View
46
Download
0
Category
Preview:
DESCRIPTION
Feminisme Marxis dan Charlotte Perkins Gilman.kajian hermeneutika paul ricoeur oleh chrispina.Tinjauan mengenai teori feminismePenindasan Wanita Dewasa IniAnalisis feminisme MarxisBab ini diawali dengan survei terhadap para teoris feminis Marxis, yang difokuskan pada karya-karya novel Emma Goldman: The Traffic in Women (1970), Michele Barrett: Women's Oppression Today (1980) dan Lillian Robinson: Sex, Class and Culture (1978). Konsep teoretis dasar yang diuraikan di sini antara lain: kapitalisme versus patriarki, berkaitan dengan hubungan antara penindasan kelas dan gender; ekonomi publikasi; pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin; dan analisis feminis Marxis sebagai identifikasi terhadap aspek-aspek struktural yang menentukan kualitas dan sifat pengalaman kita. Pada bagian selanjutnya setelah survei teoretis ini, pembahasan kita akan beralih ke analisis feminis Marxis di dalam novel Charlotte Perkins Gilman yang berjudul 'The Yellow Wallpaper' dan beberapa cerita pendeknya.
Citation preview
kajian hermeneutika paul ricoeur oleh chrispina
Senin, 14 Maret 2011
GENDER DAN PEKERJAAN: FEMINISME MARXIS DAN CHARLOTTE PERKINS GILMAN
GENDER DAN PEKERJAAN: FEMINISME MARXIS DAN CHARLOTTE
PERKINS GILMAN
Bab ini diawali dengan survei terhadap para teoris feminis Marxis, yang
difokuskan pada karya-karya novel Emma Goldman: The Traffic in Women
(1970), Michele Barrett: Women's Oppression Today (1980) dan Lillian
Robinson: Sex, Class and Culture (1978). Konsep teoretis dasar yang
diuraikan di sini antara lain: kapitalisme versus patriarki, berkaitan dengan
hubungan antara penindasan kelas dan gender; ekonomi publikasi;
pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin; dan analisis feminis Marxis
sebagai identifikasi terhadap aspek-aspek struktural yang menentukan
kualitas dan sifat pengalaman kita. Pada bagian selanjutnya setelah survei
teoretis ini, pembahasan kita akan beralih ke analisis feminis Marxis di dalam
novel Charlotte Perkins Gilman yang berjudul 'The Yellow Wallpaper' dan
beberapa cerita pendeknya.
Tinjauan mengenai Teori Feminis Marxis
Ringkasan Prinsip-prinsip Feminis Marxis
Feminisme Marxis diatur di seputar konflik-konflik pokok antara
kapitalisme dan patriarki serta kelas versus penindasan gender. Feminisme
Marxis menggabungkan studi tentang kelas dengan analisis mengenai
gender. Kapitalisme dipandang sebagai eksploitasi secara seksual dan
ekonomi; patriarki kapitalis dipandang sebagai sumber penindasan wanita:
pengucilannya dari dunia kerja (lewat pembentukkan sekelompok tenaga
kerja yang ada), kepemilikan patriarkal atas alat-alat produksi dan
reproduksi, konstruksi kaum wanita sebagai kelas konsumen pasif, dan
eksploitasi atas pekerjaan wanita. Yang disebutkan terakhir ini merupakan
perspektif umum yang menyatukan semua wanita dan memungkinkan
mereka mengenali cara-cara dimana kapitalisme mengharuskan bahwa pria
mendominasi wanita, lewat suatu analisis politis terhadap ideologi patriarki.
Jadi, gender adalah penyebab yang lebih mendasar dan pokok terjadinya
penindasan ketimbang kelas, dan penindasan gender membentuk seluruh
hubungan sosial kita. ‘Walaupun masyarakat kelas tampaknya merupakan
sumber, penyebab penindasan terhadap wanita, justru sebenarnya dia
hanyalah akibat’, kata Nancy Hartsock, dalam ulasannya tentang Marx. Lebih
lanjut dia mengatakan, 'Jadi, "hanya pada titik kulminasi terakhir dari
perkembangan masyarakat kelas-lah [bahwa] hal ini, rahasianya, muncul
kembali, yakni, bahwa di satu sisi ini adalah produk dari penindasan wanita,
dan bahwa di sisi lain ini adalah alat melalui mana kaum wanita
berpartisipasi di dalamnya dan menciptakan penindasan atas dirinya sendiri'
(penekanan dan elipsis Hartsock, 1983, (hal. 86). Identitas personal dan
budaya dipandang sebagai produk-produk ideologi. Salah satu kontradiksi
kapitalisme yang terungkap melalui suatu analisis feminis adalah bahwa
kapitalisme menyepelekan apa yang sangat dibutuhkannya—tenaga kerja
wanita. Kaum feminis Marxis mendapati dirinya berbeda pandangan dengan
kaum feminis sosialis mengenai pertanyaan-pertanyaan: apakah kelas dan
jenis kelamin mempertegas pemisahan pokok antara pria dan wanita? Kaum
feminis Marxis mensubstitusi seks untuk peran yang dijalankan oleh kelas
dalam analisis-analisis Marxis klasik dan menaruh perhatian pada kondisi-
kondisi pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin.
Kondisi-kondisi material dalam rumah tangga menggambarkan
berbagai macam pertentangan gender, seperti pemisahan yang dianalisis
oleh Marx sebagai efek samping dari pertarungan kelas: di antara
pertentangan-pertentangan ini juga termasuk pertentangan-pertentangan
yang terbentuk antara tubuh dan pikiran, alam dan budaya, riil dan ideal.
Dominasi pihak maskulin atas tiap dikotomi dan akibatnya devaluasi atas
kaum wanita adalah ciri khas patriarki. Ketika hubungan-hubungan politis
dalam lingkungan rumah tangga dipandang seperti dalam sebuah
mikrokosmos, menjadi jelas bahwa hubungan-hubungan serupa dalam ranah
publik menghasilkan devaluasi sistematis atas ‘pekerjaan wanita’ yang
membentuk relasi-relasi sosial dan kehidupan politik publik.
Dalam konteks teorisasi sastra, kaum feminis Marxis fokus pada
hubungan antara membaca dan realitas sosial. Seni, termasuk literatur,
dianggap ditentukan oleh sistem-sistem produksi ekonomi. Kondisi-kondisi
yang memengaruhi penyusunan buku-buku sastra ditentukan oleh ekonomi
publikasi dan distribusi, pemasaran dan profit. Kaum feminis Marxis
mempertanyakan pengaruh gender pada cara dimana dunia kepenulisan
diterima dan peraturan-peraturan dibentuk. Makna-makna tekstual
diasumsikan diproduksi oleh konteks sosial-ekonomi mereka dan ideologi
pembaca ketimbang berada dalam bidang apolitik transenden tertentu.
Analisis Marxis berkutat pada identifikasi determinan-determinan
pengalaman yang struktural. Ini melibatkan proses menelaah cara-cara
dimana pengalaman pribadi ditentukan oleh kondisi-kondisi politik publik,
dan, dengan demikian, bagaimana pengalaman-pengalaman publik dibentuk
oleh hubungan-hubungan personal. Tiga pemikir feminis Marxis terkemuka
adalah Emma Goldman, Lillian Robinson dan Michele Barrett; dan pada
bagian-bagian selanjutnya kita akan memusatkan perhatian pada karya
ketiga wanita ini.
Emma Goldman, The Traffic in Women dan Esei-esei lainnya (1970)
Buku ini menyadur kembali sebagian esei Emma Goldman tentang prostitusi,
perkawinan dan hak pilih wanita, yang ditulisnya terlepas dari anarkisme
yang diilhami Marx, pada awal abad ini. Saya ingin memfokuskan perhatian
di sini pada esei judul dari kumpulan karya ini dimana Goldman menyajikan
suatu analisis awal tentang subordinasi kaum wanita sebagai sebuah kelas
lewat perpaduan hubungan kelas dan jenis kelamin. Emma Goldman
membuka esei ini dengan membentuk suatu hubungan antara prostitusi seks
dan prostitusi ekonomi–perbudakan upah versus perbudakan seks; keduanya
merupakan bagian dari apa yang disebut Goldman 'lalulintas perbudakan
kulit putih' (Goldman, 1970, hal. 19). Lebih lanjut dia mengemukakan bahwa
sesungguhnya subordinasi terhadap wanita dari segi ekonomi merupakan
penyebab dan akar dari prostitusi: 'Moloch kapitalisme yang tidak kenal
ampun telah meningkatkan jumlah tenaga kerja yang tidak dibayar,
sehingga mendorong ribuan wanita dan gadis remaja terjerumus ke dalam
prostitusi' (hal., 20). Untuk apa bekerja lama, waktu yang terbuang percuma
hanya untuk bayaran yang sangat rendah, tanyanya, ketika prostitusi
mampu menawarkan peluang yang lebih menarik? Goldman menyebut
beberapa contoh para wanita yang bekerja di pabrik-pabrik di New York City
dengan upah enam dolar seminggu sebagai bayaran untuk kerja selama 48
sampai 60 jam. Dari kondisi ekonomi wanita pekerja yang spesifik ini,
Goldman beralih ke uraian tentang determinan-determinan sosial terkait
yang memengaruhi perilaku wanita sebagai suatu kelas yang berbeda.
Tidak dimanapun juga wanita diperlakukan sesuai dengan manfaat
pekerjaannya, tetapi lebih karena terdapat unsur kesenangan seks. Karena
itu, hampir tidak bisa dihindari bahwa dia harus membayar bagi haknya agar
tetap eksis, untuk mempertahankan posisi di lini apapun, dengan
kesenangan seks. Jadi ini semata-mata adalah sebuah pertanyaan mengenai
tingkatan apakah dia menjual diri kepada satu pria, dalam atau di luar
perkawinan, atau kepada banyak pria. Apakah para reformis kita
mengakuinya atau tidak, rendahnya kedudukan wanita di bidang ekonomi
dan sosial bertanggung jawab terhadap prostitusi (hal. 20).
