View
258
Download
5
Category
Preview:
Citation preview
HUBUNGAN LINGKUNGAN KERJA FISIK DENGAN KELELAHAN
KERJA PADA KOLEKTOR GERBANG TOL CILILITAN PT JASA
MARGA CABANG CAWANG TOMANG CENGKARENG TAHUN 2016
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
Disusun Oleh:
OFIN ANDINA PERMATA SARI
NIM: 1112101000028
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H / 2016 M
i
PERNYATAAN PERSETUJUAN
Skripsi dengan Judul
HUBUNGAN LINGKUNGAN KERJA FISIK DENGAN KELELAHAN
KERJA PADA KOLEKTOR GERBANG TOL CILILITAN PT JASA
MARGA CABANG CAWANG TOMANG CENGKARENG TAHUN 2016
Telah disetujui, diperiksa, dan dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi
Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Disusun Oleh:
Ofin Andina Permata Sari
NIM. 1112101000028
Jakarta, Desember 2016
Mengetahui
PEMINATAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H / 2016 M
ii
PANITIA SIDANG UJIAN SKRIPSI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Jakarta, Desember 2016
Penguji I
Siti Rahmah Hidayatullah Lubis, S.KM, M.KKK
Penguji II
Dr. Ela Laelasari, S.KM, M.Kes
NIP. 19721002 200604 2 001
Penguji III
Ir. Rulyenzi Rasyid, M.KKK
PEMINATAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H / 2016 M
iii
LEMBAR PERNYATAAN PLAGIASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 (S1) Kesehatan Masyarakat di
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya saya atau
merupakan jiplakan dari karya orang lain maka saya bersedia menerima sanksi
yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, Desember 2016
iv
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
Skripsi, Desember 2016
OFIN ANDINA PERMATA SARI, NIM : 1112101000028
Hubungan Lingkungan Kerja Fisik Dengan Kelelahan Kerja Pada Kolektor
Gerbang Tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng
Tahun 2016
xviii + 156 halaman, 15 tabel, 8 gambar, 4 bagan, 6 lampiran
ABSTRAK
Kelelahan kerja merupakan kondisi dimana seseorang sudah tidak mampu
lagi melakukan aktivitas kerjanya. Kelelahan kerja dapat terjadi karena adanya
pengaruh dari lingkungan kerja yang tidak menunjang. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui hubungan antara lingkungan kerja fisik (kebisingan,
pencahayaan, suhu & kelembaban, dan shift kerja) dengan kelelahan kerja pada
kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang
Cengkareng Tahun 2016.
Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik observasional dengan
pendekatan cross sectional. Populasi berjumlah 93 pekerja dengan sampel
sebanyak 42 pekerja (menggunakan teknik random sampling). Instrumen yang
digunakan adalah kuesioner subjective self ratting test dan pengukuran
menggunakan sound level meter, digital lux meter, dan thermohygrometer.
Analisis data dilakukan secara univariat dan bivariat (menggunakan uji t-
independent dan chi-square dengan α = 0,05).
Hasil dari penelitian ini adalah tidak terdapat hubungan antara kebisingan
(p = 0.182), pencahayaan (p = 0.491), kelembaban (p = 0.144) dan shift kerja (p =
0.115) dengan kelelahan kerja (p > 0.05). Sedangkan pada variabel suhu (p =
0.036) terdapat hubungan dengan kelelahan kerja pada kolektor gerbang tol
Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng (p < 0.05).
Saran yang diberikan kepada karyawan yaitu diharapkan setiap karyawan
yang merasakan kelelahan kerja untuk segera melakukan istirahat untuk
pemulihan, diharapkan karyawan selalu menggunakan alat pelindung diri yang
telah diberikan dan diharapkan karyawan dapat mengenali penyebab timbulnya
kelelahan kerja. Untuk perusahaan yaitu diperlukannya pengendalian bahaya
lingkungan kerja baik pada management maupun pada karyawan, dan diharapkan
perusahaan melakukan pemberian tanaman pada setiap ruang kerja kolektor untuk
penyerapan CO2 yang dihasilkan kendaraan melintas yang dapat membahayakan
karyawan.
Kata Kunci : Kelelahan Kerja, Lingkungan Kerja (Kebisingan, Pencahayaan,
Suhu & Kelembaban, dan Shift Kerja), Kolektor Gerbang Tol
Daftar bacaan : 89 (1969-2016)
v
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES
DEPARTMENT OF PUBLIC HEALTH
MAJOR OF OCCUPATIONAL HEALTH AND SAFETY
Undergraduated Thesis, Desember 2016
OFIN ANDINA PERMATA SARI, NIM : 1112101000028
Relations Between the Physical Work Environment with Fatigue on the
Collector of Cililitan Toll Gate PT Jasa Marga Branch Cawang Tomang
Cengkareng Year 2016
xviii + 156 pages, 15 tables, 8 pictures, 4 bagans, 6 attachments
ABSTRACT
Fatigue is a condition where a person is no longer able to perform their
work activities. Fatigue may occur due to the influence of the working
environment is not supportive. The purpose of this study was to investigate the
relations between physical work environment (noise, lighting, temperature and
humidity, and work shift) with fatigue on the collector of Cililitan toll gate PT
Jasa Marga Branch Cawang Tomang Cengkareng year 2016.
This type of research was observational analytic research with cross
sectional approach. Population of the research was 93 workers with 42 workers
as the sample (used random sampling technique). The instrument used was a
questionnaire subjective self ratting test and sound level meter, digital lux meter,
thermohygrometer. Data analysis was performed by used univariate and bivariate
(used test t-independent and chi-square with α = 0.05).
The result of this study was there was a not relationship between the noise
(p=0.182), lighting (p=0.491), humidity (0.144) and work shift (p=0.115) with
work fatigue (p > 0.05). While, in temperature (0.036) variable there is
correlation with fatigue at the collector of Cililitan toll gate PT Jasa Marga
Branch Cawang Tomang Cengkareng (p < 0.05).
A suggestion to the workers was they should expected of every workers
who feels fatigue to immediately make a break for recovery, workers always use
personal protective equipment that has been given and it is expected that worker
can identify the causes of fatigue. For companies that need for control of hazards
in the working environment both management and worker, and the company is
expected to undertake the provision of crops in each workspace collector for the
absorption of the CO2 produced by passing vehicles that may endanger
employees.
Keyword : Fatigue, Physical Work Environment (Noise, Lighting,
Temperature & Humidity, and Work Shift) Collector of Toll Gate
Bibliography : 89 (1969-2016)
vi
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
IDENTITAS PERSONAL
Nama : Ofin Andina Permata Sari
Tempat Lahir : Bogor
Tanggal Lahir : 24 Mei 1994
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Perumahan Graha Nirwana Blok B5, Cileungsi-Kabupaten
Bogor
No. Handphone : 081297711220 (WA/ Line: ofinandina)
Email : ofiinandiina@yahoo.com
PENDIDIKAN FORMAL
1999-2000 : TK Cerdas Umat Bojonggede
2000-2006 : SD Negeri 06 Bojonggede
2006-2009 : SMP Negeri 2 Cibinong
2009-2012 : SMA Negeri 2 Bogor
2012-2016 : Peminatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Program Studi
Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
PENGALAMAN ORGANISASI
2004-2005
2004-2005
2005-2006
2006-2007
2007-2008
2009-2010
2011-2012
2013-2014
Ketua Ekstrakulikuler Pramuka SDN 06 Bojonggede
Ketua Ekstrakulikuner Pasukan Pengibar Bendera SDN 06
Bojonggede
Ketua Ekstrakulkuler Dokter Kecil SDN 06 Bojonggede
Anggota PMR SMP Negeri 2 Cibinong
Sekretaris PMR SMP Negeri 2 Cibinong
Anggota PMR SMA Negeri 2 Bogor
Wakil Ketua PMR SMA Negeri 2 Bogor
Bendahara Departemen Finance Forum Studi K3 Kesehatan
Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
vii
2014-2015
2015-sekarang
Anggota Departemen Kesenian dan Olahraga Badan Eksekutif
Mahasiswa Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta
Ketua Departemen Kesenian dan Olahraga Badan Eksekutif
Mahasiswa Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta
Ketua Club Futsal Putri Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Anggota Departemen Public Relations Forum Studi K3
Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Ketua Departemen Kesenian dan Olahraga Himpunan
Mahasiswa Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta
Ketua Komisi Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) Komisi
Pemilihan Umum (KPU) Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
PELATIHAN
Peserta Orientasi Akademik dan Kebangsaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
tahun 2012
Peserta Seminar Profesi Keselamatan dan Kesehatan Kerja Safety Riding
dengan Tema “Safety Riding: Aku dan Ojek Online Peduli Keselamatan”
tahun 2015
Training SMK3 Based on OHSAS 18001 dan PP No. 50 Tahun 2012 oleh
Synergy Solusi
Workshop “Ergonomics In The Work Place” oleh PJK3 Fairuz Artha
Sejahtera Tahun 2014
Workshop “Safety In The Process Industries” oleh PJK3 Fairuz Artha
Sejahtera Tahun 2014
Workshop “Risk Management and Lost Control” oleh PJK3 Fairuz Artha
Sejahtera Tahun 2015
Workshop “Ventilation Of Industries” oleh PJK3 Fairuz Artha Sejahtera
Tahun 2015
viii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahiim
Alhamdulillah, puji dan syukur saya ucapkan kepada Illahi Rabbi yang selalu
memberikan kenikmatan tak terhingga kepada kita semua. Atas segala kekuatan
dan rahmat- Nya, saya berhasil menyelesaikan skripsi yang berjudul
"HUBUNGAN LINGKUNGAN KERJA FISIK DENGAN KELELAHAN
KERJA PADA KOLEKTOR GERBANG TOL CILILITAN PT JASA
MARGA CABANG CAWANG TOMANG CENGKARENG TAHUN 2016".
Skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana
Kesehatan Masyarakat Jurusan Kesehatan Masyarakat pada Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Sholawat serta salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang
telah menuntun umatnya dari zaman kegelapan ke zaman yang terang benderang
seperti saat ini.
Penulisan skripsi ini semata-mata bukan murni hasil usaha penulis sendiri
melainkan banyak pihak yang telah memberikan bantuan. Oleh karena itu pada
kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sedalam-
dalamnya kepada :
1. Orang tua tercinta Bapak Ditung Nirnoto dan Ibu Nurma Sari, serta keluarga
tercinta terima kasih untuk semua dukungan dan doanya yang tidak pernah
henti.
2. Ibu Catur Rosidati, SKM., MKM. selaku dosen pembimbing I dan Ibu
Izzatu Millah, SKM, MKKK Sebagai pembimbing II yang selalu
memberikan bimbingan yang berharga dan saran-saran yang mendidik.
3. Ibu dr. Iting Shofwati ST., MKKK selaku dosen penanggung jawab
peminatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang memberikan saran serta
ilmu yang luas terkait dunia kerja. Terima kasih ibu atas waktu dan saran-
sarannya atas nasihat dalam penelitian.
4. Kak Nur Najmi, SKM, MKKK selaku laboran peminatan keselamatan dan
kesehatan kerja yang sangat membantu dan mendampingi selama sebelum
dan selama penelitian berlangsung. Ibu Imah selaku administrasi Program
Studi yang telah membantu penulis dalam kelancaran proses administrasi.
5. Ibu Fajar Ariyanti, Ph.D selaku ketua program studi dan Ibu Dewi Utami
Iriani, Ph.D selaku sekretaris program studi Kesehatan Masyarakat Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
memberikan kesempatan serta toleransinya kepada penulis dan para dosen
Kesehatan Masyarakat atas semua ilmu yang telah diajarkan.
6. Dosen Penguji yaitu Ibu Siti Rahmah H. L, MKKK., Ibu Dr. Ela Laelasari,
M.Kes., dan Bapak Ir. Rulyenzi Rasyid, MKKK. Yang telah menguji dan
memberikan saran serta bimbingan unutuk melengkapi skripsi ini.
ix
7. Departement HRD, Bapak Engkos, Departement Kepala Bagian Tol
Cililitan, Kepala shift tol Cililitan, Departemen Paramedic dan seluruh
karyawan kolektor gerbang tol Cililitan yang berperan penting dalam
membantu pelaksanaan penelitian, baik dalam hal perizinan maupun
pengukuran.
8. Kak Rois Solichin dan Elsya Ristia yang telah membantu dalam masa turun
lapangan, terimakasih banyak atas waktunya yang digunakan dan waktu
berdiskusinya.
9. Abdul Fattah Muzakkir yang senantiasa memberikan semangat dan motivasi
selama penulis menjalankan penelitian dan penyusunan skripsi.
10. Tantri Permadani, Ukhty, Elsya Ristia, Annisa Sayyidatul Ulfah, Putri
Ayuni S, Astrid Karolina, Cory Selviana dan Mursalina yang sudah
mengijinkan penulis untuk singgah beberapa waktu dikosan kalian.
11. Sahabat-sahabat penulis atas nama Elsya Ristia, Bestie (Karina, Adel, Anita,
Ditta, Aldi, Zahra), Muthia Ulfa, Eyang Tirta Corp (Devi, April, Ois, Elys,
Aul, Tita, Richki, Aditya, Aziola, Tito, Ogi, Dika), Cibengers (Astrid, Cesil,
Rico, Agin, Nova, Cory, Silmi, Widy, Tsabit, Nizar, Tyo, Lale), Ika Nur
Syafitryani, yang mendukung untuk terus semangat dalam penyusunan
skripsi ini.
12. Teman peminatan K3, Kesehatan Masyarakat 2012 UIN Jakarta,
BEMJ/HMPS Kesehatan Masyarakat, Club Futsal Putri Kesmas, KPU UIN
Jakarta 2015, KPPS FKIK 2015, Pejuang Bimbingan Bu Catur yang tidak
dapat disebutkan satu persatu oleh penulis.
Demikian yang dapat penulis sampaikan, dengan doa dan harapan bahwa
segala kebaikan yang mereka berikan dapat bermanfaat bagi penulis. Penulis
menyadari bahwa di dalam penulisan skripsi ini masih terdapat berbagai
kekurangan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik
dan saran yang membangun agar kelak dapat menjadi lebih baik. Semoga skripi
ini dapat memberikan manfaat dalam perkembangan ilmu Kesehatan dan
Keselamatan Kerja dan bermanfaat bagi seluruh pembacanya, Aamiin.
Terimakasih.
Jakarta, Desember 2016
Ofin Andina Permata Sari
x
DAFTAR ISI
PERNYATAAN PERSETUJUAN ..................................................................... i
LEMBAR PERNYATAAN ..............................................................................iii
ABSTRAK ......................................................................................................... iv
DAFTAR RIWAYAT HIDUP .......................................................................... vi
KATA PENGANTAR ..................................................................................... viii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... x
DAFTAR TABEL ........................................................................................... xiv
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xiv
DAFTAR BAGAN ......................................................................................... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xviii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .............................................................................. 9
1.3 Pertanyaan Penelitian ....................................................................... 10
1.4 Tujuan Penelitian .............................................................................. 11
1.4.1 Tujuan Umum .................................................................................. 11
1.4.2 Tujuan Khusus.................................................................................. 11
1.5 Manfaat Penelitian ............................................................................ 12
1.5.1 Manfaat Bagi Perusahaan ................................................................. 12
1.5.2 Manfaat Bagi Fakultas ...................................................................... 13
1.5.3 Manfaat Bagi Peneliti ....................................................................... 13
1.6 Ruang Lingkup Penelitian................................................................. 13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 15
xi
2.1 Kelelahan Kerja ................................................................................ 15
2.2.1 Definisi Kelelahan Kerja .................................................................. 15
2.2.2 Jenis Kelelahan Kerja ....................................................................... 17
2.2.3 Gejala Kelelahan Kerja ..................................................................... 19
2.2.4 Mekanisme Kelelahan ...................................................................... 19
2.2.7 Metode Pengukuran Kelelahan Kerja ................................................ 24
2.2 Faktor Lingkungan Kerja Fisik Yang Mempengaruhi Kelelahan Kerja
......................................................................................................... 26
2.2.1 Kebisingan ....................................................................................... 28
2.2.2 Pencahayaaan ................................................................................... 34
2.2.3 Iklim Kerja ....................................................................................... 41
2.2.4 Sirkulasi Udara ................................................................................. 49
2.2.5 Suhu dan Kelembaban Udara ............................................................ 49
2.2.6 Getaran Mekanis............................................................................... 54
2.2.7 Bau-Bauan ........................................................................................ 55
2.2.8 Warna ............................................................................................... 55
2.3 Shift Kerja ........................................................................................ 56
2.4 Kerangka Teori ................................................................................. 63
BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN
HIPOTESIS ..................................................................................................... 65
3.1 Kerangka Konsep ............................................................................. 65
3.2 Definisi Operasional ......................................................................... 67
3.3 Hipotesis Penelitian .......................................................................... 69
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ........................................................ 71
4.1 Desain Penelitian .............................................................................. 71
4.2 Lokasi dan Waktu ............................................................................. 71
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian ........................................................ 72
4.4 Pengumpulan Data............................................................................ 75
4.4.1 Data Primer ...................................................................................... 75
4.4.2 Data Sekunder .................................................................................. 76
4.5 Uji Validitas dan Reabilitas .............................................................. 76
xii
4.6 Instrumen Penelitian ......................................................................... 78
4.7 Pengolahan Data ............................................................................... 87
4.8 Analisis Data .................................................................................... 89
BAB V HASIL PENELITIAN ........................................................................ 92
5.1 Gambaran Lokasi Penelitian ............................................................. 92
5.1.1 PT Jasa Marga (Persero) Tbk ............................................................ 92
5.1.2 Visi dan Misi PT Jasa Marga ............................................................ 93
5.1.3 Aktifitas Usaha PT Jasa Marga ......................................................... 93
5.1.4 PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng ...................... 95
5.1.5 Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja..... 98
5.2 Hasil Analisis Univariat .................................................................. 100
5.2.1 Gambaran Kelelahan Kerja Pada Karyawan Kolektor Gerbang Tol .. 100
5.2.2 Gambaran Lingkungan Kerja Fisik (Kebisingan, Pencahayaan, Suhu
Ruangan dan Kelembaban, dan Shift Kerja) Pada Karyawan Kolektor
Gerbang Tol ................................................................................... 101
5.3 Hasil Analisis Bivariat .................................................................... 103
5.3.1 Hubungan Antara Kebisingan Dengan Kelelahan Kerja Pada Kolektor
Gerbang Tol ................................................................................... 104
5.3.2 Hubungan Antara Pencahayaan Dengan Kelelahan Kerja Pada
Kolektor Gerbang Tol ..................................................................... 105
5.3.3 Hubungan Antara Suhu Ruangan dan Kelembaban Dengan Kelelahan
Kerja Pada Kolektor Gerbang Tol ................................................... 106
5.3.4 Hubungan Antara Shift Kerja Dengan Kelelahan Kerja Pada Kolektor
Gerbang Tol ................................................................................... 108
BAB VI PEMBAHASAN .............................................................................. 110
6.1 Keterbatasan Penelitian................................................................... 110
6.2 Gambaran Kelelahan Kerja Pada Karyawan Kolektor Gerbang Tol. 111
6.3 Faktor Lingkungan Kerja Fisik (Kebisingan, Pencahayaan, Suhu
Ruangan dan Kelembaban Udara, dan Shift Kerja) Pada Karyawan
Kolektor Gerbang Tol ..................................................................... 118
6.3.1 Kebisingan ..................................................................................... 118
6.3.2 Pencahayaan ................................................................................... 124
6.3.3 Suhu Ruangan dan Kelembaban Udara ........................................... 130
xiii
6.3.4 Shift Kerja ...................................................................................... 137
BAB VII PENUTUP ...................................................................................... 145
7.1 Simpulan ........................................................................................ 145
7.2 Saran .............................................................................................. 146
7.2.1 Saran Bagi Perusahaan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang
Cengkareng Gerbang Tol Cililitan .................................................. 146
7.2.2 Saran Bagi Karyawan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang
Cengkareng Gerbang Tol Cililitan .................................................. 149
7.2.3 Saran Bagi Peneliti Selanjutnya ........................................................ 150
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 151
LAMPIRAN ................................................................................................... 157
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Intensitas Kebisingan yang Diperbolehkan Berdasarkan Waktu
Pemaparan dalam Satu Hari .............................................................. 30
Tabel 2.2 Kondisi Suara/Bunyi dengan Batas Dengar Tertinggi ....................... 33
Tabel 2.3 Standar Tingkat Pencahayaan Lingkungan Kerja .............................. 40
Tabel 2.4 NAB Iklim Kerja Indeks Suhu Basah dan Bola (ISBB) yang
Diperkenankan ................................................................................. 43
Tabel 2.5 Perkiraan Beban Kerja Menurut Kebutuhan Energi........................... 45
Tabel 3.1 Definisi Operasional ......................................................................... 68
Tabel 5.1 Distribusi Kelelahan Kerja (Subjective Self Ratting Test) Pada
Kolektor Gerbang Tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang
Tomang Cengkareng Tahun 2016 ................................................... 100
Tabel 5.2 Distribusi Intensitas Kebisingan Pada Kolektor Gerbang Tol Cililitan
PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng Tahun 2016 . 101
Tabel 5.3 Distribusi Intensitas Pencahayaan, Suhu Ruangan dan Kelembaban
Udara, dan Shift Kerja Pada Kolektor Gerbang Tol Cililitan PT Jasa
Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng Tahun 2016 .............. 102
Tabel 5.4 Hasil Uji Normalitas Data............................................................... 104
Tabel 5.5 Gambaran Kelelahan Kerja Berdasarkan Intensitas Kebisingan Pada
Kolektor Gerbang Tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang
Tomang Cengkareng Tahun 2016 ................................................... 105
Tabel 5.6 Gambaran Kelelahan Kerja Berdasarkan Intensitas Pencahayaan Pada
Kolektor Gerbang Tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang
Tomang Cengkareng Tahun 2016 ................................................... 106
Tabel 5.7 Gambaran Kelelahan Kerja Berdasarkan Suhu Ruangan Pada Kolektor
Gerbang Tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang
Cengkareng Tahun 2016 ................................................................. 107
Tabel 5.8 Gambaran Kelelahan Kerja Berdasarkan Kelembaban Udara Pada
Kolektor Gerbang Tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang
Tomang Cengkareng Tahun 2016 ................................................... 108
xv
Tabel 5.9 Gambaran Kelelahan Kerja Berdasarkan Shift Kerja Pada Kolektor
Gerbang Tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang
Cengkareng Tahun 2016 ................................................................. 109
xvi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Penentuan titik pengukuran pencahayaan umum dengan luas kurang
dari 10m2 ...................................................................................... 38
Gambar 2.2 Penentuan titik pengukuran pencahayaan umum dengan luas antara
10m2 sampai 100m2 ...................................................................... 38
Gambar 2.3 Penentuan titik pengukuran pencahayaan umum dengan luas>dari
100m2 ........................................................................................... 39
Gambar 4.1 Sound Level Meter Krisbow .......................................................... 81
Gambar 4.2 Digital Luxmeter DL 204 ............................................................... 84
Gambar 4.3 Denah Ruang Kerja Kolektor Gerbang Tol .................................... 85
Gambar 4.4 Thermohygrometer ........................................................................ 87
Gambar 5.1 Peta Wilayah Jaringan Jalan Tol Jakarta dan Sekitarnya ................. 95
xvii
DAFTAR BAGAN
Bagan 2.1 Kerangka Teori ................................................................................ 65
Bagan 3.1 Kerangka Konsep ............................................................................. 67
Bagan 5.1 Pertumbuhan Volume Lalu Lintas Kendaraan Ruas Dalam Kota
Cabang Cawang Tomang Cengkareng Rata-Rata Per Hari/kr ............ 96
Bagan 5.2 Pertumbuhan Volume Lalu Lintas Kendaraan Ruas Prof. Dr. Ir.
Sedyatmo Cabang Cawang Tomang Cengkareng Rata-Rata Per Hari/kr
......................................................................................................... 98
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN 1 KUESIONER KELELAHAN KERJA DAN OBSERVASI
LAMPIRAN 2 LEMBAAR PENGUKURAN KEBISINGAN,
PENCAHAYAAN, SUHU & KELEMBABAN
LAMPIRAN 3 HASIL PENGUKURAN PENELITIAN LINGKUNGAN
KERJA
LAMPIRAN 4 HASIL OUTPUT ANALISIS DATA
LAMPIRAN 5 SURAT-SURAT PENELITIAN
LAMPIRAN 6 DOKUMENTASI
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tingginya arus globalisasi akan banyak mempengaruhi berbagai sektor
dan salah satunya adalah sektor perusahaan pengembang jalan tol.
Peningkatan pengguna fasilitas jalan tol ini tentunya menuntut banyak kinerja
positif dari berbagai sumber daya yang ada yaitu kolektor gerbang tol.
Kolektor gerbang tol merupakan karyawan yang berperan penting dan
memiliki beban kerja dalam pengoperasian jalan tol karena membutuhkan
konsentrasi kerja yang non stop selama menjalankan pekerjaannya karena lalu
lintas kendaraan di jalan tol selalu ramai terutama pada jam-jam tertentu
sehingga tidak memungkinkan penjaga tol untuk beristirahat.
Frekuensi pertumbuhan volume kendaraan roda empat mengalami
penaikan sebesar 9% per tahun, sedangkan penambahan panjang jalan
dilakukan hanya sebesar 0,01% per tahun, kondisi ini menjadi pemicu
terjadinya masalah kemacetan lalu lintas (Sunito, 2010). Selain itu jumlah
volume kendaraan roda empat di gerbang tol Cililitan setiap harinya pada
seluruh shift yaitu kurang lebih mencapai 23.109/hari. Gerbang tol Cililitan
merupakan gerbang tol yang berada pada jalur cabang Cawang Tomang
Cengkareng. Cabang tersebut adalah cabang yang memiliki jalur sepanjang
37.85 Km dan dapat dinyatakan bahwa cabang CTC adalah jalur terpanjang
kedua setelah Jagorawi serta mendapati aktivitas volume kendaraan tertinggi
dibanding Jagorawi dan 4 jalur Jabodetabek lainnya.
2
Pada survei di USA, kelelahan merupakan problem yang besar.
Ditemukan sebanyak 24% dari seluruh orang dewasa yang datang ke
poliklinik menderita kelelahan kronis. Data yang hampir sama terlihat dalam
komunitas yang dilaksanakan oleh Kendel di Inggris yang menyebutkan
bahwa 25% wanita dan 20% pria selalu mengeluh lelah (Setyawati, 1994).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kementrian Tenaga Kerja Jepang
terhadap 12.000 perusahaan yang melibatkan sekitar 16.000 pekerja di negara
tersebut yang dipilih secara acak telah menunjukkan hasil bahwa ditemukan
65% pekerja mengeluhkan kelelahan fisik akibat kerja rutin, 28%
mengeluhkan kelelahan mental dan sekitar 7% pekerja mengeluh stress berat
dan merasa tersisihkan (Hidayat, 2003).
Miranti (2008) mengutarakan hasil penelitian yang dilakukan pada
salah satu perusahaan di Indonesia khususnya pada bagian produksi
mengatakan rata-rata pekerja mengalami kelelahan dengan mengalami gejala
sakit di kepala, nyeri di punggung, pening dan kekakuan di bahu.
Berdasarkan beberapa definisi menurut Grandjean (1995), Suma’mur
(2009), Tarwaka (2010) dan Nurmianto (2003) disimpulkan kelelahan akan
menunjukkan keadaan yang berbeda-beda pada setiap individu, namun dari
semua keadaan kelelahan akan berakibat pada pengurangan kapasitas kerja
baik motivasi kerja maupun produktivitas kerja, ketahanan tubuh dan
melemahnya kekuatan fisik maupun psikis yang dapat menggannggu
kesiagaan, ketelitian serta mempengaruhi kesehatan. Gejala yang dialami bagi
yang merasakan kelelahan kerja yaitu berupa gangguan kesehatan seperti
perasaan lesu, menguap, mengantuk, pusing, sulit berpikir, kurang
3
berkonsenterasi, kurang waspada, persepsi yang buruk dan lambat, kaku dan
canggung dalam gerakan, gairah bekerja kurang, tidak seimbang dalam
berdiri, tremor pada anggota badan, tidak dapat mengontrol sikap, dan
menurunnya kinerja jasmani dan rohani (Kroemer dan Grandjean, 1997;
Tarwaka, 2013).
Ada banyak faktor yang dapat menyebabkan kelelahan kerja, menurut
Setyawati (2010), faktor penyebab kelelahan antara lain faktor individu, faktor
pekerjaan, faktor lingkungan dan faktor psikologis. Suasana kerja yang tidak
ditunjang dengan kondisi lingkungan yang sehat, nyaman dan selamat akan
memicu terjadinya kelelahan kerja. Menurut McCunney (1988), tenaga kerja
akan dapat dan mampu bekerja, efisien dan produktif apabila lingkungan
tempat kerja nyaman. Sebaliknya kondisi lingkungan kerja yang tidak nyaman
dapat menyebabkan kelelahan tenaga kerja sehingga produktivitas tenaga
kerja menurun. Setyawati (1994) menyatakan bahwa kelelahan yang
disebabkan oleh faktor lingkungan fisik di tempat kerja antara lain oleh suhu,
pencahayaan dan kebisingan. Menurut Nurmianto (2003) terdapat beberapa
faktor yang mempengaruhi kualitas lingkungan dalam beraktifitas, salah
satunya adalah kualitas lingkungan kerja fisik yang diantaranya terdiri atas
intensitas penerangan, suhu dan kelembaban udara, dan tingkat kebisingan.
Masalah lingkungan kerja disini dapat diartikan tingkat kebisingan,
tingkat pencahayaan ruang kerja, dan iklim kerja tempat kerja (Budiono, dkk,
2003). Pada jenis pekerjaan seperti karyawan kolektor gerbang tol dituntut
untuk selalu memiliki motivasi dan tenaga kerja yang optimal pada saat
bekerja terutama pada saat volume kendaraan yang sedang tinggi.
4
Tingginya volume kendaraan dijalan tol akan menimbulkan kebisingan
yang lebih tinggi pula selaras dengan teori Suma’mur (2009), mengatakan
bahwa kebisingan dapat mempengaruhi faal tubuh seperti gangguan pada saraf
otonom yang ditandai dengan bertambahnya metabolisme, bertambahnya
tegangan otot sehingga mempercepat kelelahan.
Karyawan gerbang tol sangat membutuhkan pencahayaan yang cukup
karena pekerjaan yang dilakukan membutuhkan ketelitian yang tinggi untuk
melakukan transaksi pembayaran tol layaknya aktivitas administrasi.
Pencahayaan yang baik adalah pencahayaan yang memungkinkan seseorang
tenaga kerja melihat pekerjaannya dengan teliti, cepat, dan upaya tidak perlu
serta membantu menciptakan lingkungan kerja yang nikmat dan
menyenangkan (Suma’mur, 1996).
Idealistina (1991) menyatakan bahwa suhu nyaman diperlukan
manusia untuk mengoptimalkan produktifitas kerja. Pada keadaan lingkungan
yang panas atau dingin akan mempengaruhi kinerja aktivitas karyawan
kolektor gerbang tol dengan atau tidaknya dilengkapi pedingin ruangan setiap
ruangan akan mempengaruhi suhu yang diterima oleh karyawan karena
jendela ruangan terbuka untuk melakukan transaksi. Efisiensi kerja sangat di
pengaruhi oleh cuaca kerja dalam daerah nikmat kerja, jadi tidak dingin dan
kepanasan (Suma’mur, 2009). Bagi orang Indonesia suhu ruangan perkantoran
ditempat kerja dirasakan nyaman antara 18° C - 28 °C (Kepmekes RI. No.
1405/Menkes/SK/XI, 2002).
Terdapat beberapa penelitian terkait pengaruh lingkungan kerja fisik
terhadap kelelahan kerja diantaranya menunjukkan bahwa kebisingan
5
memiliki hubungan dengan kelelahan kerja salah satunya penelitian menurut
Sari (2010), berdasarkan uji Chi-Square untuk menguji pengaruh intensitas
kebisingan dengan kelelahan kerja diperoleh pvalue 0,001 (p ≤ 0,01) berarti
ada pengaruh intensitas kebisingan terhadap kelelahan kerja secara sangat
signifikan pada tenaga kerja bagian screening CV. Mekar Sari Wonosari
Klaten. Sedangkan pada penelitian Septiana, dkk (2013) tentang kelelahan
kerja yang dipengaruhi pencahayaan pada operator scarfing didapatkan hasil
berupa hubungan pencahayaan dengan kelelahan kerja mendapat nilai korelasi
pearson sebesar 0.15>α (0.05) artinya kelelahan kerja operator scarfing sangat
dipengaruhi oleh pencahayaan.
Kelelahan kerja yang diakibatkan oleh lingkungan kerja juga dapat
dipengaruhi dengan intensitas shift kerja. Menurut Grandjean (1995), secara
alamiah manusia dilahirkan untuk menjadi makhluk siang hari, artinya mereka
bangun pada siang hari dan tidur atau beristirahat pada malam hari. Kehidupan
seperti itu mengikuti suatu pola jam biologik yang disebut dengan circadian
rhythm yang berdaur selama 24 jam. Lamanya waktu yang dipergunakan
untuk tidur di siang hari relatif kecil dari yang seharusnya, mengakibatkan
mengantuk. Hal ini disebabkan gangguan suasana siang hari seperti
kebisingan, suhu, dan keadaan terang (Suma’mur, 1993). Berdasarkan
penelitian sebelumnya bahwa adanya hubungan antara kelelahan kerja dengan
shift kerja. Pada penelitian Basri (2014) menunjukkan bahwa berdasarkan uji
statistik Chi-Square, diketahui terdapat hubungan yang kuat antara shift kerja
malam dengan tingkat kelelahan operator produksi di PT Pertamina Eksplorasi
dan Produksi (EP) Kecamatan Balongan Kabupaten Indramayu tahun 2014.
6
Adapun berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan penulis pada
bulan Agustus dari 6 karyawan kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga
(Persero) Tbk, diketahui bahwa 3 karyawan mengalami kelelahan berat pada
shift siang, 1 karyawan mengalami kelelahan berat pada shift malam dan telah
merasakan kelelahan secara terus menerus pada 3-4 jam pertama dari awal
tugas pertukaran shift, sedangkan karyawan mengalami kelelahan ringan yaitu
2 karyawan pada shift malam. Hal ini disebabkan karena rutinitas kegiatan
masyarakat dalam menggunakan jalan tol dilihat dari meningkatnya volume
kendaraan lebih banyak saat shift siang dan sore yaitu 8.296 kendaraan,
dibandingkan dengan shift malam yaitu 3.641 kendaraan, selain itu juga
disebabkan oleh jenis pekerjaan yang tingkat beban kerjanya berbeda-beda
dalam pekerjaan ini tergolong beban kerja sedang. Pekerja juga merasakan
beberapa gejala seperti sakit kepala, sulit berkomunikasi, ketenangan bekerja
terganggu, konsentrasi terganggu, mengantuk, dan tingkat kewaspadaan
terganggu. gejala tersebut dirasakan karena adanya dukungan dari kondisi
lingkungan kerja kebisingan, pencahayaan dan suhu kelembaban.
Untuk studi pendahuluan hasil pengukuran pada kolektor gerbang tol
Cililitan 2 pada shift siang dan malam didapatkan hasil pengukuran intensitas
kebisingan di 3 gerbang tol Cililitan 2 pada durasi kerja 8 jam yang diterima
pekerja mencapai 78-87 dB, jika dibandingkan dengan Permenakertrans No.
13 Tahun 2011 bahwa standar NAB kebisingan ditempat kerja yang telah
ditetapkan adalah 85 dB. Selanjutnya, hasil pengukuran pencahayaan pada
ruang kerja kolektor gerbang tol Cililitan 2 didapatkan hasil yang bervariasi
setiap gerbang dan keadaan cuaca yang berubah-ubah saat pengukuran yaitu
7
didapatkan hasil berkisar 39.36 – 96.16 lux yang bila dibandingkan dengan
NAB pada Kepmenkes RI No. 1405 Tahun 2002 yaitu 300 lux untuk standar
ruangan administrasi dengan pekerjaan rutin maka pencahayaan yang
didapatkan pekerja dibawah standar. Terdapat hasil ukur suhu yaitu 21.73-
31.16 ˚C dan kelembaban udara yaitu 66.86%-80.55% pada ruang kerja
karyawan kolektor gerbang tol dan dibandingkan dengan Keputusan Menteri
Kesehatan RI. No. 1405/MENKES/SK/XI (2002) sebaiknya ruang kerja
perkantoran memiliki suhu 18-28˚C dan kelembaban 40%-60% maka
dinyatakan bahwa hasil ukur berada diatas standar yang telah ditentukan.
Selain itu, kondisi lingkungan kerja seperti sirkulasi udara yang ada
diruang kerja sudah baik karena adanya ventilasi udara untuk perputaran udara
baik udara yang masuk maupun udara yang keluar, tidak adanya sumber
getaran dalam melakukan pekerjaan dan untuk bau-bauan dan warna pada
ruang kerja tidak pernah ada bau-bauan menyengat ataupun warna cat yang
mengganggu pekerja saat melakukan aktivitas pekerjaan.
Untuk kondisi lingkungan kerja secara langsung seperti sarana maupun
prasarana di ruang kerja semua dikategorikan dalam kondisi yang baik karena
meja kerja yang digunakan tidak membuat para pekerja kesulitan dalam
menggunakannya baik pada luas meja, permukaan meja maupun warna meja
tidak mengganggu. Sedangkan, pada kursi kerja yang ada juga memudahkan
para pekerja dalam mengatur tinggi rendah kursi, kursi kerja yang ada
memiliki sandaran untuk pekerja duduk dalam posisi tegak dan dapat
meregangkan otot punggung, kursi kerja juga tidak menyulitkan pekerja
bergerak bebas pada lengannya serta bagi para pekerja kursi yang digunakan
8
sudah tergolong nyaman. Ruang kerja yang hanya berukuran 2 x 2 meter
tersebut membuat pekerja memiliki keterbatasan gerak dan hanya cukup untuk
disinggahi 2-3 orang demi kenyamanan ruang kerja, dalam hal ini kondisi
ruang kerja dan sarana prasarananya masih tergolong baik dan tidak
mengganggu pekerja dalam melakukan aktivitas kerjanya dalam kata lain
sarana dan prasarana yang disediakan tidak menunggu pekerja untuk dapat
beradaptasi melainkan disediakan untuk memudahkan para pekerja kolektor
gerbang tol, pernyataan diatas tersebut berdasarkan penilaian observasi
(Quible, 2001; Gie, 2000; dan Nurmianto, 2003).
