View
10
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
i
HALAMAN JUDUL
PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN (Studi Komparasi Antara Imam Asy Syafi’i
Dan Ibnu Qayyim Al-Jawziyah )
SKRIPSI
Oleh :
HERPA EFRIDO SPM.152134
Dosen Pembimbing :
Dr. A.A. MIFTAH, M.Ag ALHUSNI, S.Ag.,M.HI
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI
2019
ii
iii
iv
v
ABSTRAK
Herpa efrido, SPM.152134, Persetujuan Orang Tua Dalam Pernikahan (Studi Komparasi Antara Imam Asy-Syafi‟i Dan Ibnu Qayyim Al-Jawziyah).
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui persetujuan siapa saja yang dianggap sah dalam pernikahan, apakah persetujuan kedua mempelai saja yang menjadi syarat sah pernikahan atau harus adanya persetujuan orang tua atau wali. . Dalam masalah ini, penulis menggunakan studi kepustakaan (library research) dan dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif-analisis. Hasil analisa penulis menunjukkan bahwa Imam Syafi‟i berpendapat persetujuan orang tua dalam pernikahan itu harus ada dan orang tua berhak memaksa anaknya menikah dengan calon pilihannya sedangkan menurut Ibnu Qayyim Al-Jawziyah persetujuan orang tua dalam pernikahan juga harus ada tapi orang tua tidak boleh memaksa anaknya, harus ada pesetujuan dari anak yang akan dinikahkan tersebut. Kata Kunci: Persetujuan, Orang Tua, Pernikahan
viii
MOTTO
هاا قا لاتنكاح تستاأزانا قاالىا يااراسىلا الله واكايفا ازن لا تنكاح البكر حات مارا وا تستاأ ام حات الا أان الاي
اري اه البخا وا (تاسكتا )را
“Seorang janda tidak boleh dinikahi hingga ia dimintai pendapatnya, sedangkan
gadis tidak boleh dinikahkan hingga dimintai izinnya.” Para sahabat bertanya,
“Wahai Rasulullah, seperti apakah izinnya?” beliau menjawab: “Bila ia diam tak
berkata” (H.R. Bukhari).1
1 Hadis Ṣaḥīh al-Bukhāri Nomor 5136. Lihat Abū „Abdillah Muḥammad bin Ismail al-
Bukhāri, Ṣaḥīh al-Bukhāri, Beirut: Dār al-Fikr, 2006, h. 264.
ix
KATA PENGANTAR
يمه ٱلرحمن ٱلله بسم ٱلرحه
Assalamu’alaikum, Wr,Wb.
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang mana dalam
penulisan skripsi ini penulis selalu diberikan kesehatan dan kekuatan, sehingga
dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Di samping itu tidak lupa pula
sholawat serta salam penulis sampaikan pada junjungan nabi Muhammad SAW
yang telah memberi kita petunjuk dari zaman kebodohan hingga ke zaman yang
terang benderang, sebagaimana yang kita rasakan saat ini, yang disinari iman dan
islam.
Dalam penulisan skripsi ini penulis akui tidak sedikit hambatan dan
rintangan yang dilalui namun berkat dukungan dari berbagai pihak akhirnya
skripsi ini dapat diselesaikan. Penulis berharap semoga dapat bermanfaat
khususnya bagi diri penulis dan umumnya bagi seluruh pembaca serta
memberikan kontribusi positif bagi dunia pendidikan, pemerintahan serta
bermanfaat bagi masyarakat, bangsa dan negara.
Selanjutnya penulis ucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada semua
pihak yang turut berkontribusi dalam penyusunan skripsi ini, dan penghargaan
yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat:
x
1. Bapak Prof. Dr. Suaidi Asy‟ari MA.,Ph.D selaku Rektor UIN Sulthan Thaha
Saifuddin Jambi.
2. Bapak Dr. A. A. Miftah, M. Ag selaku Dekan Fakultas Syariah UIN STS
Jambi.
3. Bapak H. Hermanto Harun, lc. M. HI,. Ph.D selaku Wakil Dekan I Fakultas
Syariah bidang Akademik.
4. Ibu Dr. Rahmi Hidayati, M.HI selaku Wakil Dekan II Fakultas Syariah
bidang Administrasi Umum, Keuangan dan Perencanaan.
5. Ibu Dr. Yuliatin, M. HI selaku Wakil Dekan III Fakultas Syariah bidang
Kemahasiswaan dan Kerja Sama.
6. Bapak Al-Husni, S.Ag., M.HI dan Bapak Yudi Armansyah selaku Ketua dan
Sekretaris Jurusan Perbandingan Mazhab Fakultas Sayariah UIN Sulthan
Thaha Saifuddin Jambi
7. Bapak Dr. A. A. Miftah, M. Ag selaku Dosen Pembimbing I yang telah
banyak membantu dalam pembuatan skripsi ini
8. Bapak Al-Husni, S.Ag., M.HI selaku Dosen Pembimbing II yang telah
banyak membantu dalam pembuatan skripsi ini.
9. Bapak-bapak dan ibu-ibu dosen, staf, karyawan/i dilingkungan Fakultas
Syariah UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi yang telah memberikan
pelayanan dan bantuan serta bimbingannya selama perkuliahan.
10. Pimpinan pustaka serta karyawan/i UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
xi
11. Ibunda dan Ayahanda tercinta yang senantiasa mendo‟akan, mendukung serta
memberikan motivasi dalam penulisan skripsi ini, sehingga peneliti dapat
menyelesaikan skripsi ini.
12. Rekan-rekan seperjuangan di Prodi Perbandingan Mazhab dan UIN Sulthan
Thaha Saifuddin Jambi yang ikut serta memberikan perhatian dan
partisipasinya dalam penulisan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak luput dari
kekurangan dan kekeliruan, baik dari segi teknis penulisan analisis maupun dalam
mengagungkan adanya tanggapan dan masukan berupa kritik dan saran dari
semua pihak demi kebaikan skripsi ini. Semoga apa yang diberikan tercatat
sebagai amal jariah disisi Allah SWT, dan mendapat pahala atau ganjaran yang
sepantasnya.
Jambi Oktober 2019 Penulis
Herpa Efrido NIM: SPM.152134
xii
PERSEMBAHAN
يمه ٱلرحمن ٱلله بسم ٱلرحه
Skripsi ini penulis persembahkan khusus untuk ibunda tercinta Suryani
dan ayahanda tersayang Amin Hamidi yang telah bersabar, tulus dan iklhas
membesarkan, membimbing, mendidik hingga dewasa, serta menyekolahkan
ananda sampai keperguruan tinggi ini. Kalianlah kekuatan untukku, yang menjadi
penyemangat di setiap langkah kakiku, yang rela membanting tulang tidak pernah
mengenal kata lelah demi sebuah cita-cita dan masa depan ananda. Tiada kata
yang seindah yang paling bermakna untuk disampaikan kecuali permohonan yang
amat sangat kepada Allah SWT agar mereka diberi balasan yang setimpal atas
segala pengorbanan mereka berikan untuk mendidik anak-anaknya sampai saat
ini.
Skripsi ini juga penulis persembahkan kepada adik tersayang Ardia
Risuana dan Muhammad Raihan Jarjani yang telah memberikan dan
dukungan dan motivasi dalam perjalanan kuliah ini. Terima kasih kepada teman-
teman yang telah banyak membatu saya dalam pembutan karya ilmiah ini, semoga
kita semua menjadi orang-orang yang bermanfaat bagi manusia lainnya. Aamiin.
1
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i
ABSTRAK .............................................................................................................. ii
PERNYATAAN ORISINALITAS SKRIPSI ........................................................ vi
PERSETUJUAN PEMBIMBING ......................................................................... vii
MOTTO................................................................................................................ viii
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ix
PERSEMBAHAN ................................................................................................. xii
DAFTAR ISI ........................................................................................................... 1
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 4
A. Latar Belakang Masalah ......................................................................... 4
B. Rumusan Masalah ................................................................................... 8
C. Batasan Masalah ..................................................................................... 8
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ............................................................ 8
1. Tujuan penelitian ................................................................................. 8
2. Kegunaan Penelitian ............................................................................ 9
E. Kerangka Teori ....................................................................................... 9
F. Tinjauan Pustaka ................................................................................... 13
2
G. Metode Penelitian ................................................................................. 14
1. Pendekatan Penelitian ........................................................................ 14
2. Jenis dan Sifat Penelitian ................................................................... 15
3. Jenis dan Sumber Data ...................................................................... 16
4. Metode Pengumpulan Data ............................................................... 16
5. Metode Analisis Data ........................................................................ 17
H. Sistematika Penulisan ........................................................................... 17
BAB II BIOGRAFI IMAM SYAFI‟I DAN IBNU QAYYIM AL-JAWZIYAH . 19
A. Imam Syafi‟i ......................................................................................... 19
1. Biografi Imam Syafi‟i ........................................................................ 19
2. Perjalanan imam syafi‟i ..................................................................... 20
3. Buku-buku Imam Syafi‟i ................................................................... 24
4. Guru-Guru Imam Syafi‟i ................................................................... 24
B. Ibnu Qayyim al-Jawziyah ..................................................................... 26
1. Biografi Ibnu Qayyim al-Jawziyah ............................................. 26
2. Guru-guru dan Murid-murid Ibnu Qayyim al-Jawziyzah ........... 29
3. Karya-karya Ibnu Qayyim al-Jawziyah ............................................. 31
4. Metode Istinbath Hukum Ibnu Qayyim Al-Jawziyah ....................... 33
BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG PERWALIAN DALAM
PERNIKAHAN ..................................................................................................... 38
3
A. Pernikahan ............................................................................................ 38
B. Rukun Nikah ......................................................................................... 44
C. Syarat Nikah ......................................................................................... 45
D. Perwalian Dalam Pernikahan ............................................................... 46
1. Defenisi Wali ..................................................................................... 46
2. Syarat-syarat Wali ............................................................................. 48
3. Fungsi Wali ....................................................................................... 50
4. Macam-Macam Wali ......................................................................... 51
E. Persetujuan Orang Tua dan Anak ......................................................... 56
BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS PENELITIAN................................ 59
A. Argumentasi Imam Syafi‟i Tentang Persetujuan Orang Tua Dalam
Pernikahan ......................................................................................................... 59
B. Argumentasi Ibnu Qayyim Al-jawziyah Tentang Persetujuan Orang Tua
Dalam Pernikahan ............................................................................................. 64
C. Analisis Perbandingan .......................................................................... 72
BAB V PENUTUP ................................................................................................ 76
A.Kesimpulan ............................................................................................ 76
B. Saran ..................................................................................................... 77
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 79
CURRICULUM VITAE ....................................................................................... 83
4
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pernikahan merupakan ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan
seorang perempuan sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal bersama tuhan yang maha esa2. Para
ulama sepakat bahwa ijab dan qabul merupakan salah satu syarat sah dalam
pernikahan 3. Ijab dan qabul itu terjadi dalam sebuah pernikahan yang lazim
disebut akad.
Pembicaraan akad nikah ini menurut Ibnu Rusyd dalam bukunya Bidayah
al-mujtahid wa Nihayah al-muqtashid meliputi beberapa hal yaitu: Pertama,
Bentuk persetujuan yang menyebabkan sahnya nikah, siapakah yang dianggap sah
persetujuannya? Kedua, Apakah akad nikah itu boleh dilakukan berdasarkan
pilihan atau tidak? Dan ketiga, Apakah keterlambatan penerimaan dari salah satu
pihak dibolehkan, atau harus segera?. Ada juga penomena yang sering terjadi
karena tidak ada persetujuan dari kedua belah baik itu pihak orang tua maupun
mempelai yang akan dinikahkan, sehingga kedua mempelai memutuskan untuk
kawin lari. Mereka mengangkat sembarang orang sebagai walinya, menikah
kemudian pergi jauh dari orang tua atau bahkan menikah tanpa wali dan tidak
mendapatkan izin dari wali yang sah dari kedua mempelai. Lebih parahnya,
2 UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 1 Tentang Perkawinan 3Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, Alih Bahasa Masykur dkk, Cet. VII
(Jakarta:Lentera,2008), hlm. 309.
5
mungkin saja terjadi kawin lari yang diwujudkan dengan kedua mempelai tinggal
bersama dalam satu atap tanpa adanya status pernikahan. Hal ini juga yang
menjadi alasan penulis untuk meneliti tentang persetujuan orang tua dalam
pernikahan.
Bentuk persetujuan dalam pernikahan berupa kata-kata dari pihak laki-laki
dan janda, dan “diam” yakni kerelaan bagi gadis. Sedang untuk penolakan bagi
anak gadis harus dengan kata-kata. Tentang siapa yang persetujuannya yang
dianggap sah dalam pernikahan, meliputi dua golongan. Pertama, persetujuan
kedua belah pihak yang hendak melangsungkan pernikahan, yakni calon suami
dan istri, baik bersama wali atau tidak, bagi fuqaha yang tidak mempersyaratkan
persetujuan wali dan persetujuan wanita yang dapat menguasai dirinya. Kedua,
persetujuan dari wali saja.4
Para ulama berbeda pendapat tentang persetujuan yang dianggap sah dalam
pernikahan terdapat persoalan-persoalan yang disepakati dan persoalan-persoalan
yang masih diperselisihkan. Beberapa perselisihan itu di antaranya sebagai
berikut: Pertama, Mengenai lelaki dewasa, merdeka, dan yang dapat mengurus
dirinya sendiri; fuqaha sepakat bahwa persetujuan dan kerelaan mereka
merupakan salah satu syarat sah pernikahan mereka. Artinya mereka berhak
menikahkan diri sendiri. Kedua, mengenai hak ijbar seorang tuan terhadap hamba
sahaya yang di milikinya, juga orang dewasa yang berada dalam pengampunan,
dalam hal ini fuqaha juga berbeda pendapat apakah mereka boleh dipaksa
menikah oleh tuan maupun pengampunya. Malik dan Ibnu Qayyim al-Jawziyah
4 Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Alih Bahasa Said, Zaidun,
Cet. III (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), II: 399.
6
berpendapat bahwa seorang tuan dapat memaksa hamba sahayanya untuk kawin.
Sedangkan syafi‟i berpendapat, hamba sahaya tidak boleh dipaksa kawin oleh
tuannya.5
Dalam pembahasan persetujuan pernikahan seperti yang sudah disebutkan di
atas, timbul pertanyaan bagaimana sebenarnya fuqaha memposisikan orang tua
dalam hal ini? Apakah persetujuan orang tua dalam pernikahan merupakan syarat
mutlak bagi sahnya nikah? Berangkat dari kegelisahan seperti yang diuraikan
diatas, penulis beranggapan perlu dilakukan sebuah penelitian tentang “
Persetujuan Orang Tua Dalam Pernikahan”
Orang tua dalam pembahasan persetujuan pernikahan biasa disebut hanya
dengan penyebutan “ayah” saja. Sebab, dalam hal perwalian, hanya Imam Abu
Hanifah dan para pengikutnya yang membolehkan wanita berhak menjadi wali,
atau bagi wanita dewasa atau janda berhak atas dirinya sendiri dalam hal
bertindak hukum termasuk menjadi wali untuk dirinya sendiri dalam pernikahan.
Sedangkan Imam malik, Asy-Syafi‟i dan mayoritas ulama mengatakan bahwa
wali itu adalah laki-laki.
Asy-Syafi‟i dan Ibnu Qayyim merupakan dua tokoh ulama yang sangat luas
ilmunya, sangat tajam analisisnya, dan sangat takut pada tuhannya. Sehingga tidak
ada kekhawatiran bagi siapa saja yang bermaksud mengikuti pandangan mereka.
Sebab tidak mungkin mereka berfatwa hanya untuk kepentingan dunia.
Ketertarikan penyusun terhadap Asy-Syafi‟I dan Ibnu Qayyim, memicu hasrat
5 Ibid., hlm. 400
7
untuk meneliti pandangan mereka dalam hal “persetujuan orang tua dalam
pernikahan”.
Asy-Syafi‟i berpandangan bahwa bagi gadis dewasa berakal, maka hak
mengawinkannya ada pada wali6, dan boleh dipaksa untuk dinikahkan.7 Urutan
wali menurut Imam Syafi‟i adalah: Ayah, kakek dari pihak ayah, saudara laki-laki
kandung, saudara laki-laki seayah, anak laki-laki saudara laki-laki, paman
(saudara ayah), anak paman, dan seterusnya dan bila semuanya tidak ada,
perwalian beralih ke tangan hakim.8 Sebaliknya, Ibnu Qayyim al-Jawziyah
melarang para wali baik ayah, atau selainnya menikahkan anak gadis yang sudah
dewasa tanpa mendapat persetujuan dari anak gadisnya terlebih dahulu. Jelas
dapat dipahami bahwa dalam hal ini persetujuan orang tua menurut Ibnu Qayyim
tidak harus ada. Perbedaan pandangan antara Sya-fi‟i dan Ibnu Qayyim dalam hal
ini sangat menarik untuk diteliti.
Dalam penelitian ini hanya difokuskan pada bagaimana kedudukan
persetujuan orang tua dalam pernikahan. Sebab, Syafi‟i dan Ibnu qayyim masing-
masing meletakkan orang tua dalam urutan perwalian pada bagian awal. Apakah
ini dipentingkan, sehingga menjadi suatu syarat mutlak akan sah tidaknya suatu
pernikahan, atau hanya sekedar sunat hukumnya.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penyusun tertarik melakukan
penelitian lebih lanjut terkait persoalan tersebut dalam bentuk karya ilmiah
6 Jawad mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Alih Bahasa Masykur dkk, Cet. VII (Jakarta:
Lentera, 2008), hlm.345. , 7 Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Alih Bahasa Said, Zaidun,
cet. III (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), II:404. 8 Ibid., hlm. 348
8
(Skripsi) dengan judul “Persetujuan Orang Tua Dalam Pernikahan (Studi
Komparasi Atas Pandangan Asy-Syafi’i dan Ibnu Qayyim Al-Jawziyah)”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang masalah di atas, penyusun membuat
beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa argument asy-Syafi‟i dan Ibnu Qayyim al-Jawziyah atas pandangan
mereka tentang persetujuan orang tua dalam pernikahan?
