View
83
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
SIMPOSIUM TAHUNAN
PENELITIAN PENDIDIKAN
Jakarta, 4 - 6 Agustus 2009
TEMA
“PENINGKATAN MUTU, RELEVANSI DAN TATA KELOLA PENDIDIKAN NASIONAL BERDASARKAN PEMANFAATAN HASIL-HASIL PENELITIAN,
PENGEMBANGAN DAN GAGASAN INOVATIF PENDIDIKAN“
JUDUL :
KAJIAN TEORITIK PENGEMBANGAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS-DIALOGIS MAHASISWA MELALUI PENDEKATAN DDCT
DALAM PERKULIAHAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN /CE DI PERGURUAN TINGGI
Oleh : Dra. Nurul Zuriah, M.Si.
Dosen Kopertis Wilayah VII DPK di Jurusan PPKn/Civic Hukum – FKIP Universitas Muhammadiyah Malang
Pusat Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan Badan Penelitian dan Pengembangan
Departemen Pendidikan Nasional
DAFTAR ISI
Hal
Halaman Judul ........................................................................................................... 0
Halaman Daftar Isi ..................................................................................................... 1
Abstrak ....................................................................................................................... 2
A. Pendahuluan .......................................................................................................... 3
B. Kajian Teori .......................................................................................................... 7
C. Hasil dan Pembahasan .......................................................................................... 17
D. Simpulan dan Saran ............................................................................................. 39
Daftar Pustaka .......................................................................................................... 41
1
ABSTRAK
KAJIAN TEORITIK PENGEMBANGAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS-DIA-LOGIS MAHASISWA MELALUI PENDEKATAN PEMBELAJARAN DDCT DALAM PERKULIAHAN CE/PKN DI LINGKUNGAN PTM *)
Oleh : Dra. Nurul Zuriah, M.Si. **)============================================================
Inovasi pembelajaran pada perkuliahan PKN/CE di lingkungan perguruan tinggi, khususnya di lingkungan PTM sangat diperlukan agar pembelajaran dan perkuliahan yang dilakukan dapat melatih kemampuan berpikir kritis dan dialogis mahasiswa melalui penerapan model DDCT (Deep dialogue and Critical Thinking) sehingga dapat memberikan kontribusi maksimal dalam proses akselerasi pemba-ngunan demokrasi. Penelitian dilakukan dalam dua tahap. Tahap I, menghasilkan luaran penelitian yang berupa : konsep dasar kajian teoritik pengembangan kemam-puan berpikir kritis-dialogis mahasiswa melalui inovasi dan reorientasi pembelajaran DDCT dalam perkuliahan PKn/CE yang di lingkungan PTM. Tahap II, mengkaji dan menghasilkan luaran penelitian berupa rumusan model dan teori baru pe-ngembangan kemampuan berpikir kritis-dialogis mahasiswa dalam perkuliahan PKn/CE berbasis DDCT di lingkungan PTM sebagai hasil uji efektivitas model teoritik yang telah dihasilkan pada tahap I.
Hasil penelitian dan analisis data menunjukkan (1) Pengetahuan, sikap dan perilaku dosen, mahasiswa dan ketua prodi dalam perkuliahan PKn/CE di lingkungan PTM yang ada sekarang cenderung menujukkan fenomena yang beragam. (2) Penyebab perkuliahan PKn/CE yang terjadi selama ini berlangsung monolitik, kurang demokratis, membosankan dan tidak optimal, dikarenakan 10 faktor domi-nan (3) Ada 5 alasan penting perlunya dilakukan upaya inovasi dan reorientasi model pembelajaran PKN/CE berbasis DDCT yang dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis-dialogis mahasiswa. (4) Rumusan konsep dasar model teoritik pe-ngembangan kemampuan berpikir kritis-kreatif-dialogis mahasiswa yang diinginkan stakeholders berbasis DDCT dan se-suai dengan semangat dan era demokratisasi belajar meliputi: (a) Dasar Filosofis (b) Dasar Teoritis dan Yuridis (c) Karakteristik umum (d) Karakteristik khusus model pengembangan kemampuan berpikir kritis-kreatif-dialogis mahasiswa berbasis DDCT yang meliputi 8 hal.
Saran dan rekomendasi yang dapat diajukan berkaitan dengan pengem-bangan kemampuan berpikir kritis-dialogis mahasiswa dalam perkuliahan CE/PKN di Perguruan tinggi adalah perlunya digalakkan sinergi - integrasi, inovasi dan riset-riset pembelajaran yang berguna untuk mendukung peningkatan mutu dan tata kelola pendidikan nasional secara berkelanjutan dan publikasi hasilnya melalui jurnal ilmiah nasional dan internasional.
Kata Kunci : Kajian teoritik, Berfikir Kritis- Dialogis, DDCT.
*) Penelitian dilakukan selama dua tahun yaitu tahun 2008 dan 2009 dengan biaya Fundamental Research – DP2M – Dikti – Depdiknas.
**) Dosen DPK Kopertis Wilayah VII - Surabaya, di Jurusan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (Civic Hukum), Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendi-dikan, Universitas Muhammadiyah Malang, - Jawa Timur.
2
A. PENDAHULUAN
Inovasi pembelajaran pada perkuliahan PKN/CE di lingkungan perguruan
tinggi, khususnya di lingkungan PTM sangat diperlukan agar pembelajaran dan
perkuliahan yang dilakukan dapat melatih kemampuan berpikir kritis dan dialogis
mahasiswa melalui penerapan model DDCT (Deep dialogue dan Critical Thinking)
sehingga dapat memberikan kontribusi maksimal dalam proses akselerasi pemba-
ngunan demokrasi.
Pendidikan di Indonesia, khususnya pendidikan formal dilingkungan pendi-
dikan tinggi tengah berada pada masa transisi menuju pendidikan yang demokratis
yang bercirikan kritis-dialogis dan akomodatif - partisipatif. Perubahan dalam dunia
pendidikan ini sangat mendasar yang mengakibatkan perubahan dalam nilai-nilai,
norma-norma, pola pikir dan perilaku dalam pengelolaan perguruan tinggi dan civitas
akademikanya.
Kepedulian kalangan ilmuwan, akademisi, praktisi dan masyarakat terhadap
masalah demokratisasi pembelajaran dan inovasi model pembelajaran sebagai sarana
dan aktualisasi dari program peningkatan kualitas pembelajaran di perguruan tinggi
semakin meningkat dewasa ini, terlebih khusus lagi dalam masa transisi peralihan
dari masyarakat otoriter ke masyarakat demokratis yang menuntut adanya trans-
paransi dan jaminan kualitas di segala sektor kehidupan. Pendidikan yang semula
dikelola dengan serba sentralistis bergerak berubah ke sistem pengelolaan yang
bersifat desentralisasi dan otonomi. Dari paradigma pembelajaran behavioristik yang
digunakan kurikulum 1994 ke paradigma pembelajaran konstruktivistik yang
digunakan kurikulum berbasis kompetensi dan disempurnakan melalui SK Dirjen
Dikti No. 43/Dikti/2006, sehingga penelitian ini bersifat proaktif dan perlu dike-
depankan untuk membentuk warganegara yang cerdas dan memiliki keadaban
demokratis yang memiliki kemampuan untuk berpartisipasi aktif dan bertanggung
jawab dalam masyarakat.
Pada penelitian ini lebih difokuskan pada bagaimana konsep dan penge-
tahuan dasar dosen – mahasiswa yang menempuh perkuliahan PKN / CE dalam
mengembangkan kemampuan berpikir kritis-dialogis yang sesuai dengan jiwa
demokratisasi pendidikan dan bagaimana model teoritik inovasi dan reorientasi
pembelajaran DDCT dalam perkuliahan PKN/CE yang berbasis demokratisasi dan
3
otonomi pendidikan yang akan dilihat dari materi dan model pengajarannya. Hal ini
sesuai dan terkait dengan tujuan penelitian dasar, yaitu: memperkaya khasanah
ilmu pengetahuan (body of knowledge) khususnya ilmu pendidikan dan sosial
yang berusaha mencari makna dan menjawab pertanyaan mengapa (why)
pembelajaran PKN/CE selama ini cenderung monoton, monolitik, membosankan dan
kehilangan “roh” pembaharuan, memasung daya kritis mahasiswa, bersifat monolog
tidak dialogis serta kurang optimal dalam penumbuhan masyarakat yang demokratis.
Penelitian yang dirancang selesai dalam 2 tahap / 2 tahun ini, secara umum
bertujuan untuk menghasilkan luaran penelitian yang berupa KONSEP DASAR
tentang kajian teoritik pengembangan kemampuan berpikir kritis-dialogis
mahasiswa melalui penerapan pendekatan DDCT dalam perkuliahan PKN/CE di
Perguruan Tinggi Muhammadiyah, yang merupakan modal saintifik untuk mem-
perkaya khasanah ilmu pengetahuan (body of knowledge) bagi pembelajaran
PKN/CE & MKPK pada jenjang pendidikan tinggi, terutama mengenai konsep dan
tindakan yang berkait dengan aspek materi dan model pembelajaran PKN/CE
berbasis demokratisasi yang mengedepankan pola pikir kritis-kreatif-dialogis-
partisipasif dan menjunjung tinggi nilai-nilai religiuitas, hal ini sangat relevan de-
ngan bidang keilmuan peneliti (pendidikan sosial / kewarganegaraan) khususnya
pada mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan/ CE di PTM dan Ilmu Kewarga-
negaraan di jurusan Pendidikan Civic Hukum (PPKn). Di samping itu juga dapat
dijadikan sebagai bahan ajar dan acuan dalam memperkaya Satuan Acara
Perkuliahan mata kuliah Strategi Pembelajaran, Pengembangan Bahan Ajar dan
Perencanaan Pembelajaran di perguruan tinggi.
Penelitian ini utamanya dilakukan dengan pendekatan kualitatif karena
berusaha mengungkap makna dan pertanyaan mengapa (why)?. Namun demikian
untuk beberapa persoalan dilakukan pula analisis statistik (sederhana) untuk
mendukung penjelasan fenomena yang dikaji. Populasi/ lokasi penelitian ini adalah
Perguruan Tinggi Muhammadiyah di kota Malang yaitu Universitas Muhammadiyah
Malang yang menyelenggarakan pembelajaran matakuliah PKn/CE pada semester
Genap 2007/2008. Sampel/subjek penelitian ditetapkan secara purposif sampling di 9
(sembilan) kelas yang perkuliahannya dilakukan oleh 9 (sembilan) orang dosen
PKn/CE. Informan penelitian ini adalah dosen PKn/CE, Mahasiswa yang menempuh
4
MK PKn/CE, dan pimpinan jurusan dan atau fakultas yang menyelenggarakan
perkuliahan PKn/CE pada semester genap 2007/2008. Data penelitian ini berupa
konsep-konsep, pernyataan-pernyataan, dan fenomena pengembangan kemam-
puan berpikir kritis-dialogis mahasiswa dalam pembelajaran PKn/CE, baik dalam
bentuk primer maupun sekunder. Adapun pengumpulan datanya dengan teknik
survey dengan angket, observasi langsung, diskusi kelompok terfokus (focus grup
discussion), wawancara mendalam (indept interview), dan partisipasi terlibat.
Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan kerangka pikir logis, kritis, dan
integralistik dengan kerangka sistematis-kongkrit-abstrak dengan menggunakan
metode perbandingan tetap (Glasser & Strauss dalam Lexy Moleong:2006) meliputi:
(1) reduksi data, (2) kategorisasi data, (3) sintesisasi, dan (4) penyusunan hipotesis
kerja. Adapun langkah-langkah yang dilakukan antara lain:
1. Reduksi Data :
a. Identifikasi satuan (unit) : bagian terkecil yang ditemukan dalam data yang
memiliki makna bila dikaitkan dengan fokus dan masalah penelitian yang
berhubungan dengan permasalahan pengembangan kemampuan berpikir kritis-
dialogis mahasiswa melalui DDCT, yang meliputi : (1) Persepsi, (2) Faktor
Penyebab, (3) Urgensi, (4) Draft model pengembangan kemampuan berpikir kritis
dialogis mahasiswa melalui DDCT, yang mencakup: dasar filosofis, dasar teoritis
& yuridis, karakteristik umum dan karakteristik khusus model yang diteliti.
b. Setelah satuan diperoleh lalu langkah berikutnya adalah membuat koding, dengan
memberikan kode pada setiap satuan agar supaya tetap dapat ditelusuri data
/satuannya, berasal dari sumber mana. (W = Wawancara, D= Dokumentasi, A=
Angket, FGD = Focus Group Discussion, O = Observasi).
2. Kategorisasi:
a. Menyusun kategori, upaya memilah-milah setiap satuan ke dalam bagian-bagian
yang memiliki kesamaan;
b. Labelisasi kategori, setiap kategori diberi label (Psa = persepsi awal, FP = faktor
penyebab, U = urgensi dan DMI =draft model pengembangan yang mencakup DF
5
= dasar filosofis, DT = Dasar Teoritis, DY = Dasar Yuridis, KU = Karakteristik
Umum, dan KK = Karakteristik Khusus).
3. Sintesisasi:
a. Mensintesakan, yaitu mencari kaitan antara satu kategorisasi dengan kategori
lainnya;
b. Kaitan satu kategori dengan kategori lainnya diberi catatan atau label lagi.
4. Menyusun Hipotesis Kerja:
Dilakukan dengan jalan merumuskan suatu pernyataan proposisional, yang berupa
hipotesis kerja. Hipotesis kerja ini sudah merupakan teori substantif (yaitu teori
yang berasal dan masih terkait dengan data).
