View
230
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
7/30/2019 Fisioterapi Pada Penderita Lbp et causa Spondylosis
1/40
FISIOTERAPI PADA PENDERITA LBP AKIBAT SPONDYLOSIS
Jumat, 17 Desember 2010
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Daerah lumbal terdiri atas L1 sampai L5 dan L5 S1 yang paling besar menerima
beban atau berat tubuh sehingga daerah lumbal menerima gaya dan stress mekanikal
paling besar sepanjang vertebra (Bellenir K, 2008). Menurut The Healthy Back Institute
(2010), daerah lumbal merupakan daerah vertebra yang sangat peka terhadap terjadinya
nyeri pinggang karena daerah lumbal paling besar menerima beban saat tubuh bergerak
dan saat menumpuh berat badan. Disamping itu, gerakan membawa atau mengangkat
objek yang sangat berat biasanya dapat menyebabkan terjadinya cidera pada lumbar
spine.
Nyeri pinggang dapat disebabkan oleh berbagai kondisi. Kondisi-kondisi yang
umumnya menyebabkan nyeri pinggang adalah strain lumbar, iritasi saraf, radiculopathy
lumbar, gangguan pada tulang (stenosis spinal, spondylolisthesis), kondisi-kondisi sendi
dan tulang (spondylosis), dan kondisi-kondisi tulang kongenital (spina bifida dan
skoliosis) (William C. Shiel Jr, 2009). Diantara kondisi tersebut, telah diobservasi bahwa
sekitar 90% pasien nyeri pinggang mengalami spondylosis lumbar (Jupiter Infomedia,
2009). Sedangkan menurut Kelly Redden (2009), nyeri pinggang dibagi atas 2 bagian
yaitu mekanikal nyeri pinggang dan non-mekanikal nyeri pinggang. Mekanikal nyeri
7/30/2019 Fisioterapi Pada Penderita Lbp et causa Spondylosis
2/40
pinggang terdiri dari lumbar strain/sprain, spondylosis lumbal, piriformis syndrome,
herniasi diskus, spinal stenosis, fraktur kompresi osteoporotik, spondylolisthesis, fraktur
traumatik, dan penyakit kongenital (skoliosis). Diantara kondisi tersebut, spondylosis
lumbal menduduki peringkat kedua dengan persentase 10% dari mekanikal nyeri
pinggang sedangkan lumbar strain/sprain memiliki persentase terbanyak yaitu 70% dari
mekanikal nyeri pinggang.
Spondylosis lumbal merupakan penyakit degeneratif pada corpus vertebra atau
diskus intervertebralis. Kondisi ini lebih banyak menyerang pada wanita. Faktor utama
yang bertanggung jawab terhadap perkembangan spondylosis lumbal adalah usia,
obesitas, duduk dalam waktu yang lama dan kebiasaan postur yang jelek. Pada faktor usia
menunjukkan bahwa kondisi ini banyak dialami oleh orang yang berusia 40 tahun keatas.
Faktor obesitas juga berperan dalam menyebabkan perkembangan spondylosis lumbar
(Jupiter Infomedia, 2009).
Spondylosis lumbal merupakan kelompok kondisi Osteoarthritis yang
menyebabkan perubahan degeneratif pada intervertebral joint dan apophyseal joint (facet
joint). Kondisi ini terjadi pada usia 3045 tahun namun paling banyak terjadi pada usia
45 tahun dan lebih banyak terjadi pada wanita daripada laki-laki. Sedangkan faktor resiko
terjadinya spondylosis lumbar adalah faktor kebiasaan postur yang jelek, stress
mekanikal dalam aktivitas pekerjaan, dan tipe tubuh. Perubahan degeneratif pada lumbar
dapat bersifat asimptomatik (tanpa gejala) dan simptomatik (muncul gejala/keluhan).
Gejala yang sering muncul adalah nyeri pinggang, spasme otot, dan keterbatasan gerak
kesegala arah (Ann Thomson, 1991).
Problem nyeri, spasme dan keterbatasan gerak dapat ditangani dengan intervensi
fisioterapi. Berbagai modalitas dapat digunakan untuk mengatasi problem tersebut.
7/30/2019 Fisioterapi Pada Penderita Lbp et causa Spondylosis
3/40
Pemberian Short Wave Diathermy yang menghasilkan efek thermal dapat menurunkan
nyeri dan spasme otot. Adanya efek panas yang sedatif dapat merangsang ujung saraf
sensorik dan proprioseptor sehingga nyeri dan spasme otot lambat laun akan menurun
(Hilary Wadsworth, 1988). Kemudian pemberian William Flexion Exercise dapat
menghasilkan peningkatan stabilitas lumbal dan menambah luas gerak sendi pada lumbal
melalui peningkatan fleksibilitas dan elastisitas otot (Paul Hooper, 1999). Kondisi ini
juga banyak ditemukan disetiap Rumah Sakit Kota Makassar dan di RSUD. Syekh Yusuf
Gowa. Berdasarkan pengamatan peneliti, beberapa pasien yang berusia 40 tahun keatas
dan umumnya wanita mengalami kondisi spondylosis lumbal dengan problem nyeri
pinggang serta gangguan gerak dan fungsi pada lumbal. Keadaan ini biasanya membatasi
aktivitas kegiatan sehari-hari penderita dan setelah beberapa kali ditangani oleh
fisioterapi kondisinya menjadi membaik. Hal ini yang mendorong peneliti tertarik
mengambil topik penelitian ini.
A. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka dapat dirumuskan masalah
penelitian ini yaitu Bagaimana penatalaksanaan fisioterapi pada kondisi spondylosis
lumbal di RSUD. Syekh Yusuf Gowa ?.
B. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui penatalaksanaan fisioterapi pada gangguan fungsional lumbal
akibat spondylosis lumbal di RSUD. Syekh Yusuf Gowa.
2. Tujuan Khusus
7/30/2019 Fisioterapi Pada Penderita Lbp et causa Spondylosis
4/40
a. Untuk mengetahui perubahan nilai VAS (intensitas nyeri) setelah diberikan Short Wave
Diathermy (SWD) dan William Flexion Exercise.
b. Untuk mengetahui perubahan fleksibilitas setelah diberikan Short Wave Diathermy
(SWD) dan William Flexion Exercise.
C. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Ilmiah
a. Dapat menambah pengetahuan dan pengalaman peneliti dalam penatalaksanaan
kasusspondylosis lumbaldengan menggunakan SWD dan William Flexion Exercise.
b. Sebagai bahan bacaan dan masukan bagi para mahasiswa, staf pengajar dan lainnya
yang ingin membuat tugas, makalah atau menyusun diktat.
c. Sebagai bahan referensi atau rujukan bagi mahasiswa dan staf pengajar
dalam melakukan penelitian lanjut.
2. Manfaat Praktis
Sebagai bahan masukan bagi fisioterapis di Rumah Sakit atau Lahan Praktek dalam
penanganan kasusspondylosis menggunakan SWD dan William Flexion Exercise.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Spondylosis Lumbal
1. Pengertian
Spondylosis merupakan kondisi dimana terjadi perubahan degeneratif pada sendi
intervertebralis antara corpus dan diskus. Spondylosis merupakan kelompok osteoarthritis
7/30/2019 Fisioterapi Pada Penderita Lbp et causa Spondylosis
5/40
yang juga dapat menghasilkan perubahan degeneratif pada sendi-sendi sinovial sehingga
dapat terjadi pada sendi-sendi apophyseal tulang belakang. Secara klinis, kedua
perubahan degeneratif tersebut seringkali terjadi secara bersamaan (Ann Thomson et al,
1991).
Spondylosis lumbal merupakan gangguan degeneratif yang terjadi pada corpus dan
diskus intervertebralis, yang ditandai dengan pertumbuhan osteofit pada corpus vertebra
tepatnya pada tepi inferior dan superior corpus. Osteofit pada lumbal dalam waktu yang
lama dapat menyebabkan nyeri pinggang karena ukuran osteofit yang semakin tajam
(Bruce M. Rothschild, 2009). Menurut Statement of Principles Concerning (2005),
spondylosis lumbar didefinisikan sebagai perubahan degeneratif yang menyerang
vertebra lumbar atau diskus intervertebralis, sehingga menyebabkan nyeri lokal dan
kekakuan, atau dapat menimbulkan gejala-gejala spinal cord lumbar, cauda equina atau
kompresi akar saraf lumbosacral.
Spondylosis lumbal seringkali merupakan hasil dari osteoarthritis atau spur tulang
yang terbentuk karena adanya proses penuaan atau degenerasi. Proses degenerasi
umumnya terjadi pada segmen L4L5 dan L5S1. Komponen-komponen vertebra yang
seringkali mengalami spondylosis adalah diskus intervertebralis, facet joint, corpus
vertebra dan ligamen (terutama ligamen flavum) (John J. Regan, 2010).
2. Etiologi
Spondylosis lumbal muncul karena adanya fenomena proses penuaan atau
perubahan degeneratif. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kondisi ini tidak
berkaitan dengan gaya hidup, tinggi-berat badan, massa tubuh, aktivitas fisik, merokok
dan konsumsi alkohol (Bruce M. Rothschild, 2009).