Hal tersebut juga dikemukakan oleh Notoatmodjo (2007) yang
menyatakan bahwa apabila antara sarana, prasarana atau peralatan kerja
dengan pekerja sudah cocok, maka kelelahan dapat dicegah sehingga proses
kerja akan lebih efisien dan berdampak pada produktivitas tinggi. Studi
pendahuluan yang dilakukan telah menggambarkan baik pada faktor
lingkungan langsung maupun tidak langsung yang telah mengganggu
kenyamanan pekerja kolektor gerbang tol yaitu kelelahan kerja terjadi akibat
faktor lingkungan tidak langsung melainkan adanya pajanan seperti
kebisingan, pencahayaan dan suhu kelembaban ruang kerja.
Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian tentang Hubungan Lingkungan Kerja Fisik Dengan Kelelahan Kerja
Pada Kolektor Gerbang Tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang
Cengkareng Tahun 2016.
9
1.2. Rumusan Masalah
PT Jasa Marga (Persero) Tbk merupakan perusahaan yang berperan
sebagai pengembang sekaligus operator jalan tol yang beroperasi selama 24
jam untuk melayani masyarakat, dengan pertumbuhan volume kendaraan yang
terus meningkat setiap harinya menuntut kolektor gerbang tol untuk kerja
ekstra dan merasakan kelelahan saat bekerja.
Berdasarkan studi pendahuluan bulan Agustus pada kolektor gerbang
tol Cililitan 2 didapatkan hasil pengukuran intensitas kebisingan yang diterima
pekerja bervariasi mencapai diatas NAB yang telah ditetapkan yaitu 85 dB,
pengukuran pencahayaan pada ruang kerja didapatkan hasil yang bervariasi
yaitu dibawah standar yang ditetapkan yaitu 300 lux untuk jenis pekerjaan
administrasi rutin, sedangkan pengukuran suhu dan kelembaban didapatkan
hasil melebihi standar yang diperkenankan yaitu sebesar 18-28 ˚C untuk suhu
dan 40%-60% untuk kelembaban. Hasil pengukuran kelelahan menggunakan
kuesioner Subjective Self Ratting Test dari 6 karyawan kolektor gerbang tol
Cililitan, diketahui bahwa 4 karyawan kelelahan berat, dan 2 karyawan
kelelahan ringan. Selain itu perbedaan tingkatan kelelahan kerja antar shift
siang dan malam yaitu pekerja shift siang lebih lelah dibanding dengan pekerja
shift malam.
Untuk itu perlu dilakukannya penelitian terkait hubungan lingkungan
kerja fisik dengan kelelahan kerja dan mempertimbangkan shift kerja di PT
Jasa Marga.
10
1.3. Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana gambaran tingkat kelelahan kerja pada kolektor gerbang tol
Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang-Tomang-Cengkareng Tahun
2016?
2. Bagaimana gambaran tingkat kebisingan di tempat kerja pada kolektor
gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang-Tomang-Cengkareng
Tahun 2016?
3. Bagaimana gambaran tingkat pencahayaan di tempat kerja pada kolektor
gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang-Tomang-Cengkareng
Tahun 2016?
4. Bagaimana gambaran suhu dan kelembaban ruangan di tempat kerja pada
kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang-Tomang-
Cengkareng Tahun 2016?
5. Bagaimana gambaran sistem shift pada kolektor gerbang tol Cililitan PT
Jasa Marga Cabang Cawang-Tomang-Cengkareng Tahun 2016?
6. Apakah ada hubungan kebisingan dengan kelelahan kerja pada kolektor
gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang-Tomang-Cengkareng
Tahun 2016?
7. Apakah ada hubungan pencahayaan dengan kelelahan kerja pada kolektor
gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang-Tomang-Cengkareng
Tahun 2016?
11
8. Apakah ada hubungan suhu dan kelembaban ruangan dengan kelelahan
kerja pada kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang-
Tomang-Cengkareng Tahun 2016?
9. Apakah ada hubungan shift kerja dengan kelelahan kerja pada kolektor
gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang-Tomang-Cengkareng
Tahun 2016?
1.4. Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Diketahuinya hubungan lingkungan kerja fisik dengan kelelahan
kerja pada kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang-
Tomang-Cengkareng Tahun 2016.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Diketahuinya gambaran tingkat kelelahan kerja di tempat kerja pada
kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang-
Tomang-Cengkareng Tahun 2016.
2. Diketahuinya gambaran tingkat kebisingan di tempat kerja pada
kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang-
Tomang-Cengkareng Tahun 2016.
3. Diketahuinya gambaran tingkat pencahayaan di tempat kerja pada
kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang-
Tomang-Cengkareng Tahun 2016.
12
4. Diketahuinya gambaran suhu dan kelembaban ruangan di tempat kerja
pada kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang-
Tomang-Cengkareng Tahun 2016.
5. Diketahuinya gambaran sistem shift pada kolektor gerbang tol Cililitan
PT Jasa Marga Cabang Cawang-Tomang-Cengkareng Tahun 2016.
6. Diketahuinya hubungan kebisingan dengan kelelahan kerja pada
kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang-
Tomang-Cengkareng Tahun 2016.
7. Diketahuinya hubungan pencahayaan dengan kelelahan kerja pada
kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang-
Tomang-Cengkareng Tahun 2016.
8. Diketahuinya hubungan suhu dan kelembaban ruangan dengan
kelelahan kerja pada kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga
Cabang Cawang-Tomang-Cengkareng Tahun 2016.
9. Diketahuinya hubungan shift kerja dengan kelelahan kerja pada
kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang-
Tomang-Cengkareng Tahun 2016?
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Manfaat Bagi Perusahaan
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi bagi
perusahaan sehingga perusahaan dapat membuat suatu program atau
kebijakan terkait dengan upaya pencegahan terjadinya kelelahan kerja
13
pada pekerja. Selain itu dapat meningkatkan kinerja (produktifitas) dan
efisiensi pekerjaan, meningkatkan moral dan kepuasan pekerja sehingga
mengurangi angka kecelakaan, kesakitan, hilangnya hari kerja,
menurunkan turn over rate serta absenteeism (loss time), menghindari
terjadinya kehilangan tenaga kerja yang terampil dan skilled,
membangun komitmen untuk selalu bersama-sama memperhatikan
keselamatan dan kesehatan kerja.
1.5.2 Manfaat Bagi Fakultas
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi dan
dapat dijadikan referensi dibidang keselamatan dan kesehatan kerja bagi
civitas akademika.
1.5.3 Manfaat Bagi Peneliti
Menambah pengetahuan dan wawasan tentang perbedaan tingkat
kelelahan kerja tenaga kerja berdasarkan sistem shift pagi, siang dan
malam, dan mengetahui hubungan kelelahan dengan lingkungan kerja
serta sebagai penerapan ilmu yang telah didapat selama dibangku
perkuliahan.
1.6 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan lingkungan kerja
fisik (kebisingan, pencahayaan dan suhu kelembaban) dengan kelelahan kerja
pada kolektor gerbang tol. Penelitian ini bersifat kuantitatif dengan
menggunakan desain cross sectional dan pengambilan sampel dengan
menggunakan simple random sampling yang dilakukan pada bulan Oktober
14
2016 dengan lokasi PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng di
gerbang tol Cililitan.
Populasi penelitian adalah kolektor gerbang tol Cililitan I dan II
berjumlah 93 karyawan pada 7 gardu yang bekerja pada shift pagi, siang dan
malam dan untuk sampel yang diambil adalah 42 karyawan. Data yang
diperoleh adalah data sekunder yang di dapat dari perusahaan dan data primer
yang didapat dengan menggunakan instrumen penelitian yaitu wawancara
dengan menggunakan kuesioner alat ukur tingkat kelelahan kerja yaitu
Subjective Self Rating Test (SSRT) dari Industrial Fatigue Research Comitte
Japan (IFRC Jepang), selanjutnya pengukuran dengan menggunakan Sound
Level Meter untuk kebisingan, Lux Meter untuk pencahayaan dan
Thermohygrometer untuk suhu dan kelembaban ruangan. Analisis univariat
dilakukan untuk mengetahui frekuensi dan distribusi dari variabel yang
diteliti. Analisis bivariat (Uji T-Independent) dan (Uji Chi-Square) digunakan
untuk mengetahui hubungan antara variabel independen dan variabel
dependen.
15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kelelahan Kerja
2.1.1 Definisi Kelelahan Kerja
Kelelahan mengandung 3 pengertian yaitu terdapatnya penurunan
hasil kerja secara fisiologik, adanya perasaan lelah dan merasa bosan
bekerja. Semua jenis pekerjaan akan menghasilkan kelelahan kerja. Lelah
bagi setiap orang akan mempunyai arti tersendiri dan bersifat subjektif.
Lelah merupakan suatu perasaan. Kelelahan kerja adalah aneka keadaan
yang disertai penurunan efisiensi dan ketahanan dalam bekerja, yang dapat
disebabkan oleh:
a. Kelelahan yang sumber utamanya adalah mata (kelelahan visual)
b. Kelelahan fisik umum
c. Kelelahan syaraf
d. Kelelahan oleh lingkungan yang monoton
e. Kelelahan oleh lingkungan kronis terus-menerus sebagai faktor secara
menetap (Suma’mur, 2009).
Kelelahan bagi setiap orang memiliki arti tersendiri dan bersifat
subjektif. Lelah adalah aneka keadaan yang disertai penurunan efisiensi
dan penurunan kapasitas kerja serta ketahanan tubuh. Kelelahan kerja
dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Menurut Nurmianto (2003),
kelelahan kerja akan menurunkan kinerja dan menambah tingkat kesalahan
kerja.
16
Meningkatnya kesalahan kerja akan memberikan peluang terjadinya
kecelakaan kerja dalam industri. Pembebanan otot secara statis pun (static
muscular loading) jika dipertahankan dalam waktu yang cukup lama akan
mengakibatkan RSI (Repetition Strain Injuries), yaitu nyeri otot, tulang,
tendon, dan lain-lain yang diakibatkan oleh jenis pekerjaan yang bersifat
berulang (repetitive). Selain itu karakteristik kelelahan akan meningkat
dengan semakin lamanya pekerjaan yang dilakukan, sedangkan
menurunnya rasa lelah (recovery) adalah didapat dengan memberikan
istirahat yang cukup.
Kelelahan berbeda dengan kejemuan, sekalipun kejemuan adalah
suatu faktor dari kelelahan (Suma’mur, 1999). Menurut Tarwaka, dkk
(2004) kelelahan merupakan suatu mekanisme perlindungan agar terhindar
dari kerusakan lebih lanjut, sehingga dengan demikian terjadilah
pemulihan setelah istirahat. Kelelahan kerja adalah suatu kondisi yang
disertai penurunan efisiensi dan kebutuhan dalam bekerja (Budiono,
2003). Jadi dapat disimpulkan bahwa kelelahan kerja bisa menyebabkan
penurunan kinerja yang dapat berakibat pada peningkatan kesalahan kerja,
gangguan kesehatan pekerja dan kecelakaan kerja.
Menurut Suma’mur (1996) terdapat empat kelompok sebab
kelelahan yaitu: keadaan monoton, beban pekerjaan baik fisik maupun
mental, keadaan lingkungan seperti cuaca kerja, penerangan dan
kebisingan, keadaan kejiwaan seperti tanggung jawab, kekhawatiran atau
konflik, penyakit atau perasaan sakit.
17
2.1.2 Jenis Kelelahan Kerja
Kelelahan dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu
berdasarkan proses dan waktu terjadinya kelelahan.
a. Berdasarkan proses, meliputi:
1. Kelelahan otot (muscular fatigue)
Kelelahan otot menurut Suma’mur (1999) adalah suatu
keadaan yang terjadi setelah kontraksi otot yang kuat dan lama ,
dimana otot tidak mampu lagi berkontraksi dalam jangka waktu
tertentu. Kelelahan otot menunjuk pada suatu proses yang
mendekati definisi fisiologik yang sebenarnya yaitu berkurangnya
respons terhadap stimulasi yang sama. Kelelahan otot secara umum
dapat dinilai berdasarkan persentase penurunan kekuatan otot,
waktu pemulihan kelelahan otot, serta waktu yang diperlukan
sampai terjadi kelelahan.
Fenomena berkurangnya kinerja otot setelah terjadinya
tekanan melalui fisik untuk suatu waktu tertentu disebut kelelahan
otot secara fisiologis, dan gejala yang ditunjukkan tidak hanya
berupa berkurangnya tekanan fisik namun juga pada makin
rendahnya gerakan (Budiono. 2003).
2. Kelelahan Umum
Pendapat Grandjean (1995) dalam Tarwaka, dkk (2004),
biasanya kelelahan umum ditandai dengan berkurangnya kemauan
untuk bekerja, yang sebabnya adalah pekerjaan yang monoton,
intensitas dan lamanya kerja fisik, keadaan lingkungan, sebab-
18
sebab mental, status kesehatan dan keadaan gizi. Secara umum
gejala kelelahan dapat dimulai dari yang sangat ringan sampai
perasaan yang sangat melelahkan. Kelelahan subjektif biasanya
terjadi pada akhir jam kerja, apabila beban kerja melebihi 30-40%
dari tenaga aerobik. Pengaruh-pengaruh ini seperti berkumpul
didalam tubuh dan mengakibatkan perasaan lelah (Suma’mur,
2009). Menurut Budiono (2003), gejala umum kelelahan adalah
suatu perasaan letih yang luar biasa dan terasa aneh. Semua
aktivitas menjadi terganggu dan terhambat karena munculnya
gejala kelelahan tersebut. Tidak adanya gairah untuk bekerja baik
secara fisik maupun psikis, segalanya terasa berat dan merasa
mengantuk.
b. Berdasar waktu terjadi kelelahan, meliputi:
1. Kelelahan akut, yaitu disebabkan oleh kerja suatu organ atau
seluruh organ tubuh secara berlebihan dan datangnya secara tiba-
tiba.
2. Kelelahan kronis merupakan kelelahan yang terjadi sepanjang hari
dalam jangka waktu yang lama dan kadang-kadang terjadi sebelum
melakukan pekerjaan, seperti perasaan “kebencian” yang
bersumber dari terganggunya emosi. Selain itu timbulnya keluhan
psikosomatis seperti meningkatnya ketidakstabilan jiwa, kelesuan
umum, meningkatnya sejumlah penyakit fisik seperti sakit kepala,
perasaan pusing, sulit tidur, masalah pencernaan, detak jantung
yang tidak normal, dan lain-lain (Budiono, 2003).
19
2.1.3 Gejala Kelelahan Kerja
Menurut Gilmer (1966) dan Cameron (1973), ada beberapa gejala
akibat kelelahan kerja antara lain:
a. Menurun kesiagaan dan perhatian.
b. Penurunan dan hambatan persepsi.
c. Cara berpikir atau perbuatan anti sosial.
d. Tidak cocok dengan lingkungan.
e. Depresi, kurang tenaga, dan kehilangan inisiatif.
f. Gejala umum (sakit kepala, vertigo, gangguan fungsi paru dan jantung,
kehilangan nafsu makan, gangguan pencemaan, kecemasan, perubahan
tingkah laku, kegelisahan, dan kesukaran tidur).
Jika menderita lelah berat secara terus menerus maka akan
mengakibatkan kelelahan kronis dengan gejala lelah sebelum bekerja. Jika
terus berlanjut dan menimbulkan sakit kepala, pusing, mual dan
sebagainya maka kelelahan itu dinamakan lelah klinis yang akan
mengakibatkan malas bekerja (Sedarmayanti, 2009).
2.1.4 Mekanisme Kelelahan
Proses metabolisme tubuh ketika melakukan aktivitas yang lebih
berat membuat tubuh tidak bisa lagi hanya mengandalkan pasokan oksigen
tapi juga proses biokimia. Proses biokimia ini menghasilkan asam laktat
yang kemudian memasuki aliran darah. Penumpukan asam laktat ini akan
membuat tubuh merasa lelah. Proses biokimia yang terjadi antara
kelelahan otot dan kelelahan umum sangat berbeda.
20
a. Mekanisme Kelelahan Otot Dengan Proses Biokimia
Ketika sebuah otot berkontraksi, dibutuhkan energi untuk
melakukan kontraksi itu. Energi yang dibutuhkan berasal dari sumber
kimia. Dalam hal ini ATP diubah menjadi ADP, sehingga secara
demikian dibebaskan energi untuk kontraksi otot. Setelah energi tadi
terpakai, maka tenaga yang telah dipakai tadi akan diganti dengan
cadangan tenaga yang diperoleh dari perubahan glikogen dalam otot
menjadi asam laktat. Pada peristiwa ini dibebaskan energi, yang
kemudian digunakan untuk mengubah ADP menjadi ATP lagi. 1/5 dari
asam laktat akan dibakar secara aerob untuk menghasilkan energi yang
akan digunakan untuk mengubah sisa dari asam laktat (4/5 bagian
lainnya) menjadi glikogen otot lagi. Proses glikogen diubah menjadi
asam laktat terjadi dalam keadaan anaerob. Peristiwa ini dikenal juga
dengan sebutan proses Embden-Meyerhoff. Faktor- Faktor Penyebab
Kelelahan Otot:
1.) Penumpukan asam laktat
Terjadinya kelelahan otot yang disebabkan oleh
penumpukan asam laktat telah lama dicurigai. Penumpukan asam
laktat pada intramuscular dengan menurunnya puncak tegangan
(ukuran dari kelelahan apabila rasio asam laktat pada otot merah
dan otot putih meningkat, puncak tegangan otot menurun. Jadi bisa
diartikan bahwa besarnya kelelahan pada serabut-serabut otot putih
berhubungan dengan besarnya kemampuan mereka untuk
membentuk asam laktat. Pendapat bahwa penumpukan asam laktat
21
menyertai didalam proses kelelahan selanjutnya diperkuat oleh
fakta dimana dua mekanisme secara fisiologi yang karenanya asam
laktat menghalang-halangi fungsi otot. Kedua mekanisme tersebut
tergantung kepada efek asam laktat pada pH intra selular atau
konsentrasi ion hydrogen (H). Dengan meningkatnya asam laktat,
konsentrasi H meningkat, dan pH menurun. Di pihak lain,
peningkatan konsentrasi ion H menghalangi proses rangkaian
eksitasi, oleh menurunnya sejumlah Ca yang dikeluarkan dari
reticulum sarkoplasma dan gangguan kapasitas mengikattroponin.
Peningkatan konsentrasi ion H juga menghambat kegiatan
fosfofruktokinase, enzim kunci yang terlibat di dalamanaerobic
glikolisis. Demikian lambatnya hambatan glikolisis, mengurangi
penyediaan ATP untuk energi.
2.) Pengosongan penyimpanan ATP dan PC
Karena ATP merupakan sumber energi secara langsung
untuk kontraksi otot, dan PC dipergunakan untuk Resintesa ATP
secepatnya, pengosongan Fosfagen intraseluler mengakibatkan
kelelahan. Bahwa kelelahan tidak berasal dari rendahnya fosfagen
didalam otot . Penelitian terhadap otot katak yang dipotong pada
otrot sartoriusnya. Sebagai contoh, telah diingatkan bahwa selama
kegiatan kontraksi, konsentrasi ATP didaerah miofibril mungkin
lebih berkurang daripadadalam otot keseluruhan. Oleh karena itu,
ATP menjadi terbatas didalam mekanisme kontraktil, walaupun
hanya terjadi penurunan yang moderat dari jumlah total ATP
22
didalam otot. Kemungkinan yang lain adalah bahwa hasil energi
didalam pemecahan ATP lebih sedikit dari jumlah ATP yang
tersedia didalam batas-batas untuk kontreaksi otot. Alasan dari
penurunan ini mungkin dihubungkan dengan peningkatan
konsentrasi ion H dalam jumlah kecil sampai besar
didalamintraseluler, dan merupakan penyebab utama dari
penumpukan asam laktat.
3.) Pengosongan Simpanan Glikogen Otot
Seperti halnya dengan asam laktat dan kelelahan ,
hubungan sebab akibat antara pengosongan glikogen ototdan
kelelahan otot tidak dapat ditentukan dengan tegas . Faktor-faktor
lain yang berhubungan dengan kelelahan selama periode latihan
yang lama. Rendahnya tingkatan/level glukosa darah,
menyebabkan pengosongan cadangan glikogen hati. Kelelahan otot
lokal disebabkan karena pengosongan cadangan glikogen otot.
b. Mekanisme Kelelahan Umum Dengan Proses Biokimia
Kelelahan umum dapat berhubungan erat dengan gula darah.
Selain itu lelah dapat menjadi salah satu gejala bagi suatu penyakit
karena menurunnya kadar gula darah seseorang, yang dikenal dengan
hipoglikemia. Dalam ilmu kedokteran, gula darah adalah istilah yang
mengacu kepada tingkat glukosa di dalam darah. Konsentrasi gula
darah, atau tingkat glukosa serum, diatur dengan ketat di dalam tubuh.
Glukosa yang dialirkan melalui darah adalah sumber utama energi
untuk sel-sel tubuh.
23
Tingkat gula darah diatur melalui umpan balik negatif untuk
mempertahankan keseimbangan di dalam tubuh. Level glukosa di
dalam darah diatur oleh pankreas. Bila konsentrasi glukosa menurun,
karena dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan energi tubuh, pankreas
melepaskan glukagon, hormon yang menargetkan sel-sel di lever
(hati). Kemudian sel-sel ini mengubah glikogen menjadi glukosa
(glikogenolisis). Glukosa dilepaskan ke dalam aliran darah, hingga
meningkatkan level gula darah. Apabila level gula darah meningkat,
hormon yang lain dilepaskan dari butir-butir sel yang terdapat di dalam
pankreas. Hormon ini, yang disebut insulin, menyebabkan hati
mengubah lebih banyak glukosa menjadi glikogen. Proses ini disebut
glikogenosis, yang mengurangi level gula darah.
Umumnya seseorang yang sedang mengalami capek atau lelah
akan mengantuk. Mengantuk disebabkan oleh menurunnya suplai
oksigen pada otak. Hal ini disebabkan karena penurunan insulin yang
menyebabkan tingginya kadar glukosa dalam darah. Tingginya kadar
glukosa dalam darah (hiperglikemia) akan mengakibatkan viskositas
darah meningkat. Peningkatan viskositas (kekentalan)darah akan
menyebabkan penurunan volume plasma. Penurunan volume plasma
ini juga berarti bahwa volume darah yang dipompa oleh jantung
menurun. Hal ini berdampak pada kurangnya transpor darah ke otak
sehingga otak tidak mendapatkan cukup oksigen. Hal inilah yang
menyebabkan timbulnya rasa kantuk. Faktor Penyebab Kelelahan
umum (general fatigue): Tidak cukup tidur, Kekurangan energi,
24
Anemia, Depresi, Kebanyakan kafein, Penyakit jantung, Diabetes,
Dehidrasi.
2.1.5 Metode Pengukuran Kelelahan Kerja
Menurut Tarwaka, dkk (2004) untuk mengetahui kelelahan seperti
ini dapat diukur dengan menggunakan :
a. Waktu reaksi (Psychomotor test)
Pada metode ini melibatkan fungsi persepsi, interpretasi dan
reaksi motor. Salah satu cara yang dapat digunakan adalah dengan
pengukuran waktu reaksi. Waktu reaksi adalah jangka waktu dari
pemberian suatu rangsang sampai kepada suatu saat kesadaran atau
dilaksanakan kegiatan. Dalam uji waktu reaksi dapat digunakan nyala
lampu dan denting suara serta sentuhan kulit atau goyangan badan
sebagai stimuli. Terjadinya pemanjangan waktu reaksi merupakan
petunjuk adanya pelambatan pada proses faal syaraf dan otot.
b. Uji mental (Bourdon Wiersma test)
Pada metode ini konsentrasi merupakan salah satu pendekatan
yang dapat digunakan untuk menguji ketelitian dan kecepatan
menyelesaikan pekerjaan. Bourdon Wiersma test, merupakan salah
satu alat yang dapat digunakan untuk menguji kecepatan, ketelitian dan
konstansi. Hasil test akan menunjukkan bahwa semakin lelah
seseorang maka tingkat kecepatan, ketelitian dan konsentrasi akan
semakin rendah atau sebaliknya. Namun demikian Bourdon Wiersma
tes lebih tepat untuk mengukur kelelahan akibat aktivitas atau
pekerjaan yang lebih bersifat mental.
25
c. Uji hilangnya kelipan (Flicker Fusion Test)
Dalam kondisi yang lelah, kemampuan tenaga kerja untuk
melihat kelipan akan berkurang. Semakin lelah akan semakin panjang
waktu yang diperlukan untuk jarak antara 2 kelipan. Uji kelipan dapat
digunakan untuk mengukur kelelahan juga menunjukkan keadaan
kewaspadaan tenaga kerja.
d. Kualitas dan kuantitas kerja yang dilakukan
Pada metode ini, kualitas output digambarkan sebagai jumlah
proses kerja (waktu yang digunakan setiap item) atau proses operasi
yang dilakukan setiap unit waktu. Namun demikian banyak faktor
yang harus dipertimbangkan seperti; target produksi; faktor sosial; dan
perilaku psikologis dalam kerja. Sedangkan kualitas output (kerusakan
produk, penolakan produk) atau frekuensi kecelakaan dapat
menggambarkan terjadinya kelelahan, tetapi faktor tersebut bukanlah
merupakan kausal faktor.
e. Perasaan kelelahan secara subjektif (Subjective Self Rating Test of
Fatigue)
Subjective Self Rating Test dari Industrial Fatigue Research
Committee (IFRC) Jepang, merupakan salah satu kuesioner yang dapat
mengukur tingkat kelelahan subjektif. Sinclair (1992) menjelaskan
beberapa metode yang dapat digunakan dalam pengukuran subjektif.
Metode antara lain: ranking methods, rating methods, questionnaire
methods,interview dan checklists. Gejala atau perasaan atau tanda yang
ada hubunganya dengan kelelahan adalah:
26
1. Perasaan berat dikepala
2. Menjadi lelah diseluruh badan
3. Kaki merasa berat
4. Menguap
5. Merasa kacau pikiran
6. Mengantuk
7. Merasa berat pada mata
8. Kaku dan canggung dalam
gerakan
9. Tidak seimbang dalam berdiri
10. Mau berbaring
11. Merasa susah berfikir
12. Lelah bicara
13. Gugup
14. Tidak dapat berkonsentrasi
15. Tidak dapat memfokuskan
perhatian terhadap sesuatu
16. Cenderung untuk lupa
17. Kurang kepercayaan diri
18. Cemas terhadap sesuatu
19. Tidak dapat mengontrol sikap
20. Tidak dapat tekun dalam melakukan
pekerjaan
21. Sakit kepala
22. Kekakuan dibahu
23. Merasa nyeri dipunggung
24. Merasa pernafasan tertekan
25. Merasa haus
26. Suara serak
27. Pusing
28. Spasme kelopak mata
29. Tremor pada anggota badan
30. Merasa kurang sehat.
Gejala perasaan atau tanda 1-10 menunjukan melemahnya
kegiatan, 11-20 menunjukan melemahnya motivasi, dan 20-30
menunjukan kelelahan fisik sebagai akibat dari keadaan umum yang
melelahkan (Tarwaka, 2004).
2.2 Faktor Lingkungan Kerja Fisik Yang Mempengaruhi Kelelahan Kerja
Menurut Sedarmayanti (2009) lingkungan adalah agregat dari seluruh
kondisi dan pengaruh luar yang mempengaruhi kehidupan dan perkembangan
suatu organisasi. Kondisi lingkungan kerja dikatakan baik atau sesuai apabila
manusia dapat melaksanakan kegiatan secara optimal, sehat, aman, dan
nyaman. Kesesuaian lingkungan kerja dapat dilihat akibatnya dalam jangka
waktu yang lama lebih jauh lagi lingkungan-lingkungan kerja yang kurang
27
baik dapat menuntut tenaga kerja dan waktu yang lebih banyak dan tidak
mendukung diperolehnya rancangan sistem kerja yang efisien. Secara umum
lingkungan dapat dibagi menjadi dua yaitu:
a. Lingkungan Fisik
Lingkungan yang terdapat disekitar manusia, lingkungan fisik contohnya:
cuaca, musim, keadaan geografis, dan struktur geologi dan lain-lain.
b. Lingkungan Non Fisik
Lingkungan non fisik adalah lingkungan yang muncul sebagai akibat
adanya interaksi antara manusia, misalnya: sosial budaya, norma, adat
istiadat, dan lain-lain.
Ditempat kerja lingkungan fisik merupakan arti semua keadaan yang
terdapat disekitar tempat kerja, akan mempengaruhi pekerja baik secara
langsung maupun tidak langsung. Lingkungan kerja merupakan keseluruh alat
perkakas dan bahan yang dihadapi, lingkungan sekitarnya di mana seseorang
bekerja, metode kerjanya, serta pengaturan kerjanya baik sebagai
perseorangan maupun sebagai kelompok (Sedarmayanti, 2009). Lingkungan
fisik dapat dibagi menjadi dua kategori antara lain:
a. Lingkungan yang berhubungan langsung dengan pekerja, misalnya: pusat
kerja, kursi, meja, alat kerja dan lainnya.
b. Lingkungan perantara disebut lingkungan kerja yang mempengaruhi
kondisi manusia, misalnya: temperature atau tekanan panas, kelembaban,
sirkulasi udara, pencahayaan, kebisingan, getaran mekanis, bau tidak
sedap, warna dan lain-lain (Sedarmayanti, 2009).
28
Lingkungan fisik kerja merupakan faktor eksternal dari penyebab
kelelahan kerja yang terdapat disekitar tempat kerja meliputi temperature atau
tekanan panas, kelembaban udara, sirkulasi udaram pencahayaan, kebisingan,
getaran mekanik, bau-bauan, warna, dan lain-lain. Dalam hal ini akan
berpengaruh signifikan terhadap hasil kerja manusia (Wignjosoebroto, 2003).
Dengan kata lain kondisi fisik di lingkungan kerja yang dapat mempengaruhi
kelelahan kerja, meliputi:
2.2.1 Kebisingan
Bunyi didengar sebagai rangsangan pada telinga oleh getaran-
getaran melalui media elastis, dan manakala bunyi-bunyi tersebut tidak
dikehendaki, maka dinyatakan sebagai kebisingan. Terdapat dua hal yang
menentukkan kualitas suatu bunyi, yaitu frekuensi dan intensitasnya.
Frekuensi dinyatakan dalam jumlah getaran per detik atau disebut hertz
(Hz) dan intensitas atau arus energi persatuan luas biasanya dinyatakan
dalam decibel (dB) (Suma’mur, 1996).
Kebisingan adalah suara yang tidak dikehendaki
(unwanted/undesired sound). Spooner mendefinisikan bising sebagai suara
yang tidak mempunyai kualitas musik. Nilai Ambang Batas (NAB) di
Indonesia kebisingan adalah 85 decibel (Permenakertrans No. 13, 2011).
Jika lamanya shift lebih dari 8 jam kerja, maka tingkat kebisingan yang
harus diturunkan. Kebisingan adalah semua suara yang tidak dikehendaki
yang bersumber dari alat-alat proses produksi dan/atau alat-alat kerja yang
pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran
(Permenakertans No.13, 2011). Selain itu, kebisingan merupakan suara
29
atau bunyi yang tidak dikehendaki oleh telinga karena dalam jangka
panjang dapat mengganggu ketenangan bekerja, merusak pendengaran,
dan menimbulkan kesalahan komunikasi, bahkan kebisingan yang serius
dapat menyebabkan kematian (Sedarmayanti, 2009).
Pengaruh kebisingan terhadap tenaga kerja adalah mengurangi
kenyamanan dalam bekerja, mengganggu komunikasi, mengurangi
konsentrasi (Budiono, dkk, 2003), sehingga muncul sejumlah keluhan
yang berupa perasaan lamban dan keengganan untuk melakukan aktivitas.
Kebisingan yang tidak terkendalikan dengan baik, juga dapat
menimbulkan efek lain yang salah satunya berupa meningkatnya kelelahan
kerja (Suma’mur,1996).
Selain itu, tenaga kerja yang terpapar kebisingan dapat
menyebabkan kelelahan kerja karena denyut nadinya akan naik, tekanan
darah naik, dan mempersempit pembuluh darah yang akan menggangu
komunikasi serta menganggu konsentrasi dan kemampuan berpikir pekerja
sehingga menyebabkan kelelahan kerja (Suma’mur, 1996; Syukri, 1996;
Soeripto, 1996). Terdapat beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa
kebisingan memiliki hubungan dengan kelelahan kerja salah satunya
penelitian menurut Sari (2010), berdasarkan uji Chi-Square untuk menguji
pengaruh intensitas kebisingan dengan kelelahan kerja diperoleh p value
0,001 (p ≤ 0,01) berarti ada pengaruh intensitas kebisingan terhadap
kelelahan kerja secara sangat signifikan pada tenaga kerja bagian
screening CV. Mekar Sari Wonosari Klaten.
30
NAB yang diperbolehkan untuk kebisingan selama 8 jam bekerja
adalah sebesar 85 dBA. Namun, untuk kebisingan lebih dari 140 dBA tidak
diperbolehkan terpajan walaupun sesaat. Berikut ini NAB yang
diperbolehkan berdasarkan waktu pemaparan yang diperbolehkan:
Tabel 2.1
Intensitas Kebisingan yang Diperbolehkan Berdasarkan Waktu
Pemaparan dalam Satu Hari
Waktu Pemaparan dalam Satu Hari Intensitas Kebisingan
(dBA)
8
Jam
85
4 88
2 91
1 94
30
Menit
97
15 100
7.5 103
3.75 106
1.88 109
0.94 112
28.12
Detik
115
14.06 118
7.03 121
3.52 124
1.76 127
0.88 130
0.44 133
0.22 136
0.11 139
Sumber: Permenakertrans No. 13, 2011
Tingkat kebisingan yang berlebihan memberikan dampak negatif
pada tenaga kerja. Pengaruh utama bising adalah kerusakan pada indera
pendengar, yang dapat menyebabkan tuli progresif dan lama kelamaan
menyebabkan tuli yang bersifat menetap bila terus berada di ruang bising
tersebut. Efek kebisingan pada daya kerja adalah timbulnya gangguan
31
komunikasi serta gangguan konsentrasi sehingga dapat menyebabkan
kelelahan (Suma’mur, 1994).
Hasil penelitian Soeripto (1996) yang menyatakan bahwa tenaga
kerja yang terpapar kebisingan akan menyebabkan kelelahan. Terpapar
kebisingan yang berlebihan berdampak negatif pada tenaga kerja. Tenaga
kerja yang terpapar kebisingan denyut nadinya akan naik, tekanan darah
naik, dan mempersempit pembuluh darah sehingga cepat merasa lelah.
Syukri (1996) menyatakan kebisingan menggangu konsentrasi,
komunikasi, dan kemampuan berpikir.
Menurut Suma’mur (1996) dan Buchari (2007), kebisingan dibagi
dalam 5 jenis yaitu :
1. Kebisingan continue dengan spektrum frekuensi yang luas (steady
state, wide band noise), misalnya : mesin-mesin, kipas angin, dapur
pijar.
2. Kebisingan continue dengan spektrum frekuensi yang sempit (steady
state, narrow band noise), misalnya gergaji sirkuler, katup gas.
3. Kebisingan terputus–putus (intermittent), misalnya suara lalu lintas,
suara pesawat terbang.
4. Kebisingan impulsive berulang, misalnya mesin tempa, pandai besi.
5. Kebisingan impulsif (impact or impulsive noise),misalnya : ledakan,
pukulan, tembakan bedil, meriam.
Sumber-sumber bising pada dasarnya ada 2 macam yang dilihat
dari bentuk sumber suara, yaitu sumber bising titik/bola/lingkaran, dan
sumber bising garis. Kebisingan yang diakibatkan lalu lintas adalah
32
kebisingan garis (Suroto, 2010). Bunyi yang ditimbulkan oleh lalu lintas
adalah bunyi yang tidak konstan tingkat suaranya. Tingkat gangguan
kebisingan yang berasal dari bunyi lalu lintas dipengaruhi oleh tingkat
suaranya, seberapa sering terjadi dalam satu satuan waktu, serta frekuensi
bunyi yang dihasilkannya (Magrab, 1982). Kebisingan lalu lintas berasal
dari suara yang dihasilkan dari kendaraan bermotor, terutama dari mesin
kendaraan, knalpot, serta akibat interaksi antara roda dengan jalan.
Kendaraan berat (truk, bus) dan mobil penumpang merupakan sumber
kebisingan utama di jalan raya. Berikut perbedaan sumber bising titik
dengan sumber bising garis:
a. Sumber kebisingan titik atau sumber statis; kebisingan ini dihasilkan
dari benda tidak bergerak. Suara yang dihasilkan pada sumber ini
berbentuk titik-titik dan akan menyebar melalui udara dengan
kecepatan suara 340 meter/detik dengan pola penyebaran berbentuk
lingkaran dengan sumber kebisingan sebagai pusatnya.
Contoh : Mobil sedang berhenti dengan mesin hidup.
b. Sumber kebisingan garis atau sumber dinamis; yaitu kebisingan yang
dihasilkan oleh sumber bergerak atau alat transportasi. Suara yang
dihasilkan dari sumber ini akan menyebar melalui udara dengan pola
yang berbentuk selinder yang memanjang dengan sumber kebisingan
sebagi sumber utama.
Contoh : Suara lalu lintas, kerta api, pesawat udara dll.