2. Dari dua pandangan ulama tersebut, mana yang lebih maslahah untuk
konteks saat ini?
C. Batasan Masalah
Dalam penelitian ini agar tidak terjadi perluasan pada pokok
pembahasan penulis akan memfokuskan pada hal bagaimana pandangan Asy-
Syafi‟i dan Ibnu Qayyim Al-Jawziyah tentang persetujuan orang tua dalam
pernikahan.
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan penelitian
Tujuan penelitian pada hakikatnya mengungkapkan apa yang dicapai
oleh peneliti. Tujuan penelitian ini adalah:
a. Ingin mengetahui argumen asy-Syafi‟i dan Ibnu Qayyim al-
Jawziyah atas pandangan mereka tentang persetujuan orang tua
dalam pernikahan.
b. Ingin mengetahui Dari dua pandangan ulama tersebut, mana yang
lebih maslahah untuk konteks saat ini.
9
2. Kegunaan Penelitian
a. Mengenalkan konsep berpikir asy-Syafi‟i dan Ibnu Qayyim al-
Jawaziyah yang diharapkan dapat berguna bagi pengembangan
pandangan keislaman.
b. Untuk menambah khazanah keilmuan hukum islam terutama tentang
sejauh mana relevansi pandangan Asy-Syafi‟i dan Ibnu Qayyim al-
Jawziyah bila dikaitkan dengan konsep sekarang.
c. Untuk menambah khazanah keilmuan hukum islam terutama dalam
mencari mana yang lebih maslahah antara pandangan Asy-Syafi‟i
dan Ibnu Qayyim al-Jawziyah pada masa sekarang.
E. Kerangka Teori
Dalam penelitian ini penyusun berusaha memahami dan mengananlisa
persetujuan orang tua dalam pernikahan studi komparasi atas pandangan asy-
Syafi‟i dan Ibnu Qayyim al-Jawziyah dengan menggunakan Teori perbandingan
doktrin hukum. Perbandingan dokrtin hukum adalah pemikiran ahli hukum yang
berkaitan dengan hukum itu sendiri. Perbandingan dokrtin hukum bukanlah
hukum seperti hukum perdata, hukum pidana, hukum tata negara dan sebagainya.9
Melainkan merupakan kegiatan memperbandingkan hukum yang satu dengan
hukum yang lain. Yang dimaksud memperbandingkan disini ialah mencari dan
mensinyalir perbedaan-perbedaan serta persamaan-persamaan dengan memberi
penjelasannya dan bagaiman tujuan hukum dan bagaiman pemecahan yuridisnya
dalam prateknya.
9 Soerjono Soekanto, Perbandingan Hukum, penerbit (Bandung: Melati, 1989), hlm. 131.
10
Jadi memperbandingkan pendapat-pendapat ulama misalnya, bukan sekedar
untuk memahami pendapat-pendapat para ulama tersebut dan mencari perbedaan
dan persamaannya saja, akan tetapi perhatian yang paling mendasar dalam
perbandingan doktrin hukum ialah ditujukan kepada seberapa jauh pendapat-
pendapat ulama tersebut dilaksanakan atau diamalkan di dalam masyarakat.
Tujuan menggunakan perbandingan doktrin hukum diantaranya untuk
mengumpulkan pengetahuan baru dan memperoleh gambaran yang lebih baik
tentang hukum tersebut, karena dengan memperbandingkan pendapat-pendapat
ahli hukum kita bisa melihat masalah-masalah tertentu untuk menyempurnakan
pemecahan dari masalah tersebut.10
Islam memiliki seperangkat peraturan yang mengikat setiap pemeluknya.
Peraturan yang mengikat itu disebut dengan hukum. Hukum menurut ulama ushul
fiqh adalah apa yang dikehendaki oleh syari‟ (pembuat hukum), dalam hal ini
syari‟ adalah Allah.11 Kehendak syari‟ ini dapat digali dari sumber utama
penetapan hukum Islam yang dalam hal ini al-Quran dan Sunnah. Sumber hukum
Islam itu dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
1. Sumber “tekstual” atau sumber tertulis (disebut juga dengan nushus), yaitu
langsung berdasarkan al-Quran dan Sunnah Nabi S.A.W.
2. Sumber “nontekstual” atau sumber tak tertulis (disebut juga ghairu an-
nushus), seperti istihsan dan qiyas. Meskipun sumber hukum kedua ini tidak
langsung mengambil dari teks al-Quran dan sunnah, tetapi pada hakikatnya
digali dari al-Quran dan sunnah.
10 Ibid.,hlm. 132 11 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II, Cet. II, (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 2001),
hlm.1
11
Pemahaman akan kehendak syar‟i yang digali dari sumber-sumber hukum
yang telah disebutkan di atas, tergantung sepenuhnya kepada pemahaman ayat-
ayat hukum dalam al-Quran dan Hadits-hadits hukum yang terdapat dalam
sunnah.12 Sebab itu tidak asing bagi kita bila mendapati fatwa-fatwa atau
kesimpulan hukum oleh para fuqaha dalam kasus dan hukum yang sama, tetapi
fatwa-fatwa atau kesimpulan hukum yang diperoleh berbeda.
Demikian halnya dengan fatwa asy-Syafi‟i dan Ibnu Qayyim al-Jawziyah
tentang “hukum persetujuan dalam pernikahan”. Dengan mengambil dasar dari
sumber tekstual (al-Quran dan Hadits), kemudian digali dengan metode yang
menurut mereka tepat digunakan untuk menemukan hukum yang dikehendaki
syar‟i dari teks al-Quran maupun hadits tersebut usaha penggalian hukum ini,
menurut ulama ushul fiqh disebut istinbath.13
Beberapa metode ijtihad yang lazim digunakan dalam istinbath hukum
Islam adalah: Istihsan, Maslahah mursalah, istishab, „adat atau „urf. Mazhab
shahabi, Syar‟u man Qablana dan sad al-Zaria‟ah.
Kaidah-kaidah tersebut di atas menurut penyusun digunakan oleh asy-
Syafi‟i dan Ibnu Qayyaim al-Jawziyah dalam menggali hukum dari dalil-dalil
tentang persetujuan orang tua dalam pernikahan. Sebab itu, penyusun juga akan
menggunakan kaidah-kaidah atau teori-teori pemahaman lafaz tersebut dengan
segala ketentuannya untuk menganalisa pandangan asy-Syafi‟i dan Ibnu Qayyim
tersebut. Penyusun juga menggunakan metode Maslahah dalam menggali hukum
dari tentang persetujuan orang tua dalam pernikahan ini.
12 Ibid,.hlm.2 13 Ibid,.hlm.3
12
Mushthafa al-Zuhaili membagi maslahah kepada tiga macam ;
1. Maslahah mu‟tabarah, yaitu maslahah yang berupa hukum-hukum syara‟
yang mesti di wujudkan dan dipelihara, bertujuan untuk menjaga maksud
syara‟ seperti kemaslahatan menjaga jiwa, harta dan kehormatan yang di
syariatkan Allah untuk memeliharanya.
2. Maslahah al-Mulghah, yaitu maslahah yang memiliki ketentuan hukum untuk
mengabaikan dan untuk tidak memeliharanya, karena secara zhahir berbentuk
maslahah dan dibaliknya tersembunyi kemudaratan, kerusakan dan
malapetaka bagi agama dan dunia.
3. Maslahah al-Mursalah, yaitu maslahah yang tidak dijelaskan oleh syar‟i, baik
untuk menerima atau menolaknya. Maslahah dalam bentuk ini menjadi ruang
perbedaan pendapat di kalangan ulama, dimana mereka sepakat untuk
mewujudkan berbagai kemaslahatan dan menjadikannya sebagai „illat atau
argumentasi, namun mereka berbeda pendapat dalam menerima atau
menetapkannya sebagai dalil syara‟ yang berdiri sendiri dan apakah ia
merupakan salah satu sumber penetapan hukum syara‟ atau tidak.14
Dari segi kekuatannya maslahah al-Mursalah dibagi ke dalam tiga bagian ;
a. Maslahah al-Dharuriyah, disebut dengan menolak kerusakan, yaitu suatu
maslahah yang menempati posisi dharurah, dalam hal ini hilangnya suatu
maslahah berarti hilang pula sesuatu dari hal-hal yang bersifat dharuriyah
atau keseluruhannya dan ini merupakan puncak maslahah, seperti haramnya
membunuh dan wajibnya qisash.
14 Suhar AM, Metode hukum islam, (Jambi: Salim Media Indonesia, 2015) hlm. 118.
13
b. Maslahah hajiyah, disebut juga mengambil kemaslahatan, yaitu suatu
maslahah yang menempati posisi hajiyah bukan dharurah. Maslahah ini dapat
mewujudkan kemudahan dan menghasilkan yang bermanfaat dan segi
peringkat kekuatannya tidak sama dengan maslahah dharuriyah, seperti
halnya ijarah dan musaqah.
c. Maslahah tahsiniyah dan disebut juga kesempurnaan, yaitu maslahah yang
bukan menempati posisi dharuriyah dan hajiyah, tetapi merupakan bagian
dari hal-hal yang menyangkut dengan kemuliaan ahklak, mengikuti manhaj
yang baik, demikian juga pengharaman berbagai najis.15
F. Tinjauan Pustaka
Setelah peneliti mengadakan suatu kajian kepustakaan peneliti akhirnya
menemukan beberapa karya tulis hasil penelitian yang memiliki bahasan yang
hampir sama dengan yang akan peneliti teliti. Penelitian-penelitian tersebut antara
lain adalah:
1. Tulisan berjudul pandangan Ibnu Qayyim al-Jawziyah tentang persetujuan
anak gadis dalam perkawinan16 oleh Musa Arifin. Dalam tulisannya ia hanya
memaparkan pandangan Ibnu Qayyim al-Jawziyah tentang status hukum
persetujuan anak gadis dalam perkawinan dan tidak mengkomparasikan
dengan pandangan ulama lain secara mendalam.
15 Ibid, hal. 119 16 Musa Ariffin, Pandangan Ibnu Qayyim Al-Jawziyah Tentang Persetujuan Anak Gadis
Dalam Perkawinannya,( Jogjakarta: skripsi, 2005).
14
2. Niswatul Imamah dalam tulisannya Pemikiran Ibnu Taimiyah Tentang Hak
Ijbar Wali Nikah17 menggunakan mashalah sebagai kerangka teori untuk
menelaah pandangan ibnu taimiyah, dan menyimpulkan bahwa laki-laki
maupun perempuan mempunyai hak yang sama dalam penentuan calon
pendamping hidup, artinya tidak ada ijbar wali nikah bagi siapapun dan oleh
siapapun.
3. Rety Bilkis Syam dalam tulisannya Persetujuan Anak Gadis Sebagai Syarat
Sah Perkawinan Dalam Pandangan Ibnu Qayyim al-Jawziyah18 dalam tulisan
ini ia hanya membahas tentang persetujuan anak gadis dalam pernikahan
menurut pandangan Ibnu Qayyim al-Jawziyah dan tidak mengkomparasikan
dengan pandangan ulama lain secara mendalam.
ketiga tinjauan diatas mereka tidak membahas Persetujuan Orang Tua
Dalam Pernikahan dan tidak mengkomparasikan dengan pandangan ulama
lain secara mendalam.
G. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Berdasarkan judul yang ingin diteliti maka jenis penelitian adalah
penelitian kualitatif dengan teknik yuridis normatif.
Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan yang dilakukan berdasarkan
bahan hukum utama dengan cara menelaah teori-teori, konsep-konsep, asas-asas
17 Niswatul Imamah, Pemikiran Ibnu Taimiyah Tentang Hak Ijbar wali nikah,(Jogjakarta:
skripsi, 2003) 18 Rety Bilkis Syam, tulisannya Persetujuan Anak Gadis Sebagai Syarat Sah Perkawinan
Dalam Pandangan Ibnu Qayyim al-Jawziyah, (Cirebon: skripsi, 2017)
15
hukum serta peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penelitian
ini. Pendekatan ini dikenal pula dengan pendekatan kepustakaan, yakni dengan
mempelajari buku-buku, peraturan perundang-undangan dan dokumen lain yang
berhubungan dengan penelitian ini.19
Penelitian deskriptif bertujuan menggambarkan secara sistematik dan akurat
fakta dan karakteristik mengenai populasi atau mengenai bidang tertentu.
Penelitian deskriptif melakukan analisis hanya sampai pada taraf deskripsi, yaitu
menganalisis dan menyajikan fakta secara sistematik sehingga dapat lebih mudah
untuk dipahami dan disimpulkan.20
2. Jenis dan Sifat Penelitian
a. Jenis Penelitian
Dilihat dari jenisnya, penelitian ini termasuk dalam penelitian kepustakaan
(library research). Penelitian kepustakaan (library reserch) adalah pengumpulan
data dan informasi dengan bantuan bermacam-macam materi yang terdapat di
ruang perpustakaan, yaitu tentang data-data tertulis seperti buku, al-Qur‟an, hadis,
dll.
b. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat dekriptif analitis yaitu suatu penelitian yang meliputi
proses pengumpulan data, penyusunan, dan penjelasan atas data. Dalam penelitian
ini akan dijelaskan tentang persetujuan orang tua dalam pernikahan studi
19 Husaini Usman, Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2008), hlm.
129. 20 Ibid, hlm. 5.
16
komparasi Asy-Syafi‟i dan Ibnu Qayyim al-Jawziyah kemudian membandingkan
pemikiran keduanya.
3. Jenis dan Sumber Data
a. Jenis Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif, yaitu
jenis data yang menguraikan beberapa pendapat, konsep, atau teori yang
menggambarkan atau menyajikan masalah yang berkaitan dengan persetujuan
orang tua dalam pernikahan studi komparasi Asy-Syafi‟i dan Ibnu Qayyim al-
Jawziyah.
b. Sumber Data
sumber data adalah tempat sumber dari mana data itu diperoleh. Adapun
sumber dalam penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder, yaitu sebagai berikut:
1) Bahan hukum primer terutama diambil dari Alquran dan Hadis, dan dari
kitab-kitab Mazhab Syafi‟i seperti al umm dan kitab Ibnu Qayyim al-
jawziyah yaitu zaadul maad.
2) Bahan hukum skunder adalah data yang tidak berkaitan langsung dengan
sumbernya yang asli. Dengan demikian data sekunder adalah sebagai
pelengkap. Pada data ini penulis berusaha mencari sumber lain atau karya-
karya yang ada kaitannya dengan masalah yang diteliti.
4. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penulisan proposal skripsi ini dilakukan
dengan cara riset perpustakaan (library research) yaitu riset yang digunakan
17
dengan membaca buku, dan sumber data lainnya yang berhubungan dengan
penelitian ini. Dalam riset perpustakaan ini pengumpulan data yang ditemukan
dari berbagai macam buku yang ada hubungannya dengan hukum islam sesuai
dengan judul penelitian.
5. Metode Analisis Data
Di dalam melakukan penelitian, penulis menggunakan metode komparasi
(perbandingan). Data-data yang terkumpul di analisis dengan cara
membandingkan di antara keduanya. Metode komparatif adalah metode
membandingkan satu pendapat dengan pendapat lain, atau penelitian yang
dilakukan dengan mengkaji beberapa fenomena-fenomena sosial, sehingga
ditemukan beberapa persamaan dan perbedaan pendapat.21
Selain menggunakan metode komparasi, penulis juga menggunakan metode
tarjih (menguatkan atau memberatkan). Metode tarjih dapat didefinisikan sebagai
metode membandingkan dua dalil atau dasar yang bertentangan dan mengambil
yang terkuat di antara keduanya.
H. Sistematika Penulisan
Untuk lebih mudah dalam memahami isi skripsi ini agar tidak memperluas
objek kajian dalam penelitian, maka perlu adanya sistematika penulisan. Skripsi
ini merujuk pada teknik penulisan yang disepakati pada Fakultas Syariah UIN
STS Jambi. Penelitian ini terbagi kepada lima bab, di setiap babnya terdiri dari
sub-sub bab. Masing-masing bab membahas permasalahan-permasalahan
21 Suharsimi Arikunto, prosedur penelitian (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), hlm. 6.
18
tersendiri, tetapi tetap saling berkaitan antara sub bab dengan bab yang
berikutnya. Adapun sistematika penulisannya sebagai berikut:
Bab I, merupakan bab pendahuluan yang mana dalam bab ini memaparkan,
latar belakang masalah, rumusan masalah. Batasan masalah, tujuan dan kegunaan
penelitian, kerangka teori, tinjauan pustaka, dan metode penelitian.
Bab II, Penyusun memaparkan biografi imam asy-Syafi‟i dan Ibnu Qayyim
al-Jawziyah.
Bab III, Penyusun memaparkan tentang gambaran umum tentang perwalian
dalam pernikahan.
Bab IV, pembahasan dan hasil penelitian yaitu memaparkan bagaimana
pandangan dan argumentasi Imam Syafi‟i dan Ibnu Qayyim al-Jawziyah tentang
permasalahan yang diteliti.
Bab V, merupakan penutup, berisikan tentang kesimpulan akhir dari
penelitian dan saran penulis
19
BAB II
BIOGRAFI IMAM SYAFI’I DAN IBNU QAYYIM AL-JAWZIYAH
A. Imam Syafi’i
1. Biografi Imam Syafi’i
Imam syafi‟i lahir di Gaza, Palestina pada tahun 150 H/767 M. Dan
meninggal dunia di Fustat (Cairo), Mesir pada tahun 204 H/ 20 Januari 820 M. Ia
adalah ulama mujtahid (ahli ijtihat) di bidang fiqh dan salah seorang dari empat
imam mazhab yang terkenal dalam islam. Ia hidup dimasa pemerintahan khalifah
Harun al-Rasyid, al-Amin, dan al-Ma,mun dari dinasti abbasiyah.
Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Idris asi-Syafi‟i.
ia sering juga dipanggil dengan nama Abu Abdullah karena salah seorang anaknya
bernama Abdullah. Setelah menjadi ulama besar dan mempunyai banyak
pengikut, ia lebih dikenal dengan nama Syafi‟I dan mazhabnya di sebut Mazhab
Syafi‟i.22
Ayahnya bernama Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi‟i bin Sa‟ib bin
Abid bin Abd Yazid bin Hasyim bin al-Muthalib bin Abd Manaf, sedangkan
ibunya bernama Fatimah binti Abdullah bin al-Hasan bin Husein bin Ali bin Abi
Talib. Dari garis keturunan ayahnya, Imam Syafi‟i bersatu dengan keturunan Nabi
Muhammad SAW pada Abd Manaf, kakek Nabi Muhammad yang ketiga,
sedangkan dari pihak ibunya, ia adalah cicit dari Ali bin Abi Talib. Jadi kedua
orang tuanya berasal dari bangsawan Arab Quraisy. Imam Syafi‟i dilahirkan
22 Saiful Hadi, 125 Ilmuan Muslim Pengukir Sejarah, (Jakarta, Insan Cemerlang, 2007),
Cet. Ke-I; hlm 413.
20
dalam keadaan yatim. Dalam usia 9 tahun dia sudah menghafal seluruh isi al-
Quran dengan lancer.23
2. Perjalanan imam syafi’i
a. Perjalanan Imam Syafi‟i ke Iraq
Saat masih di Madinah, Imam Syafi‟i mengetahui bahwa Imam Abu
Hanifah dulu berada di Iraq. Ketika wafat, beliau telah melahirkan banyak ulama,
diantaranya Imam Abu Yusuf dan Muhammad bun Hasan. Dan Imam Syafi‟i
bertekat untuk bertemu dengannya dan para ulama yang lain.24
Imam Syafi‟i tinggal beberapa waktu Kufah bersama Muhammad bin
Hasan, selama itu, dia sudah menulis banyak buku. Ketika hendak pergi
meninggalkan Iraq, untuk meneruskan petualangannya dalam mengais ilmu,dia
hendak sekali keliling beberapa kota di Iraq dan Persia juga tempat-tempat
lainnya. Sehingga, disampaikanlah keinginan ini kepada Muhammad bin Hasan,
beliau pun setuju. Akhirnya, Imam Syafi‟i di bekali uang 3.00- Dinar, sebagai
bekal perjalanannya.25
b. Perjalanan Menuju Negeri Persia dan Sekitarnya
Imam Syafi‟i berkeliling di Negeri Persia dan sekitarnya, lalu menuju Al-
Harran, dimana dia sempat menginap disana beberapa waktu, lalu melanjutkan ke
Palestina dan menginap di Ramlah (sebelah selatan Baitul Maqdis). Perjalanan ini
memakan waktu tepat dua tahun 182-184 H, dari apa yang dihafal dari ulama
23 Ibid hlm 414 24 M. Hasan Al-jamal, Biografi 10 Imam Besar, ( Kairo-Mesir: Dar-Fadhillah 2003), Cet.
Ke-I; hlm 70 25 Ibid hlm 72
21
ternama, serta wawasan tentang kondisi umat, baik dari sisi ahklak maupun adat,
keilmuan Imam syafi‟i bertambah secara drastis.26
c. Kembali ke Madinah
Pada kondisi Imam Syafi‟i dilapangkan rezekinya, dia sangat rindu untuk
kembali ke Madinah, untuk bertemu Imam Malik, sehingga dia membeli
kendaraan dan langsung pergi menuju Madinah, setelah perjalanan selama 38 hari
dia sampai disana, tepatnya pada waktu Ashar, tahun 184 H. dia langsung menuju
Masjid untuk sholat Ashar, lalu mengikuti pelajaran Imam Malik, ketia beliau
mengetahui bahwa Imam Syafi‟i ada di tengah-tengah muridnya, beliau
memanggilnya lalu memeluknya. Setelah menyelesaikan perjalanan, Imam Malik
mengajak kerumahnya.27
d. Perjalanan ke Yaman
Walaupun Imam Syafi‟i sudah sangat terkenal di Mekkah dan Madinah,
juga di kalangan pelajar yang datang dari seluruh penjuru Negeri Islam, yang aktif
mengikuti pelajarannya dan sangat mencintainya, namun demikian, dia tidak
pernah mengambil upah baik di Madinah maupun di Mekkah.
Lain halnya, dengan di Yaman. Disana mereka mencarikan Imam Syafi‟i
pekerjaan, dimana dia mengambil gaji dari pekerjaan tersebut, pekerjaan ini
berkaitan dengan peradilan, pekerjaan ini sangat sesuai dengan pemahaman,
keahlian dan bidangnya. Disini Imam Syafi‟i benar-benar berbuat maksimal
sehingga mendapat pujian dan ucapan terima kasih dari berbagai pihak, dia pun
26 Ibid hlm 72 27 Ibid hlm 73
22
mulai terkenal di kalangan khalayak ramai. Dia menjalankan tugasnya sesuai
dengan amanat yang di embannya dan sesuai dengan petunjuk agama.28
e. Kembali ke Mekah
Kepulangan Imam Syafi‟i bukan untuk bergabung dengan halaqah yang
ada di Masjidil Haram, tetapi untuk membuat halaqah baru, disini dia mulai
meletakkan pondasi dimana dia telah memiliki kemampuan yang cukup besar
serta ilmu yang memadai untuk melakukan ijtihad.
Halaqah yang dibentuknya di Masjidil Haram, menarik banyak kalangan
ulama, mereka turut mendengar metode-metode baru yang dia terapkan dalam
mengambil hukum, sehingga mengisi akal mereka dedngan keilmuan yang
berbobot.29
f. Perjalanan ke Baghdad
Perjalanan Imam Syafi‟i ke Baghdad kali ini merupakan perjalanan yang
kedua kalinya. Ini terjadi pada tahun 195 H, Imam Syafi‟I memasuki Baghdad
seraya mengumumkan ijtihadnya, dengan berbekal ilmu, argumentasi yang
kuat,serta kemampuan untuk menjelaskan ide-idenya, senjata yang
mengantarkannya mampu berdialog dengan siapa saja dalam As-Sunnah dan fiqh.
Ketika datang ke Baghdad ia menatap di rumah Az-Za‟farani, seorang sastrawan
yang kaya dan memiliki kedekatan dengan para penguasa Iraq.
Imam Syafi‟i mendatangi Masjid Al-jami‟ barat kota Baghdad yang
biasanya di adakan halaqah ilmu, ia menempati salah satu sudut dan memulai
pelajaran dalam bidang ushul fiqh, kaidah serta sumber-sumber fiqh, para ulama
28 Ibid hlm 73-74 29 Ibid hlm 76
23
dan pelajar berbondong datang untuk menimba ilmunya, sementara Imam Syafi‟i
terus menyampaikan madzhabnya dengan dalil dan argumentasi yang kuat dan
akurat, sehingga setiap hari mereka menemukan pemahaman dan informasi baru
tentang Kalamullah, serta hadits Rasullullah SAW, sehingga para ulama mau tak
mau harus mengakui kredebilitas keilmuannya, selanjutnya ia menjadi sangat
popular di mata masyarakat.30
g. Perjalanan ke Mesir
Dalam kepergiannya Imam Syafi‟i di temani oleh murid-muridnya,
diantaranya: Ar-Rabi‟ Al-Mirawi, Abdullah bin Zubair Al-Humaidi dan yang
lainnya. Imam Syafi‟I mulai menyampaikan pelajaran di Masjid Amru bin Al-
Ashsetelah shalat subuh, langsung satu hari setelah kedatangannya. Banyak laki-
laki maupun perempuan hadir secara rutin ke majlis ini. Pada saat itu aturan
tentang etika campur laki-laki dan perempuan belum dikenal. Sehingga
percampuran laki-laki dan perempuan dalam satu majlis tidak menjadi masalah,
karean adanya menjaga diri dari rasa malu.
Pelajaran yang disampaikan Imam Syafi‟i tidak dikhususkan untuk
kalangan tertentu, namun dihadiri oleh para murid dan pelajaran dari berbagai
kalangan, majelis ini diatur berbentuk halaqah (dimana sang guru duduk di tengah
sementara para murid duduk mengelilinginya), sementara Imam Syafi‟I duduk
diatas kursi yang agak tinggi agar bisa melihat semua yang hadir, dan mereka pun
dapat melihat dirinya.31
30 Ibid hlm 78 31 Ibid hkm 81-82
24
3. Buku-buku Imam Syafi’i
Imam Syafi‟i adalah seorang ulama yang tekun dan berbakat dalam
menulis. Karangannya yang sampai kepada kita antara lain:
a. “Ar-Risalah”, suatu kitab yang khusus membahas tentang ushul fiqh dan
merupakan buku pertama yang ditulis ulama dalam bidang ushul fiqh.
b. “Kitab al-Umm”, sebuah kitab fiqh yang komprehensif. “Kitabal-Umm” yang
ada sekarang terdiri atas tujuh jilid dan mencakup isi beberapa kitab Syafi‟i yang
lain seperti “Siyar al-Ausa‟i, Jima‟ al-„Ilm, Ibtal al-Istihsan”, dan “ar-Radd „Ala
Muhammad Ibn Hasan”.
c. “Kitab al-Musnad”, berisi tentang hadits-hadits Nabi SAW yang dihimpun dari
“Kitab al-Umm”. Disana dijelaskan sanad setiap hadits.
d. “Iktilaf al-Hadits”, suatu kitab hadits yang menguraikan pendapat Syafi‟I
mengenai perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam hadits.32
4. Guru-Guru Imam Syafi’i
Imam Syafi‟i mempelajari ilmu-ilmu diantaranya ilmu tafsir, ilmu fiqh dan
ilmu hadits kepada guru-guru yang tempat tinggal Imam Syafi‟i dan gurunya
saling berjauhan dan guru-guru Imam Syafi‟i juga mempunyai metode keilmuan
yang berbeda. Ia memperoleh pelajaran dari guru-gurunya di Mekah, Madinah,
Yaman dan Irak.33
Guru-guru Imam Syafi‟I yang terkenal, diantaranya :
a. Di Mekah
1. Muslim bin Khalid az Zanji.
32 Saiful Hadi, 125 Ilmuan Muslim Pengukir Sejarah, hlm 421-422 33 Muhammad Abu Zahra, Imam Syafi‟i: Biografi dan Pemikirannya Dalam Masalah
Aqidah, Politik dan Fiqh, (Jakarta, Lentera,2005), cet. Ke-2. hlm 70
25
2. Ismail bin Qusthantein.
3. Sopyan bin „Ujainah.
4. Sa‟ad bin Abi Salim al-Qaddah.
5. Daud bin Abdurrahman al „Athar.
6. Abdul Hamid bin Abdul Aziz.
b. Di Madinah
1. Imam Malik bin Anas. (Pembangun Mazhab Maliki).
2. Ibrahim Ibnu Sa‟ad al Anshari.
3. Abdul „Azia bin Muhammad ad Daruri.
4. Ibrahim Ibnu Abi Yahya al Asaami.
5. Muhammad bin Sa‟id.
6. Abdullah bin Nafi‟
c. Di Yaman
1. Mathraf bin Mazin.
2. Hisyam bin Abu Yusuf Qadli Shan‟a.
3. Umar bin Abi Salamah. ( Pembangun Mazhab Auza‟i).
d. Di Irak
1. Waki‟ bin al-Jarrah
2. Abu Usamah Hamad Bin Usamah.
3. Ismail bin „Aliyah
4. Abdul Wahab bin Abdul Majid.34
34 Sirajuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Madzhab Syafi‟I,( Jakarta, Pustaka
Tarbiyah, 2006), hlm 153
26
B. Ibnu Qayyim al-Jawziyah
1. Biografi Ibnu Qayyim al-Jawziyah
Nama lengkap beliau adalah Muhammad bin Abu Bakar bin Ayyub bin
Sa‟d bin Haeiz bin Makki, Zainuddin az-Zura‟I, kemudian ad-Dimasyqi al-
Hanbali. Kunyah beliau adalah Abu Abdillah dan gelarnya Syamsuddin.
Beliau masyhur dengan Ibnu Qoyyim al-Jawziyah. Dimutlakkan padanya
secara ringkas dengan nama Ibnu al-Qayyim, dan tidak benar dimutlakkan
padanya dengan Ibnu Qayyim al-Jawziyah. Sebab pemimpin madrasah al-
Jawziyah di Damaskus adalah ayahnya, Abu Bakar Ibnu Ayyub az-Zura‟i, lalu
keturunan dan anak cucunya setelah itu masyhur dengannya. Kemudian salah satu
dari mereka dipanggil dengan Ibnu Qayyim al-Jawziyah. Sedangkan al-Jauizi
adalah nisbat kepada suatu tempat di Bashrah. Ada yang mengatakan, dinisbatkan
kepada al-jauz (buah kelapa) dan jual belinya.
Ibnu Qayyim al-Jawziyah lahir di Damaskus pada tanggal 7, bulan shafar
tahun 691 H / 4 Februari 1292 M. Dr. Bakar Abu Zaid mengatakan, “kitab-kitab
biografi bersepakat bahwa sejarah kelahirannya pada 691 H. muridnya, ash-
Shafadi menyebutkan kepastian hari dan bulannya, dengan menjelaskan bahwa
kelahirannya pada tanggal 7 bulan Shafar dari tahun tersebut. Pendapatnya ini
diikuti oleh Ibnu Thagri Badri, addawuri, dan as-Suyuti.35
Ibnu Rajab al-Hanbali mengatakan, dia memiliki ibadah dan tahajjud,
shalat panjang hingga mencapai klimaksnya, beribadah, berdzikir, lahap dengan
cinta, inabah (taubat), istighfar, butuh kepada Allah, tunduk kepadanya, dan
35 Syeikh Ahmad Farid, Min A‟lam al-Salaf, alij bahasa Ahmad Syaikhu, Biografi 60
Ulama Ahlussunnah ,(,Jakarta: Darul Haq, 2013), hlm . 921-924.
27
bersimpuh dihadapannya di pintu ubudiyahnya. Dari kecilnya, seperti dilukiskan
oleh Mustofa al-Maragi dalam kitabnya al-Fath al-Mubin, sudah terkenal sebagai
seorang yang sangat tabah dan tekun dalam menghadapi suatu masalah.
Masyarakat pada masanya mengenalnya sebagai seorang alim yang taat, banyak
shalatnya dan sangat gemar membaca al-Quran. Di riwayatkan bahwa selesai
shalat subuh, ia tetap duduk di atas sajadahnya mengerjakan dzikir sampai terbit
matahari. Ia adalah seoarang alim yang rendah hati seperti dicatat oleh syekh al-
Maragi, sangat penyayang sebagai sesama manusia dan mukanya selalu manis di
hadapan sesamanya. Ia pernah berpesan bahwa dengan kesabaran, keteladanan
dan ketinggian dalam agama akan dapat dicapai. Sseorang yang ingin mencapai
ketinggian di jalan Allah Swt hendaklah mempunyai. Cita-cita yang tinggi itu
dapat mengantarkan seorang hamba kepada martabat yang tinggi di sisi-Nya.36
Banyak keahlian syekh pembela salaf ini, di samping sebagai ahli usul
fikih, ushuluddin dan ahli hadits, ia juga terkenal sebagai seorang ahli bahasa
Arab, seorang sastrawan, juru dakwah kenamaan dan bicaranta sangat menarik
dan memukau siapa yang mendengarnya. Ia juga mendalami berbagai cabang ilmu
dari ulama-ulama kenamaan di Damaskus. Bahasa Arab ia dalami dari ahli-ahli
baha Arab kenamaan, seperti Syekh Abu al-Fatih al-Majid at-Tunisi. Di bidang
fikih ia belajar dari Syekh al-Majid al-Harrani. Ilmu faraid ia pelajari dan dalami
dari ayahnya Abu Bakar Ibnu Ayyub dan ilmu ushul fikih ia dalami dari Syekh as-
Safi al-Hindi dan Syekh al-Islam Ibnu Taimiyah.
36 Tim Penulis, Ensiklopedi Islam Indonesia,( Jakarta: Penerbit Djambatan, 1992), hlm.
374.
28
Ia sangat dekat dengan Syekh al-Islam Ibnu Taimiyah dan penganut
pahamnya yang setia. Ia terkenal gigih dalam membela dan menyebarluaskan
pemikiran-pemikiran guru itu. Ibnu Qayyim, sebagaimana gurunya Ibnu
Taimiyah, adalah seorang yang mempunyai keberanian dan kebebasan berpikir,
sehingga ia tidak pernah merasa takut mengemukakan pendapat yang ia yakini.
Dalam menyampaikan kebenaran yang di yakininya itu, tidak kurang cobaan dan
rintangan yang dialaminya dari apa yang dialami oleh gurunya Ibnu Taimiyah.
Bahkan bersama guru yang sangat dikaguminya itu ia pernah diasingkan dan
dipenjarakan.37
Pada dasarnya pemikiran-pemikiran Ibnu Qayyim al-Jawziyah bersifat
pembaharuan. Tak terkecuali dalam bidang tasawuf. Ibnu Qayyim al-Jawziyah
menghendaki agar Tasawuf dikembalikan ke sumber aslinya yaitu al-Quran dan
as-sunnah dan tanpa penyimpangan-penyimpangan. Ajaran-ajaran tasawuf
seharusnya memperkuat syari‟at dengan itu beroleh kesegaran dan penghayatan
hakiki yang tumbuh dari kedalaman batin manusia.38
Gelora pemikiran Ibnu Qayyim al-Jawziyah yang tegas dengan berpegang
kepada al-Quran dan Sunnah Rasul, menolak taklid, menyerang bid‟ah dan
khurafat, dapat dipahami apabila kita melihat situasi dan kondisi masyrakat
dimana Ibnu Qayyim al-Jawziyah hidup. Di timut Hulaghu Khan datang
mengobrak-abrik umat Islam dan dari barat kekuatan-kekuatan yang membentuk
37 Ibid.hlm, 374. 38 M. Laily Mansyur, Ajaran dan Teladan Para Sufi,(Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada,
1996), Cet. I, hlm.222.
