazon, seftazidim (Brody, et al., 1994).
21
(iv) Sefalosporin generasi keempat
Aktif melawan bakteri aerob gram negatif. Bila digabungkan dengan
sefalosporin generasi ketiga akan meningkatkan stabilitas dari hidrolisis
oleh plasmid dan kromosomal yang diperantarai β-laktamase. Termasuk
didalamnya adalah obat sefepim (Limbird, H., Ruddon, M., Gilman, 1996).
Mekanisme aksi sefalosporin yaitu dengan menghambat sintesis dinding sel
bakteri. Sefalosporin generasi ketiga (seperti seftriakson, sefiksim, sefotaksim, dan
sefoperazol) dan azitromisin juga obat yang efektif untuk tifoid (DiPiro, 2005).
Sefalosporin generasi ketiga yang digunakan biasanya Sefiksim oral (15-20
mg/kg/hari untuk dewasa, 100-200 mg dua kali sehari), obat lain seperti sefodoksim
juga baik melawan demam tifoid (Anonim,2003a).
Jika antibiotik intravena dibutuhkan, seperti golongan sefalosporin dapat
diberikan dengan dosis sebagai berikut: seftriakson, 50-70 mg/kg/hari (2-4 gram/hari
untuk dewasa) dalam satu atau dua dosis; sefotaksim, 40-80 mg/kg/hari (2-4
gram/hari untuk dewasa) dalam dua atau tiga dosis; sefoperazon, 50-100 mg/kg/hari
(2-4 gram/hari untuk dewasa) dalam dua dosis (Anonim,2003a).
f. Azitromisin
Azitromisin termasuk golongan makrolida yang bekerja dengan cara
menghambat sintesis protein bakteri karena berikatan dengan subunit 50S dan
menghambat proses translokasi (Neal, 2005).
Azitromisin dosis 500 mg (10 mg/kg) diberikan satu kali sehari selama 7
hari juga efektif mengobati demam tifoid pada dewasa dan anak-anak dengan
22
menurunkan demam dengan waktu yang sama dengan kloramfenikol. Dosis 1 gram
perhari selama 5 hari juga efektif bagi dewasa (Anonim,2003a).
Dewasa dan anak-anak dengan demam enterik yang berat ditandai dengan
delirium, obtundation, stupor, koma atau syok diberikan deksametason 1 mg/kg
setiap 6 jam untuk 24 atau 48 jam (DiPiro, 2005). .
Tiga macam vaksin melawan S.typhi yang telah dilisensi oleh negara
Amerika Serikat adalah: vaksin parenteral heat-phenol-inactivated (vaksin
tifoid,USP), vaksin oral (Ty21a, Vivotif Berna) dan vaksin polisakarida parenteral
(ViCPS, Typhim Vi). Ketiga vaksin ini mampu menjaga imunitas selama 3-5 tahun.
Vaksin parenteral inaktif lebih banyak sebabkan efek samping dibandingkan dua
vaksin lainnya namun perlindungannya bisa lebih lama. Vaksin Ty21a dan Vi
direkomendasikan bagi para pengunjung di daerah penyakit endemic dan kelompok
resiko tinggi (DiPiro, 2005).
C. Drug Therapy Problems (DTPs)
Identifikasi Drug Therapy Problems merupakan fokus penentuan dan
keputusan akhir yang dibuat dalam tahapan proses pelayanan pasien. Drug Therapy
Problems merupakan konsekuensi dari kebutuhan akan obat yang kurang tepat, yang
juga merupakan pusat dalam pharmaceutical care practice. Drug Therapy Problems
adalah suatu permasalahan atau kejadian yang tidak diharapkan atau yang
kemungkinan akan dialami pasien selama proses terapi akibat penggunaan obat,
sehingga mengganggu tujuan terapi yang diinginkan. Setiap praktisi tenaga kesehatan
23
bertanggungjawab untuk membantu pasien yang memerlukan tenaga profesional
dalam hal mengidentifikasi, mencegah dan menyelesaikan masalah yang dialami
pasien. Identifikasi Drug Therapy Problems merupakan pharmaceutical care yang
membuat diagnosis medis untuk pelayanan medis (Cipolle, Strand dan Moley, 2004).
Tabel II. Kategori dan Penyebab Umum Drug Therapy Problems (DTPs) (Cipolle, et.al., 2004)
No. Jenis DTPs Penyebab Umum DTPs
1 Unnecessary drug therapy
• Tidak adanya indikasi medis yang valid untuk terapi obat yang digunakan saat itu • Banyaknya produk obat yang digunakan untuk kondisi yang hanya membutuhkan
terapi obat tunggal • Kondisi medis lebih sesuai diobati tanpa terapi obat • Terapi obat diberikan untuk mengobati adverse reaction yang dihubungkan
dengan obat lain • Penyalahgunaan obat, merokok, dan penggunaan alkohol dapat menjadi masalah
2 Need for additional drug therapy
• Kondisi medis membutuhkan terapi obat pada awalnya • Pencegahan terapi obat dibutuhkan untuk mengurangi resiko berkembangnya
kondisi baru • Kondisi medis membutuhkan farmakoterapi tambahan untuk mencapai efek
sinergis atau adiktif
3 Ineffective drug
• Obat yang digunakan tidak lebih efektif untuk mengatasi masalah medis • Kondisi medis yang sukar disembuhkan dengan produk obat • Bentuk sediaan dari produk obat yang tidak tepat • Produk obat bukanlah produk yang efektif untuk indikasi yang dialami
4 Dosage too low
• Dosis terlalu rendah untuk menghasilkan respon yang diinginkan • Interval dosis terlalu rendah untuk menghasilkan respon yang diinginkan • Interaksi obat menurunkan jumlah zat aktif yang tersedia • Durasi terapi obat yang terlalu pendek untuk menghasilkan respon yang
diinginkan
5 Adverse drug reaction
• Produk obat menyebabkan reaksi yang tidak diinginkan yang tidak berhubungan dengan besarnya dosis
• Produk obat yang lebih aman diperlukan terhadap faktor resiko • Interaksi obat menyebabkan reaksi yang tidak diinginkan yang tidak
berhubungan dengan besarnya dosis • Cara pengaturan frekuensi dan jumlah obat (dosage regimen) yang terlalu cepat
untuk diberikan atau terlalu cepat berubah • Produk obat menyebabkan reaksi alergi • Produk obat cenderung kontraindikasi dengan faktor resiko
6 Dosage too high
• Dosis terlalu besar • Frekuensi pemakaian obat terlalu singkat • Durasi terapi obat terlalu panjang • Terjadi interaksi obat yang menghasilkan reaksi toksik dari produk obat • Dosis obat diberikan terlalu cepat
7 Noncompliance
• Pasien tidak mengerti akan perintah • Pasien memilih untuk tidak menggunakan obat • Pasien lupa untuk menggunakan obat • Produk obat terlalu mahal untuk pasien • Pasien tidak dapat menelan atau memakai sendiri obat secara tepat • Produk obat tidak tersedia untuk pasien
24
Untuk mengidentifikasi, menentukan dan mencegah terjadinya Drug
Therapy Problems, seorang praktisi kesehatan harus mengerti bagaimana Drug
Therapy Problems dapat muncul pada proses pengobatan pasien. Pasien yang
mengalami Drug Therapy Problems biasanya mempunyai tiga komponen utama,
yaitu :
a. Peristiwa yang tidak diinginkan atau resiko terhadap terapi yang diterima pasien
b. Terapi obat (obat dan/atau regimen dosis)
c. Hubungan yang terjadi (atau kemungkinan terjadi) antara peristiwa yang tidak
diinginkan pasien dengan terapi obat (Cipolle et al., 2004).
D. Keterangan Empiris
Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi DTPs yaitu tidak butuh terapi
obat (unnecessary drug therapy), butuh tambahan terapi obat (need for additional
drug therapy), obat yang tidak efektif (ineffective drug), dosis terlalu rendah (dosage
too low), efek obat merugikan (adverse drug reaction), dan dosis terlalu tinggi
(dosage too high) pada pengobatan pasien tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit
Panti Rini periode bulan Juli 2007- Juni 2008.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan rancangan penelitian
Penelitian mengenai Evaluasi Kejadian DTPs pada pengobatan Pasien
Tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Periode Juli 2007 - Juni 2008
merupakan penelitian non eksperimental dengan rancangan deskriptif evaluatif yang
bersifat retrospektif. Penelitian non eksperimental merupakan penelitian yang
observasinya dilakukan terhadap sejumlah ciri (variabel) subjek menurut keadaan apa
adanya (in nature), tanpa adanya manipulasi atau intervensi peneliti (Pratiknya,
2001). Rancangan penelitian deskriptif evaluatif karena penelitian hanya bertujuan
melakukan eksplorasi deskriptif atau membuat gambaran atau deskripsi tentang suatu
keadaan secara objektif, kemudian melakukan penilaian terhadap gambaran tersebut
(Notoatmodjo, 2005) kemudian mengevaluasi data dari lembaran rekam medik
berdasarkan studi pustaka kemudian dijabarkan dalam bentuk tabel. Penelitian ini
menggunakan data secara retrospektif dengan melakukan penelusuran dokumen
terdahulu, yaitu melalui lembar rekam medik pasien tifoid di Instalasi Rawat Inap
Rumah Sakit Panti Rini periode Juli 2007- Juni 2008.
25
26
B. Definisi Operasional
1. Demam tifoid atau tifoid adalah yang menunjukkan tes Widal positif tifoid atau
paratifoid atau keduanya atau dengan kata lain berdasarkan diagnosa dokter
positif tifoid atau paratifoid atau keduanya.
2. Profil kasus penderita tifoid meliputi distribusi umur dan jenis kelamin.
3. Pola pengobatan kasus penderita tifoid digambarkan melalui kelas terapi obat,
golongan dan jenis obat yang digunakan berdasarkan buku acuan Informatorium
Obat Nasional Indonesia 2000 dan MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi Edisi 7,
2007/2008.
4. Drug Therapy Problems (DTPs) adalah suatu keadaan yang tidak diinginkan yang
dialami oleh pasien yang berkaitan dengan penggunaan obat sehingga dapat
mengganggu tercapainya tujuan terapi. DTPs dalam penelitian ini meliputi tidak
butuh terapi obat, butuh tambahan terapi obat, obat yang tidak efektif, dosis
terlalu rendah, efek obat merugikan dan interaksi obat, dan dosis terlalu tinggi.
Interaksi obat diklasifikasikan menurut Cipolle,et al (1998).
5. Outcome adalah gambaran keadaan pasien saat meninggalkan Rumah Sakit Panti
Rini Kalasan Sleman setelah di rawat inap. Sembuh menunjukkan bahwa kasus
meninggalkan rumah sakit setelah melewati masalah-masalah perawatan pada
saat kasus dirawat atau dengan keadaan tidak lagi menunjukkan gejala-gejala
penyakit dan keluhan-keluhan. Membaik menunjukkan bahwa kasus
meninggalkan rumah sakit dengan keadaan yang sudah cukup baik, walaupun
masih ada beberapa gejala yang belum pulih secara total. Belum sembuh
27
menunjukkan bahwa kasus meninggalkan rumah sakit dengan keadaan belum
pulih, yang mana masalah-masalah perawatan belum tertangani secara tuntas,
sebagai contoh karena keinginan kasus ataupun keluarga untuk meninggalkan
rumah sakit secepat mungkin.
6. Lembar rekam medik adalah catatan medik pasien yang berisi tentang data nomor
rekam medik, umur, jenis kelamin, diagnosis masuk, diagnosis utama, diagnosis
lain, riwayat sakit pasien, riwayat alergi, lama perawatan, instruksi dokter, catatan
keperawatan, catatan penggunaan obat yang meliputi jenis obat, dosis obat, aturan
pakai obat yang diberikan selama terapi, dan hasil laboratorium yang didapatkan
di bagaian rekam medik Rumah Sakit Panti Rini Kalasan Sleman.
C. Subyek Penelitian
Subyek penelitian yang digunakan adalah kasus dengan kategori remaja
hingga geriatri yaitu yang berumur diatas 11 tahun yang di rawat di instalasi rawat
inap Rumah Sakit Panti Rini Kalasan Sleman pada periode Juli 2007 - Juni 2008.
D. Bahan Penelitian
Bahan penelitian yang digunakan adalah lembar rekam medik kasus tifoid
atau demam tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Kalasan Sleman
pada periode Juli 2007 - Juni 2008.
28
E. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Instalasi Rekam Medik Rumah Sakit Panti Rini,
Jalan Solo Km. 12,5 Tirtomartani Kalasan Sleman Yogyakarta.
F. Tata Cara Penelitian
Ada tiga tahapan yang dijalani dalam penelitian ini, yaitu tahap
perencanaan, tahap pengumpulan data dan tahap penyelesaian data.
1. Tahap perencanaan
Pada tahap ini dimulai dengan menentukan dan menganalisis masalah yang
akan digunakan sebagai bahan penelitian, kemudian dilakukan analisis situasi yaitu
survei jumlah kasus tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Kalasan
Sleman pada periode Juli 2007 - Juni 2008 dan mengurus perijinan untuk melihat data
rekam medik kasus tersebut.
2. Tahap pengumpulan data
Pada tahap pengumpulan data diawali dengan melakukan penelusuran data
kasus tifoid selama periode Juli 2007-Juni 2008 kemudian dilakukan pengumpulan
data rekam medik dan mencatat data kedalam lembar laporan.
a. Proses pencarian data diperoleh dengan melihat laporan instalasi rekam medik,
yang memuat laporan mengenai jumlah kasus tifoid pada Instalasi Rawat Inap
Rumah Sakit Panti Rini periode Juli 2007-Juni 2008. Selanjutnya dilakukan
pengambilan data dari lembar rekam medik.
29
b. Pencatatan data kedalam lembar laporan dilakukan dengan melihat data yang
tertera pada data rekam medik kasus tifoid tersebut. Data yang diambil meliputi
data nomor rekam medik, umur, jenis kelamin, diagnosis masuk, diagnosis
utama, diagnosis lain, riwayat sakit pasien, riwayat alergi, lama perawatan,
instruksi dokter, catatan keperawatan, catatan penggunaan obat yang meliputi
jenis obat, dosis obat, rute pemakaian obat, aturan pakai obat yang diberikan
selama terapi, dan hasil laboratorium.
3. Tahap Penyelesaian data
a. Pengolahan data
Data yang diperoleh kemudian disajikan dalam bentuk tabel umum dengan
beberapa keterangan yang meliputi keterangan identitas kasus terkait umur,
jenis kelamin, diagnosis, keluhan masuk, lama perawatan, nama dan dosis
obat, lama pemakaian obat dan outcome kasus tifoid. Dari tabel ini
kemudian disajikan dalam bentuk diagram yang menampilkan distribusi
umur, jenis kelamin, dan outcome kasus. Kemudian pola pengobatan kasus
tifoid yang meliputi distribusi kelas terapi, golongan dan jenis obat serta
evaluasi mengenai Drug Therapy Problems yang dijabarkan menggunakan
metode Subjective, Objective, Assessment and Recommendation disajikan
dalam bentuk tabel.
b. Evaluasi data
Pola pengobatan kasus tifoid yang meliputi distribusi kelas terapi, golongan
dan jenis obat digambarkan berdasarkan buku acuan Informatorium Obat
30
Nasional Indonesia 2000 dan MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi Edisi 7,
2007/2008. Evaluasi pengobatan tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit
Panti Rini dilakukan dengan mengidentifikasi Drug Therapy Problems
(DTPs) yang terjadi berdasarkan penelusuran pustaka Drug Information
Handbook 14th edition (Lacy et.al., 2006), British National Formulary 48,
Drug Interaction Fact (Tatro, 2006), Informatorium Obat Nasional
Indonesia 2000 dan MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi Edisi 7,
2007/2008. Evaluasi dilakukan secara kasus per kasus.
G. Tata Cara Analisis Hasil
Untuk tata cara analisis hasil dilakukan sebagai berikut :
1. Profil kasus penderita tifoid
a. Persentase distribusi umur kasus dikategorikan ke dalam tiga kelompok
yaitu kelompok remaja (12-16 tahun), dewasa (17 - < 65 tahun) dan geriatri
(≥ 65 tahun), yang dihitung dengan cara membagi jumlah kasus pada tiap
kelompok usia dengan jumlah keseluruhan kasus kemudian dikalikan 100%.
b. Persentase jenis kelamin dikelompokkan menjadi jenis kelamin laki-laki dan
perempuan, dihitung dengan cara membagi antara jumlah kasus pada tiap
kelompok jenis kelamin dengan jumlah keseluruhan kasus kemudian
dikalikan 100%.
31
2. Pola pengobatan kasus tifoid
a. Persentase kelas terapi obat dikelompokkan menjadi delapan kelas terapi,
dihitung dengan cara membagi antara jumlah kasus yang mendapat obat
pada kelas terapi tertentu dengan jumlah keseluruhan kasus dalam penelitian
kemudian dikalikan 100%.
b. Persentase jenis obat yang digunakan pada masing-masing kelas terapi
dihitung dengan cara membagi antara jumlah kasus pada tiap jenis zat aktif
dalam kelas terapi tertentu dengan jumlah keseluruhan kasus yang
mendapat jenis obat pada kelas terapi tersebut kemudian dikalikan 100%.
3. Evaluasi Drug Therapy Problems (DTPs) diawali dengan penghitungan
persentase terjadinya DTPs dan tidak terjadinya DTPs dari keseluruhan kasus
yang dianalisis kemudian dilakukan pembahasan masing-masing kasus dengan
menggunakan metode Subjective, Objective, Assessment and Recommendation
karena penelitian bersifat retrospektif. Bagian Subjective diterangkan mengenai
jenis kelamin, usia, diagnosis masuk, diagnosis utama, diagnosis lain (bila ada),
keluhan utama, penyakit yang pernah diderita, riwayat penyakit keluarga,
riwayat alergi, keadaan umum, dan outcome kasus. Bagian Objective
digambarkan dengan tabel mengenai data laboratorium maupun tanda vital yang
dilengkapi dengan pemberian terapi selama perawatan, sedangkan DTPs akan
dijabarkan pada Assessment yang kemudian akan dipecahkan melalui
Rekomendasi. Sesudah dilakukan pembahasan tiap kasus, kemudian dirangkum
yaitu dengan mengelompokkan kasus yang terjadi pada keenam parameter
32
DTPs beserta jenis obat disertai penilaian dan Recommendation terhadap
terjadinya Drug Therapy Problems.
4. Outcome kasus tifoid terbagi dalam tiga golongan yaitu sembuh, membaik dan
belum sembuh, yang persentase tiap golongan dihitung dengan cara membagi
jumlah kasus pada tiap golongan outcome dengan jumlah keseluruhan kasus
kemudian dikalikan 100%.
H. Kesulitan Penelitian
Selama pengumpulan data hingga penyelesaian data, peneliti menemui
beberapa kesulitan, antara lain: kurangnya pengalaman peneliti dalam membaca
tulisan dokter maupun perawat pada lembar rekam medik, dan terdapat beberapa
istilah maupun lokal terminologi dalam lembar rekam medik yang tidak dimengerti
oleh peneliti. Kesulitan-kesulitan tersebut dapat diatasi dengan bantuan perawat
maupun petugas administrasi rekam medik di Instalasi Rekam Medis Rumah Sakit
Panti Rini Kalasan Sleman.
Kesulitan lain juga dihadapi peneliti saat melakukan evaluasi data. Hal ini
dikarenakan terdapat beberapa data yang tidak lengkap dalam lembar rekam medik,
seperti dosis obat, catatan perjalanan penyakit pasien, dan beberapa data
laboratorium. Kesulitan yang dihadapi dalam penelitian ini juga diakibatkan karena
penelitian dilakukan secara retrospektif dimana peneliti tidak dapat mengamati
perkembangan kondisi pasien yang sebenarnya berkaitan dengan analisis DTPs yaitu
terjadinya efek samping obat dan kepatuhan penggunaan obat oleh kasus.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian yang diangkat dengan judul “Evaluasi Drug Therapy Problems
pada Pengobatan Pasien Tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini
Periode Juli 2007- Juni 2008” ini terbagi dalam empat kategori yang memuat tentang
profil kasus penderita tifoid, pola pengobatan kasus penderita tifoid, evaluasi Drug
Therapy Problems (DTPs) dan outcome kasus penderita tifoid di instalasi rawat inap
Rumah Sakit Panti Rini.
Profil kasus penderita tifoid dibagi dalam 2 subkategori yang dibagi
berdasarkan distribusi umur dan jenis kelamin. Pada pola pengobatan kasus penyakit
tifoid terbagi dalam 3 subkategori yang memuat tentang pembagian obat berdasarkan
kelas terapi, golongan dan jenis obat. Pada evaluasi DTPs akan diterangkan dengan
menggunakan metode Subjective, Objective, Assessment, and Recommendation yang
ditampilkan dalam bentuk tabel. Pada outcome kasus penderita tifoid akan terbagi
dalam 3 subkategori yaitu sembuh, membaik dan belum sembuh yang menunjukkan
keadaan kasus saat keluar rumah sakit.
Pada penelitian ini, evaluasi dilakukan pada 45 kasus penderita tifoid yang
dirawat di instalasi rawat inap rumah sakit Panti Rini Kalasan, Sleman.
33
34
A. Profil Kasus Penderita Tifoid
Profil kasus penderita tifoid yang dirawat di instalasi rawat inap rumah sakit
Panti Rini periode Juli 2007-Juni 2008 terbagi dalam 2 subkategori yang dibagi
berdasarkan distribusi umur dan jenis kelamin.