Kemudian untuk data kuantitatif dilengkapi dengan analisis kuantitatif seder-
hana dengan teknik prosentase dan distribusi frekwensi. Untuk memberikan keab-
sahan hasil penelitian, dilakukan analisis refleksi dan pembahasan evaluatif. Kedua
kegiatan tersebut berupa pemberian pertanggungjawaban metodologis terhadap hasil
penelitian dan tindak lanjut yang direkomendasikan yang diharapkan akan dilaksa-
nakan setelah penelitian ini selesai. Agar data dan hasil penelitian memenuhi
validitas yang cukup memadai, dilakukan perpanjangan keikutsertaan peneliti di
lokasi penelitian dalam mengadakan observasi dan wawancara mendalam dengan
para guru dan siswa, triangulasi dilakukan dengan memeriksa validitas data tertentu
dengan menggunakan sumber lain, diskusi secara mendalam hasil temuan dengan
para pakar, guru dan siswa, penggunaan bahan referensi yang aktual dengan tetap
menjaga kesesuaian dengan tujuan, dan pemaparan temuan penelitian secara rinci
dan sistematis. Dengan kata lain kriteria keabsahan datanya dilakukan dengan
melihat derajat kepercayaan (credibility) melalui teknik triangulasi sumber dan
metode, perpanjangan kehadiran peneliti, pengecekan teman sejawat dan ketekunan
pengamatan, derajat keteralihan (transferability), derajat kebergantungan (depen-
dability), dan derajat kepastian (confirmability).
6
B. KAJIAN TEORI
Perkembangan Indonesia menuju demokrasi dalam empat tahun terakhir ini
agaknya tidak mungkin lagi dimundurkan (point of return). Perubahan Indonesia
menuju demokrasi jelas sangat dramatis, dan Indonesia mulai disebut-sebut sebagai
salah satu demokrasi terbesar. Perubahan Indonesia menuju demokrasi tidak bisa
tidak mengikuti kecenderungan pertumbuhan dramatis demokrasi pada tingkat
internasional secara keseluruhan. Indonesia pada akhirnya mengikuti apa yang
disebut banyak ahli sebagai “third wave of democracy”. (Azra, 2001).
Menurut berbagai kajian, jumlah negara yang secara formal menganut
demokrasi meningkat drastis pada dasawarsa 1990-an; jumlah meningkat dari 76
negara (46,1 %) dari jumlah seluruh negara di dunia menjadi 117 (63,1 %). Namun
demikian di samping perkembangan yang menggembirakan ini, kekhawatiran juga
mulai berkembang melihat kecenderungan mandeknya demokrasi, atau ketidak-
pastian transisi menuju demokrasi seperti yang terjadi di Eropa Timur, termasuk
Indonesia saat ini.
Sebagaimana diakui semakin banyak pakar tentang demokrasi pada level
internasional, cara paling strategis untuk “mengalami” demokrasi adalah melalui apa
yang disebut sebagai “democracy education”. Pendidikan demokrasi singkatnya
secara substantif menyangkut sosialisasi, diseminasi dan aktualisasi konsep, sistem,
nilai budaya dan praktek demokrasi melalui pendidikan.
Pendidikan demokrasi tidak hanya urgen bagi negara-negara yang sedang
dalam masa transisi menuju demokrasi seperti Indonesia, tetapi juga bagi negara-
negara yang telah mapan demokrasinya. Kenyataan inilah yang terlihat misalnya
dalam pembentukan “Civitas International” pada Juni 1995 di Praha. Dihadiri tidak
kurang dari 450 pemuka pendidikan demokrasi dari 52 negara, para peserta sepakat
membentuk “Civitas International” yang menyimpulkan pentingnya pendidikan
demokrasi bagi penumbuhan “civic culture” untuk keberhasilan pengembangan dan
pemeliharaan pemerintahan demokratis (democratic governance).
Penumbuhan dan pengembangan civic culture dapat dikatakan merupakan
salah satu tujuan penting pendidikan kewarganegaraan (civic education). Namun
harus diakui, sementara para ahli pendidikan kewarganegaraan umumnya sepakat
bahwa peranan pendidikan kewarganegaraan dalam pengembangan demokrasi dan
7
kewargaan demokratis telah jelas, tetapi dalam prakteknya masih terdapat per-
bedaan-perbedaan. Mereka sepakat, bahwa demokrasi yang tengah tumbuh seperti
Indonesia sekarang, memerlukan sarana di mana generasi muda umumnya dapat
menjadi tahu dan sadar tentang pengetahuan, keahlian, ketrampilan dan nilai-nilai
yang diperlukan untuk menyangga, memelihara dan melestarikan demokrasi. Tetapi
bagaimana semua hal itu dapat dicapai melalui pendidikan kewarganegaraan tidaklah
begitu jelas (Print, 1999).
Postulat yang berada di balik penerapan pendidikan kewarganegaraan di
Indonesia didasari asumsi bahwa pemeliharaan tradisi demokrasi tidak bisa
diwariskan begitu saja, tetapi sebaliknya harus diajarkan, disosialisasikan dan
diaktualisasikan kepada generasi muda melalui sekolah. Lebih dari pada postulat
penting tersebut, dalam pandangan banyak ahli pendidikan dan demokrasi barat,
pendidikan kewarga-negaraan merupakan kebutuhan mendesak karena beberapa
alasan kuat lainnya. Pertama, meningkatnya gejala dan kecenderungan political
literacy, tidak melek politik dikalangan warganegara. Kedua, meningkatnya political
apathism, yang terlihat antara lain dari relatif sedikitnya jumlah warganegara yang
memberikan suara dalam pemilu, atau terlibat dalam proses-proses politik lainnya.
Indonesia dengan “separated approach” melalui mata pelajaran khusus
PPKn; MKDU Pancasila dan Kewiraan (MKPK Pancasila dan Kewarganegaraan –
kurikulum 2000), sebenarnya telah berdiri di depan. Tetapi harus diakui, terdapat
sejumlah masalah dalam mata pelajaran tersebut. Akibatnya, mereka gagal dalam
usaha sosialisasi dan desimenasi demokrasi, jangankan lagi untuk pembentukan cara
berfikir (worldview) dan perilaku demokrasi di lingkungan peserta didik dan
masyarakat sekolah/ universitas pada umumnya. (Azra:2001).
Lebih lanjut dikatakan oleh Azra (2001) kegagalan itu bersumber setidaknya
dari tiga hal, yaitu:
1. Secara substantif, PPKn, Pancasila dan Kewiraan tidak secara terencana dan
terarah mencakup materi dan pembahasan yang lebih terfokus pada pendidikan
demokrasi dan kewarganegaraan. Materi-materi yang ada umumnya terpusat
pada pembahasan yang bersifat idealistik, legalistik dan normatif.
2. Kalaupun materi-materi yang ada pada dasarnya potensial bagi pendidikan de-
mokrasi dan pendidikan kewarganegaraan, potensi itu tidak berkembang karena
8
pendekatan dalam pembelajarannya bersifat indoktrinatif, regimentatif,
monologis dan tidak partisipatif.
3. Ketiga subyek itu lebih teoritis dari pada praktis. Akibatnya terdapat diskrepansi
yang jelas diantara teori dan wacana yang dibahas dengan realitas sosial politik
yang ada. Bahkan pada tingkat sekolah/ universitas sekalipun diskrepansi itu
sering terlihat pula dalam bentuk otoriterianisme bahkan feodalisme orang-orang
sekolah dan universitas itu sendiri. Akibatnya, bisa dipahami, kalau sekolah
/universitas gagal membawa peserta didik untuk “mengalami demokrasi”.
Mahasiswa sebagai bagian integral dan motor perubahan (agent of change)
dalam masyarakat menempati posisi yang strategis dalam situasi transisi saat ini.
Peran strategis yang dimiliki mahasiswa telah terbukti dalam perjalanan sejarah
bangsa seperti meruntuhkan rezim Orde Baru yang tidak demokratis dengan
melahirkan era reformasi.
Untuk mengoptimalkan peran transformatif mahasiswa sebagai “motor
perubahan” pada level masyarakat dan kelembagaan negara agar terciptanya kultur
yang demokratis perlu ditopang oleh pengetahuan dan pengalaman dari sistem
pendidikan yang menekankan pada masalah demokrasi, hak asasi manusia dan
masyarakat madani (civil society). Pendidikan Kewarganegaraan merupakan upaya
kita untuk menggalang kesepakatan bersama tentang arah dan bentuk masyarakat
Indonesia yang diidamkan bersama. Karena kemampuan sosial bukanlah keahlian
yang diwariskan melalui garis keturunan, tetapi dikondisikan melalui pembelajaran.
Tujuan Civic Education di perguruan tinggi tidak lain adalah agar dalam
pusaran zaman yang amat bergolak ini, mahasiswa sebagai motor perubahan harus
menerima dan melaksanakan perannya yang sangat strategis. Dengan bekal cara
berfikir rasional, kritis, serta terbuka terhadap ide ataupun gagasan baru maka
perguruan tinggi dan mahasiswa wajib menguji nilai-nilai demokrasi agar dapat
diwujudkan sesuai kondisi sosial-budaya masyarakat.
Cara berfikir yang berorientasi ke masa depan (truth-oriented) yang menjadi
ciri mahasiswa dan perguruan tinggi, Insya Alloh akan dapat membantu mengurai
benang kusut peta politik praktis Indonesia. Karena berbeda dengan politisi yang
berorientasi jangka pendek (power oriented), Mahasiswa dan perguruan tinggi akan
mencari jalan keluar yang lebih langgeng dan obyektif.
9
Adapun nilai-nilai yang diharapkan dari pembelajaran civic education di
perguruan tinggi adalah, tumbuhnya sikap mental yang cerdas, penuh tanggung
jawab dan perilaku yang mencerminkan:
(1) Iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai falsafah bangsa;
(2) Budi pekerti luhur sehingga dapat terus memanfaatkan ilmu pengeta-huan,
teknologi dan seni untuk kepentingan kemanusiaan, bangsa dan negara;
(3) Sikap rasional, kritis, dan dinamis terhadap hak dan kewajiban sebagai warga
negara;
(4) Sikap disiplin dan profesional dalam membela negara.
Karakteristik matakuliah CE/PKn juga menyangkut dimensi pengetahuan,
keterampilan dan nilai (values). Sejalan dengan ide pokok Pendidikan Kewarga-
negaraan yang bertujuan membentuk warga negara yang ideal, yaitu warga negara
yang memiliki pengetahuan, keterampilan dan nilai sesuai dengan konsep dan prinsip
PKn/CE, maka dalam tiga dimensi tersebut harus ada penekanan pembelajaran yang
mengarah pada values walaupun ini bukan berarti meniadakan dimensi kognitif dan
keterampilan. Dua dimensi tersebut dalam hal tertentu sangat dibutuhkan untuk
menanamkan values pada mahasiswa.
Secara makro Pendidikan Kewarganegaraan (CE) memiliki tiga dimensi
dasar, yaitu:
1. Dimensi pengetahuan kewarganegaraan (civics knowledge) yang menyangkut
bidang politik, hukum dan moral, sehingga membawa konsekuensi materi kuliah
PKn/CE meliputi pengetahuan tentang prinsip dan proses demokrasi, lembaga
pemerintah dan non pemerintahan, identitas nasional, rule of law, peradilan yang
bebas dan obyektif, konstitusi, sejarah nasional, hak dan tanggung jawab warga
negara, HAM dan hak politik.
2. Dimensi civics Skills yaitu dimensi yang menyangkut ketrampilan dalam
berpartisipasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena hal tersebut
terkait dengan misalnya perwujudan masyarakat madani, maka harus diberikan
kemampuan untuk ikut mewujudkan masyarakat madani, keterampilan mempe-
ngaruhi, keterampilan melakukan monitoring jalannya pemerintahan, keteram-
pilan dalam pengambilan keputusan, keterampilan pemecahan masalah sosial,
keterampilan berkoalisi dan mengelola konflik.
10
3. Dimensi nilai kewarganegaraan (civic values) yaitu materi perkuliahan yang
diarahkan untuk menanamkan nilai, kepercayaan serta sikap berkewargane-
garaan yang baik. Materi yang terkait dengan dimensi ini adalah: komitmen,
penguasaan nilai keagamaan, norma dan etika, nilai keadilan, demokrasi,
kebebasan individual dan perlindungan.
Sejalan dengan pengembangan dan penerapan KBK di perguruan tinggi,
maka mahasiswa juga harus memiliki kompetensi yang mencakup tiga ranah, yaitu
kognitif, afektif dan psikomotorik. Dengan mempertimbangkan ciri khusus dalam
PKn, maka mahasiswa /lulusan yang telah menempuh matakuliah ini diharuskan
memiliki kompetensi sebagai berikut:
1. Civic Knowledge, yaitu kompetensi yang berkaitan dengan pengetahuan yang
berhubungan dengan keilmuan kewarganegaraan. Mahasiswa harus menguasai
keilmuan, teori tentang negara, terbentuknya masyarakat dan sebagainya.
2. Civic Skill, yaitu kompetensi yang menyangkut kemampuan atau keterampilan
untuk memasuki masyarakat selaku warganegara yang baik. Dalam dimensi ini
ketrampilan kewarganegaraan dibagi dalam dua kompetensi yaitu:
a. Intelelectual skill, yaitu mahasiswa mempunyai kemampuan dan kecerdasan
yang menyangkut pemecahan hidup bermasyarakat selaku warga negara.
b. Participatory skill, yaitu kemampuan mahasiswa untuk dapat ikut serta dalam
kegiatan kemasyarakatan, sehingga dalam masyarakat mereka dapat
sepenuhnya berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan
warga negara.