33
Sumber-sumber kebisingan menurut Prasetio (1992) dapat bersumber dari:
a. Bising interior yaitu sumber bising yang bersumber dari manusia, alat-
alat rumah tangga, atau mesin-mesin gedung.
b. Bising outdoor yaitu sumber bising yang berasal dari lalu lintas,
transportasi, industri, alat-alat mekanis yang terlihat dalam gedung,
tempat-tempat pembangunan gedung, perbaikan jalan, kegiatan
olahraga dan lain-lain di luar ruangan atau gedung.
Pada sumber lain menyatakan bahwa terdapat kondisi suara
atau bunyi yang dapat diterima oleh suatu jenis pekerjaan sampai
dengan batas dengar tertinggi sesuai dengan kondisi lingkungannya
sebagai berikut:
Tabel 2.2
Kondisi Suara/Bunyi dengan Batas Dengar Tertinggi
Batas Dengar Tertinggi Desibel (dB) Kondisi Suara/Bunyi
Menulikan
120
110
100
Halilintar
Meriam
Mesin Uap
Sangat Hiruk Pikuk 90
70
Jalan hiruk pikuk
Perusahaan sangat gaduh
Pluit Polisi
Kuat 70
60
Kantor gaduh
Jalan pada umumnya
Radio
Perusahaan
Sedang 50
40
Kantor pada umumnya
Percakapan kuat dan Radio
perlahan
Tenang 30
20
Rumah tenang
Kantor pribadi
Percakapan
Sangat Tenang 10
0
Suara daun-daun
Berbisik dan batas terendah
Sumber: Wignjosoebroto, 2003.
34
Instrumen pengukuran kebisingan ini menggunakan pencatatan
otomatis yang ada pada alat sound level meter serta dengan pencatatan
manual tiap menit dengan cara melihat angka-angka yang ditampilkan oleh
sound level meter. Alat ini digunakan untuk mengukur intensitas
kebisingan antara 30-130 dBA dan dari frekuensi 20Hz-20.000Hz. Alat ini
memiliki bentuk yang didesain secara dinamis dan dapat meminimalisir
gangguan terhadap medan suara yang sedang dilakukan pengukuran. Alat
ini dilengkapi dengan layar grafis, yang dapat memerlihatkan hasil
pengukuran kebisingan dengan lebih besar, sehingga memungkinkan
pengukuran seketika dengan mudah. Data yang didapat dari hasil
pengukuran dapat disimpan pada kartu memori Secure Digital untuk
selanjutnya dilakukan proses posting dan analisis. SLM merupakan alat
yang digunakan untuk mengukur kebisingan di tempat kerja.
2.2.2 Pencahayaaan
Intensitas pencahayaan di tempat kerja dimaksudkan untuk
menberikan pencahayaan kepada benda-benda yang merupakan objek
kerja, peralatan atau mesin dan proses produksi serta lingkungan kerja.
Untuk itu diperlukan intensitas pencahayaan yang optimal. Selain
menerangi objek kerja, pencahayaan juga diharapkan cukup memadai
menerangi keadaan sekelilingnya (SNI 16-7062, 2004).
Pencahayaan ditempat kerja merupakan salah satu sumber cahaya
yang menerangi benda-benda ditempat kerja. Pencahayaan yang baik
adalah pencahayaan yang memungkinkan tenaga kerja melihat pekerjaan
dengan teliti, cepat dan tanpa upaya yang tidak perlu serta membantu
35
menciptakan lingkungan kerja yang nikmat dan menyenangkan (Herry dan
Eram, 2005). Pencahayaan yang tidak didesain dengan baik akan
menimbulkan gangguan atau kelelahan penglihatan selama bekerja.
Pengaruh dari pencahayaan yang kurang memenuhi syarat akan
mengakibatkan kelelahan mata sehingga berkurangnya daya dan efisiensi
kerja, kelelahan mental, keluhan pegal di daerah mata dan sakit kepala
disekitar mata, kerusakan indra mata. Selanjutnya pengaruh kelelahan
pada mata tersebut akan bermuara pada penurunan performansi kerja
(Abidin dan Widagdo, 2009).
Akibat dari mata yang melelahkan menjadi sebab kelelahan mental
pada pekerja. Gejalanya meliputi sakit kepala, penurunan kemampuan
intelektual, daya konsentrasi dan kecepatan berpikir. Lebih dari itu,
apabila pekerja mencoba mendekatkan matanya terhadap objek untuk
memperbesar ukuran benda, maka akomodasi lebih dipaksa, dan mungkin
terjadi pengelihatan rangkap atau kabur.
Pencegahan dari terjadinya kelelahan mental oleh upaya mata yang
berlebihan, perlu diusahakan sebagai berikut:
a. Perbaikan kontras: cara ini termudah dan sederhana serta dilakukan
dengan memilih latar pengelihatan yang tepat.
b. Meninggikan pencahayaan: biasanya pencahayaan harus sekurang-
kurangnya dua kali dibesarkan. Dalam berbagai hal, masih perlu
dipakai lampu-lampu didaerah kerja untuk lebih memudahkan
pengelihatan.
36
c. Pemindahan tenaga kerja dengan visual yang lebih baik setingi-
tingginya.
Kerja malam harus dikerjakan oleh tenaga kerja berusia muda,
yang apabila usianya bertambah dapat dipindahkan kepada pekerjaan yang
kurang diperlukan ketelitian (Suma’mur, 1996). Pencahayaan tempat kerja
yang memadai (Good Lighting), baik alami atau buatan, memegang
peranan penting dalam upaya meningkatkan kesehatan, keselamatan dan
produktivitas tenaga kerja. Baik tidaknya pencahayaan disuatu tempat
selain ditentukan oleh kuantitas atau tingkat iluminansi yang
menyebabkan objek dan sekitarnya terlihat dengan jelas, tetapi juga oleh
kulitas dari pencahayaan tersebut yang diantaranya menyangkut arah
penyebaran atau distribusi cahaya, tipe dan tingkat kesilauan. Demikian
pula dengan dekorasi tempat kerja khususnya pada warna-warna dinding,
lagit-langit, peralatan kerja dan lain-lain ikut menentukan tingkat
pencahayaan ditempat kerja (Siswanto, 1991).
Siswanto (1991) menyatakan bahwa pencahayaan terbagi atas
buatan dan alami, sedangkan pencahayaan buatan yang digunakan dalam
perusahaan ataupun perkantoran dapat dibedakan menjadi tiga tipe, yaitu:
a. Pencahayaan Umum
Pencahayaan yang diharapkan dapat menerangi seluruh ruangan secara
merata. Pencahayaan harus menghasilkan iluminansi yang merata pada
bidang kerja, dimana bidang kerja ini biasanya terletak pada ketinggian
30-36 inci diatas lantai. Iluminansi maksimum dan minimum pada titik
37
ukur hendaknya tidak lebih atau kurang 1/6 kali pencahayaan rata-rata
suatu ruang kerja.
b. Pencahayaan Lokal
Tipe pencahayaan ini diperlukan apabila intensitas pencahayaan yang
merata tidak diperlukan untuk semua tempat kerja, tetapi hanya tempat
tertentu yang membutuhkan tingkat pencahayaan yang lebih dari
daerah sekitarnya, maka lampu tambahan dapat dipenuhi.
c. Pencahayaan Tambahan
Sistem pencahayaan yang diperlukan khususnya untuk pekerjaan yang
membutuhkan ketelitian yang tinggi atau membedakan benda halus
atau untuk memeriksa keadaan suatu mesin. Kerugian dari sistem
pencahayaan ini adalah menyebabkan kesilauan. Untuk mengatasi
maka sistem pencahayaan perlu dikoordinasikan dengan sistem
pencahayaan umum.
Menurut SNI 16-7062-2004, untuk menentukan titik pengukuran
jarak tertentu dapat dibedakan berdasarkan luas ruangan sebagai
berikut :
1.) Luas ruangan kurang dari 10 meter² : titik potong horizontal
panjang dan lebar ruangan adalah pada jarak setiap satu meter.
Contoh daerah pengukuran intensitas pencahayaan umum untuk
luas ruangan kurang dari 10 meter² seperti Gambar 2.1 berikut ini.
38
1m 1m 1m 1m
1 meter
1 meter
1 meter
Gambar 2.1 Penentuan titik pengukuran pencahayaan umum dengan
luas kurang dari 10m2
Sumber: SNI. 2004.
2.) Luas ruangan antara 10m2
sampai 100m2 : titik potong garis horizontal
panjang dan lebar ruangan adalah pada jarak setiap 3 meter. Contoh
daerah pengukuran intensitas pencahayaan umum untuk luas ruangan
antara 10m2
sampai 100m2
seperti pada Gambar 2.2 berikut ini.
3m 3m 3m 3m
3 meter
3 meter
3 meter
Gambar 2.2 Penentuan titik pengukuran pencahayaan umum dengan
luas antara 10m2 sampai 100m2
Sumber: SNI. 2004.
3.) Luas ruangan lebih dari 100 meter² : titik potong horizontal panjang
dan lebar ruangan adalah pada jarak 6 meter. Contoh daerah
pengukuran intensitas pencahayaan umum untuk luas ruangan lebih
dari 100 meter² seperti Gambar 2.3 berikut ini.
39
6m 6m 6m 6m
6 meter
6 meter
6 meter
Gambar 2.3 Penentuan titik pengukuran pencahayaan umum dengan
luas>dari 100m2
Sumber:SNI. 2004.
Alat yang digunakan saat pengukuran pencahayaan adalah Lux
Meter LX-204. Digital Lux Meter adalah merupakan alat yang dapat
digunakan untuk mengukur kuat atau lemahnya cahaya yang terdapat pada
suatu ruangan atau tempat tertentu. Berbagai jenis cahaya yang masuk
pada lux meter baik itu cahaya alami ataupun buatan akan mendapatkan
respon yang berbeda dari sensor. Berbagai warna yang diukur akan
menghasilkan suhu warna yang berbeda dan panjang gelombang yang
berbeda pula. Sensor pada alat menangkap cahaya. Energi cahaya yang
menyinari sel foto diteruskan oleh sel foto menjadi energi arus listrik.
Hasil dari pengukuran yang dilakukan akan ditampilkan pada layar panel.
Pembacaan hasil yang ditampilkan oleh layar panel adalah kombinasi dari
efek panjang gelombang yang ditangkap oleh sensor. Apabila kita telah
mengetahui intensitas cahaya pada suatu ruangan, kita dapat menentukan
lampu yang tepat untuk dipasang pada setiap ruangan. Sehingga,
dihasilkan tingkat pencahayaan yang sesuai standar, agar tingkat
40
pencahayaan ruangan sesuai dengan fungsi ruangan. Fungsi ruangan yang
dimaksud adalah jenis aktifitas yang dilakukan di dalam ruangan tersebut.
Biasanya alat ini banyak digunakan pada arsitektur, penelitian, fotografi,
dan lain-lain.
Setelah nanti dilakukan pengukuran, evaluasi pencahayaan harus
dilakukan untuk menentukan tingkatan cahaya yang diterima telah
termasuk ke dalam standar tingkat pencahayaan minimal. Dalam
Keputusan Menteri Kesehatan No. 1405 tahun 2002 tentang persyaratan
kesehatan lingkungan kerja perkantoran dan industri, intensitas cahaya di
ruang kerja, dijelaskan dalam tabel 2.3 Tingkat Pencahayaan Lingkungan
Kerja sebagai berikut:
Tabel 2.3
Standar Tingkat Pencahayaan Lingkungan Kerja
Jenis Kegiatan
Tingkat
Pencahayaan
Minimal (Lux)
Keterangan
Pekerjaan kasar dan
tidak terus – menerus 100
Ruang penyimpanan & ruang
peralatan/instalasi yang memerlukan
pekerjaan yang kontinyu
Pekerjaan kasar dan
terus – menerus 200
Pekerjaan dengan mesin dan perakitan
kasar
Pekerjaan rutin
300
Ruang administrasi, ruang kontrol,
pekerjaan mesin &
perakitan/penyusun
Pekerjaan agak halus
500
Pembuatan gambar atau bekerja
dengan mesin kantor, pekerjaan
pemeriksaan atau pekerjaan dengan
mesin
Pekerjaan halus
1000
Pemilihan warna, pemrosesan tekstil,
pekerjaan mesin halus & perakitan
halus
Pekerjaan amat halus 1500
Tidak
menimbulkan
bayangan
Mengukir dengan tangan, pemeriksaan
pekerjaan mesin dan perakitan yang
sangat halus
Pekerjaan terinci 3000 Pemeriksaan pekerjaan, perakitan
41
Jenis Kegiatan
Tingkat
Pencahayaan
Minimal (Lux)
Keterangan
Tidak
menimbulkan
bayangan
sangat halus
Sumber: Kepmenke RI. No. 1405/Menkes/SK/XI/02
2.2.3 Iklim Kerja
Iklim kerja adalah hasil perpaduan antara suhu, kelembaban,
kecepatan gerakan udara dan panas radiasi dengan tingkat pengeluaran
panas dari tubuh tenaga kerja sebagai akibat pekerjaannya, yang
dimaksudkan dalam peraturan ini adalah iklim kerja panas
(Permenakertans No.13, 2011). Tekanan panas merupakan salah satu
faktor fisik yang terdapat dilingkungan kerja, disebabkan oleh dua
kemungkinan : aliran udara dalam ruang kerja yang kurang baik atau
sistem ventilasi yang kurang sempurna; adanya sumber panas yang ada di
lingkungan kerja, misalnya mesin uap, mesin diesel, mesin pengecor dan
lain-lain (Budiono, 2003).
Suhu dingin mengurangi effisiensi dengan keluhan kaku atau
kurangnya koordinasi otot. Suhu panas berakibat menurunnya prestasi
kerja pikir, mengurangi kelincahan, memperpanjang waktu reaksi dan
waktu pengambilan keputusan, mengganggu kecermatan kerja otak,
mengganggu koordinasi syaraf perasa dan motoris, serta memudahkan
untuk dirangsang (Suma’mur, 1996).
Pekerja akan dapat dan mampu bekerja dengan sebaik-baiknya
apabila kondisi lingkungan kerja yang nyaman dan terdapat temperatur
yang hampir sama antara metabolisme tubuh dan lingkungan sekitarnya
42
(Soewito, 1985). Dari suatu penyelidikan diperoleh hasil bahwa
produktivias kerja manusia akan mencapai tingkat yang paling tinggi pada
temperatur sekitar 24°-27 °C (Wignjosoebroto, 2003). Dalam keadaan
normal, tiap anggota tubuh manusia mempunyai temperatur yang berbeda.
Tubuh manusia selalu berusaha untuk mempertahankan keadaan normal,
dengan suatu sistem tubuh yang sempurna sehingga dapat menyesuaikan
diri dengan perubahan yang terjadi di luar tubuh. Tetapi kemampuan untuk
menyesuaikan diri tersebut ada batasnya, yaitu bahwa tubuh manusia
masih dapat menyesuaikan dirinya dengan temperatur luar jika perubahan
temperatur luar tubuh tidak lebih dari 20 % untuk kondisi panas dan 35 %
untuk kondisi dingin dari keadaan normal tubuh. (Hardi, 2006).
Syukri (1996) menyatakan bahwa lingkungan fisik kerja yang
terlalu panas mengakibatkan tenaga kerja cepat lelah karena kehilangan
cairan dan garam. Bila produksi panas tidak seimbang dengan panas yang
dikeluarkan tubuh, akan menghasilkan kondisi kerja yang tidak nyaman.
Suhu tempat kerja yang melebihi 30 °C akan mempercepat kelelahan
tenaga kerja (Suma’mur, 1994). Menurut Grandjean, bahwa kondisi
lingkungan kerja yang panas akan dapat menyebabkan rasa letih dan
kantuk, selain itu mengalami kelelahan panas atau heat exhaustion dapat
mengurangi kestabilan dan meningkatkan jumlah angka kesalahan kerja
(Tarwaka, dkk, 2004). Nilai Ambang Batas untuk cuaca (iklim) kerja
menurut Suma’mur (1996) adalah 21° C- 30° C suhu basah. Iklim kerja
yang tidak tepat dapat menimbulkan gangguan kesehatan dan
mengakibatkan kelelahan, yang pada akhirnya akan menurunkan
43
produktifitas kerja. Berdasarkan hasil penelitian Sulistioningsih (2013) di
bagian Food Production 1 (FP1)/Masako Packing PT. Ajinomoto
Indonesia Mojokerto diperoleh bahwa suhu tertinggi yaitu 30° C dan suhu
terendah yaitu 26° C. Dari hasil statistik diperoleh bahwa terdapat
hubungan yang bermakna antara suhu ekstrim dengan kelelahan kerja. Hal
ini dapat dilihat dari nilai P = 0,006 yang lebih kecil dari 0.05.
Ada 2 (dua) jenis rumus perhitungan Indeks Suhu Basah dan Bola
(ISBB) menurut Permenakertrans No. 13 (2011), yaitu:
a. Rumus untuk pengukuran dengan memperhitungkan radiasi sinar
matahari, yaitu tempat kerja diluar ruangan yang terkena radiasi sinar
matahari secara langsung:
ISSB = 0.7 Suhu Basah Alami + 0.2 Suhu Bola + 0.1 Suhu Kering
b. Rumus untuk pengukuran tempat kerja di dalam atau diluar ruangan
tanpa pengaruh radiasi sinar matahari:
ISBB = 0.7 Suhu Basah Alami + 0.3 Suhu Bola
Dari hasil pengukuran ISBB tersebut selanjutnya disesuaikan
dengan beban kerja yang diterima oleh pekerja, kemudian dilanjutkan
pengaturan waktu kerja-waktu istirahat yang tetap dapat bekerja dengan
aman dan sehat. Berikut ini NAB iklim kerja ISBB yang diperkenankan:
Tabel 2.4
NAB Iklim Kerja Indeks Suhu Basah dan Bola (ISBB) yang Diperkenankan
Pengaturan Waktu Kerja Setiap
Jam
ISBB (°C) Beban Kerja
Ringan Sedang Berat
75% - 100% 31.0 28.0 -
50% - 75% 31.0 29.0 27.5
25% - 50% 32.0 30.0 29.0
0% - 25% 32.2 31.1 30.5
Sumber: Permenakertrans No. 13, 2011
44
Pengukuran tekanan panas dengan Quest Thermal Environmental Monitor,
perlu mempertimbangkan beban kerja sesuai dengan klasifikasi beban kerja
menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 13 Tahun 2011 dan mengukur
waktu kerja tenaga kerja:
a. Beban Kerja
Beban kerja adalah suatu perbedaan antara kapasitas atau kemampuan
pekerja dengan tuntutan pekerjaan yang harus dihadapi. Beban kerja
merupakan sesuatu yang muncul dari interaksi antara tuntutan tugas-tugas
lingkungan kerja dimana digunakan sebagai tempat kerja, keterampilan
perilaku dan persepsi dari pekerja (Tarwaka, 2013). Setiap tenaga kerja
memiliki kemampuan tersendiri dalam hubungannya dengan beban kerja.
Apabila beban kerja lebih besar daripada kemampuan tubuh maka akan terjadi
rasa tidak nyaman, kelelahan, kecelakaan, cedera, rasa sakit, penyakit dan
produktivitas menurun (Santoso, 2004). Berdasarkan hasil penelitian dari
Ihsan dan Rachmatiah (2015) pada pekerja di bagian Divisi Stamping PT.X
bahwa terdapat hasil analisis statistik diperoleh adanya hubungan antara
kelelahan kerja dengan beban kerja (p=0,000) di Divisi Stamping PT.X
Permenakertrans No 13 (2011) mengelompokkan beban kerja menjadi
beban kerja ringan, sedang dan berat. Penetapan beban kerja tersebut sampai
saat ini selalu dikaitkan dengan konsumsi energi atau jumlah kalori yang
dikeluarkan pekerja. Perhitungan beban kerja dapat dilanjutkan untuk dihitung
dengan memperhatikan aktivitas kerja sebagai berikut:
45
1. Pengamatan pada setiap aktivitas tenaga kerja (kategori jenis pekerjaan
dan posisi badan), sekurang-kurangnya 4 jam kerja dalam satu hari kerja
dan diambil rerata setiap jam.
2. Hitung dan catat waktu aktivitas tenaga kerja menggunakan stopwatch.
3. Beban kerja setiap aktivitas kerja tenaga kerja dinilai dengan
menggunakan tabel perkiraan beban kerja menurut kebutuhan energi
sebagai berikut:
Tabel 2.5
Perkiraan Beban Kerja Menurut Kebutuhan Energi
No Pekerjaan
Posisi Badan
1 2 3 4
Duduk
(0,3)
Berdiri
(0,6)
Berjalan
(3,0)
Berjalan
Mendaki
(3,8)
1
Pekerjaan dengan tangan
Kategori I (contoh: menulis, merajut)
(0,30)
Kategori II (contoh: menyetrika)
(0,70)
Kategori III (contoh: mengetik)
(1,10)
0,60
1,00
1,40
0,90
1,30
1,70
3,30
3,70
4,10
4,10
4,50
4,90
2
Pekerjaan dengan satu tangan
Kategori I (contoh: menyapu lantai)
(0,90)
Kategori II (contoh: menggergaji)
(1,60)
Kategori III (contoh: memukul palu)
(2,30)
1,20
1,90
2,60
1,50
2,20
2,90
3,90
4,60
5,30
4,70
5,40
6,10
3
Pekerjaan dengan dua lengan
Kategori I (contoh: menambal logam,
mengemas barang dalam dus)
(1,25)
Kategori II (contoh: memompa,
menempa besi) (2,25)
Kategori III (contoh: mendorong kereta
bermuatan) (3,25)
1,55
2,55
3,55
1,85
2,85
3,85
4,25
5,25
6,25
5,05
6,05
7,05
46
No Pekerjaan
Posisi Badan
1 2 3 4
Duduk
(0,3)
Berdiri
(0,6)
Berjalan
(3,0)
Berjalan
Mendaki
(3,8)
4
Pekerjaan dengan menggunakan
gerakan tangan
Kategori I (contoh: pekerjaan
administrasi)
(3,75)
Kategori II (contoh: membersihkan
karpet, mengepel) (8,75)
Kategori III (contoh: menggali lobang,
menebang pohon) (13,75)
4,05
9,05
14,05
4,35
9,35
14,35
6,75
11,75
16,75
7,55
12,55
17,55
Keterangan:
Aktivitas Kerja = Kategori pekerjaan + posisi badan
Contoh: Kategori 1.1 (pekerjaan dengan tangan pada posisi badan duduk, maka aktivitas
kerja= (0,3) + (0,3) = 0,6
Sumber: Standar Nasional Indonesia (SNI) 7269:2009
4. Hitung rerata beban kerja berdasarkan tingkat kebutuhan kalori menurut
pengeluaran energi dengan menggunakan rumus dengan langkah sebagai
berikut:
5. Klasifikasikan beban kerja sesuai standar sebagi berikut:
a.) Beban kerja ringan membutuhkan kalori <200 Kkal/jam
b.) Beban kerja sedang membutuhkan kalori >200-350 Kkal/jam
c.) Beban kerja berat membutuhkan kalori >350-500 Kkal/jam
Rata-rata Beban Kerja: ((BK1 x T1) + …(BKn x Tn) / (T1 +…Tn)) x 60 kkal per jam
Metabolisme Basal untuk laki-laki = berat badan dalam kg x 1 kkal per jam
Metabolisme Basal untuk perempuan = berat badan dalam kg x 0.9 kkal per jam
Total Beban Kerja = Rata-rata BK + MB
47
b. Jam Kerja
Seorang pekerja bekerja maksimal 40 jam per minggu atau 8 jam
sehari. Setelah 4 jam kerja seorang pekerja akan merasa cepat lelah karena
pengaruh lingkungan kerja yang tidak nyaman (Budiono, dkk, 2003). Waktu
kerja bagi seorang pekerja menentukan efisiensi dan produktivitasnya.
Lamanya seorang pekerja bekerja sehari di Indonesia telah ditetapkan yaitu 8
jam dan sisanya untuk istirahat, kehidupan dalam berkeluarga dan masyarakat,
tidur dan lain-lain. Memperpanjang waktu kerja lebih dari kemampuan
tersebut biasanya tidak disertai efisiensi yang tinggi, bahkan biasanya terlihat
penurunan produktivitas serta kecenderungan untuk timbulnya kelelahan,
penyakit dan kecelakaan kerja (Suma’mur, 1996 dan Tarwaka, dkk, 2004).
c. Pengukuran Iklim Kerja
Pengukuran dari suatu panas ambien yang merupakan faktor dalam
mempengaruhi kecepatan udara dan kelembaban relatif untuk
mengestimasikan risiko pekerja terpapar penyakit kelelahan kerja. Alat yang
digunakan untuk pengukuran ini adalah Quest Thermal Environmental
Monitor yaitu, alat untuk mengukur temperatur lingkungan seperti suhu bola
basah, bola kering, termometer globe yang digunakan untuk menilai heat
stress pada tubuh manusia. Alat Ini menggunakan metode yang mudah
diterima untuk pengukuran efek suhu, kelembaban,dan aliran udara pada
subjek manusia.
d. Dalam pengukuran temperatur lingkungan, diperhatikan:
1. Sampel/titik pengukuran
48
Untuk menentukan apakah suatu area atau lokasi kerja merupakan titik
pengukuran temperatur lingkungan, maka beberapa hal yang harus
diperhatikan adalah:
a.) Pada area yang dijadikan titik sampling diduga secara kualitatif atau
penilaian secara profesional (professional judgment) mengindikasikan
adanya kemungkinan terjadinya tekanan panas karena adanya sumber
panas atau terpajan panas.
b.) Adanya keluhan subjektif yang terkait dengan kondisi panas di tempat
kerja.
c.) Pada area tersebut terdapat pekerja yang melaksanakan pekerjaan dan
berpotensi mengalami tekanan panas
2. Lama pengukuran
Berdasarkan SNI- 16-7061-2004 tentang Pengukuran iklim kerja
(panas) dengan parameter indeks suhu basah dan bola tidak dijelaskan
berapa pengukuran dilakukan pada setiap titik pengukuran. SNI-16-7061-
2004 hanya menyatakan bahwa pengukuran dilakukan sebanyak 3 kali
selama 8 jam kerja, yaitu pada awal shift, tengah shift, dan di akhir shift.
Menurut OSHA Technical Manual lama pengukuran indeks WBGT dapat
dilakukan secara kontinyu (selama 8 jam kerja) atau hanya pada waktu-
waktu paparan tertentu. Pengukuran seharusnya dilakukan dengan periode
waktu minimal 60 menit. Sedangkan untuk pajanan yang terputus-putus
minimal selama 120 menit.
49
2.2.4 Sirkulasi Udara
Oksigen merupakan gas yang dibutuhkan oleh makhluk hidup
untuk menjaga kelangsungan hidup, yaitu untuk proses metabolisme.
Udara di sekitar dikatakan kotor apabila kadar oksigen dalam udara
tersebut telah berkurang dan telah bercampur dengan gas atau bau-bauan
yang berbahaya bagi kesehatan tubuh. Sumber utama adanya udara segar
adalah adanya tanaman di sekitar tempat kerja. Tanaman merupakan
penghasil oksigen yang dibutuhkan oleh manusia. Dengan cukupnya
oksigen di sekitar tempat kerja, ditambah dengan pengaruh secara
psikologis akibat adanya tanaman di sekitar tempat kerja, keduanya akan
memberikan kesejukan dan kesegaran pada jasmani. Rasa sejuk dan segar
selama bekerja akan membantu mempercepat pemulihan tubuh akibat
lelah setelah bekerja (Sedarmayanti, 2009).
2.2.5 Suhu dan Kelembaban Udara
Suhu udara sangat berperan dalam kenyamanan bekerja karena
tubuh manusia menghasilkan panas yang digunakan untuk metabolisme
basal dan maskuler. Namun dari semua energi yang dihasilkan tubuh
hanya 20% saja yang dipergunakan dan sisanya akan dibuang ke
lingkungan. Pada suhu udara yang panas dan lembab, makin tinggi
kecepatan aliran udara malah akan makin membebani tenaga kerja. Pada
tempat kerja dengan suhu udara yang panas maka akan menyebabkan
proses pemerasan keringat. Beberapa hal buruk berkaitan dengan kondisi
demikian dapat dialami oleh tenaga kerja. Suhu panas dapat mengurangi
kelincahan, memperpanjang waktu reaksi dan waktu pengambilan
50
keputusan., mengganggu kecermatan kerja otak, mengganggu koordinasi
syaraf perasa dan motoris. Sedangkan suhu dingin mengurangi efisiensi
dengan keluhan kaku atau kurangnya koordinasi otot. (Suma’mur, 1996).
Suhu dingin mengurangi effisiensi dengan keluhan kaku atau
kurangnya koordinasi otot. Suhu panas berakibat menurunnya prestasi
kerja pikir, mengurangi kelincahan, memperpanjang waktu reaksi dan
waktu pengambilan keputusan, mengganggu kecermatan kerja otak,
mengganggu koordinasi syaraf perasa dan motoris, serta memudahkan
untuk dirangsang (Suma’mur, 1996).
Dalam keadaan normal, tiap anggota tubuh manusia mempunyai
temperatur yang berbeda. Tubuh manusia selalu berusaha untuk
mempertahankan keadaan normal, dengan suatu sistem tubuh yang
sempurna sehingga dapat menyesuaikan diri dengan perubahan yang
terjadi di luar tubuh. Tetapi kemampuan untuk menyesuaikan diri tersebut
ada batasnya, yaitu bahwa tubuh manusia masih dapat menyesuaikan
dirinya dengan temperatur luar jika perubahan temperatur luar tubuh tidak
lebih dari 20 % untuk kondisi panas dan 35 % untuk kondisi dingin dari
keadaan normal tubuh. (Hardi, 2006).
Suhu tempat kerja yang melebihi 28 °C akan mempercepat
kelelahan tenaga kerja begitupun sebaliknya suhu tempat kerja yang
kurang dari 18°C akan mempercepat kelelahan tenaga kerja karena suhu
terlalu dingin dan metabolime tubuh lebih lambat mengeluarkan keringat
(Suma’mur, 1994).
51
Kelembaban adalah banyaknya air yang terkandung dalam udara,
biasa dinyatakan dalam persentase. Kelembaban ini berhubungan atau
dipengaruhi oleh temperatur udara, dan secara bersama-sama antara
temperatur, kelembaban, kecepatan udara bergerak dan radiasi panas dari
udara tersebut akan mempengaruhi keadaan tubuh manusia pada saat
menerima atau melepaskan panas dari tubuhnya. Suatu keadaan dengan
temperatur udara sangat panas dan kelembaban tinggi, akan menimbulkan
pengurangan panas dari tubuh secara besar-besaran, karena sistem
penguapan. Pengaruh lain adalah makin cepatnya denyut jantung karena
makin aktifnya peredaran darah untuk memenuhi kebutuhan oksigen, dan
tubuh manusia selalu berusaha untuk mencapai keseimbangan antar panas
tubuh dengan suhu disekitarnya (Sedarmayanti, 2009).
Besaran yang sering dipakai untuk menyatakan kelembaban udara
adalah kelembaban nisbi yang diukur dengan psikometer atau hygrometer.
Kelembaban nisbi berubah sesuai tempat dan waktu. Pada siang hari
kelembaban nisbi berangsur-angsur turun kemudian pada sore hari sampai
menjelang pagi bertambah besar. Menurut Peraturan Keputusan Menteri
Kesehatan RI Nomor 1405 Menkes/SK/XI/2002 tentang Persyaratan
Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri menyatakan bahwa
standar minimal suhu ruangan dan kelembaban ruangan perkantoran
adalah 18-28 ˚C dan 40%-60%.
Kelembaban yang relatif rendah yaitu kurang dari 20% dapat
menyebabkan kekeringan selaput lendir membran, sedangkan kelembaban
yang tinggi akan meningkatkan pertumbuhan mikroorganisme (Mukono,
52
2005). Apabila suhu lingkungan tinggi (lebih tinggi daripada suhu tubuh
normal), maka akan menyebabkan terjadinya peningkatan suhu tubuh
karena tubuh menerima panas dari lingkungan. Sedangkan hal yang
sebaliknya terjadi, yaitu bila suhu lingkungan rendah (lebih rendah
daripada suhu tubuh normal), maka panas tubuh akan keluar melalui
evaporasi dan ekspirasi sehingga tubuh dapat mengalami kehilangan panas
(Hendra, 2009).
Daerah musim panas/tropis, untuk kondisi ruang yang tidak
memakai AC suhu udara di dalam ruang direkomendasikan antara 20˚C
sampai dengan 27˚C, sedangkan untuk ruang yang memakai AC adalah
24˚C. Kelembaban nisbi yang nyaman pada daerah tropis atau musim
panas adalah antara 40% sampai dengan 60% (Grandjean, 1995).
Pada kejadian ini suhu dapat berkaitan dengan status hidrasi
seseorang. Penurunan asupan cairan dapat terjadi pada pekerja yang
bekerja terus menerus tanpa disadari bahwa mereka kehilangan cairan
tubuh. Kehilangan cairan yang tidak diimbangi dengan kehilangan
elektrolit dalam jumlah proporsional, terutama natrium dapat
mengakibatkan dehidrasi (Triyana, 2012).
Kebiasaan minum air yang baik dapat mencegah terjadinya
dehidrasi tubuh setelah terpapar panas dalam kurun waktu tertentu.
Kebiasaan minum air yang tidak dilakukan dalam kurun waktu yang sering
tetap memungkinkan terjadinya dehidrasi, meskipun jumlahnya cukup.
Secara fisiologis, manusia sudah dibekali dengan respon untuk
memasukkan cairan kedalam tubuh. Respon haus merupakan reflex yang
53
secara otomatis menjadi perintah kepada tubuh memasukkan cairan
(Apriyani, 2014).
Pekerja yang mengonsumsi cairan dalam jumlah cukup atau sesuai
dengan kebutuhan tubuh maka akan memiliki status hidrasi baik,
sedangkan pekerja yang asupan cairannya tidak memenuhi kebutuhan
dapat mengalami dehidrasi (Lawrence, 2007; Shirreffs, 2003). Dehidrasi
adalah kehilangan cairan tubuh yang berlebih karena penggantian cairan
yang tidak cukup akibat asupan cairan yang tidak memenuhi kebutuhan
tubuh ataupun karena peningkatan pengeluaran cairan baik melalui urin,
keringat, dan proses pernapasan (Tarwaka, dkk, 2004; Hardinsyah, 2009;
Lawrence, 2007; Clap, dkk, 2002).
Saat suhu lingkungan meningkat, maka suhu tubuh akan
meningkat, kelenjar hipotalamus akan mengaktifkan mekanisme regulasi
panas tubuh dengan memberikan reaksi untuk memelihara panas yang
konstan dengan menyeimbangkan panas yang diterima dari luar tubuh
dengan kehilangan panas dari dalam tubuh melalui proses penguapan yaitu
pernapasan dan keringat (Suma’mur, 2009; Tarwaka, dkk, 2004;
Hardinsyah, 2009).
Penguapan terbanyak terjadi Dehidrasi pada pekerja dapat
menurunkan kemampuan kognitif seperti penurunan konsentrasi dan daya
ingat sesaat, mempengaruhi suasana hati dan semangat kerja, serta
menurunkan kapasitas kerja fisik akibat kelelahan, lemas, atau pusing
(Budi, dkk, 2011; Robert, dkk, 2007; Graham, 2008). Hal tersebut dapat
54
menurunkan produktivitas kerja, meningkatkan risiko kecelakaan kerja
dan ketidakhadiran karena sakit (Suma’mur, 2009).
2.2.6 Getaran Mekanis
Getaran mekanis artinya getaran yang ditimbulkan oleh alat
mekanis, yang sebagian dari getaran ini sampai ke tubuh karyawan dan
dapat menimbulkan akibat yang tidak diinginkan. Getaran mekanis pada
umumnya sangat mengganggu tubuh karena ketidak teraturannya, baik
tidak teratur dalam intensitas maupun frekuensinya. Gangguan terbesar
terhadap suatu alat dalam tubuh terdapat apabila frekuensi alat mini
beresonansi dengan frekuensi dari getaran mekanis. Secara umum getaran
mekanis dapat mengganggu tubuh dalam hal :
a. Konsentrasi bekerja
b. Datangnya kelelahan
c. Timbulnya beberapa penyakit, diantaranya karena gangguan terhadap :
mata, syaraf, peredaran darah, otot, tulang, dan lain-lain
(Sedarmayanti, 2009).
Selain itu menurut Permenakertrans No. 13 Tahun 2011, getaran
adalah gerakan yang teratur dari benda atau media dengan arah bolak-balik
dari kedudukan seimbang. Getaran dapat dibedakan menjadi Whole Body
Vibration (WBV) dan Hand Arm Vibration (HAV). WBV atau yang
dikenal getaran pada seluruh tubuh dapat menyebabkan kelelahan pada
pekerja yang mana hal ini disebabkan adanya kenaaikan denyut jantung,
penarikan oksigen dan kecepatan pernapasan meningkat.
55
2.2.7 Bau-Bauan
Adanya bau-bauan di sekitar tempat kerja dapat dianggap sebagai
pencemaran, karena dapat mengganggu konsentrasi bekerja, dan bau-
bauan yang terjadi terus menerus dapat mempengaruhi kepekaan
penciuman. Pemakaian “air condition” yang tepat merupakan salah satu
cara yang dapat digunakan untuk menghilangkan bau-bauan yang
mengganggu di sekitar tempat kerja (Sedarmayanti, 2009).
2.2.8 Warna
Menata warna di tempat kerja perlu dipelajari dan direncanakan
dengan sebaik-baiknya. Pada kenyataannya tata warna tidak dapat
dipisahkan dengan penataan dekorasi. Hal ini dapat dimaklumi karena
warna mempunyai pengaruh besar terhadap perasaan. Sifat dan pengaruh
warna kadang-kadang menimbulkan rasa senang, sedih, dan lain-lain,
karena dalam sifat warna dapat merangsang perasaan dan emosional
manusia. Memberikan pewarnaan yang lembut pada ruangan kerja akan
mempengaruhi semangat dan kegairahan kerja para karyawannya. Dalam
lingkungan kerjas harus diperhatikan tentang masalah warna sebab warna
mempengaruhi jiwa seseorang yang ada disekitarnya. Menata warna di
tempat kerja perlu dipelajari dan direncanakan dengan sebaik-baiknya.