1. Berdasarkan Distribusi Umur
Pembagian berdasarkan distribusi umur bertujuan untuk menggambarkan
dan membandingkan profil kasus penderita tifoid yang dirawat di instalasi rawat inap
rumah sakit Panti Rini periode Juli 2007-Juni 2008. Penelitian ini dilakukan pada
pasien tifoid dengan kategori remaja hingga geriatri yaitu yang berumur diatas 11
tahun. Berdasarkan pengamatan, kasus penderita tifoid yang dirawat di instalasi rawat
inap rumah sakit Panti Rini periode Juli 2007-Juni 2008 ternyata adalah kasus remaja
dengan umur mulai dari 14 tahun hingga geriatri 75 tahun. Dalam penelitian ini, umur
dikategorikan kedalam 3 kelompok yaitu kelompok remaja (12-16 tahun), dewasa
(17- < 65 tahun) dan geriatri (≥ 65 tahun). Seperti yang terlihat pada gambar 1,
persentase kasus penderita tifoid pada kelompok umur remaja yaitu 3 kasus (7%),
kelompok dewasa yaitu 40 kasus (89%) dan kelompok geriatri yaitu 2 kasus (4%).
Dan dari hasil tersebut terlihat kelompok umur dewasa merupakan kelompok umur
terbesar penderita penyakit tifoid.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa penderita tifoid terbesar
pada kelompok umur dewasa. Berdasarkan WHO (2003), di Indonesia kelompok
penderita tifoid berada dalam range umur 3-19 tahun, yang mana kategori dewasa
juga termasuk didalamnya, selain itu di beberapa negara juga terjadi pada kelompok
35
dewasa diatas 35 tahun. Tifoid yang terjadi pada kelompok dewasa kemungkinan
disebabkan karena kurangnya perhatian akan kualitas makanan dan minuman yang
dikonsumsi.
Persentase kasus penderita tifoid berdasarkan distribusi umur
7%
89%
4%
Remaja Dewasa Geriatri
Gambar 1. Persentase Kasus Penderita Tifoid di Instalasi Rawat Inap
Rumah Sakit Panti Rini Periode Juli 2007-Juni 2008 berdasarkan Distribusi Umur
2. Berdasarkan Jenis Kelamin
Pembagian berdasarkan jenis kelamin bertujuan untuk menggambarkan dan
membandingkan profil kasus penderita tifoid yang dirawat di instalasi rawat inap
rumah sakit Panti Rini periode Juli 2007-Juni 2008. Dan kasus penderita tifoid yang
dirawat di instalasi rawat inap rumah sakit Panti Rini periode Juli 2007-Juni 2008
adalah kasus yang dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin laki-laki dan
perempuan. Seperti pada gambar 2, dari 45 kasus terdapat 21 kasus (47%) berjenis
kelamin laki-laki dan 24 kasus (53%) berjenis kelamin perempuan.
36
Pada penelitian ini tidak dapat dihubungkan antara jenis kelamin dan
penyakit tifoid karena penyakit tifoid dapat terjadi pada perempuan maupun laki-laki
selama tidak adanya perhatian akan kualitas makanan dan minuman yang dikonsumsi.
Gambar 2. Persentase Kasus Penderita Tifoid di Instalasi Rawat Inap
Persentase kasus penderita tifoid berdasarkan jenis kelamin
47%
53% Laki-lakiPerempuan
Rumah Sakit Panti Rini Periode Juli 2007-Juni 2008 berdasarkan Jenis Kelamin
B. Pola Pengobatan Kasus Penderita Tifoid
Pola pengobatan kasus penyakit tifoid di instalasi rawat inap rumah sakit
Panti Rini periode Juli 2007-Juni 2008 merupakan gambaran pengobatan yang dapat
dibagi dalam 3 subkategori yang meliputi kelas terapi obat, golongan obat dan jenis
obat yang digunakan.
1. Kelas Terapi Obat
Dari obat-obat yang digunakan oleh kasus penderita tifoid di instalasi rawat
inap rumah sakit Panti Rini periode Juli 2007-Juni 2008 dapat dibagi dalam beberapa
kelas terapi berdasarkan acuan pustaka Informatorium Obat Nasional Indonesia 2000
37
dan MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi Edisi 7 2007/2008 yaitu obat antiinfeksi,
obat yang bekerja pada sistem neuromuskular, obat yang bekerja pada sistem saluran
pencernaan, obat yang bekerja pada sistem saluran pernapasan, obat yang bekerja
pada sistem kardiovaskuler, obat gizi dan darah, obat hormonal dan obat lain-lain
(Tabel II).
Tabel III. Distribusi Kelas Terapi Obat pada kasus penyakit tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini periode Juli 2007-Juni 2008
No. Kelas Terapi Obat Jumlah kasus (n = 45)
Persentase (%)
1. Obat Antiinfeksi 45 100 2. Obat gizi dan darah 45 100 3. Obat yang bekerja pada sistem
neuromuskular 44 97,8
4. Obat yang bekerja pada sistem saluran pencernaan
38 84,4
5. Obat yang bekerja pada sistem saluran pernapasan
9 20
6. Obat yang bekerja pada kardiovaskular
5 11,1
7. Obat Hormonal 5 11,1 8. Obat lain-lain 1 2,2
Berdasarkan tabel kelas terapi diatas, obat antiinfeksi dan obat gizi dan
darah menduduki peringkat teratas dengan persentase 100% dalam pengobatan
penyakit tifoid di instalasi rawat inap rumah sakit Panti Rini periode Juli 2007-Juni
2008. Obat antiinfeksi merupakan obat pilihan yang digunakan dalam pengobatan
karena penyakit tifoid tergolong penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri.
Demikian pula obat gizi dan darah juga diperlukan dalam pengobatan penyakit tifoid
untuk memenuhi asupan nutrisi, meningkatkan sistem imun tubuh pasien yang
terserang bakteri, dan juga membantu dalam proses pemulihan kesehatan.
38
2. Golongan dan Jenis Obat
Golongan obat yang diberikan untuk kasus penyakit tifoid disajikan menurut
kelas terapi dan jenisnya. Perincian mengenai golongan obat dan jenis obat dari setiap
kelas terapi obat yang diberikan pada kasus akan dijabarkan satu persatu.
a. Obat Antiinfeksi
Tabel IV. Golongan dan Jenis Obat Antiinfeksi yang Diterima Kasus Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini
periode Juli 2007-Juni 2008 No Golongan obat Jenis obat Jumlah kasus
(61) Prosentase
(%) I. Antibakteri
Amoksisilin 6 9,8 1 Penisilin Amoksisilin trihidrat dan K-klavulanat
1 1,6
Sefuroksim 2 3,2 Sefotaksim 1 1,6 Sefprozil 1 1,6 Seftriakson 1 1,6
2 Sefalosporin
Sefadroksil 1 1,6 Pefloksasin 15 24,6 Siprofloksasin 2 3,2 Ofloksasin 1 1,6
3 Kuinolon
Levofloksasin 2 3,2 4 Kloramfenikol Tiamfenikol 23 37,7
II. Antivirus
1 Antiprotozoa Metronidazol 1 1,6
2 Methisoprinol 4 6,6 Obat Antiinfeksi yang digunakan adalah obat golongan antibakteri dan
antivirus. Golongan antibakteri sendiri terdiri dari beberapa sub-golongan yaitu
penisilin, sefalosporin, kuinolon dan kloramfenikol. Untuk golongan antivirus terdiri
dari sub-golongan antiprotozoa dan sub-golongan lain. Golongan yang paling banyak
39
digunakan adalah golongan kloramfenikol dengan jenis obat tiamfenikol (37,7%) dan
sesudahnya menyusul golongan kuinolon dengan jenis obat pefloksasin (24,6%).
Berdasarkan Informatorium Obat Nasional Indonesia 2000 (Anonim, 2000),
golongan kloramfenikol merupakan antibiotika dengan spektrum luas yang bersifat
bakteriostatik terhadap kuman yang peka seperti beberapa strain Salmonella, namun
juga bisa bersifat toksik. Kloramfenikol bekerja dengan menghambat sintesis protein
kuman dengan cara berikatan pada ribosom 50S sehingga menghambat pembentukan
rantai peptida.
Berdasarkan WHO (2003), golongan kloramfenikol merupakan obat
alternatif atau obat cadangan yang efektif mengobati penyakit tifoid. Dalam
Informatorium Obat Nasional Indonesia 2000 juga disebutkan bahwa jenis obat
tiamfenikol dipakai sebagai substitusi kloramfenikol karena dianggap lebih aman,
namun tidak terdapat bukti yang memadai.
Berdasarkan WHO (2003), golongan kuinolon merupakan obat pilihan dan
merupakan terapi optimal dalam pengobatan penyakit tifoid. Golongan kuinolon
bekerja dengan menghambat DNA gyrase sehingga sintesis DNA kuman terganggu.
Dalam British Journal of Pharmacology (Anonim, 2001), disebutkan bahwa jenis
obat pefloksasin merupakan agen antiinfeksi spektrum luas yang secara aktif
melawan bakteri gram negatif dan gram positif.
Oleh sebab itu, dalam pengobatan penyakit tifoid yang disebabkan oleh
bakteri negatif Salmonella sp., penggunaan antibakteri dari golongan kloramfenikol
40
dengan jenis obat tiamfenikol maupun golongan kuinolon dengan jenis obat
pefloksasin sangat tepat.
b. Obat yang bekerja pada sistem neuromuskular
Tabel V. Golongan dan Jenis Obat yang bekerja pada sistem neuromuskular yang Diterima Kasus Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit
Panti Rini periode Juli 2007-Juni 2008 No Golongan obat Jenis obat Jumlah kasus
(84) Prosentase
(%) I. Analgesik
Parasetamol 35 41,7 Parasetamol dan asetil sistein
10 11,9
Metampiron 22 26,2
1 Analgesik - antipiretik
Metampiron dan diazepam
10 11,9
Ketoprofen 1 1,2 Meloksikam 1 1,2 Celekoksib 1 1,2 Tinoridine HCl 1 1,2
2 Analgesik-antiinflamasi (antireumatik)
Natrium diklofenak 1 1,2 II. Antimigren Flunarizin 1 1,2 III. Ansiolitik Diazepam 1 1,2
Golongan obat yang digunakan pada sistem neuromuskular adalah golongan
analgesik yang terdiri dari sub-golongan analgesik-antipiretik dan analgesik-
antiinflamasi (antireumatik), golongan antimigren dan golongan ansiolitik.
Dan golongan obat yang banyak digunakan pada sistem neuromuskular
adalah golongan analgesik – antipiretik dengan jenis obat yaitu parasetamol (41,7%)
dan metampiron (26,2%). Berdasarkan Informatorium Obat Nasional Indonesia 2000,
parasetamol digunakan unutk mengobati nyeri ringan sampai sedang, juga untuk
menurunkan demam. Parasetamol kurang mengiritasi lambung sehingga secara umum
41
lebih disukai khususnya pada orang lanjut usia. Metampiron merupakan turunan
Dipiron yang berguna dalam meredakan nyeri hebat yang berhubungan dengan sakit
kepala.
Dalam pengobatan penyakit tifoid, penggunaaan obat analgesik-antipiretik
sangat diperlukan karena pasien tifoid sering menunjukkan gejala-gejala non-spesifik
yang umum terjadi seperti demam, sakit kepala dan nyeri otot.
c. Obat yang bekerja pada sistem saluran pencernaan
Tabel VI. Golongan dan Jenis Obat yang bekerja pada sistem saluran pencernaan yang Diterima Kasus Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap
Rumah Sakit Panti Rini periode Juli 2007-Juni 2008 No Golongan obat Jenis obat Jumlah
kasus (83) Prosentase
(%) I. Antitukak 1 Antasida Al(OH)3, Mg(OH)2 dan simetikon 14 16,9 2 Antagonis
reseptor-H2 Ranitidin HCl 21 25,3
3 Khelator dan senyawa kompleks
Sukralfat 1 1,2
Lansoprazol
2 2,4 4 Penghambat pompa proton
Omeprazol 1 1,2 II. Antispasmodik
Mebeverin HCl 2 2,4 Klordiazepoxid dan klidinium Br 2 2,4
1 Antispasmodik lain
Fenilpropiletilamin dan klordiazepoksid
1 1,2
III. Antidiare 1 Adsorben dan
obat pembentuk massa
Attapulgit dan pektin 3 3,6
2 Dioktahedral smectite 1 1,2 IV. Antiemetik , regulator GIT
Dimenhidrinat 1 1,2 Ondansetron HCl 2 2,4 Metoklopramid HCl 15 18,1
1
Domperidon 2 2,4
42
Tabel V. Lanjutan V. Digestan Enzyplex® 3 3,6 VI. Hepatik protektor, kolelitolitik
Curcuma xanthorrhizae, kolin bitartrat
10 12,0 1
Asam Ursodeoksikolik 2 2,4
Golongan obat yang digunakan pada sistem saluran pencernaan adalah
golongan antitukak yang terdiri dari sub-golongan antasida, antagonis reseptor-H2,
khelator dan senyawa kompleks, dan penghambat pompa proton. Golongan
berikutnya adalah golongan antispasmodik; antidiare yang terdiri dari sub-golongan
adsorben dan pembentuk massa dan sub-golongan lain; antiemetik, regulator GIT;
digestan dan golongan hepatik protektor, kolelitolitik.
Golongan dan jenis obat yang paling banyak digunakan adalah obat
golongan antitukak, sub-golongan antagonis reseptor-H2 dengan jenis obat ranitidin
hidroklorida (sebesar 25,3%) dan berikutnya adalah obat golongan antiemetik,
regulator GIT dengan jenis obat metoklopramid hidroklorida (sebesar 18,1%).
Ranitidin hidroklorida menyembuhkan tukak lambung dan tukak duodenum
dengan cara mengurangi sekresi asam lambung sebagai akibat hambatan reseptor H2.
Indikasi lain menunjukkan bahwa ranitidin hidroklorida juga digunakan untuk
mengatasi refluks esofagitis, dispepsia episodik, dan kondisi lain dimana
pengurangan asam lambung akan bermanfaat. Metoklopramid hidroklorida sering
digunakan untuk mengobati mual dan muntah, terutama pada gangguan saluran cerna
yang dialami oleh pasien. Dalam pengobatan penyakit tifoid, ranitidin hidroklorida
43
dan metoklopramid hidroklorida digunakan untuk mengobati gejala mual dan
muntah yang sering dialami oleh pasien.
d. Obat yang bekerja pada sistem saluran pernapasan
Tabel VII. Golongan dan Jenis Obat yang bekerja pada sistem saluran pernapasan yang Diterima Kasus Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap
Rumah Sakit Panti Rini periode Juli 2007-Juni 2008 No Golongan obat Jenis obat Jumlah kasus
(13) Prosentase
(%) I. Ekspektoran 1 Difenhidramin
kombinasi Sanadryl ekspektoran®
7 53,8
2 Sanadryl DMP ® 1 7,7 II. Antitusif Kodein fosfat 2 15,4
III. Antihistamin 1 Antihistamin non-
sedatif Cetirizin HCl 1 8,3
2 Antihistamin sedatif Difenhidramina-HCl 1 8,3
Golongan obat yang digunakan pada sistem saluran pernapasan adalah
golongan ekspektoran, antitusif, dan antihistamin. Golongan antihistamin terbagi
dalam dua sub-golongan yaitu antihistamin non-sedatif dan antihistamin sedatif.
Golongan yang paling banyak digunakan adalah golongan ekspektoran
dengan jenis obat Sanadryl ekspektoran® yang mengandung difenhidramin HCl,
ammon Cl, k-guaiakolsulfonat, natrium sitrat, dan mentol (sebesar 53,8%) dan
selanjutnya adalah golongan antitusif dengan jenis obat kodein fosfat (sebesar
15,8%).
Jenis obat Sanadryl ekspektoran® yang mengandung difenhidramin
kombinasi bekerja untuk mengatasi batuk dan kongesti pada saluran napas dan
tenggorokan, sedangkan jenis obat kodein fosfat bekerja untuk mengatasi batuk
44
kering atau batuk yang disertai nyeri. Dalam Informatorium Obat Nasional Indonesia
2000 (Anonim, 2000), dikatakan bahwa penggunaan antitusif memberikan manfaat
klinis dalam mengatasi batuk kering yang sangat mengganggu tidur.
Berdasarkan DiPiro (2005) salah satu gejala non-spesifik yang ditunjukkan
oleh penderita tifoid adalah batuk. Dalam penelitian pengobatan penyakit tifoid di
instalasi rawat inap Rumah Sakit Panti Rini periode Juli 2007-Juni 2008 ini,
ditemukan beberapa kasus mengalami batuk berdahak dan batuk kering tertentu yang
mengganggu saat tidur, sehingga pemberian terapi dengan ekspektoran dan antitusif
untuk kasus-kasus tertentu dirasa sudah tepat.
e. Obat yang bekerja pada sistem kardiovaskular
Tabel VIII. Golongan dan Jenis Obat yang bekerja pada sistem kardiovaskular yang Diterima Kasus Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit
Panti Rini periode Juli 2007-Juni 2008 No Golongan obat Jenis obat Jumlah kasus (5) Prosentase
(%) I. ACE inhibitor Captopril 1 20 II. Golongan lain Adenosin trifosfat,
vit.B1, B6, B12, E 4 80
Golongan obat yang digunakan pada sistem kardiovaskular adalah golongan
Angiotensin-Converting Enzyme (ACE) inhibitor dan golongan lain. Golongan lain
yang paling banyak digunakan pada sistem kardiovaskular adalah jenis obat
Enerplus® yang mengandung adenosin trifosfat, vitamin B1, B6, B12, dan vitamin E
(sebesar 80%). Obat ini bekerja untuk mengatasi astenia muskular, gangguan
metabolik pada otot jantung dan kelelahan fisik. Dalam penelitian pengobatan
penyakit tifoid di instalasi rawat inap Rumah Sakit Panti Rini periode Juli 2007-Juni
45
2008 ini, ditemukan empat kasus mengalami badan lemas atau kelelahan fisik
sehingga diberi pengobatan dengan obat ini.
Golongan ACE inhibitor dengan jenis obat captopril (sebesar 20%) bekerja
dengan cara menghambat Angiotensin-Converting Enzyme sehingga mencegah
terjadinya perubahan Angiotensin I menjadi Angiotensin II yang menyebabkan
meningkatnya aktivitas renin, yaitu suatu enzim yang berperan dalam pengaturan
tekanan darah. Dalam penelitian pengobatan penyakit tifoid di instalasi rawat inap
Rumah Sakit Panti Rini periode Juli 2007-Juni 2008 ini, ditemukan satu kasus
penderita hipertensi.
f. Obat gizi dan darah
Tabel IX. Golongan dan Jenis Obat Gizi dan darah yang Diterima Kasus Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini
periode Juli 2007-Juni 2008 No Golongan obat Jenis obat Jumlah
kasus (66) Prosentase
(%) I. Vitamin Vitamin C 2 3 II. Multivitamin/dengan mineral
Imunos® 8 12,1
Becom-C ® 5 7,6 Megazing® 2 3
1
Lycoxy® 1 1,5 III. Elektrolit dan mineral
Ringer Laktat 40 60,6 Dekstrose 5% 1 1,5 KAEN 3A 1 1,5 KAEN 3B 4 6,1
1 Infusan
Asering 3 4,5
46
Golongan obat yang termasuk dalam obat gizi dan darah adalah golongan
vitamin, multivitamin/dengan mineral, dan elektrolit dan mineral. Golongan yang
terbanyak digunakan adalah golongan elektrolit dan mineral dengan sub-golongan
infusan dengan jenis ringer laktat (sebesar 60,6%). Golongan kedua terbanyak adalah
multivitamin/dengan mineral dengan jenis obat Imunos® yang mengandung
echinacea, zinc picolinat, selenium, dan asam askorbat (sebesar 12,1%).
Dalam penelitian pengobatan penyakit tifoid di instalasi rawat inap Rumah
Sakit Panti Rini periode Juli 2007-Juni 2008 ini, penggunaan golongan elektrolit dan
mineral dengan sub-golongan infusan serta penggunaan golongan
multivitamin/dengan mineral sangat membantu dalam proses pemulihan memenuhi
asupan nutrisi, meningkatkan sistem imun tubuh pasien yang terserang bakteri, dan
juga membantu dalam proses pemulihan kesehatan.
g. Obat Hormonal
Tabel X. Golongan dan Jenis Obat Hormonal yang Diterima Kasus Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini
periode Juli 2007-Juni 2008 No Golongan obat Jenis obat Jumlah kasus (5) Prosentase
(%) Metilprednisolon 3 60* I. Kortikosteroid Deksametason 1 20
II. Estrogen dan progesterone dan preparat sintetiknya
Norethisteron 1 20
Golongan obat hormonal yang digunakan adalah golongan kortikosteroid
dengan jenis obat metilprednisolon dan deksametason, dan golongan estrogen dan
47
progesteron dan preparat sintetiknya. Golongan terbanyak yang digunakan adalah
golongan kortikosteroid dengan jenis obat metilprednisolon (sebesar 60%).
Berdasarkan Informatorium Obat Nasional Indonesia 2000 (Anonim, 2000),
golongan kortikosteroid memiliki aktivitas glukokortikoid dan mineralokortikoid
sehingga memperlihatkan efek yang beragam yang meliputi efek terhadap
metabolisme karbohidrat, protein, dan lipid; efek terhadap keseimbangan air dan
elektrolit, dan efek terhadap pemeliharaan fungsi berbagai sistem dalam tubuh.
Dalam penelitian pengobatan penyakit tifoid di instalasi rawat inap Rumah Sakit
Panti Rini periode Juli 2007-Juni 2008 ini, jenis obat metilprednisolon bekerja
dengan cara menekan reaksi radang yang kemungkinan diderita oleh kasus.
h. Obat lain-lain
Tabel XI. Golongan dan Jenis Obat lain-lain yang Diterima Kasus Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini
periode Juli 2007-Juni 2008 No Golongan obat Jenis obat Jumlah kasus Prosentase
(%)
1 Coctail (Campuran obat batuk-flu)
Ambroxol, Pseudoefedrin, triprolidin hidroklorida, OBH dan sirup timi
1 100
Dalam penelitian yang dilakukan terdapat penggunaan campuran obat batuk
dan flu yang terdiri dari campuran jenis obat ambroxol, pseudoefedrin, triprolidin
hidroklorida, obat batuk hitam dan sirup timi. Penggunaan obat ini ditujukan pada
pasien yang menunjukkan gejala batuk dan flu. Dosis yang digunakan untuk
mencampur obat-obat tersebut berdasarkan rekomendasi dokter, sehingga
48
kelemahannya tidak tercantum dalam rekam medik besar dosis yang digunakan untuk
masing-masing obat.
