View
213
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
ICASERD WORKING PAPER No.53
PENGEMBANGAN POTENSI WILAYAH PERTANIAN MELALUI KEGIATAN AGRIBISNIS JAGUNG DI KAWASAN CORN BELT KABUPATEN SUMEDANG: Kasus di Kecamatan Cibugel Iwan Setiajie Anugrah Juli 2004
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development) Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian
ICASERD WORKING PAPER No. 53
PENGEMBANGAN POTENSI WILAYAH PERTANIAN MELALUI KEGIATAN AGRIBISNIS JAGUNG DI KAWASAN CORN BELT KABUPATEN SUMEDANG: Kasus di Kecamatan Cibugel Iwan Setiajie Anugrah Juli 2004
Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian mengenai hasil penelitian, gagasan ilmiah, opini, pengembangan metodologi, pengembangan alat analisis, argumentasi kebijakan, pandangan ilmiah, dan review hasil penelitian. Penanggung jawab Working Paper adalah Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, dengan Pengelola : Dr. Handewi P. Saliem, Dr. A. Rozany Nurmanaf, Ir. Tri Pranadji MSi, dan Dr. Yusmichad Yusdja. Redaksi: Ir. Wahyuning K. Sejati MSi; Ashari SP MSi; Siti Fajar Ningrum SS, Kardjono dan Edi Ahmad Saubari. Alamat Redaksi: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Jalan A. Yani No. 70 Bogor 16161, Telp. 0251-333964, Fax. 0251-314496, E-mail : caser@indosat.net.id
No. Dok.061.53.02.04
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development) Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian
1
PENGEMBANGAN POTENSI WILAYAH PERTANIAN MELALUI KEGIATAN AGRIBISNIS JAGUNG DI KAWASAN CORN BELT KABUPATEN SUMEDANG :
Kasus di Kecamatan Cibugel
Iwan Setiajie Anugrah Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian
Jl. A. Yani No.70 Bogor 16161
ABSTRAK
Visi dan misi pembangunan pertanian Jawa Barat yang diarahkan untuk menjadikannya sebagai provinsi terdepan dalam bidang agribisnis dan sumber ketahanan pangan nasional, telah mendorong upaya peningkatan pengembangan agribisnis pada setiap kabupaten di Jawa Barat. Beberapa program yang telah berkembang di lapangan, antara lain Pengembangan Agribisnis (PA) Jagung di Kawasan Andalan I, Wilayah Corn-Belt yang meliputi: Kabupaten Bandung, Sumedang, Majalengka, Kuningan, Ciamis, Tasikmalaya dan Garut. Program PA jagung di Kabupaten Sumedang, direncanakan akan dilaksanakan di Kecamatan Cibugel. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan identifikasi tentang kegiatan pertanaman jagung di wilayah tersebut, sebagai upaya untuk persiapan awal ke arah itu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kegiatan agribisnis jagung masih dilakukan dengan pola tumpangsari dengan tanaman padi gogo dan ketela pohon. Disamping sebagai usaha untuk pemenuhan kebutuhan pangan, pola tanam ini juga sebagai cadangan pendapatan apabila salah satu dari komoditas yang diusahakan mengalami fluktuasi harga. Pola tanam tersebut secara tidak langsung bisa meningkatkan produktivitas per satuan luas tanam menjadi tidak optimal. Optimalisasi produksi per satuan luas juga belum tercapai karena adanya keterbatasan modal usahatani terutama untuk pemenuhan sarana produksi yang dianjurkan. Adanya bantuan pinjaman melalui dana talangan kepada koperasi tani (koptan) untuk pembelian hasil produksi jagung petani, telah membantu meningkatkan harga jual jagung petani serta sekaligus telah memberikan keuntungan bagi semua pelaku kegiatan agribisnis jagung didalamnya. Dengan demikian, pola kemitraan yang sudah dirintis ini hendaknya terus dijalankan sehingga dapat mendorong pengembangan agribisnis jagung ke arah intensif monokultur dan pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan petani serta mendorong pertumbuhan perekonomian wilayah ke arah yang lebih baik. Kata kunci : pengembangan wilayah, agribisnis jagung
PENDAHULUAN
Visi dan misi pembangunan pertanian Jawa Barat untuk menjadikannya sebagai
provinsi terdepan di bidang agribisnis nampaknya bukan hanya merupakan “slogan”
tetapi lebih dari itu telah berdampak nyata ke seluruh pelosok kabupaten/kota di Jawa
Barat. Dinamika pengembangan berbagai aktivitas yang berkaitan dengan pembangunan
pertanian pada setiap daerah juga terus berjalan sesuai dengan potensi dan keberadaan
sumberdaya pertanian yang ada di setiap wilayah pembangunan. Oleh sebab itu, tidak
tidak mengherankan apabila komitmen munculnya berbagai komoditas unggulan spesifik
lokasi ataupun komoditas pertanian basis sebagai sumber perekonomian daerah masing-
masing dalam beberapa tahun terakhir ini menjadi hal yang positif. Dalam kaitannya
dengan pengembangan visi dan misi tersebut diperlukan perubahan paradigma
2
pembangunan dari sistem sentralistik menjadi desentralistik, sesuai dengan era otonomi
daerah.
Pengembangan potensi wilayah pertanian secara luas pada dasarnya meliputi
berbagai sub sektor pertanian (tanaman pangan dan hortikultura, perkebunan dan
kehutanan, peternakan serta perikanan) yang ada pada masing-masing daerah,
walaupun dalam perkembangannya telah muncul berbagai jenis komoditas yang menjadi
prioritas penanganan dinas instansi terkait di dalamnya, sesuai dengan tujuan dan
orientasi pembangunan yang diprioritaskan pada masing-masing daerah.
Kabupaten Sumedang merupakan salah satu daerah di wilayah Provinsi Jawa
Barat yang selama ini juga mengedepankan sektor pertanian menjadi pondasi dasar
pembangunan perekonomian daerah di antara sektor ekonomi lainnya. Hal ini menjadi
alasan bahwa selain konstribusi sektor pertanian masih memegang peranan penting bagi
pendapatan daerah, juga sampai saat ini sektor pertanian masih merupakan sumber
mata pencaharian utama bagi sebagian besar penduduk Kabupaten Sumedang.
Besarnya peranan dan kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB Kabupaten
Sumedang selama ini, sebagaimana ditampilkan pada Tabel 1 berikut.
Tabel 1. Peranan dan Distribusi Sektor Pertanian dan Sektor Ekonomi Lainnya Terhadap PDRB Kabupaten Sumedang Tahun 1998-2002 (dalam persen).
Sektor Perekonomian 1998 1999 2000 2001 2002
1. Pertanian 35,58 35,52 35,53 33,53 33,66 2. Pertambangan,
Penggalian
0,11
0,11
0,11
0,15
0,15 3. Industri Pengolahan 15,20 14,74 15,32 16,32 16,91 4. Listrik, Gas, Air
Bersih
1,12
1,10
1,27
1,40
1,56 5. Bangunan 2,97 2,83 2,80 2,75 2,80 6. Perdagangan, Hotel,
Restoran
27,53
27,88
27,24
26,97
26,19 7. Pengangkutan dan
Komunikasi
3,67
3,90
3,99
3,99
4,18 8. Keuangan,
Persewaan, Jasa Perusahaan
3,96
3,90
4,07
4,22
4,05 9. Jasa-Jasa 9,84 10,02 10,12 10,67 10,51
Sumber : BPS Kabupaten Sumedang Tahun 2002. Potensi wilayah pertanian di Kabupaten Sumedang juga sangat memungkinkan
untuk berkembangnya berbagai kegiatan di sektor pertanian, mengingat luas wilayah
maupun kondisi geografis yang tercakup di dalamnya relatif cukup menunjang. Potensi
wilayah Kabupaten Sumedang tidak hanya untuk pertanaman tanaman di lahan basah,
3
tetapi juga untuk pertanaman di lahan kering, perkebunan, peternakan serta untuk
pengembangan sektor perikanan.
Pengembangan komoditas pada sub sektor tanaman pangan yang dilakukan
secara intensif beberapa tahun terakhir, khususnya yang dilakukan pada pertanaman
komoditas pertanian lahan kering di beberapa daerah, diantaranya diarahkan pada
program peningkatan produksi dan produktivitas komoditas jagung. Hal ini sejalan
dengan program pengembangan agribisnis tanaman pangan di Jawa Barat, melalui
Program Aksi Pengembangan Agribisnis Jagung Jawa Barat tahun 2001-2006
(Kawasan Andalan I) yang secara bertahap dikembangkan melalui tahapan
pengembangan model sentra sebagai Pusat Pertumbuhan Agribisnis, dimana untuk
tahun 2001-2002 meliputi 7 (tujuh) kabupaten kawasan andalan (Corn Belt) yang
meliputi: Kabupaten Bandung, Sumedang, Majalengka, Kuningan, Ciamis, Tasikmalaya
dan Garut.