Untuk menekankan bahwa karena faktor ketergantungan ekonomi-lah dan
bukan karena kondisi, moral, personal, dan sosial, yang menyebabkan para
wanita tertentu, sebagai suatu kelas seksual, beralih ke prostitusi, atau
semacamnya, Goldman menunjuk ke alasan-alasan berbeda mengapa para
wanita menjadi WTS: kebutuhan finansial, melarikan diri dari rumah,
ketidakmampuan fisik yang membuat mereka tidak bisa masuk ke jenis-jenis
pekerjaan tertentu. Goldman juga sangat hati-hati untuk mengemukakan
bahwa para wanita menikah membentuk proporsi yang cukup besar dalam
komunitas prostitusi, sehingga tidak diperlukan lagi penjelasan moral
tentang mengapa prostitusi terjadi. Menurut Goldman, alasan terjadinya
prostitusi didasarkan pada hubungan antara kelas ekonomi dan status
wanita sebagai komoditas seks. Jadi wanita kelas pekerja menjadi pelacur
sementara wanita borjuis menjadi pelacur de facto dalam perkawinan.
Menurut pendapat kaum moralis prostitusi tidak selalu terletak dalam fakta
bahwa wanita menjual tubuhnya tetapi justru dia menjualnya di luar
perkawinan. Bahwa tidak di mana pun juga pernyataan dibuktikan oleh fakta
bahwa perkawinan karena pertimbangan-pertimbangan finansial sangat
legitimate, diperkuat oleh hukum dan opini publik, sementara bentuk
kesatuan (union) lainnya dikutuk dan ditolak' (p. 25). Hubungan seksual
ditentukan oleh relasi kelas; status individu wanita tergantung pada
kedudukan kelasnya, tetapi status ekonomi wanita sebagai sebuah kelas
seksual merupakan kondisi ketergantungan bersama. Bahkan, Goldman
menunjukkan bahwa prostitusi bayaran menawarkan beberapa keuntungan
dibanding hubungan seksual dan kerja rumah tangga setelah menikah yang
tidak dibayar: karena WTS tidak pernah melepaskan haknya atas dirinya
sendiri, dia tetap memiliki kebebasan dan hak-hak pribadi, juga dia tidak
pernah dipaksa untuk menyerahkan diri ke pelukan pria lain' (pp. 26-27).
Tetapi, istri mendapati dirinya dalam suatu kondisi yang mirip dengan
perbudakan dimana dia terikat sepenuhnya pada pria yang dinikahinya. Jadi,
status komoditas wanita di bawah sistem kapitalisme dan status
ketergantungan wanita di bawah sistem patriarki menciptakan sejumlah
hubungan sosial yang mengubah semua relasi seksual ke dalam bentuk
prostitusi.
Goldman bisa meramalkan transformasi relasi-relasi ini kecuali jika
prostitusi diakui sebagai sebuah produk dari kondisi-kondisi sosial (sebagai
suatu isu sosial ketimbang isu moral), dan hanya ketika kita mencapai ‘suatu
transvaluasi sempurna pada semua nilai yang diakui... disertai dengan
penghapusan perbudakaan di bidang industri' (hal. 32). Hanya transformasi
semua hubungan eksploitatif yang bisa menghapus kelas seksual terhadap
mana kaum wanita telah diposisikan, yang disertai dengan komodifikasi
pekerjaan seksual yang diwakili oleh prostitusi. Analisis Emma Goldman
mengenai prostitusi merupakan indikasi dari pandangan feminis Marxis-nya,
di mana eseinya mengaitkan antara penindasan kelas dan penindasan
gender, dalam konteks pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin di bawah
sistem patriarki kapitalis, dalam kaitan dengan aktivisme revolusioner
Goldman sendiri.
Michele Barrett, Penindasan Wanita Dewasa Ini: Masalah-masalah
dalam Analisis Feminis Marxis (1980)
Fokus perhatian Barrett dalam buku ini adalah untuk menyatukan analisis
tentang hubungan-hubungan gender dengan analisis materialis tentang
masyarakat kapitalis kontemporer. Dia memulai dengan mengakui bahwa
hanya ada sedikit kesamaan landasan berpikir yang dianut oleh teori Marxis
dan feminisme: Marxisme berhubungan dengan relasi-relasi apropriasi dan
eksploitasi, yang disebabkan oleh pertentangan mendasar antara modal dan
tenaga kerja, dan bukan, seperti dikemukakan oleh Barrett, dengan gender
para eksploiter dan gender dari orang-orang yang pekerjaannya
diapropriasikan (Barrett, 1980, hal. 8). Dan selanjutnya Barrett mengakui
bahwa pembagian-pembagian gender yang menimbulkan diskriminasi dan
penindasan seksual mendahului transisi ke ekonomi-ekonomi kapitalis dan
karena itu tidak bisa dihapuskan oleh transisi yang semakin menjauh dari
kapitalisme dalam konteks suatu revolusi sosialis saja. Walaupun tidak peduli
dengan masalah gender, ada pekerjaan yang harus dilakukan oleh Marxisme
dalam konteks gerakan feminis. Feminisme Marxis bisa ‘mengidentifikasi
kerja hubungan-hubungan gender ketika dan bilamana mereka mungkin
berbeda dari, atau berkaitan dengan, proses-proses produksi dan reproduksi
yang dipahami oleh materialisme historis' (hal. 9). Penting bahwa Barrett
mengkhususkan pemakaian istilah 'reproduksi’ dengan menempatkannya
secara jelas dalam suatu konteks materialis historis, dengan mengambil
konsep Louis Althusser mengenai reproduksi hubungan-hubungan produksi.
Ini penting karena Barrett ingin membedakan pemakaian istilahnya tersebut
dari pemakaian kaum feminis radikal yang mendefinisikan reproduksi
sebagai pengalaman maternitas yang didasarkan pada perbedaan biologis
antara pria dan wanita, dan yang bersumber pada penindasan atas wanita
(lihat pembahasan mengenai The Dialectic of Sex Shulamith Firestone, pada
bab lima). Barrett sangat kritis dengan argumen-argumen biologistis
Firestone, terhadap reduksionismenya, terhadap penghilangan definisi-
definisi seks sebagai suatu kategori biologis dan gender sebagai suatu
kategori sosial, terhadap kemungkinan penegasan ulang atas lingkungan-
lingkungan yang berbeda (publik versus pribadi) untuk pria dan wanita.
Justru, Feminisme Marxis akan fokus pada 'hubungan-hubungan antara
organisasi seksualitas, produksi rumah tangga, rumah tangga, dan
sebagainya, dan perubahan-perubahan historis dalam moda produksi serta
sistem-sistem apropriasi dan eksploitasi' (hal. 9).
Akibatnya, pendekatan Feminisme Marxis terhadap konsep patriarki
didasarkan bukan pada landasan biologis dari hubungan-hubungan
kekuasaan tetapi dalam hubungan dengan analisis kelas, guna
memungkinkan pemahaman yang lebih tepat tentang penindasan wanita.
Barrett menyebut contoh istri yang diceraikan oleh pria borjuis; wanita ini
adalah anggota kelas borjuis hanya karena perkawinannya, akibatnya dia
adalah anggota kehormatan kelas menengah. Namun di luar hubungan
perkawinan, wanita ini harus mencari nafkahnya sendiri dan mengambil
tempat dalam kelas pekerja tempat dia menjadi anggota seumur hidupnya.
Ini adalah contoh perkawinan yang sangat bagus sebagai bentuk produksi
rumah tangga, yang melibatkan apropriasi suami atas kerja gratis istrinya,
tetapi ini tidak mengindikasikan bagaimana konsep patriarki berkaitan
dengan moda produksi khusus ini. Malahan, patriarki direpresentasikan
sebagai prinsip penindasan yang ahistoris dan universal. Kendala untuk
menetapkan patriarki sebagai suatu sistem dominasi pria dalam kaitan
dengan mode produksi kapitalis dalam beberapa hal semakin menambah
kesulitan untuk merumuskan analisis feminis Marxis yang tepat. Kesulitan ini
makin terasa ketika mempertimbangkan hubungan-hubungan reproduksi
sebagai hubungan-hubungan patriarkal yang bisa dikatakan tercipta terlepas
dari hubungan-hubungan produksi kapitalis. Kerja rumah tangga yang tidak
diupah, contoh, berada di luar parameter-parameter analisis eksploitasi Marx
di bawah kapitalisme, yang berlaku pada kontrak upah eksploitatif dan yang
tentu tidak berlaku pada situasi istri yang tidak diupah. Tetapi, pekerjaan
istri mungkin berguna untuk memproduksi pekerjaan buruh sama seperti
ketika dia mereproduksi hubungan-hubungan ideologis kapitalis dalam hal
dominasi dan submisi dalam konteks keluarga. Dengan cara ini, pekerja
rumah tangga yang tidak diupah dan pekerja yang diupah rendah memiliki
kepentingan kelas yang sama. Dalam hal ini, analisisnya adalah reduksionis
dan dengan demikian, analisis tersebut tidak mempertimbangkan
pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin dalam masyarakat pra-kapitalis
dan sosialis. Barrett menyimpulkan bahwa dalam kenyataannya penindasan
terhadap wanita tidak selalu merupakan kerja kapitalisme tetapi bentuk
penindasan ini ‘telah memperoleh landasan material dalam hubungan-
hubungan produksi dan reproduksi kapitalisme dewasa ini' (hal. 249).
Kesulitan untuk menjelaskan reproduksi sosial dari hubungan-
hubungan kelas kapitalis dalam kaitan dengan reproduksi patriarkal kelas-
kelas tersebut sebagian bergantung pada arti penting atau keistimewaan
yang melekat pada kelas atau pada gender. Konflik yang sama ini antara
klaim kelas dan klaim gender sebagai sumber penyebab penindasan muncul
dalam debat-debat mengenai posisi wanita dalam struktur kelas. Klaim
feminis radikal bahwa wanita merupakan suatu ‘kelas seks’ patriarkal yang
terlepas dari atau yang terperangkap dalam sistem kelas kapitalis. Jadi
wanita mengalami penindasan sebagai wanita dalam cara-cara yang lebih
langsung dan lebih kuat dibanding penindasan yang mereka alami karena
afiliasi kelas ekonominya. Pengalaman penindasan karena gender dalam
suatu konteks kelas bisa didekati dalam kaitan dengan revisi Louis Althusser
atas konsep ideologi sebagai pengalaman hidup, 'hubungan imajinatif
individu-individu dengan kondisi eksistensi riil mereka' (Althusser, 1971).