C. Evaluasi Drug Therapy Problems (DTPs)
Pada proses evaluasi DTPs pengobatan tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah
Sakit Panti Rini periode Juli 2007-Juni 2008, jenis DTPs yang ditemukan dalam
penelitian ini adalah dosis terlalu rendah dan potensial interaksi obat.
Berdasarkan hasil evaluasi terjadinya DTPs, dari 45 kasus yang dianalisis
terdapat 15 kasus (33%) yang tidak terjadi DTPs dan 30 kasus (67%) terjadi DTPs.
Persentase Kejadian DTPs
33%
67%
tidak terjadi DTPsterjadi DTPs
Gambar 3. Persentase Kejadian DTPs pada Pengobatan Tifoid
di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Periode Juli 2007-Juni 2008
Pada masing-masing kasus yang telah dibahas melalui penelusuran pustaka
dengan metode Subjective, Objective, Assessment and Recommendation kemudian
49
akan dirangkum menjadi masing-masing kategori DTPs yaitu dosis terlalu rendah dan
interaksi obat dalam penggunaan obat di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini
Kalasan Sleman periode Juli 2007-Juni 2008.
1. Dosis terlalu rendah
Tabel XII. Kasus DTPs Dosis Terlalu rendah pada Kasus Tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Kalasan Sleman Periode Juli 2007-Juni 2008
Kasus Jenis Obat Penilaian Rekomendasi 2,3,10, 14, 15, 17,18, 26,41
Pefloksasin Dosis pefloksasin yang diterima kasus terlalu rendah hanya sekali sehari. Dosis yang dianjurkan adalah dua kali sehari yaitu pagi dan malam hari (Anonim, 2008b).
Penggunaan peflok-sasin dinaikkanmenjadi dua kali seharisehingga dosistercapai.
31 Sefuroksim (inj.)
Dosis yang diterima kasus terlalu rendah hanya 750 mg dua kali sehari. Dosis injeksi Sefuroksim adalah 750 mg tiap 8 jam atau 3 kali sehari (Lacy, et al, 2006 dan Anonim, 2008b).
Menaikkan dosisinjeksi Sefuroksimmenjadi 750 mg tigakali sehari sehinggadosis terapi tercapai.
Terjadinya DTPs dosis terlalu rendah dapat menyebabkan efek terapi yang
diharapkan kurang optimal. Berdasarkan MIMS (Anonim, 2008b), dosis pemberian
antibiotik Pefloksasin adalah dua kali satu tablet (400 mg) per-hari, namun pada
kasus 2, 3, 10, 14, 15, 17, 18, 26, dan 41, pefloksasin hanya diberikan satu kali per-
hari.
Berdasarkan Drug Information Handbook (Lacy, et al, 2006) dan MIMS
(Anonim, 2008b), dosis pemberian antibiotik Sefuroksim injeksi adalah 3 kali 1
ampul (750 mg) per-hari, namun pada kasus 31, Sefuroksim injeksi hanya diberikan
dua kali per-hari.
50
2. Interaksi obat
Tabel XIII. Kasus DTPs Interaksi obat pada Kasus Tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Kalasan Sleman Periode Juli 2007-Juni 2008
Kasus Jenis Obat Penilaian Rekomendasi 3,5,8,9 12,15,21,24,25,27,28,31,39
Metoklopramid hidroklorida-parasetamol
Pemberian metoklopramid hidroklorida bersama parasetamol akan meningkatkan absorbsi parasetamol di usus halus (Anonim, 2004 dan Anonim, 2008b).
Mengatur waktu pemberian metoklopramid hidroklorida dan parasetamol agar tidak bersamaan. Metoklopramid hidroklorida bisa diberikan 30 menit sebelum makan. Dan parasetamol diberikan setelah makan.
6,11, 14,17,20,41
Pefloksasin-antasida
Pemberian Pefloksasin bersama dengan antasida yang mengandung aluminium dan magnesium akan menurunkan absorpsi pefloksasin (Anonim, 2004 dan Anonim, 2008b). Menurut Drug Interaction Facts (Tatro, D.S., 2006), signifikansinya 2 artinya tingkat keparahan penyakitnya moderate yang berarti efeknya mampu memperburuk keadaan klinis pasien.
Mengatur waktu pemberian pefloksasin dan antasida agar tidak bersamaan. Pemberian antasida 6 jam sebelum atau 2 jam sesudah pemberian obat pefloksasin.
6 Siprofloksasin-antasida
Pemberian Siprofloksasin bersama dengan antasida yang mengandung aluminium dan magnesium akan menurunkan absorpsi siprofloksasin (Anonim, 2004 dan Anonim, 2008b). Menurut Tatro (2006) signifikansinya 2.
Mengatur waktu pemberian siprofloksasin dan antasida agar tidak bersamaan. Pemberian antasida 6 jam sebelum atau 2 jam sesudah pemberian obat siprofloksasin.
8,44,45 Diazepam-Ranitidin
Pemberian diazepam bersama ranitidin bisa menaikkan atau menurunkan efek dari diazepam. Menurut Tatro (2006) signifikansinya 5 artinya bahwa efeknya ringan.
Mengatur waktu pemberian diazepam dan ranitidin agar tidak bersamaan. Bisa dilakukan secara bergiliran, dengan terus memonitor respon klinis dari pasien.
10,19 Domperidon-parasetamol
Penggunaan bersama domperidon dan parasetamol akan meningkatkan absorpsi parasetamol (Anonim, 2004).
Mengatur waktu pemberian domperidon dan parasetamol-asetil sistein agar tidak bersamaan. Domperidon dapat diberikan 15 menit sebelum makan, sedangkan parasetamol diberikan setelah makan.
18 Pefloksasin- Sukralfat
Pemberian obat Pefloksasin bersamaan dengan Sukralfat akan menurunkan absorpsi dari pefloksasin. Menurut Tatro (2006), signifikansinya 2.
Mengatur waktu pemberian pefloksasin dan sukralfat agar tidak bersamaan, jika tidak dapat dihindarkan maka sukralfat diberikan 6 jam sesudah pefloksasin.
51
Tabel XIII. Lanjutan Kasus DTPs Interaksi obat 18 Ranitidin
hidroklorida- Sukralfat
Penggunaan ranitidin Hidroklorida bersamaan dengan sukralfat akan menurunkan absorpsi dari ranitidin Hidroklorida (Anonim, 2008b).
Mengatur waktu pemberian ranitidin Hidroklorida dan sukralfat agar tidak bersamaan. Sukralfat diberikan 2,5 jam sesudah penggunaan ranitidin.
18 Ketoprofen-Pefloksasin
Penggunaan bersama ketoprofen (AINS) dengan pefloksasin (kuinolon) akan meningkatkan resiko terjadinya kejang (Anonim, 2004).
Mengatur waktu pemberian ketoprofen dan pefloksasin agar tidak bersamaan. Pefloksasin diberikan 2-4 jam setelah penggunaan Ketoprofen.
18 Ketoprofen- ranitidin
Penggunaan ketoprofen dengan ranitidin akan menimbulkan efek berubahnya efek terapi dari ketoprofen. Menurut Tatro (2006), signifikansinya 5 artinya keberbahayaannya relatif ringan.
Tidak dibutuhkan intervensi secara klinis.
29
Metronidazol- Diazepam
Metronidazol dapat meningkatkan efek dari golongan Benzodiazepin tertentu (Diazepam) (Lacy, et al, 2006).
Mengatur waktu pemberian Metronidazol dan metampiron-diazepam agar tidak bersamaan. Metampiron-diazepam diberikan 6 jam setelah penggunaan Metronidazol.
30,41 Ranitidin Hidroklorida- antasida
Penggunaan Ranitidin Hidroklorida bersama antasida yang mengandung aluminium dan magnesium akan menurunkan efek dari Ranitidin HCl. Menurut Tatro (2006), signifikansinya 5 artinya keberbahayaannya relatif ringan dan ada kemungkinan bisa terjadi, namun data buktinya terbatas.
Tidak dibutuhkan intervensi secara klinis.
34 Levofloksasin -Tinoridine Hidroklorida
Penggunaan Levofloksasin bersama Tinoridine Hidroklorida (golongan AINS) kemungkinan akan meningkatkan resiko terjadinya kejang (Anonim, 2004 dan Anonim, 2008b).
Mengatur waktu pemberian Levofloksasin dan Tinoridine HCl agar tidak bersamaan. Tinoridine hidroklorida diberikan 6-8 jam setelah penggunaan Levofloksasin.
36 Kodein fosfat - siprofloksasin
Penggunaan Kodein fosfat (analgesik opioid) dengan siprofloksasin harus dihindari, karena dapat menyebabkan menurunnya konsentrasi siprofloksasin dalam plasma (Anonim, 2004).
Hentikan penggunaan kodein karena menyebabkan interaksi, memilih obat batuk lain.
36 Kodein fosfat - Diazepam
Penggunaan Kodein fosfat (analgesik opioid) bersama obat Diazepam (ansietas dan hipnotik) akan meningkatkan efek sedatif (Anonim, 2004).
Hentikan penggunaan kodein karena menyebabkan interaksi, memilih obat batuk lain.
52
Terjadinya DTPs interaksi obat dapat menyebabkan terapi menjadi tidak
optimal, misalnya dengan adanya penurunan absorpsi suatu obat oleh obat lain dan
menurunnya kadar plasma suatu obat karena berinteraksi dengan obat lain. Pada
beberapa kasus, interaksi obat yang terjadi dapat menimbulkan efek yang merugikan
seperti potensi terjadinya kejang maupun peningkatan efek sedatif. Kejang berpotensi
terjadi bila terjadi interaksi antara obat golongan Anti Inflamasi Non Steroid dengan
obat golongan kuinolon seperti terlihat pada kasus 18 dan 34. Pada kasus 18, waktu
paruh ketoprofen adalah 2-4 jam sehingga pengatasannya dapat dilakukan dengan
pemberian pefloksasin 2-4 jam setelah penggunaan ketoprofen. Pada kasus 34,
pengatasannya dengan memberikan tinoridin hidroklorida 6-8 jam setelah
penggunaan levofloksasin. Peningkatan efek sedatif selain itu dapat terjadi bila ada
interaksi antara kodein fosfat dan diazepam seperti pada kasus 36.
Kasus DTPs interaksi obat yang terjadi merupakan DTPs yang bersifat
potensial, artinya DTPs tersebut berpotensi terjadi. Pada penelitian ini DTPs interaksi
obat paling banyak adalah interaksi antara metoklopramid hidroklorida dan
parasetamol, yaitu sebanyak 13 kasus. Berdasarkan British National Formulary
(Anonim, 2004) dan MIMS (Anonim, 2008b), efek dari interaksi kedua obat tersebut
adalah peningkatan absorpsi parasetamol. Pengatasannya dapat dilakukan dengan
memberikan metoklopramid hidroklorida 30 menit sebelum makan dan parasetamol
diberikan setelah makan.
Obat lain yang mempunyai kemungkinan berinteraksi jika diberikan
bersamaan adalah pefloksasin dan antasida yang mengandung aluminium dan
53
magnesium. Pada penelitian ini DTPs interaksi obat pefloksasin dan antasida terjadi
sebanyak 6 kasus. Berdasarkan British National Formulary dan MIMS, efek dari
interaksi keduanya adalah penurunan absorbsi pefloksasin. Berdasarkan Drug
Interaction Facts, signifikansi interaksi adalah 2 yang menunjukkan bahwa tingkat
keparahan penyakitnya moderate yang berarti efeknya mampu memperburuk keadaan
klinis pasien. Demikian pula interaksi antara obat siprofloksasin dengan antasida
yang terjadi pada kasus 6. Pengatasannya dapat dilakukan dengan pemberian antasida
6 jam sebelum atau 2 jam sesudah pemberian obat golongan Kuinolon.
Interaksi yang berpotensi terjadi penurunan absorbsi suatu obat oleh obat
lain yaitu interaksi antara diazepam dan ranitidin yang dapat menurunkan efek dari
diazepam, yang terjadi pada kasus 8, 44, dan 45. Menurut Drug Interaction Facts
signifikansinya 5 artinya bahwa efeknya ringan, pengatasannya dengan mengatur
waktu pemberian diazepam dan ranitidin agar tidak bersamaan, yang mana
pemberiannya bisa dilakukan secara bergiliran, dengan terus memonitor respon klinis
dari pasien.
Interaksi antara pefloksasin dan sukralfat, yang berefek penurunan absorbsi
dari pefloksasin dan berdasarkan Drug Interaction Facts, signifikansi interaksinya
adalah 2. Interaksi ini terjadi pada kasus 18. Pengatasannya dapat dilakukan dengan
memberikan sukralfat 6 jam setelah penggunaan pefloksasin, bila penggunaan
keduanya tidak dapat dihindari.
Interaksi lain yaitu antara ranitidin dan sukralfat, pada kasus 18 yang
menyebabkan penurunan absorbsi ranitidin. Karena waktu paruh ranitidin adalah 2,5
54
jam, maka pengatasannya dengan memberikan sukralfat 2,5 jam setelah penggunaan
ranitidin. Interaksi lain yang juga menyebabkan penurunan absorbsi ranitidin yaitu
interaksi antara ranitidin dan antasida pada kasus 30 dan 41. Pada kasus 18,
penggunaan ketoprofen dengan ranitidin akan menimbulkan interaksi yaitu
berubahnya efek terapi dari ketoprofen.
Menurut Drug Interaction Facts interaksi ranitidin-antasida, ketoprofen-
ranitidin memiliki nilai signifikansi 5 artinya keberbahayaannya relatif ringan dan ada
kemungkinan bisa terjadi, namun data buktinya terbatas. Oleh karena relatif kurang
berbahaya, maka tidak diperlukan intervensi klinis. Selain itu interaksi yang terjadi
antara kodein fosfat dan siprofloksasin juga berefek penurunan konsentrasi
siprofloksasin dalam plasma, seperti yang terjadi pada kasus 36.
Interaksi yang berpotensi terjadi peningkatan absorbsi suatu obat oleh obat
lain yaitu interaksi antara domperidon dan parasetamol, yang berefek peningkatan
absorbsi parasetamol, seperti yang terjadi pada kasus 10 dan 19. Pengatasannya dapat
dilakukan dengan memberikan domperidon 15 menit sebelum makan, sedangkan
parasetamol-asetil sistein dapat diberikan setelah makan.
Interaksi lainnya yaitu antara metronidazol dan diazepam, yang berdasarkan
Drug Information Handbook dapat meningkatkan efek dari diazepam, yang terjadi
pada kasus 29. Waktu paruh metronidazol adalah 6 jam sehingga pengatasannya
dengan memberikan metampiron-diazepam 6 jam setelah penggunaan metronidazol.
55
D. Outcome Kasus Penderita Tifoid
Dalam penelitian pengobatan penyakit tifoid di instalasi rawat inap Rumah
Sakit Panti Rini periode Juli 2007-Juni 2008, dilakukan penggolongan outcome kasus
penderita tifoid. Outcome menunjukkan gambaran keadaan pasien saat meninggalkan
rumah sakit setelah di rawat inap.
Berdasarkan penelitian, dari keempat puluh lima kasus terdapat tiga
golongan outcome yaitu sembuh sebanyak 9 kasus (dengan persentase sebesar 20%),
membaik sebanyak 34 kasus (sebesar 76%) dan belum sembuh sebanyak 2 kasus
(sebesar 4%).
Persentase kasus penderita tifoid berdasarkan outcome
20%
76%
4%
Sembuh Membaik Belum sembuh
Gambar 4. Persentase Kasus Penderita Tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Periode Juli 2007-Juni 2008 berdasarkan
Outcome
Sembuh menunjukkan bahwa kasus meninggalkan rumah sakit setelah
melewati masalah-masalah perawatan pada saat kasus dirawat atau dengan keadaan
tidak lagi menunjukkan gejala-gejala penyakit dan keluhan-keluhan. Membaik
56
menunjukkan bahwa kasus meninggalkan rumah sakit dengan keadaan yang sudah
cukup baik, walaupun masih ada beberapa gejala yang belum pulih secara total.
Belum sembuh menunjukkan bahwa kasus meninggalkan rumah sakit dengan
keadaan belum pulih, yang mana masalah-masalah perawatan belum tertangani secara
tuntas. Kadang keadaan ini terdesak karena keinginan kasus ataupun keluarga untuk
meninggalkan rumah sakit secepat mungkin.
E. Rangkuman Pembahasan
Pada penelitian Evaluasi Drug Therapy Problems pada Pengobatan Pasien
Tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Periode Juli 2007- Juni 2008,
jumlah kasus yang diteliti sebanyak 45 kasus. Profil kasus penderita tifoid
berdasarkan distribusi umur menunjukkan bahwa persentase kasus penderita tifoid
pada kelompok umur remaja yaitu 3 kasus (7%), kelompok dewasa yaitu 40 kasus
(89%) dan kelompok geriatri yaitu 2 kasus 4%. Berdasarkan jenis kelamin,
menunjukkan bahwa terdapat 21 kasus (47%) berjenis kelamin laki-laki dan 24 kasus
(53%) berjenis kelamin perempuan.
Pada pola pengobatan kasus penyakit tifoid berdasarkan kelas terapi,
menunjukkan bahwa obat antiinfeksi dan obat gizi dan darah menduduki peringkat
teratas dengan persentase 100% dalam pengobatan penyakit tifoid di instalasi rawat
inap rumah sakit Panti Rini periode Juli 2007-Juni 2008. Berdasarkan golongan dan
jenis obat, golongan antiinfeksi yang paling banyak digunakan adalah golongan
57
kloramfenikol dengan jenis obat tiamfenikol (37,7%) dan sesudahnya menyusul
golongan kuinolon dengan jenis obat pefloksasin (24,6%).
Golongan obat yang banyak digunakan pada sistem neuromuskular adalah
golongan analgesik – antipiretik dengan jenis obat yaitu parasetamol (41,7%) dan
metampiron (26,2%). Golongan dan jenis obat yang paling banyak digunakan adalah
obat golongan antitukak, sub-golongan antagonis reseptor-H2 dengan jenis obat
ranitidin hidroklorida (sebesar 25,3%) dan berikutnya adalah obat golongan
antiemetik, regulator GIT dengan jenis obat metoklopramid hidroklorida (sebesar
18,1%).
Golongan yang paling banyak digunakan obat pada sistem saluran
pernapasan adalah golongan ekspektoran dengan jenis obat Sanadryl ekspektoran®
yang mengandung difenhidramin HCl, ammon Cl, K-guaiakolsulfonat, natrium sitrat,
dan mentol (sebesar 53,8%) dan selanjutnya adalah golongan antitusif dengan jenis
obat kodein fosfat (sebesar 15,8%). Golongan lain yang paling banyak digunakan
pada sistem kardiovaskular adalah jenis obat Enerplus® yang mengandung Adenosin
trifosfat, vitamin B1, B6, B12, dan vitamin E (sebesar 80%). Golongan obat terbanyak
yang termasuk dalam obat gizi dan darah adalah golongan elektrolit dan mineral
dengan sub-golongan infusan dengan jenis Ringer laktat (sebesar 60,6%) dan
selanjutnya adalah golongan multivitamin/dengan mineral dengan jenis obat Imunos®
yang mengandung Echinacea, zinc picolinat, selenium, dan asam askorbat (sebesar
12,1%).
58
Golongan obat hormonal yang paling banyak digunakan adalah golongan
kortikosteroid dengan jenis obat metilprednisolon (sebesar 60%). Golongan yang
termasuk dalam obat lain yaitu campuran obat batuk dan flu yang terdiri dari
campuran jenis obat ambroxol, pseudoefedrin, triprolidin hidroklorida, obat batuk
hitam dan sirup timi.
Dari hasil evaluasi terjadinya DTPs, 15 kasus (31%) tidak terjadi DTPs dan
30 kasus (69%) terjadi DTPs. Pada masing-masing kasus didapatkan hasil bahwa
adanya pemakaian obat dengan dosis yang terlalu rendah sebanyak 10 kasus dan
potensial interaksi obat sebanyak 28 kasus. Kategori DTPs terkait kepatuhan pasien
(compliance) tidak dapat dilakukan karena penelitian yang dilakukan bersifat
retrospektif sehingga penggunaan obat oleh pasien tidak dapat diteliti.
Berdasarkan penelitian, dari keempat puluh lima kasus terdapat tiga
golongan outcome yaitu sembuh sebanyak 9 kasus (sebesar 20%), membaik sebanyak
34 kasus (sebesar 76%) dan belum sembuh sebanyak 2 kasus (sebesar 4%).
59
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian terhadap data pengobatan pasien tifoid di
Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Kalasan Sleman periode Juli 2007-Juni
2008 maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Profil kasus penderita tifoid berdasarkan distribusi umur paling banyak terjadi
pada kelompok dewasa (17 - < 65 tahun) sebesar 89% dan berdasarkan jenis
kelamin paling banyak terjadi pada perempuan sebesar 53%.
2. Pola pengobatan kasus tifoid menggunakan delapan kelas terapi obat, yaitu obat
antiinfeksi, obat yang bekerja pada sistem neuromuskular, obat yang bekerja pada
sistem saluran pencernaan, obat yang bekerja pada sistem saluran pernapasan,
obat yang bekerja pada sistem kardiovaskuler, obat gizi dan darah, obat hormonal
dan obat lain-lain. Kelas terapi yang paling banyak digunakan adalah obat
antiinfeksi dan obat gizi dan darah.
3. Pada kasus penyakit tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini
Kalasan Sleman periode Juli 2007-Juni 2008, Drug Therapy Problems yang
terjadi adalah sebagai berikut :
a. dosis terlalu rendah sebanyak 10 kasus
b. potensial interaksi obat sebanyak 28 kasus
59
60
1. Outcome kasus tifoid meliputi sembuh sebanyak 9 kasus (20%), membaik
sebanyak 34 kasus (76%) dan belum sembuh sebanyak 2 kasus (4%).