Berkaitan dengan latar belakang di atas maka kegiatan identifikasi untuk
mengetahui potensi wilayah pengembangan pertanian, khususnya dalam pengembangan
jagung di Kabupaten Sumedang, menjadi bagian yang sangat penting dalam mendukung
perencanaan pembangunan wilayah dan sekaligus sebagai masukan bagi para pembuat
kebijakan di tingkat daerah maupun di tingkat provinsi dan pusat agar dalam
pelaksanaan program pengembangan komoditas sejenis baik dalam kegiatan jangka
pendek maupun jangka panjang tidak tumpang tindih, tetapi berjalan secara
komprehensif dengan program pembangunan lainnya, sehingga tercipta sistem yang
sinergis dan dapat mengakomodasikan berbagai aspek pembangunan di dalamnya.
Untuk melihat kesiapan Kecamatan Cibugel menjadi kawasan andalan agribisnis jagung
di Kabupaten Sumedang, menjadi bahasan utama dalam tulisan ini dan secara spesifik
akan diuraikan dalam suatu susunan/tahapan kegiatan agribisnis yang dilakukan.
METODOLOGI
Kegiatan penelitian dilakukan dengan metode survey di Kabupaten Sumedang
yang dikonsentrasikan di wilayah kasus, yaitu di Wilayah Kecamatan Cibugel.
Kecamatan Cibugel merupakan salah satu lokasi yang dipersiapkan oleh Pemerintah
Kabupaten Sumedang bagi kegiatan pengembangan agribisnis melalui program Corn-
Belt di Kawasan Andalan I yang akan dimulai pada tahun tanam 2003-2004.
4
Data yang dipergunakan untuk menunjang pembahasan materi dalam tulisan ini,
selain berdasarkan informasi data sekunder dari berbagai instansi terkait, juga dilengkapi
informasi data primer yang diperoleh dari hasil wawancara dengan berbagai pelaku di
tingkat produksi serta pelaku lain yang terkait dengan kegiatan pengembangan
pertanaman jagung di wilayah Kabupaten Sumedang serta di lokasi kajian. Untuk
kepentingan data kegiatan usahatani, diperoleh dari para petani responden yang
berjumlah 30 orang dan secara spesifik diwakili oleh setiap anggota kelompok tani yang
tergabung dalam Kelompok Tani (Poktan), Koperasi Tani (Koptan) ataupun Gabungan
Kelompok Tani (Gapoktan). Kualifikasi petani responden dimaksud, terdiri dari responden
yang mempergunakan benih hibrida dan benih komposit secara proporsional, yaitu 20
orang dari kelompok pertama dan 10 orang dari kelompok kedua.
Sementara data sekunder/primer di tingkat kelembagaan, diperoleh dari berbagai
instansi terkait dengan kegiatan penelitian yang dilakukan. Beberapa instansi tersebut
diantaranya: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Sumedang, Badan Pusat
Statistik Kabupaten Sumedang, BAPEDA Kabupaten Sumedang, KCD Kecamatan
Cibugel bahkan beberapa instansi di tingkat Provinsi, seperti Dinas Pertanian, Badan
Pusat Statistik, Bapeda serta instansi lain.
POTENSI WILAYAH DAN PENGEMBANGAN AGRIBISNIS JAGUNG
Potensi Pengembangan Agribisnis Jagung. Lokasi kecamatan Cibugel, terletak 45 kilometer di wilayah Tenggara Ibukota
Kabupaten Sumedang. Luas Wilayah Kecamatan Cibugel adalah mencapai 5.450 hektar,
yang dibatasi wilayah administratif Kecamatan Darmaraja di sebelah Utara, Kecamatan
Wado di sebelah Timur. Sedangkan batas di sebelah Selatan berbatasan dengan
wilayah Kecamatan Limbangan Kabupaten Garut serta berbatasan dengan kecamatan
Sumedang Selatan di bagian Barat.
Kondisi geografis Kecamatan Cibugel dilihat dari topografinya, terdiri dari
pegunungan yang bergelombang dengan rata-rata kemiringan 15 sampai dengan 60o.
Sementara keadaan tanah termasuk pada golongan tanah latosol merah dan kelabu,
dengan rata-rata keasaman/PH tanah 4,5 hingga 6,5 sehingga memberikan indikasi
merupakan tanah yang cukup subur serta cocok untuk lahan pertanian, dengan
ketinggian berkisar antara 450 meter hingga 1.200 meter dari permukaan laut. Dengan
ketinggian tersebut maka iklim di Kecamatan Cibugel termasuk pada iklim tropis,
5
mengingat sebagian besar wilayah berada pada ketinggian di atas 500 meter dpl, yaitu
termasuk pada wilayah dataran tinggi, dengan suhu udara mencapai sekitar 9 hingga 29o
Celcius.
Berdasarkan iklim dan topografi tersebut, maka curah hujan di daerah ini
tergolong cukup tinggi, yaitu dengan rata-rata hari hujan 10 hari per bulan, dengan bulan
kering hanya satu bulan, sementara rata-rata curah hujan mencapai 283 mm dan curah
hujan tertinggi pada tahun 2000 jatuh pada bulan Januari yang mencapai curah hujan
455 mm.
Keterkaitan dengan kondisi diatas, maka penggunaan luas lahan yang ada di
Kecamatan Cibugel terdiri atas lahan pesawahan 730 hektar serta lahan darat dan lahan
kering merupakan wilayah yang paling luas, yaitu mencapai 4.720 hektar. Penggunaan
lahan sawah maupun lahan kering, tersebar di 6 desa yang ada di wilayah kecamatan
Cibugel, yaitu meliputi Desa Cibugel, Buana mekar, Jaya mekar, Tamansari, Sukaraja
dan Cipasang dengan proporsi penggunaan yang beragam pada masing-masing desa
tersebut, seperti pada tabel berikut :
Tabel 2. Keadaan Luas lahan berdasarkan status penggunaannya pada setiap desa di Kecamatan Cibugel Tahun 2002 (dalam hektar)
Nama Desa Sawah Lahan Kering Tanah negara Jumlah
Cibugel 155 432 0 587,0
Buanamekar 144 237,5 450 831,5
Jayamekar 90 225,0 100 415,0
Tamansari 100 295,0 1365 1760,0
Sukaraja 166 462,5 261 881,0
Cipasang 75 810,0 70 950,0
Jumlah 730 2475,0 2245 5450,0Sumber data : KCD Pertanian Kecamatan Cibugel 2002. Dari luas areal lahan yang ada di kecamatan Cibugel tersebut, menunjukkan
bahwa sebagian besar merupakan lahan potensial bagi pengembangan berbagai jenis
kegiatan usaha pertanian, dengan berbagai potensi komoditas di dalamnya. Potensi
usahatani di kelompok tanaman pangan, diantaranya komoditas padi baik untuk padi
sawah maupun padi gogo, kemudian palawija seperti jagung, ketela pohon serta kacang-
kacangan. Sementara untuk komoditas sayuran, diantaranya cabai, bawang, tomat,
6
kubis serta kentang. Pada komoditas obat-obatan, diantaranya jahe dan kunyit; pada
tanaman perkebunan, teh, kopi, cengkeh dan tembakau dan pada sub sektor peternakan
meliputi ternak ayam, domba maupun sapi disamping kegiatan pemeliharaan ikan di
kolam.
Kegiatan pertanaman jagung di Kabupaten Sumedang, telah dilakukan pada 26
daerah kecamatan. Dari seluruh kecamatan yang ada di wilayah Kabupaten Sumedang,
terdapat beberapa kecamatan yang mempunyai potensi sebagai daerah produsen
komoditas jagung. Berdasarkan pada data luas areal tanam, maka kecamatan yang
mempunyai potensi dalam pertanaman jagung, adalah Kecamatan Tanjungsari,
Kecamatan Cimanggung, Kecamatan Wado dan Kecamatan Cibugel. Berdasarkan data
produksi dari Dinas Pertanian Kabupaten Sumedang tahun 2001 menunjukkan bahwa
produksi jagung di Kabupaten Sumedang, sebagian besar dihasilkan dari Kecamatan
Cibugel, yaitu mencapai 5016 ton, kemudian dari Kecamatan Tanjungsari 4527 ton,
Kecamatan Wado dan Kecamatan Cimanggung, masing-masing 2975 ton dan 2693 ton
serta Kecamatan Rancakalong sebesar 2456 ton (Tabel Lampiran 1).
Berdasarkan pada kondisi tersebut diatas maka penentuan lokasi potensial
sebagai sentra komoditas jagung, dipertimbangkan pada pendekatan data jumlah
produksi tahun terakhir, sehingga kegiatan penelitian diarahkan pada daerah produksi
jagung di Kecamatan Cibugel. Kondisi Kecamatan Cibugel secara umum, selain
merupakan daerah produksi jagung yang cukup potensial, juga wilayah kecamatan ini
telah dicanangkan menjadi salah satu daerah pengembangan kawasan komoditi
agribisnis Jawa Barat, melalui perencanaan pengembangan dan perluasan model sentra
agribisnis di 7 kabupaten kawasan andalan (Corn Belt), yaitu Bandung, Sumedang,
Majalengka, Kuningan, Ciamis, Tasikmalaya dan Garut.