7/30/2019 Fisioterapi Pada Penderita Lbp et causa Spondylosis
6/40
Spondylosis lumbal banyak pada usia 30 45 tahun dan paling banyak pada usia
45 tahun. Kondisi ini lebih banyak menyerang pada wanita daripada laki-laki. Faktor-
faktor resiko yang dapat menyebabkan spondylosis lumbal adalah (Ann Thomson et al,
1991) :
a. Kebiasaan postur yang jelek
b. Stress mekanikal akibat pekerjaan seperti aktivitas pekerjaan yang melibatkan gerakan
mengangkat, twisting dan membawa/memindahkan barang.
c. Tipe tubuh
Ada beberapa faktor yang memudahkan terjadinya progresi degenerasi pada
vertebra lumbal yaitu (Kimberley Middleton and David E. Fish, 2009) :
a. Faktor usia
Beberapa penelitian pada osteoarthritis telah menjelaskan bahwa proses penuaan
merupakan faktor resiko yang sangat kuat untuk degenerasi tulang khususnya pada tulang
vertebra. Suatu penelitian otopsi menunjukkan bahwa spondylitis deformans atau
spondylosis meningkat secara linear sekitar 0% - 72% antara usia 39 70 tahun. Begitu
pula, degenerasi diskus terjadi sekitar 16% pada usia 20 tahun dan sekitar 98% pada usia
70 tahun.
b. Stress akibat aktivitas dan pekerjaan
Degenerasi diskus juga berkaitan dengan aktivitas-aktivitas tertentu. Penelitian
retrospektif menunjukkan bahwa insiden trauma pada lumbar, indeks massa tubuh, beban
pada lumbal setiap hari (twisting, mengangkat, membungkuk, postur jelek yang terus
menerus), dan vibrasi seluruh tubuh (seperti berkendaraan), semuanya merupakan faktor
yang dapat meningkatkan kemungkinan spondylosis dan keparahan spondylosis.
7/30/2019 Fisioterapi Pada Penderita Lbp et causa Spondylosis
7/40
c. Peran herediter
Faktor genetik mungkin mempengaruhi formasi osteofit dan degenerasi diskus.
Penelitian Spector and MacGregor menjelaskan bahwa 50% variabilitas yang ditemukan
pada osteoarthritis berkaitan dengan faktor herediter. Kedua penelitian tersebut telah
mengevaluasi progresi dari perubahan degeneratif yang menunjukkan bahwa sekitar
(47 66%) spondylosis berkaitan dengan faktor genetik dan lingkungan, sedangkan
hanya 210% berkaitan dengan beban fisik dan resistance training.
d. Adaptasi fungsional
Penelitian Humzah and Soames menjelaskan bahwa perubahan degeneratif pada
diskus berkaitan dengan beban mekanikal dan kinematik vertebra. Osteofit mungkin
terbentuk dalam proses degenerasi dan kerusakan cartilaginous mungkin terjadi tanpa
pertumbuhan osteofit. Osteofit dapat terbentuk akibat adanya adaptasi fungsional
terhadap instabilitas atau perubahan tuntutan pada vertebra lumbar.
3. Patologi TerapanSalah satu aspek yang penting dari proses penuaan adalah hilangnya kekuatan
tulang. Perubahan ini menyebabkan modifikasi kapasitas penerimaan beban (load-
bearing) pada vertebra. Setelah usia 40 tahun, kapasitas penerimaan beban pada tulang
cancellous/trabecular berubah secara dramatis. Sebelum usia 40 tahun, sekitar 55%
kapasitas penerimaan beban terjadi pada tulang cancellous/ trabecular. Setelah usia 40
tahun penurunan terjadi sekitar 35%. Kekuatan tulang menurun dengan lebih cepat
dibandingkan kuantitas tulang. Hal ini menurunkan kekuatan pada end-plates yang
melebar jauh dari diskus, sehingga terjadi fraktur pada tepi corpus vertebra dan fraktur
end-plate umumnya terjadi pada vertebra yang osteoporosis (Darlene Hertling and
Randolph M. Kessler, 2006).
7/30/2019 Fisioterapi Pada Penderita Lbp et causa Spondylosis
8/40
Cartilaginous end-plate dari corpus vertebra merupakan titik lemah dari diskus
sehingga adanya beban kompresi yang berlebihan dapat menyebabkan kerusakan pada
cartilaginous end-plate. Pada usia 23 tahun sampai 40 tahun, terjadi demineralisasi secara
bertahap pada cartilago end-plate. Pada usia 60 tahun, hanya lapisan tipis tulang yang
memisahkan diskus dari channel vaskular, dan channel nutrisi lambat laun akan hilang
dengan penebalan pada pembuluh arteriole dan venules. Perubahan yang terjadi akan
memberikan peluang terjadinya patogenesis penyakit degenerasi pada diskus lumbar.
Disamping itu, diskus intervertebralis orang dewasa tidak mendapatkan suplai darah dan
harus mengandalkan difusi untuk nutrisi (Darlene Hertling and Randolph M. Kessler,
2006).
Menurut Kirkaldy-Willis (dalam Darlene Hertling and Randolph M. Kessler,
2006), terdapat sistem yang berdasarkan pada pemahaman segment gerak yang
mengalami degenerasi. Perubahan degeneratif pada segmen gerak dapat dibagi kedalam 3
fase kemunduran yaitu :
a. Fase disfungsi awal (level I) : proses patologik kecil yang menghasilkan fungsi
abnormal pada komponen posterior dan diskus intervertebralis. Kerusakan yang terjadi
pada segmen gerak masih bersifat sementara (reversible). Perubahan yang terjadi pada
facet joint selama fase ini sama dengan yang terjadi pada sendi sinovial lainnya. Kronik
sinovitis dan efusi sendi dapat menyebabkan stretch pada kapsul sendi. Membran
synovial yang inflamasi dapat membentuk suatu lipatan didalam sendi sehingga
menghasilkan penguncian didalam sendi antara permukaan cartilago dan kerusakan
cartilago awal. Paling sering terjadi pada fase disfungsi awal selain melibatkan kapsul
dan synovium juga melibatkan permukaan cartilago atau tulang penopang (corpus
7/30/2019 Fisioterapi Pada Penderita Lbp et causa Spondylosis
9/40
vertebra). Disfungsi diskus pada fase ini masih kurang jelas tetapi kemungkinan
melibatkan beberapa kerobekan circumferential pada annulus fibrosus. Jika
kerobekannya pada lapisan paling luar maka penyembuhannya mungkin terjadi karena
adanya beberapa suplai darah. Pada lapisan paling dalam, mungkin kurang terjadi
penyembuhan karena sudah tidak ada lagi suplai darah. Secara perlahan akan terjadi
pelebaran yang progresif pada area circumferential yang robek dimana bergabung
kedalam kerobekan radial. Nukleus mulai mengalami perubahan dengan hilangnya
kandungan proteoglycan.
b. Fase instabilitas intermediate (level II) : fase ini menghasilkan laxitas (kelenturan yang
berlebihan) pada kapsul sendi bagian posterior dan annulus fibrosus. Perubahan
permanen dari instabilitas dapat berkembang karena kronisitas dan disfungsi yang terus
menerus pada tahun-tahun awal. Re-stabilisasi segmen posterior dapat membentuk
formasi tulang subperiosteal atau formasi tulang (ossifikasi) sepanjang ligamen dan
serabut kapsul sendi, sehingga menghasilkan osteofit perifacetal dan traksi spur. Pada
akhirnya, diskus membentuk jangkar oleh adanya osteofit perifer yang berjalan disekitar
circumferentianya, sehingga menghasilkan segmen gerak yang stabil.
c. Fase stabilisasi akhir (level III) : fase ini menghasilkan fibrosis pada sendi bagian
posterior dan kapsul sendi, hilangnya material diskus, dan formasi osteofit. Osteofit
membentuk respon terhadap gerak abnormal untuk menstabilisasi segmen gerak yang
terlibat. Formasi osteofit yang terbentuk disekitar three joint dapat meningkatkan
permukaan penumpuan beban dan penurunan gerakan, sehingga menghasilkan suatu
kekakuan segmen gerak dan menurunnya nyeri hebat pada segmen gerak.
7/30/2019 Fisioterapi Pada Penderita Lbp et causa Spondylosis
10/40
Pada lumbar spine bagian atas, degenerasi mulai terlihat pada awal level I dengan
fraktur end-plate dan herniasi diskus, kaitannya dengan beban vertikal yang esensial
terhadap segmen tersebut. Penyakit facet mulai terjadi pada lumbar spine bagian atas.
Pada lumbal spine bagian bawah, perubahan diskus mulai terjadi pada usia belasan tahun
terakhir, dan perubahan facet terjadi pada middle usia 20-an. Secara khas, lesi pertama
kali terjadi pada L5 S1 dan pada L4 L5. Perubahan degenerasi pada synovial dan
intervertebral joint dapat terjadi secara bersamaan, dan paling sering terjadi pada
lumbosacral joint. Spondylosis dan perubahan arthrosis yang melibatkan seluruh segmen
gerak sangat berkaitan dengan faktor usia dan terjadi sekitar 60% pada orang-orang yang
lebih tua dari usia 45 tahun (Darlene Hertling and Randolph M. Kessler, 2006).