Barrett mengemukakan bahwa, meskipun konsep ini berguna untuk
mempertahankan suatu hubungan dengan kondisi material kehidupan,
ideologi saja tidak cukup untuk menjelaskan penindasan wanita di bawah
sistem kapitalisme; proses-proses ekonomi dan juga determinan-determinan
ideologis turut menentukan sifat spesifik dari penindasan yang dialami kaum
wanita. Sangatlah penting, seperti dijelaskan oleh Barrett, untuk
mendefinisikan secara cermat konsep ideologi; pertama, dia membatasi ide
mengenai otonomi ideologi yang relatif: kita harus bisa menetapkan sejauh
mana terdapat kemungkinan-kemungkinan bagi proses-proses ideologis
terhadap suatu bentuk sosial tertentu: dan kemudian dia selanjutnya
membatasi konsep untuk mendeskripsikan fenomena mental ketimbang
fenomena material:
Konsep ideologi menunjuk ke proses-proses yang berhubungan dengan alam
sadar, motif, emosionalitas; ideologi sebaiknya dimasukkan dalam kategori
makna (meaning). Ideologi adalah istilah umum untuk proses-proses dimana
lewat proses-proses ini makna diproduksi, ditentang, direproduksi,
ditransformasikan. Karena makna disepakati terutama lewat cara-cara
komunikasi dan signifikasi, maka bisa dikatakan bahwa produksi budaya
menyediakan tempat yang penting bagi pembentukan proses-proses ideologi
(hal. 97).
Dengan cara ini, studi literatur dan sastra sebagai bentuk material dari
praktik budaya, terbuka bagi analisis ideologi Marxis dalam bentuk-bentuk
sosial tertentu. Jadi, analisis ideologi dalam konteks historis dan material
akan memudahkan identifikasi terhadap mekanisme-mekanisme yang
beroperasi untuk menindas wanita, seperti mitologi keluarga yang ideal,
konstruksi ideologis dari subyektivitas gender, dan sebagainya.
Lillian S. Robinson: Seks, Kelas dan Budaya (1978)
Diilhami oleh aliran politik New Left pada dasawarsa 1970-an, Lillian
Robinson menyediakan analisis materialis historis ini tentang karya-karya
sastra kanonik. Esei yang menjadi awal dari beberapa karyanya, 'Dwelling in
Decencies: Radical Criticism and the Feminist Perspective' (1971), menyoroti
kesulitan dalam membangun suatu hubungan yang efektif antara feminisme
dan bentuk-bentuk turunan dari kritik sastra: `kritikan feminis tidak bisa
serta merta menjadi kritik borjuis [kata Robinson]. Kritikan tersebut haruslah
ideologis dan moral; dia harus revolusioner' (Robinson, 1978, hal. 3).
Efektivitas kritikan feminis tidak boleh diukur berdasarkan kontribusi yang
bisa diberikan kepada kritikan sastra akademis tetapi diukur oleh apa
sumbangsih dari upaya analisis ideologis feminis ini bagi kemajuan kaum
wanita. Dalam pendapatnya tentang apa yang bisa dilakukan oleh analisis
ideologis ini, di bidang sastra Robinson cenderung menggunakan konsep
ideologi yang ditetapkan oleh Michele Barrett. Robinson berpendapat:
Banyak buku tentang wanita berkonsentrasi pada ‘pilihan-pilihan’ moral dan
sosial yang mereka buat; para penulisnya hampir selalu menunjukkan
kepada kita betapa sedikitnya cakupan material yang sungguh-sungguh
mereka miliki untuk membuat pilihan-pilihan. Ini jelas lebih dari sekadar
mengatakan kepada kita seberapa banyak uang yang dipunyai atau yang
bisa diperoleh seseorang—walaupun para penulis, ketika berbicara tentang
wanita, sangat eksplisit mengenai fakta-fakta ini. Ini adalah masalah
mengaitkan pengalaman kelas di bidang ekonomi dan budaya dengan
makna yang diberikan seseorang tentang dirinya dan dengan apa yang
terjadi dalam hidupnya. Itu juga berarti memahami sejauh mana identitas
seksual itu sendiri merupakan suatu fakta material (hal. 9-10).
Di sini Robinson tidak menunjuk secara khusus ke buku-buku yang ditulis
oleh dan tentang wanita; representasi wanita dalam karya sastra pria yang
mencakup tradisi besar juga bisa mengungkapkan banyak hal tentang
mekanisme penindasan atas wanita. Namun ini hanya bisa terjadi jika
kritikus-kritikus sastra feminis melepaskan asumsi-asumsi yang telah mereka
ketahui tentang obyektivitas dan ketidaktertarikan serta nilai tekstual.
Sebuah buku tidak mungkin seksi dan tetap 'besar’ sebagai karya sastra di
tangan feminis. Evaluasi atas sebuah buku dalam konteks feminis
mengharuskan bahwa kritikus harus melewati batas-batas bentuk tekstual
untuk mencaritahu apa hubungan antara bentuk dengan makna moral atau
ideologis. Baik aspek estetis maupun aspek ideologis dari sebuah buku harus
tetap dipertahankan jika feminisme hendak difungsikan sebagai suatu
bentuk kritikan yang saling 'bertautan'; yakni, sebuah kritikan dengan suatu
alasan politis.
Apa yang Robinson inginkan agar tetap dimiliki oleh mereka yang
tugasnya ‘melakukan’ kritik terhadap feminis adalah melakukan suatu
penyelidikan gender sebagai bagian dari keilmuan yang tradisional dan
borjuis. Dalam esei tahun 1974 'Criticism and Self-Criticism' dia
menyebutkan jenis kritikan sastra feminis yang gagal mempertahankan
pendekatan ini dalam prosesnya 'seolah-olah gender berfungsi sebagai suatu
kategori alamiah ketimbang kategori sosial' (Robinson, 1978, hal. 65).
Dengan kegagalan untuk keluar dari pengakuan bahwa seksisme adalah
sebuah batasan sosial, analisis feminis terbatas semacam ini tidak mampu
mengidentifikasi bentuk-bentuk yang digunakan oleh batasan ini dalam
masyarakat tertentu. Dengan demikian kritikan ini gagal untuk berkontribusi
bagi penyebab kebebasan wanita; dia tidak membantu kita menggunakan
literatur untuk memahami suatu masalah penting bahwa literatur sangat
cocok untuk menerangkan—bentuk-bentuk khusus yang disandang oleh
seksisme dalam masyarakat kapitalis' (penekanan Robinson, hal. 65). Apa
yang seharusnya dianalisis oleh kritikan feminis adalah sejarah sosial yang
memotivasi makna karya-karya seni, baik karya-karya seni yang dihasilkan
dewasa ini maupun di masa lampau. Robinson membuat suatu pembedaan
berkaitan dengan isu-isu yang harus ditangani oleh karya-karya sastra
kontemporer dan bukan oleh karya-karya sastra historis:
Untuk jaman sekarang, itu berarti memperhatikan kultur massa secara serius
—menyelidiki seni yang diperuntukkan bagi masyarakat pekerja, bentuk
yang digunakannya, mitos yang diciptakannya, pengaruh yang
ditimbulkannya, dan mencari audiens baru bagi kritikan di antara orang-
orang yang merupakan pelaku utama dalam sejarah. Untuk masa lalu, itu
berarti memperhatikan karya-karya adiluhung terkenal sepanjang sejarah:
yang dikondisikan oleh kekuatan-kekuatan historis, yang dibuat dalam
situasi-situasi material khusus, yang melayani kepentingan-kepentingan
tertentu dan yang mengabaikan, mengancam atau menindas karya-karya
yang lain. Dan itu berarti mempertimbangkan bagaimana budaya populer
biasa ada bersama dan kadang-kadang saling tumpang tindih dengan karya-
karya tersebut (hal. 67).
Dalam esei-esei yang yang ditulis dalam buku Sex, Class, and Culture,
Robinson melakukan secara persis apa yang digambarkan di sini. Esei-esei
seperti 'Who's Afraid of a Room of One's Own?' tentang Virginia Woolf,
'Woman Under Capitalism: The Renaissance Lady' tentang pemujaan
terhadap cinta yang tulus, 'Why Marry Mr. Collins?' tentang Jane Austen,
saling tumpang tindih dengan esei-esei seperti 'On Reading Trash', tentang
‘tumpang tindih’ antara romansa populer dan romansa sastra,
'Working/Women/Writing' yakni tentang tulisan wanita kelas pekerja, dan
'What's My Line? Telefiction and Women's Work'. Bentuk-bentuk sastra,
mitos, pengaruh-pengaruh yang ditimbulkan oleh buku-buku ini, dan para
audiens potensial yang akan dijangkaunya seluruhnya ditentukan
berdasarkan gender; kekuatan-kekuatan historis yang mengkondisikan buku-
buku tersebut, situasi-situasi material tertentu yang telah menghasilkan
buku-buku itu, dan kepentingan-kepentingan historis yang memiliki
keterkaitan dengan buku-buku bersangkutan, seluruhnya dibahas dalam
analisis-analisis Robinson kecuali yang menyangkut aspek-aspek gender.
Fokus dari analisis-analisis feminis Marxis-nya tidak sepenuhnya patriarki
ataupun kapitalisme, tetapi justru hubungan antara antara penindasan kelas
dan penindasan gender serta aspek-aspek struktural yang menentukan
kualitas dan sifat dari pengalaman kita sebagai makhluk yang ber-gender.