Pada kenyataannya tata warna tidak dapat dipisahkan dengan penataan
dekorasi. Hal ini dapat dimaklumi karena warna mempunyai pengaruh
besar terhadap perasaan. Sifat dan pengaruh warna kadang-kadang
menimbulkan rasa senang, sedih, dan lain-lain, karena dalam sifat warna
56
dapat merangsang perasaan manusia (Sedarmayanti, 2009). Keuntungan
penggunaan warna yang baik adalah:
1.) Memungkinkan kantor menjadi tampak menyenangkan dan menarik
pemandangan.
2.) Mempunyai pengaruh tidak langsung terhadap produktivitas karyawan.
2.3 Shift Kerja
Waktu Kerja Normal menurut Keputusan Menteri Tenaga kerja dan
Transmigrasi, No. Kep.102/MEN/VI/2004. Untuk 6 hari kerja: Waktu Kerja 7
jam/hari (hari ke1-5), 5 jam/hari (hari ke-6) , 40 jam/minggu. Untuk 5 hari
kerja : Waktu Kerja 8 jam/hari, 40 jam/minggu. Hal tersebut menuntut
perusahaan atau industri yang beroperasi 24 jam untuk memberlakukan sistem
shift pada pekerja yang melakukan pekerjaannya agar tidak melebihi waktu
kerja yang telah ditentukan untuk menjaga keselamatan dan kesehatan kerja
para pekerjanya.
2.3.1 Kinerja Karyawan Terhadap Shift Kerja
Bekerja secara shift berbeda dengan bekerja hari normal. Bekerja
dalam waktu 24 jam akan menyebabkan suatu kelelahan kerja yang dapat
menyebabkan performansi kerja para karyawan tersebut menurun. Waktu
efektif untuk bekerja adalah sekitar 8jam selama 5 atau 6 hari dalam
seminggu. Waktu kerja yang lama tersebut maka pihak manajemen
memberikan sistem shift dalam bekerja. Pengaturan shift kerja baru
merupakan rekomendasi perbaikan yang meliputi perubahan dalam
panjangnya rotasi. Pengaturan shift dilakukan dengan merotasi sejumlah
karyawan yang terbagi ke dalam kelompok atau group. Pengaturan sistem
57
shift kerja baru meningkatkan performance kerja karyawan dan
mengurangi tingkat keluhan karyawan. Perputaran shift kerja
meningkatkan rasa tanggung jawab dan kerja sama sebagai suatu team
kerja. Perputaran shift kerja mengurangi keluhan karyawan terhadap
kelelahan yang di alami karena kodisi lingkungan kerja yang monoton.
Setiap karyawan di berikan kelonggaran waktu untuk keperluan yang
bersifat pribadi dan untuk melepaskan lelah. Jumlah dari waktu longgar
untuk kebutuhan karyawan yang diperlukan akan bervariasi tergantung
pada individu karyawan. Sedangkan kelonggaran dari waktu untuk
melepaskan lelah (Fatigue Allowance) tergantung pada individu karyawan
dan atas kesepakatan dengan atasan. Karakteristik kelelahan kerja akan
meningkat dengan semakin lamanya pekerjaan yang dilakukan sedangkan
menurunnya rasa lelah (recovery) adalah didapat dengan memberikan
istirahat yang cukup (Fajarwati, dkk, 2011)
2.3.2 Keadaan Biologis Kebiasaan Tubuh Terhadap Shift Kerja
Pengaturan sistem shift (kerja bergilir) harus dilakukan dengan
cermat dan tepat dalam arti lain harus diupayakan agar terjadi interaksi
yang seimbang antara tuntutan tugas, lingkungan kerja, dan kemampuan
pekerja sehingga terjadinya overstress dapat dihindari. Untuk mengurangi
keluhan karyawan tersebut maka pihak manajemen mengadakan sistem
shift pada karyawan. Karyawan yang bekerja pada shift pagi akan bekerja
optimal karena pada siang hari seluruh bagian tubuh akan aktif bekerja dan
pada saat itu juga terjadi peningkatan denyut nadi dan tekanan darah
mendorong adanya peningkatan aktivitas ini, sedangkan karyawan yang
58
bekerja pada malam akan cepat merasa lelah karena pada saat itu terjadi
penurunan fungsi tubuh sehingga akan menimbulkan rasa kantuk. Sistem
shift ini merupakan faktor yang berpengaruh terhadap performance
karyawan. Menjadi dasar dalam pengaturan sistem shift yang dapat
meminimalkan keluhan (Fajarwati, dkk, 2011). Namun pada kondisi yang
ada keadaan biologis tubuh dengan mengadaptasi shift pada pekerjaan
membuat tubuh menerjemahkan kondisi pekerjaan yang berbeda-beda.
Karakteristik pekerjaan yang berbeda-beda akan mempengaruhi kebiasaan
tubuh menerima aktivitas kerja yang dilakukan baik dalam keadaan sedang
meningkat maupun dalam keadaan sedang menurun.
Menurut Kromer dan Grandjean (1997) waktu kerja dapat
dibedakan dalam waktu kerja shift dan non shift. Kerja shift (bergilir) akan
mengganggu irama sirkadian tubuh. Gangguan ini akan berakibat
terjadinya gangguan tidur pada pekerja shift malam. Dalam keadaan yang
terjadi secara terus-menerus tanpa disertai perbaikan kondisi yang
memadai akan berakibat terjadinya kelelahan kronis.
2.3.3 Cara Mengendalikan Shift Kerja Berdasarkan Karakteristik dan
Kriteria Shift
1. Beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk manajemen kerja shift
adalah sebagai berikut :
a. Pengurangan jam kerja pada shift malam tanpa mengurangi benefit
lainnya jika memungkinkan.
b. Pengurangan pekerja pada shift malam untuk mengurangi jumlah
hari kerja pekerja shift malam.
59
c. Lamanya kerja shift tidak melebihi 8 jam.
d. Tiap shift siang atau malam sebaiknya diikuti dengan paling sedikit
24 jam libur dan tiap shift malam dengan paling sedikit 2 hari libur,
sehingga pekerja dapat mengatur kebiasaaan tidur mereka.
e. Melakukan interaksi sosial dengan teman kerja.
f. Jika memungkinkan menyediakan musik yang tidak monoton
selama bekerja shift malam sangat berguna.
2. Ada lima kriteria dalam mendesain suatu shift kerja, antara lain:
a. Ada jarak, setidaknya 11 jam antara permulaan dua shift yang
berurutan
b. Sebaiknya tidak bekerja selama tujuh hari berturut-turut (seharusnya 5
hari kerja, 2 hari libur)
c. Usahakan memberikan waktu libur di akhir pekan (sebaiknya 2 hari)
d. Rotasi shift mengikuti rotasi matahari
e. Jadwal yang dibuat sebaiknya sederhana dan mudah diingat.
2.3.4 Perputaran dan Rekomendasi Shift Kerja
1. Merancang perputaran shift perlu dilakukan beberapa pertimbangan,
ada hal-hal yang harus diperhatikan dan diingat menurut Suma’mur
(1999), yaitu:
a. Desain jadwal
Mengoptimalkan desain perlu dipertimbangkan untuk benar-benar
efektif sesuai dengan kebutuhan pekerja dan beban kerja. Penggunaan
shift tetap dengan baik, 8-jam atau 10-jam akan memunculkan
kebutuhan jumlah pekerja.
60
b. Panjang periode rotasi
Panjang periode rotasi akan mempengaruhi keseimbangan karyawan
akan beban kerja yang ada. Rotasi perubahan dua hingga tiga hari
dapat mengurangi gangguan ritme tubuh dan memungkingkan
cyrchardian ritme untuk menyesuaikan diri. Cyrchardian ritme
merupakan pengaturan berbagai macam fungsi tubuh dalam sehari
yang meliputi pengaturan dalam tidur, bekerja dan semua proses
otonomi vegetativ yang meliputi metabolime, temperatur tubuh, detak
jantung, denyut nadi, tekanan darah dan pelepasan hormone (Kromer
dan Grandjean, 1997).
c. Arah rotasi
Disarankan agar menggunakan arah rotasi maju yaitu dari sore ke
malam, karena cyrchardian ritme dapat menyesuaikan lebih baik
dengan rotasi maju.
d. Panjang istirahat antar shift
Waktu istirahat yang baik minimal 24 jam setelah shift malam. Jika
shift malam berturut-turut sebaiknya ada waktu pemenuhan istirahat
yang cukup sebelumnya.
e. On-off work
Pola kerja on-off akan menggambarkan jam efektif kerja dan jumlah
jam tidak kerja.
2. Teori Grandjean (1986) yang menyebutkan bahwa ada beberapa saran
yang harus diperhatikan dalam penyusunan jadwal shift kerja, yaitu :
a. Pekerja shift idealnya berumur 25-50 tahun
61
b. Pekerja yang mempunyai masalah perut dan usus, serta emosi yang
tidak stabil disarankan untuk tidak ditempatkan di shift malam
c. Pekerja yang tempat tinggal dan tempat kerja mempunyai jarak yang
jauh atau berada di lingkungan yang ramai sebaiknya tidak
ditempatkan pada shift.
d. Sistem shift dengan 3 rotasi yang menggunakan waktu ganti pada
pukul 6-14-22 lebih baik diganti pada pukul 7-15-23 atau 8-16-24
e. Rotasi pendek lebih baik daripada rotasi panjang dan disarankan untuk
menghindari kerja malam secara terus menerus
f. Pola rotasi kerja yang baik adalah 2-2-2 (metropolitan pola) atau 2-2-3
(continental pola).
g. Kerja malam 3 hari secara berturut-turut seharusnya diikuti istirahat
paling sedikit 24 jam.
h. Perancangan shift perlu mempertimbangkan waktu libur 2 hari
berurutan baik pada akhir pekan maupun sebagai ganti akhir pekan.
i. Perencanaa shift dsarankan memenuhi satu kali istirahat yang cukup
untuk makan.
3. Menurut Suma’mur (1999), shift kerja merupakan pola waktu kerja yang
diberikan pada tenaga kerja untuk mengerjakan sesuatu oleh perusahaan
dan biasanya dibagi atas kerja pagi, siang, malam. Sistem shift kerja ada 2
macam yaitu:
62
a. Shift Permanen
Tenaga kerja bekerja pada shift yang tetap setiap harinya.
Tenaga kerja yang bekerja pada shift malam yang tetap adalah orang-
orang yang bersedia bekerja pada malam hari dan tidur pada siang hari.
b. Shift Rotasi
Tenaga kerja bekerja terus-menerus ditempatkan pada shift
yang tetap. Shift rotasi adalah shift paling mengganggu terhadap irama
circadian dibanging dengan shift permanen bila berlangsung dalam
jangka waktu panjang. Pergantian shift yang normal 8 jam/shift. Shift
kerja dilaksanakan 24 jam termasuk hari minggu dan hari libur yang
memerlukan 4 regu kerja. Regu kerja tersebut dikenal dengan regu
kerja terus menerus yaitu 3x8.
Berdasarkan beberapa penelitian di Indonesia bahwa terdapat
perbedaan tingkat kelelahan kerja pada shift pagi, siang dan malam dan
dinyatakan bahwa adanya hubungan antara kelelahan kerja dengan shift kerja.
Menurut penelitian Suciningtias, Tarwaka, Suwaji (2013) menunjukan tingkat
kelelahan kerja shift pagi mengalami kelelahan ringan sebanyak 33,33%, dan
mengalami kelelahan kerja sedang sebanyak 66,67%. Sedangkan shift kerja
malam mengalami kelelahan sedang 26,67%, dan 73,33% mengalami
kelelahan kerja berat. Hasil uji statistik menunjukkan ada perbedaan tingkat
kelelahan kerja yang signifikan yaitu (p=0.003<0.05) antara shift pagi dengan
shift malam, dimana shift malam lebih melelahkan dari pada shift pagi.
Sedangkan, pada penelitian Basri (2014) menunjukkan bahwa berdasarkan uji
statistik Chi-Square, diketahui terdapat hubungan yang kuat antara shift kerja
63
malam dengan tingkat kelelahan operator produksi di PT Pertamina Eksplorasi
dan Produksi (EP) Kecamatan Balongan Kabupaten Indramayu tahun 2014.
2.4 Kerangka Teori
Suatu perusahaan didalam kegiatan pencapaian tujuannya, karyawan
merupakan sumber utama dalam menjalankan perusahaan faktor modal,
produksi, peralatan tidak dapat digunakan secara efektif dan efisien jika tidak
dijalankan oleh manusia (karyawan). Seorang karyawan tidak dapat bekerja
secara maksimal apabila keselamatan dan kesehatan kerjanya tidak terjamin,
oleh karena itu para karyawan dan perusahaan perlu memperhatikan kondisi
fisik dan mental melalui pelakasanaan program keselamatan dan kesehatan
kerja. Dalam hal ini karyawan sering merasakan kelelahan kerja pada saat
aktivitas kerja berlangsung secara terus-menerus dan melakukan pergerakan
berulang-ulang yang membuat pekerja merasakan kelelahan kerja dan
didukung oleh lingkungan kerja fisik yang membuat karyawan tidak nyaman
serta tidak menyenangkan.
Beberapa sumber menyebutkan bahwa kelelahan kerja dipengaruhi
oleh lingkungan kerja. Setyawati (1994) menyatakan bahwa kelelahan yang
disebabkan oleh faktor lingkungan fisik di tempat kerja antara lain oleh suhu,
pencahayaan dan kebisingan. Menurut Budiono (2003) dan Sedarmayanti
(2009) guna mengurangi dan menghilangkan kelelahan kerja perlu
memperhatikan faktor lingkungan fisik untuk menunjang suasana kerja yang
menyenangkan, diantaranya dalam hal: kebisingan, temperature atau tekanan
panas, dan pencahayaan. Kroemer dan Grandjean (1997), Tarwaka (2013) dan
Suma’mur (1999) menyebutkan penyebab kelelahan kerja antara lain faktor
64
lingkungan seperti intensitas kebisingan, instensitas pencahayaan, dan iklim
kerja (tekanan panas) dengan mempertimbangkan beban kerja, jam kerja.
Lingkungan fisik kerja merupakan faktor eksternal dari penyebab kelelahan
kerja yang terdapat disekitar tempat kerja meliputi iklim kerja atau tekanan
panas, kelembaban udara, sirkulasi udara, pencahayaan, kebisingan, getaran
mekanis, bau-bauan, warna, dan lain-lain. Dalam hal ini akan berpengaruh
signifikan terhadap hasil kerja manusia (Wignjosoebroto, 2003, Sedarmayanti,
2009). Mengacu pada teori tersebut dan disesuaikan dengan tujuan penelitian
maka kerangka teori dalam penelitian ini yaitu:
65
Bagan 2.1 Kerangka Teori
Sumber: Setyawati (1994), Budiono (2003), Sedarmayanti (2009), Tarwaka
(2013), Suma’mur (1999), Kroemer dan Grandjean (1997), (Wignjosoebroto,
2003).
Intensitas Kebisingan
Iklim Kerja
Kelelahan Kerja
Intensitas Pencahayaan
Shift Kerja
Sirkulasi Udara
Getaran Mekanik
Suhu dan Kelembaban Udara
Warna
Bau-bauan
65
BAB III
KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS
3.1 Kerangka Konsep
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh hubungan lingkungan kerja
dengan kelelahan kerja pada karyawan kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa
Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng Tahun 2016. Kerangka konsep
ini mengacu kepada teori dari beberapa sumber yang menyebutkan bahwa
kelelahan kerja dipengaruhi oleh lingkungan kerja. Setyawati (1994), Kroemer
dan Grandjean (1997), Tarwaka (2013), Suma’mur (1999), Budiono (2003)
dan Sedarmayanti (2009) menyebutkan penyebab kelelahan kerja antara lain
faktor lingkungan fisik idak langsung seperti intensitas kebisingan, instensitas
pencahayaan, suhu & kelembaban dan shift kerja, guna mengurangi dan
menghilangkan kelelahan kerja perlu memperhatikan faktor lingkungan untuk
menunjang suasana kerja yang menyenangkan.
Terdapat beberapa variabel lingkungan kerja yang tidak diteliti
berdasarkan acuan kerangka teori diantaranya:
1. Variabel iklim kerja, tidak diteliti karena berdasarkan studi pendahuluan
bahwa iklim kerja yang didapati oleh karyawan tidak melebihi NAB dan
hasilnya homogen dibawah NAB, tidak terdapatnya sumber panas yang
sangat menggangu dan kondisi lingkunganya sudah dimodifikasi dengan
disamaratakannya penggunaan AC atau pendingin ruangan pada setiap
ruang kerja kolektor gerbang tol.
66
2. Variabel sirkulasi udara, tidak diteliti karena berdasarkan studi
pendahuluan ruang kerja karyawan kolektor gerbang tol memiliki sirkulasi
udara yang cukup baik dan ruangan tersebut memiliki ventilasi udara
untuk perputaran udara baik udara yang masuk maupun udara yang keluar.
3. Variabel getaran mekanis, tidak diteliti karena berdasarkan studi
pendahuluan pada pekerjaan karyawan kolektor gerbang tol tidak
ditemukannya sumber getaran yang berarti di lingkungan kerja yang
memapar baik dari aktivitas kerja yang dikerjakan maupun dari mesin
yang digunakan.
4. Variabel bau-bauan, tidak diteliti karena berdasarkan wawancara bahwa
karyawan kolektor gerbang tol tidak pernah mengeluh akan bau-bauan
yang ada disebabkan ventilasi udara yang dimiliki baik.
5. Variabel warna, tidak diteliti karena berdasarkan wawancara bahwa ruang
kerja memiliki pewarnaan yang tidak mengganggu pandangan serta
aktivitas pekerja.
Untuk kondisi sarana maupun prasarana di ruang kerja, dalam hal ini
kondisi ruang kerja dan sarana prasarananya masih tergolong baik dan
tidak mengganggu pekerja dalam melakukan aktivitas kerjanya dalam kata
lain sarana dan prasarana yang disediakan tidak menunggu pekerja untuk
dapat beradaptasi melainkan disediakan untuk memudahkan para pekerja
kolektor gerbang tol. Hal tersebut juga dikemukakan oleh Notoatmodjo
(2007) yang menyatakan bahwa apabila antara sarana, prasarana atau
peralatan kerja dengan pekerja sudah cocok, maka kelelahan dapat dicegah
67
sehingga proses kerja akan lebih efisien dan berdampak pada produktivitas
tinggi.
Berdasarkan kerangka teori yang telah dipaparkan, kerangka konsep
dalam penelitian ini terdiri dari variabel dependen yaitu kelelahan kerja pada
karyawan kolektor gerbang tol dan variabel independen yaitu instensitas
kebisingan, intensitas pencahayaan, suhu & kelembaban, dan shift kerja. Maka
kerangka konsep dalam penelitian ini sebagai berikut:
Bagan 3.1 Kerangka Konsep
3.2 Definisi Operasional
Definisi operasional adalah uraian tentang batasan variabel yang
dimaksud atau tentang apa yang diukur oleh variabel yang bersangkutan
(Notoatmodjo, 2010). Definisi operasional variabel dependen dan
independen dalam penelitian ini sebagai berikut:
Intensitas Kebisingan
Suhu dan Kelembaban
Kelelahan Kerja Intensitas Pencahayaan
Shift Kerja
68
Tabel 3.1 Definisi Operasional
No. Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala Ukur
Variabel Dependen
1. Kelelahan
Kerja
Keadaan
melemahnya
kekuatan fisik tubuh,
motivasi dan kegiatan
karyawan kolektor
gerbang tol yang
dilihat dari adanya
penurunan kesiagaan,
ketelitian, penurunan
kapasitas kerja serta
ketahan tubuh.
Kuesioner Kuesioner
Kelelahan
SSRT
(Subjective
Self Rating
Test)
dari
IFRC
(Industial
Fatigue
Research
Committee)
1. >60
(Kelelahan
Berat)
2. ≤60
(Kelelahan
Ringan)
(Research
Committee On
Industial Fatigue,
1969)
Ordinal
Variabel Independen
1. Intensitas
Kebisingan
Intensitas suara yang
tidak dikehendaki
bersumber dari
aktivitas kendaraan
yang melelaui
gerbang tol yang
dapat menimbulkan
gangguan kesehatan
pada pekerja.
Sound Level
Meter
(SLM)
Pengukuran dBA
(Permenakertrans
No 13, 2011)
Rasio
2. Intensitas
Pencahayaan
Jumlah penyinaran
pada ruang kerja
karyawan kolektor
gerbang tol yang
diperlukan untuk
melaksanakan
kegiatan secara
efektif.
Digital Lux
Meter
Pengukuran 1. < 300 Lux
(Pencahayaan
Tidak
Terpenuhi)
2. ≥ 300 Lux
(Pencahayaan
Terpenuhi)
(Kepmenkes RI.
No.
1405/Menkes/SK/
XI/2002)
Ordinal
3. Suhu Ruangan
dan
Kelembaban
Udara
Suhu ruangan dan
kandungan uap air
dalam ruangan pada
ruang kerja karyawan
kolektor gerbang tol
yang sesuai untuk
melaksanakan
kegiatan secara
efektif.
Thermohygr
ometer
Pengukuran 1. < 18 atau > 28
˚C (Suhu
Tidak Sesuai)
2. 18-28 ˚C
(Suhu Sesuai)
Ordinal
1. < 40% atau >
60%
(Kelembaban
69
No. Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala Ukur
Tidak Sesuai)
2. 40% -60%
(Kelembaban
Sesuai)
(Kepmenkes RI.
No.
1405/Menkes/SK
/XI/2002)
4. Shift Kerja Pola kerja yang
diberikan pada tenaga
kerja untuk
mengerjakan sesuatu
oleh perusahaan dan
dibagi atas kerja pagi,
siang dan malam.
Wawancara Kuesioner 1 Shift Pagi:
Pukul 05.00-
13.00 WIB
2 Shift Siang:
Pukul 13.00-
20.00
3 Shift Malam:
Pukul 20.00-
05.00 WIB
(Keputusan
Menteri Tenaga
kerja dan
Transmigrasi,
No.
Kep.102/MEN/V
I/2004)
Ordinal
3.3 Hipotesis Penelitian
Hipotesis merupakan dugaan sementara yang dibuat oleh peneliti
terkait dengan penelitian ini. Adapun hipotesis dari penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Ada hubungan antara kebisingan dengan kelelahan kerja pada kolektor
gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang-Tomang-Cengkareng
Tahun 2016.
2. Ada hubungan antara pencahayaan dengan kelelahan kerja pada kolektor
gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang-Tomang-Cengkareng
Tahun 2016.
70
3. Ada hubungan antara suhu ruangan dan kelembaban udara dengan
kelelahan kerja pada kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang
Cawang-Tomang-Cengkareng Tahun 2016.
4. Ada hubungan antara shift kerja dengan kelelahan kerja pada kolektor
gerbang tol Cililitan PT Jasa Merga Cabang Cawang-Tomang-Cengkareng
Tahun 2016
71
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan
metode analitik dengan desain penelitian cross sectional, karena penelitian ini
bertujuan untuk menganalisa hubungan masing-masing variabel yang diteliti
yaitu variabel independen lingkungan kerja dan variabel dependen kelelahan
kerja. Pengambilan data pada penelitian ini langsung dilakukan di lapangan
dan dalam satu kali pengamatan atau yang akan diamati pada waktu (periode)
yang sama.
4.2 Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilakukan pada PT Jasa Marga Cabang Cawang-
Tomang-Cengkareng gerbang tol Cililitan pada bulan Oktober 2016. Peneliti
melaksanakan turun lapangan untuk melakukan pengukuran pada Rabu, 19
Oktober 2016 s/d Sabtu, 22 Oktober 2016 pada pukul 07.00-24.00 WIB. Pada
saat dilakukan pengukuran bulan tersebut termasuk musim hujan namun pada
saat peneliti melakukan pengukuran pada minggu tersebut tidak turun hujan
setiap hari. Kondisi cuaca pada saat pagi dan siang hari cerah dan terdapat
cahaya matahari yang terik. Peneliti memilih lokasi tersebut dikarenakan
gerbang tol Cililitan merupakan gerbang tol yang memiliki frekuensi volume
kendaraan paling tinggi diantara Cabang Cawang Tomang Cengkareng serta 4
jalur Jabodetabek lainnya dan Cabang tersebut merupakan rute terpanjang
72
kedua di jalur Jabodetabek. Spesifikasi lokasi penelitian bertempat di PT Jasa
Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng Plaza Tol Cililitan Besar Jakarta.
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian
a. Populasi
Populasi adalah keseluruhan dari unit di dalam pengamatan yang
akan dilakukan (Hastono & Sabari, 2001). Populasi penelitian adalah
karyawan kolektor gerbang tol PT. Jasa Marga (Persero) Tbk Cabang
Cawang-Tomang-Cengkareng pada gerbang tol Cililitan. Total populasi
karyawan kolektor gerbang tol Cililitan I dan II dari 7 gerbang tol
sebanyak 93 karyawan.
b. Sampel
Sampel adalah sebagian dari populasi yang karakteristiknya diukur
(Hastono & Sabari, 2001). Sampel dalam penelitian ini yaitu karyawan
kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang
Cengkareng. Untuk pengambilan sampel peneliti menggunakan teknik
simple random sampling, dan peneliti menggunakan rumus jumlah sampel
uji hipotesis beda dua proprosi karena sesuai dengan tujuan penelitian
yaitu untuk menguji hipotesis. Rumus besar sampel dan uji hipotesis beda
dua proprosi adalah sebagai berikut (Lemeshow, dkk, 1990):
Keterangan:
n = Besar sampel minimum yang dibutuhkan oleh peneliti
= Nilai Z dari derajat kepercayaan 95% (1,96) dengan α =
5%
73
= Nilai Z dari kekuatan uji 80% (0,84)
= Rata-rata proporsi pada populasi
P1 = Proporsi pada kategori terpapar tekanan panas yang
mengalami kelelahan kerja
P2 = Proporsi pada kategori tidak terpapar tekanan panas
mengalami kelelahan kerja
Penentuan besar sampel minimal dilihat berdasarkan
perhitungan besar sampel pada tiap-tiap variabel yang diteliti.
Perhitungan besar sampel menggunakan nilai P1 dan P2 dari hasil
penelitian sebelumnya. Setelah melakukan perbandingan sampel P1
dan P2 dengan penelitian sebelumnya, didapatkan hasil bahwa P1 =
0.762 dan P2 = 0.273 maka N = 16 karyawan. Berdasarkan hasil
perhitungan sampel, jumlah yang akan diambil adalah 16 orang
karyawan (P1: Proporsi pada kategori terpapar suhu panas yang
mengalami kelelahan kerja dan P2: Proporsi pada kategori tidak
terpapar suhu panas mengalami kelelahan kerja pada α = 5% dan B =
80%). Dari hasil tersebut, kemudian dilakukan perhitungan sampel
minimal dengan menggunakan perbandingan dari hasil penelitian
Umyati (2010) yaitu prevalensi dari responden yang tidak mengalami
kelelahan kerja sebesar 46% adalah:
N′ = N
ˉˉˉˉˉ
P
Keterangan:
N′ = Sampel minimum
N = Hasil perhitungan sampel dengan rumus uji hipotesis dua
proporsi
P = Proporsi responden tidak lelah
N′ = 16
ˉˉˉˉˉ
74
46%
N′ = 35 karyawan
Namun, untuk menghindari adanya drop out atau missing data
dari jawaban karyawan dan agar memenuhi 1:10 setiap variabel maka
peneliti membulatkan jumlah sampel penelitian yaitu sampel minimal
menjadi 40 karyawan.
Peneliti menentukan responden berdasarkan teknik simple
random sampling, pada teknik tersebut digunakan dengan membuat
frame sampling yang diambil dari jadwal shift kerja yaitu shift pagi,
siang dan malam kolektor gerbang tol Cililitan dan memilih sampel
dengan cara undian dengan menuliskan nomor absen semua pekerja
sesuai shift yang ada pada secarik kertas dan menggulung kertas
tersebut kemudian memasukannya dalam sebuah kotak dan mengocok
gulungan kertas tersebut. Setelah dikocok, gulungan kertas akan
diambil satu persatu sampai pada gulungan kertas yang ke empat
puluh. Berdasarkan pembagian antar shift masing-masing 14 orang
yang dilakukan pengocokkan agar sampel terbagi secara merata maka
terdapat 42 karyawan yang menjadi responden.
Adapun sampel yang akan dipilih oleh peneliti mempunyai
persamaan dengan kriteria inklusi dan eksklusi sebagai berikut:
1. Kriteria Inklusi
a. Pekerja adalah karyawan kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa
Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng.
b. Pekerja adalah karyawan tetap dengan masa kerja lebih dari 15
tahun.
75
c. Pekerja adalah karyawan yang memiliki umur lebih dari 30
tahun.
d. Pekerja adalah karyawan utama yang sedang bekerja pada shift
pagi, siang dan malam.
2. Kriteria Eksklusi
a. Tidak bersedia menjadi objek penelitian atau sample penelitian.
b. Pekerja merupakan karyawan outsourcing.
c. Pekerja adalah karyawan pengganti shift.
4.4 Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder.
4.4.1 Data Primer
Data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung untuk
mendapatkan data yang dibutuhkan dengan cara wawancara menggunakan
lembaran kuesioner, pengamatan atau observasional, dan pengukuran
langsung kepada karyawan kolektor gerbang tol. Data yang diperoleh dari
wawancara menggunakan lembar kuesioner diantaranya data diri
karyawan dan 30 pertanyaan terkait kelelahan kerja. Selain itu, data yang
diperoleh dari pengamatan atau observasional dan pengukuran langsung
lingkungan kerja antara lain intensitas kebisingan, intensitas pencahayaan,
dan tekanan panas yang memperhatikan beban kerja dan jam kerja.
Pengukuran dilakukan berdasarkan shift kerja yang terbagi atas shift pagi,
siang dan malam.
76
4.4.2 Data Sekunder
Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari data perusahaan
seperti populasi pekerja dan profil perusahaan.
4.5 Uji Validitas dan Reabilitas
Pengujian validitas dan reabilitas dilakukan kepada subjek yang
memiliki karakteristik pola pikir, karakteristik umur dan pekerjaan hampir
sama dengan populasi karyawan kolektor gerbang tol dan pada penelitian ini
tidak dilakukannya uji validitas dan reabilitas melainkan menggunakan nilai
uji validitas dan reabilitas penelitian sebelumnya.
1. Uji Validitas
Validitas adalah suatu ukuran untuk melihat seberapa besar tingkat
ketepatan atau kesahihan suatu instrumen (Arikunto, 2011). Pengujian
validitas dilakukan untuk mengetahui item kuesioner yang valid maupun
tidak valid yang berpengaruh pada dapat atau tidaknya item kuesioner
tersebut digunakan dalam penelitian. Pengujian validitas dapat dilakukan
dengan melakukan perhitungan dengan rumus korelasi Product Moment
kemudian membandingkan antara nilai korelasi atau r hitung dari variabel
penelitian dengan r tabel. Jika r hitung > r tabel maka Ho ditolak, berarti
variabel valid. Namun, jika r hitung < r tabel maka Ho gagal ditolak,
berarti variabel tidak valid. Item kuesioner yang tidak valid dapat
ditanggulangi dengan melakukan modifikasi item untuk memperjelas
makna pada item kuesioner atau membuang item jika item kuesioner tidak
penting.
77
Berdasarkan penelitian sebelumnya oleh Zuhriyah (2007) pada
karyawan bagian penjahitan perusahaan konveksi, terkait kuesioner
Subjective Self Rating Test (SSRT) dari Insdutrial Fatigue Research
Comitte Japan untuk mengukur kelelahan kerja didapatkan hasil uji
validitas sebagai berikut; perhitungan uji validitas dan uji reabilitas
menggunakan tingkat signifikan (α) = 5% dengan 30 orang responden,
maka nilai koefisien korelasi (r tabel) sebesar 0.361 sehingga hasil
perhitungan harus lebih besar. Untuk menguji validitas maka
menggunakan rumus Pearson Product Moment:
Keterangan:
r hitung = koefisien validitas item yang dicari
n = jumlah responden
x = skor yang diperoleh subjek dalam setiap item
y = skor total keseluruhan
Maka berdasarkan perhitungan pada rumus r hitung, didapatkan
hasil r = 0.584 dan terlihat bahwa r hitung semua indikator dalam
kuesioner pada responden sudah valid karena r hitung (0.584) > r tabel
(0.361).
2. Uji Reabilitas
Uji reabilitas dilakukan setelah item kuesioner sudah valid.
Menurut Arifin (2012) uji reabilitas dilakukan untuk melihat sejauh mana
hasil suatu pengukuran dapat terlihat konsisten bila dilakukan berulang
78
kali dalam suatu instrumen. Pengujian reabilitas dapat dilakukan
menggunakan rumus statistik cronbach alpha keseluruhan dengan
membandingkan nilai r tabel dengan nilai r hasil (nilai alpha). Apabila r
alpha > r tabel maka kuesioner tersebut dinyatakan reliable. Berdasarkan
penelitian sebelumnya bahwa kuesioner Subjective Self Rating Test
(SSRT) dari Insdutrial Fatigue Research Comitte Japan untuk mengukur
kelelahan kerja telah diketahui nilai reliabelnya adalah 0.816.
Keterangan:
r = reabilitas
n = jumlah item pertanyaan yang diuji
σx² = varians skor tiap item
σy² = varians total
Dari perhitungan rumus reabilitas maka didapat hasil nilai
cronbach’s alpha pada tabel reability statistik sebesar 0.816, artinya secara
keseluruhan indikator pada kuesioner responden sudah reliabel karena
nilai 0.816 lebih besar dari nilai standar yaitu 0.6.
4.6 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah alat yang digunakan untuk memperoleh /
mengumpulkan data (Notoatmodjo, 2010). Dalam penelitian ini
menggunakan instrumen penelitian yaitu wawancara dan kuesioner dengan
menggunakan kuesioner alat ukur tingkat kelelahan kerja yaitu Subjective Self
Rating Test (SSRT) dari Industrial Fatigue Research Comitte Japan (IFRC
Jepang).
79
Selain itu untuk melakukan pengukuran terhadap lingkungan kerja
maka digunakan alat ukur Sound Level Meter (SLM) untuk kebisingan,
Digital Lux Meter untuk pencahayaan dan Thermohygrometer untuk suhu dan
kelembaban dan pengukuran dilakukan berdasarkan sistem shift pagi, siang
dan malam.
1. Kuesioner Kelelahan Kerja
Peneliti juga mewawancara responden menggunakan metode
pengukuran kelelahan secara subjektif atau Subjective Self Ratting Test
(SSRT) yang diadopsi dari Industrial Fatigue Research Committee of
Japanese Association Industrial Health (IFRC Jepang). Kuesioner yang
digunakan untuk mengukur tingkat kelelahan subjektif dan pengukuran
secara objektif yaitu observasi untuk mendukung pengukuran subjektif
dapat dilihat pada saat wawancara. Kuesioner pengujian kelelahan
subjektif ini telah terpublikasi dan menilai kelelahan secara umum,
mencakup 30 gejala kelelahan yang terbagi atas 3 kelompok yang dialami
pekerja yaitu pelemahan kegiatan, pelemahan motivasi dan pelemahan
secara fisik. Peneliti melakukan pengukuran kelelahan kerja pada saat
karyawan melakukan pekerjaan tanpa mengganggu kondisi pekerjaan
karyawan, hal tersebut dilakukan agar karyawan telah melakukan
pekerjaannya dan diduga kelelahan yang dirasakan karena telah
melakukan pekerjaan dan belum melakukan recovery atau pemulihan dari
rasa lelah yang dirasakan. Berikut rincian gejala dari kelelahan:
1. Perasaan berat dikepala
2. Menjadi lelah diseluruh badan
3. Kaki merasa berat
16. Cenderung untuk lupa
17. Kurang kepercayaan diri
18. Cemas terhadap sesuatu
80
4. Menguap
5. Merasa kacau pikiran
6. Mengantuk
7. Merasa berat pada mata
8. Kaku dan canggung dalam
gerakan
9. Tidak seimbang dalam berdiri
10. Mau berbaring
11. Merasa susah berfikir
12. Lelah bicara
13. Gugup
14. Tidak dapat berkonsentrasi
15. Tidak dapat memfokuskan
perhatian terhadap sesuatu
19. Tidak dapat mengontrol sikap
20. Tidak dapat tekun dalam
melakukan pekerjaan
21. Sakit kepala
22. Kekakuan dibahu
23. Merasa nyeri dipunggung
24. Merasa pernafasan tertekan
25. Merasa haus
26. Suara serak
27. Pusing
28. Spasme kelopak mata
29. Tremor pada anggota badan
30. Merasa kurang sehat.
Jawaban untuk kuesioner IFRC tersebut terbagi menjadi 4 kategori,
yaitu Sangat Sering (SS) dengan diberi nilai 4, Sering (S) dengan diberi
nilai 3, Kadang-Kadang (K) dengan diberi nilai 2, dan Tidak Pernah (TP)
dengan diberi nilai 1. Dalam menentukan kategori golongan kelelahan,
jawaban tiap pertanyaan dijumlahkan kemudian disesuaikan dengan
kategori tertentu. Kategori diberikan antara lain:
Nilai < 60 = Kelelahan Ringan
Nilai > 60 = Kelelahan Berat
Pengukuran dengan metode ini bersifat subjektif sesuai dengan
masing-masing responden maka sangat bergantung dari jawaban
responden yang diteliti.
2. Sound Level Meter
Pengukuran intensitas kebisingan dilakukan selama 4 hari pada
shift pagi pukul 07.00-12.00 WIB, pada shift siang pukul 15.00-20.00
81
WIB dan pada shift malam pukul 21.00-24.00 WIB. Pengukuran dilakukan
pada 2 tempat yaitu gerbang tol Cililitan 1 dan gerbang tol Cililitan 2.