Bagi daerah Kabupaten Sumedang sendiri, potensi wilayah yang ada di
Kecamatan Cibugel merupakan bagian dari aset pertanian potensial, khususnya untuk
pengembangan produksi jagung secara intensifikasi, mengingat daerah tersebut
merupakan sentra produksi yang sejak lama sudah terbiasa melakukan pertanaman
komoditas jagung, sehingga memungkinkan Pemerintah Kabupaten Sumedang
menjadikan Kecamatan Cibugel sebagai daerah pilot project bagi kegiatan-kegiatan
sektor pertanian di tingkat Kabupaten, sesuai dengan kebijakan Pemerintah Daerah
melalui Rencana Strategis Pengembangan Sentra Produksi dan Kawasan Andalan
melalui Komoditas Andalan, dimana selain adanya sentra produksi dan kawasan
7
andalan di Kawasan Timur, Utara, Tengah dan Selatan, juga terdapat Kawasan
Mangkarnata yaitu Manglayang, Kareumbi, Cakrabuana, Tampomas dan salah satu
lokasi yang termasuk di dalamnya adalah Kecamatan Cibugel yang diarahkan pada
pengembangan komoditas andalan, seperti sayuran dan palawija disamping peternakan
dan perikanan yang secara umum merupakan gambaran potensi pertanian yang dapat
dikembangkan di kawasan Mangkarnata.
KERAGAAN USAHATANI JAGUNG
Karakteristik Usahatani
Komoditas jagung merupakan tanaman pangan utama dari kegiatan usaha
pertanian yang dilakukan oleh sebagian besar masyarakat di Kecamatan Cibugel,
disamping jenis tanaman pangan lainnya, seperti padi sawah, padi gogo maupun
tanaman ubi kayu yang juga banyak diusahakan oleh sebagian masyarakat, sesuai
dengan kondisi lahan dan topografi wilayah, iklim dan nilai komersial dalam melakukan
kegiatan usahatani yang diwujudkan dengan kegiatan usaha pertanian yang dilakukan
secara bersamaan atas dua atau tiga komoditas pangan, antara padi gogo, jagung serta
ubi kayu secara tumpangsari. Dengan cara pertanaman tersebut maka kegiatan
usahatani yang diusahakan, dapat memberikan pendapatan dan lapangan kerja yang
cukup prospektif sehingga mampu menunjang kegiatan perekonomian masyarakat di
wilayah tersebut.
Berdasarkan informasi dari beberapa tokoh masyarakat setempat, kegiatan
pertanaman jagung telah dilakukan sejak dulu, namun yang menjadi komoditas utama
pada waktu itu adalah komoditas ubi kayu (khususnya untuk jenis komoditas yang
diusahakan di lahan kering). Bukti dari gambaran perkembangan usaha pertanaman ubi
kayu tersebut, diantaranya masih berjalannya industri-industri pengolahan ubi kayu di
beberapa bagian kecamatan dalam jumlah yang relatif cukup banyak. Namun dengan
berkembangnya harga beberapa komoditas pertanian serta semakin terbukanya kondisi
perekonomian setempat, maka kegiatan usaha pertanian secara bertahap berubah
dengan pengembangan yang mengarah pada kegiatan usahatani jagung sebagai
tanaman utama dalam kegiatan usahatani, walaupun secara teknis sistem
pertanamannya tetap dilakukan secara tumpang sari diantara tiga tanaman tadi. Hal ini
terlihat dari intensitas kegiatan para petani dan lembaga-lembaga terkait, dalam
keikutsertaannya mengembangkan kegiatan usahatani dengan cara memberikan
8
perhatian yang cukup besar bagi pengembangan dan peningkatan pertanaman
komoditas jagung yang diarahkan pada pemenuhan nilai ekonomi dan komersial.
Kegiatan Usahatani Jagung di Tingkat Responden
Untuk kegiatan penelitian yang berkaitan dengan pengembangan sentra
komoditas jagung di Kabupaten Sumedang, jumlah responden yang diperlukan dari
Kabupaten Sumedang adalah 30 orang, meliputi klasifikasi 20 orang responden yang
mewakili para petani yamg melakukan kegiatan pertanaman dan usahatani dengan
mempergunakan benih jagung Hibrida dan sisanya, 10 orang responden yang mewakili
para petani yang melakukan pertanaman jagung dengan benih komposit.
Dalam pelaksanaan di tingkat lapang, secara teknis untuk jumlah responden
diambil dari beberapa lokasi tempat tinggal yang relatif terpencar, dengan maksud untuk
menangkap informasi yang berkaitan dengan kondisi pertanaman dan kegiatan
usahatani, khususnya yang berkaitan dengan topografi tanah, sistem panen, sistem
penyaluran saprodi dan kondisi sosial ekonomi responden secara keseluruhan.
Sementara untuk memperoleh responden yang melakukan pertanaman komoditas
jagung dari jenis komposit sesuai dengan galur dan varietas yang sudah ditetapkan di
pasaran, dengan nama-nama komersial dari produk yang ada, relatif terbatas
mendapatkannya mengingat batasan komposit yang selama ini terkait dengan kegiatan
pertanaman jagung di Kecamatan Cibugel, masih terbatas pada varietas benih turunan
dari benih-benih sebelumnya atau merupakan benih F2 hingga F4 walaupun diperkirakan
benih awalnya ada yang diperoleh dari benih lokal atau bahkan dari jenis hibrida.
Berdasarkan data responden, diperoleh gambaran bahwa rata-rata umur dari
responden dengan mempergunakan benih Hibrida, adalah 53 tahun dan untuk
responden dengan benih komposit rata-rata 55 tahun. Tingkat pendidikan pada
responden Hibrida rata-rata mencapai 7,5 tahun sedangkan pada responden Komposit
mencapai 7 tahun. Sementara itu data mengenai luas areal garapan yang dilakukan
dalam kegiatan usahatani jagung pada kelompok Hibrida adalah 0,67 hektar dan pada
kelompok komposit, rata-rata 0,4 hektar. Namun demikian, secara umum kondisi lahan
untuk pertanaman jagung di daerah Kecamatan Cibugel, sebagian besar merupakan
lahan dengan kondisi topografi yang berlereng serta dilakukan dengan terasering. Dari
sejumlah responden, sebagian besar melakukan kegiatan usahatani jagung pada lahan
9
milik, walaupun ada yang melakukan perluasan tanam dengan cara menyewa lahan
orang lain atau dari kehutanan dengan biaya Rp. 500 per bata per tahun, atau Rp.
350.000 per hektar per tahun.
Analisis Biaya dan Pendapatan Usahatani
Dari kegiatan usahatani komoditas jagung yang dilakukan dengan cara
pertanaman tumpang sari yang dilakukan diantara dua kelompok pendekatan benih yang
dipergunakan, secara umum menunjukkan bahwa pada kelompok usahatani dengan
pendekatan pertanaman varietas hibrida relatif lebih besar dalam satuan kumulatif total
usahatani tumpang sari dibandingkan dengan hasil usahatani komposit.
Pada usahatani dengan varietas hibrida, pendapatan rata-rata mencapai Rp.
1.822.417 atau setara dengan Rp.2.720.868,1 per hektar. Sementara untuk pendapatan
yang diperoleh dari kelompok komposit adalah rata-rata sebesar Rp. 371.687,5 atau
setara dengan Rp.929.218,75 per hektar.