A. Saran
Saran yang dapat disampaikan dari hasil penelitian ini adalah :
1. Rumah Sakit Panti Rini Kalasan Sleman perlu meninjau kembali tes diagnostik
penyakit tifoid yang lebih baik pendeteksiannya terhadap antigen Salmonella
typhi.
2. perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai Drug Therapy Problems pada kasus
tifoid secara prospektif pada pasien rawat inap.
61
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2000, Informatorium Obat Nasional Indonesia 2000, DepKes RI, Jakarta Anonim, 2001, British Journal of Pharmacology, 1310-1316,
http://www3.interscience.wiley.com/cgi-bin/fulltext/121663243/HTMLSTART, diakses tanggal 9 Juni 2009
Anonim, 2003a, Background Document: The diagnosis, treatment, and prevention of
typhoid fever, 19-23, World Health Organization, http://whqlibdoc.who.int/hq/2003/WHO_V&B_03.07.pdf , diakses tanggal 9 Juni 2009
Anonim, 2003b, Typhoid Fever , World Health Organization, http://www.who.int,
diakses tanggal 15 Oktober 2008 Anonim, 2004, British National Formulary 52, BMJ Publishing Group, Great Britain Anonim, 2008a, Evaluasi Mutu Rumah Sakit Panti Rini,
http://badanmutu.or.id/index.php?id=60, diakses tanggal 30 Agustus 2008 Anonim, 2008b, MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi Edisi 7 2007/2008, CMP
Medica Asia Pte LTd, Singapore Brody, T.M., Larner J., Minneman K.P., Neu H.C., 1994, Human Pharmacology
Molecular to Clinical, second edition, 617-695, Mosby Year Book, Missouri
Cipolle, R.J., Strand, L.M., dan Morley, P.C., 2004, Pharmaceutical Care Practice
The Clinicians’s Guide, Second Edition, hal.172-173,178-179, McGraw-Hill, New York
DiPiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., Posey, L.M., 2005,
Pharmacotherapy : A Pathophysiologic Approach , 6th ed., 2044-2046, McGraw-Hill, New York
Hardman, J.G., Limbird L.E., Molinoff P.B., Ruddon R.W., Gilman A.G., 1996, The
Pharmacological Basis Of Therapeutics, Ninth edition, 1073, The McGraw-Hill Companies, New York
62
Kimble, M.A.K., Young, L.Y., Kradjan, W.A., Guglielmo, B.J., Alldredge,B.K., Corelli, R.L., 2005, Applied Therapeutics The Clinical Use of Drugs, eight edition, 561, Lippincott Williams & Wilkins, USA
Kumala P., Komala S., Santoso A.H., Sulaiman J.R dan Rienita, Y., 1998, Kamus
saku Kedokteran Dorland, edisi 25, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta
Lacy, C.F., Armstrong, L.L., Goldman, M.P., dan Lance L.L., 2006, Drug
Information Handbook, 14th Ed., Lexi-comp, Ohio Notoatmodjo S., 2005, Metodologi Penelitian Kesehatan, 138-143, PT Rineka Cipta,
Jakarta Praktiknya, A.W., 2001, Dasar-dasar Metodologi Penelitian Kedokteran dan
Kesehatan, 10,16, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta Soedarmo, S.S.P., Gama,H., Hadinegoro,S.R.S., Satari, H.I., 2008, Buku Ajar Infeksi
dan Pediatrik Tropis, edisi kedua, 338-345, Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta
Tatro, D.S., 2006, Drug Interaction Facts, Facts & Comparison, Wolters Kluwer, St.
Louis
LAMPIRAN
63
64
LAMPIRAN I
ARTI SINGKATAN
CM compos mentis
Ig imunoglobulin (IgG, IgM)
i.m. intramuskular
i.v. intravena
LYM% perbandingan limfosit terhadap keseluruhan WBC (%)
LYM# [W-SCC] WBC-small cell count
MCH mean corpuscular hemoglobin
MCHC mean corpuscular concentration
MCV mean corpuscular volume
MDR multi-drug resistant
MXD% perbandingan dari penjumlahan basofil,eosinofil dan monosit
terhadap keseluruhan WBC (%)
NEUT% perbandingan neutrofil (sel besar) terhadap keseluruhan WBC
(%)
NEUT# [W-LCC] WBC-large cell count
PLT platelet
PDW platelet distribution width
P-LCR platelet- large cell ratio
SGOT serum glutamic-oxaloacetic transaminase
SGPT serum glutamic-piruvic transaminase
Ty.H antigen Salmonella typhi jenis flagel
Ty.O antigen Salmonella typhi jenis somatik
Vi virulen (antigen)
WBC white blood cells
65
LAMPIRAN II
Tabel XIV. Kajian DTPs Kasus 1 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008
Kasus 1. No. RM 14 62 91 (17/08/07 - 20/08/07) Subjective Perempuan/19 tahun. DM: Febris hari ke V. DU: Tifoid. Keluhan masuk : riwayat panas sudah 5 hari, pusing, mual, muntah, nyeri perut. Keadaan umum : CM, akral hangat, badan terasa pegal-pegal, sempat merasa nyeri ulu hati. Keadaan pulang : membaik Objective
Tanggal periksa (agustus 2007) Parameter
17 Nilai normal
WBC 2,1↓ 4 – 11x 103 /µL PLT 102↓ 150-450x103 /µL
MXD% 25,2 ↑ 0-8% LYM # 0,6↓ 1-3,7x103 /µL NEUT # 1↓ 1,5-7x103 /µL LYM% 29,5 19-48% NEUT% 45,3 40-74%
Tes Widal (17/08) Para ty.BO : 1/80 Para ty.CO : 1/80
TD: 90/50 mmHg Nadi : 88x/menit Suhu tubuh : 17/08 36˚C 18/08 (36,2; 36,6; 37) ˚C 19/08 36˚C 20/08 36˚C
Penatalaksanaan
Tanggal (Agustus 2007) Nama obat 17 18 19 20
Parasetamol dan asetil sistein 3x500 mg √
Al(OH)3, Mg(OH)2 + simethicone (sirup 100 ml) 3 x cth I √
Parasetamol 3x500 mg √ √ Al(OH)3, Mg(OH)2 + simethicone 3x1 √ √ Thiamfenikol 3x500 mg √ √ Infus RL 15 tetes/menit √ √ √ √
Assessment Terapi yang diberikan sudah tepat. 1. Pasien mengeluhkan pusing dan nyeri perut, diberikan terapi parasetamol-asetil sistein dan
parasetamol. 2. Untuk mengatasi mual dan muntah, diberikan terapi antasida yang mengandung Al(OH)3,
Mg(OH)2 + simethicone. 3. Pasien teridentifikasi mengalami infeksi bakteri dari hasil tes Widal, dan telah diberikan terapi
antibiotik Thiamfenikol. Rekomendasi -
Tabel XV.Kajian DTPs Kasus 2 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap
66
RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 – Juni 2008
Kasus 2. No. RM 14 53 55 (13/07/07 – 16/07/07) Subjective Laki-laki/38 tahun. DM: Febris hari ke III dd tifoid, Dengue Fever. DU: Tifoid. Keluhan masuk : riwayat panas sudah 4 hari, pusing, muntah, tidak nafsu makan. Keadaan umum : CM, badan lemas, akral hangat, diare, batuk. Keadaan pulang : membaik Objective
Tanggal periksa (Juli
2007) Parameter 13
Nilai normal
WBC 5,1 4 – 11x 103 /µL MCHC 32,5 ↓ 33-37 pg LYM% 37 19-48% NEUT% 49,6 40-74% MXD% 13,4 ↑ 0-8%
Tes Widal (13/07) Para ty.BH : 1/60
TD: 100/80 mmHg Nadi : 96x/menit Suhu tubuh : 13/07 37˚C 14/07 (37; 38; 37; 36)˚C 15/07 (37,5; 36,5;
37;36,5)˚C 16/07 36,8˚C
Penatalaksanaan
Tanggal (Agustus 2007) Nama obat 13 14 15 16
Pefloksasin 2x400 mg √ √ √ Pefloksasin 1x400 mg √ Metampiron dan diazepam 3x500 mg √ √ √ √
Parasetamol 3x500 mg √ √ √ √ Diocthahedral smectite 3x1 (isi 3 g/sachet) √ √
Infus RL √ √ √ √ Assessment Berdasarkan MIMS, dosis Pefloksasin adalah 1 tablet dua kali sehari yaitu pagi dan malam hari. Dari penggunaannya yaitu pada tanggal 15 hanya satu kali sehari. Sehingga DTPs : Dosis terlalu rendah. Rekomendasi Penggunaan pefloksasin dinaikkan menjadi dua kali sehari sehingga dosis tercapai.
Tabel XVI. Kajian DTPs Kasus 3 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap
67
RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008 Kasus 3. No. RM 14 48 39 (01/07/07 - 04/07/07)
Subjective Laki-laki/41tahun. DM: Febris, Parotitis, Tifoid. DU: Demam Tifoid. Keluhan masuk : tubuh masih panas sejak pemeriksaan awal tanggal 26/06 hingga sekarang, pusing, nyeri kepala, batuk, mual. Keadaan umum : CM, wajah memerah, tidak nafsu makan. Keadaan pulang : sembuh Objective
Tanggal periksa (Juli
2007) Parameter 1
Nilai normal
Kreatinin darah 1,2↑ Yaffe pria 0,6-1,1
mg/dL P-LCR 12,9↓ 15-25% MXD% 12,2↑ 0-8% WBC 5,7 4 – 11x 103 /µL
LYM% 21,1 19-48% NEUT% 66,7 40-74%
Tes Widal (01/07) Para ty.AH : 1/80 Para ty.BH : 1/320
Para ty.BO : 1/80 Para ty.CO : 1/80
TD: 120/80 mmHg Nadi : 80x/menit Suhu tubuh : 01/07 (36; 36,4; 36;37,3)˚C 02/07 (36,2; 37; 38; 36;
37,7)˚C 03/07 (36,5; 36,5; 36,5; 36,4;
36,5) ˚C 04/07 36˚C
Penatalaksanaan
Tanggal (Agustus 2007) Nama obat
01 02 03 04 Tiamfenikol 3x500 mg √ √ √ Methisoprinol 3x500 mg √ √ √ √ Parasetamol 3x500 mg √ √ √ √ Metampiron dan diazepam 3x500 mg √ √ √ √ Pefloksasin 1x400 mg √ √ Ranitidin HCl 50 mg/1amp (injeksi 2 ml)/12 jm √ √
Asam askorbat 1 g/5 ml (injeksi 5 ml) √ Metoklopramid HCl 10 mg/amp 3x1amp (injeksi 2 ml) √ √
Metampiron Na 500 mg/ml 3x1amp (injeksi 2 ml) √ √
Infus RL √ √ √ √ Assessment 1. Berdasarkan British National Formularium dan MIMS, pemberian Metoklopramid HCl bersama
parasetamol akan meningkatkan absorbsi parasetamol di usus halus. Potensial DTPs : Interaksi obat. 2. Berdasarkan MIMS, dosis Pefloksasin adalah 1 tablet dua kali sehari yaitu pagi dan malam hari. Dari
penggunaannya hanya satu kali sehari. Sehingga DTPs : Dosis terlalu rendah. Rekomendasi 1. Mengatur waktu pemberian metoklopramid HCl dan parasetamol agar tidak bersamaan. 2. Penggunaan pefloksasin dinaikkan menjadi dua kali sehari sehingga dosis tercapai.
68
Tabel XVII.Kajian DTPs Kasus 4 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008
Kasus 4. No. RM 14 64 69 (24/08/07 - 27/08/07) Subjective Laki-laki/20 tahun. DM: Febris hari ke IV dd malaria, infeksi virus. DU: Tifoid. Keluhan masuk : Badan meriang, pusing, batuk, tenggorokan sakit untuk menelan. Keadaan umum : CM, badan pegal-pegal. Keadaan pulang : membaik Objective
Tanggal periksa (Agustus 2007) Parameter
26 Nilai normal
Urin (bakteri) + -
SGPT 79,1↑ pria s/d 42 IU/L MCV 79,2↓ 81-99 fL MCH 24,9↓ 27-31 fL
MCHC 31,4↓ 33-37 pg WBC 8,1 4 – 11x 103 /µL
NEUT% 64,2 40-74% LYM% 18,4↓ 19-48 % MXD% 17,4↑ 0-8% MXD# 1,4↑ 0-1,2 x103 /µL
Tes Widal (25/07) Ty.H : 1/640 Ty.O : 1/80 Para ty.BO : 1/80
TD: 120/80 mmHg Nadi : 96x/menit Suhu tubuh : 24/08 (39,3; 37,2) ˚C 25/08 (37,2; 37,5; 36,5)˚C 26/08 (36,4; 36,5; 37;
36)˚C 27/08 36˚C
Penatalaksanaan
Tanggal (Agustus 2007) Nama obat 24 25 26 27
Parasetamol 3x500 mg √ √ √ Amoksisilin 3x500 mg √ Sanadryl ekspektoran® 3x 1½ cth √ √ √ Megazing® 1x1 √ √ √ Methisoprinol 3x500 mg √ √ √ Amoksisilin trihidrat, K-clavulanat 3x 625 mg √ √ √ Curcuma xanthorrhizae, kolin bitartrat® 3x1 √ √ √ Infus RL √ √ √ √
Assessment Terapi yang diberikan sudah tepat. 1. Pasien mengeluh badan meriang dan pusing, diberikan terapi Parasetamol. 2. Pasien terinfeksi bakteri berdasarkan hasil tes widal, diberi terapi Amoksisilin dan Amoksisilin trihidrat -
K-clavulanat. 3. Pasien mengalami batuk dan tenggorokan sulit menelan, diberi terapi Sanadryl ekspektoran® . 4. Hasil laboratorium menunjukkan SGPT meningkat yang menunjukkan ada gangguan hati yang
kemungkinan disebabkan oleh virus, sehingga diberikan Methisoprinol. 5. Untuk memproteksi hati diberikan Curcuma xanthorrhizae, kolin bitartrat® . 6. Untuk mengatasi badan pegal-pegal, diberikan Megazing® . Rekomendasi -
69
Tabel XVIII. Kajian DTPs Kasus 5 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008
Kasus 5. No. RM 14 64 58 (24/08/07 - 27/08/07)
Subjective Perempuan /21 tahun. DM: Observasi febris hari III. DU: Tifoid. Keluhan masuk : panas sudah tiga hari, pusing, mual, muntah. Keadaan umum : pasien pingsan, teraba panas, perut kadang sakit. Keadaan pulang : membaik Objective
Tanggal periksa (Agustus 2007) Parameter
26 Nilai normal
SGOT 33,5↑ wanita s/d 31 IU/L
SGPT 33↑ wanita s/d 32 IU/L
WBC 1,9↓ 4-11 x103 /µL MCHC 32,8 ↓ 33-37 pg P-LCR 14,5↓ 15-25% MXD% 8,1↑ 0-8% LYM# 0,6 ↓ 1-3,7 x103 /µL NEUT# 1,1↓ 1,5-7 x103 /µL LYM% 32,7 19-48% NEUT% 59,2 40-74%
Tes Widal (26/08) Para ty.BH : 1/80 TD: 110/70 mmHg Nadi : 120x/menit Suhu tubuh : 24/08 (38;38,3;39,3; 38,7;
37,5)˚C 25/08 (36,5; 37,2; 38,2;
37; 37; 37) ˚C 26/08 (36,8;36;37,8;36)˚C 27/08 36˚C
Penatalaksanaan
Tanggal (Agustus 2007) Nama obat 24 25 26 27
Parasetamol 3x500 mg √ √ √ Metoklopramid HCl 3x10 mg (k/p) √ √ √ √ Methisoprinol 3x500 mg √ √ √ Tiamfenikol 3x500 mg √ Enzyplex® 3x1 √ Metoklopramid HCl 10 mg/amp 1amp (injeksi 2 ml) √
Infus RL 30 tts/menit √ √ √ Assessment Berdasarkan British National Formularium dan MIMS, pemberian Metoklopramid HCl bersama Parasetamol akan meningkatkan absorbsi parasetamol di usus halus. Potensial DTPs: Interaksi obat. Rekomendasi Mengatur waktu pemberian metoklopramid HCl dan parasetamol agar tidak bersamaan.
70
Tabel XIX. Kajian DTPs Kasus 6 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Klasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008
Kasus 6. No. RM 14 58 46 (01/08/07 - 05/08/07) Subjective Perempuan /32 tahun. DM: Observasi febris hari ke X, malaise, tifoid. DU: Tifoid. Keluhan masuk : Pusing sudah 10 hari, batuk, nafsu makan kurang, punggung terasa panas. Keadaan umum : Badan lemas. Riwayat penyakit: Maag. Reaksi alergi : debu. Keadaan pulang : membaik Objective
Tanggal periksa (Agustus 2007) Parameter
1 Nilai normal
SGPT 45,7 ↑ wanita s/d 32 IU/L HDL-
Kolesterol 46↓ wanita > dari 65 mg/dL
Kreatinin darah 1,1↑ wanita 0,5-0,9
mg/dL MCHC 32,5 ↓ 33-37 pg P-LCR 11,8↓ 15-25% WBC 6,2 4-11 x103 /µL
LYM% 34,3 19-48% NEUT% 60,1 40-74%
Tes Widal (01/08) Ty.O : 1/80 Para ty.BH : 1/80 Para ty.CO : 1/160
TD: 120/80 mmHg Nadi : 80x/menit RR: 20x/mnt Suhu tubuh : 01/08 (36;36,5;36,7;36)˚C 02/08 (36; 36,8; 36) ˚C 03/08 (36,8; 36,6; 37,9)˚C 04/08 (36,5; 37) ˚C 05/08 (36,4; 37) ˚C
Penatalaksanaan
Tanggal (Agustus 2007) Nama obat 01 02 03 04 05
Al(OH)3, Mg(OH)2 + simethicone (sirup 100 ml) 3 x cth I √ √ √ √
Mebeverin HCl 3x135 mg √ √ √ √ Pefloksasin 1x400 mg √ √ √ Dimenhidrinate 3x1 √ √ Siprofloksasin 2x500 mg √ √ Omeprazol 1x20 mg √ Ranitidin HCl 50 mg/amp 2x1 amp (injeksi 2 ml) √ √ √ √
Metampiron Na 500 mg/ml 1 amp √ Ondansetron HCl 2x1 amp (injeksi 4 mg/2 ml) (k/p) √ √
Difenhidramina-HCl 2cc (injeksi i.m) √ Infus Dekstrosa 5% √ √ √ √ √
Assessment 1. Berdasarkan British National Formularium dan MIMS, pemberian Pefloksasin bersama dengan antasida
yang mengandung aluminium dan magnesium akan menurunkan absorpsi pefloksasin. Potensial DTPs : Interaksi obat. (Menurut Drug Interaction Facts, signifikansinya 2)
2. Berdasarkan British National Formularium dan MIMS, pemberian Siprofloksasin bersama dengan antasida yang mengandung aluminium dan magnesium akan menurunkan absorpsi siprofloksasin. Potensial DTPs : Interaksi obat. (Menurut Drug Interaction Facts, signifikansinya 2)
Rekomendasi 1. Mengatur waktu pemberian pefloksasin dan antasida agar tidak bersamaan. 2. Mengatur waktu pemberian siprofloksasin dan antasida agar tidak bersamaan.
71
Tabel XX. Kajian DTPs Kasus 7 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008
Kasus 7. No. RM 13 98 90 (17/08/07 - 18/08/07)
Subjective Laki-laki /75 tahun. DM: Tifoid, Hipertensi. DU: Tifoid. Keluhan masuk : Bila malam hari tubuh terasa panas, menggigil. Keadaan pulang : membaik Objective
Tanggal periksa (Agustus 2007) Parameter
18 Nilai normal
HGB 11,7↓ 12-16,5 g/dL HCT 33,7↓ 37-47 % RDW 50,8↑ 35-47 fL PDW 8,8↓ 9-13 fL
P-LCR 8,1↓ 15-25% MXD% 14,4↑ 0-8% WBC 5,6 4-11 x103 /µL
LYM% 30,4 19-48% NEUT% 55,2 40-74%
Tes Widal (17/08) Ty.O : 1/320 Para ty.CO : 1/80
TD: 160/90 mmHg Nadi : 100x/menit Suhu tubuh : 18/08 (36,5; 36; 36,5; 37;
37,4;36) ˚C 19/08 (36,4; 35,5) ˚C
Penatalaksanaan
Tanggal (Agustus
2007)
Nama obat
18 19 Tiamfenikol 3x500 mg √ √ Parasetamol 3x500 mg √ Becom-C® 1x1 √ √ Captopril 2 x 12,5 mg √ √ Infus RL √ √
Assessment Terapi yang diberikan sudah tepat. 1. Pasien terinfeksi bakteri berdasarkan hasil tes widal, diberikan terapi Tiamfenikol. 2. Pasien mengeluhkan tubuh terasa panas dan menggigil, sehingga diberi Parasetamol. 3. Untuk mengatasi hipertensi yang diderita, pasien diberi terapi Captopril. 4. Untuk meningkatkan daya tahan tubuh, pasien diberi multivitamin yaitu Becom-C. Rekomendasi -
72
Tabel XXI. Kajian DTPs Kasus 8 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008
Kasus 8. No. RM 14 67 22 (03/09/07 - 05/09/07) Subjective Perempuan /45 tahun. DM: Tifoid. DU: Tifoid. Keluhan masuk : Badan teraba tidak panas, sedikit pusing, sering berkeringat dingin disertai mual. Keadaan umum: CM, mual, muntah sekali. Keadaan pulang : membaik Objective
Tanggal periksa
(September 2007) Parameter 03
Nilai normal
WBC 2,8↓ 4-11 x103 /µL HGB 11,7↓ 12-16,5 g/dL MCV 74,9↓ 81-99 fL MCH 23,7↓ 27-31 fL
MCHC 31,6 ↓ 33-37 pg PLT 98↓ 150-450x103 /µL PDW 14,1 ↑ 9-13 fL MPV 11,2↑ 7,2-11,1 fL
P-LCR 33,3 ↑ 15-25% MXD% 29,2↑ 0-8% LYM% 45,2 19-48% NEUT% 25,6↓ 40-74 % NEUT# 0,7↓ 1,5-7 x103 /µL
Tes Widal (03/09) Ty.H : 1/160 Para ty.CH : 1/640 Para ty.CO : 1/320
TD: 140/70 mmHg Suhu tubuh : 04/09 (36,2; 36,5; 36,5)˚C 05/09 36,7 ˚C
Penatalaksanaan
Tanggal (September 2007) Nama obat 03 04 05
Metampiron 3x500 mg √ √ Diazepam 3x2 mg √ √ Ranitidin 2x 150 mg √ Metoklopramid 3x10 mg √ √ Pefloksasin 2x400 mg √ √ Parasetamol 3x500 mg √ Becom-C® 2x1 √ Metampiron Na 500 mg/ml 1 amp √ Ranitidin HCl 50 mg/amp 1 amp (injeksi 2 ml) √
Infus RL √ √ √ Assessment 1. Berdasarkan British National Formularium dan MIMS, pemberian Metoklopramid HCl bersama Parasetamol
akan meningkatkan absorbsi parasetamol di usus halus. Potensial DTPs : Interaksi obat. 2. Berdasarkan Drug Interaction Facts, pemberian Diazepam bersama Ranitidin bisa menaikkan atau menurunkan
efek dari Diazepam. Potensial DTPs : Interaksi obat. (Menurut Drug Interaction Facts signifikansinya 5). Rekomendasi 1. Mengatur waktu pemberian metoklopramid HCl dan parasetamol agar tidak bersamaan. 2. Mengatur waktu pemberian diazepam dan ranitidin agar tidak bersamaan.