29
perang salib, sementara Aqidah dan pemikiran umat Islam dalam keadaan beku
(jamud) dibalut oleh lumpur taklid, khurafat dan bid‟ah.39
Pendapat yang ditimbulkan di zaman disintegrasi bahwa pintu ijtihad telah
ditutup dan diterima secara umum di zaman tersebut. Disamping itu pengaruh
tarekat-tarekat bertambah mendalam dan meluas di dunia Islam. Demikianlah
kehidupan yang melanda orang Islam pada masa itu, penuh dengan bentrokan
fisik dan perpecahan sesame mereka, disebabkan mereka menyimpang dari ajaran
agama.
Keadaan seperti ini membutuhkan terjadinya perubahan dan pembaharuan,
kesempatan seperti ini lah kesempatan seperti inilah yang paling tepat untuk
mengajak dan mengarahkan bangsa kembali kepada ajaran Islam. Kondisi tersebut
mendorong Ibnu Qayyim al-Jawziyah untuk menegakkan dakwah perdamaian,
mempersatukan paham Aqidah dan Fikih, membuang pertikaian sesama orang
Islam serta membuka kembali pintu ijtihad dengan tetap atau selalu berpegang
pada al-Quran dan as-Sunnah.40
2. Guru-guru dan Murid-murid Ibnu Qayyim al-Jawziyzah
Adapun guru-gurunya Ibnu Qayyim al-Jawziyah adalah sebagai berikut:
a. Ayahnya sendiri Abu Bakar bin Ayyub Qayyim al-Jawziyah
b. Ibnu Abd ad-„Daim
c. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
d. Asy-Syihab al-Abir
e. Ibnu Asy-Syirazi
39 Ibid,. hlm.223. 40 Ibid.,hlm.225.
30
f. Al-Majd Al-Harrani
g. Ibnu Maktum
h. Al-Kuhhali
i. Al-Baha‟ bin Asakir
j. Al-Hakim Sulaiman Taqiyudddin Abu Al-Fadl bin Hamzah
k. Syarafuddin bin Taimiyah saudara Syaikhul Islam
l. Al-Mutha‟im
m. Fathimah binti Jauhar
n. Majuddin At-Tunisi
o. Al-Badar bin Jama‟ah
p. Abu Al-Fath Al-Ba‟labaki
q. Ash-Shaf Al-Hindi
r. Az-Zamlakani
s. Ibnu Muflih dan
t. Al-Mizzi.41
Adapun murid-murid Ibnu Qayyim Al-Jawziyah adalah:
a. Al-Burhan bin Al-Qayyim Al-Jauzi, anaknya bernama
Burhanuddin
b. Ibnu Kasir
c. Ibnu Rajab
d. Syarafuddin bin Al-Qayyim, anaknya bernama Abdullah bin
Muhammad
41 Syeikh Ahmad Farid, Min A‟lam al-Salaf, op. cit, hlm.930.
31
e. As-Subki
f. Ali bin Abdulkafi bin Ali bin Tamam As-Subki
g. Adz-Zahabi
h. Ibnu Abdul Hadi
i. An-Nablusi
j. Al-Ghazi dan
k. Al-Fairuz Abadi Al-Muqri.42
3. Karya-karya Ibnu Qayyim al-Jawziyah
Adapun karya-karya Ibnu Qayyim al-Jawziyah diantaranya adalah sebagai
berikut:
a) Ijtima‟ Al-Juyusy Al-Islamiyah „Ala Ghazwil Mu‟athalah wa Al-
Jahmiyah.
b) Ahkam Ahli Adz-Dzimmah.
c) Asma‟ Mu‟allafat Ibnu Taimiyah.
d) I‟lam Al-Muwaqi‟in „an Rabbil „Alamin.
e) Ighatsah Al-Lahfan min Mashayid Asy-Syaithan.
f) Ighatsah Al-Lahfan fi Hukmi thalaq Al-Ghadban.
g) Ar-Ruh.
h) Zad Al-Ma‟ad fi Hadyi Khairil Ibad.
i) Bada‟ai Al-Fawaid.
j) At-Tibyan fi Aqsam Al-Quran.
k) Tuhfah Al-Mahdud fi Ahkam Al-Maulud.
42 Ibid. hlm. 931.
32
l) Tahzib Mukhatashar Sunan Abi Dawud.
m) Hukmu Tarik Ash-Shalah.
n) Ar-Risalah At-Tubukiyah.
o) Ath-Thib An-Nawawi.
p) Al-Furusiyah. Kitab iniadalah ringkasan dari kitabnya Al-furusiyah
Asy-Syar‟iyyah.
q) Al-Fawaid
r) „Iddah Ash-Shabirin wa dakhirah Asy-Syakirin.
s) Jala‟ Al-Ifham fi Shalah wa As-Salam „ala Khairil Anam.
t) Hidayah Al-Hiyari fi Ajwibah Al-Yahud wa An-Nashara. Dan
masih banyak lagi karya-karya beliau yang lainnya.43
Beliau wafat pada malam kamis, 13 Rajab H waktu adzan Isya. Dalam
usia 60 tahun, semoga Allah merahmatinya. Beliau dishalatkan keesokan harinya
setelah shalat Zhuhur di al-Jami‟ al Umawi, kemudian di Jami‟ Jaeeah, dan
manusia berdesak-desakkan untuk melayat jenazahnya.
Ibnu Katsir mengatakan, “Jenazahnya disaksikan oleh penuh manusia,
disaksikan para qadi, para tokoh, dan orang-orang shalih, baik dari kalangan
khusus maupun umum. Orang-orang berdesak-desakan untuk memikul
kerandanya.
Beliau dimakamkan di Damaskus, di pekuburan al-Bab ash-Shaghir di sisi
ibunya semoga Allah merahmati keduanya. Sebagian muridnya menyebutkan
bahwa tidak lama sebelum kematiannya, dia bermimpi melihat Syeikh Taqiyyudin
43 Ibid, hlm. 933-934
33
dan bertanya kepadanya tentang kedudukan para tokoh, kemudian mengatakan,
“Engkau sebentar lagi akan menyusul kami, tetapi engkau sekarang berada pada
tingkatan Ibnu Khuzaimah Wallahu a‟lam.44
4. Metode Istinbath Hukum Ibnu Qayyim Al-Jawziyah
Metode penulisannya memiliki ciri khas menonjol, diantaranya sebagian
tulisan sependapat dengan gurunya, Ibnu Taimiyah, sedangkan sebagian lagi
merupakan pendapat pribadi yang berbeda dari pendapat gurunya.45 Ciri khas ini
secara umum telah menjadi metode yang diikuti oleh para penganut aliran
salafiyah. Beberapa aspek dari penelitian tersebut, yaitu:
a. Menjadikan dalil Al-Quran dan as-Sunnah sebagai landasan pendapat.
b. Mendahulukan pendapat para sahabat dari pada para ulama sesudahnya.
c. Luas dan lengkap
d. Kebebasan memilih pendapat yang paling kuat.
e. Penjelasan panjang tentang perbandingan pendapat.
f. Upaya memahami kelebihan syariat dan hikmah Pensyariatan.
g. Perhatian kepada ilat hukum dan alasan pengambilan dalil.
h. Sensifitas dan kepekaan terhadap perasaan masyarakat.
i. Daya Tarik dalam metode penjelasan.
j. Organisasi dan penyusunan kerangka yang baik.
k. Sangat jelas dalam ketawadhuan, permohonan dan do‟a.46
44 Ibid, hlm. 935. 45 Ibnu Qayyim Al-Jawziyah, Ighasatul Lahfan Min Mahayidisy Syaithan, Alih Bahasa
Hawin Murtdho, Salafuddin Abu Sayyid, (Surakarta: Al-Qowam, cet IV, 2011), hlm. Xii. 46 Ibid, hlm. Xii.
34
Ibnu Qayyim al-Jawziyah berbeda pandangan dengan ulama-ulama
lainnya tentang urutan dasar istinbath hukum. Menurutnya urutan dasar istinbath
hukum seperti dikutip Abdul Fatah Idris dalam bukunya yang berjudul, “Istinbath
Hukum Ibnu Qayyim Studi Kritik terhadap Metode Penetapan hukum Ibnu
Qayyim al-Jawziyah” sebagai berikut.47
1) Nash (Al-Qur‟an dan Sunnah)
Nash yang dimaksud oleh Ibnu Qayyim al-Jawziyah adalah teks-teks al-
Quran dan as-Sunnah. Menurutnya seorang ahli hukum jika menentukan suatu
persoalan yang menghendaki pemecahan hukum, maka pertama-pertama ia harus
mencari jawaban persoalan tersebut kepada nash. Apabila ia mendapatkan nash,
maka wajib menetapkan hukum berdasarkan nash tersebut.48 Untuk memperkuat
pandangan tersebut Ibnu Qayyim al-Jawziyah mengemukan bukti dalam al-Quran
sebagai berikut:
ٱىخشح ى ن ٴۥ أشا أ عى س ٱلله خ إرا قض ؤ ل ؤ ى ب مب
اب أش ج لا ٴۥ فقذ ضوه ضي سعى عص ٱلله
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi
perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan
suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan
mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka
sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (al ahzab ayat 36).49
47 Abdul Fatah Idris, Istinbath Hukum Ibnu Qayyim: Studi Kritik Terhadap Metode
Penetapan Hukum Ibnu Qayyim al-Jawziyah,(Semarang: Pustaka Zaman, 2007), hlm.39. 48Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, I‟lam al-Muwaqi‟in „An Rabb al-„Alamin, ed. In, Panduan
Hukum Islam, (terj: Asep Saefullah FM & Kamaluddi Sa‟diyatulharamain), (Jakarta: Pustaka Azzam, 2000), hlm. 9.
49 Q.S, Al-Ahzab (33): 36.
35
Menurut Ibnu Qayyim al-Jawziyah, ayat tersebut menjelaskan bahwa
seorang mukmin tidak di benarkan mengambil alternative hukum yang lain
sesudah Allah dan Rasulnya untuk menetapkan hukum, dan barangsiapa yang
mengambil alternative lain, maka ia berada dalam kesesatan yang nyata.50
Ibnu Qayyim al-Jawziyah mendahulukan teks-teks Hadis sebagai dasar
atau sumber hukum dari pada Ijma‟, ra‟yu, maupun qiyas. Selanjutnya Ibnu
Qayyim al-Jawziyah menjelaskan posisi as-sunnah terhadap al-Quran yang
menurutnya ada tiga fungsi yakni, As-sunnah menguatkan ketentuan-ketentuan
yang ada dalam al-Quran, As-sunnah menjelaskan al-Quran dan sekaligus tafsir
baginya, dan As-sunnah berdiri sendiri dalam menetapkan hukum.51
2) Fatwa atau Ijma‟ Sahabat
Sahabat adalah orang yang hidup pada masa Rasulullah Saw dan
mengimani serta mengikuti ajaran Rasulullah Saw. Apabila ada fatwa para
sahabat yang diketahui saling bertentangan, seorang mujtahid tidak boleh
mengambil fatwa mereka untuk dijadikan sebagai dasar hukum, sebab fatwa
mereka itu tidak bisa dikatakan ijma' sahabat lagi. Ibnu Qayyim al-Jawziyah
dalam menerapkan hukum selain di atas jarang menggunakan katan ijma‟ sesuai
ungkapan-ungkapannya atau tidak mengetahui sesuatu yang menolaknya.52
3) Usaha Mengkompromikan Pendapat Sahabat yang Saling Bertentangan
Apabila terjadi pertentangan pendapat antara para sahabat, ia memilih
pendapat yang berdalil Al-Quran dan Hadits. Apabila pendapat mereka tidak bisa
dikompromikan, ia tetap mengemukakan pendapat mereka masing-masing tetapi
50 Ibnu Qayyim al-Jawziyah, I‟lam al-Mawaqi‟in, op.cit.,hlm. 10. 51 Ibid, hlm. 10. 52 Abdul Fatah Idris, op. cit. hlm. 42.
36
ia tidak mengambil pendapat sebagai sumber hukum.53 Mayoritas ulama
mengakui fatwa sahabat sebagai dasar dalam menetapkan hukum. Demikian pula
menurutnya, dibolehkan mengambil fatwa yang bersumber dari golongan salaf,
dan fatwa-fatwa para sahabat. Fatwa mereka lebih utama daripada ulama
kontemporer.54 Karena fatwa para sahabat lebih dekat pada kebenaran. Masa
hidup mereka lebih dekat dengan masa hidup rasul. Imam syafi‟I dalam qawl
qadim seperti dikutip al-Baihaqi, mengatakan bahwa semua sahabat berada di atas
kita dalam hal kualitas keilmuan, ijtihad, wara‟, dan intelektualnya. Menurutnya
pendapat mereka lebih mulia dan lebih utama daripada pendapat kita secara
keseluruhan.55 Menurut Ibnu Qayyim al-Jawziyah pandangan tersebut didasarkan
pada firman Allah:
ٱلله سهض غ د ثئ ٱرهجع ٱىهز ٱلصبس جش ٱى هى ٱل ٱىغهجق ن
ل ٱىفص ٱىع ا رى ب أثذا ف ش خيذ ذزب ٱل ر ذ رجش جه أنذه ى ٴ ا ن سض ظ
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari
golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan
baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah
menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya
selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar. (Q.S
At-Taubah:100)56
4) Hadits Mursal dan Hadits Dha‟if
53 Ibid, hlm 43. 54 Ibnu Qayyim al-Jawziyah, I‟lam al-Muwaqi‟in, op. cit.hlm.10. 55 Ibid.,hlm. 10. 56 Q.S, At-Taubah (9): 100.
37
Hadits mursal adalah hadits yang gugur perawi dan sanadnya setelah
tabi‟in. hadits dha‟if, adalah hadits mardud, yaitu hadits yang ditolak atau tidak
dapat dijadikan hujjah atau dalil dalam menetapkan suatu hukum. Kata al-dha‟if,
secara bahasa adalah lawan dari al-qawiy, yang berarti lemah.57
5) Qiyas dalam Keadaan Darurat
Ketika tidak ditemukan pada nas, hadits atau salah satu diantaranya dan
juga tidak ditemukan dalam atsar, hadits dha‟if dan hadits mursal maka, sumber
kelima yang dipakai Qiyas ketika dalam keadaan darurat.58
Pada firman Allah dijelaskan bahwa Allah mengqiyaskan hidup setelah
mati kepada terjaga (bangun) setelah tidur, dan membuat beberapa perumpamaan,
serta menerapkannya beraneka ragam. Semua itu adalah qiyas aqli, dimana Allah
ingin mewujudkan bahwa hukum sesuatu dapat diterapkan kepada kasus lain yang
serupa.59
57 Abu Al Maira, Mustalahul Hadits,( Jakarta: Darul Suudiyah, 1998), hlm. 12. 58 Ibnu Qayyim al-Jawziyah, I‟lam al-Muwaqi‟in, op. cit.hlm. 26. 59 Ibid.,hlm. 27.
38
BAB III
GAMBARAN UMUM TENTANG PERWALIAN DALAM PERNIKAHAN
A. Pernikahan
1. Pengertian, Tujuan dan Dasar Hukum Pernikahan
Perkawinan atau pernikahan dalam fikih berbahasa Arab disebut dengan
dua kata, yaitu nikah dan zawaj. Menurut fiqih, nikah adalah salah satu asas
pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna.
Pendapat-pendapat tentang pengertian perkawinan antara lain adalah:
a. Menurut Hanabilah: nikah adalah akad yang menggunakan lafaz nikah yang
bermakna tajwiz dengan maksud mengambil manfaat untuk bersenang-senang.60
b. Menurut Sajuti Thalib: pernikahan adalah suatu perjanjian yang kuat dan kokoh
untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun menyantuni, kasih-
mengasihi, tentram dan bahagia.61
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Perkawinan adalah ikatan
lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karena itu pengertian perkawinan dalam ajaran
Islam mempunyai nilai ibadah, sehingga Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam
60 Abdurrahman Al-Jaziri, 1986. Kitab „ala Mazahib al-Arba‟ah. Beirut Libanon: Dar
Ihya al-Turas al-Arabi. hlm. 3 61 Moh. Idris Ramulyo, 1996. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. hlm. 2
39
menegaskan bahwa perkawinan adalah akad yang sangat kuat untuk menaati
perintah Allah, dan melaksanakannya merupakan ibadah.62
Ahmad Azhar Basyir menyatakan bahwa tujuan perkawinan dalam Islam
adalah untuk memenuhi tuntutan naluri hidup manusia, berhubungan dengan laki-
laki dan perempuan, dalam rangka mewujudkan kebahagiaan keluarga sesuai
ajaran Allah dan Rasul-Nya.63 Tujuan pernikahan dalam Pasal 3 Kompilasi
Hukum Islam yaitu untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah, dan rahmah (keluarga yang tentram penuh kasih sayang). Tujuan-
tujuan tersebut tidak selamanya dapat terwujud sesuai harapan, adakalanya dalam
kehidupan rumah tagga terjadi salah paham, perselisihan, pertengkaran, yang
berkepanjangan sehingga memicu putusnya hubungan antara suami istri. Penipuan
yang dilakukan salah satu pihak sebelum perkawinan dilangsungkan dan di
kemudian hari setelah pernikahan dilangsungkan diketahui oleh pihak lain dapat
dijadikan alasan untuk mengajukan pembatalan perkawinan atau pernikahan.
Dasar Hukum Perkawinan:
a. Dalil Al-Quran Allah SWT berfirman dalam surat An-Nisa Ayat 3 dan Al
A‟raaf ayat 189 sebagai berikut:
ع ث سث ثي غبء ث ٱى ة ىن ا ب طب ذ ن فٱ ز ٱى ا ف أله رقغط خفز إ خفز فئ
ا أله رعى ل أد رى ن ذ أ ب ين دذح أ ا ف أله رعذى
62 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,2007), hlm.