Contoh, dalam 'Who's Afraid of a Room of One's Own?' Robinson
menguraikan cara-cara dimana kesucian dan perilaku seks dikaitkan dengan
kelas sosial-ekonomi, baik secara historis dalam tulisan Virginia maupun
dalam pengalaman kontemporernya sendiri di Amerika. Hubungan antara
kelas dan seksualitas tampaknya hanya mengaburkan pengalaman umum
kaum wanita dalam masyarakat—ketersediaan seks dan kapasitas untuk
memberikan kenikmatan seks mencirikan wanita kelas pekerja yang juga
sering diidentikkan dengan prostitusi, sementara para wanita borjuis atau
kelas atas yang ceroboh dalam hal seksual (Robinson menggunakan contoh
Lily Bart dalam karya Edith Wharton dan para pahlawan wanita almarhum
Henry James) bergantung secara finansial pada para pria sama seperti para
WTS kelas pekerja, dan kecerobohan seksual dari para “nyonya” ini juga bisa
dilacak ke kebutuhan finansial.
Pria-lah yang mengabsahkan antara wanita ‘terhormat’ dan para WTS,
namun ketergantungan wanita sebagai masyarakat kelas bawah-lah yang
menentukan perilaku-perilaku seksual wanita (kesucian maupun
berhubungan seks dengan siapa saja). Istilah `respektabilitas' membawa
serta suatu identifikasi kelas—wanita terhormat karena hubungan
perkawinan atau keturunan bisa bergabung dengan kelas menengah suami
atau ayahnya—dan dengan demikian hirarki relasi-relasi kelas membentuk
pengalaman gender karena dia menentukan pengalaman seksualitas. Para
wanita tidak memperoleh kekuasaan lewat identifikasi ini tetapi mereka
memperoleh kedekatan dengan dan keuntungan-keuntungan material dari
kedekatan mereka dengan orang-orang yang menguasai alat-alat produksi.
Robinson mencatat, 'Dalam pengertian inilah bahwa bentuk-bentuk perilaku
seks menciptakan hambatan-hambatan yang setidaknya dipahami sebagai
berbasis kelas' (hal. 108).
Feminisme Marxis dalam Praksis
Pada bagian berikut, novel Charlotte Perkins Gilman 'The Yellow Wallpaper'
dan beberapa cerita pendeknya akan dianalisis dalam konteks feminis
Marxis. Diskusi mengenai novel Charlotte Perkins Gilman dibuat dalam
konteks feminisme Gilman. Hubungan gender dan materialisme dalam
representasi Gilman menyangkut kondisi kehidupan para wanita abad
sembilan belas menciptakan kondisi-kondisi bagi analisis feminis Marxis atas
novelnya dan tema-tema yang dibahasnya di sana: kapitalisme dan patriarki,
atau hubungan antara ketergantungan ekonomi dan identitas seksual
wanita; analisis politik dalam kaitan dengan determinan-determinan
pengalaman struktural serta kehancuran individualitas wanita; dan
pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin yang, dalam 'The Yellow
Wallpaper', dibahas oleh Gilman dalam kaitan dengan tulisan dan
komunikasi. Gaya penyusunan buku ini dibicarakan dalam kaitan dengan
kondisi-kondisi produksi dan konsumsinya: pada saat publikasi awalnya,
buku ini tidak populer karena gaya Gothic dimana buku ini ditulis
mengungkapkan sensibilitas feminin yang bertentangan dengan gaya
realistis dominan yang terkenal di kalangan para sahabat Gilman (terutama
penilai gaya sastra abad sembilan belas, William Dean Howells).
Charlotte Perkins Gilman, 'The Yellow Wallpaper' dan Kisah-
kisahnya
Peranan gender membentuk fokus kritikan sosial Gilman. Suatu pendekatan
feminis Marxis terhadap tulisan Gilman bisa meningkatkan apresiasi kita
terhadap pemaparan Gilman tentang konstruksi ideologis diri dalam sistem
patriarki dan kondisi itu penting (paksaan sosial) yang membuat wanita
nyaman dengan peranan-peranan gender yang opresif. Dia melakukan ini
dalam karya sastranya dalam tiga cara pokok: pertama, dia menunjukkan
bagaimana struktur-struktur sosial berusaha untuk mereduksi potensi wanita
(dalam buku-buku seperti 'The Yellow Wallpaper', `The Cottagette', dan
'Making a Change'); kedua, dia menunjukkan bahwa wanita bisa berprestasi
apabila mereka dibebaskan dari bentuk-bentuk sosial ini (seperti dalam
'Turned', 'What Diantha Did', dan 'An Honest Woman'); ketiga, dia
merepresentasikan dunia dalam bentuk utopia, karena dunia seharusnya
lebih dari sekadar apa adanya, dengan wanita memiliki hak dan kewajiban
yang sama serta martabat yang lahir dari kesadaran akan potensi
kemanusiaan mereka sepenuhnya, walaupun strategi yang terakhir ini hanya
tersedia bagi Gilman sebagai pembalikkan dari peranan-peranan gender,
dalam buku-buku Herland, With Her in Outland, dan 'Moving the Mountain',
dimana wanita direpresentasikan sebagai dominan dan pria sebagai
marginal. Perlu berhenti sejenak untuk memperhatikan secara cermat
signifikansi dari representasi Gilman mengenai aspek-aspek penindasan
wanita ini.
Kapitalisme tentu menyediakan konteks ekonomi bagi tulisan Gilman,
seperti patriarki menyediakan konteks seksual. Kapitalisme
direpresentasikan bukan sebagai penyebab dari penindasan atas wanita
tetapi sebagai konsekuensi dari sistem patriarki. Terutama dalam hubungan
dengan aspek ekonomi dari pekerjaan rumah tangga, Gilman
mengungkapkan utang finansial yang sangat besar yang ditanggung oleh
wanita untuk pekerjaan mereka dalam rumah tangga yang tidak dibayar.
Eksistensi suatu kelompok pekerja wanita yang murah (atau gratis) adalah
bagian penting dari ekonomi kapitalis. Hal ini ditunjukkan dengan sangat
jelas oleh tokoh-tokoh wanita dalam 'What Diantha Did' (1912), yang
menghadiahi ayahnya dengan sebuah rekening yang berisi total biaya yang
diperlukan untuk membesarkan dirinya. Hadiah ini diterimanya dengan
wajah keheranan sebagai jawaban Diantha terhadap perkataannya bahwa
dia berutang kepadanya tugas merawatnya sebagai puterinya. Apa yang
tidak membuatnya heran sama sekali adalah rekening utangnya kepada
sang puteri sebagai upah untuk pekerjaan-pekerjaan rumah tangga yang
dikerjakannya– pekerjaan rumah tangga dan tugasnya merawat ibu serta
adik-adiknya. 'Mr. Bell merenung dengan seksama angka-angka ini.
Memikirkan kerja anak tersebut yang mencapai hingga dua ribu dolar lebih!
Beruntunglah seorang pria memiliki istri dan anak-anak gadis yang
melakukan pekerjaan ini, atau dia tidak bisa pernah menghidupi sebuah
keluarga (Gilman, dalam Lane, ed., 1980, hal. 133). Setting ironis bagi
kesadaran ini adalah pekerjaan rumah tangga yang dilakukan istrinya, yang
sangat terpukul dengan perjumpaan ini antara puterinya dan suaminya, dan
yang dilakukan oleh Diantha sendiri, yang harus memasak makan malam
untuk ayahnya.
Motivasi bagi hitung-hitungan ini adalah pembenaran Diantha atas
keputusannya meninggalkan rumah agar bisa bekerja. Orang tua dan
adiknya semuanya menolak dengan alasan bahwa satu-satunya pekerjaan
terhormat bagi seorang wanita adalah di rumah; adiknya bisa pergi agar bisa
menikah dan kakaknya bisa pergi agar bisa bekerja tetapi Diantha, seorang
wanita, tidak bisa pergi untuk mencari pekerjaan upahan di luar rumah tanpa
mendapat persetujuan dari semua orang dekatnya. Dalam konteks finansial,
keluarganya akan kehilangan pekerjaan tanpa upahnya di rumah dan
Diantha harus berusaha untuk membayar agar pekerjaan di rumah bisa
menggantikan kedudukannya. Dalam dunia publik dimana pekerjaan diupah
Diantha menemukan pembagian yang serupa antara pekerjaan pria dan
pekerjaan wanita. Dia berhasil sebagai pengusaha wanita tidak dengan cara
menentang pembagian pekerjaan menurut jenis kelamin tetapi dengan
bekerja sama dengannya. Dia mengelola urusan pekerjaan rumah tangga
secara profesional, contoh, dengan mengatur jasa kebersihan dan
pengiriman makanan-makanan yang telah dimasak. Tetapi keberhasilannya
sebagai seorang wanita melanggengkan pembagian kelas seksual yang
memisahkan pria dan wanita. Dalam fiksi Gilman pola ini terulang kembali.
Wanita berhasil dalam bisnis tetapi bisnis dimana mereka terlibat di
dalamnya merupakan kelanjutan ke dunia publik pekerjaan rumah tangga
yang dilakukan oleh wanita, tanpa dibayar, di rumahnya sendiri: memasak,
mencuci, mengasuh anak, dan sebagainya. Jadi, dalam buku Gilman
pembagian-pembagian kelas seksual dalam masyarakat kapitalis dipandang
sebagai konsekuensi dan bukan penyebab lahirnya sistem patriarki.
Keduanya saling bekerja sama tetapi kebebasan tokoh-tokoh seperti Diantha
terjadi dalam suatu ekonomi kapitalis. Gilman menunjukkan bahwa patriarki
mendahului kapitalisme, yang merupakan akibatnya dan bukan
penyebabnya. Suatu analisis Marxis terhadap buku-buku seperti 'What
Diantha Did' tidak akan masuk melampaui konteks ekonomi tetapi sebuah
analisis feminis Marxis mampu mengungkapkan hubungan antara
kapitalisme dan pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin dalam sistem
patriarki.
Cerita-cerita seperti 'What Diantha Did' dan 'An Honest Woman' (1911)
mengeksplorasi implikasi-implikasi dari pembagian kerja menurut jenis
kelamin. Eksploitasi atas pekerjaan wanita dalam sistem patriarki dan
pentingnya pekerjaan wanita sebagai komponen struktural dari ekonomi
kapitalis keduanya menjadi jelas ketika Gilman mengungkapkan apa yang
bisa diraih wanita ketika mereka dibebaskan dari sistem-sistem ekonomi dan
sosial yang represif. Tokoh-tokoh wanita dalam 'An Honest Woman'
mentransformasi dirinya dari seorang ‘wanita yang merayap’, yang
ditelantarkan oleh ayahnya di waktu kecil, menjadi seorang wanita
pengusaha sukses yang mengelola sebuah hotel terkenal dan menjadi pilar
komunitas lokal. Ketika pria penggodanya akhirnya kembali dan berharap
sama-sama menikmati kesuksesan finansialnya dia bisa menolaknya
mengingat semua kebohongan dan tipu daya yang telah dilakukannya.