Schneck menjelaskan adanya progresi mekanikal yang lebih jauh akibat
perubahan degeneratif pada diskus intervertebralis, untuk menjelaskan adanya perubahan
degeneratif lainnya pada axial spine. Dia menjelaskan beberapa implikasi dari
penyempitan space diskus. Pedicle didekatnya akan mengalami aproksimasi dengan
penyempitan dimensi superior-inferior dari canalis intervertebralis. Laxitas akibat
penipisan ligamen longitudinal posterior yang berlebihan dapat memungkinkan bulging
(penonjolan) pada ligamen flavum dan potensial terjadinya instabilitas spine. Peningkatan
gerakan spine dapat memberikan peluang terjadinya subluksasi dari processus articular
superior sehingga menyebabkan penyempitan dimensi anteroposterior dari intervertebral
joint dan canalis akar saraf bagian atas. Laxitas juga dapat menyebabkan perubahan
mekanisme berat dan tekanan kaitannya dengan corpus vertebra dan space sendi yang
mempengaruhi terbentuknya formasi osteofit dan hipertropi facet pada processus articular
7/30/2019 Fisioterapi Pada Penderita Lbp et causa Spondylosis
11/40
inferiorsuperior, dengan resiko terjadinya proyeksi kedalam canalis intervertebralis dan
canalis sentral secara berurutan (Kimberley Middleton and David E. Fish, 2009).
Keluhan nyeri pinggang pada kondisi spondylosis lumbal disebabkan oleh adanya
penurunan space diskus dan penyempitan foramen intervertebralis. Adanya penurunan
space diskus dan penyempitan foramen intervertebralis dapat menghasilkan iritasi pada
radiks saraf sehingga menimbulkan nyeri pinggang yang menjalar. Disamping itu,
osteofit pada facet joint dapat mengiritasi saraf spinal pada vertebra sehingga dapat
menimbulkan nyeri pinggang (S.E. Smith, 2009).
4. Gambaran Klinis
Perubahan degeneratif dapat menghasilkan nyeri pada axial spine akibat iritasi
nociceptive yang diidentifikasi terdapat didalam facet joint, diskus intervertebralis,
sacroiliaca joint, akar saraf duramater, dan struktur myofascial didalam axial spine
(Kimberley Middleton and David E. Fish, 2009).
Perubahan degenerasi anatomis tersebut dapat mencapai puncaknya dalam
gambaran klinis dari stenosis spinalis, atau penyempitan didalam canalis spinal melalui
pertumbuhan osteofit yang progresif, hipertropi processus articular inferior, herniasi
diskus, bulging (penonjolan) dari ligamen flavum, atau spondylolisthesis. Gambaran
klinis yang muncul berupa neurogenik claudication, yang mencakup nyeri pinggang,
nyeri tungkai, serta rasa kebas dan kelemahan motorik pada ekstremitas bawah yang
dapat diperburuk saat berdiri dan berjalan, dan diperingan saat duduk dan tidur terlentang
(Kimberley Middleton and David E. Fish, 2009).
Karakteristik dari spondylosis lumbal adalah nyeri dan kekakuan gerak pada pagi
hari. Biasanya segmen yang terlibat lebih dari satu segmen. Pada saat aktivitas, biasa
timbul nyeri karena gerakan dapat merangsang serabut nyeri dilapisan luar annulus
7/30/2019 Fisioterapi Pada Penderita Lbp et causa Spondylosis
12/40
fibrosus dan facet joint. Duduk dalam waktu yang lama dapat menyebabkan nyeri dan
gejala-gejala lain akibat tekanan pada vertebra lumbar. Gerakan yang berulang seperti
mengangkat beban dan membungkuk (seperti pekerjaan manual dipabrik) dapat
meningkatkan nyeri (John J. Regan, 2010).
5. Anatomi Biomekanik Lumbal
Vertebra lumbal merupakan columna vertebra paling bawah sebelum sacrum.
Pada regio lumbal tidak mempunyai foramen transversum dan facet articular costalis.
Corpus vertebra lumbal berbentuk besar dan sedikit lebih tebal seperti ginjal.
Seluruh struktur vertebra lumbal dihubungkan dengan arcus vertebra yang tumpul
dan kuat. Processus tranversusnya datar dan seperti sayap pada 4 segmen lumbal bagian
atas, tetapi pada L5 processus tranversusnya tebal dan bulat puntung. Diantara segmen
gerak lumbal terdapat foramen intervertebralis yang terbentuk dari pedicle yang
berhubungan dengan lamina bagian atas dan bawah.
Vertebra lumbal mempunyai processus articularis yang berhubungan dengan
pedicles dan lamina, yang terdiri dari processus articularis superior yang terletak dalam
bidang oblique kearah posterior dan lateral dimana facet articularisnya konkaf dan
mengarah ke dorsomedial sehingga hampir saling berhadapan satu sama lain, serta
processus articularis inferior yang muncul dari tepi inferior arcus vertebra yang dekat
antara lamina dan processus spinosus, menghadap kearah inferior dan medial, dan
permukaan sendinya mengarah ke ventrolateral. Dengan demikian antara facet articularis
superior vertebra bagian bawah dan facet articularis inferior pada vertebra bagian atas
dapat saling mengunci dalam bentuk mortise and tenon (kunci dan cerat). Jelaslah bahwa
susunan ini akan membatasi gerakan rotasi dan lateral fleksi pada regio lumbal.
7/30/2019 Fisioterapi Pada Penderita Lbp et causa Spondylosis
13/40
Karena susunan anatomis dan fungsi yang berbeda pada regio lumbal, maka dapat
dipilah dalam segmentasi regional sebagai berikut :
a. Thoracolumbal junction
Merupakan daerah perbatasan fungsi antara lumbar dengan thorac spine dimana
th12 arah superior facet pada bidang frontalis dg gerak terbatas, sedang arah inferior facet
pada bidang sagital gerakan utamanya flexion-extension yg luas. Pada gerak lumbar spine
memaksa th12hingga Th10 mengikuti. Pada atlit senam pada daerah ini dapat mencapai
ROM fleksi 550
dan ekstensi 250.
b. Lumbal spine
Vertebra lumbalis lebih besar dan tebal membentuk kurva lordosis dengan puncak
L3 sebesar 24 cm, menerima beban sangat besar dalam bentuk kompresi maupun
momen. Stabilitas dan gerakannya ditentukan oleh facet, diskus, ligament dan otot
disamping corpus itu sendiri.
Berdasarkan arah permukaan facet joint maka facet joint cenderung dalam posisi
bidang sagital sehingga pada regio lumbal menghasilkan dominan gerak yang luas yaitu
fleksi - ekstensi lumbal.
c. Lumbosacral joint
L5-S1 merupakan daerah yg menerima beban sangat berat mengingat lumbal
mempunyai gerak yang luas sementara sacrum rigid (kaku). Akibatnya lumbosacral joint
menerima beban gerakan dan berat badan paling besar pada regio lumbal.
Segmen Junghans (Segmen Gerak) Pada Lumbal
Segmen gerak diperkenalkan oleh Tn. Junghans (1956). Segmen gerak terdapat
pada setiap level vertebra dengan three joint yang berperan penting sebagai elemen
fungsional tunggal. Three joint dibentuk oleh satu sendi bagian anterior (diskus
7/30/2019 Fisioterapi Pada Penderita Lbp et causa Spondylosis
14/40
intervertebralis yang membentuk symphisis joint), dan 2 sendi bagian posterior
(apophyseal/facet joint). Sedangkan segmen transitional adalah segmen gerak yang
terbentuk dari level regio vertebral lain. Pada regio lumbal terdapat 2 segmen transitional
yaitu segmen gerak Th12-L1 (thoracolumbal junction) dan segmen gerak L5-S1
(lumbosacral joint). Dibawah ini akan dijelaskan tentang three joint kompleks.
a. Diskus Intervertebralis
Diantara dua corpus vertebra dihubungkan oleh diskus intervertebralis,
merupakan fibrocartilago compleks yang membentukarticulasio antara corpus vertebra,
dikenal sebagaisymphisis joint. Diskus intervertebralis pada orang dewasa memberikan
kontribusi sekitar dari tinggi spine. Diskus intervertebralis memberikan penyatuan
yang sangat kuat, derajat fiksasi intervertebralis yang penting untuk aksi yang efektif dan
proteksi alignmen dari canal neural. Diskus juga dapat memungkinkan gerak yang luas
pada vertebra. Setiap diskus terdiri atas 2 komponen yaitu :
1) Nukleus pulposus ; merupakan substansia gelatinosa yang berbentuk jelly transparan,
mengandung 90% air, dan sisanya adalah collagen dan proteoglycans yang merupakan
unsur-unsur khusus yang bersifat mengikat atau menarik air. Nukleus pulposus
merupakan hidrophilic yang sangat kuat & secara kimiawi di susun oleh matriks
mucopolysaccharida yang mengandung ikatan protein, chondroitin sulfat, hyaluronic acid
& keratin sulfat. Nukleus pulposus tidak mempunyai pembuluh darah dan saraf. Nukleus
pulposus mempunyai kandungan cairan yang sangat tinggi maka dia dapat menahan
beban kompresi serta berfungsi untuk mentransmisikan beberapa gaya ke annulus &
sebagaishock absorber.