73
Tabel XXII. Kajian DTPs Kasus 9 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008
Kasus 9. No. RM 14 67 37 (04/09/07 - 06/09/07)
Subjective Perempuan /25 tahun. DM: Observasi typhoid febris dengan vomitus hari kedua. DU: Tifoid. Keluhan masuk : Pusing, muntah, sudah 2 hari panas. Keadaan umum: CM, mual, muntah sekali, perut mulas, badan gemetar, dada sesak. Keadaan pulang : sembuh Objective
Tanggal periksa
(September 2007) Parameter 04
Nilai normal
WBC 5,9 4-11 x103 /µL MCHC 32,4 ↓ 33-37 pg P-LCR 14,3 ↓ 15-25% LYM% 13,1↓ 19-48 % NEUT% 80,4 ↑ 40-74 % LYM# 0,8↓ 1-3,7 x103 /µL
Tes Widal (04/09) Para ty.BO : 1/80 Para ty.CO : 1/80
TD: 100/60 mmHg Nadi : 76x/menit Suhu tubuh : 04/09 (38; 36; 36; 36,5)˚C 05/09 (36; 36; 37;37) ˚C 06/09 (36; 36,8) ˚C
Penatalaksanaan
Tanggal (September 2007)
Nama obat
04 05 06 Parasetamol 3x500 mg √ √ √ Metoklopramid HCl 3x10 mg √ √ Attapulgit, pektin 3x 2 (k/p) √ √ Tiamfenikol 3x500 mg √ √ Metoklopramid HCl 10 mg/amp 1amp (injeksi 2 ml)
√
Metampiron Na 500 mg/ml 1 amp √ Infus RL 15 tts/mnt √ √ Infus KAEN 3A √
Assessment Berdasarkan British National Formularium dan MIMS, pemberian Metoklopramid HCl bersama Parasetamol akan meningkatkan absorbsi parasetamol di usus halus. Potensial DTPs : Interaksi obat. Rekomendasi Mengatur waktu pemberian metoklopramid HCl dan parasetamol agar tidak bersamaan.
74
Tabel XXIII. Kajian DTPs Kasus 10 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008
Kasus 10. No. RM 14 68 51 (07/09/07 - 10/09/07)
Subjective Laki-laki /32 tahun. DM: Febris hari ke-5, tifoid. DU: Tifoid. DK: Tifoid, Hepatitis. Keluhan masuk : Badan panas, pusing berat, mual, muntah, kedinginan. Keadaan umum: CM, tak ada nafsu makan. Keadaan pulang : membaik. Objective
Tanggal periksa
(September 2007) Parameter 07
Nilai normal
SGOT 184,2↑ pria s/d 37 IU/L SGPT 97,4↑ pria s/d 42 IU/L WBC 3,8 ↓ 4-11 x103 /µL PLT 103↓ 150-450x103 /µL
MXD% 10,2↑ 0-8 % LYM% 37,5 19-48 % NEUT% 52,3 40-74 %
Tes Widal (07/09) Ty.H : 1/1280
TD: 100/70 mmHg Nadi : 80x/menit Suhu tubuh : 07/09 37,5˚C 08/09 (36,5; 36,5;36,8;
36,8; 36,8) ˚C 09/09 (36,5; 36,6) ˚C 10/09 (36; 37,5) ˚C
Penatalaksanaan
Tanggal (September 2007) Nama obat 07 08 09 10
Parasetamol dan asetil sistein 3x500 mg √ √ √ Pefloksasin 2x400 mg √ √ Pefloksasin 1x400 mg √ Metampiron dan diazepam 3x500 mg √ √ √ Domperidon 3x10 mg √ √ √ Curcuma xanthorrhizae, kolin bitartrat® 3x1
√ √ √
Metampiron Na 500 mg/ml 1 amp √ Infus RL 15 tts/mnt √ √ √ √
Assessment 1. Berdasarkan MIMS, dosis Pefloksasin adalah 1 tablet dua kali sehari yaitu pagi dan malam
hari. Dari penggunaannya yaitu pada tanggal 10 hanya satu kali sehari. Sehingga DTPs : Dosis terlalu rendah.
2. Berdasarkan British National Formularium, penggunaan bersama Domperidon dan parasetamol akan meningkatkan absorpsi parasetamol. Potensial DTPs : Interaksi obat.
Rekomendasi 1. Penggunaan pefloksasin dinaikkan menjadi dua kali sehari sehingga dosis tercapai. 2. Mengatur waktu pemberian domperidon dan parasetamol-asetil sistein agar tidak bersamaan.
75
Tabel XXIV. Kajian DTPs Kasus 11 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008
Kasus 11. No. RM 14 83 30 (27/10/07 - 29/10/07)
Subjective Perempuan /21 tahun. DM: Febris 1 minggu duga tifoid. DU: Tifoid. Keluhan masuk : Panas, pusing, mual, muntah, sakit perut. Keadaan umum: CM, badan teraba hangat. Keadaan pulang : membaik. Objective
Tanggal periksa (Oktober 2007) Parameter
27 Nilai normal
WBC 8 4-11 x103 /µL HGB 11,8↓ 12-16,5 g/dL MCV 77,8 ↓ 81-99 fL MCH 24,7 ↓ 27-31 fL
MCHC 31,8 ↓ 33-37 pg P-LCR 11,8 ↓ 15-25% MXD% 12,6 ↑ 0-8 % LYM% 27 19-48 % NEUT% 60,4 40-74 %
Tes Widal (24/10) Ty.H : 1/80 Ty.O : 1/40 Para ty.AH : 1/40 Para ty.BH : 1/160 Para ty.BO : 1/20
TD: 110/70 mmHg Nadi : 84x/menit Suhu tubuh : 27/10 (37,2; 36,7) ˚C 28/10 (37; 37; 37) ˚C 29/10 36,5˚C
Penatalaksanaan
Tanggal (Oktober 2007)
Nama obat
27 28 29 Parasetamol 3x500 mg √ √ √ Pefloksasin 2x400 mg √ √ √ Al(OH)3, Mg(OH)2 + simethicone (sirup 100 ml) 3 x cth I
√ √
Infus RL 30 tts/mnt √ √
Assessment Berdasarkan British National Formularium dan MIMS, pemberian Pefloksasin bersama dengan antasida yang mengandung aluminium dan magnesium akan menurunkan absorpsi pefloksasin. Potensial DTPs : Interaksi obat. (Menurut Drug Interaction Facts, signifikansinya 2) Rekomendasi Mengatur waktu pemberian pefloksasin dan antasida agar tidak bersamaan.
76
Tabel XXV. Kajian DTPs Kasus 12 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Klasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008
Kasus 12. No. RM 14 82 17 (24/10/07 - 27/10/07)
Subjective Perempuan /20 tahun. DM: Febris hari ke-3, cephalgia, tifoid. DU: Tifoid. Keluhan masuk: Badan panas, pusing, nafsu makan menurun, mual, muntah lebih dari 10x. Keadaan umum: CM, badan lemas. Keadaan pulang : membaik. Objective
Tanggal periksa (Oktober 2007) Parameter
24 Nilai normal
WBC 8,3 4-11 x103 /µL MCHC 32,2 ↓ 33-37 pg LYM% 17,7↓ 19-48 % NEUT% 74,7 ↑ 40-74 %
Tes Widal (24/10) Ty.H : 1/320 Ty.O : 1/160
Para ty.BH : 1/80 Para ty.BO : 1/320 Para ty.CO : 1/160
TD: 100/60 mmHg Nadi : 80x/menit Suhu tubuh : 24/10 (37,5; 36,7; 37,4;
36) ˚C 25/10 (37; 38; 37,7; 37;
36,5) ˚C 26/10 (36; 37,2; 37,5;
37,8; 35,4) ˚C 27/10 36,3˚C
Penatalaksanaan
Tanggal (Oktober 2007) Nama obat 24 25 26 27
Parasetamol 3x500 mg (k/p) √ √ Al(OH)3, Mg(OH)2 + simethicone (sirup 100 ml) 3 x cth I
√ √ √ √
Amoxicilin 3x500 mg √ √ Metampiron dan diazepam 3x500 mg
√ √ √ √
Tiamfenikol 3x500 mg √ √ √ Metoklopramid HCl 10 mg/amp 1amp (injeksi 2 ml)/8 jam
√ √ √
Infus RL 300 cc √ √ √ √ Assessment Berdasarkan British National Formularium dan MIMS, pemberian Metoklopramid HCl bersama Parasetamol akan meningkatkan absorbsi parasetamol di usus halus. Potensial DTPs: Interaksi obat. Rekomendasi Mengatur waktu pemberian metoklopramid HCl dan parasetamol agar tidak bersamaan.
77
Tabel XXVI. Kajian DTPs Kasus 13 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008
Kasus 13. No. RM 14 74 86 (05/10/07 - 08/10/07)
Subjective Laki-laki /30 tahun. DM: Febris sudah seminggu, tifoid. DU: Tifoid. Keluhan masuk : Badan panas, pusing, batuk, pilek, pendengaran telinga sebelah kiri berkurang, mual, kadang muntah. Keadaan umum: CM, akral hangat, perut kembung. Keadaan pulang : membaik. Objective
Tanggal periksa (Oktober 2007) Parameter
05 Nilai normal
SGPT 53,2 ↑ pria s/d 42 IU/L WBC 7,4 4-11 x103 /µL
Tes Widal (01/10) Ty.H : 1/320
TD: 90/60 mmHg Nadi : 80x/menit Suhu tubuh : 05/10 36˚C 06/10 (36; 36; 36) ˚C 07/10 (36; 36; 36,3; 36;
36,6; 36) ˚C 08/10 36˚C
Penatalaksanaan
Tanggal (Oktober 2007) Nama obat 05 06 07 08
Tiamfenikol 3x500 mg √ √ √ Ambroxol, pseudoefedrin, triprolidin hidroklorida + OBH dan sirup timi 3x cth II
√ √
Parasetamol 3x500 mg (k/p) √ √ √ Chlordiazepoxid 5 mg, clidinium Br 2,5 mg; 2x1
√ √ √
Al(OH)3, Mg(OH)2 + simethicone (sirup 100 ml) 3 x cth I
√ √
√
Infus RL 15 tts/mnt √ √ √ √ Assessment Terapi yang diberikan sudah tepat. 1. Pasien terinfeksi bakteri berdasarkan hasil tes widal, diberikan terapi Tiamfenikol. 2. Pasien mengeluhkan badan terasa panas dan pusing, sehingga diberi Parasetamol. 3. Mengatasi batuk yang diderita pasien, diberikan terapi campuran obat batuk cair. 4. Mengobati mual, muntah, diberikan antasida yang mengandung Al(OH)3, Mg(OH)2 +
simethicone 5. Untuk terapi simptomatik tukak lambung dan kembung, diberikan antispasmodik yaitu
Chlordiazepoxid - clidinium Bromida. Rekomendasi -
78
Tabel XXVII. Kajian DTPs Kasus 14 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008
Kasus 14. No. RM 14 82 83 (26/10/07 - 30/10/07) Subjective Perempuan /36 tahun. DM: Febris sudah 5 hari, tifoid. DU: Tifoid. Keluhan masuk : Seminggu panas, pusing, batuk, mual, muntah. Keadaan umum: CM, akral hangat, badan lemas. Keadaan pulang: membaik. Objective
Tanggal periksa (Oktober 2007) Parameter
26 Nilai normal
SGOT 80,6↑ wanita s/d 31 IU/L SGPT 104,6↑ wanita s/d 32 IU/L MCHC 32,1 ↓ 33-37 pg PDW 15,4 ↑ 9-13 fL MPV 11,4 ↑ 7,2-11,1 fL
P-LCR 35,8↑ 15-25% WBC 8,9 4-11 x103 /µL
LYM% 31,2 19-48 % NEUT% 64,6 40-74 %
Tes Widal (26/10) Ty.H : 1/80 Para ty.CO : 1/80
TD: 90/60 mmHg Nadi : 76x/menit Suhu tubuh : 26/10 (39,5; 39,3; 36,5;
36,2; 37,9; 38,3)˚C 27/10 (36,2; 36; 36,5; 37,2;
38,2) ˚C 28/10 (36; 36,8; 37,5; 36,4;
37,6;37,4)˚C 29/10 (37,2; 36,9; 36,5;
36,6) ˚C 30/10 36,3˚C
Penatalaksanaan
Tanggal (Oktober 2007) Nama obat
26 27 28 29 30 Pefloksasin 1x400 mg √ √ √ √ √ Parasetamol dan asetil sistein 3x500 mg
√ √ √ √ √
Enerplus® 1x1 √ √ √ √ √ Al(OH)3, Mg(OH)2 + simethicone (sirup 100 ml) 3 x cth I
√ √ √ √ √
Sanadryl ekspektoran® 3x 2 cth √ √ √ √ √ Curcuma xanthorrhizae, kolin bitartrat® 2x1
√ √ √ √
Metampiron Na 500 mg/ml 1amp √ Infus RL √ √ √ √ √
Assessment 1. Berdasarkan British National Formularium dan MIMS, pemberian Pefloksasin bersama dengan antasida
yang mengandung aluminium dan magnesium akan menurunkan absorpsi pefloksasin. Potensial DTPs : Interaksi obat. (Menurut Drug Interaction Facts, signifikansinya 2)
2. Berdasarkan MIMS, dosis Pefloksasin adalah 1 tablet dua kali sehari yaitu pagi dan malam hari. Dari penggunaannya yaitu hanya satu kali sehari. Sehingga DTPs : Dosis terlalu rendah.
Rekomendasi 1. Mengatur waktu pemberian pefloksasin dan antasida agar tidak bersamaan. 2. Penggunaan pefloksasin dinaikkan menjadi dua kali sehari sehingga dosis tercapai.
79
Tabel XXVIII. Kajian DTPs Kasus 15 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008
Kasus 15. No. RM 14 89 42 (19/11/07 - 23/11/07) Subjective Laki-laki /24 tahun. DM: Febris hari ke-3 dan vomitus. DU: Tifoid. Keluhan masuk : badan panas, mual, muntah-muntah. Keadaan umum: CM, akral hangat, badan lemas. Keadaan pulang : membaik. Objective
Tanggal periksa
(November 2007) Parameter 19
Nilai normal
SGOT 101,7 ↑ pria s/d 37 IU/L SGPT 101,3 ↑ pria s/d 42 IU/L WBC 7 4-11 x103 /µL MCV 73,8 ↓ 81-99 fL MCH 23 ↓ 27-31 fL
MCHC 31,2 ↓ 33-37 pg LYM% 13,3↓ 19-48 % NEUT% 82,4 ↑ 40-74 % LYM# 0,9↓ 1-3,7 x103 /µL
Tes Widal (20/11) Ty.H : 1/320 Ty.O : 1/160 Para ty.AO : 1/160 Para ty.BH : 1/160
TD: 120/60 mmHg Nadi : 96x/menit Suhu tubuh : 19/11 (39,2; 38,5; 38,5;
36,9; 37,5; 37,8; 38,2)˚C
20/11 (37; 38; 38,5; 38; 38,4)˚C
21/11 (37,7; 37,5; 37,5; 36) ˚C
22/11 (36; 36,6; 37,2) ˚C 23/11 36˚C
Penatalaksanaan
Tanggal (November 2007) Nama obat
19 20 21 22 23 Parasetamol 3x500 mg √ √ √ √ √ Enerplus® 1x1 √ √ √ √ √ Curcuma xanthorrhizae, kolin bitartrat® 3x1
√ √ √ √ √
Pefloksasin 1x400 mg √ √ √ Metil prednisolon 3x4 mg √ √ √ Metampiron Na 500 mg/ml 1 amp √ Metoklopramid HCl 10 mg/amp 1amp (injeksi 2 ml)/8 jam
√
Infus RL 20 tts/mnt √ √ √ Infus KAEN (KN3B) 30 tts/mnt √ √ √
Assessment 1. Berdasarkan MIMS, dosis Pefloksasin adalah 1 tablet dua kali sehari yaitu pagi dan malam hari. Dari
penggunaannya yaitu hanya satu kali sehari. Sehingga DTPs : Dosis terlalu rendah. 2. Berdasarkan British National Formularium dan MIMS, pemberian Metoklopramid HCl bersama
Parasetamol akan meningkatkan absorbsi parasetamol di usus halus. Potensial DTPs: Interaksi obat. Rekomendasi 1. Penggunaan pefloksasin dinaikkan menjadi dua kali sehari sehingga dosis tercapai. 2. Mengatur waktu pemberian metoklopramid HCl dan parasetamol agar tidak bersamaan.
80
Tabel XXIX. Kajian DTPs Kasus 16 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008
Kasus 16. No. RM 14 89 51 (19/11/07 - 23/11/07) Subjective Perempuan /14 tahun. DM: Demam tifoid. DU: Tifoid. Keluhan masuk : Panas, ulu hati dan perut perih, pusing, muntah, kadang-kadang batuk. Keadaan umum: CM, teraba panas, badan lemas. Keadaan pulang: sembuh. Objective
Tanggal periksa
(November 2007) Parameter 19
Nilai normal
WBC 6,3 4-11 x103 /µL HGB 11,9↓ 12-16,5 g/dL MCH 25,2 ↓ 27-31 fL
MCHC 30,4 ↓ 33-37 pg MXD% 8,1↑ 0-8 % LYM% 29,7 19-48 % NEUT% 62,2 40-74 %
Tes Widal (19/11) Ty.H : 1/1280 Para ty.BH : 1/320 Para ty.BO : 1/160 Para ty.CO : 1/160
TD: 100/50 mmHg Nadi : 82x/menit RR : 16x/mnt Suhu tubuh : 19/11 (40; 38,6; 37,3) ˚C 20/11 (37,5; 37,2; 37,4; 38;
39,2) ˚C 21/11 (38,5; 37; 37,5; 37,5;
36,6) ˚C 22/11 (37,6; 37; 36,8;
36,2)˚C 23/11 37˚C
Penatalaksanaan
Tanggal (November 2007) Nama obat
19 20 21 22 23 Tiamfenikol 3x500 mg √ √ √ √ √ Parasetamol 3x500 mg √ √ √ √ √ Al(OH)3, Mg(OH)2 +simethicone (sirup 100 ml) 3x 2 cth
√ √ √ √ √
Metilprednisolon 3x2 mg (½ tab)
√ √ √
Ranitidin HCl 50 mg/amp 2x1amp (inj.2 ml)/12 jm
√ √ √
Metampiron Na 500 mg/ml 1amp √ Infus RL √ √ √ Infus KAEN (KN3B) 20 tts/mnt √ √ √
Assessment Terapi yang diberikan sudah tepat. 1. Pasien terinfeksi bakteri berdasarkan hasil tes widal, diberikan terapi Tiamfenikol. 2. Pasien mengeluhkan badan terasa panas dan pusing, sehingga diberi Parasetamol dan juga Metampiron
Na. 3. Keluhan muntah diatasi dengan obat antitukak, sehingga diberikan antasida yang mengandung Al(OH)3,
Mg(OH)2 +simethicone dan Ranitidin HCl. Rekomendasi -
81
Tabel XXX. Kajian DTPs Kasus 17 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat
Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008 Kasus 17. No. RM 14 49 04 (11/11/07 - 14/11/07)
Subjective Perempuan /17 tahun. DM: Observasi febris +trombositopenia; DHF, Tifoid. DU: Tifoid. Keluhan masuk : Panas, pusing, perut terasa mual. Keadaan umum: CM, teraba dingin, gemetar. Keadaan pulang: membaik. Objective
Tanggal periksa
(November 2007) Parameter 19
Nilai normal
WBC 5,5 4-11 x103 /µL HCT 36,4↓ 37-47 %
MCHC 32,7 ↓ 33-37 pg PLT 95↓ 150-450x103 /µL PDW 16 ↑ 9-13 fL MPV 11,2 ↑ 7,2-11,1 fL
P-LCR 34,5↑ 15-25% LYM% 27,9 19-48 % NEUT% 66,6 40-74 %
Tes Widal (19/11) Ty.O : 1/80 Para ty.BO : 1/320 Para ty.CO : 1/320
TD: 100/80 mmHg Nadi : 88x/menit Suhu tubuh : 11/11 (36,7; 38,3; 39,2;
38,9; 38; 39)˚C 12/11 (37,5; 37,2; 37,4;
37) ˚C 13/11 (38; 36,9; 36,2;
36,5) ˚C 14/11 (36; 36)˚C
Penatalaksanaan
Tanggal (November 2007) Nama obat
11 12 13 14 Parasetamol 3x500 mg √ √ √ √ Tiamfenikol 3x500 mg √ √ AlOH, MgOH, simeticon 3x2 cth (suspensi 100 ml)
√ √ √ √
Becom-C® 1x1 √ √ √ √ Pefloksasin 1x400 mg √ √ Metil prednisolon 3x4 mg √ √ Infus RL 20 tts/mnt √ √ √ √
Assessment 1. Berdasarkan MIMS, dosis Pefloksasin adalah 1 tablet dua kali sehari yaitu pagi dan malam
hari. Dari penggunaannya yaitu hanya satu kali sehari. Sehingga DTPs : Dosis terlalu rendah. 2. Berdasarkan British National Formularium dan MIMS, pemberian Pefloksasin bersama
dengan antasida yang mengandung aluminium dan magnesium akan menurunkan absorpsi pefloksasin. Potensial DTPs : Interaksi obat. (Menurut Drug Interaction Facts, signifikansinya 2)
Rekomendasi 1. Penggunaan pefloksasin dinaikkan menjadi dua kali sehari sehingga dosis tercapai. 2. Mengatur waktu pemberian pefloksasin dan antasida agar tidak bersamaan.