7 63 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam,( Yogyakarta: UI Pres,2000) hlm. 86
40
“Dan jika kamu tidak akan berlaku adil terhadap anak yatim, maka kawinilah
perempuan-perempuan lain yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat dan jika
kamu takut tidak akan berlaku adil, cukup satu orang”.
ذ دي ب هب رغشهى ب في إى غن جب ى ب ص جعو دذح ظ هف خيقن ٱىهز ل د
ه ن ذاب ىه زب صي ءار ب ىئ سثه ا ٱلله ذ دهن هب أثقي ٴ ۦ في د ث خففاب فشه ٱىشهنش
“Dialah yang menciptakan kamu dari suatu zat dan dari padanya dia
menciptakan isterinya agar dia merasa senang”.
Sehingga pernikahan adalah menciptakan kehidupan keluarga antar suami
isteri dan anak-anak serta orang tua agar tercapai suatu kehidupan yang aman dan
tentram (sakinah), pergaulan yang saling mencintai (mawaddah), dan saling
menyantuni (rahmah).
b. Dalil As-Sunnah
Dari H.R. Bukhari Muslim diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas‟ud r.a
dari Rasulullah yang bersabda:
“Wahai para pemuda, barangsiapa diantara kalian memiliki kemampuan, maka
nikahilah, karena itu dapat lebih baik menahan pandangan dan menjaga
kehormatan. Dan siapa yang tidak memiliki kemampuan itu, hendaklah ia selalu
berpuasa, sebab puasa itu merupakan kendali baginya.”
Pada dasarnya hukum menikah itu adalah jaiz (boleh) namun karena
berbagai situasi dan kondisi hukum menikah terbagi menjadi 4 macam, yaitu:
a. Wajib bagi yang sudah mampu, nafsunya sudah mendesak dan takut terjerumus
pada perzinahan, serta sudah punya calon untuk dinikahi.
41
b. Sunnah bagi orang yang nafsunya sudah mendesak dan mampu menikah tetapi
masih mampu menahan dirinya dari berbuat zina, hukum menikah baginya adalah
sunnah.
c. Haram bagi seseorang yang yakin tidak akan mampu memenuhi nafkah lahir
dan batin pasangannya, atau kalau menikah akan membahayakan pasangannya,
dan nafsunya pun masih bisa dikendalikan, maka hukumnya haram untuk
menikah.
d. Makruh bagi seseorang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan lahir batin,
namun isterinya mau menerima kenyataan tersebut, maka hukum perkawinannya
adalah makruh.
2. Pencegahan Pernikahan
Pencegahan pernikahan adalah usaha untuk membatalkan pernikahan
sebelum pernikahan itu berlangsung. Perncegahan pernikahan itu dapat dilakukan
apabila calon suami atau calon istri yang akan melangsungkan perkawinan
berdasarkan hukum Islam yang termuat dalam Pasal 13 Undang-Undang
Perkawinan, yaitu perkawinan dapat dicegah apabila ada pihak yang tidak
memenuhi syarat-syarat melangsungkan perkawinan.64 Peraturan Nomor 9 Tahun
1975 tidak mengatur lebih lanjut mengenai pencegahan perkawinan ini. Tidak
diaturnya mengenai pencegahan perkawinan dalam peraturan pelaksanaan, agak
64 Zainuddin Ali, 2007, Hukum Perdata Islam…, Loc.Cit., hlm. 33.
42
mengherankan, mungkin pembuat peraturan pelaksanaan menganggap sudah
cukup apa yang diatur di dalam undang-undang.65
Tujuan pencegahan perkawinan atau pernikahan adalah untuk menghindari
suatu perkawinan yang dilarang hukum agamanya dan kepercayaannya serta
perundang-undangan yang berlaku. Pencegahan perkawinan dapat dilakukan
apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan
perkawinan. Selain itu pencegahan perkawinan dapat pula dilakukan apabila salah
seorang dari calon mempelai berada di bawah pengampuan, sehingga dengan
perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon
mempelai lainnya.66 Dalam Pasal 14 sampai 16 Undang-Undang Perkawinan
dinyatakan siapa-siapa yang berhak mengajukan pencegahan perkawinan, yaitu:
a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari salah
seorang calon mempelai.
b. Saudara dari salah seorang calon mempelai.
c. Wali nikah dari salah seorang calon mempelai.
d. Wali dari salah seorang calon mempelai.
e. Pengampu dari salah seorang calon mempelai.
f. Pihak-pihak yang berkepentingan.
65 K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Ghalia,2006) hlm. 29.
66 Rahmadi Usman, 2006, Aspek-aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 282.
43
g. Suami atau istri dari salah seorang calon mempelai.
h. Pejabat yang ditunjuk, yang akan diatur lebih lanjut dalam peraturan
perundang-undangan.
Pencegahan perkawinan yang dapat dilakukan pegawai pencatat
perkawinan berkenaan dengan pelanggaran: calon mempelari belum cukup umur
(19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita), terkena larangan melangsungkan
perkawinan, terikat tali perkawinan dengan orang lain, dan tidak memenuhi tata
cara pelaksanaan perkawinan yang diatur dalam hukum.
Dalam KHI juga dijelaskan yang bisa mencegah atau membatalkan perkawinan sebagaiman dijelaskan dalam KHI Pasal 62: (1) Yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis keturunan
lurus ke atas dan lurus ke bawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah
seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang bersangkutan.
(2) Ayah kandung yang tidak penah melaksanakan fungsinya sebagai kepala
keluarga tidak gugur hak kewaliannya unuk mencegah perkawinan yang akan
dilakukan oleh wali nikah yang lain.67
3. Rukun dan Syarat Perkawinan
Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang
menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua
kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan
sesuatu yang harus diadakan. Dalam suatu acara perkawinan rukun dan syaratnya
67 Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam (Bandung: Citra Umbara,2007)
44
tidak boleh tertinggal. Dalam arti perkawinan tidak sah bila keduanya tidak ada
atau tidak lengkap. Keduanya mengandung arti yang berbeda dari segi bahwa
rukun itu adalah sesuatu yang berada di dalam hakikat dan merupakan bagian atau
unsur yang mewujudkannya. Sedangkan syarat adalah sesuatu yang berada di
luarnya dan tidak merupakan unsurnya. Syarat itu ada yang berkaitan dengan
rukun dalam arti syarat yang berlaku untuk setiap unsur yang menjadi rukun. Ada
pula syarat itu berdiri sendiri dalam arti tidak merupakan kriteria dari unsur-unsur
rukun.68
B. Rukun Nikah
Rukun nikah adalah sebagai berikut:
1) Adanya calon suami dan istri yang tidak terhalang dan terlarang secara syar‟i
untuk menikah.
2) Adanya ijab, yaitu lafadz yang diucapkan oleh wali atau yang menggantikan
posisi wali.
3) Adanya qabul, yaitu lafadz yang diucapkan oleh suami atau yang mewakilinya.
4) Wali adalah pengasuh pengantin perempuan pada waktu menikah atau orang
yang melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki.
5) Dua orang saksi, adalah orang yang menyaksikan sah atau tidaknya suatu
pernikahan. Hadits Jabir bin Abdullah Radhiyallahu Anhuma:
68 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan,( Jakarta: Kencana,2009) hlm. 59
45
Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali dan dua saksi yang adil. (HR. Al-
Khamsah kecuali An-Nasa`i).
C. Syarat Nikah
Adapun syarat yang harus dipenuhi oleh kedua mempelai tersebut
adalah:69
1) Syarat bagi calon mempelai pria antara lain beragama Islam, laki laki, jelas
orangnya, cakap bertindak hukum untuk hidup berumah tangga, tidak terdapat
halangan perkawinan.
2) Bagi calon mempelai wanita antara lain beragama Islam, perempuan, jelas
orangnya, dapat dimintai persetujuan, tidak terdapat halangan perkawinan.
3) Bagi wali dari calon mempelai wanita antara lain: laki-laki, beragama Islam,
mempunyai hak perwaliannya, tidak terdapat halangan untuk menjadi wali.
4) Syarat saksi nikah antara lain minimal dua orang saksi, menghadiri ijab qabul,
dapat mengerti maksud akad, beragama Islam dan dewasa.
5) Syarat-syarat ijab qabul yaitu:
a) Adanya pernyataan mengawinkan dari wali;
b) Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai pria;
c) Memakai kata-kata nikah atau semacamnya;
d) Antara ijab dan qabul bersambungan;
e) Antara ijab dan qabul jelas maksudnya;
f) Orang yang terkait dengan ijab tidak sedang melaksanakan ikhram haji atau
umrah;
69 Zainuddin Ali, 2007, Hukum Perdata … .op.cit., hlm.12
46
g) Majelis ijab dan qabul itu harus dihadiri oleh minimal empat orang, yaitu calon
mempelai pria atau yang mewakilinya, wali mempelai wanita atau yang
mewakilinya, dan dua orang saksi.
Sesudah pelaksanaan akad nikah, kedua mempelai menandatangani akta
perkawinan yang telah disiapkan oleh pegawai pencatat nikah berdasarkan
ketentuan yang berlaku, diteruskan kepada kedua saksi dan wali. Dengan
penandatanganan akta nikah dimaksud, perkawinan telah dicatat secara resmi dan
mempunyai kekuatan hukum. Akad nikah yang demikian disebut sah atau tidak
sah dapat dibatalkan oleh pihak lain.
D. Perwalian Dalam Pernikahan
1. Defenisi Wali
Perwalian dalam arti umum yaitu “segala sesuatu yang berhubungan
dengan wali”. Dalam kamus Bahasa Indonesia, kata wali mempunyai banyak
makna antara lain:
a. Orang (menurut Islam) yang diserahi kewajiban mengurus anak yatim
serta hartanya sebelum anak itu dewasa;
b. Pengasuh pengantin perempuan pada waktu dinikahi seorang laki-laki;
c. Orang suci, penyebar agama;
d. Orang yang menjadi “wakil” Allah dalam menyebarkan agama Islam.70
Menurut bahasa Arab, berarti yang menolong, yang mencintai. Perwalian
berarti an-nusrah (pertolongan) atau mahabah (kecintaan).71 Pengertian ini dapat
dilihat pada firman Allah SWT dalam Al-Quran:
70 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Tim Prima Pena(ttp: Gitamedia Press, t.t), hlm 795.
47
ا ءا ٱىهز ٴۥ عى س هه ٱلله ز ٱىغيج ة ٱلله دض ه فئ
Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman
menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang
pasti menang.72
Perwalian juga berarti kekuasaan atau otoritas seperti dalam ungkapan al-
wali, yaitu orang yang mempunyai kekuasaan. Hakikat dari al-walayah (al-
wilayah) adalah “tawalliy al-amr” (mengurus atau menguasai sesuatu).73
Dalam istilah, fuqaha memiliki makna kemampuan untuk langsung
bertindak dengan tanpa bergantung pada izin seseorang, orang yang melaksanakan
akad ini dinamakan wali. Termasuk diantaranya adalah firman-Nya,
ه ٴۥ ثٱىعذ يو ى في
Artinya: “maka hendaklah walinya mendiktekannya dengan benar.”74
Atas dasar pengertian semantik kata wali di atas, dapatlah dipahami
dengan mudah mengapa hukum Islam menetapkan bahwa orang yang paling
berhak untuk menjadi wali bagi kepentingan anaknya adalah ayah. Alasannya,
karena ayah adalah tentu orang yang paling dekat, siap menolong, bahkan yang
selama itu mengasuh dan membiayai anak-anaknya. Jika tidak ada ayahnya
barulah hak perwaliannya digantikan oleh keluarga dekat lainnya dari pihak ayah
dan seterusnya.75
71 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam(Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,
cet ke-4,1997), jilid v: 171. 72Q.S Al-Maidah (5): 56. 73 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam(Jakarta: Raja
Grafindo, 2005), hlm. 134. 74 Q.S Al-Baqarah (2): 282. 75 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia islam(Jakarta: Raja
Grafindo, 2005), hlm. 135.
48
Dapat disimpulkan bahwa wali dalam pernikahan itu adalah seseorang
yang bertindak atas nama perempuan dalam suatu akad nikah. Akad nikah
dilakukan oleh dua pihak, yaitu pihak laki-laki yang dilakukan oleh mempelai
laki-laki itu sendiri dan pihak perempuan yang dilakukan oleh walinya.
2. Syarat-syarat Wali
Wali dalam pernikahan diperlukan dan tidak sah suatu pernikahan yang
dilakukan tanpa adanya wali.oleh karena itu maka seorang wali haruslah
memenuhi syarat-syarat sebagai wali. Syarat-syarat tersebut adalah :
a. Islam (orang kafir tidak sah menjadi wali)
b. Baligh (anak-anak tidak sah menjadi wali)
c. Berakal (orang gila tidak sah menjadi wali)
d. Laki-laki (perempuan tidak sah menjadi wali)
e. Adil
f. Tidak sedang ihrom atau umroh.76
Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqih Sunnah mengemukakan beberapa
persyaratan wali nikah sebagai berikut : Syarat-syarat wali ialah merdeka, berakal
sehat dan dewasa. Budak, orang gila dan anak kecil tidak dapat menjadi wali,
karena orang-orang tersebut tidak berhak mewalikan dirinya sendiri apalagi
terhadap orang lain. Syarat keempat untuk menjadi wali ialah beragama Islam,
maka yang bukan Islam tidak boleh menjadi walinya orang Islam.77 Allah
berfirman:
76 Ibid, hlm. 136. 77 Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, (Beirut : Dar al Fikr, 1968), hlm. 261.
49
مب إ هعن ن ا أى قبى ٱلله فزخ ىن مب فئ ثن زشثهص ٱىهز
غز ا أى ت قبى ص ىينفش ن ث ذن فٱلله ؤ ٱى عن ن ر ني ذ
ل عج ؤ ٱى ني ىينفش جعو ٱلله خ ى ٱىق
Artinya: (yaitu) orang-orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan
terjadi pada dirimu (hai orang-orang mukmin). Maka jika terjadi bagimu
kemenangan dari Allah mereka berkata: "Bukankah kami (turut berperang)
beserta kamu?" Dan jika orang-orang kafir mendapat keberuntungan
(kemenangan) mereka berkata: "Bukankah kami turut memenangkanmu, dan
membela kamu dari orang-orang mukmin?" Maka Allah akan memberi keputusan
di antara kamu di hari kiamat dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan
kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.78
Dari pendapat di atas, dapat diambil kesimpulan persyaratan untuk
menjadi wali secara umum adalah :
1. Islam
Orang yang bertindak sebagai wali bagi orang Islam haruslah beragama Islam
pula sebab orang yang bukan beragama Islam tidak boleh menjadi wali bagi orang
Islam. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surah An nisa ayat 141.
2. Baligh
Anak-anak tidak sah menjadi wali, karena kedewasaan menjadi ukuran terhadap
kemampuan berpikir dan bertimdak secara sadar dan baik.
3. Laki-laki
78Q.S An Nisa‟ (4): 141.
50
Seorang wanita tidak boleh menjadi wali untuk wanita lain ataupun menikahkan
dirinya sendiri. Apabila terjadi perkawinan yang diwalikan oleh wanita sendiri,
maka pernikahannya tidak sah.
4. Berakal
Sebagaimana diketahui bahwa orang yang menjadi wali harus bertanggung jawab,
karena itu seorang wali haruslah orang yang berakal sehat. Orang yang sehat
akalnya atau gila atau juga orang yang berpenyakit ayan tidak dapat memenuhi
syarat untuk menjadi wali.79
5. Adil
Adil, maksudnya adalah tidak bermaksiat, tidak fasik, orang baik-baik orang
shaleh, orang yang tidak membiasakan diri berbuat munkar.80 Ada pendapat yang
mengatakan bahwa adil diartikan dengan cerdas. Adapun yang dimaksud cerdas
disini adalah dapat atau mampu menggunakan akal pikirannya dengan sebaik-
baiknya atau seadil-adilnya. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW: Artinya:
“Dari Imran Ibn Husen dari Nabi SAW bersabda: “Tidak sah pernikahan kecuali
dengan wali dan dua orang saksi yang adil” (HR.Ahmad Ibn Hanbal).
Berdasarkan hadis di atas, maka seseorang yang tidak cerdas dan tidak mampu
berbuat adil tidak boleh dijadikan wali dalam pernikahan.
3. Fungsi Wali
Dalam Islam ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, khususnya
pada masalah perkawinan. Seorang laki-laki jika telah dewasa dan aqil (berakal),
maka ia berhak untuk melakukan akad nikahnya sendiri. Hal ini berbeda dengan
79 Ibid. hlm. 120. 80 Zakiah Drajat, Ilmu Fiqih, (Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1995), jilid. 2, hlm. 82.
51
wanita, walaupun ia dimintakan persetujuannya oleh walinya. Tetapi tidak
diperkenankan untuk melakukan akad nikahnya sendiri. Suatu perkawinan sangat
mungkin menjadi titik tolak berubahnya hidup dan kehidupan seseorang. Dengan
adanya anggapan bahwa wanita (dalam bertindak) lebih sering mendahulukan
perasaan daripada pemikirannya, maka dikhawatirkan ia dapat melakukan sesuatu
yang menimbulkan kehinaan pada dirinya yang hal itu juga akan menimpa
walinya. Di samping itu pada prakteknya di masyarakat, pihak perempuanlah
yang mengucapkan qabul (penerimaan). Karena wanita itu pada umumnya
(fitrahnya) adalah pemalu, maka pengucapan ijab itu perlu diwakilkan kepada
walinya.81 Hal ini berarti bahwa fungsi wali dalam pernikahan adalah untuk
menjadi wakil dari pihak perempuan untuk mengucapkan ijab dalam akad
nikahnya.