2) Annulus fibrosus ; tersusun oleh sekitar 90 serabut konsentrik jaringan collagen yang
nampak menyilang satu sama lainnya secara oblique & menjadi lebih oblique kearah
7/30/2019 Fisioterapi Pada Penderita Lbp et causa Spondylosis
15/40
sentral. Karena serabutnya saling menyilang secara vertikal sekitar 30o
satu sama lainnya
maka struktur ini lebih sensitif pada strain rotasi daripada beban kompresi, tension, dan
shear. Serabut-serabutnya sangat penting dalam fungsi mekanikal dari diskus
intervertebralis, memperlihatkan suatu perubahan organisasi dan orientasi saat
pembebanan pada diskus dan saat degenerasi diskus. Susunan serabutnya yang kuat
melindungi nukleus di dalamnya & mencegah terjadinya prolapsus nukleus. Secara
mekanis, annulus fibrosus berperan sebagai coiled spring(gulungan pegas) terhadap
beban tension dengan mempertahankan corpus vertebra secara bersamaan melawan
tahanan dari nukleus pulposus yang bekerja seperti bola.
Diskus intervetebralis akan mengalami pembebanan pada setiap perubahan postur
tubuh. Tekanan yang timbul pada pembebanan diskus intervertebralis disebut tekanan
intradiskal. Menurut Nachemson (1964), tekanan intradiskal berhubungan erat dengan
perubahan postur tubuh. Nachemson meneliti tekanan intradiskal pada lumbal yaitu pada
L3-L4 karena L3-L4 menerima beban intradiskal yang terbesar pada regio lumbal. Dari
penelitian Nachemson menunjukan bahwa tekanan intradiskal saat berbaring antara 15
25 kp dan tidur miring menjadi 2 x lebih besar dari berbaring. Pada saat berdiri tekanan
intradiskal sekitar 100 kp dan tekanan tersebut menjadi lebih besar saat duduk tegak yaitu
150 kp. Peningkatan tekanan terjadi saat berdiri membungkuk dari 100 kp menjadi 140
kp, begitu pula saat duduk membungkuk tekanan intradiskal meningkat menjadi 160 kp.
Peningkatan tekanan dapat mencapai 200 kp lebih jika mengangkat barang dalam posisi
berdiri membungkuk dan duduk membungkuk.
b. Facet Joint
Sendi facet dibentuk oleh processus articularis superior dari vertebra bawah
dengan processus articularis inferior dari vertebra atas. Sendi facet termasuk dalam non-
7/30/2019 Fisioterapi Pada Penderita Lbp et causa Spondylosis
16/40
axial diarthrodial joint. Setiap sendi facet mempunyai cavitas articular dan terbungkus
oleh sebuah kapsul. Gerakan yang terjadi pada sendi facet adalah gliding yang cukup
kecil. Besarnya gerakan pada setiap vertebra sangat ditentukan oleh arah permukaan facet
articular.
Pada regio lumbal kecuali lumbosacral joint, facet articularisnya terletak lebih
dekat kedalam bidang sagital. Facet bagian atas menghadap kearah medial dan sedikit
posterior, sedangkan facet bagian bawah menghadap kearah lateral dan sedikit anterior.
Kemudian, facet bagian atas mempunyai permukaan sedikit konkaf dan facet bagian
bawah adalah konveks. Karena bentuk facet ini, maka vertebra lumbal sebenarnya
terkunci melawan gerakan rotasi sehingga rotasi lumbal sangat terbatas. Facet artikularis
lumbosacral terletak sedikit lebih kearah bidang frontal daripada sebenarnya pada sendi-
sendi lumbal lainnya.
Sendi facet dan diskus memberikan sekitar 80% kemampuan spine untuk
menahan gaya rotasi torsion dan shear, dimana -nya diberikan oleh sendi facet. Sendi
facet juga menopang sekitar 30% beban kompresi pada spine, terutama pada saat spine
hiperekstensi. Gaya kontak yang paling besar terjadi pada sendi facet L5-S1.
Struktur pendukung lainnya dalam segmen gerak adalah ligament dan otot.
Ligamen-ligamen yang memperkuat segmen gerak adalah :
a. Ligamen longitudinal anterior
Ligamen longitudinal anterior merupakan ikatan padat yang panjang dari basis
occiput ke sacrum pada bagian anterior vertebra. Dalam perjalanannya ke sacrum,
ligamen ini masuk ke dalam bagian anterior diskus intervertebralis dan melekat pada
antero-superior corpus vertebra.Ligamen longitudinal anterior merupakan ligamen yang
tebal dan kuat, dan berperan sebagai stabilisator pasif saat gerakan ektensi lumbal.
7/30/2019 Fisioterapi Pada Penderita Lbp et causa Spondylosis
17/40
b. Ligamen longitudinal posterior
Ligamen longitudinal posterior memanjang dari basis occiput ke canal sacral pada
bagian posterior vertebra, tetapi ligamen ini tidak melekat pada permukaan posterior
vertebra. Pada regio lumbal, ligamen ini mulai menyempit dan semakin sempit pada
lumbosacral, sehingga ligamen ini lebih lemah daripada ligamen longitudinal anterior.
Dengan demikian diskus intervertebralis lumbal pada bagian posterolateral tidak
terlindungi oleh ligamen longitudinal posterior. Ligamen ini sangat sensitif karena
banyak mengandung serabut saraf afferent nyeri (A delta dan tipe C) dan memiliki
sirkulasi darah yang banyak. Ligamen ini berperan sebagai stabilisator pasif saat gerakan
fleksi lumbal.
c. Ligamen flavum
Ligamen ini sangat elastis dan melekat pada arcus vertebra tepatnya pada setiap
lamina vertebra. Ke arah anterior dan lateral, ligamen ini menutup capsular dan ligamen
anteriomedial sendi facet. Ligamen ini mengandung lebih banyak serabut elastin daripada
serabut kolagen dibandingkan dengan ligamen-ligamen lainnya pada vertebra. Ligamen
ini mengontrol gerakan fleksi lumbal.
d. Ligamen interspinosus
Ligamen ini sangat kuat yang melekat pada setiap processus spinosus dan
memanjang kearah posterior dengan ligamen supraspinosus. Ligamen ini berperan
sebagai stabilisator pasif saat gerakan fleksi lumbal.
e. Ligamen supraspinosus
Ligamen ini melekat pada setiap ujung processus spinosus. Pada regio lumbal,
ligamen ini kurang jelas karena menyatu dengan serabut insersio otot lumbodorsal.
Ligamen ini berperan sebagai stabilisator pasif saat gerakan fleksi lumbal.
7/30/2019 Fisioterapi Pada Penderita Lbp et causa Spondylosis
18/40
f. Ligamen intertransversalis
Ligamen ini melekat pada tuberculum asesori dari processus transversus dan
berkembang baik pada regio lumbal. Ligamen ini mengontrol gerakan lateral fleksi
kearah kontralateral.
Sedangkan otot-otot yang memperkuat segmen gerak lumbal adalah:
a. Erector Spine, merupakan group otot yang luas dan terletak dalam pada facia
lumbodorsal, serta muncul dari suatu aponeurosis pada sacrum, crista illiaca dan procesus
spinosus thoraco lumbal. Group otot ini terbagi atas beberapa otot yaitu:
1) M. Transverso spinalis
2) M. Longissimus
3) M. Iliocostalis
4) M. Spinalis
5) Paravertebral muscle (deep muscle) seperti m. intraspinalis dan m. intrasversaris
Group otot ini merupakan penggerak utama pada gerakan extensi lumbal dan sebagai
stabilisator vertebra lumbal saat tubuh dalam keadaan tegak.
b. Abdominal, merupakan group otot extrinsik yang membentuk dan memperkuat dinding
abdominal. Pada group otot ini ada 4 otot abdominal yang penting dalam fungsi spine,
yaitu m. rectus abdominis, m. obliqus external, m. obliqus internal dan m. transversalis
abdominis. Group otot ini merupakan fleksor trunk yang sangat kuat dan berperan dalam
mendatarkan kurva lumbal. Di samping itu m.obliqus internal dan external berperan pada
rotasi trunk. Didalam memperkuat dinding abdominal, m. abdominal bekerja sebagai
7/30/2019 Fisioterapi Pada Penderita Lbp et causa Spondylosis
19/40
direct brace, m. obliqus internal bekerja sebagai oblique brace kearah inferior dan
posterior sedangkan m. obliqus external bekerja sebagai brace kearah anterior.
c. Deep lateral muscle, merupakan group otot intrinstik pada bagian lateral lumbal yang
terdiri dari :
1) M. Quadratus Lumborum
2) M. Psoas
Group otot ini berperan pada gerakan lateral fleksi dan rotasi lumbal.