Ketika pria itu mengancam akan membongkar masa lalunya kepada
masyarakat, dia bisa menanggapi ancaman itu dengan memberitahunya
bahwa semua detail di masa lalunya pun telah diketahui oleh semua
penduduk namun dia tetap dinilai sebagai ‘wanita jujur’ karena
keteladanannya, dan dengan demikian ancamannya menjadi sia-sia. Mary
menolak tuntutan patriarkal supaya dia menyediakan dirinya bagi pria ini;
dia mencoba untuk mendapatkan anaknya, namanya, dan dirinya sebagai
isterinya tetapi Mary tidak membutuhkan dirinya dalam semua hal ini karena
dirinya dan anaknya tidak bergantung secara finansial pada dirinya. Tetapi,
independensi ini bergantung pada kecocokan dirinya dengan harapan-
harapan mengenai apa itu masyarakat patriarkal. Dia dipuji karena mengirim
adiknya untuk bersekolah dan bukannya menjalani kehidupan di hotel, yang
mungkin tidak diterima oleh masyarakat; pekerjaannya sendiri adalah
kelanjutan dari pekerjaan rumah tangga tradisional wanita dan bukan
saingan bagi kategori pekerjaan ‘pria’. Keberhasilan yang diraihnya adalah
keberhasilan seorang pengusaha dan kebebasannya merepresentasikan
kesuksesan yang mampu diraih seorang wanita jika dia bebas menentukan
nasibnya sendiri dalam ekonomi kapitalis.
Cerita-cerita yang disajikan oleh Gilman menyingkap determinan-
determinan struktural atau kelas yang tersembunyi dari pengalaman wanita,
terutama kekuatan-kekuatan sosial dan ekonomi yang membatasi para
wanita hanya pada kelas seksual saja: dalam cerita 'Turned', contoh, istri
yang dikhianati, Marion, menyadari bahwa perselingkuhan suaminya dengan
wanita pelayan muda Gerda bukan hanya sebuah pengkianatan personal.
Setelah goncangan dan kesedihannya mereda dia bisa merefleksi, 'Ini adalah
dosa pria terhadap wanita.... Kejahatan melawan kodrat wanita. Terhadap
kodrat seorang ibu' (hal.94), ujarnya. Suaminya mengambil keuntungan dari
sikap pasif, kepatuhan, dan hormat sang pembantu. Hubungan kelas antara
tuan dengan hamba tercermin dalam hubungan seksual antara pria dengan
wanita. Dilihat dalam konteks-konteks ini, Marion menyadari bahwa reaksi
awal yang dilakukannya mengusir Gerda dari rumah dianggap keliru. Reaksi
tersebut justru mendukung pembedaan kelas dan jenis kelamin yang telah
memungkinkan suaminya memanfaatkan gadis tersebut. Malahan, Marion
mengakui suaminya sebagai pelaku dan Gerda sebagi korban dalam situasi-
situasi ini dan kedua wanita itu pergi meninggalkan rumah untuk
membangun kehidupan yang bebas bagi keduanya dan anak Gerda. Jadi,
judul cerita tersebut mewakili bukan hanya 'berbaliknya' kedua wanita itu
melawan pria tidak setia itu tetapi juga menunjukkan cara dimana keduanya
saling memperhatikan satu sama lain sebagai anggota kelas seksual yang
sama, sama-sama mengalami eksploitasi dan pengkhianatan.
Gilman mengungkapkan konstruksi wanita sebagai kelas konsumen
pasif dan kehancuran individualitas feminin yang merupakan bagian dari
pembentukkan kesadaran kelas. Dengan menjelaskan makna femininitas
dan membatasi kesadaran feminin lewat konsep-konsep seperti kewajiban,
formula-formula sosial beroperasi untuk mengurangi potensi setiap wanita.
Cerita-cerita seperti 'The Cottagette' (1910) dan 'Making a Change' (1911)
mengungkapkan proses dimana melalui proses itu tiap wanita tereduksi oleh
ketergantungannya pada pria agar cocok dengan peranan-peranan gender
tertentu. 'The Cottagette', contoh, menggambarkan transformasi seorang
artis menjadi seorang pekerja rumah tangga ketika dia menjalankan
peranan-peranan rumah tangga yang diyakininya perlu untuk mendapatkan
seorang suami. Dalam 'Making a Change' istri juga seorang seniman tetapi
dalam cerita ini dia terdorong untuk mencoba bunuh diri karena tekanan-
tekanan rumah tangga dan sebagai seorang ibu. Dalam cerita ini sang istri
dan mertuanya, yang sama-sama menderita dalam peranan
konvensionalnya, membuat sebuah rencana dimana Julia bisa memulai
kembali mengajar musik sementara suaminya bekerja dan bayinya diasuh
oleh neneknya bersama dengan semua bayi yang lain yang berada di bawah
pengasuhannya. Dengan cara ini, kedua wanita itu memperoleh cukup uang
untuk menggaji seorang tukang masak dan penjaga rumah sementara
mereka, daripada hidup sebagai konsumen pasif dari pendapatan Frank,
menjadi penyedia jasa aktif yang diupah. Sekali lagi, pekerjaan yang diupah
ini adalah perluasan dari pekerjaan rumah tangga dan awalnya Frank malu
dengan perilaku ‘tidak feminin’ ini: usaha pengasuhan anak ibunya harus
dikesampingkan demi puteranya dan kemampuan bermusik isterinya
seharusnya hanya dinikmati olehnya. Hanya karena dia sadar bahwa
kebahagiaan dan pemenuhan diri yang dirasakan oleh masing-masing wanita
yang didapat dari pekerjaan yang diupah yang membuatnya menyetujui
kedua wanita itu bekerja. Resistensi maskulin terhadap pekerjaan feminin
serta ketergantungan finansial adalah sebuah tema yang muncul kembali
dalam cerita-cerita Gilman. Konsep-konsep seperti tugas dan rasa hormat
bekerja sama dengan peranan-peranan gender patriarkal konvensional
membatasi pria maupun wanita, tetapi pelecehan terhadap individualitas
dirasakan oleh kaum wanita sangat merugikan mereka. Ini adalah pokok
bahasan utama dalam novel Gilman yang sangat terkenal, 'The Yellow
Wallpaper'.
Dalam 'The Yellow Wallpaper', hubungan antara narator dan suaminya
John mewakili stereotipe-stereotipe seksual yang bertentangan yang
dimasukkan ke dalam konflik sepanjang cerita novel tersebut. Sang suami
disebut sebagai rasional, ilmiah, obyektif dan dominan; sebaliknya, isterinya
digambarkan pasif, tidak rasional, gugup, emosional dan subyektif, `percaya
pada takhyul'. Tetapi lebih dari itu, justru kekuatan imajinasinya-lah yang
disebut sebagai berbahaya. John terpaksa harus mengontrol isterinya dan
bahwa hasrat-hasrat yang berbahaya mengancam pandangannya tentang
dunia. Ketakutannya menyebabkannya menjadi otoriter, terutama ketika
obyek ketakutannya adalah `the weaker sex'. Narator melihat masalahnya
tetapi dia tidak bisa menyebut hal tersebut sebagai sebuah masalah.
Akibatnya, nada suaranya tidak menentu; pandangan berubah dengan
mudah, resistensi berubah menjadi penerimaan.
Cerita tersebut tampaknya adalah sebuah jurnal tetapi nada
penyampaiannya yang meyakinkan menunjukkan bahwa narator sedang
mencoba untuk menjangkau atau bahkan menciptakan seorang pembaca
yang sebaliknya tidak bisa ditemukannya. Hubungannya dengan suaminya
penuh dengan ketidakjujuran karena dia tidak bisa memberitahu sang suami
apa yang ingin diketahui dan tidak mau diakui oleh suaminya (karena itu
berulang kali dia menegaskan bahwa istrinya semakin membaik). Hanya
dalam jurnalnya dia bisa mengakui ketidakjujurannya dan menjelaskan
mengapa itu perlu. Dalam tulisan dia bisa menjelaskan apa yang ingin
disampaikannya kepada suaminya tetapi tidak bisa dilakukannya. Jurnal itu
sendiri adalah kebohongan terbesarnya tetapi juga mewakili upaya
terbaiknya untuk bersikap jujur. Kontradiksi-kontradiksi ini dialami sebagai
kegagalan pribadi tetapi disampaikan melalui narasi sebagai konsekuensi
yang tidak terelakkan dari peranan-peranan gender yang dijelaskan; di sini,
konsekuensi yang dialami istri. Tiap wanita ditempatkan dalam suatu situasi
dimana mereka harus berusaha menyesuaikan diri dengan stereotipe ‘isteri’
yang artifisial dan dengan tulus mengambil peranan ini sebagai jalan
pemenuhan diri. Tetapi proses ini tak terhindarkan menciptakan konflik
antara persepsi sosial dan persepsi personal tentang diri seseorang, suatu
konflik yang dialami sebagai tuntutan yang tidak terelakkan untuk bersikap
tidak jujur terhadap diri dan, sekaligus, dorongan untuk bersikap jujur.
Narator tidak bisa berhenti menipu dirinya mengenai hakikat dari
sikapnya. Jadi, deskripsi-deskripsinya menghasilkan ironi yang dramatis
ketika pembaca berusaha membedah makna-makna yang sangat tidak
dipahaminya. Contoh, deskripsinya tentang kamarnya yang menurutnya
seperti sebuah kamar anak-anak tetapi menurut pembaca tampak seperti
sebuah kamar yang dirancang untuk membatasi gerak para pasien yang
kasar. Perbedaan antara hal-hal fisik dalam lingkungannya dengan
interpretasinya atas hal-hal tersebut sebagian besar muncul dari
keinginannya untuk mempercayai segala sesuatu yang dikatakan oleh
suaminya kepada dirinya. Apa yang dia ungkapkan dalam cara ini adalah
sejauh mana dia terjebak dalam konsepsi tentang dirinya yang didapat dari
John dan nilai-nilai masyarakat patriarkal yang diwakili suaminya. Lewat
nilai-nilai patriarkal inilah kaum wanita bisa dikendalikan dengan sangat
efektif dan sementara narator mungkin keberatan dengan kata-kata yang
digunakan untuk menggambarkan situasi yang dihadapinya, dia tidak punya
kata-kata yang bisa digunakan untuk menentang otoritas suaminya.