3. Civic Disposition, yaitu setelah perkuliahan selesai, terbentuk watak mahasiswa
yang Pancasilais, dan watak-watak baik lain yang bersumber dari kepribadian
Bangsa Indonesia.
Hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh peneliti (Nurul Zuriah, 2002)
yang didanai oleh UMM bekerjasama dengan LP3 UMY dan Asia Foundation
tentang persepsi dan aspirasi mahasiswa terhadap Civic Education / PKN di
Perguruan Tinggi menunjukkan respon yang positif dan menggembirakan (55%)
responden menyatakan apresiatif dan sangat setuju penyelenggaraannya di PT.
Sedangkan aspirasi mahasiswa terhadap pembelajaran CE/PKN menunjukkan adanya
keanekaragaman aspirasi yang dipengaruhi oleh informasi yang diterimanya, kebe-
11
basan pikir mereka serta jenis angket yang diberikan secara terbuka yang meliputi
aspirasi : (1) secara umum, (2) berkenaan dengan materi, (3) berkenaan dengan
dosen, (4) berkenaan dengan lain-lain. Sedangkan materi, metode dan desain baru
pembelajaran CE/PKN yang sesuai dengan aspirasi mahasiswa di era demokratisasi
belajar adalah proses pembelajaran CE/PKN dikembangkan ke arah pengembangan
Civic Intelligence (kecerdasan warga negara) yang mencakup : (1) Civic knowledge
(pengetahuan kewarganegaraan), (2) Civic Skills ( ketrampilan kewarganegaraan)
dan (3) Civic Dispositions (sikap kewarganegaraan) yang diaktualisasikan dalam
civic participations (partisipasi kewarganegaraan) melalui penggunaan metode
pembelajaran yang dermokratis dengan menggunakan model pembelajaran berbasis
portofolio yang dipadu dengan model cooperative learning.
Kemudian hasil penelitian yang lain yang dilakukan oleh peneliti (Nurul
Zuriah, 2003) yang didanai PBI-UMM tentang Pengembangan Model Pembelajaran
Civic Education Berbasis Trimodel Pembelajaran Sebagai Upaya akselerasi Desi-
enasi Nilai-Nilai Demokrasi di Perguruan Tinggi Muhammadiyah menunjukkan
fenomena yang sama, bahwa pembelajaran PKN/CE perlu dilakukan secara inovatif-
kolaboratif dan pembaharuan secara terus-menerus. Pengembangan kompetensi
kewarganegaraan yang mencakup Civic intellegence (kecerdasan warganegara)
meliputi : (1) Civic knowledge (pengetahuan kewarganegaraan), (2) Civic Skills
(ketrampilan kewarganegaraan) dan (3) Civic dispositions (sikap kewarganegaraan)
yang diaktualisasikan dalam civic participations (partisipasi kewarganegaraan) dapat
dilakukan melalui kolaborasi penggunaan Tri (tiga) model pembelajaran, yaitu : (1)
model pembelajaran konvensional, (2) model pembelajaran portofolio dan (3) model
pembelajaran cooperative learning yang lebih demokratis dan memperhatikan
karakteristik mahasiswa.
Di samping itu hasil penelitian yang lain, yang dilakukan peneliti bersama tim
dalam penelitian Hibah Bersaing XI.1 – XI.3 tahun 2003 – 2005 yang dibiayai
DP3M Dirjen Dikti tentang Pengembangan Model Pembelajaran Demokratis
Berperspektif Gender Pada Matapelajaran PPKN di Lingkungan Pendidikan
Dasar, juga menunjukkan fenomena sebagai berikut:
Pendidikan kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang wajib diberikan dari tingkat pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tinggi. Tujuan dan targetnya adalah membekali kompetensi peserta didik agar memiliki penge-
12
ahuan kewarganegaraan (civic knowledge), ketrampilan kewarganegaraan (civic skills), etika dan karakter kewarganegaraan (civic etic and civic disposition). Hal ini menuntut pembaharuan pembelajaran PPKn yang inovatif, variatif, menarik dan mampu menyiapkan peserta didik menjadi warganegara yang baik (good citizen). (Zuriah, 2005)
Untuk menjadi bangsa yang tangguh, kuat dan memiliki kemampuan
kompetitif serta memiliki berbagai keunggulan komparatif, pendidikan harus mampu
melahirkan SDM yang tidak saja memiliki kecerdasan ganda, tapi juga memiliki
kemampuan berpikir kritis dan berpikir kreatif serta dialogis.
Donald P. Kauchak dalam Dede Rosyada (2004:103), menyebutnya dengan
pendidikan yang menghasilkan outcome dengan level tertinggi, yang memiliki tiga
kemampuan, yaitu kemampuan menyelesaikan masalah, berpikir kritis dan mampu
menyelesaikan masalah berbasis data melalui penelitian inquiry.
Sementara itu Kenneth D. Moore menawarkan dua kompetensi di atas enam
level kognitif, yaitu pengembangan kemampuan critical thinking dan creative
thinking, yang keduanya menurutnya tidak berhubungan secara signifikan dengan
tingkat intellegensia mereka (Moore, 2001:113). Hal ini dikarenakan anak cerdas
belum tentu kreatif dan begitu pula sebaliknya anak kreatif belum tentu cerdas.
Kemampuan berpikir kritis bisa dikembangkan, dan begitu pula kreativitas serta
berpikir kreatif bisa dikembangkan, yang keduanya tidak terjangkau dalam tahapan
kognitif Bloom (Dede Rosyada, 2004:104).
Tawaran tawaran tersebut sangat rasional untuk dikaji dalam perkuliahan
Civic Education / Pendidikan Kewarganegaraan di perguruan tinggi, yakni me-
ngembangkan kemampuan mahasiswa dengan pembiasaan berpikir kritis untuk
membiasakan meneliti sebuah masalah, dan menganalisis berbagai solusi untuk
menyelesaikan masalah tersebut dengan berbasis pada teori-teori yang rasional
kemudian mereka juga dilatih untuk berpikir kritis dan kreatif dengan pola dialogis.
Untuk menyambut tawaran-tawaran di atas, maka dilakukan pengembangan
model belajar problem solving dengan model pembelajaran portofolio dan
pembelajaran dengan out come level tertinggi lainnya seperti pengembangan critical
thinking yakni kemampuan berpikir kritis yang bisa dikembangkan sejak dini, dan
tidak tergantung pada tingkat intellegence question, namun pada intensitas
pembinaan dan kebiasaan melatih anak berpikir kritis.
13
Bahkan menurut Kenneth D. Moore (2001:113) diberikan ilustrasi bahwa :
“Berpikir kritis itu lebih kompleks daripada berpikir biasa, karena berpikir kritis berbasis pada standar objektivitas dan konsistensi. Dosen, menurutnya pula harus membiasakan mahasiswa untuk mengubah pola berpikirnya, yaitu :
1. dari menduga menjadi mengestimasi;2. dari memilih menjadi mengevaluasi;3. dari pengelompokan menjadi pengklasifikasian;4. dari percaya menjadi menduga;5. dari penyimpulan dengan dugaan pada penyimpulan secara logis;6. dari selalu menerima konsep pada mempertanyakam konsep;7. dari menduga menjadi menghipotesis;8. dari menawarkan pendapat tanpa alasan pada penawaran pendapat dengan
argumentasi9. dari membuat putusan tanpa kriteria pada pembuatan putusan dengan kriteria.
Berpikir kritis, secara umum membutuhkan kemampuan berpikir lebih tinggi
dari sekadar mengetahui, memahami, aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi. Namun
kemampuan tersebut bisa dilatih dan dikembangkan, yang diintegrasikan dalam
berbagai mata kuliah yang memungkinkan untuk pengembangan berpikir tersebut.
Kemampuan critical thinking (berpikir kritis) tiada lain adalah kemampuan
mahasiswa dalam menghimpun berbagai informasi lalu membuat sebuah kesimpulan
evaluatif dari berbagai informasi tersebut. Kemampuan tersebut merupakan sesuatu
yang amat rasional untuk dikembangkan, namun tidak semua mahasiswa harus
diberikan perlakuan yang sama, karena dari pembelajaran dalam kategori ini, dan
mereka tidak mampu untuk berpikir tentang berbagai informasi lain, atau data-data
lain yang relevan dengan topik-topik yang mereka pelajari. Padahal itulah inti dari
pengembangan critical thinking, yakni mengakses berbagai informasi lain, dari
berbagai sumber yang tidak dibatasi hanya buku teks, lalu informasi-informasi
tersebut dianalisis dengan menggunakan berbagai pengetahuan dasar dari bahan ajar
formal, lalu mereka membuat kesimpulan. Proses penyimpulan itulah yang disebut
critical thinking, yang mampu melahirkan berbagai pemikiran kreatif.
Berpikir kritis sangat dipengaruhi oleh basis keilmuan, penguasaan terhadap
prosedur atau proses berpikir yang dapat melahirkan rumusan-rumusan pemikiran,
ada kecenderungan serta kemampuan berpikir metakognisi, yang antara satu dengan
lainnya juga terdapat keterkaitan, yakni metakognisi dipengaruhi oleh sikap dan
14
kecenderungan, dan sikap dan kecenderungan juga dipengaruhi oleh metakognisi,
begitu seterusnya antara satu elemen dengan elemen lainnya.
Teori yang dikemukakan di atas, sangat relevan untuk dikembangkan dalam
perkuliahan CE / PKn di perguruan tinggi, dimana mereka dapat belajar menemukan
masalah dari kasus yang simpel yang terjadi dalam lingkungannya, lalu mereka
amati, mereka rasakan dan berpikir bagaimana mengatasinya.
Pengembangan kemampuan berpikir tingkat tinggi melalui pemecahan
masalah, “berpikir kritis”, “berpikir kreatif” dan “dialogis” dirasakan begitu penting
dan sangat cocok dengan adanya tuntutan sejumlah kompetensi (Civic Knowledge,
Civic Skill dan Civic Disposition) yang perlu dimiliki mahasiswa terutama dalam
pembelajaran pendidikan kewarganegaraan atau civic education di lingkungan per-
guruan tinggi .
Namun demikian, selain ketrampilan berpikir tingkat tinggi, mahasiswa juga
perlu dibekali dengan menguasai konsep-konsep dalam bidang studi konsentrasi /
keahliannya. Bertolak dari kenyataan di atas, maka analisis konsep dan pembuatan
peta konsep juga perlu dikuasai dosen, sehingga setiap model pembelajaran yang
dilakukan perlu bertolak dari analisis konsep dan peta konsep. Hal ini sangat urgen
dalam inovasi pembelajaran yang dilakukan dalam perkuliahan PKN/CE yang
dilakukan di Perguruan Tinggi Muhammadiyah dengan pendekatan DDCT ( deep
dialogue dan critical thinking). Pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan
pendidikan sosial, terutama PPKn telah berhasil dirumuskan oleh GDI (Global
Dialog Institute) yang berkedudukan di Amerika Serikat dengan diberi nama pende-
katan Deep Dialogue dan Critical Thinking (DDCT).
Secara sederhana, dialog adalah percakapan antara orang-orang dan melalui
dialog tersebut, dua masyarakat/kelompok atau lebih yang memiliki pandangan
berbeda-beda bertukar ide, informasi dan pengalaman. Deep dialogue (dialog
mendalam), dapat diartikan bahwa percakapan antara orang-orang tadi (dialog) harus
diwujudkan dalam hubungan yang interpersonal, saling keterbukaan, jujur dan
mengandalkan kebaikan (GDI, 2001). Sedangkan critical thinking (berpikir kritis)
adalah kegiatan berpikir yang dilakukan dengan mengoperasikan potensi intelektual
untuk menganalisis, membuat pertimbangan dan mengambil keputusan secara tepat
dan melaksanakannya secara benar.Beberapa prinsip yang harus dikembangkan
15
dalam deep dialogue critical thinking, antara lain adalah: adanya komunikasi dua
arah dan prinsip saling memberi yang terbaik, menjalin hubungan kesederajatan dan
keberadaban serta empatisitas yang tinggi.
Dengan demikian, deep dialogue and critical thinking mengandung nilai-nilai
demokrasi dan etis sehingga keduanya seharusnya dimiliki oleh manusia. Nilai-nilai
demokrasi dan etis yang dijadikan orientasi dalam DDCT, mempunyai kaitan erat
dengan tujuan pendidikan kewarganegaraan di Indonesia (PKn), terutama dalam
pembentukan warga negara yang baik, demokratis, cerdas dan religious. Adapun
komponen utama pendekatan DDCT, meliputi: a. Konstruktivisme (constructivism);
b. Penemuan konsep (concept attainment); c. Dialog Mendalam (deep dialogue); d.
Belajar bersama (learning together); e. Menemukenali (inquiry), f. Penilaian yang
sebenarnya (Authenteic Assesment).