Berikut disampaikan rincian analisis usahatani dari pengguna benih hibrida : Rata-rata luas lahan 0,67 hektar Pendapatan dari kegiatan usahatani tumpangsari (Jagung, Padi dan Ketela Pohon) : ___________________________________________________________________ Dari Komoditas Jagung rata-rata = Rp. 2.518.333,3 ( 59,0 %) Dari Komoditas Padi Gogo rata-rata = Rp. 762.500,0 ( 17,8 %) Dari Komoditas Ketela pohon rata-rata = Rp. 1.006.666,7 ( 23,5 %) ___________________________________________________________________ Jumlah total pendapatan rata-rata = Rp. 4.287.500,0 (100,0 %) ___________________________________________________________________ Biaya-biaya untuk pembelian input : Benih rata-rata = Rp. 218.583 ( 8,9 %) Pupuk : Urea rata-rata = Rp. 246.250 ( 10,0 %) SP-36 rata-rata = Rp. 149.583,3 ( 6,1 %) KCl rata-rata = Rp. 105.833,3 ( 4,3 %) Pupuk Kandang rata-rata = Rp. 255.416,7 ( 10,4 %) Pestisida, rata-rata = Rp. 71.916,67 ( 2,9 %) Tenaga Kerja rata-rata = Rp.1.414.166,67 ( 57,4 %) ___________________________________________________________________ Total Biaya rata-rata = Rp. 2.465.083 (100,0 %) ___________________________________________________________________ Pendapatan rata-rata = Rp. 4.287.500 - Rp. 2.465.083 = Rp. 1.822.417
10
Berikut disampaikan rincian analisis usahatani dari pengguna benih Komposit : Rata-rata luas luas lahan 0,4 hektar. Pendapatan dari kegiatan usahatani tumpangsari (Jagung, Padi dan Ketela Pohon) : ___________________________________________________________________ Dari Komoditas Jagung rata-rata = Rp. 546.250 Dari Komoditas Padi Gogo rata-rata = Rp. 318.750 Dari Komoditas Ketela pohon rata-rata = Rp. 675.000 ___________________________________________________________________ Jumlah total pendapatan rata-rata = Rp. 1.540.000 ___________________________________________________________________ Biaya-biaya untuk pembelian input total rata-rata = Rp 1.168.312,5 ___________________________________________________________________ Pendapatan rata-rata = Rp. 1.540.000 - Rp. 1.168.312,5 = Rp. 371.687,5 ___________________________________________________________________ Bila di setarakan dengan luasan per hektar, pada kelompok hibrida, adalah : Rata-rata luas lahan 1,00 hektar Pendapatan dari kegiatan usahatani tumpangsari (Jagung, Padi dan Ketela Pohon) : ___________________________________________________________________ Dari Komoditas Jagung = Rp. 3.759.871,67 (58,7 %) Dari Komoditas Padi Gogo = Rp. 1.138.412,5 (17,8 %) Dari Komoditas Ketela pohon = Rp. 1.502.953,0 ( 2,5 %) ___________________________________________________________________ Jumlah total pendapatan = Rp. 6.401.237,54 (100,0 %) ___________________________________________________________________ Biaya-biaya untuk pembelian input : Benih = Rp. 326.344,92 ( 8,9 %) Pupuk : Urea = Rp. 366 912,5 (10,0 %) SP-36 = Rp. 223 327,92 ( 6,1 %) KCl = Rp. 158 009,17 ( 4,3 %) Pupuk Kandang = Rp. 381 337,08 (10,4 %) Pestisida, = Rp. 107 371,58 ( 2,9 %) Tenaga Kerja, = Rp.2 111 350,83 ( 57,4 %) ___________________________________________________________________ Total Biaya = Rp. 3 680 369,4 (100,0 %) ___________________________________________________________________
Pendapatan per hektar = Rp. 6 401 237,54 - Rp. 3 680 369,4 = Rp. 2 720 868,1 Berikut disampaikan rincian analisis usahatani dari pengguna benih Komposit Untuk luas lahan 1,0 hektar Pendapatan dari kegiatan usahatani tumpangsari (Jagung, Padi dan Ketela Pohon) : ___________________________________________________________________ Jumlah total pendapatan = Rp. 3 850 000 ___________________________________________________________________ Biaya-biaya untuk pembelian input total = Rp 2 920 781,25 ___________________________________________________________________ Pendapatan per hektar = Rp. 3 850 000 - Rp. 2 920 781,25 = Rp. 929 218,75 __________________________________________________________________
11
SISTEM DAN POLA TANAM JAGUNG
Kegiatan pertanaman jagung yang dilakukan di kecamatan Cibugel sebagian
besar diusahakan di lahan kering dan dilakukan dengan cara tumpangsari, antara
jagung, padi dan ketela pohon. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa pola tanam
dengan cara tumpangsari juga dilakukan antara tanaman jagung dengan ubikayu dan
kacang-kacangan atau bahkan hanya jagung dan ubi kayu saja, tergantung dari rencana
tanam para petani serta yang terkait dengan faktor-faktor produksi usahatani di
dalamnya. Dari pola usahatani tumpangsari yang dilakukan, nampaknya komoditas yang
selalu dipertahankan dalam setiap pertanaman adalah jagung dan ubi kayu sebagai
tanaman yang mempunyai nilai ekonomis untuk dijadikan sumber pendapatan bagi
rumahtangga petani, mengingat dua jenis tanaman yang dipertahankan ini sebagian
besar lebih banyak untuk dijual, tidak seperti tanaman padi gogo dimana sebagian besar
hasilnya hanya untuk dijadikan sebagai bahan cadangan konsumsi keluarga selama satu
musim tanam.
Kegiatan pertanaman tumpangsari umumnya dilakukan melalui pertanaman yang
bersamaan pada saat dimulainya musim hujan sebagai patokan awal dimulainya
kegiatan pertanaman. Dari beberapa responden, diperoleh informasi bahwa pertanaman
yang dilakukan pada tahun 2001, dimulai pada bulan Oktober. Namun demikian
persiapan tanam yang meliputi; pengolahan tanah, persiapan perolehan pupuk kandang
sebagai pupuk dasar, benih serta saprodi lainnya telah dilakukan sebelumnya sehingga
pada saat turun hujan, kegiatan lebih difokuskan pada seluruh kegiatan yang terkait
dengan pertanaman. Pertanaman yang dilakukan bulan Oktober dimulai dengan
menanam jagung dan padi, kemudian diikuti oleh pertanaman ubi kayu, setelah padi dan
jagung mencapai umur 2 minggu atau lebih, atau kira-kira 15 Hari Setelah Tanam (HST).
Dengan perlakuan diatas, maka perhitungan umur tanaman, masa panen serta
kebutuhan saprodi akan sangat menentukan terhadap keberhasilan usahatani yang
dilakukan.
Umur tanaman jagung, sejak tanam diperkirakan mencapai 3 s/d 3,5 bulan atau
antara 90 sampai 100 hari atau bahkan ada yang mencapai lebih dari waktu tersebut.
Sementara umur tanaman padi gogo rata-rata mencapai 3,5 s/d 4 bulan ataupun lebih,
tergantung dari jenis padi yang ditanam petani. Sementara umur tanaman ubi kayu, rata-
rata mencapai 8 bulan hingga 12 bulan. Dengan demikian berdasarkan analisis umur
tanaman tersebut, dapat diperkirakan masa panen yang akan diperoleh dari masing-
12
masing tanaman. Perkiraan panen jagung dengan kegiatan pertanaman dimulai pada
bulan Oktober, maka akan jatuh pada bulan Januari-Februari, begitu pula halnya dengan
tanaman padi, panen antara bulan Februari hingga pertengahan bulan Maret. Sedangkan
panen ubi kayu, diperkirakan bulan Agustus hingga bulan Oktober, tergantung pada
kondisi pertanaman yang ada pada setiap lahan yang diusahakan.
Kegiatan pertanaman jagung dilakukan pada luasan lahan yang cukup bervariasi
dari masing masing petani. Luas lahan pertanaman pada dasarnya lebih banyak
ditentukan oleh kondisi wilayah dimana lahan tersebut berada, misalnya pada berbagai
macam kemiringan lahan dengan sistem terasering ataupun berada dalam satu
hamparan pada kondisi lahan yang datar. Dengan kondisi tersebut maka luasan lahan
yang diusahakan secara terasering merupakan jumlah dari beberapa luasan lahan
terasering yang ada sebagai hamparan yang diusahakan oleh petani, sehingga dalam
kegiatan usahatani jagung terkadang luasan usahatani juga meliputi seluruh terasering
yang digarap oleh petani, mengingat setiap terasering mempunyai luasan yang rata-rata
relatif kecil. Disamping itu penggunaan input usahatani untuk kegiatan pertanaman
jagung juga merupakan jumlah total yang akan didistribusikan bagi sejumlah lahan yang
diusahakan sehingga menjadi satu kesatuan biaya yang dipergunakan, begitu pula
dalam penggunaan tenaga kerja dan input lainnya, kecuali pada kegiatan usahatani yang
dilakukan pada lahan yang luas dalam satu hamparan.
Berkaitan dengan kondisi pertanaman di atas maka untuk mengetahui jumlah
baris pertanaman tumpang sari di antara pertanaman yang ada, menjadi kesulitan
tersendiri bagi sebagian responden. Kesulitan tersebut juga sangat terkait dengan pola
tanam yang selama ini sudah dilakukan oleh sebagian besar petani melalui sistem tanam
garitan dengan masing-masing jarak tanam yang dilakukan. Pada umumnya pola tanam
dalam satu garitan awal dimulai dengan tanaman jagung, kemudian baris ke dua dan
ketiga adalah tanaman padi, baris ke empat jagung lagi dan baris ke lima dan ke enam
padi serta ke baris ketujuh jagung dan seterusnya seperti itu, tergantung pada luas lahan
yang ada. Sementara itu untuk tanaman tumpangsari ubi kayu, ditanam diantara
pertanaman jagung dan padi pada baris ke satu dan dua dan seterusnya dengan pola
yang sama sesuai dengan jarak tanam dan luasan lahan. Kemudian untuk tanaman pada
garitan ke dua dan ke tiga semuanya ditanam padi, sedangkan pada garitan ke empat
pola tanam dilakukan seperti pada garitan pertama dan seterusnya. (pada sketsa di
bawah).
13
Sketsa Kasar Pola Tanam pada salah seorang Responden Keterangan : ↑ adalah tanaman jagung ♣ adalah tanaman ubi kayu ∨ adalah tanaman padi gogo
Jenis Varietas, Tingkat Penggunaan dan Penyediaan Benih Jagung
Kegiatan pertanaman jagung yang dilaksanakan oleh sebagian besar
masyarakat, dalam perkembangannya telah mempergunakan benih unggul berlabel
walaupun pada sebagian petani masih ada yang mempergunakan benih lokal dan
komposit serta benih turunan ke dua (F2); ke tiga (F3) atau bahkan masih ada yang
menanam jagung dari benih F4. Dari informasi yang diperoleh bahwa penggunaan benih
unggul berlabel, secara intensif diperkenalkan melalui bantuan bibit yang dilakukan pada
tahun 1996, dengan respon yang cukup beragam. Beberapa jenis benih unggul berlabel
yang secara intensif diperkenalkan, meliputi jenis jagung hibrida, seperti C-7 dari
Monsanto, Pioneer dan Bisi-2. Sementara jenis yang lebih dulu ada adalah jenis lokal
dan komposit, seperti Arjuna dan Bima.