Bukan hanya narator tetapi juga suaminya ternyata adalah korban dari
masyarakat represif tempat mereka hidup. Sikap kasarnya didorong oleh
cinta; suaminya tidak mau menyiksanya tetapi tidak punya solusi lain bagi
kesulitannya selain mengatakan bahwa isterinya menyukai peranan-peranan
gender yang diberikan kepadanya. Tugas 'mencintai suami' dan 'isteri yang
setia’ justru menjerumuskan mereka yang mencoba menjalankan peranan-
peranan ini ke dalam bahaya. Jenny juga berpandangan sama seperti John
mengenai masalah yang dihadapi narator dan imajinasinya yang sangat
berbahaya; dalam hal ini dia menggambarkan kepelikan yang dihadapi para
wanita dalam mempertahankan peranan-peranan sosial yang opresif dengan
mendramatisir tokoh wanita yang diidentikkan dengan pria. Jenny
mengidentifikasikan diri bukan dengan kepentingan wanita tetapi dengan
kepentingan-kepentingan khusus pria; dia berpihak dengan orang-orang
yang sangat berkuasa, dengan para penindas, karena di situ dia bisa
memperoleh keuntungan pribadi. Dalam cerita tersebut tidak ada petunjuk
tentang suatu komunitas wanita selain visi gila narator tentang sekelompok
‘wanita yang tak berdaya'. Kedua wanita dalam cerita itu terkungkung oleh
peranan sebagai isteri yang dibebankan oleh masyarakat kepada mereka,
seperti wanita imajinatif yang terpenjara di balik kertas dinding yang berpola
dan wanita nyata yang terpenjara di balik jendela berjerujinya. Pada
akhirnya, dia terbebas dari kungkungan namun kebebasan yang
diperolehnya hanyalah kebebasan dari kebutuhan untuk menipu dirinya
sendiri dan orang lain mengenai hakikat dari peranannya. Dia telah
menyingkirkan jebakan-jebakan peranan sebagai isteri dan ibu; dia dibiarkan
begitu saja dengan kegilaannya dan pandangannya tentang pekerjaan
sesungguhnya dalam sistem patriarki. Dia dihukum karena menolak untuk
memikul dan menyesuaikan diri dengan peranan-peranan gender yang telah
dikondisikan oleh masyarakat; dia menjadi contoh bagi para wanita seperti
Jenny yang berpandangan bahwa di luar tugas-tugas yang telah menjadi
kodrat mereka tidak ada tempat bagi para wanita dalam masyarakatnya.
Wanita bebas, wanita tanpa perlindungan pria, disingkirkan dan dikucilkan.
Jadi identitas seksual dan ketergantungan ekonomi ada bersama dalam
suatu hubungan yang kompleks yang menentukan setiap aspek kehidupan
sosial.
Analisis feminis Marxis berkaitan dengan pengidentifikasian
determinan-determinan pengalaman yang bersifat struktural, seperti
koeksistensi ketergantungan ekonomi wanita dan identitas seksual wanita.
Nancy Hartsock melukiskan kekerasan yang dilakukan terhadap pengalaman
wanita akan dirinya melalui pengaturan misoginistik atas kehidupan wanita
dalam suatu sistem patriarki kapitalis:
Organisasi keibuan (motherhood) sebagai suatu institusi dimana seorang
wanita sendirian bersama dengan anak-anaknya, pengucilan terhadap
wanita dari satu dengan yang lain dalam pekerjaan rumah tangga, patologi
wanita akan hilangnya diri dalam pelayanan bagi orang lain– seluruhnya
menandai peralihan kehidupan ke kematian, distorsi atas apa yang mungkin
bisa menjadi aktivitas yang kreatif dan komunal menjadi alat opresif, dan
hancurnya kemungkinan komunitas yang ada dalam definisi diri relasional
wanita (Hartsock, 1983, hal. 84).
Bagian ini menguraikan sifat-sifat pokok dalam cerita Gilman. Narator
menentang isolasi bersama dengan anak-anaknya, dia merasa bayinya
sebagai ancaman bagi otonomi pribadinya (anaknya membuatnya 'lelah')
dan cerita tersebut menunjukkan bahwa penyebab awal penyakitnya adalah
depresi pasca-kelahiran. Tetapi, ini hanya berarti bahwa Jenny dibiarkan
merawat sendiri anaknya dan begitu pula seorang wanita yang lain diisolasi
bersama dengan anak tersebut. Sementara suaminya pergi ke kota dan
berpartisipasi dalam dunia publik, para wanita diisolasi dalam rumah dan
mereka tetap dibiarkan terpisah oleh hubungan-hubungan berbeda dengan
John, kepala rumah tangga. Jenny adalah sekutu diamnya yang juga memiliki
nilai-nilai dan pandangan yang sama seperti dirinya dan melaksanakan
pendapat-pendapatnya; isterinya berseberangan dengan dirinya karena dia
berusaha untuk melibatkannya dalam dialog mengenai nilai-nilai dan
pendapat-pendapat tersebut. Terutama, adalah ‘patologi wanita yang
kehilangan jati dirinya karena harus melayani orang lain' yang didramatisir
oleh 'The Yellow Wallpaper’. Dari dua tokoh wanita utama, Jenny
menunjukkan tidak memiliki rasa diri (sense of self); dia hanya melayani
kebutuhan-kebutuhan dan keinginan-keinginan John. Tetapi, narator
berjuang untuk mengendalikan rasa individualitas dirinya yang akut dan
tunduk pada keinginan suaminya. Dalam skema nilai masyarakat ini yang
kontradiktif, yang dianggap patologis di sini adalah kegagalan untuk
mematikan identitas wanita.
Perjuangan ini untuk melawan sense of self-nya ketika narator
mencoba untuk menyesuaikan diri, namun gagal, menyediakan prinsip
struktur dasar dari narasi tersebut. Dalam `The Yellow Wallpaper', struktur
narasi direpresentasikan sebagai suatu proses, suatu proses yang
ditematisasikan sebagai proses interpretasi. Narator bergerak antara
tuntutan-tuntutan identitas dirinya dan tuntutan-tuntutan yang diletakkan
atas gendernya oleh masyarakat dan ketika dia melakukan itu persepsinya
tentang kertas dinding, dan makna yang dia temukan di situ, berubah.
Interpretasinya tentang detil-detil dalam pola kertas dinding itu menuntun ke
suatu subyektivitas persepsi yang lengkap, dimana kertas dinding dan
wanita yang mengamatinya menyatu. Narator menemukan bahwa dia bisa
membebaskan dirinya yang suka memberontak dari jeruji-jeruji yang
membentuk pola pada kertas tersebut, tetapi pembebasan diri semacam ini
justru menjadi penjara diri dalam kegilaan ketika dia mengasingkan diri dari
semua yang berada di luar dirinya. Narator kehilangan daya persepsinya, dia
kehilangan pendengaran di dunia, sehingga walaupun detil-detil masih
tersaji secara realistis dalam narasi, makna dari detil-detil tersebut menjadi
kabur. Narasi tersebut mempertanyakan desiferabilitas dari dunia fisik
eksetrnal ketika kategori-kategori dasar persepsi menemui jalan buntu: riil
versus fantasi, hidup versus mati, aktual versus imajinatif, sahabat versus
musuh.
Narator menemukan dua lapisan realitas: suatu pola superfisial dari
hal-hal sehari-hari dan suatu represi dunia atau fisik yang ada di bawah
permukaan tenang ini. Rasa keterbataasn diri yang dijumpainya menemukan
sebuah penyeimbang dalam kontras-kontras antara ruang tertutup dan
pandangan taman terbuka. Pertama, dia melihat keduanya secara realistis,
tetapi lambat laut pandangannya menjadi lebih personal dan subyektif
ketika tokoh-tokoh di taman menjadi identik dengan tokoh dalam kertas
dinding itu. Terakhir, narator menyatu dengan tokoh ini dan, walaupun
identifikasi ini memungkinkannya untuk melepaskan rasa amarah dan
frustrasi yang dialaminya, namun kegilaan yang berkembang kemudian
hanyalah bentuk lain dari keterkungkungan. Diri tersembunyi ini yang bisa
diungkapkannya hanya dengan mengidentifikasinya dengan tokoh dalam
kertas dinding itu dianggap gila dalam masyarakatnya. Dia tidak bisa
mengartikulasikan rasa dirinya kepada suaminya, meski telah dicobanya,
karena dia tidak memiliki bahasa yang tepat untuk menandingi istilah-istilah
patriarkal dimana dia berpikir. Dia berjuang bukan hanya melawan orang-
orang dan masyarakat di sekelilingnya tetapi juga melawan pendidikannya
sendiri, indoktrinasinya dalam nilai-nilai patriarki kapitalis. Akibatnya, satu-
satunya saluran bagi pemberontakkannya adalah menanggalkan bangunan
ilusi-ilusi, pola-pola yang keliru dan superfisial, yang membuat rasa
individualitasnya tetap tertindas.
Sejak awal kertas dinding telah dipandang sebagai amarah dan
kekerasan – dengan 'kedua mata' yang mencoba 'membaca' dirinya. Dia
menyadari bahwa wanita yang sedang mengintai itu berada di dalam dirinya
tetapi tertutup dan tersembunyi oleh pola-pola eksternal; jadi wanita
tersebut tampaknya ‘tercekik’. Ketika penglihatan realistisnya mencair, dia
melihat suatu refleksi dirinya yang lebih langsung dalam kertas dinding itu.