Pengukuran intensitas kebisingan pada karyawan gerbang tol dilakukan
satu kali selama 15 menit, pada shift pagi, siang, dan malam dengan
menggunakan alat Sound Level Meter jenis Krisbow Multi Function
Environment Meter. Luas dari ruang kerja karyawan gerbang tol rata-rata
kurang dari 10 m², maka pengukuran dilakukan pada 1 titik pada setiap
ruangan yaitu pada jendela dekat pekerja melakukan interaksi dengan
pengguna tol. Hal tersebut bertujuan dapat menggambarkan keadaan
lingkungan dan kondisi kebisingan yang sebenarnya diterima pekerja
karena ingin diketahui kebisingan yang mempengaruhi pekerja saat
melakukan aktivitas.
Gambar 4.1 Sound Level Meter Krisbow
Metode pengukuran intensitas kebisingan di tempat kerja dapat
dilihat pada Standar Nasional Indonesia (SNI) 7231 tahun 2009. Peneliti
melakukan pengukuran dengan memperhatikan selang waktu yang
mewakili 24 jam maka terdapat 7 waktu pengukuran yang dapat dipilih
pada shift pagi, siang dan malam yaitu: diambil pada jam 07.00 mewakili
jam 06.00 – 09.00, diambil pada jam 10.00 mewakili jam 09.00 – 11.00,
82
diambil pada jam 15.00 mewakili jam 14.00 – 17.00, diambil pada jam
20.00 mewakili jam 17.00 – 22.00 , diambil pada jam 23.00 mewakili jam
22.00 – 24.00, diambil pada jam 01.00 mewakili jam 24.00 – 03.00,
diambil pada jam 04.00 mewakili jam 03.00 – 06.00, namun peneliti hanya
menggunakan 5 selang waktu karena perusahaan hanya mengijinkan
peneliti melakukan pengukuran hingga pukul 24.00 WIB. Hal tersebut
dilakukan peneliti untuk mengakumulasikan waktu tingkat aktivitas yang
mewakili selama 24 jam.
Peneliti melakukan pengukuran kebisingan yang terpapar pada
karyawan dengan menentukan titik terdekat dengan karyawan yaitu tepat
disamping kanan belakang telinga karyawan dan sangat dekat dengan
sumber bising yaitu kendaraan bermotor. Saat dilakukannya pengukuran,
aktifitas kendaraan sedang tinggi dan kadang sedang lowong serta kondisi
cuaca saat pengukuran cerah serta hujan pada saat sore hari. Selanjutnya
terdapat beberapa langkah yang dilakukan peneliti saat memulai
pengukuran yaitu memasang baterai pada tempatnya, ditekan tombol
power pada alat (ditekan dan ditahan tombol On/Off selama 1 detik untuk
dinyalakan dan alat pengukur akan merespon dengan menampilkan layar
untuk memulai), dicek garis tanda pada monitor untuk mengetahui baterai
dalam keadaan baik atau tidak.
Selanjutnya dilakukan setup pada instrument mengubah sesuai
dengan keperluan, dengan menekan tombol select lalu pilih bentuk
pengukuran menggunakan Hi untuk mengukur intensitas kebisingan
dengan range 65-130 dB dan atur pengukuran penyaringan dengan
83
memilih A yang mendekati pada ukuran frekuensi pendengaran manusia.
Peneliti melakukan pengukuran selama 15 menit karena kebisingan
tergolong jenis kebisingan sumber bergerak atau kebisingan terputus-putus
(intermittent). Peneliti memposisikan mikrofon alat ukur setinggi posisi
telinga manusia yang ada di tempat kerja. Hindari terjadinya refleksi bunyi
dari tubuh atau penghalang sumber bunyi. Diarahkan mikrofon alat ukur
dengan sumber bunyi sesuai dengan karakteristik mikrofon (mikrofon
tegak lurus dengan sumber bunyi, 70° sampai 80° dari sumber bunyi).
Maka dicatat hasil pengukuran intensitas kebisingan pada lembar
pengukuran data sampling.
3. Digital Lux Meter
Pengukuran intensitas penerangan dilakukan selama 4 hari pada
shift pagi pukul 07.00-13.00 WIB, pada shift siang pukul 14.00-19.00 WIB
dan pada shift malam pukul 21.00-24.00 WIB. Pengukuran dilakukan pada
2 tempat yaitu gerbang tol Cililitan 1 dan gerbang tol Cililitan 2.
Pengukuran intensitas pencahayaan yang dilakukan pada karyawan
gerbang tol yaitu termasuk dalam kategori pengukuran pencahayaan
setempat dengan ketetuan pegukuran pada objek kerja, berupa meja kerja
maupun peralatan dengan menggunakan alat Digital Luxmeter DL 204.
Objek berupa meja kerja, maka pengukuran dapat dilakukan di atas meja
yang ada. Pengukuran intensitas pencahayaan dilakukan satu kali selama 5
menit (didapat nilai angka yang stabil), tepatnya pada shift pagi, siang dan
malam. Luas dari ruang kerja karyawan gerbang tol rata-rata kurang dari
10 m², maka pengukuran dilakukan pada setiap 1×1 m. Hal tersebut
84
bertujuan dapat menggambarkan keadaan lingkungan dan kondisi yang
sebenarnya karena ingin diketahui pencahayaan yang mempengaruhi
pekerja saat melakukan aktivitas. Peneliti melakukan pengukuran pada
kondisi ruangan sesuai kenyamanan bekerja karyawan tanpa
menambahkan atau mengurangi kenyamanan tersebut. Pada saat
pengukuran berlangsung sumber pencahayaan alami yaitu cahaya matahari
membantu karyawan dalam melakukan pekerjaannya dan hal tersebut
berlaku pada shift pagi dan siang serta kondisi cuaca saat pengukuran tidak
hujan dan tidak mendung untuk shift pagi dan siang sedangkan untuk shift
malam tidak ada pencahayaan tambahan selain pencahayaan ruangan yang
ada.
Gambar 4.2 Digital Luxmeter DL 204
Peneliti melakukan pengukuran pencahayaan pada ruangan kerja
karyawan dengan menentukan titik yaitu satu titik pengukuran karena
pencahayaan yang digunakan adalah pencahayaan lokal. Metode
pengukuran intensitas pencahayaan berdasarkan SNI 16-7062 tahun 2004
dengan menggunakan luxmeter. Sebelum melakukan pengukuran peneliti
menyiapkan denah yang telah dibuat sebelumnya agar mempermudah saat
pengukuran. Luas ruangan gerbang tol 2 x 2 meter adalah 4 m² < 10 m².
Maka denah ruang kerja:
85
2 x 2 meter
(Titik pengukuran pencahayaan)
Gambar 4.3 Denah Ruang Kerja Kolektor Gerbang Tol
Selanjutnya, peneliti menyiapkan alat lux meter, pastikan alat lux
meter berfungsi dengan baik. Dicek kelengkapan alat seperti baterai,
pastikan terdapat baterai cadangan yang disiapkan. Kemudian dipasang
baterai pada tempatnya dan ditekan tombol power ON/OFF, maka alat
akan menunjukkan angka 0.00, artinya alat sudah dapat digunakan.
Selanjutnya peneliti membuka penutup sensor cahaya, meletakkan sensor
cahaya di tempat yang akan dilakukan pengukuran pencahayaan tepatnya
pada posisi pekerja melakukan pekerjaannya. Banyaknya titik pengukuran
juga dapat ditentukan sesuai luas ruangan.
Peneliti menggunakan range yang dijadikan standar pengukuran
adalah 300 lux untuk standar ruang kerja administrasi. Menekan tombol
Lux/Fc untuk merubah satuan pengukuran dalam Lux atau Fc. Pada saat
awal pengukuran display tidak menunjukkan tanda “OL” yang muncul, hal
tersebut mengindikasikan cahaya yang terdapat dilokasi pengukuran tidak
Overload, maka lanjutkan untuk tetap pengukuran tanpa mengganti range
yang ada. Diletakkan alat di tempat ruangan kerja sesuai posisi pekerja
dengan tinggi kurang lebih 100 cm atau 1 meter dari lantai. Peneliti
Pekerja
86
mengarahkan sensor cahaya pada permukaan daerah yang akan diukur
kuat atau frekuensi pencahayaannya.
Lalu ditunggu hingga angka di display stabil, setelah stabil dibaca
angka yang tertera pada layar panel. Peneliti melakukan hal tersebut
sebanyak 3 kali pada setiap titik dan mencari rata-rata dari intensitas
pencahayaan yang ada. Ditekan tombol D/H untuk menghentikan angka
saat pengukuran, fungsi dari tombol tersebut sebagai tombol stop atau
pause. Dilakukan hal tersebut sebanyak 3 kali pada setiap titik. Jika sudah
selesai pengukuran, tutup kembali sensor cahaya. Matikan alat dengan
menekan tombol ON/OFF.
4. Thermohygrometer
Pengukuran suhu ruangan dan kelembaban udara dilakukan selama
4 hari pada shift pagi pukul 07.00-13.00 WIB, pada shift siang pukul
14.00-19.00 WIB dan pada shift malam pukul 21.00-24.00 WIB.
Pengukuran dilakukan pada 2 tempat yaitu gerbang tol Cililitan 1 dan
gerbang tol Cililitan 2. Pengukuran suhu ruangan dan kelembaban udara
dilakukan dengan menggunakan metode pembacaan langsung dan
menggunakan alat Thermohygrometer. Kondisi ruang kerja saat
pengukuran setiap shift berbeda-beda, terdapat beberapa pendingin
ruangan yang dinyalakan sangat dingin dibawah 18˚C dan beberapa
dinyalakan pada tingkatan normal 24-26 ˚C serta beberapa pendingin
ruangan tidak berfungsi dengan baik. Sedangkan kondisi cuaca saat
pengukuran tidak turun hujan dan kadang mendung di sore hari. Peneliti
menempatkan alat ukur dengan jarak 1 meter dari karyawan agar suhu
87
yang diterima karyawan dapat tergambar. Alat tersebut diletakkan tepat
diatas meja kerja karyawan tanpa mengganggu pekerjaan karyawan.
Gambar 4.4 Thermohygrometer
Thermohygrometer terdiri dari dua pengukuran yaitu pengukuran
kelembaban relatif (RH) dan suhu ruangan. Peneliti menempatkan alat
tersebut di tempat yang akan diukur suhu dan kelembabannya selama 10
menit waktu adaptasi dan pengukuran dilakukan hingga angka pada layar
alat menunjukkan angka stabil. Selanjutnya untuk ruangan yang diukur
terdapat pekerja, pada hal tersebut karyawan kolektor duduk maka
tempatkan alat setinggi 0,6 m. Peneliti menyalakan alat ukur dan
dilakukan pengukuran lalu dibaca angka suhu dan kelembaban yang
didapat pada alat thermohygrometer. Dicatat dan disimpulkan.
4.7 Pengolahan Data
Seluruh data yang terkumpul akan diolah secara statistik. Pengolahan data
terdiri dari beberapa tahapan yang harus dilakukan sebelum dilakukannya uji,
analisis, dan interpretasi. Tahap-tahap tersebut sebagai berikut:
1. Editing
Editing merupakan kegiatan peneliti menyuting data yang telah
terkumpul dengan cara memeriksa isian kuesioner. Hal ini dilakukan
peneliti guna memeriksa kelengkapan, kesinambungan, dan keseragaman
88
data sehingga data yang meragukan dan tidak lengkap dapat dilengkapi
kembali kepada responden.
2. Coding
Coding merupakan kegiatan peneliti mengklasifikasikan data dan
memberi kode pada jawaban responden yang ada untuk mempermudah
dalam proses pengelompokkan dan pengolahan dengan komputer untuk
melakukan analisa data. Coding dilakukan peneliti baik pada variabel
dependen maupun variabel independen. Pada penelitian ini data yang di
coding sebagai berikut:
a. Kelelahan Kerja a. ≥ 60 (Kelelahan
Berat)
b. < 60 (Kelelahan
Ringan)
[1]
[2]
b. Intensitas
Pencahayaan
a. < 300 Lux
(Pencahayaan Tidak
Terpenuhi)
b. ≥ 300 Lux
(Pencahayaan
Terpenuhi)
[1]
[2]
c. Suhu dan
Kelembaban
a. < 18˚C atau > 28˚C
Suhu Tidak Sesuai
dan <40% atau
>60% Kelembaban
Tidak Sesuai
b. 18˚C-28˚C Suhu
Sesuai dan 40%-60%
Kelembaban Sesuai
[1]
[2]
d. Shift Kerja a. Shift Pagi: Pukul [1]
89
05.00-13.00 WIB
b. Shift Siang: Pukul
13.00-20.00
c. Shift Malam: Pukul
20.00-05.00 WIB
[2]
[3]
3. Entry
Peneliti memasukan data yang telah dikode tersebut kedalam program
komputer untuk selanjutnya akan diolah menggunakan aplikasi program
data statistik dan dianalisis.
4. Cleaning
Cleaning merupakan kegiatan peneliti melakukan pengecekan kembali
data yang telah dimasukkan untuk memastikan data tersebut tidak ada
yang salah, sehingga dengan demikian data tersebut telah siap diolah dan
dianalisis. Cara yang sering dilakukan adalah dengan melihat distribusi
frekuensi dari variabel-variabel dan menilai kelogisannya. Tahapan
cleaning data terdiri dari mengetahui missing data, mengetahui variasi
data, dan mengetahui konsistensi data.
4.8 Analisis Data
a. Analisis Univariat
Analisis Univariat yaitu analisis yang digunakan untuk
memperoleh gambaran distribusi masing-masing variabel kelelahan kerja
pada karyawan gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang
Tomang Cengkareng dan variabel lingkungan kerja (kebisingan,
pencahayaan dan suhu & kelembaban) serta shift kerja pada karyawan
gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng.
90
b. Analisi bivariat
Analisis Bivariat yaitu analisis yang dilakukan setelah memperoleh
data. Pada penelitian ini analisis yang digunakan secara kuantitatif analitik
yaitu menggunakan uji T-Independent Test dan uji Chi-Square (X2) untuk
memperoleh hubungan antara variabel dependen dengan variabel
independen. Untuk mencari hubungan antara variabel independen
kebisingan dengan variabel dependen kelelahan kerja menggunakan uji T-
Independent Test, karena variabel tersebut merupakan variabel numerik.
Setelah dilakukan uji normalitas data maka dapat ditentukan uji t-
independent yang digunakan, jika data berdistribusi dengan normal maka
digunakan uji T-Test dan untuk data yang berdistribusi tidak normal maka
digunakan uji Non-Parametric. Sedangkan uji chi-square dilakukan untuk
mengetahui hubungan antara data kategorik variabael independen
pencahayaan, suhu ruangan dan kelembaban udara, dan shift kerja dengan
data ketegorik variabel dependen kelelahan kerja pada karyawan gerbang
tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng. Adakah
hubungan yang bermakna kuat antara variabel dependen dengan variabel
independen. Teknik pengolahan dan analisis data dilakukan dengan uji
statistik T-Independent dan Chi-Square Test dengan menggunakan
program statistik, dengan tingkat signifikan 5%, maka interpretasi hasil
sebagai berikut:
1. Jika p value < 0.05 maka hasil uji dinyatakan sangat signifikan.
2. Jika p value > 0.01 tetapi < 0.05 maka hasil uji dinyatakan
signifikan.
91
3. Jika p value > 0.05 maka uji dinyatakan tidak signifikan
(Riwikdikdo, 2008).
92
BAB V
HASIL PENELITIAN
5.1 Gambaran Lokasi Penelitian
5.1.1 PT Jasa Marga (Persero) Tbk
Jasa Marga berdiri dengan nama PT Jasa Marga (Indonesia
Highway Corporation) berdasarkan Akta No. 1 pada tanggal 1 Maret 1978,
kemudian berubah menjadi PT Jasa Marga (Persero) berdasarkan Akta
Nomor 187 pada tanggal 19 Mei 1981 di hadapan notaris Kartini Muljadi,
SH. Pendirian Jasa Marga telah sesuai dengan Undang-undang No. 9
Tahun 1969, tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1969 tentang Bentuk-bentuk Usaha Negara
menjadi Undang-undang, Peraturan Pemerintah No.12 Tahun 1969 tentang
Perusahaan Jasa Marga (Persero) dan Peraturan Pemerintah No.4 Tahun
1978 tentang Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia dalam
Pendirian Perusahaan Jasa Marga (Persero) di bidang Pengelolaan,
Pemeliharaan dan Pengadaan Jaringan Jalan Tol serta Surat Keputusan
Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 90/KMK 06/1978 tanggal
27 Februari 1978 tentang Penetapan Modal Perusahaan Perseroan PT Jasa
Marga (Persero) di bidang jalan tol (www.jasamarga.com, 2016).
Untuk mendukung gerak pertumbuhan ekonomi, Indonesia
membutuhkan jaringan jalan yang handal. Melalui Peraturan Pemerintah
No. 04 Tahun 1978, pada tanggal 01 Maret 1978 Pemerintah mendirikan
serta sarana kelengkapannya agar jalan tol dapat berfungsi sebagai
93
jalan bebas hambatan yang memberikan manfaat lebih tinggi daripada
jalan umum bukan tol (www.jasamarga.com, 2016).
5.1.2 Visi dan Misi PT Jasa Marga
a. Visi 2017: Menjadi Perusahaan Pengembang dan Operator Jalan Tol
Terkemuka di Indonesia .
b. Visi 2022: Menjadi Salah Satu Perusahaan Terkemuka di Indonesia.
c. Misi
1. Mewujudkan Percepatan Pembangunan Jalan Tol.
2. Menyediakan Jalan Tol yang Efisien dan Andal.
3. Meningkatkan kelancaran Distribusi Barang dan Jasa.
5.1.3 Aktifitas Usaha PT Jasa Marga
Bidang usaha Jasa Marga adalah membangun dan menyediakan
jasa pelayanan jalan tol. Untuk itu Jasa Marga melakukan aktifitas usaha
sebagai berikut:
a. Melakukan investasi dengan membangun jalan tol baru.
b. Mengoperasikan dan memelihara jalan tol.
c. Mengembangkan usaha lain, seperti tempat istirahat, iklan, jaringan
serat optik dan lain-lain, untuk meningkatkan pelayanan kepada
pemakai jalan dan meningkatkan hasil usaha perusahaan.
d. Mengembangkan usaha lain dalam koridor jalan tol.
e. Saat ini Jasa Marga mengelola dan mengoperasikan 13 hak
pengusahaan (konsesi) jalan tol melalui sembilan kantor cabang dan
satu anak perusahaan yaitu :
1. Jalan tol Jagorawi
94
2. Jalan Tol Jakarta-Tangerang
3. Jalan Tol Jakarta- Cikampek
4. Jalan Tol Dalam Kota Jakarta
5. Jalan Tol Prof. Dr.Ir. Sedyatmo
6. Jalan Tol Serpong-Pondok Aren (dioperasikan oleh JLJ)
7. Jalan Tol Cikampek -Purwakarta-Cileunyi
8. Jalan Tol Padalarang –Cileunyi
9. Jalan Tol Palimanan-Kanci
10. Jalan Tol Semarang
11. Jalan Tol Surabaya Gempol
12. Jalan Tol Belawan-Medan-Tanjung Morawa
13. Jalan Tol Lingkar Luar Jakarta (dioperasikan oleh JLJ)
95
Gambar 5.1 Peta Wilayah Jaringan Jalan Tol Jakarta dan Sekitarnya
Sumber: (www.jasamarga.com, 2016)
5.1.4 PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng
Jalan Tol Dalam Kota atau Jakarta Intra Urban Tollways, mulai
dioperasikan oleh Jasa Marga secara bertahap semenjak tahun 1987,
melalui ruas Cawang-Semanggi. Jalan Tol ini dibangun seiring dengan
96
pertumbuhan Jakarta sebagai pusat pemerintahan dan pusat bisnis, dimana
mobilitas orang dan barang makin meningkat pula.
Jalan Tol sepanjang ini menghubungkan wilayah Timur Jakarta
yaitu Cawang hingga wilayah Barat Kota Jakarta hingga Pluit. Jalan Tol
sepanjang 23,55 Km ini saat ini terintegrasi dengan 4 (empat ) jalan tol
yang menuju ke berbagai wilayah yaitu, Jalan Tol Jagorawi, Jalan Tol
Jakarta-Cikampek, Jalan Tol Tangerang-Merak, Serta Jalan Tol Prof Dr.
Ir. Sedyatmo.
Sementara itu pada tahun 1996 saat selesainya pembangunan ruas
Grogol-Pluit, Jalan tol ini menjadi sebuah lingkaran yang tak berujung
bersamaan bersama ruas Cawang-Tanjung Priuk-Pluit yang dioperasikan
oleh PT Citra Marga Nushapala Persada. Dengan demikian jalan tol ini
menjadi salah satu infrastruktur penting Nasional dan menjadi urat nadi
trasportasi yang penting menghubungkan dari wilayah Tangerang menuju
Cikampek serta kota-kota lain di Pantai Utara Jawa (Pantura). Sehingga
Jalan tol ini yang memiliki 3 x 2 jalur ini kerap dipadati oleh lalu lintas
pada jam-jam tertentu.
Bagan 5.1 Pertumbuhan Volume Lalu Lintas Kendaraan Ruas Dalam
Kota Cabang Cawang Tomang Cengkareng Rata-Rata Per Hari/kr
Sumber: (www.jasamarga.com, 2016)
97
Berdasarkan tabel 5.1 diketahui bahwa pertumbuhan volume lalu
lintas kendaraan ruas dalam kota setiap tahunnya meningkat dengan rata-
rata per harinya mencapai 568.863/hari pada tahun 2013. Hal tersebut
menunjukkan bahwa ruas tol dalam kota termasuk aktivitas pengguna jalan
tol yang padat.
Selain itu, terdapat jalan tol yang dibangun untuk melengkapi
pembangunan Bandara Internasional Soekarno-Hatta di Cengkareng. Jalan
tol sepanjang 14,30 km mulai dioperasikan pada tahun 1987.
Keistimewaan Jalan tol ini adalah diterapkannya kontruksi Cakar Ayam
sebagai pondasi Jalan. Teknologi ini ditemukan oleh Prof. Dr.Ir. Sedyatmo
yang kemudian namanya diabadikan sebagai nama jalan tol ini. Saat ini
jalan tol Sedyatmo telah mengalami penambahan lajur elevated di kiri dan
kanan jalan utama, hal ini untuk menghindari risiko banjir yang kerap
merendam badan jalan tol yang disebabkan perkembangan wilayah sekitar
jalan tol tersebut. Jalan Tol Prof.Dr.Ir. Sedyatmo saat ini selain
tersambung dengan jalan tol Dalam Kota, juga tersambung dengan jalan
tol JORR W1 Ke dua ruas jalan tol ini diopersikan oleh Jasa Marga
Cabang Cawang-Tomang-Cengkareng Pertumbuhan Volume Lalu Lintas.
98
Bagan 5.2 Pertumbuhan Volume Lalu Lintas Kendaraan Ruas Prof.
Dr. Ir. Sedyatmo Cabang Cawang Tomang Cengkareng Rata-Rata
Per Hari/kr
Sumber: (www.jasamarga.com, 2016)
Berdasarkan tabel 5.2 diketahui bahwa pertumbuhan volume lalu
lintas kendaraan ruas Prof. Dr. Ir. Sedyatmo mengalami peningkatan
dengan rata-rata per harinya mencapai 204.338/hari pada tahun 2013.
5.1.5 Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Bagi Perseroan, sumber daya manusia adalah aset yang sangat
berharga yang harus terus dijaga dan diberdayakan. Pemberdayaan dan
perhatian yang tinggi terhadap SDM Perseroan dilakukan dengan
menciptakan lingkungan kerja yang aman, nyaman dan menyehatkan
dengan menerapkan standar Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) yang
tinggi pada setiap level operasional Perseroan.
Didalam penerapan program K3, Perseroan secara rutin melakukan
inspeksi terhadap faktor-faktor atau hazards yang berpotensi
menyebabkan cedera,sakit atau kecelakan, mengidentifikasi
ketidakfungsian peralatan, memonitor kondisi lingkungan yang berpotensi
99
menimbulkan masalah K3, serta tindakan-tindakan yang tidak sesuai
dengan Standard Operating Procedure (SOP).
Selain hal-hal preventif diatas, Unit K3 Perseroan juga secara
periodik melakukan analisis keselamatan kerja untuk meninjau ulang
metode dan mengidentifikasi praktek pekerjaan yang tidak selamat yang
selanjutnya dilakukan suatu tindakan korektif.
Dalam Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan
Kerja yang terintegrasi dengan sistem manajemen Perseroan. Perseroan
telah melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Pembentukan Organisasi Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan
Kerja
b. Sertifikasi OHSAS 18001:2008 dan Sertifikasi SMK3
c. Kebijakan Mutu
1. Mengusahakan jasa pelayanan yang bermutu tinggi untuk
memenuhi kelancaran, keamanan dan kenyamanan pelanggan.
2. Mendorong seluruh karyawan untuk selalu meningkatkan
keterampilan dan keahlian serta selalu bertanggung jawab dan
tertib dalam menjalankan tugas melayani pelanggan.
3. Terus menerus menyempurnakan sistem dan lingkungan kerja ke
arah yang lebih efektif dan efisien untuk mendukung tercapainya
mutu pelayanan.
100
5.2 Hasil Analisis Univariat
5.2.1 Gambaran Kelelahan Kerja Pada Karyawan Kolektor Gerbang Tol
Pada penelitian ini kelelahan kerja merupakan dampak dari
ketidakmampuan seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan. Biasanya
kelelahan kerja bersumber dari aktivitas pekerja yang dilakukan dan
kemudian dapat menghilang setelah dilakukan pemulihan dengan
mengistirahatkan individu. Kelelahan kerja yang diukur menggunakan
kuesioner Subjective Self Ratting Test (SSRT) dari Industrial Fatigue
Research Committee (IFRC) sebagai indikator kelelahan kerja. Adapun
hasil penelitian tentang gambaran kelelahan kerja berdasarkan kuesioner
Subjective Self Rating Test pada pekerja gerbang tol dapat dilihat pada
tabel 5.1.
Tabel 5.1
Distribusi Kelelahan Kerja (Subjective Self Ratting Test) Pada
Kolektor Gerbang Tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang
Tomang Cengkareng Tahun 2016
Variabel Kategori n %
Kelelahan
Kerja
Kelelahan Berat 28 66.7
Kelelahan Ringan 14 33.3
Berdasarkan tabel 5.1 diketahui bahwa distribusi kelelahan kerja
dari 42 orang karyawan kolektor gerbang tol yang mengalami kategori
kelelahan berat dengan jumlah yaitu 28 (66.7%) karyawan, dengan
demikian kelelahan kerja yang dirasakan karyawan kolektor gerbang tol
paling banyak dialami karyawan pada kategori kelelahan berat.
101
5.2.2 Gambaran Lingkungan Kerja Fisik (Kebisingan, Pencahayaan, Suhu
Ruangan dan Kelembaban, dan Shift Kerja) Pada Karyawan
Kolektor Gerbang Tol
Data tingkat kebisingan di tempat kerja diperoleh dari hasil
pengukuran dengan menggunakan Sound Level Meter. Pengukuran tingkat
kebisingan dilakukan pada setiap titik gardu tol yaitu setiap ruang kerja
kolektor gerbang tol. Kemudian, data tingkat pencahayaan di tempat kerja
diperoleh dari hasil pengukuran dengan menggunakan Digital Lux Meter.
Pengukuran tingkat pencahayaan dilakukan pada satu titik setiap ruang
kerja kolektor gerbang tol dimana tiap titik pengukuran dilakukan sampai
angka pada display lux meter stabil. Selanjutnya data suhu ruangan dan
kelembaban udara di tempat kerja diperoleh dari hasil pengukuran
menggunakan Hygrometer. Pengukuran suhu dan kelembaban dilakukan
pada setiap titik ruang kerja sampai mendapatkan angka pada display
stabil. Semua pengukuran dilakukan pada satu titik setiap ruang kerja
namun tidak mengganggu proses kerja.
Hasil penelitian mengenai gambaran hasil pengukuran tingkat
kebisingan di tempat kerja pada karyawan kolektor gerbang tol dapat
dilihat pada tabel 5.2.
Tabel 5.2
Distribusi Intensitas Kebisingan Pada Kolektor Gerbang Tol Cililitan
PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng Tahun 2016
Variabel Mean 95% CI SD Min-Max
Intensitas
Kebisingan 80.35 – 82.53 3.48 75.30-88.70
Berdasarkan hasil pengukuran pada tabel 5.2 diketahui bahwa
karyawan kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang
102
Tomang Cengkareng didapatkan mean 95% CI intensitas kebisingan
ditempat kerja sebesar 80.35 – 82.53 dBA dengan Standar Deviasi (SD)
3.48. Intensitas kebisingan terendah sebesar 75.30 dBA dan intensitas
kebisingan tertinggi sebesar 88.70 dBA.
Selanjutnya hasil penelitian mengenai gambaran hasil pengukuran
intensitas pencahayaan, suhu ruangan dan kelembaban udara, dan shift
kerja di tempat kerja pada karyawan kolektor gerbang tol dapat dilihat
pada tabel 5.3.
Tabel 5.3
Distribusi Intensitas Pencahayaan, Suhu Ruangan dan Kelembaban
Udara, dan Shift Kerja Pada Kolektor Gerbang Tol Cililitan PT Jasa
Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng Tahun 2016
Variabel Kategori N %
Intensitas
Pencahayaan
Pencahyaan Tidak Terpenuhi (<300 Lux) 30 71.4
Pencahayaan Terpenuhi (≥300 Lux) 12 28.6
Suhu
Ruangan
Suhu Ruangan Tidak Sesuai (>18˚C atau
>28˚C) 14 33.3
Suhu Ruangan Sesuai (18-28 ˚C) 28 66.7
Kelembaban
Udara
Kelembaban Tidak Sesuai (> atau < 40%-60%) 26 61.9
Kelembaban Sesuai (40%-60%) 16 38.1
Shift Kerja
Shift Pagi 14 33.3
Shift Siang 14 33.3
Shift Malam 14 33.3
Berdasarkan hasil pengukuran pada tabel 5.3 diketahui bahwa
karyawan kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang
Tomang Cengkareng dari 42 orang karyawan kolektor gerbang tol yang
pencahayaannya tidak terpenuhi yaitu sebanyak 30 (71.4%) karyawan.
Variabel suhu ruangan pada tabel 5.3 diketahui bahwa karyawan
kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang
103
Cengkareng dari 42 orang karyawan kolektor gerbang tol yang suhu
ruangannya tidak sesuai yaitu sebanyak 14 (33.3%) karyawan.
Variabel kelembaban udara pada tabel 5.3 diketahui bahwa
karyawan kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang
Tomang Cengkareng dari 42 orang karyawan kolektor gerbang tol yang
kelembaban udaranya tidak sesuai yaitu sebanyak 26 (61.9%) karyawan.
Untuk variabel sistem shift kerja pada tabel 5.3 diketahui bahwa
karyawan kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang
Tomang Cengkareng dari 42 orang karyawan kolektor gerbang tol didapat
masing-masing 14 karyawan pada shift pagi, siang dan malam.
5.3 Hasil Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel
independen dengan variabel dependen. Dalam penelitian ini menggunakan uji
t-independent test dan uji chi-square. Uji t-independent test dilakukan untuk
mencari hubungan antara variabel kebisingan dengan kelelahan kerja,
sedangkan uji chi-square dilakukan untuk mencari hubungan antara variabel
pencahayaan, suhu ruangan dan kelembaban udara, dan shift kerja dengan
kelelahan kerja, dengan derajat kemaknaan pvalue < 0.05 berarti ada
hubungan yang sangat signifikan secara statistik, apabila pvalue > 0.01 tetapi
< 0.05 berarti ada hubungan yang signifikan secara statistik dan pvalue > 0.05
berarti tidak ada hubungan yang signifikan secara statistik.
5.3.1 Uji Normalitas Data
Sebelum dilakukan analisis, dilakukan uji normalitas untuk
mengetahui apakah variabel yang diteliti memiliki distribusi normal atau
104
tidak. Uji normalitas ini menggunakan Shapiro Wilk Test karena pada
penelitian ini memiliki sampel kecil (kurang dari 50) yaitu 42 karyawan
kolektor gerbang tol. Variabel tersebut dikatakan normal jika p-value ≥
0,05. Dari hasil analisis, jika data hasil penelitian tersebut berdistribusi
normal maka menggunakan uji statistik T-Independent Test sedangkan jika
data hasil penelitian tidak berdistribusi normal maka menggunakan uji
statistik Non-Parametric yaitu uji Mann-Whitney. Uji Mann-Whitney
adalah uji statistik Non-Parametric untuk menguji perbedaan atau
hubungan antara dua sampel yang independen yang mewakili dua populasi
atau dua kelompok. Hasil uji normalitas dapat dilihat pada tabel 5.4
dibawah ini.
Tabel 5.4
Hasil Uji Normalitas Data
Variabel Pvalue
Kebisingan 0.002
Berdasarkan hasil statistik tersebut, dapat dilihat bahwa variabel
kebisingan berdistribusi tidak normal dengan p-value sebesar 0.002,
(<0.05) maka menggunakan uji Non-Parametric.
5.3.2 Hubungan Antara Kebisingan Dengan Kelelahan Kerja Pada
Kolektor Gerbang Tol
Hubungan intensitas kebisingan di tempat kerja terhadap kelelahan
kerja pada kolektor gerbang tol dapat dilihat pada tabel 5.5 dibawah ini:
105
Tabel 5.5
Gambaran Kelelahan Kerja Berdasarkan Intensitas Kebisingan Pada
Kolektor Gerbang Tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang
Tomang Cengkareng Tahun 2016
Variabel N Mean Pvalue
Kelelahan Berat 28 81.44 0.182
Kelelahan Ringan 14 81.44
Berdasarkan tabel 5.5 diketahui bahwa rata-rata kebisingan pada
karyawan kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang
Tomang Cengkareng yang mengalami kelelahan berat adalah 81.44 pada
28 karyawan sedangkan pada karyawan yang mengalami kelelahan ringan
memiliki rata-rata kebisingan adalah 81.44 pada 14 karyawan. Hasil
analisis menggunakan uji statistik Mann-Whitney pada variabel kebisingan
diketahui bahwa diperoleh nilai p-value sebesar 0,182, menunjukkan
bahwa variabel kebisingan memiliki pvalue > dari 0.05 (α = 5%) maka
dinyatakan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kebisingan
dengan kelelahan kerja pada karyawan kolektor gerbang tol Cililitan PT
Jasa Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng Tahun 2016.
5.3.3 Hubungan Antara Pencahayaan Dengan Kelelahan Kerja Pada
Kolektor Gerbang Tol
Hubungan instensitas pencahayaan di tempat kerja terhadap
kelelahan kerja pada kolektor gerbang tol dapat dilihat pada tabel 5.6
dibawah ini:
106
Tabel 5.6
Gambaran Kelelahan Kerja Berdasarkan Intensitas Pencahayaan
Pada Kolektor Gerbang Tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang
Cawang Tomang Cengkareng Tahun 2016
Variabel
Kelelahan Kerja
Total Pvalue Kelelahan
Berat
Kelelahan
Ringan
Pencahayaan
Tidak Terpenuhi 21 70.0% 9 30.0% 30 100%
0.491 Pencahayaan
Terpenuhi 7 58.3% 5 41.7% 12 100%
Berdasarkan tabel 5.6 diketahui bahwa ruang kerja karyawan
kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang
Cengkareng dari 42 orang karyawan kolektor gerbang tol yang
pencahayaannya tidak terpenuhi mengalami kelelahan berat terdapat 21
(70.0%) karyawan sedangkan karyawan yang pencahayaannya terpenuhi
mengalami kelelahan berat terdapat 7 (58.3%) karyawan. Hasil analisis
menggunakan uji statistik chi-square pada variabel pencahayaan diketahui
bahwa diperoleh nilai p-value sebesar 0,491, menunjukkan bahwa variabel
pencahayaan memiliki pvalue > dari 0.05 (α = 5%) maka dinyatakan tidak
terdapat hubungan yang signifikan antara pencahayaan dengan kelelahan
kerja pada karyawan kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang
Cawang Tomang Cengkareng Tahun 2016.
5.3.4 Hubungan Antara Suhu Ruangan dan Kelembaban Dengan
Kelelahan Kerja Pada Kolektor Gerbang Tol
Hubungan suhu ruangan di tempat kerja terhadap kelelahan kerja
pada kolektor gerbang tol dapat dilihat pada tabel 5.7 dibawah ini:
107
Tabel 5.7
Gambaran Kelelahan Kerja Berdasarkan Suhu Ruangan Pada
Kolektor Gerbang Tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang
Tomang Cengkareng Tahun 2016
Variabel
Kelelahan Kerja
Total Pvalue Kelelahan
Berat
Kelelahan
Ringan
Suhu Ruangan
Tidak Sesuai 6 42.9% 8 57.1% 14 100%
0.036 Suhu Ruangan
Sesuai 22 78.6% 6 21.4% 28 100%
Berdasarkan tabel 5.7 diketahui bahwa karyawan kolektor gerbang
tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng dari 42
orang karyawan kolektor gerbang tol yang suhu ruangannya tidak sesuai
mengalami kelelahan berat terdapat 6 (42.9%) karyawan sedangkan
karyawan yang suhu ruangannya sesuai mengalami kelelahan berat
terdapat 22 (78.6%) karyawan. Hasil analisis menggunakan uji statistik
chi-square pada variabel suhu ruangan diketahui bahwa diperoleh nilai p-
value sebesar 0,036, menunjukkan bahwa variabel suhu ruangan memiliki
pvalue < dari 0.05 (α = 5%) maka dinyatakan terdapat hubungan yang
signifikan antara suhu rungan dengan kelelahan kerja pada karyawan
kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang
Cengkareng Tahun 2016.