Penyaluran awal dari benih berlabel tersebut, masing-masing dilakukan melalui
sosialisasi dengan KTNA untuk C-7 dari Monsanto, kemudian Pioneer melalui KUD dan
selanjutnya melalui Koptan, untuk jenis-jenis tersebut. Berdasarkan perkiraan sementara,
perkembangan penyerapan benih berlabel dari Pioneer tahun 2000 mencapai diatas 30
persen dan pada tahun 2002 diperkirakan mencapai 85 persen mempergunakan benih
hibrida. Perkembangan penyerapan benih C-7 pada tahun 1995 baru mencapai 2 kuintal
melalui Koperasi. Pada tahun 2001 meningkat menjadi 1,5 ton dengan penyaluran
melalui Koptan. Perkembangan penyerapan benih tersebut pada tahun 2002 untuk jenis
C-7 mencapai 4 ton dan Pioneer mencapai 2 ton dimana keduanya disalurkan melalui
Koptan. Besarnya tingkat penyerapan benih tersebut, selain dilakukan dengan adanya
sosialisasi yang intensif juga adanya perubahan secara bertahap dari pemikiran para
petani terhadap penggunaan benih unggul, dalam kaitannya dengan produksi maupun
nilai ekonomis di pasaran. Perubahan pandangan dari petani sebagai pengguna benih
↑♣ ∨ ↑♣ ∨ ↑ ♣ ∨ ↑♣ ∨ ↑ ∨ ∨ ∨ ∨ ∨ ∨ ∨ ∨ ∨ ∨ ∨ ∨ ∨ ∨ ∨ ∨ ∨ ∨ ∨ ∨ ∨ ∨ ∨ ∨ ∨ ∨ ∨ ∨ ↑ ♣ ∨ ↑ ♣ ∨ ↑ ♣ ∨ ↑♣ ∨ ↑
14
juga tidak semata-mata diperoleh dari hasil sosialisasi tetapi yang lebih besar mendorong
pada perubahannya, adalah adanya keyakinan dan bukti dari beberapa percobaan
secara tidak langsung yang dilakukan oleh para petani itu sendiri dalam kegiatan
usahatani yang dilakukan. Sehingga tidak mengherankan jika dalam satu petakan lahan
usahatani dibagi menjadi beberapa media penanaman jenis varietas yang diperkenalkan,
termasuk beberapa pengalaman yang ditemui selama mencoba mengusahakan varietas
tersebut.
Jenis tanaman tumpangsari lainnya, antara lain padi gogo dan ubi kayu pada
umumnya merupakan benih yang dihasikan dari pertanaman sebelumnya, sehingga
sebagian besar merupakan benih pertanaman sendiri dan jarang diperoleh dari hasil
pembelian. Jenis padi gogo yang banyak ditanam, antara lain Malio, Jatiluhur, Jidah
serta jenis padi lokal lainnya. Sedangkan jenis ubi kayu yang banyak ditanam adalah
jenis Lutung. Jenis benih padi maupun ubi kayu yang ditanam pada umumnya berada
dalam jumlah yang cukup sehingga pada setiap musim tanam relatif tersedia dan
terpenuhi.
Informasi di tingkat responden, menunjukkan bahwa tingkat penggunaan benih
hibrida varietas C-7 lebih banyak diusahakan oleh para petani responden setempat,
disamping varietas P10, P12, P13 maupun varietas Bisi-2. Penggunaan benih dari
kelompok Hibrida rata-rata mencapai 7,58 kilogram atau kira-kira setara dengan 11,3
kilogram per hektar. Sementara penggunaan benih pada kelompok komposit rata-rata
mencapai 3,4 kilogram, atau setara dengan 8,44 kilogram per hektar.
Tingkat ketersediaan saprodi, khususnya dalam penyediaan benih dari segi
waktu, jenis, mutu, tempat dan jumlah dapat terpenuhi pada setiap musim tanam dan
pada umumnya dapat diperoleh dari KUD, Koptan serta beberapa kios yang ada di desa
sekitar tempat tinggal para responden. Dari jumlah responden yang ada pada kelompok
hibrida, 50 persen menyatakan bahwa harga benih masih dirasakan cukup mahal,
sehingga secara tidak langsung masih merupakan kendala dalam perolehannya, sesuai
dengan kebutuhan optimum pertanaman. Harga benih hibrida berlabel yang berlaku
relatif sama, yaitu rata-rata Rp.23.000 per kilogram. Penyediaan benih pada kelompok
komposit, sebagian besar dapat dipenuhi dari hasil pembibitan sendiri, walupun juga ada
yang memperolehnya dari tetangga atau para petani lainnya dalam satu kelompok. Dari
jumlah responden kelompok komposit, menyatakan bahwa secara umum ketersediaan
benih dapat terpenuhi pada setiap musim tanam dilihat dari waktu, jenis, tempat dan
15
jumlah walaupun dari beberapa responden mengemukakan tentang keraguannya
tentang mutu benih yang diperolehnya.
Jenis, Tingkat Penggunaan dan Penyediaan Pupuk
Pemakaian saprodi lain, khususnya pupuk, dalam kegiatan usahatani
tumpangsari yang dilakukan, masih terbatas pada beberapa jenis pupuk pokok, seperti
Urea, SP-36 serta KCl dengan jumlah penggunaan yang beragam dan secara umum
masih belum dilakukan secara optimal, mengingat selain keterbatasan modal juga
sebagian belum memahami secara seksama tentang dosis dan ukuran yang dibutuhkan
dalam skala usahatani yang sesuai peruntukannya.
Tingkat penggunaan pupuk yang dilakukan oleh responden, menunjukkan bahwa
pada kelompok hibrida, khususnya untuk penggunaan pupuk urea, rata-rata mencapai
187,5 kilogram atau setara dengan 279,9 kilogram per hektar. Untuk penggunaan pupuk
SP-36, rata-rata 95,8 kilogram setara dengan 143,0 kilogram per hektar dan untuk pupuk
KCl rata-rata 58,3 kilogram setara dengan 87 kilogram per hektar. Pada kelompok
komposit, rata-rata penggunaan pupuk urea mencapai 87,5 kilogram atau setara dengan
218,75 per hektar, kemudian penggunaan pupuk SP36 baru mencapai rata-rata 55
kilogram, setara dengan 137,5 per hektar. Sementara untuk penggunaan pupuk KCl
masih terbatas dan bahkan dari responden yang ada sebagian besar tidak
mempergunakan pupuk tersebut. Disamping penggunaan pupuk buatan tersebut,
sebagian besar petani responden juga mempergunakan jenis pupuk kandang di dalam
kegiatan usahataninya, dalam jumlah yang cukup banyak terutama dipergunakan
sebagai pupuk dasar yang diberikan pada saat pertanaman awal dan pembuatan garitan.
Bervariasinya tingkat penggunaan pupuk di lokasi kajian, juga sangat
dimungkinkan oleh beragamnya tingkat harga yang terjadi di lokasi ini. Harga rata-rata
dari pupuk Urea yang diperoleh petani berkisar antara Rp.1.200 hingga Rp.1.400,
sementara harga pupuk SP-36 berkisar antara Rp.1.600 hingga Rp.1.800 dan harga
pupuk KCl antara Rp.1.800 hingga Rp.2.000. Keragaman harga yang diterima petani ini
sangat berkaitan dengan lokasi pembelian serta sistem pembelian yang dilakukan.
Namun demikian secara umum, tingkat penyediaan sarana produksi khususnya pupuk
dari segi waktu, jenis, mutu, tempat dan jumlah relatif terpenuhi pada setiap musim
tanam, sekalipun diantaranya responden menyatakan bahwa tingkat harga yang
diterima belum seimbang dengan nilai harga produksi, sehingga secara tidak langsung
akan mempengaruhi pada jumlah penggunaan pupuk dari ketentuan yang ditetapkan
16
bagi satuan luas tertentu, terutama bagi responden yang berasal dari kelompok komposit
serta sebagian responden dari kelompok hibrida.
Dari informasi dimuka, diperoleh gambaran bahwa pemakaian saprodi,
khususnya pupuk bagi sebagian besar petani cenderung masih mempergunakan pupuk
kandang dalam jumlah yang cukup besar per satuan luas, terutama dipergunakan
sebagai pupuk dasar pada saat pengolahan lahan sebelum pertanaman. Terbatasnya
jumlah produksi dan persediaan pupuk kandang di wilayah pertanaman Kecamatan
Cibugel, menjadikan para petani di dalam mengantisipasi kebutuhan pupuk diupayakan
pada jauh sebelum dilakukan pengolahan tanam dan jika perlu bagi sebagian petani
yang tidak mempunyai ternak peliharaan, mengharuskannya membeli dari daerah lain
diluar Kecamatan Cibugel, sehingga pada waktu penanaman dapat terpenuhi. Dengan
demikian ketersediaan pupuk kandang dalam jumlah luasan pertanaman yang dilakukan
pada setiap musim tanam relatif terbatas, terutama bagi para petani yang tidak memiliki
ternak peliharaan dan sepenuhnya diperoleh dari pembelian, mengingat pada musim
tanam tersebut dilakukan secara serentak sehingga kebutuhan akan tersedianya pupuk
kandang pun menjadi meningkat jumlahnya, sedangkan ketersediaan di lokasi jumlahnya
masih cukup terbatas.