Proses belajar-mengajar adalah proses dialog. Sebagai proses dialog, praktik
pembelajaran memerlukan prasyarat kesiapan fisik dan mental pelaku penyampai
pesan dan penerima pesan pembelajaran. Pembelajaran berbasis Deep Dialogue
Critical Thinking (DDCT) mengakses paham konstruktivis dengan menekankan
adanya dialog mendalam dan berpikir kritis. Dengan deep dialogue critical thinking,
seseorang diharapkan mampu di samping mengenali diri sendiri juga mengenal diri
orang lain. Selain itu, dengan dialog mendalam dan berpikir kritis, orang akan belajar
mengenal dunia lain di luar dunia dirinya dan selanjutnya mampu menghargai
perbedaan-perbedaan yang ada di dalam masyarakat. Hal ini membuka kemung-
kinan-kemungkinan untuk memahami makna yang fundamental dari kehidupan
secara individual dan kelompok dengan berbagai dimensinya.
Mempertimbangkan dasar pemikiran, studi pustaka dan Riset yang telah dila-
kukan, tuntutan Inovasi pembelajaran dan perlunya peningkatan kualitas pembe-
lajaran di perguruan tinggi yang tengah berlangsung, serta semangat demokratisasi
belajar di lingkungan perguruan tinggi, terutama dengan pemberlakuan kurikulum
baru yang menggunakan paradigma konstruktivistk dan semangat demokratisasi
pendidikan maka maka penelitian ini di rasa sangat urgen untuk dilakukan.
16
C. HASIL DAN PEMBAHASAN
C.1 Pengetahuan dan konsep dasar dosen dan mahasiswa dalam pembelajaran
PKN/CE yang ada di lingkungan perguruan tinggi Muhammadiyah
selama ini.
Berdasarkan hasil pengumpulan data dan analisis data di lapangan, maka
pengetahuan dan konsep dasar dosen dan mahasiswa dalam perkuliahan/pembelajar-
an PKn/CE yang ada di lingkungan perguruan tinggi Muhammadiyah selama ini
menunjukkan fenomena yang beragam, apabila dikategorisasi dan diklasifikasikan
secara lebih simpel menunjukkan fenomena sebagai berikut:
C.1.1 Menurut pendapat ketua jurusan / kaprodi selaku supervisor di jurusan, menya-
takan bahwa kondisi umum pembelajaran / perkuliahan PKn/CE yang diamati
dan terjadi dijurusan/ prodinya, menunjukkan sebagai berikut:
1) Pembelajaran/perkuliahan PKn/CE materinya terlalu banyak, dan isi materi
PKn/CE antara satu buku dengan buku lainnya kadang berbeda.
2) Pembelajaran/perkuliahan PKn/CE dilakukan kurang menarik dan mem-
bosankan. Metode pembelajaran yang ada selama ini cenderung kurang
bervariasi dan kurang melibatkan mahasiswa.
3) Mahasiswa umumnya kurang menyenangi pelajaran/perkuliahan PKn/ CE
karena harus banyak menghafal dan banyak membaca.
4) Proses Pembelajaran/perkuliahan PKn/CE yang ada selama ini kurang
menarik, cenderung hafalan dan kurang kontekstual.
5) Dosen PKn/CE cenderung belum siap mengajar secara kontekstual dan
menyenangkan dan masih berpola “textbookish”.
C.1.2 Menurut pendapat dosen selaku pengajar / pengampu dan pembina matakuliah
di kampus, menyatakan bahwa kondisi umum pembelajaran PKn/CE yang
dilaksanakan selama ini, menunjukkan sebagai berikut:
1) Terlalu banyaknya beban materi PKn/CE yang harus disampaikan pada
mahasiswa. Terlalu luas karena mencakup berbagai materi bidang
IPOLEKSOSBUDHANKAM (sosiologi, politik, hukum,HAM, filsafat,
antropologi, moral dan nilai).
2) Kurangnya media pembelajaran yang bisa digunakan untuk menyampai-kan
materi yang terlalu padat. DVD/VCD dan yang lain susah di dapat.
17
3) Kurangnya atau rendahnya minat baca mahasiswa terhadap buku pelajaran
PKn/CE, sehingga penguasaan konsepnya setengah-setengah atau tidak
matang.
4) Banyaknya teori yang tidak sesuai dengan fakta, fakta menunjukkan etika
kedudukannya lebih tinggi dari pada kebenaran. Banyak yang diajarkan di
sekolah bersifat paradoks dengan kenyataan di masyarakat, terutama untuk
PKn.
5) Pembelajaran PKn/CE dilakukan kurang menarik dan membosankan.
Metode pembelajaran yang ada selama ini cenderung kurang bervariasi dan
kurang melibatkan siswa.
6) Siswa kurang mampu menyerap materi pelajaran yang terlalu banyak dan
luas. Siswa hanya paham sebatas teori saja.
7) Pembelajaran PKn/CE dilakukan kurang menantang dan kurang mem-buka
ruang berpikir kritis-kreatif-dialogis mahasiswa sehingga kurang menarik
dan membosankan.
8) Waktu dan bobot penyajian sangat terbatas yaitu hanya 2 SKS/2 JS
perminggu.
C.1.3 Menurut pendapat mahasiswa selaku peserta didik dan pembelajar di kampus/
kelas, menyatakan bahwa kondisi umum pembelajaran PKn/CE yang dialami
selama ini, menunjukkan sebagai berikut:
1) Terlalu banyak yang dihafalkan pengetahuan politik, hukum, HAM, antro-
pologi, Sosiologi, pemerintahan, moral dan nilai.
2) Terlalu banyak materi yang diajarkan
3) Cukup baik tetapi kadang-kadang membosankan
4) Biasanya perkuliahan berlangsung tegang/kaku/disiplin dan membosankan
5) Cukup bagus tetapi kurang menyenangkan dan menakutkan
6) Perkuliahan PKn/CE kurang dilakukan dengan baik karena banyak materi
yang belum dimengerti dan bukunya terbatas.
7) Siswa merasa kurang mengerti/bosan
8) Keberhasilan perkuliahan dirasa kurang karena tidak adanya partisipasi
mahasiswa dalam belajar
18
9) Mahasiswa kadang merasa bosan dan mengantuk karena menurut mereka
tidak seru, apalagi kalau disajikannya pada siang hari.
10) Kurang, karena tak ada fakta yang sangat jelas
11) Terkadang mengasyikkan dan terkadang tidak
12) Kadang-kadang membosankan, tidak greget dan kurang menantang
13) Terkadang menyenangkan dan terkadang membosankan
14) Bukunya tidak kreatif jadi bosan untuk membaca
15) PKn/CE cukup sulit (terutama bagi kelompok ilmu eksak/teknik) yang tidak
suka menghapal dan bertele-tele. Sehingga terasa membosankan, dan
materinya banyak menyangkut kehidupan sehari-hari di ungkap di TV.
16) Sebagian banyak mahasiswa yang tidak suka PKn, dan banyak yang
membenci IPS karena banyak hafalannya.
17) Terkadang susah dimengerti dan lumayan sulit
18) Sebenarnya PKn itu mudah jika mahasiswa sering membaca, mendengar,
melihat TV dan belajar, jika tidak belajar bisa juga dibilang susah.
19) Kondisinya baik jadi mahasiswa bisa konsentrasi tetapi karena dosennya,
Tampangnya dan performancenya galak/killer mahasiswa tidak bisa konsen-
trasi.
20) Kurang lancar karena banyak mahasiswa yang belum paham materinya
21) Cukup susah dan terlalu banyak yang dibahas dalam satu semester dengan
tugasnya yang banyak pula.
22) Karena PKn lama (Pendidikan Kewiraan) dicampur dengan Pendidikan
Pancasila menjadi matakuliah baru Pendidikan Kewarganegaraan/Civic
Education, sehingga materinya sangat banyak.
Pengetahuan, sikap dan perilaku dosen, mahasiswa dan ketua prodi dalam
pembelajaran/perkuliahan PKn/CE di lingkungan PTM yang ada sekarang cen-
derung menunjukkan fenomena yang beragam dan mereka cenderung menganggap:
Perkuliahan PKn/CE materinya terlalu banyak dan luas, Pembelajaran dilakukan
kurang menarik dan membosankan. Metode pembelajaran yang ada selama ini
cenderung kurang bervariasi dan kurang melibatkan mahasiswa. Mahasiswa umum-
nya kurang menyenangi pelajaran/perkuliahan PKn/CE karena harus banyak
menghafal dan banyak membaca. Dosen PKn/CE cenderung belum siap mengajar
19
secara kontekstual, kurang enjoyfull learning (belajar dengan menyenangkan) dan
masih berpola “textbookish”.
C.2 Penyebab pembelajaran PKn/CE yang terjadi selama ini berlangsung
monolitik, kurang demokratis, membosankan dan tidak optimal.
Penyebab pembelajaran /perkuliahan PKn/CE yang terjadi selama ini ber-
langsung monolitik, kurang demokratis, membosankan dan tidak optimal, dikare-
nakan 10 faktor dominan, yaitu:
(1) Pembelajaran PKn/CE pada umumnya kurang memperhatikan perubahan-
perubahan dalam tujuan, fungsi dan peran PKn/CE di masyarakat
(2) Posisi, peran dan hubungan fungsional dengan bidang studi lainnya terabaikan.
(3) Lemahnya transfer informasi konsep PKn/CE sebagai bagian dari rumpun ilmu-
ilmu sosial mengakibatkan out put pembelajaran PKn/CE tidak mem-beri
tambahan daya dan tidak pula mengandung kekuatan pada peserta didik untuk
mengatasi problem-problem yang ada di lingkungan ma-syarakatnya.
(4) Dosen PKn/CE tidak dapat meyakinkan siswa untuk belajar PKn/CE dengan
lebih bergairah, menarik dan bersungguh-sungguh, karena mahasiswa kurang
dan bahkan tidak pernah dibelajarkan untuk berpikir kritis dan membangun
konseptualisasi secara mandiri.
(5) Dosen lebih mendominasi siswa (teacher centered) dengan kadar pembela-
jarannya rendah sehingga kebutuhan belajar mahasiswa tidak terlayani. Dosen
cenderung memperlakukan mahasiswa sebagai objek. Mereka hanya menerima
apa yang diajarkan tanpa bisa mengkritisi. Dengan kata lain dikatakan bahwa
sistem pendidikan dan pembelajaran yang berlaku di Indo-nesia masih jauh dari
demokratis.
(6) Pembelajaran PKn/IPS selama ini belum membiasakan pengalaman nilai-nilai
kehidupan demokrasi sosial kemasyarakatan yang riil, dengan melibatkan siswa
dan seluruh komunitas sekolah dalam berbagai aktivitas kelas dan sekolah.
(7) Adanya tradisi yang dilakukan dosen dalam melaksanakan pembelajaran PKn/CE
yang cenderung menggunakan pendekatan monolitik dan bersifat top down ,
semua materi pembelajaran secara detail telah dipersiapkan oleh pusat (surat
20
edaran) menteri pendidikan nasional, dosen tidak punya keleluasan untuk
mencari dan mengembangkan materi lebih jauh.
(8) Nuansa pendekatan teoritis sangat kental dilakukan dalam pembelajaran PKn/CE,
yang ditunjukkan dengan penekanan pada pembahasan apa yang ada dalam
buku teks, tanpa dikaitkan dengan apa yang ada dan yang relevan bagi bangsa
Indonesia saat ini. Pengajaran/ perkuliahan PKn/CE hanya memiliki kontribusi
yang amat kecil dalam pengembangan individu dan masyarakatnya terutama
dalam rangka penyemaian dan akselerasi pertumbuhan nilai-nilai demokrasi
dalam masyarakat Indonesia yang majemuk (plural) dan yang menghargai
perbedaan kultur di masyarakat sesuai dengan semangat multikultualisme.
(9) Dosen PKn/CE tidak berani mengembangkan kurikulum di dalam kelas karena
takut dianggap “nyeleneh- menyalahi aturan dan tradisi” Kondisi ini diper-
buruk oleh sikap pengelola lembaga pendidikan yang tidak mendukung upaya
inovasi dosen karena khawatir dengan aturan birokrasi.
(10) Penyebab mahasiswa kurang kritis karena: (1) pengaruh budaya tradisional, (2)
dosen tidak tahu cara mengajarkan berpikir kritis dan (3) rendahnya kualitas
dosen dan mahasiswa. Bahkan secara keseluruhan masyarakat Indonesia dinilai
kurang kritis karena tiga hal, yaitu: warisan budaya tradisional, rendahnya kadar
demokrasi dalam pemerintahan Indonesia dan rendahnya populasi – penduduk
yang berpendidikan.
C.3 Alasan perlunya dilakukan upaya inovasi model pembelajaran PKN/CE
berbasis DDCT dan demokratisasi yang dapat mengembangkan ke-
mampuan berpikir kritis-dialogis mahasiswa di lingkungan perguruan
tinggi Muhammadiyah.
Ada 5 (lima) alasan pentingnya dilakukan upaya inovasi dan reorientasi model
pembelajaran PKN/CE berbasis DDCT yang dapat mengembangkan kemampuan
berpikir kritis-dialogis mahasiswa di lingkungan perguruan tinggi Muhammadiyah,
antara lain adalah :
(1) Adanya beberapa problem mendasar yang muncul dalam proses belajar mengajar
PKn/CE di lingkungan perguruan tinggi Muhammadiyah,
21
(2) Adanya ketidakpuasan mahasiswa terhadap perkuliahan PKn/CE yang ber-
sumber dari lemahnya penguasaan dosen akan materi dan metode pembe-
lajarannya.
(3) Adanya harapan dan keinginan dari mahasiswa untuk dilakukan perbaikan
kualitas pembelajaran PKn/CE dengan melakukan berbagai variasi dalam pelak-
sanaan pembelajaran.
(4) Kesalahan orientasi dalam pembelajaran PKn/CE yang ada selama ini harus
segera diakhiri salah satunya dengan menerapkan DDCT dalam perkuliahan
PKn/CE untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis-Dialogis Maha-
siswa.