Segmen gerak sangat berperan pada setiap gerakan vertebra lumbal. Pada saat
fleksi lumbal, nukleus pulposus akan bergerak kearah posterior sehingga mengulur
serabut annulus fibrosus bagian posterior. Pada saat yang sama, processus articularis
inferior dari vertebra bagian atas akan bergeser kearah superior dan cenderung bergerak
menjauhi processus articularis superior dari vertebra bagian bawah sehingga kapsular-
ligamenter sendi facet akan mengalami peregangan secara maksimal serta ligamen pada
arcus vertebra (ligamen flavum), ligamen interspinosus, ligamen supraspinosus dan
ligamen longitudinal posterior.
Pada saat ekstensi lumbal, nukleus pulposus akan mendorong serabut annulus
fibrosus bagian anterior sehingga terjadi penguluran dan ligamen longitudinal anterior
juga mengalami penguluran sementara ligamen longitudinal posterior relaks. Pada saat
yang sama, processus articularis dari vertebra bagian bawah dan atas menjadi saling
terkunci, dan processus spinosus dapat saling bersentuhan satu sama lain.
Pada saat lateral fleksi lumbal, corpus vertebra bagian atas akan bergerak kearah
ipsilateral sementara diskus sisi kontralateral mengalami ketegangan karena nukleus
bergeser kearah kontralateral. Ligamen intertransversal sisi kontralateral mengalami
peregangan sementara sisi ipsilateral relaks. Pada saat yang sama, processus articular
7/30/2019 Fisioterapi Pada Penderita Lbp et causa Spondylosis
20/40
relatif bergeser satu sama lain sehingga processus articularis inferior sisi ipsilateral dari
vertebra atas akan bergerak naik sementara sisi kontralateral akan bergerak turun.
Pada saat rotasi lumbal, vertebra bagian atas berotasi terhadapvertebra bagian
bawah, tetapi gerakan rotasi ini hanya terjadi disekitar pusat rotasi antara processus
spinosus dengan processus articularis. Diskus intervertebralis tidak berperan dalam
gerakan axial rotasi, sehingga gerakan rotasi sangat dibatasi oleh orientasi sendi facet
vertebra lumbal. Menurut Gregersen dan D.B. Lucas, axial rotasi pada vertebra lumbal
mempunyai total ROM secara bilateral sekitar 10o
dan ROM segmental sekitar 2o
dan
segmental unilateral sekitar 1o.
B. Tinjauan Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Spondylosis Lumbal
1. Problematik Fisioterapi
Spondylosis lumbal umumnya menimbulkan nyeri dan kekakuan gerak pada regio
lumbal, khususnya muncul pada pagi hari. Nyeri dapat bersifat menjalar baik ke dorsal
paha maupun ke daerah kaki. Rasa nyeri dan kekakuan dapat menyebabkan spasme pada
otot erector spine sehingga membatasi gerakan pada lumbal. Dengan demikian, kondisi
ini dapat menimbulkan problematik fisioterapi, antara lain : nyeri menjalar, spasme otot
erector spine lumbal, keterbatasan gerak vertebra lumbal yang menyebabkan gangguan
fleksibilitas lumbal.
2. Tindakan Fisioterapi
a. Short Wave Diathermy (SWD)
Diathermy merupakan aplikasi energi elektromagnetik dengan frekuensi tinggi
yang terutama digunakan untuk membangkitkan panas dalam jaringan
tubuh.Diathermy juga dapat digunakan untuk menghasilkan efek-efek
7/30/2019 Fisioterapi Pada Penderita Lbp et causa Spondylosis
21/40
nonthermal.Diathermy yang digunakan sebagai modalitas terapi terdiri atasshort wave
diathermy (yang akan dibahas) danmicrowave diathermy.
Short wave diathermy adalah modalitas terapi yang menghasilkan energi
elektromagnetik dengan arus bolak balik frekuensi tinggi. Federal Communications
Commision (FCC) telah menetapkan 3 frekuensi yang digunakan pada short wave
diathermy, yaitu :
1) Frekuensi 27,12 MHz dengan panjang gelombang 11 meter
2) Frekuensi 13,56 MHz dengan panjang gelombang 22 meter
3) Frekuensi 40,68 MHz (jarang digunakan) dengan panjang gelombang 7,5 meter
Frekuensi yang sering digunakan pada SWD untuk tujuan pengobatan adalah
frekuensi 27,12 MHz dengan panjang gelombang 11 meter.
Short wave diathermy yang digunakan dalam pengobatan mempunyai 2 arus yaitu
arus Continuos SWD danPulsed SWD.
1) Sifat Pancaran energi elektromagnetik
Telah dijelaskan diatas bahwa arus SWD menghasilkan energi elektromagnetik,
dimana energi tersebut memancarkan medan listrik dan medan magnet. Arus tersebut
tidak menimbulkan aksi potensial pada serabut saraf motorik maupun sensorik, dengan
kata lain tidak merangsang saraf motorik untuk berkontraksi, karena arus frekuensi tinggi
mempunyai osilasi lebih dari 500.000 siklus/detik yang akan memberikan 1.000.000
impuls setiap detik, sehingga durasinya 0,001 ms tiap detik.
Kuatnya medan listrik dan medan magnet yang dihasilkan bergantung pada
sumber medan elektromagnetik. Pada medan elektromagnetik yang terputus-putus
(pulsed) akan terjadi pemutusan medan pada moment tertentu. Energi elektromagnetik
yang dihasilkan tergantung pada metode yang digunakan.
7/30/2019 Fisioterapi Pada Penderita Lbp et causa Spondylosis
22/40
a) Metode medan kondensor
Pada prinsipnya, medan listrik dari energi elektromagnetik dihasilkan oleh plat
metal elektrode dan medan magnet dihasilkan oleh magnetode (kumparan kawat). Pada
metode ini, medan listrik lebih kuat dihasilkan daripada medan magnet karena
menggunakan plat metal elektrode.
b) Metode kumparan (kabel/spul/magnetode)
Pada metode kumparan, kumparan-kumparan kawat menghasilkan medan magnet
yang lebih kuat didalam dan disekitar kumparan dibandingkan dengan diluar kumparan.
Distribusi medan elektromagentik yang dihasilkan oleh kumparan paling besar terjadi di
jaringan superfisial apabila pemasangannya dililitkan.
2) Metode Aplikasi
Metode aplikasi SWD terdiri atas :
a) Metode Induktive
(1) Menggunakan sebuah kumparan metal yang kecil datar, tertutup dalam suatuplastic
drum (dengan suatu kapasitor yang paralel), kadang-kadang dinamakan dengan monode.
(2) Menggunakan pipa panjang dengan konduktor yang fleksibel, tertutup dalam karet yang
tebal, dinamakan dengan kabel atau kumparan. Kabel atau kumparan ini terbungkus
mengelilingi bagian yang diobati dalam pola spiral atau dalam bentukflat spiral. Kabel
tersebut membentuk suatu inductance dan terpisah dari kulit oleh adanya handuk sebagai
perantara.
b) Metode Capacitive/Condensor
(1) Menggunakan metal plate yang kaku, tertutup dalam plastic, dinamakan dengan rigid
atauplate electrode atauspace platedan diposisikan oleh lengan penyanggah.
7/30/2019 Fisioterapi Pada Penderita Lbp et causa Spondylosis
23/40
(2) Menggunakan elektrode yang fleksibel atau lunak, terbungkus dalam karet yang tebal
dimana dapat diposisikan dibawah bagian yang diobati dengan perantara bahan yang
sesuai (seperti handuk).
Pada metode capacitive ini mempunyai 3 macam posisi elektrode, yaitu aplikasi
contraplanar/transversal, aplikasi coplanar dan aplikasi longitudinal (long methode).
Dalam penelitian ini, kami menggunakan aplikasi coplanar sehingga kami hanya
membahas aplikasi tersebut.
Aplikasi Coplanar
Pada aplikasi ini, lokasi kedua elektrode dalam bidang yang sama terhadap
jaringan yang diterapi. Karena energi thermal yang tinggi terjadi pada jaringan lemak dan
tidak terjadi aliran arus energi elektromagnetik secara transversal melewati seluruh
lapisan jaringan sehingga absorbsi energi akan rendah pada jaringan yang lebih dalam.
Dengan demikian, metode ini hanya bersifat superfisial. Jika metode ini menginginkan
efek yang dalam, maka dianjurkan untuk menerapkan jarak elektrode kulit yang cukup
jauh dan jarak tersebut tetap dipertahankan pada jarak kali dari
diameterelektrode/condensator.
Hal-hal yang perlu dihindari dalam ketiga aplikasi ini adalah :
a) Penggunaan elektrode yang besar secara berlebihan dapat menyebabkan lokalisasi
energi yang rendah dan efek terapi yang optimum tidak tercapai.
b) Jarak elektrode kulit yang sangat rapat dengan area jaringan yang menonjol dapat
menyebabkan konsentrasi energi elektromagnetik sehingga menghasilkan point effek.