Jenis, Tingkat Penggunaan dan Penyediaan Obat-obatan
Penggunaan obat-obatan secara umum belum menunjukkan tingkat yang tinggi,
selain dipergunakan hanya pada saat-saat terjadi serangan hama dan penyakit juga
dengan pertimbangan bahwa bagi sebagian besar petani harga saprodi obat-obatan ini
masih dirasakan cukup mahal disamping tingkat serangan hama dan penyakit juga masih
relatif kecil sehingga masih dapat ditangani dengan cara-cara preventif dengan alat dan
perlakukan yang sederhana berdasarkan ilmu dan pengalaman yang dimiliki oleh petani
selama ini.
Namun demikian informasi yang diperoleh dari beberapa responden,
menunjukkan bahwa terdapat beberapa jenis obat-obatan yang dipergunakan, sesuai
dengan tingkat dan jenis hama penyakit yang ada pada setiap pertanaman petani.
Beberapa jenis obat-obatan yang dipergunakan tersebut, antara lain Elsan, Matador,
Furadan, Decis, Polaris, Mitraplora, Basudin. Untuk keperluan penggunaan obat-obatan,
maka tingkat ketersediaan dari beberapa jenis obat-obatan, secara umum sedah banyak
tersedia di KUD setempat, Koptan atau di setiap kios yang ada di kota kecamatan
maupun desa, disamping jenis obat-obatan lainnya.
17
Sistem dan Tingkat Penggunaan Tenaga Kerja
Proses kegiatan usahatani jagung yang dilakukan oleh sebagian besar petani di
lokasi Kecamatan Cibugel, dimulai dengan melakukan pengolahan lahan pertanaman.
Proses tersebut sebagian besar atau pada umumnya dilakukan dengan peralatan
sederhana dan mempergunakan tenaga manusia, yaitu terbatas pada penggunaan
cangkul dan garpu. Setelah pengolahan awal, dilanjutkan dengan pengolahan untuk siap
tanam dengan membuat garitan dan pemberian pupuk dasar serta penanaman dimana
sebelumnya telah turun hujan sebagai patokan dimulainya waktu pertanaman jagung,
padi serta ubi kayu secara tumpangsari.
Dalam proses pertanaman, jarak tanam yang dilakukan juga relatif bervariasi satu
petani dengan petani lainnya, tergantung pada persediaan benih yang diperoleh. Untuk
pertanaman jagung, jarak tanam bervariasi antara 40 cm x 75 cm; 40 cm x 80 cm; 80 cm
x 80 cm ; 40 cm x 70 cm dan seterusnya. Sementara untuk tanaman padi, jarak tanam
antara lain dilakukan dengan 25 cm x 25 cm ; 40 cm x 40 cm serta untuk pertanaman ubi
kayu rata-rata diantara 1 m hingga 1,5 meter. Jarak tanam yang dilakukan juga pada
dasarnya sangat berkaitan dengan pengisian biji benih pada setiap lubang, yaitu
diantaranya ada yang mengisi 2 biji per lubang ataupun 3 biji perlubang untuk jagung
serta 3-5 biji per lubang untuk tanaman padi. Namun demikian pada umumnya dari
informasi yang diperoleh, menunjukkan bahwa daya tumbuh benih baik yang berasal dari
benih unggul berlabel ataupun dari hasil pertanaman sendiri dan komposit turunan
mencapai diatas 90 persen, dengan indikasi bahwa kualitas bibit khususnya yang
diperoleh dari bibit sendiri relatif masih cukup baik.
Dalam perlakuan pemupukan baik di dalam pemupukan dasar maupun
pemupukan berikutnya, volume penggunaan masih lebih banyak memperhitungkan
kemampuan jumlah pupuk yang dapat diperoleh petani sehingga dosis pemupukan relatif
beragam, terutama dengan adanya pemakaian pupuk kandang sebagai suplemen bagi
pemakaian jumlah pupuk buatan. Tahap pemupukan yang dilakukan oleh sebagian besar
petani dilakukan pada 2 minggu setelah tanam sebagai patokan dilakukannya
pemupukan tahap I, sedangkan pemupukan tahap II biasanya dilakukan antara 35-50
hari setelah tanam dan masih cenderung dilakukan secara beragam. Begitu pula dalam
kegiatan penyemprotan hama penyakit, sebagian besar dilakukan jika terdapat serangan
hama dan sebaliknya jika pertumbuhan pertanaman baik dan mulus tidak dilakukan
sama sekali.
18
Keterkaitan dengan gambaran kegiatan usahatani yang dilakukan diatas, maka
kebutuhan tenaga kerja yang digunakan dalam setiap proses kegiatan cenderung
beragam antar petani responden. Penggunaan tenaga kerja dari luar keluarga cenderung
lebih besar volumenya dibandingkan dengan tenaga kerja dari dalam keluarga sendiri,
terutama pada jenis-jenis pekerjaan tertentu, seperti dalam proses pengolahan tanah,
penanaman maupun dalam pemeliharaan. Sebagai gambaran, dari penggunaan tenaga
kerja pada kelompok hibrida dalam proses pengolahan tanah rata-rata mencapai 48,67
HOK (antara 48 hingga 49 HOK) atau setara dengan 72,66 HOK (antara 72 hingga 73
HOK) per hektar. Jumlah tersebut merupakan gambaran dari jumlah tenaga kerja luar
keluarga pria, sementara jumlah tenaga kerja wanita mencapai rata-rata 7,67 HOK
(antara 7 hingga 8 HOK) atau setara dengan 11,45 HOK (11 HOK). Pada pekerjaan
penanaman, jumlah rata-rata HOK pria mencapai 8 hingga 9 HOK atau setara dengan 12
hingga 13 HOK dan untuk tenaga kerja wanita mencapai rata-rata 7 HOK atau setara
dengan 10 hingga 11 HOK. Kegiatan pemupukan dilakukan dengan rata-rata 2 HOK atau
setara dengan 3 HOK tenaga kerja pria per hektar, sedang untuk tenaga kerja wanita
rata-rata 5 HOK atau setara dengan 7 HOK per hektar. Penggunaan tenaga kerja luar
keluarga pria pada PHT cenderung kecil bahkan tidak ada dan biasanya dilakukan oleh
tenaga dari dalam keluarga, sebaliknya pada kegiatan pemeliharaan, tenaga kerja yang
dibutuhkan rata-rata 2 hingga 3 HOK untuk pria (setara 4 HOK per hektar) dan 16 hingga
17 HOK untuk tenaga kerja wanita (setara dengan 24 hingga 25 HOK per hektar).
Informasi penggunaan tenaga kerja dalam kegiatan panen dan pasca panen, masing-
masing (TK pria) rata-rata 160-17 HOK (setara 24-25 HOK per ha) dan 4-5 HOK (setara
dengan 6-7 HOK per ha). Untuk pekerjaan yang sama tenaga kerja wanita mencapai
rata-rata 3-4 HOK (5 HOK per ha) dalam panen serta rata-rata 10-11 HOK atau setara
dengan 16 HOK per ha dalam kegiatan pasca panen.
Secara umum penggunaan tenaga kerja dalam kegiatan usahatani jagung yang
dilakukan oleh kelompok komposit, jumlahnya relatif hampir mendekati dengan
kecenderungan volume pekerjaan pengolahan tanah, tanam dan pemeliharaan masih
mempergunakan tenaga kerja luar keluarga yang cukup besar. Jumlah tenaga kerja pria
dalam pengolahan tanah rata-rata mencapai 23-24 HOK atau setara dengan 59 HOK per
hektar. Pada pertanaman rata-rata 6 HOK (15-16 HOK per ha tenaga kerja pria) dan
rata-rata 2-3 HOK (6-9 HOK per ha). Sementara dalam pemeliharaan rata-rata TK pria 8-
9 HOK dan wanita 7-5 HOK, atau masing-masing setara dengan 21-22 HOK pria serta
18-19 HOK wanita per hektar.
19
Keterkaitan jumlah tenaga yang dipergunakan dengan sarana prasarana
penunjang kegiatan usahatani yang dimiliki oleh para petani sebagai asset dalam
investasi, pada umumnya masih terbatas pada beberapa alat tradisional dan belum
terlihat adanya penggunaan alat yang dilakukan secara mekanis dalam setiap pekerjaan
usahatani. Sehingga dengan demikian penggunaan tenaga kerja di dalam setiap
kegiatan usahatani yang dilakukan menjadi porsi yang cukup besar baik dalam jumlah
maupun terhadap biaya usahatani yang harus dikeluarkan, terutama pada kegiatan
usahatani yang lebih banyak menggunakan tenaga luar keluarga. Upah kerja yang
berlaku di daerah Cibugel pada umumnya Rp.10.000 untuk tenaga kerja pria (L) dan Rp.