(5) apapun bidang studinya, belajar itu sesungguhnya berpikir, karena itu kualitas
berpikir seseorang tergantung pada kualitas pembelajarannya, khususnya pada
interaksi edukatif antara mahasiswa dengan mahasiswa dan mahasiswa dengan
dosen. Prinsip-prinsip paedagogis kritis seharusnya menjadi rujukan dalam
mendesain proses pembelajaran atau perkuliahan di PTM.
C.4 Rumusan konsep dasar model teoritik pengembangan kemampuan ber-
pikir kritis-kreatif-dialogis mahasiswa dalam pembelajaran PKn/Ce yang
diinginkan stake holders (dosen, mahasiswa dan ketua jurusan/ kaprodi)
berbasis DDCT dan demokratisasi belajar di lingkungan PTM.
Berdasarkan hasil pengumpulan data dan analisis data di lapangan, maka dapat
dibuat draft beberapa rumusan prototipe dan konsep dasar model teoritik pembe-
lajaran PKn/CE, berbasis DDCT dan demokratisasi belajar di lingkungan pendidikan
tinggi, yang sesuai dengan keinginan dosen, mahasiswa dan ketua jurusan serta
sejalan dengan semangat dan era demokratisasi belajar, yaitu :
(1) Dosen dituntut oleh mahasiswa dan mempunyai tugas berat untuk memahami
tahap-tahap perkembangan kemampuan bakat, perasaan, harga diri mahasiswa
dan atribut-atribut non akademis yang lain;
(2) Belajar merupakan suatu proses konstruktif dan paling baik dilakukan jika apa
yang dipelajari relevan dan bermakna bagi mahasiswa sesuai dengan penge-
tahuan dan pengalaman sebelumnya, (Filsafat Konstruktivisme);
22
(3) Belajar yang paling baik terjadi dalam suatu lingkungan yang positif dimana ada
interaksi dan hubungan interpersonal yang positif dan menyenangkan sehingga
mahasiswa merasa dihargai dan diakui;
(4) Belajar pada dasarnya adalah proses alamiah, maka mahasiswa secara alamiah
memiliki rasa ingin tahu dan berminat untuk mempelajari dan menguasai
dunianya.
(5) Sebagai implikasinya mahasiswa harus dimasukkan dalam proses pembuatan
keputusan pendidikan di sekolah/kelas, baik keputusan yang berhubungan de-
ngan apa yang dipelajari atau aturan-aturan yang diterapkan di kelas.
(6) Dosen mendorong dan menghargai perspektif yang berbeda-beda dari mahasiswa
selama pengalaman belajarnya, menjunjung tinggi pengembangan pemikiran
kritis-kreatif dan dialogis-reflektif.
(7) Dosen menghargai aneka perbedaan diantara para mahasiswa, seperti kultur,
kemampuan, gaya belajar, tahap perkembangan dan kebutuhan khasnya
(8) Dosen memperlakukan mahasiswa sebagai kokreator dalam proses pembelajaran
karena mereka kaya akan ide, gagasan dan isu serta inspirasi yang perlu diper-
hatikan.
Dalam demokratisasi belajar, dosen dituntut untuk memiliki sifat-sifat:
1) sabar, peka dan toleran terhadap kemampuan belajar mahasiswa yang berbeda-
beda;
2) menggunakan aneka pendekatan pembelajaran adaptif terhadap perbedaan
individual mahasiswa
3) berorientasi pada tugas, terfokus dan menyajikan pelajaran dengan cara menarik
dan melibatkan mahasiswa;
4) atentif atau perhatian terhadap iklim afektif, menggunakan humor dan pujian
dan,
5) menyajikan informasi secara jelas dan memastikan mahasiswa telah memahami
apa yang dipelajari.
6) tugas dosen bukan lagi mengajar mahasiswa, tetapi membuat mahasiswa bisa
belajar dan ini tidak bisa digantikan oleh berbagai media pendidikan yang lain.
23
Orientasi pendidikan dan pembelajaran di Indonesia, khususnya PKn/CE dan
ilmu sosial selama ini cenderung memperlakukan peserta didik/mahasiswa sebagai
objek dan dosen sebagai pemegang otoritas tertinggi keilmuan. Orientasi pendidikan
dan pembelajaran semacam ini akan menjauhkan peserta didik/mahasiswa dari
kehidupan nyata yang ada di luar sekolah/ kampus, terlalu mengedepankan intelek-
tualitas tanpa menghiraukan pengem-bangan kepribadian peserta didik secara utuh.
Pelajaran terlalu di dominasi oleh tuntutan agar mahasiswa/murid menghafal dan
menguasai pelajaran sebanyak mungkin. Bahkan materi pelajaran hanya diarahkan
agar peserta didik bisa lulus ujian akhir atau lolos tes ke jenjang pendidikan yang
lebih tinggi. Peserta didik tidak pernah merasakan nikmatnya sekolah/kuliah. Mere-
ka selalu dikejar-kejar oleh PR (pekerjaan rumah), tugas, ulangan dan ujian, sehingga
mereka kehilangan waktu bermain bersama teman dan mengembangkan kreati-
vitasnya.
Kondisi orientasi pendidikan dan pembelajaran yang demikian, tidak bisa
dilepaskan dari metode pendidikan guru/dosen senang selalu didasarkan pada
perintah atasan dan birokrasi sekolah/kampus. Para pelaksana pendidikan dalam hal
ini guru/dosen tidak mampu berinovasi, kreatif dan mandiri akibat mereka terbiasa
dengan instruksi, petunjuk pelaksanaan (Juklak) dan petunjuk teknis (Juknis).
Sebagai akibat lebih lanjut, iklim sekolah/kampus cenderung statis, kaku dan
akhirnya menimbulkan efek destruktif pada keingintahuan, keper-cayaan diri,
kreativitas, kebebasan berpikir, dan self respect mahasiswa.
Kondisi pendidikan yang semacam ini juga tidak bisa dilepaskan dari pe-
ngaruh developmentalisme yang mengarahkan semua aspek kehidupan berbangsa
kepada pencapaian target kuantitatif dalam rangka pembangunan. Pandangan yang
seperti ini sangat populer di negara berkembang seperti Indonesia, karena tuntutan
untuk mempercepat pembangunan. Negara dan masyarakat terobsesi untuk segera
sejajar dengan negara maju secepat mungkin. Pada akhirnya pendekatan develop-
mentalisme ini cenderung mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan dan demokrasi.
Sebagai solusinya adalah menerapkan demokratisasi dalam bidang pendi-
dikan dan pembelajaran khususnya PKn/CE dengan mengedepankan terjadinya
ruang dialog untuk berpikir kritis dan kreatif dalam proses pembelajarannya melalui
24
pendekatan dan model pembelajaran DDCT (deep dialogue and critical thingking)
sebagaimana yang ditawarkan dalam penelitian ini. Komunikasi yang harmonis
antara dosen/guru dan mahasiswa/siswa harus dibangun. Pola pendidikan yang
berjarak dan menimbulkan “gab” antara dosen dan mahasiswanya harus dikikis
habis. Salah satu pendekatan yang cukup memadai untuk melaksanakan demo-
kratisasi tersebut antara lain melalui pendekatan sistemik-organik yang bersifat
fleksibel dan adaptif. Pendekatan yang semacam ini menekankan pendidikan sebagai
suatu proses learning, bukannya teaching seperti falsafahnya Ki Hajar Dewantara.
Masyarakat juga perlu dilibatkan untuk mendukung implementasi kebijakan yang
tepat di lapangan.
Secara teoritis penyusunan draft model dilakukan dengan melakukan telaah
kritis dasar teoritis penyusunan model pembelajaran, seperti yang dikemukakan oleh
Joyce dan Well (1986) yang mengelompokkan model pembelajaran atas 4 (empat)
kategori, yaitu : (a) Model pemrosesan informasi, (b) model pribadi / personal, (c)
model interaksi sosial, (d) model tingkah laku. Berdasarkan kerangka teori tersebut,
model pembelajaran PKn/CE berbasis DDCT dan demokratisasi belajar berusaha
mengkolaborasikan keempat model tersebut dalam sebuah model pembelajaran yang
bertujuan mengembangkan penalaran induktif, mengembangkan dan menganalisis
konsep-konsep materi, mengembangkan kreativitas dan penyelesaian masalah secara
kreatif, mengembangkan ketrampilan berpartisipasi dalam proses sosial yang demo-
kratik melalui penekanan kombinasi antara ketrampilan interpersonal dan inkuiri
akademik. Dalam hal mengajarkan fakta, konsep, ketrampilan berusaha mengurangi
kecemasan peserta didik dengan suasana relaksasi (menyenangkan dan menga-
syikkan).
C. 4.1 Karakteristik umum model pembelajaran PKn/CE berbasis DDCT dan demo-
kratisasi belajar yang dikembangkan di lingkungan perguruan tinggi Muham-
madiyah, meliputi 7 (tujuh) ciri pokok, yaitu:
1. Mahasiswa dan dosen nampak aktif;
2. Mengoptimalisasikan potensi intelegensi mahasiswa;
3. Berfokus pada mental, emosional dan spiritual;
4. Menggunakan teknik dialog mendalam dan berpikir kritis;
25
5. Peserta didik (mahasiswa) dan guru (dosen) dapat menjadi pendengar,
pembicara dan pemikir yang baik;
6. Pembelajaran bersifat kontekstual selaras dengan manfaat praktis bagi
kehidupan sehari-hari mahasiswa;
7. Menekankan pada nilai, sikap dan kepribadian.
Komponen utama pendekatan DDCT, meliputi 6 (enam) unsur pokok, yaitu:
1. Konstruktivisme (constructivism);
2. Penemuan konsep (concept attainment);
3. Dialog Mendalam (deep dialogue);
4. Belajar bersama (learning together);
5. Menemukenali (inquiry),
6. Penilaian yang sebenarnya (Authenteic Assesment).
Sintaks atau langkah-langkah penerapan DDCT di ruang kelas/dalam perku-
liahan, dapat dideskripsikan secara singkat sebagai berikut:
1) Awali dan akhiri kegiatan pembelajaran dengan doa, dan sisipi dengan
membangun komunitas;
2) Berdayakan mahasiswa untuk menemukan konsep, bekerja dan mengkons-
truksikan sendiri pengetahuan terhadap materi perkuliahan;
3) Kembangkan kemampuan mahasiswa berdialog mendalam dengan rasa ke-
ingintahuan dan keberanian menyampikan pendapat;
4) Beri kesempatan lebih banyak mahasiswa untuk menemukan dan menge-nali
(inkuiri) pada materi yang disajikan;
5) Bangunlah kebiasaan “belajar bersama” yakni dengan belajar berkelompok;
6) Hadirkan media yang tepat berupa gambar, puisi, nyanyian dan sebaginya
sebagai penarik respon mahasiswa dalam pembelajaran/ perkuliahan;
7) Lakukan penilaian sebenarnya dengan banyak alat dan cara.
Sistem sosial yaitu situasi atau suasana dan norma yang berlaku dalam model
pembelajaran PKN/CE berbasis DDCT yang sesuai dengan sifat demo-kratisasi
belajar dan berkeadilan gender, ditandai oleh keputusan-keputusan yang dikem-
26
bangkan “dari, oleh dan untuk siswa” atau setidaknya diperkuat oleh pengalaman
kelompok dalam konteks masalah yang menjadi titik sentral kegiatan belajar.
Kegiatan kelompok yang terjadi sedapat mungkin bertolak dari pengarahan minimal
dari pengajar. Suasana kelas akan terasa tak begitu terstruktur dan kaku, tapi dinamis
dan menggairahkan. Pengajar dan pembe-lajar memiliki status yang sama dihadapan
masalah yang dipecahkan dengan peranan yang berbeda. (dosen sebagai fasilitator
dan mahasiswa sebagai aktor) dalam pembelajaran yang dilakukan. Iklim kelas
ditandai oleh proses interaksi yang bersifat kesepakatan atau konsensus.
Di samping itu situasi pembelajaran dikembangkan atas prinsip:
1. Konstruktivisme (constructivism);
2. Penemuan konsep (concept attainment);
3. Dialog Mendalam (deep dialogue);
4. Belajar bersama (learning together);
5. Menemukenali (inquiry),
6. Penilaian yang sebenarnya (Authenteic Assesment).
Disamping itu lingkungan belajar yang demokratis, hendaknya mampu
mewarnai suasana kelas yang dapat digunakan sebagai ajang dialog, keterbukaan,
toleransi, kritis dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip manusiawi, empati, adil
gender, demokratis dan religius.
Prinsip Reaksi / Pengelolaan; yaitu pola kegiatan yang menggambarkan
bagaimana seharusnya dosen melihat dan memperlakukan peserta didik/mahasiswa,
termasuk bagaimana seharusnya pengajar atau pendidik memberikan respon terhadap
mereka. Dalam kelas yang menerapkan model pembelajaran DDCT dosen atau
pengajar lebih berperan sebagai fasilitator, mediator, konselor, konsultan dan
pemberi kritik yang bersahabat. Dalam kelas ini mengede-pankan prinsip relasi dan
interaksi edukatif berpola demokratis – partisipatif – dialogis dan adil gender. Di
samping itu juga dikembangkan pola pikir kritis – kreatif – dialogis dan reflektif
berasaskan saling menghargai kebebasan berpendapat, toleran dan “wisdom”.