4. Macam-Macam Wali
Wali dalam pernikahan secara umum ada 3 macam, yaitu wali nasab, wali
hakim dan adhal, di bawah ini akan diuraikan lebih lanjut mengenai ke-3 macam
wali tersebut.
a. Wali nasab
Wali nasab adalah orang-orang yang terdiri dari keluarga calon mempelai
wanita dan berhak menjadi wali. Wali nasab urutannya adalah:
1. Ayah, kakek (bapak dari ayah) dan seterusnya ke atas.
2. Saudara laki-laki kandung (seibu seayah).
3. Saudara laki-laki seayah.
81 M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Cet. Ke-2 (Jakarta: Bumi aksara,1999),
hlm.30
52
4. Anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung.
5. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah seterusnya ke bawah.
6. Paman (saudara dari ayah) kandung.
7. Paman (saudara dari ayah) seayah.
8. Anak laki-laki paman kandung.
9. Anak laki-laki paman seayah dan seterusnya ke bawah.
Urutan diatas harus dilaksanakan secara tertib, artinya yang berhak
menjadi wali adalah ayah, apabila ayah telah meninggal atau tidak memenuhi
persyaratan, maka wali berpindah kepada kakek dan bila kakek telah meninggal
atau kurang memenuhi syarat yang telah ditentukan, maka wali jatuh kepada
ayahnya kakek dan seterusnya ke atas sampai urutan yang terakhir.
Ada beberapa hal yang menjadikan perwalian yang lebih dekat itu dapat
diganti oleh wali yang lebih jauh, yaitu: Wali yang lebih berhak tidak ada, belum
baligh, menderita sakit gila, pikun karena tua, bisu tidak bisa diterima isyaratnya,
tidak beragama Islam sedangkan wanita itu beragama Islam. Jika wali yang lebih
berhak tidak ada, maka wali yang menggantikannya adalah wali yang lebih jauh
dengan memperhatikan urutan seperti yang tercantum dalam kutipan tersebut. Bila
terjadi di luar ketentuan tersebut, maka wali nikah akan jatuh kepada wali yang
lain, yaitu sultan atau hakim. Wali nasab terbagi dua. Pertama, wali nasab yang
berhak memaksa menentukan pernikahan dan dengan siapa seorang perempuan itu
meski nikah. Wali nasab yang berhak memaksa ini disebut mujbir. Wali mujbir
yang mempunyai hak untuk menikahkan anak perempuannya dengan tidak harus
53
meminta izin terlebih dahulu kepada anak perempuannya harus memenuhi
beberapa persyaratan, yaitu:
a. Tidak ada permusuhan antara wali mujbir dengan anak gadis tersebut.
b. Sekufu‟ antara perempuan dengan laki-laki calon suaminya.
c. Calon suami itu mampu membayar mas kawin.
d. Calon suami tidak bercacat yang membahayakan pergaulan dengan
dia, seperti orang buta.
Dengan demikian dapatlah diambil suatu pengertian bahwa pernikahan
dikatakan sah bila wali mempelai perempuan adalah wali mujbir, dengan
ketentuan harus dapat memenuhi persyaratan yangtelah ditentukan. Akan tetapi
bila salah satu persyaratan diatas tidak terpenuhi maka anak perempuan itu
dimintai izin terlebih dahulu sebelum dinikahkan. Kedua, wali nasab yang tidak
mempunyai hak kekuasaan memaksa atau wali nasab biasa, yaitu saudara laki-laki
kandung atau seayah. Paman yaitu saudara laki-laki kandung atau seayah dari
ayah dan seterusnya anggota keluarga laki-laki menurut garis keturunan
patrilineal.
b. Wali Hakim
Wali hakim adalah orang yang diangkat oleh pemerintah untuk bertindak
sebagai wali dalam suatu pernikahan. Wali hakim dapat menggantikan wali nasab
apabila:
1. Calon mempelai wanita tidak mempunyai wali nasab sama sekali.
2. Walinya mafqud, artinya tidak tentu keadaannya.
54
3. Wali sendiri yang akan menjadi mempelai pria, sedang wali yang
sederajat dengan dia tidak ada.
4. Wali berada ditempat yang jaraknya sejauh masaful qasri (sejauh
perjalanan yang membolehkan shalat qashar) yaitu 92,5 km.
5. Wali berada dalam penjara atau tahanan yang tidak boleh dijumpai.
6. Wali sedang melakukan obadah haji atau umroh.
7. Anak zina (dia hanya bernasab dengan ibunya).
8. Walinya gila atau fasik.82
Apabila terjadi hal-hal seperti di atas, maka wali hakim berhak untuk
menggantikan wali nasab. Kecuali apabila wali nasabnya telah mewakilkan
kepada orang lain untuk bertindak sebagai wali sehingga orang lain yang
diberikan kekuasaan untuk mewakilkan wali nasabnya berhak menjadi wali.
Sesuai dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 2 tahun 1987, yang ditunjuk oleh
Menteri Agama sebagai wali hakim adalah KUA kecamatan.
c. Wali Muhakkam (Wali Tahkim)
Wali muhakkam adalah seseorang yang diangkat oleh kedua calon suamu-
istri untuk bertindak sebagai wali dalam akad nikah mereka. Orang yang bisa
diangkat sebagai wali muhakkam adalah orang lain yang terpandang, disegani,
luas ilmu fiqihnya terutama tentang munakahat, berpandangan luas, adil, Islam
dan laki-laki. Apabila suatu pernikahan yang seharusnya dilaksanakan dengan
wali hakim, padahal ditempat itu tidak ada wali hakimnya, maka pernikahan
dilangsungkan dengan wali muhakkam. Caranya ialah kedua calon suami-istri
82 A. Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan, Cet ke-1 (Bandung : Al-
Bayan,1994), hlm. 62.
55
mengangkat seorang yang mempunyai pengertian tentang hukum-hukum untuk
menjadi wali dalam pernikahan mereka.
Dalam masalah keberadaan wali dalam akad nikah, adakalanya orang yang
berhak menjadi wali itu bersikap enggan (al-adl) untuk menikahkan wanita yang
berada di bawah perwaliannya karena beberapa alasan.
Wali al-adl adalah wali yang enggan menikahkan wanita yang telah baligh
dan berakal dengan seorang lelaki pilihannya, sedangkan masing-masing pihak
menginginkan pernikahan itu dilangsungkan. Ulama Fiqh sepakat menyatakan
bahwa apabila seorang wanita yang telah baligh dan berakal meminta walinya
untuk mengawinkannya dengan lelaki pilihannya yang sepadan, maka wali
tersebut tidak boleh menolak permintaan itu. diriwayatkan bahwa Ma'qil bin
Yasar mengawinkan saudara perempuannya dengan seorang laki-laki, kemudian
mereka bercerai. Ketika iddah adik perempuannya itu habis, bekas suaminya
datang kembali melamar adiknya. Lalu Ma'qil bin Yasar mengatakan : "Dahulu
saya telah kawinkan engkau dengan dia, saya hormati engkau, tetapi kemudian
engkau ceraikan dia, lalu engkau datang lagi melamarnya. Demi Allah, saya tidak
akan membiarkan engkau kembali kepadanya." Sementara adik perempuannya
ingin suaminya kembali (HR. Bukhari dan Muslim). Ketika itu turunlah firman
Allah SWT yang melarang seluruh wali enggan menikahkan wanita yang berada
di bawah perwaliannya dengan lelaki pilihannya (QS. 2: 232).
Apabila wali enggan menikahkan anaknya maka wali hakim bisa
menggantikannya dengan syarat sudah ada putusan dari pengadilan agama.
56
Sebagaimana dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam tentang wali nikah Pasal
23 ayat 1 dan 2:
(1) Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak
ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya
atau gaib atau adlal atau enggan.
(2) Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak
sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan Agama tentang wali tersebut.83
Persoalan yang menjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama Fiqh adalah
keengganan wali itu disebabkan mahar perkawinan kurang atau tidak memenuhi
tuntutan wali. dalam kasus seperti ini ulama mazhab Maliki, mazhab Syafi'i,
mazhab Hanbali, Imam Abu Yusuf, dan Muhammad bin Hasan al- Syaibani
berpendapat bahwa wali tidak boleh enggan menikahkan wanita dalam
perwaliannya, padahal wanita itu rela, mengingat mahar adalah hak wanita.
E. Persetujuan Orang Tua dan Anak
Persetujuan menurut Kamus besar bahasa indonesia ialah pernyataan
setuju atau pernyataan menyetujui, pembenaran, pengesahan, perkenan dan
sebagainya.84 Bentuk persetujuan dalam pernikahan berupa kata-kata dari pihak
laki-laki dan janda, dan “diam” yakni kerelaan bagi gadis. Sedang untuk
penolakan bagi anak gadis harus dengan kata-kata. Tentang siapa yang
persetujuannya yang dianggap sah dalam pernikahan, meliputi dua golongan.
Pertama, persetujuan kedua belah pihak yang hendak melangsungkan pernikahan,
yakni calon suami dan istri, baik bersama wali atau tidak, bagi fuqaha yang tidak
83 Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam (Bandung: Citra Umbara,2007), 84 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Tim Prima Pena(ttp: Gitamedia Press, t.t)
57
mempersyaratkan persetujuan wali dan persetujuan wanita yang dapat menguasai
dirinya. Kedua, persetujuan dari wali saja.85
Orang tua dalam pembahasan persetujuan pernikahan biasa disebut hanya
dengan penyebutan “ayah” saja. Sebab, dalam hal perwalian, hanya Imam Abu
Hanifah dan para pengikutnya yang membolehkan wanita berhak menjadi wali,
atau bagi wanita dewasa atau janda berhak atas dirinya sendiri dalam hal
bertindak hukum termasuk menjadi wali untuk dirinya sendiri dalam pernikahan.
Sedangkan Imam malik, Asy-Syafi‟I dan mayoritas ulama mengatakan bahwa
wali itu adalah laki-laki.
Asy-Syafi‟i dan Ibnu Qayyim merupakan dua tokoh ulama yang sangat luas
ilmunya, sangat tajam analisisnya, dan sangat takut pada tuhannya. Sehingga tidak
ada kekhawatiran bagi siapa saja yang bermaksud mengikuti pandangan mereka.
Sebab tidak mungkin mereka berfatwa hanya untuk kepentingan dunia.
Asy-Syafi‟i berpandangan bahwa bagi gadis dewasa berakal, maka hak
mengawinkannya ada pada wali86, dan boleh dipaksa untuk dinikahkan.87 Urutan
wali menurut Imam Syafi‟i adalah: Ayah, kakek dari pihak ayah, saudara laki-laki
kandung, saudara laki-laki seayah, anak laki-laki saudara laki-laki, paman
(saudara ayah), anak paman, dan seterusnya dan bila semuanya tidak ada,
perwalian beralih ke tangan hakim.88 Sebaliknya, Ibnu Qayyim al-Jawziyah
melarang para wali baik ayah, atau selainnya menikahkan anak gadis yang sudah
85 Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, alih bahasa Said, Zaidun,
cet. III (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), II: 399. 86 Jawad mughniyah, fiqih lima mazhab, alih bahasa masykur dkk, cet. VII (Jakarta:
Lentera, 2008), hlm.345. , 87 Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, alih bahasa Said, Zaidun,
cet. III (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), II:404. 88 Ibid., hlm. 348
58
dewasa tanpa mendapat persetujuan dari anak gadisnya terlebih dahulu. Jelas
dapat dipahami bahwa dalam hal ini persetujuan orang tua menurut Ibnu Qayyim
tidak harus ada.
Dalam penelitian ini hanya difokuskan pada bagaimana kedudukan
persetujuan orang tua dalam pernikahan. Sebab, Syafi‟i dan Ibnu qayyim masing-
masing meletakkan orang tua dalam urutan perwalian pada bagian awal. Apakah
ini dipentingkan, sehingga menjadi suatu syarat mutlak akan sah tidaknya suatu
pernikahan, atau hanya sekedar sunat hukumnya.
59
BAB IV
PEMBAHASAN DAN ANALISIS PENELITIAN
A. Argumentasi Imam Syafi’i Tentang Persetujuan Orang Tua Dalam
Pernikahan
Pada umumnya, tujuan pernikahan adalah untuk membentuk masyarakat
dan rumah tangga. Masyarakat dan rumah tangga tidak dapat dibina dengan
sempurna jika tidak mempunyai tali ikatan yang kuat antara keluarga pihak suami
dan keluarga pihak isteri. Wanita dianggap kurang cakap dalam memilih calon
suaminya karena wanita adalah manusia yang cepat merasa dan sering
terpengaruh oleh perasaan (emosional). Kedaan demikan menimbulkan
kekhawatiran akan terjadi salah pilih; dan jika kurang teliti bukan saja bisa terpilih
laki-laki yang tidak bermoral, tetapi mungkin terjadi bahwa laki-laki yang
dipilihnya adalah orang yang mempunyai sejarah buruk terhadap keluarga wanita
itu sendiri. Supaya jangan sampai terjadi demikan agama melarang wanita
menikahkan dirinya sendiri demikan menururut jumhur ulama.89
Dalam pandangan Syafi‟i, jika wanita yang baligh dan berakal sehat itu
masih gadis, maka hak mengawinkan dirinya ada pada wali, sedangkan bagi
wanita yang sudah pernah menikah (janda) maka hal ada pada keduanya, seorang
wali tidak boleh menikahkan kecuali atas persetujuannya. Namun dalam akad
masih hak wali untuk mengucapkannya walaupan akad sendiri memerlukan
persetujuan. Sementara itu hanafi menyatakan bahwa bagi perempuan yang
bailigh dan berakal dalam kondisi perawan maupun janda dapat memelih sendiri
89 Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan Masalah Pernikahan jilid I, hlm.167.
60
suminya dan dengan akadnya sendiri. Adapun persyaratan yang harus di penuhi
adalah bahwa dia dengan calon harus sekufu.apabila persyaratan ini tidak di
lakukan maka wali dapat menetang pekawinan tersebut, dan apabila maharnya
kurang dari mahar mistli maka wali boleh meminta kepada qadhi untuk
membatalkan pernikahan tersebut.
Mengenai seorang janda, Imam Mālik berpendapat harus lebih dulu ada
persetujuan yang tegas dari seorang janda sebelum pelaksanaan akad nikah.
Dengan kata lain, janda lebih berhak menentukan perkawinannya dibandingkan
walinya. Pemahaman sebaliknya menunjukkan bahwa wali berhak memberikan
persetujuan pada perkawinan gadis. Sehingga, hukum meminta persetujuan gadis
dalam pernikahan hanyalah sunah atau sebagai penyempurna. Adapun persetujuan
dari janda hukumnya wajib. Hak janda atas dirinya terhadap walinya dalam
pernikahan adalah hak memberikan persetujuan terhadap persepsi walinya dan
bukan dalam konteks menikahkan dirinya sendiri. Adapun yang berhak
menikahkan seorang janda tetap menjadi kewenangan walinya. Dengan demikian,
seorang janda tidak boleh menikahkan dirinya sendiri.
Imam Syāfi'i selanjutnya berpendapat bahwa mengenai anak gadis yang
belum dewasa yang berumur sekitar 15 (lima belas) tahun atau belum mengalami
haid, seorang bapak boleh menikahkannya tanpa merugikan si anak tersebut.
Sebaliknya, seorang wali tidak boleh memaksa menikahkan anak gadisnya jika
berpontensi merugikan atau menyusahkan anak gadis tersebut.
Imam Syafi‟i tidak berbeda dengan para imam terdahulu dalam menetukan
bahwa sumber utama dari hukum Islam adalah al-Qur‟an. Imam Syafi‟i
61
mendalami al-Qur‟an secara intensif sebelum beliau mengeluarkan pendapat
tentang al-Qur‟an yang diperolehnya dengan mempelajari secara mendalam
tentang makna yang terkandung di dalamnya.
Imam Syafi‟i juga menetapkan Al-Qur‟an pada urutan pertama sebagai
sumber hukum yang paling kuat. Ia beranggapn bahwa tidak ada suatu kekuatan
pun yang dapat menolak keotentikan Al-Qur‟an, meskipun sebagian hukumnya
masih ada yang bersifat dzanni, sehingga dalam penafsirannya masih ada terdapat
perbedaan pendapat.90
Adapun dasar-dasar Al-qur‟an yang menjadi landasan bagi Imam Syafi‟i
salah satunya tentang persetujuan orang tua dalam pernikahan ialah:
ٱلله غ ا فقشاء ن إ إبئن نجبدم ذ ٱىصهي ن ا ٱل ذ ن أ ٴۦ فضي
ٱلله عع ني
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang
yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-
hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan
mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha
Mengetahui”(Q.S An-Nur:32).91
90 Rizem Aizid, Biografi Empat Imam Mazhab (Plus Riwayat Intelektual dan Pemikiran
Mereka), (Jakarta Selatan: Saufa, 2016), hlm. 183.
91 Q.S Al-Baqarah 32.
62
ٱى إرا طيهقز ا ث ه إرا رشض ج أص ذ ن ه أ ه فل رعضي أجي غبء فجيغ
ىن أصم ٱلخش رىن ٱى ثٱلله ؤ ن مب ٴۦ نع ث ل ف رى عش ثٱى ٱلله أطش
ل رعي ز أ عي
“Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, maka
janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal
suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang
ma´ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara
kamu kepada Allah dan hari kemudian. Itu lebih baik bagimu dan lebih suci.
Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” (QS Al-Baqarah(2): 232).92
Menurut Sayyid Sabiq, surat al-Baqarah ayat 232 ini turun berkaitan
dengan riwayat Muaqqil bin Yasar yang menceritakan bahwa ayat ini turun
berkenaan dengan dirinya. Katanya "Saya menikahkan salah seorang saudara
perempuanku dengan seorang pria, tetapi kemudian diceraikannya. Ketika
'iddahnya habis, ia datang lagi meminangnya. Maka saya jawab: dulu kamu saya
jodohkan, saya nikahkan, dan saya muliakan, tapi kemudian kamu ceraikan. Dan
kini kamu datang untuk meminangnya lagi. Demi Allah kamu tidak dapat kembali
lagi kepadanya untuk selamalamanya. Lelaki ini orangnya biasa. Tetapi bekas
istrinya mungkin mau kembali kepadanya. Lalu Allah menurunkan ayat ini "maka
janganlah kamu menghalang-halangi mereka", kemudian saya berkata "sekarang
saya menerima, wahai Rasulullah, dengan ucapannya: maka aku nikahkan
saudaraku itu kepadanya".93
92 Q.S Al-Baqarah (2); 232). 93 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah VII, Terj. Moh. Thalib, (Bandung: PT. al-Ma'arif, 1987),
hlm.13.
63
Menurut Imam Syafi'i, ayat ini merupakan ayat yang paling tegas
mensyaratkan adanya persetujuan wali dalam perkawinan, maka larangan Allah
Swt., kepada wali dalam ayat itu tidak akan ada artinya.
Adapun dasar-dasar Hadis yang menjadi landasan bagi Imam Syafi‟i yaitu
sebagai berikut:
ث ا ح ث د ش ث ث ا ن عيي ص الله ه ع س به ق : به ق ٴ ث ا ن ,ع ل )يٴ نيٴ خ ن
( س ى ث له ا اث ٴ ذ ذ ص اىشثعخ ذ د ا ا اى ش ذ د اىز اث 94بج ز
"Dari Abu Burdah Ibnu Abu Musa, dari ayahnya Radliyallaahu 'anhu bahwa
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tidak sah nikah kecuali
dengan wali." Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Hadits shahih menurut Ibnu al-
Madiny, Tirmidzi, dan Ibnu Hibban..
Bentuk nafi pada kata كااحا نلا mendapat interpretasi beragam dari para
ulama‟. Ada yang menyebut nafi pada sah dan tidaknya perbuatan Dengan
demikian كااحا نلا berarti tidak sah pernikahan. Dalam konteks hukum, bila nafi
diinterpretasikan sebagai hakikat syari‟at, maka pernikahan yang dilaksanakan
tanpa wali ataupun saksi maka pernikahan tersebut menjadi tidak sah, hal ini
senada dengan argumen dari Imam Syafi‟i bahwa wali termasuk rukun nikah dan
harus ada di dalam sebuah pernikahan tanpanya sebuah perkawinan tidak sah.
Sebagian ulama menginterpretasikan bahwa nafi tersebut hanya menunjukkan arti
ketidaksempurnaan. Dengan demikian, hadis di atas dapat diartikan ‚tidak
sempurna pernikahan tanpa wali dan dua saksi yang adil‛. Dalam konteks hukum,
tidak sempurna berarti wali atau saksi bukan merupakan syarat sah, sehingga
94 Imam Ibnu Hajar al-asqalany, Bulughul Maram Min Adillatil Ahkam. Hlm. 1008
64
pernikahan yang tidak dihadiri wali masih tetap dihukumi sah. Dengan kata lain,
wali hanya sebatas disunnahkan.
Imam Syafi‟i dalam kitabnya al-Umm juga menyatakan:
ذ ا: فأقبه اىشبفع ذ ل ل نبح ىب ىب ثغش ار شأح ن صييٴ نيٴ اىج
دب قبه: عي 95 ثبطو فنب
Artinya: “Imam Syafi'i berkata: wanita manapun yang kawin dengan tidak seizin
walinya, maka tiada perkawinan bagi wanita tersebut. Karena Nabi Saw.
bersabda: "maka nikahnya itu batal"
Maka jelas lah bahwa Imam Syafi‟i menyatakan bahwa dalam pernikahan
itu diharuskan adanya izin atau persetujuan orang tua.
B. Argumentasi Ibnu Qayyim Al-jawziyah Tentang Persetujuan Orang Tua
Dalam Pernikahan
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berpendapat bahwa orang tua atau wali tidak
boleh memaksa anaknya atau seseorang yang berada di bawah perwaliannya
untuk menikah kecuali dengan persetujuan dan rida/kerelaan anak terlebih dulu.
Meskipun orang tua atau wali mempunyai kekuasaan untuk menikahkan anak
maupun orang yang berada di bawah perwaliannya. Namun, hal tersebut tidak
mutlak dilakukan jika terdapat unsur paksaan yang menyebabkan tidak adanya
kesediaannya oleh anak dalam rangka perkawinannya. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah
mengemukakan pandangannya sebagai berikut: “Wanita gadis yang sudah balig
tidak boleh dipaksa dalam masalah pernikahan dan tidak boleh dinikahkan
95Al-Imam Abi Abdullah Muhammad bin Idris al-Syafi‟î, Al-Umm, Juz. 5, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiah, tth, hlm. 14.
65
kecuali dengan ridanya. Ini merupakan pendapat jumhur salaf, mazhab Abū
Hanīfah dan Ạhmad dalam salah satu riwayat. Inilah yang memang sejalan
dengan hukum Rasulullah Saw, perintah dan larangan beliau, kaidah-kaidah
syariat serta kemaslahatan umat”.96
Ayat Alquran yang menjadi landasan Ibnu Qayyim Al-Jawziyah adalah
surah al-baqarah ayat 230 sebagai berikut:
طيهقب فل جبح ۥ فئ جب غش نخ ص ر دزه ثعذ ٴۥ ذو ى طيهقب فل ر فئ
د دذ ل ري د ٱلله دذ ب ق ظهب أ زشاجعب إ ب أ ني ج ٱلله ب ىق
عي
“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), akal
perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain.
Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi
keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya
berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum
Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui”(QS. Albaqarah:
230).
Dikemukakan oleh Ibnu Mundzir yang bersumber dari Muqatil bin
Hibban. Muqatil bin Hibban berkata: “ayat ini turun mengenai „Aisyah binti
Abdirrohman bin „Atiek yang pada awal mulanya adalah istri Rifa‟ah bin Wahab
bin „Atiek, dia anak paman „Aisyah binti Abdirrohmân bin „Atiek sendiri. Lalu
terjadilah perceraian tiga kali(thalaq ba‟in). sesudah itu „Aisyah binti
96Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Zād alMa‟ād fī Hadyī Khairil „Ibād, ed. In, Bekal Pejalanan
Akhirat, (terj: Amiruddin Djalil), cet. 5, jilid 6, (Jakarta: Griya Ilmu, 2016), hlm. 703
66
Abdirrohman bin „Atiek dinikahi oleh „Abdurrahman bin az-Zubair al-Qura‟zhi.
Kemudian „Aisyah binti Abdirrohman bin „Atiek dicerai oleh „Abdurrahman bin
az-Zubair al-Qura‟zhi dan hendak dikembalikan lagi kepada Rifa‟ah bin Wahab
bin „Atiek, maka „Aisyah binti Abdirrohman bin „Atiek mengadu kepada Nabi
SAW, katanya(„Aisyah binti Abdirrohman bin „Atiek): “ Abdurrahman bin az-
Zubair al-Qura‟zhi telah mencerai saya sebelum menyetubuhiku(Aisyah binti
Abdirrohmân bin „Atiek), bolehkah saya kembali kepada suami saya yang
pertama(Rifa‟ah bin Wahab bin „Atiek) ?” , Nabi SAW menjawab: “tidak,
kecuali kamu(„Aisyah binti Abdirrohmân bin „Atiek) sudah disetubuhi oleh
suamimu yang kedua”. Lalu turunlah ayat tersebut.
Ayat ini dipahami bahwa pelaksanaan pernikahan disandarkan kepada
seorang perempuan, dan ayat ini juga menunjukkan bahwa seorang perempuan
boleh menikahkan dirinya tanpa perlu persetujuan walinya.
Dilandasi ayat di atas, Ibnu Qayyim al-Jawziyyah menyatakan bahwa
penggunaan hak ijbār tidak seharusnya dilakukan orang tua terhadap anaknya.
Dalam hal ini peneliti beranggapan bahwa orang tua atau wali tidak berhak untuk
memaksa anak atau seseorang yang berada di bawah perwaliannya untuk
menikah, sebelum diminta izin dan persetujuannya terlebih dulu.
Terkait dengan pemikiran Ibnu Qayyim al-Jauziyyah di atas dalam
pernikahan tentunya perlu menekankan pada pendekatan yang ia gunakan dalam
penetapan hukumnya. Sehingga pendekatan pemikiran Ibnu Qayyim al-Jauziyyah
merupakan polarisasi antara naql (naṣ) dan aql (rasio). Selain itu, corak
67
pemikirannya cenderung rasional, mendasar, mapan secara syar'i, argumentatif
serta konsisten.
Mengenai konteks persetujuan orang tua dalam pernikahan menurut
pandangan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah bahwa orang tua atau wali tidak berhak
memaksa anak atau orang yang berada di bawah perwaliannya untuk menikah
tanpa diminta izin dan persetujuannya terlebih dulu, Ibnu Qayyim menilai
keridaan dan persetujuan anak, khususnya anak perempuan harus ada memberikan
respon dalam prosesi penjajakan awal perkawinan (peminangan). Hal ini
dimaksudkan karena pada hakikatnya yang akan menjalani biduk rumah tangga
setelah pernikahan ke depannya adalah si anak dan bukan orang tuanya.97
Berbeda halnya dengan pendapat jumhur ulama fikih yang membolehkan
penggunaan hak ijbar(paksaan) orang tua untuk menikahkan anaknya mesikpun
tanpa diminta izinnya terlebih dulu dengan dilandasi pada hadis Rasulullah Saw
berkenaan dengan tindakan yang dilakukan oleh Abu Bakar yang menikahkan
anaknya, Aisyah yang belum dewasa. Selain itu, juga didasarkan bahwa semua
urusan anak merupakan tanggungjawab orang tua, menjadi landasan adanya hak
ijbar orang tua terhadap anaknya.
Penyusun menilai bahwa pemikiran Ibnu Qayyim al-Jauziyyah tentang
persetujuan orang tua dalam pernikahan dalam pernikahan tidak terlepas dari latar
belakang (background) sosio historis dan kultural kehidupannya saat itu. Ibnu
Qayyim hidup pada periode pertengahan, yaitu akhir abad ke tujuh hingga
pertengahan abad ke delapan hijriyah atau akhir abad ke tigabelas hingga
97 Ibid. hlm. 704
68
pertengahan abad ke empat belas masehi. Saat itu, umat Islam mengalami krisis
multi dimensi, meliputi bidang ekonomi, sosial, budaya dan politik serta ditambah
situasi dalam pemikiran umat Islam yang mengalami kebekuan (jumud) karena
dibalut taqlid, khurafat dan bid‟ah. Dalam situasi semacam itu, beliau berusaha
membangkitkan sikap umat Islam dari tidur panjang. Ibnu Qayyim menentang
sikap taklid, khurafat dan bid‟ah serta menyeru kembali kepada Alquran dan
hadis. Selain itu, beliau berupaya menggemakan tauhid, mengobarkan semangat
tajdid serta membuka kembali pintu ijtihad yang (seakan) tertutup.
Jika mencermati pada pendapat jumhur ulama fikih yang membolehkan
orang tua atau wali memaksa anaknya dalam pernikahan walaupun tanpa
persetujuan si anak, boleh jadi pemikiran Ibnu Qayyim yang berbeda dengan
pendapat jumhur ulama fikih tersebut dengan tidak membolehkan pemaksaan
orang tua atau wali untuk menikahkan anak tanpa diminta izinnya lebih dulu,
merupakan counter (tanggapan berbeda) terhadap sikap fanatisme masyarakat saat
itu terhadap pendapat ulama mazhab, salah satunya dalam bidang fikih
munakahat. Utamanya, dalam hal pemaksaan orang tua untuk menikahkan
anaknya, meskipun tanpa diminta pendapat dan izin anak lebih dulu. Apalagi
tanpa disertai keridaan dan persetujuan anak atas pilihan orang tuanya. Meskipun
realitasnya, baik pendapat jumhur ulama fikih maupun pendapat Ibnu Qayyim al-
Jauziyyah sama-sama memiliki landasan hukum berupa alquran dan hadis.
Namun, pada dasarnya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah memandang bahwa tidak
seharusnya orang tua memaksa anaknya untuk menikah tanpa disertai dengan izin
dan persetujuan anak lebih dulu.
69
Berkenaan dengan konteks persetujuan orang tua dalam pernikahan, Ibnu
Qayyim al-Jauziyyah berpendapat bahwa orang tua atau wali tidak boleh
memaksa anaknya atau seseorang yang berada di bawah perwaliannya untuk
menikah kecuali dengan persetujuan dan rida/kerelaannya terlebih dulu. Meskipun
orang tua atau wali mempunyai kekuasaan untuk menikahkan anak maupun orang
yang berada di bawah perwaliannya. Namun, hal tersebut tidak mutlak dilakukan
jika terdapat unsur paksaan yang menyebabkan tidak adanya kesediaannya oleh
anak dalam rangka perkawinannya.
Adapun metode istinbaṭ hukum yang digunakan Ibnu Qayyim al-
Jauziyyah dalam menetapkan ketentuan wali mujbir tersebut didasarkan pada
beberapa hadis Rasulullah Muhammad Saw mengenai penolakan pernikahan yang
dilakukan orang tua terhadap anak yang masih gadis/perawan serta anak yang
sudah janda meskipun tanpa disertai izin anak sebelumnya, sebagai berikut:
ش ن ب ث ذ د ش ش ج ب ث ذ د ذ ذ ث غ د ب ث دذ خ ج ش ث ا ث ب ا ن بص د ث خ ش ن ن ن ة
ط ج ن اث ن ف الله ي ص ج اى ذ ر ا أ ش ن ث خ بس ج ا ب عي ٴ ث أ ه أ د ش م ض ني ج ه ص بب خ بس م ب
ش خ ف صي اللهب اى ج ٴ عي اث ني 98داد()سا
“Telah menceritakan kepada kami Utsman bin Abu Syaibah, telah menceritakan
kepada kami Ḥusain bin Muḥammad, telah menceritakan kepada kami Jarīr bin
Ḥazim, dari Ayyub, dari Ikrimah dari Ibnu „Abbas, bahwa seorang gadis datang
kepada Nabi ṣallallahu „alaihi wasallam dan menyebutkan bahwa ayahnya telah
98H.R. Imam Abū Dāwud Nomor 2096. Lihat As-Sijistani, Abū Dāwud Sulaiman bin al-
Asy„aṣ al-Azdi, Sunan Abī Dāwud Juz II, Beirut: Dār al-Fikr, 1994, h. 192. Lihat juga Abū Dāwud Sulaiman bin al-Asy‟ats al-Azdi as-Sijistani, Ensiklopedia Hadis: Sunan Abu Dawud Jilid V, alih bahasa Muhammad Ghazali, Penerbit Almahira, 2013, Cet. I, h. 431.
70
menikahkannya sementara ia tidak senang. Kemudian beliau memberikan
pilihan” (H.R. Abu Dawud).
Hadis ini dikeluarkan ketika seorang gadis datang kepada nabi Saw ia mengadu
kepada Rasulullah Saw bahwa ayahnya telah menikahkan gadis tersebut
sementara gadis tersebut tidak senang dengan laki-laki pilihan orang tuanya
tersebut maka nabi Saw memberikan gadis tersebut hak untuk memilih.
Hadis lainnya yang menjadi dasar hukum Ibnu Qayyim:
ش ق غه ى ا ث ب أ ث دذه ش ش ج ث ذه د ص س ش اى ذ ه ذ ث غ ذ ب اى ث ذه د ش ن غ ع اى اد د ض ث ذ
ة أ ن ص بد ث ط جه ن اث ن خ ش ن ن ن ٴ ي ن الله يه ص ه ج اىه ذ ر ا أ ش ن ث خ بس ج ه أ ب
ث أ ه أ ٴ ى د ش م ض ف يه ع ج ه ب ص ب )س يه ع ٴ ي ن الله يه ص ج ب اىه ش ه خ ف خ ضبس م ب ا
99ٴ(ج ب ث ا
“Telah menceritakan kepada kami Abu As-Saqr Yaḥya bin Yazdad al- Askari
berkata, telah menceritakan kepada kami al-Ḥusain bin Muḥammad al-
Marwarudzi berkata, telah menceritakan kepadaku Jarīr bin Ḥazim dari Ayyub
dari Ikrimah dari Ibnu Abbas berkata, "Seorang budak wanita yang masih gadis
mendatangi Nabi ṣallallahu „alaihi wasallam, ia mengabarkan bahwa ayahnya
telah menikahkannya dengan seseorang yang tidak ia sukai, hingga Rasulullah
ṣallallahu „alaihi wasallam memberikan pilihan untuknya” (H.R. Ibnu Majah).
Hadis ini dikeluarkan ketika ada Seorang budak wanita yang masih gadis
mendatangi Nabi ṣallallahu „alaihi wasallam, ia mengabarkan bahwa ayahnya
99Hadis Imam Ibnu Mājah Nomor 1875 Lihat: Abū „Abdullah Muḥammad bin Yazīd al-
Qazwini Ibnu Mājah, Ensiklopedia Hadis: Sunan Ibnu Majah Jilid VIII, alih bahasa Saifuddin Zuhri, Jakarta: Penerbit Almahira, 2013, Cet. I, h. 333.
71
telah menikahkannya dengan seseorang yang tidak ia sukai, hingga Rasulullah
ṣallallahu „alaihi wasallam memberikan pilihan untuknya.