82
Tabel XXXI. Kajian DTPs Kasus 18 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat
Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008 Kasus 18. No. RM 14 91 03 (24/11/07 - 30/11/07)
Subjective Laki-laki /53 tahun. DM: Observasi Febris 1 minggu dan dispepsia. DU: Tifoid. Keluhan masuk : Pusing, mual, badan lemas kurang lebih seminggu, tidak ada nafsu makan, sesak, muntah. Keadaan pulang : membaik. Objective
Tanggal periksa
(November 2007) Parameter 24
Nilai normal
SGOT 101,9 ↑ pria s/d 37 IU/L WBC 13,7↑ 4-11 x103 /µL MCV 70,5 ↓ 81-99 fL MCH 20,9 ↓ 27-31 fL
MCHC 29,6 ↓ 33-37 pg LYM% 12↓ 19-48 % MXD% 10,3↑ 0-8 % NEUT% 77,7 ↑ 40-74 % MXD# 1,4↑ 0-1,2 x103 /µL NEUT# 10,7↓ 1,5-7 x103 /µL
Tes Widal (24/11) Ty.H : 1/1280 Para ty.CO : 1/80
TD: 100/70 mmHg Nadi : 112x/menit Suhu tubuh : 24/11 (36,9; 36,3)˚C 25/11 (36,7; 36,5)˚C 26/11 (36; 36,3; 37,6)˚C 27/11 (36,5;36)˚C 28/11 (36,5; 36; 36,5)˚C 29/11 (35,6; 36,4)˚C 30/11 36˚C
Penatalaksanaan
Tanggal (November 2007) Nama obat 24 25 26 27 28 29 30
Sucralfat 3x10 cc (500 mg/ml) √ √ √ √ √ √ √ Enerplus® 1x1 √ √ √ √ √ √ Pefloksasin 1x400 mg √ √ √ √ √ √ Parasetamol dan asetil sistein 3x500 mg (k/p)
√ √ √ √
Metoklopramid HCl 10 mg/amp 1amp (injeksi 2 ml)/8 jam
√
Ranitidin HCl 50 mg/amp 2x1amp (injeksi 2 ml)/12 jm
√ √ √ √ √ √ √
Ondansentron HCl 4 mg/amp 1 amp √ Ketoprofen 50 mg/ml 1 amp √ Infus KAEN 3B 20 tts/mnt √ √ √ √ √ √
Assessment 1. Berdasarkan MIMS, dosis Pefloksasin adalah 1 tablet dua kali sehari yaitu pagi dan malam hari. Dari penggunaannya
yaitu hanya satu kali sehari. Sehingga DTPs : Dosis terlalu rendah. 2. Pemberian obat Pefloksasin bersamaan dengan Sukralfat akan menurunkan absorpsi dari pefloksasin. Potensial
DTPs:Interaksi obat.. (Menurut Drug Interaction Facts, signifikansinya 2) 3. Berdasarkan MIMS, penggunaan ranitidin HCl bersamaan dengan sukralfat akan menurunkan absorpsi dari ranitidin
HCl. Potensial DTPs : Interaksi obat. 4. Berdasarkan British National Formularium, penggunaan bersama Ketoprofen (AINS) dengan pefloksasin (kuinolon)
akan meningkatkan resiko terjadinya kejang. Potensial DTPs: Interaksi obat. 5. Pada Drug Interaction Facts, penggunaan Ketoprofen dengan Ranitidin akan menimbulkan efek berubahnya efek
terapi dari Ketoprofen. Potensial DTPs : Interaksi obat.. (Signifikansinya 5) Rekomendasi 1. Penggunaan pefloksasin dinaikkan menjadi dua kali sehari sehingga dosis tercapai. 2. Mengatur waktu pemberian pefloksasin dan sukralfat agar tidak bersamaan. 3. Mengatur waktu pemberian ranitidin HCl dan sukralfat agar tidak bersamaan. 4. Mengatur waktu pemberian ketoprofen dan pefloksasin agar tidak bersamaan. 5. Cukup aman karena keberbahayaannya relatif ringan sehingga tidak dibutuhkan intervensi secara klinis.
83
Tabel XXXII. Kajian DTPs Kasus 19 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008
Kasus 19. No. RM 14 90 63 (23/11/07 - 25/11/07)
Subjective Perempuan /19 tahun. DM: Observasi Febris hari ke-5. DU: Tifoid. Keluhan masuk : Panas, mual, sedikit pusing. Keadaan pulang : membaik. Objective
Tanggal periksa
(November 2007) Parameter 23
Nilai normal
SGOT 57,3↑ wanita s/d 31 IU/L
WBC 3,5↓ 4-11 x103 /µL MCHC 32,2 ↓ 33-37 pg
PLT 147↓ 150-450x103 /µL MXD% 8,7↑ 0-8 % LYM% 36,1 19-48 % NEUT% 55,2 40-74 %
Tes Widal (23/11) Ty.O : 1/80 Para ty.CO : 1/80
TD: 100/60 mmHg Nadi : 78x/menit Suhu tubuh : 23/11 (37,8; 36;36,2;
36,6; 36,7; 36,6)˚C 24/11 (36,5; 36,6;36,5) ˚C 25/11 36,6˚C
Penatalaksanaan
Tanggal (November 2007)
Nama obat
23 24 25 Tiamfenikol 3x500 mg √ √ √ Parasetamol 3x500mg (k/p) √ √ Metampiron dan diazepam 3x500 mg (k/p)
√ √
Domperidon 3x10 mg √ √ Attapulgit, pektin 3x 2 tab √ √ √ Metoklopramid HCl 10 mg/amp 1amp (injeksi 2 ml)
√
Metampiron Na 500 mg/ml 1amp (injeksi 2 ml)
√ √ √
Infus RL 15 tts/mnt √ √ √ Assessment Berdasarkan British National Formularium, penggunaan bersama Domperidon dan parasetamol akan meningkatkan absorpsi parasetamol. Potensial DTPs : Interaksi obat. Rekomendasi Mengatur waktu pemberian domperidon dan parasetamol agar tidak bersamaan.
84
Tabel XXXIII. Kajian DTPs Kasus 20 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008
Kasus 20. No. RM 14 94 93 (25/11/07 - 28/11/07) Subjective Perempuan /27 tahun. DM: Febris susp Tifoid. DU: Tifoid. Keluhan masuk : Badan panas, pusing, mual. Keadaan pulang : membaik. Objective
Tanggal periksa
(November 2007) Parameter 25
Nilai normal
WBC 1,19↓ 4-11 x103 /µL RBC 3,39↓ 3,8-5,8 x106/ µL HGB 9,2↓ 12-16,5 g/dL HCT 29,5↓ 37-47 %
MCHC 31,2 ↓ 33-37 pg PLT 141↓ 150-450x103 /µL
P-LCR 29,9↑ 15-25% LYM# 0,4↓ 1-3,7 x103 /µL NEUT# 1,4↓ 1,5-7 x103 /µL LYM% 22,5 19-48 % NEUT% 70,3 40-74 %
Tes Widal (25/11) Ty.O : 1/160 Para ty.CO : 1/160
TD: 90/50 mmHg Nadi : 106x/menit Suhu tubuh : 25/12 (39,5; 36,5;36,2) ˚C 26/12 (36,5;37;36,3;37)˚C 27/12 (37; 37,2; 37; 36)˚C 28/12 37˚C
Penatalaksanaan
Tanggal (November 2007) Nama obat
25 26 27 28 Pefloksasin 2x400 mg √ √ √ √ Echinacea, zinc picolinat 3x1 √ √ √ √ Parasetamol 3x500mg √ √ √ √ Al(OH)3, Mg(OH)2 + simethicone (sirup 100 ml) 3 x 10 cc
√ √ √
Ranitidin HCl 50 mg/amp 2x1amp (injeksi 2 ml)
√ √ √
Metampiron Na 500 mg/ml 1amp (injeksi 2 ml)
√
Infus RL 30 tts/mnt √ √ √ Assessment Berdasarkan British National Formularium dan MIMS, pemberian Pefloksasin bersama dengan antasida yang mengandung aluminium dan magnesium akan menurunkan absorpsi pefloksasin. Potensial DTPs : Interaksi obat. (Menurut Drug Interaction Facts, signifikansinya 2) Rekomendasi Mengatur waktu pemberian pefloksasin dan antasida agar tidak bersamaan.
85
Tabel XXXIV. Kajian DTPs Kasus 21 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008
Kasus 21. No. RM 14 96 03 (09/12/07 - 11/12/07) Subjective Laki-laki /19 tahun. DM: Febris dan vomitus. DU: Tifoid. Keluhan masuk : Sakit perut sudah 2 minggu, pusing, demam, muntah ± 10 kali. Keadaan pulang : belum sembuh. Objective
Tanggal periksa
(Desember 2007) Parameter 09
Nilai normal
Natrium (Na) 146↑ 136-145 mmol/L
Klorida (Cl) 113↑ 97-111 mmol/L WBC 10,9 4-11 x103 /µL MCV 78,7 ↓ 81-99 fL MCH 25,1 ↓ 27-31 fL
MCHC 31,9 ↓ 33-37 pg P-LCR 14,1 ↓ 15-25% LYM% 6,1↓ 19-48 % NEUT% 90,8 ↑ 40-74 % LYM# 0,7↓ 1-3,7 x103 /µL NEUT# 9,9↓ 1,5-7 x103 /µL
Tes Widal (09/12) Para ty.BO : 1/80
TD: 120/70 mmHg Nadi : 84x/menit Suhu tubuh : 09/12 (37,4; 36,7; 37;
36,7; 35,8) ˚C 10/12 (37; 37) ˚C
Penatalaksanaan
Tanggal (Desember 2007)
Nama obat
09 10 Parasetamol dan asetil sistein 3x500 mg
√ √
Enerplus® 1x1 √ √ Tiamfenikol 3x500 mg √ Metoklopramid HCl 10 mg/amp 1amp (injeksi 2 ml)
√
Metampiron Na 500 mg/ml 1amp (injeksi 2 ml)
√
Infus RL 15 tts/mnt √ Assessment Berdasarkan British National Formularium dan MIMS, pemberian Metoklopramid HCl bersama Parasetamol akan meningkatkan absorbsi parasetamol di usus halus. Potensial DTPs : Interaksi obat. Rekomendasi Mengatur waktu pemberian Metoklopramid HCl dan parasetamol agar tidak bersamaan.
86
Tabel XXXV. Kajian DTPs Kasus 22 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008
Kasus 22. No. RM 15 03 55 (31/12/07 – 03/01/08) Subjective Perempuan /16 tahun. DM: Febris hari ke-7, Tifoid. DU: Tifoid. Keluhan masuk : Panas, batuk, pusing sudah 6 hari. Keadaan pulang : sembuh. Objective
Tanggal periksa
(Desember 2007) Parameter 31
Nilai normal
SGOT 108,9↑ wanita s/d 31 IU/L
SGPT 88,8↑ wanita s/d 32 IU/L
WBC 5,8 4-11 x103 /µL MCH 26,6 ↓ 27-31 fL
MCHC 31,4 ↓ 33-37 pg LYM% 10,1↓ 19-48 % NEUT% 85 ↑ 40-74 % LYM# 0,6↓ 1-3,7 x103 /µL
Tes Widal (31/12) Ty.H : 1/160 Ty.O : 1/80 Para ty.BH : 1/160 Para ty.BO : 1/80 Para ty.CO : 1/80 TD: 100/70 mmHg Nadi : 68x/menit Suhu tubuh : 31/12 (38,5; 37,8; 37,5;
40; 36,4) ˚C 01/01 (38; 38,8; 37,4;
36,6) ˚C 02/01 (37; 37; 37,5; 37,5;
37) ˚C 03/01 36,4˚C
Penatalaksanaan
Tanggal (Desember ’07-Januari‘08)
Nama obat
31 01 02 03 Parasetamol dan asetil sistein 3x500 mg
√ √
Tiamfenikol 3x500 mg √ √ √ √ Sanadryl DMPP
® 3x 1½ cth
√ √ √ √
Curcuma xanthorrhizae, kolin bitartrat® 3x1
√ √
Infus RL 12 tts/mnt √ √ √ √ Assessment Terapi yang diberikan sudah tepat. 1. Pasien terinfeksi bakteri berdasarkan hasil tes widal, diberikan terapi Tiamfenikol. 2. Pasien mengeluhkan badan terasa panas dan pusing, sehingga diberi Parasetamol- asetilsistein. 3. Untuk mengobati batuk, diberikan terapi Sanadryl DMPP
®. 4. Hasil laboratorium menunjukkan adanya gangguan hati sehingga pasien diterapi dengan obat
untuk memproteksi hati yaitu Curcuma xanthorrhizae, kolin bitartrat®. Rekomendasi -
87
Tabel XXXVI. Kajian DTPs Kasus 23 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008
Kasus 23. No. RM 15 02 40 (30/12/07 – 03/01/08)
Subjective Laki-laki /17 tahun. DM: Febris. DU: Tifoid. DL: Dengue fever. Keluhan masuk : Panas, batuk, pusing, pilek. Keadaan pulang : sembuh. Objective
Tanggal periksa
(Desember 2007) Parameter 30
Nilai normal
WBC 3,7↓ 4-11 x103 /µL MCHC 31,9 ↓ 33-37 pg
PLT 134↓ 150-450x103 /µL MXD% 11,7↑ 0-8 % LYM% 26,7 19-48 % NEUT% 61,6 40-74 %
Tes Widal (30/12) Ty.O : 1/320
TD: 90/60 mmHg Nadi : 80x/menit Suhu tubuh : 30/12 (36,5; 36,9; 37; 38;
37)˚C 31/12 (37; 36,8; 36,5) ˚C 01/01 (36,5; 36,5) ˚C 02/01 (36,4; 36,5; 36,7;
36) ˚C 03/01 36˚C
Penatalaksanaan
Tanggal (Desember ’07-Januari‘08)
Nama obat
30 31 01 02 03 Parasetamol 3x500 mg √ √ √ √ Pefloksasin 2x400 mg √ √ √ √ √ Echinacea, zinc picolinat 3x1 √ √ √ √ √ Kodein fosfat 2x10 mg √ √ √ Ranitidin HCl 50 mg/amp 1amp (injeksi 2 ml) √ Infus RL 20 tts/mnt √ √ √ √ √
Assessment Terapi yang diberikan sudah tepat. 1. Pasien terinfeksi bakteri berdasarkan hasil tes widal, diberikan terapi Pefloksasin. 2. Pasien mengeluhkan badan terasa panas dan pusing, sehingga diberi Parasetamol. 3. Untuk mengobati batuk kering, diberikan terapi kodein fosfat. 4. Untuk meningkatkan daya tahan tubuh, maka pasien diberikan Echinacea,zinc picolinat /
Imunos®. 5. Untuk mencegah terjadinya mual dan muntah, pasien diberi terapi Ranitidin hidroklorida. Rekomendasi -
88
Tabel XXXVII. Kajian DTPs Kasus 24 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008
Kasus 24. No. RM 14 95 84 (08/12/07 – 12/12/07) Subjective Perempuan /47 tahun. DM: Vomitus. DU: Tifoid. DL: PID (Pelvic Female Inflammatory Disease). Keluhan masuk : Mual, muntah, demam, pusing. Keadaan pulang : Membaik. Objective
Tanggal periksa
(Desember 2007) Parameter 09
Nilai normal
SGPT 49,0↑ wanita s/d 32 IU/L Urine
Sedimen Leukosit Eritrosit Bakteri
++
> 500 50-70 +++
+
0-6 0-1 -
Hasil radiologi PID - WBC 18,8↑ 4-11 x103 /µL HGB 9,8↓ 12-16,5 g/dL HCT 33,3 ↓ 37-47 % MCV 73↓ 81-99 fL MCH 21,5↓ 27-31 fL
MCHC 29,4 ↓ 33-37 pg LYM% 9,9↓ 19-48 % MXD% 11,6↑ 0-8% NEUT% 78,5↑ 40-74 % MXD# 2,2↑ 0-1,2 x103 /µL NEUT# 14,7↑ 1,5-7 x103 /µL
Tes Widal (08/12) Ty.H : 1/80 Para ty.BO : 1/160
TD: 100/70 mmHg Nadi : 95x/menit Suhu tubuh : 08/12 38,5˚C 09/12 (38,5; 37; 37,2; 39,2)
˚C 10/12 (38,4; 36,3; 36; 36,5;
37,2;37,2)˚C 11/12 (37,9; 36; 36; 36,5;
37,2; 37,2) ˚C 12/12 36˚C
Penatalaksanaan
Tanggal (Desember 2007) Nama obat 08 09 10 11 12
Tiamfenikol 3x500mg √ √ √ √ √ Amoksisilin 3x500 mg √ √ √ Parasetamol 3x500mg √ √ √ √ √ Metoklopramid HCl 10 mg/amp 3x1amp (injeksi 2 ml)
√ √ √ √ √
Sefuroksiminj. 1x750 mg √ √ √ Infus RL √ √ √ √ √
Assessment Berdasarkan British National Formularium dan MIMS, pemberian Metoklopramid HCl bersama Parasetamol akan meningkatkan absorbsi parasetamol di usus halus. Potensial DTPs : Interaksi obat.
Rekomendasi Mengatur waktu pemberian metoklopramid HCl dan parasetamol agar tidak bersamaan.
89
Tabel XXXVIII. Kajian DTPs Kasus 25 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008
Kasus 25. No. RM 14 94 34 (04/12/07 – 06/12/07)
Subjective Perempuan /27 tahun. DM: Febris hari ke-4, vomitus. DU: Febris Tifoid. Keluhan masuk : Mual, muntah, pusing-pusing, batuk. Keadaan pulang : Membaik. Objective
Tanggal periksa
(Desember 2007) Parameter 04
Nilai normal
WBC 4,9 4-11 x103 /µL HGB 11,8↓ 12-16,5 g/dL MCH 26,9↓ 27-31 fL
MCHC 31,7 ↓ 33-37 pg MXD% 10,4↑ 0-8 % LYM% 23,6 19-48 % NEUT% 66 40-74 %
Tes Widal (04/12) Para ty.BO : 1/80
TD: 80/60 mmHg Nadi : 80x/menit Suhu tubuh : 04/12 (36,6; 36,5) ˚C 05/12 (36,2; 36,5; 35,5;
37) ˚C 06/12 36˚C
Penatalaksanaan
Tanggal (Desember 2007)
Nama obat
04 05 06 Parasetamol 3x500mg √ √ √ Amoksisilin 3x500 mg √ √ √ Al(OH)3, Mg(OH)2 + simethicone (sirup 100 ml) 3 x 1 cth
√ √ √
Metoklopramid HCl 10 mg 3x1
√
Metoklopramid HCl 10 mg/amp 3x1amp (injeksi 2 ml)
√ √
Ranitidin HCl 50 mg/amp 1amp (injeksi 2 ml)
√
Infus RL 20 tts/mnt √ √ √
Assessment Berdasarkan British National Formularium dan MIMS, pemberian Metoklopramid HCl bersama Parasetamol akan meningkatkan absorbsi parasetamol di usus halus. Potensial DTPs: Interaksi obat. Rekomendasi Mengatur waktu pemberian metoklopramid HCl dan parasetamol agar tidak bersamaan.
90
Tabel XXXIX. Kajian DTPs Kasus 26 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008
Kasus 26. No. RM 15 05 04 (04/01/08 – 08/01/08)
Subjective Laki-laki /40 tahun. DM: Tifoid fever. DU: Febris Tifoid. Keluhan masuk : Panas, pusing, kadang sakit perut. Keadaan pulang : Membaik. Objective
Tanggal periksa (Januari 2008) Parameter
04 Nilai normal
WBC 4,6 4-11 x103 /µL MCV 77,2↓ 81-99 fL MCH 23,5↓ 27-31 fL
MCHC 30,4 ↓ 33-37 pg MXD% 11,2↑ 0-8 % LYM% 28,8 19-48 % NEUT% 60 40-74 %
Tes Widal (04/01) Ty.O : 1/80 Para ty.AH : 1/160 Para ty.BH : 1/80 Para ty.BO : 1/160 Para ty.CO : 1/320
TD: 120/80 mmHg Nadi : 84x/menit Suhu tubuh : 04/01 (37,7; 37,4; 37,5;
38,2; 37,5; 38,3; 38; 37,8) ˚C
05/01 (37,4; 37,2; 36; 37; 37,8; 37,3) ˚C
06/01 (37,4; 36,5; 36,5; 36,8) ˚C
07/01 (36,5; 36,4) ˚C 08/01 36,5˚C
Penatalaksanaan
Tanggal (Januari 2008) Nama obat 04 05 06 07 08
Pefloksasin 1x400 mg √ √ Parasetamol 3x500mg √ √ √ √ √ Enzyplex® 3x1 √ √ √ √ √ Pefloksasin 2x400 mg √ √ Lansoprazol 30 mg 1x1 √ √ Ranitidin HCl 50 mg/amp 1amp (injeksi 2 ml)/ 12 jm
√ √ √
Sefotaksim inj. 2x1 gram √ √ √ Infus RL √ √ √ √
Assessment Berdasarkan MIMS, dosis Pefloksasin adalah 1 tablet dua kali sehari yaitu pagi dan malam hari. Dari penggunaannya pada tanggal 04 dan 05 hanya satu kali sehari. Sehingga DTPs : Dosis terlalu rendah. Rekomendasi Penggunaan pefloksasin dinaikkan menjadi dua kali sehari sehingga dosis tercapai.