Emosi-emosinya terpantul ke sekelilingnya, dimana perasaan-perasaan
tersebut lebih mudah ditangani. Walaupun dia mungkin berusaha
menyingkirkan rasa bersalah yang dirasakannya, tidak ada obat yang
tersedia di dunia narasi bagi gangguan emosional yang sedang dideritanya.
Distorsi persepsi, usahanya untuk menghilangkan beban-beban dunia luar,
adalah jawaban terhadap ketidakpastian, isolasi dan kungkungan hidupnya.
Secara fisik dan psikis dia dihancurkan oleh kemustahilan untuk menemukan
bagi dirinya suatu identitas personal yang pasti dan bermakna, yang melekat
dalam suatu jaringan hubungan keluarga yang mendukung dan menguatkan.
Kertas tempat dia menuliskan jurnalnya digantikan oleh kertas dinding
ketika pengamatan obyektifnya digantikan oleh imajinasi-imajinasi subyektif.
Substitusi ini menunjukkan bahwa rasa dirinya sedang menyusut, menjadi
tidak pasti dan terbagi. Tulisan menjadi semakin melelahkan bagi dirinya
dan barangkali juga menjadi ancaman bagi apa yang masih tersisa dari
identitas dirinya. Kemudian, dia berhenti menuliskan beberapa detil dari
pengalamannya. Pembaca, seperti John dan Jenny, tertutup dari dunia
pribadinya. Mereka tidak memiliki bagian dalam dunia tersebut untuk alasan-
alasan yang sama bahwa mereka bertanggung jawab terhadap kemustahilan
kedudukannya: mereka adalah representasi dari sistem patriarki yang telah
menghancurkan dirinya. Di mata suaminya dia-lah, dan bukan masyarakat,
yang bertanggung jawab terhadap kehancurannya. Dia telah gagal
memberikan respons-respons konvensional terhadap pengalaman, bentuk-
bentuk respons yang bisa dijelaskan menurut gagasan-gagasan
konvensional, dan kegagalan ini menyebabkan kegilaan. Namun dari sudut
pandang narator – perspektif yang didukung oleh cerita itu sendiri—kegilaan
tentu lahir dari penolakan terhadap aturan-aturan sosial yang ditentukan
oleh pria. Usaha-usahanya untuk menolak mekanisme-mekanisme budaya
yang mereduksi pribadi wanita menjadi stereotipe-stereotipe dengan
menindas rasa individualitasnya menimbulkan penolakan total dirinya
terhadap dunia sosial dan lebih menyukai satu-satunya alternatif yang
tersedia baginya – dunia pribadi yang penuh kegilaan.
Rasa harga diri yang mulai muncul dalam diri narator, rasa identitas
dirinya sebagai pribadi yang berbeda, terancam bertentangan dengan
prinsip dasar patriarki kapitalis: koeksistensi ketergantungan ekonomi wanita
dan identitas seksual wanita. Kedudukan wanita lebih rendah, sehingga dari
segi ekonomi mereka sangat tergantung pada pria; karena wanita secara
ekonomi tergantung pada pria, mereka harus inferior. Citra seorang wanita
independen yang memandang dirinya setara dengan suaminya sangat
subversif dan akibatnya tidak diperbolehkan dalam masyarakat patriarkal.
Ketika narator 'The Yellow Wallpaper' mengetahui risiko sangat besar yang
dihadapinya, di bawah sistem patriarki seorang wanita independen
disejajarkan dengan wanita gila.
Dalam Women and Economics (1898) Gilman mengemukakan bahwa
dengan menghapus 'pekerjaan wanita', dengan menyediakan semua
pekerjaan bagi kedua jenis kelamin, wanita bisa meningkatkan statusnya
dan menjadi lebih produktif sebagai anggota masyarakat. Pekerjaan rumah
tangga—memasak, mencuci, membesarkan anak—harus
diprofesionalisasikan dan disosialisasikan. Para profesional terlatih harus
melaksanakan pekerjaan yang dilakukan secara tradisional, tidak dibayar,
oleh wanita di rumah dan karena itu wanita harus beralih ke dunia publik
untuk melakukan pekerjaan sesuai pilihannya. Hal yang menentukan status
sosial rendah wanita adalah ketergantungan ekonomi wanita dalam
perkawinan, pekerjaan yang tidak dibayar dan begitu diremehkan yang
mereka lakukan di rumah. Dalam banyak cerita pendek Gilman, dia
menggambarkan konsekuensi-konsekuensi bagi tiap wanita yang mampu
memenuhi sendiri kebutuhan ekonominya dan karena itu
mentransformasikan dirinya menjadi pribadi-pribadi yang otonom dan
bermartabat. Tetapi Gilman bukan seorang feminis Marxis. Dia mengusulkan
perubahan-perubahan strategis pada struktur ekonomi patriarki tetapi dia
tidak mendukung restrukturisasi kapitalisme secara menyeluruh. Patriarki
harus direformasi agar memudahkan wanita mengakses ekonomi kapitalis,
dan dalam fiksinya wanita yang membebaskan dirinya menemukan
kebebasan sebagai pengusaha dan kapitalis skala kecil (wanita pebisnis
skala kecil, dsb.). Dalam novel utopia Herland, contoh, anak-anak dibesarkan
secara bersama oleh para ahli terlatih, yang memperoleh keuntungan
finansial dari keahliannya dalam mengasuh anak. Pandangan bahwa
ekonomi kapitalis adalah bidang yang netral gender adalah naif— wanita
menemukan bahwa pekerjaan yang dibayar di luar rumah tidak membawa
kebebasan atau akhir bagi penindasan. Lingkungan-lingkungan yang
terpisah menjamin bahwa makna dan nilai pekerjaan tetap tidak berubah
bahkan ketika semakin banyak wanita yang masuk pasar tenaga kerja (17%
pada 1900, hampir 22% menjelang tahun 1929). Tetapi wanita memasuki
apa yang disebut 'profesi mengasuh’, pekerjaan kleris dan rumah tangga,
dan upah yang diterima tidak sama walaupun pekerjaan yang dilakukan
sama. Pekerjaan wanita secara khusus ditargetkan selama Depresi, dengan
pria menuntut sedikit pekerjaan yang tersedia dan keputusan undang-
undang untuk menguatkan tuntutan ini (contoh, menurut Undang-undang
Ekonomi Federal tahun 1933 hanya satu anggota keluarga yang bisa
dipekerjakan oleh pemerintah).
Menulis atau komunikasi adalah satu-satunya pekerjaan yang mampu
dikerjakan oleh narator dan dia benar-benar mengabaikan peluang untuk
melakukannya dan, akibatnya, mengabaikan peluang untuk mengalami
dirinya sebagai pribadi yang produktif. Dia telah memproduksi tetapi psikosis
depresi pasca-kelahiran menghambatnya untuk memenuhi peranannya
sebagai ibu. Justru, dia ingin melakukan pekerjaan pria (menulis) yang
sangat bertentangan dengan peranan sosialnya. Pembalikkan ‘tidak lazim’
peranan-peranan seksual oleh para dokter (suami dan saudara laki-laki
narator) disebut 'gangguan syaraf'. John menentukan apa yang harus
dikomunikasikan. Menulis dilarang; dia membaca baginya ketimbang
mengijinkan narator membaca untuk dirinya sendiri. Narator meninggalkan
‘kertas mati’ tulisan dan justru memusatkan energi-energi interpretatifnya
pada kertas dinding. Dia menjadi terobsesi dengan masalah makna,
bagaimana menghadirkan yang imajinatif dan yang aktual ke dalam
hubungan. Pola-pola yang tidak dikenali dari pengalaman hidup nyatanya
dilambangkan oleh pola-pola kertas dinding itu, dan lewat proses interpretasi
dia menemukan gambaran situasi dirinya yang tidak menyenangkan. Namun
pandangan ini bukan pembebasan: dengan mendekodekan gambar-gambar
dirinya pada kertas dinding dia mendekodekan kembali gambar-gambar
tersebut dalam pikiran dimana mereka tidak bisa dihindari. Yang imajinatif
dan yang aktual menjadi satu ketika dia menjadi wanita di dalam kertas
dinding itu. Dia membaca sebagai seorang wanita konvensional, John
sebagai pria konvensional; interpretasi keduanya ditentukan oleh gender.
Tetapi konvensionalitas keduanya membuat mereka salah membaca situasi
mereka dimana pandangan yang tidak konvensional merupakan perspektif
yang menyenangkan. Aktivitas menulis dianggap berpotensi subversif
namun potensi ini untuk menimbulkan reaksi-reaksi sosial yang nyata
digunakan oleh masyarakat untuk menentukan persepsi-persepsi sosial
warganya. Lalu, Gilman menggunakan tulisan untuk memperluas wawasan
perseptual dan interpretatif dari para pembacanya (lihat eseinya tahun
1913, 'Why I Wrote 'The Yellow Wallpaper”).
Gilman menemui kesulitan besar dalam mempublikasikan 'The Yellow
Wallpaper' dan cerita tersebut hampir dilupakan sepanjang abad ini. Prestasi
Gilman sebagai seorang penulis fiksi banyak diakui hanya sebagai
konsekuensi dari upaya-upaya saat ini di kalangan para kritikus sastra
feminis yang berusaha untuk memulihkan tradisi tulisan wanita dengan
menyelamatkan teks-teks tersebut dari kemusnahan. Ketika ‘When 'The
Yellow Wallpaper' dibaca, ternyata itu adalah cerita horor: contoh cerita
pendek tersebut dimasukkan dalam koleksi tahun 1971 yang berjudul Ladies
of Horror: Two Centuries fo Supernatural Stories by the Gentle Sex
(Doubleday, 1971). Hubungan antara kegilaan dan gender dari para korban
diabaikan, juga tidak ada hal supernatural dalam cerita tersebut. Cerita itu
termasuk dalam genre novel Gothic, yang dipopulerkan oleh Edgar Allan Poe,
tetapi Gilman menyadur ceritanya sesuai dengan ekspresi sensibilitas
feminin yang bertentangan dengan ortodoksi maskulin. Gaya narasi dan
jenis alam psikologis yang digunakan Gilman sebegitu cerdas membawanya
ke dalam konflik dengan pandangan-pandangan ortodoks atau realisme yang
direkomendasikan oleh kritikus-kritikus berpengaruh seperti William Dean
Howells. Karena itu, diharuskan untuk mempertimbangkan dalam cara-cara
yang bagaimana gaya tulisan Gilman bertentangan dengan gaya yang
modern dan bagaimana hal ini berkaitan dengan pertanyaan tentang
gender.