3) Continous Short Wave Diathermy (CSWD)
Pada penerapan CSWD, energi thermal dominan terjadi dalam jaringan. Setiap
jaringan yang menerima panas memiliki tahanan yang berbeda-beda. Jaringan lemak
7/30/2019 Fisioterapi Pada Penderita Lbp et causa Spondylosis
24/40
cepat menyerap panas daripada otot (1 : 10), sedangkan jaringan otot lebih cepat
menyerap panas daripada kulit. Secara fisiologis, jaringan otot tidak
memiliki thermosensortetapi hanya pada jaringan kulit, sehingga dengan adanya rasa
panas di kulit saat pemberian CSWD maka sebenarnya sudah terjadioverthermal pada
jaringan otot dibawahnya karena jaringan otot lebih cepat menerima panas daripada kulit.
Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa jika panas yang diterima jaringan melebihi
batas tertentu maka jaringan akan menjadi rusak; menurut Thomas H (1963) ukuran
subyektif sebagai batas tertentu adalah jika penderita merasa hangat.
Menurut Hollander JS (1949) bahwa para peneliti menyatakan pemberian CSWD
pada kondisi artrose adalah kontraindikasi, dan bahkan sebagian besar penelitian
melarang pemberian CSWD pada arthritis. Hal ini disebabkan karena didalam sendi
terdapat suatu asamHyaluronik yang suhu optimalnya adalah 36,7o, dan sangat sensitif
terhadap penambahan suhu. Dengan penambahan suhu 1o
saja (terjadi pada pemberian
CSWD) maka suhunya menjadi 37,4o, sementara pada suhu 37
osaja akan mengaktifkan
cairan/enzym hyaluronidase yang dapat merusak ujung-ujung tulang rawan sendi, dan
kita ketahui bahwa kerusakan tulang rawan sendi tidak akan pernah mengalami
regenerasi/reparasi.
Continous SWD utamanya menimbulkan efek thermal, sehingga menghasilkan
efek fisiologis berupa peningkatan sirkulasi darah dan proses metabolisme.
4) Pulsed Short Wave Diathermy (PSWD)
Sekitar tahun 1940, mulai digalakkan penelitian terhadap PSWD sebagai salah
satu efek terapi baru bagi SWD. Dalam penelitian tersebut dilakukan penerapan PSWD
pada hapusan susu, dan ternyata pada hapusan susu tersebut terlihat suatu bentuk
untaian kalung. Kemudian bentuk tersebut juga terjadi pada cairan darah, limpha dan
7/30/2019 Fisioterapi Pada Penderita Lbp et causa Spondylosis
25/40
eiwit. Penemuan tersebut menunjukkan bahwa PSWD sangat bermanfaat dalam
menghasilkan efek terapeutik, sedangkan efek fisiologisnya hanya timbul sedikit
(pengaruh panas hanya minimal). PadaPulsed SWD, mempunyai energi/power output
yang maksimum sampai 1000 W. Meskipun demikian, energi/power output rata-rata
adalah jauh lebih rendah yaitu antara 0,6 80 watt (tergantung pada pemilihan
frekuensipulse repetition) sehingga memungkinkan aplikasi pengobatan subthermal
dengan peningkatan efek-efek biologis. Oleh karena itu, terapiPulsed SWD sangat cocok
untuk pengobatan terhadap gangguan-gangguan akut dimana terapi panas merupakan
kontraindikasi.
Jika kita menerapkanPulsed SWD (PSWD), maka akan menghasilkan pulsasi
rectangular dengan durasi pulsasi 0,4 ms. Power maksimum dari pulsasi tersebut dapat
diatur sampai 1000 W. Ketika menggunakan aplikasi kondensor maka energi power dapat
diatur sampai nilai maksimum. Interval pulsasi yang dihasilkan bergantung pada
pemilihan frekuensi pulsasi repetition (15 200 Hz), sedangkan ukuran produksi panas
dalamPulsed SWD adalah mean power (watt).Mean poweryang dihasilkan sangat
bergantung pada pemilihan intensitas arus dan frekuensi pulsasi repetition. Semakin
rendah frekuensi pulsasi repetition yang dipilih maka semakin rendah mean powernya.
Dengan demikian, penerapanPulsed SWD dapat memungkinkan kita memilih intensitas
arus yang tinggi (power pulsasi) dengan pemilihan frekuensi pulsasi repetition yang
selektif dan sesuai dengan kondisi penyakit/gangguan.
Dengan demikian, indikasi Pulsed SWD adalah :
a) Kondisi-kondisi post traumatik dan post-operasi seperti arthropathy, kontusio, distorsio,
hematoma.
7/30/2019 Fisioterapi Pada Penderita Lbp et causa Spondylosis
26/40
b) Gangguan-gangguan lain seperti ankylopoietik spondylosis, bursitis, coccygodinia,
myalgia, (akut) humeroscapular periarthritis, periostitis, neuralgia, (akut) sciatica,
tendovaginitis, akut dan kronik furuncle sinusitis, cervical lymphadenitis non-spesifik,
laryngitis dan peritonsilar abcess, adneksitis dan mamma abcess.
5) Efek Fisiologis
a) Perubahan panas/temperatur
(a) Reaksi lokal/jaringan
(1) Meningkatkan metabolisme sel-sel lokal sekitar + 13% setiap kenaikan temperatur
1o
C.
(2) Meningkatkan vasomotion sphinctersehingga timbul homeostatik lokal dan akhirnya
terjadi vasodilatasi lokal.
(b) Reaksi general
(1) Mengaktifkan sistem thermoregulator di hipothalamus yang mengakibatkan kenaikan
temperatur darah untuk mempertahankan temperatur tubuh secara general.
(2) Penetrasi dan perubahan temperatur terjadi lebih dalam dan lebih luas.
b) Jaringan ikat
Meningkatkan elastisitas jaringan ikat lebih baik seperti jaringan collagen kulit,
tendon, ligament dan kapsul sendi akibat menurunnya viskositas matriks jaringan;
pemanasan ini tidak akan menambah panjang matriks jaringan ikat sehingga pemberian
SWD akan lebih berhasil jika disertai dengan latihan peregangan.
c) Otot
(1) Meningkatkan elastisitas jaringan otot.
(2) Menurunkan tonus otot melalui normalisasi nocisensorik, kecuali hipertoni akibat
emosional dan kerusakan SSP.
7/30/2019 Fisioterapi Pada Penderita Lbp et causa Spondylosis
27/40
d) Saraf
(1) Meningkatkan elastisitas pembungkus jaringan saraf.
(2) Meningkatkan konduktivitas saraf dan meningkatkan ambang rangsang (threshold).
6) Indikasi
Indikasi SWD baik continuos SWD maupun pulsed SWD adalah kondisi-kondisi
subakut dan kronik pada gangguan neuromuskuloskeletal (seperti sprain/strain,
osteoarthritis, cervical syndrome, NPB dan lain-lain).
7) Kontraindikasi
Kontraindikasi dari continuos SWD adalah pemasangan besi pada tulang, tumor
atau kanker, pacemaker pada jantung, tuberkulosis pada sendi, RA pada sendi, kondisi
menstruasi dan kehamilan, regio mata (kontak lens) dan testis. Kontraindikasi dari pulsed
SWD adalah tumor atau kanker, pacemaker pada jantung, regio mata dan testis, kondisi
menstruasi dan kehamilan. Pada gangguan akut neuromuskuloskeletal merupakan
kontraindikasi dari continuos SWD tetapi bagi pulsed SWD bisa diberikan dengan pulsasi
yang rendah.
b. William Flexion Exercise
1) Pengertian
William flexion exercise diperkenalkan oleh Dr. Paul Williams pada tahun 1937.
Pada tahun 1937, program latihan ini banyak ditujukan pada pasien-pasien kronik LBP
dengan kondisi degenerasi corpus vertebra sampai pada degenerasi diskus. Program
latihan ini telah berkembang dan banyak ditujukan pd laki2 dibawah usia 50-an & wanita
7/30/2019 Fisioterapi Pada Penderita Lbp et causa Spondylosis
28/40
dibawah usia 40-an yang mengalami lordosis lumbal yang berlebihan, penurunan space
diskus antara segmen lumbal, & gejala-gejala kronik LBP.
William flexion exercise adalah program latihan yang terdiri atas 7 macam gerak
yang menonjolkan pada penurunan lordosis lumbal (terjadi fleksi lumbal). William
flexion exercise telah menjadi dasar dalam manajemen nyeri pinggang bawah selama
beberapa tahun untuk mengobati beragam problem nyeri pinggang bawah berdasarkan
temuan diagnosis. Dalam beberapa kasus, program latihan ini digunakan ketika penyebab
gangguan berasal dari facet joint (kapsul-ligamen), otot, serta degenerasi corpus dan
diskus. Tn. William menjelaskan bahwa posisi posterior pelvic tilting adalah penting
untuk memperoleh hasil terbaik.
2) Tujuan
Adapun tujuan dari william flexion exercise adalah untuk mengurangi nyeri,
memberikan stabilitas lower trunk melalui perkembangan secara aktif pada otot
abdominal, gluteus maximus, dan hamstring, untuk menigkatkan fleksibilitas/elastisitas
pada group otot fleksor hip dan lower back (sacrospinalis), serta untuk
mengembalikan/menyempurnakan keseimbangan kerja antara group otot postural fleksor
& ekstensor.