Hubungan kelembaban udara di tempat kerja terhadap kelelahan
kerja pada kolektor gerbang tol dapat dilihat pada tabel 5.8 dibawah ini:
108
Tabel 5.8
Gambaran Kelelahan Kerja Berdasarkan Kelembaban Udara Pada
Kolektor Gerbang Tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang
Tomang Cengkareng Tahun 2016
Variabel
Kelelahan Kerja
Total Pvalue Kelelahan
Berat
Kelelahan
Ringan
Kelembaban
Tidak Sesuai 20 76.9% 6 23.1% 26 100.0%
0.144 Kelembaban
Sesuai 8 50.0% 8 50.0% 16 100.0%
Berdasarkan tabel 5.8 diketahui bahwa karyawan kolektor gerbang
tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng dari 42
orang karyawan kolektor gerbang tol yang kelembaban udaranya tidak
sesuai mengalami kelelahan berat terdapat 20 (76.9%) karyawan
sedangkan karyawan yang kelembaban udaranya sesuai mengalami
kelelahan berat terdapat 8 (50.0%) karyawan. Hasil analisis menggunakan
uji statistik chi-square pada variabel kelembaban udara diketahui bahwa
diperoleh nilai p-value sebesar 0,144, menunjukkan bahwa variabel
kelembaban udara memiliki pvalue > dari 0.05 (α = 5%) maka dinyatakan
tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kelembaban udara dengan
kelelahan kerja pada karyawan kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa
Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng Tahun 2016.
5.3.5 Hubungan Antara Shift Kerja Dengan Kelelahan Kerja Pada
Kolektor Gerbang Tol
Hubungan shift kerja di tempat kerja terhadap kelelahan kerja pada
kolektor gerbang tol dapat dilihat pada tabel 5.9 dibawah ini:
109
Tabel 5.9
Gambaran Kelelahan Kerja Berdasarkan Shift Kerja Pada Kolektor
Gerbang Tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang
Cengkareng Tahun 2016
Variabel
Kelelahan Kerja
Total Pvalue Kelelahan
Berat
Kelelahan
Ringan
Shift Pagi 9 64.3% 5 35.7% 14 100.0%
0.115 Shift Siang 7 50.0% 7 50.0% 14 100.0%
Shift Malam 12 85.7% 2 33.3% 14 100.0%
Berdasarkan tabel 5.9 diketahui bahwa karyawan kolektor gerbang
tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng dari 42
orang karyawan kolektor gerbang tol dengan shift pagi yang mengalami
kelelahan berat terdapat 9 (64.9%) karyawan, sedangkan pada karyawan
dengan shift siang yang mengalami kelelahan berat terdapat 7 (50.0%)
karyawan dan pada karyawan dengan shift malam yang mengalami
kelelahan berat terdapat 12 (85.7%) karyawan. Hasil analisis
menggunakan uji statistik chi-square pada variabel shift diketahui bahwa
diperoleh nilai p-value sebesar 0,115, menunjukkan bahwa variabel shift
memiliki pvalue > dari 0.05 (α = 5%) maka dinyatakan tidak terdapat
hubungan yang signifikan antara shift kerja dengan kelelahan kerja pada
karyawan kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang
Tomang Cengkareng Tahun 2016.
110
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Keterbatasan Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menyadari terdapat keterbatasan dan
kelemahan penelitian. Dengan keterbatasan ini, diharapkan dapat dilakukan
perbaikan untuk penelitian yang akan datang. Keterbatasan dan kelemahan
penelitian ini sebagai berikut:
1. Alat yang digunakan tidak dapat menyimpan otomatis sehingga perlu
dicatat secara manual masing-maisng alat, ada yang perlu dicatat setiap 5
detik sekali yaitu pengukuran kebisingan hal tersebut dapat mempengaruhi
pencatatan hasil akhir pengukuran, selain itu tidak diketahuinya grafik
peningkatan atau penurunan intensitas pengukurannya.
2. Pengukuran pada pencahayaan tidak memperhatikan aspek kondisi fisik
pencahayaan (Lampu) sehingga memungkinkan mempengaruhi hasil
pengukuran.
3. Ruang kerja kolektor gerbang tol yang sempit, membuat peneliti memiliki
sedikit ruang untuk menempatkan alat ukur lingkungan kerja dan sedikit
ruang untuk bergerak contohnya alat pengukuran kebisingan yang
diletakkan dibelakang telinga karyawan tidak tepat disamping telinga
karyawan karena dapat menggangu aktivitas karyawan.
111
6.2 Gambaran Kelelahan Kerja Pada Karyawan Kolektor Gerbang Tol
Kelelahan merupakan keadaan yang berbeda-beda pada setiap
individu, namun dari semua keadaan kelelahan akan berakibat pada
pengurangan kapasitas kerja dan ketahanan tubuh. Secara teori keadaan lelah
meliputi aspek fisiologis maupun aspek psikologis dan bersifat subjektif
dimana ditandai dengan penurunan kinerja fisik, perasaan lelah, penurunan
motivasi, dan penurunan produktivitas kerja yang akan mempengaruhi
kesehatan pekerja. Kelelahan merupakan keadaan melemahnya kekuatan fisik
maupun psikis seseorang yang dapat mengganggu kesiagaan, ketelitian,
penurunan kapasitas ketahanan tubuh dan akan mempengaruhi kesehatan
seseorang (Grandjean, 1995; Suma’mur, 2009; Budiono, dkk, 2003; dan
Tarwaka, 2010).
Maka kelelahan dapat diartikan dimana keadaan seseorang sudah tidak
mampu melakukan suatu aktivitas karena merasa pekerjaan yang dilakukan
adalah suatu beban yang harus dipulihkan. Kelelahan kerja dapat menurunkan
konsentrasi kerja dan kesalahan dalam melakukan pekerjaan karena dari itu
perlu adanya pemulihan baik pemulihan psikis maupun fisik pada pekerja,
apabila tidak segera dilakukan pemulihan akan mengakibatkan penurunan
produktivitas. Penurunan produktivitas kerja dapat menghambat perusahaan
dalam menggerakkan aktivitasnya karena pekerja yang menjadi penggerak
tidak dapat melakukan pekerjaannya dengan baik.
Pada penelitian ini, kelelahan kerja diukur menggunakan Kuesioner
Subjective Self Ratting Test (SSRT) yang diadopsi dari Industrial Fatigue
Research Committee of Japanese Association Industrial Health (IFRC
112
Jepang). Kuesioner SSRT dari IFRC adalah kuesioner khusus digunakan
untuk menilai perasaan kelelahan subjektif secara umum. Pengukuran dengan
metode ini bersifat subjektif sesuai dengan masing-masing responden maka
sangat bergantung dari jawaban responden yang diteliti.
Berdasarkan hasil pengukuran kelelahan kerja secara subjektif pada 42
karyawan kolektor gerbang tol menggunakan kuesioner SSRT, diperoleh hasil
bahwa karyawan kolektor gerbang tol paling banyak merasakan kelelahan
pada kategori kelelahan berat. Kelelahan berat yang dirasakan oleh karyawan
disebabkan karena beban kerja karyawan tergolong beban kerja sedang dengan
melakukan pekerjaan secara konstan dan berulang melakukan transaksi pada
pengguna tol yang kadang aktivitas pengguna tol meningkat dengan cepat dan
menurun juga dengan sendirinya dan selain itu juga didukung oleh lingkungan
kerja yang menjadi pajanan karyawan kolektor gerbang tol.
Pada kolektor gerbang tol yang mengalami kelelahan ringan dalam
penelitian ini, bisa dianggap mereka bekerja dalam keadaan yang normal,
seperti yang terdapat pada teori yang dikemukakan oleh Tarwaka (2004) yaitu
kelelahan merupakan suatu mekanisme perlindungan agar terhindar dari
kerusakan lebih lanjut, sehingga dengan demikian terjadilah pemulihan setelah
istirahat sehingga pada pengumpul tol yang mengalami kelelahan tingkat
ringan belum diperlukan adanya tindakan perbaikan karena dapat diatasi
dengan melakukan istirahat sejenak. Pernyataan tersebut sesuai dengan
Tarwaka (2013) yang menyatakan bahwa kelelahan adalah suatu mekanisme
perlindungan tubuh agar terhindar dari kerusakan lebih lanjut sehingga terjadi
pemulihan setelah istirahat. Sehingga tingkatan kelelahan yang mulai perlu
113
dilakukan tindakan perbaikan lebih lanjut adalah pengumpul tol yang
mengalami kelelahan berat. Jika menderita lelah berat secara terus menerus
maka akan mengakibatkan kelelahan kronis dengan gejala lelah sebelum
bekerja. Jika terus berlanjut dan menimbulkan sakit kepala, pusing, mual dan
sebagainya maka kelelahan itu dinamakan lelah klinis yang akan
mengakibatkan malas bekerja (Sedarmayanti, 2009).
Namun kelelahan kerja yang normal atau ringan dapat dikaitkan
dengan beban kerja dan waktu istirahat. Kelelahan kerja juga terkait dengan
waktu istirahat. Waktu istirahat yang cukup dapat memberikan pemulihan
(recovery) dan penyegaran kembali bagi tenaga kerja. Sedangkan, secara teori
waktu istirahat berfungsi untuk memberikan pemulihan, yaitu memberikan
kesempatan kepada otot untuk merubah asam laktat yang terakumulasi
menjadi glikogen dengan pasokan oksigen yang memadai, jika hal itu
dihubungkan dengan kelelahan kerja fisiologis. Jika dihubungkan dengan
kelelahan kerja psikologis, waktu pemulihan memberikan perasaan nyaman
dan relaksasi bagi otak untuk menurunkan kebosanan (kelelahan) dan akhirnya
mendorong tenaga kerja untuk mempertahankan kinerja mendekati output
yang maksimum (Morgeson dan Garza, 2013).
Jika dianalisis berdasarkan pengelompokkan gejala kelelahan kerja di
kuesioner SSRT menggambarkan bahwa karyawan kolektor gerbang tol paling
banyak mengalami pelemahan fisik dengan presentase 45.2% sedangkan
pelemahan kegiatan dengan presentase 38.1% dan pelemahan motivasi 16.7%,
berdasarkan presentase tersebut menunjukkan karyawan membutuhkan bentuk
114
penanggulangan dan pencegahan yang berbeda beda berdasarkan jenis
pelemahannya.
Dalam gejala pelemahan kegiatan yang dirasakan karyawan sebagian
besar ingin segera menyelesaikan pekerjaan dan melakukan istirahat
melakukan peregangan seperti berbaring, tidur, dan menenangkan pikiran.
Fasilitas ruangan istirahat telah disediakan oleh perusahaan untuk tujuan dapat
membantu karyawan melakukan pemulihan setelah bekerja.
Sedangkan dalam gejala pelemahan motivasi karyawan sebagian besar
merasa kecemasan sangat sering dalam melakukan pekerjaan karena
ditakutkan ada kesalahan dalam bekerja seperti salah menghitung uang
kembalian, salah memberikan uang, kekurangan uang transaksi dan adanya
pengguna yang tidak bayar transaksi. Hal tersebut dirasakan karena tanggung
jawab karyawan sangat besar dalam melakukan pekerjaannya, segala macam
aktivitas dipantau oleh kepala shift dibagian kantor menggunakan CCTV dan
karyawan memiliki kekhawatiran akan aktivitas kerjanya karena kadang
kecenderungan untuk lupa yang terjadi pada pekerjaan kerap terjadi. Namun
karyawan memiliki motivasi yang cukup tinggi untuk mendedikasikan
pekerjaannya dengan selalu meningkatkan produktivitasnya dan hal tersebut
akan meenguntungkan untuk perusahaan karena keuntungan pada perusahaan
juga akan meningkat.
Untuk gejala pelemahan fisik yang dirasakan karyawan sebagian besar
karyawan mengeluh sering merasa haus dan nyeri dibagian bahu karena harus
terus menerus melakukan transaksi pada jam kerjanya. Pekerjaan yang
dilakukan secara terus menerus dan dapat dikatakan konstan atau tetap
115
gerakannya membuat karyawan merasakan kelelahan akan fisik yang
melakukan gerakkan berulang tersebut.
Hal ini menujukkan bahwa dari 3 pelemahan tersebut karyawan
membutuhkan beberapa penanggulangan dan pencegahan yang diantaranya
telah dilakukan perusahaan seperti sudah diberikannya fasilitas berupa ruang
istirahat dengan dilengkapi matras, televisi, dan lainnya untuk menanggulangi
pelemahan kegiatannya namun tanpa disadari perusahaan perlu memberikan
inovasi baru berupa inovasi kegiatan dalam transaksi agar karyawan tidak
merasakan kejenuhan akan kegiatan yang monoton setiap melakukan aktivitas
pekerjaannya. Pernyataan tersebut didukukng oleh pernyataan Suma’mur
(1996) terdapat empat kelompok sebab kelelahan yaitu: keadaan monoton,
beban pekerjaan baik fisik maupun mental, keadaan lingkungan seperti cuaca
kerja, penerangan dan kebisingan, keadaan kejiwaan seperti tanggung jawab,
kekhawatiran atau konflik, penyakit atau perasaan sakit. Selain itu perusahaan
juga perlu memberikan motivasi lebih kepada karyawan dapat dilakukan
dengan mennyediakan rewards untuk karyawan yang mendedikasikan
pekerjaannya dengan baik secara berlaka atau dapat juga dilakukan promosi
jabatan kepada karyawan yang memiliki karir pekerjaan yang selalu
meningkat produktivitasnya. Sedangkan hal lainnya dalam menanggapi
pelemahan fisik perusahan dapat melakukan inovasi baru untuk selalu
mengingatkan karyawan melakukan senam peregangan pada tubuhnya saat
merasakan kelelahan fisik.
Kelelahan kerja kategori kelelahan berat yang timbul dirasakan
karyawan merupakan hasil dari adanya berbagai penyebab kelelahan salah
116
satunya berasal dari lingkungan. Berdasarkan waktu terjadinya kelelahan yang
dirasakan karyawan kolektor gerbang tol termasuk kelelahan kronis karena
sebagian karyawan telah merasakan kelelahan sebelum melakukan pekerjaan
atau diawal melakukan pekerjaan dan pernyataan tersebut didukung oleh teori
Budiono (2003) yaitu kelelahan kronis merupakan kelelahan yang terjadi
sepanjang hari dalam jangka waktu yang lama dan kadang-kadang terjadi
sebelum melakukan pekerjaan.
Penyebab kelelahan tersebut juga didapati oleh lingkungan kerja
karyawan kolekor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang
Tomang Cengkareng Tahun 2016 dimana kelelahan yang dirasakan karyawan
berasal dari lingkungan kerja yaitu meliputi kebisingan, pencahayaaan, suhu
ruangan dan kelemababan udara dan shift kerja. Kelelahan kerja merupakan
suatu pola yang timbul pada suatu keadaan yang secara umum terjadi pada
pekerja, dimana pekerja tidak sanggup lagi untuk melakukan pekerjaan
(Sedarmayanti, 2009).
Oleh karena itu diperlukan tindakan untuk mencegah terjadinya
kelelahan kerja. Diperlukannya upaya untuk menghilangkan atau mengurangi
penyebab-penyebab kelelahan kerja yaitu dengan cara memberikan
pelatihan/informasi secara lebih mendalam mengenai kelelahan, penyebab
kelelahan, dampak dan cara menanggulangi kelelahan akibat kerja untuk
karyawan. Selain itu diperlukan adanya pengendalian bahaya di lingkungan
kerja seperti pengendalian kebisingan, pencahayaan, suhu ruangan dan
kelemababan udara, shift kerja agar karyawan menyadari dan dapat
meminimalkan kondisi kelelahan dalam bekerja sehingga tidak terjadi
117
penurunan produktivitas kerjadalam melakukan pekerjaan. Perlunya
mengurangi tingkat kelelahan dengan menghindari sikap kerja yang statis dan
merubahnya menjadi sikap kerja yang lebih bervariasi atau dinamis, sehingga
sirkulasi darah dan oksigen dapat berjalan normal keseluruh anggota tubuh.
Kelelahan disebabkan oleh banyak faktor, yang terpenting adalah
bagaimana menangani setiap kelelahan yang muncul agar tidak menjadi
kronis. Agar dapat menangani kelelahan dengan tepat, maka harus diketahui
apa penyebab dari kelelahan tersebut (Tarwaka, 2004). Untuk mencegah
terjadinya kelelahan kerja, berdasarkan teori yang dikemukaan Lerman et al
(2012), ILO (1998), Budiono (2003) dan Sedarmayanti (2009) bahwa untuk
menghilangkan atau mengurangi penyebab-penyebab kelelahan yaitu dengan
cara menyeimbangkan antara beban kerja dengan jumlah pekerja sehingga
tidak ada pekerja yang mendapat beban kerja melebihi kapasitas kerja yan
sanggup dikerjakan, mengatur jam kerja dengan waktu istirahat yang cukup
dan bergantian pekerjaan saat merasa sudah tidak nyaman, dan mengendalikan
bahaya ditempat kerja dengan cara mendesain tempat kerja yang aman dan
sehat, adanya masa–masa libur dan rekreasi, penggunaan warna yang lembut,
dekorasi, dan musik di tempat kerja, merubah metoda kerja menjadi lebih
efisien dan efektif, menciptakan suasana lingkungan kerja yang sehat, aman
dan nyaman terutama disebabkan oleh faktor fisik, kimia, dan psikologi serta
penerapan ergonomi, memperhatikan faktor lingkungan guna menunjang
suasana kerja yang menyenangkan, diantaranya dalam hal: kebisingan
temperature atau tekanan panas, sirkulasi udara, pencahayaan, dekorasi dan
tata warna, latihan fisik membantu kelancaran fungsi organ tubuh agar dapat
118
melakukan pekerjaan lebih kuat, cekatan dan efisien., penyediaan sarana dan
fasilitas tempat istirahat yang nyaman, ruang makan, dan kantin.
6.3 Faktor Lingkungan Kerja Fisik (Kebisingan, Pencahayaan, Suhu
Ruangan dan Kelembaban Udara, dan Shift Kerja) Pada Karyawan
Kolektor Gerbang Tol
6.3.1 Kebisingan
Terpapar kebisingan dapat menyebabkan kelelahan kerja karena
denyut nadinya akan naik, tekanan darah naik, dan mempersempit
pembuluh darah yang akan menggangu komunikasi serta menganggu
konsentrasi dan kemampuan berpikir pekerja sehingga menyebabkan
kelelahan kerja (Suma’mur, 1996; Syukri, 1996; Soeripto, 1996).
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa intensitas
kebisingan tidak terdapat hubungan yang signifikan terhadap terjadinya
kelelahan kerja pada karyawan kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa
Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng Tahun 2016. Hal tersebut
menggambarkan bahwa karyawan kolektor gerbang tol yang mengalami
kelelahan kerja bukan sepenuhnya disebabkan oleh paparan kebisingan.
Berdasarkan hasil observasi tempat kerja, kebisingan yang terdapat
di tempat kerja berasal dari knalpot kendaraan pengguna jalan tol terutama
pengguna jalan tol yang menggunakan kendaraan besar seperti truk atau
bis dan pengguna jalan tol yang menggunakan knalpot racing. Selain itu,
sumber kebisingan didapat dari sumber lain yaitu audio musik diruang
kerja masing-masing kolektor gerbang tol, sebagian dari kolektor gerbang
tol menyalakan audio musik hingga volume tinggi dengan tujuan untuk
119
menghibur diri sendiri namun tidak dipungkiri suara audio tersebut
menjadi salah satu pajanan sumber kebisingan di tempat kerja. Menurut
Munandar (2008) benar adannya apabila musik diperdengarkan dalam
suatu lingkungan kerja akan dapat menimbulkan suasana gembira dan
mengurangi kelelahan kerja serta musik dalam bekerja memiliki pengaruh
yang baik pada pekerjaan-pekerjaan yang sederhana, rutin dan monoton,
sedangkan pada pekerjaan yang lebih majemuk dan memerlukan
konsentrasi yang tinggi pada pekerjaan pengaruhnya dapat menjadi sangat
negatif. Musik dapat menjadi suara yang bising dan mengganggu.
Asumsinya semakin tinggi kebisingan disuatu tempat kerja, maka
seseorang akan semakin sulit untuk berkonsentrasi dan pikiran mudah
stress sehingga dapat memicu munculnya kelelahan. Namun, hasil yang
didapatkan penelitian ini tidak sesuai (tidak berhubungan) dengan asumsi
dan teori yang dikemukakan oleh beberapa sumber seperti Tarwaka
(2004) menyatakan bahwa beberapa akibat pemaparan kebisingan salah
satunya adalah kelelahan. Selain itu pendapat tersebut diperkuat dengan
pernyataan Suma’mur (2009) bahwa kebisingan akan mempengaruhi faal
tubuh seperti gangguan pada saraf otonom yang ditandai dengan
bertambahnya metabolisme, bertambahnya tegangan otot sehingga
mempercepat kelelahan. Pengaruh kebisingan terhadap tenaga kerja adalah
mengganggu komunikasi, mengurangi konsentrasi (Budiono, dkk, 2003),
sehingga muncul sejumlah keluhan yang berupa perasaan lamban dan
keengganan untuk melakukan aktivitas. Kebisingan yang tidak
120
terkendalikan dengan baik, juga dapat menimbulkan efek lain yang salah
satunya berupa meningkatnya kelelahan kerja (Suma’mur,1996).
Kebisingan adalah semua suara yang tidak dikehendaki yang
bersumber dari alat-alat proses produksi dan atau alat-alat kerja yang pada
tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran. Suara keras,
berlebihan atau berkepanjangan dapat merusak jaringan saraf sensitif di
telinga, menyebabkan kehilangan pendengaran sementara atau permanen.
Hal ini sering diabaikan sebagai masalah kesehatan, tapi itu adalah salah
satu bahaya fisik utama (ILO, 2013)
Terdapat beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa kebisingan
memiliki hubungan dengan kelelahan kerja dan mendukung teori diatas
salah satunya penelitian menurut Sari (2010) terdapat pengaruh intensitas
kebisingan terhadap kelelahan kerja secara sangat signifikan pada tenaga
kerja bagian screening CV. Mekar Sari Wonosari Klaten. Selain itu hasil
penelitian kelelahan yang menyebutkan terdapat hubungan yang signifikan
antara kebisingan dengan perasaan kelelahan kerja pada tenaga kerja
(Yusri, 2006). Pada penelitian Marif (2013) menyatakan bahwa terdapat
hubungan yang bermakna antara kebisingan dengan kelelahan pada
pekerja pembuatan menara tambat leper pantai di proyek Banyu Urip PT
Rekayasa Industri Tahun 2013. Berdasarkan 3 penelitian sebelumnya
terkait intensitas kebisingan dengan kelelahan kerja dapat diambil
kesimpulan bahwa penelitian tersebut tidak sejalan atau tidak sesuai
karena subjek penelitian dengan lingkungan kerja juga yang berbeda pada
penelitian ini. Pada penelitian ini pekerjaan kolektor gerbang tol termasuk
121
pekerjaan rutin layaknya ruang administrasi dengan pajanan kebisingan
yang terputus-putus (intermittent), namun untuk pekerjaan pada subjek
penelitian Sari (2010) merupakan subjek yang berhubungan langsung
dengan mesin yang berproses selama 24 jam maka dari itu sumber
kebisingan yang didapatkan konstan dari mesin, sedangkan menurut 2
penelitian lainnya menunjukkan subjek yang bekerja di lapangan outdoor
dan berhubungan dengan mesin mendapatkan sumber kebisingan yang
konstan serta intensitas yang didapat akan berbeda pula sesuai dengan
mesin masing-masing.
Sedangkan penelitian ini didukung oleh penelitian sebelumnya
yang menyatakan bahwa kebisingan tidak berhubungan dengan kelelahan
antara lain penelitian menurut Dirgayudha (2014) didapatkan hasil yang
menunjukkan tingkat kebisingan di tempat kerja tidak berpengaruh
terhadap terjadinya kelelahan kerja pada pembuat tahu di wilayah
Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2014. Selain itu menurut
penelitian Umyati (2010) menyatakan bahwa hasil penelitiannya tidak
terdapat hubungan antara kebisingan dengan kelelahan kerja, karena nilai
kebisingan yang ada masih tergolong aman. Menurut penelitian Faiz
(2014) berdasarkan uji statistik dihasilkan bahwa tidak ada hubungan yang
signifikan antara kebisingan dengan kelelahan kerja pada pekerja operator
SPBU Kecamatan Ciputat Tahun 2014. Dari ketiga sumber penelitian
sebelumnya menggambarkan bahwa pekerja yang bekerja dilapangan baik
pada sumber kebisingan yang didapatkan dari mesin maupun dari
122
lingkungan outdoor tidak terdapat hubungan yang signifikan dengan
kelelahan kerja.
Berdasarkan 3 penelitian sebelumnya tersebut sesuai dengan
penelitian ini yang hasilnya tidak terdapat hubungan yang signifikan
karena sumber kebisingan yang didapatkan adalah kebisingan intermittent
atau kebisingan terputus-putus yang didapatkan dari kendaraan bermotor
pernyataan tersebut diperkuat oleh teori Suma’mur (1996) dan Buchari
(2007) dan kebisingan yang ada tergolong ke dalam jenis sumber
kebisingan garis atau sumber dinamis pernyataan tersebut diperkuat oleh
Suroto (2010) yang menyatakan kebisingan yang diakibatkan lalu lintas
adalah kebisingan garis. Tingkat gangguan kebisingan yang berasal dari
bunyi lalu lintas dipengaruhi oleh tingkat suaranya, seberapa sering terjadi
dalam satu satuan waktu, serta frekuensi bunyi yang dihasilkannya
(Magrab, 1982).
Intensitas kebisingan yang tidak memiliki hubungan signifikan
dengan kelelahan kerja dapat terjadi karena sebagian besar kolektor
gerbang tol terpapar kebisingan berkisar 81-83 dB. Dimana paparan
kebisingan tersebut termasuk paparan kebisingan dibawah NAB. Kondisi
tempat kerja yang dilalui oleh aktivitas kendaraan besar maupun kecil
sebagai sumber bising membuat hasil pengukuran yang bervariasi
sehingga intensitas kebisingan yang diterima masih cenderung normal,
hanya saja terdapat perbedaan pada kendaraan yang tergolong besar seperti
bus dan truk pada gerbang tol Cililitan 2 akan memiliki intensitas
kebisingan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kendaraan yang
123
tergolong kecil seperti mobil pribadi. Hal ini yang memungkinkan bahwa
kebisingan di gerbang tol Cililitan tidak ada hubungan dengan kelelahan
yang dialami oleh karyawan kolektor gerbang tol.
Paparan kebisingan dibawah NAB juga dapat menyebabkan
terjadinya kelelahan karena adanya rasa tidak nyaman dalam menerima
paparan kebisingan ditempat kerja. Hal ini berkaitan dengan sensitifitas
masing-masing kolektor gerbang tol dan lamanya paparan kebisingan di
tempat kerja. Namun, tidak bisa dipungkiri juga kolektor gerbang tol
sangat membutuhkan konsentrasi khusus karena harus berhadapan
langsung dengan pengguna jalan tol, sementara kebisingan dapat
mengganggu kolektor gerbang tol yang membutuhkan perhatian dan
konsentrasi secara terus-menerus. Maka dari itu dalam paparan kebisingan
yang diterima oleh karyawan juga perlu dikendalikan sehingga tidak
dikemudian hari menjadi diatas standar NAB yang telah ditentukan.
Analisis ini diperkuat oleh beberapa teori yang menyatakan bahwa
pekerja yang terpapar kebisingan untuk jangka waktu yang panjang dapat
menghasilkan perasaan tidak nyaman dan peningkatan kelelahan kerja
(Lerman et al, 2012). Semakin lama seorang pekerja bekerja maka
semakin lama pula pekerja terpapar bahaya yang ditimbulkan oleh
lingkungan kerja tersebut (Budiono, dkk, 2003). Sebagaimana disebutkan
dalam Permenakertrans No 13 Tahun 2011 dimana semakin tinggi
kebisingan semakin sedikit waktu kerja yang diperlukan pada tempat kerja
tersebut. Dari hasil penelitian dan hasil pengukuran kebisingan diatas,
paparan kebisingan yang diterima karyawan kolektor gerbang tol dan lama
124
kerja telah sesuai dengan waktu kerja yang telah ditetapkan oleh standar
yang ada yaitu intensitas kebisingan ≤85 dBA diperbolehkan selama 8
jam/hari kerja.
Walaupun dalam penelitian ini intesitas kebisingan di tempat kerja
tidak memiliki hubungan terhadap terjadinya kelelahan kerja, namun perlu
adanya pencegahan paparan kebisingan yang dapat mempengaruhi kinerja
dan produktivitas karyawan kolektor gerbang tol seperti pengendalian
kebisingan dengan tidak menyalakan audio terlalu tinggi volumenya,
membuat ruang kerja menyerap kebisingan dengan menambahkan
peredam seperti busa atau karet penyerap suara. Adapun upaya perusahaan
dalam mengurangi kebisingan yaitu dengan melakukan pengecekkan
secara berkala terhadap pajanan bising yang ada. Selain itun perusahaan
telah memberikan alat pelindung telinga berupa ear plug untuk mereduksi
kebisingan yang diterima oleh karyawan, namun berdasarkan observasi
masih terdapat karyawan yang tidak menggunakan alat pelindung telinga
yang disediakan. Ear plug yang telah diberikan kepada karyawan
sebaiknya juga diberikan pengawasan intensif terhadap penggunaan Alat
Pelindung Telinga tersebut dan perlu adanya sanksi bagi yang tidak
menggunakan agar menurunkan angka keterpaparan kebisingan terhadap
karyawan kolektor gerbang tol.
6.3.2 Pencahayaan
Pencahayaan merupakan salah satu sumber terjadinya kelelahan
kerja yang terdapat di lingkungan kerja. tingkat pencahayaan yang terlalu
rendah dan menyilaukan dapat memicu terjadinya ketegangan otot mata,
125
kelelahan mata, sakit kepala, kerusakan pengelihatan, ketegangan dan
frustasi. Tingkat pencahayaan yang kurang baik membuat pekerja lebih
sulit dalam menyelesaikan pekerjaannya sehingga akan menghabiskan
lebih banyak waktu.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa dari 42 karyawan
kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang
Cengkareng yang pencahayaannya tidak terpenuhi dan mengalami
kelelahan berat lebih banyak dibandingkan dengan karyawan yang
pencahayaannya terpenuhi mengalami kelelahan berat dan intensitas
pencahayaan tidak terdapat hubungan yang signifikan terhadap terjadinya
kelelahan kerja pada karyawan kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa
Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng Tahun 2016. Hal tersebut
menggambarkan bahwa karyawan kolektor gerbang tol yang
pencahayaannya tidak terpenuhi dengan yang pencahayaannya terpenuhi
memiliki risiko besar untuk terjadinya kelelahan kerja karena sebagian
besar ruang kerja karyawan pencahayaannya tidak terpenuhi.
Berdasarkan observasi, para karyawan yang sedang bekerja, maka
dilakukan pengukuran pencahayaan di ruang kerja masing-masing
sehingga setiap pekerja memiliki pencahayaan yang berbeda-beda sesuai
dengan pencahayaan yang tersedia diruang kerjanya masing-masing dan
sesuai dengan kondisi cuaca saat pengukuran berlangsung. Kondisi cuaca
saat pengukuran bervariasi seperti adanya cahaya alami dari matahari pada
siang hari, keadaan mendung saat akan turun hujan, keadaan saat turun
hujan maupun keadaan gelap saat malam hari. Sumber pencahayaan yang
126
ada didapatkan dari sumber alami yaitu matahari yang didapat langsung
dari kaca depan ruang kerja dan juga sumber buatan yaitu lampu yang
didapat dalam ruang kerja. Pencahayaan yang ada diruang kerja
menggunakan pencahayaan lokal atau pencahayaan yang diperlukan untuk
ruang kerja tersebut saja. Terdapat beberapa karyawan pada pagi dan siang
hari tidak menyalakan lampu karena merasa sudah cukup dengan
pencahayaan alami yang didapat dari matahari bahkan pada kondisi saat
mendung pun karyawan masih merasa cukup dengan pencahayaan alami
namun perasaan cukup tersebut tidak sesuai dengan hasil pengukuran yang
ada.
Menurut SNI 16-7062 (2004) intensitas pencahayaan di tempat
kerja dimaksudkan untuk memberikan pencahayaan kepada benda-benda
yang merupakan objek kerja, peralatan atau mesin dan proses produksi
serta lingkungan kerja. Untuk itu diperlukan intensitas pencahayaan yang
optimal. Selain menerangi objek kerja, pencahayaan juga diharapkan
cukup memadai menerangi keadaan sekelilingnya. Pengaruh dari
pencahayaan yang kurang memenuhi syarat akan mengakibatkan kelelahan
mata sehingga berkurangnya daya dan efisiensi kerja, kelelahan mental,
keluhan pegal di daerah mata dan sakit kepala disekitar mata, kerusakan
indra mata. Selanjutnya pengaruh kelelahan pada mata tersebut akan
bermuara pada penurunan performansi kerja (Abidin dan Widagdo, 2009).
Dampak dari pencahayaan yang tidak memadai itu adalah
kelelahan pada mata, namun itu pun bersifat reversible. Maksudnya, jika
mata mengalami kelelahan, maka dengan melakukan istirahat yang
127
cukup/beristirahat sepulang kerja maka pagi harinya mata akan pulih
kembali (Departemen Kesehatan, 2008).
Penerangan di setiap tempat kerja harus memenuhi syarat untuk
melakukan pekerjaan. Penerangan yang sesuai sangat penting untuk
peningkatan kualitas dan produktivitas karyawan. Sebagai contoh,
pekerjaan perakitan benda kecil membutuhkan tingkat penerangan lebih
tinggi, misalnya mengemas kotak. Pada suatu studi menunjukkan bahwa
perbaikan penerangan, hasilnya terlihat langsung dalam peningkatan
produktivitas dan pengurangan kesalahan. Bila penerangan kurang sesuai,
para pekerja terpaksa membungkuk dan mencoba untuk memfokuskan
penglihatan mereka, sehingga tidak nyaman dan dapat menyebabkan
masalah pada punggung dan mata pada jangka panjang dan dapat
memperlambat pekerjaan mereka (ILO, 2013).
Pernyataan teori diatas tidak sesuai dengan penelitian ini karena
hasil penelitian ini menyatakan bahwa intesitas pencahayaan yang ada
pada karyawan kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang
Cawang Tomang Cengkareng tidak ada hubungan yang signifikan
terhadap kelelahan kerja, hal ini dengan demikian pencahayaan ditempat
kerja ini tidak sesuai juga dengan standar Keputusan Menteri Kesehatan
RI. No. 1405/Menkes/SK/XI/2002 yaitu 300 Lux untuk pekerjaan rutin
dan ruang administrasi.
Teori tersebut sesuai dengan hasil penelitian Septiana, dkk (2013)
tentang kelelahan kerja yang dipengaruhi pencahayaan pada operator
scarfing didapatkan hasil berupa terdapat hubungan pencahayaan dengan
128
kelelahan kerja. Hal tersebut dapat terjadi karena subjek penelitian tersebut
mendapatkan intensitas pencahayaan unum tidak sebanding dengan subjek
penelitian ini yang mendapatkan intensitas pencahayaannya yaitu
pencahayaan lokal hanya diperuntukan ruang kerja kolektor gerbang tol
dan diperuntukan untuk 1 pekerja.
Dalam penelitian ini, intensitas pencahayaan di tempat kerja juga
tidak memiliki hubungan dengan kelelahan kerja. Hal ini dapat disebabkan
oleh adanya kemungkinan karyawan kolektor gerbang tol sudah terbiasa
dan berpengalaman melakukan pekerjaannya baik dengan maupun tanpa
tingkat pencahayaan yang ideal (300 lux). Hal ini berkaitan dengan
lamanya karyawan telah bekerja sehingga membuat karyawan cekatan dan
sigap serta sudah terbiasa beradaptasi dengan jenis pekerjaan seperti itu
dalam pekerjaannya yang terbilang selalu melakukan pergerakkan
transaksi dengan pengguna jalan tol.
Pengalaman yang dimiliki karyawan kolektor gerbang tol sehingga
membuat karyawan mampu bekerja secara efisien menggunakan besarnya
tenaga sehingga kelelahan kerja tidak terjadi akibat tingkat pencahayaan
yang tidak terpenuhi di ruang kerja gerbang tol. Analisa ini didukung oleh
teori yang mengatakan bahwa masa kerja dapat mempengaruhi pekerja
baik pengaruh positif maupun negatif. Adapun pengaruh positif yang
berhubungan dengan analisa tersebut yaitu bila semakin lama seorang
pekerja bekerja maka akan berpengalaman dalam melakukan pekerjaannya
(Budiono, dkk, 2003).
129
Karyawan kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang
Cawang Tomang Cengkareng sebagian besar menerima pencahyaan yang
tidak terpenuhi dan tidak dalam tingkatan yang normal sesuai NAB.
Kondisi tempat kerja yang mendapati pencahayaan hanya bersumber dari
pencahayaan alami itupun tidak secara langsung karena terhalang oleh
kaca dan atap ruang kerja gerbang tol dan bersumber dari pencahayaan
lampu yang hanya berjumlah satu tepat diatas karyawan dan hanya
berintensitas dengan mean 139 Lux membuat karyawan kolektor gerbang
tol mendapatkan pencahayaan yang tidak seharusnya. Selain itu kondisi
fisik pencahayaan seperti debu pada lampu dan posisi pengukuran
pencahayaan juga dapat mempengaruhi hasil pengukuran intensitas
pencahayaan yang diterima karyawan, namun posisi pengukuran saat turun
lapangan disesuaikan dengan posisi kerja karyawan serta tepat didekat
mata karyawan agar tidak menimbulkan bayangan dan mengganggu hasil
pengukuran.
Walaupun dalam penelitian ini intesitas pencahayaan di tempat
kerja tidak memiliki hubungan terhadap terjadinya kelelahan kerja, namun
perlu adanya pencegahan pencahayaan yang kurang yang dapat
mempengaruhi kinerja dan produktivitas karyawan kolektor gerbang tol
seperti pengendalian dengan memberikan pencahayaan local dengan baik
dan cukup untuk karyawan dalam melakukan aktivitas atau memberikan
pencahayaan tambahan di meja kerja jika diperlukan.