Sikap dosen harus menjauhi model indoktrinatif, dan lebih berperan sebagai
fasilitator dan moderator yang baik, yang membiarkan dan merangsang siswa untuk
aktif dalam menggeluti bahan pelajaran. Hubungan antardosen yang saling terbuka,
saling menghargai, saling membantu dalam bekerjasama, dan demokratis dalam
27
menentukan kehidupan sekolah akan membantu mahasiswa untuk menerapkan
perilaku demokrasi yang baik di kemudian hari.
Sistem Pendukung; yaitu segala sarana, bahan dan alat yang diperlukan untuk
melaksanakan model pembelajaran PKn/CE berbasis pendekatan DDCT dan
demokratisasi belajar, yang meliputi segala sesuatu yang menyentuh kebutuhan
mahasiswa untuk menggali berbagai informasi yang sesuai dan diperlukan untuk
melakukan proses pemecahan masalah kelompok. Perpustakaan, buku-buku
penunjang serta bahan – bahan kliping (artikel dan gambar) dari koran, mudah
dijangkau dan relatif memadai untuk dijadikan sebagai media pembe-lajaran. Kelas
atau sekolah/kampus yang menerapkan model pembelajaran ini akan menggunakan
berbagai media dan sumber belajar yang dekat dengan konteks dan lingkungan
belajar mahasiswa.
Dampak Instruksional dan Pengiring.Dampak instruksional, yaitu hasil belajar
yang dicapai langsung dengan cara mengarahkan para pembelajar/mahasiswa pada
tujuan yang diharapkan. Ber-kaitan dengan dampak instruksional ini, sekolah atau
kelas yang menerapkan model pembelajaran PKn/CE berbasis DDCT dan demo-
kratisasi belajar dalam pencapaian tujuan instruksional akan berorientasi pada materi
akademik (sesuai tema dan topik pelajaran serta standar kompetensi dasar yang
digariskan dalam kurikulum). Serta ditujukan untuk mencapai ketrampilan proses
demokrasi dalam lingkup kelas (kelas demokratis, kritis dan dialogis sebagai
miniatur masyarakat demokratis yang cerdas dan beradab).
Dampak Pengiring, ialah hasil belajar lainnya yang dihasilkan oleh sebuah
proses belajar mengajar, sebagai akibat terciptanya suasana belajar yang dialami
langsung oleh para pelajar tanpa pengarahan langsung dari pengajar. Sebagai dampak
pengiring dari model pembelajaran PKn/CE berbasis pendekatan DDCT dan sesuai
demokratisasi belajar tersebut, adalah dosen dan mahasiswa yang terlibat dalam
proses pembelajaran akan mempunyai komitmen yang tinggi terhadap nilai-nilai
demokrasi, keadilan dan kesetaraan gender. Mereka akan menjadi warganegara yang
aktif dalam proses kehidupan demokrasi sehari-hari. Mahasiswa akan menjadi lebih
berani menyampaikan pendapat (kritis), tidak takut salah dalam belajar, berani
berbeda pendapat (dialogis), tapi juga menjunjung tinggi nilai toleransi.
28
Desain atau rancangan pembelajaran dengan pendekatan Deep Dialogue (DD)
dan Critical Thinking (CT) yang bisa dikembangkan dalam pembelajaran PKN/CE di
lingkungan PTM antara lain adalah: dengan membuat perencanaan pembelajaran
yang menggunakan pendekatan DDCT yang melalui proses dan tahapan sebagai
berikut:
1) Merumuskan tujuan pembelajaran; didasarkan pada etika dan prinsip : harus
operasional (bentuk tingkah laku mahasiswa yang dapat diamati dan diukur),
menggambarkan kompetensi atau kristalisasi perilaku siswa, baik berkaitan
dengan pengetahuan (kognitif), sikap (afektif) dan ketrampilan (psikomo-
torik). Setiap tujuan pembelajaran harus mengandung 4 komponen, yaitu:
A(audience) atau sasaran, B (behavior) atau tingkah laku, C (condition) atau
kondisi, dan D (degree) atau kriterium.
2) Membangun komunitas belajar; merupakan kegiatan refleksi diri dosen
terhadap dunia mahasiswanya yang berfungsi sebagai sarana untuk mem-
bangkitkan perasaan dan emosional , agar siswa merasa tertarik bergairah,
senang dan partisipatif dalam kegiatan pembelajaran. Adapun cara memba-
ngun komunitas dapat dilakukan melalui kegiatan:
(a) menyanyi; baca puisi;
(b) permainan lokal; cerita tentang realitas kehidupan;
(c) penggalian pendapat, persepsi atau mahasiswa menceritakan penga-
lamannya
(d) Hening (silence) dan sebagainya.
3) Analisis isi ( content analysis ) ; kegiatan difokuskan pada proses mela-
kukan identifikasi, seleksi dan penetapan materi pembelajaran/per-kuliahan
yang ditempuh melalui cara sebagai berikut:
Menggunakan rambu materi pembelajaran/perkuliahan dalam silabus ;
Menetapkan materi esensial pembelajaran/perkuliahan;
Menentukan keluasan (scope) atau jangkauan lingkup materi pembe-
lajaran/perkuliahan
Menyusun urutan (sequence) materi pembelajaran/perkuliahan.
4) Analisis latar ; dikembangkan dengan menggunakan pendekatan kultural dan
siklus kehidupan (life cycle) , yang di dalamnya mengandung dua kon-sep,
29
yaitu konsep wilayah atau lingkungan (lokal, regional, nasional dan global),
dan konsep aktivitas manusia yang mencakup seluruh aspek kehidupan
(IPLOLEKSOSBUDHANKAM) dengan mengembangkan dan mengajarkan
nilai dan moral.
5) Pengorganisasian materi (content organizing) dan pemetaan materi
(content maping) pembelajaran/perkuliahan; dikembangkan dengan meng-
gunakan pendekatan DDCT yang memperhatikan prinsip “ 4 W + 1 H “ yaitu
: What (apa); Why (mengapa); When (kapan); Where (dimana) dan How
(bagaimana). Dalam rancangan pembelajaran/perkuliahan kelima unsur terse-
but harus diwarnai oleh ciri-ciri pembelajaran dengan DD (deep dialog) dalam
menuju pelakonan pengalaman (experience), nilai moral dan CT (critical
thinking) dalam upaya pencapaian konsep dan pengembangan konsep.
6) Penetapan Strategi dan Metode Pembelajaran/ perkuliahan; harus disebut
secara eksplisit dalam rancangan pembelajaran/perkuliahan, seba-gai pertanda
adanya “keputusan transaksional” dosen untuk melakukanya dalam proses
perkuliahan demi tercapainya tujuan pembelajaran/perkuliahan.
7) Pemilihan dan Penetapan Media Pembelajaran; media yang digunakan
harus sesuai dengan karakteristik materi dan tujuan pembelajarannya, dan
dimunculkan dalam rancangan pembelajaran, yang dipilih secara cermat.
Sejalan dengan fungsinya, dalam rangka perumusan rancangan pembe-lajaran
dengan menggunakan DDCT, pemilihan penetapan, pembuatan dan
penggunaan media diharapkan mampu mewarnai lingkungan belajar yang
kondusif, dialogis,empatis dan kondusif.
Mengajar siswa untuk berpikir kritis – kreatif dan dialogis, dapat dilakukan
oleh dosen dengan cara:
(1) Dosen hendaklah mendengarkan gagasan dan pemikiran mahasiswa;
(2) Dosen mengadakan diskusi terbuka dimana mahasiswa bebas mengung-
kapkan pikirannya;
(3) Dosen perlu menerima ide dan gagasan mahasiswa, termasuk yang di-
anggap aneh dan tidak tepat;
30
(4) Dosen perlu memberikan waktu pada mahasiswa untuk berpikir, terlebih
bila mengajukan pertanyaan mahasiswa secara langsung, tetapi melem-
parkannya kepada mahasiswa yang lain untuk menanggapinya;
(5) Dosen memupuk keyakinan mahasiswa untuk berani tampil dengan ga-
gasan yang otentik;
(6) Dosen perlu memberikan umpan balik yang memajukan pemikiran ma-
hasiswa, bukan malah mematikannya.
(7) Beberapa praktek lain yang dapat merangsang dan memajukan pemikiran
kritis dan kreativitas mahasiswa antara lain:
(a) Setiap kali dosen bertanya, maka jawaban dibuat tidak lengkap
sehingga mahasiswa ditantang untuk menambah dengan gagasan dan
pemikirannya sendiri;
(b) diberi ruang kreasi bagi mahasiswa dalam menjawab persoalan atau
mengungkapkan gagasan mereka;
(c) diberi ruang untuk berpikir dan mengungkapkan pikirannya, baik
secara pribadi maupun bersama sebagai kelompok;
(d) ruang majalah dinding yang dapat diisi dengan macam-macam gagasan
mahasiswa perlu dibuat;
(e) persoalan yang terjadi di masyarakat dapat dibawa untuk dibahas
secara kritis dalam kelas untuk dicarikan solusinya;
(f) Soal evaluasi lebih ditekankan pada soal terbuka dimana mahasiswa
bebas mengungkapkan gagasannya;
(g) pemberian tugas rumah (PR/take home) yang menuntut kreativitas dan
pemikiran mahasiswa sendiri;
(h) Mahasiswa diberi kebebasan untuk mencari data dan masukan dari
sumber-sumber lain, seperti perpustakaan, internet dan CD ROM.
f) Beberapa aplikasi prinsip pengembangan model pembelajaran PKn/CE
berbasis DDCT dan demokratisasi belajar dilakukan melalui kegiatan:
(1) Model pencarian bersama;
(2) Multinilai;
(3) Non Diskriminatif dan Non Opresif ;
(4) Penanaman nilai budi pekerti dan kepribadian mahasiswa.
31
Dasar Filosofis Model Pengembangan Kemampuan Berpikir Kritis-Kreatif-
Dialogis dalam Pembelajaran PKn/CE berbasis DDCT dan Demokratisasi Belajar di
lingkungan Perguruan Tinggi Muhammadiyah
Filsafat yang menjadi landasan dasar model Pengembangan Kemampuan
Berpikir Kritis-Kreatif- Dialogis dalam Pembelajaran PKn/CE berbasis DDCT dan
demokratisasi Belajar adalah “Filsafat Konstruktivisme”, yang be-ranggapan bahwa
mahasiswa itu sebelum belajar sudah tahu dan membawa konsep tertentu. Konsep
inilah yang perlu diolah dan dikembangkan agar sesuai dengan pengertian para ahli.
Karena mahasiswa sudah mempunyai sesuatu, maka dalam pendidikan dan pembe-
lajaran kita tidak “melolohkan” begitu saja pengetahuan, tetapi bekerja sama dengan
mahasiswa untuk membangun pengetahuan.
Menurut pandangan filsafat konstruktivisme ini ada beberapa ciri khas
yang berupa proposisi yang perlu diketahui dan dipegang oleh dosen dalam pembe-
lajaran, yaitu :
(1) Pengetahuan merupakan non objektif, temporer dan selalu berubah.
(2) Belajar merupakan upaya untuk pemaknaan pengetahuan dan mengajar
berarti menggali makna.
(3) Mahasiswa sebagai si belajar bisa memiliki pemahaman yang berbeda
terhadap pengetahuan yang dipelajari.
(4) Mind berfungsi sebagai alat menginterpretasi sehingga muncul makna yang
unik.
(5) Segala sesuatu bersifat temporer, berubah dan tidak menentu, kitalah yang
memberi makna terhadap realitas.
(6) Pembelajaran dapat dilakukan dalam kondisi ketidakteraturan. Kontrol
belajar dipegang oleh si belajar.
(7) Si belajar dihadapkan kepada lingkungan belajar yang bebas. Kebebasan
merupakan unsur yang sangat esensial dalam belajar. Kebebasan dipan-dang
sebagai penentu keberhasilan.
(8) Kegagalan atau keberhasilan, kemampuan atau ketidakmampuan dilihat
sebagai interpretasi yang berbeda yang perlu dihargai.
32
(9) Tujuan pembelajaran menekankan pada penciptaan pemahaman, yang
menuntut aktivitas kreatif-produktif dalam konteks nyata.
(10) Aktivitas belajar dalam konteks nyata dan lebih menekankan pada proses,
penyusunan makna dilakukan secara aktif dan menuntut peme-cahan ganda,
evaluasi merupakan bagian utuh dari belajar.