3) Indikasi dan Kontraindikasi
Indikasi dari William Flexion Exercise adalah spondylosis, spondyloarthrosis, dan
disfungsi sendi facet yang menyebabkan nyeri pinggang bawah. Kontraindikasi dari
William Flexion Exercise adalah gangguan pada diskus seperti disc. bulging, herniasi
diskus, atau protrusi diskus.
4) Prosedur Pelaksanaan
7/30/2019 Fisioterapi Pada Penderita Lbp et causa Spondylosis
29/40
Adapun prosedur pelaksanaan William Flexion Exercise (Paul Hooper, 1999)
adalah sebagai berikut :
a) Latihan I (pelvic tilting)
Posisi pasien tidur terlentang dengan kedua knee fleksi & kaki datar diatas
bed/lantai. Datarkan punggung bawah melawan bed tanpa kedua tungkai mendorong ke
bawah. Kemudian pertahankan 510 detik.
Gambar 2.1 Teknik Latihan I William Flexion Exercise
b) Latihan II (single knee to chest)
Posisi pasien tidur terlentang dengan kedua knee fleksi & kaki datar di atas
bed/lantai. Secara perlahan tarik knee kanan kearah shoulder & pertahankan 510 detik.
Kemudian diulangi untuk knee kiri dan pertahankan 5 - 10 detik.
7/30/2019 Fisioterapi Pada Penderita Lbp et causa Spondylosis
30/40
Gambar 2.2 Teknik Latihan II William Flexion Exercise
c) Latihan III (double knee to chest)
Mulai dengan latihan sebelumnya (latihan II) dengan posisi pasien yang sama.
Tarik knee kanan ke dada kemudian knee kiri ke dada dan pertahankan kedua knee
selama 510 detik. Dapat diikuti dengan fleksi kepala/leher (relatif) kemudian turunkan
secara perlahan-lahan salah satu tungkai kemudian diikuti dengan tungkai lainnya.
Gambar 2.3 Teknik Latihan III William Flexion Exercise
d) Latihan IV (partial sit-up)
Lakukan pelvic tilting seperti pada latihan I. Sementara mempertahankan posisi
ini angkat secara perlahan kepala dan shoulder dari bed/lantai, serta pertahankan selama 5
detik. Kemudian kembali secara perlahan ke posisi awal
7/30/2019 Fisioterapi Pada Penderita Lbp et causa Spondylosis
31/40
Gambar 2.4 Teknik Latihan IV William Flexion Exercise
e) Latihan V (hamstring stretch)
Mulai dengan posisi long sitting dan kedua knee ekstensi penuh. Secara perlahan
fleksikan trunk ke depan dengan menjaga kedua knee tetap ekstensi. Kemudian kedua
lengan menjangkau sejauh mungkin diatas kedua tungkai sampai mencapai jari-jari kaki.
Gambar 2.5 Teknik Latihan V William Flexion Exercise
f) Latihan VI (hip fleksor stretch)
Letakkan satu kaki didepan dengan fleksi knee dan satu kaki dibelakang dengan
knee dipertahankan lurus. Fleksikan trunk ke depan sampai knee kontak dengan lipatan
axilla (ketiak). Ulangi dengan kaki yang lain.
7/30/2019 Fisioterapi Pada Penderita Lbp et causa Spondylosis
32/40
Gambar 2.6 Teknik Latihan VI William Flexion Exercise
g) Latihan VII (squat)
Berdiri dengan posisi kedua kaki paralel dan kedua shoulder disamping badan.
Usahakan pertahankan trunk tetap tegak dengan kedua mata fokus ke depan & kedua kaki
datar diatas lantai. Kemudian secara perlahan turunkan badan sampai terjadi fleksi kedua
knee.
Gambar 2.7 Teknik Latihan VII William Flexion Exercise
C. Tinjauan Alat Ukur
1. Visual Analogue Scale (VAS)
MenurutInternational Association For The Study Of Pain (1979) dalam Nugroho
DS (2001), disebutkan bahwa nyeri adalah suatu pengalaman sensorik dan emosi yang
tidak menyenangkan yang berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan baik secara
7/30/2019 Fisioterapi Pada Penderita Lbp et causa Spondylosis
33/40
aktual maupun potensial. Definisi tersebut berdasarkan dari sifat nyeri yang merupakan
pengalaman subyektif dan bersifat individual. Dengan dasar ini dapat dipahami adanya
kesamaan penyebab tidak secara otomatis menimbulkan perasaan nyeri yang sama. Nyeri
adalah pengalaman umum dari manusia. Beberapa jenis penyakit, injury dan prosedur
medis serta surgical berkaitan dengan nyeri. Beberapa pasien mungkin mempunyai
pengalaman nyeri yang berbeda dengan jenis dan derajat patologis yang sama. Selain
patologi fisik, kultur/budaya, ekonomi, sosial, demografi dan faktor lingkungan
mempengaruhi persepsi nyeri seseorang. Keadaan psikologis seseorang, riwayat personal
dan faktor situasional memberikan kontribusi terhadap kualitas dan kuantitas nyeri
seseorang (Turk & Melzack, 1992).
Nyeri melibatkan 2 komponen utama yaitu : komponen sensorik dan komponen
afektif. Komponen sensorik nyeri digambarkan sebagai rasa tidak enak yang seringkali
dapat diidentifikasi dan dilokalisir pada bagian tubuh tertentu, dan dapat diidentifikasi
derajat intensitasnya (Fields, 1988). Secara klinis, kami membatasi intensitas nyeri pada
berapa besar rasa sakit yang dirasakan oleh pasien (Jensen & Karoly, 1992). Sedangkan
komponen afektif nyeri adalah berbeda. Komponen ini melibatkan serangkaian tingkah
laku pasien yang kompleks dimana pasien mungkin melakukan secara minimal,
melepaskannya, atau mengakhiri stimulus noxious tersebut. Komponen afektif nyeri ini
akan menggambarkan perbedaan yang khas tentang cara-cara individu/seseorang
merasakan nyerinya dan variabilitasnya terhadap pengalaman nyeri hebat yang dirasakan.
Secara klinis, perbedaan yang paling penting antara aspek sensorik nyeri dan
affektif nyeri adalah perbedaan antara deteksi nyeri dengan toleransi nyeri (Fields, 1988).
Ambang rangsang untuk deteksi nyeri berkaitan dengan aspek sensorik nyeri dan dapat
terjadi nyeri hebat secara berulang pada pasien yang berbeda serta dapat terjadi nyeri
7/30/2019 Fisioterapi Pada Penderita Lbp et causa Spondylosis
34/40
hebat secara berulang pada waktu yang berbeda dengan pasien yang sama. Sedangkan
toleransi nyeri sangat variabel dan berkaitan dengan komponen afektif nyeri. Karena
sifatnya multidimensional, maka toleransi nyeri pada setiap orang tidak akan sama
caranya (Turk & Kerns, 1983). Oleh karena itu, untuk memeriksa nyeri secara efektif
pada aplikasi klinis maka terapis harus teliti serta mempertimbangkan komponen sensorik
dan afektif dari pengalaman nyeri pasien.
Visual Analogue Scale (VAS) adalah alat ukur lainnya yang digunakan untuk
memeriksa intensitas nyeri dan secara khusus meliputi 10-15 cm garis, dengan setiap
ujungnya ditandai dengan level intensitas nyeri (ujung kiri diberi tanda no pain dan
ujung kanan diberi tanda bad pain (nyeri hebat). Pasien diminta untuk menandai
disepanjang garis tersebut sesuai dengan level intensitas nyeri yang dirasakan pasien.
Kemudian jaraknya diukur dari batas kiri sampai pada tanda yang diberi oleh pasien
(ukuran mm), dan itulah skorenya yang menunjukkan level intensitas nyeri. Kemudian
skore tersebut dicatat untuk melihat kemajuan pengobatan/terapi selanjutnya. Secara
potensial, VAS lebih sensitif terhadap intensitas nyeri daripada pengukuran lainnya
seperti VRS skala 5-point karena responnya yang lebih terbatas. Begitu pula, VAS lebih
sensitif terhadap perubahan pada nyeri kronik daripada nyeri akut (Carlson, 1983 ;
McGuire, 1984). Ada beberapa keterbatasan dari VAS yaitu pada beberapa pasien
khususnya orang tua akan mengalami kesulitan merespon grafik VAS daripada skala
verbal nyeri (VRS) (Jensen et.al, 1986; Kremer et.al, 1981). Beberapa pasien mungkin
sulit untuk menilai nyerinya pada VAS karena sangat sulit dipahami skala VAS sehingga
supervisi yang teliti dari dokter/terapis dapat meminimalkan kesempatan error (Jensen
et.al, 1986). Dengan demikian, jika memilih VAS sebagai alat ukur maka penjelasan
7/30/2019 Fisioterapi Pada Penderita Lbp et causa Spondylosis
35/40
yang akurat terhadap pasien dan perhatian yang serius terhadap skore VAS adalah hal
yang vital (Jensen & Karoly, 1992).