130
6.3.3 Suhu Ruangan dan Kelembaban Udara
Keputusan Menteri Kesehatan RI. No. 1405/Menkes/SK/XI/2002
menjelaskan standar NAB yang diperkenankan untuk ruang perkantoran
adalah 18-28 ˚C untuk suhu ruangan dan 40% - 60% untuk kelembaban
udara.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa dari 42 karyawan
kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang
Cengkareng pada ruang kerja karyawan yang suhu ruangannya tidak sesuai
dan mengalami kelelahan berat lebih sedikit dibandingkan dengan
karyawan yang suhu ruangannya sesuai mengalamai kelelahan berat dan
suhu ruangan terdapat hubungan yang signifikan terhadap terjadinya
kelelahan kerja pada karyawan kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa
Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng Tahun 2016.
Sedangkan untuk kelembaban udara didapatkan bahwa dari 42
karyawan kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang
Tomang Cengkareng pada ruang kerja diketahui bahwa kelembaban yang
tidak sesuai dan mengalami kelelahan berat lebih banyak dibandingkan
dengan kelelembaban udara yang sesuai mengalami kelelahan berat dan
kelembaban udara tidak terdapat hubungan yang signifikan terhadap
terjadinya kelelahan kerja pada karyawan kolektor gerbang tol Cililitan
PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng Tahun 2016. Hasil
tersebut menggambarkan bahwa suhu dan kelembaban pada ruang kerja
karyawan berdistribusi hampir sama rata.
131
Berdasarkan observasi para karyawan yang sedang bekerja, maka
dilakukan pengukuran suhu dan kelembaban ditempat kerja sehingga
setiap karyawan memiliki suhu dan kelembaban ditempat kerja yang
berbeda-beda. Suhu dan kelembaban yang ada diruang kerja kolektor
gerbang tol didapatkan dari sumber dingin maupun panas walaupun tidak
terlalu signifikan perbedaannya. Untuk sumber dingin didapatkan dari
pendingin ruangan yang terkadang sangat dingin dan terkadang tidak
berfungsi, sedangkan untuk sumber panas didapatkan dari udara panas
knalpot kendaraan yang melintas gerbang tol.
Kedua suhu tersebut memiliki indikasi untuk membuat karyawan
gerbang tol merasakan ketidaknyamanan pada saat bekerja maka dari itu
dari hasil pengukuran suhu dan kelembaban dikombinasikankan kedalam
parameter Indeks Kenyamanan Bekerja dalam Soemarko (2016) yang
didapatkan hasil dari 42 karyawan yang merasakan ruang kerja dalam
kategori nyaman sebanyak 11 (26.2%) karyawan, sedangkan karyawan
yang merasakan ruang kerja dalam kategori sedikit tidak nyaman sebanyak
15 (35.7%) karyawan dan karyawan yang merasakan ruang kerja dalam
kategori sangat tidak nyaman sebanyak 16 (38.1%) karyawan. Hal tersebut
menggambarkan bahwa sebagian besar karyawan merasakan ruang kerja
untuk melakukan aktivitas kerjanya masih dalam kategori kurang nyaman
maka dari itu perlunya penanganan dari pihak perusahaan karena akan
berefek pada kesehatan para karyawan.
Suhu dingin mengurangi effisiensi dengan keluhan kaku atau
kurangnya koordinasi otot. Suhu panas berakibat menurunnya prestasi
132
kerja pikir, mengurangi kelincahan, memperpanjang waktu reaksi dan
waktu pengambilan keputusan, mengganggu kecermatan kerja otak,
mengganggu koordinasi syaraf perasa dan motoris, serta memudahkan
untuk dirangsang (Suma’mur, 1996).
Dalam keadaan normal, tiap anggota tubuh manusia mempunyai
temperatur yang berbeda. Tubuh manusia selalu berusaha untuk
mempertahankan keadaan normal, dengan suatu sistem tubuh yang
sempurna sehingga dapat menyesuaikan diri dengan perubahan yang
terjadi di luar tubuh. Tetapi kemampuan untuk menyesuaikan diri tersebut
ada batasnya, yaitu bahwa tubuh manusia masih dapat menyesuaikan
dirinya dengan temperatur luar jika perubahan temperatur luar tubuh tidak
lebih dari 20 % untuk kondisi panas dan 35 % untuk kondisi dingin dari
keadaan normal tubuh (Hardi, 2006). Dalam penelitian ini karyawan
kolektor gerbang tol selalu berusaha mempertahankan keadaan
kenyamanan suhu ruang kerjanya, kemampuan karyawan dalam
menyesuaikan diri terhadap suhu yang ada sudah terlihat dengan usaha
karyawan dalam mengatur tingkat kenyamanannya dalam bekerja dengan
mengatur pendingin ruangan yang sesekali terlalu dingin atau tidak
berfungsi.
Asumsinya adalah semakin tidak nyaman suhu di lingkungan
tempat kerja maka akan semakin besar peluang terjadinya kelelahan
karena kolektor gerbang tol akan mudah merasakan haus, dehidrasi, dan
perasaan tidak nyaman. Pernyataan tersebut sesuai dengan pendapat
Grandjean (1995), bahwa kondisi lingkungan kerja yang panas akan dapat
133
menyebabkan rasa letih dan kantuk, selain itu mengalami kelelahan panas
atau heat exhaustion dapat mengurangi kestabilan dan meningkatkan
jumlah angka kesalahan kerja. Suhu nyaman untuk orang Indonesia adalah
antara 24–26°C, suhu yang terlalu dingin dapat mengurangi efisiensi
dengan keluhan kaku atau kurangnya koordinasi otot, sedangkan untuk
suhu panas dapat mengurangi kelincahan, memperpanjang waktu reaksi,
dan waktu pengambilan keputusan, mengganggu kecermatan kerja otak,
mengganggu koordinasi syaraf dan motoris, serta memudahkan emosi
untuk dirangsang (Suma’mur, 2009).
Pada lokasi tempat bekerja kolektor gerbang tol sebenarnya sudah
di desain sedemikian rupa nyaman dengan menambahkan pendingin
ruangan di dalam masing-masing gardu, lalu memberikan atap yang cukup
luas agar matahari tidak langsung masuk dan mengenai kolektor gerbang
tol, namun faktor-faktor lain seperti jika pendingin ruangan di dalam gardu
rusak dan panas yang bersumber dari knalpot kendaraan juga dapat
mempengaruhi kondisi suhu ruang kerja. Komplain tentang
ketidaknyamanan suhu udara dalam ruang kerja sering terjadi pada
penghuni gedung-gedung perkantoran. Masalah kualitas udara dalam
ruangan tersebut biasanya disebabkan karena, kelembaban dan gerakan
udara di luar batas yang dianjurkan (Tarwaka, 2004).
Pernyataan teori dan asumsi tersebut sesuai dengan hasil penelitian
ini yang menyatakan bahwa suhu ruangan kerja kolektor gerbang tol
memiliki hubungan yang signifikan terhadap terjadinya kelelahan kerja,
dan didukung dengan penelitian sebelumnya yaitu oleh Karima (2014)
134
yang menyatakan suhu ruangan berhubungan secara signifikan dengan
stress kerja dan kelelahan kerja.
Menurut Suma’mur (1996), pada suhu udara yang panas dan
lembab, makin tinggi kecepatan aliran udara malah akan makin
membebani tenaga kerja. Pada tempat kerja dengan suhu udara yang
panas maka akan menyebabkan proses pemerasan keringat. Beberapa hal
buruk berkaitan dengan kondisi demeikian dapat dialami oleh tenaga kerja,
salah satunya kelelahan kerja. Pekerja yang mengalami kondisi demikian,
sulit untuk mampu bereproduksi tinggi. Akibat kelelahan kerja tersebut,
para pekerja menjadi kurang bergairah kerja, daya tanggap dan rasa
tanggung jawab menjadi rendah, sehingga seringkali kurang
memperhatikan kualitas produk kerjanya.
Pada kejadian ini suhu dapat berkaitan dengan status hidrasi
seseorang. Penurunan asupan cairan dapat terjadi pada pekerja yang
bekerja terus menerus tanpa disadari bahwa mereka kehilangan cairan
tubuh. Kehilangan cairan yang tidak diimbangi dengan kehilangan
elektrolit dalam jumlah proporsional, terutama natrium dapat
mengakibatkan dehidrasi (Triyana, 2012).
Pekerja yang mengonsumsi cairan dalam jumlah cukup atau sesuai
dengan kebutuhan tubuh maka akan memiliki status hidrasi baik, sedangkan
pekerja yang asupan cairannya tidak memenuhi kebutuhan dapat mengalami
dehidrasi (Lawrence, 2007; Shirreffs, 2003). Pada hal ini karyawan kolektor
gerbang tol memiliki keterbatasan dalam mengkonsumsi air, selain air
yang dibawa oleh karyawan dengan botol minuman pribadinya karyawan
135
perlu memesan kepada officeboy yang ada dan harus menunggu beberapa
menit untuk mengkonsumsi air tersebut dan masalah lainnya adalah
karyawan kolektor gerbang tol memiliki keterbatasan waktu ketika ingin
pergi ke toilet sehingga ada kemungkinan beberapa karyawan harus
menahan untuk membuang air kecil. Maka dari pernyataan diatas dapat
disimpulkan bahwa karyawan kolektor gerbang tol memiliki status hidrasi
yang kurang baik namun untuk mengetahui tingkat hidrasi yang dimiliki
karyawan butuh pengukuran lebih lanjut pada pengukuran status hidrasi
masing-masing karyawan.
Saat suhu lingkungan meningkat, maka suhu tubuh akan meningkat,
maka tubuh akan terjadi proses penguapan yaitu pernapasan dan keringat
(Suma’mur, 2009; Tarwaka, dkk, 2004; Hardinsyah, 2009). Penguapan
terbanyak memicu dehidrasi pada pekerja dapat menurunkan konsentrasi dan
daya ingat sesaat, mempengaruhi suasana hati dan semangat kerja, serta
menurunkan kapasitas kerja fisik akibat kelelahan, lemas, atau pusing (Budi,
dkk, 2011; Robert, dkk, 2007; Graham, 2008).
Suhu dan kelembaban yang sesuai dengan pekerja yaitu yang dapat
dikategorikan nyaman baik nyaman secara subjektif maupun secara
kuantitatif atau pengukuran. Kenyamanan terdiri dari kenyamanan psikis
dan kenyamanan fisik. Kenyamanan psikis terkait dengan kenyamanan
kejiwaan yang terukur secara subjektif. Sedang kenyamanan fisik dapat
terukur secara objektif (kuantitatif) yang meliputi kenyamanan spasial,
visual, audial dan termal. Kenyamanan termal merupakan salah satu unsur
kenyamanan yang sangat penting karena menyangkut kondisi ruangan
yang nyaman (Nasrullah, dkk, 2015).
136
Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa suhu dan kelembaban
ruang kerja dapat menjadi salah satu faktor lingkungan yang dapat
mempengaruhi tingkat kelelahan yang terjadi pada kolektor gerbang tol.
Pihak perusahaan sebaiknya melakukan pengecekan secara berkala
terhadap pendingin ruangan yang ada di setiap gardu tol sehingga apabila
ada yang mengalami gangguan bisa langsung dilakukan perbaikan dan
tidak berdampak pada rasa kurang nyaman yang dirasakan oleh para
kolektor gerbang tol. Pendingin ruangan memiliki efek yang cukup besar
untuk mengurangi suhu yang tidak nyaman yang terutama bersumber dari
knalpot kendaraan.
Selain itu, perusahaan juga dapat melakukan pengendalian jika
suhu dan kelembaban ruang kerja sudah tidak sesuai yaitu sebagai berikut;
1) Mengurangi temperatur dan kelembaban. Cara ini dapat dilakukan
melalui ventilasi pengenceran (dilution ventilation) atau pendinginan
secara mekanis (mechanical cooling). Cara ini telah terbukti secara
dramatis dapat menghemat biaya dan meningkatkan kenyamanan, 2)
Meningkatkan pergerakan udara. Peningkatan pergerakan udara melalui
fans dimaksudkan untuk memperluas pendinginan evaporasi (to enhance
evaporate cooling), tetapi tidak boleh melebihi 2 m/det. Sehingga perlu
dipertimbangkan bahwa menambah pergerakan udara pada temperatur
yang tinggi (> 40˚C) dapat berakibat kepada peningkatan tekanan panas
(Tarwaka 2004). Selain itu, perlu adanya penanaman tumbuhan karena
dengan adanya tumbuhan dapat menyerap CO2 yang ada diudara. Dengan
adanya tumbuh-tumbuhan di lingkungan kerja akan dapat menurunkan
137
suhu di lingkungan tersebut sehingga lingkungan tempat kerja akan lebih
sejuk.
6.3.4 Shift Kerja
Bagi seorang pekerja, shift kerja berarti pada lokasi kerja yang
sama, baik teratur pada saat yang sama (shift kerja kontinyu) atau shift
kerja yang berlainan (shift kerja rotasi). Shift kerja berbeda dengan hari
kerja biasa, dimana pada hari kerja biasa pekerjaan dikerjakan secara
teratur pada waktu yang telah ditentukan sebelumnya, sedangkan shift
kerja dapat dilakukan lebih dari satu kali untuk memenuhi jadwal 24
jam/hari. Alasan lain dari shift kerja adalah kebutuhan sosial akan
pelayanan.
Waktu Kerja Normal menurut Keputusan Menteri Tenaga kerja
dan Transmigrasi, No. Kep.102/MEN/VI/2004. Untuk 6 hari kerja: Waktu
Kerja 7 jam/hari (hari ke1-5), 5 jam/hari (hari ke-6) , 40 jam/minggu.
Untuk 5 hari kerja : Waktu Kerja 8 jam/hari, 40 jam/minggu. Hal tersebut
menuntut perusahaan atau industri yang beroperasi 24 jam untuk
memberlakukan sistem shift pada pekerja yang melakukan pekerjaannya
agar tidak melebihi waktu kerja yang telah ditentukan untuk menjaga
keselamatan dan kesehatan kerja para pekerjanya.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa dari 42 karyawan
kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang
Cengkareng jika dijumlahkan pada shift pagi-siang yang mengalami
kelelahan berat lebih banyak dibandingkan dengan shift malam yang
mengalami kelelahan berat dan untuk shift kerja tidak terdapat hubungan
138
yang signifikan terhadap kelelahan kerja pada karyawan kolektor gerbang
tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng Tahun
2016. Hasil tersebut menunjukkan bahwa shift kerja memiliki
kemungkinan mempengaruhi kelelahan kerja. Sedangkan dari hasil
observasi hal tersebut terjadi disebabkan karena pertumbuhan aktivitas
kendaraan yang sering meningkat dengan cepat pada shift pagi dan siang
sedangkan pada shift malam jarang dilalui kendaraan untuk melintas.
Untuk shift malam sendiri memiliki waktu istirahat lebih 2 jam
dibandingkan shift lain yang diberikan untuk tidur.
Asumsinya, semakin tinggi frekuensi kendaraan yang melintas
maka semakin merasakan kelelahan kerja pada karyawan shift tersebut.
Namun, hasil yang didapatkan penelitian ini tidak sesuai (tidak
berhubungan) dengan teori yang dikemukakan bahwa perputaran shift
kerja mengurangi keluhan karyawan terhadap kelelahan yang di alami
karena kodisi lingkungan kerja yang monoton. Perputaran shift kerja
meningkatkan rasa tanggung jawab dan kerja sama sebagai suatu team
kerja. Setiap karyawan di berikan kelonggaran waktu untuk keperluan
yang bersifat pribadi dan untuk melepaskan lelah. Jumlah dari waktu
longgar untuk kebutuhan karyawan yang diperlukan akan bervariasi
tergantung pada individu karyawan. Sedangkan kelonggaran dari waktu
untuk melepaskan lelah (Fatigue Allowance) tergantung pada individu
karyawan dan atas kesepakatan dengan atasan. Karakteristik kelelahan
kerja akan meningkat dengan semakin lamanya pekerjaan yang dilakukan
139
sedangkan menurunnya rasa lelah (recovery) adalah didapat dengan
memberikan istirahat yang cukup (Fajarwati, dkk, 2011)
Terdapat beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa shift kerja
memiliki hubungan dengan kelelahan kerja dan mendukung teori diatas
salah satunya penelitian Susetyo, dkk (2012) tingkat ketelitian shift siang
lebih tinggi dibandingkan dengan pekerja shift pagi yang dapat diartikan
bahwa shift pagi lebih lelah dibandingkan shift siang. Hal ini menunjukkan
bahwa semakin tinggi nilai rerata ketelitian maka semakin rendah rerata
kesalahan kerja yang dilakukan, karena shift siang sebelum melakukan
aktivitas pekerjaanya ada aktivitas yang sudah dilakukan diluar pekerjaan
seperti melakukan pekerjaan rumah terlebih dahulu sehingga membantu
tubuh untuk menanggapi pergerakkan yang dilakukan berbanding terbalik
dengan shift pagi yang belum melakukan aktivitas apapun diawal hari dan
harus melakukan pekerjaanya sejak awal hari. Menurut penelitian Basri
(2014) menunjukkan bahwa berdasarkan uji statistik Chi-Square, diketahui
terdapat hubungan yang kuat antara shift kerja malam dengan tingkat
kelelahan operator produksi di PT Pertamina Eksplorasi dan Produksi (EP)
Kecamatan Balongan Kabupaten Indramayu tahun 2014.
Kerja shift merupakan pilihan dalam cara pengorganisasian kerja
yang tercipta karena adanya keinginan untuk memaksimalkan
produktivitas kerja sebagai pemenuhan tuntutan pengguna. Pada saat ini
sistem kerja shift sudah diaplikasikan secara luas pada berbagai sector baik
industri manufaktur maupun industri jasa. Keadaan ini selain memberikan
keuntungan dari segi ekonomi, social akan tetapi dapat juga berdampak
140
negative sehingga perlu perhatian. Dampak kerja yang sering dihubungkan
dengan kerja shift adalah kelelahan umum yang bila berkepanjangan dapat
mengakibatkan kelelahan kronis. Kelelahan pada pekerja dapat
menurunkan kinerja, serta merupakan suatu kondisi yang dapat berakibat
meningkatkan risiko terhadap penyakit (Susetyo, dkk, 2012).
Dalam penelitian ini, sistem shift kerja di tempat kerja tidak
memiliki hubungan yang signifikan dengan kelelahan kerja. Hal ini dapat
terjadi karena kolektor gerbang tol menjalani shift kerja yang sudah
bervariasi dan tidak monoton serta sesuai dengan teori Grandjean (1986)
yaitu sistem shift rotasi pendek lebih baik dibanding rotasi panjang,
dengan rotasi pagi-siang malam dan dengan durasi perputaran pada pukul
05.00-13.00 wib untuk shift pagi, pukul 13.00-20.00 untuk shift siang, dan
pukul 20.00-05.00 pada shift malam.
Pada penyusunan jadwal shift kerja tidak bisa mengabaikan aspek-
aspek yang mempengaruhinya. Teori Grandjean (1986) yang menyebutkan
bahwa ada beberapa saran yang harus diperhatikan dalam penyusunan
jadwal shift kerja, yaitu; pekerja shift idealnya berumur 25-50 tahun,
pekerja yang mempunyai masalah perut dan usus, serta emosi yang tidak
stabil disarankan untuk tidak ditempatkan di shift malam, pekerja yang
tempat tinggal dan tempat kerja mempunyai jarak yang jauh atau berada di
lingkungan yang ramai sebaiknya tidak ditempatkan pada shift, sistem shift
dengan 3 rotasi yang menggunakan waktu ganti pada pukul 6-14-22 lebih
baik diganti pada pukul 7-15-23 atau 8-16-24, rotasi pendek lebih baik
daripada rotasi panjang dan disarankan untuk menghindari kerja malam
141
secara terus menerus, pola rotasi kerja yang baik adalah 2-2-2
(metropolitan pola) atau 2-2-3 (continental pola), kerja malam 3 hari
secara berturut-turut seharusnya diikuti istirahat paling sedikit 24 jam,
perancangan shift perlu mempertimbangkan waktu libur 2 hari berurutan
baik pada akhir pekan maupun sebagai ganti akhir pekan, prencanaan shift
disarankan memenuhi satu kali istirahat yang cukup untuk makan.
Hal tersebut menyatakan bahwa sistem shift di PT Jasa Marga
Cabang Cawang Tomang Cengkareng sudah dinyatakan baik dan sesuai
dengan teori yang ada dan sesuai dengan Keputusan Menteri Tenaga kerja
dan Transmigrasi, No. Kep.102/MEN/VI/2004 bahwa sisttem shift
diberlakukan sesuai rotasi dan jam kerja yang tepat. Namun, tidak bisa
dipungkiri juga kolektor gerbang tol sangat membutuhkan istirahat setelah
melakukan pekerjaan sesuai shift masing-masing hal ini ditunjukkan pada
karyawan kolektor gerbang tol yang melakukan peregangan dan berbaring
setelah bekerja ataupun saat waktu istirahat. Maka dari itu diperlukannya
ruang khusus untuk beristirahat bagi karyawan kolektor gerbang tol untuk
melakukan pemulihan kembali setelah melakukan pekerjaan sesuai shift
masing-masing. Perusahaan sudah memberikan ruang khusus istirahat dan
ruang kantin bagi karyawan yang merasa kelelahan dan segera ingin
melakukan pemulihan. Dalam hal ini perusahaan sudah dikatakan baik dan
antisipasi meminimalkan kemungkinan kelelahan akibat shift kerja yang
diberlakukan.
Analisis ini diperkuat oleh beberapa teori yang menyatakan bahwa
penyebab keluhan karyawan terhadap sistem shift kerja yang ada bukan
142
karena kelelahan saat bekerja melainkan sebagai berikut; 1) pekerja
merasa tidak punya cukup waktu untuk bermasyarakat, 2) pekerja
merasakan ada kerikatan dengan keggiatan social dilingkungannya, 3)
tidak punya cukup waktu untuk berkumpul dengan keluarga, khususnya
anak, istri atau suami, 4) merasa stress karena tidak bisa mengahadiri acara
yang sangat penting dimasyarakat (Susetyo, dkk, 2012). Selain itu ada
pernyataan lain oleh Febrina (2011) yang menyatakan bahwa penyebab
kelelahan kerja antara lain: pengaturan shift yang terlalu panjang dan tidak
tepat, intensitas dan durasi suatu pekerjaan dilaksanakan yang terlalu
tinggi, disain pekerjaan tidak tepat, lingkungan kerja yang tidak nyaman,
cara kerja yang tidak efektif (ergonomis), dan adanya stres.
Karyawan kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang
Cawang Tomang Cengkareng sebagian besar mengalami kelelahan berat
pada shift risiko (pagi-siang) hal ini masih dalam tingkatan normal karena
sesuai dengan hasil observasi bahwa tingkat frekuensi kendaraan yang
meningkat pada shift pagi-siang dan pada shift tersebut merupakan jam
kerja manusia melakukan aktivitasnya dibandingkan pada shift malam
merupakan bukan jam kerja seharusnya dan membutuhkan waktu adaptasi
terlebih dahulu agar bisa menyesuaikan pola yang ada. Pernyataan tersebut
didukung oleh teori Menurut Schultz (1982) shift kerja malam lebih
berpengaruh negatif terhadap kondisi pekerja dibanding shift pagi, karena
pola siklus hidup manusia pada malam hari umumnya digunakan untuk
istirahat. Namun karena bekerja pada shift malam maka tubuh dipaksa
untuk mengikutinya. Hal ini relatif cenderung mengakibatkan terjadinya
143
kesalahan kerja, kecelakaan dan absentism. Pulat (1992) mengatakan
bahwa dampak shift kerja malam terutama gangguan irama tubuh yang
menyebabkan penurunan kewaspadaan, gangguan fisiologis dan psikologis
berupa kurang konsentrasi, nafsu makan menurun, penyakit jantung,
tekanan darah, stress dan gangguan gastrointestinal yang dapat
meningkatkan resiko terjadi kecelakaan kerja.
Pelaksanaan shift kerja yang tidak baik menimbulkan kelelahan
kerja yang harus dikendalikan sebaik mungkin mengingat kelelahan dapat
menimbulkan kecelakaan kerja. Sebagian besar kecelakaan kerja ada
kaitannya dengan kelelahan kerja, sehingga pengusaha harus
mengupayakan pengendalian kelelahan kerja. bersama pekerja secara
berkesinambungan. Pada shift malam, yang memilki waktu istirahat paling
sedikit pada malam hari sehingga sebagai kompensasinya pekerja harus
istirahat pada pagi dan siang hari yang tentunya akan mengganggu pola
aktivitas tubuh, meskipun circadian ritmenya berbeda-beda. Kelelahan ini
dapat menyebabkan kesulitan konsentrasi dalam bekerja, meningkatkan
resiko kesalahan (human error), berdampak kepada kualitas kerja dan
kecepatan kerja, dan akhirnya kecelakaan kerja.
Walaupun dalam penelitian ini shift kerja tidak memiliki hubungan
terhadap terjadinya kelelahan kerja, namun perlu adanya pencegahan
dengan melakukan pengaturan shift kerja sebagai berikut (Suma’mur,
1999):
a. Pengurangan jam kerja pada shift malam tanpa mengurangi benefit
lainnya jika memungkinkan.
144
b. Pengurangan pekerja pada shift malam untuk mengurangi jumlah hari
kerja pekerja shift malam.
c. Melakukan interaksi sosial dengan teman kerja.
d. Rotasi shift mengikuti rotasi matahari
e. Jadwal yang dibuat sebaiknya sederhana dan mudah diingat.
145
BAB VII
PENUTUP
7.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat ditarik
simpulan sebagai berikut:
1. Kelelahan kerja yang terjadi pada karyawan kolektor gerbang tol Cililitan
PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng Tahun 2016
diketahui bahwa karyawan yang mengalamai kelelahan berat lebih banyak
dari kelelahan ringan dengan jumlah 28 (66.7%) karyawan kolektor
gerbang tol.
2. Kebisingan yang diterima oleh karyawan kolektor gerbang tol Cililitan PT
Jasa Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng Tahun 2016 memiliki
mean 95% CI yaitu 80.35 – 82.53 dBA.
3. Sebagian besar karyawan kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga
Cabang Cawang Tomang Cengkareng Tahun 2016 mendapatkan
pencahayaan yang tidak terpenuhi dengan presentase 71.4% yaitu 30
karyawan.
4. Sebagian besar karyawan kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga
Cabang Cawang Tomang Cengkareng Tahun 2016 pada ruang kerja
mendapatkan suhu ruangan yang sesuai dengan presentase 66.7% yaitu 28
karyawan.
5. Sebagian besar karyawan kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga
Cabang Cawang Tomang Cengkareng Tahun 2016 pada ruang kerja
146
mendapatkan kelembaban yang tidak sesuai dengan presentase 61.9%
yaitu 26 karyawan.
6. Karyawan kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang
Tomang Cengkareng Tahun 2016 masing-masing 14 karyawan pada shift
pagi, siang dan malam.
7. Tidak ada hubungan antara kebisingan, pencahayaan, kelembabann udara
dan shift kerja dengan kelelahan kerja pada karyawan kolektor gerbang tol
Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng Tahun
2016.
8. Ada hubungan antara suhu ruangan dengan kelelahan kerja pada karyawan
kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang
Cengkareng Tahun 2016.
7.2 Saran
Saran yang dapat diberikan terkait dengan hasil penelitian ini antara lain:
7.2.1 Saran Bagi Perusahaan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang
Cengkareng Gerbang Tol Cililitan
Pada penelitian ini menjukkan bahwa lingkungan kerja yang ada di
tempat kerja tersebut termasuk kedalam kategori perlu adanya
pengendalian, baik pengendalian dari management maupun dari pekerja
sebagai berikut;
a. Pengadaan sosialisasi, edukasi serta pelatihan untuk karyawan terkait
pajanan lingkungan kerja yang dapat mempengaruhi keselamatan
kesehatan para karyawan dan cara menanggulangi pajanan tersebut
sebagai contoh sosialisasi cara mengatasi kelelahan seperti senam
147
peregangan, pelatihan cara penggunaan Alat Pelindung Telinga jenis
ear plug pada saat bekerja.
b. Pengendalian intensitas kebisingan: 1.) Pengadaan penanaman pohon
mahoni, pohon flamboyan, pohon cemara laut, pohon sawo, pohon
kaliandra. 2.) Penambahan material pada dinding dan lantai ruang kerja
berupa lantai lapis plywood (material kayu atau keramik dengan
permukaan kasar), atau dinding lapis plywood dan atau plafond dengan
busa polyurethane sebagai upaya menyerap bunyi dan menjadi
peredam kebisingan untuk mereduksi kebisingan, pada dasarnya
permukaan licin yang dapat memantulkan bunyi. 3.) Meningkatkan
pengawasan secara intensif terhadap pemakaian ear plug alat
pelindung telinga pada karyawan dan memberikan sanksi bagi yang
tidak menggunakannya saat bekerja.
c. Pengendalian intensitas pencahayaan: 1.) Pemeliharaan dan
pembersihan kondisi fisik lampu. 2.) Modifikasi penerangan dengan
cara menaikkan atau menurunkan letak lampu didasarkan pada objek
kerja, merubah posisi lampu, menambah jumlah lampu, mengganti
jenis lampu yang lebih sesuai seperti mengganti lampu bola/pijar
menjadi lampu TL, mengganti tudung atau pelindung lampu,
mengganti warna lampu yang digunakan. 3.) Modifikasi ruang kerja
seperti pewarnaan ulang pada dinding ruangan dengan warna yang
cerah intensitas pencahayaan yang dihasilkan lebih efektif. 4.)
Penggunaan lampu LED karena memancarkan cahaya lewat aliran
listrik yang relatif tidak menghasilkan banyak panas, lampu LED
148
terasa dingin dipakai karena tidak menambah panas ruangan seperti
lampu pijar. Pengendalian dilakukan agar kelelahan kerja yang terjadi
akibat pencahayaan dapat dikurangi karena berdasarkan Keputusan
Menteri Kesehatan No. 1405/Menkes/SK/XI/2002 pencahayaan yang
sesuai yaitu 300 Lux.
d. Pengendalian suhu ruangan dan kelembaban udara: 1.) Diperlukan
pengecekkan secara berkala pada pendingin ruangan yang mungkin
terlalu dingin atau tidak berfungsi sehingga membuat suhu dan
kelembaban diruang kerja tidak sesuai dan tidak nyaman untuk
karyawan serta melakukan perawatan terhadap pendingin ruangan agar
udara yang teralirkan adalah udara yang bersih dan sehat. 2.)
Penyediaan air minum pada ruang kerja agar memudahkan karyawan
untuk segera mengganti cairan yang hilang tanpa harus menunggu
petugas kebersihan mengambilkan. 3.) Menyediakan atau
menambahkan ventilasi setempat guna mengendalikan dengan
menghisap udara panas yang ada sehingga ruang kerja tidak pengap
dan selalu ada pertukaran udara yang masuk maupun keluar. 4.)
Pengadaan tanaman pada ruang kerja atau area kerja untuk
menyegarkan udara oksigen baik untuk suhu dan kelembaban ruang
kerja para karyawan dan berguna untuk penyerapan CO² yang
bersumber dari knalpot kendaraan yang melintas. 5.) Menganjurkan
untuk karyawan selalu meningkatkan konsumsi makanan yang bergizi
tinggi untuk meningkatkan ketahan tubuh dalam menghadapi suhu dan
kelembaban yang berubah-ubah.
149
e. Pengendalian shift kerja yaitu perlunya dilakukan evaluasi sistem shift
rotasi pendek untuk mengetahui keluhan karyawan terhadap sistem
yang ada dengan cara pengadaan penilaian pada absensi, penilaian
pada prestasi kinerja karyawan, penilaian pada tingkat kesalahan kerja
dan tingkat keluhan.
7.2.2 Saran Bagi Karyawan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang
Cengkareng Gerbang Tol Cililitan
a. Diharapkan untuk para karyawan yang telah merasakan kelelahan baik
kelelahan yang berat maupun ringan disarankan untuk segera
melakukan istirahat untuk melakukan pemulihan. Kegiatan yang bisa
dilakukan saat beristirahat sejenak seperti berinteraksi sosial sesama
karyawan kolektor gerbang tol lainnya atau mengkonsumsi minum dan
melakukan peregangan baik perengan ringan maupun berbaring.
b. Diharapkan untuk para karyawan selalu menggunakan alat pelindung
diri yang telah diberikan oleh pihak perusahaan karena alat pelindung
diri dapat membantu mereduksi bahaya lingkungan kerja yang terpapar
saat bekerja.
c. Diharapkan untuk para karyawan tidak menggunakan audio musik
sangat keras karena dapat mengganggu konsentrasi dan pendengaran
karyawan baik dalam waktu dekat maupun dalam waktu panjang.
d. Diharapkan karyawan untuk dapat mengenali penyebab timbulnya
kelelahan dan menghentikan pekerjaan sesaat untuk menghindari
kejadian yang tidak diinginkan seperti kecelakaan kerja.
150
7.2.3 Saran Bagi Peneliti Selanjutnya
a. Diharapkan melakukan penelitian dengan menggunakan cara
pengukuran lain dalam mengukur kelelahan kerja sehingga dapat
diperoleh perbandingan gambaran kejadian kelelahan kerja.
b. Diharapkan melakukan penelitian dengan mengikutsertakan variabel
lain yang diduga berhubungan dengan kelelahan kerja yang tidak
diteliti pada penelitian ini, misalnya faktor individu, faktor pekerjaan,
faktor psikis dan lain lain.
c. Diharapkan melakukan penelitian mendalam terkait variabel yang
tidak berhubungan pada penelitian ini seperti kebisingan
pertimbangkan tingkat volume kendaraan dan kecepatan kendaraan,
pencahayaan pertimbangkan jenis pencahayaan dan sistem shift kerja.
151
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Zaenal dan Widagdo, Suharyo. 2009. Studi Literatur Tentang Lingkungan
Kerja Fisik Perkantoran.Yogyakarta. Jurnal. Seminar Nasional V Sdm
Teknologi Nuklir ISSN 1978-0176
Apriyani, Annisa, Tarwaka dan Darnoto, Sri. 2014. Pengaruh Iklim Kerja
Terhadap Dehidrasi pada Karyawan Unit Workshop PT. Indo Acidatama
Tbk, Kemiri, Kebakkramat, Karanganyar. Surakarta. Artikel Penelitian.
Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Arifin, Zainal. 2012. Evaluasi Pembelajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Arikunto, S. 2011. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:
Rineka Cipta.
Basri, Sarina, dkk. 2014. Hubungan Shift Kerja Dengan Tingkat Kelelahan
Operator Produksi Di PT Pertamina Eksplorasi Dan Produksi (EP)
Kecamatan Balongan Kabupaten Indramayu Tahun 2014. Jurnal. Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Wiralodra.
Buchari. 2007. Kebisingan Industri dan Hearing Conservation Program. USU
Repository.
Budi Iman S, Hardinsyah, Parlindungan Siregar, Sudung O. Pardede. 2011. Air
Bagi Kesehatan. Jakarta: Centra Communications
Budiono, dkk. 2003. Kelelahan (Fatigue) Pada Tenaga Kerja. Bunga Rampai
Hiperkes dan Keselamatan Kerja Edisi Ke-2. Semarang: Universitas
Diponegoro.
Clap AJ, Bishop PA, Smith JF, Lloyd LK, Wright KE. 2002. A Review of Fluid
Replacement for Workers in Hot Jobs. AIHA Journal.
Departemen Kesehatan. 2008. Pencahayaan Salah Perburuk Penglihatan.
http://www.klikdokter.com/article/detail/401.html. Diakses pada tanggal
15 Desember 2016.
Dirgayudha, Dio. 2014. Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Kelelahan
Kerja Pada Pembuat Tahu Di Wilayah Kecamatan Ciputat Dan Ciputat
Timur Tahun 2014. Jakarta. Skripsi. Repository Universitas Islam Negeri
Jakarta.
Faiz, Nurli. 2014. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kelelahan Kerja
Pada Pekerja Bagian Operator SPBU Di Kecamatan Ciputat Tahun 2014.
Jakarta. Skripsi. Repository Universitas Islam Negeri Jakarta.
Fajarwati, Ferisia D., Hidayat, Rachmad dan Agustuna, Fitri. 2011. Pengaturan
Sistem Shift Kerja Untuk Meningkatkan Performance Serta Mengurangi
Keluhan Karyawan. Universitas Trunojoyo Madura. Jurnal Teknologi
Technoscientia, ISSN: 1979-8415, Vol. 4 No. 1 Agustus 2011
Gie, The Liang. 2000. Administrasi Perkantoran. Yokyakarta : Liberty
152
Graham P Bates, John Schneider. 2008. Hydration Status and Physiological
Workload of UAE Construction Workers: A Prospective Longitudinal
Observational Study. Journal of Occupational Medicine and Toxicology.
Grandjean. E. 1986. Fitting The Task To The Man; An Ergonomic Aproach.
Taylor and Francis, Londen and Philadelphia.
Grandjean E. 1995. Fitting the Task to the Man, 4th ed. A Text Book of
Occupational Ergonomic. Taylor & Francis Inc. London. New York.
Philadelphia.
Hardi, Ikram. 2006. Faktor – faktor yang Berhubungan dengan Keluhan
Kelelahan Kerja pada Tenaga Kerja di Bagian Produksi PT. Sermani
Steel Makassar Tahun 2006. Makassar. Skripsi. Fakultas Kesehatan
Masyarakat, Universitas Hasanudin Makasar.
Hardinsyah, Dodik Briawan, et al. 2009. Studi Kebiasaan Minum dan Status
Hidrasi pada Remaja dan Dewasa di Wilayah Ekologi yang Berbeda.
Bogor. Bogor. Jurnal. Perhimpunan Peminat Gizi dan Pangan Indonesia
(Persagi), Departemen Gizi Masyarakat Fema IPB Bogor, Danone Aqua
Indonesia.
Hastono dan Sabari, 2001. Analisis Data. Jakarta: FKM UI.
Herry dan Eram T. P. 2005. Panduan Praktikum Laboratorium Kesehatan dan
Kesehatan Kerja. Semarang: UPT UNNES Press.
Hendra. 2009. Tekanan Panas dan Metode Pengukurannya di Tempat Kerja.