91
Tabel XL. Kajian DTPs Kasus 27 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008
Kasus 27. No. RM 15 15 92 (10/02/08 – 12/02/08)
Subjective Laki-laki /21 tahun. DM: Tifoid. DU: Tifoid. Keluhan masuk : Panas, pusing, mual, lemas. Keadaan pulang : Membaik. Objective
Tanggal periksa (Februari 2008) Parameter
10 Nilai normal
Kalium (K) 3,3↓ 3,5-5,1 mmol/L
Tes Widal (10/02) Ty.H : 1/160 Ty.O : 1/80 Para ty.BO : 1/80
Para ty.CO : 1/160 TD: 110/80 mmHg Nadi : 80x/menit Suhu tubuh : 10/02 37 ˚C 11/02 (37; 37; 36; 37;
36,8) ˚C 12/02 37˚C
Penatalaksanaan
Tanggal (Februari 2008)
Nama obat
10 11 12 Tiamfenikol 3x500mg √ √ Parasetamol 3x500mg (k/p) √ √ Metampiron dan diazepam 3x500 mg
√ √
Flunarizin 5 mg 2x1 √ √ Metoklopramid HCl 10 mg/amp 3x1amp (injeksi 2ml)
√ √
Metampiron Na 500 mg/ml 1amp (injeksi 2 ml)
√
Infus RL 20 tts/mnt √ Infus KAEN 3B √ √
Assessment Berdasarkan British National Formularium dan MIMS, pemberian Metoklopramid HCl bersama Parasetamol akan meningkatkan absorbsi parasetamol di usus halus. Potensial DTPs: Interaksi obat. Rekomendasi Mengatur waktu pemberian metoklopramid HCl dan parasetamol agar tidak bersamaan.
92
Tabel XLI. Kajian DTPs Kasus 28 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008
Kasus 28. No. RM 14 12 36 (25/02/08 – 27/02/08)
Subjective Laki-laki /24 tahun. DM: Observasi febris hari ke-4, obs. Chest pain . DU: Tifoid fever. DL: Bronchitis. Keluhan masuk : Panas, pusing, batuk, dada nyeri bila batuk. Riw.penyakit: Tifoid (Mei 2007). Keadaan pulang : Membaik. Objective
Tanggal periksa (Februari 2008) Parameter
25 Nilai normal
WBC 14,6↑ 4-11 x103 /µL P-LCR 14,5 ↓ 15-25% LYM% 14,4↓ 19-48 % MXD% 8,1↑ 0-8% NEUT% 77,5↑ 40-74 % NEUT# 11,3↑ 1,5-7 x103 /µL
Tes Widal (25/02) Para ty.BO : 1/160 TD: 90/40 mmHg Nadi : 92x/menit RR : 20x/mnt Suhu tubuh : 25/02 (37; 38,5; 37)˚C 26/02 (37,8; 37; 37; 36)˚C 27/02 36˚C
Penatalaksanaan
Tanggal (Februari 2008)
Nama obat
25 26 27 Tiamfenikol 3x500mg √ √ √ Parasetamol 3x500mg √ √ √ Meloksikam 15 mg 1x1 (k/p) √ √ √ Sanadryl ekspektoran® 3x 2 cth
√ √
Metoklopramid HCl 10 mg/amp 1amp (injeksi 2ml)
√
Infus RL √ √ √
Assessment Berdasarkan British National Formularium dan MIMS, pemberian Metoklopramid HCl bersama Parasetamol akan meningkatkan absorbsi parasetamol di usus halus. Potensial DTPs: Interaksi obat. Rekomendasi Mengatur waktu pemberian metoklopramid HCl dan parasetamol agar tidak bersamaan.
93
Tabel XLII. Kajian DTPs Kasus 29 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008
Kasus 29. No. RM 15 16 55 (09/02/08 – 12/02/08)
Subjective Perempuan /50 tahun. DM: Tifoid . DU: Tifoid. Keluhan masuk : Panas, diare lebih dari 10x, tidak muntah, nyeri ulu hati. Keadaan pulang : Sembuh. Objective
Tanggal periksa (Februari 2008) Parameter
09 Nilai normal
SGOT 103,5↑ wanita s/d 31 IU/L
SGPT 101,9↑ wanita s/d 32 IU/L
Trigliserida 201↑ s/d 150 mg/dL WBC 5,8 4-11 x103 /µL MCV 80,6↓ 81-99 fL
MXD% 11,6↑ 0-8% LYM% 23,1 19-48 % NEUT% 65,3 40-74 %
Tes Widal (09/02) Ty.H : 1/1280
Ty.O : 1/80 TD:100/70 mmHg Nadi : 84x/menit Suhu tubuh : 09/02 36,6˚C 10/02 (36,6; 37; 36) ˚C 11/02 (36,3; 37,2; 36) ˚C 12/02 36˚C
Penatalaksanaan
Tanggal (Februari 2008) Nama obat 09 10 11 12
Metronidazol 3x500 mg √ √ √ √ Tiamfenikol 3x500mg √ √ √ √ Parasetamol 3x500mg √ Metampiron dan diazepam 3x500 mg (k/p)
√ √
Curcuma xanthorrhizae, kolin bitartrat® 3x1
√ √ √
Parasetamol dan asetil sistein 3x500 mg
√
Metampiron Na 500 mg/ml 1amp (injeksi 2 ml)
√
Ranitidin HCl 50 mg/amp 2x1amp (injeksi 2 ml)
√ √ √ √
Infus RL √ √ √ Assessment Berdasarkan Drug Information Handbook, Metronidazol dapat meningkatkan efek dari golongan Benzodiazepin tertentu (Diazepam). Potensial DTPs : Interaksi obat. Rekomendasi Mengatur waktu pemberian Metronidazol dan metampiron-diazepam agar tidak bersamaan.
94
Tabel XLIII. Kajian DTPs Kasus 30 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008
Kasus 30. No. RM 15 29 28 (25/03/08 –28/03/08)
Subjective Laki-laki /23 tahun. DM: Observasi febris hari ke-5. DU: Tifoid fever. Keluhan masuk : Lima hari panas, pusing, mual, batuk. Keadaan pulang : Membaik. Objective
Tanggal periksa
(Maret 2008) Parameter 25
Nilai normal
WBC 2,8↓ 4-11 x103 /µL PLT 124↓ 150-450x103 /µL PDW 13,5 ↑ 9-13 fL
P-LCR 28,1↑ 15-25% LYM% 48,9↑ 19-48 % MXD% 13,1↑ 0-8% NEUT% 38↓ 40-74 % NEUT# 1↓ 1,5-7 x103 /µL
Tes Widal (25/03) Para ty.BH :1/80
Para ty.CO : 1/320 TD:110/70 mmHg Nadi : 78x/mnt Suhu tubuh : 25/03 (37,8; 37,4; 37; 38;
36)˚C 26/03 (37; 37,2; 36,7;
36,4; 36,3) ˚C 27/03 (36,2; 36,8; 36,5;
36,2) ˚C 28/03 36,5˚C
Penatalaksanaan
Tanggal (Maret 2008) Nama obat 25 26 27 28
Parasetamol 3x500mg √ √ √ √ Becom-C® 1x1 √ √ √ √ Al(OH)3, Mg(OH)2 + simethicone susp. 3x2 cth
√ √ √ √
Tiamfenikol 3x500mg √ √ √ √ Ranitidin HCl 50 mg/amp(injeksi 2 ml) 1amp / 12 jam
√ √
Infus RL 30 tts/mnt √ √ √ √
Assessment Berdasarkan Drug Interaction Facts, penggunaan Ranitidin HCl bersama antasida yang mengandung aluminium dan magnesium akan menurunkan efek dari Ranitidin HCl. Potensial DTPs : Interaksi obat. (Signifikansinya : 5) Rekomendasi Karena keberbahayaan relatif ringan, dan ada kemungkinan dapat terjadi namun bukti datanya terbatas, sehingga tidak dibutuhkan intervensi secara klinis.
95
Tabel XLIV. Kajian DTPs Kasus 31 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008
Kasus 31. No. RM 14 95 30 (02/03/08 –05/03/08) Subjective Laki-laki /33 tahun. DM: Observasi Tifoid. DU: Tifoid. Keluhan masuk : Ulu hati sakit, lemas, sedikit mual. Keadaan pulang : Membaik. Objective
Tanggal periksa
(Maret 2008) Parameter 02
Nilai normal
Urine Sediment :
bakteri + -
Kreatinin darah 1,2↑ Yaffe pria normal 0,6-1,1 mg/dL
Kolesterol total 249↑ Kolorimetri s/d 220 mg/dL
WBC 8,4 4-11 x103 /µL MCHC 32,8 ↓ 33-37 pg
PLT 130↓ 150-450x103 /µL PDW 14,7 ↑ 9-13 fL
P-LCR 29,8↑ 15-25% LYM% 7,6↓ 19-48 % NEUT% 87,7↑ 40-74 % LYM# 0,6↓ 1-3,7 x103 /µL
Tes Widal (02/03) Ty.H : 1/80 Para ty.AH : 1/80 Para ty.CO : 1/80
TD:110/70 mmHg Nadi : 80x/mnt Suhu tubuh : 02/03 (37;38;36,5;37,4)˚C 03/03 (36,3; 36,8; 36,7; 36,8)
˚C 04/03 (36,2; 36,7;36,4) ˚C 05/03 (36,5; 36,7)˚C
Penatalaksanaan
Tanggal (Maret 2008) Nama obat 02 03 04 05
Parasetamol 3x500mg √ √ Lutein, licopen,vit.E, vit.C, Zn, beta karoten, selenium yeast 2x1
√ √ √
Mebeverin HCl 135 mg 3x1 √ √ Chlordiazepoxid 5 mg, Clidinium bromide 2,5 mg 2x1
√ √
Metampiron Na 500 mg/ml 1amp (injeksi 2 ml)
√
Metoklopramid HCl 10 mg/amp 1amp (injeksi 2ml)
√
Sefuroksiminj. 750 mg/12 jam √ √ √ √ Ranitidin HCl 50 mg/amp 1amp (injeksi 2 ml)/ 12 jam
√ √ √ √
Infus RL √ √ √ √ Assessment 1. Berdasarkan British National Formularium dan MIMS, pemberian Metoklopramid HCl bersama Parasetamol
akan meningkatkan absorbsi parasetamol di usus halus. Potensial DTPs : Interaksi obat.. 2. Berdasarkan Drug Information Handbook, dosis injeksi Sefuroksimadalah 750 mg tiap 8 jam atau 3 kali
sehari. Dari penggunaannya hanya 750 mg dua kali sehari. Sehingga DTPs: Dosis terlalu rendah. Rekomendasi 1. Mengatur waktu pemberian metoklopramid HCl dan parasetamol agar tidak bersamaan. 2. Menaikkan dosis injeksi Sefuroksimmenjadi 750 mg 3 kali sehari sehingga efek terapi tercapai.
96
Tabel XLV. Kajian DTPs Kasus 32 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008
Kasus 32. No. RM 15 11 37 (24/03/08 –26/03/08)
Subjective Perempuan /36 tahun. DM: Tifoid. DU: Tifoid. DD: Leptospirosis. Keluhan masuk : Mual, nyeri dan bintik merah dikaki, batuk, lemas. Keadaan umum : CM, kaki kiri bengkak. Keadaan pulang: Membaik. Objective
Tanggal periksa
(Maret 2008) Parameter 24
Nilai normal
SGPT 32,9↑ wanita s/d 32 IU/L Kreatinin
darah 1,0 0,5-0,9 mg/dL
Urine
Protein Leukosit Eritrosit Bakteri
+ 5-10 4-6 +
-
0-6 0-1 -
WBC 9,9 4-11 x103 /µL MCHC 32,8 ↓ 33-37 pg P-LCR 12,2↑ 15-25% LYM% 14,8↓ 19-48 % MXD% 8,8↑ 0-8% NEUT% 76,4↑ 40-74 % NEUT# 7,5↑ 1,5-7 x103 /µL
Tes Widal (24/03) Ty.H : 1/80 Para ty.BH : 1/160 Para ty.BO : 1/80
TD:130/70 mmHg Nadi : 80x/mnt Suhu tubuh : 24/03 (38; 36,8; 36) ˚C 25/03 (36,5; 35,8; 36) ˚C 26/03 (36,5; 36,5) ˚C
Penatalaksanaan
Tanggal (Maret 2008) Nama obat 24 25 26
Parasetamol 3x500mg √ √ √ Celekoksib 2x200 mg √ √ √ Sefprozil 500 mg 2x1 √ √ √ Natrium diklofenak salep 2x1 √ √ √
Infus RL 15 tts/mnt √ √ √
Assessment Terapi yang diberikan sudah tepat. 1. Suhu tubuh pasien yang tinggi pada hari pertama, diatasi dengan memberikan Parasetamol sebagai obat
analgesik-antipiretik. 2. Pasien terinfeksi bakteri berdasarkan hasil tes widal, dan juga kemungkinan mengalami infeksi pada
kulit, sehingga diberi terapi Sefprozil. 3. Untuk mengatasi peradangan pada kaki yang ditandai dengan rasa nyeri, kemerahan dan terjadinya
pembengkakan, maka diberikan terapi dengan Celekoksib secara peroral, dan Natrium diklofenak secara topikal.
Rekomendasi -
97
Tabel XLVI. Kajian DTPs Kasus 33 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008
Kasus 33. No. RM 15 35 89 (18/04/08 –21/04/08)
Subjective Perempuan /51 tahun. DM: Febris hari ke-4. DU: Tifoid. Keluhan masuk: Observasi febris hari-4, pusing, akral hangat. Keadaan pulang : Membaik. Objective
Tanggal periksa
(April 2008) Parameter 18
Nilai normal
SGOT 100,1↑ wanita s/d 31 IU/L
SGPT 100,2↑ wanita s/d 32 IU/L
PLT 93↓ 150-450x103 /µL PDW 14↑ 9-13 fL
P-LCR 30,1↑ 15-25%
Tes Widal (18/04) Ty.H : 1/80
Para ty.AH : 1/160 TD:140/90 mmHg Nadi : 88x/mnt Suhu tubuh : 18/04 (37; 37; 36,5;36) ˚C 19/04 (36; 36; 36) ˚C 20/04 (36;35,8;36;36,5)˚C 21/04 36˚C
Penatalaksanaan
Tanggal (April 2008) Nama obat 18 19 20 21
Parasetamol 3x500mg √ √ √ √ Echinacea, zinc picolinat 3x1
√ √ √ √
Curcuma xanthorrhizae, kolin bitartrat® 3x1
√ √ √ √
Seftriakson Inj. 2x1g √ √ √ Infus RL 30 tts/mnt √ √ √ √
Assessment Terapi yang diberikan sudah tepat. 1. Pasien terinfeksi bakteri sehingga diberikan terapi antibiotik yaitu injeksi Seftriakson. 2. Pasien mengeluhkan pusing dan akral teraba hangat, sehingga diberi Parasetamol. 3. Pasien mengalami ganggguan hati sehingga diterapi dengan obat untuk memproteksi hati
yaitu Curcuma xanthorrhizae, kolin bitartrat®. 4. Sebagai suplemen penunjang untuk menstimulasi sistem imun terhadap infeksi akut diberikan
Echinacea-zinc picolinat. Rekomendasi -
98
Tabel XLVII. Kajian DTPs Kasus 34 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008
Kasus 34. No. RM 15 36 54 (21/04/08 –24/04/08) Subjective Laki-laki /14 tahun. DM: Febris hari ke-2. DU: Tifoid. Keluhan masuk : Badan panas, merasa lemas dan letih, kejang, tidak diare. Riw.Penyakit: Kejang. Reaksi alergi: Obat Ampicillin. Keadaan pulang: Membaik. Objective
Tanggal periksa
(April 2008) Parameter 21
Nilai normal
WBC 6,7 4-11 x103 /µL PDW 13,1↑ 9-13 fL
MXD% 10,2↑ 0-8% LYM% 31,2 19-48 % NEUT% 58,6 40-74 %
Tes Widal (23/04) Ty.O : 1/80 Para ty.AO : 1/80
Para ty.BH : 1/160 Para ty.BO : 1/80 Para ty.CO : 1/80
TD: 130/60 mmHg Nadi : 84x/mnt RR : 18x/mnt Suhu tubuh : 21/04 (39,5; 37,8) ˚C 22/04 (38; 37,6; 37,3; 37,4;
37,6;38,5)˚C 23/04 (38,4; 37,3;37,2; 37;
37,5) ˚C 24/04 (37; 36,4; 37,5; 37;
36) ˚C 25/04 36,8˚C
Penatalaksanaan
Tanggal (April 2008) Nama obat 21 22 23 24 25
Sefadroksil 2x500 mg √ √ √ Parasetamol 3x500mg √ √ √ √ Cetirizin diHCl 10 mg 1x1 √ √ √ √ Echinacea, zinc picolinat 2x1 √ √ √ √ Tinoridine HCl 50 mg 3x1 √ √ √ Levofloksasin 500 mg 1x1 √ Metampiron Na 500 mg/ml 1amp (injeksi 2 ml)
√
Infus RL 30 tts/mnt √ √ √ √ √ Assessment Berdasarkan British National Formularium dan MIMS, penggunaan Levofloksasin bersama Tinoridine HCl (golongan AINS) kemungkinan akan meningkatkan resiko terjadinya kejang. Potensial DTPs : Interaksi obat. Rekomendasi Mengatur waktu pemberian Levofloksasin dan Tinoridine HCl agar tidak bersamaan.
99
Tabel XLVIII. Kajian DTPs Kasus 35 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008
Kasus 35. No. RM 15 42 22 (11/05/08 –13/05/08)
Subjective Laki-laki /38 tahun. DM: Febris hari ke-4, susp. tifoid. DU: Tifoid. DL: Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA). Keluhan masuk : Badan panas, perut kadang sakit (nyeri epigastric), rasa tidak nyaman pada dada sebelah kiri, kadang batuk. Keadaan pulang : Membaik. Objective
Tanggal periksa
(Mei 2008) Parameter 11
Nilai normal
Kalium (K) 3,4↓ 3,5-5,1 mmol/L WBC 7,5 4-11 x103 /µL
P-LCR 28,4↑ 15-25% LYM% 28,2 19-48 % NEUT% 64,6 40-74 %
Tes Widal (11/05) Para ty.BH : 1/80 TD:160/90 mmHg Nadi : 100x/mnt Suhu tubuh : 11/05 (36,9;37; 37,2) ˚C 12/05 (36,7; 37; 37) ˚C 13/05 37˚C
Penatalaksanaan
Tanggal (Mei 2008) Nama obat 11 12 13
Tiamfenikol 3x500mg √ √ √ Lansoprazol 30 mg 1x1 √ √ √ Parasetamol 3x500mg (k/p) √ √ √ Enzyplex® 3x1 √ √ √ Sanadryl ekspektoran® 3x10 cc √ √ √ Metampiron Na 500 mg/ml 1 amp
√
Ranitidin HCl 50 mg/amp 1amp (injeksi 2 ml)
√
Infus Asering 20 tts/mnt √ √ √
Assessment Terapi yang diberikan sudah tepat. 1. Pasien terinfeksi bakteri sehingga diberikan terapi antibiotik yaitu Tiamfenikol. 2. Pasien mengeluhkan badan panas dan nyeri, sehingga diberi injeksi Metampiron Na
kemudian diberi Parasetamol. 3. Keluhan batuk diatasi dengan Sanadryl ekspektoran®. 4. Gangguan pada epigastric diatasi dengan pemberian terapi injeksi Ranitidin HCl, kemudian
diberi Lansoprazol. 5. Untuk membantu meringankan rasa kembung dan sebah akibat gangguan pencernaan, diberi
terapi Enzyplex®. Rekomendasi -
100
Tabel XLIX. Kajian DTPs Kasus 36 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008
Kasus 36. No. RM 15 39 02 (02/05/08 –08/05/08) Subjective Laki-laki /75 tahun. DM: Tifoid. DU: Tifoid fever. Keluhan masuk : Pusing, batuk, badan panas, lemas. Keadaan pulang : Membaik. Objective
Tanggal periksa (Mei
2008) Parameter 02
Nilai normal
SGOT 51,6↑ pria s/d 37 IU/L SGPT 43,8↑ pria s/d 42 IU/L
Ureum darah 63↑ Berthelot normal 10-50 mg/dL
Kreatinin darah 1,2↑ Yaffe pria normal
0,6-1,1 WBC 9,4 4-11 x103 /µL HCT 36,4↓ 37-47 %
Tes Widal (02/05) Ty.H : 1/160 Ty.O : 1/80 Para ty.BH : 1/160
TD:100/60 mmHg Nadi : 88x/mnt RR : 20x/mnt Suhu tubuh : 02/05 (37,1; 38) ˚C 03/05 (36,5; 37,5; 37; 38,6;
38,5) ˚C 04/05 (36;36;37,8;37,4)˚C 05/05 (37,5; 39,2;38,2;36;
37,5) ˚C 06/05 (36,3; 39; 36,8;
36,3)˚C 07/05 (37,8; 38,5;36,5;36) ˚C 08/05 36˚C
Penatalaksanaan
Tanggal (Mei 2008) Nama obat 02 03 04 05 06 07 08
Parasetamol dan asetil sistein 3x500 mg (k/p)
√ √ √ √ √ √
Echinacea, zinc picolinat 3x1 √ √ √ √ √ √ √ Ofloksasin 200 mg 2x1 √ √ √ √ Metampiron Na dan diazepam 3x1 (k/p)
√ √ √
Metampiron dan diazepam 3x500 mg (k/p)
√ √ √ √ √ √
Codein fosfat 3x10 mg √ √ √ √ √ Metampiron Na 500 mg/ml 1amp
√ √
Infus Siprofloksasin 2x500 mg
√ √ √ √
Infus RL √ √ √ √ √ √ √ Assessment 1. Berdasarkan British National Formularium, penggunaan Kodein fosfat (analgesik opioid) dengan
siprofloksasin harus dihindari, karena dapat menyebabkan menurunnya konsentrasi siprofloksasin dalam plasma. Potensial DTPs : Interaksi obat.