6.000 untuk tenaga kerja wanita (P). Namun demikian dalam pelaksanaannya di
lapangan, disamping upah yang ditentukan juga terdapat biaya untuk sejumlah konsumsi
yang diberikan selama proses kegiatan yang dilakukan. Besarnya biaya untuk konsumsi
dari setiap pemilik penggarap relatif beragam satu sama lainnya, tergantung pada
konsumsi yang diberikan. Secara umum konsumsi yang diberikan, diperhitungkan
sebesar Rp.3.000 hingga Rp.5.000 per orang bagi tenaga kerja pria dan Rp 1.500 hingga
Rp.4.000 untuk konsumsi tenaga kerja wanita. Dengan demikian secara total jika hal itu
diperhitungkan dalam analisis maka besarnya upah tenaga kerja pria berkisar antara
Rp.13.000 hingga Rp.15.000 dan untuk tenaga kerja wanita antara Rp.6.000 hingga Rp.
10.000 dan dibayar secara harian. Pembayaran upah tersebut, selain dilakukan dengan
sistem harian juga untuk beberapa pekerjaan tertentu dilakukan dengan pembayaran
secara borongan. Biaya-biaya lain yang ada dan secara rutin dikeluarkan oleh para
petani, adalah meliputi PBB, Pancen serta iuran lainnya yang dikeluarkan secara
temporer.
Dalam kaitannya dengan penanganan pascapanen, secara umum masih
dilakukan secara manual dan tradisional dengan dukungan alat-alat yang ada dan
sederhana, misalnya dalam pemipilan selain menggunakan tangan juga dilakukan
dengan parut yang dibuat sendiri oleh petani. Kemudian dalam pengeringan lebih banyak
dilakukan dengan panas matahari dengan bantuan alas dari plastik dan alat jemur
lainnya. Begitu pun dalam proses pengepakan hanya dilakukan dengan karung plastik
bekas pupuk.
Tingkat Produksi dan Produktivitas
Hasil pertanaman jagung yang dilakukan responden dalam bentuk jagung kering
pipilan dengan penggunaan benih hibrida, rata-rata mencapai 29,3 kuintal atau setara
20
dengan 43,7 kuintal per hektar. Sementara produksi jagung kering pipil yang diperoleh
dari pertanaman benih komposit yang dilakukan responden, rata-rata mencapai 6,75
kuintal atau setara dengan 16,88 kuintal per hektar. Data responden tersebut merupakan
hasil usahatani yang dilakukan pada MT 2001, dengan intensitas penanaman jagung
yang dilakukan adalah satu kali dalam satu tahun.
Di dalam penanganan produksi, tingkat kekeringan merupakan satu hal yang
sangat diutamakan oleh para petani setempat, walaupun dalam penanganan hasil
produksi akhir, atau dalam proses pemipilan dan penjemuran produksi jagung biasanya
sudah dicampur dari berbagai jenis varietas yang ditanam menjadi satu kesatuan
produksi yang siap untuk di pasarkan. Begitu pula dari permintaan pasar, hingga saat ini
belum dilakukan pada tingkat grading ataupun sortasi pada setiap varietas, tetapi yang
terjadi bahwa penerimaan hasil produksi semata-mata baru ditekankan pada tingkat
kekeringan dari jagung yang dihasilkan dengan tingkat harga yang sama. Kondisi ini
merupakan salah satu hal yang mungkin sangat erat kaitannya dengan tingkat kwalitas
hasil jagung yang selama ini diperoleh di lokasi penelitian atau bahkan mungkin terjadi di
daerah produksi lainnya.
Sistem Penjualan dan Saluran Pemasaran
Adanya keterbatasan sarana prasarana dan belum tersedianya proses industri
pengolahan yang ada di wilayah ini, maka penanganan pasca panen produksi hampir
sebagian besar di jual kepada para pedagang pengumpul maupun koptan, sekalipun ada
beberapa yang menyisakan hasil panen untuk benih berikutnya pada kelompok
responden komposit. Tetapi bagi para petani yang menggunakan bibit berlabel pada
umumnya hasil produksi seluruhnya dijual. Berdasarkan informasi yang diperoleh
memberi gambaran bahwa harga yang berlaku di tingkat pasaran setempat berkisar
antara Rp.600; Rp.800; Rp.900 atau bahkan mencapai harga tertinggi Rp.1.000 per
kilogram kering pipil untuk jagung yang baik atau sebagai produk utama.
Sistem pemasaran yang sedang diupayakan oleh Koptan sebagai langkah dalam
menjembatani rendahnya tingkat harga yang terjadi dan sebagian besar diberikan oleh
para pedagang pengumpul di wilayah ini, maka Koptan berusaha untuk dapat
menampung produksi jagung yang dihasilkan oleh para petani dimana sebagian besar
merupakan anggotanya dengan harga yang wajar. Disisi lain Koptan juga berusaha
untuk selalu menjaga kegiatan pembelian dan keuntungan yang diperoleh para
pedagang selama ini, dengan cara memberikan kesempatan kepada para pedagang
21
untuk membeli jagung petani melalui Koptan dengan harga di bawah harga pabrik.
Dengan cara demikian maka tingkat harga ditingkat petani bisa lebih baik, pedagang
masih mendapat keuntungan begitu pula Koptan mendapat keuntungan dari selisih
pembelian dan penjualan ke pabrik pakan. Upaya ini telah dilakukan Koptan dua musim
tanam terakhir, setelah mendapat suntikan dana pinjaman diri Bank BUKOPIN sebesar
Rp.70 juta.
Berikut digambarkan proses pemasaran yang diupayakan Koptan selama dua
musim tanam terakhir :
Dari gambaran diatas maka :
I. Pembelian jagung dari petani yang dilakukan oleh Koptan ditetapkan dengan harga pembelian sebesar Rp.950 per kilogram. Sementara penjualan jagung yang dilakukan Koptan kepada para pedagang pengumpul atau bandar sebesar Rp.975 per kilogram. Sehingga dengan cara penjualan yang dilakukan tersebut, Koptan memperoleh keuntungan sebesar : = Rp.975/kg – Rp.950/kg = Rp. 25 per kilogram
II. Pembelian dari petani dengan harga yang sama sebesar Rp.950 per kilogram, kemudian dilakukan penjualan ke pabrik pakan dengan harga Rp.1.050 per kilogram, maka Koptan mendapat keuntungan dari selisih harga penjualan sebesar : = Rp.1.050/kg – Rp. 950/kg = Rp. 100/kg
III. Pembelian dari Koptan dengan harga Rp 975 per kilogram oleh pedagang pengumpul atau bandar, kemudian pedagang atau bandar menjual ke pabrik dengan harga yang sama diterima oleh Koptan Rp 1050 per kilogram, maka keuntungan dari selisih penjualan tersebut adalah : = Rp.1.050/kg – Rp. 975/kg = Rp. 75 per kilogram
Petani Kelompok
Tani KOPTAN
Pedagang
Pabrik Pakan Ternak
22
Dengan pola seperti itu maka masing-masing pelaku pemasaran mendapatkan
keuntungan dari selisih penjualan yang diterima, selain secara langsung juga telah
membantu meningkatkan penawaran harga yang diterima oleh para petani sebesar Rp.
950/kg. Sehingga secara tidak langsung memberi peluang pada peningkatan produksi
dan kegiatan usahatani khususnya dalam pertanaman jagung.
Informasi lain yang berkaitan dengan pemasaran jagung yang dilakukan oleh
para pedagang pengumpul di tingkat lokal, sebagian besar disalurkan kepada pedagang
pengumpul besar dan selanjutnya dipasarkan ke Garut, Cirebon atau bahkan hingga ke
Sukabumi sebagai bahan pembuatan pakan ternak pada industri-industri pakan yang
berlokasi di luar kabupaten Sumedang.
Sumber permodalan
Sumber permodalan dalam mendukung kegiatan usahatani yang dilakukan oleh
sebagian besar petani responden dari kelompok hibrida, pada umumnya merupakan
modal yang berasal dari sumber permodalan sendiri dan bila ada juga diperoleh dari
koperasi, terbatas untuk penambahan sarana produksi baik untuk sarana benih ataupun
pupuk yang kurang dari modal sendiri. Begitu pula sumber permodalan yang
dipergunakan dalam usahatani pada kelompok komposit sebagian besar berasal dari
sumber permodalan sendiri, disamping ada yang memperoleh dari koperasi KUD
ataupun Koptan. Bagi responden yang mendapat tambahan modal dari lembaga
tersebut, biasanya dalam bentuk barang seperti pupuk ataupun benih. Perbandingan
jumlah permodalan yang digunakan adalah 75 persen modal sendiri dan 25 persen
sisanya diperoleh dari lembaga tersebut.
Bentuk pembayaran atas modal tambahan yang diterima dalam bentuk barang
tersebut (benih dan pupuk) biasanya dilakukan dengan bentuk Yarnen, yaitu
pembayaran yang dilakukan setelah mendapatkan hasil dari panenan komoditas yang
ditanam. Dalam keterkaitan modal tersebut, biasanya untuk peminjaman dari KUD
dikenakan jasa pinjaman sebesar 2,5 sampai 3 persen, dan untuk sementara sistem
pembayaran pinjaman yang dilakukan kepada koptan belum dikenakan jasa pinjaman.