Makalah dipresentasikan pada Semiloka Keterampilan Pengukuran
Bahaya Fisik dan Kimia di Tempat Kerja. Jakarta (online).
Hidayat. 2003. Bahaya Laten Kelelahan Kerja. Jakarta: Harian Rakyat.
Idealistina, F. 1991. Model Termoregulasi Tubuh untuk Penentuan Besaran Kesan
Thermal Terbaik dalam kaitannya dengan Kinerja Manusia. Bandung.
Thesis Doktor. Institut Teknologi Bandung.
Ihsan, Taufiq dan Rachmatiah, Indah. 2015. Hubungan Antara Bahaya Fisik
Lingkungan Kerja Dan Beban Kerja Dengan Tingkat Kelelahan Pada
Pekerja Di Divisi Stamping PT. X Indonesia. Sumatera. Jurnal Teknik
Lingkungan. Universitas Andalas.
International Labour Organization. 1998. Encyclopedia of Occupational Health
and Safety 4th edition Vol. 1-2-4. Ritcher Peter. Geneva. Switzerland.
International Labour Organization. 2013. Tren Ketenagakerjaan dan Sosial di
Indonesia 2013 Memperkuat Peran Pekerja Layak dalam Kesetaraan
Pertumbuhan. Jakarta. Kantor ILO untuk Indonesia.
Karima, Asri. 2014. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Stress Kerja Pada
Pekerja Di PT. X Tahun 2014. Jakarta. Skripsi. Repository Universitas
Islam Negeri Jakarta.
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor: 1405/MENKES/SK/XI/2002 tentang
Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri.
153
Keputusan Menteri Tenaga kerja dan Transmigrasi, No. Kep.102/MEN/VI/2004
Kroemer KHE, Grandjean E. 1997. Fitting The Task To The Human: A Textbook
Of Occupational Ergonomics. 5th ed. Routledge: Taylor & Francis.
Lawrence E. Armstrong. 2007. Assessing Hydration Status: The Elusive Gold
Standard. America. Journal Of The American College of Nutrition.
Lemeshow,S., Hosmer, D. W., Klar, J., Lwanga, S.K., dan WH. 1990. Adequacy
Of Sample Size in Health Studie. New York. John Wiley & Sons.
Lerman, E. Steven et al. 2012. Fatigue Risk Management in The Workplace.
Washington DC: American College of Occupational and Environmental
Medicine.
Magrab, E.D. 1982. Environmental Noise Control. McGraw-Hill, Inc. New York.
Marif, Amalia. 2013. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kelelahan Pada
Pekerja Pembuatan Pipa Dan Menara Tambat Lepas Pantai (EPC3) Di
Proyek Banyu Urip PT Rekayasa Industri, Serang-baten Tahun 2013.
Jakarta. Skripsi. Repository Universitas Islam Negeri Jakarta.
Morgeson FP, Garza AS, Champion MA. 2013. Work design in handbook of
psychology. 2nd ed. New Jersey: John Wiley & Sons Inc.
Mukono H.J. 2005. Pencemaran Udara dan Pengaruhnya Terhadap Gangguan
Saluran Pernapasan. Surabaya. Airlangga University Press.
Munandar, Ashar Sunyoto. 2008. Psikologi Industri dan Organisasi. Jakarta: UI
Press
Nasrullah, dkk. 2015. Temperatur dan Kelembaban Relatif Udara Outdoor.
Makassar. Prosiding Temu Ilmiah IPLBI.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2007. Ilmu dan Seni Kesehatan Masyarakat. Jakarta:
Rineka Cipta
Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka
Cipta.
Nurmianto, E. 2003. Ergonomi : Konsep Dasar dan Aplikasinya. Edisi Kedua.
Guna Widya : Surabaya
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.13/MEN/X/2011
Tahun 2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Faktor Kimia
di Tempat Kerja.
Prasetio, L., Setiawan, S., dan Hien, T. K. 1992. Mengerti Fisika Gelombang.
Yogyakarta: Penerbit ANDI Offset.
Pulat, BM. 1992. Fundamental Of Industrial Ergonomics. Hall International
Englewood Cliffs, New Jersey, USA
PT Jasa Marga (Persero) Tbk. 2016. Diakses pada 10 Oktober 2016 link
www.jasamarga.com.
Quible, Zane K. 2001. Manajemen Administrasi Perkantoran Modern. Ed.7:
Prentice hall
Riwidikdo, H., 2008. Statistik Kesehatan. Yogyakarta : Mitra Cendikia Press.
154
Research Committee on Industrial Fatigue. 1969. Fatigue Scale by Research
Committee on Industrial Fatigue of japan Society For Occupational
Health. Japan Society For Occupational Health, Tokyo, (in Japanese)
Robert W. Kenefick, Michael N. Sawka. 2007. Review: Hydration at The Work
Site. America. Journal of The American College of Nutrition.
Santoso, Gempur. 2004. Ergonomi Manusia, Peralatan dan Lingkungan. Jakarta:
Prestasi Pustaka.
Sari, Ratih Perwita. 2010. Pengaruh Intensitas Kebisingan Terhadap Kelelahan
Kerja Pada Tenaga Kerja Bagian Screening CV. Mekar Sari Wonosari
Klaten. Surakarta. Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas
Maret.
Schultz, DP. 1982. Psychology and Industry Today. An Introduction to Industrial
and Organizational Psychology, Third Edition. Macmillan Publishing Inc.
New York.
Sedarmayanti. 2009. Tata Kerja dan Produktivitas Kerja. Bandung: Mandar
Maju.
Septiana, Tri Asih, dkk. 2013. Pengaruh Tingkat Pencahayaan Terhadap
Kelelahan Operator Pada Simulasi Scarfing dengan Reaction Time.
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa . Jurnal Teknik Industri, Vol.1, No.2,
Juni 2013, pp.152-156 ISSN 2302-495X
Setyawati, Lientje. 1994. Kelelahan Kerja Kronis., Kajian terhadap Perasaan
Kelelahan Kerja, Penyusunan Alat Ukur. Serta Hubungannya dengan
Waktu Reaksi dan Produktivitas Kerja, Disertasi, Program Pascasarjana,
UGM. Yogyakarta.
Setyawati, L. 2010. Selintas Tentang Kelelahan Kerja. Yogyakarta: Lakassidaya.
Shirreffs. 2003. Markers of Hydration Status. European Journal of Clinical
Nutrition.
Sinclair, M.A. 1992. Subjective Assessment. Dalam: Wilson, J.R & Corlett, E.N.
eds. Evaluation of Human Work; A Practical Ergonomics Methodology.
Taylor dan Francis Great Britain
Siswanto, A. 1991. Ergonomi. Surabaya. Balai Hiperkes dan Keselamatan Kerja
Jawa Timur. Departemen Tenaga Kerja.
Soeripto. 1996. Teknologi Pengendalian Intensitas Kebisingan. Majalah Hiperkes
dan Keselamatan Kerja, Pusat Hiperkes dan Keselamatan Kerja Depnaker
RI, Jakarta.
Soewito. 1985. Dampak Bising terhadap Pendengaran. Naskah Ilmiah Panitia
Penyusunan Pedoman. Petunjuk Pengawasan tentang Pencahayaan,
Kebisingan, dan Kelembaban, Jakarta. Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.
Soemarko, Dewi. 2016. Bagaimana Mencegah Gangguan Fungsi Ginjal Akibat
Pajanan Panas Di Lingkungan Kerja. Komite Independen KK-PAK BPJS
Ketenagakerjaan
155
Susetyo, Joko, dkk. 2012. Pengaruh Shift Kerja Terhadap Kelelahan Karyawan
Dengan Metode Bourdon Wiersma dan 30 Items Of Rating
Scale.Yogyakarta. Jurnal Teknologi, Volume 5 Nomor 1, Hal 32-39.
Standar Nasional Indonesia 7269:2009. Penilaian Beban Kerja Berdasarkan
Tingkat Kebutuhan Kalori Menurut Pengeluaran Energi. Jakarta
Standar Nasional Indonesia 16-7062-2004. Pengukuran Intensitas Pencahayaan
di Tempat Kerja. Badan Standarisasi Nasional. Jakarta.
Standar Nasional Indonesia SNI 16-7061-2004. Pengukuran Iklim Kerja (Panas)
dengan Parameter Indeks Suhu Basah dan Bola. Jakarta.
Standar Nasional Indonesia SNI 7231-2009. Metoda Pengukuran Intensitas
Kebisingan di Tempat Kerja. Jakarta.
Suciningtias, Tawarka, Suwaji. 2013. Komparasi Shift Kerja Pagi Dengan Shift
Kerja Malam Terhadap Kelelahan Di Bagian Wrapping “Candy”
Pt.Deltomed Laboratories Wonogiri. Surakarta. Alumni Prodi Kesehatan
Masyarakat Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah
Surakarta.
Sulistionigsih, Lilis. 2013. Faktor – Faktor Yang Berhubungan Dengan Kelelahan
Kerja Pada Tenaga Kerja Di Bagian Food Production 1 (FP1) / Masako
Packing (Sebuah Studi Di Pabrik Pt. Ajinomoto Indonesia Mojokerto).
Mojokerto. Jurnal. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Majapahit Mojokerto.
Vol 5. No.1
Suroto, W. 2010. Dampak Kebisingan Lalu Lintas Terhadap Pemukiman Kota
(Kasus Kota Surakarta). Jurnal of Rulan and Development. Volume 1, No.
1.
Suma’mur. 1993. Keselamatan Kerja dan Pencegahan Kecelakaan. Jakarta. CV
Haji Masagung.
Suma’mur PK. 1994. Hiperkes Keselamatan Kerja dan Ergonomi. Jakarta.
Dharma Bakti Muara Agung.
Suma’mur. 1996. Higiene Perusahaan dan Keselamatan Kerja. Jakarta. PT. Toko
Gunung Agung.
Suma’mur. 1999. Ergonomi Untuk Produktivitas Kerja. Jakata. CV Haji
Masagung.
Suma’mur P.K. 2009. Higiene Perusahaan Dan Kesehatan Kerja Edisi 1. Jakarta.
Sagung Seto.
Sunito. 2010. Frekuensi Volume Kendaraan.
Syukri, Sahab. 1996. Efek Lingkungan Kerja Panas. Majalah Hygiene Perusahaan
dan Keselamatan Kerja, Vol. XXX No. 1: 29–30.
Tarwaka, Solichul, B, Lilik S. 2004. Ergonomi untuk Kesehatan, Keselamatan
Kerja, dan Produktivitas. Edisi Ke-1. Surakarta: UNIBA Press.
Tarwaka. 2010. Ergonomi Industri: Dasar–Dasar Pengetahuan Ergonomi Dan
Aplikasi Di Tempat Kerja. Surakarta-Indonesia. Harapan Press.
156
Tarwaka. 2013. Ergonomi Industri, Dasar-dasar Pengetahuan dan Aplikasi di
Tempat Kerja. Edisi Ke-1. Surakarta. Harapan Press
Triyana, Yani Firda. 2012. Teknik Prosedural Keperawatan. Yogyakarta. D-
Medika
Umyati. 2010. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kelelahan Kerja pada
Pekerja Penjahit Sektor Usaha Informal di Wilayah Ketapang Cipondoh
Tangerang Tahun 2009. Jakarta. Skripsi. Repository Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri Jakarta.
Wignjosoebroto, Sritomo. 2003. Ergonomi, Studi Gerak dan Waktu. Teknik
Analisis untuk Peningkatan Produktivitas Kerja. Surabaya. PT. Guna
Widya.
Yusri. 2006. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Kelelahan
Karyawan Produksi Kulkas di PT. LG Electronics Indonesia Tahun 2006.
Jakarta. Tesis. Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia
Zuhriyah, Firtria. 2007. Hubungan Antara Kesesakan Dengan Kelelahan Akibat
Kerja Pada Karyawan Bagian Penjahitan Perusahaan Konveksi Pt
Mondrian Klaten Jawa Tengah. Semarang. Skripsi. Universitas
Diponegoro.
157
LAMPIRAN
158
LAMPIRAN 1 KUESIONER KELELAHAN KERJA
FORMULIR PERSETUJUAN TERTULIS MENJADI RESPONDEN
WAWANCARA
Saya yang bertanda tangan dibawah ini:
1. Nama :………………………………....
2. No. HP/Telepon : ………………………………....
3. Berat Badan : ……………………………... Kg
4. Shift & Istirahat : ……………… & ……………..
Bersedia secara sukarela untuk menjadi responden penelitian dengan judul
“HUBUNGAN LINGKUNGAN KERJA FISIK DENGAN KELELAHAN
KERJA PADA KOLEKTOR GERBANG TOL CILILITAN PT JASA
MARGA CABANG CAWANG-TOMANG-CENGKARENG TAHUN 2016”.
Saya akan memberikan informasi yang benar sesuai dengan yang saya rasakan
dan alami. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya tanpa tekanan
dari pihak manapun.
Jakarta, 2016
Tanda Tangan Peneliti Responden/Yang Membuat
Peryataan
(……………..………………) (Tanda Tangan dan Nama Lengkap)
159
No. Responden: …….
LEMBAR KUESIONER KELELAHAN KERJA
No.
Pertanyaan
Jawaban
SS S K TP
5.1.6 Pelemahan Kegiatan
1. Berat di bagian kepala 4 3 2 1
2. Lelah pada seluruh badan 4 3 2 1
3. Kaki terasa berat 4 3 2 1
4. Menguap 4 3 2 1
5. Pikiran terasa kacau 4 3 2 1
6. Apakah bapak/ibu merasa mengantuk? 4 3 2 1
7. Apakah bapak/ibu merasakan ada beban pada mata? 4 3 2 1
8. Apakah bapak/ibu merasa kaku atau canggung dalam
bergerak?
4 3 2 1
9. Apakah bapak/ibu merasa sempoyongan ketika berdiri? 4 3 2 1
10. Apakah ada perasaan ingin berbaring? 4 3 2 1
5.1.7 Pelemahan Motivasi
11. Apakah bapak/ibu merasa susah berfikir? 4 3 2 1
12. Apakah bapak/ibu merasa malas untuk bicara? 4 3 2 1
13. Apakah perasaan bapak/ibu menjadi gugup? 4 3 2 1
14. Apakah bapak/ibu tidak bisa berkonsentrasi? 4 3 2 1
15. Apakah bapak/ibu tidak bisa memusatkan perhatian
terhadap sesuatu?
4 3 2 1
16. Apakah bapak/ibu punya kecenderungan untuk lupa? 4 3 2 1
17. Apakah bapak/ibu merasa kurang percaya diri? 4 3 2 1
18 Apakah bapak/ibu merasa cemas terhadap sesuatu? 4 3 2 1
19. Apakah bapak/ibu merasa tidak dapat mengontrol sikap? 4 3 2 1
20. Apakah bapak/ibu merasa tidak dapat tekun dalam 4 3 2 1
160
pekerjaan?
5.1.8 Kelelahan Fisik
21. Apakah bapak/ibu merasa sakit kepala? 4 3 2 1
22. Apakah bapak/ibu merasa kaku di bagian bahu? 4 3 2 1
23. Apakah bapak/ibu merasakan nyeri di punggung? 4 3 2 1
24. Apakah nafas bapak/ibu merasa tertekan / sesak? 4 3 2 1
25. Apakah bapak/ibu merasa haus? 4 3 2 1
26. Apakah suara bapak/ibu terasa serak? 4 3 2 1
27. Apakah bapak/ibu merasa pening? 4 3 2 1
28. Apakah kelopak mata bapak/ibu terasa kejang? 4 3 2 1
29. Apakah anggota badan bapak/ibu merasa gemetar/tremor? 4 3 2 1
30. Apakah bapak/ibu merasa kurang sehat? 4 3 2 1
161
LAMPIRAN 2 LEMBAR PENGUKURAN PENCAHAYAAN,
KEBISINGAN, SUHU & KELEMBABAN
HASIL PENGUKURAN PENCAHAYAAN PENELITIAN
“HUBUNGAN LINGKUNGAN KERJA FISIK DENGAN KELELAHAN
KERJA PADA KOLEKTOR GERBANG TOL CILILITAN PT JASA
MARGA CABANG CAWANG-TOMANG-CENGKARENG TAHUN 2016”
NO. NAMA
RESPONDEN
PENGUKURAN
I
PENGUKURAN
II
PENGUKURAN
III ∑
162
HASIL PENGUKURAN KEBISINGAN PENELITIAN
“HUBUNGAN LINGKUNGAN KERJA FISIK DENGAN KELELAHAN
KERJA PADA KOLEKTOR GERBANG TOL CILILITAN PT JASA
MARGA CABANG CAWANG-TOMANG-CENGKARENG TAHUN 2016”
No.
Responden:
Nama :……………………………………..
No. Tlfn :……………………………………..
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
163
HASIL PENGUKURAN SUHU RUANGAN DAN KELEMBABAN
RELATIF (RH)
“HUBUNGAN LINGKUNGAN KERJA FISIK DENGAN KELELAHAN
KERJA PADA KOLEKTOR GERBANG TOL CILILITAN PT JASA
MARGA CABANG CAWANG-TOMANG-CENGKARENG TAHUN 2016”
No. Nama Responden Pengukuran “TA”
(Suhu Ruangan)
Pengukuran “RH”
(Kelembaban Relatif)
164
LAMPIRAN 3 HASIL PENGUKURAN PENELITIAN LINGKUNGAN KERJA FISIK
No
.
Kelelahan
Kerja
Kategori
Kelelahan
Kerja
Pencahayaan Kategori
Pencahayaan Kebisingan
Kategori
Kebisingan
Shift
Kerja Suhu
Kategori
Suhu Kelembaban
Kategori
Kelembaban
1 61.0 Kelelahan
Berat 320.6
Pencahayaan
Terpenuhi 78.5
Kebisingan
Tidak
Melebihi
NAB
Shift
Pagi 29.4
Suhu
Ruangan
Tidak
Sesuai
54.2 Kelembaban
Sesuai
2 60.0 Kelelahan
Ringan 313.6
Pencahayaan
Terpenuhi 87.9
Kebisingan
Melebihi
NAB
Shift
Pagi 30.6
Suhu
Ruangan
Tidak
Sesuai
53.1 Kelembaban
Sesuai
3 62.0 Kelelahan
Berat 328.6
Pencahayaan
Terpenuhi 79.2
Kebisingan
Tidak
Melebihi
NAB
Shift
Pagi 28.8
Suhu
Ruangan
Tidak
Sesuai
57.0 Kelembaban
Sesuai
4 48.0 Kelelahan
Ringan 310.8
Pencahayaan
Terpenuhi 82.0
Kebisingan
Tidak
Melebihi
NAB
Shift
Pagi 29.6
Suhu
Ruangan
Tidak
Sesuai
54.3 Kelembaban
Sesuai
5 52.0 Kelelahan
Ringan 363.3
Pencahayaan
Terpenuhi 85.1
Kebisingan
Melebihi
NAB
Shift
Pagi 28.7
Suhu
Ruangan
Tidak
Sesuai
59.6 Kelembaban
Sesuai
6 60.0 Kelelahan
Ringan 319.7
Pencahayaan
Terpenuhi 79.5
Kebisingan
Tidak
Melebihi
Shift
Pagi 27.5
Suhu
Ruangan
Sesuai
66.8
Kelembaban
Tidak
Sesuai
165
No
.
Kelelahan
Kerja
Kategori
Kelelahan
Kerja
Pencahayaan Kategori
Pencahayaan Kebisingan
Kategori
Kebisingan
Shift
Kerja Suhu
Kategori
Suhu Kelembaban
Kategori
Kelembaban
NAB
7 52.0 Kelelahan
Ringan 317.6
Pencahayaan
Terpenuhi 86.5
Kebisingan
Melebihi
NAB
Shift
Pagi 29.7
Suhu
Ruangan
Tidak
Sesuai
60.0 Kelembaban
Sesuai
8 52.0 Kelelahan
Ringan 65.5
Pencahayaan
Tidak
Terpenuhi
79.09
Kebisingan
Tidak
Melebihi
NAB
Shift
Siang 29.7
Suhu
Ruangan
Tidak
Sesuai
60.0 Kelembaban
Sesuai
9 46.0 Kelelahan
Ringan 77.5
Pencahayaan
Tidak
Terpenuhi
79.0
Kebisingan
Tidak
Melebihi
NAB
Shift
Siang 29.9
Suhu
Ruangan
Tidak
Sesuai
54.0 Kelembaban
Sesuai
10 40.0 Kelelahan
Ringan 59.0
Pencahayaan
Tidak
Terpenuhi
80.43
Kebisingan
Tidak
Melebihi
NAB
Shift
Siang 28.9
Suhu
Ruangan
Tidak
Sesuai
57.9 Kelembaban
Sesuai
11 46.0 Kelelahan
Ringan 86.3
Pencahayaan
Tidak
Terpenuhi
86.3
Kebisingan
Melebihi
NAB
Shift
Siang 28.0
Suhu
Ruangan
Sesuai
67.3
Kelembaban
Tidak
Sesuai
12 50.0 Kelelahan
Ringan 55.9
Pencahayaan
Tidak
Terpenuhi
79.7
Kebisingan
Tidak
Melebihi
NAB
Shift
Siang 27.6
Suhu
Ruangan
Sesuai
56.0 Kelembaban
Sesuai
13 53.0 Kelelahan 51.4 Pencahayaan 86.0 Kebisingan Shift 28.7 Suhu 64.8 Kelembaban
166
No
.
Kelelahan
Kerja
Kategori
Kelelahan
Kerja
Pencahayaan Kategori
Pencahayaan Kebisingan
Kategori
Kebisingan
Shift
Kerja Suhu
Kategori
Suhu Kelembaban
Kategori
Kelembaban
Ringan Tidak
Terpenuhi
Melebihi
NAB
Siang Ruangan
Tidak
Sesuai
Tidak
Sesuai
14 45.0 Kelelahan
Ringan 53.2
Pencahayaan
Tidak
Terpenuhi
80.3
Kebisingan
Tidak
Melebihi
NAB
Shift
Siang 24.2
Suhu
Ruangan
Sesuai
72.0
Kelembaban
Tidak
Sesuai
15 66.0 Kelelahan
Berat 52.5
Pencahayaan
Tidak
Terpenuhi
81.2
Kebisingan
Tidak
Melebihi
NAB
Shift
Siang 25.5
Suhu
Ruangan
Sesuai
77.3
Kelembaban
Tidak
Sesuai
16 91.0 Kelelahan
Berat 46.9
Pencahayaan
Tidak
Terpenuhi
78.9
Kebisingan
Tidak
Melebihi
NAB
Shift
Malam 24.7
Suhu
Ruangan
Sesuai
68.5
Kelembaban
Tidak
Sesuai
17 59.0 Kelelahan
Ringan 63.3
Pencahayaan
Tidak
Terpenuhi
79.2
Kebisingan
Tidak
Melebihi
NAB
Shift
Malam 24.9
Suhu
Ruangan
Sesuai
71.2
Kelembaban
Tidak
Sesuai
18 66.0 Kelelahan
Berat 51.6
Pencahayaan
Tidak
Terpenuhi
78.7
Kebisingan
Tidak
Melebihi
NAB
Shift
Malam 25.3
Suhu
Ruangan
Sesuai
72.0
Kelembaban
Tidak
Sesuai
19 57.0 Kelelahan
Ringan 56.0
Pencahayaan
Tidak 80.3
Kebisingan
Tidak
Shift
Malam 25.3
Suhu
Ruangan 71.7
Kelembaban
Tidak
167
No
.
Kelelahan
Kerja
Kategori
Kelelahan
Kerja
Pencahayaan Kategori
Pencahayaan Kebisingan
Kategori
Kebisingan
Shift
Kerja Suhu
Kategori
Suhu Kelembaban
Kategori
Kelembaban
Terpenuhi Melebihi
NAB
Sesuai Sesuai
20 65.0 Kelelahan
Berat 63.0
Pencahayaan
Tidak
Terpenuhi
75.3
Kebisingan
Tidak
Melebihi
NAB
Shift
Malam 25.4
Suhu
Ruangan
Sesuai
65.8
Kelembaban
Tidak
Sesuai
21 63.0 Kelelahan
Berat 83.9
Pencahayaan
Tidak
Terpenuhi
77.1
Kebisingan
Tidak
Melebihi
NAB
Shift
Malam 22.3
Suhu
Ruangan
Sesuai
68.3
Kelembaban
Tidak
Sesuai
22 81.0 Kelelahan
Berat 66.9
Pencahayaan
Tidak
Terpenuhi
78.3
Kebisingan
Tidak
Melebihi
NAB
Shift
Malam 22.7
Suhu
Ruangan
Sesuai
60.0 Kelembaban
Sesuai
23 80.0 Kelelahan
Berat 193.2
Pencahayaan
Tidak
Terpenuhi
79.1
Kebisingan
Tidak
Melebihi
NAB
Shift
Pagi 28.6
Suhu
Ruangan
Tidak
Sesuai
59.5 Kelembaban
Sesuai
24 88.0 Kelelahan
Berat 348.9
Pencahayaan
Terpenuhi 88.7
Kebisingan
Melebihi
NAB
Shift
Pagi 26.1
Suhu
Ruangan
Sesuai
67.9
Kelembaban
Tidak
Sesuai
25 70.0 Kelelahan
Berat 87.8
Pencahayaan
Tidak
Terpenuhi
79.8
Kebisingan
Tidak
Melebihi
NAB
Shift
Pagi 25.6
Suhu
Ruangan
Sesuai
66.1
Kelembaban
Tidak
Sesuai
168
No
.
Kelelahan
Kerja
Kategori
Kelelahan
Kerja
Pencahayaan Kategori
Pencahayaan Kebisingan
Kategori
Kebisingan
Shift
Kerja Suhu
Kategori
Suhu Kelembaban
Kategori
Kelembaban
26 69.0 Kelelahan
Berat 60.6
Pencahayaan
Tidak
Terpenuhi
85.5
Kebisingan
Melebihi
NAB
Shift
Pagi 24.9
Suhu
Ruangan
Sesuai
73.9
Kelembaban
Tidak
Sesuai
27 67.0 Kelelahan
Berat 56.8
Pencahayaan
Tidak
Terpenuhi
76.9
Kebisingan
Tidak
Melebihi
NAB
Shift
Siang 25.1
Suhu
Ruangan
Sesuai
70.1
Kelembaban
Tidak
Sesuai
28 70.0 Kelelahan
Berat 329.2
Pencahayaan
Terpenuhi 77.7
Kebisingan
Tidak
Melebihi
NAB
Shift
Siang 24.7
Suhu
Ruangan
Sesuai
59.9 Kelembaban
Sesuai
29 73.0 Kelelahan
Berat 40.4
Pencahayaan
Tidak
Terpenuhi
85.8
Kebisingan
Melebihi
NAB
Shift
Siang 23.9
Suhu
Ruangan
Sesuai
67.5
Kelembaban
Tidak
Sesuai
30 79.0 Kelelahan
Berat 60.0
Pencahayaan
Tidak
Terpenuhi
79.7
Kebisingan
Tidak
Melebihi
NAB
Shift
Siang 22.7
Suhu
Ruangan
Sesuai
73.1
Kelembaban
Tidak
Sesuai
31 84.0 Kelelahan
Berat 56.5
Pencahayaan
Tidak
Terpenuhi
85.7
Kebisingan
Melebihi
NAB
Shift
Siang 22.6
Suhu
Ruangan
Sesuai
66.9
Kelembaban
Tidak
Sesuai
32 92.0 Kelelahan
Berat 64.0
Pencahayaan
Tidak
Terpenuhi
86.6
Kebisingan
Melebihi
NAB
Shift
Siang 24.5
Suhu
Ruangan
Sesuai
79.2
Kelembaban
Tidak
Sesuai
33 63.0 Kelelahan 63.2 Pencahayaan 80.9 Kebisingan Shift 20.9 Suhu 69.4 Kelembaban
169
No
.
Kelelahan
Kerja
Kategori
Kelelahan
Kerja
Pencahayaan Kategori
Pencahayaan Kebisingan
Kategori
Kebisingan
Shift
Kerja Suhu
Kategori
Suhu Kelembaban
Kategori
Kelembaban
Berat Tidak
Terpenuhi
Tidak
Melebihi
NAB
Malam Ruangan
Sesuai
Tidak
Sesuai
34 64.0 Kelelahan
Berat 51.5
Pencahayaan
Tidak
Terpenuhi
82.4
Kebisingan
Tidak
Melebihi
NAB
Shift
Malam 22.4
Suhu
Ruangan
Sesuai
70.7
Kelembaban
Tidak
Sesuai
35 72.0 Kelelahan
Berat 345.6
Pencahayaan
Terpenuhi 78.7
Kebisingan
Tidak
Melebihi
NAB
Shift
Pagi 28.7
Suhu
Ruangan
Tidak
Sesuai
59.2 Kelembaban
Sesuai
36 94.0 Kelelahan
Berat 301.1
Pencahayaan
Terpenuhi 87.3
Kebisingan
Melebihi
NAB
Shift
Pagi 29.5
Suhu
Ruangan
Tidak
Sesuai
60.0 Kelembaban
Sesuai
37 73.0 Kelelahan
Berat 328.6
Pencahayaan
Terpenuhi 80.9
Kebisingan
Tidak
Melebihi
NAB
Shift
Pagi 30.1
Suhu
Ruangan
Tidak
Sesuai
51.1 Kelembaban
Sesuai
38 81.0 Kelelahan
Berat 51.1
Pencahayaan
Tidak
Terpenuhi
85.3
Kebisingan
Melebihi
NAB
Shift
Malam 22.5
Suhu
Ruangan
Sesuai
67.7
Kelembaban
Tidak
Sesuai
39 80.0 Kelelahan
Berat 52.4
Pencahayaan
Tidak
Terpenuhi
81.4
Kebisingan
Tidak
Melebihi
Shift
Malam 22.7
Suhu
Ruangan
Sesuai
73.0
Kelembaban
Tidak
Sesuai
170
No
.
Kelelahan
Kerja
Kategori
Kelelahan
Kerja
Pencahayaan Kategori
Pencahayaan Kebisingan
Kategori
Kebisingan
Shift
Kerja Suhu
Kategori
Suhu Kelembaban
Kategori
Kelembaban
NAB
40 72.0 Kelelahan
Berat 48.1
Pencahayaan
Tidak
Terpenuhi
82.2
Kebisingan
Tidak
Melebihi
NAB
Shift
Malam 23.0
Suhu
Ruangan
Sesuai
77.8
Kelembaban
Tidak
Sesuai
41 85.0 Kelelahan
Berat 39.4
Pencahayaan
Tidak
Terpenuhi
78.5
Kebisingan
Tidak
Melebihi
NAB
Shift
Malam 24.7
Suhu
Ruangan
Sesuai
78.5
Kelembaban
Tidak
Sesuai
42 72.0 Kelelahan
Berat 55.8
Pencahayaan
Tidak
Terpenuhi
79.1
Kebisingan
Tidak
Melebihi
NAB
Shift
Malam 22.9
Suhu
Ruangan
Sesuai
64.7
Kelembaban
Tidak
Sesuai
171
LAMPIRAN 4 HASIL OUTPUT ANALISIS DATA
1. DISTRIBUSI KELELAHAN KERJA
Frequency Table
KatkelelahanKerja2
Frequency Percent
Valid
Percent
Cumulative
Percent
Valid Kelelahan Berat 28 66.7 66.7 66.7
Kelelahan
Ringan 14 33.3 33.3 100.0
Total 42 100.0 100.0
2. DISTRIBUSI KEBISINGAN, PENCAHAYAAN, SUHU RUANGAN,
KELEMBABAN UDARA DAN SHIFT KERJA
Frequencies
Statistiks
Kebisingan Pencahayaan SuhuRuangan Kelembaban
N Valid 42 42 42 42
Missing 0 0 0 0
Mean 81.4457 139.0786 26.0357 65.4286
Std. Error of Mean .53785 18.97575 .43019 1.16071
Median 80.3000 63.2500 25.3500 66.8500
Std. Deviation 3.48568 122.97688 2.78794 7.52224
Minimum 75.30 39.40 20.90 51.10
Maximum 88.70 363.30 30.60 79.20
KatPencahayaan
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Pencahayaan Tidak
Terpenuhi 30 71.4 71.4 71.4
Pencahayaan Terpenuhi 12 28.6 28.6 100.0
Total 42 100.0 100.0
172
KatSuhuRuangan2
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Suhu Ruangan Tidak Sesuai 14 33.3 33.3 33.3
Suhu Ruangan Sesuai 28 66.7 66.7 100.0
Total 42 100.0 100.0
KatKelembaban
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Kelembaban Tidak Sesuai 26 61.9 61.9 61.9
Kelembaban Sesuai 16 38.1 38.1 100.0
Total 42 100.0 100.0
Shift
Frequency
P
ercent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Shift Pagi 14 33.3 33.3 33.3
Shift Siang 14 33.3 33.3 66.7
Shift Malam 14 33.3 33.3 100.0
Total 42 100.0 100.0
3. UJI NORMALITAS DATA VARIABEL NUMERIK (KEBISINGAN)
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Kebisingan 42 100.0% 0 .0% 42 100.0%
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistik df Sig. Statistik df Sig.
Kebisingan .162 42 .007 .908 42 .002
a. Lilliefors Significance Correction
173
4. HUBUNGAN KELELAHAN DENGAN KEBISINGAN
Mann-Whitney Test
Ranks
KatkelelahanKerj
a2 N Mean Rank Sum of Ranks
Kebisingan Kelelahan Berat 28 19.71 552.00
Kelelahan
Ringan 14 25.07 351.00
Total 42
Test Statistiks
Kebisingan
Mann-Whitney U 146.000
Wilcoxon W 552.000
Z -1.334
Asymp. Sig. (2-tailed) .182
Exact Sig. [2*(1-tailed
Sig.)] .189
a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable:
KatkelelahanKerja2
5. HUBUNGAN KELELAHAN DENGAN PENCAHAYAAN
Crosstabs
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
KatPencahayaan *
KatkelelahanKerja2 42 100.0% 0 .0% 42 100.0%
174
KatPencahayaan * KatkelelahanKerja2 Crosstabulation
KatkelelahanKerja2
Total Kelelahan Berat Kelelahan Ringan
KatPencahayaan Pencahayaan Tidak
Terpenuhi
Count 21 9 30
% within KatPencahayaan 70.0% 30.0% 100.0%
Pencahayaan Terpenuhi Count 7 5 12
% within KatPencahayaan 58.3% 41.7% 100.0%
Total Count 28 14 42
% within KatPencahayaan 66.7% 33.3% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square .525a 1 .469
Continuity Correctionb .131 1 .717
Likelihood Ratio .515 1 .473
Fisher's Exact Test .491 .353
Linear-by-Linear Association .512 1 .474
N of Valid Casesb 42
a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4.00.
b. Computed only for a 2x2 table
6. HUBUNGAN KELELAHAN DENGAN SUHU RUANGAN
Crosstabs
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
KatSuhuRuangan2 *
KatkelelahanKerja2 42 100.0% 0 .0% 42 100.0%
175
KatSuhuRuangan2 * KatkelelahanKerja2 Crosstabulation
KatkelelahanKerja2
Total Kelelahan Berat Kelelahan Ringan
KatSuhuRuangan2 Suhu Ruangan Tidak Sesuai Count 6 8 14
% within KatSuhuRuangan2 42.9% 57.1% 100.0%
Suhu Ruangan Sesuai Count 22 6 28
% within KatSuhuRuangan2 78.6% 21.4% 100.0%
Total Count 28 14 42
% within KatSuhuRuangan2 66.7% 33.3% 100.0%
Chi-Square Tests
Value Df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 5.357a 1 .021
Continuity Correctionb 3.871 1 .049
Likelihood Ratio 5.249 1 .022
Fisher's Exact Test .036 .026
Linear-by-Linear Association 5.230 1 .022
N of Valid Casesb 42
a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4.67.
b. Computed only for a 2x2 table
7. HUBUNGAN KELELAHAN DENGAN KELEMBABAN
Crosstabs
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
KatKelembaban *
KatkelelahanKerja2 42 100.0% 0 .0% 42 100.0%
176
8. HUBUNGAN KELELAHAN DENGAN SHIFT
Crosstabs
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Shift * KatkelelahanKerja2 42 100.0% 0 .0% 42 100.0%
KatKelembaban * KatkelelahanKerja2 Crosstabulation
KatkelelahanKerja2
Total Kelelahan Berat Kelelahan Ringan
KatKelembaban Kelembaban Tidak Sesuai Count 20 6 26
% within KatKelembaban 76.9% 23.1% 100.0%
Kelembaban Sesuai Count 8 8 16
% within KatKelembaban 50.0% 50.0% 100.0%
Total Count 28 14 42
% within KatKelembaban 66.7% 33.3% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 3.231a 1 .072
Continuity Correctionb 2.133 1 .144
Likelihood Ratio 3.196 1 .074
Fisher's Exact Test .098 .073
Linear-by-Linear Association 3.154 1 .076
N of Valid Casesb 42
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5.33.
b. Computed only for a 2x2 table
177
Shift * KatkelelahanKerja2 Crosstabulation
KatkelelahanKerja2
Total Kelelahan Berat Kelelahan Ringan
Shift Shift Pagi Count 9 5 14
% within Shift 64.3% 35.7% 100.0%
Shift Siang Count 7 7 14
% within Shift 50.0% 50.0% 100.0%
Shift Malam Count 12 2 14
% within Shift 85.7% 14.3% 100.0%
Total Count 28 14 42
% within Shift 66.7% 33.3% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Pearson Chi-Square 4.071a 2 .131
Likelihood Ratio 4.327 2 .115
Linear-by-Linear Association 1.412 1 .235
N of Valid Cases 42
a. 3 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected
count is 4.67.
178
LAMPIRAN 5 SURAT-SURAT PENELITIAN
LAMPIRAN 6 DOKUMENTASI
Pengukuran iklim kerja dengan WBGT Pengukuran Kebisingan dengan SLM
Pengukuran Suhu dan Kelembaban Pengukuran Pencahayaan
dengan Thermohygrometer dengan Lux Meter
179
Keadaan saat tidak padat kendaraan yang melintas
Keadaan saat padat kendaraan yang melintas
Recommended