VISUAL ANALOGUE SCALE (HORIZONTAL LINE)
Pasien diminta untuk menunjuk pada garis horisontal sesuai dengan intensitas nyerinya
Tidak ada nyeri sgt nyeri tk
terthnkan
2. Fleksibilitas Lumbal
Fleksibilitas merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan range of
motion (ROM) yang terjadi pada setiap bidang gerak pada sebuah sendi. Fleksibilitas
adalah kemampuan jaringan disekitar sendi untuk terulur semaksimal mungkin tanpa ada
pengaruh dari jaringan lawanannya dan relaks. Jaringan yang terulur tidak hanya
beberapa ligamen, fascia, dan jaringan konektif lainnya yang terkait dengan sendi, tetapi
otot-otot antagonis harus relaks (otot-otot yang melawan gerakan sehingga aksi sendi bisa
terbatas).
Statik fleksibilitas menunjukkan suatu ROM yang ada ketika segmen tubuh secara
pasif digerakkan (oleh fisioterapis atau dokter), sedangkan dinamik fleksibilitas
menunjukkan pada ROM yang dapat dicapai oleh gerakan segmen tubuh secara aktif
yang dihasilkan oleh kontraksi otot. Statik fleksibilitas merupakan indikator yang baik
untuk relatif tightness atau laxitas sendi, dimana implikasi untuk potensial injury. Namun
demikian, dinamik fleksibilitas harus cukup atau tidak membatasi ROM yang dibutuhkan
untuk aktivitas kegiatan sehari (ADL), kerja, atau aktivitas olahraga. Penelitian
menunjukkan bahwa kedua komponen fleksibilitas ini adalah independen satu sama lain.
7/30/2019 Fisioterapi Pada Penderita Lbp et causa Spondylosis
36/40
Meskipun fleksibilitas secara umum seringkali dibandingkan, secara aktual
fleksibilitas merupakan spesifik sendi. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah atau besarnya
fleksibilitas yang luas pada salah satu sendi tidak menjamin terjadi derajat fleksibilitas
yang sama pada seluruh sendi.
Beberapa faktor dapat mempengaruhi fleksibilitas. Bentuk permukaan tulang
pembentuk sendi dan keterlibatan otot atau jaringan lemak dapat mempengaruhi atau
mengakhiri gerakan pada ROM yang luas.
Fleksibilitas utamanya merupakan fungsi relatif laxitas dan/atau extensibilitas
jaringan kolagen dan otot yang melewati sendi untuk sebagian besar populasi.
Ketegangan ligamen dan otot yang membatasi extensibilitas merupakan inhibitor yang
paling besar untuk ROM sendi. Ketika jaringan tersebut tidak terulur (stretch) maka
extensibilitasnya akan menurun. Kandungan air dari diskus cartilaginous yang ada pada
beberapa sendi juga mempengaruhi mobilitas sendi-sendi tersebut.
Oleh karena itu, dalam fleksibilitas sangat dibutuhkan ekstensibilitas otot.
Ekstensibilitas otot adalah kemampuan otot untuk terulur semaksimal mungkin atau
kemampuan otot untuk memanjang semaksimal mungkin. Disamping itu, dibutuhkan
ekstensibilitas kapsul-ligamen pada sendi atau laxitas dari sendi.
Untuk menghasilkan gerak fleksi lumbal yang luas sangat dibutuhkan
ekstensibilitas otot erector spine atau kemampuan memanjangnya otot erector spine
lumbal saat fleksi lumbal. Disamping itu, diperlukan laxitas dari intervertebral joint yang
mencakup diskus intervertebralis dan facet joint untuk menghasilkan gerak fleksi lumbal
yang luas.
Adanya problem keterbatasan gerak akibat kondisi diskus problem, disfungsi
facet joint atau penyakit degenerasi dapat menyebabkan menurunnya laxitas
7/30/2019 Fisioterapi Pada Penderita Lbp et causa Spondylosis
37/40
intervertebral joint dan menurunnya ekstensibilitas otot erector spine sehingga
mempengaruhi fleksibilitas lumbal.
Fleksibilitas lumbal dapat diukur dengan metode sit and reach test, Leighton
flexometer, dan metode Schober test. Metode sit and reach test bertujuan untuk mengukur
fleksibilitas trunk dan tungkai, sedangkan Leighton Flexometer dan metode Schober test
bertujuan untuk mengukur fleksibilitas trunk khususnya regio lumbal.
Dalam penelitian ini, kami menggunakan metode Schober test untuk mengukur
fleksibilitas lumbal. Adapun prosedur pelaksanaan teknik scober test sebagai berikut :
a. Posisi pasien yang di anjurkan adalah posisi berdiri dengan cervikal, thorakal, lumbal
dalam posisi 0otanpa adanya lateral fleksi dan rotasi. Stabilisasi regio pelvis untuk
mencegah adanya anterior tilting.
b. Cara pengukuran :
1) Metode I ; menentukan luas gerak sendi pada fleksi thorakal lumbal adalah mengukur
jarak antara procesus spinosus C7 dan S1 dengan alat ukur pita meteran. Pengukuran
awal dibuat saaat pasien dalam posisi zero starting dan pengukuran selanjutnya dibuat
dalam akhir ROM saat fleksi lumbal. Perbedaan antara pengukuran awal dan akhir
menunjukkan besarnya jarak gerak fleksi thoracal dan lumbal. Magee menjelaskan bahwa
perbedaan 10 cm pada pita meteran adalah normal untuk pengukuran. AAOS
menjelaskan bahwa 4 inchi merupakan suatu pengukuran rata-rata untuk pengukuran
rata-rata orang dewasa yang sehat.
2) Metode II ; dalam metode ini yang digunakan oleh beberapa pemeriksa untuk mengukur
fleksi thoracal dan lumbal adalah mengukur jarak antara ujung jari tengah dengan tanah
lantai pada saat akhir ROM fleksi lumbal. Ukuran ujung jari tangan dengan lantai atau
fleksi lumbal merupakan kombinasi untuk fleksi spine dn fleksi hip sehingga membuat
7/30/2019 Fisioterapi Pada Penderita Lbp et causa Spondylosis
38/40
sulit untuk mengisolasi dan mengukur fleksi spine, oleh karena itu test ini tidak
dianjurkan untuk mengukur fleksi thorakal dan lumbal tetapi dapat digunakan untuk
memeriksafleksibillitas tubuh secara umum.
3) Metode III ; dalam metode ini digunakan 3 tanda yaitu :
a) Pada saat berdiri, beri tanda pada titik tengah antara level SIPS kanan-kiri.
b) Beri tanda kedua diatas tanda pertama dengan jarak 10 cm dan tarik garis lurus pertama
(midline).
c) Kemudian beri tanda ketiga dibawah tanda pertama dengan jarak 5 cm dan tarik garis
lurus kedua (midline).
d) Ukur jarak kedua garis tersebut (yaitu 15 cm).
e) Kemudian pasien diminta untuk fleksi trunk semaksimal mungkin, kemudian ukur jarak
dari tanda ketiga ke tanda kedua melalui tanda pertama dengan garis lurus.
f) Normalnya : jarak yang dicapai adalah > 20 cm. Abnormalnya : jarak yang dicapai < 20
cm.
7/30/2019 Fisioterapi Pada Penderita Lbp et causa Spondylosis
39/40
D. Kerangka Berpikir
Faktor usia
Kebiasaan postur yang jelak
Aktifitas fisik yg berat & berlebihan
Degenerasi diskus dan facet joint
Spondylosis lumbal
Nyeri dan gangguan fleksibilitas
SWD dan William Flexion Exercise
Penurunan nyeri dan penambahan fleksibilitas
Diposkan oleh hamdy alfin di 02.51 1 komentar:Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook
Beranda
Langganan: Entri (Atom)
Pengikut
http://www.blogger.com/profile/08812412757071384448http://fisioterapishamdialfin.blogspot.com/2010/12/normal-0-false-false-false-in-x-none-x.htmlhttp://fisioterapishamdialfin.blogspot.com/2010/12/normal-0-false-false-false-in-x-none-x.html#comment-formhttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=3101284886088315614&postID=7437981918541996120&target=emailhttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=3101284886088315614&postID=7437981918541996120&target=twitterhttp://fisioterapishamdialfin.blogspot.com/http://fisioterapishamdialfin.blogspot.com/feeds/posts/defaulthttp://fisioterapishamdialfin.blogspot.com/feeds/posts/defaulthttp://fisioterapishamdialfin.blogspot.com/http://www.blogger.com/share-post.g?blogID=3101284886088315614&postID=7437981918541996120&target=twitterhttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=3101284886088315614&postID=7437981918541996120&target=twitterhttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=3101284886088315614&postID=7437981918541996120&target=emailhttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=3101284886088315614&postID=7437981918541996120&target=emailhttp://fisioterapishamdialfin.blogspot.com/2010/12/normal-0-false-false-false-in-x-none-x.html#comment-formhttp://fisioterapishamdialfin.blogspot.com/2010/12/normal-0-false-false-false-in-x-none-x.htmlhttp://www.blogger.com/profile/088124127570713844487/30/2019 Fisioterapi Pada Penderita Lbp et causa Spondylosis
40/40
Arsip Blog
2010 (1)o Desember(1)
Recommended