Namun demikian diharapkan penjualan hasil produksi khususnya jagung disalurkan
melalui koptan dengan pemberian insentif harga kepada para anggotanya, sehingga
dalam proses penjualan hasil panen yang diserahkan ke koptan secara langsung bisa
melunasi pinjaman yang diterima, dengan cara melakukan pemotongan pendapatan
yang diterima sehingga sistem pembayarannya juga dilakukan dengan yarnen.
23
Keterlibatan Dalam Kelembagaan Kelompok Tani dan Koperasi
Adanya kegiatan pertanaman jagung yang akan dilakukan dengan cara intensif
monokultur, dalam satu tatanan agribisnis maka sejak awal pembentukan Kelompok Tani
maupun perangkat kelembagaan pendukung lainnya sudah dipersiapkan sehingga para
petani di daerah lokasi kajian sebagian besar telah menjadi anggota kelompok tani dan
sebagian telah menjadi anggota koperasi.
Keterkaitan keanggotaan petani dalam kelompok tani maupun koperasi, adalah
mengenai penyediaan saprodi yang dapat diperoleh dengan keringanan dalam
pembelian dan peminjamannya, serta sekaligus dapat memasarkan hasil usahataninya
pada lembaga tersebut.
Bentuk kegiatan kelompok yang secara rutin dilaksanakan selama ini, adalah
dengan diadakannya Sekolah Lapang (SL) melalui pertemuan mingguan pada setiap
kelompok tani secara bergiliran, kemudian ada pertemuan mingguan untuk seluruh
kelompok tani di tingkat kecamatan yang secara rutin dilakukan dengan lembaga-
lembaga terkait di tingkat kecamatan.
Materi pertemuan, biasanya lebih banyak diarahkan pada sosialisasi secara
teknis terhadap perkembangan masukan inovasi baru khususnya yang menyangkut
teknologi pertanaman, walaupun aspek-aspek lain pun secara berkala dibahas sebagai
agenda acara-acara dalam pertemuan kelompok. Diantara agenda pertemuan tersebut
biasanya diisi dengan sosialisasi kelembagaan, penanganan pasca panen atau bahkan
melakukan praktek lapang, temu lapang serta melakukan demplot maupun dem area.
Dengan demikian pertemuan kelompok dapat dipandang sebagai suatu acara atau ajang
bertukar informasi, pengalaman dalam melakukan usahatani dari beberapa anggota yang
berpengalaman, KTNA, para penyuluh di tingkat kecamatan serta kelembagaan lainnya
yang terkait dengan kegiatan pertanian.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Secara umum kegiatan usaha pertanaman jagung melalui sistem agribisnis masih
dihadapkan pada pola tanam tumpangsari dan belum secara intensif mengarah pada
pola pertanaman monokultur jagung. Adanya beberapa jenis komoditas yang ditanam
secara tumpangsari menunjukkan terjadinya kompetisi antar tanaman yang diarahkan
24
pada jaminan penghasilan dari kegiatan usahatani yang dilakukan, apabila satu jenis
komoditas memberikan harga yang tidak menguntungkan, dapat dipenuhi dari komoditas
yang ditanam lainnya, selain fungsi pemenuhan kebutuhan pangan keluarga. Sehingga
tingkat produksi per luasan menjadi tidak optimal.
Masih rendahnya tingkat produktivitas komoditas jagung yang dihasilkan,
mengingat para petani masih dihadapkan pada tingginya biaya input produksi yang
diperlukan (bibit unggul, pupuk dan obat-obatan) dibandingkan dengan harga output
yang diterima petani. Dengan demikian, adanya keterbatasan modal di tingkat petani,
menjadi hambatan dalam memacu produktivitas dalam setiap tahapan agribisnis,
sehingga belum mencapai hasil yang diharapkan.
Sistem dana talangan yang diberikan oleh lembaga keuangan formal kepada
koptan, secara nyata telah banyak membantu mendorong meningkatnya nilai tukar
petani (harga jual jagung petani) kearah yang lebih baik dan menguntungkan semua
pelaku dalam kegiatan pemasaran.
Saran
Masih perlu adanya penyuluhan yang instensif dalam upaya merubah perilaku
usahatani, dari pola tumpangsari kearah monokultur jagung sesuai dengan prioritas
komoditas yang akan diusahakan atau dihasilkan. Untuk mendorong agar kegiatan
pertanaman jagung menjadi komoditas utama dan sekaligus dilakukan dengan pola
pertanaman secara monokultur jagung, maka upaya penyediaan bibit yang berkualitas
dengan harga terjangkau oleh masyarakat menjadi langkah positip untuk dilakukan,
disamping ada keringanan di dalam memperoleh sarana (input) yang dibutuhkan.
Kemudian yang lebih penting untuk diperhitungkan adalah proses penanganan hasil
pada saat produksi jagung yang ditanam memasuki masa panen. Tentunya jaminan
harga produk dari lembaga terkait dan sistem pemeliharaan hasil (kualitas produk) akan
sangat membantu bagi proses kegiatan usahatani jagung sebagai komoditas alternatif
bagi peningkatan pendapatan petani dan sumber pangan.
Perlu adanya lembaga keuangan lain yang berperan dalam penguatan modal
usahatani di tingkat petani ataupun kelompok tani serta Koptan/Gapoktan melalui dana
talangan dengan jaminan produksi (hasil panen) dalam mendukung rangkaian sistem
agribisnis secara keseluruhan dari hulu hingga ke hilir, disamping agar dapat membantu
25
menjembatani biaya input dan harga jual output diantara pelaku agribisnis. Sehingga
pada akhirnya dapat membantu meningkatkan keuntungan masing-masing pelaku.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik Kabupaten Sumedang. 2002. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Sumedang Tahun 2002. Sumedang
Badan Pusat Statistik Kabupaten Sumedang. 2001. Kabupaten Sumedang Dalam Angka Tahun 2001. Sumedang
Badan Pusat Statistik Kabupaten Sumedang. 2000. Kabupaten Sumedang Dalam Angka Tahun 2000. Sumedang
Badan Perencanaan Pembangungan Daerah Kabupaten Sumedang. 2002. Rencana Pembangunan Tahunan Daerah (REPETADA) Kabupaten Sumedang Tahun 2002. Sumedang.
Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat, 2001. Laporan Tahunan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat. Bandung
Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat, 2000. Proposal Pengembangan Agribisnis Jagung di Kawasan Corn-Belt Jawa Barat. Bandung
Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Sumedang.2001. Laporan Tahunan tahun 2001. Sumedang.
Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Sumedang.2000. Laporan Tahunan tahun 2000. Sumedang.
Fakultas Pertanian UNPAD.2002. Rancang Bangun Pengembangan Kawasan Agribisnis Terpadu di Daerah Pedesaan. Laporan Akhir. Kerjasama Faperta Unpad dengan Proyek Koordinasi Penataan Pembangunan Pertanian Sekretariat Jendral Departemen Pertanian Republik Indonesia. Bandung
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat Unwim. 2001. Laporan Pendahuluan Pemilihan Jenis Bidang-bidang Usaha, Penyusunan Profil Proyek Investasi di Kabupaten Sumedang. Kerjasama LPPM Universitas Winaya Mukti dengan BAPPEDA Kabupaten Sumedang.
Napitupulu, TEM. 1999. Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Sub Sektor Tanaman Pangan dan Hortikultura. Repleksi Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Nusantara. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.
26
Tabel Lampiran 1. Luas Areal Panen, Produksi dan Produktivitas Komoditas Jagung di Kabupaten Sumedang Berdasarkan Kecamatan, Tahun 2001
No Kecamatan Luas Panen (ha) Produksi (ton) Produktivitas (kw/ha)
1 Jatinangor 245 817 33,35
2 Cimanggung 874 2.693 30,81
3 Tanjungsari 1.268 4.527 35,70
4 Sukasari 54 179 33,15
5 Rancakalong 665 2.456 36,93
6 Pamulihan 274 956 34,89
7 Sumedang Selatan 268 1.008 37,61
8 Sumedang Utara 200 718 35,90
9 Ganeas 2 6 30,00
10 Situraja 496 1.310 26,41
11 Cisitu 79 302 38,23
12 Darmaraja 356 1.041 29,24
13 Cibugel 1.560 5.016 32,15
14 Wado 1.291 2.975 23,04
15 Jatinunggal 50 115 23,00
16 Jatigede 475 1.098 23,12
17 Tomo 277 931 33,61
18 Ujungjaya 361 1.178 32,63
19 Conggeang 72 198 27,50
20 Paseh 102 281 27,55
21 Cimalaka 339 1.117 32,95
22 Cisarua 30 85 28,33
23 Tanjungkerta 482 1.380 28,63
24 Tanjungmedar 199 626 31,46
25 Buahdua 668 2.076 31,08
26 Surian 7 23 32,86
Jumlah 10.694 33.112 30,96 Sumber : - Dinas Pertanian Kabupaten Sumedang, 2001 - Badan Pusat Statistik Kabupaten Sumedang, 2001
Recommended