Berdasarkan proposisi-proposisi di atas, maka ada beberapa implikasi teori
dari filsafat konstruktivistik yang perlu diterapkan dalam pembelajaran berbasis
DDCT dan demokratisasi belajar dalam pembelajaran PKn/CE di lingkungan pergu-
ruan tinggi muhammadiyah, yaitu:
a. Belajar adalah proses pemaknaan informasi baru, maka implikasi teori yang
perlu diterapkan guru dalam pembelajaran dan evaluasi adalah:
(1) Dorong munculnya diskusi pengetahuan yang dipelajari;
(2) Dorong munculnya berpikir divergent, bukan hanya satu jawaban yang
benar;
(3) Dorong munculnya berbagai jenis luapan pikiran atau aktivitas;
(4) Tekankan pada ketrampilan berpikir kritis
(5) Gunakan informasi pada situasi baru.
b. Kebebasan merupakan unsur esensial dalam lingkungan belajar, maka
implikasinya terhadap pembelajaran dan evaluasi adalah:
(1) Sediakan pilihan tugas;
(2) Sediakan pilihan cara untuk memperlihatkan keberhasilan;
(3) Sediakan waktu yang cukup untuk memikirkan dan mengerjakan tugas;
(4) Jangan terlalu banyak menggunakan tes yang telah ditetapkan wak-tunya
(5) Sediakan kesempatan berpikir ulang
(6) Libatkan pengalaman konkrit
c. Strategi belajar yang digunakan menentukan proses dan hasil belajarnya
(1) Berikan kesempatan untuk menerapkan cara berpikir dan belajar yang
paling cocok dengan dirinya;
(2) Suruh mahasiswa melakukan evaluasi diri tentang cara berpikirnya, cara
belajar atau lainnya.
d. Motivasi dan usaha mempengaruhi belajar dan unjuk kerja
33
(1) Motivasilah mahasiswa dengan tugas-tugas riil dalam kehidupan seha-ri-
hari dan kaitkan tugas dengan pengalaman pribadi;
(2) Dorong mahasiswa untuk memahami kaitan antara usaha dan hasil
e. Belajar pada hakekatnya memiliki aspek sosial – kerja kelompok sangat
berharga:
(1) Beri kesempatan mahasiswa untuk melakukan kerja kelompok
(2) Dorong mahasiswa untuk memainkan peran yang bervariasi
(3) Perhitungkan proses dan hasil kerja kelompok.
Dasar Teoritis Model Pengembangan Kemampuan Berpikir kritis-kreatif
dan dialogis mahasiswa dalam Pembelajaran PKn/CE Berbasis DDCT dan
Demokratisasi Belajar.
Berdasarkan kerangka teori belajar dan pembelajaran yang ada, Model
Pengembangan kemampuan berpikir kritis-kreatif-dialogis mahasiswa dalam
pembelajaran PKn/CE berbasis DDCT dan Demokratisasi belajar di lingkungan
perguruan tinggi Muhammadiyah ini dikembangkan berlandaskan kerangka
pikir Teori Belajar Kognitivisme. Menurut teori ini “belajar” adalah perubahan
persepsi dan pemahaman. Perubahan persepsi dan pemahaman tidak selalu
berbentuk perubahan tingkah laku yang bisa diamati.
Asumsi dasar dari teori ini adalah bahwa setiap orang telah mempunyai
pengalaman dan pengetahuan di dalam dirinya. Pengalaman dan pengetahuan ini
tertata dalam bentuk struktur kognitif. Proses belajar akan berjalan baik apabila
materi pelajaran yang baru beradaptasi (bersambung) secara “klop” dengan
struktur kognitif yang sudah dimiliki siswa.
Secara lebih khusus lagi, teori belajar yang dikembangkan dalam
pembelajaran PKn/CE berbasis DDCT dan demokratisasi belajar adalah “Teori
Kognitivisme – Ausubel” yang menyatakan bahwa proses belajar terjadi bila
mahasiswa mampu mengasimilasikan pengetahuan yang dimili-kinya dengan
pengetahuan yang baru.
Proses belajar akan terjadi melalui tahap-tahap :
(1) memperhatikan stimulus yang diberikan;
(2) memahami makna stimulus;
34
(3) menyimpan dan menggunakan informasi yang sudah dipahami.
Secara umum, penggunaan teori belajar Kognitivisme – Ausubel dalam
praktek model pembelajaran PKn/CE berbasis demokratisasi belajar sebagai
berikut
1. Menentukan tujuan-tujuan instruksional;
2. Mengukur kesiapan mahasiswa dalam mengikuti pembelajaran ( minat,
kemampuan, struktur kognitif) baik melalui test awal (pre test), interview,
review, pertanyaan dan lain-lain.
3. Memilih materi pelajaran dan mengaturnya dalam bentuk penyajian konsep-
konsep kunci;
4. Mengidentifikasi prinsip-prinsip yang harus dikuasai mahasiswa dari materi
tersebut;
5. Menyajikan suatu pandangan yang menyeluruh tentang apa yang harus
dipelajari;
6. Membuat dan menggunakan “advance organizer”, paling tidak dengan cara
membuat rangkuman terhadap materi yang baru saja diberikan, dilengkapi
dengan uraian singkat yang menunjukkan relevansi (keterkaitan) materi yang
sudah diberikan tersebut dengan materi baru yang akan diberikan;
7. Mengajar siswa memahami konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang sudah
ditentukan, dengan memberi fokus pada hubungan yang terjalin antara
konsep-konsep yang ada.
8. Mengevaluasi proses dan hasil belajar.
Dasar Yuridis Pengembangan Model Pengembangan Kemampuan Berpikir
Kritis-kreatif –dialogis dalam Pembelajaran PKn/CE Berbasis DDCT dan Demo-
kratisasi belajar adalah :
a. UUD 1945 Pasal 28 c ayat 1 yang menyatakan bahwa :
“ Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan
dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari
ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan
kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan manusia”
b. UUD 1945 Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) yang menyatakan bahwa :
35
(1)“ Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan” dan (2) ” Setiap
warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar & pemerintah wajib
membiayainya.”
c. UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 Pasal 1 ayat (16), yang menyatakan bahwa :
“Pendidikan berbasis masyarakat adalah penyelenggara pendidik-an berdasarkan
kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai
perwujudan pendidikan dari, oleh dan untuk masyarakat.”
d. UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 Pasal 4 ayat (1), yang menyatakan bahwa :
“ Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta
tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai
keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa”.
e. UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 Pasal 4 ayat (4), yang menyatakan bahwa :
“ Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, memba-ngun
kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses
pembelajaran”.
f. UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 Pasal 37 ayat (1), yang menyatakan bahwa :
“Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat a. pendidikan
agama, b. pendidikan kewarganegaraan, c. pendidikan bahasa, d.
matematika, e. ilmu pengetahuan alam; f. ilmu pengetahuan sosial, g. seni
dan budaya, h. pendidikan jasmani dan olah raga, i. ketrampilan / kejuruan
dan j. muatan lokal.”
i. PP 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 19 yang
menyatakan bahwa : “ Proses pembelajaran diselenggarakan secara
interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik
untuk berpartisipasi, serta memberikan ruang tumbuhnya prakarsa,
kreativitas dan kemandirian ……….”.
j. Permen Mendiknas tentang penyelenggaraan perkuliahan pendidikan kewar-
ganegaraan di lingkungan perguruan tinggi, SK Dirjen Dikti dll.
36
Karakteristik Umum Model Pengembangan Kemampuan berpikir kritis-kreatif
dan dialogis mahahasiswa berbasis DDCT dan Demokratisasi belajar. Menurut Joyce
dan Weill (1986) karakteristik sebuah model pembelajaran minimal memiliki 5
(lima ) unsur pokok, yaitu :
a. Sintakmatik; yaitu tahap-tahap dari kegiatan model pembelajaran tersebut.
b. Sistem Sosial; yaitu situasi atau suasana dan norma yang berlaku dalam model
tersebut.
c.Prinsip Reaksi/ Pengelolaan; yaitu pola kegiatan yang menggambarkan
bagaimana seharusnya guru melihat dan memperlakukan peserta didik,
termasuk bagaimana seharusnya pengajar atau pendidik memberikan respon
terhadap mereka.
d. Sistem Pendukung; yaitu segala sarana, bahan dan alat yang diperlukan untuk
melaksanakan model tersebut.
e.Dampak Instruksional dan Pengiring; Dampak instruksional, yaitu hasil
belajar yang dicapai langsung dengan cara mengarahkan para pelajar pada
tujuan yang diharapkan. Dampak Pengiring, ialah hasil belajar lainnya yang
dihasilkan oleh sebuah proses belajar mengajar, sebagai akibat terciptanya
suasana belajar yang dialami langsung oleh para pelajar tanpa pengarahan
langsung dari pengajar. Hal itu dapat digambarkan sebagai berikut:
37
Model PBM PKn Berbasis DDCT dan Demokratisasi Belajar
Materi ajar 5W +1H : Kebutuhan Mahasiswa Dekat
Ketrampilan prosesDemokratis
Komitmen terhadap Demokrasi
Warganegara yang Aktif -Kritis - Dialogis
Karakteristik khusus model pembelajaran PKn/CE berbasis DDCT dan demo-
kratisasi belajar di lingkungan pendidikan tinggi (PTM), adalah :
a) berdasar filsafat konstruktivisme,
b) relasi dan interaksi berpola demokratis - partisipatif - kritis – kreatif dialogis-
adil gender,
c) mengedepankan kolaborasi model pembelajaran inovatif – aktif - koope-ratif
dan kreatif,
d) mengembangkan pola berpikir kritis-kreatif-reflektif, yang bercirikan : (1)
melakukan kegiatan observasi, (2) Perumusan berbagai macam pola pi-lihan
dan generalisasi, (3) Perumusan kesimpulan berdasarkan pada pola-pola yang
telah dikembangkan, (4) Mengevaluasi kesimpulan berdasarkan data. Adapun
prosesnya melalui kegiatan (a) membandingkan dan membuat klasifikasi, (b)
Penyimpulan, memprediksi, membuat hipotesis, mengidentifikasi kasus dan
efek-efeknya. (c) Mendukung kesimpulan dengan data, mengamati konsis-
tensinya, mengidentifikasi bias, stereotipe, pengulangan, serta mengangkat
kembali berbagai asumsi yang tidak pernah terumuskan, memahami kemung-
kinan generalisasi yang terlampau besar atau kecil, serta mengidentifikasi
berbagai informasi yang relevan dan yang tidak relevan.
e) iklim belajar mengedepankan 6 prinsip, yaitu: (1) Konstruktivisme (cons-
tructivism); (2) Penemuan konsep (concept attainment); (3) Dialog Mendalam
(deep dialogue); (4) Belajar bersama (learning together); (5) Menemukenali
(inquiry), (6) Penilaian yang sebenarnya (Authenteic Asses-ment) berdasar
unjuk kerja dan kompetensi mahasiswa dalam ranah kognitif, afektif dan
psikomotorik dengan alat yang dekat dengan mahasiswa.
f) Menggunakan multi sumber & multi media sesuai konteks bahasan / perma-
salahan.
g) Materi perkuliahan dikembangkan dengan menggunakan 5 pendekatan
pertanyaan 5 W (What, Who, Why, Where, When ) + 1 H (How).
Secara singkat rumusan konsep dasar model teoritik pengembangan kemam-
puan berpikir kritis-kreatif-dialogis mahasiswa yang diinginkan stake-holders (dosen,
mahasiswa, dan ketua prodi) berbasis DDCT dan sesuai dengan semangat dan era
demokratisasi belajar adalah :
38
(1) Dasar Filosofisnya adalah Filsafat Konstruktivistik (konstruktivisme sosial),
(2) Dasar Teoritis adalah Teori Belajar Kognitivisme Ausabel. Dasar Yuridisnya
adalah UUD ’45, UU SPN, PP SNP, Permen Mendiknas dan SK Dirjen Dikti.
(3) Karakteristik umum model pembelajaran meliputi 5 unsur pokok yaitu :
a) sintakmatik, b) sistem sosial, c) prinsip reaksi, d) sistem pendukung dan
e) dampak instruksional dan pengiring dan juga memiliki 7 ciri pokok. dalam
pembelajarannya.
(4) Karakteristik khusus model pembelajaran pengembangan kemampuan berpikir
kritis-kreatif-dialogis mahasiswa berbasis DDCT, adalah:
1) berdasar filsafat konstruktivisme,
2) relasi dan interaksi berpola demokratis-partisipatif-dialogis-adil gender,
3) mengedepankan kolaborasi model pembelajaran inovatif – aktif, kreatif dan
kooperatif,
4) mengembangkan pola berpikir kritis-kreatif-reflektif-dialogis-humanistis,
5) iklim belajar mengedepankan 6 prinsip: (konstruktivisme, penemuan kon-sep,
dialog mendalam, belajar bersama, menemu kenali dan penilaian authentik),
6) menggunakan berbagai sumber dan media sesuai konteks isi dan ling-kungan
belajar mahasiswa,
7) desain atau rancangan pembelajaranya melalui proses/tahapan :
(a) merumuskan tujuan PBM, (b) membangun komunitas belajar, (c) analisis
isi, (d) analisis latar, (e) pengorganisasian materi,dan pemetaan materi dengan
pertanyaan 5W+1H, (f) Penetapan strategi dan metode perkuliahan, (g)
pemilihan dan penetapan media pembelajaran.
(8) Perkuliahan PKn/CE yang mengembangkan kemampuan berpikir kritis di
perguruan tinggi perlu dirancang sedemikian rupa, terutama yang mencakup
tiga hal, yaitu:
(a) teaching for thinking merujuk pada penciptaan suasana fisik dan non fisik
untuk memungkinkan terjadinya proses berpikir kritis,
(b) teaching of thinking, merujuk pada kegiatan guru dalam membuat
siswanya berpikir kritis dan,
(c) teaching about thinking, merujuk pada pengajaran tentang berpikir kritis.