2. Berdasarkan British National Formularium, penggunaan Kodein fosfat (analgesik opioid) bersama obat Diazepam (ansietas dan hipnotik) akan meningkatkan efek sedatif. Potensial DTPs : Interaksi obat.
Rekomendasi 1&2Hentikan penggunaan kodein karena menyebabkan interaksi, memilih obat batuk lain.
101
Tabel L. Kajian DTPs Kasus 37 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008
Kasus 37. No. RM 15 42 15 (10/05/08 –12/05/08)
Subjective Perempuan /26 tahun. DM: Febris hari ke-3. DU: Tifoid fever. Keluhan masuk : Badan panas, menggigil, badan terasa lemas, pegal-pegal. Keadaan pulang : Belum sembuh. Objective
Tanggal periksa
(Mei 2008) Parameter 10
Nilai normal
WBC 13,4↑ 4-11 x103 /µL MCV 80,8↓ 81-99 fL MCH 26,5↓ 27-31 fL
MCHC 32,7 ↓ 33-37 pg LYM% 6,5↓ 19-48 % NEUT% 89,6↑ 40-74 % LYM# 0,9↓ 1-3,7 x103 /µL NEUT# 12↑ 1,5-7 x103 /µL
Tes Widal (10/05) Ty.H : 1/160 Ty.O : 1/80
TD:90/60 mmHg Nadi : 92x/mnt Suhu tubuh : 10/05 (38,6; 37; 37,5) ˚C 11/05 (37; 37,5; 37,6;
37,8; 38,8; 37,8) 12/05 37,8˚C
Penatalaksanaan
Tanggal (Mei 2008) Nama obat 10 11 12
Parasetamol 3x500mg (k/p)
√ √
Amoksisilin 3x500mg √ √ Megazing® 1x1 √ √ Metampiron Na 500 mg/ml 1 amp
√
Infus RL √ √ √
Assessment Terapi yang diberikan sudah tepat. 1. Pasien terinfeksi bakteri sehingga diberikan terapi antibiotik yaitu Amoksisilin. 2. Pasien mengeluhkan badan panas, menggigil, sehingga diberi injeksi Metampiron Na
kemudian diberi Parasetamol. 3. Untuk mengatasi badan pegal-pegal, diberi terapi multivitamin yaitu Megazing®. Rekomendasi -
102
Tabel LI. Kajian DTPs Kasus 38 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008
Kasus 38. No. RM 15 40 85 (10/05/08 –13/05/08) Subjective Perempuan /21 tahun. DM: Febris hari ke-6. DU: Tifoid. Keluhan masuk : Tidak ada keluhan. Keadaan pulang : Membaik. Objective
Tanggal periksa
(Mei 2008) Parameter 10
Nilai normal
HbsAg (-) -
SGOT 108,6↑ wanita s/d 31 IU/L
SGPT 148,6↑ wanita s/d 32 IU/L
WBC 2,0↓ 4-11 x103 /µL PLT 116↓ 150-450x103 /µL PDW 13,9↑ 9-13 fL
MXD% 19,6↑ 0-8% LYM% 35,9 19-48 % NEUT% 44,5 40-74 % LYM# 0,7↓ 1-3,7 x103 /µL NEUT# 0,9↓ 1,5-7 x103 /µL
Tes Widal (10/05) Para ty.CO : 1/80 TD:110/70 mmHg Nadi : 60x/mnt Suhu tubuh : 10/05 (36,7;36,1;36,3;
37,5) ˚C 11/05 (36; 36; 36,3; 37) ˚C 12/05 (36; 36,8; 36,2; 37) ˚C 13/05 36˚C
Penatalaksanaan
Tanggal (Mei 2008) Nama obat 10 11 12 13
Thiamphenicol 3x500 mg √ √ √ √ Parasetamol 3x500mg (k/p)
√
Methisoprinol 500 mg 2x1 √ √ √ √ Parasetamol dan asetil sistein 3x500 mg (k/p)
√ √
Curcuma xanthorrhizae, kolin bitartrat 2x1
√ √ √ √
Asam Ursodeoksikolik 250 mg 2x1
√ √
Infus RL 15 tts/mnt √ √ √ √ Assessment Terapi yang diberikan sudah tepat. 1. Tiamfenikol digunakan untuk mengobati infeksi bakteri. 2. Parasetamol dan parasetamol-asetil sistein digunakan untuk mengatasi demam dan pusing
bila dirasakan pasien. 3. Adanya gangguan hati diobati dengan Curcuma xanthorrhizae, kolin bitartrat dan asam
ursodeoksikolik. Rekomendasi -
103
Tabel LII. Kajian DTPs Kasus 39 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008
Kasus 39. No. RM 15 41 09 (06/05/08 –10/05/08)
Subjective Perempuan /17 tahun. DM: Demam Tifoid. DU: Tifoid. DL: Dengue fever. Keluhan masuk: Badan panas, mual, tidak muntah, pusing. Keadaan pulang : Membaik. Objective
Tanggal periksa
(Mei 2008) Parameter 06
Nilai normal
SGOT 146,7↑ wanita s/d 31 IU/L
SGPT 127,8↑ wanita s/d 32 IU/L
Tes Widal (06/05) Ty.H : 1/80 Para ty.CO : 1/80
TD:130/80 mmHg Nadi : 152x/mnt Suhu tubuh : 06/05 (40,2; 39) ˚C 07/05 (37; 37,2; 36,7) ˚C 08/05 (36,4; 37; 36) ˚C 09/05 (36; 36,6;36,4;36,7)
˚C 10/05 36,3˚C
Penatalaksanaan
Tanggal (Mei 2008) Nama obat 06 07 08 09 10
Thiamphenicol 3x500 mg
√ √ √ √ √
Parasetamol dan asetil sistein 3x500 mg
√ √ √ √
Curcuma xanthorrhizae, kolin bitartrat 3x1
√ √ √ √ √
Al(OH)3, Mg(OH)2 + simethicone (sirup 100 ml) 3 x 1 cth
√ √ √
Norethisteron 5 mg 3x1 √ √ √ Metoklopramid HCl 10 mg/amp 3x1amp (injeksi 2ml)
√ √ √ √ √
Metampiron Na 500 mg/ml 1 amp
√
Infus RL 30 tts/mnt √ √ √ √ √ Assessment Berdasarkan British National Formularium dan MIMS, pemberian Metoklopramid HCl bersama Parasetamol akan meningkatkan absorbsi parasetamol di usus halus. Potensial DTPs: Interaksi obat. Rekomendasi Mengatur waktu pemberian Metoklopramid HCl dan parasetamol agar tidak bersamaan.
104
Tabel LIII. Kajian DTPs Kasus 40 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008
Kasus 40. No. RM 15 42 57 (12/05/08 –15/05/08) Subjective Perempuan /19 tahun. DM: Tifoid fever, Dengue fever (hari ke-5). DU: Tifoid. DK: Tifoid, DHF. Keluhan masuk: Perut perih sudah 5 hari, pusing, panas, mulut terasa pahit, pendarahan hidung. Keadaan pulang: Sembuh. Objective
Tanggal periksa
(Mei 2008) Parameter 06
Nilai normal
SGOT 162,5↑ wanita s/d 31 IU/L
SGPT 131,9↑ wanita s/d 32 IU/L
WBC 4,9 4-11 x103 /µL HCT 49,7 ↑ 37-47 % PLT 71↓ 150-450x103 /µL
P-LCR 25,9↑ 15-25% MXD% 33,7↑ 0-8% LYM% 23,2 19-48 % NEUT% 43,1 40-74 % MXD# 1,7↑ 0-1,2 x103 /µL
Tes Widal (06/05) Ty.H : 1/320 Ty.O : 1/320 Para ty.BO : 1/160
TD: 90/60 mmHg Nadi : 92x/mnt Suhu tubuh : 12/05 (37,2; 36,3) ˚C 13/05 (36; 36; 37) ˚C 14/05 (36; 36; 36; 36) ˚C 15/05 36˚C
Penatalaksanaan
Tanggal (Mei 2008) Nama obat 12 13 14 15
Levofloksasin 500 mg 1x1 √ √ √ Ranitidin HCl 150 mg 2x1 √ √ √ Echinacea, zinc picolinat, selenium, asam askorbat 1x1
√ √ √
Curcuma xanthorrhizae, kolin bitartrat 3x1
√ √ √
Asam Ursodeoksikolik 250 mg 2x1
√ √ √
Infus RL 30 tts/mnt √ √ √ √ Assessment Terapi yang diberikan sudah tepat. 1. Pasien terinfeksi bakteri berdasarkan hasil tes widal, diberikan terapi Levofloksasin. 2. Untuk mengatasi gangguan saluran pencernaan, pasien diberikan Ranitidin hidroklorida. 3. Untuk meningkatkan daya tahan tubuh, maka pasien diberikan Echinacea,zinc picolinat, selenium,
asam askorbat / Imunos®. 4. Sebagai hepatoprotektif diberikan Curcuma xanthorrhizae, kolin bitartrat. 5. Asam Ursodeoksikolik diberikan untuk membantu mengatasi gangguan hepar yang dialami pasien. Rekomendasi -
105
Tabel LIV. Kajian DTPs Kasus 41 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008
Kasus 41. No. RM 15 47 57 (01/06/08 –04/06/08) Subjective Perempuan /27 tahun. DM: Febris hari ke-4 + melena, DD DHF, Tifoid. DU: Tifoid. Keluhan masuk: Panas, mual, muntah, pusing, nyeri epigastrium. Keadaan pulang: Membaik. Objective
Tanggal periksa (Juni
2008) Parameter 01
Nilai normal
WBC 3,8↓ 4-11 x103 /µL MCV 76↓ 81-99 fL MCH 24,2↓ 27-31 fL
MCHC 31,9 ↓ 33-37 pg PDW 8,8↓ 9-13 fL
P-LCR 10,9↓ 15-25% LYM% 48,4↑ 19-48 % MXD% 11,5↑ 0-8% NEUT% 40,1 40-74 %
Tes Widal (01/06) Para ty.BO : 1/320 Para ty.CO : 1/320
TD: 80/60 mmHg Nadi : 64x/mnt Suhu tubuh : 01/06 (36,4; 36; 36,2; 37;
36,3)˚C 02/06 (36,5; 37; 37; 37; 35,5;
37,9 38)˚C 03/06 (35,8; 36; 37; 36,8;
36) ˚C 04/06 36˚C
Penatalaksanaan
Tanggal (Juni 2008) Nama obat 01 02 03 04
Pefloksasin 1x400 mg √ √ √ √ Parasetamol 3x500mg (k/p)
√ √ √
Al(OH)3, Mg(OH)2 + simethicone (sirup 100 ml) 3 x 1 cth
√ √ √ √
Echinacea, zinc picolinat 2x1
√ √ √ √
Ranitidin HCl 50 mg/amp 2x1amp (injeksi 2ml)
√ √
Infus Asering 20 tts/mnt √ √ √ √ Assessment 1. Berdasarkan MIMS, dosis Pefloksasin adalah 1 tablet dua kali sehari yaitu pagi dan malam hari. Dari
penggunaannya hanya satu kali sehari. Sehingga DTPs : Dosis terlalu rendah. 2. Berdasarkan British National Formularium dan MIMS, pemberian Pefloksasin bersama dengan
antasida yang mengandung aluminium dan magnesium akan menurunkan absorpsi pefloksasin. Potensial DTPs : Interaksi obat.. (Menurut Drug Interaction Facts, signifikansinya 2)
3. Berdasarkan Drug Interaction Facts, penggunaan Ranitidin HCl bersama antasida yang mengandung aluminium dan magnesium akan menurunkan efek dari Ranitidin HCl. Sehingga Potensial DTPs : Interaksi obat.. (Signifikansinya : 5)
Rekomendasi 1. Penggunaan pefloksasin dinaikkan menjadi dua kali sehari sehingga dosis tercapai. 2. Mengatur waktu pemberian pefloksasin dan antasida agar tidak bersamaan. 3. Karena keberbahayaan relatif ringan, dan ada kemungkinan dapat terjadi namun bukti datanya
terbatas, sehingga tidak dibutuhkan intervensi secara klinis.
106
Tabel LV. Kajian DTPs Kasus 42 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008
Kasus 42. No. RM 10 45 43 (15/01/08 –17/01/08)
Subjective Laki-laki /64 tahun. DM: Febris hari ke-3 dan ISPA. DU: Tifoid. Keluhan masuk: Panas, batuk berdahak, sedikit pusing. Keadaan pulang: Sembuh. Objective
Tanggal periksa (Januari 2008) Parameter
15 Nilai normal
WBC 5,8 4-11 x103 /µL MCHC 32,8 ↓ 33-37 pg RDW 47,8↑ 35-47 fL PDW 8,9↓ 9-13 fL
P-LCR 14↓ 15-25% MXD% 12,8↑ 0-8% LYM% 23,5 19-48 % NEUT% 63,7 40-74 %
Tes Widal (15/01) Ty.H : 1/160 Para ty.AH : 1/320 Para ty.BH : 1/80
TD: 120/70 mmHg Nadi : 80x/mnt Suhu tubuh : 15/01 (37,3; 36,7;36;
37,3; 37,7; 36,8)˚C 16/01 (36,7; 37,7; 37) ˚C 17/01 36˚C
Penatalaksanaan
Tanggal (Januari 2008) Nama obat 15 16 17
Amoksisilin 3x500mg √ Sanadryl ekspektoran® 3x 10cc
√ √
Pefloksasin 2x400 mg √ √ √ Parasetamol 3x500mg √ √ Vitamin C injeksi 1x1 gram
√ √ √
Metampiron Na 500 mg/ml 1amp (injeksi 2 ml)
√
Infus Asering 20 tts/mnt √ √ √
Assessment Terapi yang diberikan sudah tepat. 1. Pasien terinfeksi bakteri sehingga diberikan terapi antibiotik yaitu Amoksisilin, kemudian
diberi Pefloksasin. 2. Pasien mengeluhkan badan panas dan sedikit pusing sehingga diberi Metampiron Na
kemudian diberi Parasetamol. 3. Untuk mengatasi batuk berdahak diberi terapi Sanadryl ekspektoran®. 4. Untuk meningkatkan daya tahan tubuh, pasien diberi injeksi Vitamin C. Rekomendasi -
107
Tabel LVI. Kajian DTPs Kasus 43 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008
Kasus 43. No. RM 12 36 14 (01/01/08 –03/01/08)
Subjective Perempuan /27 tahun. DM: Demam Tifoid DD.Tifoid. DU: Tifoid. Keluhan masuk: Panas, batuk, lemas. Keadaan pulang: Sembuh. Objective
Tanggal periksa (Januari 2008) Parameter
01 Nilai normal
WBC 3,9↓ 4-11 x103 /µL MCHC 31,3 ↓ 33-37 pg
PLT 128↓ 150-450x103 /µL PDW 14,7↑ 9-13 fL
P-LCR 33,8↑ 15-25% LYM% 48,5↑ 19-48 % MXD% 14↑ 0-8% NEUT% 37,5↓ 40-74 %
Tes Widal (01/01) Ty.H : 1/80 Ty.O : 1/80 Para ty.BO : 1/80 Para ty.CO :1/160
TD: 140/80 mmHg Nadi : 80x/mnt Suhu tubuh : 01/01 (37; 36,5) ˚C 02/01 (37; 36,4; 37,1;
36,7; 36,4)˚C 03/01 37˚C
Penatalaksanaan
Tanggal (Januari 2008) Nama obat 01 02 03
Thiamphenicol 3x500 mg √ √ Parasetamol 3x500mg (k/p)
√ √
Sanadryl ekspektoran® 3x 2 cth
√
Echinacea, zinc picolinat, selenium, asam askorbat 1x1
√ √
Infus RL 30 tts/mnt √ √ √
Assessment Terapi yang diberikan sudah tepat. 1. Pasien terinfeksi bakteri sehingga diberikan terapi antibiotik yaitu Tiamfenikol. 2. Pasien mengeluhkan badan panas, diberi Parasetamol. 3. Untuk mengatasi batuk berdahak diberi terapi Sanadryl ekspektoran®. 4. Untuk meningkatkan daya tahan tubuh, pasien diberi Imunos®. Rekomendasi -
108
Tabel LVII. Kajian DTPs Kasus 44 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008
Kasus 44. No. RM 00 54 25 (18/04/08 –21/04/08)
Subjective Laki-laki /43 tahun.. DM: Febris hari ke-4. DU: Tifoid. Keluhan masuk: Tidak panas, pusing, abdominal pain (perut mulas, perih), sedikit mual. Keadaan pulang: Membaik. Objective
Tanggal periksa
(April 2008) Parameter 18
Nilai normal
WBC 3,4↓ 4-11 x103 /µL MXD% 17,2↑ 0-8% LYM% 36,7 19-48 % NEUT% 46,1 40-74 %
Tes Widal (18/04) Ty.H : 1/160 TD: 140/80 mmHg Nadi : 80x/mnt Suhu tubuh : 18/04 (37; 36,3; 36,9; 35,5)
˚C 19/04 (36,2; 36,5;36,5; 36;
35,8; 36,6)˚C 20/04 (36,3; 36,5; 35,7)˚C 21/04 36˚C
Penatalaksanaan
Tanggal (April 2008) Nama obat 18 19 20 21
Parasetamol 3x500mg (k/p) √ √ √ √ Metampiron dan diazepam 3x500 mg
√ √ √ √
Deksametason 0,5 mg 2x1 √ √ √ √ Amoxicilin 3x500 mg √ √ Thiamphenicol 3x500 mg √ √ √ Becom-C® 1x1 √ √ √ Attapulgit, pektin 3x 2 √ √ √ Fenilpropiletilamin 30 mg, klordiazepoksid 5 mg 3x1
√ √
Ranitidin HCl 50 mg/amp 1amp (injeksi 2 ml) hari pertama dilanjutkan tiap 12 jam
√ √ √ √
Infus RL √ √ √ √
Assessment Berdasarkan Drug Information Handbook dan Drug Interaction Facts, pemberian Diazepam bersama Ranitidin bisa menurunkan efek dari Diazepam. Potensial DTPs: Interaksi obat. (Signifikansinya 5). Rekomendasi Mengatur waktu pemberian metampiron-diazepam dan ranitidin agar tidak bersamaan.
109
Tabel LVIII. Kajian DTPs Kasus 45 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008
Kasus 45. No. RM 10 74 67 (01/06/08 –03/06/08)
Subjective Laki-laki /33 tahun. DM: Observasi febris DD.Tifoid. DU: Tifoid. Keluhan masuk: Pusing, mual, leher kaku. Keadaan pulang: Membaik. Objective
Tanggal periksa
(Juni 2008) Parameter 01
Nilai normal
WBC 8,9 4-11 x103 /µL LYM% 11,2↓ 19-48 % NEUT% 85,6↑ 40-74 % NEUT# 7,6↑ 1,5-7 x103 /µL
Tes Widal (01/06) Ty.O : 1/80 Para ty.BO : 1/80
TD: 120/80 mmHg Nadi : 84x/mnt Suhu tubuh : 01/06 37,2˚C 02/06 (36,7; 36,5;37,2) ˚C 03/06 37,2˚C
Penatalaksanaan
Tanggal (Juni 2008) Nama obat 01 02 03
Thiamphenicol 3x500 mg √ √ Metampiron dan diazepam 3x500 mg
√ √
Ranitidin HCl 150 mg 2x1 √ √ Metoklopramid HCl 10 mg 3x1 (k/p)
√ √
Metoklopramid HCl 10 mg/amp 1amp (injeksi 2ml)
√
Metampiron Na 500 mg/ml 1amp (injeksi 2 ml)
√
Ranitidin HCl 50 mg/amp 1amp (injeksi 2 ml)
√
Infus RL √ √ √
Assessment Berdasarkan Drug Information Handbook dan Drug Interaction Facts, pemberian Diazepam bersama Ranitidin menurunkan efek dari Diazepam. Potensial DTPs : Interaksi obat. (Signifikansinya 5). Rekomendasi Mengatur waktu pemberian metampiron-diazepam dan ranitidin agar tidak bersamaan.
110
LAMPIRAN III Surat Keterangan Penelitian di Rumah Sakit Panti Rini Kalasan Sleman
111
BIOGRAFI PENULIS
Lusia Lero Maya Sari merupakan anak keenam dari
pasangan Alexander Bati dan Xaveriana Maru, lahir di
Kupang pada tanggal 15 Juni 1986. Pendidikan awal di
mulai di Taman Kanak-Kanak Maria Goreti Kupang
pada tahun 1991-1992.
Dilanjutkan ke jenjang pendidikan di Sekolah Dasar
Santo Yoseph III pada tahun 1992-1998. Selanjutnya ke jenjang pendidikan Sekolah
Menengah Pertama Katolik Frater Kupang pada tahun 1998-2001. Kemudian naik ke
jenjang pendidikan Sekolah Menengah Umum Katolik Giovanni Kupang pada tahun
2001-2004. Selanjutnya pada tahun 2005 melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi di
Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan menyelesaikan masa
studi pada tahun 2009. Penulis pernah menjadi penyuluh tentang “ Pentingnya Pola
Makan yang Sehat dengan Mengkonsumsi Buah-buahan untuk Menjaga Kekebalan
Tubuh” dalam kegiatan Pengabdian Kepada Masyarakat, di dusun Ngemplak dan
Ngaglik Sleman (2007).
Recommended