Hadis yang digunakan Ibnu Qayyim mengenai janda yang berhak memilih
calon pendampingnya:
د اىشه ذ ج ن ن ٴ ث أ ن بع ق ىا ث د اىشه ذ ج ن ل ن بى ث ذه د به ق و ن ب ع ب ا ث ذه د
اث ع ه ج ض خ ذ ث بء غ خ ن خ بس ج ث ذ ض ج ه ب ص بث أ ه أ خ ه بس ص ال ا ت ث ب
د ن ده ش ف يه ع ٴ ي ن الله ه ع س ذ ر أ ف ل ى ص ذ ش ن ف )س ٴ ب 100(بس خ ج اى ا
“Telah menceritakan kepada kami Isma„il ia berkata; Telah menceritakan
kepadaku Mālik dari „Abdurraḥman bin al-Qasim dari bapaknya dari
Abdurraḥman dan Mujammi‟ keduanya anak Yazid bin Jariyah, dari Khansa
binti Khizam al-Anṣariyyah bahwa bapaknya menikahkannya saat ia janda, lalu
ia pun tak suka. Lalu ia pun mendatangi Rasulullah ṣallallahu „alaihi wasallam,
maka beliau pun menolak pernikahannya”. (H.R. Bukhari)
Asbabul Wurud hadis ini ketika Khansa binti Khizam al-ansariyyah mendatangi
rasulullah Saw bahwa bapaknya ingin menikahkan dia saat ia masih janda, lalu ia
pun tak suka nabi Saw pun bersabda boleh wanita janda tersebut menolak
pernikahannya.
Dalam pencermatan peneliti, perlunya persetujuan seorang anak dalam
memilih pasangan sebagaimana diungkapkan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah di atas,
didasarkan pada hadis tentang penolakan seorang gadis untuk dinikahkan walinya.
Lebih lanjut, Ibnu Qayyim juga menguatkan pendapatnya dengan mengemukakan
100Hadis Ṣaḥīh al-Bukhāri Nomor 5138. Lihat Abū „Abdillah Muḥammad bin Ismail al-
Bukhāri, Ṣaḥīh al-Bukhāri, Beirut: Dār al-Fikr, 2006, h. 265.
72
hadis lainnya tentang janda yang tidak boleh dipaksa untuk dinikahkan oleh
walinya.
Dilandasi berbagai hadis di atas, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah menyatakan
bahwa penggunaan hak ijbar tidak seharusnya dilakukan orang tua terhadap
anaknya. Dalam hal ini, orang tua atau wali tidak berhak untuk memaksa anak
atau seseorang yang berada di bawah perwaliannya untuk menikah, sebelum
diminta izin dan persetujannya terlebih dulu.
C. Analisis Perbandingan
Berdasarkan analisa penyusun dari uraian pembahasan diatas maka bisa
diambil kesimpulan bahwa menurut Imam Syafi‟i: persetujuan orang tua dalam
pernikahan itu harus ada terutama bagi anak gadis yang sudah baligh dan berakal
orang tua tersebut berhak memaksa anak gadisnya untuk menikah dengan laki-laki
pilihan orang tuanya. Akan tetapi jika ia janda maka hak itu ada pada keduanya;
wali tidak boleh mengawinkan wanita janda itu tanpa persetujuannya. Sedangkan
wanita itupun tidak boleh mengawinkan dirinya tanpa restu sang wali. Menurut
imam Syafi‟i keridhoan orang tua sangat lah penting dan harus ada. Dan wali
menurut Imam Syafi‟i merupakan syarat sah wali. Sebagaimana firman Allah:
ه هب جيغ ب إ غ د إ ىذ ثٱى إهب ا إله ل أله رعجذ سث ب فل قض مل ب أ دذ ذك ٱىنجش أ ن
اب لا مش ب ق قو ىه ب ش ل ر ب أف رقو ىه“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia
dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika
salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut
73
dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada
keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan
ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia” (Q.S Al-Isra‟:23).
Dan hadis nabi yang berbunyi:
ة اىه ض س ة اىه ظ خ ع ذ اى اى ض س ف ش ذ اى اى ظ خ ع ف ش
“Ridha Allah tergantung pada ridha orang tua dan murka Allah tergantung pada
murka orang tua”
Sedangkan yang penyusun dapat dipahami dari pendapat Ibnu Qayyim
bahwa beliau berpendapat bahwa orang tua atau wali tidak boleh memaksa
anaknya atau seseorang yang berada di bawah perwaliannya untuk menikah
kecuali dengan persetujuan dan rida/kerelaan anak terlebih dulu. Meskipun orang
tua atau wali mempunyai kekuasaan untuk menikahkan anak maupun orang yang
berada di bawah perwaliannya.
Implikasi hukum terkait persetujuan orang tua ini adalah karena tidak ada
persetujuan dari kedua belah baik itu pihak orang tua maupun mempelai yang
akan dinikahkan, sehingga kedua mempelai memutuskan untuk kawin lari.
Mereka mengangkat sembarang orang sebagai walinya, menikah kemudian pergi
jauh dari orang tua atau bahkan menikah tanpa wali dan tidak mendapatkan izin
dari wali yang sah dari kedua mempelai. Lebih parahnya, mungkin saja terjadi
kawin lari yang diwujudkan dengan kedua mempelai tinggal bersama dalam satu
atap tanpa adanya status pernikahan. Maka banyak terjadi kasus mempelai
menikah dengan memakai wali ab‟ad atau wali hakim padahal wali nasab atau
wali aqrabnya ada.
74
Dari kedua pendapat imam di atas dalam masalah persetujuan orang tua
dalam pernikahan apabila diterapkan pada masa sekarang, penyusun lebih
memilih pendapat Ibnu Qayyim al-Jawziyah dikarenakan Setiap anak laki-laki
maupun anak perempuan mempunyai hak atas pernikahannya, begitu pula
walinya. Supaya tidak terjadinya implikasi hukum seperti di jelaskan di atas, oleh
karena itu orang-orang yang akan menikah tentu lebih besar haknya dibanding
dengan hak walinya dalam pernikahan tersebut. Dalam hukum agama, suatu
prinsip kebebasan kemauan dalam masalah memilih pasangan untuk membentuk
sebuah keluarga sama sekali tidak bertentangan dengan Alquran. Persetujuan dari
pihak laki-laki maupun perempuan sangatlah penting dalam sebuah perkawinan.
Karena perkawinan itu sendiri merupakan ikatan atau kesepakatan suci antara
suami istri secara makruf.
Apabila dikaitkan dengan konsep hak ijbar orang tua, maka tidak
seharusnya orang tua melakukan pemaksaan sepihak terhadap anaknya untuk
menikah tanpa diminta izin dan persetujuan anak terlebih dulu. Karena pada
hakikatnya, hak orang tua lebih mengarah kepada hak untuk menikahkan sebagai
bentuk tanggungjawab terhadap anak. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa
dalam rangka pernikahan, setiap anak baik laki-laki maupun perempuan
mempunyai hak dalam menyatakan pendapat dan menentukan pilihan terhadap
calon pasangan hidupnya kelak. Meskipun begitu, hak anak tersebut tidak bersifat
bebas tanpa batasan (absolut), namun juga perlu memperhatikan nasihat dan saran
dari orang tua dan keluarga besar. Sebab ini juga menyangkut ahklak terhadap
orang tua kita. Sehingga, dalam pelaksanannya, hak asasi anak harus seimbang
75
dengan pelaksanaan hak asasi pihak-pihak lainnya yang terkait, termasuk peran
orang tua.
76
BAB V
PENUTUP
A.Kesimpulan
Setelah membaca uraian dari beberapa bab diatas, maka dengan demikian
dapat diambil suatu kesimpulan :
1. Imam Syafi‟i menggunakan dalil alquran dan hadis sebagaimana dijelaskan di
atas, bahwa ia berpendapat tentang persetujuan orang tua dalam pernikahan ialah
jika wanita yang baligh dan berakal sehat itu masih gadis, maka hak untuk
menggawinkan dirinya ada pada walinya. Akan tetapi jika ia janda maka hak itu
ada pada keduanya; wali tidak boleh mengawinkan wanita janda itu tanpa
persetujuannya. Sedangkan Ibnu Qayyim Al-Jawziyah mengunakan dalil alquran
dan hadis yang berbeda dari imam syafi‟i sebagaimana dijelaskan diatas, bahwa ia
berpendapat tentang persetujuan orang tua dalam pernikahan ialah bahwa orang
tua atau wali tidak boleh memaksa anaknya atau seseorang yang berada di bawah
perwaliannya untuk menikah kecuali dengan persetujuan dan rida/kerelaan anak
terlebih dulu. Meskipun orang tua atau wali mempunyai kekuasaan untuk
menikahkan anak maupun orang yang berada di bawah perwaliannya. Namun, hal
tersebut tidak mutlak dilakukan jika terdapat unsur paksaan yang menyebabkan
tidak adanya kesediaannya oleh anak dalam rangka perkawinannya.
2. Dapat disimpulkan dari kedua pandangan ulama diatas dalam masalah
persetujuan orang tua dalam pernikahan yang lebih maslahah untuk konteks saat
ini penyusun lebih memilih pendapat Ibnu Qayyim al-Jawziyah dikarenakan
Setiap anak laki-laki maupun anak perempuan mempunyai hak atas
77
pernikahannya, begitu pula walinya. Persetujuan dari pihak laki-laki maupun
perempuan sangatlah penting dalam sebuah perkawinan. Karena perkawinan itu
sendiri merupakan ikatan atau kesepakatan suci antara suami istri secara makruf.
Meskipun begitu, hak anak tersebut tidak bersifat bebas tanpa batasan (absolut),
namun juga perlu memperhatikan nasihat dan saran dari orang tua dan keluarga
besar. Sebab ini juga menyangkut ahklak terhadap orang tua kita. Sehingga, dalam
pelaksanannya, hak asasi anak harus seimbang dengan pelaksanaan hak asasi
pihak-pihak lainnya yang terkait, termasuk peran orang tua.
B. Saran
Berdasarkan penjelasan-penjelasan yang terdapat dalam pembahasan
skripsi yang penulis susun dan dihubungkan dengan kondisi sekarang ini, maka
penulis ingin memberikan saran yaitu:
1. Kepada seluruh kaum muslimin dan muslimat menyarankan agar ajaran Islam
tetap dijadikan pegangan hidup, termasuk dalam urusan perkawinan.
2. kepada seluruh orang tua dalam Islam khususnya supaya menghargai dan
menghormati pilihan anaknya dalam memilih suami maupun istrinya.
3. kepada seluruh anak laki-laki maupun perempuan dalam islam khusunya
supaya menghormati pendapat orang tuanya, karena orang tua lebih tau mana
yang baik dan mana yang buruk untuknya.
C. Kata Penutup
Dengan mengucapkan syukur Al-Hamdulillah, dipersembahkan
kepada zat Yang Maha sempurna. Yang telah memberi petunjuk dan jalan
keluar bagi penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
78
walaupun dengan beberapa rintangan dan hambatan yang dihadapi. Tetapi
rintangan dan hambatan itu penulis anggap sebagai motivasi untuk meraih
kesuksesan pada masa yang akan datang.
Dalam hal ini penulis juga menyadari bahwa dalam penulisan skripsi
ini masih jauh dari sempurna, masih banyak terdapat kekeliruan dan
kekurangan dalam penulisannya. Oleh karena itu penulis sangatlah
mengharap sumbangan saran dan kritikan yang sifatnya membangun dari para
pembaca guna menyempurnakan pembahasan skripsi ini.
Semoga apa yang tertuang dalam skripsi ini dapat menjadi salah satu
sumber informasi serta bermanfat bagi pembaca dan merupakan amal ibadah
bagi penulis.
Akhir kata dari penulis : Wasalamu‟alaikum Wr, Wb
79
DAFTAR PUSTAKA
A. Literatur
Amir syarifuddin, ushul fiqh Jilid II, cet. II, (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 2001).
Abdul Fatah Idris, Istinbath Hukum Ibnu Qayyim: Studi Kritik Terhadap Metode
Penetapan Hukum Ibnu Qayyim al-Jawziyah,(Semarang: Pustaka Zaman,
2007).
Abdurrahman Al-Jaziri, Kitab „ala Mazahib al-Arba‟ah, (Beirut Libanon: Dar
Ihya al-Turas al-Arabi 1986).
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: UI Pres, 2000).
A. Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan, Cet ke-1 (Bandung : Al-
Bayan,1994).
Al-Mawardi, Al-Jawi al-Kabir, (Beirut Libanon: Daar al- Kutub al-Ilmiyah,
1994).
Al-Imam Abi Abdullah Muhammad bin Idris al-Syafi‟î, Al-Umm, Juz. 5, Beirut:
Dâr al-Kutub al-Ilmiah.
Abu Al Maira, Mustalahul Hadits,( Jakarta: Darul Suudiyah, 1998).
Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam (Bandung: Citra
Umbara,2007).
Husaini Usman, Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2008).
H.R. Imam Abū Dāwud Nomor 2096. Lihat As-Sijistani, Abū Dāwud Sulaiman
bin al-Asy„aṣ al-Azdi, Sunan Abī Dāwud Juz II, Beirut: Dār al-Fikr, 1994.
Hadis Imam Ibnu Mājah Nomor 1875 Lihat: Abū „Abdullah Muḥammad bin
Yazīd al-Qazwini Ibnu Mājah, Ensiklopedia Hadis: Sunan Ibnu Majah
80
Jilid VIII, alih bahasa Saifuddin Zuhri, Jakarta: Penerbit Almahira, 2013,
Cet. I,
Hadis Ṣaḥīh al-Bukhāri Nomor 5138. Lihat Abū „Abdillah Muḥammad bin Ismail
al-Bukhāri, Ṣaḥīh al-Bukhāri, Beirut: Dār al-Fikr, 2006.
Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, alih bahasa Said,
Zaidun, cet. III (Jakarta: Pustaka Amani, 2007).
Ibnu Qayyim Al-Jawziyah, Ighasatul Lahfan min Mahayidisy Syaithan, alih
bahasa Hawin Murtdho, Salafuddin Abu Sayyid, (Surakarta: Al-Qowam,
cet IV, 2011).
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, I‟lam al-Muwaqi‟in „an Rabb al-„Alamin, ed. In,
Panduan Hukum Islam, (terj: Asep Saefullah FM & Kamaluddi
Sa‟diyatulharamain), (Jakarta: Pustaka Azzam, 2000).
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Zād alMa‟ād fī Hadyī Khairil „Ibād, ed. In, Bekal
Pejalanan Akhirat, (terj: Amiruddin Djalil), cet. 5, jilid 6, (Jakarta: Griya
Ilmu, 2016).
Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan Masalah Pernikahan jilid I.
Imam Ibnu Hajar al-asqalany, Bulughul Maram Min Adillatil Ahkam.
Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, alih bahasa masykur dkk, cet. VII
(Jakarta:lentera,2008).
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia,( Jakarta: Ghalia, 2006).
M. Hasan Al-jamal, biografi 10 Imam Besar, ( Kairo-Mesir: Dar-Fadhillah 2003),
cet. Ke-I.
81
Muhammad Abu Zahra, Imam Syafi‟i: biografi dan pemikirannya dalam masalah
aqidah, politik dan fiqh, (Jakarta, Lentera,2005).
M. Laily Mansyur, Ajaran dan Teladan Para Sufi,(Jakarta: PT. Raja Grapindo
Persada, 1996), Cet. I.
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia islam(Jakarta: Raja
Grafindo, 2005).
Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam. (Jakarta: Bumi Aksara, 1996).
Rizem Aizid, Biografi Empat Imam Mazhab (Plus Riwayat Intelektual dan
Pemikiran Mereka), (Jakarta Selatan: Saufa, 2016).
Rahmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di
Indonesia,( Jakarta: Sinar Grafika, 2006).
Suhar AM, Metode hukum islam, (Jambi: Salim Media Indonesia, 2015).
Suharsimi Arikunto, prosedur penelitian (Jakarta: Rineka Cipta, 2010).
Soerjono Soekanto, Perbandingan Hukum, penerbit (Bandung: Melati, 1989).
Saiful hadi, 125 Ilmuan Muslim Pengukir Sejarah, (Jakarta, Insan Cemerlang,
2007), cet. Ke-I.
Sirajuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Madzhab Syafi‟I,( Jakarta, Pustaka
Tarbiyah, 2006).
Syeikh Ahmad Farid, Min A‟lam al-Salaf, alij bahasa Ahmad Syaikhu, Biografi
60 Ulama Ahlussunnah ,(,Jakarta: Darul Haq, 2013).
Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, (Beirut : Dar al Fikr, 1968).
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam.(Jakarta: Sinar Grafika, 2007).
Zakiah Drajat, Ilmu Fiqih, (Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1995), jilid. 2.
82
B. Lain-Lainnya
Musa Ariffin, Pandangan ibnu Qayyim Al-Jawziyah Tentang Persetujuan Anak
Gadis Dalam perkawinannya,( Jogjakarta: skripsi, 2005).
Niswatul Imamah, Pemikiran Ibnu Taimiyah Tentang Hak Ijbar wali
nikah,(Jogjakarta: skripsi, 2003).
Rety Bilkis Syam, tulisannya Persetujuan Anak Gadis Sebagai Syarat Sah
Perkawinan Dalam Pandangan Ibnu Qayyim al-Jawziyah, (Cirebon:
skripsi, 2017).
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Tim Prima Pena(ttp: Gitamedia Press, t.t)
Tim Penulis, Ensiklopedi Islam Indonesia,( Jakarta: Penerbit Djambatan, 1992).
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Semarang: PT Karya
Toha Putra, 2002).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
CURRICULUM VITAE
Nama : Hendi Efrido Tempat/Tanggal Lahir : Lubuk Resam, 04 September 1997 Email : herpaefrido@gmail.com No. kontak/HP : 082289277082 Alamat : Desa. Lubuk Resam, Kec. Cermin Nan Gedang,
Kab. Sarolangun Pendidikan Formal: 1. SD : SDN 145 Lubuk Resam
Kecamatan Cermin Nan Gedang : Lulus Tahun 2009
2. SMP/MTS : MTS AS‟AD Kota Jambi : Lulus Tahun 2012
3. SMA/MAN : MAS AS‟AD Kota Jambi : Lulus Tahun 2015
Pengalaman Organisasi: 1. PMII 2. Pengurus Himpunan Mahasiswa Prodi Perbandingan Mazhab 3. Ikatan Mahasiswa Pemuda Pemudi Alumni As‟ad Jambi
Motto Hidup :
Recommended