39
D. SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian yang dikembangkan dalam tahap pertama tahun
2008 dan tahap kedua tahun 2009 terhadap “Kajian Teoritik Pengembangan
kemampuan berpikir Kritis Dialogis Mahasiswa melalui Pendekatan DDCT dalam
Perkuliahan CE di lingkungan PTM”, maka dapat dikemukakan beberapa kesim-
pulan sebagaimana digambarkan dalam bagan sebagai berikut :
Saran dan rekomendasi yang dapat diajukan berkaitan dengan pengembangan
kemampuan berpikir kritis-dialogis mahasiswa dalam perkuliahan CE/PKN di
40
KAJIAN TEORITIK PENGEM,BANGAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS-KREATIF DAN DIALOGIS MAHASISWA MELALUI MODEL
PEMBELAJARAN DDCT PADA PEMBELAJARAN PKnDI LINGKUNGAN PERGURUAN TINGGI MUHAMMADIYAH
DasarFilosofis
Dasar Teoritis & Yuridis
Kharakteristik Khusus
Kharakteristik Umum
Filsafat Konstruk-
tivisme
Filsafat Konstruk-
tivismeTeori
Belajar Kognitivism
e Ausabel
1.Sintakma- tik ( 7 langkah)2. Sistem
Sosial ( 6 Prinsip
)3. Prinsip
Reaksi (RID-
DPD KKRB)4. Sistem
Pendukung
( M & SB mudah)
5. Dampak Instruksi-
onal dan Pengiring
(Kurikuler Smart & good citi-zenship & Miniatur D)
1. F.Konstruktivistik 2. Reaksi-Interaksi (DPDAG) 3. Kolaborasi Model PBM Inov-Ak-Koop 4. Pola Pikir : Kritis- Kreatif – Dialogis- Reflektif -Humanistis 5. Iklim Belajar: 6P 6. Gunakan Multi Sumber & Media Sesuai konteks 7. Penilaian : Unjuk Kerja & komptnsi 8. Materi dikembang kan 5 W + 1 H
1. F.Konstruktivistik 2. Reaksi-Interaksi (DPDAG) 3. Kolaborasi Model PBM Inov-Ak-Koop 4. Pola Pikir : Kritis- Kreatif – Dialogis- Reflektif -Humanistis 5. Iklim Belajar: 6P 6. Gunakan Multi Sumber & Media Sesuai konteks 7. Penilaian : Unjuk Kerja & komptnsi 8. Materi dikembang kan 5 W + 1 H
UUD 45UUSPNPP –SNPPERMENSK Dirjen
Perguruan tinggi adalah perlunya digalakkan sinergi - integrasi, inovasi dan riset-
riset pembelajaran yang berguna untuk mendukung peningkatan mutu dan tata kelola
pendidikan nasional secara berkelanjutan dan publikasi hasilnya melalui jurnal
ilmiah nasional dan internasional.
E. DAFTAR RUJUKAN
Anonim, 2005, Peningkatan Kualitas Pembelajaran di Perguruan Tinggi, Dirbin. P2TK dan KPT - Dirjen Dikti 2005.
Alhakim, Suparlan, 2002. Metode DDCT dalam Pembelajaran PPKN di Sekolah Menengah Pertama, Kumpulan Makalah Pengabdian Masyarakat Jurusan PPKn-FIP UM. Lembaga Pengabdian Masyarakat Universitas Negeri Malang.
Alwasillah, Chaedar, 2008.Filsafat Bahasa dan Pendidikan, Bandung: Remaja Rosda Karya.
Azra, Azyumardi, 2001, Pendidikan Kewargaan dan Demokrasi di Indonesia, Kompas 14 Maret 2001
-------------, 2000, Membangun Keadaban Demokratis: Ke arah Budaya Politik Baru Indonesia, dalam Ninok Leksono (ed), Indonesia Abad XX, Jakarta: Kompas.
------------, 1999. Menuju Masyarakat Madani: Gagasan, Fakta dan Tantangan, Bandung: Rosda Karya.
Birza, Cesar, 2000. Education for Democratic Citizenship: A Lifelong Learning
Perspective, Strasbourg: Council for Cultural Co-Operation, Council of Europe.
Balitbangdikbud. 1990. Educational Indicators in Indonesia. Jakarta : Author.
Bogdan. R.C & Biklen, S>K. 1982. Qualitative Research for education : An Introduction to the Theory and Methods. Boston : Allign and Bacon. Inc.
Budimansyah, Dasim. 2002. Model Pembelajaran dan Penilaian Berbasis Portofolio. Bandung: Genesindo.
Carey, Liam & Keith Forrester, 2000. Sites of Citizenship: Empowerment, Participation, and Partnerships, Strasbourg: Council for Cultural Co-Operation, Council.
41
Chamim, Asykuri. Dkk. 2003. Civic Education - Pendidikan Kewarganegaraan, Lembaga penelitian dan Pengembangan Pendidikan (LP3) UMY bekerjasama dengan Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah dan The Asia Foundation.
Cipto, Bambang. Dkk. 2002. Pendidikan Kewarganegaraan, Lembaga penelitian dan Pengembangan Pendidikan (LP3) UMY bekerjasama dengan Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah dan The Asia Foundation.
Dep.Dik.Nas. 2006. Pedoman Pelaksanaan Penelitian Dan Pengabdian Kepada Masyarakat Oleh Perguruan Tinggi : Edisi VII . Jakarta : Dirjen Dikti, Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat.
Duerr, Karlheinz et. al, 2000, Strategies for Learning Democratic Citizenship Strasbourg: Council for Cultural Cooperation, Council of Europe.
Fajar, Arnie, 2002. Portofolio Dalam Pembelajaran IPS, PT. Remaja Rosda Karya: Bandung.
Hermawan, Eman dan Masdar, Umaruddin, 2001. Demokrasi Untuk Pemula, Yayasan KLIK: Yogyakarta.
Hikam, AS Muhammad, 1999. Politik Kewarganegaraan Landasan Redemo-kratisasi di Indonesia, PT. Gelora Aksara Pratama: Jakarta.
-------------, 1996. Demokratisasi dan Civil Society, Pustaka LP3ES: Jakarta
Isjwara, F. 1982. Pengantar Ilmu Politik, Angkasa-Ofsett: Bandung.
Kerr, David, 1999. Citizenship Education: An international Comparison, (London) : NFER & QCA.
Khilmiyah, Akif, dkk. 2005. Metode Pengajaran Pendidikan Kewarganegaraan, Majelis Diktilibang, Pimpinan Pusat Muhammadiyah, LP3 UMY dan Asia Foundation.
Lie, Anita. 1999. Metode Pembelajaran Gotong Royong, Citra media: Surabaya.
Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Lembaga Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan The Asia Foundation, 2002. Modul Pelatihan Stakeholders Pengem-bangan Civic Education Perguruan Tinggi Muhammadiyah: Yogya-karta.
Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan Pimpinan Pusat Muhammadiyah bekerjasama dengan Lembaga Penelitian dan Pengem-bangan Pendidikan dan The Asia Foundation, 2002. Panduan Pelatih Pelatihan Stakeholders Pengembangan Civic Education Perguruan Tinggi Muhammadiyah: Yogyakarta.
42
Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Lembaga Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan The Asia Foundation, 2002. Bahan Bacaan Pelatihan Stakeholders Pengembangan Civic Education Perguruan Tinggi Muhammadiyah: Yogyakarta.
Mangunwijaya, YB. 1999. Merintis RI yang Manusiawi Republik yang Adil dan Beradab, Erlangga: Yogyakarta.
Mansur, Hamdan dkk. 2000. Pendidikan Kewarganegaraan, Gramedia: Jakarta.
Manan, Bagir, 2001. Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan HAM di Indonesia, YHDS, Alumni: Bandung.
Nickerson, et.al, 1985. Dalam Peningkatan Kualitas Pembelajaran di Perguruan Tinggi, Dirbin. P2TK dan KPT - Dirjen Dikti 2005.
Print, Murray, James Ellickson-Brown & Abdul Razak Baginda (eds), 1999. Civic Education for Civil Society, London: ASEAN Academic Press.
Pribadi, Benny Agus dan Dewi Padmo Putri, 2001. Ragam Media Dalam Pembelajaran, PAU – Dirjendikti, Diknas: Jakarta.
Rosyada, Dede. et al, 2003. Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, HAM & Masyarakat Madani Edisi Revisi, Jakarta: IAIN Jakarta Press.
-----------, 2005. Paradigma Pendidikan Demokratis, Jakarta: IAIN Jakarta Press
Salim, Agus, 2006. Bangunan Teori: Metodologi Penelitian Untuk Bidang Sosial, Psikologi, dan Pendidikan, Edisi kedua, Salatiga: Tiara Wacana.
Suyanto, 2001. Civic Education di Perguruan Tinggi: Urgensi dan Metodologi,
IAIN Syarif Hidayatullah: Jakarta.
S. Branson, Margaret, et.al, 1999. Belajar Civic Education dari Amerika, LKiS Yogyakarta.
Soemantri, Muhammad Numan. 2001. Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS, Bandung: Rosda Karya.
Taruna, JC. Tukiman, 2001. “Wacana Pendidikan Kewargaan Abdurahman Wahid
(dalam Persandingan dengan “Revolusi Pendidikan” Tony Blair) Kompas 28 Pebruari 2001.
Ubaidillah, A. et al, 2000. Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, HAM & Masyarakat Madani, Jakarta: IAIN Jakarta Press.
43
Wahyudin, 2008. Membangun Kerangka Kerja Konseptual: Argumen, Argumentasi dan Pemikiran Kritis, Bagaimana argumen bekerja dan Analisis Argumen dan Kritisisme, Makalah bahan Matrikulasi Pasca-sarjana UPI, Jurusan PKn – S3. Bandung: diterbitkan terbatas.
Winarno, 2008. Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan; Panduan Kuliah di Perguruan Tinggi, Edisi Kedua, Jakarta: Bumi Aksara.
Zaini, Hisyam dkk. 2002. Strategi Pembelajaran Aktif di Perguruan Tinggi, CTSD – IAIN Sunan Kalijogo: Yogyakarta.
Zamroni., 1994. Riset Sebagai Landasan Pengajaran Ilmu Pengetahuan Sosial, Karya Ilmiah disampaikan pada Sidang Senat Fakultas Ilmu Pengetahuan Sosial IKIP Yogyakarta pada tanggal 9 Juli 1994.
---------------, 2001. Pendidikan Untuk Demokrasi: Tantangan menuju Civil Society, Yogyakarta: Bigraf Publishing.
Zuriah, Nurul., 2000. Ilmu Kewarganegaraan, Buku Ajar untuk Kalangan Terbatas , UMM-Press: Malang.
----------------, 2001. Penelitian Tindakan (Action Research) dalam Bidang Pendidikan dan Sosial, Bayu Media – UMM Pers: Malang.
---------------, 2002. Revitalisasi Filsafat dan Ideologi Pancasila di Era Reformasi dan Globalisasi, Dikti- Diknas: Jakarta.
---------------, 2002. Persepsi dan Aspirasi Mahasiswa Terhadap Civic Education di Perguruan Tinggi. Laporan penelitian – Lemlit UMM- DPP-PBI 2002.
-------------- dkk ., 2002. Pilot Project Pengembangan Pembelajaran CE Melalui Tridharma Perguruan Tinggi di Lingkungan PTM. Laporan pelaksanaan Uji Coba CE di UMM – Litbang Dikti PP Muhammadiyah – LP3 UMY dan Asia Foundation: Yogyakarta.
---------,2003. Studi Perilaku Proses Pembelajaran Demokratis Berbasis Kese-taraan dan Keadilan Gender di Sekolah Dasar Muhammadiyah Kota Malang – Jawa Timur, Penelitian P-2 U Tahap I – DPP UMM , Lemlit UMM Tahun 2003.
----------, 2003. Studi Perilaku Proses Pembelajaran Demokratis Berbasis Keseta-raan dan Keadilan Gender di Sekolah Dasar Muhammadiyah Kota Malang – Jawa Timur, Penelitian P-2 U Tahap II – DPP UMM , Lemlit UMM Tahun 2003.
Zuriah, Nurul dkk., 2003. Pengembangan Model Pembelajaran Demokratis Berperspektif Gender pada Matapelajaran PPKn/IPS/PKPS di Ling-
44
kungan Pendidikan Dasar, Laporan Penelitian PHB XI. 1. Tahun 2003 Tahap I – PHB DP3M – Ditbinlitabmas Dikti - Tahun 2003.
----------, 2004. Pengembangan Model Pembelajaran Demokratis Berperspektif Gender pada Matapelajaran PPKn/IPS/PKPS di Lingkungan Pendi-dikan Dasar, Laporan Penelitian PHB XI. 2. Tahun 2004 Tahap II – PHB DP3M – Ditbinlitabmas Dikti - Tahun 2004.
----------, 2005. Pengembangan Model Pembelajaran Demokratis Berperspektif Gender pada Matapelajaran PPKn/IPS/PKPS di Lingkungan Pendidikan Dasar, Laporan Penelitian PHB XI. 3. Tahun 2005 Tahap III – PHB DP3M – Ditbinlitabmas Dikti - Tahun 2005.
----------, 2006. Analisis Model Teoritik Inovasi Pembelajaran Berbasis Demo-kratisasi di Lingkungan Pendidikan Dasar, Laporan Penelitian Funda-mental Research 1 (Tahap 1) , Tahun 2006. DP2M – Ditbinlitabmas Dikti- Tahun 2006.
----------, 2007. Analisis Model Teoritik Inovasi Pembelajaran Berbasis Demo-
kratisasi di Lingkungan Pendidikan Dasar, Laporan Penelitian Fundamental Research 2 (Tahap 2) , Tahun 2007. DP2M – Ditbinlitabmas Dikti- Tahun 2007.
----------, 2008. Kajian Teoritik Pengembangan Kemampuan Berpikir Kritis – Dialogis Mahasiswa Melalui Pendekatan DDCT dalam Perkuliahan PKN/CE di Perguruan Tinggi Muhammadiyah, Laporan Penelitian Fundamental Research 1 (Tahap 1) , Tahun 2008. DP2M – Ditbinlitabmas Dikti- Tahun 2008.
45
46
Recommended