Howells dalam Criticism and Fiction (1891) dan Novel-Writing and
Novel-Reading (1899) melukiskan ciri-ciri dari fiksi yang ’bagus’:
Dalam novel-novel, kami selalu memulai dengan sesuatu yang kami ketahui
tentang hidup, yakni, dengan hidup itu sendiri; lalu kami melanjutkan dan
meniru apa yang telah kami ketahui tentang hidup. Jika kami sangat ahli dan
sangat sabar kami bisa menyembunyikan hubungannya. Tetapi hubungan
tersebut selalu ada di sana, dan di satu sisinya terdapat tanah nyata dan
rumput nyata, dan di sisi lainnya terdapat gambar-gambar tanah dan rumput
yang dilukis (Howells, dalam Baym dkk., 1994, vol.2 hal. 241).
Skill ini meliputi penciptaan sudut pandang yang obyektif, tokoh-tokoh yang
meyakinkan yang berbicara dalam bahasa sehari-hari yang aktual, yang
bergerak di dalam suatu lingkungan historis dan geografis yang spesifik,
dimana nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan bisa dikenali, dan menghindari
efek-efek melodramatik atau sentimentil. Gaya realisme yang didukung oleh
Howells, melalui lembar-lembar majalahnya yang sangat berpengaruh,
menekankan yang 'biasa'. Novelis, seperti didiskusikan oleh Howells, selalu
pria, walaupun Howells menyebut karya novel Jane Austen dan George Eliot
termasuk di antara beberapa prestasi terbesar dalam bentuk novel. Tetapi
Howells buta dengan bias gender dalam preskripsinya untuk tulisan yang
bagus. Realitas obyektif yang selalu dipilih oleh Howells sebagai subyek fiksi
adalah dunia seperti yang dirasakan oleh pria. Dalam Criticism and Fiction
dia menulis bahwa keberhasilan artis terletak pada relasinya dengan alam
manusia, yang kita semua ketahui, yakni kebebasan pribadinya, tugas
pentingnya, untuk menginterpretasi. 'Alam manusia' yang menurut asumsi
Howells kita semua telah memahaminya, kemudian diidentifikasi sebagai
‘kumpulan manusia biasa’. Howells sedang berbicara dari sudut pandang
pria yang menurut pendapatnya adalah 'alamiah' and 'universal'. Dia tidak
menyadari bahwa definisi-definisinya menghambat wanita untuk menulis
apa yang disebutnya sebagai fiksi yang bagus. Akibatnya, Howells tidak bisa
melihat nilai tersebut dalam bentuk realisme seperti 'The Yellow Wallpaper'
yang mewakili dunia sebagaimana tampaknya di mata wanita.
Para penulis seperti Gilman menunjukkan bahwa realitas bukanlah
sesuatu yang hanya bisa kita asumsikan dipahami secara universal dan
secara universal sama; justru, realitas adalah sesuatu yang diciptakan oleh
masyarakat lewat usaha-usaha ideologi. Realitas berbasis kelas dan berbeda
untuk orang kaya dan orang miskin, pria dan wanita. Pengalaman realitas
seseorang tergantung pada di mana tempat seseorang diletakkan dalam
masyarakat. Realitas terletak tidak melulu dalam dunia obyektif seperti
dalam persepsi individu. Dalam 'The Yellow Wallpaper' Gilman melukiskan
pengalaman wanita akan realitas secara kualitatif berbeda dengan pria',
tetapi mengaitkan penyebab dari perbedaan ini dengan pembedaan gender
yang artifisial dan peranan-peranan seks yang ditentukan secara kultural.
Pengalaman ini dan persepsi-persepsi tentang dunia berbeda dengan realitas
pria dominan yang didefinisikan sebagai persepsi 'biasa' dan 'obyektif'.
Gilman menggambarkan konflik ini dengan menggunakan gaya Gothic, yang
disesuaikan dengan tujuan-tujuan feminisnya.
Bentuk Gothic cocok untuk merepresentasikan pandangan yang tidak
disadari dan subyektif tentang dunia, tetapi bilamana dunia itu adalah dunia
mimpi buruk. Bentuk tersebut menekankan pemisahan dari apa yang
diterima sebagai dunia obyektif sehari-hari, yang dianggap oleh Howells
sebagai satu-satunya subyek yang tepat untuk fiksi. Konflik antara nilai-nilai
masyarakat dan kemampuan individu untuk memainkan peranan sosial bisa
dilihat melalui perbedaan antara realitas yang subyektif dan obyektif.
Keberadaan dari dua realitas melemahkan ide bahwa sebuah dunia ada.
Karena itu, dengan menanyakan pembaca pertanyaan mengenai keaslian
dunia, fiksi yang ditulis dalam gaya Gothic bisa mengungkapkan secara
efektif protes seorang penulis terhadap pembatasan masyarakat.
Dalam 'The Yellow Wallpaper' konflik antara masyarakat dan individu
atau realitas obyektif dan realitas subyektif yang diwakili oleh sebuah pikiran
(mind) terjebak dalam situasi yang menimbulkan kegilaan. Penyembuhan
yang harus dijalani oleh narator dirancang untuk membuat dirinya diam dan
tergantung (sesuai dengan peranan sosialnya) melalui teknik deprivasi
sensorik. Tetapi deprivasi semacam itu selalu menimbulkan kegilaan. Jadi,
dengan segala radikalnya, cerita tersebut meminta kita untuk
mempertimbangkan apakah penyesuaian diri dengan peranan-peranan
gender adalah suatu bentuk kegilaan dan apakah masyarakat patriarkal kita
memang didasarkan pada kegilaan yang terkendali. Gilman menaruh
perhatian pada kegilaan, ketidaklogisan, dari ketidakadilan sosial. Dalam hal
ini dia menyebutkan absurditas dalam menangani penindasan dengan
strategi-strategi deprivasi yang dirancang untuk mengatasi simptom-
simptom kelelahan syaraf. 'Pengobatan' yang dimaksudkan sekurang-
kuranya adalah suatu penanganan medis dan lebih dari itu sebagai alat
untuk mengontrol cara wanita mengaitkan dirinya, satu sama lain dan dunia.
Menjadi jelas bahwa itu akan menjadi kenyataan ketika narator mulai
kembali berbicara dan berpikir menurut cara-cara yang dianggap tepat dan
‘gila’ oleh suami dokternya bahwa dia akan terbebas dari penjara fisiknya.
Jadi persepsi-persepsi dan cara dia mengungkapkannya dianggap simptom
nyata penyakitnya dan pengobatan yang dianjurkan dimaksudkan untuk
menyembuhkan simptom-simptom ini.
Gilman mengatakan bahwa peranan wanita pada dalam budaya
Amerika abad sembilan belas berkaitan dengan konsep-konsep ideologis
dominan di dunia. Perspektif wanita adalah suatu pandangan imajinatif yang
harus dikendalikan dan dibiarkan tetap di bawah pandangan dunia yang
rasional, logis, praktis dan obyektif yang mendukung kepentingan-
kepentingan pria Amerika abad sembilan belas. Ketika cerita tersebut
menyelidiki ketegangan-ketegangan antara dunia subyektif dan dunia
obyektif dia tidak menunjukkan bahwa yang satu lebih nyata daripada yang
lainnya tetapi bagaiman seperangkat hubungan keluarga dan komunitas
yang mendukung diperlukan bagi persepsi yang tepat atau pembentukkan
realitas. Gilman memaparkan betapa mudahnya bagi hubungan individu
dengan dunia menjadi rusak. Ketika peranan-peranan sosial yang ditetapkan
ditentang atau diancam, interpretasi seseorang mengenai lingkungan-
lingkungan fisik bisa terdistorsi. Hubungan antara individu dan dunia sangat
tergantung pada hubungan dengan orang lain. Ketika seorang wanita tidak
bisa memainkan peranan sosialnya sebagai isteri dan ibu maka seluruh
jaringan hubungan sosialnya akan kehilangan arah dan persepsinya tentang
realitas menjadi tidak tepat. Kesehatan psikologis dan fisik seseorang dan
kesehatan ekonomi masyarakatnya tergantung pada keadilan universal
dalam semua hubungan sosial.
Akhirnya, narator 'The Yellow Wallpaper' bukan seorang reporter yang
handal bagi pengalamannya sendiri; dia tidak menyadari seluruh
tindakannya ataupun dia juga tidak bisa menguasai pikiran-pikirannya ketika
logikanya berubah menjadi kegilaan. 'Ciuman' di dinding adalah hasil dari
cakarannya; tanda di papan ranjang adalah hasil gigitannya. Jarak antara
gambar dan maknanya melukiskan keterasingan dirinya dari kediriannya
sebagai istri ketika dia semakin menjadi wanita kertas. Pengucilannya dari
realitas material, yang memiliki sebab material dan ideologis, menjadi
pengasingan dari dirinya sendiri.
Feminisme Marxis memungkinkan kita untuk mengidentifikasi dalam
'The Yellow Wallpaper' penciptaan kelas seksual yang berbeda yang
didisposisikan dan tetap dibiarkan dalam suatu posisi inferioritas lewat
penggunaan strategi-strategi penindasan di bidang ideologi dan ekonomi.
Inferioritas wanita tidak sekadar diasumsikan: masyarakat menghendaki
subordinasi wanita pada pria dan ini menciptakan sebuah kelas sosial yang
miskin pikiran dan fisik---yang disimbolkan dalam novel ini oleh sekelompok
‘wanita yang merayap’ yang tidak mau menonjolkan diri dalam setiap cara
yang mungkin karena hanya dengan mengingkari keberadaan sosialnya
mereka berusaha untuk tetap bertahan hidup.
--oo000oo--
Diposkan oleh chrispina.blogspot.com di 07.50 Sumber; http://impiandalamhati.blogspot.com/2011/03/gender-dan-pekerjaan-feminisme-marxis.html
Recommended